Aplikasi Bakteriosin sebagai Pengawet terhadap Kualitas Fisik dan Kimia serta Organoleptik Sosis Daging Sapi Selama Penyimpanan

RINGKASAN
DEA MARSALLY SITUMORANG. D14080193. 2013. Aplikasi Bakteriosin
sebagai Pengawet terhadap Kualitas Fisik dan Kimia serta Organoleptik Sosis
Daging Sapi Selama Penyimpanan. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota

: Dr. Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si.
: Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si.

Salah satu aspek yang penting dalam proses pengolahan produk ternak
(daging) adalah penggunaan pengawet makanan yang bertujuan untuk
memperpanjang masa simpan produk. Pengawet kimiawi, seperti sulfit dan nitrit
ternyata bersifat toksik dan karsinogenik. Salah satu pengawet alami yang terbukti
aman dan telah digunakan di beberapa negara adalah nisin, tetapi sulit dijangkau oleh
masyarakat Indonesia. Bakteriosin lokal dapat berasal dari bakteri asam laktat
Lactobacillus plantarum 2C12 dan merupakan suatu peptida antimikroba yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Tingkat efektivitas bakteriosin ini sama
dengan nisin dan juga merupakan pengawet alami. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kualitas fisik, kimia dan organoleptik sosis sapi dengan pemberian

pengawet yang berbeda yaitu tanpa pengawet (kontrol), nitrit dan bakteriosin selama
penyimpanan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012, di
Laboratorium Terpadu, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Prosedur
penelitian terdiri dari produksi ekstrak kasar bakteriosin dan pembuatan sosis serta
menganalisisnya secara fisik (pH, aktivitas air, total asam tertitrasi dan daya serap
air), kimia (kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar air, kadar abu dan
residu nitrit) serta organoleptik (uji mutu hedonik). Data peubah nilai kualitas fisik
terlebih dahulu diuji asumsi. Data penelitian tidak memenuhi uji asumsi sehingga
data diolah secara nonparametrik menggunakan uji Kruskal Wallis. Data peubah
kualitas kimia diuji secara deskriptif.
Hasil dari penelitian ini adalah pemberian pengawet bakteriosin dapat
menaikkan kadar abu dibandingkan dengan pemberian nitrit atau kontrol. Perlakuan
pengawet dan lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap pH dan kadar air.
Semakin lama umur simpan, daya serap air sosis akan turun. Kadar residu nitrit sosis
dengan pemberian nitrit adalah 10,00 ppm. Kadar residu nitrit sosis tanpa pengawet
adalah 6,87 ppm. Kadar residu nitrit sosis dengan pemberian bakteriosin adalah 1,37
ppm. Jika dibandingkan dengan sosis tanpa pengawet atau kontrol, bakteriosin
mampu menurunkan 80,06% residu nitrit, sedangkan sosis dengan pengawet nitrit
dapat meningkatkan 45,56% residu nitrit. Perbedaan pengawet tidak berpengaruh

terhadap uji skoring warna, rasa, tekstur dan kekenyalan sosis, namun memberikan
pengaruh kuat terhadap aroma khas kaldu sapi. Sosis masih layak digunakan selama
9 hari penyimpanan.
Kata-kata kunci: sosis, Lactobacillus plantarum, bakteriosin

ABSTRACT
Physicochemical and Organoleptic Quality of Beef Sausage Using Bacteriocin as
Biopreservative During Storage
Situmorang, D. M., I. I. Arief and Z. Wulandari
Meat is a food material which contains high nutritions that needed by human. People
often consume some foods which contain artificial preservative, characterized poison
and carcinogenic. Bacteriocin was a natural preservative produced by Lactobacillus
plantarum 2C12. The aim of this research was to study the physical, chemical and
organoleptic quality of sausage during storage time. The treatments of preservative
addition were sausage without preservative addition, sausage with nitrit addition 0,3
%, or sausage with bacteriocin addition 0,3 %. The treatments of long storage were 0
day, 3 days, 6 days, and 9 days. The treatments of preservative addition and storage
time were influential to physical, chemical of the sausage. Sausage of bacteriocin
addition was better than sausage of nitrit addition.
Keywords : sausage, Lactobacillus plantarum, bacteriocin


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daging merupakan salah satu sumber protein hewani yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Daging juga mengandung berbagai nutrisi lainnya, seperti lemak,
karbohidrat dan mineral. Nutrisi tersebut diperlukan oleh mikroba untuk
pertumbuhannya. Hal inilah yang membuat daging mudah mengalami kerusakan.
Pengolahan daging menjadi produk olahan daging menjadi salah satu bentuk untuk
memperpanjang masa simpan daging. Sosis adalah produk makanan yang diperoleh
dari daging yang dicampurkan dengan tepung atau pati dengan atau tanpa
penambahan bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan
dimasukkan ke dalam selongsong sosis (Badan Standardisasi Nasional, 1995).
Salah satu aspek yang penting dalam proses pengolahan produk ternak
(daging)

adalah

penggunaan

pengawet


makanan

yang

bertujuan

untuk

memperpanjang masa simpan produk. Pengawet yang umumnya digunakan oleh
masyarakat dan industri adalah pengawet kimiawi, yaitu pengawet yang terbuat dari
bahan-bahan kimia dan tidak alamiah serta jumlah pemakaiannya dibatasi sampai
kadar yang diizinkan, seperti sulfit dan nitrit. Sulfit sering digunakan dalam bentuk
sulfur dioksida. Sulfit dipakai dalam produk pangan terutama sosis untuk
menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang. Winarno (2002) menjelaskan efek
samping dari penggunaan sulfit yaitu dapat menghambat mekanisme pernafasan jika
bereaksi dengan keton.
Nitrit juga berfungsi untuk memperpanjang masa simpan karena bersifat
bakterisidal, selain untuk mempertahankan warna merah pada daging. Penggunaan
nitrit juga dapat membahayakan kesehatan. Nitrit dapat berikatan dengan amino atau

amida dan membentuk turunan nitrosamin yang bersifat toksik. Nitrosoamina ini
dapat menimbulkan kanker. Bahan pengawet alami yang aman bagi manusia mutlak
diperlukan untuk menggantikan bahan pengawet kimiawi. Salah satu pengawet alami
yang terbukti aman dan telah digunakan di beberapa negara adalah nisin. Nisin sulit
dijangkau oleh masyarakat Indonesia dikarenakan harganya mahal dan merupakan
bahan impor.
Bakteriosin lokal dapat berasal dari bakteri asam laktat Lactobacillus
plantarum 2C12 dan merupakan suatu peptida antimikroba yang dapat menghambat

1

pertumbuhan bakteri patogen. Tingkat efektivitas bakteriosin ini diharapkan sama
dengan nisin yang juga merupakan pengawet alami. Bakteriosin ini aman untuk
dikonsumsi manusia, karena mampu dihancurkan oleh enzim pencernaan manusia,
sehingga saat dikonsumsi, bakteriosin tersebut akan hancur menjadi asam amino
yang dibutuhkan oleh manusia untuk membangun sel tubuh. Penelitian lebih lanjut
dalam kaitannya dengan penerapannya pada produk hasil ternak perlu dilakukan
mengenai aplikasi bakteriosin terhadap kualitas fisik dan kimia serta organoleptik
produk sosis.
Tujuan

Menganalisis kualitas fisik dan kimia serta organoleptik sosis sapi dengan
pemberian pengawet yang berbeda yaitu tanpa pengawet (kontrol), nitrit dan
bakteriosin selama penyimpanan.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Daging
Daging adalah salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Organ-organ, misalnya hati, ginjal, otak, paru-paru, limpa,
pankreas dan jaringan otot termasuk dalam definisi ini. Protein adalah komponen
bahan kering yang terbesar dari daging. Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh
faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat
mempengaruhi kualitas daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis
kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral) dan
stres (Soeparno, 2005).
Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain
meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan
daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik,
lemak intramuskular atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam

otot daging dan lokasi pada suatu otot daging (Soeparno, 2005). Faktor kualitas
daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan
aroma termasuk bau dan cita rasa dan kekhasan jus daging (juiciness). Lemak
intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu berat sampel daging yang hilang
selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan pH daging ikut menentukan
kualitas daging (Soeparno, 2005). Kandungan nutrisi daging segar dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Daging Segar
Parameter

Jumlah(%)

Kadar air

75

Kadar protein

19


Kadar lemak

2,5

Kadar karbohidrat

1,2

Substansi nonprotein yang larut

2,3

Sumber: Lawrie (2003)

Kadar air di dalam daging menentukan tingkat pertumbuhan mikroorganisme.
Berbeda dengan daging segar, produk daging olahan mengandung lebih sedikit

3

protein dan air dan lebih banyak lemak dan mineral. Kenaikan persentase mineral

daging olahan disebabkan karena penambahan bumbu-bumbu dan garam, sedangkan
kenaikan nilai kalorinya disebabkan oleh penambahan karbohidrat dan protein dari
biji-bijian, tepung dan susu skim (Soeparno, 2005)
Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat mempunyai kemampuan untuk memfermentasikan gula
menjadi asam laktat. Pertumbuhan mikroba lain yang tidak diinginkan dapat
terhambat karena produksi asam oleh bakteri asam laktat berjalan secara cepat. Yang
termasuk bakteri asam laktat adalah famili Lactobacillaceae, yaitu Lactobacillus dan
famili Streptococcaceae, terutama Leuconostoc, Streptococcus dan Pediococcus.
Streptococcus, Pediococcus dan beberapa spesies Lactobacillus (bakteri basili gram
positif dan tidak berspora) bersifat homofermentatif, sedangkan Leuconostoc dan
spesies Lactobacillus lainnya bersifat heterofermentatif (Fardiaz, 1992).
Lactobacillus
Lactobacillus tergolong dalam famili Lactobacillaceae. Lactobacillus
merupakan bakteri gram positif, berbentuk batang yang panjang, tidak berspora,
anaerobik fakultatif dan katalase negatif. Beberapa Lactobacillus tahan terhadap
suhu pasteurisasi (bersifat termodurik). Lactobacillus sering ditemukan pada
makanan, misalnya pada permukaan sayuran, susu dan produk-produk susu.
Lactobacillus dibedakan menjadi dua, yakni bersifat homofermentatif dan bersifat
heterofermentatif (Fardiaz, 1992).

Bakteri homofermentatif memecah gula menjadi asam laktat dan dapat
tumbuh pada suhu 37 °C atau lebih, misalnya Lactobacillus bulgaricus,
Lactobacillus lactis, Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus thermophillus dan
Lactobacillus delbrueckii. Bakteri heterofermentatif memecah gula menjadi asam
laktat dan produk-produk lain seperti alkohol, asetat dan karbon dioksida, misalnya
Lactobacillus fermentum dan beberapa spesies lainnya (Fardiaz, 1992).
Lactobaccillus plantarum. Lactobacillus plantarum merupakan Lactobacilli yang
bersifat homofermentatif dan mempunyai suhu optimum pertumbuhan yang lebih
rendah (37 °C) dari bakteri asam laktat heterofermentatif (Fardiaz, 1992).
Lactobacillus plantarum mampu merombak senyawa kompleks menjadi senyawa

4

yang lebih sederhana dengan hasil akhir yaitu asam laktat. Menurut Buckle et al.
(2009), asam laktat dapat menghasilkan nilai derajat keasaman (pH) yang rendah
pada substrat sehingga menimbulkan suasana asam. Lactobacillus plantarum dapat
meningkatkan keasaman sebesar 1,5% sampai 2,0% pada substrat. Lactobacillus
plantarum memiliki kemampuan untuk menghambat bakteri patogen dan bakteri
pembusuk dalam keadaan asam.
Lactobaccillus plantarum dapat menghambat mikroba patogen karena

menghasilkan senyawa antimikroba seperti H2O2 dan asam-asam organik seperti
asam benzoat (Vuyst dan Vandamme, 1994), asam laktat dan memproduksi
bakteriosin seperti laktolin dan plantaricin dan bersifat proteolitik (menyebabkan
protein daging dapat terdegradasi dan keempukan daging akan meningkat) (Riley
dan Chavan, 2007).
Antimikroba
Senyawa biologi atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan
aktivitas mikroba dikenal dengan istilah senyawa antimikroba. Berbagai metode
dapat dilakukan agar bahan pangan tersebut mengandung komponen antimikroba, di
antaranya yaitu terdapat secara alamiah di dalam bahan pangan tersebut,
ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dan terbentuk selama pengolahan
atau oleh jasad renik yang tumbuh selama fermentasi pangan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kemampuan antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba
antara lain waktu penyimpanan, sifat-sifat mikroba (jenis, konsentrasi, keadaan dan
umur mikroba), konsentrasi zat pengawet, suhu lingkungan dan sifat-sifat fisik dan
kimia makanan, termasuk pH, kadar air, jenis dan jumlah senyawa di dalamnya
(Fardiaz, 1992). Antimikroba dibedakan menjadi tiga, yaitu bakteriosin, asam
organik dan hidrogen peroksida.
Bakteriosin
Bakteriosin merupakan senyawa protein (umumnya berupa peptida) yang
bersifat bakterisidal terhadap mikroorganisme (bakteri) yang ditinjau dari segi
filogeniknya (genetiknya) berdekatan dengan mikroorganisme penghasil bakteriosin
tersebut. Saat ini penggunaan bakteri asam laktat sebagai penghasil bakteriosin di
bidang peternakan semakin bertambah luas, diantaranya sebagai biopreservatif.

5

Produksi bakteriosin juga dapat menghambat perkembangan patogen yang
mempunyai kekerabatan dekat dengan bakteri penghasil bakteriosin (Riley dan
Chavan, 2007). Bakteriosin yang diproduksi oleh Lactobacillus plantarum dikenal
dengan nama plantaricin. Plantaricin lebih stabil menghambat pada pH normal.
Tingkat kestabilan tertinggi pada nilai pH 6 dengan besar diameter zona penghambat
sebesar 12,4 mm. Plantaricin dapat menghambat pada suhu baik pasteurisasi maupun
sterilisasi dengan tingkat penghambatan tertinggi pada suhu sterilisasi (121 °C)
selama 20 menit (Arief et al., 2010).
Asam Organik
Asam organik mempunyai kemampuan untuk menurunkan pH dalam bahan
pangan yang berfase air. Asam organik dapat berfungsi sebagai pengawet, sementara
garam atau esternya dapat menjadi antimikroba yang efektif pada pH yang mendekati
netral. Mekanisme antimikroba dari asam organik berhubungan dengan penambahan
proton, keseimbangan asam basa dan produksi energi dari sel (Roller, 2003).
Hidrogen Peroksida
Hidrogen peroksida (H2O2) berfungsi sebagai oksidator, antibakteri dan
bleaching agent. Karakterisasi fisik dari hidrogen peroksida murni adalah tidak
berwarna, memilik bau yang menusuk dan berbentuk cairan. Kemampuan H2O2
sebagai oksidator menyebabkan perubahan tetap pada sistem enzim sel mikroba
sehingga dapat berfungsi sebagai antimikroba. Bakteri gram negatif, terutama
koliform merupakan bakteri yang paling sensitif terhadap H2O2. Kemampuan
bakterisidal H2O2 bervariasi tergantung konsentrasi, waktu, pH, suhu, tipe dan
jumlah mikroorganisme (Davidson et al., 2005).
Mekanisme Penghambatan Senyawa Antimikroba
Bakteriosin mempunyai peranan dalam mikrobiologi pangan karena
mempunyai kemampuan dalam memberikan efek bakterisidal secara normal terhadap
bakteri patogen gram positif dan bakterisidal terhadap bakteri gram negatif pada
kondisi di bawah tekanan. Bakteriosin dari bakteri asam laktat bersifat bakterisidal
terhadap sel sensitif dan membunuh dengan sangat cepat pada konsentrasi rendah.
Bakteri gram negatif menjadi sensitif terhadap bakteriosin jika struktur permukaan

6

lipopolisakaridanya dilemahkan dengan cara pemberian tekanan fisik dan kimia (Ray
dan Bhunia, 2008).
Efek bakterisidal dari bakteriosin dihasilkan dari perusakan kestabilan fungsi
membran sitoplasma. Beberapa bakteriosin dapat menyebabkan lisis pada sel sensitif.
Secara kimia, protein bakteriosin disintesis secara ribosomal, kationik, amphipathik,
memiliki struktur α-helik dan β-sheet, atau keduanya dan dapat memiliki thioether,
jembatan disulfid atau bebas dari kelompok thiol. Keberadaan struktur amphipathik
α-helik menjadikan bakteriosin dapat berinteraksi dengan fase cair dan lemak ketika
berikatan pada permukaan membran sensitif sel bakteri dan mengawali fungsinya
untuk merusak kestabilan dan membunuh sel (Ray dan Bhunia, 2008).
Nitrit
Nitrit sebagai garam sodium atau potassium dipergunakan dalam daging
cured dengan tujuan untuk mengembangkan warna daging menjadi merah muda
terang dan stabil, mempercepat proses curing dan sebagai preservative microbial
yang mempunyai pengaruh bakteriostatik. Nitrit menghambat produksi toksin
Clostridium botulinum dengan menghambat pertumbuhan dan perkembangan spora
dengan cara membentuk senyawa penghambat bila nitrat pada daging dipanaskan
(Soeparno, 2005).
Sosis
Sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari daging yang dicampurkan
dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu dan bahan tambahan
makanan lain yang diizinkan dan dimasukkan ke dalam selongsong sosis (Badan
Standardisasi Nasional, 1995). Sosis masak berasal dari daging segar, dapat diperam
atau tidak, dimasukkan dan dipadatkan ke dalam selongsong sosis, tidak diasap tapi
setelah proses preparasi, harus segera dimasak dan siap untuk dikonsumsi manusia
(Soeparno, 2005). Kandungan nutrisi pada sosis dapat dilihat pada Tabel 2.

7

Tabel 2. Syarat Mutu Sosis (Standar Nasional Indonesia 01-3020-1995)
Nutrisi

Jumlah (%)

Protein (minimal)

13

Lemak (maksimal)

25

Karbohidrat (maksimal)

8

Air (maksimal)

67

Abu (maksimal)

3

Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2005)

Curing
Proses preservasi bertujuan untuk mengamankan daging dan produk daging
proses dari proses kerusakan dan kebusukan oleh mikroorganisme serta
memperpanjang umurnya. Salah satu metode preservasi adalah dengan curing.
Curing adalah suatu cara penambahan beberapa bahan seperti garam NaCl, Na-nitrit
dan atau Na-nitrat dan gula (dektrosa atau sukrosa atau pati hidrolisis) dan bumbubumbu ke daging. Maksud curing, antara lain adalah untuk mendapatkan warna yang
stabil, aroma, tekstur dan kelezatan yang baik serta untuk mengurangi pengerutan
daging selama pengolahan serta memperpanjang masa simpan produk daging
(Soeparno, 2005).
Bahan-Bahan Pembuatan Sosis
Daging
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil
pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Nilai nutrisi daging yang
tinggi disebabkan karena daging mengandung asam-asam amino esensial yang
lengkap dan seimbang (Soeparno, 2005).
Lemak
Lemak daging mengandung sedikit fosfolipid dan kolesterol. Fosfolipid
berfungsi sebagai komponen struktural dan fungsional dari sel dan membran dan
mempengaruhi flavor dan kualitas daging (Soeparno, 2005). Lemak sering
ditambahkan ke dalam produk sosis karena berfungsi sebagai pembentuk permukaan

8

aktif, mencegah pengerutan protein, mengatur konsistensi produk, meningkatkan cita
rasa dan mencegah denaturasi protein (Effendi, 2009).
Garam
Garam merupakan konstituen campuran bahan curing yang paling penting.
Garam berfungsi sebagai pengawet atau penghambat pertumbuhan mikrobia,
penambah aroma dan citarasa atau flavor. Garam meningkatkan tekanan osmotik
medium atau bahan makanan yang juga direfleksikan dengan rendahnya aktivitas air.
Sejumlah bakteri terhambat pertumbuhannya pada konsentrasi garam 2% (Soeparno,
2005).
Bawang Putih
Bawang putih termasuk tanaman rempah yang bernilai ekonomi tinggi karena
memiliki beragam kegunaan. Manfaat utama bawang putih adalah sebagai bumbu
penyedap masakan yang membuat masakan menjadi beraroma dan mengundang
selera. Meskipun kebutuhan untuk bumbu masak hanya sedikit, namun tanpa
kehadirannya masakan akan terasa hambar. Komposisi kimia bawang putih per 100 g
yang dapat dimakan, yaitu air 66,2-71 g; energi 95-122 kal; protein 4,5-7,0 g; lemak
0,2-0,3 g; karbohidrat 23,1-24,6 g; kalsium 26-42 mg; fosfor 15-109 mg; dan kalium
346 mg (Palungkun dan Budiarti, 1992).
Allicin adalah komponen utama yang berperan memberi aroma bawang putih
dan merupakan salah satu zat aktif yang diduga dapat membunuh kuman-kuman
penyakit (bersifat antibakteri). Allicin berperan ganda membunuh bakteri, yaitu
bakteri gram positif maupun gram negatif karena mempunyai gugus asam amino para
amino benzoat (Palungkun dan Budiarti, 1992).
Es Batu
Es ditambahkan ke dalam sosis bertujuan untuk melarutkan garam,
mendistribusikan secara merata ke seluruh bagian daging, memudahkan dalam
ekstraksi protein daging, mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama
penggilingan dan pembentukan adonan dan membantu dalam pembentukan emulsi
(Effendi, 2009).

9

Sodium Tripolifosfat (STPP)
STPP digunakan dalam pembuatan sosis untuk meningkatkan kapasitas
pengikatan air (Water Holding Capasity) dan protein daging. Alkali posfat akan
meningkatkan pH dan menyebabkan terbukanya ikatan-ikatan antar gugus protein
daging yang akan memudahkan pengikatan air (Effendi, 2009).
Lada
Komposisi kimia lada putih per 100 g, yaitu 11,4 g air; 10,4 g protein; 2,1 g
lemak; 68,6 g karbohidrat; serat 4,3 g; dan 1,6 g abu (Farrell, 1985). Lada digunakan
dalam pembuatan sosis sebagai bahan penyedap untuk menambah atau meningkatkan
flavor (Soeparno, 2005).
Pala
Komposisi kimia pala bubuk per 100 g, terdiri dari 6,2 g air; 5,8 g protein;
35,3 g lemak; 49,3 g karbohidrat; 4 g serat; dan 2,3 g abu. Pala dihasilkan dari biji
pala yang mengandung fixed oil yang terdiri dari trimyristin, gliceril ester dari asamasam palmitat, oleat dan linoleat dari fraksi yang tidak tersaponifikasi (Farrell, 1985).
Susu Skim
Susu skim berperan sebagai bahan pengikat mengandung protein kira-kira
35% (80% kasein dan sisanya, terutama adalah β-laktoglobulin dan laktalbumin),
mempunyai kemampuan untuk mengemulsikan lemak yang terbatas karena
kaseinnya berkombinasi dengan sejumlah kalsium sehingga tidak mudah larut dalam
air (Soeparno, 2005).
Tepung Tapioka
Tepung tapioka bertindak sebagai bahan pengisi pada sosis. Tepung tapioka
ini mengandung lemak dalam jumlah yang tinggi dan protein yang rendah sehingga
berkemampuan mengikat air yang besar dan emulsifikasi yang rendah. Penambahan
extender (bahan pengisi) pada produk sosis masak tidak boleh lebih dari 3,5% dari
berat produk akhir (Soeparno, 2005).

10

Selongsong Sosis
Selongsong atau casing untuk sosis ada dua tipe, yaitu selongsong alami dan
selongsong buatan. Selongsong alami terutama berasal dari saluran pencernaan
ternak, misalnya sapi, babi, domba atau kambing. Selongsong alami mudah
mengalami kerusakan oleh mikroorganisme, sehingga setelah dibersihkan perlu
dikeringkan atau digarami. Selongsong alami pada dasarnya adalah kolagen.
Selongsong alami dalam keadaan basah mudah ditembus oleh asap dan cairan selama
pengolahan dalam pembuatan sosis. Selongsong alami akan menjadi kurang
permeabel karena pengeringan dan pemakaian asap (Soeparno, 2005).
Kualitas Fisik Sosis
Nilai pH
Mikroorganisme banyak tumbuh pada kisaran pH 6,0-8,0 dan nilai pH di luar
kisaran 2,0 sampai 10,0 biasanya bersifat merusak. Bakteri asam laktat dapat tumbuh
dengan baik pada kisaran nilai pH 3,0-6,0 dan sering dibuat sebagai asidofil
(Soeparno, 2005). Umumnya, nilai pH bahan pangan berkisar antara 3,0 sampai 8,0
(Buckle et al., 2009). Nilai pH berpengaruh pada daya mengikat air, tekstur,
kekenyalan, stabilitas emulsi,warna produk dan masa simpan. Nilai pH pada kisaran
lebih rendah atau lebih tinggi dapat menyebabkan daya mengikat air meningkat
(Soeparno, 2005).
Aktivitas Air
Semua makhluk hidup terutama mikroorganisme membutuhkan air untuk
pertumbuhannya. Tingkat pertumbuhan mikroorganisme sangat ditentukan oleh
besarnya kadar air di dalam daging. Aktivitas air (water activity) adalah banyaknya
air bebas dalam bahan makanan yang dapat digunakan untuk pertumbuhan
mikroorganisme. Sejumlah bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik pada aw lebih
kecil dari 0,91, tetapi aw minimum untuk pertumbuhan sangat bervariasi. Nilai aw
minimum untuk Salmonella adalah 0,94, sedangkan aw minimum untuk
Staphylococcus mendekati 0,86. Beberapa bakteri masih dapat tumbuh pada nilai aw
kira-kira 0,75, sedangkan jamur dan ragi masih dapat tumbuh dengan aw 0,62. Sosis
masak memiliki nilai aw dalam kisaran 0,95-1,00 (Buckle et al., 2009). Semakin
tinggi aktivitas air, maka jumlah air bebas meningkat dan dapat digunakan untuk

11

aktivitas enzim (Kusnandar, 2010). Aktivitas air minimum untuk pertumbuhan
beberapa mikroba dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Aktivitas Air Minimum untuk Pertumbuhan Beberapa Mikroba (Kapang,
Khamir dan Bakteri)
Jenis Mikroba

Nilai aw minimum

Kapang
Aspergillus sp.
Rhizopus nigricans
Penicillium sp.

0,75-0,84
0,93
0,79-0,81

Khamir
Sacharomyces sp.

0,80-0,90

Bakteri
Vibrio parahaemolyticus

0,94

Clostridium perfringens

0,93

Bacillus cereus

0,95

Eschericia coli

0,95

Clostridium botulinum

0,95-0,97

Staphylococcus aureus

0,86

Sumber: Kusnandar (2010)

Total Asam Tertitrasi (TAT)
Total asam tertitrasi adalah jumlah asam baik terdisosiasi maupun tidak
mengalami disosiasi melalui proses metabolisme karbohidrat oleh bakteri asam
laktat. Pengukuran nilai total asam tertitrasi ini dimaksudkan untuk mengetahui
kandungan asam laktat yang telah terfermentasi (Puspitasari, 2008).
Daya Serap Air
Daya serap air adalah kapasitas penyerapan air maksimum (jumlah air yang
dibutuhkan) dari bahan baku untuk menghasilkan bahan setengah jadi dengan
konsistensi tertentu (Andarwulan et al., 2011). Daya serap air (DSA) sangat penting
dalam pembuatan produk emulsi daging, seperti sosis. Daya serap air dipengaruhi
oleh kondisi saat postmortem (Melody et al., 2004). Daya serap air dapat
mempengaruhi mutu sosis. Daya serap air akan meningkat pada pH yang lebih

12

rendah atau lebih tinggi dari titik isoelektrik protein daging. Daya serap air rendah
pada pH isoelektrik protein antara 5,4-5,5 menyebabkan rendemen sosis rendah dan
tekstur sosis kurang baik. Daya serap air tinggi menyebabkan kehilangan air yang
sedikit selama pemasakan sehingga keempukan dan tekstur sosis lebih baik
(Soeparno, 2005).
Kualitas Kimia Sosis
Kadar Air
Molekul air tersusun oleh dua atom hidrogen (1H) dan satu atom oksigen (8O)
yang satu sama lain terikat melalui ikatan kovalen dan bersifat polar (Kusnandar
2010). Air berfungsi untuk menstabilkan suhu tubuh, membawa zat gizi dan sisa
metabolisme, pereaksi dan medium reaksi, menstabilkan konformasi biopolimer dan
memfasilitasi aktivitas makromolekul seperti reaksi enzimatis. Kadar air menjadi
patokan sebagai pengukur bagian bahan kering atau padatan, penentu indeks
kestabilan selama penyimpanan serta penentu mutu organoleptik terutama rasa dan
keempukan (Andarwulan et al., 2011). Semakin rendah kadar air suatu bahan
pangan, maka semakin tinggi daya tahan bahan pangan tersebut (Winarno, 1992).
Kadar air maksimal dalam sosis adalah 67% b/b (Badan Standardisasi Nasional,
1995).
Kadar Abu
Abu adalah residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen
organik bahan pangan. Abu dibedakan menjadi abu total, abu terlarut dan abu tidak
terlarut. Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam bahan
tersebut, kemurnian dan kebersihan suatu bahan yang dihasilkan (Andarwulan et al.,
2011). Kadar abu maksimal dalam sosis adalah 3% b/b (Badan Standardisasi
Nasional, 1995).
Kadar Karbohidrat
Karbohidrat adalah komponen bahan pangan yang terdiri dari karbon,
hidrogen dan oksigen, digunakan sebagai sumber energi utama dan serat makanan
serta mempengaruhi proses fisiologi tubuh. Karbohidrat juga berfungsi dalam
pengolahan makanan yaitu sebagai bahan pengisi, bahan pengental, penstabil emulsi,

13

pengikat air, pembentuk flavor, aroma dan tekstur (seperti sifat renyah, lembut dan
pembentuk gel (Andarwulan et al., 2011). Kadar karbohidrat maksimal dalam sosis
adalah 8% b/b (Badan Standardisasi Nasional, 1995).
Kadar Protein
Protein adalah molekul polipeptida berukuran besar yang disusun lebih dari
100 buah asam amino yang berikatan satu sama lain secara kovalen dan merupakan
sumber gizi utama yaitu sebagai sumber asam amino (Andarwulan et al., 2011).
Protein dapat dikelompokkan menjadi protein sederhana (simple protein), protein
konjugasi (conjugated protein) dan protein turunan (derived protein). Protein
sederhana merupakan protein yang hanya mengandung residu amino. Protein
konjugasi adalah protein yang berikatan dengan molekul lainnya, seperti karbohidrat,
lemak, logam dan fosfor, misalnya glikoprotein, metaloprotein, lipoprotein dan
fosfoprotein (Kusnandar, 2010).
Protein turunan adalah protein yang telah dimodifikasi sifat fungsionalnya,
baik secara enzimatis maupun kimia. Denaturasi protein adalah terjadinya modifikasi
struktur sekunder, tersier dan kuarter dari protein tanpa menyebabkan pemutusan
ikatan peptida dan perubahan sekuen asam amino pada struktur protein, umumnya
disebabkan oleh pemanasan pada suhu 55-75 °C (Kusnandar, 2010). Kadar protein
minimal dalam sosis yaitu 13% b/b (Badan Standardisasi Nasional, 1995).
Kadar Lemak
Lemak adalah senyawa yang larut dalam pelarut organik tetapi tidak larut
dalam air dan merupakan komponen gizi utama penyumbang energi dalam tubuh.
Konversi energi dari lemak mencapai 9 kkal/g. Lemak selain sebagai sumber kalori,
juga sebagai sumber asam lemak esensial dan pelarut vitamin A, D, E dan K dan
dapat menghantarkan panas dengan baik pada saat menggoreng, melembutkan
produk dan meningkatkan palatabilitas produk (Andarwulan et al., 2011). Komponen
utama pemyusun lemak adalah asam lemak dan gliserin. Lemak berbentuk padat
dalam suhu ruang dan mengandung asam lemak jenuh (Kusnandar, 2010). Kadar
lemak maksimal dalam sosis sebesar 25% b/b (Badan Standardisasi Nasional, 1995).
Kadar lemak pada sosis dapat mempengaruhi keempukan, jus daging dan kelezatan
sosis (Soeparno, 2005).

14

Penilaian Organoleptik
Flavor dan Aroma
Flavor daging berkembang selama pemasakan. Flavor serta aroma daging
masak dipengaruhi oleh umur ternak, tipe pakan, spesies, jenis kelamin, lemak,
bangsa, lama waktu dan kondisi penyimpanan daging setelah pemotongan dan jenis,
lama dan temperature pemasakan. Lemak banyak mempengaruhi flavor daging.
Flavor daging cured masak terutama adalah karena bahan curing yang dipergunakan
selama pengolahan, yaitu garam, gula dan nitrit dan asap untuk daging cured asap.
Senyawa-senyawa flavor di dalam lemak adalah spesifik untuk spesies, jenis kelamin
atau bisa timbul dari komposisi pakan, misalnya tepung ikan, bawang putih dan
insektisida, atau diabsorpsi selama pengolahan dan penyimpanan (Soeparno, 2005).
Bau dan Rasa
Bau dan rasa daging masak banyak ditentukan oleh prekursor yang larut
dalam air dan lemak dan pembebasan substansi atsiri (volatile) yang terdapat di
dalam daging (Soeparno, 2005).
Warna
Penampilan fisik dari sosis masak adalah hal sensori yang penting untuk
menentukan kualitas dari produk tersebut. Warna adalah kualitas yang terpenting dan
menjadi syarat untuk proses pemasakan sejak adanya penyimpangan dari kelalaian
yang akan mengakibatkan penolakan. Warna standar untuk sosis masak adalah
cokelat emas. Beberapa konsumen menggunakan sosis komponen makanan yang
akan menghasilkan warna yang spesifik seperti pucat, sedang, atau coklat gelap.
Sosis berwarna pucat berkaitan dengan kurangnya lama pemasakan, sedangkan sosis
berwarna coklat gelap dikarenakan terlalu lama proses pemasakan (Essien, 2007).
Kekenyalan
Kekenyalan merupakan sifat reologi yang menggambarkan daya tahan untuk
lepas atau pecah karena adanya tekanan pada produk pangan elastis yang bersifat
deformasi. Gaya yang diberikan mula-mula pada pengukuran kekenyalan,
menyebabkan perubahan bentuk produk, kemudian memecahkan produk setelah gaya
yang diberikan melewati daya tahannya (Andarwulan et al., 2011). Kekenyalan sosis

15

dapat ditingkatkan dengan penggunaan tepung tapioka. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kekenyalan yaitu faktor antemortem dan postmortem. Faktor
antemortem meliputi spesies, genetik, bangsa, tipe ternak, umur dan jenis kelamin,
sedangkan faktor-faktor postmortem, meliputi metode pelayuan, metode pemasakan,
stimulasi listrik dan pH daging (Soeparno, 2005).
Tekstur
Tekstur juga merupakan salah satu parameter dalam penilaian sifat
organoleptik. Nilai tekstur daging akan meningkat dengan penyimpanan pada suhu
dingin. Nilai tekstur tidak berbeda nyata pada otot bisep femuris terhadap lama
penyimpanan pada suhu dingin (Banani et al., 2006).
Penyimpanan Dingin
Suhu dingin atau suhu rendah digunakan untuk memperlambat kecepatan
berkembangnya pencemaran permukaan dari tingkat awal sampai tingkat akhir di
mana terjadi kerusakan. Penyimpanan dingin biasanya antara suhu 1 sampai 3,5 °C
(Buckle et al., 2009). Pendinginan mencegah pertumbuhan mikroba termofilik
(mikroba yang tumbuh pada suhu 35-55 °C) dan juga sebagian mikroba mesofilik
(mikroba yang tumbuh pada suhu 10-40 °C). Semakin rendah suhu yang digunakan
maka laju reaksi enzimatis akan semakin lambat. Hal ini dapat menyebabkan
perubahan kimiawi dalam produk pangan menjadi lebih lambat sehingga umur
simpan menjadi lebih panjang. Pengaruh pendinginan terhadap mikroba yakni
memperpanjang fase lag dan menghambat pertumbuhan atau menurunkan kecepatan
pertumbuhan (Estiasih dan Ahmadi, 2011).

16

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan dari bulan Februari sampai Mei 2012 di Laboratorium
Terpadu, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Materi
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah refrigerator, sentrifuge,
membran saring Sartorius, pH meter, tabung Falcon 50 ml, membran dialisis, tabung
penampung eluent, food processor, stuffer, casing (selongsong sosis), peralatan
dapur (talenan, pisau, baskom kecil, panci dan pengaduk), tabung sentrifuge, aw
meter, labu kjeldahl, kertas saring, oven, cawan porselen, desikator, hot plate, tanur,
gelas beaker 50 ml, spatula, labu takar 500 ml dan waterbath.
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daging sapi segar
bagian knuckle yang berasal dari sapi Brahman Cross dengan lama postmortem 24
jam dari rumah potong hewan Elders, lemak daging, minyak, susu skim bubuk,
tepung tapioka, garam, sodium tripolipolifosfat, es, bawang putih, merica, jahe, pala,
media MRSB (deMan Rogosa Sharp Broth), yeast extract, NaCl 1%, 10% (v/v)
Lactobacilllus plantarum 2C12, 0,1 N NaOH, ammonium sulfat, kalium fosfat,
phenolptalein 1%, aquades, selenium, H2SO4, NaOH 40%, H3BO3, Brom Cresol
Green Methyl Red, HCl 0,1 N, hexana, reagen sulfanilamid dan N-(1-naftil) etilen
diamin dihidroklorida (NED).
Prosedur
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu produksi bakteriosin kasar,
pembuatan sosis, analisis fisik dan kimia serta penilaian organoleptik sosis daging
sapi.
Produksi Bakteriosin Kasar
Sebanyak 1 liter media MRSB (deMan Rogosa Sharp Broth) ditambah yeast
extract 3% diinokulasi dengan 10% (v/v) kultur Lactobacillus plantarum 2C12 dan
diinkubasi selama 20 jam pada suhu 37 °C kemudian disimpan pada refrigerator
suhu 4 °C selama 2 jam. Kultur yang sudah disegarkan dan diperbanyak,

17

disentrifugasi dingin dengan kecepatan 5000 rpm selama 20 menit. Supernatan yang
terbentuk disaring dengan milipore dan dinetralkan disebut Supernatan Bebas Sel
(SBS). SBS dihomogenkan dengan stirrer dan dipurifikasi dengan ammonium sulfat
di refrigerator selama 2 jam. Serbuk ammonium sulfat ditambahkan sebanyak 80%
(20%, 40%, 60% dan 80%) secara bertahap untuk menghasilkan endapan protein.
Prosedur penambahan ammonium sulfatnya mengikuti Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Penggunaan Padatan Amonium Sulfat (% Penjenuhan)
Awal

20

25

30

35

40

45

50

55

60

65

70

75

80

85

90

95

100

%
Konsentrasi Akhir dari Padatan Amonium Sulfat (g per 1000 ml)
0

10,6

13,4

16,4

19,4

22,6

25,8

29,1

32,6

36,1

39,8

43,6

47,6

51,6

55,9

60,3

65,0

69,7

5

7, 9

10,8

13,7

16,6

19,7

22,9

26,2

29,6

33,1

36,8

40,5

44,4

48,4

52,6

57,0

61,5

66,2

10

5,3

8,1

10,9

13,9

16,9

20,0

23,3

26,6

30,1

33,7

37,4

41,2

45,2

49,3

53,6

58,1

62,7

15

2,6

5,4

8,2

11,2

14,1

17,2

20,4

23,7

27,1

30,6

34,3

38,1

42,0

46,0

50,3

54,7

59,2

20

0

2,7

5,5

8,3

11,3

14,3

17,5

20,7

24,1

27,6

31,2

34,9

38,7

42,7

46,9

51,2

55,7

0

2,7

5,6

8,4

11,5

14,6

17,9

21,1

24,5

28,0

31,7

35,5

39,5

43,6

47,8

52,2

0

2,8

5,6

8,6

11,7

14,8

18,1

21,4

24,9

28,5

32,3

36,2

40,2

44,5

48,8

0

2,9

5,7

8,7

11,8

15,1

18,4

21,8

25,8

29,6

32,9

36,9

41,0

45,3

0

2,9

5,8

8,9

12,0

15,3

18,7

22,2

26,3

29,6

33,5

37,6

41,8

0

3,0

5,9

9,0

12,3

15,6

19,0

22,6

26,3

30,2

34,2

38,3

0

3,0

6,0

9,2

12,5

15,9

19,4

23,5

26,8

30,8

34,8

0

3,1

6,1

9,3

12,7

16,1

20,1

23,5

27,3

31,2

0

3,1

6,2

9,5

12,9

16,8

20,1

23,9

27,9

0

3,2

6,3

9,7

13,2

16,8

20,5

24,4

0

3,2

6,5

9,9

13,4

17,1

20,9

0

3,3

6,6

10,1

13,7

17,4

0

3,4

6,7

10,3

13,9

0

3,4

6,8

10,5

0

3,4

7,0

0

3,5

25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95
100

0

Sumber: Arief et al. (2010)

Supernatan selanjutnya disentrifugasi selama 2x10 menit dan didapatkan
presipitat bakteriosin. Presipitat dikoleksi pada satu tabung Falcon ukuran 50 ml.
Presipitat bakteriosin tersebut didialisis dengan membran dialisis berdiameter 2 cm
dan buffer kalium fosfat selama 12 jam. Membran dialisis sebelumnya mengalami
perlakuan terlebih dahulu, yakni direndam air mengalir selama 2-3 jam, diberi
perlakuan 0,3% (w/v) larutan Na2S dengan suhu 80 °C selama 1 menit, dicuci dengan

18

air panas pada suhu 60 °C selama 2 menit, direndam H2SO4 0,2% (v/v), dicuci
dengan air panas pada suhu 60 °C selama 2 menit dan disimpan dengan cara
merendamnya dalam larutan etanol 20% lalu disimpan di refrigerator. Penggantian
buffer dilakukan sebanyak dua kali pada 2 dan 4 jam dan suhu 4 °C sehingga akan
didapat ekstrak kasar bakteriosin. Perhitungan nilai konsentrasi protein ultraviolet
(UV) dilakukan secara berkala dengan menggunakan alat spektrofotometer dan
buffer kalium fosfat. Nilai konsentrasi protein ultraviolet yang terbaca pada alat
spektrofometer dikali dengan pengencerannya dalam satuan µg/ml, selanjutnya
dikonversi ke satuan mg/ml.
Pembuatan Sosis
Daging, garam, STTP, sepertiga bagian es dan bahan pengawet berdasarkan
perlakuan (tanpa bahan pengawet alami; nitrit 0,3%; dan bakteriosin 0,3%) digiling
dalam food processor selama 5 menit. Lemak, minyak, bumbu, susu skim dan
sepertiga bagian es lainnya dimasukkan ke dalamnya selama 3 menit. Tepung
tapioka kemudian dimasukkan ke dalam adonan sampai legit (selama 2 menit).
Adonan dimasukkan ke dalam selongsong (casing ). Sosis kemudian direbus selama
45 menit dengan suhu 60-70 °C. Sosis yang telah matang kemudian disimpan. Alur
proses pembuatan sosis dapat dilihat pada Gambar 1.

19

daging

Dipotong-potong

Lemak +minyak
+bumbu+ 1/3
bagian es

digiling

garam+STTP+
bahan pengawet
sesuai taraf
perlakuan +1/3
es

digiling kembali
tepung tapioka
+1/3 es
digiling kembali

Dimasukkan ke selongsong sosis

Direbus pada suhu 60-70 °C selama 45 menit

Sosis matang

Sosis diuji secara fisik, kimia dan organoleptik selama
penyimpanan di refrigerator (hari ke-0, ke-3, ke-6 dan ke-9)

Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Sosis

20

Adapun sosis yang dibuat menggunakan tiga taraf perlakuan pengawet yang
masing-masing komposisi bahan baku utama yaitu daging segar dan bahan baku
tambahannya sama. Komposisi bahan untuk pembuatan sosis dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi Bahan-bahan Pembuatan Sosis per Ulangan
Taraf Perlakuan
Bahan

Kontrol

Nitrit 0,3%

Bakteriosin 0,3%

Daging segar

1 kg

1 kg

1 kg

Lemak daging

200 g

200 g

200 g

Minyak

100 g

100 g

100 g

Susu skim bubuk

100 g

100 g

100 g

Tepung tapioka

150 g

150 g

150 g

Garam

35 g

35 g

35 g

STTP

8g

8g

8g

Es

400 g

400 g

400 g

Bawang putih

15 g

15 g

15 g

Merica

10 g

10 g

10 g

Jahe

5g

5g

5g

Pala

5g

5g

5g

Nitrit

0g

3g

0g

0 ml

0 ml

3 ml

Bakteriosin

Keterangan: 1 g untuk bakteriosin disetarakan dengan 1 ml

Analisis Fisik
Analisis fisik dilakukan terhadap daging segar dan sosis. Analisis fisik yang
diuji adalah sebagai berikut.
Nilai pH (Association of Official Analytical Chemistry, 2005). Pengukuran pH
dilakukan dengan menggunakan pH meter daging. Pengkalibrasian pH meter
dilakukan dengan larutan standar (ber-pH 4 dan 7). Elektroda pH meter dimasukkan
ke dalam sosis dan dilihat nilai pH dari sosis tersebut.

21

Total Asam Tertitrasi (Association of Official Analytical Chemistry, 2005).
Sampel sebanyak 5 g dihaluskan, lalu ditambahkan aquades sebanyak 45 ml dan tiga
tetes phenolptalein 1%, kemudian dihomogenkan. Larutan dititrasi dengan NaOH
0,1 N sampai pH larutan 7. Total asam tertitrasi dihitung sebagai persen asam laktat
dengan rumus:
% asam laktat= Volume NaOH(ml) x N NaOH x BM x FK x 100%
sampel (g)
Keterangan :
N

= normalitas

BM

= berat molekul asam laktat (90), 1 ml NaOH 0,1 N = 0,009 g asam laktat

FK

= faktor pengencer

Daya Serap Air (Fardiaz et al., 1992). Sampel diambil sebanyak 1 g kemudian
dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge dan ditambahkan 10 ml aquades serta
dihomogenkan dengan vortex. Tabung sentrifuge ditutup dan disimpan selama 30
menit pada suhu ruang kemudian disentrifugasi selama 30 menit dengan kecepatan
3500 rpm. Volume supernatan yang terbentuk diukur dengan gelas ukur.
Daya serap air (ml) = Jumlah air yang ditambahkan (10 ml) - jumlah
supernatan yang terbentuk (ml)
Keterangan: berat jenis air adalah 1 g/ml
Aktivitas Air (aw) (Association of Official Analytical Chemistry, 2005).
Pengukuran aw dilakukan dengan menggunakan aw-meter yang telah dikalibrasi.
Sampel sosis sebanyak 5 g diletakkan dalam cawan pengukur. Alat dijalankan
sampai menunjukkan tanda completed. Nilai aw dapat dibaca.
Analisis Kimia
Analisis kimia juga dilakukan terhadap daging segar dan sosis. Analisis
kimia yang diuji adalah sebagai berikut.
Pengujian Kadar Protein (Association of Official Analytical Chemistry, 2005).
Kadar protein ditetapkan dengan metode Kjeldahl. Sampel sosis sebanyak 0,1 g
dimasukkan ke dalam labu kjeldahl

dan ditambahkan selenium dengan

perbsandingan 1:1 dengan sampel dan 3 ml H2SO4. Sampel didestruksi hingga

22

larutan jernih. Labu destruksi didinginkan lalu ditambahkan 50 ml aquades dan 20
ml NaOH 40%, kemudian didestilasi. Hasil didestilasi

ditampung dalam labu

erlenmeyer yang berisi 10 ml H3BO3 2% dan dua tetes indikator Brom Cresol Green
Methyl Red berwarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan menjadi 10 ml
dan warnanya hijau kebiruan, destilasi dihentikan dan dititrasi dengan HCl 0,1 N
hingga warnanya kembali menjadi merah muda. Perlakuan yang sama diujikan
terhadap blanko.
Kadar protein= 14 x N x F x 100 x (A - B)
2,5 x w x 1000
Keterangan:
14

= Berat atom nitrogen

F

= Faktor koreksi = 6,25

N

= Konsentrasi HCl

B

= Volume titran blanko (ml)

A

= Volume titran contoh

w

= Berat contoh (mg)

Pengujian Kadar Lemak (Association of Official Analytical Chemistry, 2005).
Sampel ditimbang dan dihancurkan. Sampel dibungkus dengan kertas saring,
kemudian diletakkan dalam alat ekstraksi Soxhlet. Ekstraksi dilakukan dengan
pelarut hexana. Lemak yang tertampung dalam labu dikeringkan dalam oven 105 °C
hingga beratnya konstan, kemudian ditimbang. Kadar lemak dihitung dengan rumus:
Kadar lemak (%bb) = berat lemak terekstrak x 100%
berat sampel
Pengujian Kadar Air (Association of Official Analytical Chemistry, 2005).
Sampel sosis sebanyak 5 g ditempatkan dalam cawan porselen. Wadah beserta isinya
dipanaskan dalam oven dengan suhu 105 °C sampai diperoleh berat konstan untuk
kadar air. Kadar air dapat dihitung dengan rumus :
Kadar air = sampel awal – sampel kering x 100%
sampel awal

23

Pengujian Kadar Abu (Association of Official Analytical Chemistry, 2005).
Sampel yang telah diuji kadar airnya dipanaskan di hot plate hingga asap hilang,
kemudian didinginkan di dalam desikator. Cawan dan sampel kemudian diletakkan
ke dalam tanur dengan suhu 500 °C hingga menjadi abu. Sampel didinginkan
kembali di dalam desikator, kemudian ditimbang. Kadar abu dapat diperoleh dengan
perhitungan:
Kadar abu = berat abu

x 100%

berat sampel
Pengujian Kadar Karbohidrat (Winarno, 1992). Persentase kadar karbohidrat di
dalam sosis dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Kadar karbohidrat (%bb) = 100% - % (air + abu + protein + lemak)
Pengujian Residu Nitrit (Association of Official Analytical Chemistry, 2005).
Pengukuran kadar residu nitrit dilakukan secara komposit per perlakuan pengawet.
Sebanyak 5 g sampel dihancurkan dan dimasukkan ke dalam gelas beaker 50 ml,
kemudian ditambah 40 ml aquades yang dipanaskan hingga 80 °C sambil diaduk
dengan spatula. Larutan sampel lalu dipindahkan ke labu takar 500 ml. Gelas beaker
dicuci air panas dan airnya dituangkan ke dalam labu takar 500 ml, ditambahkan air
panas hingga kurang lebih 300 ml. Labu takar diletakkan di waterbath selama dua
jam dengan suhu 80 °C sambil diaduk. Larutan kemudian didinginkan di suhu ruang,
ditambahkan aquades, dihomogenkan, disaring dan jika keruh, disentrifuge.
Sebanyak 25 ml larutan sampel ditambahkan dengan 2,5 ml reagen sulfanilamid,
diaduk dan dibiarkan lima menit, kemudian ditambahkan 2,5 ml NED dan diaduk.
Larutan lalu ditepatkan 50 ml dengan aquades, diaduk dan dibiarkan 15 menit
hingga terbentuk warna, kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 540 nm. Konsentrasi nitrit sosis dibandingkan dengan deret standar dan
melalui persamaan berikut:
Y= ax+ b
Keterangan:

Y

= absorbansi

a

= slope

x

= konsentrasi

b

= intersep

24

Penilaian Organoleptik (Soekarto, 1991)
Penilaian organoleptik pada penelitian ini dilakukan uji mutu hedonik.
Metode uji mutu hedonik (uji kualitas) menggunakan skala 1 sampai 5. Pengujian
mutu hedonik dilakukan terhadap 25 orang. Panelis diminta menyatakan
penilaiannya terhadap warna, aroma, rasa, tekstur dan kekenyalan.
Rancangan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan Rancangan Acak
Lengkap faktorial 2x3 dengan taraf pemberian pengawet yang berbeda (0%; nitrit
0,3%; dan bakteriosin 0,3%) dan penyimpanan yang berbeda (0 hari, 3 hari, 6 hari, 9
hari) serta dengan menggunakan 3 kali ulangan. Model matematikanya sebagai
berikut:
Yijk= µ+Ai+Bj+(AB)ij+€ijk
Keterangan:
Yijk

: nilai pengamatan pada taraf perlakuan pemberian pengawet ke-i dan lama
penyimpanan ke-j dan ulangan ke-k

µ

: nilai tengah umum kualitas fisik dan kimia sosis

Ai

: pengaruh taraf perlakuan pemberian pengawet ke-i

Bj

: pengaruh lama penyimpanan ke-j

(AB)ij

: pengaruh interaksi pada taraf perlakuan pemberian pengawet ke-i dan
lama penyimpanan ke-j

€ijk

: pengaruh galat percobaan pada taraf perlakuan pemberian pengawet ke-i
lama penyimpanan ke- j dan ulangan ke-k
Data peubah nilai kualitas fisik terlebih dahulu diuji asumsi (uji

kehomogenan, uji kenormalan dan uji kebebasan galat). Jika hasilnya memenuhi
asumsi, maka dilakukan uji analisis ragam (ANOVA). Jika tidak, maka
menggunakan uji Kruskal Wallis. Data peubah kualitas kimia diuji secara deskriptif.
Data peubah penilaian organoleptik diuji menggunakan uji Kruskal-Wallis.

25

HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Ekstrak Bakteriosin Kasar
Bakteriosin

merupakan

senyawa

peptida

antimikroba

yang

dapat

dimanfaatkan sebagai pengawet alami. Bakteriosin dapat diproduksi oleh
Lactobacillus plantarum. Tahap pembuatan bakteriosin kasar ada tiga, yaitu
penyegaran dan perbanyakan kultur, purifikasi parsial dan dialisis. Kultur yang
dipakai adalah Lactobacillus plantarum 2C12. Jenie dan Rini (1995) dalam
penelitiannya menyeleksi bakteri asam laktat dari beberapa spesies Lactobacillus
yang mempunyai kemampuan tinggi dalam menghambat bakteri patogen dan
perusak pada makanan. Hasilnya yaitu bila dibandingkan dengan kultur lain,
Lactobacillus plantarum mempunyai zona penghambatan terbesar terhadap semua
bakteri patogen. Efek penghambatan terbesar dari Lactobaciilus plantarum adalah
terhadap Staphylococcus aureus (4,0 mm) diikuti Eschericia coli (3,8 mm) dan
Salmonella typhimurium (2,3 mm).
Lactobacillus plantarum 2C12 merupakan bakteri yang diisolasi dari daging
sapi pasar Ciampea dengan 21 jam postmortem (9 jam suhu kamar dan 12 jam suhu
refrigerator). Bakteriosin aman untuk dikonsumsi karena mudah didegradasi oleh
enzim proteolitik. Proteolitik merupakan mekanisme pemecahan protein menjadi
asam amino dengan bantuan enzim protease dan menyebabkan struktur protein
daging terdegradasi sehingga keeempukan daging meningkat. Media yang digunakan
adalah MRSB dan yeast extract 3%. MRSB (deMan Rogosa Sharp Broth) adalah
media tumbuh yang kandungan nutrisinya cocok untuk media tumbuhnya bakteri
khususnya bakteri asam laktat. Yeast extract 3% dibutuhkan Lactobacillus
plantarum 2C12 untuk memicu produksi bakteriosin.
Populasi bakteri Lactobacillus plantarum 2C12 yang dipakai sebagai kultur,
yaitu 1,27 x 1010 CFU/ml atau setara dengan 10,10 log CFU/ml. Arief (2000)
menjelaskan bahwa kultur yang siap dijadikan kultur starter adalah kultur dengan
populasi ≥108 CFU/g. Tingkat populasi yang tinggi tersebut baik untuk diproses
menjadi bakteriosin. Purifikasi parsial berfungsi untuk menghasilkan endapan
protein. Kultur yang sudah disegarkan dan diperbanyak, kemudian disentrifugasi
dingin. Sentrifuge dingin pada suhu 4 °C berfungsi untuk memisahkan endapan
dengan supernatan. Supernatan kemudian disaring dengan membran saring Sartorius

26

agar tidak tercampur dengan endapan dan dinamakan dengan Supernatan Bebas Sel
(SBS). Supernatan Bebas Sel kemudian dinetralkan pH nya menjadi 6 untuk
menghilangkan efek asam laktat yang diproduksi oleh Lactobacillus plantarum.
ammonium sulfat diberikan secara bertahap supaya protein mengendap secara
sempurna (Arief et al., 2010).
Dialisis adalah proses untuk desalting atau menghilangkan garam ammonium
sulfat yang masih bercampur dengan presipitat bakteriosin. Proses dialisis
menggunakan buffer kalium fosfat karena buffer tersebut ada di tubuh kita dan aman
buat protein (Arief et al., 2010). Pengukuran konsentrasi protein ultraviolet (UV)
dilakukan secara berkala dengan alat spektrofotometer. Konsentrasi protein UV
adalah protein yang menyerap panjang gelombang UV dan bukan berasal dari hasil
metabolisme. Pengukuran konsentrasi protein UV dari supernatan bebas sel,
presipitat bakteriosin dan bakteriosin kasar dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Pengukuran Konsentrasi Protein Ultraviolet (UV)
Sampel

A260

A280

Konsentrasi