Maskulinisasi Ikan Cupang Betta splendens dengan Ekstrak Tanaman Purwoceng Pimpinella alpina Melalui Perendaman Artemia

MASKULINISASI IKAN CUPANG Betta splendens DENGAN
EKSTRAK TANAMAN PURWOCENG Pimpinella alpina
MELALUI PERENDAMAN ARTEMIA

DWI CAHYANI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Maskulinisasi Ikan
Cupang Betta splendens dengan Ekstrak Tanaman Purwoceng Pimpinella alpina
Melalui Perendaman Artemia” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Dwi Cahyani
NIM C14100072

ABSTRAK
DWI CAHYANI. Maskulinisasi Ikan Cupang Betta splendens dengan Ekstrak
Tanaman Purwoceng Pimpinella alpina Melalui Perendaman Artemia. Dibimbing
oleh HARTON ARFAH dan ENI KUSRINI.
Ikan cupang Betta splendens jantan memiliki keindahan warna serta sifat
yang agresif sehingga banyak diminati dan memiliki harga jual yang lebih tinggi.
Penelitian ini dilakukan untuk menguji penggunaan ekstrak tanaman purwoceng
dengan teknik perendaman artemia pada maskulinisasi ikan cupang. Penelitian ini
menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan dosis ekstrak
tanaman purwoceng (20, 40, dan 60 mg/L), perlakuan 17α-methyltestosterone
(MT) 500 μg/L dan kontrol dengan masing-masing tiga ulangan setiap perlakuan.
Artemia bervolume 100 mL diperkaya selama 24 jam melalui perendaman dan
diberikan pada larva sejak berumur 4 hari setelah penetasan hingga 40 hari. Jenis
kelamin ikan yang telah berumur 2 bulan diidentifikasi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak tanaman purwoceng 20 mg/L memberikan
nisbah kelamin jantan (75,00%) dan kelangsungan hidup (86,67%) tertinggi bila
dibandingkan dengan kontrol (40,00 % dan 77,78%) dan perlakuan dengan 17-α
methyltestosterone (MT) 500 μg/L (62,50% dan 46,67%). Dengan demikian,
ekstrak tanaman purwoceng dapat digunakan untuk maskulinisasi ikan cupang
melalui perendaman artemia dengan dosis terbaik adalah 20 mg/L yang membuat
nisbah kelamin jantan ikan cupang lebih tinggi dari kontrol.
Kata kunci: artemia, Betta splendens, ekstrak tanaman purwoceng P. alpina,
maskulinisasi, perendaman.

ABSTRACT
DWI CAHYANI. Masculinization of Betta Fish Betta splendens with Extract of
Purwoceng Pimpinella alpina through Artemia Immersion. Supervised by
HARTON ARFAH and ENI KUSRINI.
Male betta fish (Betta splendens) has a beautiful color and aggressive
characteristic it causes more attractive and has a higher market price. This
research was conducted to determine the effect of using extract purwoceng
through artemia immersion technique on masculinization of betta fish. This study
used a compeletely randomized design consists of three dose treatments of extract
purwoceng (20, 40, and 60 mg/L), 17α-methyltestosterone (MT) treatment (500

μg/L) and control with three replications for each treatments. The 100 mL volume
of artemia was enriched for 24 hours through immersion and given to larvae since
the age of 4 days after hatching until 40 days. Sex was identified at 2 months-old.
The results showed that the extract purwoceng treatment 20 mg/L gave the highest
rate of male ratio (75.00%) and survival rate (86.67%) compared with control
(40.00% and 77.78%) and 17α-methyltestosterone (MT) 500 μg/L (62.50% and
46.67%) treatment. The conclusion was extract purwoceng can be used for
masculinization of betta fish through artemia immersion with the best dose was 20
mg/L that made male sex ratio of betta fish higher than control.
Keywords: artemia, Betta splendens, extract of purwoceng P. alpina, immersion,
masculinization.

MASKULINISASI IKAN CUPANG Betta splendens DENGAN
EKSTRAK TANAMAN PURWOCENG Pimpinella alpina
MELALUI PERENDAMAN ARTEMIA

DWI CAHYANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Perikanan
pada
Departemen Budidaya Perairan

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Maskulinisasi Ikan Cupang Betta splendens dengan Ekstrak
Tanaman Purwoceng Pimpinella alpina Melalui Perendaman
Artemia
Nama
: Dwi Cahyani
NIM
: C14100072
Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya

Disetujui oleh


Ir. Harton Arfah, MSi
Pembimbing I

Eni Kusrini, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr.Ir.Sukenda, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini yang berjudul
“Maskulinisasi Ikan Cupang Betta splendens dengan Ekstrak Tanaman
Purwoceng Pimpinella alpina Melalui Perendaman Artemia”. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Maret hingga Mei 2014 di Balai Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Ikan Hias (BPPBIH) Depok dan Laboratorium

Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Berbagai pihak
telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, Samino dan Rasminah atas do’a, dukungan, dan
kasih sayangnya. Adikku tersayang Wahyu Saputro atas bantuan serta
dukungannya.
2. Ir. Harton Arfah, MSi selaku Pembimbing I dan Eni Kusrini, MSi selaku
Pembimbing II atas segala masukan dan dukungannya selama pelaksanaan
penelitian dan penyusunan tugas akhir ini.
3. Dr. Alimuddin S.Pi, MSc selaku Pembimbing Akademik dan Komisi
Pendidikan S1 BDP atas bimbingan selama penulis menempuh pendidikan
sarjana serta masukannya dalam penyusunan tugas akhir ini.
4. Dr. Ir. Muhammad Agus Suprayudi, MSi selaku Dosen Penguji dalam Ujian
Akhir Skripsi.
5. Bu Erma, Bu Riani, Bu Yusni, Mas Asep, Pak Nian, dan staf BPPBIH Depok
lainnya yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian.
6. Teman-teman seperjuangan di Laboratorium PBI dan Genetika: Lilis, Haris,
Fira, dan yang lainnya juga Mba Lina serta teman-teman penelitian di
BPPBIH Depok: Aslia, Angel, dan Zulfa.

7. Teman-teman seperjuangan
kebersamaannya selama ini.

BDP

47

atas

semangat,

motivasi,

dan

8. Indriyani Anggi Pramesti, S.Pi atas dukungan dan kebersamaannya di BDP.
9. Keluarga besar Departemen Budidaya Perairan.
10. Ricky Ramadhan, S.Pi yang telah memberikan dukungan, dorongan, bantuan,
semangat, dan kebersamaannya dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Pihak penyelenggara beasiswa PPA/BBM atas bantuan materi selama penulis

menjadi mahasiswa IPB.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis, ilmu pengetahuan,
masyarakat, dan seluruh pihak yang membutuhkan.
Bogor, Juli 2014
Dwi Cahyani

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ............................................................................................ ... viii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... …viii
PENDAHULUAN .......................................................................................... …...1
Latar Belakang ................................................................................................. …...1
Tujuan Penelitian ............................................................................................. …...2
METODE……………. .................................................................................... .......2
Rancangan Percobaan ...................................................................................... …...2
Prosedur Penelitian........................................................................................... …...3
Prosedur Analisis Data ..................................................................................... …...5
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ …...6
Hasil……… ..................................................................................................... …...6
Pembahasan ...................................................................................................... …...7

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ ….10
Kesimpulan…. ................................................................................................. ….10
Saran………..................................................................................................... ….10
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... ….11
LAMPIRAN ..................................................................................................... ….12
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... ….13

DAFTAR TABEL
No.
1

Halaman
Rancangan perlakuan maskulinisasi ikan cupang dengan
ekstrak tanaman purwoceng……………………………………..

2

2

Nilai suhu, pH, dan DO air pemijahan induk……………………


3

3

Kisaran suhu, pH, dan DO air selama penelitian………………..

4

DAFTAR GAMBAR
No.
1

Halaman
Nisbah kelamin jantan ikan cupang pada maskulinisasi dengan
ekstrak tanaman purwoceng melalui perendaman artemia..……..

2

Kelangsungan hidup ikan cupang pada maskulinisasi dengan

ekstrak tanaman purwoceng melalui perendaman artemia..……..

3

6
7

Jaringan gonad ikan cupang betina dan jantan pada pembesaran
400x …………………………………………………………..

8

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan cupang (Betta splendens) merupakan salah satu jenis ikan hias air
tawar yang berasal dari Sumatera, Jawa, Thailand, Singapura serta Malaysia dan
dikenal dengan nama dagang Siammese fighting fish (Lesmana dan Iwan 2007).
Agresivitas ikan tersebut, terutama jantan, menjadi daya tarik tersendiri sehingga
ikan cupang jantan lebih banyak diminati dan memiliki harga jual yang lebih
tinggi dibandingkan dengan betinanya. Oleh karena itu dalam dunia perdagangan,
para pembudidaya ikan cupang berusaha menghasilkan populasi jantan yang lebih
tinggi.
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan populasi jantan ikan
cupang adalah melalui sex reversal dengan teknik maskulinisasi ikan. Metode sex
reversal merupakan suatu teknologi untuk membalikkan arah perkembangan
kelamin menjadi berlawanan. Teknik tersebut dapat dilakukan untuk memperoleh
populasi monoseks jantan yang dapat mengubah fenotipe ikan tetapi tidak
mengubah genotipenya (Zairin 2002). Salah satu caranya adalah dengan
penggunaan hormon steroid pada ikan yang belum terdiferensiasi jenis
kelaminnya (Pandian dan Kavumpurath 1994). Penggunaan hormon merupakan
metode langsung yang dapat diterapkan dalam memperoleh populasi monoseks.
Hormon biasanya digunakan pada awal kehidupan ikan (Zairin 2002). Salah satu
bahan alternatif yang dapat digunakan sebagai hormon steroid untuk melakukan
maskulinisasi pada ikan, selain hormon 17α-methyltestosterone (MT) adalah
purwoceng (Putra 2011) yang merupakan bahan alami.
Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman obat yang banyak
tumbuh secara liar di kawasan Dieng pada ketinggian 2000 – 3000 m dpl.
Tanaman tersebut juga tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Purwoceng mengandung senyawa-senyawa turunan saponin, alkaloid, tannin dan
senyawa-senyawa lain seperti steroid, flavonoid, glikolisa, dan fenolik (Ma’mun,
et al. 2006).
Penggunaan ekstrak tanaman purwoceng untuk maskulinisasi telah
dilakukan oleh Putra (2011) pada ikan nila (Oreochromis niloticus) melalui
perendaman larva dengan hasil tertinggi sebesar 73,3% pada dosis 20 mg/L
dibandingkan kontrol (52,2%) dan pada penelitian Bulkini (2012) terhadap ikan
cupang (Betta splendens) melalui perendaman embrio fase bintik mata diperoleh
hasil nisbah jantan tertinggi (62,68%) pada dosis 10 μL/L dibandingkan dengan
kontrol (45,91%). Hal itu disebabkan oleh adanya senyawa fitosteroid, berupa
stigmasterol sebanyak 5,38% yang dikandung oleh purwoceng (Putra 2011) dan
menunjukkan bahwa ekstrak tanaman purwoceng dapat dimanfaatkan sebagai
bahan maskulinisasi pada ikan, salah satunya adalah ikan cupang.
Selain melalui perendaman embrio pada fase bintik mata, maskulinisasi
ikan cupang pun pernah dilakukan oleh Pandian dan Kavumpurath (1994) dengan
metode pemberian hormon 17α-methyltestosterone (MT) dengan dosis 15 mg/kg
pakan buatan selama 40 hari setelah penetasan (sejak hari pertama larva mulai
makan) yang berhasil membuat populasi menjadi 100% jantan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa maskulinisasi ikan cupang dapat dilakukan melalui

2
perendaman maupun secara oral yaitu melalui pakan. Namun, penggunaan pakan
buatan dalam budidaya ikan cupang belum banyak dilakukan karena segmen
pemeliharaan larva, pembesaran, maupun induk masih bergantung pada
penggunaan pakan alami.
Pakan alami merupakan makanan hidup bagi larva dan benih ikan yang
mencakup fitoplankton, zooplankton, dan bentos serta berperan sebagai sumber
protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Selain itu, ukuran pakan alami
yang relatif kecil (150 mikron – 1 mm) sesuai bukaan mulut larva (benih), tidak
mencemari lingkungan, dan mengandung enzim yang berfungsi membantu
pencernaan di usus larva atau benih yang belum berkembang alat pencernaannya.
Jenis pakan alami yang biasa dimanfaatkan adalah artemia yang bersifat non
selective filter feeder (penyaring tidak selektif) dalam mengambil makanan (Dewi
2010). Artemia menelan pakan secara utuh bahkan ukuran pakan dengan ukuran
yang kira-kira sama dengan bukaan mulutnya sekitar 250 mikron (Djarijah 1995).
Artemia juga merupakan jenis pakan hidup yang paling disenangi oleh larva. Oleh
karena itu pada penelitian ini dilakukan maskulinisasi ikan cupang secara oral
melalui artemia yang direndam dengan ekstrak tanaman purwoceng sehingga
pemberian ekstrak tanaman purwoceng ataupun hormon dimungkinkan dapat
masuk ke dalam artemia dan lebih banyak diterima oleh larva karena larva
mengonsumsi artemia hasil perendaman.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji penggunaan ekstrak tanaman
purwoceng dengan teknik perendaman artemia pada maskulinisasi ikan cupang.

METODE
Rancangan Percobaan
Penelitian ini terdiri atas kontrol, satu kontrol positif (MT), dan tiga
perlakuan ekstrak tanaman purwoceng, masing-masing dengan tiga kali ulangan.
Rancangan perlakuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Rancangan perlakuan maskulinisasi ikan cupang dengan ekstrak tanaman
purwoceng melalui perendaman artemia.
Perlakuan
Kontrol
MT
P20
P40
P60

Keterangan
Artemia tanpa perendaman
Artemia direndam dengan larutan 17α-methyltestosterone (MT) 500 μg/L
Artemia direndam dengan larutan ekstrak tanaman purwoceng 20 mg/L
Artemia direndam dengan larutan ekstrak tanaman purwoceng 40 mg/L
Artemia direndam dengan larutan ekstrak tanaman purwoceng 60 mg/L

Penggunaan dosis hormon MT sebesar 500 μg/L dan ekstrak tanaman
purwoceng (20, 40, dan 60 mg/L) didasarkan pada penelitian Putra (2011) sebagai
kontrol positif dan perlakuan dalam maskulinisasi ikan nila.

3
Prosedur Penelitian
Pembuatan Ekstrak Tanaman Purwoceng
Bubuk tanaman purwoceng (simplisia) ditimbang sebanyak 2 gram
kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala dan ditambah dengan 4,6 mL alkohol
70%. Campuran tersebut diaduk selama 3 jam dengan hotplate magnetic stirer
kemudian didiamkan selama 24 jam. Selanjutnya campuran disaring dengan
kertas saring (Putra 2011). Ekstrak yang didapatkan diencerkan dengan 1 liter
akuades lalu disimpan dalam lemari pendingin (-4⁰C) sebagai larutan stok.
Pembuatan Larutan Hormon 17α-methyletestosterone (MT)
Hormon 17α-methyletestosterone (MT) berbentuk bubuk berwarna putih
ditimbang sebanyak 50 μg lalu dimasukkan ke dalam tabung mikro dan ditambah
dengan 0,5 mL alkohol 70%. Campuran tersebut dihomogenisasi dengan vorteks.
Selanjutnya larutan dituang ke dalam 100 mL akuades dalam botol kaca
bervolume 150 mL lalu disimpan dalam lemari pendingin (-4⁰C) sebagai larutan
stok.
Pemijahan Ikan Cupang
Pemijahan ikan cupang diawali dengan pemilihan induk jantan dan betina
yang telah matang gonad. Indukan matang gonad yang telah dipilih selanjutnya
ditimbang. Setelah itu, induk jantan dimasukkan ke dalam baskom plastik yang
telah disiapkan dan diberi plastik bening berukuran 9,2 x 10,2 cm2 sebagai tempat
induk jantan membuat sarang busa (bubblenest). Induk betina dimasukkan ke
dalam baskom namun dipisahkan dengan wadah transparan. Setelah terbentuk
bubblenest induk betina disatukan dengan induk jantan dalam baskom. Keesokan
harinya setelah pemijahan selesai, induk betina ditimbang sedangkan induk jantan
dibiarkan menjaga telur-telurnya hingga menetas. Kualitas air meliputi suhu, DO,
dan pH sebelum dan setelah pemijahan diukur (Tabel 2).
Tabel 2 Nilai suhu, pH, dan DO air pemijahan induk.
Parameter
Perlakuan
Suhu (⁰C)
pH (unit)
DO (mg/L)

Sebelum Pemijahan

Setelah Pemijahan

25,85
7,25
5,62

25,30
7,00
4,93

Penetasan Artemia
Siste artemia ditimbang sebanyak 7,5 gram lalu ditetaskan dalam 2 liter air
bersalinitas 35 g/L sekitar 24 jam kemudian dipanen. Pemanenan dilakukan
dengan menyifon artemia pada kolom air. Selanjutnya artemia dibagi ke dalam
lima wadah berbeda masing-masing dengan volume 100 mL (kontrol), 99 mL
(MT dan P20), 98 mL (P40), dan 97 mL (P60).
Perendaman Artemia dengan Ekstrak Tanaman Purwoceng
Perendaman artemia pada perlakuan P20 digunakan 1 mL ekstrak tanaman
purwoceng dari larutan stok. Selanjutnya untuk perlakuan P40 dan P60 masingmasing digunakan 2 mL dan 3 mL ekstrak tanaman purwoceng dari larutan stok.

4
Sehingga diperoleh volume perendaman pada masing-masing perlakuan adalah
100 mL. Artemia yang telah dicampur dengan larutan ekstrak tanaman purwoceng
selanjutnya diaerasi kuat selama 24 jam. Setelah itu disaring dan diberikan
sebagai pakan larva.
Perendaman Artemia dengan Larutan Hormon MT
Artemia hasil penetasan sebanyak 99 mL ditambah dengan 1 mL larutan
hormon MT lalu diaerasi kuat selama 24 jam. Setelah itu disaring dan diberikan
sebagai pakan larva.
Tahap Perlakuan
Perlakuan berupa artemia hasil perendaman dengan ekstrak tanaman
purwoceng dan hormon MT diberikan pada larva sejak berumur 4 hari setelah
menetas hingga 40 hari. Larva yang digunakan dalam perlakuan sebanyak 30 ekor
per akuarium berukuran 15 x 15 x 20 cm3. Larva dengan kepadatan 30 ekor per
akuarium dipelihara hingga berumur 17 hari. Saat larva berumur 18 hari dilakukan
penjarangan dengan kepadatan larva berkisar 8 – 15 ekor per wadah untuk setiap
perlakuan. Wadah yang digunakan berupa toples plastik bervolume 3,5 liter.
Selanjutnya setelah larva berumur 27 hari dilakukan kembali penjarangan. Ikan
dipelihara setiap ekornya di dalam wadah berbeda berupa gelas-gelas plastik
bervolume 350 ml hingga akhir pemeliharaan. Pemberian pakan dilakukan 3 – 4
kali sehari sebanyak 2,5 – 5 mL setiap pemberian. Penyifonan dilakukan setiap 3
– 4 hari dan pengukuran kualitas air meliputi pH, suhu, dan DO dilakukan di awal,
tengah, dan akhir masa pemeliharaan (Tabel 3).
Tabel 3 Kisaran suhu, pH, dan DO air selama penelitian.
Parameter

Satuan

Suhu
pH
DO

⁰C
mg/L

Kisaran
Terendah
27,81
6,78
4,60

Kisaran
Tertinggi
28,24
7,18
5,28

Standar*
28,00 – 30,00
6,80 – 7,00
≥ 5,00

*Lesmana dan Iwan 2007

Pemeriksaan Gonad Ikan Uji
Identifikasi jenis kelamin dilakukan secara sekunder dan primer.
Identifikasi sekunder dilakukan secara langsung dengan melihat perbedaan sirip,
warna, dan bentuk badan pada saat ikan berumur 2 – 3 bulan (Zairin 2002). Ikan
dari masing-masing perlakuan dan setiap ulangan diamati satu per satu sehingga
diperoleh data nisbah kelamin berdasarkan identifikasi sekunder. Setelah itu
dilakukan pula identifikasi primer yaitu melalui pengamatan gonad dengan sampel
10 ekor ikan jantan dan 10 ekor ikan betina (berdasarkan data identifikasi
sekunder) yang diambil secara acak dari setiap perlakuan.
Ikan yang akan diidentifikasi primer, ditimbang bobotnya serta diukur
panjangnya lalu diambil gonadnya. Gonad diletakkan di atas gelas objek, ditetesi
pewarna asetokarmin sebanyak 2 – 3 tetes, dibiarkan hingga warna meresap,
kemudian ditutup dengan gelas penutup. Gonad yang telah diwarnai tersebut
kemudian diamati dengan mikroskop pada pembesaran 400 kali. Hasil
pengamatan dicatat sebagai nisbah kelamin berdasarkan identifikasi primer.

5
Prosedur Analisis Data
Data diolah menggunakan perangkat lunak Microsoft Office Excel 2007
lalu dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
Nisbah Kelamin
Nisbah kelamin antara jantan dan betina merupakan parameter utama yang
menjadi indikator keberhasilan teknik sex reversal (Zairin 2002), dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
a. Jantan

Keterangan:
Jantan = nisbah ikan berjenis kelamin jantan (%)
j
= jumlah individu jantan (ekor)
T
= jumlah individu yang diperiksa (ekor)
b. Betina

Keterangan:
Betina = nisbah ikan berjenis kelamin betina (%)
b
= jumlah individu betina (ekor)
T
= jumlah individu yang diperiksa (ekor)
Kelangsungan Hidup
Kelangsungan hidup atau Survival Rate (SR) merupakan jumlah ikan yang
masih hidup setelah waktu tertentu, dihitung dengan rumus sebagai berikut:
SR

Nt
x100 %
No

Keterangan :
SR
= Survival rate (%)
Nt
= jumlah individu pada akhir perlakuan (ekor)
No
= jumlah individu pada awal perlakuan (ekor)
Contoh perhitungan nisbah kelamin jantan dan betina serta kelangsungan
hidup dapat dilihat pada lampiran.

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Nisbah Kelamin
Nisbah kelamin jantan ikan cupang pada perlakuan dengan ekstrak
tanaman purwoceng, hormon MT, dan kontrol pada identifikasi sekunder berkisar
61,54% – 71,43%, sedangkan pada identifikasi primer berkisar 40,00% – 75,00%
(Gambar 1a). Berdasarkan Gambar 1a ditunjukkan bahwa nisbah kelamin jantan
ikan cupang tertinggi secara sekunder dan primer masing-masing sebesar 71,43%
(MT) dan 75,00% (P20). Nisbah kelamin jantan terendah berdasarkan Gambar 1a
adalah 61,54% (P20) berdasarkan identifikasi sekunder dan 40,00% (kontrol dan
P60) berdasarkan identifikasi primer.

Nisbah Kelamin Jantan (%)

100
80

75,00

71,43

67,14

69,12

62,50 61,54

65,00 63,38

60
40,00

40

40,00

Sekunder
Primer

20
0
Kontrol

MT

P20

P40

P60

Perlakuan

(a)
Nisbah Kelamin Betina (%)

100
80
60
40

60,00

32,86

60,00
37,50
28,57

38,46
25,00

30,88

35,00 36,62

Sekunder
Primer

20
0
Kontrol

MT

P20

P40

P60

Perlakuan

(b)
Keterangan: P20= ekstrak purwoceng 20 mg/L
P40= ekstrak purwoceng 40 mg/L

P60= ekstrak purwoceng 60 mg/L
MT= hormon MT 500 μg/L

Gambar 1 Nisbah kelamin jantan (a) dan betina (b) ikan cupang pada
maskulinisasi dengan ekstrak tanaman purwoceng melalui
perendaman artemia.

7
Berdasarkan Gambar 1b ditunjukkan kisaran nisbah kelamin betina ikan
cupang adalah 28,57% – 38,46% pada identifikasi sekunder, sedangkan pada
identifikasi primer berkisar 25,00% – 60,00%. Nisbah kelamin betina tertinggi
dan terendah masing-masing sebesar 60,00% (kontrol dan P60) dan 25,00% (P20)
pada identifikasi primer. Berdasarkan identifikasi sekunder diperoleh nisbah
kelamin betina tertinggi dan terendah adalah 38,46% (P20) dan 28,57% (MT).

Kelangsungan Hidup (%)

Kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup ikan cupang pada perlakuan ekstrak tanaman
purwoceng berkisar 75,56% – 86,67%, sedangkan pada perlakuan kontrol dan
hormon MT masing-masing bernilai 77,78% dan 46,67% (Gambar 2).
Berdasarkan Gambar 2 ditunjukkan bahwa kelangsungan hidup ikan
cupang tertinggi adalah 86,67% pada perlakuan P20. Selanjutnya diikuti oleh
kelangsungan hidup pada perlakuan P60, kontrol, dan P40 yang masing-masing
nilainya adalah 78,89%, 77,78%, dan 75,56%. Sedangkan kelangsungan hidup
terendah adalah 46,67% pada perlakuan hormon MT.

100
80

86,67

77,78

60

75,56

78,89

P40

P60

46,67

40
20
0
Kontrol

MT

P20
Perlakuan

Keterangan: P20= ekstrak purwoceng 20 mg/L
P40= ekstrak purwoceng 40 mg/L

P60= ekstrak purwoceng 60 mg/L
MT= hormon MT 500 μg/L

Gambar 2 Kelangsungan hidup ikan cupang pada maskulinisasi dengan ekstrak
tanaman purwoceng melalui perendaman artemia.
Pembahasan
Kelangsungan hidup merupakan jumlah ikan yang masih hidup setelah
waktu pemeliharaan tertentu. Tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan P40
dan P60 nilainya relatif sama dengan kontrol yaitu berkisar 75,56% – 77,78%.
Sedangkan perlakuan P20 menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih
tinggi yaitu 86,67%. Tingginya kelangsungan hidup pada perlakuan ekstrak
tanaman purwoceng diduga karena adanya senyawa limonena, γ-himachalene, dan
pristine dalam purwoceng yang berperan menambah daya tahan tubuh (Gunawan
2002) sehingga larva menjadi lebih kuat. Namun, tingkat kelangsungan hidup ikan
pada perlakuan hormon MT 500 μg/L (46,67%) justru paling rendah nilainya. Hal
tersebut diduga sebagai efek negatif dari penggunaan hormon MT. Serra et al.
(1993) dalam Pandian dan Kavumpurath (1994) menyatakan bahwa penggunaan
hormon steroid dosis tinggi dapat menghambat fungsi hati dan ginjal pada

8
vertebrata tingkat tinggi. Kejadian serupa juga diduga terjadi pada larva ikan
cupang yang diberi artemia hasil perendaman dengan hormon MT karena
perkembangan organnya pun belum sempurna. Efek negatif lain dari penggunaan
hormon MT terhadap kelangsungan hidup juga terjadi pada sex reversal ikan gapi
melalui teknik oral pada induk yang menyebabkan semua anak ikan gapi
mengalami kematian sejak awal dilahirkan (Riani, et al. 2007). Penelitian
Kirankumar dan Pandian (2002) juga menyebutkan bahwa kenaikan dosis
penggunaan hormon MT menyebabkan kecacatan benih dan kematian setelah 2 –
3 hari perlakuan.
Selain mempengaruhi kelangsungan hidup, penggunaan hormon MT untuk
perendaman artemia pada penelitian ini pun berpengaruh terhadap nisbah kelamin
ikan cupang. Hasil identifikasi jenis kelamin ikan cupang secara sekunder dan
primer menunjukkan nisbah kelamin jantan yang berbeda. Nisbah kelamin jantan
hasil identifikasi sekunder menunjukkan bahwa perlakuan hormon MT
memberikan hasil terbaik sebesar 71,43%. Selanjutnya diikuti oleh perlakuan P40,
kontrol, P60, dan P20 yang masing-masing nilainya adalah 69,12%, 67,14%,
63,38%, dan 61,54%. Hasil tersebut menunjukkan nilai yang kisarannya tidak
berbeda jauh antara kontrol, perlakuan hormon MT, dan perlakuan ekstrak
tanaman purwoceng, sehingga dilakukan identifikasi primer yaitu dengan
pengamatan gonad ikan dengan mengambil sampel acak dari setiap perlakuan
agar nisbah kelamin yang diperoleh lebih akurat.
Nisbah kelamin jantan hasil identifikasi primer pada perlakuan hormon MT
(62,50%) lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan P60
(40,00%) namun lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan P20 (75,00%)
dan P40 (65,00%).

a

b

1
2
Keterangan: a. bakal sel betina dan b. bakal sel jantan

Gambar 3 Jaringan gonad ikan cupang betina (1) dan jantan (2) pada pembesaran
400 x.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya peningkatan nisbah ikan cupang
jantan pada perlakuan P20 dan P40 bila dibandingkan dengan kontrol, perlakuan
P60, dan perlakuan hormon MT. Peningkatan nisbah kelamin tersebut diduga
karena adanya pengaruh bahan aktif berupa senyawa fitoandrogen pada ekstrak
tanaman purwoceng berupa stigmasterol sebanyak 5,38%. Stigmasterol
mempunyai sifat yang sama dengan hormon androgen yang juga mempengaruhi
nisbah kelamin jantan ikan nila menjadi lebih tinggi dengan nisbah sebesar
66,70%, 73,30%, dan 68,88% pada penggunaan ekstrak tanaman purwoceng (10,

9
20, dan 30 mg/L) bila dibandingkan dengan kontrol (52,20%) (Putra 2011).
Rendahnya nisbah kelamin jantan hasil identifikasi primer pada perlakuan hormon
MT bila dibandingkan dengan perlakuan P20 dan P40 diduga karena hormon MT
yang diberikan dalam perendaman artemia dikonversi menjadi estradiol-17β di
dalam tubuh artemia karena hormon MT merupakan hormon androgen yang dapat
diaromatisasi (Zairin 2002). Nisbah kelamin jantan yang rendah pada perlakuan
hormon MT juga diduga karena telah berkurangnya pengaruh hormon pada
penggunaan jangka panjang seperti yang dikemukakan oleh Low et al. (1994)
dalam Piferrer dan Lim (1997). Penelitiannya mengenai sex reversal pada ikan
gapi dengan hormon MT melalui moina dan pakan buatan menunjukkan bahwa 2
minggu setelah perlakuan dihasilkan ikan gapi berpenampakkan jantan. Namun,
perlakuan yang dilanjutkan lebih dari 2 minggu membuat nisbah jantan menurun
karena pengaruh hormon MT telah berkurang. Penurunan nisbah jantan ditandai
dengan munculnya karakteristik betina ikan gapi berupa titik hitam di bagian
abdominalnya.
Keberhasilan membuat populasi jantan lebih tinggi dibandingkan dengan
kontrol terbukti dalam penelitian ini. Hasil dari penggunaan ekstrak tanaman
purwoceng (20, 40, dan 60 mg/L) melalui perendaman artemia diperoleh populasi
jantan (75,00%, 65,00%, dan 40,00%) dengan populasi jantan pada kontrol
sebesar 40,00%. Sedangkan Bulkini (2012) menyatakan bahwa perendaman
embrio ikan cupang pada ekstrak tanaman purwoceng dosis 10, 20, dan 30 μL/L
selama 8 jam menghasilkan populasi ikan jantan masing-masing sebesar 62,68%,
62,66%, dan 39,72% dengan populasi ikan jantan pada perlakuan kontrol sebesar
45,91%. Kenaikan nisbah kelamin ikan jantan pada penelitian ini dibandingkan
penelitian Bulkini (2012) diduga karena adanya pengaruh perbedaan metode dan
lama waktu serta dosis perlakuan. Piferrer dan Lim (1997) menyebutkan bahwa
terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam aplikasi sex reversal, yaitu
(1) jenis steroid yang digunakan (androgen atau estrogen, bahan alami atau
sintetik), (2) waktu awal perlakuan yang dihubungkan dengan tingkat diferensiasi
kelamin, (3) dosis hormon, dan (4) lama perlakuan.
Artemia hasil pengkayaan sebagai pembawa hormon berperan dalam
pencapaian hasil berupa tingginya nisbah kelamin jantan setelah perlakuan
maskulinisasi ikan cupang. Artemia merupakan pakan alami hidup yang bersifat
non selective filter feeder dalam mengambil makanan (Dewi 2010). Sifat tersebut
memungkinkan artemia menelan hormon yang diberikan lalu termakan dan
tercerna oleh larva karena ukuran artemia sesuai dengan bukaan mulut larva dan
artemia mengandung enzim yang berfungsi membantu pencernaan di usus larva
atau benih yang belum berkembang alat pencernaannya. Selain itu, artemia juga
merupakan jenis pakan hidup yang disenangi oleh larva sehingga pemberian
ekstrak tanaman purwoceng ataupun hormon melalui artemia memungkinkan
hormon menjadi lebih banyak diterima oleh larva (Zairin 2002). Penggunaan
hormon melalui metode pakan pada waktu serta dosis yang tepat terbukti pada
penelitian Pandian dan Kavumpurath (1994) yang dapat menghasilkan 100%
populasi ikan cupang jantan dengan penggunaan hormon MT 15 mg/kg pakan
selama 40 hari.
Penggunaan dosis yang tidak tepat dapat memberikan hasil yang
berkebalikan. Hal tersebut terbukti dalam penelitian ini bahwa peningkatan dosis
ekstrak tanaman purwoceng dalam maskulinisasi ikan cupang berbanding terbalik

10
dengan nisbah kelamin jantan yang dihasilkan. Hasil identifikasi primer jenis
kelamin menunjukkan bahwa populasi ikan jantan pada perlakuan ekstrak
tanaman purwoceng (20, 40, dan 60 mg/L) menurun (75,00%, 65,00%, dan
40,00%) dengan semakin tingginya dosis yang diberikan. Hal serupa juga terjadi
pada nisbah ikan cupang jantan pada maskulinisasi dengan ekstrak tanaman
purwoceng melalui perendaman embrio. Dosis ekstrak tanaman purwoceng 10, 20,
dan 30 μL/L berturut-turut menghasilkan populasi jantan masing-masing sebesar
62,68%, 62,66%, dan 39,72% (Bulkini 2012). Putra (2011) dalam penelitiannya
mengenai maskulinisasi ikan nila dengan ekstrak tanaman purwoceng pun
menyebutkan terjadinya penurunan nisbah kelamin jantan (73,30% menjadi
68,88%) pada dosis yang lebih tinggi (20 mg/L menjadi 30 mg/L). Penurunan
nisbah kelamin jantan seiring dengan pertambahan dosis menunjukkan fenomena
penyimpangan (paradoksial) yaitu pemberian androgen justru menghasilkan
populasi betina lebih banyak (Zairin 2002).
Nisbah kelamin betina ikan cupang pada penelitian ini berbanding lurus
dengan peningkatan dosis. Semakin tinggi dosis maka semakin tinggi populasi
betinanya. Efek yang terjadi pada penggunaan ekstrak tanaman purwoceng dosis
tinggi juga diduga terjadi karena adanya senyawa dianethole yang merangsang
pembentukan hormon estrogen (betina) (Gunawan 2002). Hal tersebut dapat
dilihat dari hasil yang menunjukkan bahwa maskulinisasi ikan cupang dengan
perlakuan ekstrak tanaman purwoceng (20, 40, dan 60 mg/L) diperoleh populasi
betina masing-masing sebesar 25,00%, 35,00%, dan 60%. Sedangkan pada
perlakuan hormon MT diperoleh populasi betina sebesar 37,50% dan 60,00%
betina pada kontrol.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak tanaman purwoceng dapat
digunakan untuk maskulinisasi ikan cupang melalui perendaman artemia dengan
dosis terbaik adalah 20 mg/L yang membuat nisbah jantan lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kontrol.
Saran
Penggunaan ekstrak tanaman purwoceng melalui perendaman artemia dalam
maskulinisasi ikan cupang sebaiknya tidak lebih dari 20 mg/L dan modifikasi
waktu pemberian artemia hasil perendaman dimungkinkan dapat meningkatkan
populasi jantan.

11

DAFTAR PUSTAKA
Bulkini, A. 2012. Maskulinisasi Ikan Cupang (Betta splendens) Melalui
Perendaman Embrio dengan Ekstrak tanaman purwoceng (Pimpinella
alpina) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Dewi, R. 2010. Pengaruh Dosis Aromatase Inhibitor Melalui Bioenkapsulasi
Artemia sp. Terhadap Keberhasilan Maskulinisasi Ikan Nila Merah
Oreochromis sp. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Djariah, A. S. 1995. Pakan Ikan Alami. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Gunawan, D. 2002. Ramuan Tradisional untuk Keharmonisan Suami Istri. Jakarta
(ID): Penebar Swadaya.
Kirankumar, S., Pandian, T.J. 2002. Effect on Growth and Reproduction of
Hormone Immersed and Masculinized Fighting Fish Betta splendens.
Jurnal. Jurusan Biologi. Universitas Madurai Kamaraj. India.
Lesmana, D. S., Iwan D. 2007. Budi Daya Ikan Hias Air Tawar Populer. Jakarta
(ID): Penebar Swadaya.
Ma’mun, Suhirman, S., Manoi, F., Sembiring, B.F., Tritianingsih, Sukmasari, M.,
Gani, A., Tjitjah, F., dan Kustiwa, D. 2006. Teknik Pembuatan Simplisia
dan Ekstrak tanaman purwoceng. Laporan Pelaksanaan Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatik.
Pandian, T.J., Kavumpurath, S. 1994. Masculinization of Fighting Fish, Betta
splendens Regan, Using Synthetic or Natural Androgens. Jurnal. Jurusan
Biologi. Universitas Madurai Kamaraj. India.
Piferrer, F., Lim L.C. 1997. Application of Sex Reversal Technology In
Ornamental
Fish
Culture.
Jurnal
Aquarium
Science
and
Conservation,1(113-118).
Putra, S. 2011. Maskulinisasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Melalui
Perendaman dalam Ekstrak tanaman purwoceng (Pimpinella alpina) [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Riani, E., Syamsu, K., Kaseno. 2007. Pemanfaatan Steroid Teripang sebagai
Aprodisiaka Alami dan Untuk Mengembangkan Budidaya Perikanan
(Udang Galah dan Ikan Hias). Laporan Hasil Penelitian. Institut Pertanian
Bogor.
Zairin, M. Jr. 2002. Sex Reversal Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina.
Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

12
LAMPIRAN
Contoh perhitungan nisbah kelamin jantan dan betina serta kelangsungan
hidup ikan cupang.
a. Jantan sekunder
=

= 67,14%

=

= 40,00%

=

= 32,86%

=

= 60,00%

b. Jantan primer

c. Betina sekunder

d. Betina primer

e. Kelangsungan hidup
Nt
22
SR
x100 %
x100 %
30
No

73,33 %

13

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 Mei 1992. Penulis adalah anak
pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Samino dan Rasminah. Penulis
mengawali pendidikan di SDN Pabrik Gas 1 tahun 1998 – 2004. Melanjutkan
pendidikan di SMP Negeri 5 Bogor pada tahun 2004 – 2007 dan SMA Negeri 6
Bogor pada tahun 2007 – 2010.
Pada tahun 2010, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor dan memilih
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui
jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM). Selama mengikuti perkuliahan, penulis
pernah menjadi anggota Divisi Kewirausahaan HIMAKUA periode 2011/2012
dan Badan Pengurus Harian (BPH) HIMAKUA periode 2012/2013. Selain itu
penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Fisiologi Reproduksi
Organisme Akuatik periode 2013/2014 dan pernah mengikuti lomba Program
Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang didanai oleh Direktorat Jenderal Perguruan
Tinggi (DIKTI). Penulis juga merupakan penerima Beasiswa PPA/BBM dari
Institut Pertanian Bogor.
Penulis pernah melaksanakan magang kerja di Raiser Ikan Hias Cibinong.
Penulis juga pernah melaksanakan praktik lapangan akuakultur dengan judul
“Budidaya Ikan Badut Hitam (Amphiprion percula) di Balai Besar
Pengembangan Budidaya Laut Lampung”. Tugas akhir dalam pendidikan
tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul “Maskulinisasi Ikan
Cupang Betta splendens dengan Ekstrak Tanaman Purwoceng Pimpinella
alpina Melalui Perendaman Artemia”.