Status Stok Sumberdaya Ikan Tetengkek (Megalaspis Cordyla) Di Perairan Selat Sunda

STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN TETENGKEK
(Megalaspis cordyla) DI PERAIRAN SELAT SUNDA

IRMA FADILLA

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Status Stok
Sumberdaya Ikan Tetengkek (Megalaspis cordyla) di Perairan Selat Sunda adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir penulisan ini.


Bogor, Mei 2015

Irma Fadilla
NIM C24110072

ABSTRAK
IRMA FADILLA. Status Stok Sumberdaya Ikan Tetengkek (Megalaspis cordyla)
di Perairan Selat Sunda. Dibimbing oleh RAHMAT KURNIA dan NURLISA A
BUTET.
Ikan tetengkek merupakan salah satu ikan pelagis yang memiliki nilai
ekonomis penting. Ikan tetengkek tersebar dari Indo Pasifik hingga Pasifik Barat
(Afrika Timur hingga Jepang dan Australia). Ikan ini merupakan ikan hasil
tangkapan sampingan. Penelitian ilmiah mengenai ikan ini sudah banyak
dilakukan di India dan Indonesia, sehingga untuk mengetahui status perikanannya,
penelitian mengenai ikan ini harus dilakukan. Tujuan dilakukannya penelitian ini
adalah untuk menentukan status stok ikan tetengkek di perairan Selat Sunda yang
didaratkan di PPP Labuan, Banten. Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni hingga
bulan September 2014. Studi ini mencakup aspek pertumbuhan, hubungan
panjang dan bobot, laju eksploitasi, dan model produksi surplus. Hasil dari
penelitian ini mengindikasikan bahwa pola pertumbuhan ikan tetengkek adalah

isometrik, waktu pemijahan terjadi sekitar bulan Juni dan Agustus, ukuran
pertama kali matang gonad sebesar 251,2526 mm, dan status stok ikan tetengkek
telah mengalami eksploitasi dan tangkap lebih.
Kata kunci: Ikan tetengkek, laju eksploitasi, pertumbuhan, PPP Labuan, status
stok.

ABSTRACT
IRMA FADILLA. Stock Status of Torpedo Scad (Megalaspis cordyla) in the
Sunda Strait. Guided by RAHMAT KURNIA and NURLISA A BUTET.
Torpedo scad is one of the economic important pelagic species. Its
distribution ranges from Indo – West Pasific (East Africa to Japan and Australia).
It is accounted as by catch fisheries. It is well documented scientifically in India,
in contrast to Indonesia, therefore to know the status of the fishery, a thorough
study should be conducted. The objective of this study was to determine status of
torpedo stock in Sunda Strait which landed in PPP Labuan, Banten. This research
was implemented on June until September 2014. The study covered aspects of
growth, relation of length and weight, exploitation rate, and surplus production
model. The results of this study indicated that growth pattern was isometric,
spawning time was around June and August, size at maturity was 251.2526 mm,
and stock status of this species was overexploited and overfished.

Keywords: Torpedo scad, exploitation rate, growth, PPP Labuan, stock status.

STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN TETENGKEK
(Megalaspis cordyla) DI PERAIRAN SELAT SUNDA

IRMA FADILLA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Status
Stok Sumberdaya Ikan Tetengkek (Megalaspis cordyla) di Perairan Selat
Sunda” ini dapat diselesaikan. Skripsi disusun dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk
menempuh studi di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.
2. Beasiswa Bidik Misi yang telah memberikan bantuan dana perkuliahan.
3. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan atas biaya penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan
Tinggi Negeri (BOPTN), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),
DIPA IPB Tahun Ajaran 2014, kode Mak:2013. 089. 521219, Penelitian
Dasar untuk Bagian, Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Lembaga
Penelitan dan Pengabdian kepada Masyarakat, IPB dengan judul
“Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Sumberdaya Ikan Ekologis
dan Ekonomis Penting di Perairan Selat Sunda, Provinsi Banten” yang
dilaksanakan oleh Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA (sebagai ketua

peneliti) dan Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi (sebagai anggota peneliti).
4. Dr Ir Yonvitner, MSi sebagai dosen pembimbing akademik.
5. Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi dan Dr Ir Nurlisa A. Butet, MSi selaku dosen
pembimbing.
6. Dr Ir Niken TM Pratiwi, MSi dan Ali Mashar SPi, MSi selaku Komisi
Pendidikan Program S1, serta Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA selaku
dosen penguji tamu, yang telah memberikan arahan dan masukan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Seluruh dosen dan staf Tata Usaha Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan.
8. Bapak Suminta, Bapak Una dan staf DKP Kabupaten Pandeglang.
9. Bapak, Ibu, Aa, Ismi, dan keluarga besar atas segala doa, semangat, dan
kasih sayang kepada penulis.
10. MSP 48, Tim Penelitian BOPTN 2014, abang dan kakak MSP 47, seluruh
asisten MOSI, adik-adik MSP 49 dan 50, teman-teman A3 Lorong 7,
MAN 1 Bogor 2011, sahabat-sahabat: Rosita, Oky, Anes, Goran, Dini, Ira,
Santi, Salis, Tyas, Nesia, Haqqul, Bayu, Amir, Ceppy, Sigit, Pedryn,
Ridho, Septa dan seluruh sahabat yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
atas segala doa, semangat dan bantuannya selama ini.
Demikian skripsi ini disusun, semoga bermanfaat.

Bogor, Mei 2015
Irma Fadilla

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
METODE
Lokasi dan Waktu
Pengumpulan Data
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
1
1
1
2
2
2
2
3
3
10

10
19
23
23
24
25
28
43

DAFTAR TABEL
1 TKG berdasarkan klasifikasi Cassie (1956) in Effendie (1979)
2 Rasio kelamin ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) pada setiap
pengambilan contoh
3 Parameter pertumbuhan berdasarkan model von Bertalanffy (K, L∞, dan
t0)
4 Mortalitas dan laju eksploitasi ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) di
PPP Labuan
5 Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan tetengkek
(Megalaspis cordyla) di PPP Labuan
6 Perbandingan nilai b ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) dari berbagai

penelitian
7 Perbandingan parameter pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis
cordyla) dari berbagai penelitian
8 Perbandingan laju eksploitasi ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) dari
berbagai penelitian

6
12
16
18
18
20
22
22

DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi penelitian
2 Ikan Tetengkek (Megalaspis cordyla)
3 Komposisi hasil tangkapan ikan di PPP Labuan
4 Hubungan panjang bobot ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) betina

5 Hubungan panjang bobot ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) jantan
6 Hubungan panjang bobot ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) total
7 Faktor kondisi ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
8 Tingkat kematangan gonad ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) betina
9 Tingkat kematangan gonad ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) jantan
10 Tingkat kematangan gonad ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) total
11 Sebaran frekuensi panjang ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
12 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan tetengkek (Megalaspis
cordyla) betina
13 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan tetengkek (Megalaspis
cordyla) jantan
14 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan tetengkek (Megalaspis
cordyla) total
15 Kurva pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) betina
16 Kurva pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) jantan
17 Kurva pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) total
18 Kurva model produksi surplus ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) di
PPP Labuan Banten

3

10
11
12
12
13
13
14
14
14
15
15
16
16
17
17
17
18

DAFTAR LAMPIRAN
1 Proses penentuan laju mortalitas total (Z) melalui kurva yang dilinearkan
berdasarkan data panjang
2 Hubungan panjang bobot ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
3 Faktor kondisi ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
4 Tingkat kematangan gonad ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
5 Ukuran pertama kali matang gonad ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
6 Sebaran frekuensi panjang ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
7 Pendugaan pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
8 Pendugaan mortalitas ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
9 Standarisasi alat tangkap
10 Model produksi surplus

28
30
31
31
32
33
33
35
41
42

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perairan Selat Sunda merupakan salah satu perairan di Indonesia yang
memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial. Kondisi alam Selat Sunda
memberikan peluang terhadap berbagai jenis usaha perikanan yang dapat
dilakukan (Dhenis 2010). Salah satu tempat pendaratan dan pelelangan ikan yang
berasal dari perairan Selat Sunda adalah Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)
Labuan yang terletak di Provinsi Banten. Menurut Irhamni (2009), PPP Labuan
memiliki prospek yang cukup baik karena jumlah produksi ikan di PPP Labuan
lebih besar daripada PPI lain di Kabupaten Pandeglang. Ikan tetengkek adalah
salah satu kelompok ikan pelagis dan jenis ikan lepas pantai yang memiliki nilai
ekonomis penting. Harga jual ikan tetengkek di PPP Labuan berkisar antara Rp 5
000,00 hingga Rp 15 000,00/Kg. Ikan tetengkek dipasarkan dalam bentuk segar
maupun dalam bentuk olahan.
Meningkatnya kebutuhan masyarakat menyebabkan permintaan ikan
tetengkek bertambah karena ikan ini memiliki harga jual yang cukup terjangkau di
berbagai kalangan masyarakat. Meskipun jenis ikan ini memiliki nilai ekonomis
yang cukup terjangkau dan banyak dikonsumsi, ikan tetengkek tidak begitu
dikenal oleh khalayak umum karena jenis ikan ini merupakan tangkapan
sampingan ikan pelagis para nelayan. Pengelolaan sumberdaya ikan tetengkek
yang berkelanjutan memerlukan data hasil tangkapan maupun informasi biologis
ikan tetengkek. Permintaan pasar yang terus meningkat akibat jumlah konsumsi
ikan tetengkek, serta rendahnya upaya pengelolaan akan menyebabkan
peningkatan upaya penangkapan sehingga populasi ikan tetengkek di alam,
khususnya perairan Selat Sunda menurun. Hal inilah yang mendasari penelitian
mengenai status stok ikan tetengkek.

Perumusan Masalah

Ikan tetengkek merupakan salah satu jenis ikan pelagis yang memiliki nilai
ekonomis penting. Kegiatan penangkapan ikan tetengkek yang tinggi setiap
tahunnya di perairan Selat Sunda dapat mempengaruhi kelimpahan ikan tetengkek
yang saat ini ukurannya semakin kecil sehingga menyebabkan penurunan stok
ikan tetengkek. Selain berpengaruh pada kelestarian sumberdaya, ukuran panjang
ikan yang semakin mengecil juga akan berdampak pada kesejahteraan nelayan
(Izati 2013). Oleh karena itu, diperlukan informasi mengenai kondisi stok ikan
tetengkek di PPP Labuan agar dapat dijadikan sumber informasi dalam rangka
pengelolaan sumberdaya ikan tetengkek yang tepat dan berkelanjutan.
Informasi yang diperlukan mengenai kondisi stok sumberdaya ikan
tetengkek meliputi pola pertumbuhan, sebaran kelompok umur, parameter
pertumbuhan, tingkat kematangan gonad (TKG), mortalitas dan laju eksploitasi,

2
dugaan ukuran rata-rata mencapai matang gonad, tangkapan maksimum lestari
atau maximum sustainable yield (MSY), dan upaya optimum penangkapan
sumberdaya ikan tetengkek di perairan Selat Sunda. Berdasarkan peubah-peubah
tersebut kemudian dapat ditentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan.
Informasi tersebut berguna bagi rencana pengelolaan sumberdaya ikan tetengkek
yang tepat dan berkelanjutan sehingga dapat menjamin kesejahteraan nelayan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menentukan status stok
ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) di perairan Selat Sunda yang didaratkan di
PPP Labuan, Banten.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan beberapa informasi terkait status stok
sumberdaya ikan tetengkek sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan
dalam pengelolaan ikan tetengkek di perairan Selat Sunda yang tepat dan
berkelanjutan serta mengurangi dampak overfishing. Selain itu hasil yang
diperoleh dari penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi dasar kebijakan bagi
dinas setempat terkait dalam upaya pengelolaan perikanan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat.

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni hingga September 2014 di PPP
Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten (Gambar 1). Jenis ikan yang
dikaji yaitu ikan tetengkek (Megalaspis cordyla). Ikan contoh diperoleh dari
nelayan yang menangkap ikan di perairan Selat Sunda. Pengambilan contoh ikan
dilakukan sebulan sekali dengan selang satu bulan sebanyak empat kali. Analisis
ikan contoh dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan, Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.

3

Gambar 1 Peta lokasi penelitian

Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer terdiri dari panjang total (mm), bobot basah (gr), dan jenis
kelamin ikan tetengkek. Metode pengambilan ikan contoh yang digunakan adalah
Penarikan Contoh Acak Sederhana (PCAS) pada ikan tetengkek yang memiliki
fishing ground dan tertangkap di sekitar perairan Selat Sunda serta didaratkan di
PPP Labuan, Banten.
Pada pengumpulan data primer, ikan tetengkek diukur panjang totalnya
menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm, kemudian ditimbang bobot
basahnya menggunakan timbangan dengan ketelitian 10 gram. Setelah diukur dan
timbang, ikan tetengkek kemudian dimasukkan ke dalam plastik klip dan diberi
nomor. Ikan tetengkek dimasukkan ke dalam cool box untuk selanjutnya
dilakukan pembedahan di laboratorium. Setelah itu ikan tetengkek dibedah
menggunakan alat bedah untuk menentukan jenis kelamin dari ikan tersebut. Data
ini digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan dengan analisis ELEFAN I
pada software FISAT II. Data sekunder yang digunakan berupa data hasil
produksi penangkapan dan upaya penangkapan ikan tetengkek yang didaratkan di
PPP Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.

Analisis Data

Rasio kelamin
Rasio kelamin (sex ratio) merupakan bagian dari jantan atau betina dalam
populasi. Nilai proporsi berdasarkan jenis ikan yang diamati karena adanya

4
perbedaan tingkah laku jenis kelamin, kondisi lingkungan, dan penangkapan.
Menurut Walpole (1993), konsep rasio adalah proporsi populasi tertentu terhadap
total populasi.
p=

(1)

p adalah proporsi kelamin (jantan atau betina), n adalah jumlah jenis ikan jantan atau
betina, dan N adalah jumlah individu ikan jantan dan betina total. Keseimbangan
hubungan antara populasi betina dengan populasi jantan dalam suatu populasi
diperoleh melalui uji Chi square atau uji khi kuadrat:

χ² =

oi - ei
ei

(2)

χ² adalah nilai statistik Chi square untuk peubah acak yang sebaran penarikan
contohnya mengikuti sebaran Chi square, oi adalah sebaran ikan betina dan jantan
yang diamati, dan ei adalah frekuensi harapan ikan betina dan jantan.

Hubungan panjang bobot
Pola pertumbuhan pada ikan dapat dilihat melalui hubungan panjang dan
bobot. Rumus hubungan panjang bobot yaitu W = aLb, di mana W adalah bobot
total (gram) dan L (mm) adalah panjang total. Menurut Effendie (2002), nilai a
dan b adalah konstanta. Nilai a dan b tersebut didapatkan dari perhitungan regresi.
Korelasi parameter dari hubungan panjang dan berat dapat dilihat dari nilai
konstanta b dengan hipotesis:
1. Bila H0 : β1 = 3, dikatakan hubungan isometrik (pertambahan panjang sama
dengan pertambahan bobot).
2. Bila H0 : β1 ≠ 3, dikatakan memiliki hubungan allometrik, yaitu:
a) Bila b > 3, allometrik positif (pertambahan berat lebih dominan)
b) Bila b < 3, allometrik negatif (pertambahan panjang lebih dominan).
Selanjutnya untuk menguji hipotesis tersebut digunakan statistik uji sebagai
berikut :
(3)
Sb adalah galat baku dugaan b yang dihitung dengan :
(4)
Selanjutnya nilai t hitung dibandingkan dengan nilai t tabel pada selang
kepercayaan 95%. Pengambilan keputusannya adalah jika t hitung > ttabel maka
tolak hipotesis nol (H0) dan jika thitung < ttabel maka gagal tolak atau terima
hipotesis nol (H0) (Walpole 1993).

5
Faktor kondisi
Menurut Lagler (1961) in Effendie (1979), faktor kondisi menunjukkan
keadaan yang menyatakan kemontokan ikan atau dapat juga disebut dengan
ponderal indeks. Pada pola pertumbuhan isometrik faktor kondisi (KTL) dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
KTL =

(5)

Pada pola pertumbuhan allometrik faktor kondisi relatif (Kn) dihitung
dengan menggunakan rumus:
Kn =

(6)

W adalah berat tubuh ikan (gram), L adalah panjang ikan (mm), serta a dan b
adalah konstanta.

Tingkat kematangan gonad
Tingkat kematangan gonad (TKG) yaitu tahap-tahap tertentu dalam
perkembangan gonad mulai dari sebelum sampai ikan memijah. Informasi TKG
berperan untuk mengetahui perbandingan antara ikan yang telah matang gonad
dengan yang belum matang gonad, apakah ikan telah memijah atau belum, waktu
ikan memijah, lama waktu pemijahan, serta jumlah pemijahan dalam satu tahun.
Faktor utama yang mempengaruhi tingkat kematangan gonad pada daerah
bermusim empat adalah suhu dan makanan, namun untuk daerah yang beriklim
tropis suhu relatif tidak berpengaruh (Effendie 2002). Tabel klasifikasi TKG
dengan menggunakan klasifikasi Cassie (1956) in Effendie (1979) disajikan pada
Tabel 1.

Ukuran pertama kali matang gonad
Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan tetengkek
pertama kali matang gonad adalah metode Spearman-Karber yang menyatakan
bahwa logaritma ukuran rata-rata pertama kali matang gonad adalah sebagai
berikut (Udupa 1986):
m=

(7)

sehingga
Lm = antilog m
selang kepercayaan 95% bagi Lm dibatasi sebagai:

(8)

6
antilog (m ± 1.96

)

(9)

m adalah log panjang ikan pada kematangan gonad pertama, xk adalah log nilai
tengah kelas panjang yang terakhir ikan telah matang gonad, x adalah log
pertambahan panjang pada nilai tengah, pi adalah proporsi ikan matang gonad
pada kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i, ni adalah
jumlah ikan pada kelas panjang ke-i, qi adalah 1 – pi, dan Lm adalah panjang ikan
rata-rata mencapai matang gonad.

Tabel 1 TKG berdasarkan klasifikasi Cassie (1956) in Effendie (1979)
TKG
I

II

III

IV

V

Betina
Ovari seperti benang, panjangnya sampai ke
depan rongga tubuh, serta permukaannya
licin.

Jantan
Testes seperti benang,warna jernih,
dan ujungnya terlihat di rongga
tubuh.

Ukuran ovari lebih besar. Warna ovari
kekuning-kuningan, dan telur belum terlihat
jelas.
Ovari berwarna kuning dan secara morfologi
telur mulai terlihat.

Ukuran testes lebih besar pewarnaan
seperti susu.

Ovari makin besar, telur berwarna kuning,
mudah dipisahkan.
Butir minyak tidak
tampak, mengisi 1/2-2/3 rongga perut.
Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa
terdapat di dekat pelepasan.

Permukaan testes tampak bergerigi,
warna makin putih dan ukuran makin
besar.
Dalam keadaan diawet mudah putus,
testes semakin pejal.

Testes bagian belakang kempis dan di
bagian dekat pelepasan masih berisi.

Sebaran frekuensi panjang dan identifikasi kelompok umur
Sebaran frekuensi panjang diperoleh dari data panjang total ikan dan digunakan
untuk menentukan kelompok umur ikan. Data panjang total ikan dikelompokkan ke
dalam beberapa kelas panjang, sehingga kelas panjang ke-i memiliki frekuensi (fi).
Pendugaan kelompok umur diduga dengan analisis frekuensi panjang ikan
menggunakan metode ELEFAN I dalam software FISAT II (FAO-ICLARM Stock
Assesment Tool). Menurut Boer (1996), jika fi merupakan frekuensi ikan dalam
kelas panjang ke-i (i = 1, 2, …, N , μj adalah rata-rata panjang kelompok umur kej, σj adalah simpangan baku panjang kelompok umur ke-j dan pi adalah proporsi
ikan dalam kelompok umur ke-j (j = 1, 2, …, G , maka fungsi objektif yang
digunakan untuk menduga {
} adalah fungsi kemungkinan maksimum
(maximum likelihood function) :

(10)
qij dihitung dengan persamaan:

7
-

-

(11)

qij adalah fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah µ j dan simpangan
baku σj, xi adalah titik tengah kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan
dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap µ j, σj, pj sehingga
diperoleh dugaan
dan yang akan digunakan untuk menduga parameter
pertumbuhan.

Pendugaan parameter pertumbuhan
Menurut Sparre dan Venema (1999), pertumbuhan dapat diestimasi dengan
menggunakan model pertumbuhan von Bertalanffy, yakni:
(12)
Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (K) dan L dilakukan dengan
menggunakan metode Ford Wallford. Menurut King (1995) in Izati (2013),
metode Ford Walford merupakan salah satu metode yang paling sederhana untuk
menduga parameter pertumbuhan dari persamaan von Bertalanffy dengan interval
waktu pengambilan contoh yang tetap. Untuk t sama dengan t+1, persamaannya
menjadi:
(13)
Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L adalah panjang
maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan
(per satuan waktu), dan t0 adalah umur teoritis pada saat panjang ikan sama
dengan nol. Kemudian kedua rumus di atas disubstitusikan dan diperoleh
persamaan :
(14)
atau :
(15)
Berdasarkan persamaan di atas dapat diduga dengan persamaan regresi
linier
, jika Lt sebagai absis (x) diplotkan terhadap Lt+1 sebagai
ordinat (y) sehingga terbentuk kemiringan (slope) sama dengan e-K dan titik
potong dengan absis sama dengan L [1 – e-K]. Dengan demikian, nilai K dan L
diperoleh dengan cara:
(16)


(17)

8
Selanjutnya untuk menduga nilai t0 (umur teoritis ikan pada saat panjang sama
dengan nol) dapat diperoleh melalui persamaan Pauly (1983) in Sparre dan
Venema (1999):
(18)

Mortalitas dan laju eksploitasi
Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan
berdasarkan data komposisi panjang sedemikian sehingga diperoleh hubungan:
-

(19)

Persamaan diatas diduga melalui persamaan regresi linear sederhana y = b0 + b1x
dengan y =

sebagai ordinat, x =

sebagai absis, dan Z = -b

(Lampiran 1).
Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris
Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut:
-

-

(20)

M adalah mortalitas alami, L adalah panjang asimtotik pada persamaan
pertumbuhan von Bertalanffy (mm), K adalah koefisien pertumbuhan pada
persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, t0 adalah umur ikan pada saat panjang
nol, dan T adalah rata-rata suhu permukaan air (oC).
Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) menyarankan untuk
memperhitungkan jenis ikan yang memiliki kebiasaan menggerombol ikan
dikalikan dengan nilai 0,8 sehingga untuk spesies yang menggerombol seperti
ikan tetengkek nilai dugaan menjadi 20% lebih rendah:
-

-

(21)

Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan:
-

(22)

Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan antara laju
mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984):
(23)
M adalah laju mortalitas alami, F adalah laju mortalitas penangkapan, dan Z
adalah mortalitas total.

9
Standarisasi alat tangkap
Standarisasi alat tangkap digunakan untuk menyeragamkan upaya
penangkapan yang ada, sehingga dapat diasumsikan upaya penangkapan suatu alat
tangkap dapat menghasilkan tangkapan yang relatif sama dengan alat tangkap
yang dijadikan standar. Alat tangkap yang digunakan sebagai alat tangkap standar
adalah alat tangkap yang dominan menangkap jenis ikan tertentu dan memiliki
nilai Fishing Power Index (FPI) sama dengan satu. Nilai FPI dari masing-masing
alat tangkap lainnya dapat diketahui dengan membagi laju penangkapan rata-rata
unit penangkapan yang dijadikan standar. Menurut Sparre dan Venema (1999),
nilai FPI diketahui dengan rumus:
(24)
(25)
CPUEi adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan dari alat tangkap ke-i,
Ci adalah jumlah tangkapan jenis dari alat tangkap ke-i, fi adalah jumlah upaya
penangkapan jenis dari alat tangkap ke-i, CPUEs adalah hasil tangkapan per upaya
penangkapan dari alat tangkap yang di jadikan standar, dan FPI adalah faktor
upaya tangkap pada jenis alat tangkap ke-i.

Model produksi surplus
Model produksi surplus berguna untuk menganalisis hasil tangkapan (catch)
dan upaya (effort) dalam pendugaan potensi pemanfaatan ikan tetengkek.
Penentuan tingkat upaya penangkapan optimum (fMSY) dan hasil tangkapan
maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dapat ditentukan melalui model
Schaefer (1954) dan model Fox (1970). Menurut Schaefer (1954) in Sparre dan
Venema (1999), model tersebut diperoleh dari persamaan berikut:
Y = af + bf2

(26)

Sehingga diperoleh dugaan fMSY dan MSY :
fMSY =

(27)

MSY =

(28)

Sedangkan menurut Fox (1970) in Sparre dan Venema (1999), persamaannya
adalah:
Y = f (e a+bf)
Sehingga diperoleh dugaan fMSY dan MSY :

(29)

10
fMSY =

MSY =

(30)

e (a-1)

(31)

Model yang dapat diduga sebagai model terbaik merupakan model yang
memiliki nilai korelasi dan determinasi yang paling tinggi. Penentuan jumlah
tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau TAC adalah 80% dari tangkapan
maksimum lestarinya (Pasisingi 2011). Menurut Syakila (2009), hal ini
berdasarkan prinsip kehati-hatian dalam pendugaan stok sehingga pemanfaatan
sumberdaya ikan dapat terus lestari.
TAC = 80 % x MSY

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Identifikasi dan tata nama ikan
Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan tetengkek (Gambar 2) adalah
sebagai berikut:
Kelas
Subkelas
Ordo
Subordo
Famili
Genus
Spesies
Nama Umum
Nama Lokal

: Pisces
: Teleostei
: Perchomorphi
: Perciformes
: Carangidae
: Megalaspis
: Megalaspis cordyla
: Torpedo scad, Finny scad, Hardtail scad
: Tetengkek

Gambar 2 Ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)

11
Menurut www.fishbase.org, ikan tetengkek hidup di perairan tropis dengan
kedalaman 20-100 m, bergerombol dan berasosiasi dengan karang. Ikan ini
memiliki panjang maksimum sebesar 80 cm. Ikan tetengkek memiliki dua sirip
punggung dengan jari-jari keras berjumlah 9 buah dan jari-jari lemah sebanyak 18-20
buah, serta dua sirip anal dengan jari-jari keras berjumlah 3 buah dan jari-jari lemah
sebanyak 16-17 buah. Menurut www.fao.org, ikan ini juga memiliki tubuh
memanjang dan agak pipih. Tubuh bagian atas berwarna hijau keabuan, sedangkan
tubuh bagian bawah berwarna putih keperakkan. Sirip dada ikan tetengkek berbentuk
sabit, batang ekor kuat dan kaku, serta memiliki skut.

Komposisi hasil tangkapan ikan
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan terletak di Desa Teluk,
Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. PPP Labuan
merupakan salah satu pelabuhan perikanan yang cukup berkembang di Kabupaten
Pandeglang. Ikan yang didaratkan di PPP Labuan cukup beragam. Ikan tetengkek
menjadi salah satu ikan hasil tangkapan sampingan nelayan di PPP Labuan.
Sumberdaya ikan pelagis yang didaratkan di PPP Labuan di antaranya ikan selar,
kembung, biji nangka, teri, tetengkek, kurisi, tembang, lemuru, dan layang.
Komposisi hasil tangkapan ikan berdasarkan data yang diperoleh dari DKP
Kabupaten Pandeglang 2013 disajikan pada Gambar 3.
Persentase hasil tangkapan ikan tetengkek sebesar 4% dari total hasil
tangkapan ikan yang didaratkan di PPP Labuan. Alat tangkap yang digunakan
untuk menangkap ikan tetengkek adalah purse seine atau pukat cincin. Harga ikan
tetengkek di PPP Labuan Banten berkisar antara Rp 5 000,00 hingga Rp 15
000,00 per kg.

4%

Peperek

2%

11%

Biji Nangka

7%

Kurisi
5%

11%

Layang
Selar
Teri

11%
Tembang

21%

Kembung lelaki
11%
7%

10%

Kembung betina
Tetengkek
Lemuru

Gambar 3 Komposisi hasil tangkapan ikan di PPP Labuan

12
Rasio kelamin dan hubungan panjang bobot
Rasio kelamin merupakan perbandingan antara jenis kelamin jantan dan
betina, dimana penentuan jenis kelamin dilakukan secara morfologi
(Kusumawardani 2014). Rasio kelamin ikan tetengkek pada setiap pengambilan
contoh disajikan pada Tabel 2. Hubungan panjang bobot merupakan salah satu
parameter yang penting dalam mengetahui pola pertumbuhan ikan. Hasil analisis
hubungan panjang dan bobot ikan tetengkek betina, jantan dan total dapat dilihat
pada Gambar 4, Gambar 5, Gambar 6, dan Lampiran 2.

Tabel 2 Rasio kelamin ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) pada setiap
pengambilan contoh
Waktu Pengambilan Contoh

Jumlah

n

Betina

Rasio (%)

Jantan

Betina

Jantan

27-Jun-14
23-Jul-14
24-Agust-14
23-Sep-14

68
169
98
75

28
6
29
24

40
163
69
51

41
4
30
32

59
96
70
68

Jumlah

410

87

323

21

79

500
W = 0,00002L2,8461
R² = 0,9213
n = 87

Bobot (gram)

400
300
200
100
0
0

100

200
300
Panjang (mm)

400

Bobot (gram)

Gambar 4 Hubungan panjang bobot ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) betina

350
300
250
200
150
100
50
0

W = 0,000007L3,0542
R² = 0,9652
n = 323

0

100

200
300
Panjang (mm)

400

Gambar 5 Hubungan panjang bobot ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) jantan

13
500

W = 0,000008L3,0441
R² = 0,9709
n = 410

Bobot (gram)

400
300
200
100
0
0

100

200
300
Panjang (mm)

400

Gambar 6 Hubungan panjang bobot ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) total

Faktor kondisi
Faktor kondisi menunjukkan keadaan yang menyatakan kemontokan ikan
atau dapat juga disebut dengan ponderal indeks (Lagler 1961 in Effendie 1979).
Faktor kondisi ikan tetengkek dapat dilihat pada Gambar 7 dan Lampiran 3.

1,4000

Faktor kondisi

1,2000
1,0000
0,8000
betina

0,6000

jantan

0,4000
0,2000
0,0000
27 Jun 14 23 Jul 14 24 Ags 14 23 Sep 14
Waktu pengambilan contoh

Gambar 7 Faktor kondisi ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)

Tingkat kematangan gonad
Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad ikan
(Effendie 2002). Sebaran tingkat kematangan gonad ikan tetengkek betina, jantan
dan total pada setiap pengambilan contoh disajikan pada Gambar 8, Gambar 9,
Gambar 10, dan Lampiran 4.

Frekuensi (%)

14
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

n = 87
TKG IV
TKG III
TKG II
TKG I
27 Jun 2014 23 Jul 2014 24 Agst 2014 23 Sept 2014
Waktu Pengambilan Contoh

Frekuensi (%)

Gambar 8 Tingkat kematangan gonad ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) betina

100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

n = 323
TKG IV
TKG III
TKG II
TKG I
27 Jun 2014 23 Jul 2014 24 Agst 2014 23 Sept 2014
Waktu Pengambilan Contoh

Frekuensi (%)

Gambar 9 Tingkat kematangan gonad ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) jantan

100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

n = 410
TKG IV
TKG III
TKG II
TKG I

27 Jun 2014 23 Jul 2014 24 Agst 2014 23 Sept 2014
Waktu Pengambilan Contoh

Gambar 10 Tingkat kematangan gonad ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) total

15
Sebaran frekuensi panjang dan identifikasi kelompok umur
Total contoh ikan yang diambil pada penelitian ini sebanyak 410 individu,
dengan proporsi betina dan jantan sebanyak 87 individu dan 323 individu.
Sebaran frekuensi panjang ikan tetengkek disajikan dalam Gambar 11 dan
Lampiran 6, serta sebaran kelompok umur disajikan dalam Gambar 12, Gambar
13, dan Gambar 14.

120

Frekuensi (ind)

100

Lm Betina = 251,2526 mm

80
Lm Jantan = 276,5943 mm
60

betina
jantan

40
20
0
115-150 151-186 187-222 223-258 259-294 295-330
Selang Kelas (mm)

Gambar 11 Sebaran frekuensi panjang ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)

Gambar 12 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan tetengkek
(Megalaspis cordyla) betina

16

Gambar 13 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan tetengkek
(Megalaspis cordyla) jantan

Gambar 14 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan tetengkek
(Megalaspis cordyla) total

Parameter pertumbuhan
Hasil analisis mengenai parameter pertumbuhan berupa koefisien
pertumbuhan (K), panjang asimtotik (L∞), dan umur teoritik ikan pada saat
panjang ikan nol (t 0) disajikan pada Tabel 3, Gambar 15, Gambar 16, Gambar 17,
dan Lampiran 7.

Tabel 3 Parameter pertumbuhan berdasarkan model von Bertalanffy (K, L∞, dan
t0)
Parameter Pertumbuhan
K (per tahun)
L∞
t0

Betina

Jantan

Total

0,070
339,15
-1,289

0,090
336,00
-0,996

0,160
339,15
-0,547

400
350
300
250
200
150
100
50
0

Lt=339,15(1-e(-0,070(t+1,289)))

-1,2890
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
34
37
40
43
46
49
52
55
58

panjang (mm)

17

t (bulan)

400
350
300
250
200
150
100
50
0

54

51

48

45

42

39

36

33

30

27

24

21

18

15

12

9

6

3

Lt=336,00(1-e(-0,090(t+0,996)))

-0,996

panjang (mm)

Gambar 15 Kurva pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) betina

t (bulan)

panjang (mm)

Gambar 16 Kurva pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) jantan

400
350
300
250
200
150
100
50
0

Lt=339,15(1-e(-0,160(t+0,547)))

t (bulan)

Gambar 17 Kurva pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) total

18
Mortalitas dan laju eksploitasi
Parameter mortalitas terdiri dari mortalitas alami (M) dan mortalitas
penangkapan (F). Pendugaan laju mortalitas dan laju eksplotasi disajikan dalam
Tabel 4 dan Lampiran 8.

Tabel 4 Mortalitas dan laju eksploitasi ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) di
PPP Labuan
Parameter
Mortalitas total (Z)
Mortalitas alami (M)
Mortalitas tangkapan (F)
Laju eksploitasi (E)

Betina

Jantan

Total

0,9719
0,1315
0,8405
0,8648

3,4101
0,1553
3,2548
0,9544

6,3378
0,2258
6,1120
0,9644

Model produksi surplus
Data hasil tangkapan ikan tetengkek dan upaya penangkapan yang telah
distandarisasi (Lampiran 9) disajikan pada Tabel 5, Gambar 18, dan Lampiran 10.

Tabel 5 Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan tetengkek
(Megalaspis cordyla) di PPP Labuan

Hasil Tangkapan (ton)

Tahun
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

Hasil Tangkapan (ton)
382,0000
598,3000
555,9350
479,2700
449,2600
408,2900
329,3600

800

661,7178

Upaya (trip)
584,7479
862,6298
929,3037
856,7466
811,1561
166,9142
661,7113

CPUE
0,6533
0,6936
0,5982
0,5594
0,5539
2,4461
0,4977

530

600
f MSY

400

C MSY

200

f Aktual
C Aktual

0
0

500
1000
Upaya Penangkapan (trip)

1500

Gambar 18 Kurva model produksi surplus ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
di PPP Labuan Banten

19
Pembahasan

Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan terletak di Desa Teluk,
Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. PPP Labuan
merupakan salah satu pelabuhan perikanan yang cukup berkembang dan memiliki
potensi perikanan yang cukup besar (Kusumawardani 2014). Salah satu ikan hasil
tangkapan yang didaratkan di PPP Labuan yaitu ikan tetengkek. Ikan tetengkek
merupakan ikan pelagis yang tidak terlalu banyak ditangkap oleh nelayan, dan
seringkali ikan tetengkek ini menjadi hasil tangkapan sampingan ikan pelagis (by
catch). Hal ini terlihat dari rendahnya persentase ikan tetengkek dalam komposisi
ikan hasil tangkapan di PPP Labuan, sehingga ikan tetengkek kurang dikenal di
khalayak umum. Menurut Genisa (1999) in Izati (2013), ikan tetengkek
merupakan ikan ekonomis penting dengan harga yang cukup mahal. Harga ikan
tetengkek di PPP Labuan yakni berkisar antara Rp 5 000,00 hingga Rp 15 000,00
per kilogram.
Jumlah ikan tetengkek jantan lebih banyak daripada ikan tetengkek betina.
Ikan tetengkek betina yang diamati sebanyak 87 individu dan ikan tetengkek
jantan yang diamati sebanyak 323 individu. Perbandingan antara ikan tetengkek
betina dan ikan tetengkek jantan sebesar 1 : 3,8. Sedangkan perbandingan antara
ikan tetengkek betina dan ikan tetengkek jantan yang telah matang gonad sebesar
1 : 0,41. Secara keseluruhan hasil uji Chi square menunjukkan bahwa rasio
kelamin ikan tetengkek betina dan jantan adalah tidak seimbang. Menurut
Febianto (2007), keadaan tidak seimbangnya rasio kelamin diduga karena ikan
betina dan ikan jantan tidak berada dalam daerah pemijahan yang sama sehingga
peluang tertangkapnya berbeda. Selain itu menurut Bal dan Rao (1984) in
Febianto (2007), perbedaan jumlah ikan betina dan jantan disebabkan oleh
perbedaan tingkah laku bergerombol antara ikan betina dan jantan, perbedaan laju
pertumbuhan, dan laju mortalitas.
Pertumbuhan dapat dirumuskan sebagai pertambahan ukuran panjang atau
bobot dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai
pertambahan jumlah (Effendie 2002). Analisis hubungan panjang bobot
digunakan untuk melihat pola pertumbuhan pada ikan. Berdasarkan hasil analisis
diketahui pola pertumbuhan ikan tetengkek adalah isometrik (pertambahan
panjang sama dengan pertambahan bobot). Perbedaan pola pertumbuhan dari
berbagai penelitian pada Tabel 6 dapat disebabkan oleh perbedaan ukuran dan
banyaknya jumlah yang diamati. Selain itu menurut Lawson dan Doseku (2013),
perbedaan pola pertumbuhan juga dapat disebabkan oleh perbedaan musim,
habitat, kematangan gonad, jenis kelamin, kepenuhan lambung, dan kesehatan
ikan. Hubungan allometrik dan isometrik dapat berubah dari suatu populasi akibat
faktor lingkungan yang berbeda (Suwarni 2009).
Faktor kondisi memiliki hubungan dengan keadaan lingkungan dan faktor
biologis ikan (Sari 2013). Tujuan dari penentuan faktor kondisi yaitu apabila di
dalam suatu perairan terjadi perubahan yang mendadak dari kondisi ikan, situasi
tersebut dapat dengan cepat dideteksi dan diselidiki. Kondisi yang kurang baik
dapat mengindikasikan bahwa populasi terlalu padat, dan sebaliknya apabila
kondisi baik memungkinkan terjadi pengurangan populasi atau tersedianya
makanan yang mendadak (Effendie 1979). Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui

20
bahwa faktor kondisi ikan tetengkek betina cenderung lebih tinggi daripada faktor
kondisi ikan tetengkek jantan. Faktor kondisi ikan tetengkek betina sebesar 1,0214
dan faktor kondisi ikan tetengkek jantan sebesar 0,9996. Menurut Manik (2009),
faktor kondisi ikan bergantung pada faktor eksternal lingkungan dan faktor biologis
ikan (kematangan gonad untuk reproduksi). Hal ini terlihat dari Tingkat Kematangan
Gonad (TKG) III dan IV yang lebih banyak pada ikan tetengkek betina, sehingga ikan
tetengkek betina memiliki faktor kondisi yang lebih tinggi daripada ikan tetengkek
jantan.

Tabel 6 Perbandingan nilai b ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) dari berbagai
penelitian
Peneliti

Reuben et al.
(1992)

Panda et al.
(2011)
Izati (2013)

Lokasi
Timur Laut
India
Timur laut Laut
India
Barat Daya
Laut India
Perairan
Mumbai
Teluk Banten

Spesies

Jenis
Kelamin

b
2,9404

Megalaspis
cordyla

2,5270
2,7177

Megalaspis
cordyla
Megalaspis
cordyla

Das et al.
(2014)

Perairan
Cochin, India

Megalaspis
cordyla

Penelitian ini
(2015)

Selat Sunda

Megalaspis
cordyla

3,0162
Betina

1,8179

Jantan

2,1265

Betina

2,7700

Jantan

2,6500

Betina
Jantan
Total

2,8461
3,0542
3,0441

Pola
Pertumbuhan
Allometrik
negatif
Allometrik
negatif
Allometrik
negatif
Isometrik
Allometrik
negatif
Allometrik
negatif
Allometrik
negatif
Allometrik
negatif
Isometrik
Isometrik
Isometrik

Tingkat kematangan gonad (TKG) yaitu tahap-tahap tertentu dalam
perkembangan gonad mulai dari sebelum sampai ikan memijah. Menentukan
TKG berperan untuk mengetahui perbandingan antara ikan yang telah matang
gonad dengan yang belum matang gonad, apakah ikan telah memijah atau belum,
waktu ikan memijah, lama waktu pemijahan, serta jumlah pemijahan dalam satu
tahun. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) IV dari ikan tetengkek betina dan
jantan tertinggi terjadi pada bulan Juni dan Agustus. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Sivakami (1995) di perairan sebelah barat India yang menunjukkan
bahwa ikan tetengkek mencapai puncak kematangan gonadnya di bulan Juni.
Sehingga dapat diduga ikan tetengkek mengalami musim pemijahan pada bulan
Juni dan bulan Agustus. Hal ini menunjukkan bahwa ikan tetengkek diduga
memiliki pola pemijahan partial spawner, atau tipe pemijahan yang bertahap
dimana ikan melepaskan telurnya sedikit demi sedikit sebanyak dua kali musim
pemijahan (Shelvinawati 2012). Faktor utama yang mempengaruhi tingkat
kematangan gonad pada daerah bermusim empat adalah suhu dan makanan,
namun untuk daerah yang beriklim tropis suhu relatif tidak berpengaruh (Effendie

21
2002).
Panjang maksimal ikan tetengkek sebesar 322 mm dan panjang minimum
sebesar 115 mm. Frekuensi tertinggi ikan tetengkek betina berada pada selang
kelas 223-258 mm dan 259-294 mm. Frekuensi tertinggi ikan tetengkek jantan
berada pada selang kelas 151-186 mm. Berdasarkan pergeseran modus ikan
tetengkek diduga mengalami pertumbuhan dari bulan Juli hingga bulan September.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa ikan tetengkek diduga memiliki lebih dari
satu kelompok umur. Ukuran pertama kali matang gonad ikan tetengkek betina,
jantan dan total masing-masing sebesar 251,2526 mm, 276,5943 mm dan
259,5538 mm (Lampiran 5). Hal ini menunjukkan bahwa banyak ikan yang
tertangkap sebelum ukuran pertama kali matang gonad serta banyak pula ikan
tertangkap yang berasal dari kelompok umur yang berbeda, artinya diduga telah
terjadi recruitment overfishing terhadap ikan tetengkek di perairan Selat Sunda.
Parameter pertumbuhan ikan tetengkek diduga melalui metode ELEFAN I.
Berdasarkan hasil analisis diketahui persamaan pertumbuhan von Bertalanffy ikan
tetengkek betina yaitu Lt=339,15(1-e(-0,070(t+1,289))), ikan tetengkek jantan yaitu
Lt=336,00(1-e(-0,090(t+0,996))), dan ikan tetengkek total yaitu Lt=339,15(1-e(0,160(t+0,547))
). Koefisien pertumbuhan ikan tetengkek jantan lebih besar dari ikan
tetengkek betina. Menurut Sparre dan Venema (1999), semakin tinggi nilai
koefisien pertumbuhan, maka semakin cepat pula waktu yang dibutuhkan untuk
mendekati panjang asimtotik. Hal ini menunjukkan bahwa ikan tetengkek jantan
lebih cepat mencapai panjang asimtotik dibandingkan dengan ikan tetengkek
betina. Pendugaan parameter pertumbuhan ini menunjukkan hasil yang sama
dengan hasil penelitian Izati (2013) yang menyatakan bahwa ikan yang lebih cepat
mencapai panjang asimtotik adalah ikan tetengkek jantan.
Tabel 7 menunjukkan parameter pertumbuhan ikan dengan spesies yang
sama memiliki nilai pertumbuhan yang berbeda. Hal ini terjadi karena lokasi
perairan yang berbeda pula. Menurut Effendie (2002), faktor dalam yang
mempengaruhi pertumbuhan antara lain keturunan, jenis kelamin, ketahanan
tubuh terhadap parasit dan penyakit, dan kemampuan memanfaatkan pakan,
sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain ketersediaan
pakan dan kondisi lingkungan perairan.
Laju mortalitas akibat penangkapan (F) pada ikan tetengkek lebih besar
daripada laju mortalitas alami (M). Selain itu laju eksploitasi ikan tetengkek sudah
melebihi 0,5 sehingga di duga sumberdaya ikan tetengkek sudah mengalami
eksploitasi berlebih (over exploitation). Tabel 8 menunjukkan adanya perbedaan
tingkat eksploitasi ikan tetengkek di perairan yang berbeda. Perbedaan hasil
penelitian ini diduga karena perbedaan habitat dan waktu penelitian. Laju
eksploitasi ikan tetengkek yang terindikasi tangkap lebih dapat juga disebabkan
oleh banyaknya upaya penangkapan dan bervariasinya alat penangkapan yang
digunakan.
Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan tetengkek di perairan
Selat Sunda yaitu alat tangkap purse seine atau pukat cincin. Menurut Rosalina
(2008), alat tangkap yang ditetapkan sebagai alat tangkap standar mempunyai faktor
daya tangkap atau Fishing Power Indeks (FPI) = 1. Upaya penangkapan (effort) ikan
tetengkek yang telah distandarisasi dengan upaya alat tangkap pukat cincin memiliki
nilai FPI sama dengan satu. Menurut Hairunnisa (2013), standarisasi terhadap alat
tangkap bertujuan untuk menyeragamkan satuan-satuan upaya yang berbeda sehingga

22
dapat dianggap upaya penangkapan suatu jenis alat tangkap diasumsikan
menghasilkan tangkapan yang sama dengan alat tangkap standar.

Tabel 7 Perbandingan parameter pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis
cordyla) dari berbagai penelitian
Peneliti

Lokasi

Nama Spesies

Sreenivasan
(1978)

Perairan
Vizhinjam
Timur Laut
India
Timur laut
Laut India
Barat daya Laut
India

Megalaspis
cordyla

Reuben et al.
(1992)
Zafar et al.
(2000)

Teluk Benggala

Kasim (1999)

Perairan India

Panda et al.
(2012)

Perairan
Mumbai

Izati (2013)

Teluk Banten

Penelitian ini
(2015)

Selat Sunda

Jenis
Kelamin

0,131

419,1

-5,010

0,520

410,0

-

0,800

525,0

-

0,600

394,0

-

0,580

379,0

0,037

1,034

554,0

-0,008

0,550

468,0

-0,004

Betina
Jantan
Betina

0,229
0,290
0,070

378,4
363,5
339,15

-0,366
-0,290
-1,289

Jantan
Total

0,090
0,160

336,00
339,15

-0,996
-0,547

Megalaspis
cordyla
Megalaspis
cordyla
Megalaspis
cordyla
Megalaspis
cordyla
Megalaspis
cordyla
Megalaspis
cordyla

Parameter Pertumbuhan
L∞
(mm)
k/tahun
t0

Tabel 8 Perbandingan laju eksploitasi ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) dari
berbagai penelitian
Peneliti

Reuben et
al. (1992)

Zafar et al.
(2000)
Panda et al.
(2012)
Izati (2013)
Penelitian
ini (2015)

Lokasi

Jenis
Kelamin

Timur Laut
India
Timur laut
Laut India
Barat daya
Laut India
Teluk
Benggala
Perairan
Mumbai
Teluk
Banten
Selat Sunda

Mortalitas
Penangkapan
Alami
(F)
(M)

Total
(Z)

Laju
Eksploitasi
(E)

2,2400

0,8400

0,0800

73,00%

4,0800

1,0400

5,1200

80,00%

1,9200

0,9300

2,8500

67,00%

0,5800

1,1700

1,7500

33,00%

0,7200

1,0700

1,7900

40,00%

0,1236

0,6529

0,7766

15,92%

Betina

0,8405

0,1315

0,9719

86,48%

Jantan
Total

3,2548
6,1120

0,1553
0,2258

3,4101
6,3378

95,44%
96,44%

23
Data hasil tangkapan dan upaya penangkapan sumberdaya ikan tetengkek
berfluktuatif dari tahun ke tahun. Hasil tangkapan ikan tetengkek tertinggi terjadi
pada tahun 2008 sebesar 598,3 ton sedangkan upaya penangkapan tertinggi ikan
tetengkek terjadi pada tahun 2009 sebesar 929 trip. Tabel 5 menunjukkan bahwa
model produksi surplus yang paling tepat digunakan adalah model Schaefer
dengan nilai koefisien determinasi sebesar 77,35%. Gambar 18 menunjukkan
bahwa upaya yang dilakukan sudah melebihi nilai fMSY, yakni sebesar 530 trip
dengan nilai MSY sebesar 661,7178 ton. Nilai jumlah tangkapan yang
diperbolehkan (JTB) atau total allowable catch (TAC) yakni sebesar 529,3743
ton/tahun. Menurut Triyono (2013), tindakan pengelolaan perikanan (termasuk JTB)
harus segera dilaksanakan tanpa harus menunggu informasi dan data yang sempurna,
sehingga apabila tidak dilaksanakan sumberdaya ikan akan terancam punah.
Berdasarkan Gambar 18 juga diketahui bahwa upaya di tahun terakhir sudah
melebihi fMSY, maka dapat diduga bahwa sumberdaya ikan tetengkek di perairan
Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan Banten sudah mengalami tangkap
lebih (over fishing). Nilai CPUE yang berfluktuasi selama tujuh tahun terakhir
diduga karena banyaknya upaya penangkapan yang dilakukan, sehingga saran
pengelolaan yang direkomendasikan yaitu perlu pengendalian upaya penangkapan
yang optimal dan tidak melebihi fMSY serta perlu kajian mengenai alat tangkap yang
selektif untuk menangkap ikan tetengkek.
Saran pengelolaan lain yang dapat dilakukan dalam mengendalikan upaya
penangkapan ikan tetengkek yaitu penentuan jumlah unit penangkapan ikan atau
armada yang diperbolehkan melalui mekanisme perijinan serta pengaturan musim
penangkapan. Pada bulan Juni dan Agustus saat ikan tetengkek sedang mengalami
musim pemijahan maka kegiatan penangkapan juga harus dikurangi atau dihentikan
sementara. Selain itu data hasil produksi ikan tetengkek diharapkan agar lebih teratur
dan akurat guna mengetahui keberadaan stok ikan tetengkek sepanjang tahun.
Menurut Hairunnisa (2013), data urutan waktu (time series) terhadap produksi ikan
tetengkek yang akurat adalah kunci keberhasilan riset yang dilakukan oleh peneliti
untuk merumuskan rencana pengelolaan stok ikan tetengkek yang lebih tepat agar
sumberdaya ikan tetengkek dapat berlangsung secara tepat dan berkelanjutan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sumberdaya ikan tetengkek di perairan Selat Sunda diduga sudah
mengalami tangkap lebih (over fishing) serta eksploitasi berlebih (over
exploitation).

24
Saran

Saran untuk pengelolaan sumberdaya ikan tetengkek yaitu dengan
pengendalian upaya penangkapan, pengaturan mekanisme perijinan, pengaturan
musim penangkapan, pengelolaan dengan pendekatan konsep MSY, fMSY, dan
TAC, serta pengumpulan data hasil produksi ikan tetengkek yang lebih teratur dan
akurat. Selain itu juga diperlukan penelitian tentang ikan tetengkek mengenai stok
sumberdaya ikan tetengkek pada semua musim.

25

DAFTAR PUSTAKA

Boer M. 1996. Pendugaan koefisien pertumbuhan (L , K, t0) berdasarkan data
frekuensi panjang. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia.
4(1): 75-84.
Das SK, De M, Ghaffar MA. 2014. Length-weight relationship and trophic level
of hard-tail scad Megalaspis cordyla. Science Asia. 40: 317–322.
Dhenis. 2010. Kajian pembentukan daerah penangkapan ikan tongkol di Selat
Sunda [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Effendie MI. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID): Yayasan Dewi
Sri.
Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID): Yayasan Pustaka
Nusatama.
[FAO] Fao. 2015. Megalaspis cordyla [internet]. [diacu 4 Mei 2015]. Tersedia
dari http://fishbase.org/FAOFishFinder/FactSheets.
[Fishbase] Fishbase. 2015. Megalaspis cordyla [internet]. [diacu 4 Mei 2015].
Tersedia dari http://www.fishbase.org/summary/speciessummary.
Febianto S. 2007. Aspek biologi reproduksi ikan lidah pasir (Cynoglossus lingua
Hamilton-Buchanan, 1822) di Perairan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik,
Jawa Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hairunnisa N. 2013. Pengelolaan sumberdaya ikan tetengkek (Megalaspis
cordyla, Linnaeus 1758) di Pelabuhan Perikanan Nusantara KarangantuBanten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Irhamni W. 2009. Potensi pengembangan usaha penangkapan ikan di Kabupaten
Pandeglang dan dukungan PPP Labuan [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Izati N. 2013. Kajian stok dan ketidakpastian sumberdaya ikan tetengkek
(Megalaspis Cordyla, Linnaeus 1758) di PPN Karangantu [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Kasim HM. 1999. Carangid fishery of veraval coast with notes on the biology and
population dynamics of Megalaspis cordyla (Linnaeus). The Fourth Indian
Fisheries Forum Proceedings 1996 November 24-28; Kochi, India. (IN):
Asian Fisheries Society, Indian Branch. 377-380.
Kusumawardani NM. 2014. Kajian stok sumbe