Kajian Stok Sumber Daya Ikan Layur (Lepturacanthus savala) di Perairan Selat Sunda

KAJIAN STOK SUMBER DAYA IKAN LAYUR
(Lepturacanthus savala) DI PERAIRAN SELAT SUNDA

RISTI

MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Kajian Stok
Sumber Daya Ikan Layur (Lepturacanthus savala) di Perairan Selat Sunda” adalah
benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.


Bogor, Maret 2015

Risti
NIM C24110012

Abstrak
RISTI. Kajian Stok Sumber Daya Ikan Layur (Lepturacanthus savala) di Perairan
Selat Sunda. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan MENNOFATRIA
BOER.
Ikan layur merupakan komoditas ekspor yang bernilai ekonomis tinggi sehingga
menjadi salah satu target penangkapan di Perairan Selat Sunda, Banten. Tujuan dari
penelitian ini adalah mengkaji status stok ikan layur (Lepturacanthus savala) di
Perairan Selat Sunda berdasarkan data yang didaratkan di PPP Labuan, Banten
untuk merekomendasikan rencana pengelolaan yang tepat dan berkelanjutan.
Penelitian dilakukan dari bulan Mei hingga bulan Oktober. Analisis yang dilakukan
meliputi analisis rasio kelamin, hubungan panjang dan bobot, tingkat kematangan
gonad, sebaran kelompok umur, mortalitas dan laju eksploitasi, serta model
produksi surplus. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pola pertumbuhan
ikan layur betina dan jantan adalah allometrik negatif. Laju eksploitasi ikan layur
betina dan jantan telah melebihi laju eksploitasi optimum. Jumlah tangkapan

maksimum lestari dan upaya lestari ikan layur masing-masing 881 ton dan 1 790
trip. Rencana pengelolaan yang direkomendasikan yaitu dengan membatasi jumlah
hasil tangkapan sebesar 635 ton/tahun dan mengatur ukuran ikan yang boleh
ditangkap sebesar 605 mm.

Kata kunci: ikan layur, pengkajian stok, pertumbuhan, Selat Sunda, tangkapan
maksimum lestari

Abstract
RISTI. Fish Stock Assessment of Ribbon Fish (Lepturacanthus savala) in the
Sunda Strait. Supervised by ACHMAD FAHRUDIN and MENNOFATRIA BOER.
Ribbon fish is exported commodities that has a high economic value, so that
is become one of the main targets in fishing activities in Sunda Strait. The aim of
this study is to assess the status stocks of ribbon fish (Lepturacanthus savala) in the
Straits of Sunda based on data that landed on PPP Labuan, Banten for recomended
the appropriate and sustainable management plan. This study was carried out from
May to October. Analysis was conducted on the sex ratio analysis and correlation
length and weight, degree of maturity, the distribution of age groups, mortality and
the rate of exploitation and surplus production model of ribbon fish. The results
showed that ribbon fish has allometric negative growth. The rate of exploitation of

male and female of ribbon fish landslide above optimum exploitation rate. Total
sustainable catch and sustainable efforts that each of ribbon fish are 881 ton and 1
790 trip. Management plan that can be suggested are to limit the amount of catches
as big as 635 ton/tahun and manage fish size that be able to catch is 605 mm.
Keywords: Ribbon fish, stock assessment, growth, Sunda Strait, maximum
sustainable yields

KAJIAN STOK SUMBER DAYA IKAN LAYUR
(Lepturacanthus savala) DI PERAIRAN SELAT SUNDA

RISTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi
Nama
NIM
Program Studi

: Kajian Stok Sumber Daya Ikan Layur (Lepturacanthus
savala) di Perairan Selat Sunda
: Risti
: C24110012
: Manajemen Sumberdaya Perairan

Disetujui Oleh

Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi
Pembimbing I


Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA
Pembimbing II

Mengetahui,

Dr Ir Mohammad Mukhlis Kamal, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat serta
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kajian
Stok Sumber Daya Ikan Layur (Lepturacanthus savala) Di Perairan Selat Sunda.
Skripsi ini disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh
studi di Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan.
2. Beasiswa Bidikmisi yang telah memberikan bantuan dana selama perkuliahan.

3. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
atas biaya penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri
(BOPTN), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), DIPA IPB Tahun
Ajaran 2014, kode Mak: 2014. 089. 521219, Penelitian Dasar untuk Bagian,
Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitan dan Pengabdian
kepada Masyarakat, IPB dengan judul “Dinamika Populasi dan Biologi
Reproduksi Sumber daya Ikan Ekologis dan Ekonomis Penting di Perairan Selat
Sunda, Provinsi Banten” yang dilaksanakan oleh Prof Dr Ir Mennofatria Boer
DEA (sebagai ketua peneliti) dan Dr Ir Rahmat Kurnia MSi (sebagai anggota
peneliti).
4. Dr Etty Riani selaku pembimbing akademik yang telah memberi saran selama
perkuliahan.
5. Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi dan Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan dalam
penyelesaikan penulisan skripsi ini.
6. Dr Ir Isdrajat Setyobudiandi, MSc selaku dosen penguji atas segala masukannya.
7. Dr Ir Niken TM Pratiwi, MSi selaku Komisi Pendidikan Program S1 yang telah
memberikan arahan dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Staf Tata Usaha Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Bapak Suminta,
Bapak Una, Staf DKP Kabupaten Pandeglang.

9. Bapak, Ibu, Mbak Pur, dan seluruh keluarga yang telah memberikan doa, kasih
sayang dan dukungannya selama ini.
10. Seluruh tim penelitian BOPTN Labuan, seluruh MSP 48, dan HKRB 48 atas
doa, semangat, dukungan, dan bantuannya.
Saran dan kritik atas skripsi penelitian ini sangat diharapkan demi kebaikan
dan kesempurnaan skripsi ini.

Bogor, Maret 2015

Risti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

METODE
Lokasi dan Waktu
Pengumpulan Data
Prosedur Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
3
3
2

2
2
3
3
3
4
10
10
20
23
23
24
24
27
38

DAFTAR TABEL
1
2
3

4
5
6
7

Penentuan TKG secara morfologi (Cassie 1956 in Effendie 2002)
Rasio kelamin ikan layur betina dan jantan di Selat Sunda
Sebaran kelompok ukuran ikan layur betina dan jantan
Parameter pertumbuhan ikan layur betina dan jantan
Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan layur di Selat Sunda
Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan layur
Parameter pertumbuhan ikan layur dari berbagai penelitian

6
11
17
17
19
19
22


DAFTAR GAMBAR
1. Peta lokasi penelitian dan daerah penangkapan ikan layur
2. Komposisi tangkapan per jenis ikan di Kabupaten Pandeglang
3. Hubungan panjang dan bobot ikan layur betina di Selat Sunda
4. Hubungan panjang dan bobot ikan layur jantan di Selat Sunda
5. Panjang pertama kali tertangkap ikan layur betina
6. Panjang pertama kali tertangkap ikan layur jantan
7. Tingkat kematangan gonad ikan layur betina di Selat Sunda
8. Tingkat kematangan gonad ikan layur jantan di Selat Sunda
9. Sebaran frekuensi panjang ikan layur betina di Selat Sunda
10.Sebaran frekuensi ikan layur jantan di Selat Sunda
11.Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan layur betina
12.Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan layur jantan
13.Model produksi surplus (model Schaefer)

3
11
12
12
13
13
14
14
15
16
18
18
19

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Penentuans mortalitas total (Z)
Hubungan panjang dan bobot ikan layur
Sebaran frekuensi ikan layur
Tingkat kematangan gonad ikan layur
Perhitungan rata-rata ukuran bertama kali tertangkap ikan layur
Ukuran pertama kali matang gonad
Pendugaan parameter pertumbuhan ikan layur
Pendugaan mortalitas ikan layur
Standarisasi alat tangkap

27
29
29
30
30
31
32
33
34

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Selat Sunda merupakan bagian dari wilayah pengelolaan perikanan (WPP)
572 yang mempunyai potensi perikanan yang sangat besar. Besarnya potensi
perikanan di Selat Sunda karena perairan ini merupakan daerah pertemuan antara
Samudera Hindia dan Laut Jawa yang merupakan sumber nutrien. Salah satu
tempat pendaratan ikan yang dekat dengan Selat Sunda adalah PPP Labuan, Banten.
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan terletak di Desa Teluk, Kecamatan
Labuan, Kabupaten Pendeglang, Provinsi Banten. PPP Labuan memiliki tiga
tempat pendaratan ikan, yaitu TPI 1 untuk mendaratkan ikan demersal, TPI 2 untuk
mendaratkan ikan pelagis, dan TPI 3 yang merupakan tempat pendaratan beragam
ikan serta difungsikan sebagai pasar. Salah satu sumber daya ikan yang didaratkan
di PPP Labuan, Banten adalah ikan layur.
Ikan layur merupakan ikan dengan nilai ekonomis penting dan merupakan
komoditar ekspor. Produksi perikanan tangkap di PPP Labuan, Banten berfluktuasi
dari tahun 2003 hingga 2013 dengan rata-rata volume produksi sebesar 592,10
ton/tahun. Laju eksploitasi ikan layur di Selat Sunda juga telah melebihi titik
optimum (DKP 2013). Kegiatan penangkapan ikan layur yang dilakukan terusmenerus dapat memengaruhi ketersediaan dan mengubah status stok sumber daya
ikan layur di daerah perairan Selat Sunda. Hal ini yang menjadi dasar perlunya
pengkajian stok terhadap ikan layur di perairan Selat Sunda. Analisis mengenai
status stok ikan layur berguna untuk menunjang pengelolaan sumber daya ikan
layur agar kelestarian dan keberlanjutan ikan layur tetap terjaga.
Salah satu informasi yang diperlukan dalam pengelolaan ikan layur secara
berkelanjutan adalah mengenai status stok ikan layur tersebut. Penelitian yang
pernah dilakukan sebelumnya antara lain Widiyanto (2008) mengenai kajian pola
pertumbuhan dan ciri morfometrik-meristik beberapa spesies ikan layur
(superfamili Trichiuroidea), Ambarwati (2008) mengenai studi biologi reproduksi
ikan layur (superfamili Trichiuroidea), Sari (2008) mengenai studi kebisasaan
makan ikan layur (superfamili Trichiuroidea), dan Sharif (2009) mengenai studi
dinamika stok ikan layur (Lepturacanthus savala) di Teluk Palabuhanratu,
Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat.
Penelitian mengenai ikan layur telah banyak dilakukan di Teluk
Palabuhanratu. Namun, penelitian ikan layur di Selat Sunda hanya dilakukan oleh
Sholeh (2012) mengenai pengelolaan sumber daya ikan layur (Lepturacanthus
savala, Cuvier 1829) di pelabuhan perikanan pantai (PPP) Labuan, Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai status stok ikan layur di Selat Sunda untuk memperoleh informasi
yang lebih lengkap mengenai status stok ikan layur di Selat Sunda.

2
Perumusan Masalah

Permintaan pasar ekspor terhadap ikan layur semakin meningkat. Tingginya
permintaan tersebut dapat meningkatkan upaya penangkapan terhadap ikan layur.
Berdasarkan data DKP (2013) kegiatan penangkapan ikan layur terus mengalami
peningkatan baik dari segi upaya tangkapan maupun hasil tangkapan. Kegiatan
penangkapan ikan yang tinggi dengan volume produksi yang terus meningkat setiap
tahunnya dapat mengakibatkan adaya upaya tangkap lebih (overfishing) sehingga
menyebabkan penurunan stok ikan layur di perairan Selat Sunda.
Eksploitasi berlebihan atas sumber daya ikan yang bersifat terbuka (open
access) dapat mengancam keberlanjutan stok ikan layur di Selat Sunda. Sumber
daya ikan layur di Selat Sunda telah mengalami tangkap lebih (DKP 2013). Hal ini
dibuktikan dengan adanya penurunan panjang maksimal dari ikan layur yang
ditangkap di Selat Sunda. Saat ini, informasi mengenai kajian stok ikan layur di
Selat Sunda masih terbatas.
Berdasarkan fakta tersebut perlu dilakukan suatu studi dalam rangka
pengelolaan sumber daya perikanan secara berkelanjutan yang lebih difokuskan
pada kajian stok sumber daya ikan layur di perairan Selat Sunda yang didaratkan di
PPP Labuan, Banten. Informasi mengenai keadaan stok sumber daya ikan layur
meliputi rasio kelamin, hubungan panjang dan bobot, sebaran kelompok umur, pola
pertumbuhan, TKG, mortalitas, baik mortalitas alami maupun mortalitas tangkapan,
tangkapan maksimum lestari (MSY) dan upaya optimum penangkapan sumber daya
ikan layur di perairan Selat Sunda sehingga dapat ditentukan jumlah tangkapan
yang diperbolehkan. Hasil analisis tersebut berguna bagi rencana pengelolaan
sumber daya ikan layur yang tepat dan berkelanjutan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengkaji status stok ikan layur (Lepturacanthus
savala) di perairan Selat Sunda berdasarkan data hasil tangkapan ikan yang
didaratkan di PPP Labuan, Banten serta merekomendasikan rencana pengelolaan
ikan layur di Selat Sunda yang tepat dan berkelanjutan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait aspek
pertumbuhan dan stok sumber daya ikan layur sehingga dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan dan sebagai acuan dalam pengelolaan sumber daya ikan layur
di Selat Sunda, Banten.

3

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di PPP Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi
Banten. Ikan contoh yang diperoleh merupakan hasil tangkapan nelayan di sekitar
perairan Selat Sunda. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Mei 2014
hingga bulan Oktober 2014 dengan selang waktu pengambilan contoh satu bulan.
Pengumpulan data sekunder dilakukan selama pengambilan contoh di PPP Labuan,
Pandeglang, Banten. Analisis ikan contoh dilakukan di Laboratorium Biologi
Perikanan, Departemen Manajemen Sumber daya Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Lokasi penelitian dan daerah penangkapan
ikan layur disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian dan daerah penangkapan ikan layur

Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer ikan layur diperoleh dari metode penarikan contoh
acak berlapis. Ikan yang diamati berasal dari perairan Selat Sunda dan didaratkan
di PPP Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Pengambilan ikan contoh
meliputi ikan-ikan yang berukuran kecil, sedang dan besar. Ikan contoh yang
diambil berjumlah 50-100 ekor tergantung kelimpahan ikan pada waktu
pengambilan contoh.

4
Ikan-ikan dimasukkan ke dalam cool box untuk dianalisis di Laboratorium
Biologi Perikanan, Departemen Manajemen Sumber daya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ikan dalam cool box
disimpan dengan es batu agar kualitasnya tetap terjaga. Pengamatan ikan dilakukan
dengan mengukur panjang dan bobot ikan serta melihat TKG dan jenis kelamin
ikan. Pengukuran panjang total ikan dimulai dari mulut terdepan ikan hingga ujung
ekor terakhir dengan menggunakan penggaris dengan tingkat ketelitian 0,5 mm.
Penimbangan bobot basah total tubuh ikan meliputi bobot tubuh serta air yang
terkandung didalamnya dengan menggunakan timbangan dengan tingkat ketelitian
5 gram. Jenis kelamin dapat diketahui dengan membedah ikan layur tersebut,
sedangkan penentuan tingkat kematangan gonad (TKG) dilakukan berdasarkan
pengamatan terhadap ciri-ciri morfologi kematangan gonad berdasarkan Cassie
(1956) in Effendi (2002) (Tabel 1).
Pengumpulan data sekunder dilakukan pada bulan Oktober 2014 dari DKP
Pandeglang, Banten. Data yang diperoleh berupa data produksi hasil tangkapan
dan upaya penangkapan ikan layur yang didaratkan di PPP Labuan, Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten. Informasi lainnya dilakukan dengan wawancara
terhadap nelayan yang kesehariannya menangkap ikan layur di daerah Selat Sunda.

Prosedur Analisis Data

Rasio kelamin
Rasio kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan betina dengan jumlah
ikan jantan dalam suatu populasi. Perbandingan ideal di alam adalah 1:1, yaitu 50%
betina dan 50% jantan (Ball dan Rao 1984 in Sparre and Venema 1999). Rasio
kelamin digunakan untuk melihat perbandingan antara jenis kelamin ikan yang ada
di perairan. Konsep rasio adalah proporsi populasi tertentu terhadap total populasi
(Walpole 1993).
p=

n

(1)

N

p adalah proporsi kelamin (betina atau jantan), n adalah jumlah jenis ikan betina
atau jantan, dan N adalah jumlah total individu ikan betina dan jantan contoh. Uji
χ2 (Chi-square) digunakan untuk mengetahui keseimbangan hubungan antara
populasi betina dengan populasi jantan dalam suatu populasi:
χ2 = ∑

(oi -ei )2
ei

(2)

χ2 adalah nilai statistik Chi-square untuk peubah acak yang sebaran penarikan
contohnya mengikuti sebaran khi-kuadrat, oi adalah sebaran ikan jantan dan betina
yang diamati, dan ei adalah frekuensi harapan ikan jantan dan betina.

5
Hubungan panjang bobot
Model pertumbuhan ikan layur diasumsikan mengikuti pola hukum kubik
dari dua parameter yang dijadikan analisis yaitu parameter panjang dan bobot.
Analisis hubungan panjang bobot masing-masing spesies ikan digunakan rumus
sebagai berikut (Effendie 1979):
W = αLβ

(3)

W adalah bobot (gram), L adalah panjang total ikan (mm), α dan β adalah koefisien
pertumbuhan bobot. Nilai α dan β diduga dari bentuk linier persamaan di atas,
yaitu:
log W = log a + b log L

(4)

Parameter penduga a dan b diperoleh dengan analisis regresi dengan log W
sebagai y dan log L sebagai x, sehingga diperoleh persamaan regresi:
yi = β0 + β1 xi + εi

(5)

Sebagai model observasi dan
ŷ i = b0 + b1 xi

(6)

Sebagai model dugaan.
Konstanta b1 dan b0 diduga dengan:
b1 =

1
n

∑ni=1 xi yi - ∑ni=1 xi ∑ni=1 yi

dan

1
n

∑ni=1 x2 i - (∑ni=1 xi )

2

b0 = y̅- b1 x̅

(7)

(8)

Sedangkan a dan b diperoleh melalui hubungan b = b1 dan a = antilog b0.
Hubungan panjang dan bobot dapat dilihat dari nilai konstanta b (sebagai
penduga tingkat kedekatan hubungan kedua parameter) yaitu dengan hipotesis:
1.
H0: b = 3, dikatakan memiliki hubungan isometrik (pola pertumbuhan bobot
sebanding pola pertumbuhan panjang)
2.
H1: b ≠ 3, dikatakan memiliki hubungan allometrik (pola pertumbuhan bobot
tidak sebanding pola pertumbuhan panjang)
Pola pertumbuhan allometrik ada dua macam yaitu allometrik positif (b>3)
yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan
dengan pertumbuhan panjang dan allometrik negatif (b ttabel, maka tolak
hipotesis nol (H0) dengan pola pertumbuhan allometrik dan jika thitung < ttabel, maka
gagal tolak atau terima hipotesis nol (H0) dengan pola pertumbuhan isometrik
(Walpole 1993).

Tingkat kematangan gonad
Jenis kelamin diduga berdasarkan pengamatan gonad ikan contoh. Penentuan
tingkat kematangan gonad ikan layur ditentukan secara morfologi menggunakan
klasifikasi dari modifikasi Cassie (1956) pada Tabel 1.

Tabel 1 Penentuan TKG secara morfologi (Cassie 1956 in Effendie 2002)
TKG
I

II

III

IV

V

Betina
Ovari seperti benang, panjangnya
sampai ke depan rongga tubuh, serta
permukaannya licin
Ukuran ovari lebih besar. Warna
ovari kekuning-kuningan, dan telur
belum terlihat jelas
Ovari berwarna kuning dan secara
morfologi telur mulai terlihat

Jantan
Testis seperti benang,warna jernih,
dan ujungnya terlihat di rongga tubuh
Ukuran testis lebih besar pewarnaan
seperti susu

Permukaan testis tampak bergerigi,
warna makin putih dan ukuran makin
besar
Ovari makin besar, telur berwarna Dalam keadaan diawet mudah putus,
kuning, mudah dipisahkan. Butir testis semakin pejal
minyak tidak tampak, mengisi 1/2-2/3
rongga perut
Ovari berkerut, dinding tebal, butir Testis bagian belakang kempis dan
telur sisa terdapat didekat pelepasan
dibagian dekat pelepasan masih berisi

Panjang pertama kali tertangkap
Rata-rata ukuran pertama kali tertangkap (Lc) dilakukan dengan metode
kantung berlapis (covered conden method). Hasil dari perhitungan tersebut
membentuk kurva ogif selektifitas alat berbentuk sigmoid yang menyerupai kurva
distribusi normal komulatif yang mengacu pada Beverton dan Holt (1957) in Sparre
dan Venema (1992) dengan formula:
SL=

1
1+exp(S1-S2*L)

(11)

Sl adalah jumlah esstimasi, L adalah interval titik tengah panjang kel, S1 dan S2
adalah konstanta.

7
Ukuran pertama kali matang gonad
Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan tembang
mencapai matang gonad (M) adalah Metode Spearman-Karber yang menyatakan
bahwa logaritma ukuran rata-rata mencapai matang gonad adalah (Udupa 1986):
m = [xk +

dengan

x
2

] - (x ∑ pi )

(12)

M = antilog m

(13)

dan selang kepercayaan 95% bagi log m dibatasi sebagai:
antilog (m ±1.96 √x2 ∑

pi × qi
ni - 1

)

(14)

m adalah log panjang ikan pada kematangan gonad pertama, xk adalah log nilai
tengah kelas panjang yang terakhir ikan telah matang gonad, x adalah log
pertambahan panjang pada nilai tengah, pi adalah proporsi ikan matang gonad pada
kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i, ni adalah jumlah
ikan pada kelas panjang ke-i, qi adalah 1 – pi, dan M adalah panjang ikan pertama
kali matang gonad.

Identifikasi kelompok umur
Sebaran frekuensi panjang digunakan untuk menentukan kelompok umur.
Data panjang total ikan layur dikelompokkan ke dalam beberapa kelas panjang
sedemikian, sehingga kelas panjang ke-i memiliki frekuensi (fi). Pendugaan
kelompok umur dilakukan dengan analisis frekuensi panjang ikan menggunakan
metode NORMSEP (Normal Separation) (FISAT II, FAO-ICLARM Stock
Assesment Tool) untuk menentukan sebaran normalnya. Menurut Boer (1996), jika
fi adalah frekuensi ikan dalam kelas panjang ke-i (i = 1, 2, …, N), µj adalah rata-rata
panjang kelompok umur ke-j, σj adalah simpangan baku panjang kelompok umur
ke-j, dan pj adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j (j = 1, 2, …, G), maka
fungsi objektif yang digunakan untuk menduga {μ̂ j , σ̂ j , ̂pj } adalah fungsi
kemungkinan maksimum (maximum likelihood function):
L = ∑ni=1 fi log ∑G
j=1 pj qij

(15)

qij dihitung dengan persamaan:
qij =

1
σj √2π

2
1 xi - μj

exp(- (
2

σj

)

(16)

qij adalah fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah µ j dan simpangan
baku σj, dan xi adalah titik tengah kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan
dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap µ j, σj, pj sehingga

8
diperoleh dugaan μ̂ j , σ̂ j , dan p̂ j yang akan digunakan untuk menduga parameter
pertumbuhan.
Pendugaan parameter pertumbuhan
Pertumbuhan dapat diestimasi menggunakan model pertumbuhan Von
Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999):
Lt = L∞ [1-e-K t-t0 ]

(17)

Lt+1 = L∞ (1-e-K t+1 - t0 )

(18)

Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (K) dan L∞ dilakukan dengan
menggunakan metode Ford Walford yang diturunkan dari model Von Bertalanffy,
untuk t sama dengan t+1, persamaannya menjadi:

Lt+1 adalah panjang ikan pada saat umur t+1 (satuan waktu), L∞ adalah panjang
maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan
(persatuan waktu), dan t0 adalah umur teoritis pada saat panjang ikan nol. Kedua
rumus di atas disubstitusikan dan diperoleh persamaan:

atau:

Lt+1 - Lt = [L∞ - Lt ][1 - e-K ]

(19)

Lt+1 = L∞ [1 - e-K ] + Lt e-K

(20)

K = -ln(b)

(21)

Persamaan di atas dapat diduga dengan persamaan regresi linier y = b0 + b1x,
jika Lt sebagai absis (x) diplotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat (y), sehingga
terbentuk kemiringan (slope) sama dengan e-K dan titik potong dengan absis sama
dengan L∞[1 – e-K]. Nilai K dan L∞ diperoleh dengan cara sebagai berikut.
L∞ =

a

(22)

1-b

Nilai t0 (umur teoritis ikan pada saat panjang ikan nol) diduga melalui
persamaan Pauly (1983) in Sparre dan Venema (1999):
log -t0 = 0,3922 - 0,2752 logL∞ - 1,038 log K

(23)

L∞ adalah panjang asimtotik ikan (mm), K adalah koefisien laju pertumbuhan
(mm/satuan waktu), dan t0 adalah umur ikan pada saat panjang ikan 0.

Mortalitas dan laju eksploitasi
Mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan
berdasarkan data komposisi panjang sedemikian sehingga diperoleh hubungan:
ln

C L1 ,L2
∆t L1 ,L2

=h-Zt

L1 +L2
2

(24)

9
Persamaan diatas diduga melalui persamaan regresi linear sederhana y = b0 +
C L1 ,L2

b1x dengan y = ln

∆t L1 ,L2

sebagai ordinat, x = t

L1 +L2
2

sebagai absis, dan Z = -b

(Lampiran 1).
Mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly
(1980) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut:
ln M = (-0,0152 - 0,279 ln L∞ + 0,6543 ln K + 0,463 ln T )

(25)

M adalah mortalitas alami, L∞ adalah panjang asimtotik pada persamaan
pertumbuhan von Bertalanffy (mm), K adalah koefisien pertumbuhan pada
persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy, t0 adalah umur ikan pada saat panjang 0,
dan T adalah rata-rata suhu permukaan air (oC).
Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) menyarankan untuk
memperhitungkan jenis ikan yang memiliki kebiasaan menggerombol ikan
dikalikan dengan nilai 0,8, sehingga untuk spesies yang menggerombol seperti ikan
layur nilai dugaan menjadi 20% lebih rendah:
M = 0,8 e -0,0152 - 0,279 ln L∞ + 0,6543 ln K + 0,463 ln T

(26)

Mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan:
F=Z-M

(27)

Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas
penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984):
E=

F
F+M

=

F
Z

(28)

M adalah mortalitas alami, F adalah mortalitas penangkapan, dan Z adalah
mortalitas total.

Standarisasi alat tangkap
Standarisasi alat tangkap digunakan untuk menyeragamkan upaya
penangkapan yang ada sehingga dapat diasumsikan upaya penangkapan suatu alat
tangkap dapat menghasilkan tangkapan yang relatif sama dengan alat tangkap yang
dijadikan standar. Alat tangkap yang digunakan standar adalah alat tangkap yang
dominan menangkap jenis ikan tertentu dan memiliki nilai Fishing Power Index
(FPI) sama dengan satu. Nilai FPI dari masing-masing alat tangkap lainnya dapat
diketahui dengan membagi laju penangkapan rata-rata unit penangkapan yang
dijadikan standar. Menurut Sparre dan Venema (1999) nilai FPI diketahui dengan
rumus:

CPUEi =
FPIi =

Ci
fi

CPUEi
CPUEs

(29)
(30)

CPUEi adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap ke-i, Ci adalah
jumlah tangkapan jenis alat tangkap ke-i, fi adalah jumlah upaya penangkapan jenis

10
alat tangkap ke-i, CPUEs adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan alat
tangkap yang di jadikan standar, dan FPI adalah faktor upaya tangkap pada jenis
alat tangkap ke-i.

Model produksi surplus
Pendugaan potensi ikan layur dapat diduga dengan model produksi surplus
yang menganalisis hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort). Model
produksi surplus dapat diterapkan apabila diketahui dengan baik hasil tangkapan
per unit upaya tangkap (CPUE) atau berdasarkan spesies dan upaya
penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami
perubahan substansial selama waktu yang dicakup (Sparre dan Venema 1999).
Menurut Sparre dan Venema (1999) tingkat upaya penangkapan optimun (fMSY) dan
tangkapan maksimum lestari (CMSY) dapat dihitung melalui persamaan:
Ct
ft

= a - bft dan ln

Ct
ft

= a - bft

(31)

Masing-masing untuk model Schaefer dan model Fox, sehingga diperoleh dugaan
fMSY untuk model Schaefer dan model Fox masing-masing:

fMSY =

a
2b

dan fMSY =

1

(32)

b

Serta CMSY masing-masing untuk model Schaefer dan model Fox, yaitu:

CMSY =

a2
4b

dan CMSY =

1
b

e(a-1)

(33)

Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai determinasi
(R ) yang paling tinggi. Nilai Potensi Lestari (PL), jumlah tangkapan yang
diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC), dan tingkat pemanfaatan sumber
daya ikan dapat ditentukan dengan analisis produksi surplus berdasarkan prinsip
kehati-hatian (FAO 1995 in Syamsiyah 2010):
2

PL = 90% x CMSY

(34)

TAC = 80% x PL

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Komposisi Hasil Tangkapan Ikan
Hasil tangkapan ikan dari perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP
Labuan Banten sangat beragam. Hasil tangkapan di PPP Labuan Banten berupa

11
ikan dan non-ikan. Hasil tangkapan utama di PPP Labuan Banten didominasi oleh
ikan pelagis. Jenis ikan yang didaratkan di PPP Labuan Banten di antaranya ikan
kembung lelaki, ikan kembung perempuan, cumi-cumi, ikan swanggi, ikan layang,
ikan selar, tembang, tongkol, tengiri, kuniran, kurisi, tetengkek, peperek, lemuru,
dan ikan layur. Jenis ikan layur yang didaratkan di PPP Labuan, Banten adalah
jenis Lepturacanthus savala. Komposisi jenis ikan yang didaratkan di PPP Labuan
Banten disajikan dalam Gambar 2.

ikan lainnya

3%
1%
5%

Tongkol abu-abu

5% 3%

Tembang
Kembung

6%

Tenggiri

50%

7%

Kurisi
Peperek

10%
Layur
Cumi-cumi

10%

udang

Gambar 2 Komposisi tangkapan per jenis ikan di Kabupaten Pandeglang
(DKP Pandeglang 2013)

Rasio Kelamin dan Hubungan Panjang dan Bobot
Rasio kelamin ikan layur pada setiap pengambilan contoh disajikan pada
Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa pada setiap pengambilan contoh
jumlah ikan layur jantan lebih besar daripada ikan layur betina. Jumlah ikan betina
yang teramati sebanyak 162 ekor dan jumlah ikan layur jantan sebanyak 336 ekor
dengan perbandingan 33%:67%. Berdasarkan uji Chi-square rasio kelamin ikan
layur betina dan jantan tidak seimbang.

Tabel 2 Rasio kelamin ikan layur betina dan jantan di Selat Sunda
Jumlah

Tanggal Pengamatan
Betina

Rasio (%)
Jantan

Betina

n

Jantan

30 Mei 2014

20

30

40

60

50

27 Juni 2014

16

84

16

84

100

23 Juli 2014

68
68

24

76

89

24 Agustus 2014

21
27

28

72

95

23 September 2014

46

53

46

54

99

24 Oktober 2014

32

33

49

51

65

162

336

498

12
Analisis hubungan panjang dan bobot digunakan untuk menentukan pola
pertumbuhan suatu organisme. Hubungan panjang dan bobot ikan layur disajikan
pada Gambar 3 dan Gambar 4. Berdasarkan Gambar 3 diperoleh hubungan panjang
dan bobot ikan layur betina yaitu W = 0,000006L2,6531 dengan nilai koefisien
determinasi sebesar 79,82%, sedangkan hubungan panjang dan bobot ikan layur
jantan diperoleh persamaan W = 0,000005L2,6614 dengan nilai koefisien determinasi
75,36% (Gambar 4). Selanjutnya dilakukan uji t untuk menentukan pola
pertumbuhan ikan layur. Pola pertumbuhan ikan layur betina dan jantan adalah
allometrik negatif artinya pertumbuhan panjang lebih cepat daripada pertumbuhan
bobotnya.
250

Bobot (gram)

200

W = 0,000006L2,6531
R² = 79,82%
n = 162

150

100

50

0
0

100

200

300

400

500

600

700

Panjang (mm)

Gambar 3 Hubungan panjang dan bobot ikan layur betina di Selat Sunda

250

Bobot (gram)

200

W = 0,000005L2,6614
R² = 75,36 %
n = 336

150

100

50

0
0

100

200

300

400

500

600

700

Panjang (mm)

Gambar 4 Hubungan panjang dan bobot ikan layur jantan di Selat Sunda

13
Panjang pertama kali tertangkap (Lc)
Panjang pertama kali tertangkap adalah panjang ikan yang sebanyak 50%
ditangkap di suatu perairan. Analisis panjang pertama kali tertangkap ikan layur
betina dan jantan di perairan Selat Sunda masing-masing adalah 460,46 dan 451,21
mm. Grafik panjang pertama kali tertangkap ikan layur disajikan dalam Gambar 5
dan 6.

1,20

Frekuensi

1,00
0,80

Lc = 460,46 mm

0,60
0,40
0,20
0,00
0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

600,00

700,00

Nilai tengah panjang (mm)

Gambar 5 Panjang pertama kali tertangkap ikan layur betina
1,20

Frekuensi

1,00
0,80

Lc = 451,21 mm

0,60
0,40
0,20
0,00
0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

600,00

700,00

Nilai tengah panjang (mm)

Gambar 6 Panjang pertama kali tertangkap ikan layur jantan

Tingkat Kematangan Gonad
Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad
sebelum dan sesudah ikan memijah. Grafik tingkat kematangan gonad ikan layur
betina dan jantan pada setiap pengambilan contoh disajikan pada Gambar 5 dan

14

frekuensi

Gambar 6. Berdasarkan Gambar 5 ikan layur yang paling banyak tertangkap, yaitu
ikan pada tingat kematangan gonad 1 dan 2. Ikan layur betina pada tingkat
kamatangan gonad 3 dan 4 tidak ditemukan pada pengambilan contoh ke 4. Ikan
layur jantan pada tingkat kematangan gonad 3 dan 4 tidak ditemukan pada
pengambilan contoh ke 3, ikan layur jantan pada tingkat kematangan gonad 1 dan
2 banyak ditemukan pada setiap pengambilan contoh. Panjang pertama kali matang
gonad ikan layur betina 567,25 mm dan panjang pertama kali matang gonad ikan
layur jantan 604,58 mm.
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

TKG 4
TKG 3
TKG 2
TKG 1

waktu pengambilan contoh

Gambar 7 Tingkat kematangan gonad ikan layur betina di Selat Sunda
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

frekuensi

TKG 4
TKG 3
TKG 2
TKG 1

waktu pengambilan contoh

Gambar 8 Tingkat kematangan gonad ikan layur jantan di Selat Sunda

Sebaran Frekuensi Panjang dan Kelompok Umur
Ikan layur betina yang diamati pada setiap pengambilan contoh berkisar
antara 232-643 mm dengan jumlah contoh sebanyak 162 individu. Panjang ikan
layur jantan yang diambil berkisar antara 245-642 mm dengan jumlah contoh

15
sebanyak 336 individu. Frekuensi panjang ikan layur betina tertinggi terdapat pada
selang kelas 536-573 mm dan frekuensi panjang ikan layur jantan terdapat pada
selang kelas 498-535 mm. Analisis kelompok umur dilakukan melalui metode
NORMSEP dengan program Fisat II. Hasil analisis pemisahan kelompok ukuran
disajikan pada Gambar 7 dan Gambar 8.

Mei
n=20

Frekuensi

40

20

0

Frekuensi

40

250,5 288,5 326,5 364,5 402,5 440,5 478,5 516,5 554,5 592,5 630,5

Juni
n=16
20

0

Frekuensi

40

250,5 288,5 326,5 364,5 402,5 440,5 478,5 516,5 554,5 592,5 630,5
Juli
n=21

20

0

Frekuensi

40

250,5 288,5 326,5 364,5 402,5 440,5 478,5 516,5 554,5 592,5 630,5
Agustus
n=27

20

0

Frekuensi

40

250,5 288,5 326,5 364,5 402,5 440,5 478,5 516,5 554,5 592,5 630,5
September
n=46

20

0

Frekuensi

40

250,5 288,5 326,5 364,5 402,5 440,5 478,5 516,5 554,5 592,5 630,5
Oktober
n=32

20

0
250,5 288,5 326,5 364,5 402,5 440,5 478,5 516,5 554,5 592,5 630,5
Nilai tengah Panjang (mm)

Gambar 9 Sebaran frekuensi panjang ikan layur betina di Selat Sunda

16

Frekuensi

40

20

Mei
n=30

0

Frekuensi

40

250,5 288,5 326,5 364,5 402,5 440,5 478,5 516,5 554,5 592,5 630,5
Juni
n=84

20

0

Frekuensi

40

250,5 288,5 326,5 364,5 402,5 440,5 478,5 516,5 554,5 592,5 630,5
Juli
n=68

20

0

Frekuensi

40

250,5 288,5 326,5 364,5 402,5 440,5 478,5 516,5 554,5 592,5 630,5
Agustus
n=68

20

0

Frekuensi

40

250,5 288,5 326,5 364,5 402,5 440,5 478,5 516,5 554,5 592,5 630,5
September
n=53

20

0
250,5 288,5 326,5 364,5 402,5 440,5 478,5 516,5 554,5 592,5 630,5

Frekuensi

40
Oktober
n=33
20
0
250,5 288,5 326,5 364,5 402,5 440,5 478,5 516,5 554,5 592,5 630,5
Nilai tengah panjang (mm)

Gambar 10 Sebaran frekuensi ikan layur jantan di Selat Sunda

Hasil analisis kelompok umur ikan layur betina dan jantan disajikan pada
Tabel 3 berupa panjang rata-rata dan indeks separasi. Tabel 3 menunjukkan
banyaknya kelompok umur pada setiap pengambilan contoh. Terdapat dua
kelompok ukuran ikan layur betina dalam setiap pengambilan contoh. Kelompok
umur ikan layur jantan pada pengambilan contoh di bulan Mei dan Oktober hanya

17
terdapat satu kelompok ukuran sedangkan pada bulan Juni-September terdapat dua
kelompok ukuran ikan layur jantan.

Tabel 3 Sebaran kelompok ukuran ikan layur betina dan jantan
Waktu
Pengambilan
Contoh

Kelompok Umur
Betina

30 Mei 2014

Jantan
1

1

2
27 Juni 2014
23 Juli 2014
24 Agustus 2014
23 September 2014
24 Oktober 2014

Panjang Rata-Rata
Betina

Jantan

497,50±19,87

538,04±25,36

Indeks Separasi
Betina

Jantan

N.A

563,43±23,63

N.A

3,03

1

1

474,38±19,00

326,52±19,00

N.A

N.A

2

2

552,36±19,00

484,43±38,02

4,1

5,53

1

1

406,77±48,96

369,39±43,89

N.A

N.A

2

2

592,45±19,00

524,42±38,34

5,46

3,77

1

1

535,98±48,19

444,48±19,00

N.A

N.A

2

2

557,82±19,00

553,96±32,89

2,65

4,21

1

1

501,36±40,99

506,94±45,24

N.A

N.A

2

2

623,38±19,00

603,07±19,56

4,06

2,96

1

1

255,86±19,00

363,34±56,51

N.A

N.A

2

398,55±48,69

4,21

Parameter pertumbuhan
Hasil analisis parameter pertumbuhan meliputi panjang asimtot (L∞),
koefisien pertumbuhan (K), dan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan
nol (t0). Parameter pertumbuhan ikan layur betina dan jantan dapat dilihat pada
Tabel 4. Panjang asimtot ikan layur betina lebih kecil dari pada ikan jantan.

Tabel 4 Parameter pertumbuhan ikan layur betina dan jantan
Nilai

Parameter
Betina
L∞ (mm)
K (bulan-1)
t0 (bulan)

Jantan

697,2546

878,0304

0,3012

0,2229

-0,2324

-0,2982

Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan layur yang di perairan Selat Sunda
yang didaratkan di PPP labuan Banten disajikan dalam Gambar 9 (betina) dan
Gambar 10 (jantan) dengan memplotkan umur (bulan) dengan panjang teoritis ikan
(mm) sampai umur ikan mencapai 20 bulan. Persamaan Von Bertalanffy ikan layur
betina Lt = 697,2546 (1-e(-0,3012 (t+0,2324))) dan ikan layur jantan Lt = 878,0304 (1e(0,2229 (t+0,2982 ))).

18
900
800

panjang (mm)

700
600
500
400
300
200
100
0
-1

1

3

5

7

9

11

13

15

t (bulan)

Gambar 11 Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan layur betina
900
800

panjang (mm)

700
600
500
400
300
200
100
0
-1 0

1

2

3

4

5

6

7

8

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

t (bulan)

Gambar 12 Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan layur jantan

Mortalitas dan Laju Eksploitasi
Mortalitas atau kematian ikan dalam suatu populasi dapat disebabkan karena
faktor alami (M) dan faktor penangkapan (F). Mortalitas total (Z) adalah
penjumlahan dari mortalitas alami dan mortalistas yang terjadi karena aktivitas
penangkapan. Pendugaan nilai mortalitas dan laju eksploitasi didapatkan dari data
tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang. Dugaan nilai mortalitas dan laju
eksploitasi ikan layur betina dan jantan disajikan dalam Tabel 5. Mortalitas
penangkapan ikan layur betina dan jantan lebih tinggi daripada mortalitas alaminya.
Nilai laju eksploitasi ikan layur betina 76% dan jantan 87%.

19
Tabel 5 Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan layur di Selat Sunda
Nilai

Parameter
Betina

Jantan

Mortalitas alami (M) (/tahun)

0,28

0,21

Mortalitas tangkapan (F) (/tahun)

0,88

1,43

Mortalitas total (Z) (/tahun)

1,16

1,65

Laju eksploitasi

0,76

0,87

Model Produksi Surplus
Data produksi kegiatan penangkapan ikan layur di PPP Labuan, Banten
selama 8 tahun terakhir disajikan dalam Tabel 6. Tebel 6 diperoleh dari proses
standarisasi alat tangkap dengan memproporikan tangkapan ikan layur dan
tangkapan total pada alat tangkap tertentu. Alat tangkap yang paling efisien dengan
nilai FPI tertinggi yaitu pukat cincin. Model produksi surplus yang digunakan
adalah model Schaefer dengan nilai determinasi sebesar 72%. Grafik analisis
model produksi surplus berdasarkan model Schaefer dapat dilihat pada Gambar 11.

Tabel 6 Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan layur
Tahun

Hasil tangkapan (ton)

Upaya Penangkapan (trip)

CPUE

2006

301,50

360,87

0,84

2007

317,70

353,29

0,90

2008

971,20

1 285,42

0,76

2009

974,57

1 412,62

0,69

2010

942,09

1 402,10

0,67

2011

661,52

1 839,59

0,36

2012

715,87

1 221,80

0,59

2013

700,03

1 196,35

0,59

1200,00
2009

produksi (ton)

1000,00

2008

2010

800,00
2012
2013

600,00

2011

tangkapan
pertahun
f MSY
c MSY

400,00
200,00
0,00
0,00

2007
2006

1000,00

2000,00
3000,00
upaya tangkap (trip)

4000,00

Gambar 13 Model produksi surplus (model Schaefer)

20
Hasil tangkapan ikan layur dari tahun 2006-2013 berfluktuasi. Hasil
tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2009 sedangkan upaya tertinggi terjadi di
tahun 2011. Nilai tangkapan lestari dan upaya lestari ikan layur berdasarkan model
Schaefer yaitu sebesar 881 ton dan 1 790 trip. Nilai Total Allowable Catch (TAC)
yaitu sebesar 635 ton dengan tingkat pemanfaatan sebesar 79,42 % pada tahun 2013.

Pembahasan

Rasio kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan betina dengan jumlah
ikan jantan dalam suatu populasi. Berdasarkan uji Chi-square rasio kelamin ikan
layur betina dan jantan di Selat Sunda tidak seimbang. Perbandingan jumlah ikan
layur betina dan jantan 33%:67%. Perbandingan ikan betina dan jantan dalam
populasi yang ideal adalah 1:1 (Ball dan Rao 1984 in Sparre dan Venema 1999).
Namun, pada kenyataanya di alam perbandingan rasio kelamin tidak mutlak.
Penyimpangan ini dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh
ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan.
Rasio kelamin juga dipengaruhi oleh tingkah laku ikan, perbedaan mortalitas, dan
pertumbuhannya (Effendie 1997).
Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang dan bobot suatu organisme.
Analisis hubungan panjang dan bobot digunakan untuk mengetahui pola
pertumbuhan ikan layur betina dan jantan di Selat Sunda yang didaratkan di PPP
Labuan, Banten. Persamaan hubungan panjang dan bobot ikan layur betina
W = 0,000006 L2,6531 dengan nilai determinasi sebesar 79,82%. Persamaan
hubungan panjang dan bobot ikan layur jantan W = 0,000005L2,6614 dengan nilai
determinasi sebesar 75,36 %. Hasil analisis yang dilakukan didapatkan nilai b ikan
layur betina 2,6531 dan ikan layur jantan 2,6614. Menurut Hile (1936) and Martin
(1949) in Chakravarty et al. (2012) nilai b berkisar antara 2,5-4,0.
Nilai b ikan layur betina dan jantan yang diperoleh dari penelitian ini lebih
kecil daripada nilai b yang diperoleh dari penelitian Pakhmode et al. (2013) di
Perairan Ratnagiri (3,0311 dan 3,3608), Rizvi et al. (2013) di perairan Mumbai
(3,1671 dan 3,4499), Tabassum et al. (2013) di Pesisir Karachi (2,714 dan 2,943),
dan Kudale et al. (2014) di Perairan Karwar (3,4400 dan 3,4112). Namun, lebih
besar dari penelitian Wardani (2010) di Pameungpeuk (1,873). Menurut Narare &
Campos (2002) in Hajjej et al. (2010), besar kecilnya nilai b dipengaruhi oleh
temperatur, salinitas, tingkat kedewasaan, dan ketersediaan makanan.
Pendugaan pola pertumbuhan ikan layur betina dan jantan berdasarkan uji t
(α = 0,05) adalah allometrik negatif yang artinya pertumbuhan panjang lebih cepat
daripada pertumbuhan bobot. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Wardani (2010) di Garut. Pola pertumbuhan di pengaruhi oleh kondisi lingkungan
dan ketersediaan makanan (Sholeh 2012). Kondisi perairan seperti suhu dan
makanan akan berpengaruh terhadap tingkat kematangan gonad ikan.
Tingkat kematangan gonad ikan layur betina dan jantan didominasi oleh TKG
1 dan TKG 2. Ikan betina yang telah matang gonad dominan ditemukan pada bulan
Mei-Juli, sedangkan pada ikan layur jantan hampir setiap bulan ditemukan ikan
yang telah matang gonad. Ikan layur melakukan pemijahan dua kali dalam satu

21
tahun, yaitu pada bulan Mei-Juli dan November-Desember (Chakravarty et al.
2013). Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian ini bahwa ikan layur jantan
dan betina yang telah matang gonad dominan ditemukan pada bulan Mei-Juli.
Panjang pertama kali matang gonad ikan layur betina dan jantan masingmasing 567,25 mm dan 604,58 mm. Hal ini diasumsikan bahwa sebanyak 50%
ikan layur telah mencapai matang gonad pada panjang tersebut. Panjang pertama
kali matang gonad ikan betina lebih kecil daripada ikan jantan. Berdasarkan hal
tersebut dapat diketahui bahwa ikan layur betina lebih cepat mencapai TKG 3
daripada ikan jantan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati
(2008) ukuran ikan layur pertama kali matang berkisar antara 836–908 mm untuk
ikan jantan dan 735-971 mm untuk ikan betina. Panjang pertama kali matang
gonad yang diperoleh dari penelitian Pakhmode et al. (2013) di Perairan Ratnagiri
lebih kecil, yaitu 380 mm. Menurut Abdussamad et al. (2012), panjang ikan matang
gonad pada setiap perairan berbeda-beda, karena variasi ukuran dan umur ikan
memijah di suatu perairan.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa nilai panjang pertama kali
tertangkap ikan layur betina dan jantan masing-masing sebesar 460,46 mm dan
451,21 mm. Nilai panjang pertama kali tertangkap ikan layur lebih kecil daripada
panjang pertama kali matang gonad. Hal ini menunjukkan sebagian besar ikan
layur yang tertangkap d Perairan Selat Sunda belum dewasa. Kondisi tersebut
menunjukkan alat tangkap yang digunakan untuk penangkapan ikan layur di
Perairan Selat Sunda tidak ramah lingkungan dan berpeluang untuk terjadinya
growth overfishing dan recruitment overfishing.
Panjang ikan layur betina dan jantan yang teramati berkisar antara 232-643
mm dan 245-642 mm. Panjang aktual ikan layur yang teramati lebih kecil jika
dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati (2008) di
Palabuhanratu, yaitu 314-953 mm dan Sharif (2009), yaitu 555-925 serta penelitian
sebelumnya di perairan Selat Sunda oleh Sholeh (2012), yaitu 370-1062 mm.
Perbedaan yang terjadi di antara penelitian-penelitian tersebut diakibatkan adanya
perbedaan lokasi dan waktu pengambilan contoh serta diakibakan oleh kemampuan
pertumbuhan ikan (Oktaviyani 2013). Berdasarkan Gambar 7 dan 8 terlihat bahwa
terjadi perubahan modus nilai tengah panjang ke kanan pada bulan Mei-September
yang menandakan bahwa pada bulan tersebut ikan layur mengalami pertumbuhan.
Perubahan modus panjang ikan digunakan untuk menentukan parameter
pertumbuhan.
Parameter pertumbuhan ikan layur diduga dengan metode Ford Walford.
Parameter pertumbuhan yang diamati meliputi, panjang asimtot ikan layur,
koefisien pertumbuhan, dan waktu ketika panjang ikan nol. Berdasarkan hasil
analisis menggunakan Ford Walford diperoleh bahwa nilai koefisien pertumbuhan
ikan betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Ikan layur betina tumbuh
1,5 kali lebih cepat daripada ikan layur jantan. Koefisien pertumbuhan berbanding
lurus dengan mortalitas alami dan berbanding terbalik dengan panjang asimtot dan
siklus hidup (Beverton dan Holt 1956 in Rizvi et al. 2005). Menurut Sparre dan
Venema (1999), semakin rendah koefisien pertumbuhan, waktu yang dibutuhkan
spesies tersebut untuk mendekati panjang asimtotik semakin lama. Nilai panjang
asimtot yang kecil dari ikan layur betina menunjukkan bahwa ikan betina memiliki
siklus hidup yang lebih pendek.

22
Parameter pertumbuhan ikan layur dari berbagai penelitian disajikan dalam
Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa nilai parameter pertumbuhan ikan
layur dari beberapa perairan berbeda-beda. Perbedaan nilai parameter pertumbuhan
diakibatkan adanya perbedaan kondisi perairan. Nilai parameter pertumbuhan ikan
layur di Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan lebih kecil daripada ikan Layur
di perairan lainnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sholeh (2012) di
perairan Selat Sunda di peroleh bahwa nilai panjang asimtot ikan layur sebesar
1110,53 mm. Nilai tersebut lebih besar dari pada nilai panjang asimtot yang
diperoleh dari penelitian ini di perairan yang sama. Hal ini dapat mengindikasikan
terjadinya overfishing, yaitu ikan yang tertangkap semakin kecil. Menurut Effendie
(2002), cepat lambatnya pertumbuhan di pengaruhi oleh faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal terdiri atas keturunan, seks, umur, parasit, dan penyakit,
sedangkan faktor eksternal terdiri atas ketersediaan makanan dan kondisi perairan.
Tabel 7 Parameter pertumbuhan ikan layur dari berbagai penelitian
Sumber

Lokasi

Rizvi et al.
(2005)
Sharif
(2009)
Rizvi et al.
(2010)
Wardani
(2010)
Sholeh
(2012)
Pakhmode
et al.
(2013)
Penelitian
ini (2014)

Pesisir
Mumbai
Teluk
Palabuhanratu
Pesisir
Mumbai

Parameter pertumbuhan
Jenis
K
kelamin L∞ (mm)
t0 (bulan)
(/bulan)

Pameungpeuk
Selat Sunda
Pesisir
Ratnagiri
Selat Sunda

Betina
Jantan

Panjang (mm)
min

max

688

0,87

-0,000251

-

-

1348

0,56

-0,62

555

925

688

0.87

-0,000251

75

650

1031

0,6

-0,62

514

964

1110,53

3,52

-0,097

370

1062

682,5

0,55

-

10

70

697,2546
878,0304

0,3012
0,2229

-0,2324
-0,2982

232
245

643
642

Kematian ikan layur di selat sunda lebih dominan diakibatkan oleh aktivitas
penangkapan. Hal ini dikarenakan nilai laju mortalitas penangkapan (F) lebih tinggi
daripada nilai laju mortalitas alaminya. Menurut Sparre & Venema (1999) bahwa
mortalitas alami dipengaruhi oleh pemangsaan, penyakit, umur, dan kelaparan.
Menurut Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) bahwa faktor lingkungan yang
mempengaruhi nilai mortalitas alami (M) adalah suhu rata-rata perairan selain
faktor panjang maksimum secara teoritis (L) dan laju pertumbuhan (K). Nilai
mortalitas penangkapan dipengaruhi oleh tingkat eksploitasi. Menurut Lelono
(2007) bahwa semakin tinggi tingkat eksploitasi di suatu daerah, mortalitas
penangkapannya semakin besar.
Nilai laju eksploitasi ikan layur betina sebesar 76% dan jantan sebesar 87%.
Nilai laju eksploitasi ikan layur di Selat Sunda telah melebihi titik optimum yaitu
50% (Gulland 1971 in Pauly 1984), sehingga hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa ikan layur yang ada di Perairan Selat Sunda sudah mengalami tangkap lebih.

23
Sama halnya dengan hasil penelitian Syarif (2009), Sholeh (2012), dan Rizvi et al.
(2010) yang mengungkapkan bahwa stok ikan layur di beberapa perairan telah
mengalami tangkap lebih.
Ikan layur merupakan ikan demersal yang biasanya ditangkap dengan Gillnet
dan trawl (Fofandi 2012). Ikan layur tertangkap dengan alat tangkap trawl, rampus,
jaring insang, purse seine mini dan lampara dasar. Berdasarkan hasil standarisasi
alat tangkap diperoleh alat tangkap yang paling efisien untuk menangkap ikan layur
adalah pukat cincin. Menurut Harjanti et al. (2012) musim penangkapan ikan layur
terjadi pada bulan Agustus, November-Januari, dan April-Mei.
Puncak
penangkapan ikan layur tejadi pada bulan September-Desember (Fofandi 2012).
Hasil analisis menggunakan metode Schaefer