Kualitas mikrobiologis sosis daging sapi dengan penambahan bakteriosin sebagai bahan pengawet alami

(1)

ii RINGKASAN

Sindya Erti J. Sinaga. D14080229. 2013. Kualitas Mikrobiologis Sosis Daging Sapi dengan Penambahan Bakteriosin sebagai Pengawet Alami. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si. Pembimbing Anggota : Zakiah Wulandari S.TP., M.Si

Daging merupakan salah satu hasil dari produk peternakan. Daging merupakan salah satu penyumbang protein hewani namun mudah rusak. Salah satu cara mengatasi masalah tersebut dengan melakukan pengolahan dan pemberian bahan pengawet. Pengolahan daging berguna untuk menjaga dari kerusakan daging sehingga dapat memperpanjang umur simpan. Sosis merupakan salah satu produk olahan dari daging yang mudah mengalami kerusakan (perishable food), sehingga diperlukan cara untuk memperpanjang umur simpan. Penambahan bahan pengawet merupakan salah satu cara untuk memperpanjang umur simpan sosis. Pengawetan yang sering digunakan dalam produk pangan yaitu dengan menambahkan bahan pengawet kimia yang memiliki batas konsumsi, seperti nitrit, natrium metabisulfat, dan natrium benzoat. Salah satu bahan tambahan makanan yang sering digunakan untuk pembuatan sosis daging sapi adalah nitrit. Penggunaan nitrit dalam pangan memiliki efek yang berbahaya untuk tubuh. Nitrit dapat bereaksi dengan amina dan amida sehingga membentuk turunan nitrosamin toksin. Nitrosamin diduga dapat menimbulkan kanker.

Salah satu bahan pengawet yang aman dan tidak menimbulkan efek dalam tubuh adalah kelompok antimikroba bakteriosin yang diproduksi oleh bakteri asam laktat (BAL) termasuk Lactobacillus plantarum. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penambahan bakteriosin yang diproduksi oleh Lactobacillus plantarum 2C12 terhadap karakteristik mikrobiologis sosis daging sapi. Karakteristik mikrobiologis yang diuji yaitu angka kuantitatif total mikroba, Salmonella typhimurium, Escherichia coli dan Staphylococcus aureus yang disimpan selama 0, 3, 6, dan 9 hari.

Penelitian dilaksanakan selama empat bulan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak dan Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Februari sampai dengan Mei 2012. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 3 x 4 dengan dua faktor dan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah pemberian pengawet (0%, bakteriosin 0,3%, dan nitrit 0,3%). Faktor kedua adalah lama penyimpanan 0, 3, 6, dan 9 hari pada suhu refrigerator (4-6 °C)

Penelitian terbagi menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan yaitu produksi bakteriosin dari Lactobacillus plantarum 2C12 dengan proses purifikasi parsial dengan menggunakan ammonium sulfat dan proses dialisis. Konsentrasi protein yang dihasilkan dari tahapan supernatan bebas sel yaitu 74±18,38 mg/ml, presipitat bakteriosin yaitu 120,5±7,78 mg/ml, dan bakteriosin kasar yaitu 151±2,83mg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi protein meningkat dalam setiap tahapan.


(2)

iii Penelitian utama yaitu proses pengolahan sosis daging sapi dan pengujian kualitas mikrobiologis yaitu Total Plate Count, angka kuantitatif Salmonella spp., E. coli dan Staphylococcus aureus selama penyimpanan 0, 3, 6, dan 9 hari. Pengujian yang dilakukan yaitu pada daging segar dan sosis daging sapi selama penyimpanan. Hasil pengujian mikrobiologis daging segar menunjukkan bahwa jumlah total mikroba yaitu 2,19x104 cfu/g, angka kuantitatif Staphylococcus aureus melebihi batas aman yaitu 4,71x102 cfu/g, untuk nilai Escherichia coli dan Salmonella spp yaitu 0,00 cfu/g. Kualitas mikrobiologis sosis daging sapi menunjukkan jumlah total mikroba yang terdapat dalam sosis daging sapi kontrol, nitrit, dan bakteriosin masih sesuai dengan batas aman konsumsi menurut SNI 01-3820-1995. Salmonella spp. dan Eschrichia coli tidak terdapat di dalam sosis daging sapi. Bakteriosin menghambat pertumbuhan bakteri patogen khususnya Staphylococcus aureus di dalam sosis daging sapi. Hal ini menunjukkan bahwa bakteriosin dapat menggantikan nitrit sebagai bahan pengawet sampai dengan penyimpanan selama enam hari pada suhu refrigerator.

Kata-kata kunci: sosis, Lactobacillus plantarum, bakteriosin


(3)

iv ABSTRACT

The Microbiological of Quality Beef Sausage with Additional of Bacteriocin from Lactobacillus plantarum 2C12 as a Biopreservative

Sinaga S.E.J., I.I. Arief and Z. Wulandari

One of the purposes of food preservation is to extend the self life of food. Nowadays, biological food preservation technology gets special attention from people. Beef sausage is one of meat product which is potential as medium for microbial growth. Many techniques have been applied to reduce microbial growth and to preserve the beef sausage. The most of preservation method use a chemical preservatives which can give healthy effect for human. Therefore, biopreservative is needed to replace chemical preservative. One of the biopreservative is bacteriocin produced by Lactobacillus plantarum 2C12. The aim of the research was to observe the microbiological characteristics of the sausage with the addition of preservatives (control, 0.3% nitrite, and 0.3% crude bacteriocin) at different storage time (0, 3, 6 and 9 day) in cold temperature (4-6 oC). The concentration of the protein produced from stages of cell free supernatan bacteriocin precipitates, and crude bacteriocin were 74 ± 18.38; 120.5 ± 7.78; 151 ± 2.83. This suggests that the protein concentration increased in each stage. Fresh meat purity test results showed that the total number of microbes is 2,19x104 cfu/g, Staphylococcus aureus 4.71x102 cfu/g, and 0.00 cfu/g for Escherichia coli and Salmonella spp. The quality of microbiologists sausage of beef show the total number of microbes that are contained in sausage of beef control, nitrite, and bakteriosin still in accordance with the safe limit consumption by SNI 01-3820-1995. Salmonella spp. and Eschirichia coli not found in beef sausage. Bacteriocin inhibits the growth of pathogenic bacteria especially Staphylococcus aureus in beef sausage. This shows that bacteriocin can replace the nitrite as a preservative with storage for six days at refrigerator temperature


(4)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging merupakan bahan pangan yang penting untuk memenuhi kebutuhan gizi manusia karena memiliki sejumlah asam amino esensial dan memiliki nilai biologis dan kecernaan yang baik. Daging juga diketahui sebagai bahan pangan yang mudah rusak, hal ini akibat komposisi gizi yang baik untuk manusia dan mikroorganisme. Kandungan gizi yang terdapat dalam daging menyebabkan daging mudah rusak apabila tidak cepat diolah, sehingga pengolahan daging berguna untuk memperpanjang masa simpan. Salah satu produk olahan dari daging yaitu sosis. Sosis adalah salah satu produk olahan yang dihasilkan dari daging yang telah dihaluskan dan disukai masyarakat saat ini. Sosis yang terkenal dan digemari masyarakat yaitu sosis emulsi.

Di pasaran, sosis ditambahkan dengan bahan pengawet untuk memperpanjang masa simpan. Pengawet yang selama ini biasa digunakan adalah bahan pengawet kimia yang memiliki batasan penggunan harian contohnya nitrit. Nitrit digunakan untuk menghasilkan warna merah daging dan mempunyai pengaruh bakteriostatik. Pembatasan kadar nitrit didasarkan pada efek yang membahayakan tubuh. Nitrit dapat bereaksi dengan amina dan amida yang terdapat pada protein daging membentuk turunan nitrosamin toksis. Nitrosamin merupakan salah satu senyawa yang diduga menimbulkan kanker, oleh karena itu diperlukan suatu pengawet alami yang dapat menggantikan nitrit ataupun bahan kimia lain sebagai pengawet yang aman.

Salah satu pengawet alami yang aman adalah substrat antimikroba yang dihasilkan oleh Bakteri Asam Laktat (BAL). BAL dapat menghasilkan produk metabolit yang bersifat antimikroba antara diasetil, hidrogen peroksida, asam organik, dan bakteriosin. Lactobacillus plantarum merupakan salah satu BAL yang dapat memproduksi antimikroba. Penyimpanan sosis di suhu dingin (0-9 °C) juga dapat memperpanjang umur simpan. Suhu dingin dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Pengaturan suhu merupakan cara yang baik untuk mengendalikan pertumbuhan mikroba, namun sebatas penghambatan. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kualitas mikrobiologis sosis sapi yang diberi perlakuan pemberian pengawet dan masa simpan yang berbeda.


(5)

2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bakteriosin yang diproduksi oleh Lactobacillus plantarum 2C12 terhadap karakteristik mikrobiologis pada sosis daging sapi selama penyimpanan. Karakteristik mikrobiologis yang diuji yaitu angka kuantitatif total mikroba, Salmonella spp., Escherichia coli, dan Staphylococcus aureus yang disimpan selama 0, 3, 6, dan 9 hari.


(6)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Daging

Daging merupakan sumber protein berkualitas tinggi, mengandung vitamin B dan mineral, khususnya zat besi. Secara umum dapat dikatakan bahwa daging terdiri dari air dan bahan-bahan padat. Bahan padat daging terdiri dari bahan–bahan yang mengandung nitrogen, mineral, garam dan abu. Protein adalah komponen bahan kering yang terbesar dalam daging. Nilai nutrisi daging yang lebih tinggi disebabkan karena daging mengandung beberapa asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Kandungan protein di dalam otot yaitu 16% - 22%. Daging olahan memiliki kandungan protein dan air yang lebih sedikit daripada daging segar. Daging olahan juga memiliki kandungan lemak dan mineral yang lebih tinggi. Kenaikan kandungan mineral daging olahan disebabkan bumbu-bumbu dan garam yang ditambahkan (Soeparno, 2005).

Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa daging merupakan bahan pangan yang mudah rusak oleh mikroorganisme karena ketersediaan gizi di dalamnya yang sangat mendukung untuk pertumbuhan mikroorganisme, terutama mikroba perusak. Komposisi daging terdiri dari protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, dan non-protein nitrogen seperti keratin dan beberapa hormon. Komponen nutrisi daging segar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komponen Zat Nutrien Daging Sapi

Kandungan nutrisi (%)

Air 65-80

Protein 16-22

Lemak 1,3-13

Karbohidrat 0,5-1,3

Mineral 1,0

Sumber : Winarno (1997)

Daging adalah sumber utama zat-zat makanan yang dibutuhkan untuk kesehatan manusia yang mengkonsumsinya (Lawrie,1995). Protein-protein daging yang terlarut bertindak sebagai pengemulsi dengan membungkus atau menyelimuti suatu permukaan partikel yang terdispersi (Soeparno, 2005). Emulsi adalah suatu


(7)

4 sistem dua fase yang terdiri atas suatu dispersi dua cairan atau senyawa yang tidak tercampur, yang satu terdispersi dengan yang lain. Cairan yang berbentuk globula-globula kecil yang disebut fase dispersi atau fase diskontinu. Hasil emulsi dapat diperoleh dengan cara mencacah atau melumatkan daging pre-rigor dengan ditambahkan es, garam, dan bahan curing. Campuran tersebut kemudian disimpan dahulu untuk memberi kesempatan ekstraksi protein yang lebih efisien. Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh temperatur selama proses emulsifikasi, ukuran partikel lemak, pH, jumlah, dan tipe protein yang larut, serta viskositas emulsi. Suhu dan waktu pengolahan yang berlebihan dapat merugikan dengan terjadinya denaturasi protein terlarut, penurunan viskositas emulsi, dan melelehnya partikel lemak (Soeparno, 2005). Sosis merupakan contoh suatu sistem emulsi minyak dalam air. Emulsi ini membantu terjadinya dispersi (Winarno, 1997).

Menurut Lawrie (1995), mikroorganisme pada daging yang berasal dari kontaminasi pekerja diantaranya adalah Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Bacillus proteus, Staphylococcus albus, dan Staphylococcus aureus. Selain itu, kapang dan khamir juga terdapat dalam daging. Berbeda dengan bakteri, kapang dan khamir hanya terdapat pada permukaan daging karena sifatnya aerobik. Mikroorganisme yang merusak produk olahan daging dapat tumbuh pada suhu rendah meskipun suhu optimumnya pada temperatur ruang. Pseudomonas dapat tumbuh pada permukaan daging yang telah mengalami pendinginan (chilling). Bakteri ini dapat tumbuh baik pada suhu 0 ºC padahal suhu minimum untuk pertumbuhannya ditentukan oleh reduksi aw dan jumlah air yang terdapat dalam

daging. Bakteri yang dapat hidup pada suhu rendah dinamakan bakteri psikrofilik (Buckle et al., 1987).

Bakteri Asam Laktat

Kelompok bakteri asam laktat menghasilkan sejumlah besar asam laktat sebagai hasil akhir dari karbohidrat atau hasil metabolisme glukosa. Bakteri asam laktat dapat menghambat pertumbuhan dari beberapa jenis organisme lainnya (Jay et al., 2005). Asam laktat dihasilkan dengan menurunkan nilai pH dari lingkungan pertumbuhannya dan menimbulkan rasa asam. Bakteri asam laktat terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan hasil akhir dari metabolisme glukosa yaitu bersifat homofermentatif dan heterofermentatif. Jenis-jenis homofermentatif yang terpenting


(8)

5 menghasilkan hanya asam laktat dari metabolisma glukosa. Kelompok heterofermentatif menghasilkan karbondioksida dan asam-asam volatil lainnya, alkohol dan ester disamping asam laktat (Buckle et al., 1987). Bakteri asam laktat terbagi menjadi delapan genus, yaitu Lactococcus, Lactobacillus, Pediococcus, Streptococcus, Leuconostoc, Corinebacterium, Enterococcus, dan Bifidobacterium (Elegado et al., 2004).

Menurut Buckle et al. (1987), beberapa jenis yang terpenting dalam kelompok ini adalah Streptococcus thermophilus, Streptococcus lactis, dan Streptococcus cremoris termasuk bakteri Gram positif berbentuk bulat sebagai rantai. Pediococcus cerevisae termasuk dalam bakteri Gram positif berbentuk bulat, khususnya terdapat berpasangan atau berempat, berperan penting dalam fermentasi daging dan sayuran. Leuconostoc mesentereoides dan Leuconostoc dextranicum termasuk dalam bakteri Gram positif berbentuk bulat yang terdapat secara berpasangan atau rantai pendek, berperan dalam perusakan larutan gula dengan produksi pertumbuhan dekstran berlendir. Lactobacillus lactis, Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus, Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus delbrueckii termasuk dalam bakteri berbentuk batang, Gram positif dan sering membentuk pasangan dan rantai dari sel-selnya, lebih tahan terhadap keadaan asam daripada Pediococcus atau Streptococcus sehingga menjadi lebih banyak terdapat pada tahapan terakhir dari fermentasi tipe asam laktat.

Lactobacillus plantarum

Lactobacillus plantarum merupakan Lactobacilli yang bersifat homofermentatif (Fardiaz, 1989). Ukuran koloni bakteri ini yaitu 2-3 mm, berwarna putih, berbentuk batang, termasuk bakteri Gram positif, dan menghasilkan asam laktat. Bakteri ini memiliki sifat katalase negatif, aerob atau fakultatif anaerob, mampu mencairkan gelatin, cepat mencerna protein, tidak mereduksi nitrat, toleran terhadap asam dan mampu memproduksi asam laktat. Menurut Buckle et al. (1978) Lactobacillus plantarum memiliki kemampuan untuk menghambat bakteri patogen dan bakteri pembusuk dalam keadaan asam.

Lactobacillus plantarum 2C12 merupakan isolat indigenus yang diisolasi dari daging sapi lokal Indonesia. Arief et al. (2008) melaporkan bahwa suatu senyawa antimikroba diproduksi oleh bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum 2C12 yang


(9)

6 diisolasi dari daging sapi lokal. Lactobacillus plantarum terutama berguna untuk pembentukan asam laktat, penghasil hidrogen peroksida tertinggi dibandingkan bakteri asam laktat lainnya dan juga menghasilkan bakteriosin yang merupakan senyawa protein yang bersifat bakterisidal (James et al., 1992). Senyawa antimikroba tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen Escherichia coli, Salmonella typhimurium, dan Staphylococcus aureus. Senyawa antimikroba yang diproduksi oleh Lactobacillus plantarum 2C12 mengandung bakteriosin. Lactobacillus plantarum dapat memproduksi bakteriosin yang merupakan bakterisidal bagi sel sensitif dan dapat menyebabkan kematian sel dengan cepat walaupun pada konsentrasi rendah. Bakteriosin yang berasal dari L. plantarum dapat menghambat Staphylococcus aureus dan bakteri Gram negatif.

Antimikroba

Antimikroba yaitu senyawa biologi atau kimia yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Komponen kimia ini bersifat membunuh jasad renik. Artinya mempunyai sifat bakterisidal (membunuh bakteri) atau fungisidal (membunuh fungi). Beberapa komponen kimia pada konsentrasi rendah tidak dapat membunuh jasad renik, hanya menghambat pertumbuhan saja, misalnya senyawa tertentu yang terdapat pada rempah-rempah. Komponen tersebut disebut mempunyai sifat bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan bakteri atau fungistatik yaitu menghambat pertumbuhan bakteri (Fardiaz, 1992 ).

Komponen kimia yang bersifat membunuh lebih baik daripada yang hanya bersifat menghambat. Faktor yang mempengaruhi kemampuan antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba antara lain waktu penyimpanan, sifat-sifat mikroba (jenis, konsentrasi, keadaan, dan umur mikroba), konsentrasi zat pengawet, suhu lingkungan, dan sifat-sifat fisik dan kimia makanan, termasuk pH, kadar air, jenis, dan jumlah senyawa di dalamnya (Fardiaz, 1992).

Bakteriosin

Bakteriosin yaitu senyawa peptida yang dihasilkan oleh sejumlah bakteri Gram positif atau Gram negatif. Bakteriosin diproduksi oleh bakteri asam laktat dan bakteri asam propionat yang dapat bersifat bakterisidal terhadap bakteri patogen. Bakteriosin juga dapat bertahan pada pH yang rendah dan relatif stabil pada kondisi


(10)

7 temperatur tinggi. Bakteriosin memiliki kepentingan khusus dalam mikrobiologi pangan karena kemampuannya memberikan efek bakterisidal secara normal terhadap bakteri patogen (Ray, 2003). Beberapa kelebihan penambahan bakteriosin sebagai biopreservatif yaitu tidak toksik dan mudah mengalami biodegradasi, tidak membahayakan mikroflora usus, aman bagi lingkungan, mengurangi penggunaan bahan kimia sebagai bahan pengawet, dapat digunakan dalam kultur bakteri unggul yang mampu menghasilkan senyawa antimikroba terhadap bakteri patogen dan dapat digunakan dalam bentuk senyawa antimikrobial yang telah dimurnikan (Nurliana, 1997). Dalam jumlah yang besar bakteriosin yang diisolasi dari bakteri asam laktat berpotensi membunuh dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen (Savadogo et al., 2006).

Bakteriosin dari bakteri asam laktat bersifat bakterisidal terhadap sel sensitif dan membunuh dengan sangat cepat pada konsentrasi rendah. Bakteri Gram negatif menjadi sensitif terhadap bakteriosin jika struktur permukaan lipopolisakaridanya dilemahkan dengan cara pemberian tekanan fisik dan kimia (Ray, 2003). Nilai pH 6 merupakan tingkat kestabilan yang paling tinggi dengan besar diameter zona penghambat sebesar 12,4 mm. Bakteriosin dapat menghambat pada suhu baik pasteurisasi maupun sterilisasi dengan tingkat penghambatan tertinggi pada suhu sterilisasi (121°C) selama 20 menit (Arief et al., 2010).

Bakteriosin hanya menghambat spesies yang berhubungan dekat dengan strain bakteri asalnya. Bakteriosin terdiri dari protein kecil dan sebagian besar semi plasma. Hal tersebut menunjukkan bahwa beberapa spesies dan semua strain bakteri asam laktat memiliki kemampuan untuk menghasilkan bakteriosin atau komponen seperti bakteriosin (Jay et al., 2005).

Selain bakteriosin yang berasal dari Lactobacillus plantarum, nisin merupakan contoh lain dari bakteriosin yang berasal dari Lactocoocus lactis subsp. Lactis. Kelas I dibagi menjadi Ia dan Ib. kelas II dibedakan menjadi kelas IIa dan IIb. Kelas Ia termasuk nisin yang didalamnya terdiri dari peptide hidrofobik dan kationik yang membentuk pori di membrane sel targetnya, serta memiliki strukstur fleksibel dibandingkan kelas Ib. Kelas Ib merupakan peptide globular, bermuatan negatif atau sama sekali tidak memiliki muatan. Bakteriosin kelas IIa aktif dalam menghambat Listeria, sedangkan bakteriosin kelas IIb mengandung dua peptide yang berbeda, dan


(11)

8 membutuhkan kedua peptide ini untuk aktivitas antimikrobial yang optimal (Cleveland et al., 2001).

Sosis

Sosis adalah makanan yang ditambahkan bumbu-bumbu pada daging dan dibentuk simetri (Kramlich, 1971). Menurut SNI 01-3020-1995 sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu-bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukan ke dalam selongsong sosis. Komponen daging yang sangat penting dalam pembuatan sosis adalah protein, air, dan lemak karena digunakan untuk emulsifikasi. Selain komponen daging, sosis memiliki tambahan bumbu dan bahan tambahan lain (Jay et al., 2005). Kenaikan pH dan penambahan garam akan meningkatkan kapasitas emulsifikasi sebagai pengemulsi yang utama di sosis (Kramlich, 1971).

Emulsi Sosis

Bakso dan sosis merupakan contoh suatu sistem emulsi minyak dalam air. Emulsi ini membantu terjadinya dispersi (Winarno, 1997). Emulsi merupakan sistem heterogen, terdiri atas cairan yang tidak tercampurkan yang terdispersi dengan baik sekali dalam cairan lain (deMan, 1997). Emulsi adalah suatu sistem dua fase yang terdiri atas suatu dispersi satu cairan atau senyawa yang tidak dapat bercampur, yang satu terdispersi pada yang lain. Cairan yang berbentuk globula-globula kecil disebut fase dispersi atau fase diskontinu dan cairan tempat terdispersinya globula-globula tersebut disebut fase kontinu. Protein-protein daging yang terlarut bertindak sebagai pengemulsi dengan membungkus atau menyelimuti semua permukaan partikel yang terdispersi (Soeparno, 2005).

Pengemulsi merupakan senyawa aktif permukaan yang mampu menurunkan tegangan antar permukaan antara udara-cairan dan cairan-cairan. Emulsi distabilkan oleh berbagai senyawa, terutama makromolekul seperti protein, pati, dan yang lain. Dalam makanan, biasanya mengandung dua fase yaitu minyak dan air. Jika air sebagai fase dispersi atau fase luar dan minyak sebagai fase terdispersi disebut emulsi jenis minyak dalam air. Dalam hal sebaliknya, emulsi disebut jenis air dalam minyak. Diperlukan bahan ketiga atau gabungan beberapa bahan untuk menstabilkan


(12)

9 emulsi. Bahan ini adalah pengemulsi (deMan, 1997). Kandungan protein yang tinggi akan meningkatkan kapasitas emulsi daging. Garam mampu melarutkan lebih banyak protein sehingga lebih tersedia untuk emulsifikasi. Karena itu, lemak yang lebih banyak bisa diemulsi dengan protein yang lebih sedikit sehingga meningkatkan efisiensi. Kapasitas emulsi dari protein larut dalam air lebih rendah dibandingkan dengan kapasitas emulsi protein larut dalam garam (Wilson, 1981). Faktor utama dalam persiapan emulsifikasi agar sosis kompak yaitu protein. (Kramlich, 1971).

Bahan-Bahan Pembuatan Sosis

Daging

Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan dari jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Daging memiliki pH ultimat, normalnya adalah antara 5,4-5,8. Nilai pH daging berhubungan dengan keempukan dan susut masak (Soeparno, 2005). Nilai pH juga berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba (Ray, 2003).

Garam

Soeparno (2005), garam merupakan bahan terpenting dalam curing, berfungsi sebagai pengawet, penambah aroma, dan citarasa. Garam dapat meningkatkan tekanan osmotik medium pada konsentrasi 2%, sejumlah bakteri terhambat pertumbuhannya. Garam berfungsi sebagai pengawet dan pelarut protein serta meningkatkan daya mengikat air. Penambahan garam dalam produksi sosis berkisar 1%-5% bergantung pada kebutuhan (Kramlich, 1971).

Gula

Pemanis sebagai bahan tambahan dalam industri sosis yaitu sukrosa, dextrosa, laktosa, dan gula jagung. Pemanis yang sering digunakan dalam fermentasi adalah sukrosa dan dextrosa. Laktosa memiliki kemampuan yang kecil sebagai pemanis dapat digunakan dalam pembuatan sosis (Kramlich, 1971). Fungsi utama gula dalam curing adalah untuk memodifikasi rasa dan menurunkan kadar air yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Fungsi gula sebagai preservatif, misalnya pada produk sosis fermentasi adalah karena terbentuknya asam


(13)

10 laktat di dalam produk, sehingga pH produk menurun dan produk menjadi agak kering selama proses pematangan (Soeparno, 2005).

Lemak

Lemak berpengaruh sangat kuat untuk palatabilitas sosis. Lemak daging mengandung sedikit fosfolipid dan kolesterol. Fosfolipid berfungsi sebagai komponen struktural dan fungsional dari sel dan membran, serta mempengaruhi flavor dan kualitas daging. Daging yang hampir tidak mengandung marbling bisa tampak kering dan mempunyai flavor yang kurang baik daripada daging yang cukup mengandung marbling. Marbling mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap jus daging dan flavor daripada keempukan. Marbling juga berpengaruh terhadap kekompakan atau kekerasan daging dingin dan mempengaruhi warna daging menjadi terang (Soeparno, 2005). Lemak juga berfungsi dalam emulsifikasi bersama dengan air dan minyak (Essien, 2003). Penambahan lemak dalam sosis maksimal 30% (Soeparno, 2005).

Es Batu

Es batu ditambahkan ke dalam sosis bertujuan untuk melarutkan garam, mendistribusikan secara merata ke seluruh bagian daging, memudahkan dalam ekstraksi protein daging, mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama penggilingan, dan pembentukan adonan serta membantu dalam pembentukan emulsi (Kramlich, 1971). Es yang ditambahkan besarnya adalah 20%-30% dari berat daging (Forrest et al., 1975).

Bawang Putih

Manfaat dari bawang putih adalah sebagai bumbu penyedap masakan yang membuat makanan menjadi beraroma dan mengundang selera. Allicin yaitu komponen utama yang memiliki peran sebagai pemberi aroma bawang putih dan merupakan salah satu zat aktif yang diduga dapat membunuh kuman-kuman penyakit (bersifat antibakteri). Allicin juga berperan ganda membunuh bakteri, yaitu bakteri Gram positif maupun Gram negatif karena mempunyai gugus asam amino para amino benzoate (Palungkun dan Budiarti, 1992).


(14)

11 Lada

Lada memproduksi komponen-komponen, seperti terpen, beta-kariofilin, dipenten, dan hidrat α-felandren. Komposisi kimia lada putih per 100 g, yaitu 11,4 g air; 10,4 g protein; 2,1 g lemak; 1,6 g abu; dan 68,6 g karbohidrat (Farrell, 1990).

Biji Pala

Komposisi kimia pala bubuk per 100 g, terdiri dari 8,2 g air; 6,7 g protein; 32,4 g lemak; dan 50,5 g karbohidrat. Pala dihasilkan dari biji pala yang mengandung fixed oil yang terdiri dari trimyristin, gliceril ester dari asam-asam palmitat, oleat dan linoleat dari fraksi yang tidak tersaponifikasi (Farrell, 1990).

Sodium Tripolifosfat (STPP)

Sodium tripolifosfat berfungsi untuk mengurang kehilangan lemak dan air saat pemasakan, pengalengan, dan penggorengan. Penambahan fofat pada produk olahan daging rata-rata 0,3% (Wilson, 1981). Fungsi fosfat juga untuk meningkatkan daya mengikat air oleh protein daging, mereduksi pengerutan daging dan mengurangi ketengikan (Soeparno, 2005).

Bahan Pengikat dan Bahan Pengisi

Penambahan bahan pengikat adalah bahan bukan daging yang dapat meningkatkan daya ikat air daging dan emulsifikasi daging. Bahan pengikat mengandung protein yang tinggi. Susu skim berperan sebagai bahan pengikat mengandung protein kira-kira 35% (80% kasein dan sisanya, terutama adalah β -laktoglobulin dan laktalbumin), mempunyai kemampuan untuk mengemulsikan lemak yang terbatas karena kaseinnya berkombinasi dengan sejumlah Ca sehingga tidak mudah larut dalam air (Soeparno, 2005).

Bahan pengisi merupakan bahan yang dapat mengikat air tetapi mempunyai pengaruh kecil terhadap emulsifikasi. Bahan pengisi yang biasa ditambahkan pada sosis adalah tepung terigu, jagung, beras, dan pati. Tepung pengisi mengandung lemak dalam jumlah yang relatif tinggi dan protein dalam jumlah yang relatif rendah, sehingga mempunyai kapasitas mengikat air yang besar dan kemampuan emulsifikasi yang rendah (Soeparno, 2005).


(15)

12 Air

Kandungan air sosis bervariasi tergantung pada jumlah air yang ditambahkan dan macam daging yang digunakan. Fungsi air adalah untuk meningkatkan keempukan dan juice (sari minyak) daging, melarutkan protein yang mudah larut dalam air, membentuk larutan garam yang diperlukan untuk melarutkan protein. Larutan garam berperan sebagai fase kontinu dari emulsi daging, menjaga temperatur produk serta mempermudah penetrasi bahan-bahan curing (Soeparno, 2005).

Nitrit

Nitrit dan nitrat sebagai garam sodium atau potasium digunakan dalam daging cured dengan tujuan untuk menghasilkan warna daging menjadi merah terang dan stabil, mempercepat proses curing, preservatif mikrobial yang mempunyai pengaruh bakteriostatik, dan mampu memperbaiki flavor dan antioksidan. Penggunaan nitrat dan nitrit dalam campuran bahan curing daging dapat dikombinasikan. Akan tetapi, nitrat sudah tidak lazim digunakan dalam curing daging, karena nitrit dapat bereaksi dengan cepat selama proses curing tanpa adanya nitrat (Soeparno, 2005).

Nitrit berhubungan dengan flavor daging yang bersifat sebagai antioksidan. Nitrit akan menghambat oksidasi lemak. Tanpa adanya nitrit, akan terjadi oksidasi lemak sehingga akan membentuk senyawa-senyawa karbonil dan menghasilkan ransiditas. Nitrit menghambat produksi toksin Clostridium botulinum dengan menghambat pertumbuhan dan perkembangan spora dengan cara membentuk senyawa penghambat bila daging dipanaskan (Soeparno, 2005).

Selongsong Sosis

Selongsong sosis dipakai untuk menentukan bentuk dan ukuran sosis. Selongsong sosis dapat berfungsi sebagai cetakan selama pengolahan, pembungkus selama penanganan dan pengangkutan, serta sebagai media display selama diperdagangkan. Selongsong sosis harus memiliki sifat kuat dan elastis (Pearson dan Tauber, 1984). Menurut Kramlich (1971), ada lima macam selongsong yang biasa digunakan dalam pembuatan sosis, yaitu selongsong yang terbuat dari usus hewan, selongsong yang terbuat dari kolagen, selongsong yang terbuat dari selulosa, selongsong yang terbuat dari plastik dan selongsong yang terbuat dari logam.


(16)

13 Bakteri Patogen

Bakteri patogen tertentu dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Beberapa jenis penyakit tersebut dapat dipindahkan lewat pangan, diantaranya keracunan makanan, kolera, dan tifus (Gaman dan Sherrington, 1992). Contoh bakteri patogen antara lain Salmonella Typhimurium, Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Bakteri dari jenis Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi. Jika tertelan oleh manusia dan masuk ke dalam tubuh dapat menimbulkan gejala salmonelosis, demam enterik, demam tifiod, dan demam paratifiod, serta infeksi lokal (Fardiaz, 1992).

Staphylococcus aureus

Salah satu bakteri patogen adalah Staphylococcus aureus. Ada enam macam enteroksin yang diproduksi Staphylococcus aureus di dalam makanan dan merupakan penyebab keracunan stafilokokus (intoksikasi) yaitu enteroksin A, B, C1, C2, D dan enteroksin E (Fardiaz, 1989). Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus merupakan contoh bakteri Gram positif sedangkan Salmonella, Escherichia coli merupakan contoh bakteri Gram negatif (Buckle et al., 1987).

Salmonella spp.

Salmonella merupakan bakteri yang tidak membentuk spora dan dapat memfermentasi glukosa dan biasanya disertai dengan pembentukan gas tetapi tidak memfermentasikan laktosa maupun sukrosa. Salmonella adalah bakteri Gram negatif, berbentuk batang bergerak serta mempunyai tipe metabolism yang bersifat fakultatif anaerob. Termasuk kelompok bakteri Enterobacteriaceae. Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi penyebab demam tipus (Frazier dan Westhoff, 1967). Nilai pH minimum bervariasi tergantung pada suhu inkubasi, komposisi media, aw

dan jumlah sel. Pada pH kurang dari 4,0 dan lebih dari 9,0 Salmonella akan mati secara perlahan Salmonella spp. dapat tumbuh pada kisaran suhu antara 5oC-47 oC dengan suhu optimum 35-37 oC. Salmonella spp. tumbuh pada tingkat keasamaan antara 4,5-5,4 dengan pH optimumnya sekitar 7 dan aw minimum 0,94 (Soeparno,


(17)

14 Escherichia coli

Bakteri Escherichia coli (E. coli) adalah Gram negatif, bergerak, berbentuk batang, bersifat fakultatif anaerob, dan termasuk golongan Enterobacteriaceae. Suatu tipe tertentu bersifat enteropathogenik dan dikenal sebagai penyebab diare pada bayi. Beberapa galur lainnya juga sebagai penyebab diare pada orang dewasa (Buckle et al., 1987). Escherichia coli dapat tumbuh optimum pada pH 7,0-7,5 dengan pH minimum 4 dan pH maksimum 8,5. Bakteri ini sensitif terhadap panas dan pada makanan yang mengalami pemanasan. Suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah 37 oC dengan kisaran suhu 10-40 oC (Frazier dan Westhoff, 1967).

Enteropatogenik E.coli (EPEC) merupakan mikroba penting penyebab diare pada bayi, terutama pada tempat yang sanitasinya rendah. Beberapa serotip dilibatkan pada perjangkitan penyakit melalui makanan dan air di beberapa negara. EPEC memiliki kemampuan untuk melakukan kontak fisik dengan sel epitel usus dan menyebabkan luka. Enterotoxigenik E.coli (ETEC) merupakan penyebab utama diare di beberapa negara dengan sanitasi yang kurang. Patogen ini menghasilkan faktor perlawanan, dan stabil terhadap panas, serta menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan penyakit. Enteroinvasif E .coli (EIEC) diketahui menyebabkan disentri yang mirip penyakit shigellosis. Enterohemoragic E. coli (EHEC) dikenal sebagai penyebab diare berdarah (hemoragic colitis) dan hemoragic uremic syndrome (HUS) pada manusia (Ray, 2003).


(18)

15 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan selama 4 bulan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak dan Laboratorium Terpadu Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai pada bulan Februari sampai dengan Mei 2012.

Materi

Bahan yang digunakan untuk memproduksi bakteriosin adalah Lactobacillus plantarum 2C12 (asal daging sapi, koleksi Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB), media De Man Rogosa and Sharpe broth (MRSB), yeast extract (YE) 3%, NaCl 1%, NaOH 0,1 N, ammonium sulfat, buffer kalium fosfat, membran diálisis dan aquadest. Bahan-bahan yang diperlukan untuk pembuatan sosis adalah daging bagian kelapa (knuckle) sapi dari RPH Eldiers setelah 4 jam postmortem, tepung tapioka, STPP, garam, es batu, bawang putih, nitrit, susu skim, gula, minyak goreng, dan merica.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini pipet volumetrik, tabung reaksi, rak tabung reaksi, ose, cawan petri, membran saring Sartorius, gelas ukur, mikro pipet, sentrifuse, incubator, refrigerator, membran dialisis, plastic wrap, alumunium foil, kapas, oven, autoclave, vortex, pH meter, botol Schott dan bunsen. Alat-alat untuk pembuatan sosis yaitu pisau, talenan, food processor, dan stuffer.

Prosedur

Tahap 1. Purifikasi Bakteri (Todorov et al., 2008 dan Abo-Amer, 2007)

Sebanyak 1 liter media MRS – broth (MRSB) ditambah yeast ekstrak 3% dan NaCl 1% diinokulasi dengan 10% (v/v) kultur Lactobacillus plantarum 2C12, dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 20 jam kemudian disimpan pada refrigerator suhu 4 oC selama 2 jam. Sentrifugasi dilakukan pada kecepatan 5.000 rpm selama 20 menit pada suhu 4 oC, dan dilakukan penyaringan dengan menggunakan membran saring Sartorius, selanjutnya pH supernatan bebas sel dinetralkan sehingga menjadi pH 6 dengan menggunakan 0,1 N NaOH.


(19)

16 a. Purifikasi Parsial dengan menggunakan Presipitasi Amonium Sulfat

Penyaringan dengan menggunakan membran saring Sartorius berdiameter 0,22 µm dan selanjutnya supernatan bebas sel (SBS) dinetralkan menjadi pH 6 menggunakan 0,1 N NaOH. Semua tahapan proses ini dilakukan pada suhu dingin. Proses perbanyakan dan penyegaran kultur dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Proses Perbanyakan dan Penyegaran Kultur Diinokulasi dengan

bakteri L.plantarum 2C12 sebanyak 0,5 ml

Diinkubasi 24 jam

Diinokulasi dengan bakteri sebanyak

50 ml

23,4 g MRSB+ 13,5 g YE + 450 ml aquadest (duplo) 5,2 g MRSB+ 3 g YE+

100 ml aquadest

Diinkubasi 24 jam

Wadah yang berisi larutan ditutup dan di

autoclave 1210C 15 menit

Di autoclave 121°C 15 menit

Di autoclave 1210C 15 menit

Dipanaskan, distirer Didinginkan pada suhu

ruang

1,56 g MRSB + 0,9 g YE+ 10 ml aquadest

Dipipet ke masing-masing tabung reaksi

sebanyak 4,5 ml

Dipipet ke masing-masing erlenmeyer

sebanyak 45 ml

Diinokulasi dengan bakteri sebanyak 5 ml

Dipanaskan, distirer Didinginkan pada suhu ruang Dipanaskan, distirer Didinginkan pada suhu ruang


(20)

17 Tabel 2. Penggunaan Padatan Amonium Sulfat (% Penjenuhan)

Awal 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Konsentrasi Akhir dari Padatan Amonium Sulfat (g per 1000 ml)

0 10,6 13,4 16,4 19,4 22,6 25,8 29,1 32,6 36,1 39,8 43,6 47,6 51,6 55,9 60,3 65 69,7 5 7, 9 10,8 13,7 16,6 19,7 22,9 26,2 29,6 33,1 36,8 40,5 44,4 48,4 52,6 57 61,5 66,2 10 5,3 8,1 10,9 13,9 16,9 20 23,3 26,6 30,1 33,7 37,4 41,2 45,2 49,3 53,6 58,1 62,7 15 2,6 5,4 8,2 11,2 14,1 17,2 20,4 23,7 27,1 30,6 34,3 38,1 42 46 50,3 54,7 59,2 20 0 2,7 5,5 8,3 11,3 14,3 17,5 20,7 24,1 27,6 31,2 34,9 38,7 42,7 46,9 51,2 55,7 25 0 2,7 5,6 8,4 11,5 14,6 17,9 21,1 24,5 28 31,7 35,5 39,5 43,6 47,8 52,2 30 0 2,8 5,6 8,6 11,7 14,8 18,1 21,4 24,9 28,5 32,3 36,2 40,2 44,5 48,8 35 0 2,9 5,7 8,7 11,8 15,1 18,4 21,8 25,8 29,6 32,9 36,9 41 45,3

40 0 2,9 5,8 8,9 12 15,3 18,7 22,2 26,3 29,6 33,5 37,6 41,8

45 0 3 5,9 9 12,3 15,6 19 22,6 26,3 30,2 34,2 38,3

50 0 3 6 9,2 12,5 15,9 19,4 23,5 26,8 30,8 34,8

55 0 3,1 6,1 9,3 12,7 16,1 20,1 23,5 27,3 31,2

60 0 3,1 6,2 9,5 12,9 16,8 20,1 23,9 27,9

65 0 3,2 6,3 9,7 13,2 16,8 20,5 24,4

70 0 3,2 6,5 9,9 13,4 17,1 20,9

75 0 3,3 6,6 10,1 13,7 17,4

80 0 3,4 6,7 10,3 13,9

85 0 3,4 6,8 10,5

90 0 3,4 7

95 0 3,5


(21)

Serbuk ammonium sulfat ditambahkan sebanyak empat kali secara bertahap (20%, 40%, 60%, dan 80%) ke dalam supernatan antimikroba yang telah disaring steril untuk menghasilkan endapan protein, kemudian dihomogenkan secara perlahan pada suhu 4 °C selama dua jam. Kebutuhan padatan ammonium sulfat dapat dilihat pada Tabel 2. Selanjutnya, supernatan dibuang dan didapatkan presipitat bakteriosin. Presipitat dikoleksi pada satu tabung Falcon.

b. Dialisis

Dialisis dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan garam amonium sulfat yang masih bercampur dengan presipitat bakteriosin. Proses dialisis menggunakan Buffer pottasium phospat. Buffer pottasium phospat yaitu campuran KH2PO4 dan K2HPO4. Proses pembuatan buffer yaitu dengan 49,7 ml K2HPO4 dan

50,3 ml KH2PO4 dalam larutan 100 ml kemudian diukur pH hingga mencapai pH 6.

Dialisis dilakukan dengan menggunakan membran dialisis diameter 20 pada Buffer potassium phospat. Buffer diganti saat jam ke-2 dan jam ke-4, kemudian dibiarkan hingga 16 jam. Proses dilakukan di dalam refrigerator dengan menggunakan stirrer. Setelah selesai, didapatkan ekstrak kasar bakteriosin. Pengecekan protein plantaricin hasil dialisis diamati dengan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 280 nm.

Tahap 2. Pembuatan Sosis Daging Sapi dengan Penambahan Bakteriosin sebagai Pengawet Alami

Daging, garam, STTP, bahan pengawet dan sepertiga bagian es digiling dalam food processor. Kedua, susu skim, bawang putih, merica, pala, jahe, ketumbar, lemak, minyak, dan sepertiga bagian es. Terakhir ditambahkan tepung tapioka dan sepertiga bagian es sisanya. Bahan pengawet ditambahkan berdasarkan tiga perlakuan yaitu tanpa bahan pengawet alami (kontrol); nitrit 0,3%; dan bakteriosin 0,3%. Adonan digiling ke dalam food processor hingga bercampur semua. Adonan dimasukkan ke stuffer agar dapat dipindahkan ke dalam selongsong sosis (casing). Sosis mentah kemudian direbus di dalam panci selama 45 menit dengan suhu 60-70 oC. Sosis yang telah matang kemudian disimpan. Adapun komposisi bahan pada pembuatan sosis sebagai berikut:


(22)

19 Tabel 3. Komposisi Bahan-bahan pada Pembuatan Sosis

Bahan

Taraf Perlakuan

Kontrol Nitrit 0,3% Bakteriosin 0,3%

Daging segar (g) 1000 1000 1000

Lemak daging (g) 200 200 200

Minyak (g) 100 100 100

Susu skim bubuk (g) 100 100 100

Tepung tapioka (g) 150 150 150

Garam (g) 35 35 35

STTP (g) 8 8 8

Es (g) 400 400 400

Bawang putih (g) 15 15 15

Merica (g) 10 10 10

Jahe (g) 5 5 5

Biji Pala (g) 5 5 5

Nitrit (g) 0 3 0

Bakteriosin (g) 0 0 3

Berikut adalah diagram alir proses pembuatan sosis:

Gambar 2. Bagan Pembuatan Sosis Daging Sapi

Daging garam, STTP, bahan pengawet dan sepertiga bagian es digiling

Tepung tapioka dan sepertiga bagian es

Ditambahkan susu skim, bumbu, lemak, minyak dan sepertiga bagian es

Digiling hingga kalis, dimasukkan ke casing dan dikukus pada suhu 60-70 °C selama 45 menit


(23)

20 Tahap 3. Analisis Kualitas Mikrobiologis

Sebelum dilakukan analisis mikrobiologis, sampel dipersiapkan terlebih dahulu dengan cara sebagai berikut yaitu sebanyak 25 g sampel dimasukkan ke dalam plastik steril lalu ditambahkan 225 ml larutan pengencer steril, kemudian dihancurkan dengan alat blender hingga diperoleh campuran yang homogen dengan konsentrasi 0,1 g/ml.

Sampel yang akan diuji yaitu daging segar dan sosis yang telah diberi perlakuan. Sebelum daging diproduksi menjadi sosis, dilakukan pengujian untuk daging segar yaitu pengujian angka kuantitatif Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Salmonella, dan Total Plate Count. Setelah sosis diberi perlakuan maka dilakukan pengujian yang sama seperti pada daging segar. Sampel kemudian diencerkan dengan larutan pengencer sesuai dengan kebutuhan dan siap untuk diinkubasi ke dalam cawan. Setelah diinkubasi kurang lebih 24 jam, maka pembacaan dan perhitungan jumlah bakteri pada cawan dilakukan.

Analisis Kuantitatif Staphylococcus aureus (Bacteriological Analytical Manual, 2006). Sebanyak masing-masing 25 g sampel sosis ditambahkan 225 ml NaCl 0,85% steril, kemudian dikocok diremas-remas hingga diperoleh campuran yang homogen. Sampel ini kemudian diencerkan dengan NaCl 0,85% hingga pengenceran ketiga (P-3). Sampel hasi pengenceran sebanyak masing-masing 1 ml dari tiap pengenceran yang dikehendaki (P-1 sampai P-3) dipupukkan ke dalam cawan petri steril, selanjutnya dituangi dengan media tumbuh Baird Parker Agar (BPA), telurit dan kuning telur. Media tumbuh dituangkan terlebih dahulu kedalam cawan hingga mengeras, kemudian ditambahkan dengan setiap pengenceran. Kemudian diratakan dengan alat hockey stick. Koloni Staphylococcus aureus berwarna hitam dikelilingi kuning.

Analisis Kuantitatif Escherichia coli (Bacteriological Analytical Manual, 2006). Sebanyak masing-masing 25 g sampel sosis ditambahkan 225 ml NaCl 0,85% steril, kemudian dikocok diremas-remas hingga diperoleh campuran yang homogen. Sampel ini kemudian diencerkan dengan NaCl 0,85% hingga pengenceran ketiga (P

-3

). Sampel hasil pengenceran sebanyak masing-masing 1 ml dari tiap pengenceran yang dikehendaki (P-1 sampai P-3) dipupukkan ke dalam cawan petri steril,


(24)

21 selanjutnya dituangi dengan media. Sampel dipupukkan ke dalam cawan yang telah berisi media Eosyn Methylen Blue Agar (EMBA). Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada suhu 37 oC, koloni E. coli yang tumbuh akan berwarna biru keunguan.

Analisis Kuantitatif Salmonella spp. (Bacteriological Analytical Manual, 2006) Sebanyak masing-masing 25 g sampel sosis ditambahkan 225 ml NaCl 0,85% steril, kemudian dikocok diremas-remas hingga diperoleh campuran yang homogen. Sampel ini kemudian diencerkan dengan NaCl 0,85% hingga pengenceran ketiga (P-3). Kemudian sebanyak masing-masing 1 ml dari tiap pengenceran yang dikehendaki (P-1 sampai P-3) dipupukkan ke dalam cawan petri steril, selanjutnya dituangi dengan media XLDA lebih kurang 15 ml dan dihomogenkan dengan cara cawan diputar membentuk angka 8. Inkubasi dilakukan pada suhu 37 oC selama 24 jam, koloni yang tumbuh berwarna kuning keruh dengan titik hitam ditengah dihitung.

Total Plate Count (Dewan Standardisasi Nasional, 1995). Sebanyak 25 g sampel sosis dimasukkan ke dalam plastik steril lalu ditambahkan 225 ml NaCl 0,85% steril, kemudian dikocok diremas-remas hingga diperoleh campuran yang homogen. Sampel ini kemudian diencerkan dengan NaCl 0,85% hingga pengenceran keenam (P-6 ). Sampel dipipet secara aseptik pada pengenceran P-4 sampai P-6 dan sebanyak 1 ml dipipet ke dalam cawan petri steril dan tuang media plate count agar (PCA) sebanyak 10-12 ml. Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada suhu 37 oC dengan posisi terbalik. Jumlah bakteri ditentukan dengan metode hitungan cawan dan formula penentuan jumlah koloni pada setiap perlakuan dengan jumlah koloni antara 25-250 cfu/g adalah:

N = x d

Penyimpanan Sosis

Sosis disimpan selama 9 hari pada di suhu 4-6 °C. Pengujian untuk mengetahui kualitas simpan dilakukan setiap 3 hari sekali ( hari ke-0, 3, 6, dan 9). Uji yang dilakukan untuk menentukan total mikrobiologi yang terdapat dalam sosis yang telah disimpan pada hari yang berbeda.


(25)

22 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian aplikasi bakteriosin pada produk sosis adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan pola 3 x 4 dengan dua faktor dan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah pemberian pengawet (0%, bakteriosin 0,3% dan nitrit 0,3%). Faktor kedua adalah lama penyimpanan 0, 3, 6, dan 9 hari pada suhu refrigerator (4 °C).

Model Matematika yang digunakan pada penelitian ini adalah : Yijk = µ + Pi + Yj + PYij+ €ijk

Keterangan :

Yijk = Variabel respon akibat pengaruh bakteriosin ke-i dan lama penyimpanan ke- j pada ulangan ke-k.

μ = nilai tengah umum

Pi = Pengaruh perlakuan pengawet ke-i

Yj = Pengaruh perlakuan umur penyimpanan ke-j

PYij = Pengaruh interaksi antara bakteriosin ke-i dengan umur penyimpanan ke-j €ij = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ke-j, terhadap ulangan ke-k, k= 1, 2, 3

Data diolah dengan analisis ragam (analysis of variance = ANOVA). Jika pada analisis ragam perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1995).


(26)

23 HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi Bakteriosin

Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan spektrofotometer UV-visible pada panjang gelombang 280 nm. Setiap tahapan produksi bakteriosin diukur konsentrasi proteinnya. Konsentrasi protein dalam supernatan bebas sel, presipitat bakteriosin dan bakteriosin kasar dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Konsentrasi Protein Bakteriosin

Tahapan Konsentrasi (mg/ml)

Supernatan Bebas Sel 74,0 ± 18,38

Presipitat Bakteriosin (sebelum dialisis) 120,5 ± 7,78 Bakteriosin Kasar (setelah dialisis) 151,0 ± 2,83

Supernatan bebas sel merupakan hasil dari sentrifugasi dan sudah dinetralkan menjadi pH 6. Presepitat bakteriosin merupakan hasil dari tahap purifikasi menggunakan pengendapan bakteriosin. Presipitat bakteriosin berbentuk cairan pekat kental berwarna coklat gelap. Tujuan dari purifikasi untuk mengendapkan protein bakteriosin. Presipitat bakteriosin kemudian dialisis untuk menghilangkan garam ammonium sulfat dengan menggunakan membran dialisis dalam buffer pottasium phospat. Ammonium sulfat yang terkandung di dalam presipitat akan diikat oleh buffer dengan cara didialisis sehingga hasilnya disebut bakteriosin kasar. Bakteriosin kasar berbentuk cairan pekat yang berwarna gelap.

Tabel 4 menunjukkan bahwa konsentrasi yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum 2C12 menunjukkan nilai konsentrasi yang semakin meningkat dari tahap supernatan bebas sel, presipitat bakteriosin hingga tahap bakteriosin kasar. Protein mengabsorbsi sinar ultraviolet maksimum pada panjang gelombang 280 nm (Sudarmadji et al., 1989). Penggunaan protein berdasarkan absorbsi sinar UV adalah mudah, cepat, dan tidak merusak bahan. Bertambahnya jumlah konsentrasi protein menunjukkan proses purifiksi bertingkat dimulai dengan penambahan ammonium sulfat 20%, 40%, 60%, dan 80% tersebut dapat meningkatkan konsentrasi protein.


(27)

24 Konsentrasi protein yang meningkat karena bakteriosin mengalami proses pemurnian saat proses dialisis dan purifikasi sehingga protein menjadi pekat.

Kualitas Mikrobiologis Daging Segar sebagai Bahan Pembuat Sosis Daging Sapi Daging segar yang digunakan haruslah melewati uji kualitas mikrobiologis terlebih dahulu. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memastikan keamanan dari daging segar tersebut. Uji mikrobiologi yang dilakukan untuk mengetahui jumlah awal total mikroba (TPC), Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella spp. Uji kualitas mikrobiologis diperlukan untuk mengetahui apakah daging segar yang digunakan untuk pengolahan dan pengawetan aman untuk dikonsumsi. Bila jumlah bakteri yang terdapat di dalam daging segar melebihi batas aman, maka bila tetap dikonsumsi akan menimbulkan penyakit. Total awal mikroba, Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella spp. dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kualitas Mikrobiologis Daging Segar

Peubah Nilai Batas Maksimum(*)

Total mikroba 2,19x104 cfu/g 1x104 cfu/g

Staphylococcus aureus 4,71x102 cfu/g 1x101 cfu/g

Escherichia coli 0,00 5x101 cfu/g

Salmonella spp. 0,00 (**) Negatif

Keterangan:

(*) Sumber SNI No 01-6366-2000 (**) Analisis secara kuantitatif

Tabel 5 menunjukkan bahwa Staphylococcus aureus telah melebihi batas cemaran maksimum menurut SNI No 01-6366-2000 yaitu 1x101 cfu/g. Populasi yang besar dari Staphylococcus aureus berarti bahwa adanya kontaminasi dari pekerja yang kurang memperhatikan sanitasi dalam proses pengerjaan. S.aureus terdapat juga di dalam kerongkongan dan hidung, sehingga dengan mudahnya akan berpindah ke tangan dan rambut (Gamman dan Sherington, 1992). Menurut Le Loir et al. (2003), lebih dari 30% populasi manusia adalah pembawa Staphylococcus aureus. Kontaminasi dari peralatan terjadi akibat alat-alat yang digunakan dalam penyembelihan yang tidak steril. Segala sesuatu yang kontak secara langsung atau tidak langsung dengan daging dapat menyebabkan kontaminasi. Besarnya


(28)

25 kontaminasi pada daging akan menentukan kualitas dan umur simpan daging (Soeparno, 2005).

E. coli dan Salmonella spp. tidak terdapat pada daging segar. Menurut SNI No. 01-6366-2000 bahwa daging segar tidak boleh terdapat Salmonella spp. dan jumlah E. coli memiliki batas aman yaitu 5x101 cfu/g. Hasil aw yang diperoleh dari

daging segar seperti pada Tabel 6 yaitu 0,87. Hasil tersebut didukung dengan nilai aw pertumbuhan minimal untuk E. coli yaitu 0, 95 dan nilai aw pertumbuhan minimal

untuk Salmonella spp. yaitu 0,94 (Soeparno, 2005). Total mikroba pada daging segar 2,19x104 cfu/g melebihi batas maksimum yaitu 1x104 cfu/g. Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dari mikroorganisme di dalam daging termasuk temperatur, kadar air, oksigen, pH, dan kandungan gizi daging. Daging sangat memenuhi persyaratan untuk perkembangan mikroorganisme tersebut, termasuk mikroorganisme perusak atau pembusuk karena kadar air tinggi, kaya akan zat yang mengandung nitrogen dengan kompleksitasnya yang berbeda, mengandung sejumlah karbohidrat yang dapat difermentasikan, kaya akan mineral dan kelengkapan faktor untuk pertumbuhan mikroorganisme, mempunyai nilai pH 5,3-6,5 yang menguntungkan bagi sejumlah mikroorganisme (Soeparno, 2005). Nilai pH dan aw

daging dalam dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Analisis Kualitas Fisik pada Daging Segar

Peubah Nilai

pH daging 5,48

aw daging 0,87

Sumber: Situmorang et al. (2012)

Pengukuran pH bertujuan untuk mengetahui derajat keasaman yang disebabkan oleh adanya ion hidrogen. Derajat keasaman atau pH merupakan konsentrasi dari ion hidrogen yang terdisosiasi dalam larutan. Daging segar yang digunakan pada penelitian ini mempunyai pH 5,48. Hasil tersebut sesuai dengan pH daging ultimat menurut Forrest et al. (1975) yaitu 5,4-5,6. Menurut Soeparno (2005), pH ultimat daging merupakan kondisi yang baik untuk tumbuhnya sebagian bakteri. Nilai pH daging ultimat yaitu nilai pH yang dicapai setelah glikogen otot menjadi habis atau setelah setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif pada serangan-serangan enzim


(29)

26 glikolitik (Lawrie, 1995). Soeparno (2005) menyatakan bahwa bakteri S. aureus dapat tumbuh baik pada pH 4,0-8,0 dan E. coli tidak dapat tumbuh dibawah pH 4,4. Hal ini juga membuktikan bahwa pada daging segar yang digunakan untuk membuat sosis terdapat bakteri S. aureus sedangkan E. coli tidak terdapat dalam daging. Badan Standardisasi Nasional (1995) yang menyatakan bahwa daging segar normal mempunyai nilai pH sekitar 5,3 – 5,8. Nilai pH yang rendah berperan untuk menghambat pertumbuhan populasi mikroba patogen ini. Nilai pH juga dapat digunakan sebagai indikator pengendalian pertumbuhan mikroba patogen.

Pertumbuhan bakteri juga dipengaruhi oleh aktivitas air. Aktivitas air ditentukan pada tekanan uap air pada kondisi kesetimbangan produk pangan dengan tekanan uap air jenuh pada temperatur yang sama. Nilai aw daging segar adalah 0,99

atau lebih tinggi. Aktivitas air (aw) yaitu air bebas yang digunakan mikroba untuk

pertumbuhan. Bakteri membutuhkan aw yang lebih tinggi daripada jamur atau ragi.

Jamur membutuhkan aw yang lebih rendah untuk pertumbuhannya. Nilai aw daging

segar yaitu 0,87. Nilai aw minimum untuk Staphylococcus yaitu 0,86 sehingga

terbukti bahwa di dalam daging segar yang digunakan terdapat bakteri ini. Jumlah total mikroba yang melebihi batas aman diakibatkan sanitasi yang buruk.

Kualitas Mikrobiologis Sosis Daging Sapi

Salah satu produk pengolahan daging yaitu sosis. Daging segar yang telah diuji, diolah menjadi sosis. Terdapat empat pengujian yang dilakukan untuk dapat melihat kualitas mikrobiologis sosis sapi yaitu nilai total mikroba, jumlah kuantitatif Salmonella spp., Eschericia coli, dan Staphylococcus aureus.

Nilai Total Mikroba Sosis Daging Sapi. Total jumlah mikroba perlu diketahui untuk memastikan suatu bahan pangan apakah layak atau tidak untuk dikonsumsi. Hal ini ditentukan oleh tingkat pengendalian higienis yang dilaksanakan selama penanganan. Pengaruh penambahan bahan pengawet yang berbeda pada lama penyimpanan yang berbeda terhadap nilai total mikroba dapat dilihat pada Tabel 7.


(30)

27 Tabel 7. Nilai Total Mikroba Sosis Daging Sapi dengan Penambahan Bahan

Pengawet yang Berbeda pada Lama Penyimpanan yang Berbeda

Perlakuan Umur simpan (hari) Rata-rata

0 3 6 9

---(log cfu/g)--- (log cfu/g) (cfu/g)

Kontrol 3,18±0,25 2,15±0,36 3,26±0,84 4,75±2,05 3,34±0,87 2,18x103

Nitrit 0,3% 3,00±0,26 2,23±0,27 3,60±0,32 3,65±0,17 3,12±0,26 1,32x103

Bakteriosin 0,3%

3,25±0,28 2,24±0,47 2,30±1,21 3,66±0,22 2,86±0,55 7,24x102

Rata-rata 3,14±0,26a 2,21±0,37b 3,06±0,79a 4,03±0,81c Nilai populasi

(cfu/g) 1,38x10

3 1,62x102 1,14x103 1,07x104

Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Populasi total mikroba menandakan jumlah keseluruhan mikroba pada sosis. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa bahan pengawet dan lama penyimpanan terhadap jumlah total bakteri sosis tidak berpengaruh nyata, artinya tidak ada pengaruh dari interaksi antara bahan pengawet dengan umur simpan. Menurut SNI No. 01-3820-1995, batas maksimal total mikroba produk sosis adalah 1x105 cfu/g. Berdasarkan Tabel 7, lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap total mikroba yaitu semakin lama penyimpanan, semakin bertambah jumlah total mikroba. Buckle et al. (1987) menyatakan penyimpanan dingin diartikan sebagai penggunaan suhu rendah dalam kisaran 1,0 - 3,5°C, suhu yang jauh melebihi permulaan pembekuan. Suhu tersebut merupakan suhu untuk pertumbuhan bakteri psikrofilik. Saat penyimpanan sosis, suhu dingin yang digunakan yaitu 4-6 °C. Faktor yang paling berpengaruh terhadap masa simpan adalah jumlah mikroba awal (Soeparno, 2005). Jumlah total mikroba pada penyimpanan hari ke-0 (1,38x103 cfu/g) hingga hari ke-3 (1,62x102 cfu/g) mengalami penurunan akibat suhu dingin sehingga pertumbuhan mikroba dapat dihambat tetapi tidak bisa dihentikan pertumbuhannya sehingga penyimpanan hari ke-6 (1,14x103 cfu/g) hingga hari ke-9 (1,07x104 cfu/g) jumlah mikroba mengalami peningkatan.

Peningkatan jumlah mikroorganisme juga berhubungan erat dengan kualitas daging segar. Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah total bakteri pada daging segar telah melebihi batas aman, tetapi setelah daging diolah menjadi sosis dengan pemanasan pasteurisasi pada suhu 60 – 70 °C selama 45 menit, jumlah total bakteri


(31)

28 menurun. Hal ini dikarenakan beberapa mikroorganisme yang mati pada suhu tersebut.

Fardiaz (1992), mengatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba, diantaranya ketersediaan nutrisi, pH, aktivitas air, ketersediaan oksigen dan potensi oksidasi reduksi. Sosis aman untuk dikonsumsi hingga penyimpanan hari ke-9 karena masih dalam batas aman konsumsi menurut SNI No. 01-3820-1995.

Analisis Kuantitatif Escherichia coli pada Sosis Daging Sapi. Pengaruh penambahan bahan pengawet yang berbeda pada lama penyimpanan yang berbeda terhadap populasi E. coli dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Jumlah Populasi E. coli Sosis Daging Sapi dengan Penambahan Bahan Pengawet yang Berbeda pada Lama Penyimpanan yang Berbeda.

Perlakuan Umur simpan (hari)

0 3 6 9

---(log cfu/g)---

Kontrol 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00

Nitrit 0,3% 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 Bakteriosin 0,3% 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00

Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa tidak ditemukannya E. coli pada produk sosis. Hal ini menandakan bahwa dalam proses pembuatan atau produksi sosis dilakukan secara bersih dan higienis. Batas aman total E. coli dalam produk sosis adalah 1x103 cfu/g menurut SNI No. 01-3820-1995. Fardiaz (1989) menyatakan bahwa konsentrasi zat pengawet merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan antimikroba. Tabel 5 pada daging segar menyatakan bahwa tidak ditemukannya bakteri ini, sehingga berpengaruh saat daging telah diolah menjadi sosis. Dua tipe dari enterotoksin yaitu enteroksin tahan panas yang masih aktif setelah dipanaskan pada suhu 100 °C selama 15 menit dan enterotoksin yang tidak tahan panas yang dapat dimusnahkan setelah dipanaskan pada suhu 60°C selama 30 menit (Fardiaz, 1989).

Analisis Kuantitatif Salmonella spp. pada Sosis Daging Sapi. Salmonella spp. merupakan bakteri enteropatogenik yang umumnya terdapat dalam jumlah kecil di


(32)

29 dalam makanan, meskipun demikian jumlah tersebut sudah cukup menimbulkan gejala penyakit. Salmonella. merupakan bakteri Gram negatif yang dapat menyebabkan gastroenteritis, demam enterik, dan diare (Mckane dan Kandel,1985). Hasil yang didapatkan untuk pengujian Salmonella spp. secara kuantitatif dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Jumlah Populasi Salmonella Sosis Daging Sapi dengan Penambahan Bahan Pengawet yang Berbeda pada Lama Penyimpanan yang Berbeda.

Perlakuan Umur simpan (hari)

0 3 6 9

---(log cfu/g)---

Kontrol 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00

Nitrit 0,3% 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 Bakteriosin 0,3% 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00

Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa uji Salmonella menunjukan bahwa bakteri tersebut tidak ditemukan pada produk sosis daging sapi di semua perlakuan pada umur simpan yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa sejak awal tidak ada kontaminasi Salmonella spp. dan tidak adanya kontaminasi selama penyimpanan berlangsung. Populasi Salmonella spp. yang diperbolehkan menurut SNI No. 01‐3820‐1995 yaitu negatif. Bakteri Salmonella spp. ini termasuk termasuk bakteri enteropatogenik oleh karena itu pada produk pangan harus negatif dari cemaran bakteri Salmonella spp. Pada Tabel 5, tidak ditemukan bakteri Salmonella pada daging segar. Jumlah bakteri pada segar berpengaruh pada bakteri di dalam sosis. Analisis Kuantitatif Staphylococcus aureus pada Sosis Daging Sapi. Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif yang bersifat anaerobik. Staphylococcus aureus berbentuk tunggal atau berpasangan, berkelompok seperti buah anggur. Bakteri ini termasuk dalam bakteri patogen dan dapat menyebabkan keracunan pangan sehingga perlu diketahui keberadaannya dalam produk pangan. Bakteri ini merupakan indikator sanitasi tangan pekerja, sehingga penting untuk mengetahui keamanan mikrobiologis dari suatu produk. Hasil analisis Staphylococcus aureus pada sosis yang diberi perlakuan dalam dilihat pada Tabel 10.


(33)

30 Tabel 10. Jumlah populasi Staphylococcus aureus Sosis Daging Sapi dengan Penambahan Bahan Pengawet yang Berbeda pada Lama Penyimpanan yang Berbeda

Perlakuan Umur simpan (hari) Rata-rata

0 3 6 9

---(log cfu/g)--- (log cfu/g) (cfu/g)

Kontrol 2,46±0,14 1,86±0,34 3,43±0,36 3,77±0,13 2,88±0,24a 7,59x102

Nitrit 0,3% 3,09±1,33 1,99±0,26 2,91±0,25 3,36±0,45 2,84±0,57a 6.91x102

Bakteriosin 0,3%

1,48±1,32 1,03±0,90 1,54±1,42 2,41±0,22 1,62±0,97b 4,2x101

Rata-rata 2,35±0,93bc 1,63±0,5c 2,63±0,67ab 3,18±0,27a Nilai populasi

(cfu/g)

2,23x102 4,26x101 4,26x102 1,51x103

Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata

Tabel 10 menunjukkan bahwa interaksi antara bahan pengawet dan umur simpan tidak berpengaruh pada pertumbuhan bakteri S. aureus. Bahan pengawet berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan populasi S. aureus. Penambahan bakteriosin dapat menghambat perkembangan bakteri patogen yang mempunyai kekerabatan dekat dengan bakteri penghasil bakteriosin.

Arief et al. (2008) menyatakan bahwa suatu senyawa antimikroba diproduksi oleh bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum 2C12 yang diisolasi dari daging sapi lokal. Senyawa antimikroba tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen Escherichia coli, Salmonella typhimurium dan Staphylococcus aureus. Senyawa antimikroba yang diproduksi oleh L. plantarum 2C12 mengandung bakteriosin. Bakteriosin yang diproduksi oleh bakteri asam laktat (BAL) digunakan sebagai pengawet makanan dan berpotensi sebagai pengganti antibiotik (Reenen et al., 2006).

Pada Tabel 10 terlihat bakteriosin dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dibanding dengan kontrol dan nitrit. Berdasarkan penambahan bahan pengawet, terlihat bahwa sosis dengan penambahan bakteriosin yang dapat dikonsumsi yaitu 4,2x101 cfu/g sesuai dengan SNI No. 01-3820-1995 dibandingkan dengan sosis kontrol dan sosis dengan penambahan nitrit. Dwidjoseputro (1990) membedakan antimikroba berdasarkan efektivitas kerjanya terhadap berbagai mikroorganisme, yaitu antimikroba yang berspektrum luas, yaitu antimikroba yang efektif terhadap berbagai jenis mikroorganisme dan antimikroba


(34)

31 yang berspektrum sempit, yaitu antimikroba yang efektif terhadap mikroorganisme tertentu. Bakteriosin memiliki spektrum yang sempit, lebih efektif menghambat bakteri yang kekerabatannya dekat yaitu bakteri Gram positif. Staphylococcus aureus lebih sensitif dibanding E. coli terhadap antimikroba, hal ini disebabkan S. aureus merupakan bakteri Gram positif yang komposisi dinding selnya lebih sederhana daripada Gram negatif, sehingga bakteriosin lebih dapat menghambat bakteri Staphylococcus aureus dibandingkan dengan bakteri E. coli. Dinding sel Gram positif mempunyai komposisi lipid rendah dan hanya mempunyai lapisan peptidoglika.

Umur simpan juga berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus. Batas maksimum pencemaran menurut SNI No. 01-3820-1995 yaitu 1x102 cfu/g. Semakin lama penyimpanan menunjukkan pertambahan jumlah Staphylococcus aureus karena bakteri ini mudah sekali untuk tumbuh. Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang dapat tumbuh pada variasi suhu 6-48 °C dengan suhu pertumbuhan optimal pada suhu 20-37 °C. Staphylococcus aureus termasuk bakteri yang memiliki kemampuan tumbuh pada berbagai kondisi, sehingga dapat tumbuh di berbagai jenis makanan. Berdasarkan rata-rata lama penyimpanan, sosis aman dikonsumsi hingga penyimpanan hari ke-3 (4,26x101 cfu/g) menurut SNI No. 01-3820-1995, selebihnya sosis tidak aman untuk dikonsumsi. Sosis dengan penambahan bakteriosin dapat dikonsumsi hingga penyimpanan hari ke-6 karena masih memenuhi standar keamanan pangan sedangkan sosis kontrol dan sosis dengan penambahan nitrit hanya dapat dikonsumsi hingga hari ke-3.

Peningkatan jumlah Staphylococcus aureus berhubungan erat dengan kualitas daging segar. Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah S. aureus pada daging segar telah melebihi batas aman tetapi berkurang saat telah diolah menjadi sosis. Hal ini karena bakteri ini dapat dihambat dengan pemanasan pasteurisasi pada suhu 60-70 °C selama 45 menit. Bakteri ini dapat semakin bertambah akibat suhu penyimpanan pada refrigerator 4-6 °C. Penyimpanan dingin tidak dapat menghambat pertumbuhan S. aureus. Nilai aw juga mendukung pertumbuhan bakteri S. aureus.


(35)

32 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Mikrobiologis Sosis Daging Sapi

Faktor yang mepengaruhi pertumbuhan bakteri pada daging dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam yaitu nilai nutrisi daging, kadar air, pH, dan potensi oksidasi-reduksi. Faktor luar yaitu temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen dan kondisi daging.

Nilai pH dan Aktivitas Air. Nilai pH berpengaruh pada pertumbuhan mikroba. Pada dasarnya, setiap mikroba memiliki kisaran nilai pH yang berbeda. Bakteri Gram negatif lebih sensitif di kisaran pH rendah daripada Gram positif. Nilai pH sosis dengan penambahan bahan pengawet yang berbeda dan pada lama penyimpanan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Rataan Nilai pH dan aw Sosis Daging Sapi Selama Masa Simpan

Bahan Pengawet pH aw

Kontrol 5,74±0,20 0,87±0,04

Nitrit 0,3% 5,82±0,14 0,91±0,02

Bakteriosin 0,3% 5,69±0,18 0,86±0,04

Sumber: Situmorang et al., 2012

Nilai pH optimum pertumbuhan bakteri adalah 6,5 - 7,5. Sosis dengan penambahan bakteriosin memiliki derajat keasaman yang lebih rendah, sehingga terbukti bahwa rataan jumlah total mikroba pada Tabel 7 memiliki jumlah paling sedikit dibanding dengan sosis kontrol dan sosis dengan penambahan nitrit. Penurunan pH merupakan salah satu prinsip pengawetan pangan untuk mencegah pertumbuhan mikroba. Kebanyakan mikroba tumbuh baik pada pH netral, dan pH 6,0–8,0 merupakan kondisi optimum untuk pertumbuhan bakteri, sedangkan kapang dan kamir dapat tumbuh pada pH yang lebih rendah dengan kisaran pH 3,0–6,0 (Buckle et al., 1987). Nilai pH sosis daging sapi mengalami peningkatan dari nilai pH daging segar seperti pada Tabel 6. Hal ini disebabkan daging segar yang telah diolah bersama dengan bumbu-bumbu dan diberi penambahan bahan pengawet dapat menaikkan pH sosis daging sapi. Nilai pH yang paling meningkat yaitu pada sosis dengan penambahan nitrit dan nilai pH yang paling rendah yaitu sosis dengan penambahan bakteriosin.


(36)

33 Semua makhluk hidup termasuk mikroba membutuhkan air. Jumlah mikroba yang terdapat di dalam daging sangat menentukan tingkat pertumbuhan mikroba. Kebutuhan mikroorganisme akan air, disebut aktivitas air. Nilai aw juga berpengaruh

terhadap pertumbuhan total mikroba. Nilai aw pada makanan dapat berubah sesuai

dengan waktu dan tidak lepas dari pengaruh temperatur, tekanan udara dan komposisi makanan itu sendiri. Nilai aw sangat dipengaruhi oleh kelembaban

ruangan, pangan yang disimpan di dalam ruangan yang lembab (RH tinggi) akan mudah menyerap air sehingga nilai aktivitas air (aw) meningkat. Semakin lama

penyimpanan, semakin tinggi nilai aw sosis.

Penambahan bahan pengawet juga berpengaruh pada nilai aw pada sosis. Nilai

aw pada sosis dengan penambahan bakteriosin lebih rendah dibandingkan dengan

sosis kontrol dan sosis dengan penambahan nitrit. Nilai aw sosis berkisar 0,86 hingga

0,92. Nilai ini sesuai dengan nilai aw minimum untuk pertumbuhan bakteri

Staphylococcus aureus yaitu 0,86 (Soeparno, 2005). Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa populasi Staphylococcus aures lebih sedikit dibanding dengan sosis kontrol dan sosis dengan penambahan nitrit.


(37)

34 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Bakteriosin yang diproduksi oleh Lactobacillus plantarum 2C12 memiliki konsentrasi protein yang meningkat dari setiap tahapan produksinya. Jumlah total mikroba yang terdapat dalam sosis daging sapi kontrol, nitrit, dan bakteriosin masih sesuai dengan batas aman konsumsi. Salmonella spp. dan Escherichia coli tidak terdapat di dalam sosis daging sapi. Bakteriosin menghambat pertumbuhan bakteri patogen khususnya Staphylococcus aureus di dalam sosis daging sapi. Bakteriosin dapat menggantikan nitrit sebagai bahan pengawet pada produk sosis daging sapi sampai dengan penyimpanan selama enam hari pada suhu refrigerator.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penambahan lama penyimpanan sosis daging sapi dan jumlah konsentrasi bakteriosin.


(38)

KUALITAS MIKROBIOLOGIS SOSIS DAGING SAPI DENGAN

PENAMBAHAN BAKTERIOSIN SEBAGAI

PENGAWET ALAMI

SKRIPSI

SINDYA ERTI J. SINAGA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013


(39)

KUALITAS MIKROBIOLOGIS SOSIS DAGING SAPI DENGAN

PENAMBAHAN BAKTERIOSIN SEBAGAI

PENGAWET ALAMI

SKRIPSI

SINDYA ERTI J. SINAGA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013


(40)

ii RINGKASAN

Sindya Erti J. Sinaga. D14080229. 2013. Kualitas Mikrobiologis Sosis Daging Sapi dengan Penambahan Bakteriosin sebagai Pengawet Alami. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si. Pembimbing Anggota : Zakiah Wulandari S.TP., M.Si

Daging merupakan salah satu hasil dari produk peternakan. Daging merupakan salah satu penyumbang protein hewani namun mudah rusak. Salah satu cara mengatasi masalah tersebut dengan melakukan pengolahan dan pemberian bahan pengawet. Pengolahan daging berguna untuk menjaga dari kerusakan daging sehingga dapat memperpanjang umur simpan. Sosis merupakan salah satu produk olahan dari daging yang mudah mengalami kerusakan (perishable food), sehingga diperlukan cara untuk memperpanjang umur simpan. Penambahan bahan pengawet merupakan salah satu cara untuk memperpanjang umur simpan sosis. Pengawetan yang sering digunakan dalam produk pangan yaitu dengan menambahkan bahan pengawet kimia yang memiliki batas konsumsi, seperti nitrit, natrium metabisulfat, dan natrium benzoat. Salah satu bahan tambahan makanan yang sering digunakan untuk pembuatan sosis daging sapi adalah nitrit. Penggunaan nitrit dalam pangan memiliki efek yang berbahaya untuk tubuh. Nitrit dapat bereaksi dengan amina dan amida sehingga membentuk turunan nitrosamin toksin. Nitrosamin diduga dapat menimbulkan kanker.

Salah satu bahan pengawet yang aman dan tidak menimbulkan efek dalam tubuh adalah kelompok antimikroba bakteriosin yang diproduksi oleh bakteri asam laktat (BAL) termasuk Lactobacillus plantarum. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penambahan bakteriosin yang diproduksi oleh Lactobacillus plantarum 2C12 terhadap karakteristik mikrobiologis sosis daging sapi. Karakteristik mikrobiologis yang diuji yaitu angka kuantitatif total mikroba, Salmonella typhimurium, Escherichia coli dan Staphylococcus aureus yang disimpan selama 0, 3, 6, dan 9 hari.

Penelitian dilaksanakan selama empat bulan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak dan Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Februari sampai dengan Mei 2012. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 3 x 4 dengan dua faktor dan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah pemberian pengawet (0%, bakteriosin 0,3%, dan nitrit 0,3%). Faktor kedua adalah lama penyimpanan 0, 3, 6, dan 9 hari pada suhu refrigerator (4-6 °C)

Penelitian terbagi menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan yaitu produksi bakteriosin dari Lactobacillus plantarum 2C12 dengan proses purifikasi parsial dengan menggunakan ammonium sulfat dan proses dialisis. Konsentrasi protein yang dihasilkan dari tahapan supernatan bebas sel yaitu 74±18,38 mg/ml, presipitat bakteriosin yaitu 120,5±7,78 mg/ml, dan bakteriosin kasar yaitu 151±2,83mg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi protein meningkat dalam setiap tahapan.


(41)

iii Penelitian utama yaitu proses pengolahan sosis daging sapi dan pengujian kualitas mikrobiologis yaitu Total Plate Count, angka kuantitatif Salmonella spp., E. coli dan Staphylococcus aureus selama penyimpanan 0, 3, 6, dan 9 hari. Pengujian yang dilakukan yaitu pada daging segar dan sosis daging sapi selama penyimpanan. Hasil pengujian mikrobiologis daging segar menunjukkan bahwa jumlah total mikroba yaitu 2,19x104 cfu/g, angka kuantitatif Staphylococcus aureus melebihi batas aman yaitu 4,71x102 cfu/g, untuk nilai Escherichia coli dan Salmonella spp yaitu 0,00 cfu/g. Kualitas mikrobiologis sosis daging sapi menunjukkan jumlah total mikroba yang terdapat dalam sosis daging sapi kontrol, nitrit, dan bakteriosin masih sesuai dengan batas aman konsumsi menurut SNI 01-3820-1995. Salmonella spp. dan Eschrichia coli tidak terdapat di dalam sosis daging sapi. Bakteriosin menghambat pertumbuhan bakteri patogen khususnya Staphylococcus aureus di dalam sosis daging sapi. Hal ini menunjukkan bahwa bakteriosin dapat menggantikan nitrit sebagai bahan pengawet sampai dengan penyimpanan selama enam hari pada suhu refrigerator.

Kata-kata kunci: sosis, Lactobacillus plantarum, bakteriosin


(42)

iv ABSTRACT

The Microbiological of Quality Beef Sausage with Additional of Bacteriocin from Lactobacillus plantarum 2C12 as a Biopreservative

Sinaga S.E.J., I.I. Arief and Z. Wulandari

One of the purposes of food preservation is to extend the self life of food. Nowadays, biological food preservation technology gets special attention from people. Beef sausage is one of meat product which is potential as medium for microbial growth. Many techniques have been applied to reduce microbial growth and to preserve the beef sausage. The most of preservation method use a chemical preservatives which can give healthy effect for human. Therefore, biopreservative is needed to replace chemical preservative. One of the biopreservative is bacteriocin produced by Lactobacillus plantarum 2C12. The aim of the research was to observe the microbiological characteristics of the sausage with the addition of preservatives (control, 0.3% nitrite, and 0.3% crude bacteriocin) at different storage time (0, 3, 6 and 9 day) in cold temperature (4-6 oC). The concentration of the protein produced from stages of cell free supernatan bacteriocin precipitates, and crude bacteriocin were 74 ± 18.38; 120.5 ± 7.78; 151 ± 2.83. This suggests that the protein concentration increased in each stage. Fresh meat purity test results showed that the total number of microbes is 2,19x104 cfu/g, Staphylococcus aureus 4.71x102 cfu/g, and 0.00 cfu/g for Escherichia coli and Salmonella spp. The quality of microbiologists sausage of beef show the total number of microbes that are contained in sausage of beef control, nitrite, and bakteriosin still in accordance with the safe limit consumption by SNI 01-3820-1995. Salmonella spp. and Eschirichia coli not found in beef sausage. Bacteriocin inhibits the growth of pathogenic bacteria especially Staphylococcus aureus in beef sausage. This shows that bacteriocin can replace the nitrite as a preservative with storage for six days at refrigerator temperature


(43)

v KUALITAS MIKROBIOLOGIS SOSIS DAGING SAPI DENGAN

PENAMBAHAN BAKTERIOSIN SEBAGAI PENGAWET ALAMI

SINDYA ERTI J. SINAGA D14080229

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013


(44)

Judul : Kualitas Mikrobiologis Sosis Daging Sapi dengan Penambahan Bakteriosin sebagai Bahan Pengawet Alami

Nama : Sindya Erti J. Sinaga NRP : D14080229

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

Dr. Irma Isnafia Arief, S.Pt, M.Si. Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. NIP : 19750304 199903 2 001 NIP : 19750207 199802 2 001

Mengetahui : Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. NIP : 19591212 198603 1 001


(45)

v RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang, Sumatera Selatan pada tanggal 5 April 1990. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Charles Sinaga dan Ibu Idya Norayawati. Penulis mengenal pendidikan dasar di SD Katolik Santa Maria Tulungagung pada tahun 1996-2002. Pendidikan dilanjutkan di SMP Negeri 1 Tulungagung, hingga tahun 2005 dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2008 di SMA Negeri 1 Boyolangu, Tulungagung.

Penulis diterima di IPB pada tahun 2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis pernah mendapatkan beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) IPB. Selama kuliah, penulis pernah menjadi pengurus HIMAPROTER periode 2009/2010. Penulis aktif dalam UKM Persekutuan Mahasiswa Kristen dan Komisi Pelayanan Siswa (KPS). Pelatihan yang pernah diikuti penulis yaitu pelatihan Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) yang diselenggarakan olah Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan pada tahun 2012. Prestasi yang dicapai oleh penulis yaitu penerima dana penelitian untuk progran kreatifitas mahasiswa (PKM-P) pada tahun 2010 dan 2012. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknologi Pengolahan Daging pada tahun ajaran 2011 dan 2012, mata kuliah Hasil Ikutan Ternak pada tahun 2012, dan mata kuliah Dasar-dasar Komunikasi dari Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada tahun 2012.


(46)

KATA PENGANTAR

Bersyukur kepada Tuhan sehingga penulis tetap diberikan kesehatan dan kesempatan untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan baik. Atas segala kasih dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi yang berjudul

“Kualitas Mikrobiologis Sosis Daging Sapi dengan Penambahan Bakteriosin sebagai

Pengawet Alami”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk kelulusan dan memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Bakteri asam laktat dapat menghasilkan antimikroba yang disebut bakteriosin. Antimikroba ini berpotensi sebagai bahan pengawet makanan yang alami. Bakteriosin dapat dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum 2C12. Perkembangan teknologi yang diterapkan pada makanan saat ini mengacu pada kombinasi pengolahan dan penambahan bahan pengawet alami. Penambahan bakteriosin diharapkan dapat menghasilkan masa simpan yang lebih lama pada produk olahan daging sapi yaitu sosis yang disimpan pada suhu dingin dan tidak menimbulkan bahaya yang bersifat karsinogenik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca pada umumnya dan terutama bagi penulis khususnya.

Bogor, Januari 2013


(47)

viii DAFTAR ISI

RINGKASAN ... i ABSTRACT ... ii LEMBAR PERNYATAAN ... iii LEMBAR PENGESAHAN ... iv RIWAYAT HIDUP ... v KATA PENGANTAR ... vi DAFTAR ISI ... vii DAFTAR TABEL ... x DAFTAR GAMBAR ... xi DAFTAR LAMPIRAN ... xii PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Daging ... 3 Bakteri Asam Laktat ... 4 Lactobacillus plantarum ... 5 Antimikroba ... 6 Bakteriosin ... 6 Sosis ... 8 Emulsi Sosis ... 8 Bahan Pembuat Sosis ... 8 Daging ... 8 Garam... 9 Gula ... 9 Lemak ... 10 Es Batu ... 10 Bawang Putih ... 10 Lada ... 11 Pala ... 11 Sodium Tripolifosfat (STPP) ... 11 Bahan Pengikat dan Bahan Pengisi ... 11 Air ... 12 Nitrit ... 12 Selongsong Sosis ... 12 Bakteri Patogen ... 12 Staphylococcus aureus ... 13 Salmonella spp ... 13 Escherichia coli ... 13


(1)

38 LAMPIRAN


(2)

39 Lampiran 1. Analisis Ragam terhadap Jumlah Total Mikroba pada Sosis Daging

Sapi

Sumber keragaman Db JK KT F Hit P

Bahan Pengawet 2 1,347 0,673 1,12 0,3425

Umur Simpan 3 14,903 4,967 8,27 0,0006

Bahan Pengawet*Umur Simpan 6 3,911 0,652 1,08 0,3992

Galat 24 14,422 0,6

Total 35 34,585

Uji Duncan Umur Simpan terhadap Jumlah Total Mikroba Sosis Daging Sapi

Umur Simpan Rata-rata Grup Homogen

9 hari 4,0252 A

0 hari 3,1486 B

6 hari 3,0585 B

3 hari 2,2077 C

Lampiran 2. Analisis Ragam terhadap Jumlah Bakteri Staphylococcus aureus pada Sosis Daging Sapi

Sumber keragaman Db JK KT F Hit P

Umur Simpan 3 11,33 3,778 6,46 0,0023

Bahan Pengawet 2 12,386 6,193 10,59 0,0005

Bahan Pengawet*Umur Simpan 6 1,840 0,306 0,52 0,7842

Galat 24 14,038 0,585

Total 35 303,709

Uji Duncan Umur Simpan terhadap Total Staphylococcus aureus Sosis Daging Sapi

Umur Simpan Rata-rata Grup Homogen

9 hari 3,1865 A

6 hari 2,6321 AB

0 hari 2,3466 BC


(3)

40 Uji Duncan Bahan Pengawet terhadap Total Staphylococcus aureus Sosis Daging Sapi

Umur Simpan Rata-rata Grup Homogen

Kontrol 2,8836 A

Nitrit 0,3% 2,8430 A


(4)

41 Lampiran 3. Proses Produksi Bakteriosin

Keterangan:

a) Proses purifikasi dengan penambahan serbuk garam amonium b) Koleksi presipitat bakteriosin

c) Presipitat bakteriosin dimasukkan ke membran dialsis d) Proses dialisis

e) Bakteriosin kasar

(b) Koleksi presipitat bakteriosin (a) Proses purifikasi dengan

penambahan serbuk garam amonium

(c) Presipitasi bakteriosin dipindahkan ke dalam membran dialisis

(d) Proses dialisis


(5)

42 Lampiran 4. Proses Produksi Sosis Daging Sapi

Daging dan bumbu dihaluskan

Bakteriosin ditambahkan ke dalam adonan

Adonan dipindahkan ke stuffer


(6)

43 Lampiran 5. Hasil Uji Mikrobiologis

Uji Kuantitatif Salmonella spp.

Uji Kuantitatif Staphylococcus aureus

Uji Kuantitatif E. coli