Economic Valuation of Seagrass Ecosystem in Waidoba Island, South Halmahera Regency Province of North Moluccas

(1)

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM LAMUN PULAU

WAIDOBA KABUPATEN HALMAHERA SELATAN

PROVINSI MALUKU UTARA

M. SAID AL HADAD

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Valuasi Ekonomi Ekosistem Lamun Pulau Waidoba Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

M. Said Al Hadad NRP H351090021


(4)

(5)

ABSTRACT

M. SAID AL HADAD, 2012. Economic Valuation of Seagrass Ecosystem in Waidoba Island, South Halmahera Regency Province of North Moluccas. Under direction of AHYAR ISMAIL and ACHMAD FAHRUDIN.

Seagrass is high level vegetation (Angiosperm), which has adapted to survive under sea water. Seagrass ecosystem gives benefit to product goods and service which can be consumed directly or indirectly. The research was done in Waidoba Island, South Halmahera, Province of North Moluccas. which purposed to see types of seagrass ecosystem, estimation of economic value of function and benefit of seagress ecosystem, and alternative management of seagress ecosystem in Waidoba Island. The method of research of economic values of seagress ecosystem used transect method and transect plot, effect on production (EoP) and CVM. Based on research, economic value of seagress ecosystem in Waidoba Island showed total economic value 255.324.598.410 per year. The economic value included direct use value (fisheries) and indirect use value (nursery ground, blue carbon), option value, existence value, and bequest value. Key words: Seagrass, Waidoba Island, Total Economic Value.


(6)

(7)

RINGKASAN

M. SAID AL HADAD. Valuasi Ekonomi Ekosistem Lamun Pulau Waidoba Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara. Dibimbing oleh AHYAR ISMAIL dan ACHMAD FAHRUDIN.

Lamun adalah tumbuhan tingkat tinggi dan berbunga (angiospermae) yang telah beradaptasi untuk dapat hidup terbenam di air laut. Ekosistem lamun memberikan manfaat dengan menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik secara langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect). Di perairan padang lamun, terdapat beberapa famili ikan komersial sebagai penyumbang produksi perikanan, di antaranya : Serranidae, Siganidae, Scaridae, Lethrinidae, dan Lutjanidae. Beberapa biota lain yang penting adalah sotong (Sepia, Sepiateuthis), bulu babi (Diadema, Tripneutes), lola (Trochus niloticus), gurita (Octopus), kima (Tridacna, Hippous), teripang (Holothuria), kerang darah (Anadara) dan lain-lain.

Pulau Waidoba merupakan kepulauan yang saat ini menjadi isu pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Provinsi Maluku Utara. Pulau ini memiliki karakteristik geografis dan karakteristik masyarakat yang khas, karena terletak pada garis khatulistiwa dan didominasi oleh suku Bajo sebagai salah satu suku yang hidup dan berinteraksi secara langsung dengan laut.

Tujuan penelitian ini adalah 1. Mengidentifikasi pola pemanfaatan dan permasalahan ekosistem lamun Pulau Waidoba, Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara. 2. Mengestimasi nilai ekonomi dari fungsi dan manfaat ekosistim lamun Pulau Waidoba, Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara. 3. Menentukan alternative pengelolaan ekosistem lamun yang berkelanjutan di Pulau Waidoba, Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara.

Pemanfaatan ekosistem padang lamun di Pulau Waidoba dilakukan oleh masyarakat maupun swasta sebagai daerah penangkapan ikan, penangkapan biota non ikan dan sebagai areal budidaya perairan (rumput laut, kerang dan ikan). Beberapa aktivitas yang dianggap secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada degradasi habitat (habitation) dan keanekaragaman hayati (biodiversity), seperti pengambilan kerang darah (anadara sp) dan adanya kegiatan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak (dinamit botol) dan bahan beracun (tuba dan potassium sianida) baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh swasta.

Berdasarkan hasil penelitian rekapitulasi nilai ekonomi ekosistem lamun di Pulau Waidoba menunjukkan total nilai ekonomi (total economic value) mencapai Rp 255.324.598.410 per tahun. Nilai ekonomi ini terdiri dari nilai ekonomi manfaat langsung (use value) sebesar Rp 241.054.041.785. per tahun, nilai ekonomi manfaat tak langsung (direct use value) sebesar Rp.4.694.820.081 per tahun, nilai keberadaan (existensi value) sebesar Rp. 9.448.756.247 per tahun,nilai pilihan (option value) sebesar Rp 33.766.994 per tahun dan nilai warisan (bequest value) adalah sebesar Rp 93.213.303 per tahun.


(8)

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


(10)

(11)

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM LAMUN

PULAU WAIDOBA KABUPATEN HALMAHERA SELATAN

PROVINSI MALUKU UTARA

M. SAID AL HADAD

Tesis

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

(13)

Judul Tesis : Valuasi Ekonomi Ekosistem Lamun Pulau Waidoba Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara

Nama : M. Said Al Hadad

NRP : H351090021

Disetujui Komisi Pembimbing

Diketahui

Tanggal Ujian: 1 Juni 2012 Tanggal Lulus:

Ketua Program Studi

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir Akhmad Fauzi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MS

Anggota Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr


(14)

(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala KaruniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “ Valuasi Ekonomi Ekosistem Lamun Pulau Waidoba Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara”. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

1.

Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan karya ilmiah ini tidak lepas dari arahan dosen pembimbing. Untuk itu ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan masukan-masukan bagi perbaikan penulisan penelitian ini. Pada kesempatan ini pula penulis ingin menyampaikan penghargaan dan rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada:

2.

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan – IPB atas ilmu dan bimbingannya yang sangat luar biasa selama penulis kuliah di ESL.

3.

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT. Selaku Ketua Departemen Fakultas Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Pascasarjana IPB atas ilmu dan kesediaanya menjadi dosen penguji luar komisi pada tesis ini.

4.

Seluruh jajaran dosen dan staf Departemen ESL atas bantuannya selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana.

5.

Orang tua tercinta Mohdar Al Haddad dan Hj. Raguan Nabung sekeluarga di Bajo Kayoa atas doa dan dukungannya selama saya menempuh studi dan lainnya.

6.

Istri dan anak tercinta Iyad Mahmud Al Haddad, yang memberikan waktu dan memahami selama studi

Rekan-rekan ESL 2009, Hamdan, Yadi, Asti, Rohkib, Kadek, Novan, Iren, Maria, Eka, Safrudin, Fadli untuk kebersamaan sosial kapital yang dibangun selama ini.


(16)

8.

Mahasiswa MSP yang telah membantu penulis dalam pengambilan data di lapangan.

9.

Irwan Mulyadi S.Pi, M.Si yang telah memberikan semangat, mendampingi dan membantu penulis selama ini

Rektor dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate atas izin sehingga penulis diberi kesempatan menempuh pendidikan pascasarjana-IPB

Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat khususnya bagi masyarakat Pulau Waidoba dan instansi terkait yang berada pada jajaran Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara serta bagi mereka yang menggunakannya.

Bogor, Juni 2012


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bajo pada tanggal 26 April 1977 sebagai anak keempat dari delapan bersaudara dari pasangan Mohdar Al Haddad dan Hj. Raguan Nabung. gelar Sarjana Pertanian, penulis peroleh pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Khairun pada tahun 2001

Pada tahun 2007 penulis di terima sebagai dosen pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate. Pada tahun 2009, penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(18)

(19)

xix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... I PENDAHULUAN ...

1.1Latar Belakang ... 1.2Permusan Masalah ... 1.3Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 1.4Kerangka Pemikiran ………... II TINJAUAN PUSTAKA... 2.1 Ekosistem Lamun... 2.2 Fungsi dan Manfaat Lamun ... 2.3 Penilaian Ekonomi Lamun ... 2.4 Konsep Valuasi Lamun ... 2.5 Fungsi Ekonomi ... III METODOLOGI PENELITIAN ... 3.1 Lokasi dan Rencana Waktu Penelitian ... 3.2 Jenis dan Sumber Data ... 3.3 Metode Pengambilan Data ... 3.4 Metode Analisis Data ... 3.4.1 Analisis Ekologis ... 3.4.2 Analisis Deskriptif ... 3.4.3 Analisis DPSIR ... 3.4.4 Analsis Valuasi Ekonomi ... IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN ... 1.1Keadaan Umum Wilayah Penelitian ... 4.2 Letak Geografis dan Kondisi Habitat Penelitian ... 4.3 Karakteristik Sosial Ekonomi ...

4.3.1 Kependudukan ... 4.3.2 Karakteristik Responden ... 4.4 Karakteristik Pemanfaatan Sumberdaya Ekosistem Lamun ... 4.4.1 Perikanan Tangkap ... 4.4.2 Penangkap Biota Non Ikan ... 4.4.3 Kondisi Ekonomi ...

xix xxi xxiii xxv 1 1 3 5 5 9 9 11 13 19 21 23 23 23 25 27 27 28 29 31 39 39 39 41 41 41 45 45 46 47


(20)

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN ... 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan ... 5.2 Persentase Tutupan Lamun ... 5.3 Jenis dan Penyebaran Ekosistem Lamun ... VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI... 6.1 Analisis DPSIR ... 6.2 Keterkaitan Antara DPSIR Dengan Persepsi NilaiE konomi ... VII NILAI EKONOMI SUMBERDAYA EKOSISTEM LAMUN ... 7.1 Nilai Manfaat Langsung (Direct Use Value) ... 7.2 Nilai Manfaat Tidak Langsung (Indirect Use Value) ... 7.3 Nilai Bukan Manfaat (Non Use Value) ... 7.4 Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) ... 7.5 Implementasi Nilai Ekonomi ... VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN ... IX KESIMPULAN DAN SARAN ... 9.1 Kesimpulan ... 9.2 Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

49 49 52 53 55 55 58 61 61 63 65 69 70 73 79 79 79 81 87


(21)

xxi

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Variasi Nilai Ekonomi Ekosistem Lamun ... 2 Matriks Jenis dan Sumber Data ... 3 Luas Area Penutupan Jenis Lamun ... 4

5 Letak Geografis dan luas Wilayah lamun ... Hubungan Nilai dengan Teknik Valuasi yang akan Digunakan ...

6 Jumlah Penduduk Kec. Kayoa Selatan Menurut Kategori Jenis ... 7 Tingkat Kerusakan Ekosistem Lamun Pulau Waidoba ... 8 Nilai Manfaat Langsung Perikanan Tangkap Ekosistem Lamun ... 9 Nilai Asuhan Ikan Ekosistem Lamun ... 10 Nilai Karbon Ekosistem Lamun ...

22 25 28 32 40 41 57 61 64 64


(22)

(23)

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 2 Bentuk Interaksi Antara Tiga Ekosistem Bahari ... 3 Manfaat Ekonomi Ekosistem Lamun ... 4 Consumers Surplus dan Producer Surplus ... 5 Peta Lokasi Penelitian ...

7 Kerangka DPSIR ... 6 Petak Contoh Untuk Persen Tutupan Lamun ...

8 Sebaran Usia Responden Nilai Manfaat Langsung ... 9 Distribusi Responden menurut Tingkat Pendidikan ... 10 Distribusi Responden menurut Kelompok Pendapatan ... 11 Distribusi Responden menurut Umur Responden ... 12 Distribusi Responden Menurut Pendidikan ... 13 Rata-Rata Persentase Tutupan Lamun ... 14 Diagram Analisis DPSIR Ekosistem Lamun Pulau Waidoba ... 15 Pentingnya Keberadaan Ekosistem Lamun ... 16 Hasil Produksi Masyarakat ... 17 Kondisi Ekosistem Lamun Pulau Waidoba ... 18 Nilai Ekonomi Total Ekosistem Lamun Pulau Waidoba ...

7 9 15 18 24 27 31 42 43 43 44 45 52 58 59 60 60 70


(24)

(25)

xxv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Analisis Regresi Nilai Penangkap Ikan... 2 Analisis Regresi Nilai Penangkap Biota Non Ikan... 3 Nilai Konsumen Surplus Untuk Ikan... 4

5 Data Responden Nelayan Penangkap Ikan... NilaiKonsumen Surplus Untuk Biota Non Ikan...

6 Data Responden Nelayan Penangkap biota non Ikan... 7 Analisis Regresi Nilai WTP Warisan... 8 Analisis Regresi Nilai WTP Keberadaan... 9 Analisis Regresi Nilai Pilihan... 10 Data Analisis Persentase Lamun... 11 Hasil Presentase Tutupan Lamun... 12 Kuisioner Persepsi Masyarakat Mengenai Ekosistem Lamun... 13 Kuisioner Untuk Nilai Manfaat Langsung ... 14 Kuisioner Untuk CVM...

89 90 91 93 95 96 97 98 99 100 104 106 108 113


(26)

(27)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dari pada daratan, oleh karena itu Indonesia di kenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan berbagai biota laut baik flora maupun fauna. Demikian luas serta keragaman jasad-jasad hidup di dalam yang kesemuanya membentuk dinamika kehidupan di laut yang saling berkesinambungan (Nybakken, 1988).

Dewasa ini, perhatian terhadap biota laut semakin meningkat dengan munculnya kesadaran dan minat setiap lapisan masyarakat akan pentingnya lautan. Menurut Bengen (2001) laut sebagai penyedia sumber daya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral, dan energi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Karena itu wilayah pesisir dan lautan merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan di masa datang.

Salah satu sumber daya laut yang cukup potensial untuk dapat dimanfaatkan adalah lamun. Lamun adalah tumbuhan tingkat tinggi dan berbunga (Angiospermae) yang telah beradaptasi untuk dapat hidup terbenam di air laut. Dalam bahasa Inggris disebut seagrass. Istilah seagrass hendaknya jangan dikelirukan dengan seaweed yang dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai rumput laut yang sebenarnya merupakan tumbuhan tingkat rendah dan dikenal juga sebagai alga laut. Keberadaan bunga dan buah ini adalah faktor utama yang membedakan lamun dengan jenis tumbuhan lainnya yang hidup terbenam dalam laut lainnya, seperti rumput laut (seaweed). Hamparan lamun sebagai ekosistem utama pada suatu kawasan pesisir disebut sebagai padang lamun (seagrass bed). Pada ekosistem padang lamun berasosiasi berbagai jenis biota laut yang bernilai penting dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi.

Ekosistem lamun sangat terkait dengan ekosistem di dalam wilayah pesisir seperti mangrove, terumbu karang, estauria dan ekosistem lainya dalam menunjang keberadaan biota terutama pada perikanan serta beberapa aspek lain seperti fungsi fisik dan sosial-ekonomi. Hal ini menunjukkan keberadaan ekosistem lamun adalah tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan ekosistem sekitarnya, bahkan sangat dipengaruhi aktifitas darat. Namun, akhir-akhir ini


(28)

kondisi padang lamun semakin menyusut oleh adanya kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia.

Pulau Waidoba merupakan kepulauan yang saat ini menjadi isu pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Provinsi Maluku Utara. Pulau ini memiliki karakteristik geografis dan karakteristik masyarakat yang khas, karena terletak pada garis khatulistiwa dan didominasi oleh suku Bajo sebagai salah satu suku yang hidup dan berinteraksi secara langsung dengan laut. Dengan distribusi padang lamun cukup luas dan keragaman sumberdaya hayati yang cukup tinggi, menyebabkan berbagai aktivitas pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya lamun diarahkan di pulau ini dan sekitarnya.

Aktivitas pemanfaatan tersebut berpotensi untuk mengancam kelestarian ekosistem dan sumberdaya lamun, sehingga di khawatirkan selain dapat menimbulkan berbagai ancaman langsung terhadap degradasi habitat dan keanekaragaman hayati ekosistem lamun juga menimbulkan permasalahan sosial ekonomi, seperti konflik kepentingan baik antar masyarakat, maupun antar masyarakat dengan pengusaha perikanan yang memanfaatkan ekosistem dan sumberdaya di Pulau Waidoba. Olehnya itu tanpa adanya intervensi yang efektif dan terintegrasi, kecenderungan degradasi pada ekosistem lamun dan biota yang berasosiasi dengannya akan terus merosot.

Pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya lamun di Pulau Waidoba dilakukan oleh masyarakat maupun swasta sebagai daerah penangkapan ikan, penangkapan biota non ikan dan sebagai areal budidaya perairan (rumput laut, kerang dan ikan). Beberapa aktivitas yang dianggap secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada degradasi habitat (habitation) dan keanekaragaman hayati (biodiversity), seperti pengambilan kerang darah (anadara sp) dan adanya kegiatan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak (dinamit botol) dan bahan beracun (tuba dan potassium sianida) baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh swasta.

Pemberian nilai yang tepat secara moneter terhadap sumberdaya alam berikut fungsi-fungsinya, memberikan kesempatan kepada manusia untuk memahami seluruh dampak dari kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. Hal serupa juga bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam


(29)

3

menetapkan kebijakan pemanfaatan suatu sumberdaya alam yang efisien, berkelanjutan dan tidak saling berkontradiksi terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang lain. Sehingga

1.2 Perumusan Masalah

untuk mengetahui nilai manfaat dari ekosistem lamun, maka perlu dilaksanakan analisis melalui metodologi valuasi ekonomi. Valuasi ekonomi merupakan komponen penting dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir laut karena mengaitkan dimensi-dimensi ekonomi dan ekologi secara integrative.

Penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, bukan saja membawa deplesi terhadap sumberdaya ikan, namun juga menimbulkan konsekuensi sosial dan ekonomi yang cukup tinggi. Tiga penyebab utama yang ditimbulkan oleh paradigma pertumbuhan terhadap sumberdaya ikan adalah overfishing, penangkapan ikan yang merusak (desktruktif) dan pencemaran. Ketiga penyebab utama ini kebanyakan di picu oleh keputusan myopic untuk memburu rente sumberdaya ikan dengan cara cepat dan mudah. Akibatnya adalah terjadinya penurunan stock yang berakibat pada kehilangan pekerjaan, pendapatan dan kerusakan lingkungan ( Fauzi, 2006).

Anna (2007) mengemukakan sumber daya alam dan lingkungan ( SDAL) patut mendapatkan perhatian dan pemberian label value yang tepat dan dengan dua alasan: pertama adalah SDAL menyediakan manfaat tidak langsung dalam batasan yang luas, kedua aktivitas manusia telah menyumbangkan laju hilangnya keanekaragaman hayati yang akan mengancam stabilitas dan keberlanjutan dari ekosistim sebagaimana juga penyediaan barang dan jasa yang di hasilkan bagi kesejahteraan manusia itu sendiri (Pimm et al 1995; Simon dan Wildavsky 1995). Hal ini yang menyebabkan semakin banyaknya studi mengenai rusak, hilang atau berkurangnya baik kualitas maupun kuantitas SDAL dan kaitannya dengan besaran kerugian secara moneter. Values/nilai sumber daya alam pada setiap pemanfaatan akan sangat tergantung pada kondisi dan distribusi dari property right dan tingkat kesejahteraan/ income masyarakatnya.

Manusia selalu bergantung pada sumberdaya alam. Lebih khusus pada masyarakat pesisir dimana mereka sangatlah bergantung pada SDA yang menyediakan kebutuhan mereka, melalui berbagai mata pencarian guna


(30)

mempertahankan kelangsungan hidup. Ekosistem lamun yang merupakan salah satu penyusun daripada SDA, dimana masyarakat pesisir mendapatkan keuntungan daripadanya. Dengan kata lain, pentingnya keterkaitan ekosistem pesisir/ekosistem lamun yang sehat terhadap mata rantai ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Keberlanjutan dan kelangsungan hidup masyarakat sangat terkait dengan keberlanjutan ekosistem yang ada di sekitarnya.

Mengingat masih rendahnya penghargaan terhadap potensi ekosistem lamun maka perlu usaha untuk meningkatkan nilai ekonomi lamun. Hal ini bisa diawali dengan mengetahui nilai ekonomi ekosistem lamun baik melalui nilai-nilai pemanfaatan langsung maupun tidak langsung dan presepsi masyarakat terhadap padang lamun itu sendiri. Pada titik inilah kebutuhan akan penilaian ekosistem lamun dengan menggunakan metode valuasi ekonomi menjadi penting dimana dinamika ekosistim yang ada harus di masukkan kedalam pertimbangan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.

Untuk mendorong pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan dengan menghindari penyia-nyian (abusement) sumbedaya alam, perlu di lakukan penilaian (valuasi) ekonomi yang menyeluruh terhadap seluruh manfaat dan fungsi ekosistem lamun, baik manfaat langsung (perikanan tangkap, marikultur, pengambilan kerang, wisata pantai, dan penelitian), maupun manfaat tidak langsung (fungsi pendukung biologi ekosistem sebagai tempat spawning ground, nursery ground dan feeding ground), manfaat pilihan, manfaat eksistensi dan manfaat keberadaan, disamping itu juga di lakukan analisis melalui pendekatan DPSIR. Dengan demikian akan di ketahui alternative solusi paling tepat bagi pengelolaan ekosistem lamun di Pulau Waidoba

Berdasarkan pemaparan permasalahan-permasalahan yang ada di kawasan ekosistem lamun Pulau Waidoba Kabupaten Halmehera Selatan, maka dapat dirumuskan:

1. Bagaimana pola pemanfaatan ekosistem lamun dan permasalahan yang ada di kawasan Pulau Waidoba, Kecamatan Kayoa Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara


(31)

5

2. Bagaimana nilai ekonomi dari fungsi dan manfaat ekosistem lamun di perairan Pulau Waidoba, Kecamatan Kayoa Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara

3. Bagaimana alternative pengelolaan ekosistem lamun Pulau Waidoba Kabupaten Halmahera Helatan Provinsi Maluku Utara

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Mengidentifikasi pola pemanfaatan dan permasalahan ekosistem lamun Pulau Waidoba, Kecamatan Kayoa Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara.

Pemberian nilai yang tepat secara moneter terhadap sumberdaya alam berikut fungsi-fungsinya, memberikan kesempatan kepada manusia untuk memahami pola pemanfaatan dan dampak dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga langkah pengelolaan dan penilaian secara ekonomi dapat diusulkan. Oleh karena itu, untuk menjawab hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk :

2. Mengestimasi nilai ekonomi dari fungsi dan manfaat ekosistim lamun Pulau Waidoba, Kecamatan Kayoa Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara.

3. Menentukan alternative pengelolaan ekosistem lamun yang berkelanjutan di Pulau Waidoba, Kecamatan Kayoa Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara.

Kegunaan dari penelitian ini :

1. Bagi peneliti, sebagai sarana untuk menerapkan teknik penilaian ekonomi (economic valuation) terhadap pemanfaatan ekosisitem lamun.

2. Bagi para pengambil keputusan, baik pemerintah maupun kalangan swasta, hasil penelitian ini dapat di jadikan sebagai refrensi untuk pengambilan keputusan mengenai pemanfaat pada ekosistem lamun

1.4 Kerangka Pemikiran

Menurut sejarah, telah teridentifikasi dua kesalahan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya alam (folke et al 2002). Pertama, percaya bahwa ekosistem polanya linier dan bisa di prediksi serta dikontrol. Kedua diasumsikan


(32)

bahwa manusia dan alam merupakan system yang terpisah. Odum (1983) In

Torre-Castro (2006) menekankan bahwa sangatlah penting untuk melibatkan manusia sebagai bagian dari ekosistem dan mempertimbangkan komunitas manusia melekat/tertanam didalam alam. Pandangan ini telah dikembangkan dalam konsep “Social Ecological Systems”.

Ekosisitem lamun merupakan salah satu ekosistem yang penting bagi perairan. Khususnya bagi masyarakat nelayan yang ada di Pulau Waidoba Ekosistem lamun memberikan manfaat baik ekonomi maupun non ekonomi bagi masyarakat. Manfaat ini ada yang bersifat tangible (terukur) maupun intangible

(tidak terukur). Manfaat yang terukur biasanya digolongkan ke dalam manfaat kegunaan (use value) baik yang dapat dikomsumsi maupun tidak dikomsumsi. Sedangkan manfaat yang tidak terukur atau intangible di golongkan kedalam manfaat non kegunaan (non use value). Manfaat ini lebih kearah pemeliharaaan ekosistem lamun dalam jangka panjang.

Informasi mengenai nilai ekonomi dari fungsi ekologis lamun mutlak di perlukan, khususnya nilai manfaat tidak langsung dari ekosistem lamun. Nilai fungsi ekologis lamun dinyatakan dalam moneter melalui teknik valuasi. Fauzi (2000) menyebutkan bahwa konsep valuasi ekonomi dapat digunakan untuk menstransformasi nilai ekologis menjadi nilai ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari seluruh barang dan jasa yang di hasilkan. Nantinya nilai ekonomi yang diperoleh dapat digunakan untuk menentukan alternative pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem lamun secara berkelanjutan

Freeman III (2003) dalam Adrianto (2006) menyebutkan bahwa ”nilai” dapat dikategorikan ke dalam dua pengertian yaitu nilai intrinsik dan nilai instrumen. Nilai intrinsik jika suatu komoditas bernilai di dalam dan untuk komoditas itu sendiri, atau nilainya tidak diperoleh dari pemanfaatan dari komoditas tersebut namun bebas dari penggunaan dan fungsi yang mungkin terkait dengan komoditas lain. Nilai instrumen adalah nilai yang muncul akibat pemanfaatan komoditas tersebut untuk kepentingan tertentu. Lebih lanjut disebutkan bahwa konsep nilai instrumen lebih mampu menjawab persoalan terkait pengelolaan lingkungan. Namun demikian untuk mengetahui nilai


(33)

7

instrumental dari sumberdaya alam, tujuan spesifik dari upaya tersebut harus disusun. Gambar 1 kerangka pemikiran penelitian.

Analisis DPSIR Potensi Sumberdaya

Ekosistem Lamun

Aspek Ekologis Lamun

Valuasi Ekonomi

Total Nilai Ekosistem Lamun

Direct Use Value Indirect Use Value

Benefit Transfer - Nursery ground - Blue carbon

- Nilai Pilihan

- Nilai Keberadaan

- Nilai Warisan

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Alternatif Pengelolaan Ekosistem Lamun Effect on Production

(EoP)

Contingent Valuation Method (CVM)

- Tangkapan ikan

- Tangkapan biota non ikan


(34)

(35)

9

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistim Lamun

Indonesia memiliki panjang garis pantai 81.000 km, mempunyai padang lamun yang luas bahkan terluas di daerah tropika. Luas padang lamun yang terdapat di perairan Indonesia mencapai sekitar 30.000 km2 (Kiswara dan Winardi, 1994).

Jika dilihat dari pola zonasi lamun secara horisontal, maka dapat dikatakan ekosistem lamun terletak di antara dua ekosistem bahari penting yaitu ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang (pada gambar dibawah). Dengan letak yang berdekatan dengan dua ekosistem pantai tropik tersebut, ekosistem lamun tidak terisolasi atau berdiri sendiri tetapi berinteraksi dengan kedua ekosistem tersebut.

Adanya interaksi timbal balik dan saling mendukung, maka secara ekologis lamun mempunyai peran yang cukup besar bagi ekosistem pantai tropik.

Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau hidup terbenam di dalam air, beberapa ahli juga mendefinisikan lamun (seagrass) sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut,

EKOSISTEM TERUMBU

KARANG

EKOSISTEM MANGROVE EKOSISTEM

PADANG LAMUN

Interaksi fisik

Nutrient dan bahan organik terlarut Bahan organik melayang

Ruaya hewan Dampak manusia


(36)

berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas. Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah padang lamun (seagrass bed

Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di substrat lumpur-berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang. Sedangkan sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut ekosistem lamun (s

) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi per-tumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar daerah padang lamun.

eagrass ecosystem

Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 60 jenis lamun, yang terdiri atas 2 suku dan 12 marga (Kuo dan Mccomb 1989), dimana di Indonesia ditemukan sekitar 13 jenis yang terdiri atas 2 suku dan 7 marga. Mereka hidup dan berkembang baik pada lingkungan pada perairan laut dangkal, muara sungai, daerah pesisir yang selalu mendapat genangan air atau terbuka ketika saat air surut. Tempat tumbuhnya adalah dasar pasir, pasir berlmpur, lumpur dan kerikil karang bahkan ada jenis lamun yang mampu hidup pada dasar batu karang. Mereka dijumpai pada daerah pasang surut sampai dengan kedalaman 40 m.

). Habitat tempat hidup lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan sering juga dijumpai di terumbu karang.

Jenis-jenis lamun dapat berkembang baik di perairan dangkal karena mempunyai beberapa sifat yang memungkinkannya untuk hidup, yaitu 1). Mampu tumbuh dan berkembang dalm lingkungan air asin, 2). Mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, 3). Mempunyai system perakaran jangkar yang berkembang baik, 4). Mampu melaksanakan penyerbukan bunga dalam keadaan terbenam air, 5). Mampu bersaing dengan berhasil di lingkungan laut (Arber ,1920 In Den Hartog 1970).


(37)

11

Lamun atau secara internasional dikenal sebagai seagrass merupakan tumbuhan tingkat tinggi dan berbunga (angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Keberadaan bunga dan buah ini adalah faktor utama yang membedakan lamun dengan jenis tumbuhan lainnya yang hidup terbenam dalam laut lainnya, seperti rumput laut (seaweed). Hamparan lamun sebagai ekosistem utama pada suatu kawasan pesisir disebut sebagai padang lamun (seagrass bed

2.2 Fungsi dan Manfaat Lamun

). Pada ekosistem padang lamun berasosiasi berbagai jenis biota laut yang bernilai penting dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi.

Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada ekosistem ini

Menurut Azkab (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif. Di samping itu juga ekosistem lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal, sebagai berikut :

hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan, Krustasea, Moluska ( Pinna sp, Lambis sp,

dan Strombus sp.), Echinodermata (Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp., Acancasther sp., Linckia sp.) dan cacing ( Polichaeta) (Bengen, 2001).

a. Sebagai produsen primer : Lamun memiliki tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada dilaut dangkal seperti ekosistem terumbu karang

b. Sebagai habitat biota : Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (alga). Disamping itu, padang lamun (seagrass beds) dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan dan makanan berbagai jenis ikan herbivora dan ikan-ikan karang (coral fishes)

c. Sebagai penangkap sedimen : Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan disekitarnya menjadi tenang. Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan.


(38)

Jadi, padang lamun disini berfungsi sebagai penangkap sedimen dan juga dapat mencegah erosi.

d. Sebagai pendaur zat hara: Lamun memegang peranan penting dalam pendauran berbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka dilingkungan laut. Khususnya zat-zat hara yang dibutuhkan oleh algae epifit.

Sedangkan menurut Philips dan Menez (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang produktif, ekosistem lamun pada perairan dangkal berfungsi sebagai :

a. Menstabilkan dan menahan sedimen-sedimen yang dibawa melalui tekanan-tekanan dari arus dan gelombang.

b. Daunnya memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta mengembangkan sedimentasi.

c. Memberikan perlindungan terhadap hewan-hewan muda dan dewasa yang berkunjung ke padang lamun

d. Daun-daun sangat membantu organisme-organisme epifit e. Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi.

f. Menfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai makanan.

Selain itu secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, yaitu :

a. Produsen detritus dan zat hara.

b. Mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem c. perakaran yang padat dan saling menyilang.

d. Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini.

e. Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari

Selanjutnya dikatakan Philips dan Menez (1988), lamun juga sebagai komoditi yang sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara tradisional maupun secara modern. Secara tradisional lamun telah dimanfaatkan untuk :


(39)

13

1. Digunakan untuk kompos dan pupuk 2. Cerutu dan mainan anak-anak

3. Dianyam menjadi keranjang 4. Tumpukan untuk pematang 5. Mengisi kasur

6. Ada yang dimakan 7. Dibuat jaring ikan

Pada zaman modern ini, lamun telah dimanfaatkan untuk: 1. Penyaring limbah

2. Stabilizator pantai

3. Bahan untuk pabrik kertas 4. Makanan

5. Obat-obatan dan sumber bahan kimia

Ekosistem padang lamun memberikan manfaat dengan menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik secara langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect). Di perairan padang lamun, terdapat beberapa famili ikan komersial sebagai penyumbang produksi perikanan, di antaranya : Serranidae, Siganidae, Scaridae, Lethrinidae, dan Lutjanidae. Beberapa biota lain yang penting adalah sotong (Sepia, Sepiateuthis), bulu babi (Diadema, Tripneutes), lola (Trochus niloticus), gurita (Octopus), kima (Tridacna, Hippous), teripang (Holothuria), kerang darah (Anadara) dan lain-lain.

2.3 Penilaian Ekonomi Lamun

Nilai ekonomi tidak langsung pada ekosistem padang lamun yang perlu dihitung adalah produktivitas ekosistem, perlindungan terhadap pantai, perlindungan terhadap terumbu karang, kontribusi terhadap ekosistem terumbu karang, monitor lingkungan, pendidikan dan penelitian.

Penilaian ekonomi bukan hanya menyangkut nilai pemanfaatan langsung dan tidak langsung semata, namun lebih luas dari itu. Pengertian nilai atau value khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang di hasilkan oleh sumberdaya dan lingkungan jika di pahami lebih lanjut bisa saja berbeda jika di pandang dari berbagai disiplin ilmu (Anna 2007). Konsep nilai akan berhubungan dengan kesejahteraan manusia jika di pandang dari sisi ekonomi. Dengan demikian, nilai


(40)

ekonomi dari sumberdaya alam dan lingkungan adalah jasa dan fungsi sumberdaya alam dan lingkungan yang memberikan kotribusi terhadap kesejahteraan manusia, di mana kesejahteraan ini di ukur berdasarkan setiap individual assessment terhadap dirinya sendiri.

Suatu ekosistim memiliki fungsi dan manfaat yang beraneka yang satu sama lain saling mempengaruhi. Ketika suatu ekosistim dieksploitasi secara parsial (tidak mempertimbangkan seluruh fungsi dan manfaat ekosistim), maka akan muncul eksternalitas. Biaya eksploitasi tidak memperhitungkan seluruh dampak dari kegiatan eksploitasi, sehingga fungsi-fungsi lain tidak diberi harga. Akibatnya terjadilah pemberian nilai yang terlalu rendah (undervalue) terhadap sumberdaya alam, yang mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya itu secara berlebihan. Misalnya ekosistim padang lamun, di satu sisi berfungsi sebagai penyedia makanan dan tempat memijah dan berkembangbiak bagi sejumlah jenis ikan serta sebagai pelindung pantai dengan cara meredam arus, di sisi lain padang lamun juga bermanfaat untuk kawasan penangkapan ikan (fishing ground) dan sarana wisata pantai. Ketika penangkapan ikan lakukan dengan menggunakan bahan peledak dan racun, maka ikan-ikan dapat ditangkap dengan mudah, namun padang lamun menjadi rusak. Biaya penangkapan ikan menjadi lebih rendah dengan hasil tangkapan lebih besar, tetapi fungsi padang lamun sebagai pelindung pantai, objek wisata, dan tempat bertelur dan memijah berbagai jenis ikan, yang nilai moneternya sangat besar, menjadi hilang.

Perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan dalam memahami pentingnya suatu ekosistim. Oleh karena itu, diperlukan suatu presepsi yang sama untuk penilaian ekosistim tersebut. Salah satu tolok ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama antara berbagai disiplin ilmu tersebut adalah memberikan “price tag” (harga) terhadap barang dan jasa yang di hasilkan dari sumberdaya dan lingkungan. (Fauzi 2004).

Menurut Krutila (1967) dalam Fauzi (2005) untuk mengukur nilai sumberdaya di lakukan berdasarkan konsep nilai total (total value) yaitu nilai kegunaan atau pemanfaatan (use value) dan nilai bukan kegunaan (non use value). Dengan mengetahui nilai sumberdaya tersebut, seharusnya kita dapat memanfaatkan sumberdaya secara efisien. Oleh karena itu, perlu diketahui nilai


(41)

15

total atau total economic value (TEV) dari sumberdaya tersebut. Gambar 3 memberikan gambaran manfaat ekonomi ekosistem padang lamun

Gambar 3 Manfaat Ekonomi Ekosistem Padang Lamun

Nilai ekonomi total (total economic value) adalah sebuah konsep yang sederhana yang ditetapkan untuk nilai total dari beberapa sumberdaya alam, yang tersusun dari komponen-komponen yang berbeda. Beberapa dari komponen tersebut mudah diidentifikasi dan dinilai, dan yang lainnya ada yang tidak diketahui atau tidak bisa diraba. lebih jauh lagi, Barton (1994) berpendapat bahwa nilai ekonomi total (total economic value) dari lingkungan sebagai asset merupakan jumlah dari nilai manfaat (use value) dan non manfaat (non use value). Nilai manfaat adalah suatu nilai yang timbul dari pemanfaatan sebenarnya suatu fungsi atau sumberdaya yang terdapat dalam suatu ekosistem. Nilai mafaat terdiri dari nilai manfaat secara langsung (direct use), nilai manfaat secara tidak langsung (indirect use value) dan nilai pilihan option value. Nilai non manfaat

Total Economic Value

Use Value Non - Use Value

Direct Use Value Indirect Use Value Option Value Existence Value Bequest Value

Ekstraktif - Penangkapan - Budidaya - dll Non Ekstraktif - Transportasi - Pariwisata Fungsi Pendukung Biologi Ekosistem: - Spawning - Nursery - Feeding Fungsi pendukung Non Biologi WTP atas Keberlangsungan:

- jenis ikan - Habitat dan

Ekosistem - Biodiversity Komponen Keberadaan ekositem sebagai aset : -Ekonomi -Sosial -Budaya Keberlangsungan ekositem untuk generasi berikutnya sebagai warisan: -Ekonomi -Sosial -Budaya Hasil/Jasa yang dapat dimanfaatkan secara langsung Hasil/Jasa yang dapat dimanfaatkan secara tidak langsung

WTP individu utk menjaga SDA sebagai aset utk masa depan dibanding

memanfaatkan-nya sekarang

Nilai keberadaan SDA saat ini utk masa depan berdasarkan pertimbangan moral

Nilai keberlangsungan SDA saat ini sbg warisan utk generasi berikutnya masa depan


(42)

biasanya terdiri dari nilai eksistensi (existence value) dan nilai masa depan (bequest value) (Dixon 1998).

A. Nilai Manfaat (Use Value)

Uses value merupakan suatu cara penilaian atau upaya kuantifikasi barang dan jasa sumberdaya alam dan lingkungan ke nilai uang, terlepas ada tidaknya nilai pasar terhadap barang dan jasa tersebut. Dalam konteks penelitian ini use value diestimasikan dari seberapa besar manfaat sumberdaya baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai manfaat ini didapat dari menjumlahkan nilai manfaat langsung dan manfaat tidak langsung.

Nilai Manfaat Langsung

Nilai manfaat langsung di estimasi dengan menghitung jumlah ekstraksi langsung dari sumberdaya alam dan nilai yang terkait dengan menggunakan harga pasar (NRMP-USAIDa, 1996 dalam Kusuma, 2005). Menurut McCracken dan Abaza (2000) dalam Kusuma (2005), harga pasar yang umum digunakan adalah harga pasar lokal (local market prices).

Nilai Manfaat Tidak Langsung

Nilai manfaat tidak langsung didefinisikan oleh Grigalunas and Congar (1995) dalam Kay dan Alder (1999) sebagai nilai yang secara tidak langsung dari barang, dimana ketika menggunakan barang lain tergantung dari barang tersebut. Untuk menghitung nilai ini perlu dibatasi pada fungsi yang terkandung dalam suatu sumberdaya.

Nilai manfaat tidak langsung dihitung dengan menggunakan metode ini dinilai tepat untuk penelitian dimana ketersediaan data dan dana yang terbatas untuk melakukan penelitian secara komprehensif. Metode ini menilai perkiraan benefit dari tempat lain (dimana sumberdaya tersedia) kemudian benefit tersebut di transfer untuk memperoleh perkiraan yang kasar mengenai manfaat dari lingkungan (Fauzi, 2003). Dosi (2000) menyebutkan bahwa metode ini didasari dari kajian yang telah dilakukan sebelumnya untuk melakukan evaluasi terhadap suatu proyek baru, pengaturan masalah lingkungan, atau kebijakan lainnya yang diposisikan dalam pengambilan keputusan dan analisis biaya manfaat. Dalam melakukan pendekatan ini harus dilakukan dengan penilaian yang baik dan kreativitas dalam memanipulasi ketersediaan informasi dan kemudian


(43)

17

menampilkannya kepada para pengambil keputusan. Pendekatan ini secara formal telah direkomendasikan dan di adaptasi oleh berbagai lembaga untuk tujuan valuasi ekonomi dampak lingkungan.

B. Nilai Manfaat Pilihan (Option Value)

Option value lebih diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh masyarakat atas adanya pilihan untuk menikmati barang dan jasa dari sumberdaya alam di masa mendatang (Fauzi, 2003). Nilai manfaat pilihan (option value) dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengukuran secara langsung, Nilai ekonomi sumberdaya dan lingkungan dapat diperoleh langsung dengan menanyakan kepada individu atau masyarakat mengenai keinginan membayar mereka (willingness to pay) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Teknik yang paling umum digunakan dalam pendekatan langsung ini adalah melalui contingent valuation method atau CVM. Pendekatan CVM pada hakekatnya bertujuan untuk mengetahui pertama, keinginan membayar (willingness to pay atau WTP) dari sekelompok masyarakat, misalnya saja terhadap perbaikan kualitas lingkungan (air, udara dsb) dan yang kedua adalah keinginan menerima (willingness to accept atau WTA) dari kerusakan suatu lingkungan perairan. CVM yang pertama kali diajukan oleh Davis (1963) dalam

Dosi (2000), telah digunakan secara luas dalam pengambilan keputusan terhadap evaluasi program terkait dengan perubahan lingkungan.

C. Nilai Bukan Manfaat (Non Use Value)

Nilai bukan manfaat merupakan nilai yang tidak berhubungan dengan pemanfaatan aktual dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya (Fauzi, 2003). Nilai bukan manfaat dibagi menjadi dua yaitu existence value dan bequest value.

Existence Value

Existence value atau nilai keberadaan pada dasarnya adalah penilaian yang diberikan atas keberadaan atau terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan meskipun masyarakat misalnya tidak akan memanfaatkan atau mengunjunginya.

Bequest Value

Bequest value atau nilai pewarisan diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan (bequest) sumberdaya


(44)

untuk generasi mendatang (mereka yang belum lahir). Jadi bequest value diukur berdasarkan keinginan membayar masyarakat untuk memelihara (to preserve) sumberdaya alam dan lingkungan untuk generasi mendatang.

Dalam paradigm neoklasik, nilai ekonomi (economic value) dapat dilihat dari sisi kepuasan konsumen (preferences of consumers) dan keuntungan perusahan (profit of firms). Dalam hal ini konsep dasar yang digunakan adalah surplus ekonomi (economic surplus) yang di peroleh dari penjumlahan surplus konsumen (consumers surplus; CS) dan surplus oleh produsen (producers surplus; PS). Surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen bayar lebih besar dari jumlah yang secara aktual harus dibayar untuk mendapatkan barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut di sebut consumers surplus

(CS) dan tidak dibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan. Sementara itu, producers surplus (PS) terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produser lebih besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau jasa. (Grigalunas dan Conger 1995; Freeman III 2003 dalam

Adrianto 2004). Green (1992) diacu dalam Fauzi (2004) memandang bahwa menggunakan pendekatan surplus untuk mengukur manfaat sumberdaya alam merupakan pengukuran yang tepat karena sumberdaya dinilai berdasarkan alternative penggunaan terbaiknya (best alternative use). Surplus ekonomi dalam surplus konsumen, surplus produsen dan resource rent (rent sumberdaya).

Gambar 4 Consumer Surplus dan Producer Surplus Qe

Supply Curve

Demand Curve P

P

Q

Consumers Surplus

Produsers Surplus


(45)

19

2.4 Konsep Valuasi Ekonomi

Penggunaan metode analisis biaya dan manfaat (cost-benefit analisys/CBA) yang konvensional sering tidak mampu menjawab permasalahan yang terjadi pada sumberdaya dan lngkungan, sebab konsep ini sering tidak memasukan manfaat ekologis didalam analisisnya. Begitu juga ketika kita mengetahui kerusakan lingkungan terjadi akibat aktivitas ekonomi, misalnya pengambil kebijakan sering tidak mampu mengkuantifikasikan kerusakan tersebut dengan metode ekonomi yang konvensional. Permasalahan-permasalahan ini kemudian menjadi dasar pemikiran lahirnya konsep valuasi ekonomi (Fauzi dan Anna 2005).

(Fauzi 2004) mengatakan bahwa pemikiran mengenai valuasi ekonomi sudah dimulai sejak 1902 ketika Amerika melahirkan undang-undang River and Harbour Act of 1902 yang mewajibkan para ahli untuk melaporkan seluruh manfaat dan biaya yang ditimbulkan oeh proyek-proyek yang dilakukan di sungai dan pelabuhan. Konsep ini kemudian lebih berkembang setelah PD II, dimana konsep manfaat dan biaya lebih diperluas ke pengukuran yang sekunder atau tidak langsung dan yang tidak nampak (intangible). Dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan pada tahun 1980-an, konsep valuasi ekonomi sumberdaya dan lingkungan kemudian menjadi lebih luas dan mampu menjembatani kelemahan-kelemahan yang terdapat pada metode Benefit Cost Analisis yang konvensional karena sering tidak memasukkan manfaat ekologis di dalam analisisnya.

Lebih jauh lagi Fauzi (2005) menyebutkan bahwa valuasi ekonomi dapat di defenisikan sebagai upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang di hasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan, baik atas nilai pasar (market value) maupun nilai non pasar (non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tools) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengistimasi nilai uang dari barang dan jasa yang di berikan oleh suatu sumberdaya alam.

Akar dari konsep penilaian ini sebenarnya berlandaskan dari teori ekonomi neo-klasikal yang menekankan pada kepuasan atau keperluan konsumen berdasarkan pemikiran neo-klasikal ini dikemukakan bahwa penilaian setiap


(46)

individu pada barang dan jasa tidak lain adalah selisih antara keinginan membayar (willingness to pay) dengan biaya untuk mensuplai barang dan jasa tersebut (Barbier et al. 1997 di acu dalam Fauzi 1999)

1.

Menurut Suparmoko (2000) ada beberapa alasan mengapa satuan moneter diperlukan dalam valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan, tiga alasan utamanya adalah :

2.

Satuan moneter dapat digunakan untuk menilai tingkat kepedulian seseorang terhadap lingkungan.

3.

Satuan moneter dari manfaat dan biaya sumberdaya alam dan lingkngan dapat menjadi pendukung untuk keberpihakan terhadap kualitas lingkungan.

Satuan moneter dapat dijadikan sebagai bahan pembanding secara kuantitatif terhadap beberapa alternative suatu kebijakan tertentu termasuk pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan.

Valuasi ekonomi adalah nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya. Sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan mengenai sasaran valuasi ekonomi dilakukan karena sumberdaya alam bersifat public good, terbuka dan tidak mengikuti hukum kepemilikan dan tidak ada mekanisme pasar di mana harga dapat berperan sebagai instrument penyeimbang antara permintaan dan penawaran. Selain itu manusia di pandang sebagai homoeconomicus yang cenderung memaksimalkan manfaat total (Kusumastanto 2000).

Valuasi ekonomi merupakan analisiys non-market karena didasarkan pada mekanisme pemberian nilai moneter pada produk barang dan jasa yang tidak dipasarkan. Jika produk terpasarkan dapat digambarkan dalam kurva permintaan dengan kemiringan negative (downward slopping) maka kurva permintaan menggambarkan marginal valuation yang merupakan gambaran keinginan membayar (willingenes to pay = WTP) seseorang untuk memperoleh barang daripada tidak sama sekali. Pada barang yang tidak terpasarkan seperti keaneka ragaman hayati, nilai estetika dan sebagainya, kurva permintaan lebih menggambarakan trade off antara kualiatas satu produk dengan karekteristik lainnya (Fauzi, 2004).


(47)

21

Fauzi (2006) menyebutkan bahwa secara umum, teknik valuasi ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non market valuation) dapat di golongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok petama adalah teknik valuasi yang mengandalkan harga implicit dimana willingness to pay terungkap melalui model yang dikembangkan. Beberapa teknik yang termasuk ke dalam kelompok yang pertama ini adalah Travel Cost Method, Hedonic Pricing dan Random Utility Model. Kelompok yang kedua adalah teknik valuasi yang di dasarkan pada survey dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh langsung dari responden, yang langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Teknik valuasi yang termasuk dalam kelompok ini adalah Contingent Valuation method dan Discrete Choice Method.

Nilai ekonomi padang lamun (manfaat ekonomi total), terkait dengan biota yang hidupnya tergantung dengan ekosistem padang lamun sebesar U$ 412.325 per ha per tahun atau 11,3 milyar rupiah per hektar per tahun (Fortes, 1990). Terdapat hingga 360 spesies ikan (seperti ikan baronang), 117 jenis makro-alga, 24 jenis moluska, 70 jenis krustasea, dan 45 jenis ekinodermata (seperti teripang) yang hidupnya didukung oleh ekosistem padang lamun di Indonesia. Disamping itu, padang lamun telah dimanfaatkan secara langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk makanan, pupuk, obat-obatan dll.

2.5 Fungsi Ekonomi

Dibandingkan dengan sumberdaya pesisir dan laut lainnya seperti terumbu karang, atau mangrove, bahwa lamun kurang mendapat perhatian selama ini. Hal ini disebabkan terutama karena kurangnya kesadaran akan pentingnya sumberdaya lamun ini. Beberapa tentang perhitungan nilai ekonomi ekosistem lamun dapat dilihat pada Tabel 1.

Informasi nilai ekonomis kerang hias (Pyrene versicolor) dari teluk Banten dilaporkan Kiswara (2009) adalah Rp. 33.000.000.- kerang hias menempel pada daun Enhalus. Kerang hias setelah dibersihkan dibuat berbagai kerajinan seperti figure foto, gantungan lampu dan tirai. Kerajinan umumnya dimanfaatkan secara langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk makanan, pupuk, obat-obatan.


(48)

Tabel 1 Variasi Nilai Ekonomi Ekosistem Lamun (Fauzi 2009)

Referensi Lokasi Metode Nilai Ekonomi

Isdianto (2008) Kab. Pesisir Market value Rp. 3.414.000.000.000

Selatan Dan Non

Sumbar market value

PKSPL (1998) Kep. Riau Market value Rp. 34.730.214,90/ha/th

Nugroho (2008) Kep. Riau CVM & Rp. 66.229.789,0/ha/th

Market value

Juwana et al. (2007) Bintan Market value, US $ 3,634,796/ha/th Timur cost benefit &

travel cost Mc Arthur Lynne C;

Boland, John W (2006)

Australia Selatan

Market & non market

$ 114 Million/year

UNEP (2004) Hepu

Guangxi China

Market & non market

$ 14,839/ha


(49)

III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Waidoba, Kecamatan Kayoa Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara dan untuk keperluan pengambilan data persentase tutupan lamun dilakukan pada 15 site yang diplotkan kedalam 5 stasiun penelitian (Gambar 5), untuk data DPSIR dan data CVM sebagian besar diperoleh melalui hasil wawancara dengan nelayan setempat yang memanfaatkan ekosistem lamun sebagai daerah penangkapan ikan dan pengambilan biota non ikan yang meliputi Desa Posi-Posi, Desa Laluin, Desa Pasir Putih, Desa Sagaole, Desa Ngute-Ngute dan Desa Orimakurunga. Selanjutnya jadwal kegiatan penelitian terdiri dari kegiatan pengambilan data primer dan data sekunder yang dimulai pada bulan Oktober sampai dengan bulan Desember 2011.

3.2 Jenis dan Sumber Data

-Berdasarkan sumber data, data yang di kumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer di peroleh melalui pengamatan lapangan atau observasi dan wawancara dengan responden dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Secara khusus data primer yang diperoleh meliputi :

-Data aspek biofisik-kimia perairan terdiri dari :

-Kondisi perairan : diperoleh melalui hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan yang meliputi suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen, dan pH air

-Kondisi ekosistem lamun: meliputi persentase tutupan lamun, identifikasi lamun, dan luasan lamun

Data DPSIR (

- Aktivitas pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat, pengusaha perikanan pada ekosistem lamun

Driving force-Pressure-State-Impact-Response).

- Tingkat pemahaman masyarakat terhadap ekosistem lamun

-Estimasi nilai ekonomi dari fungsi dan manfaat ekosistim lamun di Pulau Waidoba


(50)

-Gambar 5 Peta Lokasi Penelitian

Data Non Use Value (nilai bukan Manfaat)

Kesediaan masyarakat dalam berpartisipasi untuk menjaga keberadaan dan kelestarian/keberlangsungan dari suatu sumber daya melalui kesediaan membayar (willingness to pay/WTP)

Adapun data sekunder diperoleh dari studi literatur dan berbagai instansi terkait. Studi literatur dibutuhkan untuk membandingkan nilai ekonomi yang didapatkan dari kawasan Pulau Waidoba dengan nilai ekonomi yang didapatkan pada kawasan ekosistem lamun yang lain. Jenis dan sumber data lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2.


(51)

25

Tabel 2 Matriks Jenis dan Sumber Data

No Tujuan Metode Analisis Jenis

Data

Sumber Data

1 Mengidentifikasi aspek ekologi perairan ekosistem lamun -Persentase tutupan lamun Pengukuran kualitas perairan Primer Primer Observasi Observasi

Mengidentifikasi aspek sosial ekonomi, DPSIR.

2

- Sosial ekonomi :

Jumlah penduduk dan mata pencarian

- DPSIR :

karakteristik masyarakat, bentuk dan tingkat

pemanfaatan, persepsi dan pemahaman masyarakat terhadap ekosistem lamun, dan peran pemerintah.

Analisis Deskriptif Analisis Kualitatif Sekunder Primer Statistik Kecamatan & KUD Khatulistiwa Responden/ Kuesioner

Mengestimasi nilai ekonomi dari fungsi dan manfaat ekosistim lamun di Pulau Waidoba, Kecamatan Kayoa

Selatan, Kabupaten

Halmahera Selatan.

3

-Efect on Production

(EoP)

Benefit Transfer

- Non Use Value (CVM)

Primer/ Sekunder Sekunder/ Primer Primer Responden/ Literatur Responden/ Literatur Responden/ kuesioner

3.3 Metode Pengambilan Data a. Data Ekologis

Penelitian mengenai valuasi ekonomi ekosistem lamun melalui pendekatan ekologis di Pulau Waidoba Kecamatan Kayoa Selatan, Provinsi Maluku Utara membutuhkan informasi data yang lengkap dan “up to date” yang meliputi data primer dan sekunder, serta analisis yang tepat dan akurat.

Pengumpulan data ekologis dilakukan secara langsung melalui pengukuran dan pengamatan terhadap kondisi perairan dan kondisi ekosistem lamun pada masing-masing stasiun penelitian, yaitu :


(52)

a.

b.

Pengukuran kualitas perairan (suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut, dan pH air)

1 Menentukan lokasi transek yang dipilih untuk pengamatan. Setiap stasiun terdiri dari 3 transek (sub stasiun) yang ditempatkan secara vertikal atau tegak lurus ke laut, dengan panjang 50 meter.

Pengukuran kondisi padang lamun merupakan gabungan metode Transek dan Petak Contoh (Transect Plot) dengan penentuan secara cepat persen penutupan lamun di lapangan (sumber: Marine Plant Ecology Group, northerm Fisheries Centre CAIRNS, Australia). Metode Transek dan Petak Contoh (Transect Plot) adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu komunitas dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem lamun tersebut. Adapun langkah-langkah pengambilan data dilapangan sebagai berikut;

2 Pada setiap garis transek ditempatkan kuadrat 50 x 50 cm sebanyak 5 kali mengikuti garis transek.

3 c.

Menentukan persen penutupan lamun di lapangan.

b.

Luasan lamun dilakukan melalui bantuan GPS.

Data DPSIR (

Pengumpulan data ini dilakukan melalui identifikasi secara langsung berdasarkan karakteristik dampak dan melalui hasil wawancara secara interview dari 60 responden. Penentuan responden dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa responden adalah pihak-pihak yang terkait langsung dengan kegiatan pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya lamun.

Driving force-Pressure-State-Impact-Response)

c. Data Efect on Production (EoP)

Pengumpulan data effect on production (EoP) melalui hasil wawancara secara interview dari 50 responden. Penentuan responden dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa responden adalah pihak-pihak yang terkait langsung dengan kegiatan pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya lamun. Responden diwancarai untuk mengetahui berapa besar produksi sumber daya alam yang mereka manfaatkan.


(53)

27

d. Data Nilai Bukan Manfaat ( Non Use Value)

Pengumpulan data nilai bukan manfaat (non use value) menggunakan metode contingent valuation method (CVM). Responden untuk data non use value terdiri dari nilai pilihan, nilai warisan, dan nilai keberadaan. Untuk nilai pilihan (option value) responden yang berhasil diwawancarai berjumlah 75 orang, sedangkan untuk nilai warisan (bequest value) dan nilai keberdaan (existensi value) masing-masing responden berjumlah 45 orang. Penentuan responden dilakukan secara sengaja. Responden yang didapat diwancarai untuk mengetahui kesediaan membayar (willingness to pay) masyarakat terhadap ketersediaan sumber daya alam dan lingkungan di Pulau Waidoba.

3.4 Metode Analisis Data

Metode analisis data yang dilakukan dalam melakukan valuasi ekonomi sumber daya alam dan lingkungan adalah sebagai berikut :

3.4.1 Analisis Ekologis

1.

Untuk mengetahui luas area penutupan lamun, digunakan Metode Saito dan Adobe (1970). Adapun metode perhitungannya adalah sebagai berikut :

2.

Petak contoh yang digunakan pengambilan contoh berukuran 50 cm x 50 cm yang masih dibagi-bagi lagi menjadi 25 sub petak, berukuran 10 cm x 10 cm, petak contoh yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 6.

Menentukkan persentase tutupan lamun pada tiap sub petak dan dimasukkan kedalam kelas kehadiran berdasarkan Tabel 3.


(54)

Tabel 3 Luas Area Penutupan Jenis Lamun

Kelas % Selang Kelas

penutupan Area

% NilaiTengah Kelas (M)

5 50 – 100 75

4 25 – 50 37,5

3 12,5 – 25 18,75

2 6,25 – 12,5 9,38

1 < 6,25 3,13

0 0 0

3.

...(1) Adapun perhitungan persen penutupan lamun pada masing-masing petak dilakukan dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

C = Persentase tutupan lamun ke-i (%)

Mi = Nilai tengah kelas persen penutupan lamun pada tiap sub petak/plot

f = Banyaknya sub petak pada persentase selang kelas penutupan jenis lamun ke-i

3.4.2 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif adalah suatu analisis yang digunakan untuk menggambarkan perkembangan karakteristik kondisi ekonomi dan sosial tertentu dari suatu daerah. Beberapa kondisi ekonomi dan sosial yang perlu dideskripsikan misalnya, laju pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, gambaran sektor pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Analisis deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran atau deskripsi suatu populasi.

Data yang dianalisis dapat berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Deskripsi dari lokasi sosial dan ekonomi suatu daerah bisa beragam bentuknya, bisa berupa tabulasi silang, grafik histogram dan sebagainya. Bentuk deskripsi ini dipilih sesuai dengan keperluan analisis agar tujuan penelitian ini bisa dicapai.


(55)

29

3.4.3 Analisis DPSIR

Untuk mendapatkan

Analisis mengenai pola pemanfaatan dan permasalahan yang berkaitan dengan sumberdaya padang lamun yang ada di kawasan pulau Waidoba di gambarkan secara kualitatif dengan menggunakan pendekatan Driving Force, Pressure, State, Impact and Response (DPSIR) yang merupakan pengembangan dari model analisis PSR (Pressure-State-Response) (OECD 1993 dalam Zacharias

et al. 2008). Pendekatan ini didasarkan pada deskripsi tipologi usaha, jenis sumberdaya, pola pemanfaatan dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Studi ini mengandalkan pendekatan ex-ante dimana gambaran kerangka analisis DPSIR sebelum dan setelah terjadi kerusakan pada ekosistim lamun akan digambarkan secara kualitatif melalui bantuan kuisioner yang terstruktur.

informasi mengenai keadaan lingkungan dan hubungan antara aktivitas manusia dan kemungkinan adanya perubahan lingkungan khususnya ekosistem lamun di Pulau Waidoba dilakukan analisis DPSIR (Driving force-Pressure-State-Impact-Response). Pendekatan ini didasarkan pada konsep rantai hubungan sebab akibat

Driving Force merupakan aktivitas manusia yang mengarah pada berbagai kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan tekanan terhadap lingkungan. Faktor pemicu utama bagi seorang individu adalah kebutuhan, seperti kebutuhan akan tempat tinggal dan makanan.

yang dimulai dengan aktivitas manusia (faktor pemicu) yang menyebabkan adanya tekanan terhadap lingkungan dan kemudian mengubah kualitas dan kuantitas sumberdaya alam hingga akhirnya mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan masyarakat.

Pressure adalah akibat dari proses produksi atau konsumsi yang disebabkan oleh adanya faktor pemicu yakni aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Tingkat tekanan terhadap lingkungan bergantung pada faktor pemicu dan faktor faktor lain yang berkaitan dengan interaksi manusia dan lingkungannya. Beberapa aktivitas manusia yang dapat menimbulkan pressure

yaitu pemanfaatan

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tempat tinggal menyebabkan terjadinya eksploitasi terhadap sumber daya alam. Faktor pemicu sekunder adalah kebutuhan untuk mobilitas, hiburan, budaya dan lain-lain.


(56)

dalam penggunaan sumberdaya dan emisi (bahan kimia, limbah, radiasi, kebisingan) ke udara, air dan tanah.

State adalah hasil dari pressure terhadap lingkungan di suatu kawasan. State merupakan kondisi fisik, kimia dan biologis suatu kawasan misalnya tingkat pencemaran, degradasi sumberdaya dan lain-lain. Perubahan secara fisik, kimia atau biologis yang terjadi pada sumberdaya alam dan lingkungan dalam suatu kawasan mempengaruhi kualitas ekosistem dan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan kata lain perubahan state berdampak (impact) pada lingkungan dalam fungsinya sebagai ekosistem, kemampuan pendukung hidup ekosistem dan akhirnya berdampak pada tingkat kesehatan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Response (tanggapan) masyarakat atau para pembuat kebijakan merupakan hasil dari dampak yang tidak diinginkan dan dapat mempengaruhi setiap bagian dari mata rantai hubungan sebab akibat dari faktor pemicu sampai dampak-dampak yang terjadi pada lingkungan.

Seiring dengan pandangan sistem analisis DPSIR, pengembangan sosial dan ekonomi menyebabkan mendorong terjadinya tekanan pada lingkungan, secara konsekuen terjadi perubahan pada keberadaan/kondisi lingkungan. Hal tersebut berdampak pada fungsi ekosistem. Akhirnya masyarakat memberikan responnya baik secara langsung maupun tidak lansung terhadap adanya perubahan dalam sistemnya (Gambar 7).

Response meliputi penetapan peraturan, perubahan strategi manajemen dan lain-lain. Contoh response yang dilakukan oleh nelayan dalam mengantisipasi dampak perubahan hasil tangkapan adalah dengan memodifikasi alat tangkap.


(57)

31

Analisis data yang digunakan menggunakan teknik valuasi ekonomi untuk menghitung nilai total ekonomi (total economic value) dari ekosistem lamun. Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat di tentukan secara benar dan mengenai sasaran (Nilwan et al, 2003).

3.4.4 Analisis Valuasi Ekonomi

Total economic value dapat ditulis secara matematis (CSERGE,1994

dalam Nilwan et al, 2003):

TEV = UV + NUV = (DUV+IUV+OV)+(XV+BV) ... (2)

dimana :

TEV = Total Economic Value IUV = Indirect Use Value

UV = Use Values OV = Option Value

NUV = Non Use Values XV = Existence Value

DUV = Direct Use Value BV = Bequest Value

Gambar 7 Kerangka DPSIR (Stanners et al 2007)

Aktivitas Responses

Driving force

Pressure Impact

Polutan Kesehatan ekosistem

Kualitas State


(58)

Dalam penelitian ini, nilai-nilai yang ada di sumberdaya (use value, dan non-use value), berikut teknik valuasi yang digunakan, secara ringkas tercantum pada Tabel 4.

Tabel 4 Hubungan Nilai Dengan Teknik Valuasi Yang Digunakan

Nilai (Value) Teknik Valuasi

A. Use Value

A1. Direct Use Value - Tangkapan ikan

- Tangkapan biota non ikan

Effect on Production (EoP)

Effect on Production (EoP) A2. Indirect Use Value

- Fungsi pendukung biologi ekosistem lamun

sebagai tempat nursery ground

- Fungsi jasa lingkungan sebagai blue carbon

Benefit Tranfer

Benefit Tranfer

B. Non Use Value

Option Value Contingent Valuation Method Existence Value Contingent Valuation Method Bequest Value Contingent Valuation Method

Sementara itu, teknik valuasi yang akan digunakan terhadap masing-masing nilai menggunakan beberapa pendekatan, yaitu effect on production (EoP) dan

contingent valuation method (CVM). Uraian masing-masing teknik valuasi berikut tahapan pelaksanaannya adalah sebagai berikut :

1. Effect on Production (EoP)

Pendekatan untuk menduga nilai ekosistem pesisir berdasarkan fungsinya terhadap produktivitas perikanan dikenal sebagai pendekatan effect on production

(EoP). Metode yang digunakan berdasarkan kepada pendekatan hasil produksi (Effect on Production Approach, EoP) yaitu dengan mengalikan hasil produksi dan harga maka nilai manfaat langsung (benefit) dari ekosistem lamun dapat diestimasi. Berikut adalah langkah-langkah pendugaan nilai ekonomi sumberdaya berdasarkan konsumen surplus:


(59)

33

... 3 Dimana;

Q = Jumlah sumberdaya yang diminta selama setahun X1 = Harga sumberdaya yang diminta

X2 = Umur responden

X3 = Tingkat pendidikan responden

X4 = Tingkat pendapatan per tahun responden X5 = Jumlah keluarga responden

2. Mentransformasi fungsi permintaan menjadi bentuk persamaan harga linear

………. 4 ……… 5 ………. 6

3. Mentransformasi kembali fungsi permintaan menjadi bentuk persamaan asal (Langkah 1)

……… 7

4. Mentransformasi fungsi permintaan menjadi bentuk persamaan harga non-linear

... 8

5. Mengestimasi Total Kesediaan Membayar

……….……… 9

6. Mengestimasi Surplus Konsumen


(60)

………….………..……… 11

CS = U – PQ ……..………..12

2. Contingent Valuation Method (CVM)

Metode valuasi kontingensi digunakan untuk mengistimasi nilai ekonomi untuk berbagai macam ekosistem dan jasa lingkungan yang tidak memiliki pasar, misal keindahan. Metode ini merupakan teknik dalam menyatakan preferensi, karena menanyakan orang untuk menyatakan penilaian, penghargaan mereka. Pendekatan ini juga memperlihatkan seberapa besar kepedulian terhadap suatu barang dan jasa lingkungan yang dilihat dari manfaatnya yang besar bagi semua pihak sehingga upaya pelestarian diperlukan agar tidak kehilangan manfaat itu (Suparmoko et al, 2007).

Pendekatan ini disebut contingent (tergantung kondisi) karena pada prakteknya informasi yang diperoleh sangat bergantung dari hipotesis pasar yang dibangun, misalnya: seberapa besar yang harus ditanggung, bagaimana pembayarannya, dan sebangainya. Pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: teknis eksperimental melalui simulasi dan permainan dan melalui teknik survey. Pendekatan pertama lebih banyak dilakukan dengan melalui simulasi komputer sehingga penggunaannya di lapangan sangat sedikit.

Pendekatan CVM pada hakikatnya betujuan untuk mengetahui keinginan membayar (willingness to pay) dari sekelompok masyarakat, misalnya terhadap perbaikan kualitas lingkungan dan keinginan menerima (willingness to accept) dari kerusakan suatu lingkungan. Hal ini didasarkan pada asumsi mendasar mengenai hak kepemilikan, jika individu yang ditanya tidak memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam, pengukuran yang relevan adalah keinginan membayar yang maksimum untuk memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, jika individu yang kita tanya memiliki hak atas sumber daya, pengukuran yang relevan adalah keinginan untuk menerima kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya sumberdaya yang dia miliki.


(61)

35

Metode CVM merupakan metode valuasi melalui survei langsung mengenai penilaian respon secara individual dengan cara menanyakan kesediaan untuk membayar (willingness to pay) terhadap suatu komoditi lingkungan atau terhadap suatu sumberdaya non marketable. Dikatakan contingent, karena pada kondisi tersebut respon seolah-olah dihadapkan pada pasar yang sesungguhnya dimana sedang terjadi transaksi. Metode ini selain dapat digunakan untuk mengkuantifikasi nilai pilihan, nilai eksistensi dan nilai pewarisan juga dapat digunakan untuk menilai penurunan kualitas lingkungan perairan. Dalam operasionalnya untuk melakukan pendekatan CVM dilakukan lima tahapan kegiatan atau proses (Bakosurtanal, 2005) yaitu:

1. Membuat hipotesis pasar

Pada awal proses kegiatan CVM, seorang peneliti terlebih dahulu harus membuat hipotesis pasar terhadap sumber daya yang akan dievaluasi. Dalam hal ini kita bisa membuat suatu kuesioner yang berisi informasi lengkap mengenai kegiatan atau proyek yang akan dilaksanakan.

2. Mendapatkan nilai lelang (bids)

Untuk mempeoleh nilai lelang dilakukan dengan menggunakan survei baik melalui survei langsung dengan kuesioner, interview via telepon maupun lewat surat. Tujuan dari survei ini untuk memperoleh nilai maksimum keinginan membayar (WTP) dari responden terhadap suatu proyek misalnya perbaikan lingkungan. Nilai lelang ini bisa dilakukan dengan teknik: pertanyaan berstruktur dangan membuat kuesioner yang berstruktur sehingga akan diperoleh nilai WTP yang maksimum, pertanyaan terbuka yaitu responden diberikan kebebasan untuk menyatakan nilai moneter (rupiah yang ingin dibayar) untuk suatu proyek perbaikan lingkungan, model referendum yaitu responden diberikan suatu nilai rupiah, kemudian kepada mereka diberikan pertanyaan setuju atau tidak.

3. Menghitung rataan WTP

Setelah survei dilaksanakan, tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan dari WTP dan WTA dari setiap individu. Nilai ini didasarkan nilai lelang (bid) yang diperoleh pada tahap dua.


(62)

Kurva lelang (bid curve) diperoleh misalnya dengan me-regresikan WTP/WTA sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan beberapa variabel bebas. Misalnya saja kita ingin memformulasikan bahwa WTP dari seseorang individu akan dipengaruhi oleh pendapatan (I), pendidikan (E), umur (A), dan kualitas lingkungan (Q), maka secara matematis bisa dituliskan sebagai berikut:

…………..………12

Persamaan diatas secara lebih eksplisit bisa dituliskan dalam fungsi logarithmic sehingga bisa diestimasi dengan metode regresi biasa, misalnya:

………13

dimana I menunjukan indeks responden, W adalah variabel WTP, sedangkan variabel lainnya sama dengan definisi diatas.

5. Mengagretkan data

Tahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap ke-tiga. Proses ini melibatkan konversi dari rataan sampel kerataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga didalam populasi.

Data yang telah dikumpulkan kemudian dipilah dan ditabulasi agar memenuhi keperluan analisis. Analisis data pada Teknik CVM menggunakan perhitungan Total Benefit sebagai analisis dasar untuk menghitung WTP. Untuk mendapatkan dugaan hubungan antara WTP (nilai keberadaan sumber daya) dengan karakteristik responden. maka didekati dengan menggunakan formula sebagai berikut:


(63)

37

Dimana;

WTPi = Kesediaan membayar pengguna terhadap suatu sumber daya n = Jumlah Responden

Xi = Parameter penjelas ke-i (seperti usia, pendidikan, pengalaman, pendapatan).

Persamaan di atas, dinormalisasikan agar menyesuaikan bentuk data yang telah dikumpulkan. Penggunaan metoda yang digunakan Grigalunas and Congar, (1995) umumnya digunakan untuk data yang memiliki nilai sebaran yang relatif seragam dengan interval tidak terlalu besar, sehingga untuk memudahkan analisis data maka dapat digunakan metoda seperti yang digunakan oleh Yaping, (1999).

Dimana:

WTP = Willingness To Pay (Nilai Kesediaan Membayar) a = Konstanta

E = Tingkat Pendidikan (hasil pembobotan) I = Pendapatan per tahun

A = Usia Responden (tahun), XP = Pengalaman

n = Jumlah responden

3. Benefit Transfer

Benefit transfer adalah suatu transfer nilai moneter suatu hasil studi valuasi ekonomi dari suatu lokasi (yang memiliki data) ke lokasi yang tidak ada datanya. Metode ini menilai perkiraan benefit dari tempat lain (dimana sumberdaya tersedia) kemudian benefit tersebut ditransfer untuk memperoleh perkiraan yang kasar mengenai manfaat dari lingkungan (Fauzi, 2003).

Valuasi ekonomi merupakan aktivitas yang cukup memerlukan waktu dan biaya. Keterbatasan hasil studi/penelitian khususnya pada ekosistem lamun dan banyaknya kendala untuk suatu penghitungan sehingga metode benefit transfer merupakan solusi dalam melakukan valuasi SDAL. Metode ini digunakan dengan


(64)

asumsi nilai asuhan ikan (nursery ground) pada usaha budidaya ikan baronang secara intensif di tambak per hektar (Kordi, 2010) dikalikan dengan harga bibit ikan dan dibagi lagi dengan biaya investasi dikeluarkan 5 tahun sekali sesuai dengan umur tambak (Suparmoko et al, 2004). Sedangkan untuk nilai serapan karbon pada ekosistem lamun merupakan total hamparan ekosistem padang lamun di Indonesia seluas 30.000 kilometer persegi yang mampu menyerap carbon 56,3 juta ton/thn.


(1)

Investasi

No. Investasi Jumlah Nilai

(Rp)

Baru/ Lama

Umur

ekonomi Beban

1. Kapal/perahu 2. Mesin

3. Alat tangkap (unit) 4. Penanganan

5. Lainya ...

Biaya operasional

16.Biaya ABK/Trip : Rp ...

17.bahan Bakar ; Rp./trip/kapal(perahu) ... 18.Oli ; Rp./trip/kapal(perahu) ... 19.Bahan Pengawet ; Rp./trip/kapal(perahu) ... 20.lain-lain ; Rp./trip/kapal(perahu) ... Biaya perawatan

1. kapal/perahu ; Rp./trip/kapal(perahu) ... 2. alat tangkap ; Rp./trip/kapal(perahu) ... 3. lain-lain ; Rp./trip/kapal(perahu)


(2)

Lampiran I4 Kuesioner Non Use Value (Option Value, Existence Value, Bequest Value)

LEMBAR KUESIONER PENELITIAN

Tehnik Cost Valution Method (CVM) Untuk WTP Nilai Pilihan Pada Ekosistem Lamun Pulau Waidoba Kecamatan Kayoa Selatan Kabupaten

Halmahera Selatan Responden

Nama Umur Tanggungan

Pendapatan Per Bulan Pekerjaan

Pendidikan. Alamat

Skenario penilaian terhadap manfaat pilihan ekosistem lamun Pulau Waidoba Kecamatan Kayoa Selatan Kabupaten Halmahera Selatan

Option Value Umum

1. Secara umum, menurut bapak apakah terjadi penurunan produksi tangkapan ikan dari tahun ke tahun?

a. ya b. tidak c. tidak tahu

2. Kalau ya, penurunan produksi meliputi aspek apa saja a. Ukuran ikan

b. total tangkapan per hari/bulan/tahun c. tidak tahu

3. Menurut bapak apa penyebab dari penurunan produksi tangkapan ikan a. Kegiatan manusia

b. Faktor alam c. Tidak tahu

:……… :……… :……… :………... :………... :……… :………....

“Masyarakat nelayan Pulau Waidoba sangat tergantung pada ekosistem lamun sebagai tempat melakukan penangkapan ikan maupun penangkapan biota-biota non ikan. Penangkapan ikan dan biota non ikan yang dilakukan secara terus menerus tanpa memperhatikan nilai-nilai keberlanjutan suatu sumberdaya, hal ini dampak berdampak kepada penurunan produksi/stok ikan, perubahan kualitas lingkungan perairan, dan bahkan dapat mengancam kerusakan ekositem lamun. Pengelolaan ekosistem lamun melalui kegiatan restoking dan marine ranching merupakan salah satu pilihan yang tepat untuk, baik untuk meningkatkan populasi biota padang lamun maupun melindungi dan mencengah meningkatnya kerusakan padang lamun. Restoking adalah penebaran kembali biota kesuatu perairan untuk meningkatkan stok maupun pelestarian biota. Sedangkan marine ranching adalah penebaran benih ikan ke dalam perairan laut”.


(3)

4. Jika penurunan karena produksi karena faktor kegiatan manusia maka apa bentuk kegiatannya

a. Penambahan jumlah nelayan

b. Penggunaan alat tangkap yang merusak c. Perusakan lingkungan sekitar perairan d. Tidak tahu

5. Menurut bapak jenis ikan apa yang dirasakan paling mengalami penurunan

6. Jika seandainya seluruh jenis ikan ekonomis tinggi telah habis, maka apakah bapak masih berusaha sebagai nelayan?

a. ya b. tidak c. tidak tahu alasan ….

7. Menurut bapak apakah upaya penebaran kembali bibit ikan yang telah mengalami penurunan dapat mengatasi masalah ini?

a. ya b. tidak c. tidak tahu alasan….

8. Apakah bapak bersedia berpartisipasi dalam pembiayaan untuk penebaran bibit tersebut?

a. ya b. tidak alasan …

9. Jika ya, berapakah besarnya biaya yang bapak ingin keluarkan untuk berpartisipasi dalam upaya penebaran bibit

a) 1000 b). 5000, c). 6000,- d). 7.000,- e).8.000,- f). 9.000,-g).10.000, h).11.000,- i). 12,000,- j). 13,000,- k). 15,000- l). 20,000,-


(4)

LEMBAR KUESIONER PENELITIAN

Tehnik Cost Valution Method (CVM) Untuk WTP Nilai Warisan Pada Ekosistem Lamun Pulau Waidoba Kecamatan Kayoa Selatan Kabupaten

Halmahera Selatan Responden

Nama Umur Tanggungan

Pendapatan Per Bulan Pekerjaan

Pendidika Alamat

Skenario penilaian terhadap manfaat keberlanjutan ekosistem lamun Pulau Waidoba Kecamatan Kayoa Selatan Kabupaten Halmahera Selatan

Bequest Value

1. Menurut bapak, bagaimana kondisi sumber daya perairan (ekosistem lamun) di lokasi ini :

a. Masih relatif baik b. Sudah mulai rusak c. Sama saja dari dulu d. tidaktahu

alasan ... 2. Menurut bapak, bagaimana kondisi perairan 5 tahun terakhir :

a. Masih relatif baik b. Sudah mulai rusak c. Sama saja dari dulu d. Tidak tahu

3. Menurut bapak, penyebab berubahnya kondisi perairan disebabkan oleh apa : a. kegiatan manusia

b. alamiah c. tidak tahu

sebutkan ... :………... :……… :……… :……… :……… :……… :………

“Masyarakat nelayan Pulau Waidoba sangat tergantung pada ekosistem lamun sebagai tempat melakukan penangkapan ikan maupun penangkapan biota-biota non ikan. Penangkapan ikan dan biota non ikan yang dilakukan secara terus menerus tanpa memperhatikan nilai-nilai keberlanjutan suatu sumberdaya, hal ini dampak berdampak kepada penurunan produksi/stok ikan, perubahan kualitas lingkungan perairan, dan bahkan dapat mengancam kerusakan ekositem lamun. Pengelolaan ekosistem lamun melalui penetapan wilayah reservat (daerah perlindungan ekosistem padang lamun) menjadi hal yang sangat penting dalam rangka menjaga dan memperbaiki ekosistem lamun yang telah mengalami kerusakan.”


(5)

4. Menurut bapak bagaimanakah kondisi yang akan datang (5-10 tahun ke depan), jika tidak ada upaya perbaikan lingkungan?

a. Masih relatif baik b. Sudah mulai rusak c. Sama saja

d. Tidak tahu

alasan ... 5. Apakah perlu untuk melakukan perbaikan lingkungan :

a. perlu, sebutkan bentuk perbaikan nya:... b. tidak perlu, alasan ... c. tidak tahu

6. Menurut bapak apakah wilayah reservat (jelaskan lebih dulu pengertian reservat) dapat memperbaiki kondisi lingkungan?

a. dapat memperbaiki lingkungan b. tidak dapat memperbaiki lingkungan c. tidak tahu

alasan ... 7. Menurut bapak apakah dengan adanya wilayah reservat, maka dapat terus

menjaga kelangsungan usaha yang bapa lakukan di masa mendatang oleh anak-cucu bapak?

a. ya b. tidak c. tidak tahu

alasan ... 8. Bila dalam pembentukan wilayah reservat diperlukan adanya pengorbanan,

maka pengorbanan dalam bentuk apa yang bapak sedia lakukan a. membayar iuran

b. mengurangi wilayah pengoperasian penangkapan ikan c. lainnya, sebutkan ...

d. tidak bersedia

9. Bila membayar iuran berapa besar yang sedia bapak bayarkan untuk menjaga wilayah reservat.

a) 1000,- b). 5000,- c). 7.500,- d). 10.000,- e).12.500,- f). 15.000,- g).17,500,- h). 20.000, i). 22.500,- j). 25.000,- k). 30.000,-


(6)

LEMBAR KUESIONER PENELITIAN

Tehnik Cost Valution Method (CVM) Untuk WTP Nilai Keberadaan Pada Ekosistem Lamun Pulau Waidoba Kecamatan Kayoa Selatan Kabupaten

Halmahera Selatan Responden

Nama Umur Tanggungan

Pendapatan Per Bulan Pekerjaan

Pendidikan Alamat

Skenario penilaian terhadap manfaat keberlanjutan ekosistem lamun Pulau Waidoba Kecamatan Kayoa Selatan Kabupaten Halmahera Selatan

Existence Value

1. Apakah keberadaan ekosistem lamun mempunyai arti yang sangat penting bagi bapak selain sebagai daerah penangkapan ikan !

a. ya b. tidak

2. Kalau ya punya arti apa, sebutkan !

3. Bila ekositim lamun mengalami kerusakan, berapa besarnya biaya yang sedia bapak keluarkan untuk berpartisipasi memulihkan kerusakan ekosistem lamun tersebut!

a).1000.- b) 5000,- c). 10.000,- d). 15.000,- e).20.000,- f). 25.000,- g).30.000,- h). 35.000, i). 40.000,- j). 45.000,- k). 50.000,-

:……… :……… :……… :……… :……… :……… :………...

“Masyarakat nelayan Pulau Waidoba sangat tergantung pada ekosistem lamun sebagai tempat melakukan penangkapan ikan maupun penangkapan biota-biota non ikan. Penangkapan ikan dan biota non ikan yang dilakukan secara terus menerus tanpa memperhatikan nilai-nilai keberlanjutan suatu sumberdaya, hal ini dampak berdampak kepada penurunan produksi/stok ikan, perubahan kualitas lingkungan perairan, dan bahkan dapat mengancam kerusakan ekositem lamun. Pengelolaan ekosistem lamun menjadi hal yang sangat penting guna melestarikan keberadaan sumberdaya padang lamun.”