Perbandingan Kualitas Sosis Daging Angsa dengan Penambahan Level Lemak Sapi dan Dua Jenis Selongsong Sosis

(1)

PERBANDINGAN KUALITAS SOSIS DAGING ANGSA DENGAN PENAMBAHAN LEVEL LEMAK SAPI

DARI DUA JENIS SELONGSONG SOSIS

SKRIPSI

ANWAR RIFKI 050306018

DEPARTEMEN PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERBANDINGAN KUALITAS SOSIS DAGING ANGSA DENGAN PENAMBAHAN LEVEL LEMAK SAPI

DARI DUA JENIS SELONGSONG SOSIS

SKRIPSI

Oleh:

ANWAR RIFKI 050306018/IPT

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara Medan

DEPARTEMEN PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Proposal : Perbandingan Kualitas Sosis Daging Angsa dengan Penambahan Level Lemak Sapi dan Dua Jenis Selongsong Sosis

Nama : Anwar Rifki

NIM : 050306018

Departemen : Peternakan

Program Studi : Ilmu Produksi Ternak

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt, M.Si Ir. Soehady Aris

Ketua Anggota

Mengetahui,

Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP Keta Departemen Peternakan


(4)

ABSTRAK

ANWAR RIFKI : Perbandingan kualitas Sosis Daging Angsa dengan Penambahan Level Lemak Sapi dari Dua Jenis Selongsong Sosis. Dibimbing oleh NEVY DIANA HANAFI dan SOEHADY ARIS

Daging angsa merupakan salah satu produk peternakan yang memiliki kandungan protein paling tinggi, yaitu 22,35%. Proses pengolahan daging merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat akan daging. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kualitas sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis. Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Pemuliaan Ternak dan Laboratorium Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara pada November-Desember 2009. Penelitian ini menggunakan metode non parametrik untuk rancangan acak lengkap untuk parameter organoleptik, dan metode rancangan acak lengkap faktorial 2 faktor yaitu lemak (0%, 5% dan 10%) dan selongsong sosis (selongsong usus domba dan selongsosng plastik). Parameter yang dianalisis adalah kadar air, kadar protein, kadar lemak, tekstur dan organoleptik rasa, warna dan aroma.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penambahan lemak dan penggunaan dua jenis selongsong pada sosis daging angsa memberikan hasil yang berbeda tidak nyata untuk kadar protein, organoleptik rasa, warna dan aroma serta hasil yang berbeda nyata untuk kadar air, kadar lemak dan tekstur.

Kata kunci : Daging Angsa, Lemak, Selongsong Usus Domba, Selongsong Plastik, Kualitas dan Organoleptik Sosis

ABSTRACT

ANWAR RIFKI : The comparation of quality of swan sausage with

supplementation cow fat of using two sausage casing. Supervised by NEVY

DIANA HANAFI and SOEHADY ARIS.

The swan meat is the one veteriner product’s have hihest protein, that is 22,35%. The processing of meat is the one factor can influence meat consumtion proportion. The aim of the studyis to find out the comparation of quality of swan sausage with supplementation cow fat of using two sausage casing. This research was conducted in Breeding Veterinary Laboratory and Food technology Laboratory of Agricultur Faculty of University of North Sumatera on beginning from November to December 2009. This research using non parametric method for completely randomized design to organoleptic parametric, and completely randomized design factorial with two factor i.e. fat (0%, 5% and 10% of sausage) and sausage casing (sheep intestinum casing and platic casing). Parameters aanalyzed were water, protein, fat, texture and organoleptic value of taste, color, and aroma.

The result of this research indicated that supplementation of cow fat and using two sausage casing has given the different not significant on protein and organoleptic value of taste, color, and aroma but it has given the significant different for water, fat and texture propoertion of analysis side.

Key words: Swan meat, Fat, Sheep Intestinum Casing, Plastic Casing, Quality and Organoleptic of Sausage.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Anwar Rifki, lahir di Binjai, 10 Januari 1988. Merupakan anak kedua dari

empat bersaudara, anak kandung dari Bapak Marwadi Saifuddin dan Ibu Endang Lutfiyati.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis hingga saat ini : Tahun 1999 menamatkan SD di SD Inpres 050979 Kecamatan Kuala-Langkat, tahun 2002 menamatkan SLTP di MTs Aisyiyah Muahammadiyah Binjai, tahun 2005 menamatkan SLTA di MAS Aisyiyah Muhammadiyah Binjai dan pada tahun 2005 diterima sebagai mahasiswa di Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur PMP.

Selama menjadi mahasiswa USU, penulis aktif di berbagai kegiatan organisasi kemahasiswaan baik internal maupun eksternal kampus. Diantaranya adalah menjadi Pengurus Himpunan Mahasiswa Muslim Peternakan tahun 2007-2008, Pengurus BKM Al-Mukhlisin tahun 2007-2008 dan 2008-2009, juga pernah menjadi Deputi Mentri Partisipasi Masyarakat Pema USU tahun 2008-2009 untuk organisasi internal. Selain itu penulis juga aktif sebagai Pengurus Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat USU tahun 2006-2007 dan 2007-2009, Kabid Ekonomi IMM Cabang Kota Medan tahun 2010-2011 dan Pengurus Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) USU tahun 2008-2009.

Kegiatan yang pernah diikuti penulis : Melaksanakan PKL di Kecamatan Bandar Huluan Kabupaten Simalungun tahun 2008, melaksanakan penelitian Skripsi pada November-Desember 2009 di Laboratorium Pemuliaan Ternak Departemen Peternakan dan Laboratorium Teknologi Pangan Departemen Teknologi Hasil Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah dilimpahkanNya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “Perbandingan Kualitas Sosis

Daging Angsa dengan Penambahan Level Lemak Sapi dari Dua Jenis Selongsong Sosis” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana di Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan banyak terima kasih terutama kepada kedua orang tua yang telah membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang. Juga kepada Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt, M.Si sebagai dosen ketua pembimbing dan Ir. Soehady Aris sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu terselesaikannya skripsi ini, dan semoga dapat berguna terutama bagi penulis pribadi dan pihak-pihak yang membutuhkan.

Medan, Oktober 2010


(7)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Hipotesis Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA... 4

Daging ... 4

Angsa ... 4

Sosis ... 6

Selongsong Sosis ... 8

Bahan Pengikat ... 9

Bahan Pengisi ... 11

Air dan Es ... 13

Kadar Protein ... 14

Kadar Lemak ... 16

Tekstur ... 17

Organoleptik ... 18

METODOLOGI PENELITIAN ... 21

Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

Bahan dan Alat Penelitian ... 21

Bahan ... 21

Alat.... ... 21

Metode Penelitian ... 21

Parameter Penelitian ... 23

Prosedur Penelitian ... 23

Analisis Data ... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

Kadar Air... ... 27

Kadar Protein ... 30

Kadar Lemak ... 32

Tekstur... ... 35

Organoleptik ... 38

Rasa... ... 38

Aroma ... 40

Warna ... 42


(8)

KESIMPULAN DAN SARAN ... 46 Kesimpulan ... 46 Saran ... ... 46 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Komposisi Daging Angsa dan Daging Ternak Lainnya ... 6

2. Komposisi Tepung Tapioka per 100 g bahan ... 13

3. Skala Hedonik dalam Uji Kesukaan ... 21

4. Persentase Kadar Air ... 27

5. Dwikasta Kadar Air... 27

6. Analisis Keragaman Kadar Air ... 28

7. Uji Duncan ... 28

8. Data Persentase Kadar Protein ... 30

9. Dwikasta Kadar Protein ... 31

10. Analisis Keragaman Kadar Protein ... 30

11. Data Persentase Kadar Lemak ... 32

12. Dwikasta Kadar lemak ... 33

13. Analisis Ragam Kadar Lemak ... 33

14. Uji Duncan ... 34

15. Data Nilai Tekstur ... 35

16. Dwikasta Nilai Tekstur ... 36

17. Analisis Ragam Nilai Tekstur ... 36

18. Uji Duncan ... 37

19. Data Nilai Organoleptik Rasa ... 38

20. Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Rasa ... 38

21. Uji Kruskal-Wallis Nilai Organoleptik Rasa ... 39


(10)

23. Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Aroma ... 41

24. Uji Kruskal-Wallis Nilai Organoleptik Aroma ... 41

25. Data Nilai Organoleptik Warna ... 43

26. Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Warna ... 43

27. Uji Kruskal-Wallis Nilai Organoleptik Warna ... 44


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Data Persentase Kadar Air ... 51

2. Data Rataan Kadar Air ... 52

3. Data Dwikasta Kadar Air ... 52

4. Data Analisis Ragam Kadar Air ... 52

5. Grafik Perbandingan Kadar Air ... 53

6. Data Uji Duncan Kadar Air ... 53

7. Data Persentase Kadar Protein ... 54

8. Data Rataan Kadar Protein ... 55

9. Data Dwikasta Kadar Protein ... 55

10. Data Analisis Ragam Kadar Protein ... 55

11. Grafik Perbandingan Kadar Protein ... 56

12. Data Persentase Kadar Lemak ... 57

13. Data Rataan Kadar Lemak ... 58

14. Data Dwikasta Kadar lemak ... 58

15. Data Analisis Ragam Kadar Lemak ... 58

16. Grafik Perbandingan Kadar Protein ... 59

17. Uji Duncan Kadar Air ... 59

18. Data Nilai Tekstur ... 60

19. Data Rataan Tekstur Sosis ... 61

20. Data Dwikasta Nilai Tekstur ... 61

21. Data Analisis Ragam Nilai Tekstur ... 61


(12)

23. Data Uji Duncan Nilai Tekstur ... 62

24. Data Nilai Organoleptik Rasa ... 62

25. Data Pemberian Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Rasa ... 63

26. Data Hasil Pemberian Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Rasa ... 63

27. Grafik Hasil Pemberian Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Rasa ... 64

28. Data Uji Kruskal-Wallis Nilai Organoleptik Rasa ... 64

29. Data Nilai Organoleptik Aroma ... 64

30. Data Pemberian Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Aroma ... 65

31. Data Hasil Pemberian Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Aroma ... 65

32. Grafik Hasil Pemberian Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Aroma... 66

33. Data Uji Kruskal-Wallis Nilai Organoleptik Aroma ... 66

34. Data Nilai Organoleptik Warna ... 66

35. Data Pemberian Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Warna ... 67

36. Data Hasil Pemberian Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Warna ... 67

37. Grafik Hasil Pemberian Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Warna ... 68


(13)

ABSTRAK

ANWAR RIFKI : Perbandingan kualitas Sosis Daging Angsa dengan Penambahan Level Lemak Sapi dari Dua Jenis Selongsong Sosis. Dibimbing oleh NEVY DIANA HANAFI dan SOEHADY ARIS

Daging angsa merupakan salah satu produk peternakan yang memiliki kandungan protein paling tinggi, yaitu 22,35%. Proses pengolahan daging merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat akan daging. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kualitas sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis. Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Pemuliaan Ternak dan Laboratorium Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara pada November-Desember 2009. Penelitian ini menggunakan metode non parametrik untuk rancangan acak lengkap untuk parameter organoleptik, dan metode rancangan acak lengkap faktorial 2 faktor yaitu lemak (0%, 5% dan 10%) dan selongsong sosis (selongsong usus domba dan selongsosng plastik). Parameter yang dianalisis adalah kadar air, kadar protein, kadar lemak, tekstur dan organoleptik rasa, warna dan aroma.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penambahan lemak dan penggunaan dua jenis selongsong pada sosis daging angsa memberikan hasil yang berbeda tidak nyata untuk kadar protein, organoleptik rasa, warna dan aroma serta hasil yang berbeda nyata untuk kadar air, kadar lemak dan tekstur.

Kata kunci : Daging Angsa, Lemak, Selongsong Usus Domba, Selongsong Plastik, Kualitas dan Organoleptik Sosis

ABSTRACT

ANWAR RIFKI : The comparation of quality of swan sausage with

supplementation cow fat of using two sausage casing. Supervised by NEVY

DIANA HANAFI and SOEHADY ARIS.

The swan meat is the one veteriner product’s have hihest protein, that is 22,35%. The processing of meat is the one factor can influence meat consumtion proportion. The aim of the studyis to find out the comparation of quality of swan sausage with supplementation cow fat of using two sausage casing. This research was conducted in Breeding Veterinary Laboratory and Food technology Laboratory of Agricultur Faculty of University of North Sumatera on beginning from November to December 2009. This research using non parametric method for completely randomized design to organoleptic parametric, and completely randomized design factorial with two factor i.e. fat (0%, 5% and 10% of sausage) and sausage casing (sheep intestinum casing and platic casing). Parameters aanalyzed were water, protein, fat, texture and organoleptic value of taste, color, and aroma.

The result of this research indicated that supplementation of cow fat and using two sausage casing has given the different not significant on protein and organoleptic value of taste, color, and aroma but it has given the significant different for water, fat and texture propoertion of analysis side.

Key words: Swan meat, Fat, Sheep Intestinum Casing, Plastic Casing, Quality and Organoleptic of Sausage.


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu komoditi peternakan yang utama di samping telur dan susu adalah daging. Daging juga merupakan produk yang sangat penting dan digemari oleh masyarakat umum. Namun sama seperti produk-produk peternakan yang lainnya, daging juga mudah rusak dan tidak tahan lama bila tidak diawetkan, baik dengan bahan pengawet maupun dengan perlakuan-perlakuan tertentu.

Bahan pangan yang berasal dari daging sangat disukai oleh masyarakat umum. Selain karena rasanya yang nikmat, daging disukai juga karena kandungan nilai gizinya. Menurut Lawrie (2003), nilai nutrisi daging yang tinggi disebabkan karena daging mengandung asam-asam amino yang lengkap dan seimbang. Namun demikian kandungan nilai gizi daging dari setiap jenis ternak relatif berbeda, tetapi menurut Soeparno (1994) setiap 100 gr daging dapat memenuhi kebutuhan gizi orang dewasa sekitar 10 persen kalori, 50 persen protein dan 35 persen zat besi (Fe) setiap harinya.

Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk memperpanjang masa simpan daging, seperti pengolahan dan pengawetan daging. Hal ini bertujuan selain untuk memperpanjang masa simpan, juga untuk meningkatkan cita rasa yang sesuai dengan selera konsumen, serta dapat mempertahankan nilai gizinya. Beberapa bentuk hasil pengolahan daging diantaranya ialah sosis, kornet, dendeng, pindang, abon, bakso, nuget dll, sedangkan beberapa cara pengawetan yang sering dilakukan ialah dengan cara pembekuan, pelayuan, pengeringan, pengasinan, pengasapan dan pengalengan (Soputan, 2004).


(15)

Sosis merupakan salah satu jenis hasil olahan daging yang cukup populer di kalangan masyarakat. Ada berbagai jenis sosis yang beredar di pasaran saat ini, mulai dari yang sudah siap santap maupun yang harus dimasak terlebih dahulu.

Daging yang biasanya digunakan sebagai bahan pembuatan sosis adalah daging sapi dan daging babi, lalu daging ayam broiler, sedangkan daging angsa masih belum atau jarang digunakan. Hal ini disebabkan selain karena masalah produksi ternak itu sendiri juga karena sifat dan tekstur daging yang berbeda-beda dari setiap ternak, sebagaimana diketahui bahwa ternak yang memiliki produksi daging cukup tinggi adalah sapi dan babi, sedangkan dari jenis unggas adalah ayam broiler, oleh karena itu kedua jenis daging tersebut lebih banyak dipilih sebagai bahan pembatan sosis, selain itu karena teksturnya yang lebih kompak. Namun demikian berdasarkan kandungan proteinnya, daging angsa memiliki kandungan protein yang lebih tinggi yaitu 22,3% dibandingkan kandungan protein daging ayam yang sebesar 20,8%, daging sapi 18,7%, daging domba 17,1% atau daging kambing yang hanya 16,6% (Srigandono, 1992).

Berdasarkan pemikiran di atas, maka penggunaan daging angsa pada penelitian pembuatan sosis kali ini lebih diutamakan karena pemanfaatannya yang masih jarang dibandingkan daging sapi dalam pembuatan sosis, selain kandungan proteinnya yang lebih tinggi dibandingkan jenis daging lainnya.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perbandingan kualitas sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis.


(16)

Hipotesis Penelitian

Penambahan lemak 5% dan 10% serta penggunaan dua jenis selongsong sosis yang berbeda (usus dan plastik) pada pembuatan sosis daging angsa memberikan pengaruh positif yang berbeda terhadap kualitas dan organoleptik sosis.

Kegunaan Penelitian

Memberikan pengetahuan bagi masyarakat dan peneliti tentang pengolahan daging (terutama sosis), dan menambah pengetahuan tentang kualitas sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dan jenis selongsong sosis.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA Daging

Daging adalah otot hewan yang tersusun dari serat-serat yang sangat kecil, masing-masing berupa sel memanjang yang disatukan oleh jaringan ikat, membentuk berkas ikatan yang pada kebanyakan daging jelas kelihatan lemak pembuluh darah dan urat syaraf (Gamman dan Sherrington, 1992). Bila potongan daging diamati secara teliti maka tampak dengan jelas bahwa daging terdiri atas tenunan yang terdiri atas air, protein, tenunan lemak dan potongan tulang (Winarno, 1993).

Soeparno (1994) menyatakan bahwa daging merupakan bahan dasar pembuatan sosis. Bahan terpenting dalam bahan ini adalah protein (aktin dan miosin), bertindak sebagai emulsifier. Dalam pembuatan sosis fase protein-air dalam campuran daging akan membentuk matriks yang menyelubungi butiran lemak sehingga terbentuk butiran-butiran stabil.

Komposisi kimia daging tergantung dari spesies hewan, kondisi hewan, jenis daging karkas, proses pengawetan, penyimpanan dan metoda pengepakan serta kandungan lemak daging tersebut. Daging tanpa lemak mengandung 70% air, 9% lemak serta 1% abu (Winarno dan Rahayu, 1994).

Angsa

Angsa adalah burung air berukuran besar yang terdapat di dalam suku

Anatidae. Populasi angsa tersebar di daerah subtropis bagian Utara dan Selatan.

Spesies angsa yang ditemukan di bagian Utara bumi mempunyai bulu menyeluruh berwarna putih, kontras dengan spesies angsa di bagian selatan bumi yang


(18)

memiliki bulu berwarna hitam dan putih. Hampir semua angsa adalah monogami spesies. Induk betina biasanya memiliki tiga sampai delapan telur (Wikipedia, 2009).

Taksonomi angsa secara lengkap adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia; Filum : Chordata; Kelas : Aves; Super Ordo : Gallonserae; Ordo : Anseriformes; Famili : Anatidae; Sub Famili : Anserinae; Marga : Cygnus; Spesies : Cygnus Cygnus. (Goose-Wikipedia, 2009).

Angsa dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu berat, sedang dan ringan. Serta ornamental atau tipe hias. Tipe berat terdiri atas African, Embden dan Toulouse; sedangkan tipe sedang terdiri atas American Buff, Beecon Buff, Pilgrim dan Pomeranian; dan tipe ringan terdiri atas Chinese dan Roman. Adapun yang terakhir, yaitu tipe ornamen terdiri atas Canada, Egyptian dan Sebastopol. (Srigandono, 1991).

Angsa mempunyai pertumbuhan yang sangat cepat di antara semua unggas dan paling efisien dalam konversi bahan makanan, teristimewa pada umur 8-10 minggu pertama. Tanpa makanan yang khusus, angsa dapat berkembang biak dengan lebih baik dibandingkan kebanyakan unggas lainnya. Angsa tergolong sangat bandel dan relatif mudah tumbuh menjadi besar. Mereka lebih tahan terhadap penyakit dan hampir tidak memerlukan obat-obatan (Peternakan.com, 2009). Meskipun demikian menurut Djulardi et al.(2006) kedudukan angsa masih rendah dipandang dari sudut ekonomi, diperlihatkan masih sedikitnya data penelitian terhadap kebutuhan makanan dan zat-zat nutrisi yang dibutuhkan.


(19)

Komposisi daging angsa dan daging ternak lainnya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Komposisi daging angsa dan daging ternak lainnya.

Jenis Kadar (%) Nilai

Ternak Air Protein Lemak Abu Energi/100g(Kkal)

Angsa 68,3 22,3 7,1 1,1 153

Ayam 73,4 20,8 4,8 1,1 126

Itik 68,8 21,4 8,2 2,1 159

Sapi (gemuk) 63,0 18,7 17,0 0.9 228

Domba (gemuk) 59,8 16,7 22,4 0,8 264

Babi (gemuk) 52,0 14,8 32,0 0,8 347

Sumber : Srigandono (1992)

Sosis

Sosis didefinisikan sebagai daging atau campuran beberapa jenis daging yang dicincang atau dihaluskan serta dicampur dengan bumbu atau rempah-rempah lalu dimasukkan ke dalam selongsong atau wadah sosis. Pada umumnya sosis dibuat dari daging sapi, daging babi, daging kelinci dan daging ikan (Soeparno, 1992). Selanjutnya Soeparno (1994) juga menyatakan bahwa sosis segar dapat dibuat dari daging segar, tidak diperam (tanpa curing), dicacah, dilumatkan atau digiling diberi garam dan bumbu-bumbu dan dimasukkan serta dipadatkan ke dalam selongsong. Sosis ini harus dimasak sebelum dimakan. Sosis masak berasal dari daging segar, bisa diperam atau tidak, dimasukkan dan dipadatkan dalam selongsong, tidak diasap dan setelah preparasi harus segera dimasak dan siap untuk dimakan. Sosis spesialitas daging masak khusus dipersiapkan sebagai produk daging yang diperam atau tidak diperam, dimasak dan jarang diasap. Sosis kering dan agak kering berasal dari daging yang diperam


(20)

dan dikeringkan udara. Sosis ini bisa diasap sebelum pengeringan dan dapat dikonsumsi dalam keadaan dingin atau setelah dimasak.

Pada proses pembuatan sosis, dilakukan pemasakan bahan, antara lain bertujuan untuk 1) Menyatukan komponen-komponen adonan sosis yang berupa emulsi kandungan minyak, air, dengan protein sosis sebagai penstabil, 2) Memantapkan warna daging, 3) Menginaktifkan mikroba. Pemasakan sosis dapat dilakukan dengan cara direbus, dikukus dan diasap, atau kombinasi dari ketiga cara tersebut (Rukmana, 2001).

Pemasakan dengan perebusan dapat dilakukan dengan dua tahapan. Perebusan pertama menggunakan suhu 60oC selama 15-20 menit. Perebusan kedua dengan suhu 80oC-90oC sampai matang (+ 15 menit). Sedangkan untuk proses pengasapan, dimulai dari suhu rendah (32-38oC dengan kelembaban 90%) selama 10-20 menit, kemudian suhu dinaikkan menjadi 74oC dengan kelembaban 75% - 80% sampai matang (Waridi, 2004).

Makanan ini dibuat dari daging atau ikan yang telah dicincang kemudian dihaluskan, diberi bumbu, dimasukkan ke dalam selongsong berbentuk bulat panjang simetris, baik yang terbuat dari usus hewan maupun pembungkus buatan (casing). Sosis juga dikenal berdasarkan nama kota atau daerah yang memproduksi, seperti berliner (Berlin), braunscheiger (Braunshweig), genoa salami (Genoa), dan lain-lain (Astawan, 2009).

Emulsi adalah campuran dua cairan atau lebih yang saling melarutkan. Salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula atau butiran-butiran kecil dan cairan lainnya (Lawrie, 1983). Keberhasilan produksi yang dipotong-potong kecil banyak tergantung pada kemampuan protein urat daging untuk


(21)

mempertahankan lemak dan air. Oleh karena itu faktor-faktor yang menentukan kestabilan emulsi daging sosis penting (Lawrie, 2003).

Temperatur pencincangan di atas 16oC akan menyebabkan ketidakstabilan emulsi yang terbentuk, sehingga tidak diperbolehkan jika emulsi tersebut akan disimpan dalam waktu yang agak lama sebelum diproses di bawah kondisi yang memungkinkan pertumbuhan bakteri. Selain itu dalam penggilingan daging, panas akan muncul akibat adanya gaya gesek yang terjadi. Jika suhu tidak diusahakan turun, maka protein akan terdenaturasi sehingga kemampuan bertindak sebagai zat pengemulsi akan turun (Elviera, 1988).

Pemasakan sosis bertujuan untuk menyatukan komponen-komponen adonan sosis, memantapkan warna dan menonaktifkan mikroba. Pemasakan ini akan meningkatkan atau menurunkan keempukan sosis tergantung pada temperatur, lama pemasakan dan jenis daging. Pemasakan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara seperti perebusan, pengukusan, pengasapan, pemasakan secara kering dengan menggunakan oven dan kombinasi dari cara-cara tersebut (Sumirin, 2006).

Selongsong Sosis

Selongsong atau casing sosis ada dua tipe, yaitu selongsong alami dan selongsong buatan. Selongsong alami terutama berasal dari saluran pencernaan ternak. Menurut Soeparno (1992) selongsong sapi dapat berasal oesophagus, usus kecil, usus besar bagian tengah, caecum dan kandung kencing, sedangkan selongsong domba dan kambing normalnya berasal dari usus kecil.

Menurut Kramlich (1973), selongsong buatan terdiri atas empat kelompok yaitu sellulosa, kolagen yang dapat dimakan, kolagen yang tidak dapat dimakan,


(22)

dan plastik. Pada dasarnya selongsong alami adalah kolagen, selama pengolahan sosis, selongsong alami dalam keadaan basah mudah ditembus olah asap dan cairan. Selongsong alami menjadi kurang permeabel karena pengeringan dan pengasapan (Bacus, 1984).

Terdapat tiga jenis casing yang sering digunakan dalam pembuatan sosis, yaitu alami, kolagen, serta selulosa. Casing alami biasanya terbuat dari usus alami hewan. Casing ini mempunyai keuntungan dapat dimakan, bergizi tinggi, dan melekat pada produk. Kerugian penggunaan casing ini adalah produk tidak awet. Casing kolagen biasanya berbahan baku dari kulit hewan besar. Keuntungan dari penggunaan casing ini adalah dapat diwarnai, bisa dimakan, dan melekat pada produk. Casing selulosa biasanya berbahan baku pulp. Keuntungan casing selulosa adalah dapat dicetak atau diwarnai dan murah. Casing selulosa sangat keras dan dianjurkan untuk tidak dimakan. Saat ini telah dikembangkan poly amid casing, yaitu casing yang terbuat dari plastik. Casing jenis ini tidak bisa dimakan, dapat dibuat berpori atau tidak, bentuk dan ukurannya dapat diatur, tahan terhadap panas, dan dapat dicetak (Astawan, 2009).

Bahan Pengikat

Bahan pengikat adalah material bukan daging yang mengandung protein tinggi. Terutama berasal dari produk susu misalnya susu kering dan produk kedelai misalnya tepung kedelai. Kegunaan penambahan bahan pengikat diantaranya adalah meningkatkan daya ikat air produk daging, mengurangi pengerutan selama pemasakan, meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan flavour dan meningkatkan karakteristik irisan produk (Soeparno, 1992).


(23)

Bahan pengikat adalah bahan bukan daging yang meningkatkan daya ikat air dari emulsi lemak. Bahan pengisi mempunyai kemampuan untuk mengikat air, tetapi tidak berperan dalam pembentukan emulsi. Perbedaan bahan pengikat dan bahan pengisi bahwa bahan pengikat mengandung protein lebih tinggi, sedangkan bahan pengisi mengandung banyak karbohidrat. Bahan yang digunakan sebagai bahan pengikat berupa susu skim, Na-kaseinat, konsentrat tepung kedelai dan protrein isolate atau tepung kedelai (Bianchi et all., 1989).

Menurut Kramlich (1973), bahan pengikat dan pengisi dibedakan berdasarkan kadar proteinnya. Bahan pengikat mengandung protein yang lebih tinggi dibanding bahan pengisi, dan bahan pengisi umumnya hanya terdiri dari karbohidrat saja. Pemilihan dan penggunaan bahan pengikat dilakukan berdasarkan beberapa syarat yaitu mempunyai daya serap yang baik terhadap air, mempunyai rasa yang enak, memberikan warna yang baik dan harganya relatif murah (Lawrie, 1983)

Bahan yang tepat untuk dijadikan sebagai bahan pengikat salah satunya adalah susu skim. Susu skim merupakan air susu segar yang telah dikurangi kandungan lemaknya menjadi 0,1% atau kurang, dengan bahan kering tanpa lemak paling rendah 89,25%, oleh karena itu rasanya pun tidak segurih susu segar (Ginting dan Sitepu, 1989). Meskipun begitu, susu skim bubuk sebanyak tiga sendok teh penuh dalam satu cangkir air, nilainya sama dengan secangkir susu segar (Sumoprastowo, 2000).

Menurut Helfrich dan Westhoff (1980) pemisahan krim dan susu skim dapat dilakukan dengan cara mekanik yang berdasarkan gravitasi. Susu skim adalah susu yang telah diambil lemak susunya, baik sebagian maupun seluruhnya.


(24)

Zat gizi dalam susu skim masih lengkap kecuali lemak (Moehyi, 1992). Susu skim mengandung semua zat makanan dari susu kecuali lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (Buckle dkk., 1987). Susu skim dapat digunakan oleh orang yang menginginkan nilai kalori rendah di dalam makanannya, karena susu skim hanya mengandung 55% dari seluruh energi susu.

Bahan Pengisi

Bahan pengisi adalah material bukan daging yang ditambahkan ke dalam produk olahan daging. Bahan pengisi antara lain bermacam tepung yang umumnya mempunyai lemak dalam jumlah yang relatif tinggi dan protein dalam jumlah relatif rendah (Soeparno,1992).

Menurut Soenaryo (1985) tepung merupakan bahan makanan yang berbentuk bubuk yang diolah dari biji-bijian dan umbi-umbian dari berbagai tanaman. Dalam hal ini yang dimaksud dengan tepung di sini adalah tepung jagung, tepung beras, tepung terigu, tepung tapioka, tepung maizena, tepung sagu dan tepung ketan.

Maksud penambahan bahan pengisi (filler), pengikat (binder), dan

pengompak pada produk daging proses seperti sosis adalah untuk: 1) meningkatkan stabilitas emulsi; 2) meningkatkan daya ikat air produk daging;

3) meningkatkan flavour; 4) meningkatkan karakteristik irisan produk; 5) mengurangi pengerutan selama pemasakan dan 6) mengurangi biaya formulasi

(Forest, dkk., 1975).

Salah satu contoh dari bahan pengisi adalah tepung tapioka ataupun tepung kanji. Tepung ini dibuat dari pati singkong, nyaris tidak mengandung protein dan gluten-free sehingga cocok untuk mereka yang memiliki problem


(25)

Coeliac (smacam gluten-intolerance). Sering dipakai untuk pengental pada tumisan karena efeknya bening dan kental saat dipanaskan. Tidak cocok untuk gorengan karena menyerap minyak dan mengeras setelah dingin beberapa lama. Selain pengental, juga dipakai untuk pengenyal pada bakso, pengganti sagu pada pempek, juga sebagai bahan baku krupuk, ada juga yang membuat cendol berbahan tapioka (Lia, 2006).

Tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku ataupun bahan campuran pada berbagai macam produk antara lain kerupuk dan kue kering lainnya. Selain itu tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengental (thickener), bahan pengisi, bahan pengikat pada industri makanan olahan (Astawan, 2003).

Bila tepung dilihat di bawah mikroskop, akan terlihat zat tepung yang terdiri atas butir-butir granula yang mempunyai bentuk berbeda-beda dari setiap jenisnya. Tepung dibuat berasal dari jenis padi-padian dan umbi-umbian yang melalui proses beberapa tahap sampai menjadi tepung yang kering. Salah satu contohya adalah tepung terigu yang dibuat berasal dari biji gandum (Tarwotjo, 1998).

Berikut ini adalah komposisi kimia tepung tapioka : Tabel 2. Komposisi tepung tapioka per 100 gram bahan

Komposisi Jumlah

Kalori (kal) 362

Protein (g) 0,5

Lemak (g) 0,3

Karbohidrat (g) 86,9

Air (g) 12,0


(26)

Air dan Es

Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen disamping ikut sebagai bahan pereaksi, sedangkan bentuk air dapat ditemukan sebagai air bebas dan air terikat. Air bebas dapat mudah hilang akibat penguapan dan pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan cara tersebut (Purnomo, 1995).

Tujuan pemberian air es atau es dalam pembuatan sosis adalah untuk membentuk adonan yang baik serta menurunkan suhu selama proses pencampuran dan penggilingan (Koswara, 1992). Air es sangat penting sekali dalam pembuatan adonan karena untuk mempertahankan suhu adonan agar tetap dingin. Adonan panas cenderung akan merusak protein sehingga tekstur rusak (Alamsyah, 2005). Wibowo (1995) juga menyatakan bahwa es dapat berfungsi untuk mempertahankan stabilitas emulsi dan kelembaban adonan sehingga adonan tidak kering selama pencetakan maupun perebusan

Meskipun air bukan merupakan sumber nutrien seperti bahan makanan lain, namun air merupakan salah satu unsur penting dalam bahan makanan dan sangat esensial dalam kelangsungan proses biokimiawi organisme hidup (Sudarmadji dkk., 1989). Menurut Afrianto dan Liviawaty (1991) air merupakan media yang sangat cocok bagi pertumbuhan bakteri pembusuk maupun mikroorganisme lainnya. Jasad renik yang dapat membusukkan dan memecahkan pangan tidak akan dapat tumbuh jika tiada air. Kebanyakan enzim yang dapat menyebabkan perubahan kimia yang tidak dikehendaki juga tidak dapat berfungsi tanpa adanya air (Earle, 1982).


(27)

Menurut SNI (Standar Nasional Indonesia) kadar air sosis tidak boleh melewati 67% (Chatroom.informe.com, 2010). Sedangkan menurut ”Meat Inspection Devision” dari USDA, sosis masak tidak boleh mengandung air melebihi empat kali kandungan protein ditambah 3% pada sosis masak. Penambahan air yang terlalu banyak akan menyebabkan sosis lunak, sedangkan penambahan sosis yang terlalu sedikit akan menyebabkan tekstur sosis menjadi keras (Koswara,1992).

Selanjutnya Soeparno (1994) menyatakan faktor yang mempengaruhi daya ikat air daging adalah perbedaan daya ikat air di antara otot, misalnya spesies, umur, dan fungsi otot, serta pakan, transportasi, temperatur, kelembaban, penyimpanan, dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan selama pemotongan dan lemak intramuskular. Tillman dkk (1991) juga menyatakan pengaruh umur dan jenis ternak akan mempengaruhi terhadap komposisi tubuh tenak. Terdapat hubungan terbalik antara kadar air dan lemak dalam tubuh hewan. Bila hewan bertambah tua, maka terjadi penurunan kadar air dalam pertambahan berat badan, dan sebaliknya terjadi penambahan lemak.

Kadar Protein

Daya ikat air oleh protein atau water holding capacity adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemanasan. Daya ikat air daging juga dipengaruhi oleh spesies, umur, perlakuan sebelum ternak dipotong dan lemak intramuskuler (Soeparno 1994).

Semua faktor yang mempengaruhi daya ikat air otot, juga mempunyai pengaruh yang relatif sama terhadap daging beku. Air yang keluar dari dalam


(28)

sel-sel otot sel-selama proses pembekuan dan muncul kembali sebagai drip pada saat penyegaran kembali, berhubungan dengan daya ikat air. Pada prinsipnya, jika daya ikat air meningkat, maka drip menurun (Soeparno, 1994).

Reaksi nonenzimatis yang sering terjadi selama penyimpanan bahan pangan adalah reaksi pencoklatan nonenzimatis yang juga dikenal dengan reaksi

Millard. Reaksi ini merupakan suatu hasil dari reaksi yang cukup kompleks yang

biasanya terjadi akibat pereaksi gugus gula reduksi dan gugus amino atau protein. Akibat reaksi tersebut perubahan baik sifat-sifat kimiawi dan fisiologi protein, sehinga mempengaruhi nilai gizi bahan pangan, baik pada warna dan teksturnya (Lawrie, 2003).

Protein dalam bahan makanan sangat penting dalam proses kehidupan organisme yang heterotroph seperti hewan dan manusia. Organisme heterotroph hanya dapat menggunakan protein jadi yang sudah dirakit oleh organisme

autotroph seperti tumbuh-tumbuhan. Oleh sebab itu protein yang ada di dalam

makanan sangat penting, bahkan vital bagi organisme heterotroph seperti manusia. Protein-protein tersebut berguna untuk penyusunan senyawa-senyawa biomolekul yang berperan penting dalam proses biokimiawi untuk mengganti sel-sel jaringan yang rusak (Sudarmadji dkk., 1989).

Sosis merupakan produk olahan daging yang mempunyai nilai gizi tinggi. Komposisi gizi sosis berbeda-beda, tergantung pada jenis daging yang digunakan dan proses pengolahannya. Menurut SNI, sosis yang baik minimal mengandung kadar protein sebesar 13% (Dinimantap.multiply.com, 2010).


(29)

Kadar Lemak

Lemak merupakan bahan padat pada suhu kamar, diantaranya disebabkan kandungannya yang tinggi akan asam lemak jenuh yang secara kimia tidak memiliki ikatan rangkap, sehingga memiliki titik lebur yang tinggi. Contoh lemak jenuh yang banyak terdapat di alam adalah asam palmitat dan asam stearat (Winarno, 1991).

Dalam pembentukan adonan sosis yang stabil biasanya ditambahkan lemak, baik lemak nabati maupun lemak hewani, karena disamping untuk kestabilan sosis, penambahan lemak dalam pembuatan sosis juga untuk memperoleh produk sosis yang kompak, tekstur yang empuk, dan rasa serta aroma yang lebih baik. Jumlah penambahan lemak untuk pembuatan sosis berkisar antara 5-25%. Penambahan lemak yang terlalu sedikit akan menghasilkan sosis yang keras dan kering, sedangkan jika terlalu banyak akan menghasilkan sosis yang lunak dan keriput. Menurut Meat Inspection Division dan USDA, kandungan lemak pada sosis masak tidak melebihi 30% (Purwaningsih, 2006). Sedangkan menurut SNI kandungan maksimal kadar lemak sosis adalah sebesar 25% (Chatroom.informe.com, 2010)

Dalam teknologi makanan, lemak dan minyak memegang peranan yang penting. Lemak dan minyak memberikan rasa gurih yang spesifik yang berbeda dari gurihnya protein, selain juga memberi aroma yang spesifik. Di dalam dunia teknologi pangan seperti roti, lemak dan minyak penting dalam memberikan konsistensi empuk, halus dan berlapis-lapis (Sudarmadji dkk., 1989).

Jika lemak digunakan dalam jumlah sedang, maka rasa panganan menjadi lebih baik. Banyak cita rasa dan keharuman yang menyenangkan diperoleh dari


(30)

lemak dalam pangan. Selain itu, selama proses pencernaan lemak meninggalkan perut lebih lambat dari karbohidrat dan protein, sehingga membantu menangguhkan serangan rasa lapar dan menyebabkan rasa puas pada seseorang. Lemak juga membawa vitamin A, D, E dan K, dan membantu proses pencernaan serta membantu absorbsi vitamin-vitamin tersebut dan mengangkutnya ke seluruh tubuh (Suhardjo dkk., 1985).

Lemak merupakan "bahan bakar" yang memberi manusia tenaga dua kali lebih banyak daripada jenis makanan lain. Lemak yang disimpan dalam tubuh juga berfungsi sebagai bank penyimpan tenaga. Lemak adalah bahan penyekat yang melindungi tubuh dari rasa dingin yang merusak. Lemak juga menutupi saraf-saraf tubuh. Jenis lemak yang baik yang disebut HDL itu dapat membantu menghilangkan kolesterol yang merusak dan tidak diinginkan itu dari pembuluh-pembuluh darah. Vitamin A, D, E dan K merupakan jenis vitamin yang larut dalam lemak dan tersimpan di dalam jaringan-jaringan lemak. Jadi sejumlah lemak tubuh tertentu mempunyai manfaatnya (Siswono, 2009).

Tekstur

Keempukan dan tekstur daging kemungkinan besar merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi kualitas keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem, seperti genetik, termasuk bangsa, spesies dan fisiologis, umur, manajemen, jenis kelamin dan stress, dan faktor postmortem yang diantaranya meliputi metode chilling, refrigasi, pelayuan dan pembekuan (Soeparno, 1994).

Lawrie (2003) menyatakan pergerakan otot yang aktif mengakibatkan tekstur otot tersebut terlihat kasar daripada yang tidak aktif, juga karena pengaruh


(31)

pada saat pemotongan. Purnomo (1995) juga menyebutkan ada beberapa hal yang mempengaruhi tekstur bahan pangan antara lain rasio kandungan lemak, protein, jenis protein, suhu pengolahan, kadar air dan aktivitas air. Dan menurut Soehardjoprasetojo (1993), lemak diantara kelompok-kelompok daging akan memutuskan serat-serat daging.

Organoleptik

Indera kita dapat mengatakan banyak tentang kualitas makanan kita. Hal ini dapat dipakai sebagai metode untuk menentukan tanda-tanda kualitas yang telah dititahkan oleh alam makanan kita. Kita dapat mempercayakan kepada indera kita tersebut, asalkan kita menggunakannya dan melatih menggunakannya (Ammermen, 1987).

Cita rasa makanan yang ditimbulkan oleh terjadinya rangsangan terhadap indera di dalam tubuh manusia, terutama indera pengecap. Makanan yang memiliki cita rasa tinggi adalah makan yang disajikan dengan menarik, menyebarkan bau yang sedap dan memberikan rasa yang lezat. Komponen yang berperan dalam penentuan kelezatan makanan adalah aroma makanan, bumbu masakan, keempukan dan kerenyahan makan serta tingkat pematangan dan temperatur makanan (Moehyi, 1992).

Flavour dan aroma adalah sensasi kompleks yang saling berkaitan. Flavour melibatkan rasa, bau, tekstur, temperatur dan pH. Evaluasi bau dan rasa sangat tergantung pada panel cita rasa dan flavour daging selama pemasakan. Keragaman antara individu dalam respon intensitas dan kualitas terhadap stimulus tertentu (karena beberapa faktor luar) menyebabkan pemilihan anggota panel merupakan hal yang penting (Lawrie, 2003).


(32)

Winarno (1994) menjelaskan bahwa warna dapat ditimbulkan karena reaksi kimia antara gula dan asam amino dari protein dan gula pereduksi, disamping disebabkan pula oleh warna gula yang digunakan.

Warna pada umumnya dianggap sebagai suatu sifat benda. Akan tetapi ini benar hanya dalam suatu pengertian terbatas. Suatu benda yang dilihat dalam gelap tidak mempunyai warna. Untuk mempunyai warna benda harus memantulkan, menyebarkan dan atau meneruskan energi radiasi yang dapat dilihat. Maka dari itu warna dari suatu makanan merupakan sifat cahaya dari sifat makanan tersebut. Makanan yang telah berubah karena pemanasan, pembekuan, pengeringan atau penggaraman diharapkan akan mempunyai kemampuan untuk memantulkan, menyebarkan atau meneruskan cahaya. Sehingga warna yang terlihat oleh mata adalah berkaitan dengan kualitas cahaya yang kita lihat (Desrosier, 1988). Menurut Soekarta (1990) warna merupakan sifat produk yang dapat dipandang sebagai sifat fisik (objektif) dan organoleptik (subjektif).

Warna daging dapat diukur dengan notasi atau dimensi trismulus. Mioglobin mengalami perubahan pada daging, mungkin karena penurunan pH

postmortem yang cepat. Sitokorm mempunyai pengaruh tak langsung terhadap

warna daging (Soeparno, 1994).

Untuk mengetahui tingkat kesukaan seseorang ataupun panelis dalam menilai kualitas organoleptik suatu produk masakan, diperlukan sebuah metode yang bernama uji kesukaan atau disebut juga uji hedonik. Dalam uji hedonik ini, panelis selain diminta tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaannya, mereka juga diminta untuk mengemukakan tingkat kesukaannya tersebut. Soekarto (1985) menyatakan tingkat-tingkat kesukaan ini


(33)

disebut dengan skala hedonik. Misalnya amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka dan amat sangat tidak suka serta netral, yaitu bukan suka tetapi juga bukan tidak suka (neither like no dislike). Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentangan skala yang dikehendaki. Ada banyak contoh bentuk skala hedonik dalam uji kesukaan, contohnya adalah sebagai berikut :

Tabel 3. Skala hedonik dalam uji kesukaan

Skala Hedonik Skala Numerik

Sangat suka 5

Suka 4

Biasa/netral 3

Tidak suka 2


(34)

METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November-Desember 2009 di Laboratorium Pemuliaan Ternak Departemen Peternakan dan Laboratorium Teknologi Pangan Departemen THP Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bahan dan Alat

Bahan

Bahan yang digunakan ialah daging angsa, lemak sapi, selongsong sosis (usus domba/kambing dan plastik), bahan pengikat (susu skim), bahan pengisi (tepung tapioka), bumbu (garam, gula pasir, bawang merah, bawang putih, merica, penyedap rasa), minyak makan dan es batu.

Alat

Alat-alat yang digunakan adalah mesin penggiling daging, pisau, timbangan, blender, baskom, mangkok, sendok, kompor, kuali, sutil, panci atau dandang, talenan, termometer, refrigerator dan alat tulis

Metode Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial (3x2) dengan dua faktor dan empat ulangan.

1. Faktor lemak

L0 = tanpa penambahan lemak L1 = dengan penambahan lemak 5% L2 = dengan penambahan lemak 10%


(35)

2. Faktor jenis selongsong S1 = plastik

S2 = usus domba

Adapun model matematik yang digunakan adalah:

Yijk =

μ

+

α

i +

β

j + (

αβ)

ij + ∑ijk

Dimana:

ijk = data pengamatan dari faktor I pada taraf ke-i dan faktor II pada taraf ke-j dan ulangan ke-k

μ

= nilai tengah

α

i = efek perlakuan lemak taraf ke-i

β

j = efek perlakuan jenis daging taraf ke-j

(

αβ

)

ij = efek interaksi lemak taraf ke-i dan jenis daging taraf ke-j ∑ijk = efek galat perlakuan lemak taraf ke-i dan jenis daging taraf

ke-j pada ulangan ke-k

Metode non parametrik untuk rancangan acak lengkap (RAL)

Metode non parametrik untuk rancangan acak lengkap digunakan pada parameter organoleptik rasa, aroma dan warna. Dalam metode ini digunakan Uji Kruskal-Wallis untuk menguji hipotesis sebagai berikut :

H0 : Pengaruh perlakuan semuanya sama besar atau nilai tengah (median)

perlakuan semuanya sama (u1 = u2 = ... = ut).

H1 : Minimal ada satu nilai tengah perlakuan yang tidak sama dengan lainnya.

Adapun model matematik dari metode non parametrik untuk rancangan acak lengkap yang diguunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


(36)

H = 1 [ ∑i R2ij - N (N + 1)2

S2 ri 4

]

Dimana :

H = Hipotesis penelitian dari paremeter yang diuji ri = Banyaknya ulangan pada perlakuan ke-i

N = Banyaknya pengamatan

R2ij = Pangkat (rank) dari pengamatan pada satuan percobaan (ulangan)

ke-j

Ri = Jumlah pangkat dari perlakuan ke-i

S2 = Ragam

(Gaspersz, 1995).

Parameter Penelitian

Parameter penelitian ini terdiri dari kadar air (%), kadar protein (%), kadar lemak (%), tekstur (mm/g) dan organoleptik (rasa, aroma dan warna).

Prosedur Penelitian

- Daging dicuci bersih, dipisahkan dari tulang dan kulitnya dan dipotong kecil-kecil

- Ditambahkan es batu secukupnya ke dalam masing-masing jenis daging dan kemudian digiling dengan penggiling daging

- Ditambahkan lemak sapi ke dalam masing-masing bagian daging giling sesuai perlakuan

- Garam dan semua bumbu yang telah digiling halus, tepung tapioka, tepung terigu dan penyedap dicampurkan ke dalam daging giling sampai tercampur rata dan homogen


(37)

- Setelah terbentuk emulsi ditambahkan 50 gr susu skim cair ke dalam masing-masing jenis daging dan diaduk sampai benar-benar homogen - Adonan dimasukkan ke dalam selongsong, lalu kemudian dipadatkan

hingga tidak ada gelembung udara, lalu dikukus selama + 15 menit pada suhu + 65oC. Lalu sosis kembali dikukus pada suhu + 90oC selama + 15 menit.

- Sosis kemudian didinginkan di dalam refrigerator selama 18 jam - Setelah dikeluarkan dari refrigerator sosis digoreng sampai masak

- Dilakukan analisis kadar air, kadar protein, kadar lemak dan pengujian tekstur dan organoleptik rasa dan aroma

Analisis Data

Penentuan Kadar Air

Prinsipnya dengan menguapkan air yang ada di dalam bahan dengan jalan pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan (Sudarmadji dkk., 1989). Penentuan kadar air bahan dilakukan dengan mencari selisih berat bahan sebelum dioven dengan berat bahan sesudah dioven dibagi berat bahan awal dikali seratus persen. Dengan rumus:

a – b

Kadar air = x 100%

a Keterangan:

a = berat awal sampel b = berat akhir sampel


(38)

Penentuan Kadar Protein

Kadar protein sampel dihitung dengan menentukan jumlah nitrogen dan dikalikan dengan faktor konversi 6,25. Kadar protein ditetapkan secara mikro kejdhal dengan rumus:

(b – c) x N x 0,14 x 6,25

Kadar protein = x 100%

a Keterangan:

a = bobot sampel (g)

b = titrasi blanko NaOH (ml) c = titrasi sampel NaOH (ml)

N = normalitas NaOH yang digunakan (Sudarmadji dkk., 1989)

Penentuan Kadar Lemak

Kadar lemak ditentukan dengan menentukan selisih antara berat sampel kering sebelum diekstraksi dengan berat sampel setelah diekstraksi dibagi berat sampel awal dikali seratus persen. Dengan rumus:

a – b

Kadar lemak = x 100%

a Keterangan:

a = berat sampel sebelum diekstraksi (g) b = berat sampel sesudah diekstraksi (g) (Siregar dkk., 2007)


(39)

Pengujian Tekstur

Tekstur dari setiap sampel ditentukan dengan menusukkan jarum hard teksturometer pada bagian tengah dan kedua ujungnya, lalu dicari nilai tekstur rata-ratanya (Slamet dkk., 1984). Nilai tekstur sebenarnya dicari dengan rumus:

150 1 Tekstur = x

x 10 Keterangan:

150 = beban pada alat x = rataan nilai tekstur (Sudarmadji, dkk., 1989)

Uji Organoleptik

Pengujian nilai organoleptik rasa dan aroma dilakukan dengan bantuan 15 orang panelis yang terdiri atas orang tua, dewasa dan anak-anak, lalu diambil data berdasarkan skala hedonik:

Skala Hedonik Skala Numerik

Sangat suka 5

Suka 4

Biasa 3

Kurang suka 2

Tidak suka 1


(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai kadar air pemberian lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis terhadap kualitas sosis daging angsa. Rataan nilai kadar airnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Data rataan persentase kadar air sosis daging angsa dengan penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis

Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2 3 4

L0S1 51,46 52,00 52,98 53,43 209,87 52,47

L0S2 56,32 57,03 53,04 55,36 221,75 55,44

L1S1 54,85 53,81 51,91 51,75 212,32 53,08

L1S2 52,60 58,61 59,83 55,76 226,80 56,70

L2S1 51,75 53,97 57,27 57,22 220,21 55,05

L2S2 57,14 56,09 57,62 61,00 231,85 57,96

Dari data yang tercantum pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa rataan tertinggi kadar air sosis ada pada perlakuan L2S2 (penambahan 10% lemak sapi

dengan selongsong usus domba) yaitu sebesar 57,96% dan rataan terendah ada pada perlakuan L0S1 (tanpa penambahan lemak sapi dengan selongsong plastik)

yaitu sebesar 52,47%.

Berdasarkan dari Tabel 4 maka dapat dibuat tabulasi dwikasta dari setiap total ulangan yang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Dwikasta kadar air sosis daging angsa dengan penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis

S1 S2 Total Rataan

L0 209,87 221,75 431,62 215,81

L1 212,32 226,79 439,11 219,56


(41)

Untuk mengetahui pengaruh penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis terhadap kadar air pada pembuatan sosis angsa, dapat diketahui dengan melakukan analisis ragam yang dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil analisis ragam kadar air sosis daging angsa taraf penambahan

lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis

SK DB JK KT Fhitung

Ftabel

0,05 0,01

Perlakuan 5 87,5 17,5 3,72* 2,77 4,25

Lemak 2 26,75 13,38 2,85tn 3,55 6,01

Selongsong 1 60,13 60,13 12,80** 4,41 8,28

LS 2 0,62 0,31 0,07tn 3,55 6,01

Galat 18 84,59 4,7

Total 23 172,09

Ket : ** = Sangat Berbeda Nyata * = Berbeda Nyata tn = Tidak berbeda nyata KK = 3,93%

Dari Tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata dan selongsong memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata terhadap kadar air sosis, sedangkan lemak dan interaksi antara lemak dan selongsong tidak memberikan pengaruh yang nyata.

Untuk melihat perbedaan dari masing-masing perlakuan maka dapat dilakukan Uji Beda Nyata Jujur pada taraf 1% terhadap kualitas tekstur sosis daging sapi seperti terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Uji BNJ Duncan taraf 1% terhadap kadar air sosis daging angsa dengan penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis

Perlakuan Rataan Notasi

L0S1 52,47 A

L0S2 55,44 AB

L1S1 53,08 AB

L1S2 56,70 AB

L2S1 55,05 AB

L2S2 57,97 B


(42)

Berdasarkan hasil Uji Beda Nyata Jujur pada Taraf 1% (Tabel 7) diperoleh hasil penelitian terhadap kadar air sosis daging angsa, sehingga diketahui bahwa kadar air perlakuan L2S2 yaitu sebesar 57,97% berbeda nyata dengan perlakuan

L0S1 yaitu sebesar 52,47 %.

Selongsong atau casing sosis ada dua tipe, yaitu selongsong alami dan buatan. Selongsong alami terutama berasal dari saluran pencernaan hewan ternak. Menurut Soeparno (1992) selongsong sapi dapat berasal dari oesophagus, usus kecil, usus besar bagian tengah, caecum, dan kandung kencing, sedangkan selongsong domba dan kambing normalnya berasal dari usus kecil. Dan menurut Kramlich (1973) selongsong buatan terdiri atas empat kelompok yaitu sellulosa, kolagen yang dapat dimakan, kolagen yang tidak dapat dimakan dan plastik.

Dari data tersebut di atas penulis berasumsi bahwa penggunaan selongsong alami tidak akan menjaga kandungan kadar air sosis. Hal ini dapat dilihat dari data tersebut bahwa semua perlakuan yang menggunakan selongsong usus domba mempunyai kadar air yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang menggunakan selongsong plastik. Sebagaimana Bacus (1984) menyatakan bahwa selama pengolahan sosis, selongsong alami dalam keadaan basah mudah ditembus oleh asap dan cairan. Hal ini mengakibatkan ketika tekanan osmotik di dalam sosis lebih rendah daripada kondisi lingkungan, maka cairan dapat mudah masuk ke dalam bahan. Dan sebaliknya, bila tekanan osmotik sosis lebih tinggi dibandingkan lingkungannya, maka kandungan air di dalam bahan akan meresap keluar. Data juga menunjukkan bahwa kadar air sosis tersebut masih memenuhi standar, karena menurut SNI kadar air sosis tidak boleh melewati 67% (Chatroom.informe.com, 2010)


(43)

Kadar Protein

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai kadar protein pemberian lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis terhadap kualitas sosis daging angsa. Rataan nilai kadar proteinnya dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Data rataan persentase kadar protein sosis daging angsa dengan penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis

Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2 3 4

L0S1 27,51 26,80 29,92 31,53 115,76 28,94

L0S2 28,31 28,94 30,10 31,89 119,24 29,81

L1S1 31,53 31,98 25,46 29,30 118,27 29,57

L1S2 29,74 29,57 29,74 30,55 119,60 29,90

L2S1 32,07 31,53 30,19 30,46 124,25 31,06

L2S2 30,82 32,39 30,46 33,51 127,18 31,78

Dari data yang tercantum pada Tabel 8, dapat dilihat bahwa rataan tertinggi kadar protein sosis ada pada perlakuan L2S2 (penambahan 10% lemak

sapi dengan selongsong usus domba) yaitu sebesar 31,78% dan rataan terendah ada pada perlakuan L0S1 (tanpa penambahan Lemak sapi dengan selongsong

plastik) yaitu sebesar 28,94%.

Berdasarkan dari Tabel 8 maka dapat dibuat tabulasi dwikasta dari setiap total ulangan yang dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Dwikasta kadar protein sosis daging angsa dengan penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis

S1 S2 Total Rataan

L0 115,76 119,24 235,00 117,50

L1 118,27 119,60 237,87 118,94

L2 124,24 127,18 251,42 125,71

Untuk mengetahui pengaruh penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis terhadap kadar protein pada pembuatan sosis angsa, dapat diketahui dengan melakukan analisis ragam yang dapat dilihat pada Tabel 10.


(44)

Tabel 10. Hasil analisis ragam kadar protein sosis daging angsa taraf penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis

SK DB JK KT Fhitung Ftabel

0.05 0.01

Perlakuan 5 22,04 4,41 1,39tn 2,77 4,25

Lemak 2 19,23 9,62 3,02tn 3,55 6,01

Selongsong 1 2,50 2,50 0,79tn 4,41 8,28

LS 2 0,31 0,16 0,05tn 3,55 6,01

Galat 18 57,27 3,18

Total 23 79,32

Ket : tn = Tidak berbeda nyata

Dari Tabel 10 di atas dapat dilihat bahwa perhitungan yang dilakukan mengahasilkan data F hitung yang lebih kecil dibandingkan F tabel, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perlakuan, lemak, jenis selongsong dan interaksi antar perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata atau memberikan pengaruh yang sama terhadap kadar protein sosis. Selain itu juga dapat dilihat bahwa seluruh perlakuan menghasilkan sosis yang memiliki kadar protein cukup tinggi, jauh di atas SNI yang menetapkan bahwa kadar protein sosis tidak boleh kurang dari 13% (Chatroom.informe.com, 2010).

Menurut asumsi penulis, hal ini dapat terjadi karena tidak adanya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kandungan protein bahan baik itu menambah maupun mengurangi. Sebab selongsong sosis baik yang alami yaitu usus dan yang buatan yaitu plastik tidak mempengaruhi kandungan protein bahan. Sebagaimana pernyataan Bacus (1984) menyatakan bahwa selama pengolahan sosis, selongsong alami dalam keadaan basah mudah ditembus oleh asap dan cairan, bukan oleh senyawa-senyawa kompleks seperti protein. Begitu juga dengan penambahan level lemak, tidak ada perbedaan yang nyata antara kandungan protein sosis yang ditambahkan lemak maupun yang tidak, hal ini disebabkan karena lemak tidak mempengaruhi kandungan protein suatu bahan, melainkan hanya berperan pada


(45)

citarasa makanan. Hal ini jelas dinyatakan oleh Purwaningsih (2006) yang menyatakan bahwa disamping untuk kestabilan sosis, penambahan lemak dalam pembuatan sosis juga untuk memperoleh produk sosis yang kompak, tekstur yang empuk, dan rasa serta aroma yang lebih baik. Oleh karena itulah seberapa besarpun penambahan lemak yang dilakukan pada suatu bahan makanan, tidak akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan proteinnya.

Kadar Lemak

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai kadar lemak dari pemberian lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis terhadap kualitas sosis daging angsa seperti terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Data rataan persentase kadar lemak sosis daging angsa taraf penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis.

Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2 3 4

L0S1 24,63 24,96 22,37 23,79 95,75 23,94

L0S2 21,24 26,32 18,00 16,18 81,74 20,44

L1S1 24,91 25,30 24,34 28,36 102,91 25,73

L1S2 24,31 26,40 19,17 23,79 93,67 23,42

L2S1 33,11 27,84 34,79 26,51 122,25 30,56

L2S2 22,24 27,88 28,67 29,60 108,39 27,10

Dari data yang tercantum pada Tabel 11, dapat dilihat bahwa rataan tertinggi kadar lemak sosis ada pada perlakuan L2S1 (penambahan 10% lemak sapi

dengan selongsong plastik) yaitu sebesar 30,56% dan rataan terendah ada pada perlakuan L0S2 (tanpa penambahan Lemak sapi dengan selongsong usus domba)

yaitu sebesar 20,44%.

Berdasarkan dari Tabel 11 maka dapat dibuat tabulasi dwikasta dari setiap total ulangan yang dapat dilihat pada Tabel 12.


(46)

Tabel 12. Dwikasta kadar lemak sosis daging angsa

S1 S2 Total Rataan

L0 95,74 81,74 177,48 88,74

L1 102,91 93,67 196,58 98,29

L2 122,25 108,39 230,64 115,32

Untuk mengetahui pengaruh penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis terhadap kadar lemak pada pembuatan sosis angsa, dapat diketahui dengan melakukan analisis ragam yang dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Hasil analisis ragam kadar lemak sosis daging angsa dengan penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis

SK DB JK KT Fhitung Ftabel

0,05 0,01

Perlakuan 5 340,47 68,09 6,73** 2,77 4,25

Lemak 2 181,29 90,65 8,96** 3,55 6,01

Selongsong 1 57,35 57,35 5,67* 4,41 8,28

LS 2 1,83 0,92 0,09tn 3,55 6,01

Galat 18 182,04 10,11

Total 23 422,51

Ket : ** = Berbeda Sangat Nyata * = Berbeda Nyata tn = Tidak berbeda nyata KK = 12,62%

Dari Tabel 13 di atas dapat dilihat bahwa penambahan lemak memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata sedangkan penggunaan selongsong sosis memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar lemak sosis. Namun interaksi antara lemak dan selongsong tidak memberikan pengaruh yang nyata.

Untuk melihat perbedaan dari masing-masing perlakuan maka dapat dilakukan Uji Beda Nyata Terkecil pada taraf 1% terhadap kadar lemak sosis daging sapi seperti terlihat pada Tabel 14.


(47)

Tabel 14. Uji BNT pada taraf 1% terhadap kadar lemak sosis daging angsa dengan penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis

Perlakuan Rataan Notasi

L0S1 23,93 AB

L0S2 20,43 A

L1S1 25,73 AB

L1S2 23,42 AB

L2S1 30,56 B

L2S2 27,10 AB

Ket : Notasi yang sama pada perlakuan yang brebeda menunjukkan hasil yang tidak nyata

Berdasarkan hasil Uji Beda Nyata Terkecil pada Taraf 1% (Tabel 14) diperoleh hasil penelitian terhadap kadar lemak sosis daging angsa, sehingga diketahui bahwa rataan kadar lemak tertinggi yang terdapat pada perlakuan L2S1

yaitu sebesar 30,56% berbeda nyata dengan rataan kadar lemak terendah yang terdapat pada perlakuan L0S2 yaitu sebesar 20,43 %.

Dari data tersebut, penulis berasumsi bahwa perlakuan penambahan level lemak ke dalam sosis sangat berpengaruh nyata terhadap kandungan lemak sosis itu sendiri. Hal ini dapat dengan mudah kita pahami bahwa semakin banyak lemak yang kita tambahkan ke dalam suatu bahan makanan, maka kandungan lemak bahan makanan tersebut juga akan bertambah. Penambahan lemak ke dalam sosis bertujuan untuk menghasilkan sosis yang memiliki kualitas yang baik. Sebagaimana pernyataan Purwaningsih (2006) yang menyatakan bahwa disamping untuk kestabilan sosis, penambahan lemak dalam pembuatan sosis juga untuk memperoleh produk sosis yang kompak, tekstur yang empuk, dan rasa serta aroma yang lebih baik.

Meskipun demikian, penambahan lemak tidak dapat dilakukan secara berlebihan, sebab menurut Purwaningsih (2006) penambahan lemak ke dalam sosis hanya berkisar antara 5-25% saja. Sedangkan menurut Meat Inspection


(48)

30%. Dan bila kita lihat hasil penelitian di atas, hanya perlakuan L2S2 saja yang

memiliki kadar lemak sedikit di atas batas persyaratan sosis masak yang baik, yaitu sebesar 30,56%. Namun bila kita menggunakan SNI, maka penambahan lemak sebesar 10% pada sosis angsa sangat tidak dianjurkan, karena akan menghasilkan kadar lemak lebih dari standar maksimum yaitu 25% .

Tekstur

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai tekstur pemberian lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis terhadap kualitas sosis daging angsa. Rataan nilai teksturnya dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Data nilai tekstur sosis daging angsa dengan penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis (g/mm3).

Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2 3 4

L0S1 45,33 39,00 39,00 38,67 162,00 40,50

L0S2 88,67 43,33 37,33 45,33 214,66 53,66

L1S1 45,00 31,67 23,67 19,00 119,34 29,84

L1S2 85,00 74,33 87,33 90,79 337,45 84,36

L2S1 31,67 26,67 23,33 30,33 112,00 28,00

L2S2 69,67 68,67 53,67 86,67 278,68 69,67

Dari data yang tercantum pada Tabel 15, dapat dilihat bahwa rataan tertingi tekstur sosis tertinggi ada pada perlakuan L1S2 (penambahan 5% lemak

sapi dengan selongsong usus domba) yaitu sebesar 84,36 g/mm3 dan rataan terendah ada pada perlakuan L2S1 (penambahan 10% lemak sapi dengan

selongsong plastik) yaitu sebesar 28,00 g/mm3.

Berdasarkan dari Tabel 15 maka dapat dibuat tabulasi dwikasta dari setiap total ulangan yang dapat dilihat pada Tabel 16.


(49)

Tabel 16. Dwikasta nilai tekstur sosis daging angsa dengan penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis

S1 S2 Total Rataan

L0 162.00 214.66 376.66 188.33

L1 119.34 336.66 456.00 228.00

L2 112.00 278.68 390.68 195.34

Untuk mengetahui pengaruh penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis terhadap nilai tekstur pada pembuatan sosis angsa, dapat diketahui dengan melakukan analisis ragam yang dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Hasil analisis ragam nilai tekstur sosis daging angsa taraf penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis

SK DB JK KT Fhitung Ftabel

0,05 0,01

Perlakuan 5 10171,16 2034,23 12,99** 2,77 4,25

Lemak 2 448,25 224,13 1,43tn 3,55 6,01

Selongsong 1 7944,66 7944,66 8,94** 4,41 8,28

LS 2 1778,25 889,12 2,60tn 3,55 6,01

Galat 18 2818,36 156,58

Total 23 12989,52

Ket : ** = Berbeda Sangat Nyata tn = Tidak berbeda nyata KK = 24.54%

Dari Tabel 17 di atas dapat dilihat bahwa perlakuan dan selongsong memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata. Sedangkan lemak dan interaksi antara lemak dan selongsong tidak memberikan pengaruh yang nyata.

Untuk melihat perbedaan dari masing – masing perlakuan maka dapat dilakukan Uji Duncan pada taraf 1% terhadap kualitas tekstur sosis daging sapi seperti terlihat pada Tabel 18.


(50)

Tabel 18. Uji Duncan pada taraf 1% terhadap nilai tekstur sosis daging angsa

Perlakuan Rataan Notasi

L0S1 28,000 A

L0S2 53,665 AB

L1S1 29,835 A

L1S2 69,670 BC

L2S1 40,500 A

L2S2 84,165 C

Ket : Notasi yang sama pada perlakuan yang brebeda menunjukkan hasil yang tidak nyata

Berdasarkan hasil Uji Duncan pada Taraf 1% (Tabel 18) diperoleh hasil penelitian terhadap nilai tekstur sosis daging angsa, sehingga diketahui bahwa rataan nilai tekstur tertinggi yang terdapat pada perlakuan L2S2 yaitu

84,165 g/mm3 berbeda nyata dengan perlakuan L0S2, L2S1, L1S1 dan rataan tekstur

terendah yang terdapat pada perlakuan L0S1 yaitu 28,0 g/mm3.

Bila kita melihat data pada tabel di atas, kita akan mengetahui dengan jelas bahwa semua perlakuan yang manggunakan selongsong usus memiliki nilai tekstur yang lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan yang menggunakan selongsong plastik. Sedangkan bila kita melihat nilai tekstur berdasarkan perlakuan lemak, maka hasil yang ditunjukkan tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan selongsong lebih berperan dalam menentukan nilai tekstur sosis.

Hal ini dapat terjadi karena adanya pengaruh kadar air. Sebagaimana kita ketahui bahwa penggunaan selongsong alami seperti usus domba dapat menyebabkan perembesan air keluar dari sosis, sebagaimana Bacus (1984) menyatakan bahwa selama pengolahan sosis, selongsong alami dalam keadaan basah mudah ditembus oleh asap dan cairan. Sehingga dengan berkurangnya kadar air di dalam sosis akan mengakibatkan tekstur sosis menjadi lebih keras. Hal ini juga sesuai dengan Purnomo (1995) yang menyatakan bahwa ada beberapa


(51)

hal yang mempengaruhi tekstur bahan pangan seperti rasio kandungan lemak, protein, jenis protein, suhu pengolahan, kadar air dan aktivitas air.

Organoleptik

a. Rasa

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai organoleptik rasa pemberian lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis terhadap kualitas sosis daging angsa. Rataan nilainya dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Data nilai organoleptik rasa sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis

Perlakuan

Ulangan

1 2 3 4

L0S1 1 4 3 3

L0S2 3 4 4 3

L1S1 3 5 3 4

L1S2 5 3 4 4

L2S1 2 5 3 3

L2S2 3 4 3 4

Ket : Nilai 1 = Tidak Suka

Ket : Nilai 2 = Kurang Suka

Ket : Nilai 3 = Biasa

Nilai 4 = Suka

Ket : Nilai 5 = Sangat Suka

Melalui cara pemberian pangkat (rank) pada nilai rasa sosis pada Tabel 19 (Lampiran 25), maka data penelitian rasa sosis daging angsa setelah diberi pangkat dapat dilihat pada Tabel 20.


(52)

Perlakuan Median Total

1 2 3 4

L0S1 1 17,5 8,8 8,8 36,10

L0S2 8,8 17,5 17,5 8,8 52,60

L1S1 8,8 23 8,8 17,5 58,10

L1S2 23 8,8 17,5 17,5 66,80

L2S1 2 23 8,8 8,8 42,60

L2S2 8,8 17,5 8,8 17,5 52,60

Dari data organoleptik rasa setelah diberi pangkat pada Tabel 20 diperoleh median tertinggi pada perlakuan L1S2 sebesar 66,00 dan nilai tengah terendah

terdapat pada perlakuan L0S1 sebesar34,50.

Untuk melihat pengaruh dari perlakuan yang diberikan terhadap rasa sosis daging angsa dengan penambahan lemak dan penggunaan dua jenis selongsong maka dapat dilakukan Uji Kruskal – Wallis seperti pada Tabel 21.

Tabel 21. Uji Kruskal – Wallis data organoleptik rasa sosis daging sapi

SK DB ∑Median ∑Median/Ulangan S2 H X2α, t – 1

Perlakuan 5 4893,84 4122,34 49,73 7,49tn 15,10

Ket : tn = Tidak Berbeda Nyata

Berdasarkan Uji Kruskal – Wallis dari data organoleptik rasa sosis daging angsa dengan penambahan lemak dan penggunaan dua jenis selongsong sosis diperoleh hipotesis sebesar 7,49. Karena hipotesis lebih kecil daripada nilai khi-kuadrat dengan derajat 11 pada Taraf 1% yaitu 15,10 (H ≤ X2α, t – 1) maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penambahan lemak dan penggunaan jenis selongsong sosis memberikan pengaruh yang sama terhadap rasa sosis daging angsa.

Data dan perhitungan tersebut menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasa sosis, walaupun nilai tertinggi terdapat pada perlakuan L1S2 yaitu sebesar 66,80 dan terendah pada perlakuan


(53)

memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata. Hal ini dapat terjadi karena semua panelis pada setiap perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata. Moehyi (1992) menyatakan bahwa komponen yang berperan di dalam penentuan kelezatan makanan adalah aroma, bumbu masak, keempukan, kerenyahan, serta tingkat pemasakan dan suhu makanan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa semua perlakuan menghasilkan aroma, kelezatan dan keempukan yang relatif sama.

b. Aroma

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai organoleptik aroma pemberian lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis terhadap kualitas sosis daging angsa. Rataan nilainya dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Data nilai organoleptik aroma sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis

Perlakuan

Ulangan

1 2 3 4

L0S1 1 4 3 1

L0S2 1 3 4 2

L1S1 4 5 4 3

L1S2 4 3 3 4

L2S1 1 5 4 2

L2S2 1 4 4 3

Ket : Nilai 1 = Tidak Suka

Ket : Nilai 2 = Kurang Suka

Ket : Nilai 3 = Biasa

Nilai 4 = Suka

Ket : Nilai 5 = Sangat Suka

Melalui cara pemberian pangkat (rank) pada nilai aroma sosis dari Tabel 22 (Lampiran 30), maka data penelitian aroma sosis daging angsa dapat dilihat pada Tabel 23.


(54)

Tabel 23. Pangkat (rank) untuk nilai aroma sosis daging angsa

Perlakuan

Median

Total

Median 1 Median 2 Median 3 Median 4

L0S1 3 18 10,5 3 34,50

L0S2 3 10,5 18 6,5 38,00

L1S1 18 23,5 18 10,5 70,00

L1S2 18 10,5 10,5 18 57,00

L2S1 3 23,5 18 6,5 51,00

L2S2 3 18 18 10,5 49,50

Dari data organoleptik aroma pada Tabel 23 diperoleh median tertinggi pada perlakuan L1S1 sebesar 70,00 dan nilai tengah terendah terdapat pada

perlakuan L0S1 sebesar34,50.

Untuk melihat pengaruh dari perlakuan yang diberikan terhadap aroma sosis daging angsa dengan penambahan lemak dan penggunaan dua jenis selongsong maka dapat dilakukan Uji Kruskal – Wallis seperti disajikan pada Tabel 24.

Tabel 24. Uji Kruskal – Wallis data organoleptik aroma sosis daging sapi

SK DB ∑Median ∑Median/Ulangan S2 H X2α, t -1

Perlakuan 5 4811,50 3958,63 46,15 4,52tn 15,10

Ket : tn = Tidak Berbeda Nyata

Berdasarkan Uji Kruskal-Wallis dari data organoleptik aroma sosis daging angsa dengan penambahan lemak dan penggunaan dua jenis selongsong sosis diperoleh hipotesis sebesar 4,52. Karena hipotesis lebih kecil daripada nilai khi-kuadrat dengan derajat 11 pada Taraf 1% yaitu sebesar 15,10 (H ≤ X2α, t – 1) maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan penambahan lemak dan penggunaan dua jenis selongsong sosis memberikan pengaruh yang sama terhadap aroma sosis daging angsa.

Dari hasil data dan perhitungan menunjukkan bahwa semua perlakuan memberikan aroma yang sama. Hal ini dapat dilihat dari hasil pada Tabel 23,


(55)

bahwa uji organoleptik yang dilakukan oleh panelis memberikan hasil yang relatif sama. Hal ini dapat terjadi karena sebagian panelis yang menyukai aroma sosis dengan perlakuan tertentu dan sebagian panelis lain tidak menyukai aroma tersebut. Demikian juga dengan panelis yang lain, ada yang menyukai aroma sosis yang disukai oleh panelis sebelumnya dan ada juga yang tidak. Hal ini mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda setelah dilakukan rekapitulasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ammermen (1987) yang menyatakan bahwa panca indera manusia dapat menentukan nilai organoleptik terhadap kualitas suatu makanan.

Hal ini didukung oleh pernyataan Lawrie (2003) yang menyatakan bahwa flavour dan aroma adalah sensasi kompleks yang saling berkaitan. Flavour melibatkan rasa, bau, tekstur, temperatur dan pH. Evaluasi bau dan rasa sangat tergantung pada panel cita rasa dan flavour daging selama pemasakan, keragaman antara individu dalam respon intensitas dan kualitas terhadap stimulus tertentu.

c. Warna

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai organoleptik warna pemberian lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis terhadap warna sosis daging angsa. Rataan nilainya dapat dilihat pada Tabel 25.


(56)

Tabel 25. Data nilai organoleptik warna sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis

1

Perlakuan

Ulangan

1 2 3 4

L0S1 3 4 4 3

L0S2 3 3 3 4

L1S1 4 4 4 3

L1S2 3 3 4 4

L2S1 4 4 4 3

L2S2 3 3 3 4

Ket : Nilai 1 = Coklat keputihan

Ket : Nilai 2 = Coklat kekuningan

Nilai 3 = Coklat

Ket : Nilai 4 = Coklat kemerahan

Ket : Nilai 5 = Coklat gelap

Melalui cara pemberian pangkat (rank) pada nilai warna sosis pada Tabel 25 (Lampiran 30), maka nilai warna sosis daging angsa setelah diberi pangkat dapat dilihat pada Tabel 26.

Tabel 26. Pangkat (rank) untuk nilai warna sosis daging angsa

Perlakuan

Median

Total

Median 1 Median 2 Median 3 Median 4

L0S1 6,5 18,5 18,5 6,5 50

L0S2 6,5 6,5 6,5 18,5 38

L1S1 18,5 18,5 18,5 6,5 62

L1S2 6,5 6,5 18,5 18,5 50

L2S1 18,5 18,5 18,5 6,5 62

L2S2 6,5 6,5 6,5 18,5 38

Dari data organoleptik warna setelah diberi pangkat pada Tabel 26 diperoleh median tertinggi pada perlakuan L1S1 dan L2S1 sebesar 62,0 dan nilai

tengah terendah terdapat pada perlakuan L0S2 dan L2S2 sebesar38,0.

Untuk melihat pengaruh dari perlakuan yang diberikan terhadap warna sosis daging angsa dengan penambahan lemak dan penggunaan dua jenis selongsong maka dapat dilakukan Uji Kruskal – Wallis seperti pada Tabel 27.


(57)

Tabel 27. Uji Kruskal – Wallis data organoleptik warna sosis daging angsa SK DB ∑Median ∑Median/Ulangan S2 H X2α, t – 1

Perlakuan 5 4614.00 3894.00 37.57 3.83tn 15.10

Ket : tn = Tidak Berbeda Nyata

Berdasarkan Uji Kruskal-Wallis dari data organoleptik warna sosis daging angsa dengan penambahan lemak dan penggunaan dua jenis selongsong sosis diperoleh hipotesis sebesar 3,83. Karena hipotesis lebih kecil daripada nilai khi-kuadrat dengan derajat 11 pada Taraf 1% yaitu 15,10 (H ≤ X2α, t – 1) maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan penambahan lemak dan penggunaan dua jenis selongsong, memberikan pengaruh yang sama terhadap warna sosis daging angsa.

Menurut Soekarta (1990) warna merupakan sifat produk yang dapat dipandang sebagai sifat fisik (Objektif) dan Organoleptik (subjektif). Warna dapat ditimbulkan karena reaksi kimia antara gula dan asam amino dari protein dan gula pereduksi, disebabkan karena warna gula yang digunakan (Winarno, 1994). Oleh karena dari hasil Uji Kruskal-Wallis di atas menunjukkan bahwa semua perlakuan memberi pengaruh yang sama yaitu penilaian warna sosis yang dihasilkan dapat bersifat objektif maupun subjektif. Sehingga hasil penilaian selain dipengaruhi oleh perlakuan juga dipengaruhi oleh panelis yang menunjukkan bahwa semua perlakuan yang diberikan tidak memberi pengaruh yang signifikan. Hal ini dapat disebabkan karena selongsong usus domba yang digunakan memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap warna sosis, sama seperti pada selongsong plastik.


(1)

Lampiran 25. Data pemberian Pangkat (rank) pada nilai organoleptik rasa sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis

No. urut Nilai organoleptik Jumlah rank Nilai median

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 88 8,8

4 3 88 8,8

5 3 88 8,8

6 3 88 8,8

7 3 88 8,8

8 3 88 8,8

9 3 88 8,8

10 3 88 8,8

11 3 88 8,8

12 3 88 8,8

13 3 88 8,8

14 4 140 17,5

15 4 140 17,5

16 4 140 17,5

17 4 140 17,5

18 4 140 17,5

19 4 140 17,5

20 4 140 17,5

21 4 140 17,5

22 5 69 23

23 5 69 23

24 5 69 23

Lampiran 26. Hasil pemberian pangkat (rank) nilai organoleptik rasa sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis

Perlakuan Median Total

1 2 3 4

L0S1 1 17,5 8,8 8,8 36,10 L0S2 8,8 17,5 17,5 8,8 52,60 L1S1 8,8 23 8,8 17,5 58,10

L1S2 23 8,8 17,5 17,5 66,80

L2S1 2 23 8,8 8,8 42,60 L2S2 8,8 17,5 8,8 17,5 52,60


(2)

Lampiran 27. Hasil pemberian pangkat (rank) nilai organoleptik rasa sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis

0 10 20 30 40 50 60 70

N

il

ai

or

ga

nol

ept

ik r

as

a

S1 S2

Jenis selongsong

L0

L1

L2

Lampiran 28. Uji kruskal – wallis data organoleptik rasa sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis

SK DB ∑Median ∑Median/Ulangan S2 H X2α, t – 1

Perlakuan 5 4893,84 4122,34 49,73 7,49tn 15,10

Ket : tn = Tidak Berbeda Nyata

Lampiran 29. Data nilai organoleptik aroma sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis

Perlakuan

Ulangan

1 2 3 4

L0S1 1 4 3 1

L0S2 1 3 4 2

L1S1 4 5 4 3

L1S2 4 3 3 4

L2S1 1 5 4 2

L2S2 1 4 4 3

Ket : Nilai 1 = Tidak Suka

Ket : Nilai 2 = Kurang Suka

Ket : Nilai 3 = Biasa Nilai 4 = Suka


(3)

Lampiran 30. Data pemberian Pangkat (rank) pada nilai organoleptik aroma sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis

No. Urut nilai organoleptik jumlah rank nilai median

1 1 15 3

2 1 15 3

3 1 15 3

4 1 15 3

5 1 15 3

6 2 13 6,5 7 2 13 6,5 8 3 63 10,5 9 3 63 10,5 10 3 63 10,5 11 3 63 10,5 12 3 63 10,5 13 3 63 10,5 14 4 162 18

15 4 162 18

16 4 162 18

17 4 162 18

18 4 162 18

19 4 162 18

20 4 162 18

21 4 162 18

22 4 162 18

23 5 47 23,5

24 5 47 23,5

Lampiran 31. Hasil pemberian pangkat (rank) nilai organoleptik aroma sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis

Perlakuan

Median

Total Median 1 Median 2 Median 3 Median 4

L0S1 3 18 10,5 3 34,50 L0S2 3 10,5 18 6,5 38,00 L1S1 18 23,5 18 10,5 70,00 L1S2 18 10,5 10,5 18 57,00 L2S1 3 23,5 18 6,5 51,00 L2S2 3 18 18 10,5 49,50


(4)

Lampiran 32. Hasil pemberian pangkat (rank) nilai organoleptik aroma sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis.

0 10 20 30 40 50 60 70

N

il

ai

or

ga

nol

ept

ik a

rom

a

S1 S2

Jenis selongsong

L0

L1

L2

Lampiran 33. Uji kruskal – wallis data organoleptik aroma sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis

SK DB ∑Median ∑Median/Ulangan S2 H X2α, t - 1

Perlakuan 5 4811,50 3928,11 46,15 4,52tn 15,10

Ket : tn = Tidak Berbeda Nyata

Lampiran 34. Data nilai organoleptik warna sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis

Perlakuan

Ulangan

1 2 3 4

L0S1 3 4 4 3

L0S2 3 3 3 4

L1S1 4 4 4 3

L1S2 3 3 4 4

L2S1 4 4 4 3

L2S2 3 3 3 4

Ket : Nilai 1 = Coklat keputihan

Ket : Nilai 2 = Coklat kekuningan Nilai 3 = Coklat

Ket : Nilai 4 = Coklat kemerahan


(5)

Lampiran 35. Data pemberian Pangkat (rank) pada nilai organoleptik warna sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis

No. Urut nilai organoleptik jumlah rank nilai median

1 3 78 6,5

2 3 78 6,5

3 3 78 6,5

4 3 78 6,5

5 3 78 6,5

6 3 78 6,5

7 3 78 6,5

8 3 78 6,5

9 3 78 6,5

10 3 78 6,5

11 3 78 6,5

12 3 78 6,5

13 4 222 18,5

14 4 222 18,5

15 4 222 18,5

16 4 222 18,5

17 4 222 18,5

18 4 222 18,5

19 4 222 18,5

20 4 222 18,5

21 4 222 18,5

22 4 222 18,5

23 4 222 18,5

24 4 222 18,5

Lampiran 36. Hasil pemberian pangkat (rank) nilai organoleptik warna sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis

Perlakuan

Median

Total Median 1 Median 2 Median 3 Median 4

L0S1 6,5 18,5 18,5 6,5 50

L0S2 6,5 6,5 6,5 18,5 38

L1S1 18,5 18,5 18,5 6,5 62

L1S2 6,5 6,5 18,5 18,5 50

L2S1 18,5 18,5 18,5 6,5 62


(6)

Lampiran 37. Hasil pemberian pangkat (rank) nilai organoleptik warna sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis

0 10 20 30 40 50 60 70

N

il

ai

or

ga

nol

ept

ik w

ar

na

S1 S2

Jenis selongsong

L0

L1

L2

Lampiran 38. Uji kruskal – wallis data organoleptik warna sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis

SK DB ∑Median ∑Median/Ulangan S2 H X2α, t – 1

Perlakuan 5 4614,00 3894,00 37,57 3,83tn 15,10