Pengaruh Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga Terhadap Pengelolaan Hutan

PENGARUH KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT
KAMPUNG NAGA TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN

CITRA PRATIWI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kearifan
Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga Terhadap Pengelolaan Hutan adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Citra Pratiwi
NIM I34120062

ABSTRAK
CITRA PRATIWI. Pengaruh Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga
Terhadap Pengelolaan Hutan. Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO.
Kearifan lokal, nilai, norma, dan aturan-aturan masyarakat adat yang bermukim
di sekitar hutan mempunyai relasi yang kuat dengan kelestarian hutan di sekitarnya.
Penelitian ini bertujuan, pertama, menganalisis sejauh mana kearifan lokal masyarakat
Kampung Naga berperan terhadap perlindungan dan pengelolaan hutan. Kedua,
menganalisis strategi nafkah komunitas Kampung Naga. Penelitian menggunakan
penelitian kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Hasil penelitian
menunjukkan, pertama, proses ajar kearifan lokal di Kampung Naga, berlangsung melalui
dua saluran. Saluran pertama melalui ruang keluarga atau rumah tangga. Saluran kedua
berlangsung melalui ruang kampung. Dalam ruang keluarga/rumah tangga berlangsung
proses ajar tentang perilaku sehari-hari, cara berpakaian, cara memasak, hingga cara
budidaya padi. Pemimpin adat, sesepuh, dan ustadz tidak banyak berperan di ruang ini. Di
dalam ruang kampung berlangsung proses ajar tentang upacara adat, cara pemanfaatan

hutan, cara budidaya di kawasan hutan, hingga pembangunan rumah. Mereka yang
berperan besar dalam proses ajar ini adalah pemimpin adat, sesepuh, menyusul terakhir
adalah warga komunitas Kampung Naga. Hasil yang kedua, dengan berbagai luas
penguasaan lahan, sektor pertanian (on farm) masih memberikan sumbangan terbesar
terhadap pendapatan total rumah tangga (>65 persen). Mata pencaharian warga umumnya
merupakan perpaduan dari usaha tani (on farm), usaha anyaman bambu (off farm), dan
jasa secara terbatas (pedagang, atau buruh).
Kata kunci: pengelolaan hutan, kearifan lokal, strategi nafkah

ABSTRACT
CITRA PRATIWI. Local Wisdom and Forest Management of Kampung Naga
Customary Community. Supervised by Soeryo Adiwibowo.
Local wisdom, values, norms and rules of customary community living nearby
forest mostly has tied relations with forest ecosystem. The objective of the study is, first,
to analyse the role of local wisdom of the Kampung Naga community to forest use and
protection. Second, to analyse the livelihood strategy of the Kampung Naga community.
A mixed of quantitative and quantitative approach is applied. The results show that, first,
the wisdom for forest management are transferred and passing from generations to
generations through family unit and local community. Daily behaviour and attitude,
fashion manner, cooking, domestic activities, and paddy rice field culture are transmitted

through member of the family or household. The adat leaders, the elders, and the local
ulama are not involve in these matters. Meanwhile, community rituals, forest usage and
its taboo, cultivation at forest area, as well as housing construction are transmitted
through community sphere in particular adat leaders, the elders, and the local ulama. The
second result, with regards to livelihood strategy, on-farm activities are the biggest
contributor to the household income (65 percent) followed by off-farm and non-farm
activities.
Keywords: Forest management, local wisdom, livelihood strategy

PENGARUH KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT
KAMPUNG NAGA TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN

CITRA PRATIWI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat


SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PRAKATA
Puji dan Syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan Skripsi
berjudul “Pengaruh Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga Terhadap
Pengelolaan Hutan” ini dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi
syarat mendapat gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik
karena dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan rasa terimakasih kepada:
1. Dr. Ir Soeryo Adiwibowo, MS sebagai pembimbing yang telah memberikan
kritik dan saran yang membangun selama proses penulisan hingga
penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Boyke Suhendra (alm) dan Ibu Tuti Supriati, yang selalu berdoa dan
senantiasa melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis.
3. Indra Pratama, Yuri, dan Alhkalifi Attallah Pratama yang senantiasa
memberikan dukungan serta keceriannya.
4. Masyarakat Kampung Naga yang telah menerima dan membantu penulis
dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih untuk keramahan dan
keterbukaannya selama penulis melakukan penelitian.
5. Nurzalina Fatimah Azzahra, Rini Yuliawati, Nevi Arifiyanti, dan Farah Siti
Zakiyah yang selalu menjadi tempat curahan hati penulis.
6. Sahabat sahabat seperantauan Azkiyyatus Syariifah, Alia Nisfi Jayanti,
Widya Amaliah, Sri Agustin Maulani, Egi Nurridwan, Dijako R Julistianto,
Yosafat M Manalu, Muhammad Syukur, Vanya Annisaningrum, Rizky
Anggraini, Mona Elsahawi, Ninda Rahayu, Parti Mardiani, Rima Aulia
Rahmah yang senantiasa menjadi tempat diskusi, semangat, dan keceriannya
selama proses penulisan.
7. Teman-teman SKPM 49 yang selalu memberikan semangat dan
dukungannya.
8. Teman-teman satu dosen pembimbing Nadya dan Esa yang bersama-sama
berjuang dan saling mendukung untuk mendapatkan gelar S.kpm.
9. Teman-teman yayasan Sanggar Juara, Anggota Kosan Alquds, Himalaya IPB,

dan INDEX 2015 yang senantiasa selalu memberikan semangat, dan doa.
10. Saepul Mubarok dan Fadli Alamsyah yang telah memberikan semangat dan
setia menemani selama proses penulisan.
Bogor, Agustus 2016
Citra Pratiwi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Hutan
Strategi Nafkah
Kearifan Lokal
Proses Ajar Melalui Tatanan Adat

Kepemimpinan
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
PENDEKATAN LAPANG
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu
Teknik Pemilihan Responden dan Informan
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
KEHIDUPAN KOMUNITAS KAMPUNG NAGA
Sejarah Komunitas Kampung Naga
Tata Ruang Kampung Naga
Tingkat Pendidikan Komunitas Kampung Naga
Mata Pencaharian dan Penguasaan Lahan
STRATEGI NAFKAH KOMUNITAS KAMPUNG NAGA
PROSES AJAR DAN KEPEMIMPINAN
Proses Ajar Pada Komunitas Kampung Naga
Proses Ajar

Peran
Orang tua
Ustadz
Pemimpin Adat
Sesepuh
Lingkungan sosial (Tetangga)
Kepemimpinan
KEARIFAN LOKAL DAN KELESTARIAN HUTAN
Nilai-Nilai yang Mendasari Kearifan Lokal
Kearifan Lokal dalam Penataan Ruang Kampung dan Perumahan
Kearifan Lokal dalam Perlindungan Hutan
KESIMPULAN DAN SARAN

vi
vi
vi
1
14
3
4

5
7
7
12
13
16
16
18
19
21
21
21
21
22
23
24
29
31
31
32

34
37
41
49
49
52
52
52
52
52
52
52
53
57
57
59
61
75

Simpulan

Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

75
76
77
83
101

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Uji statistik realibilitas
Jenis dan metode pengumpulan data
Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi
anggota keluarga pertama responden
Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi
anggota keluarga kedua responden
Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi
anggota keluarga ketiga responden
Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi
anggota keluarga keempat responden
Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi
anggota keluarga kelima responden
Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori luas
lahan yang dikuasai di dalam kawasan Kampung Naga
Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori luas
penguasaan lahan di luar kawasan kampung naga
Jenis dan vegetasi pada hutan alami Kampung Naga yang
dimanfaatkan komunitas Kampung Naga.
Jumlah dan jenis strategi nafkah rumah tangga responden menurut
kategori kombinasi strategi nafkah On Farm, Off Farm, dan Non Farm
Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori luas
lahan yang dikuasai di dalam dan di luar kawasan Kampung Naga
Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori
pendapatan di sektor On Farm
Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori
pendapatan di sektor Off Farm
Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori
pendapatan di sektor Non Farm
Jumlah dan persentase responden menurut kategori pendapatan dari
berbagai sektor nafkah
Data jumlah pendapatan rumah tangga responden dari berbagai
kontribusi sektor pendapatan menurut luas penguasaan lahan
Jumlah dan persentase responden menurut peranan proses ajar di
kalangan komunitas Kampung Naga (%).
Jumlah dan persentase persepsi responden mengenai pemimpin adat
menurut kategori tipe kepemimpinan
Status pemegang hak kepemilikan
Aturan hukum norma adat di hutan garapan kawasan Kampung Naga.
Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut sumber
perolehan kayu untuk bahan bangunan
Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut tren
perubahan selama 10 tahun terakhir pada bahan kayu bangunan
Tabulasi silang antara sumber perolehan kayu bangunan pada tren
perubahan 10 tahun terakhir pada kayu bangunan
Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut sumber
perolehan bambu

22
23
35
35
36
36
36
38
39
40
43
44
45
45
46
46
47
52
55
64
66
67
68
68
69

26
27
28
29
30
31
32

Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut tren
perubahan selama 10 tahun terakhir pada keberadaan bambu
Tabulasi silang antara sumber perolehan bahan bambu dengan tren
perubahan 10 terakhir pada keberadaan bambu
Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut sumber
perolehan hortikultur
Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut tren
perubahan selama 10 tahun terakhir pada tanaman hortikultur
Tabulasi silang sumber perolehan tanaman hortikultur dengan tren
perubahan 10 tahun terakhir pada tanaman hortikultur
Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut sumber
perolehan ikan
Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut tren
perubahan selama 10 tahun terakhir pada keberadaan ikan

69
70
71
71
71
72
72

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Kerangka pemikiran pengaruh kearifan lokal terhadap pengelolaan
hutan
Pembagian tatanan ruang kampung
Alat tradisional lesung
Lahan sawah garapan komunitas Kampung Naga di dalam kawasan
Peranan proses ajar melalui tatanan adat
Struktur pemerintahan informal di Kampung Naga
Karakteristik kepemimpinan adat dikalangan komunitas Kampung
Naga (%)
(A). Rumah adat komunitas Kampung Naga, (B). Lorong rumah adat
Kampung Naga
Sketsa pembagian zona/kawasan Kampung Naga

19
33
38
39
53
54
55
60
61

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Denah Peta Lokasi Penelitian
83
Nama responden komunitas Kampung Naga, Rt 01 Rw 01 Desa
Neglasari Kabupaen Tasikmalaya
84
Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2016
85
Kuisioner
87
Panduan wawancara mendalam
96
Hasil Uji Statistik
97
Hasil uji validitas dan realibilitas
98
Dokumentasi Penelitian
100

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu kekayaan alam yang wajib dijaga
kelestariannya yang diperuntukkan sebagai penyeimbang alam dan paru-paru
bumi. Pada ekosistem hutan terdapat bermacam keanekaragaman hayati dan non
hayati, baik flora maupun fauna. Hutan merupakan kawasan yang sangat potensial
terutama untuk kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang hidup di sekitar hutan.
Pada pengelolaan sumber daya hutan, terdapat beberapa stakeholder yang
terlibat, yaitu masyarakat, swasta dan negara. Masyarakat desa sekitar hutan tidak
dapat dipisahkan secara langsung karena merupakan bagian dari ekosistem hutan.
Hutan menjadi sumber pemenuhan kebutuhan sehari-hari oleh masyarakat. Oleh
sebab itu masyarakat sekitar atau juga disebut masyarakat lokal tersebut akan
tetap berusaha menjaga dan mengelola hutan tersebut meskipun akan ada sebagian
orang yang tidak peduli akan fungsi hutan tersebut bagi kehidupan mereka.
Keterkaitan antara masyarakat dengan hutan telah berlangsung cukup lama
karena hutan telah memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat, baik manfaat
ekonomi, ekologi maupun sosial budaya. Keberadaan hutan juga memberikan
kesempatan bagi masyarakat untuk bekerja terutama dalam hal pembukaan lahan,
penebangan kayu, sehingga memperoleh upah yang lumayan. Selain itu bagi
masyarakat yang hidupnya bergantung pada sumber sumber dasar yang terdapat di
hutan seperti kayu bakar, dan hasil hutan lainnya akan memberikan nilai tambah
terutama bagi masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan (Karisma 2010).
Masyarakat sekitar hutan memiliki cara-cara tersendiri baik dalam
mengelola maupun memanfaatkan hasil hutan. Mereka menggunakan norma adat
maupun budaya mereka dalam mengelola hutan. Budaya tersebut telah secara
turun temurun digunakan dan dilaksanakan oleh nenek moyang mereka dalam
menjaga lingkungan yang disebut dengan kearifan lokal.
Menurut Nababan (2003) kearifan lokal terbentuk karena adanya
hubungan antara masyarakat tradisional dengan ekosistem di sekitarnya, yang
memiliki kepercayaan, hukum dan pranata adat, pengetahuan dan cara mengelola
sumber daya alam secara lokal. Pada masyarakat tradisonal apabila terjadi
pelanggaran terhadap adat istiadat, maka perasaan bersalah akan selalu
menghantuinya. Keraf (2002) dalam Arafah et al. (2011) menegaskan bahwa
kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau
wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam
kehidupan di dalam komunitas ekologis. Sedangkan menurut UU No 32 Tahun
2009 kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara
lestari, dan masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang turun
temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal
usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Kampung Naga merupakan salah satu wilayah tempat berdiamnya
komunitas adat. Wilayah yang terletak di Kabupaten Tasikmalaya merupakan
salah satu bagian dari Suku Sunda yang memiliki tradisi tangible dan intangible

2
yang masih dipelihara. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas
wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di
dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur komunitas Kampung Naga. Secara
sosial budaya Kampung Naga merupakan desa adat yang masih terjaga
kelestariannya. Kampung Naga masih mempertahankan adat istiadatnya ketika
masyarakat yang lain telah berubah seiring perkembangan zaman. Komunitas
Kampung Naga dapat terbuka dengan masyarakat lainnya tetapi mereka tetap
berpegang teguh pada ajarannya.
Komunitas Kampung Naga sangat mematuhi pemimpin adat yang
berperan untuk mengatur tingkah laku masyarakat dan melestarikan budaya
papagon hirup sebagai pedoman hidup yakni wasiat seperti adanya hutan larangan
dan kawasan makam, amanat tentang pola hidup yang sederhana, larangan pada
perbuatan, saat upacara, dan akibat pelanggaran terhadap tradisi seperti perasaan
bersalah, telah menciptakan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan sosial
dan lingkungan alam, sehingga lingkungan hidup terlestarikan. Salah satu tata
cara yang terkait dengan kearifan hutan dan lingkungan adalah cara mereka dalam
mengelola dan memanfaatkan lahan (hutan, air, dan tanah) dan segala kandungan
yang terdapat di permukaan bumi. Tata cara pengelolaan ini didasarkan pada
sistem pengetahuan lokal orang Naga itu sendiri yaitu berdasarkan adat-istiadat
dan budaya lokal yang mereka miliki (Ningrum 2012).
Di Kampung Naga terdapat hutan adat yang disebut sebagai leuweung
larangan yang tidak boleh ditebang maupun didatangi oleh masyarakat dalam
maupun luar Kampung Naga itu sendiri, kecuali pada hari-hari tertentu untuk
melaksanakan prosesi ritual (Hidayat 2015). Bentuk pengelolaan hutan
(leuweung) itu sebagai upaya untuk menjaga hutan tetap lestari. Oleh karena itu
segala sesuatu yang dirasakan tidak mendukung akan cara dan gaya mereka dalam
memanfaatkan lingkungan dianggap sebagai sebuah pelanggaran adat. Komunitas
adat Naga masih menyimpan mitos dan pesan leluhur yang berisi larangan,
ajakan, dan sanksi dalam mengelola hutan mereka.
Tantangan perlindungan dan pengelolaan hutan di Indonesia seringkali
datang dari masyarakat lokal di sekitar hutan. Padahal kelestarian pengelolaan
hutan sangat tergantung kepada partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan
(Magdalena 2013). Masyarakat tradisional di Indonesia sering dijadikan sebagai
tersangka utama atas terjadinya perusakan lahan hutan akibat sistem perladangan
yang mereka lakukan. Namun jika diperhatikan secara seksama, sesungguhnya
sistem perladangan masyarakat tradisional ini tidak berpengaruh besar terhadap
kerusakan hutan, karena dalam kehidupan masyarakat tradisional ini terdapat juga
aturan-aturan adat yang mengatur tentang sistem pengelolaan dan pemanfaatan
hutan (Yamani 2011).
Pada perkembangan terakhir ini pemerintah telah gagal mengelola hutan
secara partisipatif karena tidak pernah melibatkan masyarakat sekitar hutan
sebagai mitra kerja. Sehingga pemerintah cenderung mengabaikan kepentingan
masyarakat sekitar hutan dengan dalih pembangunan dan penyelamatan aset-aset
negara, pemerintah hanya lebih mempercayakan pengelolaan hutan oleh
perusahaan besar seperti PT.Perhutani dan perusahaan-perusahaan besar lainnya
pasca-diundangkannya UU Pokok Kehutanan, Penanaman Modal Dalam Negeri,
dan Penanaman Modal Asing. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan
seperti perambahan, illegal loging, pemanfaatan sumber daya hutan yang tidak

3
lestari adalah kegiatan yang tidak mendukung kelestarian hutan (Soendjoto,
Kurnain 2010). Selain itu, pada penerapan Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang kehutanan tentang perlindungan hutan belum berhasil secara
maksimal melindungi hutan dari kerusakan akibat perbuatan manusia. Salah
satunya adalah lunturnya tabu dan larangan mengenai hutan yang diterapkan oleh
masyarakat lokal yang telah turun-temurun. (Yamani 2011).
Pada putusan 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa
hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan termasuk Hutan
Negara, namun hingga saat ini masih belum terlihat jelas kongkritnya, banyak
hutan adat di Indonesia masih dibawah perusahaan-perusahaan dengan kontrak
HPH nya yang menyebabkan masyarakat adat menjadi korbannya. Banyak terjadi
konflik antara masyarakat adat dengan para perusahaan dalam perebutan
pengelolaan sumber daya hutan.
Diera globalisasi saat ini, telah banyak ditemui berbagai krisis ekologi
yang muncul akibat terganggunya keseimbangan alam. Tanpa kita sadari berbagai
tindakan dan sikap kita telah merusak ekologi, penggunaan teknologi yang tidak
tepat guna atau berlebihan salah satu contoh yang dapat mengganggu
keseimbangan alam seperti perubahan iklim, krisis air bersih, pencemaran udara,
dan berbagai krisis ekologi lainnya.
Oleh sebab itu perlu pengembangan dan pelestarian kearifan lokal yang
berkembang di masyarakat lokal. Berdasarkan hal tersebut, muncul ketertarikan
bagi peneliti untuk menganalisis lebih mendalam mengenai pengaruh kearifan
lokal masyarakat adat terhadap pengelolaan hutan.

Perumusan Masalah
Mayoritas masyarakat pedesaan, khususnya masyarakat asli mempunyai
tradisi turun-temurun dalam mengelola hutannya, seperti contoh, pengelolaan
sumber daya hutan menjadi tanggung jawab masyarakat setempat dan praktek
pengelolaannya dilakukan melalui upaya kerjasama dengan anggota masyarakat.
Mereka berhasil membangun sejumlah aturan, ilmu pengetahuan dan keterampilan
praktis dalam menjamin kelangsungan pengelolaan hutan secara lestari. Sistem
pengelolaan tersebut biasanya berdasarkan tata cara/gaya hidup tradisional,
dilakukan sepanjang tahun, atas dasar kebersamaan dan mempunyai sanksi
keagamaan/ritual.
Masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan umumnya memandang
hutan sebagai sebuah ruang yang pernah dihuni oleh pendahulu/nenek moyang
mereka yang pengaruhnya terhadap hutan tersebut yang dihubungkan dengan
nama tempat, mitos dan cerita rakyat.
Hutan adalah tempat dimana masyarakat memenuhi kebutuhan
ekonominya seperti bahan baku hasil hutan dan tempat bekerja, kebutuhan ekologi
seperti tempat penyimpanan air dan mencegah banjir, dan kebutuhan sosial
budaya seperti adanya tempat-tempat keramat, pemakaman para leluhur, dan
tempat ibadah.
Hutan memberikan manfaat sekaligus ancaman bagi dunia khususnya
masyarakat di daerah sekitar hutan. Masyarakat di sekitar hutan mempunyai caracara tersendiri untuk mengelola hutan agar hutan tetap lestari, di pihak lain

4
sebagian masyarakat belum menyadari pentingnya hutan bagi kehidupan mereka
di masa depan, maka tak jarang eksploitasi sumber daya hutan terus terjadi.
Salah satu cara menyelamatkan hutan tersebut adalah dengan mengkaji
kembali kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat yang berada di sekitar
hutan. Masyarakat yang berada di sekitar hutan dalam pengelolaan sumber daya
hutan sangat tergantung pada pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya tersebut.
Kearifan lokal yang akan terus bertahan hingga saat ini akan tergantung
oleh proses pengajaran yang diturunkan dari generasi ke generasi, hal ini akan
berpengaruh pada teguhnya norma dan aturan hukum adat dalam menjaga
kelestarian sumber daya alam, jika hal ini luntur karena proses modernisasi saat
ini maka kelestarian sumber daya alam termasuk hutan akan terancam karena
tidak adanya proses penjagaan. Maka peran pemimpin adat dalam menjaga
kehidupan masyarakatnya dan menjaga kelestarian norma dan hukum adatnya
sangatlah diperlukan. Hal ini dapat dikaji, sehingga dapat dirumuskan pertanyaan
bagaimana kearifan lokal dan proses ajar dalam menjaga dan mengelola
hutan?
Keterkaitan antara masyarakat dengan hutan telah berlangsung cukup lama
sejak nenek moyang mereka masih ada, karena hutan telah memberikan manfaat
baik manfaat ekomoni, ekologi maupun sosial budaya. Keberadaan hutan juga
memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk bekerja terutama dalam hal
pembukaan lahan, penebangan kayu sehingga memperoleh upah yang lumayan.
Mata pencaharian utama masyakarat sekitar hutan mayoritas adalah
bertani dengan memanfaatkan dan mengelola lahan hutan yang ada disekitarnya.
Selain bertani, masyarakat sekitar hutan memanfaatkan hasil hutan untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tata cara pemanfaatan dan pengelolaan hutan
didasarkan pada aturan/hukum/norma adat yang berlaku dan turun-temurun.
Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan dalam memanfaatkan dan
mengelola hutan tidak merusak ekosistem hutan sehingga pengelolaan hutan yang
dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan menjadikan hutan tetap lestari. Maka hal
ini dapat dikaji, dan dirumuskan pertanyaan bagaimana strategi nafkah yang
dilakukan oleh komunitas Kampung Naga?
.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan masalah penelitian maka tujuan pada
penelitian ini adalah:
1. Mengkaji dan menganalisis kearifan lokal di kalangan komunitas
Kampung Naga dalam menjaga dan mengelola hutan.
2. Menganalisis strategi nafkah yang dilakukan oleh Komunitas Kampung
Naga.

5
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai
pihal yang berminat maupun terkait dengan kajian kearifan lokal dalam
pemanfaatan sumber daya hutan, khususnya kepada:
1. Bagi Akademisi
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai proses pembelajaran dalam
memahami kearifan lokal dan pengaruhnya terhadap pengelolaan hutan, dan dapat
dijadikan sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya.
2. Bagi Pemerintah
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu saran kebijakan dalam
menghentikan atau memberi batasan pengelolaan hutan kepada pihak swasta dan
mengikutsertakan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan.
3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
mengenai pentingnya melestarikan kearifan lokal dan pengelolaan hutan secara
lestari

6

7

TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Hutan
Konsep Hutan dan Hutan Adat
Hutan dalam konsepsi hukum lokal merupakan suatu tempat yang banyak
ditumbuhi aneka-ragam pepohonan besar berumur ratusan tahun, dengan
kepadatan dan kelembaban tinggi, dan tempat hidup berbagai jenis binatang liar
dan buas, bahkan tempat makhluk halus (Yamani 2011). Menurut UU No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa “hutan merupakan suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan”.
Hutan adat menurut Nababan (2003) merupakan kawasan hutan yang
berada di wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan komunitas adat. Masyarakat hutan adat memandang manusia bagian
dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan. Menurut UU
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan hutan adat adalah hutan negara yag berada
dalam wilayah masyarakat hukum adat, sedangkan pada putusan MK Nomor
35/PUU-X/2012 menegaskan bahwa “...hutan berdasarkan statusnya dibedakan
menjadi dua yaitu huan negara dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan
antara hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum. Ketiga status hutan
tersebut pada tingkatan yang tertinggi seluruhnya dikuasai oleh Negara.”
Pada kasus masyarakat adat Kajang, pengelolaan hutan adat terbagi
menjadi tiga bagian yaitu, hutan keramat, hutan perbatasan, dan hutan rakyat.
Hutan keramat merupakan hutan larangan dimana hanya para pemangku adat saja
yang boleh masuk dan hanya untuk keperluan upacara adat, sedangkan hutan
perbatasan merupakan jalan masuk menuju hutan, pada hutan perbatasan pun
dilarang mengambil kayu ataupun sebagainya, dan masyarakat memanfaatkan dan
mengelola hutan pada hutan rakyat yang belum dibebani oleh hak milik (Dasir
2011).
Manfaat dan Pentingnya Hutan Bagi Kehidupan Masyarakat Sekitar
Hutan sangat berperan dalam kehidupan masyarakat terutama dalam
mengaplikasi nilai budaya dalam kehidupan masyarakat. ketergantungan terhadap
alam dan lingkungan sangat besar karena hutan sebagai sumber lahan atau
cadangan di masa depan, selain itu hutan pun menjadi sumber kehidupan baik
sebagai sumber pangan, obat-obatan, konstruksi dan budaya (Salosa et al. 2014).
Menurut Senoaji (2004), hutan sebagai penyeimbang ekosistem bumi yang
berfungsi sebagai pabrik utama yang mengolah energi matahari menjadi energienergi lain yang dibutuhkan oleh makhluk hidup.
Hutan merupakan suatu sumber daya alam tinggi yang mempunyai nilai
ekonomi yang sangat tinggi, nilai ekonomi yang tinggi tersebut terdapat pada
bagian yang sangat vital dari pabrik hutan, yaitu pohon-pohon sebagai pabrik
kayu. Hal ini didukung oleh pendapat (Yamani 2011) bahwa hutan pun
mempunyai 3 fungsi yaitu: fungsi ekonomi sebagai sumber kehidupan baik
langsung maupun tidak langsung, kedua fungsi ekologi yaitu sebagai cadangan

8
air, dan terakhir adalah fungsi sosial budaya yaitu hutan menyediakan kebutuhan
upacara adat, tempat sara melakukan pertemuan rahasia untuk membicarakan
berbagai hal tentang kondisi masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada masyarakat
Baduy menurut (Senoaji 2010) dalam masyarakat Baduy mereka percaya bahwa
mereka diciptakan untuk mengelola tanah suci yang menjadi pusat bumi. Tanah
Baduy dilarang rusak, gunung tidak boleh dilebur, hutan tidak boleh dirusak,
aliran air tidak boleh diganggu dan lembah tidak boleh dirusak.
Menurut Karten (1986) dalam (Arafah et al. 2011) pengelolaan sumber daya
alam berbasis masyarakat dilakukan dengan tiga alasan yaitu :
1.
Local variety: masyarakat lokal punya karakteristik lingkungan yang
beragam baik dalam aspek biofisik, sosial dan ekonomi harus ditanggapi
secara tepat dan cepat.
2.
Local resources: sumber daya berada ditengah-tengah masyarakat yang
dibutuhkan dan saling ketergantungan.
3.
Local accountability: masyarakat yang mempunyai ketergantungan terhadap
sumber daya akan memiliki komitmen dan tanggung jawab penuh untuk
mengelola sumber daya secara bijaksana sesuai prinsip kearifan lokal.
Prinsip Pengelolaan Hutan
Terdapat tiga prinsip utama yang dilakukan dalam penelitian Cifor
menurut Ritchie et al. (2001) yaitu:
1. Kesejahteraan masyarakat terjamin, yang menyangkut masalah utama
adalah menyangkut kemampuan masyarakat tersebut untuk mengelola dan
mengatur fungsi ganda yaitu penggunaan dan manfaat hutan secara
kolektif, sehingga manfaatnya dapat terbagi rata untuk perorangan, rumah
tangga maupun kelompok, yang pada akhirnya sumber daya hutan dapat
menghasilkan kegunaan dan manfaat untuk masa depan. Dengan asumsi :
 Lembaga/organisasi masyarakat dan partisipasi, hal ini untuk
mengatur penawaran dan permintaan sumber daya hutan
masyarakat termasuk pembagian hak dan kewajiban, kerjasama,
dan perlindungan hutan.
 Mekanisme pengelolaan lokal (norma, peraturan, undang-undang,
dll).
 Manajemen konflik
 Kewenangan untuk mengelola (status kepemilikan)
 Strategi nafkah masyarakat
2. Kesehatan hutan terjamin, prinsip ini memberikan gambaran bahwa
seluruh lanskap ada dalam kondisi baik sebagai hasil dari sistem
pengelolaan yang dilakukan. Prinsip yang sangat luas ini ditujukan agar
secara umum cukup untuk memperoleh berbagai cara pandang/pola pikir
masyarakat yang berbeda terhadap sumber daya yang mereka miliki.
Dengan asumsi:
 Perencanaan (zonasi dan kawasan lindung)
 Pengelolaan fungsi ekosistem
 Intervensi produktif 1 (pertanian dan agroforesty)
 Intervensi produktif 2 (HHBK berupa tumbuhan)
 Intervensi produktif 3 (HHBK berupa satwa)
 Intervensi produktif 4 (kayu)

9
 Kesehatan hutan 1(keanekaragaman hayati)
 Kesehatan hutan 2(struktur dan regenrasi)
 Keanekaragaman lanskap (fragmentasi dan mozaik)
3. Lingkungan eksternal mendukung pengelolaan hutan masyarakat lokal,
bahwa dalam upaya pengelolaan secara lestari, masyarakat didukung oleh
badan-badan eksternal seperti pemerintah. Dengan asumsi:
 Hubungan dengan pihak ketiga
 Kebijakan dan kerangka hukum
 Ekonomi
 Pendidikan dan informasi.
Ancaman Terhadap Hutan
Saat ini keberadaan hutan menjadi terancam yang disebabkan oleh
pertumbuhan penduduk yang berdampak pada penggunaan lahan hutan, erosi
lahan pemukiman dan erosi lahan pertanian (Salosa, et al. 2014). Selain itu
menurut Senoaji (2010), pembangunan pun seringkali menimbulkan dampak
negatif karena tidak disertainya tanggung jawab untuk melakukan perlindungan,
konservasi, rehabilitasi dan reklamasi hutan akibatnya hutan menjadi gundul,
bencana, gagal panen, serta kehilangan mata pencaharian penduduk asli hutan.
Peraturan perundang-undangan pun tidak menjamin kelestarian terhadap hutan.
Menurut Lubis (2005) Pada hukum UU No 5/1974 tentang pokok pemerintahan di
daerah dan UU No. 5/1979 tentang pemerintahan desa mengubah secara mendasar
struktur kelembagaan wilayah. Meskipun hak-hak asal usul tanah ualayat diakui
dalam UU No. 5/1960 tentang UUPA. Pada kenyataannya hanya dikebiri sehingga
tidak bisa sebagai tempat berlindung bagi komunitas-komunitas lokal dalam
mengatur hak ulayat. Selain itu pula diberlakukannya HPH yang berdampak pada
kemampuan warga komunitas lokal untuk menanam investasi di wilayah-wilayah
periferal sudah tentu kala dengan investor pengusaha HPH maupun perkebunan.
Hal ini ditunjukan pada kasus hutan di Bali bahwa hutan yang dikelola
oleh pemerintah justru mengalami gangguan dan perambahan yang terus menerus,
akibatnya hutan di Bali mengalami kebakaran, penebangan liar dan pembirikan,
kasus yang menarik di Bali ketika masyarakat melakukan penghijauan malah
ditembak dengan senjata (Wijana 2013). Selain itu kasus pada kawasan TNBBS
Bengkulu yang mengalami perambahan terus menerus dan tidak efektifnya sistem
perlindungan hutan dibawah hukum. Kalau saja warga sekitar hutan dilibatkan
dalam pemeliharaan hutan, merekalah yang bergerak cepat dan melaporkan setiap
perbuatan pengrusakan hutan yang terjadi di wilayahnya. Akan tetapi karena
sistem hukum perlindungan hutan yang berlaku justru menjauhkan masyarakat
sekitar hutan. Maka masyarakat cenderung membiarkan kasus-kasus perambahan
hutan (Yamani 2011) .
Salah satu penyebab degradasi sumber daya hutan Indonesia menurut
Achmaliadi et al. (2010) adalah adanya praktik pembalakan liar. Pembalakan liar
mencakup pelanggaran hukum yang berakibat pada eksploitasi sumber daya hutan
yang berlebihan dan mengarah kepada penggundulan dan perusakan hutan.
Pelanggaran-pelanggaran ini bisa terjadi pada setiap tahapan produksi kayu,
seperti pada penebangan kayu, pengangkutan bahan mentah, pengolahan dan
perdagangan, bahkan melibatkan cara-cara yang tidak sah untuk mendapatkan
akses ke dalam hutan, melanggar administratif keuangan seperti menghindari

10
pembayaran pajak dan pencucian uang. Pelanggaran dapat juga terjadi karena
kebanyakan wilayah-wilayah administratif dari lahan hutan negara dan
kebanyakan dari unit-unit produksi resmi yang beroperasi di dalamnya tidak
dipisah dari keterlibatan dengan masyarakat lokal yang sesungguhnya sangat
diperlukan. Pembalakan liar (illegal logging) dilakukan oleh perusahaanperusahaan atau pribadi-pribadi yang membutuhkan. Pohon-pohon ditebang
secara illegal untuk keperluan pribadi dan tanpa ijin, membuka hutan dan
menguras habis isinya, dan tanpa menanam kembali hutan untuk kelestarian
selanjutnya. Kegiatan Illegal logging di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu
1. Tingginya permintaan kebutuhan kayu yang berbanding terbalik dengan
persediaannya. Pada konteks demikian dapat terjadi bahwa permintaan
kebutuhan kayu sah (legal logging) tidak mampu mencukupi tingginya
permintaan kebutuhan kayu. Hal ini terkait dengan meningkatnya
kebutuhan kayu di pasar internasional dan besarnya kapasitas terpasang
industri kayu dalam negeri/konsumsi lokal. Tingginya permintaan
terhadap kayu di dalam dan luar negeri ini tidak sebanding dengan
kemampuan penyediaan industri perkayuan (illegal logging). Ketimpangan
antara pesediaan dan permintaan kebutuhan kayu ini mendorong praktik
illegal logging di taman nasional dan hutan konservasi.
2. Tidak adanya kesinambungan antara Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 1970 yang mengatur tentang Hak Pengusahaan Hutan dengan
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 309/Kpts-II/1999
yang mengatur tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok
Dalam Pengelolaan Hutan Produksi. Ketidaksinambungan kedua peraturan
tersebut terletak pada ketentuan mengenai jangka waktu konservasi hutan,
yaitu 20 tahun dengan jangka waktu siklus Tebang Pilih Tanam Indonesia
(TPTI), khususnya untuk hutan produksi yang ditetapkan 35 tahun. Hal
demikian menyebabkan pemegang HPH tidak menaati ketentuan TPTI.
Pemegang HPH tetap melakukan penebangan meskipun usia pohon belum
mencapai batas usia yang telah ditetapkan dalam TPTI. Akibatnya,
kelestarian hutan menjadi tidak terjaga akibat illegal logging.
3. Lemahnya penegakan dan pengawasan hukum bagi pelaku tindak pidana
illega logging. Selama ini, praktik illegal logging dikaitkan dengan
lemahnya penegakan hukum, dimana penegak hukum hanya berurusan
dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi kayu, sedangkan
untuk para makelar kelas kakap yang beroperasi di dalam dan di luar
daerah tebangan, masih sulit untuk dijerat dengan ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku. Disamping itu, disinyalir adanya pejabat pemerintah
yang korup justru memiliki peran penting dalam melegalisasi praktik
illegal logging.
4. Tumpang tundih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Hak Pengusahaan Hutan selama ini berada di bawah wewenang
pemerintah pusat, tetapi disisi lain, sejak diberlakukannya otonomi daerah,
maka setiap daerah harus mengupayakan pemenuhan kebutuhan daerahnya
secara mandiri. Kondisi ni menyebabkan pemerintah daerah melirik untuk
mengeksplorasi berbagai potensi daerah yang memiliki nilai ekonomis
yang tersedia di daerahnya, termasuk potensi ekonomis hutan. Dalam

11
konteks inilah terjadi tumpang tindih kebijakan penmerintah pusat dengan
pemerintah daerah. Pemerintah pusat menguasai kewenangan pemberian
HPH, disisi lain pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan unuk
mengeksplorasi kekayaan alam daerahnya termasuk hutan guna memenuhi
kebutuhan daerahnya. Tumpang tindih kebijakan ini telah mendorong
eksploitasi sumber daya alam kehutanan. Tekanan hidup yang dialami
masyarakat daerah yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan mendorong
mereka untuk menebang kayu, baik untuk kebutuhan sendiri maupun
kebutuhan pasar melalui tangan para pemodal.
Permasalahan-permasalahan hutan yang berdampak pada gagalnya
perlindungan hutan disebabkan karena lunturnya tabu dan larangan mengenai
hutan yang selama berabad-abad dipraktikkan oleh komunitas adat sebagai bagian
dari materi muatan hukum kehutanan lokal (Yamani 2011). Pembangunan
kehutanan yang berkelanjutan dan berkeadilan dapat tercapai apabila ada
perubahan paradigma. Paradigma baru pembangunan kehutanan yang dimaksud
ialah pergeseran orientasi dari pengelolaan hutan menjadi pengelolaan sumber
daya, pengelolaan sentralistik menjadi desentralistik, serta pengelolaan sumber
daya alam yang lebih berkeadilan. Menurut Senoaji (2004), pemanfaatan
lingkungan yang arif akan menghasilkan suatu keseimbangan alam yang
memberikan nilai manfaat, kedamaian, kesejahteraan, dan ketenangan bagi
kehidupan penduduknya. Sebaliknya akan timbul bencana alam jika dimanfaatkan
dengan sembarangan. Masyarakat Baduy yakin jika pemanfaatan alam dan
hutannya masih tetap berpegang teguh pada aturan adat dan pikukuh karuhun
tidak akan terjadi bencana alam.
Tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dalam mengelola hutan menurut
Ritchie, McDougall, Haggith, de Oliveira (2001):
1. Perubahan situasi politik dan ekonomi di tempat mereka beroperasi.
2. Meningkatnya permintaan sumber daya hutan dari pelaku di luar
masyarakat.
3. Menyebarnya pendidikan dan informasi global, termasuk melalui media
populer.
4. Bertambahnya populasi di dalam masyarakat.
Hal ini akan berdampak pada:
1. Terciptanya permintaan/kesempatan pasar yang baru
2. Terciptanya kompetisi sumber daya hutan tempat masyarakat
bergantung
3. Diabaikannya sistem kepercayaan tradisional yang mendukung sistem
nilai dan membimbing sistem pengelolaan mereka.
4. Meningkatnya harapan dan aspirasi
Jika hal ini terus dibiarkan maka penggunaan hutan yang tidak lestari, yang
menyebabkan timbulnya degradasi hutan dan deforestasi.

12
Strategi Nafkah
Secara sederhana livelihood didefinisikan sebagai cara dimana orang
memenuhi kebutuhan mereka untuk peningkatan hidup (Chamber et al. dalam
Dharmawan 2001). Ellis (2000) menyebutkan bahwa livelihood mencakup cash
berupa uang dan in kind (pembayaran dengan barang atau hasil bumi) maupun
dalam bentuk lainnya seperti institusi (saudara, kerabat, tetangga, desa), relasi
gender dan hak milik yang dibutuhkan untuk mendukung dan untuk
keberlangsungan standar hidup yang sudah ada. Dalam Sosiologi Nafkah,
Dharmawan (2007) memberikan penjelasan bahwa livelihood memiliki pegertian
yang lebih luas daripada sekedar means of living yang bermakna sempit mata
pencaharian. Dalam sosiologi nafkah, pengertian strategi nafkah lebih mengarah
pada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan) daripada means of
living strategy (strategi cara hidup). Pengertian livelihood strategy yang
disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah (dalam bahasa Indonesia),
sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar “aktivitas mencari nafkah”
belaka. Sebagai strategi membangun sistem penghidupan, maka strategi nafkah
bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun
kolektif. kehidupan. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh
individu ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka
dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, stuktur sosial dan
sistem nilai budaya yang berlaku (Dharmawan 2007). Pilihan strategi nafkah
sangat ditentukan oleh kesediaan akan sumberdaya dan kemampuan mengakses
sumber-sumber nafkah tersebut. Dharmawan (2001) menjelaskan, sumber nafkah
rumah tangga sangat beragam (multiple source of livelihood), karena rumah
tangga tidak tergantung hanya pada satu pekerjaan dan satu sumber nafkah tidak
dapat memenuhi semua kebutuhan rumah tangga.Strategi nafkah bisa berarti cara
bertahan hidup atau memperbaiki status
Menurut Crow (1984) dalam Widodo (2011) Strategi nafkah meliputi
aspek pilihan atas beberapa sumber nafkah yang ada di sekitar masyarakat.
Semakin beragam pilihan sangat memungkinkan terjadinya strategi nafkah. Secara
jelas, dalam bidang pertanian digambarkan dengan adanya pola intesifikasi dan
diversifikasi. Strategi nafkah juga dapat ditinjau dari sisi ekonomi produksi
melalui usaha cost minimization dan profit maximizaion. Selain adanya pilihan,
strategi nafkah mengharuskan adanya sumber daya manusia dan modal. Pola
relasi patron-klien dianggap sebagai sebuah lembaga yang mampu memberikan
jaminan keamanan subsitensi rumah tangga petani.
Livelihood berasal dari berbagai sumberdaya dan aktivitas yang bervariasi
sepanjang waktu. Fleksibilitas livelihood menentukan tipe-tipe strategi rumah
tangga yang diadopsi rumah tangga pedesaan maupun perkotaan dan bagaimana
merespon perubahan. Terkait dengan livelihood, Herbon dalam Dharmawan
(2001) mendeskripsikan tiga tingkatan untuk mengatasi ketidaktentuan ekonomi
yaitu:
1. Tahap mengantisipasi krisis, merupakan semua usaha yang dibuat dengan
memanfaatkan berbagai tindakan yang aman dan usaha perlindungan
terhadap berbagai macam resiko dengan membangun hubungan (jaringan
sosial), memproduksi apa saja yang mungkin dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan hidup, mengumpulkan kelebihan (menabung),

13
membangun jaringan sosial dan ekonomi yang kompleks dan menyeluruh
yang mempertukarkan hubungan dengan penyediaan jaminan materil dan
immateril, penguasaan sumberdaya dari masyarakat dan negara.
2. Tahap mengatasi kondisi krisis, meliputi semua tindakan seperti
memanfaatkan tabungan, eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya yang
dimiliki (sumberdaya alam atau sumberdaya sosial), mengurangi
konsumsi individu, reaksi massa (contohnya pemberontakan bersama).
3. Tahap pemulihan dari krisis, terdiri dari semua tindakan untuk
memperbaiki kehancuran.
Ellis (2002) mengemukakan tiga klasifikasi sumber nafkah yakni:
1. Sektor farm income: sektor ini mengacu pada pendapatan yang berasal dari
tanah pertanian milik sendiri, baik yang diusahakan oleh pemilik tanah
maupun diakses melalui sewa menyewa atau bagi hasil. Strategi on farm
merujuk pada nafkah yang berasal dari pertanian dalam arti luas.
2. Sektor off farm income : sektor ini mengacu pada pendapatan di luar
pertanian, yang dapat berarti penghasilan yang diperoleh berasal dari upah
tenaga kerja, sistem bagi hasil, kontrak upah tenaga kerja non upah, dan
lain-lain, namun masih dalam lingkup sektor pertanian.
3. Sektor non farm income : sektor ini mengacu pada pendapatan yang bukan
berasal dari pertanian, seperti pendapatan atau gaji pensiun, pendapatan
dari usaha pribadi, dan sebagainya.
Kearifan Lokal
Konsep pengetahuan lokal dan kearifan lokal
Terdapat perbedaan antara pengetahuan lokal dan kearifan lokal. Seseorang
dikatakan memliki pengetahuan lokal karena mengalami sehingga dia belajar dan
akhirnya memiliki pemahaman tentang femomena alam secara tradisional, yang
dikenal sebagai pengetahuan tradisional (Sillitoe 2012) dalam (Salosa, et al.
2014).
Pengetahuan mengacu pada suatu hasil belajar, alasan-alasan dan persepsi
atau suatu interpretasi logis seseorang atau sekelompok orang yang digunakan
sebagai dasar untuk memprediksi kejadian di masa yang akan datang. Rahmawati
et al. (2008) mengatakan bahwa pengetahuan lokal merupakan kebijaksanaan
manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku
yang melembaga secara tradisional. Pengetahuan lokal juga dapat diartikan
sebagai pengetahuan instrumental yang terbentuk secara emic-historis sebagai
hasil adaptasi panjang sekelompok manusia dengan lingkungan biofisiknya
(Purcell 1998). Aspek-aspek kebudayaan yang fungsinya diarahkan untuk
kelansungan hidup suatu kelompok masyarakat dalam jangka panjang dapat
dipandang sebagai pengetahuan lokal.
Sedangkan kearifan lokal (Arafah et al. 2011) berkaitan dengan cara hidup
yang memanfaatkan dua sumber daya yaitu perladangan dan perairan laut.
Kearifan yang tumbuh dan hidup di masa lalu bukanlah sesuatu yang tumbuh dari
langit melainkan hal kreasi budaya dari komunitas yang lahir sebagai bentuk
adaptasi mereka terhadap kondisi lingkungan alam dan lingkungan sosial yang
eksis pada masa itu (Lubis 2005). Menurut Berkes (1999) dalam (Retnowati
2014) kearifan lokal sama halnya dengan tradisional ecological knowledge yang

14
merupakan sekumpulan pengetahuan, praktik, dan kepercayaan yang berkembang
dengan proses adaptif dan turun-temurun oleh transmisi budaya, tentang
hubungan makhluk hidup (termasuk manusia) dengan satu sama lain dan dengan
lingkungan mereka.
Kearifan lokal sering berkaitan dengan kearifan ekologi yang merupakan
pedoman manusia agar arif dan berinteraksi dengan lingkungan alam biofisik dan
supranatural. Hal ini didukung oleh (Nababan 1995) dalam (Senoaji 2004)
kearifan lokal terbentuk karena adanya hubungan antara masyarakat tradisional
dan ekosistem disekitarnya yang memiliki sistem kepercayaan, hukum dan
pranata adat, pengetahuan dan cara mengelola sumber daya alm secara lokal
Dalam kearifan ekologi memandang bahwa manusia merupakan bagian dari alam
(Wijana 2013). Kearifan lokal dan kearifan lingkungan pun dapat didefiniskan
sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh model-model pemanfaatan
dan pengelolaan sumber daya alam. Pokok-pokok isi kearifan lokal menurut
(Wijana 2013) mencakup 1) konsep lokal, 2) cerita rakyat yang sering
berhubungan dengan mitos, 3) ritual keagaman 4) kepercayaan lokal, 5) berbagai
pantangan dan anjuran yang terwujud sebagai sistem perilaku dan kebiasaan
publik.
Menurut Mulyani (2014) terdapat berbagai hal yang melandasi pentingnya
masyarakat adat dalam mengelola hutan yaitu: 1) mereka mempunyai motivasi
yang kuat untuk mengelola hutan dengan baik, karena anggapan mereka terhadap
hutan adalah hal yang positif, 2) mereka mempunyai pengetahuan asli bagaimana
memelihara dan memanfaatkan sumber daya hutan. 3) mereka mempunyai hukum
adat yang menuntun mereka dalam berprilaku, 4) mereka mempunyai
kelembagaan adat, dan 5) sudah memiliki organisasi dan jaringan kerja untuk
membangun solidaritas diantara komunitas masyarakat adat. Pengetahuan lokal
terhadap sumber daya alam itu membentuk kearifan terhadap pengelolaan hutan.
Hal ini dibuktikan pada masyarakat Baduy menurut Senoaji (2004) bahwa
kehidupan sosial ekonomi dan budaya Baduy telah mengadaptasikan dirinya
dengan lingkungan sekitar sejak beratus-ratus tahun yang lalu secara turun
temurun. Hubungan timbal balik antara sistem sosial masyarakat Baduy dengan
lingkungan biofisik telah menyebabkan masyarakat Baduy memiliki kemampuan
mengelola sumber daya alam yang ada.
Terdapat empat bentuk kearifan lokal dalam masyarakat lokal terkait
pemanfaatan sumber daya hutan menurut Sarjono (2004) yaitu pertama,
kepecayaan dan/atau pantangan seperti, manusia berkaitan erat dari unsur
(tumbuhan, binatang, faktor non-hayati lainnya) dan proses alam sehingga harus
memelihara keseimbangan lingkungan, keberhasilan penanaman (misalnya padi,
rotan) berkaitan dengan gejala lingkungan seperti tumbuhan ataupun bulan, dan
pantangan untuk menebang pohon buah atau pohon madu yang masih produktif,
binatang yang sedang bunting, atau memotong rotan terlampau rendah.
Kedua, etika dan aturan seperti, Menebang pohon hanya sesuai dengan
kebutuhan dan wajib melakukan penanamannya kembali, tidak melakukan
perladangan pada lahan yang sama secara terus-menerus (biasanya hanya satu
hingga dua kali panen), Tidak boleh menangkap ikan dengan meracuni (tuba)
dan/atau menggunakan bom, dan Mengutamakan berburu binatang-binatang yang
menjadi ladang.

15
Ketiga, teknik dan teknologi seperti, Membuat „sekat bakar‟ dan
memperhatikan arah angin pada saat berladang agar api tidak menjalar dan/atau
menghanguskan kebun/tanaman petani lainnya, menentukan kesuburan tanah,
menancapkan bambu atau parang (untuk melihat kekeringan tanah), kegelapan
warna tanah diameter pohon dan kehijauan warna tumbuhannya, membuat
berbagai perlengkapan/alat rumah tangga, pertanian, berburu binatang dari bagian
kayu/bambu/rotan/getah/zat warna dan lain-lain.
Keempat, praktek dan tradisi pengelolaan seperti, menetapakan sebagian
areal hutan sebagai hutan lindung untuk kepentingan bersama (komunal),
melakukan „koleksi‟ berbagai jenis tanaman hutan berharga pada lahan-lahan
perladangan dan pemukiman (konservasi ek-situ), dan mengembangkan dan/atau
membudidayakan jenis tanaman/hasil hutan yang berharga.
Menurut Nababan (2003) prinsip-prinsip kearifan lokal yang dihormati dan
dipraktekkan oleh komunitas-komunitas masyarakat adat, yaitu antara lain, 1)
Ketergantungan manusia dengan alam yang mensyaratkan kesel