Aktivitas Ekstrak Kasar Tanin Daun Pepaya Dalam Mengurangi Ekspresi Gen Pembentuk Staphyococcal Enterotoxin A

AKTIVITAS EKSTRAK KASAR TANIN DAUN PEPAYA
DALAM MENGURANGI EKSPRESI GEN PEMBENTUK
STAPHYLOCOCCAL ENTEROTOXIN A

TRI ISTI RAHAYU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aktivitas Ekstrak Kasar
Tanin Daun Pepaya dalam Mengurangi Ekspresi Gen Pembentuk Staphyococcal
Enterotoxin A adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016

Tri Isti Rahayu
NIM F251130161

RINGKASAN
TRI ISTI RAHAYU. Aktivitas Ekstrak Kasar Tanin Daun Pepaya dalam
Mengurangi Ekspresi Gen Pembentuk Staphyococcal Enterotoxin A. Dibimbing
oleh HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM dan SITI NURJANAH.

Daun pepaya banyak digunakan untuk mengempukkan daging karena
memiliki enzim papain. Dalam aplikasinya daun pepaya sering digunakan untuk
membungkus daging. Daun pepaya juga diketahui memiliki kemampuan
antibakteri. Salah satu komponen bioaktif pada daun pepaya yang berperan
sebagai anti bakteri adalah tanin. Tanin diketahui dapat menghambat pertumbuhan
bakteri dengan merusak sel bakteri, salah satunya adalah Staphylococcus aureus.
S. aureus dapat menyebabkan keracunan makanan karena menghasilkan
enterotoxin. Salah satu enterotoxin yang dihasilkan disandikan oleh gen sea.
Tanin juga dilaporkan dapat mengganggu metabolisme dengan berinteraksi

dengan DNA Calf thymus. Tanin selain dapat menghambat pertumbuhan S.aureus
diharapkan juga mampu berinteraksi dengan DNA S. aureus sehingga akhirnya
dapat menyebabkan terhambatnya ekspresi penyandi gen sea.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan prosedur ekstraksi tanin dari
daun pepaya, memverifikasi keberadaan gen sea pada 2 jenis isolat S.aureus (SJ1
dan S10), menentukan aktivitas antimikroba ekstrak kasar tanin terhadap S.aureus
dan menentukan kemampuan ekstrak kasar tanin daun pepaya dalam mengurangi
ekspresi gen sea secara relatif dengan menggunakan Reverse Transcriptase RealTime PCR
Ekstraksi ekstrak kasar tanin dari daun pepaya Calina dengan dilakukan
dengan membndingkan metode kombinasi antara proses refluks dan maserasi
dengan metode Ultrasound Assisted Extraction (UAE). Isolat S. aureus SJ1 dan
S10 diverifikasi secara molekuler apakah merupakan penghasil SEA. Isolat ini
selanjutnya digunakan pada tahapan penentuan aktivitas antimikroba ekstrak kasar
tanin dengan metode cakram (konsentrasi 0 mg/mL, 50 mg/mL dan 100 mg/mL)
dan pengenceran makro (konsentrasi 0 mg/mL, 5 mg/mL, 10 mg/mL dan 20
mg/mL), pemaparan S. aureus dengan ekstrak kasar tanin daun pepaya
(konsentrasi 0 mg/mL, 5 mg/mL dan 10 mg/mL), serta pada pengukuran tingkat
ekspresi gen sea secara relatif dengan qRT-PCR.
Ekstraksi menggunakan metode kombinasi antara proses refluks dan
maserasi menghasilkan jumlah rendemen yang lebih tinggi (4.27%) dibandingkan

dengan menggunakan metode UAE (1.83%). Kultur SJ1 yang diisolasi dari sate
jeroan dan S10 yang berasal dari susu sapi mentah positif merupaan bakteri
S.aureus dilihat dari terbentuknya amplikon berukuran 240 pb dan positif
merupaka penghasil SEA dilihat dari terbentuknya amplikon berukuran 120 pb.
Selama 24 jam pemaparan, ekstrak kasar tanin hasil refluks dan maserasi dengan
konsentrasi 20 mg/mL mampu menekan pertumbuhan S.aureus secara nyata.
Pemaparan S.aureus dengan ekstrak kasar tanin konsentrasi 5 mg/mL dan 10
mg/mL selama 1 jam belum mampu menurunkan jumlah S.aureus namun mampu
menurunkan jumlah ekspresi gen sea secara signifikan yaitu 6.65 kali dan 11.83
kali pada SJ1 serta 2.75 kalidan 4.35 kali pada S10.
Kata kunci: Daun pepaya, Ekspresi gen sea, S. aureus, SEA, Tanin.

SUMMARY
TRI ISTI RAHAYU. Activity of Crude Tannin Extract of Papaya Leaves in
Reducing Staphylococcal Enterotoxin A Gene Expression. Supervised by HARSI
DEWANTARI KUSUMANINGRUM and SITI NURJANAH.
Papaya leaves are widely utilized as a meat tenderizer because they have
papain enzyme. On its application, papaya leaves are often used to wrap meat.
Papaya leaves have also been known to possess anti-bacterial activities. One of
the important bioactive components which served as anti-bacterial agents is

tannins. Tannins can inhibit bacterial growth by destroying the bacterial cells,
such as Staphylococcus aureus. S. aureus can cause food poisoning because it
produces an enterotoxin. One of the enterotoxins which has been known is
encoded by the sea gene. Tannins have also been reported to interfere with the
metabolism by interacting with calf thymus DNA. Thus, tannins can inhibit S.
aureus growth and was expected to interact with S. aureus DNA, and finally
could decrease the expression of sea-encoding gene.
This research was aimed to compare the extraction procedure of tannin from
papaya leaves, verify the existence of genes sea on 2 isolates of S. aureus (SJ1 and
S10), determine the antimicrobial activity of crude tannin extract towards S.
aureus and to determine the ability of crude tannin extract of papaya leaves to
reduce sea gene expression relatively in S. aureus using Reverse Transcriptase
Real- Time PCR.
The extraction process of crude tannins extract from Calina papaya leaves
was done by compare two extraction process between reflux maseration and
UAE. S. aureus isolates (SJ1 and S10) were molecularly detected with
conventional PCR to verify the ability to produce SEA. These isolates were then
used to determine antimicrobial activity of crude tannin extract by disc diffussion
method (concentration 0 mg/mL, 50 mg/mL and 100 mg/mL) and macro dilution
method (concentration 0 mg/ml, 5 mg/mL, 10 mg/mL and 20 mg/mL), exposure

of crude tannins extract from papaya leaves on S. aureus (concentration of 0
mg/ml, 5 mg/mL and 10 mg/mL), and measurement of sea gene relative
expression by qRT-PCR.
Extraction using combination between reflux and maceration process
produced a higher amount of yield (4.27%) compared to using UAE (1.83%). SJ1
culture that was isolated from offal satay and S10 from raw cow's milk were
positively identified as S. aureus, observed from the formation of the amplicon
size 240 bp and positively identified as producer of SEA observed from the
formation of the amplicon size of 120 bp. At 24 hours exposure, 20 mg/mL
concentration of crude tannin extract obtained by reflux method was able to
reduce S. aureus growth significantly. In addition, 1-hour exposure of crude
tannin extract at low concentrations 5 mg/mL and 10 mg/mL were able to reduce
sea gene relative expression in S. aureus. S. aureus by 6.65 times and 11.83 times
at SJ1 and 2.75 times and 4.35 times at S10.
Keywords: Papaya leaves, S. aureus, sea gene expression, SEA, Tannins.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

AKTIVITAS EKSTRAK KASAR TANIN DAUN PEPAYA
DALAM MENGURANGI EKSPRESI GEN PEMBENTUK
STAPHYLOCOCCAL ENTEROTOXIN A

TRI ISTI RAHAYU

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tesis:

Puspo Edi Giriwono PhD.

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul Aktivitas Ekstrak Kasar Tanin
Daun Pepaya dalam Mengurangi Ekspresi Gen Pembentuk Staphyococcal
Enterotoxin A. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan pendidikan strata dua (S2) Program Studi Ilmu Pangan,
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Harsi Dewantari
Kusumaningrum dan Dr Siti Nurjanah, STP, MSi selaku pembimbing yang telah
memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi, serta solusi dari setiap
permasalahan yang dihadapi penulis selama melaksanakan penelitian dan

penyusunan karya ilmiah ini. Ucapan terimakasih kepada Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
yang telah memberikan beasiswa BPPDN Calon Dosen dan telah mendanai
penelitian ini melalui Hibah Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Lanjutan
tahun 2014-2015 atas nama Dr. Ir. Harsi D Kusumaningrum. Selain itu penulis
ucapkan terima kasih kepada penguji luar komisi Puspo Edi Giriwono PhD dan Dr
Ir Endang Prangdimurti MSi selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Pangan IPB,
yang telah memberikan masukan pada saat ujian sidang tesis untuk membuat
karya ilmiah ini menjadi lebih baik.
Ungkapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis ucapkan kepada
kedua orang tua bapak Drs. I Made Dharmaputra dan ibu Dra. Sayu Made
Susilawati, kakak, adik serta seluruh keluarga besar tercinta, atas segala doa,
semangat, dukungan, motivasi dan kasih sayangnya selama ini. Penulis juga ingin
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak, teknisi laboratorium, pacar (W
Hendra Wiradinatha) dan teman-teman yang telah membantu dan berbagi ilmu
dalam penelitian ini. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan
Pascasarjana Ilmu Pangan IPB. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi kemajuan
ilmu pengetahuan selanjutnya.
Bogor, Januari 2016


Tri Isti Rahayu

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis

Manfaat Penelitian

1
1
2
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pepaya
Tanin
Ekstraksi Tanin
Staphylococcus aureus dan Staphylococcal enterotoxin
Identifikasi S. aureus secara Molekuler dengan PCR
Quantitative Reverse Transcription PCR (qRT-PCR)
Kuantifikasi Ekspresi Gen

3
3

3
4
5
6
7
7

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Prosedur Penelitian
Ekstraksi Ekstrak Kasar Tanin Daun Pepaya
Verifikasi Kultur S. aureus
Penentuan Aktivitas Antimikroba Ekstrak Kasar Tanin
Pemaparan Ekstrak Kasar Tanin Daun Pepaya terhadap S. aureus
Isolasi mRNA dan Sintesis cDNA
Pengukuran Ekspresi Gen Sea dengan qRT-PCR
Analisa Data

8
8
8
8
9
9
11
11
11
12
13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Daun Pepaya
Rendemen Ekstraksi Ekstrak Kasar Tanin Daun Pepaya
Verifikasi kultur
Potensi Antimikroba Ekstrak Kasar Tanin terhadap S. aureus
Pengurangan Ekspresi Gen Sea S. aureus

13
13
14
15
17
18

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

23
23
23

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

28

RIWAYAT HIDUP

40

DAFTAR TABEL
1 Hasil Ekstraksi Ekstrak Kasar Tanin Daun Pepaya
2 Nilai Ekspresi Relatif Gen Sea dengan Metode 2-ΔΔCT

14
21

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Struktur kimia tanin
Kurva amplifikasi pada qPCR
Diagram alir penelitian
Amplifikasi gen penyandi sea dan 16S rRNA
Kurva pelelehan gen penyandi sea dan 16S rRNA kultur S. aureus
Penghambatan ekstrak kasar tanin terhadap S.aureus pada berbagai
konsentrasi dengan metode cakram
Pengaruh konsentrasi tanin terhadap pertumbuhan S. aureus setelah 24
jam pada suhu 37oC dengan metode pengenceran makro
Pengaruh ekstrak kasar tanin daun pepaya terhadap pertumbuhan
S.aureus selama 0 jam dan 1 jam pada suhu ruang
Kurva amplifikasi gen sea setelah pemaparan ekstrak kasar tanin pada
berbagai konsentrasi selama 1 jam
Kurva pelelehan cDNA hasil pemaparan kultur SJ1
Penurunan ekspresi relatif gen sea setelah pemaparan ekstrak kasar
tanin selama 1 jam.

3
7
9
15
16
17
18
19
19
21
22

DAFTAR LAMPIRAN
12 Hasil uji ANOVA dan Duncan jumlah Log S. aureus kultur SJ1 pada
pemaparan 0 jam
13 Hasil uji ANOVA dan Duncan jumlah Log S. aureus kultur SJ1 pada
pemaparan 1 jam
14 Hasil uji ANOVA dan Duncan jumlah Log S. aureus kultur S10 pada
pemaparan 0 jam
15 Hasil uji ANOVA dan Duncan jumlah Log S. aureus kultur S10 pada
pemaparan 1 jam
16 Hasil uji ANOVA dan Duncan jumlah Log S. aureus kultur SJ1 setelah
pemaparan ekstrak kasar tanin selama 24 jam
17 Hasil uji ANOVA dan Duncan jumlah Log S. aureus kultur S10 setelah
pemaparan ekstrak kasar tanin selama 24 jam
18 Hasil uji ANOVA dan Duncan nilai CT gen 16S rRNA S. aureus kultur
SJ1 setelah pemaparan ekstrak kasar tanin selama 1 jam
19 Hasil uji ANOVA dan Duncan nilai CT gen seaS. aureus kultur SJ1
setelah pemaparan ekstrak kasar tanin selama 1 jam
20 Hasil uji ANOVA dan Duncan nilai CT gen 16S rRNA S. aureus kultur
S10 setelah pemaparan ekstrak kasar tanin selama 1 jam
21 Hasil uji ANOVA dan Duncan nilai CT gen sea S. aureus kultur S10
setelah pemaparan ekstrak kasar tanin selama 1 jam

28
29
30
31
32
33
34
35
36
37

22 Hasil uji ANOVA dan Duncan nilai penurunan ekspresi gen sea pada S.
aureus kultur SJ1 setelah pemaparan ekstrak kasar tanin selama 1 jam
23 Hasil uji ANOVA dan Duncan nilai penurunan ekspresi gen sea pada S.
aureus kultur S10 setelah pemaparan ekstrak kasar tanin selama 1 jam

38
39

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daun pepaya banyak digunakan untuk mengempukkan daging karena
memiliki enzim papain yang merupakan enzim protease yang dapat memecah
protein. Enzim ini memiliki aktivitas endo maupun ekso peptidase yang bekerja
pada gugus sulfidril sehingga merupakan protease yang baik. Aplikasi daun
pepaya sering digunakan untuk membungkus daging (Adachukwu et al. 2013).
Daun pepaya juga telah diketahui mempunyai aktivitas anti jamur serta anti
bakteri. Komponen bioaktif penting sebagai agen anti bakteri yang terdapat pada
daun pepaya adalah saponin, alkaloid, steroid, flavonoid dan tanin (Yusha et al.
2009).
Kandungan komponen bioaktif golongan fenolik salah satunya tanin dikenal
dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan merusak sel bakteri (Lim 2006:
Maliki 2012). Saat ini senyawa ini juga dilaporkan dapat menginaktivasi toksin
yang dihasilkan bakteri staphylococcal a-toxin (Choi et al. 2007). Tanin juga
dilaporkan dapat mengganggu metabolisme dengan berinteraksi dengan DNA
Calf thymus (Labieniec dan Gabryelak 2006).
Daging merupakan makanan dengan sumber nutrisi yang tinggi yang dapat
dimanfaatkan oleh mikroba sebagai media pertumbuhannya termasuk bakteri
patogen seperti Staphylococcus aureus. S. aureus dapat menyebabkan keracunan
makanan karena menghasilkan enterotoxin yang dapat menimbulkan gejala seperti
mual, muntah dan kram perut. Dalan jumlah yang sangat kecil, 1 µg enterotoxin
telah mampu menyebabkan keracunan (Proft dan Fraser 2003). Toksin yang
dihasilkan oleh bakteri ini cukup tahan panas dibandingkan dengan sel vegetatif S.
aureus itu sendiri (Keroutan et al. 2007). Nilai ketahanan panas dari enterotoxin
ini didasarkan pada nilai D- value pada 121oC dan 100oC dengan rentang waktu
dari 9.9-11.4 hingga 70 menit (Medvedova dan Valik. 2012). Salah satu gen yang
berperan menghasilkan toksin pada S. aureus ini adalah gen sea.
Hasil penelitian Handayani et al. 2014 menunjukkan bahwa S. aureus
penghasil Staphylococcal Enterotoxin A (SEA) ditemukan pada berbagai jenis
makanan hewani diantaranya susu sapi, telur balado, tumis usus serta sate jeroan.
Adanya alternatif untuk mengendalikan produksi toksin pada S. aureus sangat
dibutuhkan. Salah satu komponen bioaktif penting pada daun pepaya yaitu
alkaloid telah dilaporkan dapat mengurangi ekspresi gen pembentuk SEA. Selain
alkaloid diharapkan komponen bioaktif lain juga dapat berperan sama. Tanin yang
juga merupakan salah satu komponen bioaktif pada daun pepaya selain dapat
menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus (Maliki 2012), kemungkinan juga
dapat berinteraksi dengan DNA S. aureus dan dapat menyebabkan terhambatnya
ekspresi penyandi gen sea. Oleh karena itu, analisis pengaruh ekstrak kasar tanin
daun pepaya terhadap ekspresi gen sea dapat dilakukan untuk mengetahui
aktivitas ekstrak kasar tanin tersebut terhadap penghambatan gen penyandi SEA.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ekstrak kasar
tanin daun pepaya dapat mengurangi ekspresi gen sea dilihat dengan kuantifikasi
menggunakan Quantitative Reverse Trascription PCR (qRT-PCR). Selain itu

2
mengetahui konsentrasi optimal yang dibutuhkan untuk penghambatan ekspresi
gen sea.

Perumusan Masalah
Daun pepaya sering digunakan dalam pengolahan daging. Ekstrak daun
pepaya diketahui memiliki kandungan fitokimia seperti alkaloid, saponin,
flavonoid dan tanin yang memiliki aktivitas anti mikroba.
S. aureus adalah bakteri patogen pangan karena menghasilkan enterotoxin
salah satunya adalah SEA yang diekspresikan oleh gen sea. Tanin selain mampu
menginaktifkan S. aureus, kemungkinan juga dapat mempengaruhi ekspresi gen
sea dan menghambat pembentukan toksin. Oleh karena itu perlu dikaji aktivitas
ekstrak kasar tanin daun pepaya terhadap gen penyandi SEA.

Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ekstrak
kasar tanin daun pepaya dapat mengurangi ekspresi gen sea dilihat dengan
kuantifikasi menggunakan qRT-PCR. Serta mengetahui konsentrasi optimal yang
dibutuhkan untuk penghambatan ekspresi gen sea. Tujuan khusus dari penelitian
ini adalah:
1. Membandingkan 2 proses ekstraksi tanin pada daun pepaya
2. Memverifikasi keberadaan gen sea pada 2 jenis isolat S.aureus (SJ1 dan S10).
3. Menentukan aktivitas antimikroba ekstrak kasar tanin terhadap total S.aureus.
4. Mengkuantifikasi ekspresi gen sea secara relatif terhadap gen 16S rRNA
setelah pemaparan ekstrak kasar tanin daun pepaya menggunakan RT-PCR

Hipotesis
Ekstrak kasar tanin daun pepaya dapat mengurangi ekspresi gen sea
sehingga produksi toksin S.aureus dapat dihambat.

Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai efektivitas ekstrak kasar tanin daun pepaya dalam
mengurangi ekspresi gen sea ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:
1. Informasi mengenai efektivitas dan mekanisme daun pepaya sebagai
antimikroba alami.
2. Mengembangkan penggunaan daun pepaya dalam proses pengolahan
makanan.

3

1 TINJAUAN PUSTAKA
Pepaya
Pepaya (Carica papaya) merupakan tanaman yang dapat hidup di wilayah
subtropis maupun daerah tropis. Tanaman ini kemungkinan berasal dari Meksiko
selatan dan Costa Rika (Krishna et al. 2008). Tanaman ini berbentuk batang
dengan ketinggian mencapai 5-10 meter dan memiliki susunan spiral daun yang
terletak pada bagian puncak batang (Adachukwu et al 2013). Tanaman pepaya
populer karena buahnya yang sering dikonsumsi. Tidak hanya itu, bagian lain dari
tanaman pepaya juga sering digunakan sebagai olahan makanan maupun obat
tradisional. Bunga dan daun pepaya sering diolah menjadi sayuran (Krishna et al.
2008)
Daun pepaya sering digunakan sebagai pengempuk daging karena
mengandung enzim papain yang memiliki aktivitas proteolitik. Selain itu daun
pepaya juga dipercaya mampu menghambat pertumbuhan mikroba karena
mengandung komponen bioaktif yang berperan sebagai antimikroba. Ekstrak daun
pepaya mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus, Escherichia coli,
Micrococus luteus, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus cereus, Proteus vulgaris,
Enterococcus faecalis, Salmonella thypi, Salmonella parathypi A, Aspergillus
niger, A. flavus, Candida albicans dan C. tropicalis (Anibijuon dan Udeze 2009;
Alabi et al. 2012 dan Baskaran et al. 2012).

Tanin
Tanin secara umum dikelompokan dalam golongan fenolik. Tanin dapat
bersifat sebagai koagulan dengan berat molekul berkisar 500-3000 dalton. Tanin
dibagi menjadi 2 jenis yaitu tanin yang dapat terhidrolisis (hydrolyzable) dan yang
tidak (condensed). Tanin yang dapat dihidrolisis berbasis asam galic yang berupa
kumpulan ester D-glucose, sedangkan condensed tanin merupakan derivat dari
monomer flavonoid (Gambar 1). Tanin dapat terbentuk dari monomer flavonoid
dan juga dari proses polimerasi quinon (Cowan 1999) .
Tanin

Tanin yang dapat terhidrolisis

Tanin terkondensasi

Gambar 1. Struktur kimia tanin (Cowan 1999).
Tanin memiliki banyak manfaat diantaranya menstimulasi sel phagocytic,
sebagai anti tumor, anti berbagai jenis infeksi serta antimikroba. Tanin

4
membentuk kompleks dengan protein secara non spesifik dan membentuk efek
hidrofobik sebagai ikatan kofalen. Efek anti mikroba tanin dikarenakan tanin
berikatan dengan adhesin, menginaktifkan enzim dan merusak sel mikroba
(Cowan 1999). Beberapa penelitian menunjukkan pentingnya tanin sebagai
antimikroba. Penelitian yang dilakukan Fereira et al. 2012 menunjukkan tanin
yang bersumber dari A humile dapat menghambat beberapa jenis bakteri patogen
(S. aureus (ATCC 6538), P. aeruginosa (ATCC 27853) and E. faecalis (ATCC
29212)) masing- masing dengan konsentrasi sebesar 2 µg/L, 1 µg/L, dan 1 µg/L
menggunakan metode pengenceran mikro. Tanin yang diisolasi dari daun pepaya
(Ficus carica L) menunjukkan penghambatan terhadap S. aureus pada konsentrasi
25 mg/mL dengan zona hambat sebesar 11 mm dan terhadap Proteus mirabilis 90
mg/mL dengan zona hambat 8 mm (Maliki 2012). Penelitian Yunfeng et al. 2015
menunjukkan bahwa ekstrak Pomgrante rind yang kaya akan tanin mampu
menghambat pertumbuhan Listeria monocytogenes pada konsentrasi 5 mg/mL.
Hasil penelitian Banso dan Adeyemo 2007 menunjukkan tanin dari ekstrak
Dichrostachys cinerea memiliki efek penghambatan terhadap S. aureus, Shigella
boydii, Shigella flexneri, E. coli and P. aeruginosa dengan kisaran konsentrasi
tanin 4.0 dan 5.5 mg/mL. Studi lain yang dilakukan tahun 2006 oleh Asres et al.
dan Lim et al. menujukan tanin yang bersumber dari Combertum molledan dan
Rhizophora apiculata efektif berperan sebagai antimikroba terhadap bakteri gram
negatif dan gram positif. Walaupun komponen spesfik dari ekstrak tanin belum
diketahui secara jelas, namun kemampuannya dalam menghambat bakteri gram
positif dan negatif ini sangat potensial untuk diaplikasikan pada industri farmasi.
Selain menghambat bakteri, tanin juga dapat menghambat pertumbuhan jamur dan
khamir. Hasil penelitian Colak et al. 2010 menunjukkan bahwa penambahan asam
tanat sintetis pada proses pikeling dapat menghambat pertumbuhan Aspergillus
niger, Aspergillus fumigatus, Aspergillus flavus, Penicillium granulatum,
Penicillium granulasum dan Geotrium candidum. Selain itu hasil penelitian
Labienic dan Gabrielak (2006) menunjukkan tanin dan turunannya mampu
berinteraksi dengan DNA yang menyebabkan rusaknya rantai DNA Calf thymus
sehingga berakibat pada perubahan oksidatif pada protein membentuk formasi
dengan grup karbonil.

Ekstraksi Tanin
Senyawa bioaktif golongan fenolik termasuk tanin dapat diekstrak dari
jaringan tanaman dengan berbagai metode dan pelarut. Metode yang banyak
digunakan berupa metode konvensional dan metode moderen. Metode
konvensional yang sering digunakan adalah soxlet dan maserasi. Namun kedua
metode ini cenderung membutuhkan waktu yang lama. Seiring waktu berkembang
beberapa metode ekstraksi yang efektif dan efisien waktu seperti Ultrasound
Assisted Extraction (UAE), Microwave Assisted Extraction (MAE), Ultrasond/
Microwave Assisted Extraction (UMAE), Supercritical Fluid Extraction (SFE)
dan lain-lain. proses ekstraksi ini bertujuan untuk memecah matriks sehingga
senyawa bioaktif yang diinginkan dapat keluar. Selain metode, pelarut yang
digunakan merupakan faktor yang sangat menentukan proses ekstraksi senyawa
bioaktif (Khoddami et al. 2013).

5
Pada proses ekstraksi senyawa fenolik termasuk tanin dapat digunakan
pelarut organik maupun non organik. Penggunaan pelarut organik secara luas
telah dilakukan, namun penggunaan pelarut ini cenderung memiliki resiko bahaya
yang lebih besar dibandingkan penggunaan pelarut non organik seperti asam dan
basa (Khoddami et al. 2013). Penggunaan pelarut non organik seperti alkali
(NaoH) pada ekstraksi fenolik dari sorgum menunjukkan hasil yang lebih baik
dibandingkan penggunaan pelarut organik aseton yang umum digunakan untuk
ekstraksi fenolik (Blackwell 2012). Selain itu proses ekstraksi fenolik tanin juga
pernah dilakukan oleh Maliki 2012 dengan hasil tidak adanya komponen bioaktif
lain selain fenolik dan tanin.

Staphylococcus aureus dan Staphylococcal enterotoxin
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen karena dapat
menyebabkan keracunan makanan atau Staphylococcal Food Poisoning (SFP)
akibat enterotoxin yang dihasilkan (Kerouanton et al. 2006). Bakteri ini tergolong
bakteri gram positif berbentuk kokus, non motil, tidak membentuk spora dan
bersifat anaerob fakultatif. Bakteri ini juga tergolong bakteri mesofilik yang dapat
bertahan pada kondisi kering dalam waktu yang cukup lama serta tahan terhadap
gula dan garam dengan kisaran suhu 6-48oC. Bakteri ini dapat ditemukan pada
tanah, air, udara, pada hidung dan kulit hewan berdarah panas (Schelin et al.
2011). Infeksi bakteri ini selain menyebabkan keracunan, juga dapat
menyebabkan toxic shock syndrome, pneumonia dan infeksi pada luka. S. aureus
yang merupakan enterotoxin atau Staphylococcal enterotoksi (SE) terdapat 21
jenis yang dikelompokan menjadi 2 bagian yaitu entrotoksin klasik dan non
klasik. Enterotoxin yang tergolong klasik adalah SEA, SEB, SEC, SED, dan SEE.
Sedangkan yang non klasik adalah SE1, SE1G, SE1H, SE1J, SE1k, SE1L,
SE1M, SE1N, SE1O, SE1P, SE1Q, SER, SES, SET, SE1U dan SE1V
(Hennekinne 2007).
Staphylococcal enterotoksi (SE) bersifat tahan panas dan resisten terhadap
gastrointestinal saat proses pencernaan. SE menyebabkan keracunan dengan masa
inkubasi yang cukup singkat yaitu sekitar 2-6 jam setelah mengkonsumsi
makanan. Gejala keracunan yang ditimbulkan berupa mual, muntah, sakit perut
serta diare. SE yang paling banyak menimbulkan keracunan (SFP) adalah SEA
(Schelin et al. 2011). Dalam jumlah kecil yaitu kurang dari 1 μg SEA telah dapat
menimbulkan penyakit. Hal ini disebabkan SEA merupakan superantigen yang
dapat berinteraksi dengan banyak sel T secara non spesifik. Interaksi ini
menyebabkan pelepasan sikotoksin yang tidak terkontrol dan berakibat terjadinya
infeksi akut dan shock sehingga menimbulkan gejala mual dan muntah-muntah
(Proft dan Fraser 2003).
SEA merupakan toksin yang ditemukan dalam S. aureus dalam jumlah besar
yang merupakan penyebab utama SFP. SEA berupa polipeptida yang terdiri atas
233 asam amino yang disintesis dari 744 pasang basa gen sea. Gen sea dibawa
oleh bakteriofag yang disisipkan pada kromosom bakteri sebagai profag dan
berperilaku sebagai bagian dari genom bakteri (Schelin et al. 2011). Ekspresi gen
sea tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan bakteri. Jumlah SEA yang diproduksi
dipengaruhi oleh polimorfisme bakteri yang membawa profag. SEA mulai

6
diproduksi pada pertengahan fase eksponensial pertumbuhan (Balaban dan
Rasooly 2000). Hasil analisis sekuen daerah promotor menunjukkan bahwa strain
yang memproduksi gen sea dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu
strain yang memproduksi SEA dalam jumlah besar (kelompok SEA1) dan dalam
jumlah rendah (kelompok SEA2) (Brost dan Betley 1994).

Identifikasi S.aureus secara Molekular dengan PCR
`Isolat S. aureus diidentifikasi menggunakan DNAnya yang diisolasi dan
digunakan sebagai cetakan untuk mengamplifikasi primer penyandi 16S rRNA
yang spesifik menunjukkan S. aureus. DNA yang digunakan diperoleh dari dari
isolasi DNA bakteri S. aureus. Proses Isolasi DNA dilakukan dengan tiga tahap
yaitu perusakan sel bakteri, ekstraksi DNA dengan menggunakan pelarut serta
presipitsi DNA ( Moore et al. 2004).
Proses perusakan sel bakteri dilakukan untuk mengeluarkan isi sel termasuk
bahan genetiknya yaitu DNA. Perusakan sel bakteri dilakukan dengan cara digesti
menggunakan enzim dan lisis dengan detergen. Enzim yang biasanya digunakan
ialah lisozim. Lisozim mengkatalis hidrolisis pada ikatan β- 1,4- glikosidik di
antara N-asetilmuramic acid dengan N- acetylglucosamin pada lapisan
peptidoglikan bakteri. Selain lisozim, enzim lain yang juga sering digunakan
adalah proteinase- K. Enzim ini merupakan golongan protease yang memotong di
dekat gugus karboksil dari gugus asam amino alifatik dan peptida yang terdapat
pada peptidoglikan dinding sel bakteri. Selain enzim, detergen juga digunakan
untuk merusak sel mikroba. Detergen dapat membentuk ikatan yang kuat dengan
protein yang menyebabkan denaturasi ireversibel. Detergen yang sering
digunakan adalah sodium dodecylsulfate (SDS) dan cetyl trimethylammonium
bromide (CTAB). SDS merupakan detergen anionik yang dalam konsentrasi
rendah dapat berikatan dengan protein yang terikat pada sel dan lipoprotein.
Sedangkan CTAB merupakan detergen kationik yang dapat mendenaturasi dan
mempresipitasi lipopolisakarida dan protein dinding sel.
Perusakan sel bakteri dilakukan dalam larutan bufer dengan pH antara 8-9
yang mengandung agen pengkelat logam seperti ethylenediamine-tetraacetic acid
(ETDA). pH basa akan mengurangi interaksi elektrostatik antara DNA dan protein
yang bersifat basa sehingga memfasilitasi denaturasi protein seluler lain dan
menghambat aktivitas nuklease. EDTA dapat mengikat kation divalen (Mg2+ dan
Mn2+) sehingga mengurangi stabilitas dari dinding dan membran serta
menghambat nuklease yang membutuhkan kation logam.
Asam nukleat akan keluar dari sel bakteri yang telah mengalami kerusakan.
Asam nukleat ini selanjutnya akan diekstraksi menggunakan pelarut organik
seperti fenol dan kloroform untuk memisahkan DNA dengan komponen lain.
Secara umum fenol efektif dalam mendenaturasi protein, sedangkan kloroform
efektif untuk polisakarida. DNA yang telah diekstraksi selanjutnya dipresipitasi
menggunakan isopropanol pada suhu rendah untuk memudahkan DNA
mengendap. Selanjutnya DNA dicuci dengan etanol 70% ntuk menghilangkan
sisa-sisa reagen (Moore et al. 2004).

7
Quantitative Reverse Transcription PCR (qRT-PCR)
Transkripsi balik (reverse transcription) yang diikuti real time PCR (qPCR)
adalah metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengkuantifikasi
mRNA dengan cara mengubahnya menjadi cDNA. cDNA selanjutnya akan
digunakan sebagai cetakan pada qPCR. Produk yang teramplifikasi selanjutnya
dimonitor dengan adanya fluoresens pada setiap siklus PCR. Fluoresens dapat
dihasilkan dari adanya pelacak yang ditambahkan. Pelacak fluoresens adalah
reagen yang menentukan kespesifikan hasil. Penggunaan pelacak dalam tahap
deteksi menawarkan sensitivitas yang tinggi.
Pengujian real time ini menentukan titik awal terdeteksinya amplifikasi
produk awal. Hal ini ditentukan melalui angka siklus (cycle treshold) atau dikenal
dengan CT, saat intensitas emisi zat warna reporter berada di atas background
noise (Gambar 2). Semakin tinggi jumlah kopi awal target asam nukleat, semakin
cepat peningkatan fluoresens, sehingga nilai CT semakin rendah. Korelasi linier
antara produk PCR dan intensitas fluoresens dapat digunakan untuk menentukan
jumlah DNA cetakan pada awal reaksi (Bustin 2005).

Gambar 2. Kurva amplifikasi pada qPCR (NCBI 2014).

Kuantifikasi Ekspresi Gen
Kuantifikasi ekspresi gen dengan qPCR dapat dilakukan dengan dua metoda
yaitu kuantifikasi absolut dan kuantifikasi relatif. Kuantifikasi absolut
menghubungkan sinyal PCR jumlah salinan input dengan menggunakan kurva
kalibrasi. Kurva kalibrasi didasarkan pada konsentrasi molekul DNA standar yang
telah diketahui. Kuantitas sampel DNA target yang tidak diketahui, diinterpolasi
dari berbagai kuantitas standar yang diketahui. Sedangkan kuantifikasi relatif
tidak memerlukan standar (Bio-Rad 2006).
Kuantifikasi relatif didasarkan pada tingkat ekspresi gen sasaran terhadap
gen referensi. Pada kondisi ini perubahan ekspresi gen target diukur relatif
terhadap gen referensi (sampel) dan gen referensi (kontrol). Untuk menganalisis

8
data ekspresi gen relatif adalah dengan membandingkan nilai CT masing-masing.
Perbandingan CT mengasumsikan bahwa efisiensi PCR mendekati 1 dan efisiensi
dari gen target mirip dengan efisiensi PCR gen referensi (Bio-Rad 2006). Langkah
pertama yang dilakukan dalam penentuan ekspresi gen adalah dengan
menormalkan nilai CT sampel yang diuji dan kontrol dengan rumus ΔCT sampel =
(CT gen target - CT gen referensi) sampel dan ΔCT kontrol = (CT gen target - CT
gen referensi) kontrol. Selanjutnya adalah dengan menormalkan ΔC T sampel uji
ke ΔCT kalibrator, dengan rumus 2-ΔΔCT = [(CT gen target - CT gen referensi)
sampel - (CT gen target - CT gen referensi) kontrol tanpa perlakuan]. Penurunan
kspresi gen dihitung dari rasio ekspresi gennya dengan nilai 2-ΔΔCT, menunjukkan
berapa kali lipat perubahan ekspresi gen target dengan adanya perlakuan yang
diberikan dibandingkan dengan kontrol (Schmittgen dan Livak 2008).

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan November 2014 hingga bulan Agustus 2015.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Kimia
Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB serta Laboratorium
Mikrobiologi dan Bioteknologi Pangan SEAFAST Center IPB, Institut Pertanian
Bogor.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun pepaya Calina yang
diperoleh dari Pusat Kajian Holtikultura Tropika (PKHT) Institut Pertanian Bogor
dan isolat S.aureus yang mengandung gen pembentuk toksin SEA koleksi Harsi D
Kusumaningrum yaitu SJ1 yang diisolasi dari sate jeroan dan S10 yang diisolasi
dari susu sapi segar, isolat bakteri kontrol S. aureus American type culture
collection (ATCC) 25923, serta GeneJet RNA Purification Kit (Thermo Fisher
Scientific, Massachusetts, USA), RevertAid First Strand cDNA Synthesis Kit
(Thermo Fisher Scientific, Massachusetts, USA), primer SEA (SEA1
[TTGGAAA CGG TTAAAACGAA] dan SEA2 [GAAC CTTCC CATCA AAAA
CA]), primer 16S rRNA (16sF [CCGCC TGGGGAGTACG] dan 16sR3 [AAGG
GTTGCGCT CGTTTGC]) (Lee et al. 2007); dan KAPA SYBR® FAST qPCR Kit
master mix (Kappa Biosystems, Massachusetts, USA).

Prosedur Penelitian
Metode penelitian secara umum disajikan pada diagram alir seperti
Gambar 3.

9

Gambar 3. Diagram alir penelitian.

Ekstraksi Ekstrak Kasar Tanin Daun Pepaya
Daun pepaya Calina segar dikeringkan dengan freeze dryer (Martin Christ
Gamma 2-16 LSC) selama 24 jam kemudian diblender dan diayak. Ekstraksi tanin
daun pepaya dilakukan dengan memodifikasi metode yang dilakukan oleh Maliki
2012. Proses refluks selama 24 jam (non stop) yang dilakukan oleh Maliki,
digantikan dengan proses refluks bertahap hingga mencapai 24 jam refluks dan 48
jam maserasi (dengan total keseluruhan 3 hari). Selain itu proses refluks diganti
dengan Ultrasound Assisted Extraction (UAE) 40 kHZ selama 1 jam untuk
metode UAE. Sebanyak 40 gram bubuk daun pepaya dimasukkan ke dalam 250
ml NaOH 10% (Merck & Co., New Jersey, USA), kemudian selanjutya direfluks
bertahap (8 jam refluks dilanjutkan dengan 16 jam maserasi. Refluks dan maserasi
dilakukan 3 kali siklus) dengan suhu saat proses refluks mencapai 85oC dan
diultrasonikasi selama 1 jam dengan ultrasonic bath (Bransonic Ultrasonic
Cleaner model 8510E MTH, Branson Ultrasonic Corporation, Connecticut,
USA) pada suhu 50oC (untuk metode UAE). Selanjutnya sampel disaring
menggunakan kertas saring Whatman no 1 dan filtrat yang diperoleh ditambahkan
10 ml H2SO4 10% (Merck & Co., New Jersey, USA) dan disaring kembali. Filtrat
selanjutnya dicuci dengan NaHCO3 (Merck & Co., New Jersey, USA) yang telah
dilarutkan lalu disentrifugasi (Hermle Z383K; Hermle Labortechnik GmbH,
Wehingen, Saint Nom, Jerman) dan diperoleh endapan asam dan garam. Endapan
yang diperoleh selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer.

Verifikasi Kultur S.aureus
Verifikasi kultur dilakukan secara molekuler dengan mengisolasi DNA yang
selanjutnya akan dideteksi dengan menggunakan Polymerase Chain Reacttion
(PCR). Isolasi DNA S. aureus menggunakan metode yang dilakukan Handayani et
al. (2014), yaitu dengan memodifikasi metode yang dilakukan Mason et al.
(2001). Penggunaan lysostaphin diganti dengan lisozim 10 mg/ml dan tanpa
penambahan RNase. Isolat S.aureus ditumbuhkan pada media Triptone Soya
broth (TSB) (30g/ liter; Oxoid Ltd., UK) (inkubasi pada 37oC selama 18-24 jam).
Sebanyak 2 ml kultur S.aureus pada media TSB disentrifugasi pada 8 000 x g
selama 1 menit. Supernatan dibuang dan pelet diresuspensi dengan 560 μl bufer

10
TE 1x. Selanjutnya, ditambahkan 100 μl lisozim (10mg/ml) kemudian
dicampurkan hingga homogen dan diinkubasi pada 37oC selama 1 jam (tabung
dibolak balik setiap 15 menit). Sebanyak 30 μl SDS 10% dan 10 μl proteinase K
(10 mg/ml) ditambahkan dan diinkubasi kembali pada 37°C selama 1 jam (tabung
dibolak-balik setiap 15 menit). Ditambahkan 100 μl NaCl 5 M dan 80 μl CTABNaCl (10% CTAB di dalam 0.7 M NaCl) yang telah dipanaskan pada 65°C.
Inkubasi selama 10 menit pada 65°C. Setelah itu tambahkan kloroform dengan
volume yang sama dengan suspensi. Kemudian divorteks dan disentrifugasi pada
21 000 x g selama 5 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung baru dan
diekstraksi 2 kali dengan Phenol Chloroform Isoamil (PCI) (25:24:1) dan 1 kali
dengan Chloroform Isoamil (CI), dengan volume yang sama dengan suspensi
kemudian disentrifugasi pada 21 000 x g selama 10 menit. Fase aqueous pada
bagian atas dipindahkan ke tabung baru dan dilakukan presipitasi DNA
menggunakan isopropanol absolut dingin sebanyak 0.7 x volume supernatan.
Campuran tersebut diinkubasi pada suhu -20°C selama 1 jam dan disentrifugasi
pada 21000 × g selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan 1
ml etanol 70% lalu disentrifugasi pada 21 000 x g selama 5 menit. Pelet DNA
dikeringkan dan diresuspensi dengan 30 μl akuabides.
DNA hasil ekstraksi selanjutnya diukur konsentrasi dan kemurniannya.
Konsentrasi dan kemurnian isolat DNA ditentukan dengan mengukur absorbansi
pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm dengan menggunakan Nano Drop
2000 Sectrophotometer (Thermo Fisher Scientific, Massachusetts, USA).
Kemurnian DNA yang baik memiliki nilai rasio antara 1,8 sampai 2,0 (Handayani
et al. 2014).
Amplifikasi gen penyandi 16S rRNA dan sea dilakukan dengan
menggunakan Thermal Cycler 2720 dan Swift Spectrum Thermal Cycler 48 (Esco
Healthcare Pte. Ltd, Singapore). Isolat DNA diamplifikasi dengan primer yang
spesifik untuk S.aureus yaitu primer 16sF dan 16sR3 dengan amplikon sebesar
240 pb, serta gen sea diamplifikasi dengan primer SEA1 dan SEA2 dengan
amplikon sebesar 120 pb (Lee et al. 2007; Handayani et al. 2014). Siklus PCR
yang digunakan yaitu 1 siklus pradenaturasi selama 5 menit pada 95°C, 30 siklus
amplifikasi (denaturasi 1 menit pada 95°C, annealing 1 menit pada 55°C, dan
extension 1 menit pada 72°C), dan terminasi selama 5 menit pada 72°C (Lee et al.
2007). Campuran reaksi PCR yang digunakan sebanyak 25 μl, terdiri dari 12.5 μl
DreamTaq Green master mix, 1 μl setiap primer (10 μM), 2 μl DNA cetakan
(1000 ng/μl), dan 8.5 μl air bebas nuklease.
Produk hasil amplifikasi selanjutnya divisualisasi pada gel agarose 1.5%
dengan elektoforesis dengan perangkat elektroforesis DNA (Bio-Rad, Bio-Rad
Laboratories Pte. Ltd, Singapore) pada tegangan 75 V selama 45 menit. Marker
yang digunakan adalah GeneRuler 100 bp DNA ladder plus (#SM0321, Thermo
Fisher Scientific, Massachusetts, USA). Gen penyandi 16S rRNA menghasilkan
pita berukuran 240 pb dan gen sea menghasilkan pita berukuran 120 pb yang
dilihat dengan gel doc (Bio-Rad, Bio-Rad Laboratories Pte. Ltd, Singapore)

11
Penentuan Aktivitas Antimikroba Ekstrak Kasar Tanin
Sebelum penentuan penghambatan S. aureus dengan ekstrak kasar tanin
dilakukan persiapan isolat S. aureus. Isolat S. aureus berumur 18 - 24 jam pada
media TSB disentrifugasi pada 9 500 × g selama 10 menit dan pelet bakteri
disuspensikan pada garam fisiologis 0.85% (konsentrasi mikroba berkisar 1.5 ×
108 CFU/ml). Tahap awal penentuan aktivitas antimikroba dilakukan dengan
proses penampisan menggunakan metode disc diffusion oleh Kirby dan Bauer
(Imelda et al. 2014). Suspensi bakteri diinokulasikan menggunakan cotton swab
steril pada seluruh permukaan MHA. Setelah itu, diletakkan disc steril (ø 6 mm,
Oxoid, Hampshire, UK) dan ditambahkan dengan 10 μl ekstrak tanin (10, 20, 30,
40 dan 50 mg/ml). Diletakan juga disk dengan penambahan 10 μl aquades steril
sebagai kontrol negatif. Kemudian diinkubasi pada 37oC selama 24 jam. Aktivitas
antibakteri terlihat dengan adanya zona penghambatan (termasuk diameter disc)
terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus.
Tahapan selanjutnya dilakukan pengenceran makro. Sebanyak 100 μl
suspensi S. aureus berumur 18-24 jam dengan konsentrasi tertentu diinokulasikan
ke dalam 1 ml media TSB yang mengandung ekstrak kasar tanin daun pepaya
pada berbagai konsentrasi (0 mg/mL, 5 mg/mL, 10 mg/mL dan 20 mg/mL).
Kultur bakteri kemudian diinkubasi pada 37°C selama 24 jam dan digoyang
dengan kecepatan 150 rpm. Selanjutnya, dibuat seri pengenceran dari kultur
bakteri pada setiap konsentrasi ekstrak tanin dan disebar pada media TSA
Triptone Soya agar (TSA) (40g/ liter; Oxoid Ltd., UK). Media tersebut diinkubasi
pada 37°C selama 48 jam dan dilakukan penghitungan jumlah bakteri (Mazzola et
al. 2009).

Pemaparan Ekstrak Kasar Tanin Daun Pepaya terhadap S. aureus
Sebanyak 20 μl suspensi S.aureus penghasil SEA, dengan konsentrasi 108
CFU/mL, dipipet ke dalam 2 ml media TSB yang telah ditambahkan dengan
ekstrak tanin daun pepaya dengan konsentrasi ( 0 mg/mL, 5 mg/mL dan 10
mg/mL), kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 1 jam dan digoyang
dengan kecepatan 150 rpm. Kemudian dilakukan perhitungan jumlah sel bakteri
sebelum dan setelah diinkubasi selama 1 jam dengan menggunakan metode agar
sebar pada media TSA (Modifikasi Handayani et al. 2014). Selain itu juga
dilakukan pengukuran ekspresi gen sea menggunakan Real-Time PCR.

Isolasi mRNA dan Sintesis cDNA
RNA S.aureus yang telah dipapar dengan ekstrak kasar tanin daun pepaya
diisolasi menggunakan GeneJet RNA Purification Kit dan dilakukan sesuai
dengan petunjuk yang terdapat pada kit. 1.5 mL kultur bakteri yang telah
dipaparkan dengan ekstrak tanin daun pepaya disentrifugasi pada 12000 x g
selama 2 menit. Pelet bakteri diresuspensi dengan 100 μl buffer TE yang telah
disuplementasi dengan lisozim (0.4 mg/mL). Selanjutnya diinkubasi 5 menit pada
suhu 15-25 oC. Kemudian 300 μl RNA lysis buffer (mengandung 20 μl 14.3 M βmercaptoetanol/mL) ditambahkan pada pelet yang telah diresuspensi dan

12
dihomogenkan dengan vorteks selama 15 detik. Sampel ditambahkan 180 μl
etanol 96% dicampurkan dengan menggunakan pipet. 700 μl sampel kemudian
dipindahkan ke dalam GeneJET RNA purification column yang telah dipasangkan
dengan collection tube (CT) dan disentrifugasi pada 12000 x g selama 1 menit.
Residu sampel yang terdapat pada CT kembali dimasukkan ke dalam GeneJET
RNA purification column yang sama dan disentrifugasi 12000 rpm selama 1
menit. Kemudian GeneJET RNA purification column dengan CT baru
dipasangkan. Selanjutnya 700 μl wash buffer I ditambahkan lalu disentrifugasi
selama 1 menit pada 12000 x g. 600 μl wash buffer II ditambahkan pada cairan
yang terdapat pada CT yang sama, kemudian disentrifugasi pada 12000 x g
selama 1 menit. Larutan pada CT dibuang dan tahap penambahan 250 μl wash
buffer II kembali dilakukan pada 12000 x g selama 2 menit. Selanjutnya
dilakukan pengeringan matriks column dengan cara PerfectBind RNA column
dipasangkan dengan CT, kemudian disentrifugasi selama 1 menit dengan
kecepatan 12000 x g. Selanjutnya GeneJET RNA purification column tersebut
dipasangkan dengan tabung 1,5 ml. 50 μl air bebas nuklease ditambahkan pada
matriks, lalu sentrifugasi selama 1 menit pada 12000 x g untuk mengelusi RNA.
Kemurnian RNA ditentukan dengan mengukur rasio A260/A280.
Selanjutnya RNA disintesis menjadi cDNA. Sintesis cDNA menggunakan
RevertAid First Strand cDNA Synthesis Kit dengan primer spesifik untuk gen sea
(SEA 1 dan SEA 2) dan gen penyandi S.aureus (16s F dan 16s R3) sebagai gen
referensi untuk normalisasi (Lee et al. 2007 dan Handayani et al. 2014)
digunakan untuk sintesis cDNA. Sintesis cDNA dilakukan sesuai dengan petunjuk
yang terdapat pada kit. Sintesis cDNA dilakukan dengan cara membuat campuran
reaksi terdiri atas 1 μg RNA total, 20 ρmol setiap primer, dan air bebas nuklease
hingga volume 12 μl. Campuran tersebut diinkubasi pada 65oC selama 10 menit.
Selanjutnya, ditambahkan 4 μl buffer reaksi 5x, 1 μl RiboLock RNAse Inhibitor
(20 u/μl). Campuran reaksi diinkubasi pada suhu 42oC selama 60 menit. Reaksi
dihentikan melalui pemanasan pada 70oC selama 5 menit.

Pengukuran Ekspresi Gen Sea secara Relatif dengan qRT-PCR
Real-Time PCR dilakukan menggunakan Swift Spectrum Thermal Cycler
48. Kondisi PCR yang digunakan, yaitu pre-denaturasi selama 1 menit pada 95oC,
45 siklus amplifikasi (denaturasi 1 menit pada suhu 95oC, annealing 1 menit pada
55oC, extention 1 menit pada 72o C) dan terminasi pada 72oC selama 5 menit.
Untuk menjalankan Real-Time PCR, maka dibuat campuran reaksi 20 μl yang
terdiri dari 1μl cDNA (100 ng/μl) sebagai cetakan, 0.4 μl setiap primer (SEA 1,
SEA 2, 16sF dan 16sR3) (10μM), 10 μl KAPA SYBR® FAST qPCR Kit master
mix (Kappa Biosystems, Massachusetts, USA)., dan air bebas nuklease hingga
volume 20 μl. Pembacaan fluoresensi dilakukan setelah setiap tahap extension dan
dilanjutkan dengan analisis kurva pelelehan pada suhu 70 - 90oC dengan suhu
0.5oC dan waktu konstan 10 detik (Lee et al. 2007). Ekspresi gen sea dihitung
relatif terhadap sampel kontrol dan gen referensi S.aureus dengan metode
perbandingan Cycle treshold (CT) (2-ΔΔCT) (Schmittgen dan Livak 2008). CT
merupakan angka siklus yang ditentukan pada fase eksponensial reaksi PCR dan
berbanding terbalik dengan jumlah kopi dari target. Nilai ekspresi relatif dari gen

13
sea merupakan nilai 2-ΔΔCT, yaitu dengan nilai ΔΔCT diperoleh dari selisih antara
ΔCT gen sea dengan gen 16S rRNA bakteri yang mengalami pemaparan ekstrak
kasar tanin dengan ΔCT gen sea dengan gen 16S rRNA bakteri tanpa pemaparan
tanin.
2-ΔΔCT = [(CT gen sea – CT gen 16S rRNA) S.aureus dengan paparan tanin – (CT
gen sea – CT gen 16S rRNA) S.aureus tanpa pemaparan tanin].
Penurunan ekspresi gen dihitung melalui rasio antara nilai 2-ΔΔCT tanpa
perlakuan penambahan ekstrak kasar tanin dibandingkan dengan nilai 2-ΔΔCT
dengan perlakuan peambahan ekstrak kasar tanin.

Analisis Data
Pengukuran data dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Data yang diperoleh
dari hasil pengujian diolah secara statistik menggunakan analisis sidik ragam
(ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% (taraf signifikan 0,05). Jika hasil uji
berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Daun Pepaya
Daun pepaya muda segar varietas Calina mempunyai kadar air sebesar
76.99 ± 1.69% Hasil penelitian lain yang dilakukan Handayani et al. 2014 dan
Nofrianti 2015 menunjukkan kadar air daun pepaya Calina yang hampir sama
dengan yang diperoleh yaitu sebesar 78.17% dan 78.93%. Penelitian lain
pengukuran kadar air daun pepaya dilakukan oleh Nowfia et al. 2012
menyebutkan kadar air daun pepaya segar sebesar 81.27 – 85.17 %. Perbedaan
nilai kadar air daun pepaya yang diperoleh ini sangat tergantung dari bagian daun
serta varietas pepaya.
Proses pengeringan daun pepaya dengan pengering beku menghasilkan
daun pepaya kering dengan rendemen 15.95% dan kadar air 5.94 ± 0.19%. Hasil
penelitian lain menunjukkan daun pepaya kering hasil pengeringan dengan oven
vakum menghasilkan bubuk daun dengan kadar air 6.92%. Proses pengeringan
sampel merupakan tahapan penting sebelum melakukan proses ekstraksi karena
akan sangat mempengaruhi rendemen ekstrak yang dihasilkan. Selain itu, saat
proses pengeringan beberapa komponen bioktif pada sampel yang cenderung labil
akan mengalami kerusakan. Pengering beku merupakan cara pengeringan sampel
yang paling baik dalam mempertahankan komponen bioaktif pada sampel. Hal ini
disebakan karena pada proses pengeringan ini tidak menggunakan panas yang
memungkinkan rusaknya beberapa komponen yang labil terhadap panas
(Yoshioka et al. 1990). Penelitian yang dilakukan Hung dan Duy (2012)
membandingkan pengeringan sayur menggunakan pengering beku dan oven
menunjukkan pengering beku memberikan hasil yang lebih baik dalam

14
mempertahankan total fenol dan flavonoid pada sayuran seperti wortel, ubi dan
tomat. Hasil penelitian Irondi et al. (2013) juga menunjukkan proses pengeringan
menggunakan pengering beku menghasilkan ekstrak biji pepaya dengan total
fenol, flavonoid, karotenoid, tanin dan vitamin C tertinggi dibandingkan dengan
metode pengeringan lainnya. Metode pengeringan selanjutnya yang memberikan
hasil terbaik setelah pengeringan beku adalah pengeringan dengan udara, diikuti
pengeringan oven dan selanjutnya pengeringan dengan sinar mata hari
memberikan efek rendahnya kandungan komponen bioaktif pada biji pepaya.
Menurunnya kandungan komponen bioaktif pada ekstrak dengan metode
pengeringan dengan udara disebabkan adanya degradasi enzimatik karena
keberadaan oksigen selama proses pengeringan. Pada proses pengeringan dengan
oven cenderung mengalami kerusakan karena penggunaan suhu yang cukup tinggi
untuk pengeringan. Metode pengeringan dengan sinar matahari menyebabkan
rendahnya kadar komponen bioaktif pada ekstrak karena pada prosesnya sampel
terpapar oksigen bebas, panas serta sinar matahari yang dapat merusak komponen
bioaktif pada biji pepaya (Irondi et al. 2013).

Rendemen Ekstraksi Ekstrak Kasar Tanin Daun Pepaya
Proses ekstraksi komponen bioaktif sangat ditentukan dari proses
pemecahan dinding sel untuk memastikan komponen tersebut dapat keluar dan
terekstrak. Ekstraksi menggunakan metode konvensional yaitu kombinasi antara
proses refluks dan maserasi menghasilkan jumlah redemen yang lebih tinggi
dibandingkan dengan menggunakan metode UAE yang merupakan metode
modern (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil ekstraksi ekstrak kasar tanin daun pepaya
Proses ekstraksi
UAE
Refluks + maserasi

Rendemen (%)
1.83 ±0.54
4.27 ± 0.45

Hasil penelitian yang dilakukan olek Cobzak et al. 2005 juga
menunjukkan hasil serup

Dokumen yang terkait

Penentuan Ph Dan Suhu Optimum Untuk Aktivitas Ekstrak Kasar Enzim Lipase Dari Kecambah Biji Karet (Hevea brasiliensis) Terhadap Hidrolisis PKO (Palm Kernel Oil)

0 74 47

Efek Ekstrak Metanol Dan Ekstrak n-Heksana Daun Pepaya (Carica Papaya L) Terhadap Jumlah Dan Hitung Jenis Leukosit Pada Tikus Wistar Jantan Setelah Diinduksi Karagenan

5 48 86

Efektivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle), Daun Pepaya (Carica papaya) dan Bawang Putih (Allium sativum) terhadap Penyerangan Ektoparasit pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

6 139 64

Uji Aktivitas Antikanker Fraksi Aktif Ekstrak Etanol Kulit Batang Pohon Tanjung (Mimusopsi cortex) Terhadap Sel Kanker Payudara

6 75 146

Uji Aktivitas Ekstrak Teripang Bilalo {Actinopyga mauritiana (Quoy) Gaimard) Terhadap Jamur Candida Albiccm

4 29 74

Penentuan pH Dan Suhu Optimum Dari Aktivitas Ekstrak Kasar Enzim Selulase Hasil Isolasi Bekicot (Achatina fulica) Terhadap Hidrolisa Substrat Selulosa, Kertas HVS Dan Ampas Tebu

7 131 74

Penentuan Dosis Insektisida Nabati Ekstrak Air Daun Pepaya (Carica papaya L.) Terhadap Larva Buah Jeruk

1 54 69

Uji aktivitas ekstrak rimpang lengkuas merah (alpinia galanga l. Willd) Terhadap Jamur Pityrosporum Ovale Dalam Sediaan Sampo Anti Ketombe

21 135 101

Pengaruh Paparan Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya Muda Kering Beku terhadap Empat Isolat Staphylococcus aureus dan Ekspresi Gen sea

0 20 63

Jenis Tanin, Total Tanin Dan Aktivitas Penghambatan Α-Glukosidase Dari Ekstrak Daun Dan Kulit Batang Surian (Toona Sinensis Merr.)

1 13 53