Pengaruh Ekstrak Kaya Saponin Dari Daun Pepaya (Carica Papaya L) Terhadap Membran Staphylococcus Aureus Dan Aspergillus Niger
PENGARUH EKSTRAK KAYA SAPONIN DARI DAUN
PEPAYA (Carica papaya L) TERHADAP MEMBRAN
Staphylococcus aureus DAN SPORA Aspergillus niger
DINA FITHRIYANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Ekstrak Kaya
Saponin dari Daun Pepaya (Carica papaya L) terhadap Membran Staphylococcus
aureus dan Spora Aspergillus niger adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2017
Dina Fithriyani
NIM F251130201
RINGKASAN
DINA FITHRIYANI. Pengaruh Ekstrak Kaya Saponin dari Daun Pepaya (Carica
papaya L) terhadap Membran Staphylococcus aureus dan Aspergillus niger.
Dibimbing oleh HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM dan DIDAH NUR
FARIDAH .
Masalah keamanan pangan tidak lepas dari adanya mikroba patogen yang
dapat menyebabkan pada masalah kesehatan dan kerusakan pada pangan.
Staphlococcus aureus dan Aspergillus niger merupakan bakteri patogen dan
kapang perusak pangan yang mudah tumbuh di daerah Indonesia, sehingga
pertumbuhannya harus dikontrol. Salah satu upaya untuk mengkontrol
pertumbuhan mikroba tersebut yakni dengan penggunaan senyawa antimikroba
alami seperti saponin. Senyawa saponin diketahui memiliki aktifitas antimikroba,
dan jumlahnya cukup melimpah pada daun pepaya yang banyak tersebar di
wilayah Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode ekstraksi saponin yang
menghasilkan rendemen tinggi dari daun pepaya dengan membandingkan
rendemen dari daun pepaya (tua, muda) dan pelarut (etanol, metanol) yang
digunakan, serta untuk mengetahui aktivitas antimikroba saponin dari daun
pepaya (Carica papaya L) pada S. aureus dan spora A. niger dengan melihat
pengaruh saponin pada membran sel bakteri dan spora.
Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa ekstraksi menggunakan pelarut
etanol menghasilkan rendemen yang lebih tinggi (5,7%) dibandingkan dengan
metanol (3,2%), sedangkan rendemen ekstrak kaya saponin pada daun pepaya
muda dan tua tidak berbeda nyata. Ekstrak kaya saponin yang diperoleh dengan
pelarut etanol, pada konsentrasi 20 mg/mL dan 50 mg/mL mampu menghambat
pertumbuhan S. aureus dan spora A. niger. Setelah dipaparkan dengan ekstrak
kaya saponin selama 6 jam, absorbansi dari supernatan meningkat, hal tersebut
mengindikasikan keluarnya cairan sitoplasma dari dalam sel. Selain itu, jumlah sel
atau spora yang berfluoresense merah meningkat, mengindikasikan bahwa
membran mengalami kebocoran. Ekstrak kaya saponin dari daun pepaya mampu
menghambat pertumbuhan S. aureus dan menghambat germinasi spora A. niger
dengan kebocoran membran.
Kata kunci: A. niger, daun pepaya, kebocoran membran, saponin, Staphylococcus
aureus
SUMMARY
DINA FITHRIYANI. Effect of Saponin-rich-extract from Papaya Leaves on
Membrane of Staphylococcus aureus and Aspergillus niger Spore. Supervised by
HARSI D. KUSUMANINGRUM and DIDAH N. FARIDAH.
Food safety issues can not be separated from the microbial pathogens that
can cause health problems and food spoilage. Staphylococcus aureus is known as
important foodborne pathogenic bacteria and Aspergillus niger as important mold
causing food spoilage in Indonesia. Their presence in food product should be
prevented and controlled. One of the efforts to improve food safety is the
utilization of antimicrobial compounds, that can inhibit the growth of pathogenic
microbes and food spoilage microorganism like Saponin. Saponins are triterpenic
or steroidal glycosides which have many biological properties, and largely
distributed in papaya leaves abundantly grown in Indonesia.
This research aimed to compare the extraction procedure of saponin from
papaya leaves by the difference of papaya leaves (young and old) and solvent
(methanol, ethanol) that be used. This research also to determine the antimicrobial
activity of saponins from papaya leaves (Carica papaya) and to see the effect of
saponins in the cell membranes of bacteria and spores.
The results showed that extraction by etanol provided higher yields (5.7%)
than by metanol (3.2%). The yields of saponin-rich-extract from young and old
leaves were not significantly different. Saponin-rich-extract of papaya leaves
obtained by etanol extraction at a concentration of 20 mg/g and 50 mg/mL were
able to inhibit the growth of S. aureus and A. niger significantly, respectively.
After exposed to saponin-rich-extract for 6 hours, the absorbance of supernatant
increased, indicating leaching of cytoplasm cells, and the sum of red-fluorescent
cells or spore increased, indicating membrane disruptions. Saponin rich extract of
papaya leaves were able to inhibit the growth of S. aureus and inhibit the
germination of A. niger spores by disrupting the membrane.
Keywords: Aspergillus niger, membrane disruption, papaya leaves, saponin,
Staphylococcus aureus
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH EKSTRAK KAYA SAPONIN DARI DAUN
PEPAYA (Carica papaya L) TERHADAP MEMBRAN
Staphylococcus aureus DAN SPORA Aspergillus niger
DINA FITHRIYANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, MSc.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang
berjudul Pengaruh Ekstrak Kaya Saponin dari Daun Pepaya (Carica papaya L)
terhadap Membran Sel Staphylococcus aureus dan Spora Aspergillus niger. Tesis
ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan
strata dua (S2) Program Studi Ilmu Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Harsi Dewantari
Kusumaningrum dan Dr Didah Nur Faridah, STP, MSi selaku pembimbing yang
telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi, serta solusi dari setiap
permasalahan yang dihadapi penulis selama melaksanakan penelitian dan
penyusunan karya ilmiah ini. Ucapan terimakasih kepada Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
yang telah memberikan beasiswa BPPDN Calon Dosen dan telah mendanai
penelitian ini melalui Hibah Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Lanjutan
tahun 2015-2016 atas nama Dr. Ir. Harsi D Kusumaningrum. Selain itu penulis
ucapkan terima kasih kepada penguji luar komisi Prof Dr Ir Ratih Dewanti H.
MSc dan Dr. Nancy Dewi Yuliana, STP, MSc selaku Sekretaris Program Studi
Ilmu Pangan IPB, yang telah memberikan masukan pada saat ujian sidang tesis
untuk membuat karya ilmiah ini menjadi lebih baik.
Ungkapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis ucapkan kepada
kedua orang tua bapak Drs. Furqon Amin dan ibu Nashriyah, suami tercinta Erwin
Dian Saputro ST, ananda Muhammad Zhafran Nufays, kakak, adik serta seluruh
keluarga besar tercinta, atas segala doa, semangat, dukungan, motivasi dan kasih
sayangnya selama ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak, teknisi laboratorium, dan teman-teman yang telah membantu dan
berbagi ilmu dalam penelitian ini. Terima kasih kepada teman-teman
seperjuangan Pascasarjana Ilmu Pangan IPB. Semoga karya tulis ini bermanfaat
bagi kemajuan ilmu pengetahuan selanjutnya.
Bogor, Februari 2017
Dina Fithriyani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian
1
1
1
2
2
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Saponin
Saponin Daun Pepaya (Carica papaya Linn)
Ekstraksi Saponin
Saponin sebagai Antimikroba
Staphylococcus aureus
Aspergillus niger
Mekanisme Kerusakan Sel Mikroba dan Spora Kapang
3
3
5
5
7
9
11
12
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Prosedur Penelitian
Prosedur Analisis Data
14
14
14
14
15
19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstrak Kaya Saponin Daun Pepaya
Aktivitas Antimikroba Ekstrak Kaya Saponin dari Daun Pepaya
Pengaruh Ekstrak Kaya Saponin dari Daun Pepaya
19
19
24
27
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
31
31
31
DAFTAR PUSTAKA
31
LAMPIRAN
36
RIWAYAT HIDUP
37
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah Senyawa Bioaktif Ekstrak Daun Pepaya ................................. 5
Tabel 2. Nilai MIC Ekstrak saponin pada Berbagai Bakteri .............................. 7
Tabel 3. Hasil Penelitian Saponin dari Berbagai Sumber .................................. 8
Tabel 4. Kondisi Pertumbuhan S. aureus dan Produksi Enterotoksin ............. 10
Tabel 5. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Kaya Saponin dan Ekstrak Etanolik ..... 21
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Contoh saponin steroid dengan 4 rantai gula ................................ 3
Gambar 2. Perbedaan struktur aglikon saponin............................................... 3
Gambar 3. Struktur kimia beberapa macam jenis saponin .............................. 4
Gambar 4. Metode ekstraksi ............................................................................ 6
Gambar 5. Aktifitas antikapang dari 3 jenis saponin ...................................... 8
Gambar 6. Struktur membran sel bakteri ...................................................... 10
Gambar 7. Morfologi kapang Aspergillus niger............................................ 12
Gambar 8. Struktur spora ............................................................................ 12
Gambar 9. Model pembentukan pori oleh molekul saponin ......................... 13
Gambar 10. Model kerusakan membran oleh saponin .................................... 13
Gambar 11. Skema prosedur tahapan penelitian ............................................. 15
Gambar 12. Rendemen ekstrak daun pepaya .................................................. 20
Gambar 13. Kromatogram............................................................................... 22
Gambar 14. Kadar saponin pada ekstrak daun pepaya.................................... 23
Gambar 15. Zona hambat ekstrak kaya saponin pada S. aureus ..................... 24
Gambar 16. Nilai MIC ekstrak kaya saponin pada S. aureus ......................... 25
Gambar 17. Pemaparan A niger. dengan ekstrak kaya saponin ...................... 26
Gambar 18. Agar Dilution Test spora A. niger ............................................... 26
Gambar 19. Absorbansi supernatan S aureus.................................................. 27
Gambar 20. Absorbansi supernatan A. niger................................................... 28
Gambar 21. Sel bakteri S. aureus .................................................................. 29
Gambar 22. Spora A niger ............................................................................... 30
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisa Kadar Air ....................................................... 36
Lampiran 2. Prosedur Analisis Kualitatif Fitokimia ...................................... 36
Lampiran 3. Hasil uji ANOVA Rendemen Ekstrak Daun Pepaya ................. 37
Lampiran 4. Hasil uji ANOVA Kadar Saponin Ekstrak Daun Pepaya ........... 37
Lampiran 5. Hasil uji ANOVA Absorbansi S. aureus .................................... 38
Lampiran 6. Hasil uji ANOVA Absorbansi supernatan A. niger.................... 39
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah keamanan pangan tidak lepas dari adanya mikroba patogen yang
dapat menyebabkan pada masalah kesehatan dan kerusakan pada pangan.
Staphylococcus aureus dan Aspergillus niger merupakan bakteri patogen dan
kapang perusak pangan yang mudah tumbuh di daerah Indonesia, sehingga
pertumbuhannya harus dikontrol. Salah satu upaya untuk mengontrol
pertumbuhan mikroba tersebut yakni dengan penggunaan senyawa antimikroba
alami seperti saponin. Senyawa saponin diketahui memiliki aktifitas antimikroba,
dan jumlahnya cukup melimpah pada daun pepaya yang banyak tersebar di
wilayah Indonesia.
Menurut Baskaran et al. (2012) senyawa yang terkandung dalam daun
pepaya antara lain yaitu alkaloid, saponin, glikosida, fitosterol, komponen fenolik,
flavonoid, terpenoid, dan tanin. Beberapa senyawa tersebut diketahui memiliki
aktivitas antimikroba, seperti alkaloid yang mampu menghambat pertumbuhan
dan pembentukan toksin dari Staphylococcus aureus (Handayani, 2014),
komponen fenolik menghambat patogen dengan menggangu membran sel dan
ATPase (Cetin, 2011), dan saponin yang mampu menghambat pertumbuhan
Candida albicans dan Aspergillus niger (Ribeiro et al., 2013).
Saponin merupakan triterpenoid atau steroid glikosida yang terdapat pada
tanaman. Glikosida tersebut memiliki fungsi fisiologis pada tanaman yakni
sebagai faktor penghambat serangan patogen. Selain menghambat patogen,
saponin juga dimanfaatkan sebagai pembentuk busa, emulsifier, antioksidan, anti
tumor, antimikroba dan sebagainya (Ribeiro et al., 2013). Menurut Vuong et al.
(2013), saponin ditemukan pada ekstrak etanol daun pepaya dalam jumlah yang
cukup banyak yaitu 82.88 mg/g ekstrak, akan tetapi penelitian mengenai metode
ekstraksi dan isolasi saponin tersebut belum banyak dilakukan. Selain itu,
penelitian tentang saponin dari daun pepaya belum banyak dilakukan di Indonesia
khususnya. Dengan demikian diperlukan penelitian untuk mempelajari ekstraksi
dan isolasi saponin yang menghasilkan rendemen tinggi dari daun pepaya.
Barile et al. (2007) menyatakan bahwa, saponin dari Allium minutiflorum
memiliki aktivitas sebagai antikapang. Hal yang hampir serupa disampaikan oleh
Ribeiro et al. (2013) bahwa saponin dari sisal (Agave sisalana) memiliki aktivitas
penghambatan pada kapang (A. niger, C. albicans) yang jauh lebih tinggi
dibandingkan daya hambatnya pada bakteri (E. coli, S. aureus, B. subtilis).
Menurut Morrissey dan Osbourn (1999), saponin dapat membentuk kompleks
dengan sterol yang ada pada membran sel sehingga mengganggu permeabilitas
sel. Oleh karena itu perlu suatu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui aktivitas
antimikroba saponin dari daun pepaya (Carica papaya) serta penghambatannya
pada spora kapang (A. niger) dan bakteri patogen (S. aureus) dengan melihat
pengaruh saponin pada membran sel bakteri dan spora kapang tersebut.
Perumusan Masalah
Ekstrak daun pepaya diketahui memiliki aktivitas antimikroba terhadap
bakteri dan kapang seperti S. aureus yang merupakan patogen penghasil
2
enterotoksin yang tahan terhadap pemanasan dan A. niger yaitu kapang perusak
pangan dan penghasil mikotoksin. Aktivitas antimikroba ini berhubungan dengan
komponen fitokimia yang terdapat dalam daun pepaya, seperti komponen fenolik,
alkaloid, dan saponin. Saponin merupakan senyawa kimia yang jumlahnya cukup
tinggi pada daun pepaya, namun eksplorasi saponin pada daun pepaya belum
banyak dilakukan khususnya di Indonesia. Metode ekstraksi saponin dari daun
pepaya yang menghasilkan rendemen yang tinggi juga belum banyak diteliti. Oleh
karena itu, kajian mengenai metode ekstraksi saponin daun pepaya serta aktvitas
ekstrak saponin dari daun pepaya terhadap bakteri (S. aureus) dan spora kapang
(A. niger) perlu dilakukan.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian adalah untuk menguji pengaruh penambahan
ekstrak saponin dari daun pepaya dalam berbagai konsentrasi terhadap
pertumbuhan S. aureus dan spora A. niger. Tujuan khusus penelitian ini adalah
untuk menentukan metoda ektraksi saponin dengan rendemen tinggi, menentukan
nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ekstrak kaya saponin dari daun
pepaya terhadap S. aureus dan spora A. niger, dan mengetahui pengaruh saponin
daun pepaya terhadap membran sel S. aureus dan spora A. niger
Hipotesis
Ekstrak saponin dari daun pepaya mampu menghambat pertumbuhan S.
aureus dan spora A. niger. Saponin dapat merusak membran sel dari bakteri S.
aureus dan spora kapang A niger.
Manfaat Penelitian
Dari penelitian tentang pengaruh ekstrak saponin dari ekstrak daun pepaya
terhadap membran S. aureus dan spora kapang A. niger ini dapat memberikan
manfaat antara lain yakni :
1. Memberikan informasi tentang ekstraksi saponin dari daun pepaya yang
menghasilkan rendemen tinggi.
2. Memberikan informasi tentang manfaat daun pepaya dalam menghambat
pertumbuhan bakteri S. aureus dan spora kapang A. niger sehingga dapat
membantu meningkatkan keamanan bahan dan produk pangan.
3. Mendorong masyarakat untuk meningkatkan daya guna daun pepaya
dalam pengolahan pangan.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Saponin
Dalam review yang dilakukan oleh Morrissey dan Osbourn (1999),
saponin adalah molekul glikosilat triterpenoid, steroid, alkaloid steroida yang
banyak tersebar di berbagai jenis tanaman dan diketahui memiliki aktifitas
antikapang. Saponin merupakan senyawa yang memiliki rantai oligosakarida yang
terdiri glukosa, arabinosa, asam glukoronat, silosa, rafinosa. Saponin
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: saponin steroid dan saponin triterpenoid.
Saponin steroid tersusun atas inti steroid (C-27) dengan molekul gula. Saponin
steroid dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang dikenal sebagai saraponin.
Saponin triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul gula yang
dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang disebut sapogenin. Contoh struktur
kimia saponin steroid dan aglikon yang berbeda pada saponin dapat dilihat pada
Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1. Contoh saponin steroid dengan 4 rantai gula: Parquisoide yang
diekstrak dari Cestrum parqui (Chaieb, 2010)
Gambar 2. Perbedaan struktur aglikon saponin (Chaieb, 2010)
4
Saponin merupakan metabolit sekunder yang banyak tersebar di tanaman,
berperan sebagai senyawa kimia pada sistem pertahanan tanaman untuk melawan
patogen dan herbifor (Augustin et al, 2011). Tanaman yang berbeda kemungkinan
memiliki jenis saponin yang berbeda, misalnya pada akar oat memiliki jenis
saponin triterpenoid yakni avenacin, sedangkan pada kentang dan tomat memiliki
saponin steroid glikoalkaloid yakni α-tomatine dan α –chaconine (Morrissey dan
Osbourn, 1999). Untuk contoh struktur kimia berbagai macam saponin dapat
dilihat pada Gambar 3. Avenosin A dan B secara biologis inaktif di dalam
tanaman, namun akan diubah menjadi antikapang ketika ada serangan dari
patogen oleh glukosil hidrolase pada tanaman yang spesifik untuk molekul
glukosa atom C-26 (Morrissey dan Osbourn 1999).
Gambar 3. Struktur kimia beberapa macam jenis saponin (Morrissey dan
Osbourn, 1999)
Saponin diketahui memiliki aktifitas farmasi seperti hemolitik, antikapang
atau antiyeast , antibakteri, antiparasitik, antitumor, dan antiviral (Sparg et al.,
2004). Selain dalam farmasi, saponin juga digunakan pada pangan sebagai
surfaktan alami dan sebagai pengawet dalam mengontrol mikroba perusak
pangan. Piorkowski dan McClements (2013), menggunakan Quillaja saponin
sebagai surfaktan alami dengan molekul kecil dalam emulsi minuman
menggantikan surfaktan sintetik. Yang et al. (2013), membandingkan surfaktan
alami (Quillaja saponin) dan surfaktan sintetik sebagai pembentuk dan penstabil
5
emulsi, serta diketahui surfaktan alami efektif dan mampu mengganti surfaktan
sintetik. Saponin teh yang dikombinasikan dengan Bacillus amyloliquefacien
untuk perlakuan pascapanen buah Mandarin, dapat mengurangi kapang hijau dan
biru (Hao et al., 2011). Pada penelitian Du et al. (2015), nilai LD50 dari uji
toksisitas oral akut saponin dari Sapindus mukorossi adalah 9260 mg/kg berat
kelinci Wistar, dan disimpulkan bahwa saponin dari Sapindus mukorossi aman
untuk kosmetik serta dikategorikan “practical nontoxic‖ dan ―non dermal
iritation‖.
Saponin Daun Pepaya (Carica papaya L)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Vuong et al. (2013), tentang kondisi
ekstraksi komponen fenolik dan aktivitas antioksidan pada ekstrak daun pepaya,
diketahui bahwa jumlah saponin dalam daun pepaya cukup tinggi dibandingkan
dengan komponen yang lain. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Namun
penelitian tersebut menyatakan ekstraksi saponin dari daun pepaya belum banyak
dilakukan, sehingga bagian daun pepaya yang paling banyak mengandung saponin
serta jenis saponin yang terkandung belum banyak diketahui.
Tabel 1. Jumlah Senyawa Bioaktif Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya L)
dengan Berbagai Pelarut
Senyawa Bioaktif/Aktivitas
Antioksidan
Polifenol (mg GAE/g)
Flavonoid (mg CE/g)
Saponin (mg aes/g)
Proantosianida (mg CE/g)
Aktivitas antioksidan (µg TE/g)
Total antioksidan (µg TE/g)
Jumlah Senyawa Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan pada Ekstrak
Air
Aseton
Etanol
Metanol
23.06±1.06
10.71±0.26
9.43±0.14
15.03±0.39
6.44±0.14
16.41±0.45
17.07±2.37
11.96±0.85
26.36±1.50
31.75±3.45
82.88±1.14
49.24±0.63
1.91±0.08
6.39±0.18
7.91±0.92
4.86±0.16
105.62±3.07
73.99±2.84
67.38±4.23
96.44±4.58
166.66±5.14
133.18±2.15
122.47±1.81
158..91±1.68
*Ket: GAE = gallic acid equivalent; CE = catechin equivalent; aes = aescin
(standar saponin); TE = trolox equivalent; mg/g = mg / g ekstrak
Sumber : Vuong et al., 2013
Ekstraksi Saponin
Pada umumnya ekstrasi saponin dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori
yakni teknik konvensional dan green technology. Teknik konvensional meliputi
ekstraksi dengan maserasi, soxhlet dan refluks, sedangkan green technology
meliputi ultrasound-assisted, microwave-assisted, and accelerated solvent
extraction (Heng et al., 2013). Ekstraksi secara konvensional didasarkan pada
kelarutan saponin pada pelarut. Hal tersebut menyebabkan pelarut yang
dibutuhkan seringnya dalam jumlah banyak untuk mengekstrak saponin meskipun
terkadang ditambahkan proses pemanasan, pengadukan, dan pengocokan. Di sisi
lain, teknik ekstraksi menggunakan green technology memperkecil bahaya reakasi
kimia, lebih hemat penggunaan bahan kimia, lebih efisien, serta mengurangi
polusi (Azmir et al., 2013).
Teknik ekstraksi dengan maserasi yakni ekstraksi solid-liquid dimana
senyawa bioaktif (senyawa terlarut) di dalam tanaman diekstrak dengan
6
merendam bahan dalam pelarut spesifik selama beberapa waktu yang ditentukan (
Takeuchi et al., 2009). Pada teknik ini etanol dan metanol sering digunakan
sebagai pelarut dalam ekstraksi saponin dari tanaman. Durasi waktu ekstraksi
dengan menggunakan metode maserasi cukup lama, terkadang mencapai beberapa
minggu. Teknik konvensional selain maserasi yakni teknik soxhlet dan refluks.
Proses tersebut yaitu memanaskan pelarut untuk menguapkannya kemudian
dikondensasikan dan dialirkan pada sampel dan dikembalikan pada flash. Larutan
yang sering digunakan yakni etanol. Kerugian dari teknik ini yaitu lama,
sedikitnya diperlukan waktu 1-4 jam untuk refluks dan 24-72 jam untuk soxhlet.
Gambar 4. Persentase metode ekstraksi yang digunakan untuk ekstraksi saponin
dari berbagai tanaman (Cheok et al., 2014).
Pada ekstrasi saponin, sering juga digunakan 2 kombinasi teknik ekstraksi
utnuk memperoleh ekstrak saponin yang hampir murni sebelum dianalisis dengan
HPLC. Soxhlet pada umumnya berada pada tahapan pertama ekstraksi, bertujuan
untuk menghilangkan lipid pada sampel tanaman. Pelarut pada tahapan soxhlet
yang sering digunakan yakni hexan dan kloroform (Ncube et al., 2011).
Selain menggunakan teknik konvensional seperti yang disebutkan
sebelumnya, ekstraksi saponin juga dapat menggunakan green technology antara
lain yaitu ultrasound-assisted extraction (UAE), microwave-assisted extraction
(MAE),dan accelerated solvent extraction (ASE). Prinsip kerja UAE yaitu
ultrasound yang membentuk gelembung pada solvent akan bekerja sebagai
mikrojet untuk mendenaturasi dinding sel tanaman, ketika gelembung pecah pada
fraksi akan dihasilkan yield komponen bioaktif. UAE sudah sering diaplikasi pada
ekstraksi komponen bioaktive dari herbal, industri dan pengolahan pangan (Soria
dan Villamel, 2010). Meskipun UAE sudah sering digunakan, namun pada proses
ekstraksi saponin belum banyak yang menggunakan metode tersebut (Cheok et al.,
2014).
Metode lain yakni MAE yang memanfaatkan gelombang elektromagnetik
pada frequency 0.3 – 300 GHz (Heng et al., 2013; Takeuchi et al., 2009). Saat ini
MAE menarik perhatian peneliti pada proses ekstraksi komponen bioaktif dari
tanaman karena waktu yang diperlukan pendek, pelarut yang sedikit, dan
7
mekanisme pemanasan yang khusus (Heng et al., 2013). Microwaves mampu
berpenetrasi ke dalam material dan menimbulkan panas yang dihasilkan oleh
interaksi molekul polar seperti air di dalam material. Efektifitas MAE tergantung
pada pelarut dan struktur matriks sel tanaman (Takeuchi et al., 2009). Pada review
yang dilakukan oleh (Cheok et al., 2014), pada ekstraksi saponin dengan
menggunakan metode MAE menghasilkan yield yang lebih tinggi, dan waktu
yang lebih singkat.
Berbeda dengan MAE yang menggunakan gelombang elektromagnetik,
ASE menggunakan suhu dan tekanan yang tinggi namun pelarut yang sedikit.
Penggunaan suhu yang tinggi bertujuan untuk meningkatkan kelarutan serta
transfer masa zat terlarut pada pelarut, dan tekanan yang tinggi mempertahankan
titik didih pelarut, mempercepat, dan mengefisienkan proses ekstraksi (Mottaleb
dan Sarker, 2012). Proses ekstraksi pada umumnya berakhir selama 15-25 menit
dengan menggunakan 15-45 mL pelarut. SAE banyak digunakan pada penelitian
lingkungan, pangan, polimer, dan farmasi.
Pada umumnya, saponin diekstrak menggunakan pelarut air, etanol, dan
metanol (Huang et al., 2008). Shuna et al. (2007) meneliti tentang ekstraksi
saikosaponin dari Radix Bupleri dengan metode UAE dan memperoleh hasil
bahwa kondisi optimum yakni selama 30 menit, suhu 80 oC, ukuran partikel 0.99 (FDA, 2012).
S. aureus merupakan bakteri fakultatif anaerob, sehingga dapat tumbuh pada
kedua kondisi aerob dan anaerob. Akan tetapi pertumbuhannya lebih lamban jika
kondisi pertumbuhannya anaerob. Untuk bakteri bukan penghasil spora, S. aureus
relatif lebih resisten terhadap panas (Stewart, 2003).
Keracunan Staphylococcal umumnya memiliki waktu onset yang cukup
pendek, berkisar 3 jam setelah konsumsi (berkisar 1-6 jam). Gejala-gejala yang
ditunjukkan yaitu pusing, mual dan mutah, kram perut, dan diare. Lama
penyembuhannya berkisar 1-3 hari (FDA, 2012). Kebanyakan terjadi pada anakanak dan orang tua (Monville dan Matthews, 2008). Staphylococcal food
poisoning merupakan intoksikasi yang disebabkan karena terkonsumsinya SE
(Argudin, 2010). SE terdiri dari berbagai macam jenis, antara lain yakni :
enterotoksin A (paling sering menyebabkan sakit), enterotoksin D, E, H, G, B, dan
I yang juga menyebakan Staphylococcal food poisoning. SE diproduksi selama
fase eksponensial S. aureus, dengan jumlah yang tergantung oleh strain. Biasanya
dosis SE menyebabkan sakit yakni ketika jumlah S. aureus berkisar 105 – 108
CFU/g (Monville dan Matthews, 2008).
SE diproduksi pada suhu berkisar antara 10-48oC, dengan suhu optimum
yaitu 40-45 oC. Penurunan suhu mengakibatkan produksi SE juga menurun. SE
stabil pada suhu penyimpanan beku, dan resisten terhadap suhu pemanasan dan
bertahan pada suhu sterilisasi pangan kaleng. Produksi SE berkisar pada pH 4.5 –
10
9.6, dengan pH optimum yaitu 7 – 8. Produksi SE dapat terjadi baik pada kondisi
aerob maupun anaerob, akan tetapi akan optimum produksinya pada kondisi
aerobic (Stewart, 2003).
SE resisten pada panas dan pH rendah yang mana kondisi tersebut dapat
dengan mudah membunuh bakteri S. aureus. SE juga resisten pada enzim
proteolitik, hal ini yang menyebabkan SE mampu bertahan di dalam saluran
pencernaan. Ukuran SE yaitu 22-28 kDa dan mengandung rantai disulfide yang
flexible, hal tersebut diduga SE menyebabkan mual-mual, menstimulasi
neuroreseptor pada saluran usus, kemudian dikirimkan stimuli pada saraf pusat
mual pada otak melalui saraf vagus. SE mampu berpenetrasi ke dalam lapisan
mukosa dam menstimulasi respon imun, sehingga akan dilepaskan inflammatory
mediator, seperti histamine yang menyebabkan mual dan muntah. Diare selama
Staphylococcal food poisoning disebabkan oleh inhibisi air dan reabsorbsi
elektrolit pada usus halus (Argudin et al., 2010).
Tabel 4. Kondisi pertumbuhan S. aureus dan produksi enterotoksin
Pertumbuhan bakteri
Produksi enterotoksin
Optimal
Kisaran
Optimal
Kisaran
Suhu (°C)
37
7–48
40–45
10–48
pH
6–7
4–10
7–8
4.5–9.6
Aw
0.98
0.83–>0.99
0.98
0.87–>0.99
Sumber : ICMSF, 1996
Gambar 6. Struktur membran sel bakteri (Madigan et al., 2012)
Pada Gambar 6 di atas nampak adanya phospholipid dan kolesterol yang
ada pada membran sel bakteri yang kemungkinan akan berikatan membentuk
11
kompleks dengan saponin dan menyebabkan pembentukan pori-pori pada
membran dan menghambat pertumbuhan sel.
Aspergillus niger
A. niger dapat tumbuh pada kisaran suhu yang cukup luas, yakni berkisar
antara 6-47 oC dengan suhu optimum pertumbuhannya yakni pada suhu 35-37 oC.
Aw pertumbuhannya cukup rendah meskipun jika dibandingkan dengan
Aspergillus yang lain, Aw-nya yakni berkisar 0,88. Selain itu A. niger juga
mampu tumbuh pada pH ekstrim dan kisaran pH-nya sangat luas, yakni 1,4-9,8.
Kemampuan tersebut sangat mendukung untuk produksi konidiospora yang dapat
disebarkan melalui udara (Raper dan Fennel, 1965). Morfologi kapang A. niger
dapat dilihat pada Gambar 7. Produk pangan yang sering ditumbuhi A. niger
yakni produk pangan yang Aw-nya rendah seperti wajit, dan jenang.
A. niger merupakan salah satu mikroorganisme yang cukup penting di
bidang bioteknologi. A. niger sering dimanfaatkan oleh industri untuk
memproduksi asam sitrat. Selain itu, A. niger menghasilkan asam glukonat dan
asam fumarat. Sejak tahun 1960 an, A. niger dimanfaatkan sebagai
mikroorganisme penghasil enzim yang sangat berguna dalam proses pengolahan
buah, pengolahan pati, dan di industri pangan lainnya. A. niger adalah kapang
berfilamen yang tumbuh secara aerobik di bahan organik dan di alam ditemukan
pada tanah serta sampah kompos (Schuster et al., 2002).
Meskipun A. niger memiliki banyak manfaaat di bidang industri seperti
disebutkan di atas, pertumbuhan A. niger tetap harus di kontrol dan strain kultur
harus diketahui karena menurut Schuster et al. (2002), dari hasil penelitianpenelitian sebelumnya diketahui bahwa strain tertentu A. niger dapat
memproduksi okratoksin A. Okratoksin A merupakan mikotoksin yang bersifat
nefrotoksin dan karsinogenik. Metabolit sekunder tersebut sangat berbahaya untuk
kesehatan. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusters et al. (1991), strain
CBS 618.78 dapat menghasilkan okratoksin A tersebut. Dibandingkan koleksi
kultur yang lain, strain CBS 618.78 tersebut berhubungan dengan CBS 126.48
yang merupakan A. niger yang diketahui mampu memproduksi okratoksin A
dalam jumlah yang cukup banyak. Oleh karena itu, dalam pemanfaatan A. niger
sangat penting sekali untuk mengetahui strain yang digunakan, dan produksi
toksinnya. Selain mampu menghasilkan mikotoksin yang berbahaya A. niger juga
dapat menyebabkan aspergillosis dan mikosis telinga.
Pada Gambar 8 terlihat struktur spora terdiri atas coat, cortex, membran
dan core. Coat terdiri dari berbagai molekul toksik dan enzim-enzim yang
berfungsi saat proses germinasi spora, cortex terdiri atas peptidoglikan seperti
pada membran bakteri, dan core terdiri dari komponen sel normal seperti DNA
dan ribosom.
12
Gambar 7. Morfologi kapang Aspergillus niger (Madigan et al. 2012)
Gambar 8. Struktur spora kapang (Madigan et al. 2012)
Mekanisme Kerusakan Sel mikroba dan Spora Kapang oleh Senyawa
Saponin
Seperti yang diketahui bahwa saponin memiliki aktivitas antibakteri dan
antikapang. Saponin secara biologis inaktif di dalam tanaman, namun akan diubah
menjadi antikapang ketika ada serangan dari patogen oleh glukosil hidrolase pada
tanaman yang spesifik (Morrissey dan
Osbourn, 1999). Mekanisme
penghambatan saponin terhadap kapang dapat dilihat pada Gambar 9 dan
Gambar 10.
13
Gambar 9. Model Pembentukan pori oleh molekul saponin (Avenacin A-1)
(Armah et al. 1999)
Gambar 10. Model kerusakan membran oleh saponin (Morrissey dan Osbourn,
1999).
Mekanisme utama penghambatannya yakni saponin membentuk kompleks
dengan sterol membran kapang maupun bakteri dan menyebabkan terbentuknya
pori pada membran sehingga permeabilitas membran dari kapang tersebut
terganggu dan pertumbuhannya terhambat. Pembentukan kompleks saponin-sterol
pada membran, kemungkinan disebabkan adanya interaksi antara gula residu dan
molekul saponin. Rantai gula yang terikat pada C-3 merupakan hal yang penting
untuk aktifitas antikapang, dimana hilangnya gula residu akan menyebabkan
berkurangnya aktifitas biologisnya (Armah et al., 1999).
Saponin dalam larutan air membentuk busa yang stabil, membentuk
persenyawaan dengan kolesterol dan hidroksisteroid lainnya, berat molekul relatif
tinggi. Pada hewan ruminansia, saponin dapat digunakan sebagai antiprotozoa,
karena mampu berikatan dengan kolesterol pada sel membran protozoa sehingga
14
menyebabkan membrane dessease pada sel membran protozoa (Cheeke, 2000).
Morrissey dan Osbourn (1999) dalam tulisannya juga memaparkan bagaimana
saponin mampu menghambat pertumbuhan kapang dengan cara membentuk poripori pada membran kapang. Saponin akan berikatan dengan sterol yang ada pada
membran kapang dan akan membentuk pori-pori pada membran yang selanjutnya
berdampak pada kebocoran sel dan keluarnya komponen dalam sel.
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Pangan dan Kimia
Pangan, gedung PAU SEAFAST Center IPB serta di Laboratorium Kimia Pangan
dan Persiapan ITP IPB. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2014 – Mei
2016
Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun pepaya
calina (IPB 9) diperoleh dari Pusat Kajian Holtikultura Tropika (PKHT) Institut
Pertanian Bogor dengan umur tanam 18 bulan, isolat S. aureus American type
culture collection (ATCC) 25923 dan Aspergillus niger American type culture
collection (ATCC) 6275 yang diperoleh dari IPBCC.
Bahan yang digunakan untuk ekstraksi saponin dari daun pepaya dan
pengukuran kadar saponin antara lain yakni n-hexan (Merck & Co.,USA), etanol
(Merck & Co., USA), metanol (Merck & Co., USA), kloroform (Merck & Co.,
USA), butanol (Merck & Co., USA), sodium hidroksida 1% (Merck KgaA,
Germany), vanilin (Merck KgaA, Germany), standar saponin white pure Erg. B6
(Merck KgaA, Darmstadt, Germany), aquades, kertas saring. Untuk pengujian
fitokimia daun pepaya digunakan NaOH 10%, kloroform (J.T. Baker, Pennsylvania,
USA), FeCl3 1%, serbuk magnesium, alkohol khloridat (campuran HCl 37% dan
etanol 95% dengan volume sama), amil alkohol (Merck KgaA, Germany), H2SO4
pekat (Merck KgaA, Germany), pereaksi Mayer(HgCl2, KI)
Bahan lain yang digunakan dalam penentuan KHM dan pengamatan
kebocoran membran sel serta spora antara lain yaitu: media Tryptone Soy Agar
(TSA) (40 g/liter; Oxoid Hampshire, UK), Tryptone Soy Broth (TSB) (30 g/liter
Oxoid Hampshire, UK), Potato Dextrose Agar (PDA) (Oxoid Ltd., Hampshire,
UK), Potato Dextrose Broth (PDB) (Oxoid Ltd., Hampshire, UK), Mueller Hinton
agar (MHA) (38 g/liter; Oxoid Ltd., Hampshire, UK), garam fisiologis 0.85%,
kapas, alumunium foil, 5 mM pottasiumfosfat, buffer (pH 6.7), pewarna
fluoresens propidium iodide dan SYBR green (Kapa Biosystems, USA).
Alat
Peralatan yang digunakan antara lain yakni: soxhlet extactor (Electromantle
ME, UK), blender (National, Taiwan), ultrasonic bath (Bransonic Ultrasonic Cleaner
model 8510E MTH, Branson Ultrasonic Corporation, Connecticut, USA), freez dryer
15
(Martin Christ Gamma 2-16 LSC), rotavapor (Butchi Rotavapor R-210, BÜCHI
Labortechnik, Flawil, Switzerland), timbangan analit, spektrofotometer UV-Vis
(Shimadzu UV-1800, Japan), sentrifuge (Hermle Z383K; Hermle Labortechnik
GmbH,Wehingen, Saint Nom, Jerman), autoklaf, vortex, inkubator, refrigerator,
penyaring vakum (BÜCHI Labortechnik, Flawil, Switzerland), onsen, inkubator,
shaker, mikroskop fluoresens (CH30, Olympus, Japan), plat TLC silika gel GF254
(Merck, Darmstadt, Germany), lampu UV, mikropipet (Finnpipette, Thermo
Scientific, Finland), dan peralatan gelas.
Prosedur Penelitian
Skema prosedur penelitian secara umum dapat dilihat pada Gambar 11
.
Gambar 11. Skema Prosedur Tahapan Penelitian
16
Persiapan Daun Pepaya
Daun pepaya Calina diperoleh dari Pusat Kajian Holtikultura Tropika
(PKHT) Institut Pertanian Bogor. Bagian yang diambil adalah daun yang
berwarna hijau, memiliki tangkai yang lurus dan merupakan daun pepaya yang
berada pada 3 lapis pertama (daun muda) dan 3 lapis bawah (daun tua) dari pucuk
daun. Pengambilan dilakukan di pagi hari agar daun tidak cepat layu dan senyawa
bioaktif di dalamnya tidak rusak karena panas.
Daun pepaya Calina utuh yang tidak terserang penyakit dikumpulkan dari
pohon pepaya. Daun dicuci 2-3 kali dengan air bersih. Kemudian diukur kadar air
daun pepaya segar dengan metode oven (AOAC, 2012). Setelah itu daun pepaya
Calina dicuci dikeringkan dengan kabinet dryer selama 18 jam dan diukur kadar
airnya (AOAC, 2012). Daun kering dihaluskan hingga membentuk bubuk dengan
menggunakan blender atau grinder, dilewatkan pada saringan berukuran 40 mesh,
dan disimpan pada wadah tertutup di suhu dingin agar senyawa bioaktifnya tidak
rusak. Kemudian diukur kadar air bubuk dengan metode oven (AOAC, 2012).
Pengukuran kadar air daun pepaya dan bubuk daun pepaya dilakukan 3 kali
ulangan. Prosedur analisa kadar air dapat dilihat pada Lampiran 1.
Ekstraksi Etanolik Daun Pepaya
Proses ekstraksi daun pepaya menggunakan etanol 80% mengacu pada
penelitian Vuong et al. (2015). Bubuk daun pepaya kering dimaserasi dalam
etanol 80% selama 72 jam dan diletakkan dalam rotary shaker pada suhu ruang
dengan kecepatan 100-150 rpm. Filtrat dan larutan kemudian dipisahkan
menggunakan penyaring vakum. Larutan etanol 80% dan ekstrak kemudian
dipisahkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 50oC hingga terbentuk
ekstrak kental.
Ekstraksi Saponin Daun Pepaya
Ekstraksi komponen saponin mengacu pada metode Ribeiro et al. (2013).
Sebanyak 25 g bubuk daun pepaya tua atau muda didefatting menggunakan soxhlet
extractor (BUCHI, Switzerland) dengan pelarut n-hexan (Merck, Darmstadt,
Germany) selama 6 jam. Selanjutnya diekstraksi dengan metode Ultrasonic-Assisted
Extraction (UAE). Menurut Cheok et al. (2014), ekstraksi menggunakan metode
ultrasound assisted extraction (UAE) efektif digunakan untuk mengekstrak
senyawa bioaktif. Untuk UAE dilakukan selama 30 menit, suhu 60oC, dan rasio
25 mL/g, dengan pelarut 50% EtOH:H2O (1:1,v/v) (Shuna et al. 2007) pada
frekuensi 40 kHz. Setelah UAE selesai, kemudian disaring menggunakan pompa
vakum pada suhu 50ºC dan dikeringkan dengan rottary evaporator (v-700; BUCHI,
Rotavapor R-3) dibawah tekanan dan pada suhu 50oC sampai 2/3 volume awal,
kemudian ekstrak di cuci dengan kloroform 20 mL (3x cuci). Selanjutnya dipartisi
dengan BuOH:H2O (1:1) sebanyak 3x dan dicuci dengan NaOH 1% untuk
memisahkan fraksi butanol dan fraksi air. Lapisan BuOH yang diperoleh, diambil
dan selanjutnya dipekatkan dengan rotavapor pada kondisi vacum (Mostafa et al.,
2013).
17
Pengukuran Kadar Saponin dan Analisa Kualitatif Fitokimia Ekstrak
Pengukuran kadar saponin mengacu pada metode Vuong et al. (2013), 0.5 mL
sampel, ditambahkan 0,5 mL 8% (b/v) vanilin dan dicampur dengan H2SO4 pekat
(77%) kemudian diinkubasi pada waterbath (60oC) selama 15 menit. Setelah
diinkubasi, larutan didinginkan pada es hingga suhu ruang kemudian diukur
absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV/VIS pada panjang gelombang 560
nm. Untuk pembuatan kurva standar, dibuat seri pengenceran standar saponin (Erg.
B6), selanjutnya diambil 0.5 mL larutan standar pada setiap seri pengenceran dan
diberi perlakuan yang sama seperti pada sampel. Analisa fitokimia dilakukan untuk
mengetahui senyawa apa saja yang ada di dalam ekstrak antara lain yaitu senyawa
fenol, tannin, flavonoid, alkaloid, steroid dan terpenoid (Harborne, 2006).
Prosedur analisa fitokimia secara kualitatif dapat dilihat pada Lampiran 2.
Penentuan Konsentrasi Hambat Minimum
Sebelum Penentuan KHM, dilakukan persiapan isolat S. aureus dan isolat
A.niger. Satu ose (loop) kultur murni mikroba uji dari Trypticase Soy Agar (TSA)
miring yang dipelihara pada suhu 4oC, diinokulasi secara aseptis ke 10 mL Brain
Heart Infution Broth (BHIB) dan diinkubasi pada suhu 35°C selama 18 - 24 jam.
Suspensi bakteri selanjutnya digores pada TSA dan diinkubasi pada suhu 35°C ±
2°C selama 48 jam. Koloni tunggal ditransfer ke 10 mL Trypticase Soy Broth
(TSB) dan diinkubasi pada suhu 35°C ± 2°C selama 18 - 24 jam. Kultur ini (kultur
kerja) yang digunakan untuk pengujian antibakteri. Untuk persiapan isolat
A.niger, satu ose (loop) kultur murni diremajakan pada media Potato Dextrose
Agar (PDA) miring kemudian diinkubasi pada suhu 25-28oC selama 5 hari
sebelum dipanen sporanya guna dipaparkan dengan saponin (Mostafa et al.,
2013).
Penentuan KHM pada S. aureus dilakukan dengan metode pengenceran
makro. Isolat S. aureus berumur 18 - 24 jam pada media TSB disentrifugasi pada
10000 rpm selama 5 menit dan pelet bakteri disuspensikan pada garam fisiologis
0.85%. Sebanyak 100 l suspensi S. aureus berumur 18-24 jam dengan
konsentrasi awal 106 diinokulasikan ke dalam 1 mL media TSB yang
mengandung ekstrak saponin daun pepaya pada berbagai konsentrasi. Kultur
bakteri kemudian diinkubasi pada 37°C selama 24 jam dan digoyang dengan
kecepatan 150 rpm. Selanjutnya, dibuat seri pengenceran dari kultur bakteri pada
setiap konsentrasi (100, 50, 25, 12.5, 0 mg/mL) ekstrak saponin dan disebar pada
media TSA. Media tersebut diinkubasi pada 37°C selama 48 jam dan dilakukan
penghitungan jumlah bakteri. KHM90 merupakan konsentrasi ekstrak kasar
saponin daun pepaya terendah yang dapat menghambat 90% pertumbuhan bakteri
dibandingkan dengan jumlah awal inokulum (Fazeli dan Salehi, 2007).
Penentuan KHM pada spora kapang dilakukan dengan metode Agar
dilution plate. A. niger yang sudah disegarkan pada media PDA dan berumur 5
hari dipanen spora nya dengan menambahkan 9 mL peptone physiological salt
solution (8,5 g/L NaCl with 1 g/L bacteriological peptone (Oxoid Ltd) + 0,1%
Tween 80). Kemudian disaring menggunakan nylon membran sehingga diperoleh
suspensi spora. Selanjutnya spora diinokulasikan pada PDA plate yang sudah
mengandung saponin (0, 12.5, 25, 50, 100, 200 mg/mL) sebanyak 18 spot dalam
18
satu plate dan diinkubasi pada suhu 27oC selama 3 hari, dan kemudian dihitung
jumlah spora yang tumbuh.
Pengukuran Tingkat Kerusakan (Imelda et al., 2014)
Pada penelitian ini, pengukuran kerusakan sel bakteri S. aureus dan spora
A. niger hanya diamati pada tingkat kerusakan sel secara fisik yakni dengan
pengukuran kebocoran sel dan spora. Kultur S. aureus sebanyak 100 mL diambil
dan dituangkan pada TSB steril dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam.
Untuk A.niger setelah disegarkan di media PDA dipanen spora nya dengan
menambahkan 9 mL peptone physiological salt solution (8,5 g/L NaCl with 1 g/L
bacteriological peptone (Oxoid Ltd) + 0,1% Tween 80), dan disaring
menggunakan nylon filter. Selanjutnya kultur dan suspensi spora disentrifugasi
pada 10000 rpm selama 5 menit, dan kemudian diresuspensi pada larutan sodium
klorida steril (0.85 g/100 mL). Suspensi diencerkan hingga konsentrasi mencapai
109 CFU/mL untuk S. aureus dan 106 SFU/mL untuk A. niger. Ekstrak dituang
pada masing-masing tube yang akan diuji yang berisi 4 mL suspensi bakteri atau
spora. Suspensi tersebut diinkubasi pada 37oC selama 0, 2, 4, 6 jam untuk S.
aureus dan 27oC selama 0, 6, 18 dan 24 jam untuk A. niger. Setelah diinkubasi,
kultur disentrifugasi pada 10000 rpm selama 10 menit dan pelet dihilangkan.
Absorbansi supernatan diukur pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm
menggunakan UV-Vis spektrofotometer (Shimadzu UV-1800, Jepang)
(Oonmetta-aree et al., 2006 dengan modifikasi).
Deteksi Kebocoran Membran Sel dengan DNA Probe Staining (Arum et al.,
2014)
Suspensi mikroba uji yang telah dipaparkan ekstrak saponin daun pepaya
disentrifugasi untuk memperoleh pelet mikroba uji. Selanjutnya pelet mikroba uji
dibilas sebanyak tiga kali dengan larutan garam fisiologis. Pewarna fluoresens,
yaitu 0,2 mL SYBR green dan 0,2 mL 0,01 mg/mL Probidium Iodida (PI)
ditambahkan ke pelet mikroba dan diinkubasi selama 15 menit pada kondisi gelap
dan suhu ruang (28oC). Satu tetes suspensi mikroba yang telah diwarnai diteteskan
di atas kaca objek dan ditutup dengan cover glass. Pengamatan dilakukan
menggunakan mikroskop fluoresens. Pelet mikroba yang tidak dipaparkan dengan
ekstrak juga diwarnai sebagai kontrol.
Deteksi Kebocoran Material Sitoplasma (Oonmetta-aree et al., 2006 dengan
modifikasi)
Suspensi mikroba uji yang telah dipaparkan ekstrak saponin disentrifuse
pada 10.000 rpm selama 5 menit untuk memisahkan sel mikroba. Selanjutnya OD
supernatan diukur pada 260 nm dan 280 nm menggunakan spektrofotometer UV–
Vis. Metabolit dengan berat molekul rendah diketahui merembes dari sel termasuk
nukleotida dan struktur komponen (purin, pirimidin, pentosa dan fosfat
anorganik), asam amino dan ion anorganik. Tingkat purin, pirimidin dan
turunannya dalam supernatan dapat ditentukan dengan mengukur OD. Sebagai
blanko digunakan larutan garam fisiologis yang ditambahkan 20 µl ekstrak daun
saponin. OD supernatan dari sel bakteri yang
PEPAYA (Carica papaya L) TERHADAP MEMBRAN
Staphylococcus aureus DAN SPORA Aspergillus niger
DINA FITHRIYANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Ekstrak Kaya
Saponin dari Daun Pepaya (Carica papaya L) terhadap Membran Staphylococcus
aureus dan Spora Aspergillus niger adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2017
Dina Fithriyani
NIM F251130201
RINGKASAN
DINA FITHRIYANI. Pengaruh Ekstrak Kaya Saponin dari Daun Pepaya (Carica
papaya L) terhadap Membran Staphylococcus aureus dan Aspergillus niger.
Dibimbing oleh HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM dan DIDAH NUR
FARIDAH .
Masalah keamanan pangan tidak lepas dari adanya mikroba patogen yang
dapat menyebabkan pada masalah kesehatan dan kerusakan pada pangan.
Staphlococcus aureus dan Aspergillus niger merupakan bakteri patogen dan
kapang perusak pangan yang mudah tumbuh di daerah Indonesia, sehingga
pertumbuhannya harus dikontrol. Salah satu upaya untuk mengkontrol
pertumbuhan mikroba tersebut yakni dengan penggunaan senyawa antimikroba
alami seperti saponin. Senyawa saponin diketahui memiliki aktifitas antimikroba,
dan jumlahnya cukup melimpah pada daun pepaya yang banyak tersebar di
wilayah Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode ekstraksi saponin yang
menghasilkan rendemen tinggi dari daun pepaya dengan membandingkan
rendemen dari daun pepaya (tua, muda) dan pelarut (etanol, metanol) yang
digunakan, serta untuk mengetahui aktivitas antimikroba saponin dari daun
pepaya (Carica papaya L) pada S. aureus dan spora A. niger dengan melihat
pengaruh saponin pada membran sel bakteri dan spora.
Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa ekstraksi menggunakan pelarut
etanol menghasilkan rendemen yang lebih tinggi (5,7%) dibandingkan dengan
metanol (3,2%), sedangkan rendemen ekstrak kaya saponin pada daun pepaya
muda dan tua tidak berbeda nyata. Ekstrak kaya saponin yang diperoleh dengan
pelarut etanol, pada konsentrasi 20 mg/mL dan 50 mg/mL mampu menghambat
pertumbuhan S. aureus dan spora A. niger. Setelah dipaparkan dengan ekstrak
kaya saponin selama 6 jam, absorbansi dari supernatan meningkat, hal tersebut
mengindikasikan keluarnya cairan sitoplasma dari dalam sel. Selain itu, jumlah sel
atau spora yang berfluoresense merah meningkat, mengindikasikan bahwa
membran mengalami kebocoran. Ekstrak kaya saponin dari daun pepaya mampu
menghambat pertumbuhan S. aureus dan menghambat germinasi spora A. niger
dengan kebocoran membran.
Kata kunci: A. niger, daun pepaya, kebocoran membran, saponin, Staphylococcus
aureus
SUMMARY
DINA FITHRIYANI. Effect of Saponin-rich-extract from Papaya Leaves on
Membrane of Staphylococcus aureus and Aspergillus niger Spore. Supervised by
HARSI D. KUSUMANINGRUM and DIDAH N. FARIDAH.
Food safety issues can not be separated from the microbial pathogens that
can cause health problems and food spoilage. Staphylococcus aureus is known as
important foodborne pathogenic bacteria and Aspergillus niger as important mold
causing food spoilage in Indonesia. Their presence in food product should be
prevented and controlled. One of the efforts to improve food safety is the
utilization of antimicrobial compounds, that can inhibit the growth of pathogenic
microbes and food spoilage microorganism like Saponin. Saponins are triterpenic
or steroidal glycosides which have many biological properties, and largely
distributed in papaya leaves abundantly grown in Indonesia.
This research aimed to compare the extraction procedure of saponin from
papaya leaves by the difference of papaya leaves (young and old) and solvent
(methanol, ethanol) that be used. This research also to determine the antimicrobial
activity of saponins from papaya leaves (Carica papaya) and to see the effect of
saponins in the cell membranes of bacteria and spores.
The results showed that extraction by etanol provided higher yields (5.7%)
than by metanol (3.2%). The yields of saponin-rich-extract from young and old
leaves were not significantly different. Saponin-rich-extract of papaya leaves
obtained by etanol extraction at a concentration of 20 mg/g and 50 mg/mL were
able to inhibit the growth of S. aureus and A. niger significantly, respectively.
After exposed to saponin-rich-extract for 6 hours, the absorbance of supernatant
increased, indicating leaching of cytoplasm cells, and the sum of red-fluorescent
cells or spore increased, indicating membrane disruptions. Saponin rich extract of
papaya leaves were able to inhibit the growth of S. aureus and inhibit the
germination of A. niger spores by disrupting the membrane.
Keywords: Aspergillus niger, membrane disruption, papaya leaves, saponin,
Staphylococcus aureus
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH EKSTRAK KAYA SAPONIN DARI DAUN
PEPAYA (Carica papaya L) TERHADAP MEMBRAN
Staphylococcus aureus DAN SPORA Aspergillus niger
DINA FITHRIYANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, MSc.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang
berjudul Pengaruh Ekstrak Kaya Saponin dari Daun Pepaya (Carica papaya L)
terhadap Membran Sel Staphylococcus aureus dan Spora Aspergillus niger. Tesis
ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan
strata dua (S2) Program Studi Ilmu Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Harsi Dewantari
Kusumaningrum dan Dr Didah Nur Faridah, STP, MSi selaku pembimbing yang
telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi, serta solusi dari setiap
permasalahan yang dihadapi penulis selama melaksanakan penelitian dan
penyusunan karya ilmiah ini. Ucapan terimakasih kepada Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
yang telah memberikan beasiswa BPPDN Calon Dosen dan telah mendanai
penelitian ini melalui Hibah Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Lanjutan
tahun 2015-2016 atas nama Dr. Ir. Harsi D Kusumaningrum. Selain itu penulis
ucapkan terima kasih kepada penguji luar komisi Prof Dr Ir Ratih Dewanti H.
MSc dan Dr. Nancy Dewi Yuliana, STP, MSc selaku Sekretaris Program Studi
Ilmu Pangan IPB, yang telah memberikan masukan pada saat ujian sidang tesis
untuk membuat karya ilmiah ini menjadi lebih baik.
Ungkapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis ucapkan kepada
kedua orang tua bapak Drs. Furqon Amin dan ibu Nashriyah, suami tercinta Erwin
Dian Saputro ST, ananda Muhammad Zhafran Nufays, kakak, adik serta seluruh
keluarga besar tercinta, atas segala doa, semangat, dukungan, motivasi dan kasih
sayangnya selama ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak, teknisi laboratorium, dan teman-teman yang telah membantu dan
berbagi ilmu dalam penelitian ini. Terima kasih kepada teman-teman
seperjuangan Pascasarjana Ilmu Pangan IPB. Semoga karya tulis ini bermanfaat
bagi kemajuan ilmu pengetahuan selanjutnya.
Bogor, Februari 2017
Dina Fithriyani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian
1
1
1
2
2
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Saponin
Saponin Daun Pepaya (Carica papaya Linn)
Ekstraksi Saponin
Saponin sebagai Antimikroba
Staphylococcus aureus
Aspergillus niger
Mekanisme Kerusakan Sel Mikroba dan Spora Kapang
3
3
5
5
7
9
11
12
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Prosedur Penelitian
Prosedur Analisis Data
14
14
14
14
15
19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstrak Kaya Saponin Daun Pepaya
Aktivitas Antimikroba Ekstrak Kaya Saponin dari Daun Pepaya
Pengaruh Ekstrak Kaya Saponin dari Daun Pepaya
19
19
24
27
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
31
31
31
DAFTAR PUSTAKA
31
LAMPIRAN
36
RIWAYAT HIDUP
37
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah Senyawa Bioaktif Ekstrak Daun Pepaya ................................. 5
Tabel 2. Nilai MIC Ekstrak saponin pada Berbagai Bakteri .............................. 7
Tabel 3. Hasil Penelitian Saponin dari Berbagai Sumber .................................. 8
Tabel 4. Kondisi Pertumbuhan S. aureus dan Produksi Enterotoksin ............. 10
Tabel 5. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Kaya Saponin dan Ekstrak Etanolik ..... 21
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Contoh saponin steroid dengan 4 rantai gula ................................ 3
Gambar 2. Perbedaan struktur aglikon saponin............................................... 3
Gambar 3. Struktur kimia beberapa macam jenis saponin .............................. 4
Gambar 4. Metode ekstraksi ............................................................................ 6
Gambar 5. Aktifitas antikapang dari 3 jenis saponin ...................................... 8
Gambar 6. Struktur membran sel bakteri ...................................................... 10
Gambar 7. Morfologi kapang Aspergillus niger............................................ 12
Gambar 8. Struktur spora ............................................................................ 12
Gambar 9. Model pembentukan pori oleh molekul saponin ......................... 13
Gambar 10. Model kerusakan membran oleh saponin .................................... 13
Gambar 11. Skema prosedur tahapan penelitian ............................................. 15
Gambar 12. Rendemen ekstrak daun pepaya .................................................. 20
Gambar 13. Kromatogram............................................................................... 22
Gambar 14. Kadar saponin pada ekstrak daun pepaya.................................... 23
Gambar 15. Zona hambat ekstrak kaya saponin pada S. aureus ..................... 24
Gambar 16. Nilai MIC ekstrak kaya saponin pada S. aureus ......................... 25
Gambar 17. Pemaparan A niger. dengan ekstrak kaya saponin ...................... 26
Gambar 18. Agar Dilution Test spora A. niger ............................................... 26
Gambar 19. Absorbansi supernatan S aureus.................................................. 27
Gambar 20. Absorbansi supernatan A. niger................................................... 28
Gambar 21. Sel bakteri S. aureus .................................................................. 29
Gambar 22. Spora A niger ............................................................................... 30
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisa Kadar Air ....................................................... 36
Lampiran 2. Prosedur Analisis Kualitatif Fitokimia ...................................... 36
Lampiran 3. Hasil uji ANOVA Rendemen Ekstrak Daun Pepaya ................. 37
Lampiran 4. Hasil uji ANOVA Kadar Saponin Ekstrak Daun Pepaya ........... 37
Lampiran 5. Hasil uji ANOVA Absorbansi S. aureus .................................... 38
Lampiran 6. Hasil uji ANOVA Absorbansi supernatan A. niger.................... 39
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah keamanan pangan tidak lepas dari adanya mikroba patogen yang
dapat menyebabkan pada masalah kesehatan dan kerusakan pada pangan.
Staphylococcus aureus dan Aspergillus niger merupakan bakteri patogen dan
kapang perusak pangan yang mudah tumbuh di daerah Indonesia, sehingga
pertumbuhannya harus dikontrol. Salah satu upaya untuk mengontrol
pertumbuhan mikroba tersebut yakni dengan penggunaan senyawa antimikroba
alami seperti saponin. Senyawa saponin diketahui memiliki aktifitas antimikroba,
dan jumlahnya cukup melimpah pada daun pepaya yang banyak tersebar di
wilayah Indonesia.
Menurut Baskaran et al. (2012) senyawa yang terkandung dalam daun
pepaya antara lain yaitu alkaloid, saponin, glikosida, fitosterol, komponen fenolik,
flavonoid, terpenoid, dan tanin. Beberapa senyawa tersebut diketahui memiliki
aktivitas antimikroba, seperti alkaloid yang mampu menghambat pertumbuhan
dan pembentukan toksin dari Staphylococcus aureus (Handayani, 2014),
komponen fenolik menghambat patogen dengan menggangu membran sel dan
ATPase (Cetin, 2011), dan saponin yang mampu menghambat pertumbuhan
Candida albicans dan Aspergillus niger (Ribeiro et al., 2013).
Saponin merupakan triterpenoid atau steroid glikosida yang terdapat pada
tanaman. Glikosida tersebut memiliki fungsi fisiologis pada tanaman yakni
sebagai faktor penghambat serangan patogen. Selain menghambat patogen,
saponin juga dimanfaatkan sebagai pembentuk busa, emulsifier, antioksidan, anti
tumor, antimikroba dan sebagainya (Ribeiro et al., 2013). Menurut Vuong et al.
(2013), saponin ditemukan pada ekstrak etanol daun pepaya dalam jumlah yang
cukup banyak yaitu 82.88 mg/g ekstrak, akan tetapi penelitian mengenai metode
ekstraksi dan isolasi saponin tersebut belum banyak dilakukan. Selain itu,
penelitian tentang saponin dari daun pepaya belum banyak dilakukan di Indonesia
khususnya. Dengan demikian diperlukan penelitian untuk mempelajari ekstraksi
dan isolasi saponin yang menghasilkan rendemen tinggi dari daun pepaya.
Barile et al. (2007) menyatakan bahwa, saponin dari Allium minutiflorum
memiliki aktivitas sebagai antikapang. Hal yang hampir serupa disampaikan oleh
Ribeiro et al. (2013) bahwa saponin dari sisal (Agave sisalana) memiliki aktivitas
penghambatan pada kapang (A. niger, C. albicans) yang jauh lebih tinggi
dibandingkan daya hambatnya pada bakteri (E. coli, S. aureus, B. subtilis).
Menurut Morrissey dan Osbourn (1999), saponin dapat membentuk kompleks
dengan sterol yang ada pada membran sel sehingga mengganggu permeabilitas
sel. Oleh karena itu perlu suatu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui aktivitas
antimikroba saponin dari daun pepaya (Carica papaya) serta penghambatannya
pada spora kapang (A. niger) dan bakteri patogen (S. aureus) dengan melihat
pengaruh saponin pada membran sel bakteri dan spora kapang tersebut.
Perumusan Masalah
Ekstrak daun pepaya diketahui memiliki aktivitas antimikroba terhadap
bakteri dan kapang seperti S. aureus yang merupakan patogen penghasil
2
enterotoksin yang tahan terhadap pemanasan dan A. niger yaitu kapang perusak
pangan dan penghasil mikotoksin. Aktivitas antimikroba ini berhubungan dengan
komponen fitokimia yang terdapat dalam daun pepaya, seperti komponen fenolik,
alkaloid, dan saponin. Saponin merupakan senyawa kimia yang jumlahnya cukup
tinggi pada daun pepaya, namun eksplorasi saponin pada daun pepaya belum
banyak dilakukan khususnya di Indonesia. Metode ekstraksi saponin dari daun
pepaya yang menghasilkan rendemen yang tinggi juga belum banyak diteliti. Oleh
karena itu, kajian mengenai metode ekstraksi saponin daun pepaya serta aktvitas
ekstrak saponin dari daun pepaya terhadap bakteri (S. aureus) dan spora kapang
(A. niger) perlu dilakukan.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian adalah untuk menguji pengaruh penambahan
ekstrak saponin dari daun pepaya dalam berbagai konsentrasi terhadap
pertumbuhan S. aureus dan spora A. niger. Tujuan khusus penelitian ini adalah
untuk menentukan metoda ektraksi saponin dengan rendemen tinggi, menentukan
nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ekstrak kaya saponin dari daun
pepaya terhadap S. aureus dan spora A. niger, dan mengetahui pengaruh saponin
daun pepaya terhadap membran sel S. aureus dan spora A. niger
Hipotesis
Ekstrak saponin dari daun pepaya mampu menghambat pertumbuhan S.
aureus dan spora A. niger. Saponin dapat merusak membran sel dari bakteri S.
aureus dan spora kapang A niger.
Manfaat Penelitian
Dari penelitian tentang pengaruh ekstrak saponin dari ekstrak daun pepaya
terhadap membran S. aureus dan spora kapang A. niger ini dapat memberikan
manfaat antara lain yakni :
1. Memberikan informasi tentang ekstraksi saponin dari daun pepaya yang
menghasilkan rendemen tinggi.
2. Memberikan informasi tentang manfaat daun pepaya dalam menghambat
pertumbuhan bakteri S. aureus dan spora kapang A. niger sehingga dapat
membantu meningkatkan keamanan bahan dan produk pangan.
3. Mendorong masyarakat untuk meningkatkan daya guna daun pepaya
dalam pengolahan pangan.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Saponin
Dalam review yang dilakukan oleh Morrissey dan Osbourn (1999),
saponin adalah molekul glikosilat triterpenoid, steroid, alkaloid steroida yang
banyak tersebar di berbagai jenis tanaman dan diketahui memiliki aktifitas
antikapang. Saponin merupakan senyawa yang memiliki rantai oligosakarida yang
terdiri glukosa, arabinosa, asam glukoronat, silosa, rafinosa. Saponin
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: saponin steroid dan saponin triterpenoid.
Saponin steroid tersusun atas inti steroid (C-27) dengan molekul gula. Saponin
steroid dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang dikenal sebagai saraponin.
Saponin triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul gula yang
dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang disebut sapogenin. Contoh struktur
kimia saponin steroid dan aglikon yang berbeda pada saponin dapat dilihat pada
Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1. Contoh saponin steroid dengan 4 rantai gula: Parquisoide yang
diekstrak dari Cestrum parqui (Chaieb, 2010)
Gambar 2. Perbedaan struktur aglikon saponin (Chaieb, 2010)
4
Saponin merupakan metabolit sekunder yang banyak tersebar di tanaman,
berperan sebagai senyawa kimia pada sistem pertahanan tanaman untuk melawan
patogen dan herbifor (Augustin et al, 2011). Tanaman yang berbeda kemungkinan
memiliki jenis saponin yang berbeda, misalnya pada akar oat memiliki jenis
saponin triterpenoid yakni avenacin, sedangkan pada kentang dan tomat memiliki
saponin steroid glikoalkaloid yakni α-tomatine dan α –chaconine (Morrissey dan
Osbourn, 1999). Untuk contoh struktur kimia berbagai macam saponin dapat
dilihat pada Gambar 3. Avenosin A dan B secara biologis inaktif di dalam
tanaman, namun akan diubah menjadi antikapang ketika ada serangan dari
patogen oleh glukosil hidrolase pada tanaman yang spesifik untuk molekul
glukosa atom C-26 (Morrissey dan Osbourn 1999).
Gambar 3. Struktur kimia beberapa macam jenis saponin (Morrissey dan
Osbourn, 1999)
Saponin diketahui memiliki aktifitas farmasi seperti hemolitik, antikapang
atau antiyeast , antibakteri, antiparasitik, antitumor, dan antiviral (Sparg et al.,
2004). Selain dalam farmasi, saponin juga digunakan pada pangan sebagai
surfaktan alami dan sebagai pengawet dalam mengontrol mikroba perusak
pangan. Piorkowski dan McClements (2013), menggunakan Quillaja saponin
sebagai surfaktan alami dengan molekul kecil dalam emulsi minuman
menggantikan surfaktan sintetik. Yang et al. (2013), membandingkan surfaktan
alami (Quillaja saponin) dan surfaktan sintetik sebagai pembentuk dan penstabil
5
emulsi, serta diketahui surfaktan alami efektif dan mampu mengganti surfaktan
sintetik. Saponin teh yang dikombinasikan dengan Bacillus amyloliquefacien
untuk perlakuan pascapanen buah Mandarin, dapat mengurangi kapang hijau dan
biru (Hao et al., 2011). Pada penelitian Du et al. (2015), nilai LD50 dari uji
toksisitas oral akut saponin dari Sapindus mukorossi adalah 9260 mg/kg berat
kelinci Wistar, dan disimpulkan bahwa saponin dari Sapindus mukorossi aman
untuk kosmetik serta dikategorikan “practical nontoxic‖ dan ―non dermal
iritation‖.
Saponin Daun Pepaya (Carica papaya L)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Vuong et al. (2013), tentang kondisi
ekstraksi komponen fenolik dan aktivitas antioksidan pada ekstrak daun pepaya,
diketahui bahwa jumlah saponin dalam daun pepaya cukup tinggi dibandingkan
dengan komponen yang lain. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Namun
penelitian tersebut menyatakan ekstraksi saponin dari daun pepaya belum banyak
dilakukan, sehingga bagian daun pepaya yang paling banyak mengandung saponin
serta jenis saponin yang terkandung belum banyak diketahui.
Tabel 1. Jumlah Senyawa Bioaktif Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya L)
dengan Berbagai Pelarut
Senyawa Bioaktif/Aktivitas
Antioksidan
Polifenol (mg GAE/g)
Flavonoid (mg CE/g)
Saponin (mg aes/g)
Proantosianida (mg CE/g)
Aktivitas antioksidan (µg TE/g)
Total antioksidan (µg TE/g)
Jumlah Senyawa Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan pada Ekstrak
Air
Aseton
Etanol
Metanol
23.06±1.06
10.71±0.26
9.43±0.14
15.03±0.39
6.44±0.14
16.41±0.45
17.07±2.37
11.96±0.85
26.36±1.50
31.75±3.45
82.88±1.14
49.24±0.63
1.91±0.08
6.39±0.18
7.91±0.92
4.86±0.16
105.62±3.07
73.99±2.84
67.38±4.23
96.44±4.58
166.66±5.14
133.18±2.15
122.47±1.81
158..91±1.68
*Ket: GAE = gallic acid equivalent; CE = catechin equivalent; aes = aescin
(standar saponin); TE = trolox equivalent; mg/g = mg / g ekstrak
Sumber : Vuong et al., 2013
Ekstraksi Saponin
Pada umumnya ekstrasi saponin dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori
yakni teknik konvensional dan green technology. Teknik konvensional meliputi
ekstraksi dengan maserasi, soxhlet dan refluks, sedangkan green technology
meliputi ultrasound-assisted, microwave-assisted, and accelerated solvent
extraction (Heng et al., 2013). Ekstraksi secara konvensional didasarkan pada
kelarutan saponin pada pelarut. Hal tersebut menyebabkan pelarut yang
dibutuhkan seringnya dalam jumlah banyak untuk mengekstrak saponin meskipun
terkadang ditambahkan proses pemanasan, pengadukan, dan pengocokan. Di sisi
lain, teknik ekstraksi menggunakan green technology memperkecil bahaya reakasi
kimia, lebih hemat penggunaan bahan kimia, lebih efisien, serta mengurangi
polusi (Azmir et al., 2013).
Teknik ekstraksi dengan maserasi yakni ekstraksi solid-liquid dimana
senyawa bioaktif (senyawa terlarut) di dalam tanaman diekstrak dengan
6
merendam bahan dalam pelarut spesifik selama beberapa waktu yang ditentukan (
Takeuchi et al., 2009). Pada teknik ini etanol dan metanol sering digunakan
sebagai pelarut dalam ekstraksi saponin dari tanaman. Durasi waktu ekstraksi
dengan menggunakan metode maserasi cukup lama, terkadang mencapai beberapa
minggu. Teknik konvensional selain maserasi yakni teknik soxhlet dan refluks.
Proses tersebut yaitu memanaskan pelarut untuk menguapkannya kemudian
dikondensasikan dan dialirkan pada sampel dan dikembalikan pada flash. Larutan
yang sering digunakan yakni etanol. Kerugian dari teknik ini yaitu lama,
sedikitnya diperlukan waktu 1-4 jam untuk refluks dan 24-72 jam untuk soxhlet.
Gambar 4. Persentase metode ekstraksi yang digunakan untuk ekstraksi saponin
dari berbagai tanaman (Cheok et al., 2014).
Pada ekstrasi saponin, sering juga digunakan 2 kombinasi teknik ekstraksi
utnuk memperoleh ekstrak saponin yang hampir murni sebelum dianalisis dengan
HPLC. Soxhlet pada umumnya berada pada tahapan pertama ekstraksi, bertujuan
untuk menghilangkan lipid pada sampel tanaman. Pelarut pada tahapan soxhlet
yang sering digunakan yakni hexan dan kloroform (Ncube et al., 2011).
Selain menggunakan teknik konvensional seperti yang disebutkan
sebelumnya, ekstraksi saponin juga dapat menggunakan green technology antara
lain yaitu ultrasound-assisted extraction (UAE), microwave-assisted extraction
(MAE),dan accelerated solvent extraction (ASE). Prinsip kerja UAE yaitu
ultrasound yang membentuk gelembung pada solvent akan bekerja sebagai
mikrojet untuk mendenaturasi dinding sel tanaman, ketika gelembung pecah pada
fraksi akan dihasilkan yield komponen bioaktif. UAE sudah sering diaplikasi pada
ekstraksi komponen bioaktive dari herbal, industri dan pengolahan pangan (Soria
dan Villamel, 2010). Meskipun UAE sudah sering digunakan, namun pada proses
ekstraksi saponin belum banyak yang menggunakan metode tersebut (Cheok et al.,
2014).
Metode lain yakni MAE yang memanfaatkan gelombang elektromagnetik
pada frequency 0.3 – 300 GHz (Heng et al., 2013; Takeuchi et al., 2009). Saat ini
MAE menarik perhatian peneliti pada proses ekstraksi komponen bioaktif dari
tanaman karena waktu yang diperlukan pendek, pelarut yang sedikit, dan
7
mekanisme pemanasan yang khusus (Heng et al., 2013). Microwaves mampu
berpenetrasi ke dalam material dan menimbulkan panas yang dihasilkan oleh
interaksi molekul polar seperti air di dalam material. Efektifitas MAE tergantung
pada pelarut dan struktur matriks sel tanaman (Takeuchi et al., 2009). Pada review
yang dilakukan oleh (Cheok et al., 2014), pada ekstraksi saponin dengan
menggunakan metode MAE menghasilkan yield yang lebih tinggi, dan waktu
yang lebih singkat.
Berbeda dengan MAE yang menggunakan gelombang elektromagnetik,
ASE menggunakan suhu dan tekanan yang tinggi namun pelarut yang sedikit.
Penggunaan suhu yang tinggi bertujuan untuk meningkatkan kelarutan serta
transfer masa zat terlarut pada pelarut, dan tekanan yang tinggi mempertahankan
titik didih pelarut, mempercepat, dan mengefisienkan proses ekstraksi (Mottaleb
dan Sarker, 2012). Proses ekstraksi pada umumnya berakhir selama 15-25 menit
dengan menggunakan 15-45 mL pelarut. SAE banyak digunakan pada penelitian
lingkungan, pangan, polimer, dan farmasi.
Pada umumnya, saponin diekstrak menggunakan pelarut air, etanol, dan
metanol (Huang et al., 2008). Shuna et al. (2007) meneliti tentang ekstraksi
saikosaponin dari Radix Bupleri dengan metode UAE dan memperoleh hasil
bahwa kondisi optimum yakni selama 30 menit, suhu 80 oC, ukuran partikel 0.99 (FDA, 2012).
S. aureus merupakan bakteri fakultatif anaerob, sehingga dapat tumbuh pada
kedua kondisi aerob dan anaerob. Akan tetapi pertumbuhannya lebih lamban jika
kondisi pertumbuhannya anaerob. Untuk bakteri bukan penghasil spora, S. aureus
relatif lebih resisten terhadap panas (Stewart, 2003).
Keracunan Staphylococcal umumnya memiliki waktu onset yang cukup
pendek, berkisar 3 jam setelah konsumsi (berkisar 1-6 jam). Gejala-gejala yang
ditunjukkan yaitu pusing, mual dan mutah, kram perut, dan diare. Lama
penyembuhannya berkisar 1-3 hari (FDA, 2012). Kebanyakan terjadi pada anakanak dan orang tua (Monville dan Matthews, 2008). Staphylococcal food
poisoning merupakan intoksikasi yang disebabkan karena terkonsumsinya SE
(Argudin, 2010). SE terdiri dari berbagai macam jenis, antara lain yakni :
enterotoksin A (paling sering menyebabkan sakit), enterotoksin D, E, H, G, B, dan
I yang juga menyebakan Staphylococcal food poisoning. SE diproduksi selama
fase eksponensial S. aureus, dengan jumlah yang tergantung oleh strain. Biasanya
dosis SE menyebabkan sakit yakni ketika jumlah S. aureus berkisar 105 – 108
CFU/g (Monville dan Matthews, 2008).
SE diproduksi pada suhu berkisar antara 10-48oC, dengan suhu optimum
yaitu 40-45 oC. Penurunan suhu mengakibatkan produksi SE juga menurun. SE
stabil pada suhu penyimpanan beku, dan resisten terhadap suhu pemanasan dan
bertahan pada suhu sterilisasi pangan kaleng. Produksi SE berkisar pada pH 4.5 –
10
9.6, dengan pH optimum yaitu 7 – 8. Produksi SE dapat terjadi baik pada kondisi
aerob maupun anaerob, akan tetapi akan optimum produksinya pada kondisi
aerobic (Stewart, 2003).
SE resisten pada panas dan pH rendah yang mana kondisi tersebut dapat
dengan mudah membunuh bakteri S. aureus. SE juga resisten pada enzim
proteolitik, hal ini yang menyebabkan SE mampu bertahan di dalam saluran
pencernaan. Ukuran SE yaitu 22-28 kDa dan mengandung rantai disulfide yang
flexible, hal tersebut diduga SE menyebabkan mual-mual, menstimulasi
neuroreseptor pada saluran usus, kemudian dikirimkan stimuli pada saraf pusat
mual pada otak melalui saraf vagus. SE mampu berpenetrasi ke dalam lapisan
mukosa dam menstimulasi respon imun, sehingga akan dilepaskan inflammatory
mediator, seperti histamine yang menyebabkan mual dan muntah. Diare selama
Staphylococcal food poisoning disebabkan oleh inhibisi air dan reabsorbsi
elektrolit pada usus halus (Argudin et al., 2010).
Tabel 4. Kondisi pertumbuhan S. aureus dan produksi enterotoksin
Pertumbuhan bakteri
Produksi enterotoksin
Optimal
Kisaran
Optimal
Kisaran
Suhu (°C)
37
7–48
40–45
10–48
pH
6–7
4–10
7–8
4.5–9.6
Aw
0.98
0.83–>0.99
0.98
0.87–>0.99
Sumber : ICMSF, 1996
Gambar 6. Struktur membran sel bakteri (Madigan et al., 2012)
Pada Gambar 6 di atas nampak adanya phospholipid dan kolesterol yang
ada pada membran sel bakteri yang kemungkinan akan berikatan membentuk
11
kompleks dengan saponin dan menyebabkan pembentukan pori-pori pada
membran dan menghambat pertumbuhan sel.
Aspergillus niger
A. niger dapat tumbuh pada kisaran suhu yang cukup luas, yakni berkisar
antara 6-47 oC dengan suhu optimum pertumbuhannya yakni pada suhu 35-37 oC.
Aw pertumbuhannya cukup rendah meskipun jika dibandingkan dengan
Aspergillus yang lain, Aw-nya yakni berkisar 0,88. Selain itu A. niger juga
mampu tumbuh pada pH ekstrim dan kisaran pH-nya sangat luas, yakni 1,4-9,8.
Kemampuan tersebut sangat mendukung untuk produksi konidiospora yang dapat
disebarkan melalui udara (Raper dan Fennel, 1965). Morfologi kapang A. niger
dapat dilihat pada Gambar 7. Produk pangan yang sering ditumbuhi A. niger
yakni produk pangan yang Aw-nya rendah seperti wajit, dan jenang.
A. niger merupakan salah satu mikroorganisme yang cukup penting di
bidang bioteknologi. A. niger sering dimanfaatkan oleh industri untuk
memproduksi asam sitrat. Selain itu, A. niger menghasilkan asam glukonat dan
asam fumarat. Sejak tahun 1960 an, A. niger dimanfaatkan sebagai
mikroorganisme penghasil enzim yang sangat berguna dalam proses pengolahan
buah, pengolahan pati, dan di industri pangan lainnya. A. niger adalah kapang
berfilamen yang tumbuh secara aerobik di bahan organik dan di alam ditemukan
pada tanah serta sampah kompos (Schuster et al., 2002).
Meskipun A. niger memiliki banyak manfaaat di bidang industri seperti
disebutkan di atas, pertumbuhan A. niger tetap harus di kontrol dan strain kultur
harus diketahui karena menurut Schuster et al. (2002), dari hasil penelitianpenelitian sebelumnya diketahui bahwa strain tertentu A. niger dapat
memproduksi okratoksin A. Okratoksin A merupakan mikotoksin yang bersifat
nefrotoksin dan karsinogenik. Metabolit sekunder tersebut sangat berbahaya untuk
kesehatan. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusters et al. (1991), strain
CBS 618.78 dapat menghasilkan okratoksin A tersebut. Dibandingkan koleksi
kultur yang lain, strain CBS 618.78 tersebut berhubungan dengan CBS 126.48
yang merupakan A. niger yang diketahui mampu memproduksi okratoksin A
dalam jumlah yang cukup banyak. Oleh karena itu, dalam pemanfaatan A. niger
sangat penting sekali untuk mengetahui strain yang digunakan, dan produksi
toksinnya. Selain mampu menghasilkan mikotoksin yang berbahaya A. niger juga
dapat menyebabkan aspergillosis dan mikosis telinga.
Pada Gambar 8 terlihat struktur spora terdiri atas coat, cortex, membran
dan core. Coat terdiri dari berbagai molekul toksik dan enzim-enzim yang
berfungsi saat proses germinasi spora, cortex terdiri atas peptidoglikan seperti
pada membran bakteri, dan core terdiri dari komponen sel normal seperti DNA
dan ribosom.
12
Gambar 7. Morfologi kapang Aspergillus niger (Madigan et al. 2012)
Gambar 8. Struktur spora kapang (Madigan et al. 2012)
Mekanisme Kerusakan Sel mikroba dan Spora Kapang oleh Senyawa
Saponin
Seperti yang diketahui bahwa saponin memiliki aktivitas antibakteri dan
antikapang. Saponin secara biologis inaktif di dalam tanaman, namun akan diubah
menjadi antikapang ketika ada serangan dari patogen oleh glukosil hidrolase pada
tanaman yang spesifik (Morrissey dan
Osbourn, 1999). Mekanisme
penghambatan saponin terhadap kapang dapat dilihat pada Gambar 9 dan
Gambar 10.
13
Gambar 9. Model Pembentukan pori oleh molekul saponin (Avenacin A-1)
(Armah et al. 1999)
Gambar 10. Model kerusakan membran oleh saponin (Morrissey dan Osbourn,
1999).
Mekanisme utama penghambatannya yakni saponin membentuk kompleks
dengan sterol membran kapang maupun bakteri dan menyebabkan terbentuknya
pori pada membran sehingga permeabilitas membran dari kapang tersebut
terganggu dan pertumbuhannya terhambat. Pembentukan kompleks saponin-sterol
pada membran, kemungkinan disebabkan adanya interaksi antara gula residu dan
molekul saponin. Rantai gula yang terikat pada C-3 merupakan hal yang penting
untuk aktifitas antikapang, dimana hilangnya gula residu akan menyebabkan
berkurangnya aktifitas biologisnya (Armah et al., 1999).
Saponin dalam larutan air membentuk busa yang stabil, membentuk
persenyawaan dengan kolesterol dan hidroksisteroid lainnya, berat molekul relatif
tinggi. Pada hewan ruminansia, saponin dapat digunakan sebagai antiprotozoa,
karena mampu berikatan dengan kolesterol pada sel membran protozoa sehingga
14
menyebabkan membrane dessease pada sel membran protozoa (Cheeke, 2000).
Morrissey dan Osbourn (1999) dalam tulisannya juga memaparkan bagaimana
saponin mampu menghambat pertumbuhan kapang dengan cara membentuk poripori pada membran kapang. Saponin akan berikatan dengan sterol yang ada pada
membran kapang dan akan membentuk pori-pori pada membran yang selanjutnya
berdampak pada kebocoran sel dan keluarnya komponen dalam sel.
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Pangan dan Kimia
Pangan, gedung PAU SEAFAST Center IPB serta di Laboratorium Kimia Pangan
dan Persiapan ITP IPB. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2014 – Mei
2016
Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun pepaya
calina (IPB 9) diperoleh dari Pusat Kajian Holtikultura Tropika (PKHT) Institut
Pertanian Bogor dengan umur tanam 18 bulan, isolat S. aureus American type
culture collection (ATCC) 25923 dan Aspergillus niger American type culture
collection (ATCC) 6275 yang diperoleh dari IPBCC.
Bahan yang digunakan untuk ekstraksi saponin dari daun pepaya dan
pengukuran kadar saponin antara lain yakni n-hexan (Merck & Co.,USA), etanol
(Merck & Co., USA), metanol (Merck & Co., USA), kloroform (Merck & Co.,
USA), butanol (Merck & Co., USA), sodium hidroksida 1% (Merck KgaA,
Germany), vanilin (Merck KgaA, Germany), standar saponin white pure Erg. B6
(Merck KgaA, Darmstadt, Germany), aquades, kertas saring. Untuk pengujian
fitokimia daun pepaya digunakan NaOH 10%, kloroform (J.T. Baker, Pennsylvania,
USA), FeCl3 1%, serbuk magnesium, alkohol khloridat (campuran HCl 37% dan
etanol 95% dengan volume sama), amil alkohol (Merck KgaA, Germany), H2SO4
pekat (Merck KgaA, Germany), pereaksi Mayer(HgCl2, KI)
Bahan lain yang digunakan dalam penentuan KHM dan pengamatan
kebocoran membran sel serta spora antara lain yaitu: media Tryptone Soy Agar
(TSA) (40 g/liter; Oxoid Hampshire, UK), Tryptone Soy Broth (TSB) (30 g/liter
Oxoid Hampshire, UK), Potato Dextrose Agar (PDA) (Oxoid Ltd., Hampshire,
UK), Potato Dextrose Broth (PDB) (Oxoid Ltd., Hampshire, UK), Mueller Hinton
agar (MHA) (38 g/liter; Oxoid Ltd., Hampshire, UK), garam fisiologis 0.85%,
kapas, alumunium foil, 5 mM pottasiumfosfat, buffer (pH 6.7), pewarna
fluoresens propidium iodide dan SYBR green (Kapa Biosystems, USA).
Alat
Peralatan yang digunakan antara lain yakni: soxhlet extactor (Electromantle
ME, UK), blender (National, Taiwan), ultrasonic bath (Bransonic Ultrasonic Cleaner
model 8510E MTH, Branson Ultrasonic Corporation, Connecticut, USA), freez dryer
15
(Martin Christ Gamma 2-16 LSC), rotavapor (Butchi Rotavapor R-210, BÜCHI
Labortechnik, Flawil, Switzerland), timbangan analit, spektrofotometer UV-Vis
(Shimadzu UV-1800, Japan), sentrifuge (Hermle Z383K; Hermle Labortechnik
GmbH,Wehingen, Saint Nom, Jerman), autoklaf, vortex, inkubator, refrigerator,
penyaring vakum (BÜCHI Labortechnik, Flawil, Switzerland), onsen, inkubator,
shaker, mikroskop fluoresens (CH30, Olympus, Japan), plat TLC silika gel GF254
(Merck, Darmstadt, Germany), lampu UV, mikropipet (Finnpipette, Thermo
Scientific, Finland), dan peralatan gelas.
Prosedur Penelitian
Skema prosedur penelitian secara umum dapat dilihat pada Gambar 11
.
Gambar 11. Skema Prosedur Tahapan Penelitian
16
Persiapan Daun Pepaya
Daun pepaya Calina diperoleh dari Pusat Kajian Holtikultura Tropika
(PKHT) Institut Pertanian Bogor. Bagian yang diambil adalah daun yang
berwarna hijau, memiliki tangkai yang lurus dan merupakan daun pepaya yang
berada pada 3 lapis pertama (daun muda) dan 3 lapis bawah (daun tua) dari pucuk
daun. Pengambilan dilakukan di pagi hari agar daun tidak cepat layu dan senyawa
bioaktif di dalamnya tidak rusak karena panas.
Daun pepaya Calina utuh yang tidak terserang penyakit dikumpulkan dari
pohon pepaya. Daun dicuci 2-3 kali dengan air bersih. Kemudian diukur kadar air
daun pepaya segar dengan metode oven (AOAC, 2012). Setelah itu daun pepaya
Calina dicuci dikeringkan dengan kabinet dryer selama 18 jam dan diukur kadar
airnya (AOAC, 2012). Daun kering dihaluskan hingga membentuk bubuk dengan
menggunakan blender atau grinder, dilewatkan pada saringan berukuran 40 mesh,
dan disimpan pada wadah tertutup di suhu dingin agar senyawa bioaktifnya tidak
rusak. Kemudian diukur kadar air bubuk dengan metode oven (AOAC, 2012).
Pengukuran kadar air daun pepaya dan bubuk daun pepaya dilakukan 3 kali
ulangan. Prosedur analisa kadar air dapat dilihat pada Lampiran 1.
Ekstraksi Etanolik Daun Pepaya
Proses ekstraksi daun pepaya menggunakan etanol 80% mengacu pada
penelitian Vuong et al. (2015). Bubuk daun pepaya kering dimaserasi dalam
etanol 80% selama 72 jam dan diletakkan dalam rotary shaker pada suhu ruang
dengan kecepatan 100-150 rpm. Filtrat dan larutan kemudian dipisahkan
menggunakan penyaring vakum. Larutan etanol 80% dan ekstrak kemudian
dipisahkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 50oC hingga terbentuk
ekstrak kental.
Ekstraksi Saponin Daun Pepaya
Ekstraksi komponen saponin mengacu pada metode Ribeiro et al. (2013).
Sebanyak 25 g bubuk daun pepaya tua atau muda didefatting menggunakan soxhlet
extractor (BUCHI, Switzerland) dengan pelarut n-hexan (Merck, Darmstadt,
Germany) selama 6 jam. Selanjutnya diekstraksi dengan metode Ultrasonic-Assisted
Extraction (UAE). Menurut Cheok et al. (2014), ekstraksi menggunakan metode
ultrasound assisted extraction (UAE) efektif digunakan untuk mengekstrak
senyawa bioaktif. Untuk UAE dilakukan selama 30 menit, suhu 60oC, dan rasio
25 mL/g, dengan pelarut 50% EtOH:H2O (1:1,v/v) (Shuna et al. 2007) pada
frekuensi 40 kHz. Setelah UAE selesai, kemudian disaring menggunakan pompa
vakum pada suhu 50ºC dan dikeringkan dengan rottary evaporator (v-700; BUCHI,
Rotavapor R-3) dibawah tekanan dan pada suhu 50oC sampai 2/3 volume awal,
kemudian ekstrak di cuci dengan kloroform 20 mL (3x cuci). Selanjutnya dipartisi
dengan BuOH:H2O (1:1) sebanyak 3x dan dicuci dengan NaOH 1% untuk
memisahkan fraksi butanol dan fraksi air. Lapisan BuOH yang diperoleh, diambil
dan selanjutnya dipekatkan dengan rotavapor pada kondisi vacum (Mostafa et al.,
2013).
17
Pengukuran Kadar Saponin dan Analisa Kualitatif Fitokimia Ekstrak
Pengukuran kadar saponin mengacu pada metode Vuong et al. (2013), 0.5 mL
sampel, ditambahkan 0,5 mL 8% (b/v) vanilin dan dicampur dengan H2SO4 pekat
(77%) kemudian diinkubasi pada waterbath (60oC) selama 15 menit. Setelah
diinkubasi, larutan didinginkan pada es hingga suhu ruang kemudian diukur
absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV/VIS pada panjang gelombang 560
nm. Untuk pembuatan kurva standar, dibuat seri pengenceran standar saponin (Erg.
B6), selanjutnya diambil 0.5 mL larutan standar pada setiap seri pengenceran dan
diberi perlakuan yang sama seperti pada sampel. Analisa fitokimia dilakukan untuk
mengetahui senyawa apa saja yang ada di dalam ekstrak antara lain yaitu senyawa
fenol, tannin, flavonoid, alkaloid, steroid dan terpenoid (Harborne, 2006).
Prosedur analisa fitokimia secara kualitatif dapat dilihat pada Lampiran 2.
Penentuan Konsentrasi Hambat Minimum
Sebelum Penentuan KHM, dilakukan persiapan isolat S. aureus dan isolat
A.niger. Satu ose (loop) kultur murni mikroba uji dari Trypticase Soy Agar (TSA)
miring yang dipelihara pada suhu 4oC, diinokulasi secara aseptis ke 10 mL Brain
Heart Infution Broth (BHIB) dan diinkubasi pada suhu 35°C selama 18 - 24 jam.
Suspensi bakteri selanjutnya digores pada TSA dan diinkubasi pada suhu 35°C ±
2°C selama 48 jam. Koloni tunggal ditransfer ke 10 mL Trypticase Soy Broth
(TSB) dan diinkubasi pada suhu 35°C ± 2°C selama 18 - 24 jam. Kultur ini (kultur
kerja) yang digunakan untuk pengujian antibakteri. Untuk persiapan isolat
A.niger, satu ose (loop) kultur murni diremajakan pada media Potato Dextrose
Agar (PDA) miring kemudian diinkubasi pada suhu 25-28oC selama 5 hari
sebelum dipanen sporanya guna dipaparkan dengan saponin (Mostafa et al.,
2013).
Penentuan KHM pada S. aureus dilakukan dengan metode pengenceran
makro. Isolat S. aureus berumur 18 - 24 jam pada media TSB disentrifugasi pada
10000 rpm selama 5 menit dan pelet bakteri disuspensikan pada garam fisiologis
0.85%. Sebanyak 100 l suspensi S. aureus berumur 18-24 jam dengan
konsentrasi awal 106 diinokulasikan ke dalam 1 mL media TSB yang
mengandung ekstrak saponin daun pepaya pada berbagai konsentrasi. Kultur
bakteri kemudian diinkubasi pada 37°C selama 24 jam dan digoyang dengan
kecepatan 150 rpm. Selanjutnya, dibuat seri pengenceran dari kultur bakteri pada
setiap konsentrasi (100, 50, 25, 12.5, 0 mg/mL) ekstrak saponin dan disebar pada
media TSA. Media tersebut diinkubasi pada 37°C selama 48 jam dan dilakukan
penghitungan jumlah bakteri. KHM90 merupakan konsentrasi ekstrak kasar
saponin daun pepaya terendah yang dapat menghambat 90% pertumbuhan bakteri
dibandingkan dengan jumlah awal inokulum (Fazeli dan Salehi, 2007).
Penentuan KHM pada spora kapang dilakukan dengan metode Agar
dilution plate. A. niger yang sudah disegarkan pada media PDA dan berumur 5
hari dipanen spora nya dengan menambahkan 9 mL peptone physiological salt
solution (8,5 g/L NaCl with 1 g/L bacteriological peptone (Oxoid Ltd) + 0,1%
Tween 80). Kemudian disaring menggunakan nylon membran sehingga diperoleh
suspensi spora. Selanjutnya spora diinokulasikan pada PDA plate yang sudah
mengandung saponin (0, 12.5, 25, 50, 100, 200 mg/mL) sebanyak 18 spot dalam
18
satu plate dan diinkubasi pada suhu 27oC selama 3 hari, dan kemudian dihitung
jumlah spora yang tumbuh.
Pengukuran Tingkat Kerusakan (Imelda et al., 2014)
Pada penelitian ini, pengukuran kerusakan sel bakteri S. aureus dan spora
A. niger hanya diamati pada tingkat kerusakan sel secara fisik yakni dengan
pengukuran kebocoran sel dan spora. Kultur S. aureus sebanyak 100 mL diambil
dan dituangkan pada TSB steril dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam.
Untuk A.niger setelah disegarkan di media PDA dipanen spora nya dengan
menambahkan 9 mL peptone physiological salt solution (8,5 g/L NaCl with 1 g/L
bacteriological peptone (Oxoid Ltd) + 0,1% Tween 80), dan disaring
menggunakan nylon filter. Selanjutnya kultur dan suspensi spora disentrifugasi
pada 10000 rpm selama 5 menit, dan kemudian diresuspensi pada larutan sodium
klorida steril (0.85 g/100 mL). Suspensi diencerkan hingga konsentrasi mencapai
109 CFU/mL untuk S. aureus dan 106 SFU/mL untuk A. niger. Ekstrak dituang
pada masing-masing tube yang akan diuji yang berisi 4 mL suspensi bakteri atau
spora. Suspensi tersebut diinkubasi pada 37oC selama 0, 2, 4, 6 jam untuk S.
aureus dan 27oC selama 0, 6, 18 dan 24 jam untuk A. niger. Setelah diinkubasi,
kultur disentrifugasi pada 10000 rpm selama 10 menit dan pelet dihilangkan.
Absorbansi supernatan diukur pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm
menggunakan UV-Vis spektrofotometer (Shimadzu UV-1800, Jepang)
(Oonmetta-aree et al., 2006 dengan modifikasi).
Deteksi Kebocoran Membran Sel dengan DNA Probe Staining (Arum et al.,
2014)
Suspensi mikroba uji yang telah dipaparkan ekstrak saponin daun pepaya
disentrifugasi untuk memperoleh pelet mikroba uji. Selanjutnya pelet mikroba uji
dibilas sebanyak tiga kali dengan larutan garam fisiologis. Pewarna fluoresens,
yaitu 0,2 mL SYBR green dan 0,2 mL 0,01 mg/mL Probidium Iodida (PI)
ditambahkan ke pelet mikroba dan diinkubasi selama 15 menit pada kondisi gelap
dan suhu ruang (28oC). Satu tetes suspensi mikroba yang telah diwarnai diteteskan
di atas kaca objek dan ditutup dengan cover glass. Pengamatan dilakukan
menggunakan mikroskop fluoresens. Pelet mikroba yang tidak dipaparkan dengan
ekstrak juga diwarnai sebagai kontrol.
Deteksi Kebocoran Material Sitoplasma (Oonmetta-aree et al., 2006 dengan
modifikasi)
Suspensi mikroba uji yang telah dipaparkan ekstrak saponin disentrifuse
pada 10.000 rpm selama 5 menit untuk memisahkan sel mikroba. Selanjutnya OD
supernatan diukur pada 260 nm dan 280 nm menggunakan spektrofotometer UV–
Vis. Metabolit dengan berat molekul rendah diketahui merembes dari sel termasuk
nukleotida dan struktur komponen (purin, pirimidin, pentosa dan fosfat
anorganik), asam amino dan ion anorganik. Tingkat purin, pirimidin dan
turunannya dalam supernatan dapat ditentukan dengan mengukur OD. Sebagai
blanko digunakan larutan garam fisiologis yang ditambahkan 20 µl ekstrak daun
saponin. OD supernatan dari sel bakteri yang