Hukum Kausalitas antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd

1
HUKUM KAUSALITAS: ANTARA AL-GHAZALI DAN IBN RUSYD
Oleh: Aktobi Gozali∗

Pendahuluan
Polemik filosofis antara Al-Ghazali1 dan Ibn Rusyd2 selalu menarik untuk dikaji.
Salah satu polemik yang tak kalah menariknya adalah persoalan kausalitas. Dengan cara
pandang

yang

berbau

teologis

Al-Ghazali

menilai

bahwa


para

filosof

yang

mendahuluinya—antara lain Al-Farabi3 dan Ibn Sina4-- telah jatuh ke dalam “bid’ah”
karena meyakini hukum kausalitas. Kritikan yang ditulisnya dalam Tahafut al-Falasifah
(kerancuan para filosof) meruntuhkan bangunan pemikiran filsafat hingga kini—terutama
di dunia suni.
Dalam konteks ini Ibn Rusyd hadir memberi jawaban atas kritikan Al-Ghazali. Ia
melihat bahwa Al-Ghazali telah keliru di dalam memahami pemikiran Al-Farabi dan Ibn
Sina. Bahkan menurut Ibn Rusyd, Al-Farabi dan Ibn Sina sendiri telah keliru di dalam
memahami pemikiran Aristoteles. Tahafut al-Tahafut (kerancuan dalam kerancuan)
ditulisnya sebagai sanggahan dan kritik terhadap Al-Ghazali atas pemahaman keliru yang
dilakukan Al-Farabi dan Ibn Sina terhadap burtir-butir pikiran Aristoteles.
Persoalan yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah: “Bagaimana
pandangan Al-Ghazali dan Ibn Rusyd tentang hukum kausalitas?”. “Apa itu “sebab” dan
apa itu “akibat” bagi kedua tokoh tersebut?”. Serta logika yang dapat dipahami,
“Sejauhmana pandangan terhadap hukum kausalitas ini mempengaruhi perkembangan

pengetahuan dan sain di dunia Islam”.

2
Pandangan Al-Ghazali Tentang Kausalitas
Al-Ghazali sampai pada penilaian kafir bagi mereka yang meyakini tiga masalah:
kadimnya alam, pengetahuan Tuhan tentang yang parsial (juz’i), dan kebangkitan jasmani.
Ia menyatakan bid’ah bagi yang mempercayai tujuh belas masalah lain, termasuk di
dalamnya hukum kausalitas. Kritik ini ditujukan kepada dua filosof muslim sebelumnya:
Al-farabi dan Ibn Sina, yang dalam penilaiannya, sudah terlalu jauh mencampurkan ajaranajaran agama dengan pandangan filsafat, yakni filsafat Yunani--Sebut saja Aristoteles.
Di dalam salah satu karya monumentalnya, tahafut al-falasifah, Al-Ghazali
menempatkan hukum kausalitas pada urutan ke-17 dari 20 butir pandangan filsafat yang
dikomentarinya.5Ia mengatakan bahwa keterkaitan sesuatu yang diyakini sebagai
“akibat”dari kebiasaan (al-‘adah) tidaklah bersifat “pasti” (dharuri).Tidak ada kepastian
pada salah satunya, baik pada apa yang disebut “sebab” atau pun “akibat”. Tidak ada
sesuatu penegasian untuk menegasikan yang lain yang dapat dikatakan “pasti”. 6
Umpamanya, hubungan antara hilangnya rasa haus dengan minum, kenyang dan
makan, proses terjadinya kebakaran dan bertemunya api dengan benda yang dapat
menerima proses pembakaran; cahaya dan terbitnya matahari, mati dan terputusnya urat
nadi pada leher; sembuh dan tindakan minum obat dan seterusnya, semua terjadi sebagai
akibat dari takdir Tuhan dan sama sekali bukan terjadi dengan sendirinya. 7 Jelasnya,

hubungan masing-masing dari dua fenomena di atas yang terjadi secara beriringan bukanlah
disebabkan oleh atau pada dirinya sendiri. Karena itu, tidak pula dapat dikatakan bahwa
fakta yang terjadi sebagai suatu keharusan (dharuri), sebab Tuhan mampu menciptakan
rasa kenyang tanpa makan, menciptakan kematian tanpa terputusnya leher dari badan dan
seterusnya.8

3
Pandangan tadi jelas tidak sejalan dengan pandangan para filosof muslim
sebelumnya. Bahkan, yang dianggap mungkin saja terjadi dalam pandangan al-Ghazali,
menurut mereka (para filosof) adalah mustahil terjadi. Singkatnya, tidak ada kemungkinan
untuk terjadi.9
Yang disangkal Al-Ghazali di sini adalah anggapan bahwa sifat-sifat khusus pada
alam (thabi’ah) berfungsi dengan sendirinya tanpa ada kaitan dengan Tuhan. Hubungan
keterkaitan inilah yang diputus para filosof muslim. Karena al-Ghazali memandang bahwa
sifat khusus pada alam tidak dapat terlepas dari qudrahNya, maka bagaimana mungkin, api
misalnya, sebagai benda mati, dapat membakar sebuah benda yang berada di dekatnya,
dengan kehendak api itu sendiri. Ini tidaklah mungkin terjadi.
Sekarang marilah kita telaah lebih jauh. Sebagai contoh api dengan kapas. Bagi para
filosof, pelaku (al-fa’il) pembakaran itu hanyalah api an sich. Api menjadi pelaku karena
wataknya dan bukan karena ikhtiarnya.10 Inilah yang disangkal Al Ghazali dengan dalil

bahwa Tuhanlah yang menciptakan hitam pada kapas, mengubah struktur bagian-bagiannya
berikut transformasinya ke dalam tumpukan nyala api atau debu, baik melalui perantara
malaikat-malaikat atau tanpa perantara. Api adalah benda mati (al-jamad). Ia tidak dapat
mencipta perbuatan.11
Tampaknya, Al-Ghazali, dalam konteks ini bermaksud untuk mempertahankan
hubngan alam yang imanen di satu sisi dengan Tuhan yang transenden pada sisi yang lain.
Dengan demikian sifat Tuhan sebagai pencipta akan selalu tampak dan proses penciptaan
terus brlanjut tanpa henti. Pada dasarnya ia tidak mengingkari prinsip kausalitas secara
total. Ia tetap mengakui adanya keterkaitan sebab dan akibat pada benda-benda yang ada di
alam. Ketetapan ini disebut sunatullah. Namun, semuanya terjadi bukanlah secara

4
kebetulan dan spontan menurut kehendak dari benda-benda itu sendiri sebagaimana
anggapan kaum materialis atau naturalis. Para filosof selalu mengembalikan fenomena alam
ini sebagai berasal dari dan karena alam itu sendiri. Hal iniah yang tidak dikehendaki AlGhazali karena anggapan seperti ini dapat menyebabkan manusia menjadi kufur.
Yang disangkal Al-Ghazali dalam hal kausalitas adalah ‘memastikan’ terjadinya
efek dari sifat-sifat khas pada segala sesuatu. Padahal, kesimpulan itu diambil lewat proses
pengamatan inderawi yang berasal dari kebiasaan (al-‘adah). Dari kebiasaan memang dapat
ditarik suatu kesimpulan namun hasilnya tidak pasti.12 Baginya, segala sesuatu di hadapan
Allah adalah ‘mungkin’ dan sumuanya masuk akal. Setiap sesuatu dapat berubah di luar

kebiasaan sesuai dengan kesiapan benda-benda itu di dalam menerima sebab yang
mengubahnya.13
Dalam hal ini bagi para filosof tidaklah demikian. Mereka menolak apa yang
dianggap telah terjadi pada Nabi Ibrahim saat ia dibakar. Bagi mereka Nabi Ibrahim tidak
dibakar. Karena sifat pada api bersifat tetap dan permanen, maka tidak mungkin api
berubah menjadi dingin kecuali jika panas pada api dihilangkan. Sedangkan hal demikian
berarti telah mengubah sifat dan keadaan api. Atau boleh jadi, Tuhan mengubah jasad
Ibrahim menjadi batu atau sesuatu yang tak terpengaruh oleh api. Hal ini tidak mungkin.14
Sedangkan bagi Al-Ghazali hal ini mugkin saja terjadi. Nabi Ibrahim tidak terbakar
karena karena Allah telah mengubah sifat api. Atau, melalui malaikat, dengan cara
mengurangi kadar panas pada api tersebut sampai pada kadar tertentu sehingga panas api
tidak lagi berpengaruh pada Ibrahim. Atau dengan cara mengubah sifat Ibarhim dengan
cara memperbaharui sifat yang terdapat pada jasadnya sehingga tertolaklah efek dari api

5
itu.15 Ia menyatakan bahwa para filosof tidak mempercayai hal ini karena mereka tidak
menyaksikannya.16
Begitu pula, lanjut Al-Ghazali, dengan dihidupkannya orang yang telah mati,
berubahnya tongkat menjadi ular, dapat terjadi dengan cara ini karena materi sesungguhnya
dapat menerima berbagai macam perubahan. Tanah dan segala unsur dapat berubah

menjadi tumbuhan. Kemudian, setelah tumbuh-tumbuhan dimakan manusia atau binatang
berubah menjadi sel-sel darah. Darah berubah menjdi sperma. Sperma kemudian
dimasukkan ke dalam rahim, maka jadilah binatang-binatang. Hal ini terjadi dalam hukum
yang biasa dan dalam rentang waktu yang panjang. Mengapa para filosof menolak
kekuasaan Allah swt untuk memutar materi melalui fase ini, dalam waktu yang lebih
pendek dari yang biasa terjadi. Bila dalam waktu yang lebih pendek dibolehkan, maka tidak
ada hambatan untuk lebih pendek lagi, dan bahkan sampai pada periode tertentu sagat
singkat yang di dalam pengamatan inderawi seakan-akan perubahan terjadi secara seketika
dan spontan. Hal demikian menimbulkan sesuatu yang disebut mukjizat bagi seorang
nabi.17 Sesuatu pada dirinya sendiri adalah ‘mungkin’. Tetapi segala kemungkinan itu tidak
begitu saja terjadi. ‘Kemungkan’ itu dapat terjadi saat diperlukan seorang nabi untuk
memperkuat keberadaannya dan menambah kebaikan. Kekhususan pada diri nabi tidak
menutup kemungkianannya secara akal. Karenanya, mengapa harus didustakan ketika suatu
berita dinukilkan secara mutawatir dan dibenarkan syara’. 18
Dalam sebuah artikelnya berjudul tahafut al-falsifah li al-Ghazali, Fuad al Ahwani
mengatakan bahwa Imam al-Ghazali tidak membantah sanggahan para folosof. Al-Ghazali
mengakui bahwa benda-benda alami mempunyai keadaan atau sifat-sifat yang menjadi
pembeda satu dengan yang lain. Akan tetapi itu semua dari segi ‘kemungkinan’ bukan

6

‘kemestian’ karena Allah yang menjadikannya dalam wujud demikian, dan Allah berkuasa
mengubah sifat-sifat benda-benda itu, jika Ia menghendaki.19 Keberlanjutan (istimrar) atau
kebiasaan (al-‘adah) yang terjadi pada benda-benda akan mengakar dalam akal pikiran kita.
Ini berarti kelaziman eksternal antar fenomena alami terpantul dalam pikiran melalui
kebiasaan, sehingga timbul kepercayaan bahwa fenomena awal adalah ‘sebab’ bagi
kejadian berikutnya.20
Di dalam maqashid al-falasifah Al-Ghazali menggunakan istilah illah dan ma’lul
sebagai istilah untuk kausalitas atau sebab-akibat.21 Setiap sesuatu yang mempunyai wujud
pada dirinya sendiri yang bukan berasal dari wujud sesuatu yang lain adalah ma’lum.
Sedangkan bila ma’lum tidak terwujud, kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu itu
disebut ‘illat bagi ma’lum.22
Al-Ghazali membagi ‘illah kepada dua bagian: Illah yang berasal dari ma’lul, dan
inilah semua berasal dari luar yang semuanya tidak menjadi faktor dominan karena
dianggap tidak aktif. Sedangkan yang dimaksud dengam ‘illah yang aktif (al-‘llah alfaa’ilah) adalah ‘illah atau sebab yang berlaku secara alami seperti: api membakar dan
matahari yang memantulkan cahaya bereaksi secara alami.23 Demikian pandangan berikut
argumen dan penjelasan Al-Ghazali mengenai hukum kausalitas.24

Pandangan Ibn Rusyd Tentang Kausalitas
Dalam catatan sejarah filsafat Islam, Ibn Rusyd tampil untuk merespon beberapa
pandangan Al-Ghazali. Buku monumentalnya Tahafut al-Tahafut (kerancuan dalam

kerancuan) ditulis dalam rangka memberikan ulasan sekaligus sanggahan dan kritik atas
pandangan Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah (kerancuan para filosof).

7
Di dalam buku tersebut Ibn Rusyd menjawab sekaligus memberi umpan balik
terhadap bebarapa persoalan, yang menurutnya, Al-Ghazali telah ‘salah’ di dalam
memahami maksud yang diinginkan para filosof yang mendahuluinya, Al-Farabi dan Ibn
Sina.
Menariknya, di dalam buku tersebut Ibnu Rusyd tidak hanya memberikan kritik atas
Al-Ghzali saja, melainkan ia pun memberikan kritik atas Al-Farabi dan Ibnu Sina. Menurut
Ibnu Rusyd, Al-Farabi dan Ibn Sina pun telah melakukan kekeliruan di dalam memahami
pikiran-pikiran Aristoteles.25
Ibn Rusyd berpendapat bahwa wujud yang baru (al-maujudat al-muhdatsah)
mengandaikan adanya empat sebab: sebab efesien (fa’il), sebab materi (maddah), sebab
bentuk (shurah), dan sebab tujuan (ghayah). Keempat sebab tersebut bersifat pasti
(dharuri) dalam membentuk dan melahirkan akibat.26
Eksistensi “sebab” menjadi niscaya (dharuri) dalam melahirkan suatu “akibat”. Para
teolog pun berpendapat bahwa kehidupan ini menjadi syarat bagi adanya alam.27 Artinya,
keberadaan alam tidak terlepas dari suatu tujuan, yakni adanya sebuah kehidupan. Seorang
yang mengetahui pasti seorang yang hidup. Artinya, “hidup” menjadi syarat yang niscaya

dalam pengetahuan karena bagaimana mungkin seorang yang telah mati, atau benda mati,
dapat mengetahui sesuatu. Hal ini tidak mungkin. Oleh karena itu, “sebab” bukanlah
sesuatu yang bersifat mungkin, dalam arti boleh ada dan boleh tidak ada, melainkan bersifat
pasti. Demikian pula para teolog mengakui bahwa segala sesuatu memilki hakikat dan
batasan (hukum-hukum) yang bersifat dharuri dalam mewujudkan yang ada (maujud).
Karena itu, barang siapa menafikan “sebab” berarti menafikan akal. 29

28

8
Ibn Rusyd meyakini bahwa alam diciptakan Allah lengkap berikut hukumhukumnya. Hukum-hukum itulah yang menjadi sifat khusus pada setiap benda di alam ini.
Sifat-sifat tersebut bersifat pasti. Manusia tidak begitu saja mengetahui sifat-sifat yang ada
pada benda-benda dengan segenap kompleksitas kekhususannya. Untuk mengetahuinya
diperlukan penelitian.30 Karena itu, menolak hukum kausalitas sebagai sesuatu yang dapat
disaksikan lewat pancaindra adalah pandangan sufistik. Barang siapa yang menafikan itu
(sebab efesien) niscaya tidak akan mampu menolak untuk mengakui bahwa stiap hasil
perbuatan adalah akibat dari si pembuat. Dengan kata kain, setiap akibat mestilah ada
pelakunya.31
Ibn Rusyd mengatakan: “Saya tidak tahu apa yang diinginkan mereka (Al-Ghazali
dan para telog lainnya) dengan menyebut al-‘adah (adat kebiasaan). Apakah kebiasaan

pelaku (‘adah al-fa’il), kebiasaan wujud (al-‘adah al-maujud), ataukah kebiasaan kita di
dalam menghukumi yang ada?”; Karena mustahil Allah memiliki adat kebiasaan. Sebab,
kebiasaan mesti melekat pada pelaku dan mengharuskan adanya perbuatan yang berulangulang.32
Jika yang dimaksudkan mereka (Al-Ghazali dan lain-lain) bahwa adat itu adalah
suatu yang maujud, maka sesunguhnya kebiasaan itu hanya untuk yang berjiwa. Tetapi jika
kebiasaan itu ada pada sesuatu selain yang berjiwa, maka yang demikian adalah hukum
alam, dan ini tidak mungkin. Bila kebiasaan yang dimaksudkan adalah kebiasaan yang ada
pada kita yang menghukumi atas segala yang maujud, maka kebiasaan seperti ini adalah
tidak lebih dari pekerjaan akal yang diperoleh dari fenomena alam yang kemudian dibentuk
akal menjadi sebuah pikiran.33 Bila arti kebiasaan yang dimaksudkan al-Ghazali arti yang
terakhir ini, maka sesunguhnya para filosof pun tidak mengingkarinya. 34

9
Ibn Rusyd juga mengakui bahwa keputusan atau penilaian tentang yang wujud pada
akal berasal dari pengalaman empiris. Hal ini menjadi dasar pertimbangan mengapa hukum
sebab akibat bersifat dharuri. Akal di sini berfungsi meneliti fenomena yang ada berupa
kejadian-kejadian yang ada di alam ini dalam kaitan hukum kausalitas, sehingga
kemampuan akal berbeda satu dengan yang lain. Logika menetapkan adanya hukum
kausalitas. Sedangkan mengetahui berbagai akibat tidak akan sempurna tanpa mengetahui
sebab-sebabnya. Menolak kausalitas berarti menolak eksistensi ilmu pengetahuan (sains).

Sebagai konsekuensi logis, tidak ada sesuatu yang dapat diketahui secara pasti; Dan kalau
memang ada, tidak lebih dari prasangka belaka, tidak ada pembuktian (burhan) dan tidak
ada definisi sama sekali.35
Selanjutnya Ibn Rusyd mengatkan bahwa akal merupakan kumpulan hukum dan
undang-undang yang berlaku pada alam. Sedangkan hukum kausalitas sendiri bersandar
pada alam. Karenanya, hukum kausalitas yang berada pada akal adalah juga hukum
kausalitas yang ada pada alam.36
Di dalam persoalan mukjizat, Ibn Rusyd memberikan alasan sekaligus pembelaan
terhadap tuduhan Al-Ghazali yang menyerang para filosof dengan alasan bahwa mereka
tidak mempercayai mukjizat yang terjadi pada nabi dan rasul.
Ibn Rusyd berpendapat bahwa para filosof sama sekali tidak pernah menolak
mukjizat yang pernah terjadi pada nabi dan rasul. Karena bagi mereka (para filosof),
persoalan mukjizat tidak layak diperbincangkan dan diperdebatkan terutama di dalam
masalah yang menjadi prinsip dan dasar-dasar syari’at. Bagi mereka untuk membicarakan
hal tersebut diperlukan etika dan sopan santun yang tinggi. 37 Karena orang yang
mengingkari mukjizat berarti zindik.38 Prinsip-prinsip dan dasar syari’at bersifat pasti dan

10
setiap orang harus menerima begitu saja; menentang, beradu argumen dalam masalahmasalah prinsip berarti membatalkan keberadaan manusia. Oleh karena itu orang zindik
harus dibunuh.39
Ibn Rusyd menambahkan bahwa dasar-dasar dan prinsip syari’at adalah termasuk
masalah ketuhanan yang mengatasi akal pikiran manusia. Karenanya, manusia harus
mengakui tanpa harus mengetahui sebab-sebabnya. Karena itu pula dari generasi terdahulu
belum pernah seorang pun berbicara soal mukjizat, menyebarluaskan, dan menjelaskanya;
karena mukjizat merupakan dasar dalam menetapkan dan mengukuhkan syari’at. 40
Sedangkan syari’at merupakan prinsip keutamaan. 41
Al-Ghazali menganggap para filosof tidak memiliki dalil yang kuat untuk
menetapkan kepastian hukum kausalitas. Dalam hal ini Ibn Rusyd menjelaskan bahwa
andaikata pelaku pertma (Allah) dapat membuat terjadinya kebakaran tanpa penciptanya
(api), maka keyakinan seperti ini berarti menolak pancaindera dalam mewujudkan
kausalitas.42 Tidak seorang pun filosof yang meragukan pembakaran (proses terjadinya api
yang membakar) yang terjadi pada kapas, berasal dari api. Apilah yang menjadikan
pembakaran itu. Tetapi, hal itu tidak mutlak. Bahkan, faktor luar merupakan syarat yang
lebih penting dalam mewujudkan api terhadap proses terjadinya pembakaran. Di sinilah
terjadinya perselisihan pendapat dalam menetapkan faktor ekstern tadi—apakah faktor itu
berfungsi sebagai pemisah (mufariq) atau perantara (washitah) di antara pelaku kejadian
dan pemisah selain dari api.43
Ibn Rusyd mengatakan tidak perlu ragu seseorang untuk menyatakan “sebab”—
belum cukup dengan dirinya sendiri—dapat menghasilkan “akibat” yang ditimpakkannya.
Tapi, “sebab” mesti memiliki pelaku dari luar (fa’il min kharij) yang menjadi syarat untuk

11
mewujudkan suatu “akibat”. Sedangkan prinsip eksistensi peristiwa ini secara hakiki (bi aldzat)—apakah Allah sendiri atau pengada yang lain-- merupakan penengah di antara
pengada dengan wujud lainnya.44
Al-Ghazali juga mengakui hal ini. Sekalipun demikian, pada saat yang sama ia juga
menyangkal pandangannya sendiri. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu memilki tabi’at
khusus yang dapat menjadi “sebab” bagi yang lainnya. Tetapi, ia pun “membolehkan”,
seperti pandangan para teolog, nabi yang dilemparkan ke dalam api dan api tidak membakar
seperti yang terjadi pada nabi Ibrahim. Kemungkinan ini terjadi dengan cara Allah yang
mengubah sifat api atau sifat yang ada pada diri nabi Ibrahim. Allah mengurangi kadar
panas pada api melalui perantara malaikat sampai akhirnya panas pada api hilang sama
sekali atau Allah memperbarui sifat pada diri Ibrahim yang dengan sifat itu efek yang
ditimbulkan api tertolak.45
Ibn Rusyd menolak argumen di atas. Ia mengatakan bahwa bahwa sesunguhnya para
filosof menerima mukjizat terjadi pada para nabi—seperti Ibrahim yang tidak terbakar oleh
api. Namun, kadang-kadang “akibat” dapat berbeda dari biasanya, jika ada faktor
penghambat pada “sebab”. Faktor tersebut berasal dari luar, sehingga akibat yang biasa
terjadi, seperti benda akan hangus bila di bakar, tidak terjadi. Misalnya, bila tubuh dilapisi
benda atau materi tahan api, maka materi tersebut akan menghambat pengaruh api.46 Sebab
inilah yang perlu dan ini pula yang menjadi ‘hikmah’ penciptaan. Pada konteks ini manusia
dituntut untuk terus menggali berbagai rahasia alam yang belum terungkap. Karena itu, ini
bisa saja terjadi, sebelum Ibrahim dibakar tubuhnya lebih dulu diolesi dengan sesuatu yang
menolak pengaruh api.47 Bagi Ibn Rusyd, api tidak akan berubah menjadi dingin selagi ia
disebut api. Demikian pula dengan benda-benda lain berikut karakteristik yang dimilikinya.

12
Perbedaan pandanagn kaum mutakallimin, termasuk Al-Ghazali dengan para filosof
dalam soal “sebab”. Al-Ghazali tidak mengingkari hubungan niscaya antara “sebab”
dengan “akibat”, akan tetapi kemudian mengembalikan “sebab” langsung kepada Allah.
Rasa kenyang pada saat perut penuh dengan air sebagai contoh. Rasa kenyang muncul
karena Allah yang memberi rasa tersebut, bukan air.48 Sedangkan para filosof meyakini
dengan sepenuhnya bahwa air memiliki sifat—antara lain—mengenyangkan. Sifat ini
menjadi ciri khusus pada air. Demikian pula sifat khusus ini berlaku pada benda lain. Bagi
para filosof, Tuhan menciptakan segala yang ada di alam sekaligus menetapkan hukumhukumnya. Oleh karenanya, setiap benda (materi) memiliki sifat-sifat yang berbeda-beda
yang menjadi ciri dan sifat kekhususannya.
Khalil Syarifudin mengtakan bahwa Ibn Rusyd tidak mengingkari mukjizat para
nabi seraya mengakui tidak ada suatu apa pun yang dapat melemahkan sifat iradah Allah.
Tetapi, ia mengatakan lebih lanjut bahwa Ibn Rusyd menempatkan mukjizat pada urutan
kedua sebagai bukti kebenaran seorang nabi. Bagi Ibn Rusyd, mukjizat adalah persoalan
yang datang dari luar diri nabi yang kemudian memperkuat kebenaran misi kerasulannya,
bukan menjadi tolok ukur kebenaran dari risalahnya. Sedankan orang pada umumnya
memandang mukjizat sebagai dalil. Ingatlah, demikian kata Ibn Rusyd, bahwa dalil satusatunya yang dapat menetapkan kebenaran risalah kenabian. 49 Itu sendiri satu-satunya yang
dapat menetapkan kerbenaran. Salah satu risalah kenabian adalah syari’at itu sendiri yang
sudah tercakup dalam Risalah itu.50
Ibn Rusyd memberi perumpamaan dengan dua orang dokter yang salah satunya
“menyembuhkan orang sakit untuk menunjukkan bahwa ia seorang doketer. Sedangkan
dokter yang lain, menunjukkan bahwa ia dapat berjalan di atas air, adalah perbuatan yang

13
keluar dari kebiasaan

dan merupakan mukjizat. Tetapi, hal ini bukalah dalil untuk

menunjukkan bahwa ia serang dokter51

Kesimpulan
Al-Ghazali memandang hukum kausalitas sebagai sesuatu yang tidak pasti karena
bersumber dari pengalaman empiris. Pandangan manusia atas sesuatu yang diyakini pasti
terjadi hanyalah kemestian akal semata. Padahal, hal yang diyakini bersifat pasti itu
merupakan hasil pengamatan manusia terhadap kebiasaan (al-‘adah). Karenanya, suatu
kebiasaan mungkin saja berubah pada saat dan tempat yang berbeda. Bagi, Tuhan yang
maha kuasa, tidak ada hal yang tidak mungkin berubah. Tuhan bisa saja mengubah suatu
kebiasaan dengan kebiasaan yang lain, jika Ia menghendaki. Sifat-sifat khusus pada bendabenda dan lainnya dapat saja berubah. Manusia tidak dapat memastikan apa pun.
Adapun Ibn Rusyd memandang bahwa hukum kausalitas bersifat pasti. Keteraturan
alam dan sifat-sifat khusus pada benda-benda menunjukkan adanya suatu hukum yang
bersifat pasti (dharuri). Sunatullah tidak mungkin berubah—secara aksidental—karena
telah menjadi ketetapanNya sejak azali. Dari fakta-fakta inilah manusia dapat memahami
hukum-hukum Allah sehingga ia dapat mengelola alam ini dan mewujudkan misi Tuhan
sebagai khalifah di bumi.
Sebagai konsekuensi logis dari sikap menerima dan menolak terhadap eksistensi
hukum kausalitas, maka,-- secara logis— yang pertama dapat melahirkan sikap ‘pesimis’
terhadap pengetahuan dan sain. Adanya ketidakpastian pada hukum-hukum yang berlaku
melahirkan sikap ’kurang bersemangat’ di dalam meneliti alam semesta. Sehingga,

14
akibatnya lebih jauh, di dunia Islam, perkembangan pengetahuan dan sain mengalami
keterlambatan—jika tidak dapat dikatakan tertinggal di banding dunia lain.
Sedangkan yang kedua dapat melahirkan sikap optimis terhadap pengetahuan dan
sain. Semangat meneliti dan mengeksplorasi alam—dalam arti positif—akan muncul dari
dalam diri manusia yang pada akhirnya akan mampu melahirkan pengetahuan dan sain
yang amat menakjubkan demi kemaslahatan umat manusia.
Wallahu a’lam

Catatan Akhir:
1

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad AlGhazali. Ia dilahirkan di kota Thus, daerah Khurasan pada tahun 450 H/1058 M dan wafat di kota yang
sama pada tahun 1105 H / 1111 M.
2
Nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ahmad ibn
Rusyd. Lahir di Cordova pada tahun 520 H/1126 M dan wafat di Maroko pada tahun 595 H/ 1198 M.
3
Lahir di Farab, Transoxania, tahun 872-950 M. nama lengkapnya Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn
Turkhan ibn Uzlaqh al-Farabi. Ia banyak memberikan komentar terhadap karya-karya Aristoteles terutama
bidang logika dan kosmologinya. Bahkan komentarnya tentang metafisika besar memberi pengaruh pada
Ibn Sina yang hidup dua generasi setelahnya. Dikenal pula dengan sebutan guru kedua (al-mu’allim altsani) setelah Aristoteles. Lihat., Seyyed Husein Nasr dalam Suharsono dan Djamaluddin MZ (terj.),
Intelektual Islam Teologi, Filsafat, dan Gnosis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet. II, h.36-37. Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1984), jilid 2, Cet.ke-2, h.49.
4
Filosof bergelar al-Syaikh al-Ra`is (Kiyahi Utama) ini lahir di Afshana, suatu tempat dekat Bukhara tahun
980 M dan wafat tahun 1037 M. Ia menulis lebih dari 200 karya. Karya monumentalnya antara lain Kitab
al-Syifa, Al-Qanun fi al-Thib, Kitab al-Najat, al-Mabda` wa al-Ma’ad, dan Al-Isyarat wa al-Tanbihat.
Lihat Seyyed Hussein Nasr, Ibid. h. 38-39. Nurcholish Madjid (Ed.), Khazanah Intelektual Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), h.33
5
Dua puluh masalah yang dikomentari Al Ghazali adalah: 1). Alam bersifat azali (tak bermula) 2). Alam
bersifat abadi (kekal) 3).Allah sebagai pembuat dan alam adalah hasil perbuatannya. 4). Ketetapan
pembuat. 5). Mustahilnya ada dua Tuhan 6). Penolakan terhadap sifat 7). Tuhan tidak terbagi kepada jenis
(al-jins) dan pembeda (al-fashl) 8). Tuhan bersifat bashit tanpa hakikat (maahiyah) 9).Tuhan bukan jasmani
10). Masa tidak diciptakan 11). Tuhan mengetahui kepada selainNya. 12). Tuhan mengetahui zatNya. 13).
Tuhan tidak mengetahui hal yang bersifat parsial (al-juz`iyyat) 14). Langit hidup dan bergerak dengan
kemauan.15). Tujuan yang menggerakan langit 16). Jiwa langit mengetahui semua hal yang bersifat parsial
(juz`iyyat) 17). Yang menyalahi kebiasaan adalah mustahil 18). Jiwa manusia adalah substansi yang berdiri
sendiri bukan jasmani dan bukan sifat. 19). Jiwa manusia tidak hancur 20). Tidak ada kebangkitan jasmani.
Lihat, Tahafut al-Falasifah h. 86. Harun Nasution meringkasnya menjadi sepuluh masalah. Lihat Harun
Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Cet., ke-7. h. 44-45.
6
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Sulaiman Dunya (ed.), (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972), Cet.ke-5, h. 239.
7
Ibid.
8
Ibid. Pada titik ini tampaklah sosok al-Ghazali sebagai penganut setia faham teologi Asy’ariyah yang
bertitik tolak dari kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan di dalam melihat berbagai persoalan.
9
Ibid.

15

10

Ibid., h. 239-240.
Ibid., h. 240.
12
Ibid., h. 242.
13
Ibid.
14
Ibid., h. 243.
15
Ibid., h. 246.
16
Ibid.
17
Ibid.
18
Ibid., h. 247.
19
Ahmad Daudi (ed.), Segi-segi Pemikiran Falsafi dalamIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), Cet.,ke-1, h.
76.
20
Ibid.
21
Al-Ghazali, Maqashid al-Falasifah, Sulaiman Dunya (ed.), (Mesir, Dar al-Ma’arif, tth.), Cet., ke-2, h. 189.
22
Ibid.
23
Ibid., h. 189-190.
24
Dalam konteks ini penulis ingin memberi satu catatan bahwa persoalan kausalitas (sebab-akibat) muncul
pada saat Aristoteles mencoba memikirkan tentang sebab pertama (causa prima) yang menjadi sumber dari
segala sebab yang pada akhirnya melahirkan alam ini. Uniknya, ketika masuk ke dalam dunia Islam dan
menjadi bagian dari wacana filsafat Islam, persoalan ini justru melahirkan kontroversi di kalangan filosof
muslim sendiri, sebut saja Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Lihat, Sulaiman Dunya (ed.), Al-Haqiqah fi Nazhr
al-Ghazali, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971), Cet. ke-3, h. 252-256.
25
Namun, bukan di sini tempatnya, untuk menguraikan kritikan Ibn Rusyd terhadap Al-farabi dan Ibn Sina.
Dalam hal ini Ibn Rusyd, di dalam bukunya, hendak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dipahami
dan dimaksudkan oleh Aristoteles, yang menurutnya kemudian, telah disalahpahami oleh para filosof
lainnya, khususnya dalam permasalahan kausalitas.
26
Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Sulaiman Dunya (ed.), (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972), j.II, h. 784.Gagasan
mengenai empat sebab ini berasal dari Aristoteles. K. Bertens menjelaskan sebagai berikut: pertama,
Penyebab efesien (“efficient cause”) yang menjalankan kejadian. Misalnya, tukang kayu yang membuat
sebuah kursi. Kedua, penyebab final (“final cause”). Inilah yang tujuan menjadi arah seluruh kejadian.
Misalnya, kursi dibuat supaya orang dapa duduk di atasnya. Ketiga, penyebab material (“material cause”)
misalnya kayu sebagai bahan yang dijadikan kursi. Keempat, penyebab formal (“formal cause”). Misalnya
bentuk dari kursi. K. Bertens Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kansius, 2006), Cet., ke-22, h. 174.
27
Ibid.
28
Ibid.
29
Ibid., h. 785.
30
Ibid., h. 782-783.
31
Ibid., h. 781.
Karena Ibn Rusyd telah dengan jelas mengkategorisasikan sebab—sebagaimana tertulis di depan—ia
tampak kebingungan ketika Al-Ghazali menyebut hal demikian dengan istilah al-‘adah (kebiasaan).
Sementara Al-Ghazali menyebut ‘adat’ karena kesimpulan yang diambil para filosof berdasarkan hasil
pengamatan pancaindera. Hemat penulis hal ini dapat dipahami karena di dalam perjalanan dan
pengembaraan intelektualnya Al-Ghazali mengalami keraguan pada pancaindera sebagai sumber
pengetahuan. Ia memandang bahwa pancaindera tidak dapat sipercaya sepenuhnya karena seringkali
melakukan kebohongan. Sebuah tongkat tampak bengkok ketika diasukan ke dalam air. Benda-benda yang
berukuran sangat besar menjadi tampak sangat kecil disebabkan karena letak yang jauh dari mata dan
sebagainya. Inilah yang kemudian membuat Al-Ghazali skeptis terhadap logika dan pengalaman inderawi.
32
Untuk memperkuat argumentasinya, Ibn Rusyd mengutipa ayat al-Qur’an Surat al-Ahzab ayat 62 dan Fathir
ayat 43.
11

(43 :
33

)

,(62 :

)

Ibid., h. 786. Lihat: Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1964), Cet. ke-2, h. 156157.
34
Ibid.
35
Ibid., h. 785.

16

36

Khalil Syarifuddin, Ibn Rusyd, (Beirut: Dar wa Maktabah al-Hilal, 1979), h. 75.
Ibn Rusyd, op. cit., h. 791.
38
Ibid., (selanjutnya lihat foot note 1 pada halaman buku tersebut).
39
Ibid.
40
Ibid., h. 792.
41
Ibid.
42
Ibid., h. 793.
43
Ibid.
44
Muhammad Yusuf Musa, Bain al-Din wa al-Falsafah fi Ra’y Ibn Rusyd wa Falasifah al-‘Ashr al-Washith,
(Mesir: Dar al-Ma’arif, 1968), Cet. ke-2, h. 219.
45
Ibid.
46
Ibid.
47
Ibid., h. 220.
48
Ibid.
49
Khalil Syarifudin, loc. Cit.
50
Ibid.
51
Ibid., h. 76.

Aktobi Gozali adalah Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
37