Strategi Penyediaan Bahan Baku Daun Nenas Untuk Menunjang Industri Pemintalan Benang

STRATEGI PENYEDIAAN BAHAN BAKU DAUN NENAS
UNTUK MENUNJANG INDUSTRI PEMINTALAN BENANG

RIANTIKA PURWATI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Strategi Penyediaan
Bahan Baku Daun Nenas untuk Menunjang Industri Pemintalan Benang adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Riantika Purwati
NIM F34100040

ABSTRAK
RIANTIKA PURWATI. Strategi Penyediaan Bahan Baku Daun Nenas untuk
Menunjang Industri Pemintalan Benang. Dibimbing oleh YANDRA ARKEMAN dan
TITI CANDRA SUNARTI
Ketersediaan daun nenas di Indonesia saat ini memiliki potensi lahan sebesar 61 277
ha yang setara bobot daun nenas sebesar 1 838 280 ton. Limbah daun nenas memiliki
nilai tambah untuk dikembangkan menjadi bahan baku benang. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji peluang bisnis pendirian industri serat staple dan industri
pemintalan benang di Indonesia dan merancang strategi penyediaan serat daun nenas.
Metode yang digunakan adalah studi pustaka dan wawancara. Penentuan strategi
menggunakan metode Fuzzy Analytical Hirearchy Process. Skenario pertama yaitu
industri pengolah serat staple, memiliki nilai NPV positif sebesar Rp 7 247 415 037;
nilai IRR 80%; dan nilai Net B/C 1.08. Skenario kedua yaitu industri pemintalan
benang berbahan baku serat staple daun nenas, menunjukkan NPV bernilai positif
sebesar Rp 3 447 238 432; nilai IRR 48%, nilai Net B/C 1.07. Kedua skenario

dinyatakan layak untuk dijalankan. Strategi operasional yang terpilih adalah subsidi
benih dan pupuk untuk memaksimalkan produksi daun nenas; dan kemitraan dengan
perusahaan swaata untuk memaksimalkan keuntungan.
Kata Kunci : strategi penyediaan daun nenas, serat staple, benang, fuzzy analytical
hierarchy process

ABSTRACT
RIANTIKA PURWATI. Raw Material Supply Strategy of Pineapple Leaf to Support
Yarn Spinning Industry. Supervised by YANDRA ARKEMAN and TITI CANDRA
SUNARTI
The availability of the pineapples leaves in Indonesia currently has the potential of
land amounting to 61 277 ha of equivalent weights pineapples leaves of 1 838 280
tonnes. Waste of pineapple leaves have value added to be developed into a yarn
materials. This research aims to examine the business opportunities of industrial
establishments in staple fiber industries and spinning yarn industries in Indonesia
and devise strategies providing fiber pineapples leaves. The method used in this study
are literature study and interview. The method to determined a strategy was Fuzzy
Analitycal Hierarchy Process (FAHP). The first scenario is the fiber processing
industry staple fibre, has a positive NPV value of Rp 7 247 415 037; IRR value of
80%; and the value of Net B/C of 1.08. Second scenario is the spinning industri from

staple fibre, has a positive value amounted Rp 3 447 238 432; 48% IRR; 1.07 Net B/C.
Both of the scenario feasible to be processed. Operational strategy that choosen is
subsidy of seed and fertilizer to maximize of leaf pineapple production; and doing
relation with company to maximize profit.
Keywords: pineapples leaves supply strategy , staple fibre, spun yarn,
analytical hierarchy process

fuzzy

STRATEGI PENYEDIAAN BAHAN BAKU DAUN NENAS
UNTUK MENUNJANG INDUSTRI PEMINTALAN BENANG

RIANTIKA PURWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian


DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi berjudul “Strategi Penyediaan
Bahan Baku Daun Nenas untuk Menunjang Industri Pemintalan Benang” berhasil
diselesaikan. Tema yang diangkat dalam penelitian yang dilaksanakan selama
Maret 2014 sampai Mei 2014 ini ialah strategi penyediaan bahan baku.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan teristimewa kepada
Almarhumah Ganjar Sri Parwati (Mama) dan Almarhum Sugeng Riantoro (Bapak)
yang selama hidupnya selalu memberi kasih sayang dukungan baik moril maupun
materi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Yandra Arkeman
M.Eng, selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti M. Si,
selaku dosen pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan selama
penelitian dan penyelesaian skripsi. Terimakasih juga disampaikan kepada Dr. Ir.
Hartrisari H DEA selaku dosen penguji yang atas saran yang diberikan kepada

skripsi penulis. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga
besar Sudjoko dan Waliman atas doa dan kasih sayangnya, teman-teman
sebimbingan dan keluarga besar TIN 47 atas kebersamaan dan kenangan terindah
yang pernah dilewati dan teman-teman Marhamah serta sahabat-sahabat ku Fitri,
Devita dan Tyas atas dukungan dan semangat yang telah diberikan kepada
penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para pakar yang telah
membantu dalam proses pengambilan keputusan strategi untuk penelitian penulis.
Bogor, September 2014
Riantika Purwati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Perumusan masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

METODE PENELITIAN


3

Metode Penelitian

3

Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

3

Prosedur Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

6

Permintaan Serat Staple untuk Menunjang Industri Pemintalan Benang


6

Ketersediaan Bahan Baku

8

Kajian Teknologi Proses Produksi Serat Staple untuk Menunjang Produksi
benang Pintal

9

Strategi Penyediaan Bahan Baku
SIMPULAN DAN SARAN

19
31

Simpulan

31


Saran

31

DAFTAR PUSTAKA

31

LAMPIRAN

33

RIWAYAT HIDUP

79

DAFTAR TABEL
1 Permintaan serat staple dunia, produksi serat staple alami di dunia dan
permintaan serat staple alami di Indonesia

2 Sepuluh sentra produksi nenas di Indonesia
3 Prakiraan produksi benang pintal berdasarkan ketersediaan bahan baku
4 Ketersediaan daun nenas sebagai penunjang bahan baku serat staple
5 Kapasitas produksi skenario I dan skenario II
6 Jumlah pabrik yang dapat didirikan berdasarkan kapasitas produksi
serat staple daun nenas dan permintaan benang
7 Biaya investasi industri pengolah serat staple dan industri pengolang
benang pintal serat daun nenas
8 Perbandingan biaya variabel dan biaya tetap kedua skenario
9 Nilai titik impas dan harga pokok produksi kedua skenario
10 Perbandingan nilai rerata penjualan dan penjualan kedua skenario
11 Proyeksi laba bersih lima tahun pertama yang diperoleh kedua skenario
12 Kriteria kelayakan investasi skenario I dan skenario II
13 Analisis sensitivitas kedua skenario dengan variabel kenaikan bahan
baku 5%
14 Matriks perbandingan berpasangan fuzzy hasil penilaian pakar pada
kriteria penyediaan bahan baku
15 Matriks perbandingan berpasangan fuzzy hasil penilaian pakar pada
tujuan penyediaan bahan baku ditinjau dari kriteria permintaan benang
16 Matriks perbandingan berpasangan fuzzy hasil penilaian pakar pada

strategi penyediaan bahan baku ditinjau dari kriteria luas area
perkebunan nenas
17 Matriks perbandingan berpasangan fuzzy hasil penilaian pakar pada
strategi penyediaan bahan baku ditinjau dari kriteria produktivitas nenas
18 Matriks perbandingan berpasangan fuzzy hasil penilaian pakar pada
strategi penyediaan bahan baku ditinjau dari kriteria akses pemodalan
19 Matriks perbandingan berpasangan fuzzy hasil penilaian pakar pada
strategi penyediaan bahan baku ditinjau dari kriteria transportasi
20 Matriks perbandingan berpasangan fuzzy hasil penilaian pakar pada
strategi operasional penyediaan bahan baku ditinjau dari strategi
memaksimalkan keuntungan
21 Matriks perbandingan berpasangan fuzzy hasil penilaian pakar pada
strategi operasional penyediaan bahan baku ditinjau dari strategi
memaksimalkan produktivitas serat daun nenas
22 Matriks perbandingan berpasangan α-cut fuzzy hasil penilaian pakar
pada strategi penyediaan bahan baku ditinjau dari kriteria penyediaan
bahan baku
23 Matriks perbandingan berpasangan α-cut fuzzy hasil penilaian pakar
pada strategi penyediaan bahan baku ditinjau dari kriteria permintaan
benang
24 Matriks perbandingan berpasangan α-cut fuzzy hasil penilaian pakar
pada strategi penyediaan bahan baku ditinjau dari kriteria luas area
perkebunan nenas

8
8
9
9
14
14
16
17
17
17
18
19
19
23
23
23
23
23
23
24
24
25
25
25

25 Matriks perbandingan berpasangan α-cut fuzzy hasil penilaian pakar
pada strategi penyediaan bahan baku ditinjau dari kriteria produktivitas
nenas
26 Matriks perbandingan berpasangan α-cut fuzzy hasil penilaian pakar
pada tujuan penyediaan bahan baku ditinjau dari kriteria akses
pemodalan
27 Matriks perbandingan berpasangan α-cut fuzzy hasil penilaian pakar
pada tujuan penyediaan bahan baku ditinjau dari kriteria transportasi
28 Matriks perbandingan berpasangan α-cut fuzzy hasil penilaian pakar
pada alternatif penyediaan bahan baku ditinjau dari tujuan
memaksimalkan keuntungan
29 Matriks perbandingan berpasangan α-cut fuzzy hasil penilaian pakar
pada alternatif penyediaan bahan baku ditinjau dari tujuan
memaksimalkan produktivitas serat daun nenas
30 Nilai indeks konsistensi acak (RI) berdasarkan ukuran matriks
31 Nilai crisp matriks perbandingan berpasangan, x, λmax, CI dan CR hasil
penilaian pakar pada kriteria penyediaan bahan baku
32 Nilai crisp matriks perbandingan berpasangan, x, λmax, CI dan CR hasil
penilaian pakar pada tujuan penyediaan bahan baku ditinjau dari kriteria
permintaan benang
33 Nilai crisp matriks perbandingan berpasangan, x, λmax, CI dan CR hasil
penilaian pakar pada tujuan penyediaan bahan baku ditinjau dari kriteria
Luas area perkebunan
34 Nilai crisp matriks perbandingan berpasangan, x, λmax, CI dan CR hasil
penilaian pakar pada tujuan penyediaan bahan baku ditinjau dari kriteria
produktivitas nenas
35 Nilai crisp matriks perbandingan berpasangan, x, λmax, CI dan CR hasil
penilaian pakar pada tujuan penyediaan bahan baku ditinjau dari kriteria
akses pemodalan
36 Nilai crisp matriks perbandingan berpasangan, x, λmax, CI dan CR hasil
penilaian pakar pada tujuan penyediaan bahan baku ditinjau dari kriteria
transportasi
37 Nilai crisp matriks perbandingan berpasangan, x, λmax, CI dan CR hasil
penilaian pakar pada alternatif penyediaan bahan baku ditinjau dari
tujuan memaksimalkan keuntungan
38 Nilai crisp matriks perbandingan berpasangan, x, λmax, CI dan CR hasil
penilaian pakar pada alternatif penyediaan bahan baku ditinjau dari
tujuan memaksimalkan produktivitas serat daun nenas
39 Total bobot prioritas atribut strategi penyediaan bahan baku dengan
mempertimbangkan bobot kriteria penyediaan bahan baku
40 Total bobot prioritas atribut strategi operasional penyediaan bahan baku
dengan mempertimbangkan bobot strategi memaksimalkan produksi
daun nenas
41 Total bobot prioritas atribut strategi operasional penyediaan bahan baku
dengan mempertimbangkan bobot strategi memaksimalkan keuntungan

25
25
26
26
26
27
27
27
27
28
28
28
28
28
29
29
30

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pikir analisis data
2 Produksi serat staple alami dunia
3 Fuzzy analitycal hierarchy process penyediaan bahan baku daun nenas
untuk menunjang industri pemintalan benang

3
7
30

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35

Prosedur analisis data
Perhitungan prakiraan kebutuhan daun nenas
Proses pengolahan serat staple dan benang pintal serat daun nenas
Kebutuhan mesin dan peralatan industri pengolahan serat staple
Kebutuhan mesin dan peralatan industri pengolahan benang pintal
Rincian biaya investasi skenario I
Rincian biaya investasi skenario II
Rincian modal kerja skenario I
Rincian modal kerja skenario II
Rincian biaya penyusutan aset tetap skenario I
Rincian biaya penyusutan aset tetap skenario II
Rincian nilai sisa skenario I
Rincian nilai sisa skenario II
Rincian biaya pemeliharaan skenario I
Rincian biaya pemeliharaan skenario II
Rincian biaya premin asuransi I
Rincian biaya premi asuransi II
Rincian gaji skenario I
Rincian gaji skenario II
Rincian biaya produksi skenario I
Rincian biaya produksi skenario II
Rincian biaya operasional skenario I
Rincian biaya operasional skenario II
Total penjualan skenario I
Total penjualan skenario II
Rincian laba rugi skenario I
Rincian laba rugi skenario II
Arus kas skenario I
Arus kas skenario II
NPV, IRR, payback periode, net b/c skenario I
NPV, IRR, payback periode, net b/c skenario II
Analisis sensitifitas skenario I kenaikan bahan baku 5 %
Analisis sensitifitas skenario II kenaikan bahan baku 5 %
Kuisioner penelitian penyediaan bahan baku
Matriks perbandingan berpasangan fuzzy hasil penilaian kelima pakar

33
36
38
39
41
42
43
44
45
45
45
45
46
46
46
46
47
47
47
49
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
61
62
63
69

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Industri tekstil dan produk tekstil merupakan salah satu komoditi andalan
industri manufaktur dan menjadi salah satu penggerak pembangunan ekonomi
nasional. Sejak tahun 2012 hingga 2013, industri tekstil dan produk tekstil
menunjukkan kontribusi ekspor yang meningkat sebesar 2.1% yaitu dari US$ 12.5
menjadi US$ 12.8 miliar (API 2013). Kebutuhan bahan baku tekstil seperti
benang merupakan barang pokok yang menjadi produk hulu dari sebuah rantai
pasok produk tekstil yakni garmen.
Kebutuhan bahan baku benang di Indonesia saat ini, masih didominasi dari
impor benang dari luar negeri. Bahan baku utama benang juga masih dikuasai
oleh serat kapas yang masih diperoleh secara impor. Padahal terdapat banyak jenis
serat yang dapat diolah menjadi bahan baku benang. Salah satunya adalah serat
daun nenas. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2008 tentang
Kebijakan Industri Nasional menyebutkan bahwa terdapat tiga bahan baku
alternatif serat alam seperti serat rami, sutera dan nenas yang dapat dijadikan
bahan baku pengolahan tekstil dan produk tekstil. Penelitian ini mengambil
alternatif bahan baku serat daun nenas. Hal ini dikarenakan jumlah daun nenas
yang melimpah dan belum termanfaatkan secara optimal.
Nenas (Ananas comosus) merupakan salah satu komoditi pertanian yang
memiliki prospek menjanjikan dalam bidang agroindustri baik dari segi pangan
maupun non pangan. Permintaan nenas sebagai bahan baku industri pengolah
buah-buahan saat ini semakin banyak seperti contoh pengolahan nenas untuk
produk sirup, selai, keripik, dan nata. Hal ini berdampak pada limbah pertanian
yang semakin banyak pula. Apabila diasumsikan dalam satu hektar lahan
pertanian tanaman nenas menghasilkan 30 000 pohon. Jika masing-masing pohon
akan menghasilkan satu kg daun nenas maka dalam satu hektar akan
menghasilkan 30 000 kg daun nenas. Sehingga jika luas tanam tanaman nenas di
Indonesia tersedia 61 277 Ha maka ketersediaan daun nenas adalah sebanyak
1 838 280 000 kg daun nenas.
Daun nenas sangat potensial untuk dikembangkan menjadi bahan baku
penunjang industri pemintalan benang. Akan tetapi kendala yang ada saat ini
adalah belum terdapat industri tekstil dan produk tekstil yang melihat prospek
daun nenas untuk dijadikan bahan baku benang. Padahal permintaan akan tekstil
semakin tinggi karena dapat dipastikan semua orang di dunia memerlukan
kebutuhan sandang. Belum tersedianya industri pemintalan benang yang
menggunakan daun nenas sebagai bahan baku utama, sehingga menjadikan
sebuah kendala dalam proses penyediaan bahan baku daun nenas tersebut. Jika
industri pengolah daun nenas menjadi benang belum tersedia maka petani nenas
pun tidak mengetahui bahwa terdapat potensi atau nilai tambah dari daun nenas
tersebut. Faktor lain yang menghambat ketersediaan daun nenas sebagai bahan
baku industri pemintalan benang adalah kurangnya sumber daya manusia yang
mengetahui dan mau untuk meningkatkan nilai tambah pada tanaman nenas
tersebut. Oleh karena itu diperlukan strategi yang tepat untuk menyediakan bahan
baku untuk memenuhi permintaan benang pintal.

2
Perumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang pada subbab diatas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Berapa kebutuhan serat non konvensional khususnya serat daun nenas
untuk memenuhi permintaan industri benang pintal?
2. Bagaimana proses teknologi pengolahan benang pintal dari serat daun
nenas yang saat ini dilakukan oleh industri pemintalan benang di
Indonesia?
3. Bagaimana kelayakan pendirian industri pemintalan benang berbahan baku
serat daun nenas, berdasarkan analisis finansial?
4. Apa saja kendala untuk memenuhi permintaan benang pintal berdasarkan
ketersediaan serat daun nenas?
5. Apa strategi yang tepat agar dapat menjamin penyediaan bahan baku serat
daun nenas agar dapat memenuhi permintaan benang pintal domestik?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peluang bisnis pendirian industri
pemintalan benang di Indonesia dan merancang strategi dalam penyediaan serat
daun nenas sebagai bahan baku industri pemintalan benang.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian memberikan gambaran dalam penentuan strategi yang
terbaik untuk menyediakan serat daun nenas sebagai bahan baku benang.
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dari komoditas nenas
dan membantu petani dalam meningkatkan ekonomi mereka.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan terhadap penentuan strategi yang terbaik untuk
menyediakan serat nenas untuk memenuhi permintaan tekstil di Indonesia.
Pengumpulan data juga dilakukan dengan data primer dan sekunder.Adapun data
primer diperoleh dari Badan Pusat Statistik. Data yang diperoleh dari BPS berupa
data statistik permintaan benang (ekspor dan impor), data statistik luas tanam
tanaman nenas. Selanjutnya data tersebut akan dianalisis berdasarkan aspek
teknologi proses dan finansial untuk pendirian industri benang tersebut.
Berdasarkan informasi terkait daun nenas yang diperoleh, dapat dianalisis
kendala-kendala yang ada dalam hal penyediaan bahan baku dalam produksi
benang pintal. Setelah diperoleh kendala-kendala apa saja yang terjadi di lapangan,
kemudian dilakukan penentuan strategi yang tepat untuk menyediakan serat daun
nenas untuk memenuhi produktivitas industri pemintalan benang. Penentuan
strategi ini dilakukan dengan menggunakan informasi pakar yang kemudian
diolah dengan metode Fuzzy AHP (Analitycal Hierarchy Process).

3

METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kampus Dramaga IPB Bogor dan
pengambilan data sekunder diperoleh dari Direktorat Jenderal Hortikultura, dan
Badan Pusat Statistik. Wawancara pakar dilakukan di Direktorat Jenderal
Hortikultura dan Fakultas Teknik Industri jurusan Teknik Tekstil Universitas
Islam Indonesia. Pengamatan lapangan dilakukan di Desa Sarireja dan Desa
Tambak Mekar, Subang, Jawa Barat. Waktu penelitian dilakukan mulai periode
Maret 2014 hingga Mei 2014.
Metode
Penelitian ini dimulai dengan studi pustaka serta mempelajari deskripsi
produk dan industrinya. Proses pengumpulan data dan informasi berasal dari data
primer maupun data sekunder. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik,
Kementerian Pertanian, Departemen Jenderal Hortikultura dan Fakultas Teknik
Industri, Universitas Islam Indonesia. Data tersebut akan diolah untuk keperluan
analisis permintaan benang, analisis ketersediaan bahan baku, dan analisis proses,
teknologi dan finansial.
Berdasarkan informasi yang diperoleh berdasarkan beberapa pakar ahli
budidaya nenas dan tekstil, kemudian dapat dianalisis kendala-kendala yang ada
dalam hal penyediaan bahan baku serat daun nenas dalam produksi tekstil.
Berdasarkan kendala tersebut, dapat ditentukan beberapa strategi untuk
menyediakan serat daun nenas. Penentuan strategi ini dilakukan dengan
menggunakan informasi pakar yang kemudian diolah dengan metode Fuzzy AHP
(Analitycal Hierarchy Process).
Secara garis besar, tahapan penelitian yang dilakukan dapat dijelaskan
dengan Gambar 1.
Kajian teknologi proses produksi serat staple
untuk menunjang industri pemintalan benang

Mulai
Analisis permintaan
benang
Demand = Ekspor +
Impor
(benang pintal dari
campuran serat lain)

Analisis teknologi
Analisis ketersediaan
bahan baku
(pemetaan 10 sentra
produksi nenas di
Indonesia)

Analisis kapasitas
produksi

Analisis
finansial
Tidak
Layak

Ya
Strategi terbaik untuk penyediaan bahan baku industri pemintalan benang dari serat daun nenas
Selesai

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

4
Prosedur Penelitian
Analisis permintaan benang
Analisis permintaan benang diperoleh berdasarkan studi pustaka berupa data
sekunder. Data sekunder tersebut berasal dari beberapa pustaka yaitu Statistik
Industri Manufaktur Bahan Baku tahun 2011, Buletin Statistik Perdagangan Luar
Negeri Impor Agustus 2013, dan Statistik Buletin of Jute, Kenaf, Sisal, Abaca,
Coir and Allied Fibres yang diterbitkan FAO tahun 2013. Data sekunder ini
dibutuhkan untuk menjadi dasar perhitungan kebutuhan serat daun nenas sebagai
bahan baku benang pintal.
Analisis ketersediaan bahan baku
Analisis ketersediaan bahan baku serat daun nenas dilakukan dengan studi
pustaka dan wawancara. Pustaka yang digunakan dalam analisis ini adalah
Kabupaten Subang Dalam Angka 2013 dan Profil Nenas berdasarkan Direktorat
Jenderal Hortikultura. Data sekunder yang digunakan adalah lokasi sentra
produksi nenas di Indonesia, luas panen tanaman nenas pada masing-masing
sentra produksi, dan jenis tanaman nenas yang dapat tumbuh. Wawancara
dilakukan dengan dua orang pakar. Seorang pakar budidaya tanaman nenas dari
Direktorat Jenderal Hortikultura dan seorang peneliti serat nenas untuk dijadikan
bahan baku produk tekstil dari Fakultas Teknik Industri jurusan Teknik Tekstil,
Universitas Islam Indonesia. Hasil wawancara berupa jumlah pohon nenas dalam
satu hektar, bobot daun nenas dalam satu pohon dan bobot serat yang dapat
dihasilkan dari satu pohon nenas. Rumus sederhana untuk menentukan
ketersediaan bahan baku untuk memenuhi permintaan benang terdapat dalam
Lampiran 1.
Kelayakan pendirian industri pemintalan benang
Analisis teknologi produksi benang pintal
Analisis teknologi pengolahan benang pintal dari serat daun nenas dilakukan
dengan dua tahap yaitu pengolahan daun nenas menjadi serat staple dan serat
staple menjadi benang pintal. Analisis teknologi produksi pengolahan benang
pintal dilakukan dengan wawancara, studi pustaka dan internet. Wawancara
dilakukan dengan seorang ahli tekstil yaitu Ir. Asmanto Subagyo M.Sc dari
Jurusan Teknik Tekstil, Universitas Islam Indonesia. Penentuan pakar ditentukan
berdasarkan jurnal yang berjudul Strategi Pengembangan Industri Serat Alam
Daun Nenas Untuk Meningkatkan Taraf Hidup Masyarakat yang diperoleh
penulis. Hasil wawancara berupa tahapan proses produksi yang digunakan untuk
mengolah dari daun nenas hingga menjadi benang, ukuran atau nomor benang
serat daun nenas, dan persen rendemen untuk keperluan neraca massa. Pustaka
yang digunakan adalah Rencana Bisnis Pendirian Industri Pengolahan Serat Daun
Nenas. Berdasarkan pustaka tersebut diperoleh jenis mesin yang digunakan untuk
mengolah serat staple beserta harga mesin. Kebutuhan dan kapasitas mesin untuk
pengolahan benang pintal diperoleh berdasarkan pencarian dengan internet.

5
Analisis kapasitas produksi
Analisis kapasitas produksi diperoleh berdasarkan kapasitas mesin yang
tersedia, permintaan benang dan neraca massa produksi. Tahapan untuk
mengetahui kapasitas produksi dapat dilihat pada Lampiran 1.
Analisis finansial
Analisis finansial digunakan untuk mengetahui kelayakan industri. Kriteriakriteria yang digunakan dalam analisa finansial meliputi Pay Back Periode, Net
Present Value, Internal Rate of Return, Net Benefit Cost Ratio dan analisa
sensitivitas. Berikut adalah penjelasan mengenai kriteria yang digunakan. Rumus
perhitungan masing-masing kriteria kelayakan industri dapat dilihat pada
Lampiran 1.
1. Payback Period (PP)
Payback period merupakan suatu periode waktu yang dibutuhkan
mengembalikan seluruh pengeluaran investasi.
2. Net Present Value (NPV)
NPV suatu proyek adalah manfaat bersih yang diperoleh selama umur
proyek di peroleh dari selisih antara present value dari investasi dengan nilai
sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih (aliran kas operasional maupun
aliran kas terminal) dimasa yang akan datang. Penilaian NPV terhadap kelayakan
usulan proyek menurut Umar (2005) adalah sebagai berikut.
a. Jika NPV > 0, maka usulan proyek diterima.
b. Jika NPV < 0, maka usulan proyek ditolak.
c. Jika NPV = 0, maka nilai perusahaan tetap walau usulan proyek diterima
ataupun ditolak.
3. Internal Rate Return (IRR)
Internal Rate Return (IRR) adalah tingkat pengembalian internal selama
umur proyek. Metode ini digunakan untuk mencari tingkat bunga yang
menyamakan nilai sekarang dari penerimaan kas dengan pengeluaran investasi
awal. Penilaian IRR terhadap kelayakan proyek menurut Umar (2005) adalah jika
IRR yang diperoleh lebih besar dari rate of return yang ditentukan maka
inevestasi dapat diterima.
4. Net Beneft Cost Ratio (Net B/C)
Net Beneft Cost Ratio (Net B/C) merupakan angka perbandingan antara
jumlah present value yang bernilai negatif berdasarkan modal investasi.
Perbandingan net B/C dilakukan untuk melihat berapa kali lipat manfaat yang
diperoleh dari biaya yang dikeluarkan. Penilaian Net B/C terhadap kelayakan
proyek menurut Kadariah (1999) adalah sebagai berikut.
a. Jika Net B/C > 1, maka usulan proyek menguntungkan.
b. Jika Net B/C < 1, maka usulan proyek tidak menguntungkan.
5. Analisis sensitivitas
Analisis sensitivitas diperlukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi
perubahan unsur harga pada saat proyek tersebut dilakukan (Gray et al (1993).

6
Harga tersebut dapat terkait dengan harga bahan baku maupun harga produk.
Penelitian ini menggunakan parameter antisipasi terhadap kenaikan harga bahan
baku di masa datang.
Analisis strategi penyediaan bahan baku
Analisis strategi penyediaan bahan baku dilakukan untuk menentukan
strategi yang terbaik untuk menyediakan bahan baku serat daun nenas sebagai
bahan baku industri pemintalan benang pintal. Analisis ini menggunakan metode
Fuzzy Analitycal Hierarchy Process. Fuzzy AHP merupakan suatu metode AHP
dengan menggunakan bilangan fuzzy dalam penilaian yang diberikan pakar.
Fuzzy AHP digunakan karena metode ini dapat menutupi kelemahan-kelemahan
pada AHP biasa. Rahardjo dan Sutapa (2002), menyatakan dua kelebihan FAHP
dari pada AHP yakin sebagai berikut:
a. Dapat menutupi kelemahan AHP biasa, yang masih memiliki tingkat
subjektivitas yang tinggi.
b. Angka penilaian sudah dalam bentuk interval bukan eksak.
AHP (Analytical Hierarchy Process) merupakan suatu metode pengambilan
keputusan dengan banyak kriteria yang bersifat subjektif. Model AHP pertama
yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty merupakan AHP dengan pembobotan
additive. Additive adalah operasi aritmatika untuk mendapatkan bobot totalnya
dengan penjumlahan.
Penelitian ini menggunakan model fuzzy AHP, model ini menggunakan
pembobotan non additive. Model Fuzzy AHP yang digunakan mengacu pada
model yang dikembangkan oleh Ayağ (2005). Adapun prosedur perhitungan
model fuzzy AHP ini terdiri dari empat langkah, yaitu (1) perbandingan skor, (2)
pembuatan matriks perbandingan fuzzy, (3) penyelesaian nilai eigen fuzzy dan (4)
penentuan dan penjumlahan total bobot prioritas. Prosedur perhitungan Fuzzy
AHP ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Permintaan Serat Staple untuk Menunjang Industri Pemintalan Benang
Serat staple merupakan bahan baku utama dalam pengolahan benang pintal.
Serat staple mempunyai arti yaitu serat yang berukuran pendek (Enie dan
Karmayu 1980). Industri serat staple merupakan bagian dari industri tekstil
maupun industri non tekstil yang mana memiliki peranan baik dari hulu hingga
hilir. Penggunaan serat staple yang berkaitan dengan industri tekstil meliputi
industri serat alam, industri serat buatan, dan industri pemintalan benang filamen
sedangkan untuk industri non tekstil meliputi produk jok, papan partikel dan
konveyor. Hal ini menunjukkan bahwa serat staple sangat dibutuhkan baik dalam
industri tekstil maupun industri non tekstil.
Permintaan dunia akan serat staple buatan untuk keperluan industri
manufaktur tekstil pada tahun 2010 mencapai 53.000.000 ton (Kemendag 2012).
Angka tersebut menunjukkan angka yang tinggi, sehingga dapat diketahui pula

7
permintaan akan serat staple untuk keperluan industri manufaktur juga tinggi. hal
tersebut berkorelasi dengan permintaan akan benang pintal yang semakin banyak.
Menurut Peraturan Presiden nomor 28 tahun 2008 yang menyatakan
bahwa kebutuhan akan serat konvensional dapat diganti dengan menggunakan
serat alternatif, salah satunya adalah serat daun nenas. Penggunaan serat staple
daun nenas diharapkan dapat berkontribusi dalam memenuhi permintaan serat
staple untuk menunjang kebutuhan industri pemintalan benang baik untuk dalam
negeri maupun luar negeri. Penggunaan serat staple daun nenas juga diharapkan
dapat mengurangi penggunaan serat staple buatan dan menggantinya dengan serat
staple alami.
Produksi serat staple alami diseluruh negara penghasil serat staple alami
sejak tahun 2007 hingga 2012 cenderung fluktuatif dimana terjadi kenaikan
produksi pada tahun 2010 hingga 2011. Rerata produksi sejak tahun 2007 hingga
2012 adalah sebesar 160 833 ton per tahun. Gambar 2 menunjukkan produksi
serat staple alami di dunia,
Jumlah Serat Staple Alami
(ton)

200000
150000
100000
50000
0
2007

2008

2009

2010

2011

2012

Tahun

Gambar 2 Produksi serat staple alami dunia
Sumber : diolah dari FAO (2013)
Berdasarkan Gambar 2, menunjukkan adanya fluktuatif produksi serat
staple untuk industri manufaktur. Apabila dirata-ratakan akan diperoleh angka
sebesar 160 833 ton per tahun. Angka ini menunjukkan produksi serat staple alami
masih sangat sedikit dibandingkan dengan permintaan akan serat staple buatan
yaitu sebesar 53 000 000 ton. Sehingga perlu dilakukan peningkatan jumlah
produksi serat staple alami, selain berfungsi untuk mengurangi produksi serat
staple buatan juga dapat meningkatkan nilai tambah dari komoditi pertanian yang
digunakan sebagai bahan baku serat staple. Produksi perlu ditingkatkan, karena
melihat banyaknya permintaan akan bahan baku serat staple untuk menunjang
industri manufaktur yang selama ini masih dipenuhi oleh serat staple buatan.
Permintaan serat staple alami di Indonesia hanya sebesar 1% dari produksi
serat staple alami di dunia. Data BPS (2013) menunjukkan angka permintaan serat
staple alami di Indonesia sebesar 1.451.455 kg per tahun. Angka ini akan
dijadikan target kapasitas produksi industri pengolah serat staple alami yang akan
di kaji peluang bisnisnya. Tabel 1 adalah angka yang akan dijadikan dasar
permintaan dan produksi serat staple alami baik untuk dalam negeri maupun luar
negeri.

8
Tabel 1 Permintaan serat staple dunia, produksi serat staple alami di dunia dan
permintaan serat staole alami di Indonesia
Keterangan
Jumlah (ton)
Permintaan serat staple buatan luar negeri (dunia)
53 000 000
Permintaan luar negeri (dunia) akan serat staple alami
160 833
Permintaan dalam negeri (Indonesia) akan Serat Staple Alami
1 451.455
Sumber : Kemendag (2012), FAO (2013) dan BPS (2013)

Ketersediaan Bahan Baku
Bahan baku serat daun nenas diperoleh dari sentra produksi nenas terbanyak
di Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura, sentra produksi nenas
terdapat pada sepuluh lokasi seperti yang dijelaskan pada Tabel 2. Tabel 2
menyatakan potensi lokasi ketersediaan bahan baku berdasarkan luas produksi
tanaman nenas. Berikut merupakan rincian sepuluh sentra produksi yang
dikembangkan di Indonesia,.
Tabel 2 Sepuluh sentra produksi nenas di Indonesia
Provinsi
Sumatera Utara
Riau
Sumatera Selatan
Lampung
Jawa Barat
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Sulawesi Utara
Total

Kabupaten
Simalungun
Siak
Kampar
Prabumulih
Lampung Tengah
Subang
Blitar
Kuburaya
Pontianak
Bolaang Mongondow

Potensi Bahan Baku (Ha)
7 040
265
1 248
3 176
1 082
26 803
271
13 500
750
7 141
61 276

Sumber: diolah dari Direktorat Jenderal Buah (2010) dan BPSb(2013)
Tabel 2 menunjukkan total potensi bahan baku daun nenas di Indonesia
sebesar 61 276 Ha. Apabila diasumsi satu hektar menghasilkan 30 000 pohon
(Samsuardi 2014), dan jika satu pohon nenas akan menghasilkan satu kg daun
nenas yang akan diolah menjadi serat staple (Subagyo 2012) maka dengan luas
sebesar 61 276 Ha dapat menghasilkan 1 838 280 000 kg daun nenas.
Prakiraan kebutuhan daun nenas untuk memenuhi permintaan bahan baku
serat staple daun nenas dapat dilihat pada Tabel 3. Permintaan serat alami untuk
bahan baku industri tekstil sebesar 1 451 455 kg menjadi dasar target produksi dan
angka produksi boleh melebihi target produksi yang telah ditetapkan. Kapasitas
produksi serat staple ditentukan oleh kapasitas mesin produksi serat staple yang
digunakan. Perhitungan prakiraan kebutuhan daun nenas diperoleh berdasarkan
kapasitas produksi serat staple. Kapasitas produksi serat staple tersebut dikaji
dalam subbab kajian teknologi proses pengolahan serat staple.

9
Tabel 3 Prakiraan produksi serat staple berdasarkan ketersediaan bahan baku
Prakiraan produksi
Keterangan
serat staple
Permintaan serat staple alami di Indonesia
1 451 455 kg / tahun
Produksi serat staple daun nenas
1 983 593 kg/ tahun
Kebutuhan daun nenas untuk produksi serat staple
4 608 000 kg / tahun
Berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa produksi serat staple daun nenas
melebihi permintaan serat staple alami di Indonesia. Hal ini menunjukkan
kebutuhan serat staple alami di Indonesia dapat diganti seluruhnya dengan serat
staple daun nenas. Kelebihan produksi yang diperoleh sebesar 532 138 kg per
tahun dapat digunakan untuk mencukupi permintaan serat staple alami di luar
negeri. Daun nenas yang diperlukan untuk menunjang produksi serat staple yaitu
4 608 000 kg per tahun. Angka produksi serat staple sebesar 1 983 593 kg per
tahun merupakan angka produksi untuk satu buah pabrik. Jumlah satu pabrik ini
ditentukan berdasarkan kapasitas produksi yang ditentukan dan dikaji pada subbab
teknologi proses pengolahan serat staple.
Ketersediaan daun nenas yang sangat melimpah, dapat diasumsikan
seluruhnya sebagai bahan baku pengolahan serat staple. Ketersediaan daun nenas
sebagai sisa dari kebutuhan bahan baku penunjang serat staple dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4 Ketersediaan daun nenas sebagai penunjang bahan baku serat staple
Kebutuhan daun
Kebutuhan daun
nenas untuk
nenas untuk
Seluruh
Sisa
memenuhi
memenuhi
ketersediaan daun
ketersediaan
permintaan serat
permintaan serat
nenas di Indonesia
daun nenas
staple alami dalam staple alami luar
negeri
negeri
1 838 280 000 kg /
4 608 000 kg /
373 741 204 kg / 1 459 930 796
tahun
tahun
tahun
kg /tahun
Sisa ketersedian daun nenas yang ditunjukkan dalam Tabel 4, sebesar
1.459.930.796 akan dipakai untuk memenuhi permintaan luar negeri akan serat
staple buatan. Berdasarkan angka tersebut, produksi serat staple yang dapat
menggantikan permintaan sebesar 1% dari total permintaan serat staple buatan di
luar negeri. Perhitungan dapat dilihat secara rinci pada Lampiran 2.

Kajian Teknologi Proses Produksi Serat Staple untuk Menunjang Produksi
Benang Pintal

Teknologi proses
Teknologi proses produksi yang digunakan dalam pengolahan benang
pintal dari serat daun nenas terbagi menjadi tahapan yaitu pengolahan daun nenas
menjadi serat staple sebagai bahan baku benang dan pengolahan serat staple
menjadi benang pintal serat daun nenas.Pada subbab ini, proses produksi dibuat

10
menjadi dua skenario. Skenario pertama, industri direncanakan mengolah daun
nenas hingga menjadi serat staple. Skenario kedua, industri direncanakan
mengolah serat staple daun nenas menjadi benang pintal. Skenario ini dibuat
dengan memperhatikan kapasitas mesin produksi yang digunakan pada kedua
proses pengolahan produk. Pembagian skenario ini didasari atas perbedaan
kapasitas mesin yang digunakan. Pada pengolahan serat staple, kapasitas mesin
yang digunakan jauh lebih besar dibadingkan kapasitas mesin pemintalan. Oleh
karena itu untuk mencegah terjadinya mesin tidak bekerja secara optimal maka
dibentuk dua skenario produksi. Skenario ini juga bertujuan untuk mengetahui
jumlah pabrik pemintalan benang yang dapat didirikan dari satu pabrik serat staple.
Proses produksi serat staple terdiri dekortikasi, degumming, pencucian,
pengeringan, relaxing, pemotongan, opening dan stripping. Berikut adalah
penjelasan mengenai masing-masing tahapan proses.
Proses dekortikasi
Proses ini bertujuan untuk memisahkan atau mengekstrak serat dari daun
nenas secara mekanik yaitu dengan cara memukul daun nenas. Mesin yang
digunakan pada proses ini adalah mesin dekortikator. Kapasitas mesin sebesar
2000 kg per jam atau 16 000 per hari. Daun nenas yang dimasukkan sebanyak 16
000 kg per hari sehingga diperlukan delapan mesin dekortikator. Pada proses ini
menghasilkan rendemen sebesar 90% dengan limbah 10%. Serat nanas yang akan
dihasilkan sebesar 14 400 kg per hari.
Proses degumming
Proses ini bertujuan untuk menghilangkan gum atau getah dan unsur-unsur
non-fibrous termasuk hemiselulosa, pektin dan lignin yang terdapat pada serat.
Selain itu tujuan lain dari proses ini adalah untuk menguraikan serat satu per satu
sehingga serat menjadi lebih lembut, kuat dan utuh. Komposisi getah tersebut
dalam serat staple daun nanas yaitu sebesar ± 4,25 %, sehingga serat hasil dari
proses degumming mengandung berat 95.75% dari berat awal. Serat daun nenas
yang dimasukkan sebanyak 14 400 kg per hari. Bahan penolong yang
ditambahkan adalah H2O2 dan air dengan vlot 1 : 50 (Asmanto Subagyo 30 Juni
2014, komunikasi pribadi). Penambahan H2O2 sebesar 0,25% dari bahan yang
dimasukkan yaitu 4 L per jam dengan volume air sebanyak 450 L per hari. Proses
pemasakan dilakukan selama 1 jam. Pengadukan dilakukan setiap 15 menit sekali.
Kapasitas tangki degumming sebesar 2 000 kg per jam atau 16 000 kg per hari
sehingga diperlukan satu tangki degumming. Pada proses ini menghasilkan
rendemen sebesar 90%. Serat nanas yang akan dihasilkan sebesar 12 960 kg per
hari.
Proses pencucian
Proses pencucian berfungsi untuk menetralisir serat dari zat-zat kimia pada
proses sebelumnya. Pada proses ini diasumsikan terjadi pengurangan bobot
sebesar 10%. Besar masukan serat daun nenas hasil degumming sebesar 12 960 kg
per hari, maka setelah dilakukan pencucian akan terjadi penghilangan bobot
sebesar 1 296 kg sehingga sisa 11 664 kg yang akan dikeringkan.
Proses pengeringan
Pengeringan berfungsi untuk mengurangi kadar air permukaan. Pada proses

11
ini memanfaatkan tenaga sinar matahari. Akan tetapi pengeringan tidak
dilakukan langsung dibawah sinar matahari melainkan dengan diletakkan pada
suatu ruangan. Dimana ruangan tersebut diatapi dengan seng berwarna hitam
dan kaca bening. Hal ini bertujuan agar panas dapat tersebar merata. Selain itu
dinding ruangan juga terbuat dari seng berwarna hitam. Apabila cuaca matahari
normal, maka pengeringan dilakukan selama + 3 jam. Pada proses ini
diasumsikan terjadi pengurangan bobot sebesar 10%. Besar masukan serat daun
nenas hasil pencucian sebesar 11 664 kg per hari, maka terjadi penghilangan
bobot sebesar 1 166 kg sehingga sisa 10 498 kg per hari yang akan di relaxing.
Proses relaxing
Pada proses ini serat hasil pengeringan bersifat kaku, sehingga harus
dilemaskan agar memudahkan saat proses opening dimana serat akan diuraikan
satu per satu. Bahan untuk melemaskan serat yaitu softener. Mesin yang
digunakan adalah mesin relaxing. Kapasitas mesin relaxing adalah 600 kg per jam
atau 4 800 kg per hari, sehingga diperlukan tiga buah mesin relaxing karena serat
daun nenas yang dimasukkan sebesar 10 498 kg per hari. Bahan penolong yaitu
softener yang digunakan adalah sebesar 0.25% dari bahan yang dimasukkan yaitu
sebesar 328 L per hari. Pada proses ini menghasilkan rendemen sebesar 90%
dengan limbah 10%. Serat yang akan diolah pada proses cutting sebanyak 9 448
kg per hari.
Proses pemotongan
Serat setelah dilakukan proses relaxing akan berukuran sangat panjang.
Oleh karena itu dilakukan pemotongan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan
proses selanjutnya sebagai bahan baku industri manufaktur ataupun industri nonwoven dengan tujuan utama untuk dijadikan bahan campuran. Mesin yang
digunakan adalah mesin cutting. Kapasitas mesin cutting adalah 500 kg/jam atau
setara dengan 4 000 kg/hari. Sehingga banyak mesin yang diperlukan sebesar tiga
mesin. Serat daun nenas yang dimasukkan sebesar 9 448 kg/hari. Pada proses ini
menghasilkan rendemen sebesar 90% dengan limbah 10%. Serat yang akan diolah
pada proses opening sebanyak 8 503 kg per hari.
Proses opening
Proses ini bertujuan untuk membuka gumpalan serat dengan menyisir serat,
sehingga serat lebih terurai satu per satu. Selain untuk membuka serat, proses ini
juga bertujuan untuk menghilangkan kotoran pada serat selama proses. Produk
yang dihasilkan dari proses ini adalah berupa lapless yaitu lembaran serat yang
sudah terbuka dari gumpalan yang siap untuk dijadikan bahan baku proses
selanjutnya. Mesin yang digunakan adalah mesin opening. Kapasitas mesin
opening adalah 450 kg/jam atau setara 3 600 kg per hari. Sehingga diperlukan dua
mesin karena serat daun nenas yang dimasukkan sebesar 8 503 kg/hari. Pada
proses ini menghasilkan rendemen sebesar 90% dengan limbah 10%. Serat yang
akan diolah pada proses stripping sebanyak 7 653 kg per hari.
Proses stripping
Pada dasarnya proses stripping memiliki prinsip kerja yang sama dengan
opening. Hal ini perlu dilakukan agar menghasilkan serat yang lebih terurai halus
daripada serat yang dihasilkan pada proses opening. Mesin yang digunakan adalah

12
mesin stripping. Kapasitas mesin stripping adalah 400 kg per jam atau setara
dengan 3 200 kg per hari sehingga diperlukan tiga mesin karena serat daun nenas
yang dimasukkan sebesar 7 653 kg/hari. Pada proses ini menghasilkan rendemen
sebesar 90% dengan limbah 10%. Serat yang akan dihasilkan sebanyak 6 887 kg
per hari.
Diagram neraca massa proses pengolahan serat staple dapat dilihat pada
Lampiran 3. Basis produksi dilakukan dalam hitungan kg per hari. Kebutuhan
mesin beserta spesifikasinya dapat dilihat pada Lampiran 4. Sedangkan proses
pemintalan benang dari serat staple terdiri dari blowing, carding, drawing, roving,
spinning, dan doubling. Berikut adalah penjelasan masing-masing proses.
Proses Blowing
Proses ini bertujuan untuk mencampur serat, membuka gumpalangumpalan serat, membersihkan kotoran yang menempel pada serat dan membuat
gulungan lapless. Pada proses ini menggunakan mesin blowing. Kapasitas mesin
sebesar 85 kg per jam atau setara dengan 510 kg per hari. Pada proses ini
menghasilkan rendemen sebesar 98% dengan limbah 2%. Serat staple yang
dibutuhkan adalah 160 kg per hari. Serat yang akan dihasilkan adalah sebesar 157
kg per hari yang akan digulung dan masuk ke proses carding.
Proses Carding
Proses carding memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai berikut, membuka
gumpalan-gumpalan serat lebih lanjut, sehingga serat-seratnya terurai satu sama
lain; membersihkan kotoran-kotoran yang masih ada didalam gumpalan-gumpalan
serat; memisahkan serat-serat yang sangat pendek dari serat-serat panjang; dan
membentuk serat-serat tersebut menjadi sliver, dengan arah serat ke sumbu dari
sliver. Sliver adalah serat yang telah dibuka dan memanjang. Pada proses ini
menggunakan mesin carding. Kapasitas mesin sebesar 150 kg per jam atau setara
dengan 1 200 kg per hari. Pada proses ini menghasilkan rendemen sebesar 97%
dengan limbah 3%. Serat staple dalam bentuk lapless sebesar 157 kg per hari,
kemudian menghasilkan serat sliver sebanyak 152 kg per hari. Serat sliver ini
yang akan dimasukkan dalam proses drawing.
Proses Drawing
Secara umum tujuan dari proses drawing adalah sebagai berikut,
meluruskan dan mensejajarkan serat-serat dalam sliver ke arah sumbu dari sliver;
memperbaiki kerataan berat per satuan panjang, campuran atau sifat-sifat-sifat
lainnya dengan jalan perangkapan; dan menyesuaikan berat sliver per satuan
panjang dengan keperluan pada proses berikutnya. Pada proses ini menggunakan
mesin drawing. Pada proses ini menghasilkan rendemen sebesar 98% dengan
limbah 2%. Berdasarkan neraca massa maka sliver yang dimasukkan adalah 152
kg per hari dan akan dihasilkan adalah sebesar 149 kg per hari.
Nomor benang yang biasa dihasilkan dari serat daun nenas adalah
berukuran 20 Ne (Asmanto Subagyo 30 Juni 2014, komunikasi pribadi)
Berdasarkan kapasitas mesin yakni 500 m per menit dan nomor benang 20 Ne,
maka akan menghasilkan benang dengan berat 25 g per menit. Apabila dikonversi
dalam ukuran jam maka sama dengan 2 kg per jam atau setara dengan 16 kg per
hari benang pintal. Oleh karena itu dibutuhkan 10 mesin drawing. Pada proses ini

13
pula yang menjadikan dasar kapasitas produksi, karena memperhitungkan
kapasitas mesin yang jauh lebih kecil dibandingkan pada proses sebelumnya. Hal
ini dilakukan untuk menekan ongkos produksi dari biaya pembelian dan
pemeliharaan alat.
Proses Roving
Pada proses ini, sliver akan mengalami pengecilan diameter, terjadi
pemilinan serat (pemberian antihan) yang terjadi di dalam bobin roving. Bobin
roving adalah tempat pemilinan atau penggulungan benang. Pada proses ini
menggunakan mesin roving. Pada proses ini menghasilkan rendemen sebesar 99%
dengan limbah 1%. Berdasarkan neraca massa maka sliver yang dimasukkan
adalah 149 kg per hari. Sliver yang akan dihasilkan juga sebesar 148 kg per
hari.Berdasarkan kapasitas mesin yakni 180 m per menit dan nomor benang 20 Ne,
maka akan menghasilkan benang dengan berat 9 g per menit. Apabila dikonversi
dalam ukuran jam maka sama dengan 1 kg per jam atau setara dengan 8 kg per
hari benang pintal, sehingga dibutuhkan 19 mesin roving.
Proses Spinning
Proses ini akan mengolah serat sliver menjadi bentuk benang. Pada proses
ini menggunakan mesin spinning. Pada dasarnya mesin spinning ini merupakan
lanjutan dari mesin roving. Pada proses ini menghasilkan rendemen sebesar 98%
dengan limbah 2%. Berdasarkan kapasitas mesin yakni 500 m per menit maka
akan menghasilkan 2 kg per jam atau 16 kg per hari benang pintal. Berdasarkan
neraca massa input sliver sebesar 148 kg, oleh karena itu dibutuhkan 9 mesin
spinning. Proses pada mesin spinning ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu:
 Drafting (peregangan), yaitu proses penarikan serat-serat yang terjadi
antara dua titik jepit rol-rol yang berputar. Tujuan dari peregangan adalah
untuk mendapatkan nomor benang tertentu.
 Twisting (pemberi antihan), hal ini berguna untuk menentukan kekuatan
benang. Pemberian antihan ini disesuaikan dengan jenis nomor benangnya.
 Winding (penggulungan), penggulungan ini dapat terjadi karena putaran
traveler lebih kecil daripada putaran spindle.
Proses Doubling
Proses doubling berfungsi untuk merangkap benang, benang single diubah
menjadi benang double dan gulungannya akan dipindah ke bobin silinder dengan
ukuran yang telah ditentukan. Mesin doubling juga dilengkapi dengan yarn
clearer yang berfungsi agar tidak terjadi penyimpangan dari jumlah benang yang
harus di doubling dan secara otomatis pula berhenti jika benang yang sudah di
rangkap kurang dari dua atau lebih. Kapasitas mesin adalah 500 m per menit.
Input sliver benang sebanyak 18.2 kg per jam atau 145 kg per hari. Pada proses ini
diasumsikan tidak terjadi pengurangan bobot, karena dianggap sebagai proses
penyempurnaan. Pada proses ini juga dibutuhkan mesin sebanyak 9 mesin
doubling. Basis produksi dilakukan dalam hitungan kg per hari dengan nomor
benang serat daun nenas sebesar 20 Ne. Ne merupakan satuan ukuran benang.
Neraca massa telah disesuaikan dengan kapasitas mesin dan ukuran nomor benang.
Diagram neraca massa proses pemintalan benang dapat dilihat pada Lampiran 3.
Kebutuhan dan kapasitas mesin dapat dilihat pada Lampiran 5.

14
Penetapan Kapasitas Produksi
Pendirian industri akan dilakukan dengan dua skenario, skenario pertama
yaitu industri pengolahan serat staple dan skenario kedua yaitu industri
pemintalan benang. Berikut merupakan tabel perencanaan kapasitas produksi dari
masing-masing skenario.
Tabel 5 Kapasitas produksi skenario I dan skenario II
Skenario I
Parameter
Industri serat
staple
Bahan
Daun nenas (kg/hari)
16 000
baku
Serat staple (kg/hari)
Produk
Serat staple (kg/hari)
6 887
Benang pintal (kg/hari)
-

Skenario II
Industri benang
pintal
160
145

Tabel 5 menunjukkan skenario I akan menghasilkan produk berupa serat
staple sebanyak 6 887 kg per hari. Bahan baku utama adalah daun nenas sebanyak
16 000 kg per hari dan bahan baku penolong adalah H2O2 dan softener masingmasing sebanyak 0.25% dari bahan yang dimasukkan. Skenario II akan
menghasilkan benang pintal sebanyak 145 kg per hari dengan bahan baku serat
staple sebanyak 160 kg per hari. Berdasarkan Tabel 5 dapat menyatakan jumlah
pabrik permintalan benang yang dapat didirikan berdasarkan kapasitas produksi
pabrik pengolah serat staple. Jumlah pabrik yang dapat didirikan dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah pabrik yang dapat didirikan berdasarkan kapasitas produksi serat
staple daun nenas dan permintaan serat staple.
Paramater untuk pabrik serat staple
Jumlah pabrik pengolah serat staple
Permintaan serat staple alami untuk
1 pabrik
dalam negeri
Permintaan serat staple alami untuk luar
81 pabrik
negeri
Alternatif pengganti permintaan serat
317 pabrik
staple buatan didunia
Parameter untuk pabrik pemintalan
Jumlah pabrik pemintalan benang serat
serat daun nenas
daun nenas
Kapasitas produksi satu pabrik serat
43 pabrik
staple
Tabel 6 menunjukkan jumlah pabrik pengolah serat staple yang dapat
didirikan untuk memenuhi permintaan serat staple baik di dalam negeri maupun
luar negeri adalah sebanyak 399 pabrik. Kapasitas satu buah pabrikn