Penangkaran Kura-Kura Yang Berkelanjutan Berdasarkan Model Sistem Dinamik.

PENANGKARAN KURA-KURA YANG BERKELANJUTAN
BERDASARKAN MODEL SISTEM DINAMIK

PURWANTONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penangkaran Kura-kura
yang Berkelanjutan berdasarkan Model Sistem Dinamik adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015
Purwantono
NIM E353120015

RINGKASAN
PURWANTONO. Penangkaran Kura-kura yang Berkelanjutan berdasarkan Model
Sistem Dinamik. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan BURHANUDDIN
MASY’UD.

Penangkaran kura-kura merupakan salah satu konservasi ex-situ untuk
memenuhi permintaan konsumen di pasaran baik untuk konsumsi maupun pet.
Prakteknya sudah mulai dijalankan sejak beberapa tahun yang lalu sebagai bentuk
usaha yang menghasilkan keuntungan, namun hingga saat ini belum ada kajian
mengenai keberlanjutan dari usaha tersebut. Empat jenis kura-kura saat ini
diketahui dimanfaatkan dan ditangkarkan di Indonesia yaitu labi-labi cina dan
labi-labi/bulus untuk konsumsi serta kura-kura brazil dan kura-kura rote untuk
hewan peliharaan (pet). Penelitian ini bertujuan: (1) mengidentifikasi aspek-aspek
teknis manajemen penangkaran kura-kura, (2) mendeskripsikan pemanfaatan hasil
dan perijinan dari penangkaran kura-kura, (3) mengidentifikasi keunggulan dan
kelemahan jenis kura-kura di penangkaran terkait aspek bioekologinya,

(4) membuat rancangan dan simulasi model sistem dinamik penangkaran kurakura berkelanjutan, dan (5) mensintesis aspek konservasi manajemen penangkaran
kura-kura yang berkelanjutan menggunakan model sistem dinamik.
Manajemen dari keempat jenis penangkaran bervariasi tergantung pada
tujuan pemeliharaan dan asal kura-kura. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
spesies eksotis seperti kura-kura brazil dan labi-labi cina mudah beradaptasi,
berbiak dan tumbuh dengan cepat dibandingkan jenis asli. Jenis ini juga diminati
konsumen dan dapat dibuat dalam unit skala usaha yang besar (produksi massal),
wewenang perijinan jenis eksotik berada di bawah Kementerian Kelautan dan
Perikanan karena masih dikategorikan jenis ikan yang dibudidayakan. Sebaliknya,
jenis asli merupakan jenis dengan pertumbuhan lambat dan masa dewasa lama.
Oleh karena itu, unit penangkaran jenis asli masih dalam skala kecil, wewenang
perijinannya di bawah Kementerian Kehutanan yang masih ditentukan
berdasarkan kuota. Perbedaan wewenang ini merupakan salah satu masalah dalam
pengembangan penangkaran kura-kura di masa depan.
Berdasarkan simulasi model sistem dinamik yang digunakan menunjukkan
hasil bahwa labi-labi cina semula berjumlah 1 500 ekor pada tahun 1994, menjadi
bertambah dengan pertumbuhan mengikuti kurva sigmoid dan diprediksi
mencapai daya dukung setelah tahun 2015 dengan batas populasinya 190 200
ekor. Labi-labi semula berjumlah 74 ekor akan bertambah hingga mencapai 675
ekor sebagai indukan dewasa dan pemanenannya sudah dapat dilakukan pada

tahun 2019. Kura-kura brazil dengan jumlah indukan sebanyak 52 190 ekor sudah
dianggap memenuhi daya dukung yang tersedia dan dapat menghasilkan anakan
yang siap jual dengan prediksi sebanyak 100 000 ekor per tahun. Kura-kura rote
yang awalnya pada tahun 2002 hanya berjumlah 15 ekor, dapat dipanen
anakannya 60 ekor per tahun.
Upaya penangkaran kura-kura dapat ditingkatkan dengan mempermudah
perijinan, penyediaan induk melalui pemanfaatan hasil sitaan dan penangkapan
terbatas di alam, insentif pengurangan pajak, penerbitan aturan khusus yang
mengijinkan penjualan kura-kura hanya hasil penangkaran dan tidak untuk hasil
tangkapan dari alam.
Kata kunci : berkelanjutan, kura-kura, model, penangkaran

SUMMARY
PURWANTONO. Sustainable Turtles of Captive Breeding based Dinamic
System Model. Supervised by MIRZA DIKARI KUSRINI and BURHANUDDIN
MASY’UD.
Captive turtles are an ex-situ conservation practise to meet consumers
demand for food and pet market. Captive breeding turtle farm as a profit-making
business has been operated in Indonesia for many years, but there has been no
study on the sustainability of the business. Four species of turtles are currently

used and farmed in Indonesia. These species consist of chinese softshell turtle
and common softshell turtle for consumption and brazilian turtle and rote turtle
for pets. This study aims to: (1) identify the technical aspects of breeding
management for turtles, (2) examine the use and licensing turtle captive, (3)
identify the strengths and weaknesses of turtles were bred related ecobiology
aspects, (4) create a design and simulation model of a dynamic system of breeding
turtles, and (5) sintesis the management aspects of conservation breeding turtles
used a dynamic system model.
Managament of the four farms varied depending on the purposes of the
cultivation and the origins of the turtles. The research shows that the exotic
species such as brazilian and chinese softshell turtles are easy to adapt, reproduce
and grow faster than the local species. These species can be bred in a large scale
unit under licence from the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries since it is
categorized as a cultivated fish. On the contrary, local species are mostly slow
growing and reach maturity longer than its counterparts. Hence, breeding
operation for local species is mostly small scale business. The licensing authority
for the local species is under the Ministry of Forestry through a quota system.
The discrapencies of the authorities is one of the challenges that will affect the
development of turtles farm in the future.
Based on the simulation of dynamic system model, the initial number of 1

500 chinese softshell turtle in 1994 can increase along sigmoid curve and is
predicted to reach the carrying capacity in 2015 at the population limit of 190 200
turtles. The initial number of 74 common softshell turtle will grow to adult and at
the time they are ready to harvest in 2019 the number will rise to 675 turtles. The
number of red ear sliders 52 190 in the farm at the time of the research is
considered to reach the carrying capacity of the farm and the number of juveniles
that can be sell as pet is estimated 100 000 turtles per year. Rote snake necked
terrapin was originally bred in 2002 with only 15 turtles as parent stock, however
based on simulation it was be able to produce 60 juveniles per year.
Turtle captive breeding efforts can be enhanced by facilitating the process
of permit, supply of parent stock through the use of confiscated turtles and
limiting capture from nature, giving tax deductions to legal company, publishing
special rules that allow the sale of turtle from captive breeding farm and limiting
wild capture.
Key words : captive breeding, model, sustainable, turtle

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENANGKARAN KURA-KURA YANG BERKELANJUTAN
BERDASARKAN MODEL SISTEM DINAMIK

PURWANTONO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi
pada
Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

ii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc

iii

Judul Tesis : Penangkaran Kura-kura yang Berkelanjutan berdasarkan Model
Sistem Dinamik
Nama
: Purwantono
NIM
: E353120015

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi
Ketua

Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Konservasi Keanekaragaman Hayati

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 9 Januari 2015

Tanggal Lulus:


iv

PRAKATA
Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian dan penyusunan tesis yang
berjudul “Penangkaran Kura-kura yang Berkelanjutan berdasarkan Model Sistem
Dinamik” ini dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan karya ilmiah yang disusun
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program
Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan
penghargaan kepada: (1) Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi dan (2) Dr Ir
Burhanuddin Masy’ud, MS selaku komisi pembimbing yang telah banyak
memberi saran dan arahan, serta (3) Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc atas
kesediaannya selaku Penguji Luar Komisi, masukan dan koreksinya sehingga
menjadikan tesis ini lebih baik.
Selama persiapan, pelaksanaan, dan penulisan karya ilmiah ini penulis
memperoleh bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada: (1) Direktur Konservasi Keanekaragaman

Hayati, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam,
Kementerian Kehutanan, (2) Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam
Sumatera Utara, (3) Ketua APEKLI (Asosiasi Pengusaha Kura-kura dan LabiLabi Konsumsi Indonesia), (4) Mr Li Xiao Ming dari PT. Agrisatwa Alam Nusa
dan PT. Tarum Fajar Pratama, (5) Bapak Deni Gunalen dari PT. Alam Nusantara
Jayatama, dan (6) Bapak Lim Hao Tiong dari UD. Halim Jaya, yang telah
membantu pemberian ijin dan pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah (alm), ibu, serta seluruh keluarga tercinta, atas doa dan
kasih sayangnya selama ini. Tak lupa juga bagi rekan-rekan semua dan para pihak
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015
Purwantono

v

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN UMUM
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
4
4
4

2 MANAJEMEN PENANGKARAN EMPAT JENIS KURA-KURA
PELIHARAAN DAN KONSUMSI

7

Pendahuluan
Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan
3 MODEL SISTEM DINAMIK PENANGKARAN KURA-KURA
BERKELANJUTAN
Pendahuluan
Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan

8
9
10
16
21
22
23
25
29
39
45

4 PEMBAHASAN UMUM

46

5 SIMPULAN DAN SARAN

53

DAFTAR PUSTAKA

54

LAMPIRAN

57

vi

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Sumber dan persyaratan bibit kura-kura setiap jenis di penangkaran
Realisasi ekspor labi-labi dan kura-kura rote tahun 2009 – 2013
Keunggulan dan kelemahan jenis kura-kura di penangkaran
Data perkembangan jenis kura-kura yang ditangkarkan
Karakteristik penangkaran kura-kura asli dan kura-kura eksotik
Asumsi-asumsi untuk membangun model sistem dinamik penangkaran
Aspek konservasi manajemen penangkaran kura-kura yang
berkelanjutan
8 Deskripsi aspek teknis penangkaran kura-kura yang dipersyaratkan

11
13
15
29
30
31
39
50

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Alur pikir penelitian
Realisasi penjualan kura-kura brazil bulan Pebruari – Desember 2013
Proporsi pemenuhan kura-kura brazil di pasaran dalam negeri
Diagram hubungan sebab akibat (causal loop) antara variabel
penyusun model sistem dinamik penangkaran kura-kura
Diagram alir model sistem dinamik penangkaran labi-labi cina
Diagram alir model sistem dinamik penangkaran labi-labi/bulus
Diagram alir model sistem dinamik penangkaran kura-kura brazil
Diagram alir model sistem dinamik penangkaran kura-kura rote
Simulasi model sistem dinamik penangkaran labi-labi cina selama 21
tahun
Simulasi model sistem dinamik penangkaran labi-labi selama 9 tahun
Simulasi model sistem dinamik penangkaran kura-kura brazil selama
50 tahun
Simulasi model sistem dinamik penangkaran kura-kura rote selama
19 tahun

6
13
13
27
32
33
34
34
35
35
36
36

DAFTAR LAMPIRAN
13 Deskripsi aspek-aspek teknis penangkaran keempat jenis kura-kura
14 Data penjualan kura-kura brazil PT. Agrisatwa Alam Nusa Tahun
2013 dalam empat ukuran plastron
15 Realisasi pemasaran kura-kura brazil periode Mei – Desember
2013 dari PT. Agrisatwa Alam Nusa
16 Kurva pertumbuhan populasi labi-labi cina terhadap perubahan daya
tetas telur (di bawah dan di atas kondisi saat ini)
17 Kurva pertumbuhan populasi labi-labi/bulus terhadap perubahan daya
tetas telur (di bawah dan di atas kondisi saat ini)
18 Kurva pertumbuhan populasi kura-kura brazil terhadap perubahan daya
tetas telur (di bawah dan di atas kondisi saat ini)
19 Kurva pertumbuhan populasi kura-kura rote terhadap perubahan daya
tetas telur (di bawah dan di atas kondisi saat ini)

58
61
61
62
63
64
65

1 PENDAHULUAN UMUM
Latar Belakang
Kura-kura merupakan reptil yang sudah lama dimanfaatkan telur dan
dagingnya, serta sebagai hewan peliharaan (Iskandar 2000). Sebanyak 85 spesies
dari 260 spesies kura-kura yang sudah dikenal di dunia, ditemukan di Asia (Ernst
& Barbour 1989; Iverson 1992) dan 39 spesies diantaranya terdapat di Indonesia
(Iskandar 2000). Indonesia memiliki enam famili kura-kura air tawar dan kurakura darat yang terdiri atas famili Testudinidae, famili Bataguridae, famili
Trionychidae, famili Carettochelyidae, famili Emydidae dan famili Chelidae
(Samedi dan Iskandar 2000).
Menurut Goin et al. (1978), kura-kura memberikan keuntungan langsung
bagi manusia, tidak hanya dimakan daging dan telurnya yang berguna sebagai
sumber protein, tetapi juga dijadikan perhiasan dan benda seni. Kura-kura darat
dan kura-kura air tawar dipelihara sebagai hewan kesayangan di kebun, terrarium
atau akuarium (Grzimek 1975). Pemanfaatan kura-kura dari hasil penangkaran
saat ini sebagian besar untuk konsumsi dan hewan peliharaan (pet).
Kura-kura air tawar dan kura-kura darat banyak dimanfaatkan dan
diperdagangkan untuk konsumsi manusia. Compton (2000) mendeskripsikan
bentuk pemanfaatan kura-kura dalam lima kategori yaitu: sebagai makanan
(daging dan telur), obat-obatan tradisional Cina (Traditional Chinese Medicine
atau TCM), satwa peliharaan atau penangkaran herpetofauna, barang kerajinan
dan pelepasan untuk tujuan religius. Berdasarkan TRAFFIC (2012) dalam
panduan identifikasi kura-kura air dan kura-kura darat CITES (The Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), bentuk
perdagangan spesies kura-kura terbagi menjadi tujuh yaitu produk makanan
(daging), barang-barang dari kulit (sepatu, dompet dan ikat pinggang), karapas
(alat musik dan sisir rambut), telur, perhiasan (kalung dan anting), minyak dan
produk lain (obat tradisional, lampu dan spesimen).
Menurut Sinaga (2008), tercatat sudah ada 48 jenis kura-kura yang
diperdagangkan pada empat pasar penjualan di wilayah Jakarta terdiri atas 16
jenis asli (33,33%) dan 32 jenis asing (66,67%). Hal ini berarti dua pertiga jenis
kura-kura yang diperdagangkan di pasaran sudah didominasi jenis asing. Kurakura tersebut sebagian besar dijual untuk hewan peliharaan (pet) yang banyak
diminati masyarakat penggemar dikarenakan kemudahan merawatnya, kesan
eksotisme yang ditimbulkan, mempunyai keunikan (warna, corak atau bentuk
karapas) dan gengsi (prestise) bagi pemiliknya.
Pada tahun-tahun terakhir ini, permintaan akan kura-kura semakin
meningkat, terutama dari daerah Cina, Eropa dan Amerika Serikat, baik sebagai
hewan peliharaan maupun bahan makanan eksotik (Iskandar 2000). Hal ini tentu
dapat menjadi ancaman terhadap kelestariannya di alam, yang ancaman paling
nyata bagi populasi alami kura-kura di Indonesia adalah perburuan untuk
diperdagangkan (Samedi & Iskandar 2000) dan kerusakan habitat (Klemens &
Thorbjarnarson 1994; Samedi & Iskandar 2000; Iskandar & Erdelen 2006).
Perdagangan jenis-jenis ini telah meningkat selama dekade terakhir, utamanya
dengan peningkatan permintaan negara-negara Asia Timur, khususnya ke Cina

2
(Compton 2000; Lau & Shi 2000; Platt et al. 2007) yang dapat menyebabkan
penurunan populasi alami bahkan kepunahan jenis kura-kura Asia (Diesmos et al.
2004; Gavino & Schoppe 2004; Kalyar et al. 2007; Nijman & Shepherd 2007).
Kura-kura yang diperdagangkan di Cina berasal dari negara-negara Asia,
utamanya Vietnam, Bangladesh dan Malaysia (Chiew 2003) serta Indonesia
(Cheung & Dudgeon 2006).
Meningkatnya permintaan terhadap kura-kura untuk konsumsi dan pet
mengakibatkan tekanan populasinya di alam makin bertambah, sehingga
dikhawatirkan dapat mengancam kelestariannya. Oleh karena itu penting untuk
melakukan kegiatan konservasi jenis di luar habitatnya (konservasi ex-situ)
melalui penangkaran yang bertujuan membuat cadangan bagi populasi di alam.
Dengan demikian ketika terjadi kelangkaan dapat dijadikan sumber untuk
restocking melalui pelepasliaran (reintroduksi) terhadap populasi tersebut untuk
menghindarkan dari kepunahan. Selain itu konservasi ex-situ juga penting
dilakukan untuk memenuhi permintaan kura-kura yang diperdagangkan, sehingga
pemanfaatan jenis tersebut dari alam dapat ditekan guna menghindari ancaman
kepunahannya. Pemenuhan permintaan kura-kura jenis asli selama ini berasal dari
hasil tangkapan di alam dengan pola pembesaran (ranching), kecuali kura-kura
jenis eksotik dengan pola pembiakan (captive breeding) yang sudah dapat
dibiakkan menghasilkan individu baru dan memeliharanya sampai dewasa
ataupun ukuran tertentu.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa pemanfaatan
jenis satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk penangkaran (Dephut 1990).
Penangkaran adalah suatu kegiatan untuk mengembangbiakkan jenis satwa liar,
yang bertujuan memperbanyak populasinya dengan tetap mempertahankan
kemurnian genetiknya, sehingga kelestarian dan keberadaan jenis yang
ditangkarkan tersebut dapat dipertahankan di habitat alaminya (Hardjanto et al.
1991).
Menurut Dephutbun (1999b) yang dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dinyatakan bahwa penangkaran adalah upaya
perbanyakan melalui perkembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar
dari alam dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.
Program
penangkaran ini diupayakan berorentasi pada perlindungan dan pemanfaatan
berkelanjutan (Indrawan et al. 2012).
Tujuan penangkaran satwa liar terbagi menjadi dua, yaitu penangkaran
untuk tujuan konservasi dan penangkaran untuk tujuan sosial-ekonomi-budaya.
Penangkaran untuk tujuan konservasi adalah penangkaran yang menunjang usahausaha pelestarian jenis satwa beserta plasma nutfahnya, sedangkan penangkaran
untuk tujuan sosial-ekonomi-budaya adalah penangkaran yang dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia (Masy'ud 2001). Penangkaran satwa liar
berupa kura-kura yang dilakukan oleh masyarakat (pengusaha) merupakan bentuk
usaha untuk menghasilkan keuntungan, di samping sebagai implementasi dari
program pemerintah dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati
(konservasi ex-situ) di Indonesia. Tujuan dari pengelolaan penangkaran kura-kura
secara garis besar adalah untuk menjamin kelangsungan hidup serta
perkembangan populasi kura-kura, sehingga dapat menjamin ketersediaan
sejumlah kura-kura untuk memenuhi kebutuhan/permintaan konsumen di pasaran
baik sebagai konsumsi maupun hewan peliharaan (pet) berdasarkan prinsipprinsip kelestarian.

3
Beberapa jenis kura-kura saat ini sudah ada yang dapat dikembangbiakan
melalui penangkaran, meskipun labi-labi/bulus (Amyda cartilaginea) masih dalam
taraf uji coba dan belum menunjukkan keberhasilan pembiakkan ataupun
pembesarannya. Namun demikian upaya penangkaran kura-kura untuk menambah
dan menjaga kelestarian populasinya sudah dilakukan dalam rangka memenuhi
permintaan konsumen dan mengurangi ketergantungan tangkapan dari alam.
Jenis kura-kura yang sudah dapat dikembangbiakan melalui penangkaran di
Indonesia antara lain: kura-kura brazil/kura-kura telinga merah (Trachemys
scripta elegans), labi-labi cina (Pelodiscus sinensis), dan kura-kura rote
(Chelodina mccordi). Meskipun jenis kura-kura brazil dan labi-labi cina termasuk
jenis eksotik hasil introduksi dari luar, namun pada kenyataannya saat ini jenis
tersebut ada dan diusahakan di Indonesia melalui penangkaran/budidaya.
Penangkaran kura-kura yang berkelanjutan merupakan salah satu bentuk
upaya untuk menambah populasi kura-kura secara terus menerus dan
berkesinambungan dalam rangka memenuhi permintaan konsumen di pasaran
dengan tetap menjaga kelestariannya di alam. Upaya tersebut dapat diwujudkan
dengan memperhatikan beberapa aspek teknis manajemen penangkaran kura-kura,
pemanfaatan hasil dan perijinan, aspek bioekologi kura-kura terkait keunggulan
dan kelemahan setiap jenis di penangkaran, karakteristik penangkaran, rancangan
dan simulasi model sistem dinamik penangkaran, serta aspek konservasinya yang
dikaji berdasarkan hasil observasi lapang dan wawancara di lokasi penangkaran.
Pengelolaan usaha penangkaran kura-kura tidaklah semudah yang
dibayangkan. Mengingat keempat jenis kura-kura tersebut berbeda, maka
diasumsikan terdapat perbedaan karakteristik penangkarannya. Jenis kura-kura
yang berbeda, kemungkinan akan mendapat perlakuan berbeda, seperti pemberian
pakan, penyediaan tempat/kandang, pemeliharaan, dan lain-lain. Selama ini,
informasi mengenai perbedaan itu belum diketahui secara pasti. Perbedaan jenis
kura-kura yang ditangkarkan akan mempunyai tujuan penangkaran yang berbeda
(untuk konsumsi atau hewan peliharaan/pet). Demikian juga dengan unit usaha
penangkarannya tentu akan berbeda karena masing-masing memiliki kiat, dasar,
pengetahuan dan pengalaman yang berbeda-beda. Aspek teknis manajemen
penangkaran, pemanfaatan hasil dan perijinan, aspek bioekologi, dan karakteristik
setiap jenis perlu diidentifikasi agar dapat diketahui sejauh mana praktek
penangkaran kura-kura telah dijalankan. Model sistem dinamik dirancang dan
disimulasikan untuk mengetahui gambaran perkembangan populasi kura-kura di
penangkaran. Dukungan terhadap kelestarian populasi kura-kura di alam perlu
dilakukan dengan memperhatikan aspek konservasinya guna mengetahui sejauh
mana penangkaran kura-kura yang berkelanjutan itu mampu memenuhi
permintaan konsumen di pasaran agar dapat menekan pemanfaatannya dari alam
dan mendukung upaya pelestarian jenis.
Oleh karena itu, penelitian ini menitikberatkan pada aspek teknis manajemen
penangkaran, pemanfaatan dan perijinan, aspek bioekologi masing-masing jenis,
karakteristik penangkaran, model sistem dinamik penangkaran, dan aspek
konservasi manajemen penangkaran yang berkelanjutan. Aspek-aspek teknis
yang diamati meliputi: pengadaan bibit, adaptasi dan aklimatisasi, perkandangan,
pakan dan air, penyakit dan perawatan kesehatan, reproduksi dan teknik penetasan
telur, pemanenan, dan penunjang lainnya.
Pemanfaatan hasil dan perijinan
berdasarkan realisasi penjualan kura-kura sebagai gambaran prospek permintaan

4
di pasaran. Aspek bioekologi diidentifikasi karena berimplikasi pada keunggulan
dan kelemahan masing-masing jenis kura-kura yang ditangkarkan. Karakteristik
penangkaran kura-kura diidentifikasi berdasarkan kondisi aktual di lokasi yang
mencirikan suatu penangkaran. Model sistem dinamik penangkaran kura-kura
dirancang dan disimulasikan dengan software, sedangkan aspek konservasi
disintesis berkaitan dengan penerapan kaidah-kaidah konservasi di penangkaran
dalam rangka menunjang konservasi jenis.
Berdasarkan kondisi aktual yang dianalisis, selanjutnya dapat disintesis
aspek konservasi manajemen penangkaran kura-kura yang berkelanjutan sebagai
kondisi ideal dengan menitikberatkan pada manajemen populasi yang harus
dijalankan, persyaratan teknis pendukung yang perlu dipertimbangkan dan
regulasi yang harus ditetapkan guna mendukung tercapainya tujuan usaha
penangkaran. Alur pikir penelitian ini disajikan sebagaimana Gambar 1.
Rumusan masalah yang mendasari dilakukannya penelitian ini adalah minimnya
informasi mengenai penangkaran kura-kura yang sudah dijalankan dan dapat
dikembangbiakan di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
terhadap usaha penangkaran keempat jenis kura-kura tersebut untuk mendapatkan
gambaran dan pengetahuan mengenai penangkaran kura-kura di Indonesia.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi aspek-aspek teknis manajemen penangkaran kura-kura.
2. Mendeskripsikan pemanfaatan hasil dan perijinan dari penangkaran kura-kura.
3. Mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan jenis kura-kura asli dan eksotik
di penangkaran terkait aspek bioekologinya.
4. Membuat rancangan dan simulasi model sistem dinamik penangkaran kurakura berkelanjutan.
5. Mensintesis aspek konservasi manajemen penangkaran kura-kura yang
berkelanjutan menggunakan model sistem dinamik.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan manfaat dalam:
(1) menyediakan informasi teknis mengenai penangkaran kura-kura bagi para
pihak, terutama masyarakat yang berminat di bidang penangkaran kura-kura,
(2) memberikan gambaran dan pengetahuan para stakeholders mengenai
penangkaran kura-kura yang sudah berjalan dan dapat dikembangbiakan di
Indonesia, dan (3) memberikan masukan bagi pemerintah yang berwenang dalam
upaya membangun penangkaran kura-kura yang berkelanjutan.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini membatasi obyek, lokasi dan hasil penelitian.
Adapun obyek penelitian yang digunakan berupa kura-kura sebanyak empat jenis
yaitu labi-labi cina (Pelodiscus sinensis), labi-labi/bulus (Amyda cartilaginea),

5
kura-kura brazil (Trachemys scripta elegans), dan kura-kura rote (Chelodina
mccordi). Keempat jenis tersebut dikelompokan menjadi jenis asli (labilabi/bulus, kura-kura rote), jenis eksotik (labi-labi cina, kura-kura brazil), jenis
untuk konsumsi (labi-labi/bulus, labi-labi cina), dan jenis untuk hewan
peliharaan/pet (kura-kura brazil, kura-kura rote). , kura-kura rote). Penelitian
kura-kura ini dilaksanakan di empat lokasi penangkaran, yaitu: penangkaran labilabi cina PT. Tarum Fajar Pratama di Desa Cimahi, Kecamatan Klari, Kabupaten
Karawang; penangkaran labi-labi UD. Halim Jaya di Desa Cinta Damai,
Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang; penangkaran kura-kura brazil PT.
Agrisatwa Alam Nusa di Desa Sukasari, Kecamatan Purwasari, Kabupaten
Karawang; dan kura-kura rote PT. Alam Nusantara Jayatama di Kelurahan
Jatiraden, Kecamatan Jatisampurna dan Kelurahan Jatiranggon, Kecamatan
Cibubur, Kabupaten Bekasi, dengan observasi dan pengumpulan datanya
berlangsung pada bulan Desember 2013 – Pebruari 2014.
Hasil penelitian ini disajikan dalam dua sub judul, yaitu:
1. Manajemen penangkaran empat jenis kura-kura peliharaan dan konsumsi;
bertujuan mengidentifikasi aspek-aspek teknis manajemen penangkaran kurakura, mendeskripsikan pemanfaatan hasil dan perijinan dari penangkaran kurakura, dan mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan penangkaran jenis kurakura asli dan eksotik di penangkaran terkait aspek bioekologinya.
2. Model sistem dinamik penangkaran kura-kura berkelanjutan; bertujuan
membuat rancangan dan simulasi model sistem dinamik penangkaran kurakura berkelanjutan, dan mensintesis aspek konservasi manajemen penangkaran
kura-kura yang berkelanjutan menggunakan model sistem dinamik.

6

PENANGKARAN KURA-KURA

untuk pet

untuk konsumsi

Kura-kura rote

Labi-labi/bulus

Labi-labi cina

Kura-kura brazil

jenis asli
jenis eksotik
ASPEK-ASPEK TEKNIS MANAJEMEN:

Keunggulan &
kelemahan terkait
aspek bioekologi

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Pengadaan bibit
Adaptasi & aklimatisasi
Perkandangan
Pakan & air
Penyakit & perawatan kesehatan
Reproduksi & teknik penetasan telur
Pemeliharaan
Pemanenan
Penunjang lainnya
Pemanfaatan hasil & perijinan
KARAKTERISTIK
PENANGKARAN

K
Keunggulan & O
kelemahan terkait N
aspek bioekologi D
I
S
I

A
N
A
L
I
S
A
I
K
S
T
U
A
L

MODEL SISTEM DINAMIK
PENANGKARAN KURA-KURA

ASPEK KONSERVASI MANAJEMEN
PENANGKARAN

PENANGKARAN KURA-KURA
YANG BERKELANJUTAN

Manajemen
populasi

Persyaratan teknis
pendukung

Regulasi

Gambar 1 Alur pikir penelitian

K
OI
ND
DE
I A
S L
I

S
I
N
T
E
S
I
S

7

2 MANAJEMEN PENANGKARAN EMPAT JENIS KURAKURA PELIHARAAN DAN KONSUMSI
ABSTRACT
Four species of turtles are currently used and farmed in Indonesia. These
species consist of chinese softshell turtle (Pelodiscus sinensis) and common
softshell turtle (Amyda cartlaginea) for consumption and brazilian turtle
(Trachemys scripta elegans) and rote turtle (Chelodina mccordi) for pets. This
study aims to: (1) identify the technical aspects of breeding management for
turtles, (2) examine the use and licensing turtle captive, and 3) identify the
strengths and weaknesses of turtles were bred related ecobiology aspects.
Managament of the four farms varied depending on the purposes of the
cultivation and the origins of the turtles. The research shows that the exotic
species such as brazilian and chinese softshell turtles are easy to adapt, reproduce
and grow faster than the local species. These species can be bred in a large scale
unit under licence from the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries since it is
categorized as a cultivated fish. On the contrary, local species are mostly slow
growing and reach maturity longer than its counterparts. Hence, breeding
operation for local species is mostly small scale business. The licensing authority
for the local species is under the Ministry of Forestry through a quota system. The
discrapencies of the authorities is one of the challenges that will affect the
development of turtles farm in the future.
Keywords: captive breeding, consumption, pet, turtle

ABSTRAK
Empat jenis kura-kura saat ini dimanfaatkan dan ditangkarkan di Indonesia.
Jenisnya yaitu labi-labi cina (Pelodiscus sinensis) dan labi-labi (Amyda
cartlaginea) untuk konsumsi serta kura-kura brazil (Trachemys scripta elegans)
dan kura-kura rote (Chelodina mccordi) untuk hewan peliharaan (pet). Penelitian
ini bertujuan: (1) mengidentifikasi aspek-aspek teknis manajemen penangkaran
kura-kura, (2) mendeskripsikan pemanfaatan hasil dan perijinan dari penangkaran
kura-kura, dan (3) mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan jenis kura-kura di
penangkaran terkait aspek bioekologinya.
Manajemen dari keempat jenis penangkaran bervariasi tergantung pada
tujuan pemeliharaan dan asal kura-kura. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
spesies eksotis seperti kura-kura brazil dan labi-labi cina mudah beradaptasi,
berbiak dan tumbuh dengan cepat dibandingkan jenis asli. Jenis ini juga diminati
konsumen dan dapat dibuat dalam unit skala usaha yang besar (produksi massal),
wewenang perijinan jenis eksotik berada di bawah Kementerian Kelautan dan
Perikanan karena masih dikategorikan jenis ikan yang dibudidayakan. Sebaliknya,
jenis asli merupakan jenis dengan pertumbuhan lambat dan masa dewasa lama.
Oleh karena itu, unit penangkaran jenis asli masih dalam skala kecil, wewenang
perijinannya di bawah Kementerian Kehutanan yang masih ditentukan

8
berdasarkan kuota. Perbedaan wewenang ini merupakan salah satu masalah dalam
pengembangan penangkaran kura-kura di masa depan.
Kata kunci : konsumsi, kura-kura, peliharaan, penangkaran

Pendahuluan
Pemanfaatan kura-kura yang telah dilakukan manusia seringkali dalam
jumlah besar sehingga dikhawatirkan dapat menyebabkan kepunahan spesies.
Kura-kura telah lama dimanfaatkan di Asia Timur dan Tenggara untuk makanan,
obat-obatan, dan hewan peliharaan, dan China adalah negara konsumen terbesar
di dunia (Gibbons et al. 2000; Van Dijk et al. 2000; Moll & Moll 2004). Volume
perdagangan tahunan dari kura-kura hidup di Asia telah melampaui 13 000 ton,
dan proporsi yang tinggi dari mereka diyakini dikumpulkan dari alam (Van Dijk
et al. 2000). Permintaan yang berkembang di pasar menyusul pertumbuhan
ekonomi yang cepat, maka berdampak lebih setengah dari jumlah spesies kurakura air tawar dan kura-kura darat dari Asia Tenggara dan Asia Timur telah sangat
terancam oleh eksploitasi berlebihan untuk makanan dan obat-obatan tradisional
(Jenkins 1995; Klemens & Thorbjarnarson 1994; Van Dijk et al. 2000).
Jenis kura-kura di Indonesia yang diketahui untuk konsumsi menurut
Kemenhut (2014) berdasarkan penetapan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor SK.13/IV-KKH/2014 tentang
Kuota pengambilan tumbuhan alam dan penangkapan satwa liar periode tahun
2014 terdiri dari empat spesies yaitu labi-labi (Amyda cartilaginea), kura ambon
(Cuora amboinensis), labi-labi hutan (Dogania subplana) dan kura-kura bergerigi
(Cyclemys dentata). Spesies yang dijual sebagai peliharaan terdiri atas dua
spesies yaitu labi-labi (Amyda cartilaginea), kura-kura leher ular rote (Chelodina
mccordi). Selain dijual untuk keperluan ekspor, kura-kura ini juga dijual di pasar
dalam negeri seperti di Jakarta untuk makanan maupun peliharaan (Sinaga 2008).
Selain itu Sinaga (2008) juga mencatat keberadaan kura-kura impor di pasar
tersebut.
Penangkaran merupakan salah satu pemanfaatan yang dibenarkan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 (Dephutbun 1999a).
Seiring dengan tingginya pemanfaatan kura-kura sebagai makanan dan hewan
peliharaan (pet), penangkaran merupakan salah satu cara agar pemanfaatan kurakura dari alam berkurang. Informasi dan pengetahuan tentang penangkaran kurakura di Indonesia masih terbatas, sehingga perlu dilakukan penelitian pada
perusahaan penangkaran yang sudah mampu mengembangbiakkan dan
memelihara kura-kura hingga menjual hasilnya.
Kura-kura untuk konsumsi yang dikaji dalam penelitian ini adalah labi-labi
cina (Pelodiscus sinensis) dan labi-labi (Amyda cartilaginea), kedua jenis tersebut
merupakan jenis yang paling laku dan banyak diminati untuk konsumsi baik di
dalam maupun luar negeri. Labi-labi cina adalah jenis yang sudah ditangkarkan
secara besar-besaran (Ades et al. 2000; Lau et al. 2000; Lau & Shi 2000; Nijman
& Shepherd 2007) di beberapa Negara Asia seperti Cina (Lau & Shi 2000; Lau et
al. 2000), Vietnam (Hendrie 2004), Thailand (Lau et al. 2000), Taiwan (Chen et

9
al. 2000). Labi-labi merupakan jenis yang penyebarannya di Asia Tenggara
termasuk di Indonesia.
Kura-kura untuk peliharaan yang dikaji dalam penelitian ini adalah kurakura brazil (Trachemys scripta elegans) dan kura-kura rote (Chelodina mccordi).
Menurut Iskandar (2000), kura-kura brazil adalah hewan introduksi dari Amerika
Tengah atau Amerika Selatan. Jenis ini mudah sekali dikenal dari tepi kepalanya
di belakang matanya ada sebuah bercak besar yang berwarna merah, dan lehernya
dihiasi dengan garis-garis hijau tua. Kura-kura rote merupakan jenis yang
sebenarnya sudah lama diketahui dari Pulau Rote, namun sebelumnya dianggap
sejenis dengan kura-kura papua sampai dikukuhkan sebagai jenis tersendiri pada
tahun 1994 (Iskandar 2000). Kura-kura ini belum dilindungi, namun populasinya
di alam dianggap punah sehingga kuota tangkap dari alam tidak pernah diberikan
sejak tahun 2009. Status dalam IUCN adalah rawan, dan dalam CITES termasuk
Appendiks II.
Penelitian yang mengkaji aspek teknis manajemen penangkaran kura-kura
baik untuk konsumsi maupun hewan peliharaan (pet) di Indonesia hingga saat ini
belum ada. Demikian pula mengenai seberapa besar pemanfaatan kura-kura yang
dihasilkan dari penangkaran dan perijinannya, serta keunggulan dan kelemahan
masing-masing jenis dalam rangka pengelolaan penangkaran lebih lanjut. Oleh
karena itu penelitian ini bertujuan: (1) mengidentifikasi aspek-aspek teknis
manajemen penangkaran kura-kura, (2) mendeskripsikan pemanfaatan hasil dan
perijinan dari penangkaran kura-kura, dan (3) mengidentifikasi keunggulan dan
kelemahan jenis kura-kura asli dan eksotik di penangkaran terkait aspek
bioekologinya.

Metode
Kunjungan ke lokasi penelitian dilakukan untuk memperoleh berbagai data
terkait dengan aspek-aspek teknis manajemen penangkaran sebagai faktor yang
penting untuk menjamin keberlangsungan usaha penangkaran. Pada saat
kunjungan dilakukan pencatatan berdasarkan pengamatan langsung dan
wawancara baik kepada pengelola maupun pekerja di lokasi. Aspek-aspek teknis
manajemen penangkaran yang diamati dan dicatat adalah:
- Pengadaan bibit; asal bibit untuk indukan di penangkaran dari alam atau
sumber-sumber lain yang sah (hasil penangkaran).
- Adaptasi dan aklimatisasi; perlakuan untuk membiasakan diri satwa
menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang baru dan mencegah masuknya
penyakit dari luar melalui satwa tersebut.
- Perkandangan; merupakan tempat hidup buatan berupa kolam air sebagai
pengganti habitat aslinya di alam, meliputi: sistem perkandangan, ukuran
kandang, pengayaan lingkungan kandang, bahan bangunan kandang, dan
perawatan kandang.
- Pakan dan air; meliputi: waktu pemberian pakan, teknik pemberian pakan,
jenis pakan, jumlah pakan yang diberikan dan bagian pakan yang dikonsumsi.
Air dalam hal ini diperlukan untuk mengisi kolam-kolam pemeliharaan kurakura sebagai habitat buatannya.

10
-

Penyakit dan perawatan kesehatan; meliputi: jenis penyakit yang pernah,
sedang dan sering dialami, cara pencegahan dan pengobatan penyakit serta
perawatannya.
- Perkembangbiakan/reproduksi dan teknik penetasan telur; meliputi: penentuan
sex ratio, jumlah indukan, perlakuan terhadap telur dan tukik/anakan yang
baru menetas.
- Pemeliharaan; meliputi: rutinitas perlakuan yang diberikan dalam mengelola
penangkaran.
- Pemanenan; produk kura-kura yang siap panen dengan kualifikasi sesuai
permintaan pasar, meliputi: pemanenan, kuota dan bentuk pemanfaatan.
- Penunjang lainnya; sebagai pelengkap untuk menunjang aspek teknis
penangkaran, seperti: diversifikasi jenis kura-kura lain yang dipelihara,
vegetasi, ketenagakerjaan, sarana dan prasarana perlengkapan pendukung.
Pengukuran berat tubuh dan panjang tubuh (lebar lengkung karapas/LLK
dan panjang lengkung karapas/PLK) dilakukan pada beberapa kura-kura yang ada
di penangkaran sebagai sampel dan jumlah telur serta tukik yang ada berikut datadata lainnya yang terkait sebagai pelengkap. Wawancara dengan pengelola
penangkaran yang dilakukan berkenaan dengan hal-hal mengenai sejarah, tujuan,
manfaat, kondisi umum penangkaran, dan kendala/hambatan yang dihadapi, serta
aspek-aspek lainnya yang berkaitan.
Data dan informasi yang berkaitan dengan aspek-aspek teknis manajemen
penangkaran dianalisis dan disajikan secara deskriptif untuk mendapatkan
gambaran dan penjelasan teknis manajemen penangkaran kura-kura. Semua data
yang terkumpul diolah dalam bentuk tabel, grafik ataupun kurva untuk
memperjelas dan memudahkan pemahaman mengenai hasil analisis yang
dilakukan.

Hasil
Aspek-aspek Teknis Manajemen Penangkaran
Penangkaran labi-labi cina dibangun tahun 1994 di atas tanah seluas 8
hektar. Kompleks penangkaran ini memiliki kolam pendederan dan kolam
pembesaran bagi anakan/tukik sampai berusia 6 bulan sebanyak 4 unit, sedangkan
yang dewasa dipelihara tersebar di 17 unit kolam (40 m x 30 m) di blok A. Tahun
1997 dibangun sebanyak 25 unit kolam tambahan (40 m x 25 m) di blok B dan 18
unit (40 m x 25 m) di blok C, sehingga kolam keseluruhan berjumlah 60 unit.
Jumlah indukan awal di penangkaran sebanyak 1 500 ekor yang diimpor dari
Cina.
Penangkaran labi-labi/bulus dibangun tahun 2010 di atas tanah seluas + 2
hektar sebagai lokasi untuk menampung labi-labi hasil tangkapan dari alam
sebelum diekspor ke luar negeri. Jumlah kolam untuk individu dewasa yang ada
hanya 1 unit (45 m x 30 m) sementara kolam pendederannya berjumlah 12 buah
(1.9 m x 1.3 m). Beberapa induk betina labi-labi/bulus yang ditampung dan
dipelihara ini ada yang bertelur, selanjutnya telur-telur tersebut dikumpulkan dan
ditetaskan di ruang inkubator hingga menetas menjadi tukik yang dipelihara
hingga dewasa untuk dijual ataupun indukan sebagai uji coba penangkaran labilabi/bulus.

11
Penangkaran kura-kura brazil dibangun tahun 2010 di atas tanah seluas 3,6
hektar terdiri dari 4 unit kolam pemeliharaan induk dan 8 unit kolam
pemeliharaan anakan dengan berbagai ukuran. Sumber bibit/indukan kura-kura
brazil awalnya diimpor dari negara Cina yang dapat bereproduksi menghasilkan
telur. Data jumlah indukan kura-kura brazil yang tercatat pada saat penelitian
berlangsung sebanyak 52 190 ekor (40 569 ekor betina dan 11 621 ekor jantan)
tersebar di 4 unit kolam.
Kura-kura rote dewasa yang digunakan sebagai sumber bibit/indukan
pertama kali di penangkaran PT. Alam Nusantara Jayatama berasal dari alam yang
merupakan hasil tangkapan masyarakat pada beberapa lokasi di Pulau Rote,
kemudian dijual ke PT. Alam Nusantara Jayatama. Awalnya pada tahun 2002
kura-kura rote yang ditangkarkan hanya berjumlah 15 ekor (10 ekor betina dan 5
ekor jantan). Setelah setahun di penangkaran, kura-kura ini mulai bertelur dan
berhasil ditetaskan menjadi individu baru pada tahun 2003.
Perbedaan masing-masing jenis penangkaran terletak pada skala unit usaha
yang dijalankan masing-masing perusahaan. Bila ditinjau dari luasan tempat dan
banyaknya kura-kura yang diusahakan, penangkaran labi-labi cina dan kura-kura
brazil termasuk dalam skala unit usaha yang besar (> 50 000 ekor), sedangkan
penangkaran labi-labi/bulus dan kura-kura rote dalam skala unit usaha yang kecil
(< 100 ekor). Menurut asalnya, kura-kura dalam penangkaran dibedakan jenis asli
dari alam Indonesia dan eksotik hasil introduksi dari luar.
Pada awal dibangunnya penangkaran, bibit labi-labi cina dan kura-kura
brazil merupakan hasil introduksi dari luar yang pengadaannya melalui impor.
Bibit labi-labi/bulus dan kura-kura rote berasal dari alam diperoleh melalui suplier
di daerah asal bibit yang membeli hasil tangkapan masyarakat setempat sesuai
jumlah kuota tangkap khusus jenis labi-labi.
Namun demikian, dalam
perkembangannya hanya penangkaran labi-labi cina dan kura-kura rote yang dapat
menghasilkan indukan sebagai sumber bibit untuk regenerasi dengan bertelur.
Hal ini sebenarnya memberikan peluang sebagai sumber bibit bagi penangkaran di
lokasi lain. Sumber dan persyaratan bibit pada awal dibangunnya penangkaran
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Sumber dan persyaratan bibit kura-kura setiap jenis di penangkaran
Jenis kura-kura
Sumber bibit awal
Persyaratan bibit
Labi-labi cina
Impor hasil penangkaran
Sehat, normal, bobot
dari Cina tahun 1994
 1.5 kg
Labi-labi/bulus
Tangkapan dari alam
Sehat, normal, bebas
tahun 2010
dari mata pancing,
bobot 5 – 15 kg
Kura-kura brazil
Impor hasil penangkaran
Sehat, normal, bobot
dari Cina tahun 2010
 1.5 kg
Kura-kura rote
Tangkapan dari alam
Sehat, normal, PLK
tahun 2002
berukuran 20 – 25 cm.
Sumber: hasil observasi di lokasi penelitian

Fasilitas karantina telah ada pada setiap lokasi penangkaran, namun belum
sepenuhnya digunakan secara maksimal. Sistem perkandangannya dibuat dengan
membedakan anakan dan dewasa. Anakan yang baru menetas diadaptasikan
terlebih dahulu sampai kuning telur di pusarnya hilang sebelum dimasukkan ke

12
kolam pemeliharaan/pembesaran dari individu muda sampai dewasa untuk
dipanen ataupun sebagai indukan untuk regenerasi. Perawatan kandang telah
dilakukan dengan cara membersihkan kolam dan menambah air bila sudah
nampak berkurang. Pemberian pakan sehari satu kali untuk anakan kura-kura,
kecuali kura-kura rote. Kura-kura rote dan labi-labi dewasa diberikan pakan
sehari sekali, sedangkan kura-kura brazil dan labi-labi cina sehari dua kali dengan
jenis pakan yang beragam. Deskripsi aspek-aspek teknis manajemen penangkaran
yang telah dijalankan pada masing-masing jenis kura-kura selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Pemanfaatan Hasil dan Perijinan
Pemanfaatan hasil dari penangkaran dilakukan dengan cara memanen kurakura sesuai tujuannya yaitu untuk konsumsi dan pet. Kura-kura untuk konsumsi
dipanen pada usia dewasa setelah dipelihara hingga mencapai berat (kg atau ons)
sesuai permintaan konsumen, sedangkan kura-kura untu pet dipanen pada usia
masih anakan setelah dipelihara hingga mencapai ukuran (cm) sesuai permintaan
konsumen. berdasarbaru dilakukan terhadap tiga jenis kura-kura yaitu labi-labi
cina, kura-kura brazil dan kura-kura rote. Penangkaran labi-labi cina menjual
hasil produknya berupa telur dan labi-labi dewasa untuk dikonsumsi melalui
ekspor ke luar negeri, antara lain ke Korea dan Hongkong. Hasil pengukuran dari
labi-labi cina sebagai sampel yang diekspor ke Hongkong menunjukkan berat
rata-rata yang dipanen adalah 1 496.6 gram (n = 30, std = 281.5) dengan panjang
PLK dan LLK rata-rata adalah 23.1 + 0.6 dan 17.2 + 0.5. Berdasarkan wawancara
untuk ekspor ke Korea ada tiga macam ukuran dengan umur kurang lebih 1 tahun
yaitu 800 – 1 000 g, 1 000 – 1 500 g dan lebih 1 500 g, dengan rata-rata ekspor
sebanyak 500 kg atau sekitar 300 – 500 ekor per minggu.
Penangkaran kura-kura brazil dilakukan dengan memelihara indukan di
kolam-kolam pemeliharaan agar dapat menghasilkan anakan yang bertujuan untuk
memenuhi permintaan konsumen sebagai hewan peliharaan (pet). Pemasarannya
berdasarkan pesanan dengan wilayah distribusi ke kota-kota besar Pulau Jawa,
seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya. Selanjutnya didistribusikan ke
kota-kota kecil di Pulau Jawa dan kota lainnya di luar Pulau Jawa. Kura-kura
brazil ini banyak diminati oleh konsumen domestik karena harganya yang relatif
murah dan mudah pemeliharaannya, serta menarik pada saat masih anakan.
Namun setelah dewasa tidak jarang pula yang melepasnya ke alam karena sudah
tidak menarik lagi. Oleh karena itu dari empat kategori ukuran plastron anakan
kura-kura brazil (3 – 4.5 cm, 5 – 5.5 cm, 6 cm, dan 7 – 8 cm), yang paling banyak
terjual dan diminati konsumen adalah anakan kura-kura brazil dengan ukuran
plastron 3 – 4.5 cm. Data realisasi penjualan kura-kura brazil dalam empat ukuran
periode bulan Pebruari – Desember 2013 disajikan pada Gambar 2.

13

Sumber: Rekapitulasi data penjualan kura-kura brazil PT. Agrisatwa Alam Nusa,
Desember 2013 (Data pada Lampiran 2)

Gambar 2 Realisasi penjualan kura-kura brazil bulan Pebruari – Desember
2013
Penjualan kura-kura brazil tergantung permintaan dan ketersediaan yang ada
di penangkaran. Satwa ini tidak termasuk dalam catatan CITES tetapi tergolong
hewan budidaya yang dikategorikan sebagai ikan, sehingga pemanfaatan dan
penjualannya tidak ditentukan beradasarkan kuota. Apabila dari penangkaran
sendiri tidak mencukupi permintaan konsumen, maka kura-kura brazil dapat
dipenuhi dari impor langsung dan membeli dari importir lain dengan proporsi
sumber pemenuhan disajikan pada Gambar 3. Hal ini menunjukkan bahwa
penangkaran kura-kura brazil yang ada masih berkontribusi relatif kecil yaitu
sebesar 6% dalam memenuhi kebutuhan di pasaran, sehingga perlu diupayakan
strategi untuk meningkatkan produksinya yang lebih besar.

Sumber: Data realisasi pemasaran kura-kura brazil periode Mei – Desember 2013 dari
PT. Agrisatwa Alam Nusa (Data pada Lampiran 3)

Gambar 3 Proporsi sumber pemenuhan kura-kura brazil di pasaran dalam negeri
Penangkaran labi-labi menjual daging melalui ekspor yang diperoleh dari
hasil tangkapan di alam dan hingga saat ini belum pernah menjual produk dari
hasil pembesaran sendiri di penangkaran. Kura-kura rote menjual produknya
berupa anakan untuk hewan peliharaan yang diekspor ke Jepang, Korea, Taiwan,
dan Amerika Serikat dengan menetapkan ukuran PLK minimal sekitar 4 inchi atau
+ 10 cm. Selain menghasilkan anakan yang dijual, berdasarkan keterangan dari
pengelola saat ini sudah ada anakan yang dijadikan indukan dari semula
berjumlah 15 ekor pada tahun 2002 menjadi 30 ekor pada tahun 2013. Realisasi

14
ekspor labi-labi UD. Halim Jaya dan kura-kura rote PT. Alam Nusantara Jayatama
selama lima tahun disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Realisasi ekspor labi-labi/bulus dan kura-kura rote tahun 2009 - 2013
Realisasi ekspor (ekor)
Tahun
Labi-labi/bulus
Kura-kura rote
2009
2 707
62
2010
2 722
30
2011
2 976
24
2012
3 150
5
2013
3 250
14
Sumber: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam 2014

Perijinan penangkaran kura-kura jenis eksotik hasil introduksi (labi-labi cina
dan kura-kura brazil) pada kenyataannya berbeda dengan kura-kura jenis asli
(labi-labi/bulus dan kura-kura rote). Kura-kura jenis eksotik hasil introduksi yang
masih dikategorikan jenis budidaya ikan wewenang perijinananya di bawah
Kementerian Kelautan dan Perikanan, sedangkan kura-kura jenis asli yang
dikategorikan jenis satwa liar wewenang perijinannya di bawah Kementerian
Kehutanan berdasarkan penetapan kuota tangkap. Perbedaan ini mengandung
konsekuensi terhadap sudut pandang kedua jenis kura-kura tersebut yaitu sebagai
hewan budidaya dan satwa liar. Hewan budidaya tanpa ada pembatasan jumlah
sehingga dapat dibudidayakan dalam skala usaha yang besar karena mudah
dipelihara dan dikembangbiakan dalam waktu relatif tidak terlalu lama (< 2
tahun), sedangkan satwa liar berlaku sebaliknya.
Keunggulan dan Kelemahan Jenis Kura-kura Asli dan Eksotik Terkait
Aspek Bioekologi
Menurut asalnya, kura-kura yang ditangkarkan di Indonesia secara garis
besar dikelompokkan dalam dua jenis yaitu jenis asli dan jenis eksotik. Biasanya
satu perusahaan dapat menangkarkan kura-kura dengan diversifikasi jenis yang
berbeda-beda (kombinasi beberapa jenis kura-kura). Hal ini dilakukan dengan
tujuan agar pembiayaannya bisa saling menunjang antar jenis dari hasil penjualan
produknya. Selain itu, sharing pengalaman teknik penangkaran kura-kura antar
jenis juga ikut berperan meningkatkan kemampuan dan keterampilan pengelola.
Jenis lain yang dipelihara PT. Tarum Fajar Pratama Coura ambonensis dan
beberapa ekor Amyda cartilaginea (untuk uji coba sebagai titipan CV. Bali
Foultry, namun tidak dapat berkembang biak), UD. Halim Jaya memelihara jenis:
kura-kura bergerigi (Cyclemys dentata), kura-kura ambon (Coura amboinensis),
dan labi-labi hutan (Dogania subplana), PT. Agrisatwa Alam Nusa juga sedang
melakukan ujicoba penangkaran dan pemeliharaan terhadap jenis kura-kura
lainnya yaitu: kura-kura semangka (Calagur borneoensis), kura-kura ambon
(Coura amboinensis), kura-kura batik (Chelodina parkeri), ku