Pengaruh Paparan Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya Muda Kering Beku terhadap Empat Isolat Staphylococcus aureus dan Ekspresi Gen sea

PENGARUH PAPARAN EKSTRAK KASAR ALKALOID
DAUN PEPAYA MUDA KERING BEKU TERHADAP EMPAT
ISOLAT Staphylococcus aureus DAN EKSPRESI GEN sea

RENI NOFRIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Paparan
Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya Muda Kering Beku terhadap Empat Isolat
Staphylococcus aureus dan Ekspresi Gen sea adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015

Reni Nofrianti
NIM F251124111

RINGKASAN
RENI NOFRIANTI. Pengaruh Paparan Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya
Muda Kering Beku terhadap Empat Isolat Staphylococcus aureus dan Ekspresi
Gen sea. Dibimbing oleh HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM dan
DIDAH NUR FARIDAH.
Staphylococcus aureus menghasilkan staphylococcal enterotoxin A (SEA)
yang dapat menyebabkan keracunan makanan dan bersifat tahan terhadap proses
pemanasan. Keberadaan S. aureus dan SEA dalam bahan pangan dapat dideteksi
menggunakan teknik molekuler secara cepat dan akurat. Teknik molekuler
dilakukan berdasarkan informasi genetik dari suatu sel. Alkaloid merupakan
komponen bioaktif pada daun pepaya muda yang dapat berperan sebagai
antimikroba. Proses pengeringan dan metode ekstraksi sangat mempengaruhi hasil
ekstraksi alkaloid yang terdapat di dalam daun pepaya. Alkaloid sebagai
antimikroba bekerja dengan cara menyusup pada dinding sel dan DNA serta

mempengaruhi enzim topoisomerase dan enzim perbaikan DNA.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh teknik pengeringan
daun pepaya muda terhadap rendemen ekstrak kasar alkaloid yang dihasilkan,
mengidentifikasi S. aureus penghasil toksin secara molekuler dan mengetahui
pengaruh ekstrak kasar alkaloid daun pepaya muda terhadap sel S. aureus dan
pengukuran ekspresi relatif gen sea pada empat isolat S. aureus yang terisolasi
dari pangan, yaitu susu sapi mentah (S10), telur balado (TBI), tumis usus ayam
(UA13) dan sate jeroan ayam (SJI).
Pengeringan daun muda pepaya Calina dilakukan dengan oven suhu 55C
dan pengeringan beku. Alkaloid diekstraksi dengan metode ultrasonikasi dan
dideteksi dengan menggunakan reagen Mayer. Isolat S. aureus yang sudah
disimpan dalam bentuk ampul diuji sifat morfologinya dengan cara ditumbuhkan
pada media baird parker agar (BPA) dan triptyc soy agar (TSA). Pengujian
resistensi antibiotik isolat S. aureus dilakukan menggunakan antibiotik
gentamisin, streptomisin, kanamisin, chloramphenicol, tetrasiklin dan
oksitetrasiklin. Isolat S. aureus dideteksi secara molekuler dengan PCR
konvensional. Hasil PCR disekuensing untuk melihat urutan basa pada masingmasing DNA, kemudian sekuen yang diperoleh dianalisis dengan program Basic
Local Alignment Search Tool http://blast.ncbi.nlm.nih.gov. Pemaparan ekstrak
kasar alkaloid dengan konsentrasi 0.25 mg/ml dan 0.5 mg/ml terhadap sel S.
aureus dilakukan selama 2 jam. Jumlah sel S. aureus sebelum dan setelah paparan

ekstrak kasar alkaloid selama 2 jam dihitung dengan menggunakan metode agar
sebar, kemudian dilakukan pengukuran ekspresi relatif gen sea menggunakan
metode quantitative reverse transcription polymerase chain reaction (qRT-PCR).
Pengeringan daun pepaya muda dengan oven menghasilkan rendemen
ekstrak kasar alkaloid sebanyak 0.99±0.03%, sedangkan daun pepaya muda yang
dikeringkan dengan teknik pengeringan beku menghasilkan rendemen ekstrak
kasar alkaloid yang relatif lebih tinggi yaitu 1.34±0.36%, walaupun tidak berbeda
nyata secara statistik. Morfologi isolat S. aureus S10, TBI, UA13 dan SJI pada
media BPA berbentuk koloni bundar, licin/halus, cembung, warna abu-abu hingga
kehitaman. Sekeliling tepi koloni bening (berbentuk halo). Pada media TSA
semua isolat memiliki pigmen berwarna kuning. Isolat S. aureus S10, UA13, SJI

dan TBI resisten terhadap antibiotik streptomisin. Selain itu masing-masing
bakteri mempunyai sensitivitas yang berbeda terhadap antibiotik gentamisin,
kanamisin, chloramphenicol, tetrasiklin dan oksitetrasiklin. Pengujian isolat
dengan PCR konvensional menunjukkan bahwa semua isolat positif memiliki gen
sea dengan ukuran amplikon 120 pb. Isolat S. aureus S10, UA13 dan TBI
memiliki kemiripan dengan genom Staphylococcus aureus strain RKI4 dan isolat
SJI memiliki kemiripan dengan genom Staphylococcus aureus 08BA02176
dengan E value adalah 0. Paparan ekstrak kasar alkaloid daun pepaya muda kering

beku dengan konsentrasi 0.25 mg/ml dan 0.5 mg/ml selama 2 jam dapat
menurunkan jumlah sel S. aureus dengan rata-rata penurunan relatif sebesar 0.6
log CFU/ml dan 0.8 log CFU/ml secara berurutan jika dibandingkan dengan
kelompok kontrol yang sama sekali tidak dipapar dengan ekstrak kasar alkaloid.
Penurunan ekspresi relatif gen sea berbeda pada masing-masing isolat dengan
kisaran 1.75-27 kali setelah pemaparan ekstrak kasar alkaloid 0.25 mg/ml dan
13.59-33.24 kali setelah pemaparan ekstrak kasar alkaloid 0.5 mg/ml.
Kata kunci: alkaloid, S. aureus, gen sea, realtime PCR

SUMMARY
RENI NOFRIANTI. The Effect of Crude Alkaloid Extract Exposure Obtained
from Freeze-Dried Young Papaya Leaves towards Four Isolates of
Staphylococcus aureus and sea Gene Expression. Supervised by HARSI
DEWANTARI KUSUMANINGRUM and DIDAH NUR FARIDAH.
Staphylococcus aureus produces staphylococcal enterotoxin A (SEA) that
causes food poisoning and resistant to the heating process. The presence of S.
aureus and SEA on food could be detected by moleculer technique, its conducted
quickly and accurately. Molecular detection is based on the genetic information of
cell. Alkaloids are bioactive compound in young papaya leaves that can act as
antimicrobials. The drying process and extraction method are greatly affecting the

total alkaloid content in papaya leaves. Alkaloids as antimicrobial can acts by
intercalating into cell wall and double-stranded DNA, and affecting topoisomerase
enzymes and DNA-repairing enzymes.
The aims of this research were to study the effect of drying methods of
young papaya leaves to the yields of crude alkaloid extract, to identify toxinproducing of four S. aureus by molecular technique, and to identify the effect of
crude alkaloid extract exposure towards S. aureus cells and relative expression of
sea gene of four S. aureus isolated from food origin, i.e. raw milk (S10), balado
eggs (TBI), stir-fried chicken intestine (UA13) and chicken offal satay (SJI).
Drying of Calina young papaya leaves was conducted with the oven
temperature of 55°C and freeze drying. Crude alkaloid extract were extracted by
ultrasonication method and detected using Mayer’s reagent. S. aureus isolates
that have been stored in ampoules were examined morphologically by growing
them on baird parker agar (BPA) and triptyc soy agar (TSA) media. Antibiotic
resistance was conducted towards S. aureus isolates using gentamicin,
streptomycin, kanamycin, chloramphenicol, tetracycline and oxytetracycline. S.
aureus isolates were molecularly detected with conventional PCR. The PCR
results were sequenced to see the sequence of bases on each DNA, then the
sequence was analyzed with Basic Local Alignment Search Tool
http://blast.ncbi.nlm.nih.gov. Exposure of crude alkaloid extract with
concentrations of 0.25 mg/ml and 0.5 mg/ml towards S. aureus was conducted for

2 hours. The cell number of S. aureus before and after 2-hour exposure was
calculated using agar spread-plate method, then the relative expression of sea
gene was measured using quantitative reverse transcription polymerase chain
reaction (qRT-PCR) method.
Papaya leaves dryed with freeze drying method contained crude alkaloid
extract content of 1.34±0.36%. These results were relative higher than the oven
drying method that only produced 0.99±0.03% crude alkaloid extract, although
statistically they were not significantly different. S10, TBI, UA13 and SJI isolates
on BPA media has round-shaped colonies, smooth, convex and gray to black in
color. The colonies’ surrounded edge was clear (with bright area). All isolates
formed a yellow pigment on TSA media. All isolates were resistant to
streptomycin. In addition, there was a different sensitivity of each bacteria toward
antibiotic gentamicin, kanamycin, chloramphenicol, tetracycline and
oxytetracycline. Analysis of isolates by conventional PCR showed that all isolates

were positive for sea gene with the amplicon size 120 bp. S10, UA13 and TBI
isolates have similarities with Staphylococcus aureus strain RKI4 and SJI isolate
has similarities with S. aureus 08BA02176 genome in GenBank. Exposure of
crude alkaloid extract obtained from freeze-dried young papaya leaves at 0.25
mg/ml and 0.5 mg/ml for 2 hours slightly reduced the cell number of S. aureus for

approximately 0.6 log CFU/ml and 0.8 log CFU/ml respectively compared with
the control group that was not exposed to the crude alkaloid extract. The relative
expression of sea gene decreased varied among isolates, in a range of 1.75 to
27.00 times after exposure with 0.25 mg/ml and in a range of 13.59 to 33.24 after
exposure with 0.5 mg/ml.
Keywords: alkaloids, S. aureus, sea gene, real time PCR

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH PAPARAN EKSTRAK KASAR ALKALOID
DAUN PEPAYA MUDA KERING BEKU TERHADAP EMPAT
ISOLAT Staphylococcus aureus DAN EKSPRESI GEN sea


RENI NOFRIANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Suharsono DEA

Judul Tesis : Pengaruh Paparan Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya Muda
Kering Beku terhadap Empat Isolat Staphylococcus aureus dan
Ekspresi Gen sea
Nama

: Reni Nofrianti
NIM
: F251124111
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Harsi Dewantari Kusumaningrum
Ketua

Dr Didah Nur Faridah, STP, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Pangan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Ratih Dewanti, MSc


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 07 Agustus 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul Pengaruh Paparan Ekstrak Kasar
Alkaloid Daun Pepaya Muda Kering Beku terhadap Empat Isolat Staphylococcus
aureus dan Ekspresi Gen sea. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
untuk menyelesaikan pendidikan strata dua (S2) Program Studi Ilmu Pangan,
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Harsi Dewantari
Kusumaningrum dan Dr Didah Nur Faridah, STP, MSi selaku pembimbing yang
telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi, serta solusi dari setiap
permasalahan yang dihadapi penulis selama melaksanakan penelitian dan

penyusunan karya ilmiah ini. Ucapan terimakasih kepada Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
yang telah mendanai penelitian ini melalui Hibah Penelitian Unggulan Perguruan
Tinggi Lanjutan tahun 2014-2015. Selain itu penulis ucapkan terima kasih kepada
penguji luar komisi Prof Dr Ir Suharsono DEA dan Dr Ir Endang Prangdimurti
MSi selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Pangan IPB, yang telah memberikan
masukan pada saat ujian sidang tesis untuk membuat karya ilmiah ini menjadi
lebih baik.
Ungkapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis ucapkan kepada
kedua orang tua bapak Asmadikar dan ibu Liza Yuniarti serta seluruh keluarga
besar tercinta, atas segala doa, semangat, dukungan, motivasi dan kasih sayangnya
selama ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak,
teknisi laboratorium dan teman-teman yang telah membantu dan berbagi ilmu
dalam penelitian ini. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan
Pascasarjana Ilmu Pangan IPB. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi kemajuan
ilmu pengetahuan selanjutnya.

Bogor, Agustus 2015

Reni Nofrianti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian

1
1
2
2
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Staphylococcus aureus
Staphylococcal enterotoxin A (SEA)
Carica papaya (Pepaya)
Alkaloid
Teknik Pengeringan Daun Pepaya
Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)
Metode Quantitative Reverse Transcription PCR (qRT-PCR)
Kuantifikasi Absolut
Kuantifikasi Relatif

3
3
4
4
5
6
6
7
9
10

3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Konsep Penelitian
Pengeringan Daun Pepaya Muda
Ekstraksi Alkaloid Daun Pepaya Muda
Deteksi Morfologi S. aureus
Pengujian Resistensi Antibiotik
Deteksi Molekuler S. aureus
Sekuensing Gen Penyandi 16S rRNA
Pemaparan Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya Muda
terhadap S. aureus
Pengukuran Ekspresi Relatif Gen sea
Analisis Data

11
11
11
12
13
13
13
15
15
15
16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya Muda
Morfologi S. aureus Penghasil Toksin Asal Pangan
Resistensi Antibiotik
Karakteristik Molekuler S. aureus Penghasil Toksin
Sekuensing Gen Penyandi 16S rRNA

19
19
20
22
23
25

17
17
19

Aktivitas Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya Muda
terhadap Sel S. aureus
Aktivitas Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya Muda
terhadap Ekspresi Relatif Gen sea

27
28

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

33
33
33

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

40

RIWAYAT HIDUP

47

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Pelacak dalam reaksi qPCR
Konsep penelitian
Nilai sensitivitas isolat S. aureus terhadap antibiotik
Kemurnian dan konsentrasi DNA S. aureus
Hasil analisis sekuen gen penyandi 16S rRNA S. aureus UA13,
SJI, TBI dan S10 berdasarkan primer 63F dengan program BLAST
6 Jumlah sel S. aureus sebelum dan setelah pemaparan
ekstrak kasar alkaloid selama 2 jam
7 Kuantifikasi RNA S. aureus S10, UA13, SJI dan TBI
8 Nilai ekspresi relatif gen sea dengan metode 2-∆∆CT

9
14
22
24
26
28
29
30

DAFTAR GAMBAR
1 Alkaloid pada daun pepaya
2 Contoh kurva amplifikasi pada reaksi qPCR
3 Mekanisme kerja SYBR Green
4 Diagram alir penelitian
5 Tiga lapis daun pepaya muda dari pucuk
6 Pendeteksian alkaloid
7 Pertumbuhan S. aureus pada media BPA
8 Morfologi S. aureus pada media TSA
9 Genom S. aureus
10 Amplikon gen penyandi 16S rRNA dan gen sea S. aureus
ATCC 25923, S10, UA13, SJI dan TBI dengan primer 16sF dan
16sR3 serta primer SEAF dan SEAR
11 Amplikon gen penyandi 16S rRNA S. aureus
UA13, SJI, TBI dan S10 dengan primer universal 63F
12 Contoh kurva pelelehan gen 16S rRNA S. aureus UA13
dengan paparan ekstrak kasar alkaloid 0.25 mg/ml
13 Contoh kurva pelelehan gen 16S rRNA S. aureus UA13
dengan paparan ekstrak kasar alkaloid 0.25 mg/ml

5
8
10
12
13
20
21
22
24
25
26
32
32

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil uji-t ekstrak kasar alkaloid daun pepaya muda
2 Hasil uji one-way ANOVA dan Duncan survival sel S. aureus
setelah dipapar dengan ekstrak kasar alkaloid daun pepaya muda
selama 2 Jam
3 Hasil uji one-way ANOVA dan Duncan pengukuran nilai CT gen
16S rRNA dan gen sea setelah sel S. aureus dipapar dengan ekstrak
kasar alkaloid daun pepaya muda selama 2 jam

40
40
43

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah keamanan pangan tidak terlepas dari keberadaan bakteri patogen
pada bahan pangan. Salah satunya adalah Staphylococcus aureus yang
menghasilkan staphylococcal enterotoxin penyebab keracunan makanan
(staphylococcal food poisoning) (Veras et al. 2007). Sekitar 70-95% strain S.
aureus menimbulkan keracunan makanan karena menghasilkan enterotoksin.
Staphylococcal enterotoxin A (SEA) merupakan toksin dalam jumlah besar yang
diproduksi oleh S. aureus yang sering menyebabkan keracunan makanan (Clarisse
et al. 2013).
S. aureus yang mengandung SEA jika dipanaskan pada suhu 100C akan
mati, tetapi enterotoksin tetap bertahan dalam bahan pangan (Clarisse et al. 2013),
sehingga berbahaya jika terkonsumsi oleh manusia. Oleh sebab itu harus dicari
alternatif lain untuk menghambat pertumbuhan S. aureus dan menghilangkan
toksin SEA, yang salah satunya adalah dengan menggunakan alkaloid. Alkaloid
dilaporkan memiliki kemampuan berinteraksi dengan dinding sel dan DNA
(Cowan 1999). Dari penelitian Cao et al. (2007) dilaporkan juga bahwa alkaloid
efektif sebagai antimikroba dengan cara menyusup pada utas ganda DNA serta
mempengaruhi enzim topoisomerase dan enzim perbaikan DNA.
S. aureus digunakan sebagai mikroba indikator keamanan produk-produk
daging olah bergaram seperti sosis, daging asap dan ikan asap (Fardiaz 1992).
Daun pepaya sering digunakan dalam proses pengempukan daging karena adanya
kandungan enzim papain dan chymopapain (Saran dan Choudhary 2013). Selain
dapat berperan sebagai bahan pengempuk daging, daun pepaya juga dilaporkan
dapat berfungsi sebagai antimikroba. Sifat antimikroba daun pepaya dihubungkan
dengan adanya beberapa komponen fitokimia, yang salah satunya adalah alkaloid.
Canini et al. (2007) melaporkan bahwa di dalam daun pepaya terkandung alkaloid
carpaine, pseudocarpaine, dehydrocarpaine I dan dehydrocarpaine II. Beberapa
penelitian menunjukkan adanya perbedaan kadar ekstrak alkaloid di dalam daun
pepaya. Proses pengeringan dan metode ekstraksi sangat mempengaruhi hasil
ekstraksi alkaloid yang terdapat di dalam daun pepaya (Anibijuwon dan Udeze
2009). Pengeringan beku dilaporkan dapat mempertahankan komponen bioaktif
dalam sel tanaman (Ciurzynska dan Lenart 2011). Ekstraksi alkaloid dengan
metode ultrasonikasi dilaporkan dapat menghasilkan rendemen alkaloid dalam
jumlah tinggi (Azmir et al. 2013) seperti rendemen alkaloid yang dihasilkan dari
tanaman Hyoscyamus muticus, Datura stramonium, Ruta graveolens (Djilani et
al. 2006), Nitraria schoberi (Zaree et al. 2013) dan Rhizoma coptidis (Teng dan
Choi 2013).
Handayani et al. (2014) telah melakukan ekstraksi alkaloid daun pepaya
menggunakan campuran daun muda dan tua yang dikeringkan dengan metode
oven. Rendemen ekstrak kasar alkaloid dari 7 kali ekstraksi berkisar antara
0.48%-1.82%. Rendemen ekstrak kasar alkaloid ini berada pada kisaran nilai yang
jauh berbeda. Boshra dan Tajul (2013), Anjum et al. (2013) dan Elgadir et al.

2
(2014) melaporkan bahwa alkaloid banyak terdapat di dalam daun pepaya muda.
Oleh sebab itu, dalam ekstraksi alkaloid perlu dilakukan pemisahan terhadap daun
pepaya muda dan tua sehingga didapatkan rendemen ekstrak kasar alkaloid pada
kisaran nilai yang tidak terlalu jauh berbeda dan juga perlu dilakukan evaluasi
terhadap teknik pengeringan sehingga didapatkan rendemen ekstrak kasar alkaloid
yang lebih tinggi.
Handayani et al. (2014) telah melaporkan bahwa terjadi penurunan jumlah
sel dan ekspresi relatif gen sea setelah sel S. aureus dipapar dengan ekstrak kasar
alkaloid dari campuran daun pepaya muda dan tua. Namun, hanya satu isolat yang
digunakan dalam penelitian tersebut. Pada penelitian ini perlu dilakukan
pengujian pengaruh ekstrak kasar alkaloid daun pepaya muda terhadap sel S.
aureus dan ekspresi relatif gen sea pada empat jenis isolat S. aureus yang
terisolasi dari pangan yaitu susu sapi mentah (S10), telur balado (TBI), tumis usus
ayam (UA13) dan sate jeroan ayam (SJI). Aktivitas antimikroba dari alkaloid
daun pepaya muda terhadap ekspresi relatif gen sea dapat dilihat dengan cara
mengkuantifikasi gen sea melalui metode quantitative reverse transcription PCR
(qRT-PCR). Penggunaan realtime PCR (qPCR) memberikan hasil dengan tingkat
sensitivitas yang tinggi sehingga penentuan kandungan DNA atau RNA di dalam
suatu sel menjadi akurat.
Rumusan Masalah
S. aureus menghasilkan toksin SEA yang bersifat tahan terhadap proses
pemanasan, sehingga diperlukan alternatif lain yang dapat menghambat produksi
toksin SEA. Alkaloid dilaporkan dapat berperan sebagai antimikroba dengan cara
menyusup pada dinding sel dan utas ganda DNA, serta mempengaruhi enzim
topoisomerase dan enzim perbaikan DNA. Beberapa penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa hasil ekstraksi alkaloid di dalam daun pepaya berbeda-beda
tergantung pada tingkat umur daun, metode pengeringan dan metode ekstraksi.
Oleh sebab itu perlu dilakukan pengujian untuk menghasilkan alkaloid dalam
jumlah yang tinggi. Pengaruh paparan ekstrak kasar alkaloid daun pepaya muda
terhadap sel S. aureus dan ekspresi gen sea harus diujikan terhadap beberapa
isolat S. aureus lainnya untuk melihat apakah ekstrak kasar alkaloid dapat
memberikan pengaruh yang konsisten terhadap sel S. aureus dan ekspresi relatif
gen sea.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh teknik pengeringan
daun pepaya muda terhadap rendemen ekstrak kasar alkaloid yang dihasilkan,
mengidentifikasi S. aureus penghasil toksin secara molekuler dan mengetahui
pengaruh ekstrak kasar alkaloid daun pepaya muda terhadap sel S. aureus dan
ekspresi relatif gen sea pada empat isolat S. aureus yang terisolasi dari pangan,
yaitu susu sapi mentah (S10), telur balado (TBI), tumis usus ayam (UA13) dan
sate jeroan ayam (SJI).

3
Hipotesis
1. Teknik pengeringan beku pada daun pepaya muda dapat meningkatkan
rendemen ekstrak kasar alkaloid jika dibandingkan dengan pengeringan
oven.
2. Deteksi S. aureus secara molekuler memberikan informasi tentang
karakteristik molekuler isolat S. aureus penghasil toksin yang berasal dari
pangan.
3. Paparan ekstrak kasar alkaloid terhadap S. aureus dapat menurunkan
jumlah sel S. aureus dan menghambat ekspresi gen sea pada empat isolat
S. aureus asal pangan.
Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi tentang fungsi ekstrak kasar alkaloid dalam
menghambat produksi SEA sehingga dapat membantu meningkatkan
keamanan bahan dan produk pangan.
2. Memberikan informasi tentang mekanisme kerja PCR konvensional dan
qPCR.
3. Mendorong masyarakat untuk meningkatkan daya guna daun pepaya muda
dalam pengolahan pangan.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Staphylococcus aureus
S. aureus merupakan bakteri gram positif yang bersifat patogen karena
menghasilkan enterotoksin (Gruman et al. 2014). S. aureus termasuk dalam famili
staphylococcaceae, berbentuk bulat tunggal atau berpasangan, berukuran diameter
0,5-1,5 m dan membentuk pigmen kuning keemasan. Sifat S. aureus antara lain
aerob atau anaerob fakultatif, tidak memiliki spora dan non motil. S. aureus dapat
tumbuh pada suhu 6-48°C, pH 4-10, Aw 0.83-0.99 dan lingkungan dengan
konsentrasi garam < 20% (Schelin et al. 2011).
S. aureus menimbulkan staphylococcal food poisoning (SFP) yaitu suatu
penyakit yang disebabkan karena kesalahan dalam penanganan dan penyimpanan
makanan sehingga terkontaminasi oleh staphylococcal enterotoxin (SE) (Veras et
al. 2007). SFP ditandai dengan gejala mual, muntah, diare, dan kram pada perut
yang berlangsung selama 1-2 hari dengan masa inkubasi 1-8 jam setelah
mengkonsumsi makanan (Kerouanton et al. 2006). SE merupakan toksin yang
memiliki berat molekul rendah yaitu 26-30 kDa (Chen et al. 2012). Menurut
Hennekinne et al. (2006) dan Schelin et al. (2011), telah ditemukan 21 jenis SE
yang terdiri dari lima tipe klasik yaitu SEA, SEB, SEC, SED, SEE dan tipe non
klasik seperti SE1G, SElH, SEl, SElJ, SElK, SElL, SElM, SElN, SElO, SElP,
SElQ, SER, SES, SET, SElU dan SElV. S. aureus dapat memproduksi SE pada
suhu 10-46°C, pH 5-9.6, Aw 0.86-0.99, lingkungan yang mengandung garam
dengan konsentrasi < 12% dan dalam kondisi aerob atau anaerobik fakultatif
(Schelin et al. 2011). SE bersifat tahan terhadap suhu pemasakan yang tinggi. Sel

4
S. aureus yang mengandung enterotoksin jika dipanaskan pada suhu 100C akan
mati, sedangkan enterotoksin tetap bertahan.
Pada umumnya, konsentrasi enterotoksin pada makanan bervariasi dari
0,05-20 ng/g dari makanan (Le Loir et al. 2003). Enterotoksin dengan jumlah
100-200 ng yang terkonsumsi melalui makanan dapat memicu terjadinya
keracunan (Clarisse et al. 2013). Diagnosis keracunan makanan terjadi setelah
mengkonsumsi >105 CFU/ml S. aureus pada makanan (Kerouanton et al. 2006).
Staphylococcal enterotoxin A (SEA)
SEA merupakan protein toksin yang terdiri dari 233 asam amino (Bhatia
dan Zahoor 2007). SEA merupakan toksin dalam jumlah besar yang ditemukan
pada S. aureus yang menyebabkan keracunan makanan (Clarisse et al. 2013).
SEA bersifat seperti superantigen, yang dapat berinteraksi dengan banyak sel T
secara non spesifik. Interaksi ini menyebabkan terjadinya pelepasan yang tidak
terkontrol dari berbagai sitokin dan menyebabkan terjadinya inflamasi akut dan
shock sehingga menimbulkan gejala keracunan seperti mual dan muntah-muntah
(Proft dan Fraser 2003). Telah tercatat 75% kejadian luar biasa (KLB) disebabkan
oleh SEA (Lapeyre et al. 2001).
SEA diproduksi pada akhir fase eksponensial pertumbuhan (Balaban dan
Rasooly 2000). Gen sea dibawa oleh bakteriofag yang disisipkan pada kromosom
bakteri sebagai profag dan berperilaku seperti bagian dari genom bakteri.
Transkripsi gen sea berkaitan dengan siklus hidup dari profag penyandi gen sea
(Schelin et al. 2011). Polimorfisme alami pada profag ditemukan mempengaruhi
jumlah SEA yang diproduksi oleh bakteri pembawa profag. Hasil analisis sekuen
daerah promotor menunjukkan bahwa strain yang memproduksi SEA dapat
dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu strain yang memproduksi SEA dalam
jumlah tinggi (kelompok SEA1) dan strain yang memproduksi SEA dalam jumlah
rendah (kelompok SEA2) (Borst dan Betley 1994).
Carica papaya (Pepaya)
Carica papaya (pepaya) merupakan tanaman herba berbentuk batang.
Tanaman ini berasal dari dataran rendah bagian timur Amerika Tengah, Mexico,
Panama, dan dapat ditemukan di semua negara tropis dan subtropis di dunia
(Canini et al. 2007). Pepaya memiliki ketinggian 5-10 m dan memiliki susunan
spiral daun yang terdapat pada puncak batang. Daun pepaya berukuran besar,
diameter daun 20-28 inci dengan 7 lapis susunan daun (Adachukwu et al. 2013).
Karakterisasi metabolit kimia yang diekstrak dari tanaman pepaya
menunjukkan keberadaan senyawa aktif dalam jaringan tanaman pepaya. Di
dalam getah pepaya terdapat endopeptida, sistein, kitinase II, kitinase III, dan
glutaminyl cyclase. Pada daging buah terdapat linalool. Pada daun terdapat
alkaloid carpaine, pseudocarpaine, dehydrocarpaine I dan dehydrocarpaine II,
papain, cystatin, tokoferol, asam askorbat, flavonoid, glukosida, sianogenik dan
glucosinolates (Baskaran et al. 2012). Rehena (2010) juga melaporkan bahwa
daun pepaya mengandung senyawa alkaloid carpaine, caricaksantin, violaksantin,
papain, flavonoid, polifenol, dan saponin. Adachukwu et al. (2013) melaporkan
bahwa daun pepaya mengandung alkaloid, saponin, tannin, glikosida dan

5
flavonoid. Pada tunas terdapat kaempferol dan quercetin. Selain itu terdapat juga
senyawa cyanogenic pada daun dan akar (Canini et al. 2007).
Tanaman pepaya memiliki banyak manfaat. Selain sebagai buah dan sayur,
tanaman pepaya digunakan sebagai sumber obat-obatan karena komponen
senyawa bioaktif yang terkandung di dalam pepaya. Daun pepaya juga sering
digunakan dalam proses pengempukan daging dengan cara membungkus daging
dengan daun pepaya (Saran dan Choudhary 2013). Menurut Adachukwu et al.
(2013) proses pengempukan daging dengan daun pepaya disebabkan karena
adanya komponen bioaktif seperti chymopapain dan papain.
Alkaloid
Alkaloid merupakan hasil metabolit sekunder tanaman dan merupakan
senyawa basa yang mengandung atom nitrogen dengan berat molekul yang rendah
dan struktur heterosiklik. Pada umumnya 20% dari spesies tanaman, lebih kurang
12.000 spesies tanaman mengandung alkaloid. Selain tanaman, mikroorganisme
seperti bakteri dan fungi juga menghasilkan alkaloid (Rai dan Chikindas 2011).
Alkaloid yang pertama kali digunakan adalah morphine yang diisolasi pada tahun
1805 dari tanaman Papaver somniferum.
Alkaloid yang diisolasi dari tanaman memiliki sifat antimikroba (Baskaran
et al. 2012). Sifat antimikroba alkaloid dihubungkan dengan kemampuan
berinteraksi dengan dinding sel dan DNA (Cowan 1999). Dari penelitian Cao et
al. (2007) dilaporkan bahwa alkaloid efektif sebagai antimikroba, karena
kemampuan menyusup pada utas ganda DNA dan mempengaruhi enzim
topoisomerase dan enzim perbaikan DNA. Handayani et al. (2014) melaporkan
bahwa alkaloid memiliki kemampuan dalam menurunkan jumlah sel isolat S.
aureus.
Daun pepaya yang berasa sepat dan pahit teridentifikasi mengandung
alkaloid. Alkaloid banyak terkandung dalam daun yang muda (Boshra dan Tajul
2013, Anjum et al. 2013, Elgadir et al. 2014). Di dalam daun pepaya terdapat
alkaloid carpaine, pseudocarpaine, dehydrocarpaine I dan dehydrocarpaine II
(Canini et al. 2007). Keempat alkaloid ini termasuk ke dalam golongan alkaloid
piperidin karena memiliki struktur piperidin, yaitu berupa amina heterosiklik yang
terdiri atas cincin karbon segi enam dengan lima jembatan metilen (-CH2-) dan
satu gugus amin. Struktur kimia alkaloid yang terdapat pada daun pepaya terlihat
pada Gambar 1.

Gambar 1 Alkaloid pada daun pepaya (Tang 1979)

6
Beberapa penelitian menunjukkan jumlah ekstrak alkaloid yang berbedabeda di dalam daun pepaya. Umur daun, teknik pengeringan dan metode ekstraksi
sangat mempengaruhi hasil ekstraksi alkaloid yang terdapat di dalam daun pepaya
(Anibijuwon dan Udeze 2009). Metode ekstraksi alkaloid dapat dilakukan dengan
sonikasi (Djilani et al. 2006), soxhlet (Gonzales et al. 2014), refluks (Zaree et al.
2013) dan metode asam basa (Sudsai 2006).
Teknik Pengeringan Daun Pepaya
Pengeringan daun pepaya dapat dilakukan dengan pengeringan udara,
pengeringan dengan matahari, pengeringan oven atau dengan menggunakan
pengeringan beku (Atlabachew et al. 2013). Pengeringan dengan oven dan
pengeringan beku merupakan teknik pengeringan yang paling sering digunakan
dalam penelitian, karena suhu, waktu dan kondisi lingkungan pada alat dapat
dikontrol. Pengeringan dengan oven terjadi melalui mekanisme penguapan pada
suhu tinggi (Hariyadi 2013). Pengeringan dengan oven digunakan untuk bahan
yang bersifat tahan panas. Pengeringan beku merupakan proses penting untuk
mempertahankan materi biologi yang sensitif terhadap panas (Ciurzynska dan
Lenart 2011). Pengeringan beku menghasilkan produk bermutu tinggi jika
dibandingkan dengan teknik pengeringan lainnya. Pengeringan beku dimulai dari
tahap persiapan sampel, diikuti proses pembekuan, pengeringan primer
(sublimasi) dan pengeringan sekunder (desorpsi). Proses pembekuan dilakukan
pada suhu berkisar antara -20C sampai -45C, kemudian disublimasi
menggunakan tekanan vakum dan suhu dibawah titik triple point (0.00603 atm,
0.01C). Es yang terbentuk diubah menjadi bentuk gas yang dapat dikeluarkan
sehingga menghasilkan komponen kering tanpa melalui fase cair. Pengeringan
beku memiliki keuntungan yaitu dapat meminimalisir dekomposisi senyawa
kimia, menghilangkan air tanpa panas yang berlebihan dan dapat mempertinggi
stabilitas produk selama pengeringan (Nireesha et al. 2013). Satu kelemahan
teknik ini adalah membutuhkan biaya yang mahal untuk peralatan dan
pemeliharaan alat serta memerlukan banyak energi dalam proses kerjanya
(Ciurzynska dan Lenart 2011).
Metoda Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase chain reaction (PCR) merupakan suatu metode enzimatis
untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu
dengan cara invitro (Weissensteiner et al. 2004). PCR mempunyai beberapa
keunggulan untuk mendeteksi patogen, terutama patogen yang diperoleh dalam
jumlah yang sedikit. Metode PCR sangat sensitif, sehingga dapat digunakan untuk
melipatgandakan satu molekul DNA. Dalam proses PCR dibutuhkan empat
komponen utama, yaitu (1) DNA cetakan (template) yaitu fragmen DNA yang
akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen
oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali
sintesis rantai DNA. Primer yang digunakan ada 2 yaitu oligonukleotida yang
mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu rantai DNA cetakan pada
ujung 5'-fosfat dan oligonukleotida yang kedua identik dengan sekuen pada ujung
3'-OH rantai DNA cetakan yang lain, (3) Deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP),

7
terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP dan (4) enzim DNA polimerase, yaitu
enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang
juga penting adalah senyawa buffer (Yuwono 2006).
Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan
denaturasi cetakan DNA sehingga rantai ganda DNA akan terpisah menjadi rantai
tunggal. Denaturasi DNA dilakukan dengan menggunakan panas (95C) selama 12 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55C sehingga primer akan
menempel (annealing) pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal.
Primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan pada daerah sekuen
yang komplementer dengan sekuen primer. Suhu annealing yang biasa digunakan
adalah 55C. Amplifikasi akan lebih efisien jika dilakukan pada suhu yang lebih
rendah (37C). Proses annealing dilakukan selama 1-2 menit. Setelah dilakukan
annealing oligonukleotida primer dengan DNA cetakan, suhu inkubasi dinaikkan
menjadi 72C selama 1,5 menit. Pada suhu ini DNA polimerase akan melakukan
proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada
DNA cetakan. Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk
jembatan hidrogen dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk
dengan adanya ikatan hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA
baru hasil polimerasi selanjutnya akan didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu
inkubasi menjadi 95C. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan
berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya. Reaksi ini diulangi
25-30 siklus sehingga pada akhir siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA
rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan. Banyaknya siklus
amplifikasi tergantung pada konsentrasi DNA target di dalam campuran reaksi.
Pada umumnya konsentrasi DNA polimerase Taq menjadi terbatas setelah 25-30
siklus amplifikasi (Yuwono 2006).
Metoda Quantitative Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction
(qRT-PCR)
Quantitative reverse transcription polymerase chain reaction (qRT-PCR)
merupakan pengembangan metode PCR. Teknik qRT-PCR sangat berguna untuk
mendeteksi ekspresi gen, untuk amplifikasi RNA sebelum dilakukan kloning dan
analisis, maupun untuk diagnosis agensia infektif maupun penyakit genetik.
Teknik ini dikembangkan untuk melakukan analisis terhadap molekul RNA hasil
transkripsi yang terdapat dalam jumlah yang sedikit di dalam sel. Karena PCR
tidak dapat dilakukan dengan menggunakan RNA sebagai cetakan maka terlebih
dahulu dilakukan proses transkripsi balik (reverse transcription) terhadap molekul
RNA sehingga diperoleh cDNA (complementary DNA). Teknik qRT-PCR
memerlukan enzim transkriptase balik (reverse transcriptase) yaitu enzim DNA
polimerase yang menggunakan molekul RNA sebagai cetakan untuk mensintesis
molekul cDNA yang komplementer dengan molekul RNA tersebut. Molekul
cDNA kemudian digunakan sebagai cetakan dalam proses PCR (Sudjadi, 2008).
Metode ini merupakan metode paling sensitif untuk mendeteksi dan
mengkuantifikasi tingkat ekspresi gen (Pfaffl et al. 2002).
Teknik qRT-PCR bisa dilakukan dengan menggunakan realtime PCR
(qPCR). Berbeda dengan PCR konvensional, pada qPCR tahap deteksi dan tahap

8
penggandaan materi genetik dilakukan secara bersamaan (simultan). Hal ini
menawarkan beberapa keunggulan yaitu deteksi produk PCR dilakukan pada fase
eksponensial sehingga hasil yang diperoleh berada pada rentang daerah dengan
presisi hasil tinggi. Hasil amplifikasi dianalisis selama proses amplifikasi dengan
menggunakan pewarna DNA atau pelacak fluoresens. Pelacak fluoresens adalah
reagen yang menentukan kespesifikan hasil. Penggunaan pelacak dalam tahap
deteksi menawarkan sensitivitas yang tinggi. Dengan demikian, qPCR
menawarkan sensitivitas yang tinggi dan rentang linearitas yang cukup luas
sehingga hasil penentuan kandungan DNA atau RNA menjadi sangat akurat.
Analisis data dilakukan dalam instrumen yang sama, tanpa pemindahan sampel,
tanpa penambahan sampel, dan tanpa pemisahan dengan elektroforesis (Sudjadi
2008).
Pengujian qPCR menentukan titik waktu selama siklus ketika amplifikasi
produk PCR dideteksi. Hal ini ditentukan melalui angka siklus (cycle number) saat
intensitas emisi zat warna reporter berada di atas background noise. Angka siklus ini
dikenal sebagai threshold cycle (CT). CT ditentukan pada fase eksponensial reaksi
PCR dan berbanding terbalik dengan jumlah kopi dari target. Semakin tinggi
jumlah awal kopi target asam nukleat, semakin cepat peningkatan fluoresens
sehingga semakin rendah nilai CT. Hal ini dapat dilihat pada contoh kurva
amplifikasi pada reaksi qPCR (Gambar 2). Korelasi linear antara produk PCR dan
intensitas fluoresens ini dapat digunakan untuk menentukan jumlah DNA cetakan
pada awal reaksi (Bustin 2005).

Gambar 2 Contoh kurva amplifikasi pada reaksi qPCR (NCBI 2012)
Molekul pelacak fluoresens dapat mendeteksi saat primer menempel pada
DNA cetakan dan enzim polimerase bekerja memperpanjang utas DNA (tahap
polimerase). Molekul pelacak fluoresens yang dapat digunakan pada qPCR

9
dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu fluoresens non spesifik dan molekul
fluoresens spesifik seperti pada Tabel 1.
Tabel 1 Pelacak dalam reaksi qPCR (Weissensteiner et al. 2004)
Pelacak fluoresens non-spesifik
Pelacak fluoresens spesifik
Intercatalating dyes
TaqMan TM
TM
Ampliflour
Hybridization
Quencher-labeled primers
Molecular Beacons
Lux TM primers
Scorpions TM
SYBR Green
Lanthanide
ResonSense TM
Angler TM
Hybeacons TM
Cationic conjugated PNA
Light-up TM
Eclipse TM
Cyclicons TM
SYBR Green merupakan fluoresens yang sering digunakan dalam reaksi
qPCR. SYBR Green bersifat murah, mudah didapatkan dan mudah dalam
pengerjaan (Kumar et al. 2012). SYBR Green bekerja dengan cara mengikat DNA
berutas ganda, sehingga membentuk fluoresens yang bisa dideteksi oleh qPCR
(Gambar 3). Peningkatan sinyal yang dideteksi oleh reporter menunjukkan
peningkatan jumlah produk PCR (Bustin 2000).
qPCR dalam mengkuantifikasi ekspresi gen dapat dilakukan dengan 2
metoda yaitu kuantifikasi absolut dan kuantifikasi relatif. Kuantifikasi absolut
berdasarkan pada kurva standar, dengan mempersiapkan sampel yang diketahui
konsentrasi DNA cetakannya. Konsentrasi sampel yang tidak diketahui dapat
dilihat dari interpolasi pada sinyal PCR pada kurva standar. Kuantifikasi relatif
membandingkan ekspresi gen suatu sampel yang diberi perlakuan dengan gen
kontrol yang tidak diberi perlakuan. Untuk normalisasi digunakan gen referensi
(Nolan et al. 2006).
Kuantifikasi Absolut
Kuantifikasi absolut sepenuhnya tergantung pada keakuratan standar (BioRad 2006). Kuantifikasi absolut menghubungkan sinyal PCR jumlah salinan input
dengan menggunakan kurva kalibrasi. Kurva kalibrasi didasarkan pada
konsentrasi molekul DNA standar yang diketahui. Kuantitas dari sampel DNA
target yang tidak diketahui, diinterpolasi dari berbagai kuantitas standar yang
diketahui. Kurva standar dibuat menggunakan seri pengenceran dari DNA cetakan
yang diketahui konsentrasinya. Kurva standar menunjukkan hubungan linear
antara nilai CT dengan log jumlah DNA. Melalui persamaan kurva standar,
konsentrasi DNA sampel yang tidak diketahui dapat diketahui melalui nilai CT
yang diperoleh. Masalah yang dapat ditemui dalam kuantifikasi absolut adalah
perancangan standar, penentuan konsentrasi standar, produk yang dihasilkan dan
stabilitas waktu dalam amplifikasi (Bio-Rad 2006). Kuantifikasi absolut banyak
digunakan untuk mengkuantifikasi jumlah sel tumor atau partikel menular, seperti

10
virus atau bakteri pada cairan tubuh (Bustin 2005), serta untuk deteksi dan
kuantifikasi jumlah mikroba patogen pada pangan, seperti kapang dan khamir
(Bleve et al. 2003), S. aureus (Alarcon et al. 2006) dan Salmonella Typhimurium
(Miller et al. 2011).
Tahap denaturasi

Tahap annealing

Tahap extension

Gambar 3 Mekanisme kerja SYBR Green (Bioneer 2011)
Kuantifikasi Relatif
Kuantifikasi relatif tidak memerlukan standar. Kuantifikasi relatif
didasarkan pada perbandingan ekspresi gen sampel yang diberi perlakuan
terhadap gen kontrol yang tidak diberi perlakuan (Bio-Rad 2006). Pada
kuantifikasi relatif diperlukan gen referensi untuk normalisasi. Metode untuk
menganalisis data ekspresi gen relatif adalah perbandingan nilai CT (Bio-Rad
2006). Metode ini paling sering dilakukan dan bersifat mudah. Metode
perbandingan CT mengasumsikan bahwa efisiensi PCR mendekati 1 dan efisiensi
PCR dari gen sampel mirip dengan efisiensi PCR gen kontrol. Langkah pertama
yang dilakukan adalah menormalkan nilai CT gen sampel dan kontrol dengan
rumus ΔCT sampel = (CT gen target – CT gen referensi) sampel dan ΔCT kontrol
=(CT gen target – CT gen referensi) kontrol. Langkah kedua adalah menormalkan
ΔCT dari sampel ke ΔCT kontrol, dengan rumus ΔΔCT = ΔCT sampel _ ΔCT kontrol,
ΔΔCT = [(CT gen target – CT gen referensi) sampel – (CT gen target – CT gen
referensi) kontrol tanpa perlakuan]. Langkah ketiga adalah kalkulasi rasio ekpresi
gen, dengan nilai 2-ΔΔCT menunjukkan berapa kali lipat perubahan ekspresi gen
sampel yang diberi perlakuan dibandingkan dengan kontrol yang tidak diberi
perlakuan (Schmittgen dan Livak 2008).

11

3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium
Kimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Balai Besar
Penelitian Veteriner (BALITVET) Bogor serta Laboratorium Mikrobiologi dan
Bioteknologi SEAFAST Center IPB. Penelitian telah dilaksanakan dari bulan
Agustus 2014 sampai Maret 2015.
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun muda
Carica papaya varietas Calina (IPB 9) yaitu daun yang berada tiga lapis pertama
dari pucuk yang didapatkan dari Pusat Kajian Holtikultura Tropika (PKHT)
Institut Pertanian Bogor, isolat bakteri S. aureus yang terisolasi dari susu sapi
mentah (S10), telur balado (TBI), tumis usus ayam (UA13) dan sate jeroan ayam
(SJI) (koleksi Dr. Harsi D Kusumaningrum Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan IPB) dan isolat bakteri kontrol S. aureus American type culture collection
(ATCC) 25923.
Bahan kimia yang digunakan dalam mengekstraksi alkaloid dari daun
pepaya muda adalah sodium dodecylsulfate (SDS) (Merck & Co., New Jersey,
USA), kertas saring Whatman no.1, akuades, H2SO4 (Merck & Co., New Jersey,
USA) 2% (v/v), reagen Mayer (HgCl2, KI), Na2CO3 (Merck & Co., New Jersey,
USA) 5% (b/v), kloroform (Merck & Co., New Jersey, USA), Na2SO4 (Merck &
Co., New Jersey, USA) dan gas N2.
Bahan untuk pengecekan morfologi S. aureus adalah media brain heart
infusion broth (BHI) (Oxoid Ltd, Hampshire, UK), baird parker agar (BPA)
(Oxoid Ltd, Hampshire, UK) dan triptyc soy agar (TSA) (Oxoid Ltd, Hampshire,
UK). Bahan untuk pengujian resistensi antibiotik yaitu media mueller-hinton
agar (MHA) (Oxoid Ltd, Hampshire, UK) dan antibiotik gentamisin,
streptomisin, kanamisin, chloramphenicol, tetrasiklin dan oksitetrasiklin. Bahanbahan yang digunakan untuk isolasi DNA, yaitu bufer TE 1x (Tris 10 mM; 1mM
EDTA pH 7.5), lisozim (Bio Basic Canada Inc., Ontario, Kanada), larutan SDS
10%, proteinase K (Thermo Fisher Scientific, Massachusetts, USA), NaCl, cetyl
trimethylammonium bromide (CTAB) (Merck & Co, New Jersey, USA),
kloroform, PCI (25:24:1) (phenol (MP Biomedicals, LCC, Illkirch, Perancis);
kloroform; isoamil alkohol (Applychem, Darmstadt, Jerman)), CI (24:1)
(kloroform, isoamil alkohol), isopropanol (Merck & Co., New Jersey, USA), dan
etanol 70% (Merck & Co., New Jersey, USA).
Bahan untuk amplifikasi gen penyandi 16S rRNA dan gen sea yaitu
Dreamtaq Green PCR master mix (Thermo Fisher Scientific, Massachusetts,
USA), DNA cetakan, primer 16sF dan 16sR3, primer SEAF dan SEAR, serta air
bebas nuklease. Bahan untuk elektroforesis, yaitu loading dye (Thermo Fisher
Scientific, Massachusetts, USA), buffer tris asetat EDTA (TAE), agarosa (Thermo
Fisher Scientific, Massachusetts, USA), etidium bromida (EtBr) (Amersham
BioSciences, Uppsala, Swedia), GeneRuler 100 bp DNA ladder plus (#SM0321,
Thermo Fisher Scientific, Massachusetts, USA) dan akuabides.

12
Bahan untuk pemaparan alkaloid yaitu media tryptic soy broth (TSB)
(Oxoid Ltd, Hampshire, UK) dan media TSA. Bahan-bahan yang digunakan
dalam menganalisis ekspresi gen sea, antara lain bahan untuk ekstraksi RNA,
yaitu peqGOLD Bacterial RNA Kit (PEQLAB Biotechnologie GmbH, Erlangen,
Jerman) dan DNAse I, RNase free (Thermo Fisher Scientific, Massachusetts,
USA). Bahan untuk sintesis cDNA, yaitu RevertAid First Strand cDNA Synthesis
Kit (Thermo Fisher Scientific, Massachusetts, USA), primer SEA (SEAF dan
SEAR), primer 16S rRNA (16sF dan 16sR3); serta bahan untuk reaksi qPCR,
yaitu primer SEA (SEAF dan SEAR), primer 16S rRNA (16sF dan 16sR3), air
bebas nuklease dan KAPA SYBR FAST qPCR Kit master mix (Kappa
Biosystems, Massachusetts, USA).
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas, pipet
mikro 1 ml, pipet mikro 100 μl, pipet mikro 10 μl, blender, oven (VWR A143 A143, Sheldon Manufacturing, Inc., Oregon, USA), ultrasonic bath (Bransonic
Ultrasonic Cleaner Model B8510 MTH, Branson Ultrasonic Corporation,
Connecticut, USA), rotari evaporator (Butchi Rotavapor R-210, BÜCHI
Labortechnik, Flawil, Switzerland), freeze dryer (Martin Christ Gamma 2-16
LSC), sentrifuge (Hermle Z383K; Hermle Labortechnik GmbH, Wehingen, Saint
Nom, Jerman), spektrofotometer UV-1800 (Shimadzu, Jepang), perangkat
elektroforesis DNA (Bio-Rad, Bio-Rad Laboratories Pte. Ltd, Singapore),
Thermal Cycler 2720 (Applied Biosystems, California, USA), gel doc (Bio-Rad,
Bio-Rad Laboratories Pte. Ltd, Singapore) dan Swift Spectrum Thermal Cycler 48
(Esco Healthcare Pte. Ltd, Singapore).
Metode Penelitian
Metode penelitian secara umum disajikan dalam diagram alir seperti pada
Gambar 4.
Pengeringan Daun Pepaya Muda
Ekstraksi Alkaloid Daun Pepaya Muda

Deteksi Morfologi S. aureus
Pengujian Resistensi Antibiotik
Deteksi Molekuler S. aureus

Pemaparan Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya Muda terhadap S. aureus
Pengukuran Ekspresi Relatif Gen sea dengan SYBR Green
Gambar 4. Diagram alir penelitian

13
Konsep Penelitian
Berdasarkan metode penelitian pada Gambar 4, maka terdapat beberapa
prosedur yang harus dilakukan dalam setiap metode penelitian. Kegiatan, prosedur
dan luaran yang diharapkan dari penelitian ditampilkan pada Tabel 2.
Pengeringan Daun Pepaya Muda
Daun pepaya yang digunakan adalah daun muda. Daun muda merupakan
daun pepaya yang berada pada 3 lapis pertama dari pucuk daun seperti pada
Gambar 5, daun berwarna hijau muda dan memiliki tangkai yang lurus.

Gambar 5 Tiga lapis daun pepaya muda dari pucuk
Daun pepaya muda utuh yang tidak terserang penyakit dikumpulkan dari
pohon pepaya Calina. Daun dicuci 2-3 kali dengan air bersih. Kemudian diukur
kadar air daun pepaya muda dengan metode oven (AOAC 2012). Setelah itu, daun
dikeringkan dengan dua perlakuan yaitu oven pada suhu 55C selama 22 jam
(Atlabachew et al. 2013) dan pengeringan beku selama 24 jam. Daun kering
dihaluskan hingga membentuk bubuk dengan menggunakan blender, dilewatkan
pada saringan berukuran 40 mesh, dan disimpan pada wadah tertutup. Kemudian
diukur kadar air bubuk dengan metode oven (AOAC 2012). Pengukuran kadar air
daun pepaya muda dan bubuk daun pepaya muda dilakukan 3 kali ulangan.
Ekstraksi Alkaloid Daun Pepaya Muda
Sebanyak 10 gram bubuk daun pepaya disuspensikan dalam 400 ml SDS
0,2%, kemudian disonikasi selama 2,5 jam dengan suhu 25-35C dan frekuensi 40
kHz. Ekstrak disaring dengan kertas Whatman no 1. Kemudian larutan H2SO4 2%
ditambahkan ke dalam filtrat, hingga diperoleh pH 3-4. Filtrat dipresipitasi dengan
15 ml reagen Mayer. Presipitat dipisahkan dengan sentrifugasi pada 2400 × g
selama 10 menit dan dilarutkan dengan Na2CO3 5% lalu diekstraksi dengan
CHCl3. Lapisan organik yang terbentuk dicuci dengan akuades hingga pH menjadi
netral dan dilewatkan pada Na2SO4. Larutan dievaporasi dengan rotari evaporator
dan dikeringkan dengan gas N2 untuk memperoleh rendemen ekstrak kasar
alkaloid (Djilani et al. 2006). Rendemen ekstrak kasar alkaloid dilarutkan dalam
DMSO dan disterilisasi dengan membran filter untuk digunakan dalam proses
pemaparan terhadap sel S. aureus.

14
Tabel 2 Konsep penelitian
Kegiatan
Pengeringan daun
pepaya muda

Prosedur
Pengambilan daun pepaya
muda

Referensi
Pengamatan
lapangan

Pengukuran kadar air

AOAC 2012

Pengeringan daun pepaya
muda dengan oven dan
pengeringan beku

Atlabachew et
al. (2013)

Pengukuran kadar air
bubuk

AOAC 2012

Didapatkan kadar air bubuk
daun pepaya muda.

Ekstraksi alkaloid
daun pepaya muda

Ekstraksi alkaloid

Djilani et al.
2006

Didapatkan rendemen ekstrak
kasar alkaloid.

Deteksi morfologi
S. aureus

Penumbuhan bakteri pada
media BPA dan TSA

BAM 2001

Didapatkan koloni S. aureus.

Resistensi antibiotik

Metode difusi cakram

CLSI 2012

Diketahui nilai sensitivitas
isolat S. aureus terhadap 6
antibiotik yang diujikan.

Deteksi molekuler
S. aureus

Ekstraksi DNA S. aureus

Mason et al.
2001

Kuantifikasi DNA

Johnson et al.
1991
Lee et al. 2007

Didapatkan DNA murni yang
berfungsi sebagai DNA
cetakan.
Didapatkan konsentrasi dan
kemurnian DNA.
Didapatkan ukuran pita gen
penyandi 16S rRNA.

Amplifikasi DNA
S. aureus

Luaran
Didapatkan daun pepaya yang
berada pada 3 lapis pertama
dari pucuk daun
Dida