Perkawinan Adat Kampung Naga (Pendekatan Etnografi Pada Masyarakat Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya)

(1)

Kabupaten Tasikmalaya)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh: Dessy Nur Fitriani NIM: 1110044100051

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2016 H/1438 M


(2)

Tasikmalaya)

Skripsi

:

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

OIeh: Dessy Nur Fitriani

1 l 10044100051

Di Bawah Bimbingan

PROGRAM STUDI TIUKUM KELUARGA ISLAM

r.AKT]LTAS SYARIAH DAN HUKT]M Ui\"IVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIFHIDAYATULLAII JAI(ARTA

2016w1438l]tr-[ Dra. Hj. Maskirfa. M.A. NIP. 1 96807 03 t994032002


(3)

ini berjudul 66PEKAWINAN ADAT KAMPUNG NAGA" (Pendekatan Etnografi pada Masyarakat Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya). Telah

diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Of$

Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 Oktober 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Hukum (S.H.) pada program studi Hukum Keluarga Islam.

Jakarta, l4 Oktober 2016 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua

NIP. 196706081994031

Sekertaris Arip Purkon. M.A.

NIP. r 9790 4272003t21002

(. . . .,

Pembimbing Dra. Hi. Maskufa. M.A. NIP. 1 96807 03 199 4032002

Penguji I Dr. Alfitra. S.H.. M.H. NIP. I 97202032007 01003

(...

Penguji

II

H. Syafruddin Makmur, S.H., M.H.(


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

Skripsi ini hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan

memperoleh gelar strata

I

di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakata.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku

di

Universitas Islam Negeri

(UnD

Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jika

di

kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di Universitas Islam Negeri (IIII{) Syarif Hidayatullah Jakarta.

J akarta, 12 Ol<tober 20 I 6

Dessy Nur Fitirani

1.

)


(5)

i

Naga. (Pendekatan Etnografi pada Masyarakat Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya). Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 1437 H/ 2016 M. xi +76 halaman + halaman lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses perkawinan adat yang terjadi Kampung Naga Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya dan mengetahui interaksi antara hukum Islam dan hukum adat yang memungkinkan terinternalisasinya budaya Islam dan budaya lokal. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi.

Sumber data yang diperoleh dari beberapa narasumber yakni para tokoh adat dan agama di Kampung Naga serta penduduk sanaga. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara observasi dan dokumentasi. Teknik analisis data dalam penelitian yang dilakukan penulis dengan melakukan wawancara dengan para tokoh adat setempat, penulis menggunakan analisis kualitatif, dimana data yang terkumpul dan diolah berdasarkan proses pengamatan dan penelitian kemudian diolah terlebih dahulu dan disampaikan dengan lebih bersifat deskriptif (pemaparan).

Kemudian penulis mendeduksi data dengan cara merangkum, mengidentifikasikan dan mengolah semua data dengan memfokuskan permasalahan sebatas pokok permasalahan yang diteliti. Prosedur penelitian meliputi tahap pra lapangan tahap penelitian lapangan tahap analisis data dan tahap penulisan laporan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, tradisi perkawinan adat yang masih berlaku di Kampung Naga terdapat penyerapan antara hukum adat dan hukum Islam yang sangat kental. Proses akulturasi yang terjadi antara hukum adat dan hukum Islam yang terjadi di Kampung Naga merupakan pengaruh dari masuknya Islam di Indonesia.

Oleh sebab itu, terdapat beberapa adat istiadat Sunda di kampung Naga yang sangat erat hubungannya dan mengandung filosofi dalam agama Islam. Meskipun terdapat beberapa budaya yang tidak mengandung ajaran agama Islam namun hal tersebut termasuk kearifan lokal yang tetap dipertahankan hingga sekarang yang memiliki manfaat bagi penduduk Kampung Naga.

Kata Kunci : Perkawinan Adat. Kampung Naga. Pembimbing : Dra. Hj. Maskufa, M. A.


(6)

ii

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Ilahi Robbi Allah SWT yang telah memberi memberi nikmat yang melimpah kepada setiap hamba-Nya, shalawat dan salam semoga selalu tercurah ke hadirat Muhammad Rasulullah SAW sebagai

khatamul anbiya yang telah membawa manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yan penuh cahaya seperti sekarang ini. Di balik terselesaikannya skripsi dengan judul “PERKAWINAN ADAT KAMPUNG NAGA” (Pendekatan Etnografi pada Masyarakat Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya) penulis ingin mengucapkan terima kasih terutama kepada :

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar M.A.Phd. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Abdul Halim, M. Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Arip Purqon, M.A., Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga yang telah membantu penulis secara tidak langsung dalam menyiapkan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Hj. Maskufa M.A. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu tenaga dan pikiran selama membimbing penulis. 4. Bapak Dr. H. Umar Al-Haddad, M.A., Dosen Pembimbing Akademik

yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulis menempuh perkuliahan di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

iii

penulis, semoga ilmu ini dapat bermanfaat dengan sebaik-baiknya..

6. Bapak Drs. Enong Mawardi Yazid selaku kepala camat kecamatan Salawu, Bapak Sobirin selaku kepala desa Neglasari bersama staf-stafnya, Bapak Ade Suherlin selaku kuncen, Bapak Maun selaku punduh, Bapak Henhen sebagai lebe, Bapak Uron sebagai ketua RT. 001, Mang Eno dan keluarga, Pak Tatang Sutisna, Pak Ikum dan keluarga, dan seluruh warga Kampung Naga dan sanaga yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dan memberikan informasi terkait kepada penulis hingga penulisan skripsi ini selesai.

7. Segenap pimpinan dan staf Perpustakaan Utama staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Nasional atas pelayanannya dalam melengkapi literatur penelitian.

8. Ayahanda tercinta Alm. Ade Junaedi, Ibunda Enung Zauhar Insiah yang hingga kini selalu berjuang untuk putra-putrinya, suami tersayang Asman Abdullah Surur, putra-putri tercinta Muhammad Rimba Shihab dan Edelweis Zukhruful Ilmi serta keluarga besar terutama adik-adik penulis Andri Taufik Ismali, Annisa Nurul Hasanah, Syifa Noorlia Fatimah dan Ghyna Ade Noormaya yang telah memberikan dukungan baik secara moril, materiil, serta doa yang selalu dipanjatkan sehingga penulis diberi kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini.


(8)

iv

semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, sahabat sejati yaitu Laela Qodriyah yang selalu mensupport dalam berfikir.

10.Dan semua pihak yang memberikan dukungan, spiritual, motivasi, moril dan materiil hingga selesainya penelitian ini yang tidak bisa penulis tuliskan satu-persatu. Semoga amal dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima oleh Allah SWT dengan pahala yang berlimpah. Dengan segala kelemahan dan kekurangan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi setiap langkah hidup kita. Amiiin.

Jakarta, Agustus 2016


(9)

v

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian... 8

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian... 8

2. Pendekatan Masalah ... 9

3. Sumber Data ... 9

4. Teknik Pengumpulan Data ... 9

5. Teknik Analisis Data ... 10

6. Teknik Penulisan ... 11

E. Studi Review Terdahulu ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TEORI PENERIMAAN HUKUM ADAT DI INDONESIA ... 14

A. Sejarah Terbentuknya Hukum-hukum di Indonesia ... 14

B. Perkawinan Adat Pasundan ... 20

C. Perkawinan Menurut Islam ... 25

1. Dasar Hukum Nikah ... 25

2. Pra perkawinan ... 28

3. Prosesi Perkawinan ... 31

4. Hak dan Kewajiban Suami Istri ... 35

5. Prinsip-prinsip dan Hikmah Perkawinan ... 37

BAB III SEKILAS TENTANG KAMPUNG NAGA, DESA NEGLASARI, KECAMATAN SALAWU, KABUPATEN TASIKMALAYA, JAWA BARAT ... 39

A. Sejarah dan Letak Geografis ... 39

B. Demografi Masyarakat ... 43

C. Kondisi Sosial Penduduk dan Perekonomiannya ... 44

D. Kondisi Agama, Budaya dan Pendidikan ... 47

1. Agama ... 47

2. Budaya ... 47


(10)

vi

NAGA ... 51

A. Prosesi Perkawinan Masyarakat Adat Kampung Naga ... 51

1. Pra Perkawinan ... 51

2. Prosesi Perkawinan ... 55

3. Hak dan Kewajiban Suami Istri ... 59

B. Analisa Penulis ... 60

BAB V PENUTUP ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 73 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

1

A. Latar belakang Masalah

Hukum Islam diyakini oleh banyak orang muslim sebagai suatu perangkat norma dan nilai komprehensif yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Penganut konstitualisme adalah paham atau keyakinan sebuah negara harus dijalankan dengan aturan-aturan hukum, bukan atas dasar keinginan-keinginan atau kehendak orang-perorang. Mengenai isi ini sangat penting dalam hubungannya dengan masyarakat yang sudah punya tradisi hukum sendiri di satu pihak dan pihak lain ada perkembangan baru tentang isi ini di luar tradisi tersebut, yang dicoba diadopsi ke dalam konstitusi tersebut. Akibatnya, konstitusi menjadi ruang pergumulan antara dua tradisi yang berbeda.1

Dimensi adat merupakan hukum yang hidup di dalam masyarakat, yang terjadi melalui proses internalisasi dalam interaksi sosial, khususnya dalam bidang hukum keluarga. Hukum yang demikian itu dilakukan tanpa intervensi kekuasaan negara atau kekuasaan tradisional karismatis; tetapi dilakukan atas dasar kesukarelaan (al-ridha‟). Dalam pelaksanaannya, terjadi pergumulan dengan kaidah lokal yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Adat dipandang sebagai salah satu dimensi hukum Islam, dapat dihat dari kaidah fiqih yang bersifat kulli; al-„aadah muhakkamah. Oleh karena masyarakat bangsa Indonesia bersifat majemuk baik secara horizontal maupun vertikal, maka corak adat pun bercorak majemuk. Dengan demikian, dimensi adat ini sangat bervariasi. Ia

1

Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 43-44


(12)

merupakan suatu kekayaan nuansa dimensi hukum Islam dalam berbagai komunitas muslim dalam suatu sistem masyarakat bangsa.2 Islam mengajarkan tata nilai yang membentuk budaya dan peradaban yang kuat dari pola berperilaku ummatnya yang teratur. Islam juga mengajarkan keindahan yang mengindikasikan keindahan Sang Pencipta.3

Hukum adat telah lama berlaku di nusantara ini. Namun, keberlakuannya tidak dapat diketahui secara pasti, melainkan dapat dikatakan bahwa, jika dibandingkan dengan kedua sistem hukum lainnya, yakni hukum Barat dan hukum Islam, hukum adatlah yang tertua umurnya.4 Pada dasarnya, hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis. Ia tumbuh dan berkembang dan/atau hilang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat.5

Di Indonesia, kita mengenal ada etnik Jawa, Ambon, Madura, Cina, Minang, Batak dan sebagainya. Keberadaan kelompok etnik tersebut tidak selamanya permanen dan bahkan acapkali hilang karena adanya asimilasi dan amalgamasi. Asimilasi adalah perbauran budaya di mana dua kelompok melebur kebudayaan mereka sehingga melahirkan satu kebudayaan. Dan amalgamasi adalah perbauran biologis antara kelompok manusia yang masing-masing memiliki ciri-ciri fisik yang berbeda sehingga keduanya menjadi satu rumpun.6

Di era globalisasi sekarang ini, budaya dan adat istiadat di Indonesia yang masih terjaga kemurniannya sangatlah sulit untuk ditemukan. Karena semakin

2

Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, h. 53-54

3

Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model Ijtihad al-Khulafa‟ al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 2010),h. 46

4

Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 79

5

Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 80 6

J. Dwi Narwoko, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 177


(13)

meningkatnya proses asimilasi dan amalgamasi serta mudahnya budaya luar (Barat) masuk ke Indonesia yang dengan mudah diserap oleh bangsa kita sendiri. Budaya asli Indonesia makin tergerus oleh zaman dan perlahan ditinggalkan oleh para penduduk adat tersebut. Oleh karena itu, jika kita menemukan masyarakat adat di sekitar kita yang masih menjunjung tinggi adat istiadat leluhurnya maka kita dianjurkan untuk menjaga kelestarian dan kemurnian adat istiadat yang masih melekat pada suatu komunitas tersebut.

Di pulau Jawa yang terdiri dari 6 propinsi, yakni Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, DIY Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur ini terdapat beberapa suku, diantaranya Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Baduy, dan lain-lain. Dalam hal ini, penulis akan membahas khusus tentang tradisi dan budaya Sunda perihal bidang perkawinan.

Penusantaraan Sunda dapat terjadi karena pengaruh Islam. Tradisi budaya Sunda, diislamkan. Terjadilah proses Islamisasi Sunda. Kehadiran ajaran Islam memperkaya dan meninggikan tradisi budaya Sunda. Dengan meluasnya ajaran Islam, dan budaya Sunda yang diislamkan, yang bermula dari Jawa Barat, memasuki seluruh nusantara.7

Pada umumnya yang dikatakan orang Sunda adalah orang-orang yang berasal dan bertempat kediaman di daerah propinsi Jawa Barat yang juga disebut daerah Pasundan atau tempat orang Sunda. Kehidupan keluarga Sunda bersifat parental atau bilateral, yang lebih mengutamakan kehidupan keorangtuaan, keseimbanagan hubungan darah antara pihak ayah dan pihak ibu, tetapi dengan

7

Yayasan Festival Istiqlal, Ruh dalam Budaya Bangsa Aneka Budaya di Jawa, (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996), h. 110


(14)

ikatan kekerabatan yang sudah tidak jelas dan banyak yang yang sudah tidak dapat diketahui lagi pertaliannya.8

Masyarakat orang Sunda merupakan masyarakat ketetanggaan, di mana keluarga-keluarga rumah tangga merupakan satu kesatuan rukun tetangga yang berkelompok dalam perkampungan yang disebut lembur yang letaknya berjauhan antara yang satu dengan yang lain. Kesatuan rukun tetangga dikepalai oleh tugu,

sedangkan lembur dikepalai oleh kokolot, mandor atau punduh. Perangkat desa tersebut di bawah pimpinan kepala desa yang disebut lurah, dan lurah dalam mengatur pemerintahan desa dibantu oleh petugas keamanan, pejabat agama,

judul, pancen, yaitu pembantu administrasi desa, ulu-ulu petugas pengawas saluran air dan centeng petugas pembagi air desa.9 Dengan demikian, jika terjadi perselisihan kekeluargaan, maka yang dapat diminta bantuan menengahinya selain keluarga tetangga adalah tua-tua kampung, tugu, kokolot atau pancen, petugas desa yang berkediaman di sekitar rukun tetangga bersangkutan, atau persoalannya disampaikan kepada kepala desa dengan perangkat desanya.10

Persamaan paradigma antara Islam dan kebudayaan Sunda membuka peluang bagi terjadinya penyerapan yang luwes azaz-azaz Islam ke dalam kehidupan budaya masyarakat Sunda.11 Termasuk dalam bidang hukum keluarga, yakni hukum perkawinan yang terjadi pada masyarakat Sunda. Perkawinan menjadi salah satu pranata sosial penting dalam perkembangan masyarakat.

8

Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung: P.T Alumni, 2010), cet. ke-3, h. 145

9

Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, h. 146 10

Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, h. 146 11


(15)

Keberadaannya diterima tanpa banyak ditentang di tengah-tengah masyarakat. Begitu pentingnya pernikahan sehingga hampir setiap manusia melaksanakannya

Salah satu tujuan pernikahan dalam agama Islam adalah tercapainya rasa ketentraman dalam diri setiap muslim sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Qur‟an dan Sunnah. Akan tetapi, rasa ketentraman itu belum tentu terwujud setelah pernikahan terlaksana. Tetapi, ketentraman dapat terwujud apabila antar suami-istri saling memahami, saling mengerti, saling percaya dan saling berkomunikasi dengan lancar. Islam mendorong untuk membentuk keluarga. Islam mengajak manusia untuk hidup dalam naungan keluarga, karena keluarga seperti gambaran kecil dalam kehidupan stabil yang menjadi pemenuhan keinginan manusia tanpa menghilangkan kebutuhannya.12

Secara etimologi, nikah mempunyai arti mengumpulkan, menggabungkan, menjodohkan, atau bersenggama (wath‟i). Dalam memakni hakikat nikah, ada ulama yang mengatakan bahwa pengertian hakiki dari nikah adalah bersenggama, sedang nikah sebagai akad merupakan pengertian yang bersifat majazy. Sementara Imam Syafi‟i berpendapat bahwa pengertian hakiki dari nikah adalah akad, sedang pengertian nikah dalam arti bersenggama (wath‟i) merupakan pengertian yang bersifat majazy.13

Secara terminologi, nikah didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga

12

Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, terjm. Nur Khozin, Nazhomu Israti Fii Al-Islam, (Jakarta: Amzah), h. 23

13Asrorun Ni‟am Sholeh,

Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Tangerang: Paramuda Jakarta), h. 3


(16)

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal.14 Sesungguhnya pernikahan tidak hanya bertujuan untuk memenuhi insting dan berbagai keinginan yang bersifat materi. Lebih dari itu, terdapat beberapa tugas yang harus dipenuhi, baik segi kejiwaan, ruhaniah, kemasyarakatan yang harus menjadi tanggung jawabnya. Termasuk juga hal-hal lain yang diinginkan oleh insting manusia.15

Dalam perjalanannya, banyak problem yang menjadi batu sandungan dalam mencapai kesuksesan berumahtangga.16 Adat dan tradisi perkawinan yang menjadi ciri khas masyarakat adat Sunda di Kampung Naga sangatlah menarik untuk diteliti karena masyarakat adat di Kampung Naga masih sangat kental dalam melaksanakan ritual warisan nenek moyang mereka yang juga mengandung unsur keislaman dan nilai filosofi yang sangat mendalam bagi para penduduknya.

Oleh karena itu, bagi masyarakat yang masih kental menjalani tradisi nenek moyangnya sangatlah penting melestarikan budaya leluhur Salah satunya bertujuan agar terhindar dari kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis. Karena menurut pemahaman masyarakat adat tidak mungkin leluhur mereka mengajarkan dan menurunkan sesuatu kepada keturunannya adalah sesuatu yang tidak baik.

Berangkat dari hal tersebut, Penulis sangat tergelitik untuk melakukan penelitian pada masyarakat adat yang terdapat di daerah Jawa Barat tersebut, yakni masyarakat adat Kampung Naga yang terletak di Kecamatan Neglasari Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat.

14Asrorun Ni‟am Sholeh,

Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h. 3 15

Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, terjm. Nur Khozin, Nazhomu Israti Fii Al-Islam, h. 37

16Abdul Qadir Ahmad, „Atha,

Memupuk Cinta Suami Istri, terjm. Heri Purnomo,


(17)

Pada karya ilmiah ini, penulis tertarik akan budaya masyarakat adat Kampung Naga dan penulis menarik judul pada karya ilmiah ini dengan judul

“PERKAWINAN ADAT KAMPUNG NAGA” (Pendekatan Etnografi pada Masyarakat Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan skripsi ini menjadi lebih terfokus, tersusun dengan sistematis dan terarah, maka Penulis membatasi lingkup permasalahan dengan melakukan pembatasan masalah pada bidang perkawinan dan khususnya bagaimana aturan-aturan hukum adat yang berlaku di masyarakat adat di Kampung Naga pada prosesi perkawinan.

Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses perkawinan masyarakat adat di Kampung Naga? 2. Bagaimana perpaduan antara hukum Islam dan hukum adat dalam bidang

perkawinan yang terjadi pada masyarakat adat kampung Naga?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Untuk mendapatkan deskripsi tentang proses perkawinan pada masyarakat adat di Kampung Naga.

2. Untuk mendapatkan deskripsi perpaduan antara hukum Islam dan hukum adat dalam bidang perkawinan yang terjadi pada masyarakat adat kampung Naga.


(18)

Manfaat yang didapat dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Dapat mengetahui dan lebih memahami proses perkawinan yang terjadi di Kampung Naga dilihat dari segi etnografi.

2. Dapat mengetahui interaksi antara hukum Islam dan hukum adat yang memungkinkan terinternalisasinya budaya Islam dan budaya lokal.

3. Dapat menambah wawasan ilmu dalam wilayah kajian yang erat kaitannya dengan program studi Ahwal Syakhshiyyah dan menambah literature kepustakaan.

D. Metode Penelitian

Untuk memperoleh hasil yang maksimal dari penelitian yang dilakukan, maka metode penelitian yang dijalankan akan memegang peranan yang sangat penting. Hal ini sangat mempengaruhi sampai tidaknya suatu penelitian itu kepada tujuan yang ingin dicapai. Adapun metode yang yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah:

1. Jenis Penelitian

Dalam mengumpulkan data yang diperlukan, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi. Secara literer,

ethnography berarti menulis atau catatan tentang orang atau anggota kelompok sosial dan budaya. Dalam arti luas merupakan suatu studi tentang sekelompok orang untuk menggambarkan kegiatan dan pola sosial budaya mereka.17

17

A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), h. 358-359


(19)

2. Pendekatan Penelitian

Etnografi, merupakan suatu bentuk penelitian yang terfokus pada makna sosiologis diri individu dan konteks sosial-budayanya yang dihimpun melalui observasi lapangan sesuai dengan fokus penelitian.18

3. Sumber Data

a. Data primer yaitu data-data yang diperoleh penulis melalui pengamatan terhadap prosesi pernikahan dengan menggunakan penelitian lapangan (field research) yaitu dengan jalan mengadakan riset lapangan (observasi), untuk menghimpun data tersebut penulis juga dapatkan dari sumber pertamanya, yakni para tokoh adat dan agama di Kampung Naga, Tasikmalaya. wawancara langsung dengan pihak yang terkait dengan penelitian ini.

b. Data sekunder berupa buku-buku tentang daerah Kampung Naga dan sekitanya.

c. Data tersier berupa kamus dan lainnya 4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh hasil yang akurat dan berkualitas maka penulis melakukan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara sebagai berikut:

a. Observasi

Observasi adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut.

18


(20)

Observasi dilakukan untuk mendapatkan data-data yang otentik dan akurat.19

Dalam hal ini peneliti melakukan observasi atau pengamatan dengan meneliti aturan atau tradisi yang telah mengakar pada prosesi perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat adat Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

b. Interview atau wawancara

Wawancara adalah pertemuan antara dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.20

Dalam hal ini penulis melakukan interview atau wawancara dengan subyek penelitian yakni tetua adat dan tokoh agama di komunitas masyarakat adat Kampung Naga dengan menggunakan alat perekam berupa telepon selular.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara meneliti dokumentasi-dokumentasi yang ada dan mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian.

5. Teknik Analisis Data

Dalam suatu analisis yang dilakukan penulis dengan melakukan wawancara dengan para tokoh adat setempat, penulis menggunakan analisis

19

Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), h. 175 20


(21)

kualitatif, dimana data yang terkumpul dan diolah berdasarkan proses pengamatan dan penelitian kemudian diolah terlebih dahulu dan disampaikan dengan lebih bersifat deskriptif (pemaparan).

Kemudian penulis mendeduksi data dengan cara merangkum, mengidentifikasikan dan mengolah semua data dengan memfokuskan permasalahan sebatas pokok permasalahan yang diteliti.

6. Teknik Penulisan

Dalam penyusunan, teknik penulisan berpedoman pada prinsip-prinsip yang diatur dan dibukukan dalam Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah 2012.

E. Studi Review Terdahulu

1. Eka Qaanitaatin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul “UPACARA PERKAWINAN DALAM MASYARAKAT KAMPUNG NAGA” (Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat) dalam skripsi ini memaparkan tentang tradisi dan budaya perkawinan di Kampung Naga secara inplisit. Berbeda dengan yang dibahas penulis, yaitu penulis membahas tentang penyerapan antara hukum adat Sunda khususnya di Kampung Naga dengan hukum Islam pada prosesi perkawinannya.

2. Imas Siti Masitoh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dengan judul “PERILAKU KEBERAGAMAN MASYARAKAT TRADISIONAL” (Studi Kasus Masyarakat Tradisional di Kampung Naga Tasikmalaya) dalam skripsi ini memaparkan tentang keberagaman tradisi dan budaya masyarakat adat Kampung Naga dalam berbagai aspek kehidupan


(22)

seperti dalam bersosialisasi, menjalankan ajaran-ajaran agama Islam, menjalankan tradisi leluhur dan lain-lain. Berbeda dengan yang dibahas oleh penulis, dalam skripsi ini penulis membahas tentang prosesi perkawinan adat yang terjadi di Kampung Naga dan penyerapan yang terjadi antara hukum adat Sunda khusus di Kampung Naga dengan hukum Islam.

F. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab, dengan sistematika sebagai berikut:

Bab Pertama merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah yang akan diteliti, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka sebagai referensi bahan, metode penelitian, studi review terdahulu dan sistematika penulisan.

Bab Kedua dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang hukum Barat, hukum adat dan hukum Islam. Hukum-hukum di Indonesia yang mengalami interaksi antara hukum Islam, hukum adat dan hukum Barat.

Bab Ketiga dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang gambaran peta sosial budaya masyarakat adat Kampung Naga, Tasikmalaya. Yang berisikan sejarah dan letak geografis, demografi masyarakat, kondisi sosial penduduk dan perekonomiannya, kondisi agama, budaya dan pendidikannya.

Bab keempat dalam bab ini penulis akan membahas hasil penelitian yang menjelaskan tentang bagaimana sejarah adat istiadat, proses perkawinan adat di


(23)

Kampung Naga meliputi proses pra perkawinan, prosesi perkawinan adat dan hak dan kewajibam suami istri.

Bab kelima dalam bab ini penulis akan membahas uraian tentang kesimpulan dan saran.


(24)

BAB II

TEORI PENERIMAAN HUKUM ADAT DI INDONESIA

A. Teori Penerimaan Hukum Adat di Indonesia

Sutan Takdir menyebutkan bahwa agama adalah salah satu unsur yang sangat memengaruhi kebudayaan Indonesia. Dalam kebudayaan Indonesia asli (sebelum datangnya budaya India) yang berkuasa adalah nilai agama, nilai solidaritas dan nilai seni.1

Dalam kebudayaan Islam sendiri, nilai agama mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi di masyarakat, yaitu Tuhan yang monoteistik dan sangat abstrak. Tuhan memiliki kedudukan yang paling tinggi, sehingga manusia yang ada di bawahnya memiliki kedudukan yang sama dan sekaligus sebagai khalifah-Nya di bumi. Hal ini memberikan perubahan dalam masyarakat Indonesia dari sebelumnya yang menganut kasta dalam masyarakat. Islam, oleh Sutan Takdir, dianggap sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, akal dan nilai ekonomi, hal berbeda dengan kebudayaan asli Indonesia dan Hindu.2

Islam sendiri menjadi agama mayoritas yang dipeluk masyarakat Indonesia. Posisi tersebut justru menjadikan Islam sebagai salah satu agama yang paling berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat.3 Adalah wajar jika hukum adat yang bersumber dari kebiasaan masyarakat ini kemudian diwarnai oleh hukum agama (Islam) sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia. Soerojo

1

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 96

2

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, h. 99 3

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, h. 105


(25)

Wignjodipoero ketika menguraikan tentang delik adat berkata, bahwa hukum adat bukanlah hukum yang statis tetapi bersifat dinamis. Setiap peraturan hukum adat timbul, berkembang, lalu akan lenyap dengan munculnya peraturan hukum adat yang baru. Sedangkan peraturan yang baru itu akan berkembang, kemudian akan lenyap pula dengan munculnya peraturan hukum adat yang baru, sejalan dengan dinamika dan perubahan rasa keadilan masyarakat yang dahulu melahirkan peraturan itu.4

Sekalipun demikian, mereka tidak begitu saja mengabaikan kaidah-kaidah adat yang sudah mereka pegang teguh dari generasi ke generasi. Karena tidak transedental ini pula dapat menjadi faktor bagi sebagian masyarakat untuk tidak begitu ketat menerapkan kaidah-kaidah adat itu dalam prilaku mereka sehari-hari. Karena menerima perubahan ini, maka muncul pendapat bahwa sesuai dengan kondisi sosial yang selalu berubah, hukum adat memperlihatkan kedinamisannya dan menjadi terbuka menerima perubahan dan pengaruh luar.5

Penerapan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebelum kedatangan kolonial (masa-masa kerajaan Islam), dalam hal penyelesaian masalah

muamalah, munakahat, dan uqubat diselesaikan melalui Peradilan Agama.6

Pada masa penjajahan Belanda dijumpai beberapa instruksi dari gubernur jenderal kepada para bupati khususnya di pantai utara Jawa. Instruksi tersebut memberi kesempatan kepada para ulama untuk menyelesaikan perselisihan

4

Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minagkabau, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011), h. 13

5

Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minagkabau, h. 14

6

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011), h. 191


(26)

perdata di kalangan penduduk menurut ajaran Islam. Didasarkan atas teori Van Den Berg yang menganut paham Receptie in Complexu, yang berarti bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi adalah hukum agama yang dipeluknya. Kenyataan ini dipengaruhi oleh warga pribumi yang taat dalam menjalankan syariat agama sesuai dengan titah Allah dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 208 (udkhulu fi as-Silmi Kaaffah). Teori Van Den Berg tersebut ditentang oleh Snouck Hurgronje dan kawan-kawan yang menganut paham Teori Receptio, mereka menyatakan bahwa hukum Islam itu dipandang sebagai hukum apabila telah diterima oleh adat. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa masalah ini menyangkut masalah politik hukum Belanda.7

Teori ini mengubah atau menggantikan teori Receptie in Complexu yang terkandung dalam Pasal 78: (2) yang kemudian menjadi Pasal 134: (2) IS. Karena ada pergantian nama UUDS Pemerintahan Hindia Belanda dari

Regeringsreglement menjadi Indische Staatsregeling pada tahun 1919 dengan teori receptie Pasal 134: (2) IS yang baru ini berbunyi:8

“Dalam hal terjadi perkara perdata antarsesama orang Islam akan

diselesaikan oleh hakim agama Islam, keadaan tersebut telah diterima

hukum adat mereka dan sejauh tidak ditentukan oleh ordonantie”. Arti

pasal ini bahwa hukum Islam yang berlaku hanyalah kalau telah direceptie oleh hukum adat. Perubahan tersebut terjadi pada tahun 1929 melalui Staatsblad 1929 No. 221.

Teori Receptie yang dijadikan landasan kebijaksanaan Pemerintahan Belanda terhadap hukum Islam termasuk lembaga Peradilan Agama yang

7

A. Basiq Djalil, Peradilan Islam,(Jakarta: Amzah, 2012)h. 187-188 8

A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), cet. ke-2,h. 51


(27)

tercermin dalam Pasal 134: (2) Indishe Staatsregeling dan Staatsblaad 1882 No.152 kemudian didukung oleh Prof. Ter Haar dan beberapa sarjana hukum yang mendapat pendidikan Belanda, baik di Batavia maupun di negeri Belanda.9 Pendapat ini kemudian dikenal dengan teori reseptie, hukum Islam bukanlah hukum. Hukum Islam baru diakui sebagai hukum jika sudah menjadi hukum adat.10

Melihat sejarah bagaimana masyarakat Indonesia selalu berubah seperti ini, menurut Soedjatmoko, kebudayaan Indonesia merupakan endapan dari cara-cara penghadapan bangsa Indonesia, termasuk persoalan-persoalan yang timbul dari pertemuan dengan unsur-unsur kebudayaan asing. Sejarah telah membuktikan besarnya pengaruh-pengaruh asing atas kehidupan bangsa Indonesia, tetapi juga tak dapat dipungkiri bahwa betapa kuatnya bangsa ini memasak dan mencernakan unsur-unsur asing itu, sehingga kebudayaan-kebudayaan yang berkembang sebagai jawaban bangsa Indonesia atas pengaruh-pengaruh itu tetap dirasakan sebagai sifat dari perkembangan kebudayaan asli Indonesia.11

Selain nilai-nilai agama, unsur-unsur budaya Barat lainnya, juga sedikit demi sedikit berhasil mempengaruhi unsur budaya tradisional yang sebenarnya sudah lama berkembang di kalangan masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Sunda.12 Proses menyatunya Sunda dengan Islam, Sundanisasi Islam, artinya Islam menjadi milik Sunda, dan yang semula Islamisasi Sunda artinya budaya

9

A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, h. 51

10

Aladdin Koto, Sejarah Peradilan Islam, h. 223 11

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, h. 112 12

Yayasan Festival Istiqlal, Ruh Islam dalam Budaya Bangsa Aneka Budaya di Jawa,


(28)

Sunda dipengaruhi ajaran Islam, semakin meningkat memasuki abad ke-19.13 Penusantaraan Sunda dapat terjadi karena pengaruh Islam tradisi budaya Sunda, di-Islamkan. Terjadilah proses Islamisasi Sunda. Kehadiran ajaran Islam memperkaya dan meninggikan tradisi budaya Sunda. Dengan meluasnya ajaran Islam, dan budaya Sunda yang di-Islamkan, yang bermula dari Jawa Barat memasuki seluruh nusantara.14

Kehidupan keluarga Sunda bersifat parental atau bilateral, yang lebih mengutamakan kehidupan keorangtuaan, keseimbangan hubungan darah antara pihak ayah dan pihak ibu, tetapi dengan ikatan kekerabatan yang sudah tidak jelas dan banyak yang sudah tidak dapat diketahui lagi pertaliannya. Walaupun demikian di antara mereka masih ada yang merasa satu keturunan dari satu nenek pada adat pantangan sampai tujuh turunan, di mana anggota kerabat yang lebih muda harus menghormati kerabat yang lebih tua, dan merasa ada hubungan dengan kuburan (keramat) nenek moyangnya atau kuburan pembangun desa tertentu. Namun, yang lebih diutamakan adalah kehidupan keluarga batih ang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak, termasuk anggota keluarga yang menjadi pembantu kegiatan rumah tangga atau orang yang numpang untuk beberapa waktu.15

Orang Sunda beranggapan bahwa orang pula harus mentaati ajaran-ajaran yang telah ada sejak zaman dahulu, yakni ajaran kesentosaan hidup baik di dunia

13

Yayasan Festival Istiqlal, Ruh Islam dalam Budaya Bangsa Aneka Budaya di Jawa, h. 112

14

Yayasan Festival Istiqlal, Ruh Islam dalam Budaya Bangsa Aneka Budaya di Jawa, h. 110

15

Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung: P. T. Alumni, 2010), cet. ke-3, h. 145


(29)

maupun di akhirat, yang dipesankan ibu, bapak, kakek, buyut, yang tahu akan ajaran „mahapandita‟. Orang harus mencontoh leluhurnya dalam menjalankan ajaran-ajaran itu.16

Ajaran-ajaran itu, bagi orang Sunda, minimal mempunyai tiga fungsi. Fungsi pertama, sebagai pedoman yang menuntun seseorang dalam perjalanan hidup yang harus dilaluinya. Fungsi kedua, sebagai kontrol sosial terhadap hasrat-hasrat dan gejolak-gejolak yang timbul di dalam diri seseorang. Fungsi ketiga, sebagai suasana di dalam lingkungan tempat seseorang tumbuh dan dibesarkan yang tanpa perlu disadari telah meresap ke dalam diri orang itu.17

Adapun tujuan hidup yang dianggap baik oleh orang Sunda ialah hidup sejahtera, hati tentram dan tenang, mendapat kemuliaan dan damai, merdeka untuk selamanya, dan mencapai kesempurnaan di akhirat. Seseorang yang mencapai kesempurnaan di akhirat ialah orang yang terhindar dari kemaksiatan dunia dan dari neraka. Semua itulah tujuan yang dikejar dan dihindari oleh orang Sunda.18

Pegangan hidup orang Sunda disebut sinigar tengah, lazim pula disebut

sinegar tengah, yang secara harfiah berarti dibelah tengah dan dapat ditafsirkan sebagai tingkah laku atau tindakan yang terkontrol agar tetap wajar dan seimbang.19

Tidak sukar untuk diduga bahwa sistem ekonomi pertanian masyarakat Sunda lama besifat komunalistis. Kehidupan ekonomi yang sangat terikat adat,

16

Harsja W. Bachtiar, dkk, Masyarakat dan Kebudayaan, (Jakarta: Djambatan, 1988), h. 408

17

Harsja W. Bachtiar, dkk, Masyarakat dan Kebudayaan, h. 408-409 18

Harsja W. Bachtiar, dkk, Masyarakat dan Kebudayaan, h. 409 19


(30)

yang pada gilirannya sangat terarah pada kesejahteraan komunitas, sangat berbeda dengan kapitalisme.20

Persamaan paradigma antara Islam dan kebudayaan Sunda membuka peluang bagi terjadinya penyerapan yang luwes dari azas-azas Islam ke dalam kehidupan budaya masarakat Sunda.21

B. Perkawinan Adat Pasundan

Menurut Hukum Adat, perkawinan bisa merupakan urusan kerabat, keluarga, martabat, bisa merupakan urusan pribadi, bergantung kepada tata-susunan masyarakat yang bersangkutan.22 Menurut paham ilmu bangsa-bangsa (ethnologi) dilihat dari keharusan dan larangan mencari calon istri bagi setiap pria, maka perkawinan itu dapat berlaku dengan sistim “endogami” dan sistim “eksogami” yang kebanyakan dianut oleh masyarakat adat bertali darah dan atau dengan sistim “eleutherogami” sebagaimana berlaku dikebanyakan masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi hukum Islam.23

Sistem perkawinan Sunda pun dengan segenap tata caranya adalah budaya Islam yang disundakan. Dengan kata lain, ayat Al-Qur‟an dan hadits tentang pernikahan adalah diaplikasikan dalam bahasa siloka dan siloka barang dalam tata upacara pernikahan yang memiliki khas tradisi budaya Sunda. Tata upacara perkawinan yang kedengarannya berbahasa Sunda, akan menjadi “terasa bertentangan” dengan pemahaman kaidah fiqih yang berbahasa Arab yang masih

20

Yayasan Festival Istiqlal, Ruh Islam dalam Budaya Bangsa Aneka Budaya di Jawa, h. 162

21

Yayasan Festival Istiqlal, Ruh Islam dalam Budaya Bangsa Aneka Budaya di Jawa, h. 162

22

Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007), cet. ke-5, h. 107

23

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990), cet. ke-IV, h. 67


(31)

asli sebagai bahasa hukum, bagi yang menangkap secara fenomenanya semata. Apalagi bila pakar fiqihnya mengenal budaya Sunda atau berlatar belakang non-Sunda.24

Sebagaimana di daerah lain dalam lingkungan masyarakat pasundan (Jawa Barat) acara dan upacara perkawinan dimulai dengan cara “neundeun omong”, yaitu perundingan antara pihak pria dan pihak wanita yang berwujud penyampaian kata-kata peminangan. Apabila dalam perundingan antar kedua belah pihak berjalan lancar dan saling menyetujui untuk melaksanakan perkawinan anak-anak mereka, maka pihak pria akan menyampaikan selanjutnya “panyangcang”, yaitu tanda pengikat pertunangan pria dan wanita bersangkutan.25

Dalam masa ikatan pertunangan itu antar dua pihak merundingkan dan menetapkan hari, waktu pernikahan dan upacara adat yang akan dilaksanakan. Menjelang saat-saat pernikahan kedua mempelai, calon mempelai pria diantar oleh para anggota kerabat tetangganya ke tempat calon mempelai wanita. Sampai di tempat wanita maka tua-tua keluarga (sesepuh) pria menyerahkan calon mempelai pria dengan suatu upacara pidato penyerahan yang menarik kepada pihak orang tua mempelai wanita. Penyerahan calon mempelai pria ini disertai dengan “seserahan” (penyerahan) barang-barang pakaian, perhiasan dan bahan makanan sera sekadar biaya perkawinan yang disebut “pamawakeun”. Pihak wanita menerima penyerahan ini dengan mengadakan sedekah selamatan dengan

24

Yayasan Festival Istiqlal, Ruh Islam dalam Budaya Bangsa Aneka Budaya di Jawa, h. 113

25


(32)

iringan doa para hadirin dan memohon doa restu dari para ghaib arwah leluhur kedua pihak.26

Sebelum hari pernikahan berlangsung, di tempat wanita dilakukan acara “ngeuyeuk seurueh”, ialah menyiapkan bingkisan-bingkisan sirih dan perlengkapannya, yang dilakukan oleh kaum wania di bawah pimpinan wanita yang telah berumur dan berpengalaman. Pada upacara ini dilakukan pembakaran “kemenyan” dan menghidupkan lampu pelia kuno yang memakai tujuh sumbu serta dilaksanakan pengajian agama Islam.27

Selesai acara “ngeuyeuk seureuh”, maka mempelai wanita mengumpulkan sampah bekas-bekas menyiapkan bingkisan sirih dan membuangnya ke tempat sampah yang disebut “jarian”. Bingkisan sirih dan perlengkapannya diletakkan di atas baki-baki dengan ditutupi kain. Keesokan harinya kedua mempelai dibawa bersama bingkisan-bingkisan sirih ke masjid untuk melakukan akad nikah. Apabila perkawinan tidak dilakukan di masjid maka bingkisan-bingkisan sirih itu dihadapkan kepada para petugas agama yang akan melaksanakan dan menyaksikan akad nikah yang diselenggarakan di rumah mempelai wanita.28

Setelah upacara akad nikah di masjid maka para anggota kerabat tetangga yang berada di “belandongan” (teratak) melakukan penyambutan terhadap kedua mempelai yang diiringi oleh nyanyian Sunda yang dilagukan oleh “tukang nyawer” yang isinya meminta doa restu pada para ghaib. Di tengah-tengah keramaian itu tukang nyawer menaburkan beras kuning sesajian yang bercampur uang logam sehingga menjadi rebutan anak-anak. Sementara itu kedua mempelai

26

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, h. 131 27

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, h. 131 28


(33)

dihentikan sejenak berdiri untuk dibacakan doa selamat.29 Kemudian mempelai wanita dipersilahkan berdiri di “pendapa” (serambi muka) rumah dan diberikan kendi berisi air yang dipegangnya dengan tangan kanan, lalu pada tangan kirinya disuruh memegang harupat yaitu obor dengan api yang menyala. Di haadapannya diletakkan papan alat tenun (tunjangan) dan peralatannya (elekan) serta sebuah telur.30

Setelah siap semua, maka mempelai pria yang berdiri beberapa langkah di muka, dipersilahkan menginjak elekan dan telur sekaligus sampai patah elekannya dan pecah telurnya. Mempelai wnita mengangkat harupat dan meniup apinya sampai mati sekaligus. Harupat diletakkannya lalu ia berjongkok membersihkan kaki mempelai kaki pria yang telah kotor karena pecahan telur dengan air kendinya. Setelah kaki bersih kendi diambil mempelai pria lalu dilemparkan sampai hancur luluh.31

Dalam suasana hangat itu biantara, yaitu petugas pembawa acara menyampaikan sedikit uraian kata sambutan, kemudian mempersilahkan kedua mempelai bergandengan tangan memasuki ruang dalam rumah dan menuju ke kamar mempelai. Sampai di pintu kamar mempelai wanita melepaskan dirinya memasuki kamar dan segera menutup pintu, sehingga mempelai pria tertahan di luar.32

Sementara mempelai pria duduk kebingungannya di muka pintu maka datanglah seorang pria untuk membantunya dalam acara “buka pintu” ini. Kemudian datang pula seorang wanita yang akan membantu mempelai wanita.

29

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, h. 132 30

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, h. 132 31

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, h. 132 32


(34)

Antara pria dan wanita bersangkutan terjadiah silat lidah dengan kata-kata berirama di mana pihak pria meminta agar pintu dapat dibuka, sedangkan pihak wanita menjawab tidak bisa harus memakai syarat. Pada akhirnya pintu kamar mempelai itu terbuka pula.33

Di dalam kamar kedua mempelai disuruh berganti pakaian, setelah itu mereka duduk bersanding di hadapan peraduan mempelai untuk melaksanakan makan bersama “nasi punar”, yaitu nasi kuning berlauk pauk gorengan sepasang burung merpati dan lain-ain. Kedua mempelai makan menghabiskan kedua merpati itu. Setelah itu, antara keduanya melakukan “huap lingkung”, yaitu saling menyuapkan makanan dan minumannya. Selesai makan bersama ini, dan para undangan sudah selesai bersantap hidangan dan meninggalkan tempat acaara, maka kedua mempelai dapat beristirahat.34

Keesokan harinya kedua mempelai ziarah ke makam orang tua atau kakek-nenek mereka yang telah wafat. Beberapa hari kemudian, diadakan lagi hajatan memotong ayam (bakakak) dalam rangka acara “panumbas”, di mana mempelai wanita akan mendapat hadiah-hadiah dari kedua pihak orang tuanya. Acara terakhir ini adalan “ngunduh temanten” di mana kedua mempelai diantar beramai -ramai ke tempat orang tua mempelai pria yang diterima oleh keluarga pihak pria dengan upacara sedekah selamat dengan mengundang kerabat tetangga sebingga dapat lebih mengenal satu sama lain. Menurut adat Sunda sebelum satu minggu kedua mempelai belum dapat bebas meninggalkan tempat kediaman orang tuanya.35

33

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, h. 133 34

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, h. 133 35


(35)

C. Perkawinan Menurut Islam 1. Dasar Hukum Nikah

Syariat nikah berupa anjuran dan beberapa keutamaannya merupakan realita yang tidak ada perdebatan di dalamnya. Nikah pada satu sisi adalah sunnah yang dilakukan para Nabi dan rasul dalam upaya penyebaran dan penyampaian risalah Ilahiyah. Nikah pada sisi yang lain, berfungsi sebagai penyambung keturunan agar silsilah keluarga tidak terputus yang berarti terputusnya mata rantai sejarah dan hilangnya keberadaan status sosial seseorang.36

Untuk mengetahui kedudukan nikah dilihat dari sudut pandang hukum Islam perlu dikemukakan beberapa hukum nikah. Terhadap perihal hukum nikah para fuqaha berbeda pendapat dalam menentukan kedudukan hukumnya. Secara umum ada pendapat tentang hukum nikah seperti sunnah menurut kelompok Jumhur dan wajib menurut golongan Zhahiriyah. Kelompok pengikut madzhab Malik yang belakangan memerinci kedudukan hukum nikah berdasarkan kondisi, yaitu hukum wajib untuk sebagian orang dan sunnah untuk sebagian yang lainnya dan dapat juga berhukum mubah bahkan haram, tergantung pada keadaan masing-masing sesuai kemampuan menghindarkan diri dari perbuatan tercela.37

36

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Madzhab, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari), h. 7

37

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Madzhab, h. 7


(36)

Berikut ini beberapa rincian hukum nikah:38

Pertama: Sunnah.Jumhur berpendapat bahwa hukum nikah adalah sunnah bagi mereka yang tidak khawatir dirinya terjerumus ke perbuatan zina.39 Dasar pemikiran Jumhur adalah firman Allah:

 ....  ....

“... Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ...” (Q.S.

An-Nisaa: 3)

Di dalam ayat tersebut memberi penjelasan bahwa pernikahan hendaknya didasarkan selera yang dimiliki sang pelaku. Apabila yang bersangkutan tidak berselera untuk melakukannya, maka tidak ada ikatan yang memaksa dan tidak pula berdosa. Kelanjutan ayat berbunyi:

.... عبرو اثو ىن م .... “... dua, tiga dan empat...”

Ayat ini ada yang mengomentari bahwa sitiran ayat mengandung hukum sunnah, akan tetapi ada penjelasan bahwa hukum “Nadb” di sini bukan hukum asal dari nikah, ayat tersebut ditujukan pada hukum poligami.

Al-Istitaabah atau kehendak yang memunculkan selera rasa senang terhadap wanita tertentu dalam ayat di atas berimplikasi hukum nadb.40

Kedua: Wajib.Di antara fuqaha yang berpendapat bahwa hukum nikah wajib adalah kelompok Abu Daud Al-Zhahiriy, Ibnu Hazm melalui riwayat Ahmad, Abu Awanah al-Isfaraini dari golongan Al-Syafi‟i dan pendapat ini

38

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Madzhab, h. 7

39

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Madzhab, h. 8

40

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Madzhab, h. 8


(37)

termasuk pandangan kelompok ulama Salaf. Dasar pemikiran mereka zhahir ayat-ayat tentang seruan atau ajakan menikah antara lain:41

  

 

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan

orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”

Dan juga,

 ....  ....

”.... maka nikahilah (wanita-wanita lain selain yatim) yang engkau

senangi ....” (Q.S. An-Nisaa: 3)

Hadits Nabi yang berbunyi,

وز يلف ءا لا مكنم عاط سا نم “... bagi yang mampu menikah di antara kalian, maka hendaklah menikah! ...”

Struktur kata dan hadits di atas, menunjukkan perintah yang berimplikasi bentuk wajib. Sehingga kedudukan hukum nikah adalah wajib.42

Ketiga:pengikut madzhab Malik mengatakan hukum nikah disandarkan kepada situasi dan kondisi seseorang, dengan begitu akan melahirkan produk hukum yang berbeda sesuai dengan perbedaan keadaan masing-masing. Pandangan ketiga ini adalah pandangan yang masyhur dari pengikut Imam

41

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Madzhab, h. 9

42

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Madzhab, h. 10


(38)

malik dan meski demikian pendapat ini juga diikuti oleh pengikut Al-Syafi‟i dan pengikut Imam Ahmad bin Hambal.43

2. Pra Perkawinan a. Memilih Jodoh

Dalam pandangan Islam perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata, bukan pula sekadar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan petunjuk Nabi.44

Ada beberapa motivasi yang mendorong seorang laki-laki memilih seorang perempuan untuk pasangan hidupnya dalam perkawinan dan demikian pula dorongan seorang perempuan waktu memilih laki-laki menjadi pasangan hidupnya. Yang pokok di antaranya adalah: karena kecantikan seorang wanita atau kegagahan seorang laki-laki atau kesuburan keduanya dalam mengharapkan anak keturunan; karena kekayaannya; karena kebangsawanannya, dan karena keberagamaannya. Di antara alasan yang banyak itu, maka yang paling utama dijadikan motivasi adalah karena keberagamaannya.45 Hal ini dijelaskan Nabi dalam

43

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Madzhab, h. 13

44

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2007), cet. ke-2, h. 48

45

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 48


(39)

hadisnya yang muttafaq „alaih berasal dari Abu Hurairah, sebagai berikut:46

“Seorang perempuan dinikahi (dijadikan istri) atas dasar empat

pertimbangan yaitu: karena kecantikannya; karena hartanya; karena keturunannya; dan karena agamanya. Maka menangkanlah pilihan

agama dan engkau akan beuntung.”

b. Peminangan (Khitbah)

Kata khitbah adalah bahasa Arab yang secara sederhana diartikan dengan: penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan atau dalam bahasa Melayu disebut “peminangan”.47

Lafaz (al-khitbah) menurut kamus Al-Munawwir berasal dari kata بوطخلا و طخلا artinya adalah pinangan, lamaran.48

Peminangan dilksanakan sebelum dilangsungkan akad perkawinan, seorang laki-laki dianjurkan untuk melakukan peminangan terlebih dahulu kepada perempuan yang akan dinikahinya sebelum terjadinya akad perkawinan dengan tujuan agar kedua calon pasangan suami istri dapat saling mengenal (berta‟arruf) keadaan dan pribadi masing-masing calon pasangan suami istri. Baik mengenal keadaan ataupun sifat dan karakter masing-masing sebelum melangkah pada proses perkawinan selanjutnya yakni proses akad nikah.

46

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 48

47

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 49

48

A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), h. 349


(40)

Melihat seseorang yang hendak dijadikan pasangan hidup memiliki dasar hukum dari Al-Qur‟an dan hadis. Firman Allah swt. tersebut adalah sebagai berikut:













































“Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu

dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. dan adalah Allah

Maha mengawasi segala sesuatu.”

Kata (نسحلا) yang berarti “kecantikan”, tidak dapat diungkap sebagai bentuk penilaian sebelum diadakan penelitian dengan cara “melihat”. Sebab nuzul ayat secara spesifik membicarakan khitab yang ditujukan kepada Nabi saw. Khitab itu berisi ketentuan bagi beliau agar tidak melakukan pernikahan terhadap wanitaa lain. Dengan turunnya ayat tersebut penambahan jumlah istri bagi Nabi saw sudah terhenti.49

Dalam sitiran ayat terdapat pula sebuah statement yang mengandung pengertian “melihat”. “Melihat”, pada tataran real pada sebuah perbincangan dengan tema pernikahan akan mengantarkan penilaian terhadap objek (pria dan wanita). Penilaian itu dapat berarti positif berupa pujian karena kecantikan dan atau ketampanan. Sebaliknya

49

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Madzhab, h. 138-139


(41)

dapat juga negatif berupa celaan karena ketidakcantikan dan atau ketidaktampanan.50

Dasar hukum melihat pinangan yang bersumber dari hadis diantaranya:51

“Abu Hurairah berkata: “Pernah aku bersama Nabi saw, lalu beliau

didatangi seorang laki-laki memberitahukan perihal dirinya yang telah menikahi seorang perempuan Anshar. Rasulullah saw berkata

kepadanya: “Sudahkah engkau melihatnya?” Lelaki itu menjawab:

belum!, Rasulpun menyahut: “Jika demiikian pergi dan lihatlah ia,

karena sesungguhnya di bahagian mata kaum Anshar terdapat

sesuatu.”

“Jabir berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: apabila

salah seorang di antara kalian mengkhitbah atau melamar seorang perempuan dan memungkinkan melihatnya terlebih dahulu kepada beberapa hal yang membuat dirinya tertarik kepadanya, maka

hendaknya ia melakukan.”

3. Prosesi Perkawinan a. Akad Nikah

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah : “penyerahan dari pihak pertama”, sedangkan qabul adalah: ” penerimaan dari pihak kedua”. Ijab dari pihak wali perempuan dengan ucapannya :

50

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Madzhab, h. 139

51

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Madzhab, h. 139


(42)

saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab al-Qur‟an”. Qabul adalah : penerimaan dari pihak suami

dengan ucapannya : “saya terima menikahi anak bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab al-Qur‟an”.52

Dalam hukum Islam, akad pernikahan bukan hanya sekedar akad yang bersifat keperdataan saja melainkan dinyatakan sebagai perjanjian yang kuat yang disebut mitsaqan ghalizhan. Akad ini tidak hanya melibatkan 2 sampai 3 orang saja melainkan melibatkan seluruh anggota keluarga kedua belah pihak calon mempelai. Akad nikah dapat dilaksanakan setelah memenuhi rukun dan syarat pernikahan berdasarkan syari‟at Islam.

Adapun rukun itu sendiri adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah)53, dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon pengantin laki-laki atau perempuan dalam perkawinan. Dan pengertian syarat itu sendiri sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti mahar. Atau menurut Islam calon pengantin laki-laki atau perempuan itu harus beragama Islam.54

Di dalam memahami jumlah rukun nikah, ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Menurut jumhur ulama, rukun nikah itu ada empat,

52

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Prenada Media, 2007), h. 61

53

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: kencana prenada media group, 2006), cet ke-2, h. 45.

54


(43)

yaitu Syighah (ijab dan qabul), Calon isteri, calon suami dan Wali. Berbeda pendapat dengan Hanafiyah, yang mengatakan bahwa rukun nikah itu hanya ada dua yaitu ijab dan qabul, tidak ada yang lain.55 Suami dan wali adalah dua orang yang mengucapkan akad. Sedangkan hal yang dijadikan akad al-istimtaa‟ (bersenang-senang) yaitu merupaka tujuan kedua mempelai dalam melangsungkan pernikahan. Sedangkan mahar bukan merupakan sesuatu yang sangat menentukan dalam akad. Mahar hanyalah merupakan syarat seperti saksi. Itu dengan dalil bolehnya menikah dengan cara diwakilkan. Sedangkan saksi adalah merupakan syarat dalam akad nikah. Dengan demikian, saksi dan mahar dijadikan rukun menurut istilah yang beredar di kalangan sebagian ahli fiqih.56

Sebagaimana nazhom yang tertuang dalam kitab Qurratul „Uyun yakni:57

“Mas kawin, sighat, kedua mempelai kemudian wali adalah kumpulan

dari rukun-rukun pernikahan.”

b. Walimatul ‘Ursy

Ketika menikah pihak kedua mempelai sangat dianjurkan untuk mengadakan perayaan atau perjamuan sekedar kemampuannya. Dalam agama Islam, hal ini dikenal dengan istilah walimatul „ursy. Agama Islam

55 Asrorun Ni‟am Sholeh,

Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Depok: Elsas Jakarta, 2008), cet. ke-2, h. 14

56

Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Depok: Gema Insani, 2007), h. 45

57

Syaikh Al-Imam Abu Muhammad, Nikmatnya Berbulan Madu Menurut Ajaran

Rasulullah terjemahan Qurratul „Uyun, penerjemah Ahmad Najieh, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2013), h. 34


(44)

menganjurkan untuk meyiarkan perkawinan untuk menyatakan rasa syukur kepada Allah SWT dengan penuh kebahagiaan. Perkawinan merupakan peristiwa sakral yang hampir dialami seluruh manusia oleh karena itu sangat baik untuk diberitahukan kepada khalayak ramai agar tidak menimbulkan fitnah di kemudian hari bagi kedua mempelai.

Walimah arti secara harfiahnya ialah perjamuan, makan-makan dan pesta. Sedangkan „ursy bermakna (upacara) perkawinan.58 Jadi, walimatul

„ursy adalah perjamuan atau pesta yang diselenggarakan dalam acara

perkawinan.

Isyarat terhadap apa saja yang harus diupayakan ketika mengadakan walimah tertulis dala kitab Qurratul „Uyun dengan ungkapan:59

“Wahai temanku! Sebaiknya engkau mengadakan walimah walaupun

dengan menyembalih seekor kambing, seperti yang telah dikutip dari

beberapa riwayat”

Hukum Walimah Al-Ursy itu menurut paham Jumhur Ulama adalah sunnah. Adapun mengadakan walimah adalah dengan cara menyembelih kambing sesuai dengan keterangan hadits shahih yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari yang diriwayatkan dari Anas ra., dia mengatakan:

58

Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-Ashry Kamus Kontemporer Arab Indonesia,

(Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krpyak), cet. ke-5, h. 2041 59

Syaikh Al-Imam Abu Muhammad, Nikmatnya Berbulan Madu Menurut Ajaran

Rasulullah terjemahan Qurratul „Uyun, penerjemah Ahmad Najieh, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2013), h. 94


(45)

“Nabi Muhammad saw. tidak pernah pernah mengadakan walimah

pada istri-istri beliau dengan menggunakan sesuatu yang melebihi dari sesuatu yang digunakan untuk walimah bagi Zainab. Beliau mengadakan walimah dengan menyembelih seekor kambing.

Walimatul 'ursy dapat diadakan ketika akad nikah atau sesudahnya. Hal initergantung pada kesempatan dan kesanggupan pihak keluarga mempelai atau tergantung pada adat dan kebiasaan setempat.

4. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Nazham dalam kitab Quraatul „Uyun sebagai berikut:

“Taatnya istri kepada suaminya terhadap perkara yang diharamkan

adalah tidak diperbolehkan, seperti halnya seorang suami yang mencegah

terhadap istrinya dari perilaku yang diperbolehkan dan ringan.”60

Nazham di atas menjelaskan tentang ketaatan seorang istri terhadap suaminya. Seorang istri wajib taat terhadap suaminya selama perkara yang diperintah oleh suaminya tidak termasuk perkara yang telah jelas keharamannya.

Jika suami istri sama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati, sehingga sempurnalah kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tuntutan agama, yaitu

sakinah, mawaddah wa rahmah.61

60

Syaikh Al-Imam Abu Muhammad, Nikmatnya Berbulan Madu Menurut Ajaran

Rasulullah terjemahan Qurratul „Uyun, penerjemah Ahmad Najieh, h. 212 61


(46)

1. Hak Bersama suami Istri62

a. Suami istri dihalalkan saling bergaul mengadakan hubungan seksual.

b. Haram melakukan perkawinan; yaitu istri haram dinikahi oleh ayah suaminya, kakaknya, anaknya dan cucu-cucunya. Begitu juga ibu istrinya, anak perempuannya dan seluruh cucunya haram dinikahi oleh suaminya.

c. Hak saling mendapat waris akibat dari ikatan perkawinan yang sah. d. Anak mempunyai nasab (keturunan) yang jelas bagi suami.

e. Kedua belah pihak wajib bergaul (berperilaku) yang baik sehingga dapat melahirkan kemesraan dan kedamaian hidup.

2. Kewajiban Suami Istri

Kewajiban suami istri telah dijelaskan secara rinci dalam Kompilasi Hukum Islam yang termaktub dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 sebagai berikut:

Pasal 77

1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

2. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

62


(47)

3. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.

4. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.

5. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.

Pasal 78

1. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

2. Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami istri bersama.

5. Prinsip-prinsip dan Hikmah Perkawinan

Ada beberapa prinsip perkawinan menurut agama Islam yang perlu diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup manusia melaksanakan tugasnya mengabdi kepada Tuhan.63

Adapun prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam antara lain:64 1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama.

2. Kerelaan dan persetujuan. 3. Perkawinan untuk selamanya.

4. Suami sebagai penanggung jawab umum dalam rumah tangga.

Adapun hikmah perkawinan menurut Ali Ahmad Al-Jurjawi antara lain:65

63

Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, cet. ke-4, h. 32 64


(48)

1. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan.

2. Keadaan hidup manusia tidak akan tenteram kecuali jika keadaan rumah tangganya teratur,

3. Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan dunia masing-masing dengan ciri khasnya dengan berbagai macam pekerjaan.

4. Sesuai dengan tabiatnya, manusia itu cenderung mengasihi orang yang dikasihi.

5. Manusia diciptakan dengan memiliki rasa ghirah (kecemburuan) untuk menjaga kehormatan dan kemuliaannya.

6. Perkawinan akan memelihara keturunan serta menjaganya.

7. Berbuat baik yang banyak lebih baik daripada berbuat baik sedikit. 8. Manusia itu jika telah mati terputuslah seluruh amal perbuatannya

yang mendatangkan rahmat dan pahala kepadanya. Namun apabila masih meninggalkan anak dan istri, mereka akan mendoakannya dngan kebaikan hingga amalnya tidak terputus dan amalnya tidak ditolak.

65


(49)

(50)

39

KECAMATAN SALAWU, KABUPATEN TASIKMALAYA,

JAWA BARAT

A. Sejarah dan Letak Geografis

Kampung Naga termasuk wilayah Desa Neglasari, sejarah asal mula berdirinya Kampung Naga tidak banyak diceritakan dalam buku-buku sejarah. Mereka meyakini bahwa nenek moyang mereka adalah Eyang Sembah Singaparana yang diutus oleh Raja Mataram untuk menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat. Dalam perjalanan menyebarkan agama Islam, Eyang Sembah Singaparana tiba di sebuah daerah yang dikelilingi tebing dan sungai

kemudian dia membangun sebuah rumah yang kini sering disebut “Rumah

Ageung” oleh warga Kampung Naga dan rumah inilah yang diyakini sebagai

rumah pertama yang dibangun di Kampung Naga. Dan nama Eyang Sembah Singaparana dijadikan nama sebuah daerah yang tidak jauh dari Desa Neglasari yang disebut Singaparna.

Pada tahun 1956 Kampung Naga diserang dengan cara dibakar oleh sekelompok orang DI/TII Karto Soewiryo yang mengajak warga Kampung Naga untuk menentang pemerintah namun ajakan tersebut ditolak oleh warga Kampung Naga hingga DI/TII membakar seluruh wilayah Kampung Naga dan semua berkas sejarah pun ikut habis terbakar. Masa ini sering disebut


(1)

HASIL WAWANCARA

Nama : Ikum

Hari/tanggal : 29 April 2015 Pekerjaan : Ketua RW, Montir

1. Bagaimana sejarah atau histori perkawinan adat di Kampung Naga?

Acara perkawinan yang dilaksanakan di Kampung Naga sama dengan perkawinan adat Sunda di daerah lain. Tradisi yang terus dilaksanakan di Kampung Naga sesuai dengan budaya yang dilaksanakan oleh leluhur kami.

2. Bagaimana resepsi perkawinan adat yang menjadi tradisi di Kampung Naga?

Nanyaan atanapi ngabuktosan (tiasa ku artos atanapi ku emas), pameget ditaros ku

pihak istri, “ieu teh leungeuh cau beuleum atanapi cau peuyeum?”, hartosna upami

cau beuleum tereh nikahna, upami cau peuyeum mah lambat/lami kana nikahna. (untuk persiapan pernikahan di pihak perempuan), seserahan (ada yang langsung nikah ada yang tidak), ngeuyeuk seureuh (didoakan oleh sesepuh), akad nikah, munjungan (berkunjung ke keluarga pihak laki-laki), walimahan, sawer buhun (perbedaan sawer buhun dengan sawer pada perkawinan adat Sunda lainnya terletak pada nasihat-nasihat yang disampaikan menggunakan bahasa Sunda yang sangat halus), nincak endog (di pintu dapur dan masuk lewat pintu dapur), muka panto, syukuran atau ngariung.

3. Apakah ada perbedaan dalam pelaksanaan perkawinan adat di Kampung Naga dengan adat Sunda pada umumnya yang menjadi ciri khas tersendiri bagi masyarakat adat di Kampung Naga? Jika ada, bagaimana perbedaannya?

Perkawinan di Kampung Naga sangat sederhana, tidak ada hiburan seperti perkawinan yang terjadi di luar Kampung Naga. Dalam penyambutan pengantin laki-laki dalam adat Sunda sekarang menggunakan alat musik sedangkan di Kampung Naga tidak menggunakan alat musik. Dalam proses perkawinan di Kampung Naga tidak ada proses siraman sedangkan adat Sunda asli terdapat proses siraman.

Untuk menyebarluaskan akan terjadi sebuah perkawinan di Kampung Naga tidak menggunakan kartu undangan perkawinan di mana pada zaman sekarang dalam menyebarluaskan akan terjadinya sebuah perkawinan menggunakan kartu undangan. Jika akan terjadi sebuah perkawinan dengan sendirinya berita tersebut akan menyebar antar Kampung Naga dan luar kampung Naga. Warga kampung Naga yang sudah tidak tinggal di Kampung Naga (Sanaga) pun akan datang membantu.


(2)

Dalam proses perkawinan adat Kampung Naga tidak terlepas dari ajaran-ajaran agama Islam karena leluhur kami adalah penyebar agama Islam pada zaman dahulu. Hukum Islam didahulukan, contohnya seperti adanya tradisi Hajat Sasih setiap tahun yang rutin dilaksanakan. Hajat sasih ini tidak terlepas dari ajaran agama Islam karena dilaksanakan pada hari-hari besar Islam.

5. Apa tugas dan fungsi serta peran penting sesepuh adat dalam masyarakat Kampung Naga khusus dalam bidang perkawinan dan perceraian?

Di Kampung Naga terdapat 2 unsur pemerintahan, yakni formal dan informal. Formal seperti RT, RW dan kepala dusun sedang unsur informal yakni kuncen, lebe dan punduh. Setiap jabatan memiliki tugas masing-masing. Unsur pemerintahan formal bertugas mengurus segala data kependudukan dan program pemerintah lainnya yang harus diserahkan kepada kepala desa. Sedangkan unsur informal; Kuncen berperan sebagai pemangku adat, pemimpin upacara adat dan lainnya, lebe berperan di bidang keagamaan seperti jika ada penduduk yang meninggal dunia

maka lebe yang memimpin upacara pemakamannya, tugas punduh ialah „ngurus laku meres gawe‟ artinya mengayomi masyarakat. Misal akan diadakan acara gotong royong di masyarakat maka Pak Punduh yang memimpinnya.

Sebelum terjadinya perkawinan, sesepuh Kampng Naga mendatangi makam leluhur meminta izin akan menikahkan warganya dan meninta doa kepada Allah supaya yang menikah itu panjang umur, panjang dzurriyatnya mudah-mudahan sagolek pangkek sacangreud pageuh yang artinya diterpa badai tetap kuat teguh pendirian, jauh balahi pare ka rijkina, angang cilakana caket bagjana.

6. Apa yang melatar belakangi masyarakat kampung Naga masih memegang teguh tradisi nenek moyangnya?

Masyarakat Kampung Naga masih percaya kepada hal ghoib. Ngawula ka jaman bapak jadi sangat turut pada tradisi nenek moyang karena leluhur tidak mungkin menunjukkan kepada yang buruk, segala sesuatu yang selam ini dijalankan oleh leluhur adalah demi kemaslahatan bersama.


(3)

HASIL WAWANCARA

Nama : Pak Maun Hari/tanggal : 26 April 2015 Pekerjaan : Punduh, Pengrajin

1. Bagaimana sejarah atau histori perkawinan adat di Kampung Naga?

Acara perkawinan di Kampung Naga sama dengan perkawinan adat Sunda di daerah lain. Kami tetap mempertahankan tradisi nenek moyang kami. Acara perkawinan di Kampung Naga sangat sederhana tidak seperti di daerah lainnya.

2. Bagaimana resepsi perkawinan adat yang menjadi tradisi di Kampung Naga?

Nanyaan atanapi ngabuktosan (tiasa ku artos atanapi ku emas), pameget ditaros ku

pihak istri, “ieu teh leungeuh cau beuleum atanapi cau peuyeum?”, hartosna upami

cau beuleum tereh nikahna, upami cau peuyeum mah lambat/lami kana nikahna. (untuk persiapan pernikahan di pihak perempuan), seserahan (ada yang langsung nikah ada yang tidak), ngeuyeuk seureuh (didoakan oleh sesepuh), akad nikah, munjungan (berkunjung ke keluarga pihak laki-laki), walimahan, sawer buhun, nincak endog (di pintu dapur dan masuk lewat pintu dapur), muka panto, syukuran atau ngariung.

3. Apakah ada perbedaan dalam pelaksanaan perkawinan adat di Kampung Naga dengan adat Sunda pada umumnya yang menjadi ciri khas tersendiri bagi masyarakat adat di Kampung Naga? Jika ada, bagaimana perbedaannya?

Perkawinan di Kampung Naga sangat sederhana, tidak ada hiburan seperti perkawinan yang terjadi di luar Kampung Naga dan tidak menyebarluaskan kartu undangan cukup dengan memberiahukan kabar antar warga.

4. Bagaimana penyerapan dan peran hukum Islam dalam mengatur perkawinan adat pada masyarakat Kampung Naga?

Leluhur kami adalah penyebar ajaran agama Islam di Jawa Barat. Dalam proses perkawinan, budaya yang dipraktekkan adalah budaya adat Sunda yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Pada setiap prosesnya mengandung makna-makna tertentu, oleh karena itu harus dilaksanakan oleh calon pengantin demi kemaslahatan perkawinannya.

5. Apa tugas dan fungsi serta peran penting sesepuh adat dalam masyarakat Kampung Naga khusus dalam bidang perkawinan dan perceraian?

Di Kampung Naga terdapat 2 unsur pemerintahan, yakni formal dan informal. Formal seperti RT, RW dan kepala dusun sedang unsur informal yakni kuncen, lebe


(4)

Kuncen berperan sebagai pemangku adat, pemimpin upacara adat dan lainnya, lebe berperan di bidang keagamaan seperti jika ada penduduk yang meninggal dunia

maka lebe yang memimpin upacara pemakamannya, tugas punduh ialah „ngurus laku meres gawe‟ artinya mengayomi masyarakat. Misal akan diadakan acara gotong royong di masyarakat maka Pak Punduh yang memimpinnya. Dalam bidang perkawinan Pak Kuncen berperan sebagai seorang yang dituakan atau dihormati begitupun lebe dan punduh. Lebe (amil) yang bertugas mencatat perkawinan adalah lebe (amil) dari KUA setempat. Jadi lebe di Kampung Naga hanya bertugas mengurus bidang keagamaan khusus di wilayah Kampung Naga saja.

6. Apa yang melatarbelakangi masyarakat kampung Naga masih memegang teguh tradisi nenek moyangnya?

Masyarakat Sunda khususnya masyarakat Kampung Naga termasuk warga yang penurut terlebih pada ucapan atau tradisi yang turun temurun sering diucapkan

leluhurnya yang notabene dari nenek moyangnya. Misalnya ada larangan, „Pamali, ulah asup ka hutan larangan‟ maksudnya „Dilarang masuk ke hutan larangan‟. Maka

secara spontan mereka akan langsung mematuhi auan tersebut tanpa banyak tanya alasannya. Karena menurut mereka, segala aturan dari nenek moyang mereka merupakan suatu kewajiban yang harus dipatuhi demi kemaslahatan bersama.


(5)

HASIL WAWANCARA

Nama : Uron

Hari/tanggal : 28 April 2015

Pekerjaan : Ketua Rt. 001, Petani

1. Bagaimana sejarah atau histori perkawinan adat di Kampung Naga?

Acara perkawinan di Kampung Naga sama dengan perkawinan adat Sunda di daerah lain. Namun ada beberapa adat yang tidak dilaksanakan di Kampung Naga seperti meuleum harupat dan perkawinan di Kampung Naga dilaksanakan dengan sangat sederhana sebagaimana nenek moyang kami lakukan dahulu.

2. Bagaimana resepsi perkawinan adat yang menjadi tradisi di Kampung Naga?

Nanyaan atanapi ngabuktosan (tiasa ku artos atanapi ku emas), pameget ditaros ku

pihak istri, “ieu teh leungeuh cau beuleum atanapi cau peuyeum?”, hartosna upami

cau beuleum tereh nikahna, upami cau peuyeum mah lambat/lami kana nikahna. (untuk persiapan pernikahan di pihak perempuan), seserahan (ada yang langsung nikah ada yang tidak), ngeuyeuk seureuh (didoakan oleh sesepuh), akad nikah, munjungan (berkunjung ke keluarga pihak laki-laki), walimahan, sawer buhun, nincak endog (di pintu dapur dan masuk lewat pintu dapur), muka panto, syukuran atau ngariung.

Perlengkapan dina waktu ngeuyeuk seureuh: (urutan dari bawah ke atas)

Ayakan, daun cau, seureuh, apu/gamir, jambe, bako, sisir/eunteung, baju yang dipakai ketika menikah (didoakan oleh sepuh)

Kemudian bajunya diambil dan dibuat cungcung dan di dalam cungcung isinya seupiheun. Setelah dibuat cungcung, sampahnya ditaruah dan digulung tikar kemudian dibuang dan harus terinjak oleh pengatin setelah akad.

3. Apakah ada perbedaan dalam pelaksanaan perkawinan adat di Kampung Naga dengan adat Sunda pada umumnya yang menjadi ciri khas tersendiri bagi masyarakat adat di Kampung Naga? Jika ada, bagaimana perbedaannya?

Perkawinan di Kampung Naga sangat sederhana, tidak ada hiburan seperti perkawinan yang terjadi di luar Kampung Naga.

Untuk menyebarluaskan akan terjadi sebuah perkawinan di Kampung Naga tidak menyebarkannya lewat undangan sebagaimana terjadi di masyarakat luar, berita perkawinan akan menyebarluas dengan sendirinya dari mulut ke mulut antar warga


(6)

4. Bagaimana penyerapan dan peran hukum Islam dalam mengatur perkawinan adat pada masyarakat Kampung Naga?

Perkawinan adat Sunda yang dilaksanakan di Kampung Naga tidak terlepas dari aturan-aturan agama Islam dan memang terdapat beberapa murni warisan nenek moyang. Namun tetap memiliki makna tersendiri pada setiap tradisi yang dilaksanakan dan tidak melanggar aturan ajaran agama Islam.

5. Apa tugas dan fungsi serta peran penting sesepuh adat dalam masyarakat Kampung Naga khusus dalam bidang perkawinan dan perceraian?

Di Kampung Naga terdapat 2 unsur pemerintahan, yakni formal dan informal. Formal seperti RT, RW dan kepala dusun sedang unsur informal yakni kuncen, lebe dan punduh. Setiap jabatan memiliki tugas masing-masing. Unsur pemerintahan formal bertugas mengurus segala data kependudukan dan program pemerintah lainnya yang harus diserahkan kepada kepala desa. Sedangkan unsur informal; Kuncen berperan sebagai pemangku adat, pemimpin upacara adat dan lainnya, lebe berperan di bidang keagamaan seperti jika ada penduduk yang meninggal dunia

maka lebe yang memimpin upacara pemakamannya, tugas punduh ialah „ngurus laku meres gawe‟ artinya mengayomi masyarakat. Misal akan diadakan acara gotong

royong di masyarakat maka Pak Punduh yang memimpinnya. Dalam bidang perkawinan Pak Kuncen berperan sebagai pengawas panitia yang telah ditugaskan dalam perkawinan tersebut, begitupun lebe dan punduh. Lebe (amil) yang bertugas mencatat perkawinan adalah lebe (amil) dari KUA setempat. Jadi lebe di Kampung Naga hanya bertugas mengurus bidang keagamaan khusus di wilayah Kampung Naga saja.

6. Apa yang melatarbelakangi masyarakat kampung Naga masih memegang teguh tradisi nenek moyangnya?

Masyarakat Sunda termasuk warga yang penurut akan nasehat leluhur. Segala nasehat dari leluhur harus ditaati karena kami yakin apa yang diperintah leluhur itu demi kebaikan kami semua.

Misalnya „Pamali masuk ke hutan larangan‟, banyak yang meyakini larangan ini

tertuju kepada hal ghaib padahal larangan ini bertujuan agar „hutan larangan‟ selalu terjaga kelestariannya dan tidak terjadi erosi karena hutan tersebut terletak di

samping sungai Ciwulan. Juga misalnya „ulah nuar anu batur‟, tidak boleh menebang

punya orang lain. Mkasudnya di sini kita tidak bolh berlaku zholim kepada orang lain.


Dokumen yang terkait

Etnobotani Pada Masyarakat Adat Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat

0 7 90

Tradisi Tumplek Ponjen dalam Perkawinan Masyarakat Adat Jawa (Studi Etnografi di Desa Kedungwungu Kecamatan Jatinegara Kabupaten Tegal Propinsi Jawa Tengah)

2 65 89

KANDAGA KECAP PAKAKAS TRADISIONAL DI KAMPUNG NAGA DÉSA NÉGLASARI KACAMATAN SALAWU KABUPATÉN TASIKMALAYA : Ulikan Ekolinguistik.

3 73 35

BUDAYA POLITIK MASYARAKAT ADAT KAMPUNG NAGA (STUDI KASUS DI MASYARAKAT ADAT KAMPUNG NAGA KABUPATEN TASIKMALAYA DALAM PEMILIHAN GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2013).

1 17 46

AJEN ESTETIKA DINA ARSITEKTUR IMAH ADAT KAMPUNG NAGA DESA NEGLASARI KACAMATAN SALAWU KABUPATEN TASIKMALAYA PIKEUN BAHAN AJAR MACA ARTIKEL BUDAYA KELAS XII.

0 44 26

PERAN SESEPUH ADAT DALAM MENINGKATKAN MOTIVASI BERWIRAUSAHA DI MASYARAKAT KAMPUNG NAGA : Studi Deskriptif terhadap Masyarakat Adat Kampung Naga di Kampung Naga Rt.01 Rw.01 Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya.

0 0 30

MITIGASI BENCANA PADA MASYARAKAT TRADISIONAL DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM DI KAMPUNG NAGA KECAMATAN SALAWU KABUPATEN TASIKMALAYA (Disaster Mitigation on Traditional Community Against Climate Change in Kampong Naga Subdistrict Salawu Tasikmalaya) | Dew

0 1 7

RESPONS MASYARAKAT KAMPUNG NAGA TERHADAP PEMBANGUNAN PARIWISATA DI DESA NEGLASARI, KECAMATAN SALAWU, KABUPATEN TASIKMALAYA (1975-2010)

1 1 16

STUDI KASUS PENATAAN RUANG DESA ADAT (Kasus Kampung Naga-Tasikmalaya)

0 0 22

Studi Etnofarmakognosi- Etnofarmakologi Tumbuhan Sebagai Obat Di Kampung Naga Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya

0 0 6