Community Structure of Macrozoobenthos in Seagrass Bed of Bone Batang Island South Sulawesi
STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS
DI DAERAH PADANG LAMUN PULAU BONE BATANG
SULAWESI SELATAN
DODY PRIOSAMBODO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
(2)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Struktur Komunitas Makrozoobentos Di Daerah Padang Lamun Pulau Bone Batang Sulawesi Selatan” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 23 September 2011
Dody Priosambodo
(3)
ABSTRACT
DODYPRIOSAMBODO. Community Structure of Macrozoobenthos in Seagrass Bed of Bone Batang Island South Sulawesi. Under direction of NEVIATY PUTRI ZAMANI and KAREN VON JUTERZENKA.
Research about Community Structure of Macrozoobenthos in seagrass bed has been done in Bone Batang island. The aim of this research was to investigated the interaction among benthic species and seagrass in seagrass bed as their habitat. A plastic foil (4 x 3 m) were used to collect macrozoobenthos samples. Two types of station were determined. First, seagrass bed as the main station and bare sand (unvegetated area or “blow out”) as control station. Densities of macrozoobenthos from seagrass station and bare sand as control were then compared. Result showed that the highest density of macrozoobenthos collected by plastic foil method, dominated by alpheid shrimp Alpheus macellarius (2.82
individu/m2) in seagrass station and small bivalve Antigona reticulata 1.75
individu/m2) in control station. Bray-Curtis Similarity Index and n-MDS analysis
for seagrass community structure among station showed, that all stations tend to have similar seagrass species composition. In contrast with the mention above, macrozoobenthos fauna from all stations showed different species composition. Correlation Analysis using Pearson Product Moment for macrozoobenthos community structure showed that there is no correlation between seagrass density and macrozoobenthos density (r = 0.302). It has been concluded that interaction among benthic species and seagrass as their habitat were influenced by environmental factors rather than direct interaction between seagrass and macrozoobenthos.
Keyword: community structure, macrozoobenthos, seagrass bed, plastic foil
method, Spermonde Archipelago, Indonesia.
(4)
RINGKASAN
DODY PRIOSAMBODO. Struktur Komunitas Makrozoobentos Di Daerah
Padang Lamun Pulau Bone Batang Sulawesi Selatan. Dibimbing Oleh:
NEVIATY PUTRI ZAMANI dan KAREN VON JUTERZENKA.
Lamun adalah satu-satunya kelompok tumbuhan berbiji (Spermatophyta) yang telah beradaptasi sepenuhnya untuk hidup di laut. Tumbuhnya lamun di dalam kolom air, menarik berbagai jenis organisme laut untuk memijah, berlindung, mencari makan dan menetap. Interaksi timbal balik yang terjadi di dalam komunitas lamun, membentuk ekosistem kompleks, yang menjadikan padang lamun sebagai habitat penting bagi berbagai jenis biota laut. Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukan penelitian tentang struktur komunitas makrozoobentos di Pulau Bone Batang, sebuah pulau kecil tak berpenghuni di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji interaksi ekologi antara komunitas lamun, makrozoobentos dan faktor lingkungan yang mempengaruhi interaksi kedua komunitas tersebut. Dari penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh informasi ekologi serta pemahaman yang lebih baik, mengenai struktur komunitas makrozoobentos di daerah lamun, khususnya yang berada di wilayah tropis seperti Indonesia. Riset dilakukan dengan menetapkan 16 titik sampling di perairan sekitar Pulau Bone Batang sebagai stasiun penelitian. Delapan stasiun pertama (1-8), ditetapkan sebagai stasiun utama. Selanjutnya, delapan stasiun berikutnya (9-16) ditetapkan sebagai kontrol. Pengambilan data struktur komunitas lamun dilakukan menggunakan sediment corer, berdiameter 15,7 cm dengan tinggi 25 cm. Data penutupan lamun diestimasi dengan frame kuadran PVC berukuran 0,5 x 0,5 m. Selanjutnya, untuk makrozoobentos, pengambilan data dilakukan dengan terpal plastik berukuran 4 x 3 m. Terpal plastik ini ditempatkan di stasiun lamun dan stasiun kontrol selama 2 x 24 jam. Sampel makrozoobentos yang terkoleksi, kemudian dianalisis lebih lanjut di laboratorium SPICE-PPTK UNHAS. Dari hasil penelitian terhadap komunitas lamun di Pulau Bone Batang, diperoleh 7 jenis lamun dari dua suku dan lima marga. Suku Cymodoceaceae, mencakup jenis-jenis: Cymodocea rotundata,
Halodule uninervis dan Syringodium isoetifolium. Sedangkan Hydrocharitaceae
meliputi: Enhalus acoroides, Halophila ovalis dan Halophila minor. Spesies lamun Syringodium isoetifolium, teramati secara visual di stasiun 8, akan tetapi tidak tersampling oleh sediment corer. Spesies lamun di Pulau Bone Batang, tumbuh bersama-sama membentuk komunitas campuran. Thalassia hemprichii merupakan jenis lamun yang paling penting dan paling berpengaruh dalam komunitas padang lamun di Pulau Bone Batang, dengan rata-rata Indeks nilai penting (INP) sebesar 131,60% diikuti Cymodocea rotundata sebesar 127,94%. Hasil analisis Non-metric Multidimensional Scaling (nMDS), berdasarkan nilai Indeks kesamaan Jenis Bray-Curtis, diperoleh indeks kesamaan lebih dari 75% untuk seluruh stasiun, kecuali stasiun 2 dan 3 yang memiliki indeks kesamaan 66,01%. Dengan demikian, masing-masing stasiun memiliki struktur komunitas lamun yang sama. Hasil Analisis Korespondensi terhadap sebaran spasial komunitas lamun, menunjukkan bahwa masing-masing jenis lamun memiliki pola
(5)
sebaran yang berbeda di tiap-tiap stasiun. Stasiun 1, 3, 7 dan 8 dicirikan oleh jenis lamun Thalassia hemprichii yang tumbuh dominan. Selanjutnya, untuk stasiun 2, 5 dan 6 dicirikan oleh jenis lamun Cymodocea rotundata. Berdasakan nilai korelasi yang tertera pada tabel konstribusi stasiun (Lampiran 4 dan 5), dapat diketahui bahwa stasiun 1, 8, 14 dan 16, sangat dipengaruhi oleh kondisi substrat yang terdiri dari pasir, kerikil dan kandungan bahan organik dalam substrat serta salinitas. Selanjutnya, stasiun 5, 6, 7, 12 dan 16, sangat dipengaruhi oleh lempung, pergerakan air/arus (hidrodinamika), suhu dan kedalaman. Dari hasil sampling menggunakan terpal plastik, diperoleh jumlah total makrozoobentos sebanyak 273 spesies. Sebanyak 208 jenis diantaranya ditemukan di daerah lamun. Sedangkan di daerah kontrol (tanpa vegetasi lamun) hanya ditemukan 183 spesies. Dari 208 spesies makrozoobentos yang ditemukan di daerah lamun, sebanyak 144 spesies diantaranya telah teridentifikasi dan 64 spesies sisanya tidak teridentifikasi. Untuk makrozoobentos dari daerah kontrol (tanpa vegetasi lamun), sebanyak 139 spesies diantaranya telah berhasil diidentifikasi dan 42 spesies lainnya tidak dapat diidentifikasi. Kelompok taksa yang sulit diidentifikasi terdiri dari: Polychaeta ( 88 - 95%), kepiting (69 – 77%) dan bintang mengular (25 – 40%). Komposisi jenis makrozoobentos di Pulau Bone Batang didominasi oleh Kerang (Bivalvia) dengan jumlah spesies berkisar antara 41-50 jenis (24%), dari keseluruhan spesies makrozoobentos yang ditemukan. Keong (Gastropoda) menempati posisi berikutnya dengan jumlah spesies 37-45 jenis (22%), Polychaeta memiliki jumlah spesies antara 24-40 jenis (19%), kepiting dengan jumlah spesies antara 29-31 jenis (16 %) dan udang dengan jumlah spesies berkisar antara 17-23 jenis (13%). Kepadatan jenis makrozoobentos tertinggi di daerah lamun ditemukan pada jenis udang Alpheus macellarius dengan rata-rata kepadatan individu sebesar 2,82 individu/m2. Hasil sampling dengan terpal plastik berukuran 4 x 3 m, menunjukkan bahwa stasiun kontrol didominasi oleh Antigona reticulata dengan nilai rata-rata kepadatan individu sebesar 1,75 individu/m2 dan kerang Tellina
virgata (1,18 individu/m2). Indeks kesamaan Bray-Curtis dari seluruh stasiun
berkisar antara 22,49 % hingga 49,84 %. Dengan demikian, seluruh stasiun penelitian memiliki nilai indeks kesamaan di bawah 50 % (rendah). Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing stasiun, memiliki struktur dan komposisi jenis makrozoobentos yang berbeda. Menurut Hemminga dan Duarte (2000), selain faktor lingkungan, usia padang lamun juga menentukan komposisi jenis makrozoobentos. Padang lamun yang lebih tua, umumnya memiliki keragaman biota yang lebih tinggi. Hasil Analisis Korelasi Pearson Product Moment, berdasarkan Indeks Dominansi Simpson menggunakan perangkat lunak Statistica 6, diperoleh nilai korelasi kerapatan lamun dengan kepadatan makrozoobentos, sebesar 0,30231. Menurut Supranto (1986) dalam Irawan (2003), hubungan antar dua variabel tergolong sangat lemah atau tidak ada hubungan sama sekali, jika nilai korelasi= 0. Kerapatan lamun memiliki korelasi (hubungan) yang lemah dengan kepadatan makrozoobentos. Meningkatnya jumlah tegakan lamun tidak selalu diikuti dengan meningkatnya populasi makrozoobentos. Fakta ini, diperkuat oleh hasil indeks kesamaan jenis makrozoobentos yang jauh lebih rendah (16,76 - 52,51 %) dibandingkan dengan kisaran indeks kesamaan komunitas lamun (66,01-94,15 %). Hasil analisis Korespondensi terhadap sebaran spasial makrozoobentos yang disampling menggunakan terpal plastik ukuran 4 x 3 m, menunjukkan bahwa sebaran jenis epifauna dan infauna antara stasiun utama yang berada di daerah
(6)
lamun dan stasiun kontrol (tanpa vegetasi lamun), tidak jauh berbeda. Hal ini dapat dilihat dari sebaran stasiun kontrol yang lebih dekat dengan stasiun utama sehingga membentuk satu kelompok yang besar (Gambar 37). Komposisi dan jenis lamun di tiap-tiap stasiun, umumnya tidak jauh berbeda. Jenis lamun tertentu, seperti Halophila (spesies perintis) dan Enhalus (Spesies klimaks) memiliki daerah sebaran yang lebih terbatas. Komunitas makrozoobentos di Pulau Bone Batang cenderung didominasi oleh kelompok Bivalvia, Crustacea dan Polychaeta berukuran kecil. Makrozoobentos bernilai ekonomis seperti teripang pasir, sudah sulit ditemukan, sebuah kondisi yang mengindikasikan adanya tingkat eksploitasi yang berlebihan. Dilihat dari komposisi kelompok taksa, struktur komunitas makrozoobentos di daerah lamun dan daerah kontrol (tanpa lamun) juga tidak menunjukkan perbedaan yang menyolok. Kondisi lingkungan dari masing-masing stasiun yang diukur di Pulau Bone Batang relatif sama, sehingga tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap struktur komunitas makrozoobentos di tiap-tiap stasiun. Tidak adanya hubungan korelasi yang kuat antara kepadatan makrozoobentos dengan kerapatan lamun menunjukkan adanya suatu mekanisme lain terkait interaksi antara makrozoobentos dengan komunitas lamun. Disarankan untuk meneliti parameter fisik-kimia-biologi secara lebih mendalam untuk memperjelas interaksi ini, terutama terkait siklus nutrien dan hidrodinamika yang ada di daerah lamun.
Kata kunci: struktur komunitas, lamun, makrozoobentos, metode terpal plastik, Kepulauan Spermonde.
(7)
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
(8)
STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI
DAERAH PADANG LAMUN PULAU BONE BATANG
SULAWESI SELATAN
DODY PRIOSAMBODO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
(9)
(10)
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : Struktur Komunitas Makrozoobentos Di Daerah Padang Lamun Pulau Bone Batang Sulawesi Selatan
Nama : Dody Priosambodo
NRP : C 551070031
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Dr. Karen von Juterzenka, M.Sc.
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc.Agr.
(11)
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT, karena atas izin-Nya jualah sehingga tesis dengan judul “Struktur Komunitas Makrozoobentos Di Daerah Padang Lamun Pulau Bone Batang Sulawesi Selatan” ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji bio-ekologi makrozoobentos di daerah lamun tropis menggunakan metode sampling alternatif dengan terpal plastik (plastic foil). Dari penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh informasi yang lebih detail tentang hubungan keterkaitan/interaksi antara makrozoobentos dengan padang lamun dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya.
Semoga hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan referensi ilmiah bagi pihak-pihak terkait, khususnya dalam upaya pengelolaan dan perlindungan (konservasi) sumberdaya hayati pesisir Indonesia.
Bogor, 23 September 2011
Dody Priosambodo
(12)
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak- pihak yang telah mendukung penyusunan tesis ini.
1. Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc., selaku ketua komisi pembimbing dan
Ketua PS Ilmu Kelautan IPB, yang secara aktif berperan dalam membimbing penulis. Beliau memberikan pemahaman tentang sistematika berpikir ilmiah yang baik dan mengoreksi sistematika penulisan dari tesis ini. Selain itu, beliau juga memberikan pengajaran Biologi Laut secara mendalam, sehingga mempermudah pemahaman penulis saat menyusun tesis ini.
2. Dr. Karen von Juterzenka, M.Sc., selaku anggota komisi pembimbing yang
telah banyak memberikan pemahaman, masukan dan saran yang berharga dalam penyusunan tesis ini, terutama berkaitan dengan sistematika/taksonomi hewan bentik, Ekologi Invertebrata dan interpretasi statistika yang rumit.
3. Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.S., selaku penguji luar komisi pada ujian tahap
akhir penyelesaian studi, yang banyak memberikan saran dan masukan demi penyempurnaan tesis ini.
4. Dominik Kneer, selaku rekan utama penulis dalam program SPICE. Terima
kasih yang tak terhingga untuk semua bantuan dan dukungan, baik selama melakukan kegiatan sampling di lapangan maupun saat menganalisis sampel di Laboratorium. Terima kasih pula untuk dukungan referensi, diskusi dan masukannya yang sangat berharga dalam penyusunan tesis ini.
5. Pak Saido dan Pak Ridwan (P. Barranglompo) yang selalu membantu dan
menjaga penulis dengan sangat baik, selama kegiatan sampling di lapangan.
6. Prof. Dr. Harald Asmus selaku Ketua Tim Seagrass SPICE dari Department
of Coastal Ecology, Alfred Wegener Institut (AWI) Wadden Sea Station, Sylt, Germany, yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk mengikuti Program SPICE, sekaligus memberikan pemahaman kepada penulis tentang Ekologi Laut, khususnya tentang Ekosistem Lamun.
7. Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc., Dr. Magdalena Litaay, M.Sc.,
Ibunda Dr. Dewi Yanuarita dan Dr. Muh. Lukman dari Pusat Penelitian Terumbu Karang (PPTK) UNHAS yang terus memberikan dukungan, motivasi dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program SPICE.
(13)
8. Prof. Dr. Ir. Sudirman M.S., selaku Ketua Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi
Selatan atas motivasi dan dukungan yang diberikan selama studi.
9. Bapak Drs. Willem Moka, M.Sc., selaku Kepala Lab. Ilmu Lingkungan dan Kelautan, Jurusan Biologi FMIPA UNHAS, atas segala motivasi, dukungan dan masukan yang sangat berharga dalam penyusunan tesis ini.
10. Prof. Dr. Hj. Dirayah R. Hussain, DEA, Drs. Karunia Alie, M.Si dan Dr.
Eddy Soekendarsih, M.Sc., selaku Ketua Jurusan Biologi FMIPA UNHAS,
atas segala dukungan yang diberikan selama penulis menempuh studi.
11. Rekan-rekan dari Tim SPICE Jerman: Sven Blankenhorn, Maximilian Schultz, Claudia Pogoreutz, Andrea Baurle, Patrick Polte, Anita
Wietuchter, Sabine Schrunder, Leyla Knittweis dan Ha Trieu Hung Liu,
atas kebersamaannya selama mengikuti Program SPICE (Science for The
Protection of Indonesian Coastal Ecosystems).
12. Bapak dan Ibu dari Tim Seagrass PPTK/FIKP UNHAS: Ibu Inayah, Ibu Rohani, Pak Khairul Amri, Pak Supriadi, Ibu Nadiarti, Ibu Yayu, Pak Mahatma, Pak Ipul, Pak Piu, Ibu Citra, Ibu Elmi, Ibu Ocha’, Pak Banda,
Pak Ahmad Bahar dan Pak Ical atas diskusi dan masukannya yang berharga.
13. Teman-teman dari Tim SPICE Indonesia: Amrullah Saleh, Sayuri Sarinita,
Atto’, Edow, Linda, Enab, Ucu’, Tiwi Hinta, Iman Sudrajat, Lia, Radhiyah ‘Dion’ Ruhon, Idris, Nurul, Mogey, Masdar, Arif, Gusti, Ade Rachmi, Lina, Ittonk, Fatimah Yusrat Patongai, Kurni, Rio Ahmad, Udjo dan Acci’.
14. Teman-teman Program Studi Ilmu Kelautan Angkatan 2007 (Mochammad Tri Hartanto, Andri Purwandani, Eko Effendi, Sabhan Fachruddin, Khalid Ibrahim Abdallah, Ranalse Patiung, Rahmadani Mustafa, Dwince Chrisye
Valerie Isabella, Ira) atas segala dukungan, persaudaraan dan persahabatan
yang indah selama menempuh studi di IPB.
15. Dr. Iswari Subekti, M.Sc. dan pihak COREMAP (Coral Reef Rehabilitation
and Management Program) atas bantuan biaya penulisan tesis yang diberikan
kepada penulis.
16. DIKTI yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh
studi melalui Program Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Tahun 2007.
17. Ibunda Suri dan seluruh rekan-rekan di PTD yang telah menjadi pengganti
(14)
18. Istri tercinta, dr. Muthmainnah MM yang terus memberikan motivasi dan dukungan tak terhingga kepada penulis untuk terus belajar dan berusaha. 19. Kedua Orang Tua (Bapak Drs. M. Suparyo dan Ibu M. Sulami) serta
adik-adikku yang selalu memberikan dukungan tak terhingga kepada penulis.
(15)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 5 Mei 1976 sebagai anak sulung dari pasangan Drs. M. Suparyo dan M. Sulami. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Hasanuddin hingga lulus tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang Magister pada Program Studi Ilmu Kelautan (dengan Pilihan Mayor: Biologi Laut), di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB, diperoleh tahun 2007 dengan pembiayaan dari beasiswa BPPS DIKTI. Sejak tahun 2001, penulis bekerja sebagai pengajar bidang Ekologi dan Biologi Laut, di Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin.
Selama mengikuti program S-2, penulis mendapat kesempatan mengikuti kegiatan SPICE II (Science for The Protection of Indonesian Coastal Ecosystems II) di Kepulauan Spermonde, yang merupakan program kerjasama riset antara pemerintah Jerman dengan pemerintah Indonesia di bidang ekosistem pesisir dan laut. Penulis juga berkesempatan untuk mengikuti pendidikan tambahan “Summer
School on Ecology of Changing Sandy Coast within the Hemholtz Graduate
School POLMAR in Wadden Sea Station-Sylt Island, Germany”selama satu bulan
dengan sponsor penuh dari Department of Coastal Ecology-Alfred Wegener
Institutefor Polar and Marine Research (AWI).
Beberapa publikasi ilmiah yang melibatkan penulis selama mengikuti program S-2 diantaranya adalah: A Comparison of Three Methods for Estimating
Macrozoobenthos Diversity and Abundance in a Tropical Seagrass Meadow yang
disajikan saat pertemuan ilmiah Benthic Ecology Meeting 2010 di University of North Carolina, Wilmington, NC-USA pada tanggal 10-13 Maret 2010 (BEM 2010 Abstract: page 102 : 1-223). Karya ilmiah lainnya berjudul The Biology of Burrowing Crustaceans in Seagrass Meadows of the Spermonde Archipelago,
Indonesia, disajikan dalam World Seagrass Conference pada tanggal 21-25
November 2010 di Phuket, Thailand. Publikasi ilmiah tersebut merupakan bagian dari hasil riset untuk tesis penulis yang dilakukan saat mengikuti program SPICE II tahun 2008-2010 di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan.
(16)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xviii
DAFTAR GAMBAR ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 2
1.3 Tujuan dan Manfaat ... 4
2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Lamun ... 5
2.1.1 Bio-ekologi Lamun ... 5
2.1.2 Parameter Lingkungan Komunitas Lamun ... 6
2.1.3 Tipe Habitat Lamun ... 8
2.2 Bio-ekologi Makrozoobentos ... 9
2.3 Kondisi Umum Lokasi Penelitian... 11
2.3.1 Kepulauan Spermonde ... 11
2.3.2 Pulau Bone Batang ... 13
3 METODE PENELITIAN ... 17
3.1 Waktu dan Tempat... 17
3.1.1 Waktu Penelitian ... 17
3.1.2 Tempat Penelitian ... 17
3.1.3 Pembagian Stasiun Penelitian ... 18
3.2 Alat dan Bahan ... 22
3.2.1 Alat ... 22
3.2.2 Bahan ... 22
3.3 Metode Pengambilan Data (Sampling)... 22
3.3.1 Struktur Komunitas Lamun ... 22
3.3.2 Struktur Komunitas Makrozoobentos ... 24
3.4 Parameter Lingkungan ... 28
3.4.1 Analisis Struktur Sedimen ... 28
3.4.2 Pengukuran Paparan Ombak dan Gelombang ... 29
3.4.3 Pengukuran Kedalaman Kolom Air dan Sedimen ... 31
3.5 Identifikasi Sampel ... 32
3.6 Analisis Data... 32
3.6.1 Analisis Struktur Komunitas Lamun ... 32
3.6.2 Analisis Struktur Komunitas Makrozoobentos ... 36
(17)
3.6.4 Sebaran Spasial Makrozoobentos dan Asosiasinya
dengan Karakteristik Habitat ... 40
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 42
4.2 Karakteristik Fisik-Kimia Padang Lamun ... 43
4.2.1 Suhu ... 43
4.2.2 Salinitas ... 43
4.2.3 Paparan Ombak dan Gelombang ... 44
4.2.4 Kedalaman Kolom Air ... 48
4.2.5 Ketebalan Substrat Berpasir ... 49
4.2.6 Karakteristik Substrat/Sedimen ... 50
4.2.7 Kandungan Bahan Organik Substrat ... 52
4.3 Sebaran Karakteristik Fisik-Kimia Padang Lamun ... 54
4.4 Analisis Struktur Komunitas Lamun ... 56
4.4.1 Komposisi Jenis Lamun ... 56
4.4.2 Kerapatan dan Kerapatan Relatif ... 60
4.4.3 Frekuensi dan Frekuensi Relatif ... 61
4.4.4 Penutupan dan Penutupan Relatif ... 63
4.4.5 Biomassa dan Biomassa Relatif ... 65
4.4.6 Indeks Nilai Penting (INP) ... 66
4.4.7 Indeks Kesamaan Jenis Komunitas ... 69
4.4.8 Sebaran Spasial Komunitas Lamun ... 71
4.5 Analisis Struktur Komunitas Makrozoobentos... 74
4.5.1 Komposisi Jenis Makrozoobentos ... 74
4.5.2 Jumlah Spesies Makrozoobentos ... 80
4.5.3 Kepadatan Makrozoobentos ... 81
4.5.4 Kelimpahan Makrozoobentos ... 83
4.5.5 Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos ... 85
4.5.6 Indeks Keseragaman Makrozoobentos ... 86
4.5.7 Indeks Dominansi Makrozoobentos ... 87
4.5.8 Indeks Kesamaan Jenis Makrozoobentos ... 88
4.5.9 Analisis Korelasi Kerapatan Lamun dengan Kepadatan Makrozoobentos ... 90
4.5.10 Sebaran Spasial Makrozoobentos dan Asosiasinya dengan Karakteristik Habitat ... 91
KESIMPULAN DAN SARAN ... 96
4.6 Kesimpulan ... 96
4.7 Saran ... 96
DAFTAR PUSTAKA ... 97
(18)
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Parameter Lingkungan Pulau Bone Batang ... 16
2. Rujukan Identifikasi Sampel ... 32
3. Parameter Lingkungan di Daerah Padang Lamun Pulau Bone Batang (Stasiun Utama)... 47
4. Parameter Lingkungan di Daerah Padang Lamun Pulau Bone Batang (Stasiun Kontrol) ... 47
5. Komposisi Jenis Lamun di Pulau Bone Batang ... 56
6. Kisaran Kerapatan Jenis Lamun ... 58
7. Kerapatan Jenis Lamun (tegakan/m2) di Pulau Bone Batang ... 59
8. Kerapatan Relatif Jenis Lamun (%) di Pulau Bone Batang ... 59
9. Frekuensi Jenis Lamun di Pulau Bone Batang ... 62
10. Frekuensi Relatif Jenis Lamun (%) di Pulau Bone Batang ... 62
11. Penutupan Jenis Lamun (%/m2) di Pulau Bone Batang ... 64
12. Penutupan Relatif Jenis Lamun (%) di Pulau Bone Batang ... 64
13. Biomassa Jenis Lamun (gr AFDW/m2) di Pulau Bone Batang ... 67
14. Biomassa Relatif Jenis Lamun (%) di Pulau Bone Batang ... 67
15. Indeks Nilai Penting Komunitas Lamun di Pulau Bone Batang ... 68
16. Kepadatan Makrozoobentos di Stasiun Utama (individu/m2). ... 81
17. Kepadatan Makrozoobentos di Stasiun Kontrol (individu/m2). ... 82
18. Kepadatan Relatif Makrozoobentos di Stasiun Utama (%). ... 83
19. Kepadatan Relatif Makrozoobentos di Stasiun Kontrol (%). ... 83 .
(19)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Peta Kepulauan Spermonde ... 11
2. Peta Lokasi Penelitian ... 18
3. Pembagian Stasiun Penelitian di Pulau Bone Batang ... 19
4. Stasiun utama (lamun) dan kontrol (tanpa lamun) ... 20
5. Sampling Lamun dengan Sediment Corer ... 23
6. Analisis Sampel Biomassa Lamun ... 23
7. Estimasi Penutupan Lamun ... 24
8. Skema Terpal Plastik yang digunakan dalam Penelitian ... 26
9. Analisis Struktur Sedimen ... 28
10. Pembuatan Bola Gypsum ... 30
11. Bola Gypsum Sebelum dan Sesudah di Pasang Selama 72 Jam ... 31
12. Pengukuran Ketebalan dan Kedalaman Sedimen ... 31
13. Standar Penutupan Lamun Seagrass Watch ... 34
14. Rataan Terumbu Karang Pulau Bone Batang ... 42
15. Persentase Pelarutan Bola Gypsum dalam Kolom Air (%) ... 45
16. Kedalaman Kolom Air Saat Pengambilan Sampel (%). ... 48
17. Karakteristik Substrat pada Tiap-Tiap Stasiun di Pulau Bone Batang ... 52
18. Kandungan Bahan Organik Dalam Sedimen. ... 54
19. Analisis Komponen Utama (PCA) Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Padang Lamun di Pulau Bone Batang... 55
20. Analisis Komponen Utama (PCA) Sebaran Stasiun Utama dan Stasiun Kontrol di Pulau Bone Batang. ... 56
21. Kesamaan Jenis Lamun di Pulau Bone Batang Berdasarkan Analisis Non-metric Multidimensional Scaling (nMDS) ... 69
22. Sebaran Spasial Spesies Lamun di Pulau Bone Batang Berdasarkan Hasil Analisis Korespondensi ... 71
23. Jumlah Total Spesies Makrozoobentos di Pulau Bone Batang ... 74
24. Jumlah Total Spesies Makrozoobentos yang Teridentifikasi dan Tidak Teridentifikasi di Pulau Bone Batang. ... 75
(20)
25. Persentase Kelompok Taksa Makrozoobentos yang Tidak Teridentifikasi Dari Seluruh Stasiun Penelitian di Pulau Bone Batang .. 76
26. Jumlah Total Jenis Makrozoobentos Berdasarkan Kelompok Taksa Dari seluruh stasiun penelitian di Pulau Bone Batang Penelitian ... 77 27. Persentase Jenis Makrozoobentos Berdasarkan Kelompok Taksa
Dari Seluruh Stasiun Penelitian di Pulau Bone Batang ... 79 28. Jumlah Spesies Makrozoobentos Dari Masing-Masing Stasiun
di Pulau Bone Batang ... 80 29. Kelimpahan Jenis Makrozoobentos Dari Masing-Masing Stasiun
Di Pulau Bone Batang ... 84 30. Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos Dari Masing-Masing
Stasiun Di Pulau Bone Batang ... 85 31. Keseragaman Jenis Makrozoobentos Dari Masing-Masing Stasiun
Di Pulau Bone Batang ... 86 32. Dominansi Makrozoobentos Dari Masing-Masing Stasiun Penelitian
Di Pulau Bone Batang ... 87 33. Kesamaan Jenis Makrozoobentos Di Pulau Bone Batang Berdasarkan
Analisis Kluster Hierarki yang Disampling Menggunakan Terpal Plastik (Plastic Foil) ... 88 34. Jenis-Jenis Makrozoobentos yang di Sampling Menggunakan Terpal
Plastik (Plastic Foil) di Daerah Lamun Pulau Bone Batang ... 89
35. Scatterplot Hasil Analisis Pearson Product Moment Antara Kerapatan
Lamun Dengan Kepadatan Makrozoobentos Di Pulau Bone Batang ... 90 36. Sebaran Spasial Makrozoobentos yang Disampling Dengan Terpal
Plastik (Plastic Foil) Di Pulau Bone Batang ... 91 37. Sebaran Spasial Stasiun yang Menjadi Lokasi Sampling
(21)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Matriks Waktu Penelitian... 106
2. Koordinat GPS Posisi Stasiun Penelitian ... 107
3. Alat dan Bahan ... 108
4. Klasifikasi Kelas Ukuran Butiran Sedimen menurut Skala Wenworth .... 110
5. Hasil Analisis Struktur Sedimen ... 111
6. Hasil Analisis Komponen Utama (PCA) ... 112
7. Daftar Spesies Makrozoobentos... 113
8. Rata-Rata Kepadatan Jenis Makrozoobentos ... 123
(22)
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangLamun adalah satu-satunya kelompok tumbuhan berbiji (Spermatophyta) yang telah beradaptasi sepenuhnya untuk hidup di laut (Fortes 1990; Waycott 2004). Lamun umumnya tersebar di daerah perairan dangkal zona intertidal yang dipengaruhi pasang surut hingga daerah subtidal dengan kedalaman 40 m (den Hartog 1970; Hemminga dan Duarte 2000; Waycott et al. 2004).
Vonk (2010) menyatakan bahwa tumbuhnya lamun di dalam kolom air, menarik berbagai jenis organisme laut untuk memijah, berlindung, mencari makan dan menetap. Interaksi timbal balik yang terjadi di dalam komunitas lamun ini, menyebabkan terbentuknya suatu ekosistem kompleks yang menjadikan padang lamun sebagai habitat penting bagi berbagai jenis biota laut.
Kelompok fauna yang ditemukan berasosiasi dengan lamun umumnya didominasi oleh sponges (Porifera), teripang, bulu babi, bulu hati, bintang laut, bintang mengular (Echinodermata), kerang, keong (Moluska), udang, kepiting (Arthropoda) dan ikan (De Wilde et al. 1989; Zieman 1989; Erftemeijer et al.
1993; Sarinita dan Priosambodo 2006; Vonk et al. 2008). Beberapa jenis kerang, teripang, udang dan ikan yang berasal dari padang lamun ini memiliki nilai ekonomi yang penting bagi masyarakat setempat (Tomascik et al. 1997).
Komunitas lamun memiliki fungsi ekologis yang penting di daerah pesisir. Struktur akar lamun yang rumit di dasar perairan, membantu menstabilkan substrat dan mengurangi kekeruhan. Tegakan daun lamun yang rapat berperan penting mengurangi energi gelombang, mengendapkan partikel organik dan nutrien serta menjadi tempat berlindung bagi berbagai jenis biota laut.
Faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, arus, pasang surut, karakteristik substrat/sedimen dan kedalaman kolom air memiliki pengaruh yang besar terhadap struktur komunitas dan pola penyebaran/distribusi lamun beserta hewan laut yang berasosiasi dengan tumbuhan laut tersebut (Hemminga & Duarte 2000). Lamun di Indonesia, umumnya tumbuh membentuk komunitas campuran (multispesifik), terdiri dari beberapa spesies lamun yang berbeda, dengan pola cenderung mengelompok (patchy) yang diselingi oleh substrat berpasir yang tidak ditumbuhi vegetasi lamun (Nienhuis et al. 1989; Tomascik et al. 1997).
(23)
Penelitian tentang struktur komunitas lamun beserta biota laut yang berasosiasi telah banyak dilakukan di Indonesia dan terus menunjukkan peningkatan dalam satu dekade terakhir ini (Tomascik 1997). Namun, penelitian biota asosiasi yang dilakukan di daerah lamun ini, umumnya hanya mencakup spesies-spesies yang hidup di atas permukaan substrat saja (epifauna). Adapun jenis-jenis biota asosiasi yang hidup di dalam substrat (infauna), belum banyak diteliti, sehingga informasi tentang struktur komunitas biota asosiasi infauna ini masih sedikit diketahui (Vonk 2008).
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian tentang struktur komunitas lamun beserta biota asosiasinya, baik yang mencakup spesies-spesies makrozoobentos yang hidup di permukaan substrat (epifauna) maupun spesies-spesies makrozoobentos yang hidup di dalam substrat (infauna).
1.2 Perumusan Masalah
Karakteristik habitat lamun terutama ditentukan oleh kondisi geomorfologi dan topografi dasar perairan di mana komunitas lamun tersebut tumbuh. Perbedaan kedalaman, arus, pasang surut dan faktor alam lainnya, menyebabkan timbulnya habitat lamun dengan karakteristik lingkungan yang khas. Beberapa contoh tipe habitat lamun tersebut adalah: habitat lamun dengan substrat berpasir, berbatu atau pecahan karang (rubble). Adanya variasi habitat, mendorong biota yang hidup beasosiasi dengan lamun untuk beradaptasi lebih jauh, sehingga terbentuk cara hidup yang unik di antara berbagai jenis biota asosiasi.
Berdasarkan cara hidupnya, Hemminga dan Duarte (2000), membagi organisme yang berasosiasi dengan lamun menjadi 3 kategori, yaitu:
1. Infauna: kelompok hewan yang hidup di dalam sedimen seperti berbagai jenis udang, kepiting, cacing laut, sipunculida, ikan Goby dan lain-lain. 2. Epifauna: kelompok hewan yang hidup di permukaan sedimen serta di
antara kanopi lamun seperti teripang, sponges, anemon dan lili laut. 3. Epibentik: kelompok hewan berukuran besar yang bergerak bebas di
antara berbagai jenis kanopi lamun seperti berbagai jenis ikan.
Kelompok makrozobentos infauna yang hidup meliang di dalam substrat umumnya terdiri dari: cacing laut (Polychaeta), kerang (Bivalvia), keong
(24)
(Gastropoda), udang dan kepiting (Malacostraca), bulu hati (Echinodermata) dan ikan gobi (Actinopterygii). Organisme epifauna yang umum ditemukan di daerah lamun meliputi jenis-jenis: kerang (Bivalvia), keong (Gastropoda), sponges (Porifera), bulu babi, bintang laut, bintang mengular (Echinodermata) dan anemon (Anthozoa). Jenis hewan epibentik yang umum ditemukan di daerah lamun diantaranya adalah kelompok ikan (Actinopterygii).
Penelitian bio-ekologi makrozoobentos di Indonesia (Hadijah 2000; Matsuura et al. 2000; Irawan 2003; Vonk 2008), umumnya hanya mencakup spesies-spesies permukaan (epifauna) yang populasinya diestimasi menggunakan transek atau plot. Sedangkan untuk populasi makrozoobentos yang hidup di dalam substrat, estimasi dilakukan menggunakan sediment core. Kedua metode ini diketahui memiliki keterbatasan dalam menjangkau organisme bentos yang hidup jauh di dalam substrat. Hal ini menyebabkan informasi ekologi yang diperoleh, masih memiliki kekurangan dan belum menggambarkan struktur komunitas makrozoobentos secara keseluruhan (Eleftheriou dan McIntyre 2005).
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian tentang struktur komunitas makrozoobentos di daerah padang lamun Pulau Bone Batang. Pada penelitian ini, terpal plastik (plastic foil) dipilih sebagai alat yang digunakan untuk mengambil contoh sampel makrozoobentos (Kneer, Priosambodo, Asmus 2010a). Terpal plastik memiliki kelebihan dibandingkan dengan sediment core,
dalam menyampling organisme infauna yang hidup membenamkan diri jauh di dalam sedimen. Luasan area sampling yang diteliti juga lebih luas, dibandingkan dengan metode lain. Dengan demikian, diharapkan bahwa kelompok organisme makrozoobentos yang memiliki populasi sedikit (kurang umum/uncommon) atau sulit diamati seperti udang-udangan, ikan Goby atau bulu hati (heart urchin) dapat tersampling dan terwakili dengan baik dalam analisis struktur komunitas.
Beberapa informasi ekologi yang ingin diketahui dalam penelitian ini, meliputi: 1. Struktur komunitas lamun di Pulau Bone Batang meliputi: komposisi
jenis, dominansi, pola sebaran, keanekaragaman jenis, keseragaman dan kesamaan jenis lamun dari tiap-tiap stasiun.
2. Struktur komunitas makrozoobentos, seperti: komposisi jenis, dominansi dan sebaran spasial makrozoobentos di daerah lamun Pulau Bone Batang.
(25)
3. Karakteristik habitat lamun dan makrozoobentos di Pulau Bone Batang mencakup: suhu, karakteristik substrat, kandungan bahan organik dalam substrat, paparan ombak dan gelombang laut (exposure), kedalaman dan ketebalan sedimen.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas makrozoobentos di daerah padang lamun Pulau Bone Batang, Sulawesi Selatan. Beberapa informasi ekologi seperti komposisi jenis, kepadatan, frekuensi, penutupan dan biomassa, dianalisis untuk memahami interaksi antara jenis lamun dan makrozoobentos dalam komunitas dengan lingkungan sekitarnya. Dari penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh informasi ekologi serta pemahaman yang lebih baik tentang struktur komunitas makrozoobentos di daerah lamun, khususnya yang berada di wilayah tropis seperti Indonesia.
(26)
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lamun2.1.1 Bio-ekologi Lamun
Lamun adalah tumbuhan berbunga yang telah beradaptasi sepenuhnya untuk hidup di laut (Fortes 1990). Vegetasi laut ini tumbuh di perairan dangkal zona intertidal hingga daerah subtidal dengan kedalaman 40 m (den Hartog 1970; Fortes 1990; Hemminga dan Duarte 2000; Romimohtarto dan Juwana 2001).
Sekitar 60 jenis lamun diketahui tersebar di seluruh dunia (Short dan Coles 2003). Jenis lamun tersebut dikelompokkan ke dalam enam suku dan 12 genera. Tujuh genera diantaranya tersebar di daerah tropis dan lima genera tersebar di daerah temperata (den Hartog dan Kuo 2006). Keseluruhan genera lamun tropis, dapat ditemukan di wilayah Indo-Pasifik Barat yang menjadikan wilayah ini memiliki keanekaragaman jenis lamun tertinggi di dunia.
Di wilayah tropis seperti Indonesia, jenis-jenis lamun umumnya tumbuh bersama, membentuk komunitas campuran (mixed meadows) yang terdiri dari 2 - 8 spesies (Nienhuis et al. 1989; Tomascik et al. 1997; Waycott et al. 2004; Vonk 2008). Sedangkan di daerah temperata, padang lamun seringkali hanya didominasi oleh satu spesies tunggal saja (monospesifik). Beberapa daerah seperti Bali dan Nusa Tenggara, memiliki komunitas lamun monospesifik yang hanya ditumbuhi oleh satu jenis lamun saja, yaitu: Thalassodendron ciliatum. Lamun ini tumbuh di daerah bersubstrat karang dengan aliran arus yang kuat (Tomascik et al 1997). Total keseluruhan jenis lamun yang ditemukan di Indonesia saat ini berjumlah 12 hingga 13 spesies (Fortes 1990; Verheij 1993; Kiswara 1996; Priosambodo 2007).
Komunitas lamun berkembang di perairan dangkal, membentuk suatu habitat yang menjadi tempat tinggal bagi berbagai jenis organisme laut. Menurut Hemminga dan Duarte (2000), struktur tiga dimensi yang dibentuk oleh kanopi, rhizoma dan akar lamun menjadi tempat berlindung dan melekat bagi berbagai jenis hewan dan tumbuhan laut. Daun dan kanopi lamun, kerap ditumbuhi alga epifit yang memproduksi bahan organik dan menjadi salah satu sumber energi dalam rantai makanan. Struktur tiga dimensi ini memiliki kemampuan untuk menstabilkan substrat, mengurangi energi gelombang, mengurangi kekeruhan,
(27)
serta menghalangi paparan cahaya matahari yang kuat, sehingga menciptakan lingkungan yang ideal bagi organisme laut untuk tumbuh dan berkembang.
Padang lamun merupakan salah satu komunitas terpenting yang mendukung kehidupan berbagai organisme di laut. Lamun menghasilkan makanan bagi penyu, ikan, bulu babi, dan mamalia laut seperti dugong (sapi laut), yang saat ini dikategorikan IUCN dalam daftar merah karena terancam punah. Padang lamun juga menjadi tempat mencari makan, kawin, bertelur, memijah dan membesarkan anak bagi banyak jenis ikan, udang dan kerang yang bernilai ekonomis tinggi. Selain itu secara fisik lamun juga mampu menstabilkan substrat (sedimen), menahan ombak dan menyerap bahan pencemar (Fortes 1990; Asmus et al. 2006).
Bersama dengan terumbu karang dan hutan mangrove, lamun membentuk habitat yang saling berhubungan dengan produktifitas yang sangat tinggi di laut. Degradasi dan kehilangan padang lamun ini akan menyebabkan kerusakan bagi ekosistem di laut secara keseluruhan, dan dari sisi ekonomi, dapat menimbulkan kerugian yang besar bagi manusia (Fortes 1990; Short dan Coles 2003).
2.1.2 Parameter Lingkungan Komunitas Lamun
Lamun membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai untuk tumbuh dan berkembang. Penyebaran lamun di perairan seluruh dunia juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Beberapa parameter lingkungan yang menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan lamun dan perkembangan lamun diantaranya adalah: a. Cahaya
Intensitas cahaya matahari merupakan faktor lingkungan yang sangat vital bagi lamun untuk berfotosintesis. Intensitas cahaya ini sangat dipengaruhi oleh kedalaman dan tingkat kekeruhan air. Menurut Duarte (1991) dalam Short dan Coles (2003), kebutuhan minimum intensitas cahaya yang dibutuhkan oleh lamun untuk tumbuh adalah sebesar 10-20 % dari intensitas cahaya di permukaan air. b. Kedalaman
Kedalaman perairan berhubungan erat dengan intensitas cahaya dan tekanan dalam kolom air. Intensitas cahaya matahari akan semakin menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Sedangkan tekanan dalam kolom air akan semakin meningkat. Sebagian besar jenis lamun hidup di daerah perairan dengan kedalaman kurang dari 10 m. Jenis lamun berukuran kecil seperti
(28)
Halophila, diketahui, dapat tumbuh di perairan yang sangat jernih seperti di Great Barrier Reef Australia hingga kedalaman 58 meter di bawah permukaan laut. Jenis lamun berukuran besar seperti Thalassia, Halodule, Enhalus dan Cymodocea
lebih menyukai daerah perairan yang dangkal (Short dan Coles 2003). c. Pasang Surut dan Paparan Ombak/Gelombang (Exposure)
Sebagian besar jenis lamun yang tumbuh di perairan dangkal, sangat dipengaruhi oleh pasang surut perairan. Saat surut terendah, daun lamun akan rebah, mengalami kekeringan dan terbakar oleh intensitas cahaya matahari yang tinggi. Sedangkan saat musim gelombang/ombak yang besar, kebanyakan daun lamun akan gugur, terlepas dari batang atau rhizomanya (Short dan Coles 2003). Di Kepulauan Spermonde, pasang tertinggi dan surut terendah setiap tahun terjadi pada bulan Agustus-Desember (Erftemeijer dan Herman 1994).
Pasang surut dan paparan ombak/gelombang sangat berpengaruh bagi komunitas lamun yang tumbuh di daerah perairan yang dangkal. Arus pasang surut yang kuat, dapat menarik sedimen atau pasir keluar menjauh dari pantai, sehingga akan menimbun daun lamun yang tumbuh di dasar perairan. Pulau kecil seperti Bone Batang, umumnya memiliki perbedaan pasang surut yang kecil. d. Salinitas
Besaran salinitas dipengaruhi oleh kandungan garam dalam air laut dan suplai air tawar, baik oleh air hujan maupun oleh masukan (input) dari sungai. Beberapa jenis lamun seperti Ruppia, memiliki kisaran toleransi yang besar terhadap salinitas. Sedangkan, jenis lamun lainnya cenderung memiliki kisaran salinitas yang sempit. Salinitas yang terlalu tinggi dapat menyebabkan gagalnya proses perkecambahan lamun, terganggunya konsentrasi cairan osmosis dalam sel, terhentinya proses reproduksi dan berkurangnya daya tahan terhadap penyakit. e. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan penyebaran lamun. Suhu yang terlalu tinggi dapat mengganggu terjadinya fotosintesis, terhambatnya proses pembungaan dan perkecambahan biji. Kenaikan suhu juga dapat memicu terjadinya kenaikan laju respirasi yang berakibat pada meningkatnya laju metabolisme dan terganggunya proses fisiologis
(29)
dalam sel (Hemminga dan Duarte 2000; Short dan Coles 2003; Waycott et al
2004).
2.1.3 Tipe Habitat Lamun
Karakteristik habitat lamun terutama ditentukan oleh kondisi geomorfologi dasar perairan, di mana komunitas lamun tersebut tumbuh. Berdasarkan faktor lingkungan yang mempengaruhinya, Waycott et al. (2004), membagi daerah tempat tumbuhnya lamun menjadi enam tipe habitat, yaitu: intertidal, subtidal, rataan terumbu, perairan dalam, pantai daratan utama dan daerah muara sungai/estuaria/mangrove.
Tipe habitat intertidal umumnya menempati daerah perairan dangkal di pantai yang landai dan berhadapan dengan laut terbuka (seaward). Habitat ini sangat dipengaruhi oleh dinamika pasang surut, perubahan suhu dan intensitas cahaya yang tinggi. Substrat didominasi oleh pasir atau pecahan karang. Daerah yang lebih dekat dengan tepi daratan umumnya lebih terlindung (sheltered). Sedangkan daerah intertidal yang berbatasan dengan rataan terumbu (reef flat), lebih terpapar (exposed) oleh gelombang pecah yang datang dari arah luar. Saat surut terendah, dasar perairan di daerah intertidal akan muncul ke permukaan dan mengalami kekeringan selama beberapa jam.
Tipe habitat subtidal terletak di daerah pantai yang sempit dan curam serta berhadapan dengan daratan utama (leeward). Habitat ini selalu tergenang sepanjang tahun dan tidak pernah kering, meskipun daerah pantai mengalami surut terendah. Kondisi lingkungan di daerah subtidal umumnya lebih stabil.
Tipe habitat rataan terumbu dicirikan oleh paparan energi gelombang yang tinggi, dominasi substrat keras dan pecahan karang, kurangnya endapan sedimen dan kurangnya kandungan bahan organik (nutrien) dalam sedimen. Beberapa jenis karang keras dari marga Porites dan Acropora sering ditemukan di antara tegakan lamun. Tipe habitat lamun ini umumnya terletak cukup jauh dari tepi pantai dan lebih dekat dengan lereng (slope) yang berbatasan dengan perairan dalam.
Tipe habitat perairan dalam didefenisikan sebagai dasar perairan yang ditumbuhi oleh lamun pada kedalaman lebih dari 15 meter di bawah permukaan laut. Kondisi perairan yang dalam menyebabkan berkurangnya penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom air. Hal ini menjadi faktor pembatas bagi lamun untuk
(30)
tumbuh dan berkembang. Jenis lamun yang tumbuh di habitat perairan dalam umumnya didominasi oleh jenis lamun berukuran kecil dari marga Halophila.
Tipe habitat pantai daratan utama umumnya didominasi oleh substrat berpasir atau pasir lumpur dengan topografi yang dangkal. Kondisi lingkungan di habitat ini banyak dipengaruhi oleh daratan didekatnya seperti input partikel organik yang tinggi, perubahan salinitas dan temperatur. Jenis lamun berukuran besar seperti Enhalus, Thalassia dan Cymodocea banyak ditemukan di habitat ini.
Tipe habitat muara sungai/estuaria ditandai oleh input air tawar, lumpur dan partikel organik dari daratan dalam jumlah yang sangat besar. Kondisi substrat di habitat ini sebagian besar didominasi oleh lumpur. Perubahan suhu dan salinitas tergolong tinggi sepanjang tahun. Kandungan oksigen dalam sedimen umumnya lebih rendah dibandingkan tipe habitat lainnya. Jenis lamun yang tumbuh di habitat ini didominasi oleh marga Cymodocea, Enhalus, Halodule dan
Thalassia.
2.2 Bio-ekologi Makrozoobentos
Organisme bentos (bentik) adalah seluruh organisme (hewan dan tumbuhan) yang hidup di dasar perairan meliputi: permukaan dasar dan di dalam substrat (Khouw 2009). Lind (1979) dalam Khouw (2009), mendefenisikan bentos sebagai semua organisme (melata, menetap, menempel, memendam maupun meliang) yang hidup di lumpur, pasir, kerikil, batu, maupun sampah organik yang berada di dasar perairan. Organisme bentos memiliki peran penting dalam studi ekologi dan seringkali digunakan sebagai indikator untuk menilai perubahan yang terjadi di lingkungan perairan (Hellawel 1986 dalam Khouw 2009).
Secara umum, organisme bentos dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: fitobentos (tumbuhan) dan zoobentos (hewan). Hutchinson (1976) dalam Khouw (2009), membagi organisme bentos menjadi 2 berdasarkan ukurannya, yaitu: mikrobentos dan makrobentos. Sedangkan berdasarkan pengelompokan terbaru, Gray dan Elliot (2009), membagi makrozoobentos menjadi beberapa kelompok (kategori) berdasarkan ukuran mata saringan yang digunakan untuk menyaring organisme tersebut, yaitu: mikrofauna (< 63 µm), meiofauna (63 - 500 µm), makrofauna (500µm - 5 cm) dan megafauna (>5 cm).
(31)
Gray dan Elliot (2009) juga membagi organisme bentos berdasarkan kategori taksanya, yaitu: mikrofauna (Ciliata, Rotifera dan Sarcodina), meiofauna (Nematoda, Oligocaheta, Gastrotricha), makrofauna (Polychaeta, Amphipoda, Bivalvia) dan megafauna (Echinodermata, Decapoda). Berdasarkan uraian di atas, makrozoobentos dapat didefenisikan sebagai seluruh hewan yang hidup di dasar perairan (permukaan dan di dalam substrat/sedimen) dan dapat tersaring pada mata saringan > 500 µm (Gray dan Elliot 2009).
Hemminga dan Duarte (2000), membagi kelompok organisme yang hidup di daerah lamun menjadi 3 kategori, yaitu: (1). Infauna: kelompok hewan yang hidup di dalam sedimen. (2). Epifauna: kelompok hewan yang hidup di permukaan sedimen serta di antara kanopi lamun dan (3). Epibentik: kelompok hewan berukuran besar yang dapat bergerak bebas di antara kanopi lamun seperti berbagai jenis ikan. Jenis hewan vertebrata primitif seperti Lancelet/Brachistoma
(Amphioxus) juga ditemukan hidup di permukaan sedimen di padang lamun. Makrozoobentos memiliki peran penting dalam ekosistem padang lamun. Fase larva dari makrozoobentos menjadi sumber makanan bagi sebagian besar organisme yang hidup di daerah lamun. Hewan bentos infauna membuat liang (bioturbasi) yang meningkatkan kadar oksigen di dalam sedimen/substrat. Selain itu, berbagai jenis Bivalvia yang menyaring makanan dari air laut, berperan penting dalam mengontrol populasi mikroorganisme seperti jenis-jenis protozoa dan dinoflagellata yang berpotensi meracuni perairan, jika terdapat dalam jumlah yang berlebihan (blooming). Bivalvia juga diketahui mampu mengakumulasi logam berat. Keong Triton, Charonia tritonis berperan penting dalam mengontrol populasi bintang laut berduri Acanthaster planci yang sering memangsa polip terumbu karang dan dapat menyebabkan kematian karang dalam area yang luas.
Beberapa jenis makrozoobentos memiliki nilai ekonomi yang penting. Teripang merupakan komoditas utama hasil laut yang dicari oleh nelayan untuk memenuhi pasar ekspor, terutama ke China, Taiwan, Jepang dan Hong Kong. Kima (Tridacnidae) banyak dikumpulkan oleh nelayan untuk dikonsumsi. Selain itu, kima Tridacna spp. juga diekspor sebagai biota hias akuarium. Cangkang kima dan jenis kerang lainnya, diolah menjadi bahan baku pembuatan teraso/ubin, asbak, vas bunga, kotak perhiasan serta pernak-pernik perhiasan rumah tangga.
(32)
Kerang hijau Perna viridis, banyak dikonsumsi masyarakat di kota-kota besar seperti Jakarta. Lola, Trochus niloticus banyak diincar kalangan industri sebagai bahan baku pembuatan kancing berkualitas tinggi. Sedangkan Keong Macan
Babylonia spirata, gemar dikonsumsi oleh masyarakat pesisir di Pelabuhan Ratu. 2.3 Kondisi Umum Lokasi Penelitian
2.3.1 Kepulauan Spermonde
Spermonde merupakan gugusan kepulauan yang terletak di Selat Makassar, sebelah barat Propinsi Sulawesi Selatan. Iklim dan dinamika oseanografi di Kepulauan Spermonde, sebagian besar dipengaruhi oleh angin muson (monsoon) dari arah barat daya yang kuat yang membawa uap air dalam jumlah besar dan menyebabkan terjadinya musim hujan pada bulan November-Maret (Moll 1983; Verheij 1993; Erftemeijer dan Herman 1994).
Gambar 1 Peta Kepulauan Spermonde (Sumber: Moll 1983).
Kepulauan Spermonde terbentuk dan muncul di atas dangkalan Spermonde (Spermonde shelf) yang terletak di Pesisir barat Propinsi Sulawesi Selatan (Selat Makassar). Kepulauan ini membentang dari utara ke selatan, sepanjang kurang
(33)
lebih 300 km dengan luas 16.000 km2. Sebanyak 120 pulau dengan kisaran luas antara 2 ha (Pulau Bone Batang) – 3.328,20 ha (Pulau Tanakeke) dapat ditemukan di daerah ini. Secara administratif, Kepulauan Spermonde termasuk terbagi dalam 5 wilayah Kabupaten dan kota, yaitu: Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Kabupaten Maros, Kabupaten Takalar dan Kota Makassar. De Klerk (1983) dalam Renema et al. (2001), membagi Kepulauan Spermonde menjadi empat zona ekologi yang membentang dari utara ke selatan berdasarkan karakteristik substrat dasar perairan, input sedimen, bahan organik serta input air tawar dari daratan utama (Moll 1983; Hoeksema dan Moka 1989; Verheij 1993). Zona pertama atau zona bagian dalam, merupakan zona terdekat dari pantai daratan utama Pulau Sulawesi dengan kedalaman laut rata-rata 10 m dan substrat dasar yang didominasi oleh pasir berlumpur. Zona kedua berjarak kurang lebih 5 km dari daratan Sulawesi, mempunyai kedalaman laut rata-rata 30 m dan banyak dijumpai Pulau Karang. Zona ketiga dimulai pada jarak 12,5 km dari pantai Sulawesi dengan kedalaman laut antara 20-50 m. Di bagian zona ini banyak dijumpai wilayah terumbu karang yang masih tenggelam (patch reef). Zona keempat atau zona terluar merupakan terumbu penghalang (barrier reef zone) dan berjarak 30 km hingga 70 km dari daratan utama Sulawesi. Di sisi timur pulau-pulau karang ini kedalaman lautnya berkisar antara 40-50 m, sedangkan pada sisi barat, kedalaman lautnya dapat mencapai lebih dari 100 m (Moll 1983).
Kepulauan Spermonde merupakan salah satu kawasan dengan keragaman ekosistem dan keanekaragaman jenis biota laut yang tinggi di Indonesia. Namun sebagian besar ekosistem tersebut dalam kondisi terancam, akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang melampaui daya dukung lingkungan serta menggunakan cara-cara yang merusak seperti bom, bius, eksploitasi karang/ikan hias yang berlebihan dan lain-lain (Tomascik et al. 1997).
Letak Kepulauan Spermonde yang strategis (dekat dengan kota Makassar) menyebabkan besarnya jumlah populasi penduduk yang mendiami gugusan pulau-pulau kecil ini. Hal tersebut menimbulkan tekanan yang tinggi terhadap kondisi ekologi dan daya dukung lingkungan terutama ekosistem bahari yang ada di sekitar pulau. Kondisi ini dapat dilihat dari hasil tangkapan nelayan terus menurun
(34)
akibat penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing) atau bersifat merusak seperti penggunaan bom dan racun sianida (Kneer 2006).
Dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sejak tahun 1980-an menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis biota laut di Kepulauan Spermonde tergolong cukup tinggi. Tidak kurang dari 224-262 jenis terumbu karang (Moll, 1983; Verheij 1993), 199 jenis makroalgae (Verheij 1993), 151 jenis sponges (de Voogd 2006), 2 spesies penyu dan 1 spesies mamalia laut (Dugong dugon) yang tergolong langka dapat ditemukan di wilayah ini.
Penemuan populasi lamun sendok Halophila spinulosa untuk pertama kalinya (Schauerte 2005; Priosambodo 2007) di Teluk Laikang Kabupaten Takalar dan penemuan spesies lamun baru Halophila sulawesii di perairan sekitar Pulau Samalona (Kuo 2007), menambah daftar jenis lamun di Kepulauan Spermonde menjadi 12 spesies. Hal ini mengindikasikan tingginya keragaman jenis lamun di Kepulauan Spermonde. Namun, informasi tentang jenis biota laut yang hidup berasosiasi dengan padang lamun seperti: Moluska, Echinodermata dan invertebrata lainnya hingga saat ini masih belum banyak diketahui.
2.3.2 Pulau Bone Batang
Pulau Bone Batang terletak di pantai barat Sulawesi Selatan, kurang lebih 12 km arah barat daya Kota Makassar. Sebagian besar pulau terbentuk dari hamparan pasir karbonat yang dikelilingi oleh karang tepi. Pulau Bone Batang merupakan pulau kosong yang tidak dihuni oleh penduduk, tanpa vegetasi dan nyaris tenggelam saat pasang tertinggi sehingga hampir tampak seperti gosong (“sand bank”). Nama Bone Batang berasal dari 2 kata dalam bahasa Makassar, yaitu: “bone” berarti pasir dan “battang” yang berarti perut. Secara harfiah, Bone Batang diartikan sebagai “tempat yang baik untuk beristirahat dan makan” (Massang dalam Kneer 2006) yang menunjukkan bahwa pulau ini telah lama menjadi tempat mencari hewan laut untuk kebutuhan konsumsi atau dijual sebagai ikan hias, kerajinan tangan dan ornamen hias akuarium (Kneer 2006).
Pulau Bone Batang memanjang dari arah utara-selatan dengan luas sekitar 1,80 ha. Rataan terumbunya diperkirakan memiliki luas sekitar 98,02 ha. Luas pulau ini mencakup daerah rataan terumbu dengan dimensi: 1,69 x 0,68 km dan luas pulau pasir dengan dimensi: 0,60 x 0,03 km. Sebagian besar rataan terumbu
(35)
yang dangkal berada di sisi barat dan selatan. Sedangkan rataan terumbu di sisi timur tergolong sempit dengan topografi yang curam dan dalam.
Padang lamun yang luas dapat ditemukan di sisi barat dan selatan Bone Batang yang didominasi oleh substrat berpasir. Sedangkan komunitas lamun di sisi utara yang didominasi substrat pecahan karang, memiliki kepadatan yang rendah (Kneer 2006). Komunitas lamun di Pulau Bone Batang tergolong komunitas campuran yang terdiri dari spesies pionir: Cymodocea rotundata, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium dan species klimaks: Thalassia hemprichii yang diselingi oleh Enhalus acoroides. Kedua spesies klimaks tersebut tumbuh mengelompok dengan kepadatan rendah dan menyebar secara acak (Kneer 2006; Vonk 2008; Wiethüchter 2009; Vonk 2010). Jenis lamun Enhalus acoroides, banyak ditemukan di bagian tepi terluar padang lamun yang curam dan dalam terutama di sisi timur dan selatan. Hal ini diduga terkait dengan kondisi substrat dan ketersediaan air yang tetap menggenangi daerah di sekitar Enhalus tersebut saat surut terendah (Kneer 2006).
Komunitas makrozoobentos di Pulau Bone Batang tergolong unik jika dibandingkan dengan Pulau Barrang Lompo (pulau tetangga yang terdekat dari Bone Batang) dan perairan Puntondo di Teluk Laikang yang menjadi bagian dari daratan utama Pulau Sulawesi (Kneer 2006). Komunitas makrozoobentos di Pulau Bone Batang juga berbeda dengan komunitas makrozoobentos di Kepulauan Spermonde pada umumnya. Bintang laut Protoreaster nodusus, bulu babi
Diadema setosum dan beberapa jenis teripang seperti Holothuria atra dan Synapta maculata merupakan jenis makrozoobentos yang umum ditemukan di padang lamun Kepulauan Spermonde (Priosambodo et al. 2006; Litaay et al. 2006).
Di padang lamun Puntondo Teluk Laikang, teripang dari familia Synaptidae merupakan jenis makrozoobentos yang dominan. Sedangkan di padang lamun Pulau Barrang Lompo, jenis makrozoobentos didominasi oleh jenis kerang Modiolus micropterus (Priosambodo et al. 2006), bintang laut
Protoreaster nodosus, bulu babi Diadema setosum, jenis udang Alpheus macellarius, Coralianassa coutierei dan Glypturus armatus (Kneer 2006). Makrozoobentos utama di daerah padang lamun Pulau Bone Batang adalah: bulu babi Tripneustes gratilla (Vonk, Pijnappels dan Stapel 2008), bivalvia Pinna
(36)
muricata, Pinna bicolor (Wiethüchter 2009), udang Alpheus macellarius, Neaxius acanthus dan Coralianassa coutierei (Kneer 2006; Kneer et al. 2010b; 2010c; 2010d).
Pulau Bone Batang hampir setiap hari dikunjungi oleh nelayan untuk berbagai aktifitas. Umumnya melakukan kegiatan penangkapan ikan, moluska serta jenis invertebrata lainnya untuk konsumsi rumah tangga atau untuk dijual sebagai hewan hias akuarium (ornamental fish). Pasir pulau juga diambil sebagai bahan bangunan. Sebagian besar nelayan, berasal dari pulau Barranglompo yang berpenduduk padat (Kneer 2006). Penangkapan ikan dengan bom dan zat bius ditemukan beberapa kali selama penelitian berlangsung.
Bone Batang tergolong pulau yang dinamis dan mudah berubah bentuk, terutama di sisi timur, utara dan selatan. Penumpukan sedimen pasir halus banyak terjadi di sisi selatan pulau. Arus di sisi selatan tergolong cukup kuat untuk memindahkan pasir, terutama saat angin muson utara-selatan bertiup kencang. Pergerakan pasir ini cukup berpengaruh terhadap luasan padang lamun yang ada di sekeliling pulau (Stapel et al 1996;Kneer 2006).
Berdasarkan klasifikasi ukuran diameter butiran sedimen dengan skala Wenworth, Wiethüchter (2009) menyatakan bahwa karakteristik sedimen di sisi timur Pulau Bone Batang didominasi oleh kerikil (gravel: >2 mm) sebesar 78%, pasir (sand: 0,00625 mm-2 mm) sebesar 22 % dan lumpur/lanau/lempung ( silt-clay: <60 µm) sebesar 2-3% dari total berat sedimen. Pada sisi tenggara, butiran sedimen yang ditemukan cenderung lebih halus dengan komposisi: kerikil sebesar 38%, pasir 38% dan lumpur/lanau/lempung sekitar 2-3% dari total berat sedimen.
Kondisi surut terendah di Pulau Bone Batang terjadi sekitar bulan September hingga bulan November setiap tahun (Stapel 1997; Kneer 2006). Hal ini menyebabkan sebagian besar lamun yang berada di perairan dangkal mengalami kematian massal akibat terpapar cahaya matahari dengan intensitas yang tinggi saat tengah hari. Dalam kondisi terik, hewan bentik seperti bintang laut, akan bermigrasi menuju kolam-kolam kecil yang masih terisi air. Sebagian hewan bentik akan bernaung di bawah batu-batu karang. Jenis bulu babi tertentu seperti Tripneustes gratilla, akan menutupi tubuhnya dengan serasah dan daun lamun (Kneer 2006; Vonk 2008; Vonk et al. 2008b).
(37)
Dari studi yang dilakukan di daerah lamun Pulau Bone Batang, Samawi (2001), melaporkan hasil pengukuran beberapa parameter lingkungan (Tabel 1). Dari hasil pengukuran tersebut, disimpulkan tidak ada perbedaan faktor lingkungan yang terlalu besar, dari masing-masing stasiun (utara, barat, selatan dan timur) di sekitar Pulau Bone Batang.
Tabel 1 Parameter Lingkungan Pulau Bone Batang (Samawi 2001)
No Parameter
Lingkungan
Stasiun
Utara Barat Selatan Timur
1 Suhu (⁰C) 29,0 - 31,5 29,5 - 31,2 29,0 - 30,8 29,0 - 31,2
2 Salinitas (o/oo) 30,3 - 31,2 30,0 – 31,0 30,7 - 31,7 30,7 – 31,0
3 pH 8,1 - 8,2 8,0 - 8,1 8,1 - 8,2 7,9 - 8,2
4 Kecepatan Arus
(m/det) 0,005 - 0,007 0,017 - 0,025 0,050 - 0,054 0,021 - 0,028
5 Ammonium
(ppm) 0,0010 - 0,0012 0,0008 - 0,0013 0,0008 0,0010 - 0,0013
6 Nitrat (ppm) 0,46 - 0,47 0,43 - 0,58 0,51- 0,85 0,53 - 0,60
7 Fosfat (ppm) 0,046 - 0,053 0,045 - 0,050 0,052 - 0,054 0,046 - 0,050
(38)
3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat3.1.1 Waktu Penelitian
Penelitian struktur komunitas makrozoobentos ini dilakukan selama 2 tahun (2009-2011) dengan uraian tahapan kegiatan dapat dilihat pada Lampiran 1. 3.1.2 Tempat Penelitian
Penelitian ini berlangsung di Pulau Bone Batang, Kecamatan Ujung Tanah Kotamadya Makassar, Sulawesi Selatan. Pulau Bone Batang terletak di pantai barat Sulawesi Selatan kurang lebih 12 km arah barat daya kota Makassar. Sebagian besar pulau terbentuk dari hamparan pasir karbonat yang dikelilingi oleh karang tepi (Kneer 2006; Vonk 2008). Pulau Bone Batang merupakan pulau kosong yang tidak dihuni oleh penduduk, tanpa vegetasi dan nyaris tenggelam saat pasang tertinggi sehingga hampir tampak seperti gosong (“sand bank”). Bone Batang memanjang dari arah utara-selatan dengan luas sekitar 1,80 ha. Area rataan terumbu diperkirakan mencapai luas sekitar 98,02 ha.
Sebagian besar rataan terumbu yang dangkal di Pulau Bone Batang, terdapat di sisi barat dan selatan. Sebaliknya, rataan terumbu di sisi timur tergolong sempit dengan topografi yang curam dan dalam. Sedimen pasir dalam volume yang besar menumpuk di sisi utara dan selatan. Pergerakan sedimen ini sangat dinamis mengikuti pola arus dan gelombang sehingga sangat berpengaruh terhadap habitat lamun di sekitarnya. Akibat penambangan pasir secara ilegal yang dilakukan oleh nelayan dari pulau-pulau di sekitarnya, luasan Pulau Bone Batang terus menyusut. Pengamatan terakhir yang dilakukan pada bulan Agustus 2010 menunjukkan, bahwa pulau ini telah tenggelam saat pasang tertinggi.
Bone Batang termasuk salah satu pulau pasir kecil tanpa vegetasi, dengan rataan terumbu dan hamparan padang lamun yang luas. Berdasarkan zona ekologi yang ditetapkan oleh Hutchinson (1945) dalam Moll (1993), Bone Batang terletak di zona ketiga atau zona tengah bagian luar dari Kepulauan Spermonde. Pengaruh daratan utama (Sulawesi) terhadap kondisi perairan di Pulau Bone Batang relatif kecil, yang ditandai dengan rendahnya kandungan bahan organik dan partikel sedimen halus (lempung/lanau) di perairan sekitar pulau tersebut (Samawi 2001).
(39)
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian (Sumber: Moll 1983).
Pulau-pulau kecil di Kepulauan Spermonde (termasuk Bone Batang) memiliki bentuk yang khas. Rataan terumbu yang dangkal dan luas umumnya dapat ditemukan di sisi barat dan selatan. Sebaliknya, rataan terumbu di sisi timur, tergolong curam dan dalam. Pulau-pulau ini terbentuk dari hasil endapan material kalsium karbonat. Iklim tergolong tropis yang mendapat pengaruh dari angin Muson. Pada bulan Mei-Oktober, angin yang banyak membawa hujan bergerak dari arah barat daya. Sedangkan bulan November-April, angin yang menimbulkan gelombang besar bergerak dari arah tenggara (Erftemeijer dan Herman 1994). 3.1.3 Pembagian Stasiun Penelitian
Pada penelitian ini, daerah sampling dibagi menjadi 16 stasiun berdasarkan tipe habitat lamun yang terdapat di Pulau Bone Batang (Gambar 3). Waycott et al.
(2004), membagi habitat lamun di daerah Indo-Pasifik Barat (termasuk Indonesia) menjadi 6 tipe habitat, berdasarkan faktor lingkungan yang mempengaruhinya, yaitu: daerah intertidal, subtidal, rataan terumbu karang, perairan dalam, muara sungai dan pantai daratan utama. Tiga tipe habitat lamun pertama, yaitu: intertidal, subtidal dan rataan terumbu karang dapat ditemukan di Pulau Bone Batang.
(40)
Sedangkan tipe habitat lamun di perairan dalam (dengan kedalaman lebih dari 15 m), belum dapat dipastikan keberadaannya.
Gambar 3 Pembagianstasiun penelitian di Pulau Bone Batang.
Penempatan lokasi stasiun dilakukan secara selektif berdasarkan hasil observasi awal. Observasi awal secara umum dilakukan melalui pengamatan visual dengan mengelilingi pulau menggunakan speedboat pada kecepatan rendah. Kegiatan observasi yang lebih detail, dilakukan dengan cara snorkelling di daerah lamun dan rataan terumbu di sekitar pulau. Hasil observasi awal menunjukkan adanya beberapa tipe habitat lamun di Pulau Bone Batang.
Lamun di Pulau Bone Batang umumnya tumbuh mengelompok (patchy), didominasi oleh komunitas campuran yang terdiri dari beberapa spesies. Vegetasi lamun yang tumbuh, tidak membentuk suatu hamparan yang utuh, karena banyak diselingi oleh daerah kosong (bare area) yang tidak ditumbuhi lamun. Daerah ini umumnya berbentuk seperti lubang-lubang besar yang didominasi substrat kerikil atau pasir kasar. Lubang ini sedikit lebih dalam dibandingkan dengan daerah di sekelilingnya yang ditumbuhi oleh lamun dan dikenal dengan sebutan “blow-out.” (Kneer 2006). Jenis lamun didominasi oleh Cymodocea, Halodule dan Thalassia.
(41)
Gambar 4 Stasiun utama (lamun) dan kontrol (tanpa lamun)
Berdasarkan hasil observasi awal, ditetapkan 16 lokasi atau titik sebagai stasiun. Delapan stasiun pertama (stasiun 1-8) diputuskan menjadi stasiun utama yang ditempatkan pada tipe habitat yang ditumbuhi lamun. Selanjutnya, delapan stasiun berikutnya (stasiun 9-16) difungsikan sebagai stasiun kontrol yang ditempatkan di daerah kosong (bare area) yang tidak ditumbuhi lamun, di sekitar stasiun utama. Karakteristik dari masing-masing stasiun diuraikan sebagai berikut: Stasiun 1 ditempatkan di habitat lamun yang tumbuh di sekitar komunitas terumbu karang (reef). Substrat di sisi barat Pulau Bone Batang ini sebagian besar didominasi oleh karang keras. Ketebalan substrat berpasir umumnya jarang melebihi 1 meter. Stasiun 9 (kontrol) ditempatkan di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 1 (Gambar 3).
Stasiun 2 terletak di habitat lamun daerah intertidal di sisi barat pulau. Posisi stasiun ini berada tidak jauh dari tepi pantai (Gambar 3). Sebuah cekungan kecil memanjang yang menyerupai kolam (tide pool) ditemukan di stasiun ini. Titik ini didominasi oleh substrat berpasir dengan ketebalan sedimen lebih dari 1 meter. Saat surut terendah, sebagian besar substrat dan komunitas lamun akan muncul ke
(42)
permukaan selama beberapa jam. Stasiun 10 (kontrol) berada di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 2.
Stasiun 3 berposisi di sisi timur pulau Bone Batang. Habitat lamun di daerah ini tergolong tipe habitat intertidal yang akan terekspose saat surut rendah. Stasiun ini tergolong labil karena pergerakan sedimen yang aktif sepanjang tahun. Sebagian komunitas lamun yang ada tidak akan bertahan lama, karena tertimbun oleh material pasir yang bergerak akibat terbawa arus dan gelombang. Stasiun 11 (kontrol) berada di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 3.
Stasiun 4 dicirikan oleh topografinya yang sangat curam. Habitat lamun termasuk tipe subtidal yang selalu berada di dalam kolom air sepanjang tahun. Daerah ini tidak pernah terekspose ke permukaan, meskipun terjadi surut terendah sekalipun. Ciri yang sangat khas dari stasiun ini adalah banyaknya kerang kapak
Pinna bicolor berukuran besar yang tumbuh di dasar substrat. Stasiun 12 (kontrol) berada di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 4 (Gambar 3).
Stasiun 5 berada di ujung utara Pulau Bone Batang. Daerah ini dicirikan oleh pasang surut yang tinggi dengan arus gelombang yang kuat. Habitat lamun tergolong tipe intertidal yang akan terekspose ke permukaan saat surut terendah. Substrat didominasi oleh pasir dengan proporsi kerikil dan pecahan karang (rubble) yang cukup besar. Spesies lamun didominasi oleh Halodule uninervis
dengan kerapatan yang tinggi. Stasiun 13 (kontrol) berada di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 5 (Gambar 3).
Stasiun 6 terletak di ujung selatan Pulau Bone Batang. Area ini sangat landai dan dangkal dengan hamparan substrat berpasir yang luas. Tipe habitat lamun termasuk tipe intertidal yang akan terekspose saat surut terendah. Stasiun 14 (kontrol) berada di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 6.
Stasiun 7 berada di sisi barat Pulau Bone Batang. Daerah di sekitar stasiun ini didominasi oleh suatu gundukan atau akumulasi pasir dengan volume yang sangat besar. Kumpulan pasir ini sifatnya labil dan dinamis, berubah-ubah bentuk mengikuti arus dan gelombang musiman yang juga berubah sepanjang tahun. Posisi stasiun, berada di daerah lamun yang landai, dengan habitat lamun tergolong tipe intertidal. Stasiun 15 (kontrol) terletak di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 7 (Gambar 3).
(43)
Stasiun 8 berada di sisi tenggara Pulau Bone Batang. Topografi daerah ini termasuk curam dan dalam. Tipe habitat lamun tergolong subtidal yang akan selalu berada di bawah permukaan air sepanjang tahun. Substrat stasiun ini didominasi oleh pasir dengan ukuran butiran yang lebih halus dibandingkan dengan stasiun lainnya. Ciri khas dari stasiun ini adalah dominannya tegakan lamun dari jenis Enhalus acoroides. Stasiun 16 (kontrol) terletak di daerah kosong tanpa lamun tidak jauh dari stasiun 8 (Gambar 3).
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dilihat pada daftar alat dan bahan yang tertera pada Lampiran 3.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, merupakan bahan habis untuk mengawetkan sampel dan membuat bola gypsum, untuk mengestimasi kekuatan paparan ombak/gelombang (exposure). Bahan yang digunakan, dapat dilihat pada daftar alat dan bahan sebagaimana tertera pada Lampiran 3.
3.3 Metode Pengambilan Data (Sampling) 3.3.1 Struktur Komunitas Lamun
a. Kepadatan dan Biomassa lamun
Pengambilan data kepadatan dan biomassa lamun, dilakukan menggunakan
sediment corer dengan diameter 15,7 cm dan tinggi 25 cm (Gambar 5). Sampel lamun beserta sedimen yang diambil dari lapangan, kemudian dipindahkan dari kantong plastik ke sebuah baki plastik. Sebanyak 2 sendok makan sampel sedimen, diambil dari tengah-tengah sedimen yang ada di atas baki, untuk keperluan analisis struktur sedimen lebih lanjut. Setelah itu, sampel lamun dan makrozoobentos, kemudian disortir menggunakan saringan dengan ukuran mata saring 1 mm, di dalam ember berisi air laut. Sampel makrozoobentos dan lamun yang ditemukan, disimpan dalam botol sampel terpisah. Sisa sedimen yang masih terdapat di atas saringan, diletakkan di atas baki plastik dan disortir kembali untuk mencari lamun dan makrozoobentos yang masih tersisa.
(44)
Gambar 5 Sampling lamun dengan sediment corer. (Foto: Dominik Kneer). Lamun yang telah dicuci bersih kemudian dipisah-pisahkan berdasarkan jenisnya dan dihitung jumlah tegakannya. Selanjutnya, lamun dipotong menjadi 3 bagian untuk memisahkan akar, rhizome dan daunnya. Berat basah sebagai berat awal ditimbang menggunakan neraca digital. Bagian lamun tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 70⁰ C selama 72 jam atau hingga beratnya konstan. Berat kering lamun kemudian ditimbang kembali (Gambar 6).
(45)
b. Persentase Penutupan Lamun
Pengambilan data persentase penutupan lamun dilakukan dengan frame/plot PVC berukuran 50 cm x 50 cm (Gambar 7). Estimasi persentase penutupan lamun dilakukan berdasarkan standar yang ditetapkan oleh Seagrass Watch (2002). Untuk mengurangi bias, pengambilan data persentase penutupan lamun dilakukan saat kondisi perairan berada dalam keadaan surut rendah. Estimasi penutupan lamun saat kondisi pasang tinggi, relatif lebih sulit dilakukan, karena posisi daun lamun yang berdiri tegak. Selain itu, posisi pengamat menjadi lebih sulit karena harus berada pada jarak yang cukup jauh dari frame yang diamati.
Gambar 7 Estimasi penutupan lamun. 3.3.2 Struktur Komunitas Makrozoobentos
Berdasarkan tempat hidupnya, fauna padang lamun secara umum dapat dibagi menjadi 2: fauna yang hidup di permukaan dasar substrat, di antara daun dan tegakan lamun (epifauna) dan fauna yang hidup meliang atau mengubur diri di dalam substrat (infauna). Namun, beberapa spesies makrozoobentos seperti: ikan Goby, udang mantis (Stomatopoda), udang hantu (Alpheid) dan berbagai jenis kepiting hidup di dalam substrat dengan menggali liang dan seringkali muncul ke permukaan substrat untuk mencari makan (Raz-Guzman dan Grizzle dalam Short dan Coles 2003).
Penggunaan metode sensus visual seringkali tidak dapat mengamati fauna seperti ikan Goby dan udang Mantis yang akan masuk dengan cepat ke dalam liang saat merasa terancam. Pengambilan sampel infauna dengan menggunakan
(46)
bergerak (mobile) pada umumnya hidup di liang/lubang yang dalam (1.5 - 2 m) sehingga penggunaan alat tersebut tidak dapat menjangkau organisme yang ingin dikoleksi. Jenis infauna berukuran besar dan berkulit rapuh seperti bulu hati (heart urchin) juga sulit dikoleksi menggunakan sediment corer.
Penggunaan sediment corer (diameter 16 cm dan tinggi 20 cm) pada penelitian yang dilakukan oleh Vonk et al. (2010) terhadap komunitas makrozoobentos di Pulau Bone Batang memiliki keterbatasan. Alat tersebut hanya dapat menjangkau spesies infauna dengan kedalaman hingga 0,25 m, sehingga tidak dapat digunakan untuk mengambil sampel infauna yang umumnya hidup di dalam substrat pada kedalaman 0,5 m – 1,5 m. Jenis udang berukuran besar seperti Glypturus armatus, memiliki liang dengan kedalaman hingga 2 m (Kneer
pers. comm). Demikian pula penggunaan transek permanen pada penelitian tersebut (15 m x 1 m) tidak dapat mencakup sebagian spesies makrozoobentos epifauna yang cukup umum ditemukan dan sering berpindah tempat (mobile).
Meskipun metode yang digunakan Vonk et al. (2010) memiliki keterbatasan spasial dalam menjangkau spesies makro-invertebrata epifauna dan infauna, namun metode tersebut sudah tepat untuk membandingkan kelimpahan makrozoobentos berdasarkan musim dan perbedaan kondisi padang lamun yang ada di Pulau Bone Batang.
Dari uraian di atas, diperlukan suatu alternatif sampling yang lebih mudah dan efektif untuk mendapatkan organisme infauna yang hidup di liang yang lebih dalam. Oleh karena itu, pada penelitian ini kami mengembangkan satu metode sampling hewan infauna dengan menggunakan terpal plastik (plastic foil).
Penggunaan terpal plastik (plastic foil) sebenarnya bukanlah metode yang baru, karena pernah diterapkan untuk mempelajari populasi cacing laut Arenicola marina L. (lug worm) di daerah intertidal berlumpur Pulau Sylt, Jerman (Asmus dan Kneer pers. comm.). Namun, dari studi literatur yang telah dilakukan (Short dan Coles 2003; Global Seagrass Research Method), pengambilan sampel organisme infauna dengan metode ini belum pernah dilakukan di padang lamun, sehingga pada penelitian ini kami mencoba untuk menggunakan terpal plastik tersebut untuk pertama kalinya sebagai metode alternatif untuk melakukan sampling terhadap organisme infauna di padang lamun Pulau Bone Batang.
(47)
Pengambilan sampel dengan terpal plastik, pada dasarnya dilakukan dengan tujuan untuk memaksa organisme infauna keluar dari liangnya. Proses ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan efek anoksik, dengan jalan memblok suplai udara menggunakan terpal plastik, agar oksigen tidak masuk ke dalam liang. Kurangnya suplai oksigen (hipoksia) akan memaksa makrozoobentos yang ada di dalam liang untuk keluar ke permukaan.
Gambar 8 Skema Terpal plastik ukuran 4 x 3 m yang digunakan dalam penelitian. Gambar bawah: A. Liang keluar hewan bentos. B. Liang masuk hewan bentos. C. Liang tunggal hewan bentos. D. Liang keluar bentos yang berada di bawah terpal. E. Liang masuk hewan bentos yang berada di luar terpal.
(1)
Lanjutan dari halaman sebelumnya…..
NO TAXONOMIC GROUP FAMILIA DESCRIPTION
27 Mantis sp. 1 or noted as Striped mantis
suspected as (Alacosquilla sp. ?)
Nannosquillidae Small burrowing mantis, abundant in seagrass meadow, color pale yellow or white
with clear black striped or clear band motif (right). Appearance is similar to mantis from Nannosquillidae family i.e: Alacosquilla vicina (below) but different in color pattern. According to Ahyong (2001).
28 Spiral line bivalve Same with Bivalve no. 5.
29 Nudibranch 1 Nudibranch
30 Nudibranch 2 White Nudibranch
31 Nudibranch 3 Green Nudibranch
32 Nudibranch 4 Transparent Nudibranch (small)
33 Ophiuroid 1 Ophiuroidea Ophiuroid grey
34 Ophiuroid 2 Ophiuroidea Ophiuroid (striped)
35 Ophiuroid 3 Ophiuroidea Ophiuroid (black disc)
36 Holothuroid 1 Holothuroidea White with brown dots holothurians
37 Holothuroid 2 Holothuroidea Sticky holothurians
38 Holothuroid 3 Holothuroidea Black striped
39 Holothuroid 4 Holothuroidea Greyish black Holothurian
40 Branchiostoma sp. Branchiostomidae Populer as Amphioxus
41 Muraenichthys gymnotus Muraenidae Green yellowish Snake eel
(2)
Lanjutan dari halaman sebelumnya…..
NO TAXONOMIC GROUP FAMILIA DESCRIPTION
43 Balanus sp. Balanidae Barnacle
44 Mantis sp. 1 Mantis striped
45 Mantis sp. 2 Mantis small yellow
46 Mantis sp. 3 Mantis white
47 Axiopsis sp. Axiidae differ in from Axiopsis serratifrons by its color (yellow) and shape
48 Callasinid-bumphead Calianassidae Callasinid-bumphead
49 Callasinid sp. 1 Calianassidae Callasinid-smooth white claw
50 Callasinid sp. 2 Calianassidae Callasinid-rough white claw
51 Callasinid sp. 3 Calianassidae Callasinid-unknown
52 Calliaxina sp. Calianassidae Calcified dorsal
53 Eucalliax sp. Calianassidae Smooth near telson, shape similar to Eucalliax
54 Crab sp. 1 Majidae Crab sp. 1 = spider crab
55 Crab sp. 2 = Leucosia craniolaris Leucosiidae Crab sp. 2 = Leucosia craniolaris (Pebble crab)
56 Crab sp. 3 = Trapezia sp. 1. Trapeziidae Crab sp. 3 = Trapezia sp. 1. “brown”
57 Crab sp. 4 Crab sp. 4 = brown cheliped orange dots
58 Crab sp. 5 Crab sp. 5 = orange pattern near eyes
59 Crab sp. 6 Crab sp. 6 = orange triangular motif on dorsal white cheliped
60 Crab sp. 7 Crab sp. 7 = like spider crab orange
61 Crab sp. 8 Trapeziidae Crab sp. 8 = white small trapezium
62 Crab sp. 9 Crab sp. 9 = orange both eyes near in distance
63 Crab sp. 10 Crab sp. 10 = orange
64 Crab sp. 11 Crab sp. 11 = white with purple on dorsal
65 Crab sp. 12 Crab sp. 12 = orange crab spine cheliped
66 Crab sp. 13 Crab sp. 13 = hermit Crab small
67 Crab sp. 14 = Majidae Crab sp. 14 = orange spider crab
68 Crab sp. 15 = Calappa sp. Calappidae Crab sp. 15 = Calappa sp.
(3)
NO TAXONOMIC GROUP FAMILIA DESCRIPTION
70 Crab sp. 17 Crab sp. 17 = hairy crab
71 Crab sp. 18 Paguridae Crab sp. 18 = hermit crab (big)
72 Crab sp. 19 Crab sp. 19 = brown claw-serrate body
73 Crab sp. 20 = Symethis sp. ? Raninidae Crab sp. 20 = Cheliped curved
74 Crab sp. 21 Crab sp. 21 = striped crab
75 Crab sp. 22 Crab sp. 22 = unidentified crab
76 Crab sp. 23 Crab sp. 23 = brown claw
77 Crab sp. 24 Crab sp. 24 = long eye stalk crab
78 Crab sp. 25 Crab sp. 25 = crab with triangle dots
79 Crab sp. 26 Crab sp. 26 = brown ocher with T font
80 Crab sp. 27 Crab sp. 27 = black crab
81 Crab sp. 28 Crab sp. 28 = grey hairy leg crab
82 Crab sp. 29 Crab sp. 29 = spider crab serrate on its marginal body
83 Crab sp. 30 Crab sp. 30 = striped crab
84 Crab sp. 31 Crab sp. 31 = grey cheliped
85 Crab sp. 32 = Calappa sp. Calappidae Crab sp. 32 = red hairy calappa
86 Crab sp. 33 Crab sp. 33 = grey color brown cheliped
87 Crab sp. 34 Crab sp. 34 = black body grey cheliped
88 Crab sp. 35 Crab sp. 35 = brown spider crab
89 Crab sp. 36 Crab sp. 36 = pink
90 Crab sp. 37 Crab sp. 37 = tiny crab, brown
91 Crab sp. 38 Crab sp. 38 = black cheliped
92 Crab sp. 39 Crab sp. 39 = tiny crab, white
93 Crab sp. 40 = Calappa hepatica Calappidae Crab sp. 40 = Calappa hepatica
94 Crab sp. 41 = Calappa sp. Calappidae Crab sp. 41 = Calappa sp. (pink beige)
95 Crab sp. 42 Crab sp. 42 = lost remarks
(4)
Lanjutan dari halaman sebelumnya…
NO TAXONOMIC GROUP FAMILIA DESCRIPTION
97 Crab sp. 44 Crab sp. 44 = lost remarks
98 Crab sp. 45 Crab sp. 45 = lost remarks
99 Polychaeta sp. 1 = Eupholoe philippinensis Sigalionidae Polychaeta sp. 1 = dorsal covered with sand
100 Polychaeta sp. 2 Polychaeta sp. 2 = red, similar to earthworm, sedentary
101 Polychaeta sp. 3 Polychaeta sp. 3 = silver earthworm, sedentary
102 Polychaeta sp. 4 Polychaeta sp. 4 = like sipunculid, piyama motif
102 Polychaeta sp. 5 Polychaeta sp. 5 = like sagoworm, greyish white
105 Polychaeta sp. 6 = Hermodice carunculata Amphinomidae Polychaeta sp. 6 = Hermodice carunculata, have many parapodia like brushes, freely
106 Polychaeta sp. 7 Polychaeta sp. 7 = freely, like nereis
107 Polychaeta sp. 8 Polychaeta sp. 8 = small black, like nereis, freely
108 Polychaeta sp. 9 Polychaeta sp. 9 = “big colon”
109 Polychaeta sp. 10 Polychaeta sp. 10 = like hose
110 Polychaeta sp. 11 Polychaeta sp. 11 = like normally eartworm, sedentary
111 Polychaeta sp. 12 Polychaeta sp. 12 = black big colon
112 Polychaeta sp. 13 Polychaeta sp. 13 = small, freely
113 Polychaeta sp. 14 Polychaeta sp. 14 = small, freely
114 Polychaeta sp. 15 Polychaeta sp. 15 = nereis medium
115 Polychaeta sp. 16 Polychaeta sp. 16 = small like nereis
116 Polychaeta sp. 17 Polychaeta sp. 17 = like muddy eartworm
117 Polychaeta sp. 18 Polychaeta sp. 18 = black body, yellow parapodia
118 Polychaeta sp. 19 Polychaeta sp. 19 = yellow flat worm
119 Polychaeta sp. 20 Polychaeta sp. 20 = striped worm
120 Polychaeta sp. 21 Polychaeta sp. 21 = red flat worm
121 Polychaeta sp. 22 Polychaeta sp. 22 = red median line yellow worm
122 Polychaeta sp. 23 Polychaeta sp. 23 = black worm
123 Polychaeta sp. 24 Polychaeta sp. 24 = red bubble worm
(5)
Lanjutan dari halaman sebelumnya…..
NO TAXONOMIC GROUP FAMILIA DESCRIPTION
125 Polychaeta sp. 26 Polychaeta sp. 26 = worm like centipede
126 Polychaeta sp. 27 Polychaeta sp. 27 = grey worm with flower foot
127 Polychaeta sp. 28 Polychaeta sp. 28 = black worm with yellow foot
128 Polychaeta sp. 29 Polychaeta sp. 29 = small yellow polychaeta
129 Polychaeta sp. 30 Polychaeta sp. 30 = flat worm white marginal
130 Polychaeta sp. 31 Polychaeta sp. 31 = white leech worm
131 Polychaeta sp. 32 Polychaeta sp. 32 = worm grey like snake scale
132 Polychaeta sp. 33 Polychaeta sp. 33 = grey worm
133 Polychaeta sp. 34 Polychaeta sp. 34 = yellow small worm
134 Polychaeta sp. 35 Polychaeta sp. 35 = white belly worm (white marginal)
135 Polychaeta sp. 36 Polychaeta sp. 36 = yellow like terrestrial worm
136 Polychaeta sp. 37 Polychaeta sp. 37 = worm like sipunculid
137 Polychaeta sp. 38 Polychaeta sp. 38 = yellow with overlap foot
138 Polychaeta sp. 39 Polychaeta sp. 39 = black worm
139 Polychaeta sp. 40 Polychaeta sp. 40 = yellow worm
140 Polychaeta sp. 41 Polychaeta sp. 41 = grey worm
141 Polychaeta sp. 42 = Eunice aphroditois Eunicidae Giant Reef Worm = Eunice aphroditois
142 Polychaeta sp. 43 black worm tube with rough rubble
143 Polychaeta sp. 44 white worm tube with rubble
144 Polychaeta sp. 45 white smooth worm tube
145 Cerianthus sp.1 Cerianthidae Cerianthus sp.1 (hijau ungu)
146 Cerianthus sp.2 Cerianthidae Cerianthus sp.2 (jingga)
147 Sponge sp. 9 Black sponge
148 Sponge sp. 1 Blue sponge
149 Sponge sp. 2 Brown sponge
150 Sponge sp. 3 Green sponge
(6)
Lanjutan dari halaman sebelumnya…..
NO TAXONOMIC GROUP FAMILIA DESCRIPTION
152 Sponge sp. 5 Ochre sponges
153 Sponge sp. 6 Purple sponge
154 Sponge sp. 7 White sponge
155 Sponge sp. 8 Yellow sponge brown tip
95 Crab sp. 42 Crab sp. 42 = lost remarks
96 Crab sp. 43 Crab sp. 43 = lost remarks