Respon Kualitas Pascapanen Terong Gelatik (Solanum Melongena L.) Pada Penyimpanan Dingin

i

RESPON KUALITAS PASCAPANEN TERONG GELATIK
(Solanum melongena L.) PADA PENYIMPANAN DINGIN

DYAH RIZA UTAMI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Respon Kualitas
Pascapanen Terong Gelatik (Solanum Melongena L.) pada Penyimpanan Dingin
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Dyah Riza Utami
NIM F152150186

iv

RINGKASAN
DYAH RIZA UTAMI. Respon Kualitas Pascapanen Terong Gelatik (Solanum
melongena L.) pada Penyimpanan Dingin. Dibimbing oleh SUTRISNO dan
YOHANES ARIS PURWANTO.
Terong gelatik merupakan jenis sayuran indigenous di Jawa Barat.
Pemanfaatannya sebagai lalapan menuntut terong gelatik tersaji dalam kondisi

segar, sehingga dibutuhkan suhu penyimpanan dingin yang sesuai. Suhu
penyimpanan dingin terong pada umumnya disarankan pada 10-16 oC, RH 9095%, namun kenyataannya di pasar tradisional dan modern terong gelatik
disimpan pada suhu yang tidak sesuai. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
respon mutu fisik dan gizi terong gelatik pada variasi suhu penyimpanan dingin 5,
10, 15 oC dan suhu ruang, serta menentukan suhu penyimpanan dingin yang tepat
untuk terong gelatik selaku sayur lalapan.
Penelitian dimulai dari pemanenan, sortasi, pencucian, penirisan dan
penyimpanan dalam refrigerator masing-masing pada suhu 5, 10, 15 oC dengan
RH 90-95% dan suhu ruang. Parameter mutu pascapanen yang diamati terdiri dari
laju respirasi, kadar air, susut bobot, warna, kekerasan, browning daging buah,
potensial oksidasi, indeks chilling injury, total padatan terlarut, total fenol dan
total mikroba.
Berdasarkan pola laju respirasi, terong gelatik tergolong non-klimakterik
karena tidak terjadi peningkatan laju respirasi secara drastis. Kadar air mengalami
penurunan dan menyebabkan peningkatan susut bobot. Suhu 5 dan 10 oC mampu
mempertahankan kekerasan terong gelatik dibanding suhu 15 oC dan suhu ruang.
Nilai b terong gelatik mengalami peningkatan pada semua suhu karena warna
kulit menguning selama penyimpanan. Sedangkan daging buah mengalami
peningkatan browning selama penyimpanan dan peningkatan tertinggi terjadi pada
suhu 5 oC yang disertai dengan tingginya indeks chilling injury. Total padatan

terlarut pada suhu 10 oC meningkat dari hari ke-14 hingga akhir penyimpanan,
diduga karena terjadi akumulasi asam organik pada suhu tersebut.
Total fenol mengalami penurunan 45.68, 21.66 dan 37.09 % masing-masing
untuk 5, 10 dan 15 oC, sedangkan pada penyimpanan suhu ruang meningkat
11.40%. Penurunan total fenol terkecil pada suhu 10 oC diikuti peningkatan total
padatan terlarut diduga karena terjadi aku mulasi asam klorogenik. Sedangkan
peningkatan total fenol pada suhu ruang diduga karena terong gelatik mengalami
stres sehingga memicu biosintesis senyawa fenolik. Total mikroba terong gelatik
mengalami peningkatan pada seluruh variasi suhu, dengan peningkatan tertinggi
terjadi pada suhu ruang dan terendah pada suhu 5 oC.
Terong gelatik disarankan disimpan dingin pada suhu 10 oC dengan RH 9095% sebagai suhu terbaik, meningkatkan TPT, mempertahankan kekerasan dan
total fenol, serta lebih baik dalam mempertahankan terong gelatik dari chilling
injury.
Kata kunci: mutu, penyimpanan, suhu dingin, terong gelatik, total fenol

v

SUMMARY
DYAH RIZA UTAMI. Postharvest Quality Response of Thai Eggplant (Solanum
melongena L.) on Cold Storage. Supervised by SUTRISNO and YOHANES

ARIS PURWANTO.
Thai eggplant is an indigenous vegetable in West Java. Its utilization as
ready to serve vegetable demanding Thai eggplant serve in fresh condition, so it is
needed an appropriate low temperature for Thai eggplant storage. Generally,
admissible low temperature storage for eggplants at 10-16 oC with RH 90-95%.
But, in fact Thai eggplant in traditional and modern market was stored in
inappropriate temperature. So, the aim of this study was to analyze the effect of
low temperature storage on postharvest quality of Thai eggplant, and determine
the best temperature for Thai eggplant storage as ready to serve vegetable.
This study was started by harvesting, sorting, cleaning, draining and storage
in refrigerator at 5, 10, 15 oC with RH 90-95% and room temperature. Physical
quality parameter consist of respiration rate, moisture content, weight loss, color
(lightness, redness to greenness (a) and yellowness to blueness (b)), firmness, pulp
browning, oxidation potential, chilling injury index, total soluble solid. Then
nutrient quality consist of total phenolics and total microbes. The data obtained
were analyzed using analysis of variance and continued with Duncan test at 95%
confidence level.
Based on respiration rate trend, Thai eggplant included on non-climacteric,
because it was not founded dramatically increase of respiration rate during
storage. Moisture content decrease caused weight loss increase, according to the

weight loss percentage. Storage at 5 and 10oC maintained Thai eggplant firmness
better than at 15 oC and room temperature. Thai eggplant b value increased on all
temperature, it was caused by peel color changing from green to yellow during
deterioration process. Fruit pulp browning increased during storage higher at 5 oC
that was accompanied with high index chilling injury. Total soluble solid at 10 oC
increased in day 14 up to the end of storage, it was estimated that organic acid
accumulated on those temperature.
Total phenolics decreased 45.69, 21.66 and 37.09% at 5, 10, 15 oC
respectively. Whereas total phenolics increased 11.40%. at room temperature. The
lower decrease at 10 oC was accompanied with total soluble solid increase, it was
estimated that chlorogenic acid accumulated on those temperature. Then, total
phenolic increase at room temperature was estimated that Thai eggplant was
stress, so triggered biosynthesis of phenolics compound. Total microbes at all
temperature increased dramatically, higher at room temperature and lower at 5 oC.
Thai eggplant was suggested to stored at 10 oC with RH 90-95% as the best
temperature. Thai eggplant storage at 10 oC increased total soluble solids,
maintained fruit firmness and total phenolics, better in maintained Thai eggplant
from chilling injury.
Key words: low temperature, quality, storage, Thai eggplant, total phenolics


vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjuan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

vii

RESPON KUALITAS PASCAPANEN TERONG GELATIK
(Solanum melongena L.) PADA PENYIMPANAN DINGIN

DYAH RIZA UTAMI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

viii

Panguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Usman Ahmad, MAgr

ix
Judul Tesis : Respon Kualitas Pascapanen Terong Gelatik (Solanum melongena
L.) pada Penyimpanan Dingin
Nama
: Dyah Riza Utami
NIM
: F152150186


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr
Ketua

Dr Y Aris Purwanto, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Pascapanen

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

x

xi

PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang senantiasa memberi
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang
berjudul Respon Kualitas Pascapanen Terong Gelatik (Solanum melongena L.)
pada Penyimpanan Dingin. Penelitian tesis ini telah dilaksanakan dari bulan
Desember 2015 hingga Maret 2016.
Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua yang setia
memberikan dukungan dan doanya. Ucapan terima kasih yang begitu besar
penulis persembahkan kepada Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr selaku ketua
pembimbing dan Dr Y Aris Purwanto, MSc selaku anggota pembimbing yang
telah memberikan bimbingan serta sarannya, serta Dr Usman Ahmad, MAgr

selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan tesis
ini. Ucapan terima kasih juga tidak lupa penulis sampaikan kepada semua pihak
yang telah membantu menyelesaikan penulisan tesis ini, secara khusus kepada
keluarga besar Teknologi Pascapanen angkatan 2014 dan 2015, kepada keluarga
besar laboratorium TPPHP, kepada Yeni Nurmaghfiroh selaku sahabat kental
yang telah membantu proses penelitian.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak sangat diharapkan. Penulis berharap tulisan ini nantinya dapat
memberi manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2016

Dyah Riza Utami

xii

xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

v
v
v
1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA

3

Terong Gelatik (Solanum melongena L.)

3

Penyimpanan Dingin

4

Suhu Penyimpanan Dingin

4

Total Mikroba

5

Senyawa Fenol

6

METODE

7

Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian

7

Alat

7

Bahan

7

Prosedur Penelitian

7

Prosedur Pengambilan Data

8

Analisis Statistik
HASIL DAN PEMBAHASAN

11
12

Laju Respirasi

12

Kadar Air

14

Susut Bobot

15

Kekerasan

17

Warna

18

Browning Index (L0)

19

Potensial Oksidasi (∆L)

21

Indeks Chilling Injury (CII)

22

Total Padatan Terlarut (TPT)

23

Total Fenol

24

Total Mikroba

25

SIMPULAN DAN SARAN

26

DAFTAR PUSTAKA

26

xiv
RIWAYAT HIDUP

40

DAFTAR TABEL
1
2

Komponen nutraceutical dan kapasitas antioksidan thai eggplant
Total mikroba terong gelatik pada awal dan akhir penyimpanan

3
26

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

4
5

6
7
8
9
10
11
12
13
14

Diagram alur proses penelitian
Sebaran suhu bola basah dan bola kering (1) dan RH (2) refrigerator
selama 18 hari penyimpanan
Perubahan laju respirasi terong gelatik pada variasi suhu penyimpanan
5, 10, 15 oC dan suhu ruang berdasarkan RO2 (1) dan RCO2 (2) selama
18 hari penyimpanan
Penurunan kadar air terong gelatik pada variasi suhu penyimpanan 5,
10, 15 oC dan suhu ruang selama 18 hari penyimpanan
Peningkatan susut bobot terong gelatik pada variasi suhu penyimpanan
5, 10, 15 oC dan suhu ruang selama 18 hari penyimpanan (1) serta
hubungannya dengan penurunan kadar air (2)
Perubahan kekerasan terong gelatik pada variasi suhu penyimpanan 5,
10, 15 oC dan suhu ruang selama 18 hari penyimpanan
Perubahan nilai L (1), a (2), b (3) terong gelatik pada variasi suhu
penyimpanan 5, 10, 15 oC dan suhu ruang selama 18 hari penyimpanan
Visualisasi terong gelatik yang menguning pada penyimpanan dingin
suhu 5 oC (a), 10 oC (b), 15 oC (c) dan suhu ruang (d)
Perubahan L0 daging dan biji terong gelatik pada variasi suhu
penyimpanan 5, 10, 15 oC dan suhu ruang selama 18 hari penyimpanan
Visualisasi browning daging dan biji terong gelatik pada awal (atas)
dan akhir (bawah) penyimpanan
Perubahan ∆L daging dan biji terong gelatik pada variasi suhu
penyimpanan 5, 10, 15 oC dan suhu ruang selama 18 hari penyimpanan
Peningkatan CII terong gelatik pada suhu penyimpanan 5 dan 10 oC
selama 18 hari penyimapanan
Perubahan TPT terong gelatik pada variasi suhu penyimpanan 5, 10, 15
o
C dan suhu ruang selama 18 hari penyimpanan
Total fenol terong gelatik pada variasi suhu penyimpanan 5, 10, 15 oC
dan suhu ruang pada awal dan akhir penyimpanan

8
12

13
14

16
17
18
19
20
20
21
22
23
24

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk laju produksi CO2
Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap laju produksi CO2
Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk laju konsumsi O2
Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap laju konsumsi O2
Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk kadar air
Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap kadar air
Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk susut bobot

31
31
31
32
32
32
32

xv
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap kadar air
Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk kekerasan
Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap kekerasan
Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk Lightness (L)
Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap lightness (L)
Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk kroma a
Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap kroma a
Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk kroma b
Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap kroma b
Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk browning index
Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap browning index
Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk potensial oksidasi
Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap potensial oksidasi
Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk CII
Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap CII
Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk TPT
Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap TPT
Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk total fenol
Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap total fenol
Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk total mikroba
Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh suhu terhadap total mikroba

33
33
33
34
34
34
35
35
35
35
36
36
36
37
37
37
37
38
38
38
39

xvi

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Terong merupakan jenis sayuran tropis dan subtropis yang memiliki umur
simpan yang rendah, akibat susut bobot dan perubahan mutu fisik selama
penyimpanan. Umur simpan terong var. ryoma hanya 4 hari jika disimpan pada
suhu 30 oC dan 5 hari pada suhu 20-25 oC, masing-masing pada RH 90% (Jha dan
Matsuoka 2002). Terong disarankan disimpan pada suhu 10-16 oC dengan RH 9095% (Boyer dan Mc Kiney 2013).
Ketidak sesuaian suhu pada penyimpanan dingin dapat mempengaruhi mutu
fisik terong, seperti yang terjadi pada terong cv. Money Maker No. 2 yang
disimpan pada suhu 0 dan 5 oC mengalami chilling injury dan browning daging
buah, masing-masing pada hari penyimpanan ke 5 dan 9 (Concellon et al. 2004).
Selain itu terong cv. Money Maker No. 2 yang disimpan pada suhu 0 oC
mengalami penurunan lightness serta menunjukkan terjadinya kerusakan jaringan
ultrastruktur pada daging buah (Concellon et al. 2007). Penelitian terbaru juga
melaporkan bahwa terong cv. Lucía yang disimpan pada suhu 0 oC mengalami
penurunan antioksidan setelah terjadi browning dan chilling injury pada daging
buah (Concellon et al. 2012).
Suhu penyimpanan berpengaruh secara nyata terhadap perubahan mutu fisik
beberapa kultivar terong, seperti yang telah dilaporkan penelitian sebelumnya
(Concellon et al. 2007, 2012; Gajewski et al. 2009). Namun hingga saat ini belum
ada penelitian yang membahas mengenai pengaruh suhu penyimpanan dingin
terhadap perubahan mutu fisik khusus untuk terong cv. Gelatik atau terong gelatik
atau yang terkenal dengan Thai eggplant dikalangan internasional.
Terong gelatik merupakan jenis terong yang memiliki bentuk dan ukuran
yang berbeda dari terong lainnya. Terong ini berbentuk bulat, berukuran relatif
lebih kecil, serta memiliki kekerasan daging buah paling tinggi (Sahid et al.
2014). Terong gelatik termasuk dalam sayuran indigenous atau sayuran lokal yang
tumbuh dan mengekspresikan potensinya secara penuh di wilayah tertentu.
Sandrasari (2009) menyatakan bahwa sayuran indigenous kaya akan antioksidan
atau senyawa yang dapat mencegah reaksi antioksidasi radikal bebas dalam
oksidasi lipid. Di Indonesia, terong gelatik paling banyak dijumpai di Jawa Barat.
Biasanya masyarakat mengonsumsinya dalam kondisi mentah sebagai sayur
lalapan.
Terong gelatik memiliki potensi sebagai sumber antioksidan alami dengan
total fenol yang mendominasi (20.498 mg CAE/g) dalam kapasitas antioksidannya
(Medina et al. 2014). Senyawa fenol pada buah dan sayur mampu melindungi
kesehatan manusia (Pennycooke et al. 2005). Senyawa fenol sebagai antioksidan
dapat menangkal, menghambat permulaan serta menghentikan perkembangan
rantai formasi radikal bebas dengan mengikat ion-ion logam, mereduksi
hidrogenperoksida, menghilangkan superoksida dan oksigen tunggal, sehingga
total fenol memiliki peran penting dalam mencegah terjadinya penyakit (Du et al.
2009).
Suhu penyimpanan dingin selain mempengaruhi mutu fisik, juga
berpengaruh terhadap perubahan total fenolnya. Kehilangan total fenol dalam

2
jumlah besar (50%) terjadi pada terong cv. Lucia setelah disimpan pada suhu
dingin dalam waktu yang lama (Concellon et al. 2012). Penurunan total fenol juga
terjadi pada terong cv. Lucia yang disimpan suhu 10 oC akibat reaksi pencoklatan
(Massolo et al. 2011).
Pengaruh suhu penyimpanan dingin terhadap mutu fisik dan total fenol
beberapa kultivar terong telah banyak dilaporkan, namun belum ada pembahasan
khusus untuk terong gelatik yang diketahui kaya total fenol sebagai sumber
antioksidan alami. Pemanfaatan terong gelatik sebagai lalapan juga menuntut
komoditi tersebut selalu ready to serve dalam kondisi segar, sehingga dibutuhkan
penanganan pascapanen lebih lanjut untuk mempertahankan mutu terong gelatik
sebelum sampai ke tangan konsumen. Salah satu penanganan pascapanen terong
gelatik yang harus diperhatikan adalah penyimpanan.
Penyimpanan terong gelatik di pasar tradisional umumnya menggunakan
suhu ruang (±30 oC), sedangkan di pasar modern menggunakan suhu 0-5 oC.
Visualisasi terong gelatik yang disimpan pada suhu 0-5 oC memang sekilas
tampak lebih baik daripada yang disimpan pada suhu ruang, namun suhu tersebut
tidak sesuai dengan suhu yang disarankan untuk penyimpanan terong seperti yang
telah disebutkan sebelumnya. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
suhu dingin yang tepat untuk mempertahankan mutu terong gelatik.
Suhu penyimpanan terong gelatik di lapangan yang kurang sesuai menjadi
latar belakang utama. Penelitian ini akan membahas tentang respon mutu
pascapanen terong gelatik sebagai sayur ready to serve yang disimpan pada suhu
5, 10, 15 oC dan suhu ruang. Adapun mutu pascapanen yang dimaksud adalah
mutu fisik dan gizi. Mutu fisik terdiri dari penampilan kulit dan daging buah,
sedangkan mutu gizi yang diperhatikan adalah total mikroba dan total fenol. Total
mikroba menjadi parameter penting karena terong gelatik dikonsumsi sebagai
lalapan dalam kondisi mentah. Selain itu total fenol juga perlu diperhatikan
sebagai salah satu antioksidan terbanyak di dalam terong gelatik (Medina et al.
2014).
Perumusan Masalah
Jika penyimpanan dingin mampu mempertahankan mutu pascapanen
beberapa kultivar terong, maka terdapat kemungkinan penyimpanan dingin dapat
digunakan untuk mempertahankan mutu pascapanen terong gelatik sebagai
sayuran ready to serve. Namun belum ada penelitian yang membahas tentang
suhu dingin yang sesuai untuk penyimpanan terong gelatik.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah menganalisis respon mutu fisik dan gizi terong
gelatik pada beberapa suhu penyimpanan dingin 5, 10, 15 oC dan suhu ruang.
Serta menentukan suhu penyimpanan dingin yang tepat untuk mempertahankan
mutu pascapanen terong gelatik sebagai sayuran ready to serve.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai ilmu pengetahuan baru dalam ranah
teknologi penanganan pascapanen sayuran indigenous yang belum dieksplor, baik

3
di Indonesia maupun di luar negeri. Serta mendapatkan suhu penyimpanan dingin
terong gelatik yang tepat berdasarkan respon mutu fisik dan gizinya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian dibatasi pada respon mutu pascapanen terong
gelatik pada penyimpanan dingin suhu 5, 10, 15 oC dan suhu ruang. Adapun mutu
pascapanen yang diukur terdiri dari mutu fisik yaitu kadar air, susut bobot, laju
respirasi, warna, total padatan terlarut (TPT), kekerasan, indeks chilling injury
(CII), browning (L0) dan potensial oksidasi (∆L) daging buah. Sedangkan mutu
gizi meliputi total mikroba dan total fenol selama penyimpanan dingin.

TINJAUAN PUSTAKA
Terong Gelatik (Solanum melongena L.)
Terong gelatik merupakan jenis sayuran indigenous masyarakat Jawa Barat
yang dikonsumsi mentah sebagai lalapan. Terong gelatik juga dikenal sebagai
Thai eggplant yang masuk dalam golongan Asian eggplant di kalangan
internasional (Meyer 2012). Medina et al. (2014) melaporkan bahwa Thai
eggplant memiliki ukuran paling kecil, namun kandungan protein, serat kasar,
abu, lemak dan karbohidratnya paling tinggi diantara Chinese, Philiphine,
American dan Hindu eggplant. Komposisi proksimat Thai eggplant terdiri dari air
90.1%, serat kasar 1.54%, abu 1.04%, protein 0.9%, lemak 0.04%, karbohidrat
7.92% dan serat pangan 3.93%. Selain itu, penelitian tersebut juga memberikan
informasi mengenai komponen nutraceutical dan kapasitas antioksidan yang
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komponen nutraceutical dan kapasitas antioksidan Thai eggplant
Atribut
Jumlah
Asam Askorbik (mg/100g berat segar)
7.4
Total fenol terlarut (mg CAE/100 g sampel kering)
2049.8
Asam klorogenik (mg/100 g sampel kering)
1700
Total antocianin mgC3GE/100g
3.9
Kapasitas antioksidan: DPPH radical scavenging activity
77.8
Kapasitas antioksidan: ORAC (μmolTE/g)
102.8
IC50 (DPPH, μg)
0.0046
Sumber: Medina et al. (2014)

Indonesia juga memiliki beberapa jenis galur terong yang populer di
masyarakat. Ada galur Bandung, Gelatik, Hijau Lokal Malang, Putih Yogya,
Ungu Yogya dan Ungu Kaliurang. Terong galur Gelatik populer di Jawa Barat
sebagai lalapan. Daging buah terong gelatik berwarna putih bersih dan paling
renyah diantara galur lainnya, ditunjukkan dengan nilai kekerasan yang paling
besar yakni 91.35 N. Ciri lainnya adalah berat segar terong gelatik 63.33 g/buah,
berat kering 6.39 g/buah, hasil buah 1.76 ton/ha, panjang buah 4.45 cm, diameter
buah 5.53 cm, kandungan vitamin C 5.83 mg, total soluble solid atau kandungan
gula 4.33 oBrix (Sahid et al. 2014).

4
Umur simpan terong galur gelatik hanya 5 hari jika disimpan pada suhu
ruangan tanpa perlakuan kimia atau penyimpanan dalam pendingin. Terong galur
gelatik memiliki umur simpan yang paling rendah jika dibandingkan dengan
kelima galur lainnya (Sahid et al. 2014).
Penyimpanan Dingin
Basediya et al. (2013) menyatakan bahwa umur simpan komoditi
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu varietas, tingkat kematangan, laju
pendinginan, suhu penyimpanan, kelembaban relatif (RH), sistem pengemasan,
dll. Namun suhu penyimpanan dan RH memiliki interaksi yang mempengaruhi
besarnya susut, sehingga diperlukan pengendalian suhu dan RH untuk menekan
susut serta memperpanjang umur simpan.
Buah tropika seperti terong gelatik dipanen pada suhu ambien (25-35 oC),
pada suhu ini laju respirasinya tinggi yang menyebabkan umur simpan pendek.
Respirasi dan laju metabolik secara langsung berkaitan dengan suhu udara sekitar,
semakin tinggi laju respirasi maka semakin cepat pula kerusakan komoditi terjadi.
Salah satu jalan untuk menghambat kerusakan serta meningkatkan umur simpan
komoditi adalah dengan menurunkan suhu udara di sekitar. Sangat disarankan
untuk segera menurunkan suhu komoditi setelah dipanen, maksimal 4 jam setelah
pemanenan. Efek pendinginan ini dapat menurunkan laju respirasi, memperlambat
proses kehilangan air, menekan produksi etilen dan memperlambat pertumbuhan
mikroba (Basediya et al. 2013).
Aspek lain yang berpengaruh dalam penyimpanan komoditi buah tropika
adalah RH. Pada RH tinggi komoditi akan mempertahankan berat, penampilan
fisik, mutu rasa dan nutrisi, sehingga pelayuan, pelunakan dan juiciness dapat
ditekan. Sedangkan RH rendah akan memicu transpirasi yang menyebabkan
komoditi kehilangan air. RH tinggi harus dikombinasikan dengan suhu rendah,
karena RH dan suhu yang tinggi akan memicu pertumbuhan cendawan dan bakteri
(Basediya et al. 2013).
Suhu Penyimpanan Dingin
Seperti yang telah diketahui bahwa penyimpanan buah dan sayur pada suhu
dingin setelah pemanenan merupakan langkah efektif untuk mempertahankan
mutu dan nilai nutrisi. Namun kebanyakan buah dan sayur yang berasal dari
daerah tropis seperti terong sangat sensitif terhadap suhu penyimpanan dingin.
Boyer dan Mc Kinney (2013) menyarankan terong disimpan pada suhu 10-15 oC
dengan kelembaban 90-95%.
Concellon et al. (2007) menyatakan bahwa kualitas dan umur simpan terong
cv. Money Maker menurun karena terjadinya browning pada kulit dan jaringan
daging selama disimpan pada suhu dingin. Peningkatam browning pada daging
buah terong cv. Money Maker yang disimpan pada suhu 0 oC ditunjukkan dengan
adanya penurunan lightness. Selain itu, penurunan anthocianin juga lebih cepat
terjadi pada terong cv. Money Maker yang disimpan pada suhu 0 oC daripada
suhu 10 oC, anthocianin merupakan salah satu senyawa flavonoid dan memegang
peran penting sebagai antioksidan (Concellon et al. 2007).
Gejala chilling injury (CI) atau kerusakan akibat suhu dingin pada terong
cv. Money Maker terjadi pada suhu penyimpanan 0 oC dan kerusakan terus

5
bertambah hingga hari penyimpanan ke-15, sedangkan tidak ditemukan gejala CI
pada terong yang disimpan suhu 10 oC (Concellon et al. 2007). Gejala CI ditandai
dengan perubahan warna pada kulit dibawah calyx yang berubah dari ungu
menjadi ungu cerah, munculnya lubang pada bagian atas dan browning pada biji
(Concellon et al. 2007)
Menurut Concellon et al. (2004) gejala CI ditunjukkan dengan adanya
browning pada daging buah terong cv. Money Maker, secara umum browning
disebabkan oleh oksidasi enzimatik dari senyawa fenolik alami dan polyphenol
oxidase (PPO). Suhu penyimpanan 10 oC dapat meningkatkan aktivitas PPO,
sedangkan pada suhu 0 oC justru menurunkan aktivitas PPO. Aktivitas PPO
mengindikasikan kemampuan enzim PPO dalam mengoksidasi senyawa fenolik
(Concellon et al. 2004).
Gejala CI tidak ditemukan pada buah terong cv. Money Maker yang
disimpan pada suhu 10 oC, selain itu nilai lightness setelah penyimpanan juga
tidak berbeda dengan lightness awal (Concellon et al. 2004). Sedangkan terong
cv. Money Maker yang disimpan pada suhu 0 dan 5 oC mengindikasikan terjadi
CI, indeks CI lebih tinggi pada suhu penyimpanan 0 daripada 5 oC, disertai
browning yang terjadi pada biji dan jaringan daging buah pada 6 hari
penyimpanan pada suhu 0 oC dan 9 hari penyimpanan pada suhu 5 oC (Concellon
et al. 2004).
Gajewski et al. (2009) menyatakan bahwa terong cv. Scorpio, Oscar, Tango
dan DRA 2086 yang disimpan dengan perlakuan kemasan PE stretch film pada
suhu 16 oC selama 1 minggu menunjukkan adanya perubahan pada beberapa
atribut mutu. Kekerasan, daya tahan tekan, dan berat kering buah menurun selama
penyimpanan, total padatan terlarut (TPT) tidak menunjukkan adanya
kecenderungan berubah, namun total senyawa fenolik pada kulit buah meningkat
selama penyimpanan. Penelitian ini juga mengatakan bahwa terong cv. Scorpio,
Oscar, Tango dan DRA 2086 memiliki daya simpan rendah, dapat disimpan
dengan baik tanpa resiko CI pada suhu 10-12 oC selama 2 minggu (Gajewski et al.
2009).
Total Mikroba
Terong gelatik yang dikonsumsi mentah sebagai lalapan mensyaratkan
harus tersaji dalam kondisi bersih, higienis dan terhindar dari segala jenis
mikroba, baik yang berasal dari prapanen maupun pascapanen. Mikroba yang
berasal dari kegiatan prapanen biasanya berasal dari tanah, irigasi, serta pupuk
organik yang digunakan. Latha et al. (2014) menyatakan bahwa petani terong di
India sering menggunakan biofertilizers (pupuk organik) yang berasal dari kotoran
sapi, unggas, dan babi. Tidak hanya di India, petani di Indonesia juga sering
menggunakan pupuk kompos untuk tanaman terong gelatik yang memicu
kontaminasi mikroba.
Selain itu, keberadaan mikroba dapat memicu terjadinya kebusukan. Kereth
et al. (2013) menyatakan bahwa resiko kebusukan komoditi pertanian yang
disebabkan oleh mikroba mencapai 63%. Kontaminasi mikroba dapat berupa
bakteri seperti Pseudomonas spp, Enterobacter spp., Klebsiella spp., Serratia
spp., Flavobacterium spp., Xanthomonas spp., Chromobacterium spp.,
Alcaligenes spp., Salmonella spp., Shigella spp., Entamoeba histocolytica, Ascaris

6
spp. dan E. coli. Namun bakteri yang umum dijumpai di sayuran Indonesia adalah
Salmonella sp. dan Escherichia coli.
Menurut Mu`tamar (2005) Salmonella sp. adalah jenis bakteri yang dapat
tumbuh pada suhu 5-47 oC dengan suhu optimum 35-37 oC. Pemanasan
merupakan cara yang paling banyak dilakukan untuk membunuh Salmonella sp.,
namun alternatif lain adalah dengan mengatur pH, menambahkan bahan-bahan
kimia, penyimpanan pada suhu rendah. Sedangkan, E.coli adalah bakteri yang
tumbuh pada suhu 10-40 °C dengan suhu optimum 37 °C.
Senyawa Fenol
Antioksidan secara umum didefinisikan sebagai senyawa yang dapat
menunda, memperlambat atau mencegah terjadinya proses oksidasi lipida.
Antioksidan dalam tumbuhan umumnya adalah senyawa fenol atau polifenol yang
berupa golongan flavonoid. Sandrasari (2009) mengatakan bahwa sayuran
indigenous mengandung senyawa flavonoid yang berupa flavonol (quercetin.
miricetin, kaemferol) dan flavone (luteoin dan epigenin). Kedua senyawa ini
diketahui mempunyai aktivitas antioksidan dan bersifat sebagai scavenging
radikal bebas. Concellon et al. (2012) menyatakan bahwa antioksidan terong cv.
Lucia yang disimpan pada suhu 0 oC meningkat sementara, lalu tejadi penurunan
bersama dengan browning daging buah dan chilling injury. Fan et al. (2016) juga
melaporkan hasil yang sama, bahwa total fenol terong var. Brigitte yang diberi
perlakuan pencelupan larutan methyl jasmonate (MeJA) menurun secara
signifikan selama 10 hari penyimpanan pada suhu 20 oC.
Mishra et al. (2012) menyatakan bahwa kandungan fenol memiliki korelasi
dengan aktivitas polyphenol oxidase (PPO) pada fresh cut terong cv. Kalphatharu.
PPO sebagai enzim yang menggunakan fenol sebagai substratnya, sehingga
peningkatan aktivitas PPO menyebabkan terjadinya penurunan kandungan
senyawa fenol. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa aktivitas PPO terong cv.
Kalphatharu meningkat selama 12 dan 16 hari penyimpanan pada masing-masing
suhu 10 dan 4 oC. Sedangkan kandungan fenol mengalami penurunan sebesar 28
dan 23% masing-masing pada suhu 10 dan 4 oC. Penyimpanan dingin terbukti
mampu menghambat aktivitas PPO dan penurunan senyawa fenol.
Konsumsi terong gelatik dalam bentuk mentah atau lalapan diharapkan
mampu menjaga senyawa fenol sebagai antioksidan secara utuh. Menurut hasil
penelitian dari Zaro et al. (2015) bahwa pre-processing, drying, freezing dan dry
cooking dapat menurunkan kandungan antioksidan buah terong cv. Lucia dan cv.
Cloud Nine. Tahap pre-processing meliputi pemotongan, blanching dan
penggaraman. Tahap drying meliputi air drying suhu 70 oC, air drying 50 oC,
vacum drying dan solar drying. Tahap pembekuan meliputi slow freezing, fast
freezing, freeze drying. Sedangkan tahap dry cooking meliputi microwaving,
baking, grilling. Patel et al. (2013) bahwa kandungan total fenol dan aktivitas
antioksidan terong yang berwarna hijau sebesar 490.96 (mg GAE/100 g ekstrak),
sedangkan terong yang berwarna ungu sebesar 325.69 (mg GAE/100 g ekstrak).

7

METODE
Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan selama dari bulan Desember 2015 – Maret 2016.
Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium berikut :
1. Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP),
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem.
2. Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan.
3. Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.
Alat
Alat yang digunakan adalah refrigerator, constant temperature oven (Isuzu,
2-2120, Jepang), neraca analitik (AE Adam, PW 184), chromameter (Konica
Minolta, CR-400, Jepang), rheometer (35-12-208, Sun Scientific Co., Ltd.,
Jepang), refractometer (Atago, Jepang), continuous gas analyzer (Shimadzu,
IRA-107, Jepang), incubator (Haraeus, B6200), autoclave (HL-343P, Taiwan),
centrifuge (Eppendorf AG, 22331 Hamburg, Jerman), spektrofotometer (Hitachi,
U-2900, Jepang), clean bench, termometer, vortex, hot plate, chamber, desikator,
cawan petri, mikropipet, tabung reaksi, labu takar dan api bunsen.
Bahan
Terong gelatik (matang komersial menurut petani) dengan ukuran seragam
(diameter ±6 cm) dipanen dari kebun petani Sub Terminal Agribisnis Cigombong,
Kabupaten Cianjur. Adapun bahan kimia lainnya yang digunakan adalah plate
count agar (Merck, VRB agar, Jerman), KH2PO4 (Merck, Jerman), reagent FolinCiocalteu (Merck, Jerman), Na2CO3 (Merck, Jerman), asam tanat (Merck,
Jerman), ethanol (Merck, Jerman), air destilata.
Prosedur Penelitian
Penelitian diawali dengan pemanenan pada pukul 17.00 WIB dan dilakukan
sortasi, selanjutnya ditransportasikan dari kebun menuju laboratorium selama 2
jam menggunakan box styrofoam yang dilapisi kertas untuk meredam getaran.
Sesampainya di laboratorium terong disortasi lagi untuk menghilangkan terong
yang memar selama transportasi, lalu dilakukan pencucian dan penirisan. Terong
gelatik diletakkan tanpa kemasan dalam keranjang berukuran 43.5 x 32.15 x 13
cm, kemudian disimpan dalam refrigerator suhu 5±1, 10±1, 15±1 oC, RH kisaran
90-95% dan suhu ruang (29±1.5 oC) dengan RH ruang. Setelah itu dilakukan
pengamatan dan pengukuran respon mutu pascapanen. Alur proses penelitian
dapat dilihat pada Gambar 1.
Mutu pascapanen yang diukur terdiri dari mutu fisik dan mutu gizi. Mutu
fisik yang diukur adalah laju respirasi, susut bobot, warna, kekerasan, kadar air,
total padatan terlarut (TPT), indeks chilling injury (CII), browning daging buah
(L0) dan potensial oksidasi (∆L). Sedangkan mutu gizinya adalah total mikroba
dan total fenol. Respon mutu pascapanen terong gelatik selama penyimpanan
dingin digunakan sebagai dasar untuk menentukan suhu penyimpanan yang tepat.

8
Mulai

Pemanenan, sortasi pencucian dan penirisan terong gelatik
Penyimpanan dalam refrigerator suhu 5, 10, 15 oC RH 9095% dan suhu ruang dengan RH ruang

Analisis mutu fisik dan mutu gizi terong gelatik

Analisis dan pengolahan data

Selesai
Gambar 1 Diagram alur proses penelitian
Prosedur Pengambilan Data
Laju Konsumsi O2 dan Produksi CO2 (Singh et al. 2013 dengan modifikasi)
Pengukuran laju konsumsi O2 dan produksi CO2 dimulai 12 jam setelah
pemanenan, pengukuran menggunakan continous gas analyzer. Terong gelatik
ditimbang sebanyak ±500 g (10-11 buah), pengukuran volume buah dilakukan
dengan memasukkannya ke dalam gelas ukur yang berisi 500 ml air, pertambahan
volume air dinyatakan sebagai volume buah. Selanjutnya buah dimasukkan
kedalam chamber (volume 3310 ml), volume bebas (V) diperoleh dari selisih
volume chamber dan volume buah. Chamber yang berisi buah dimasukkan
kedalam refrigerator suhu 5, 10, 15 oC dan suhu ruang dalam kondisi tertutup
rapat.
Pengukuran dilakukan setiap 2 jam sekali selama 6 jam dalam setiap
harinya, alat ukur dikalibrasi terlebih dahulu setiap sebelum pengukuran. 2 selang
inlet dan outlet dihubungkan dengan gas analyzer dan dimasukkan ke dalam
chamber untuk melewatkan gas CO2 dan O2. Pada gas analyzer akan terbaca
persentase gas CO2 dan O2. Laju konsumsi O2 dan produksi CO2 dihitung
menggunakan persamaan 1 berikut.
.......................................................................................(1)
Dimana R adalah laju konsumsi O2 atau produksi CO2, W adalah berat
sampel (kg), V adalah volume bebas ruang (ml), dt adalah selang waktu (jam), dx
adalah selisih persen konsentrasi gas CO2 dan O2 (%) dengan konsentrasi CO2 dan
O2 di udara, hasil dinyatakan dalam ml/kg.jam.
Setiap selesai pengukuran, chamber dibuka dan udara disirkulasikan dengan
kipas angin, setelah itu chamber kembali ditutup rapat dan dimasukkan ke dalam

9
refrigerator. Pada pengukuran terakhir atau 2 jam ketiga, chamber disimpan dalam
refrigerator dalam kondisi terbuka dan ditutup kembali ketika akan dilakukan
pengukuran pada hari berikutnya.
Kadar Air (AOAC 2005)
Pengukuran kadar air menggunakan metode oven. Berat awal bahan
ditimbang (Wi) kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 24
jam, lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit, selanjutnya ditimbang lagi
(Wf). Kadar air dihitung dengan persamaan 2.
.....................................................................................(2)
Susut Bobot (Concellon et al. 2012)
Sampel yang digunakan adalah sampel tetap sebanyak 3 buah untuk 3 kali
ulangan, masing-masing berat sampel diawal pengamatan (Wi) dan sampel selama
penyimpanan (Wf) ditimbang. Penimbangan Wf dilakukan setiap kali
pengamatan. Susut bobot (SB) dihitung dengan persamaan 3, hasil perhitungan
dinyatakan dalam bentuk persentase susut bobot.
..............................................................................................(3)
Warna (Hung et al. 2011)
Pengukuran warna menggunakan chroma meter. Sampel yang digunakan
merupakan sampel tetap sebanyak 3 buah untuk 3 kali ulangan, pengukuran
dilakukan pada tiga titik tetap yang sudah ditandai. Data hasil pengukuran warna
berupa nilai kecerahan (L), nilai kromatik merah hijau (a) dan nilai kromatik
warna biru kuning (b).
Kekerasan (Massolo et al. 2011 dengan modifikasi)
Alat yang digunakan adalah rheometer dengan ukuran probe silinder 5 mm.
Setiap sampel ditekan dengan beban maksimal 10 kg, kedalaman 50 mm,
kecepatan penekanan 30 mm/s. Beban penekanan maksimum yang terbaca pada
alat merepresentasikan kekerasan sampel (kgf).
Browning Daging Buah (Concellon et al. 2004, 2005, 2007, 2012 dengan
modifikasi)
Buah diiris melintang dari pusat buah setebal 0.5 cm. Lightness awal (L0)
diukur menggunakan chromameter, sekaligus dilakukan pengambilan gambar
daging buah sebagai visualisasi kondisi awal daging buah. L0 diekspresikan pada
skala 0 (hitam) hingga 100 (putih). Daging dan biji tidak mengalami browning
jika L0>76, browning pada biji jika L0 = 71-72, browning tahap awal pada daging
dan biji jika L0 mendekati 68, browning daging dan biji yang berat jika L0≤63 atau
mendekati 63.
Potensial Oksidasi (Concellon et al. 2007)
Nilai lightness awal pada pengukuran browning daging buah dinyatakan
sebagai L0. Selanjutnya sampel dibiarkan selama 30 menit, setelah itu lightness
diukur kembali sebagai L30. Potensial oksidasi dihitung menggunakan persamaan
4 berikut.

10
......................................................................................................(4)
Indeks Chilling Injury (Concellon et al. 2004, 2005, 2007, 2012)
Indeks chilling injury (CII) ditentukan berdasarkan skala subjektif: 1 = tidak
ada kerusakan, 2 = kerusakan rendah, 3 = kerusakan reguler/biasa, 4 = kerusakan
sedang, 5 = kerusakan berat. Sebanyak 10 sampel dari setiap suhu penyimpanan
diamati setiap 2 hari. CII dihitung menggunakan persamaan 5 berikut.


........................................................................................................(5)

Dimana Lk adalah level kerusakan, Jb adalah jumlah buah pada level
kerusakan, dan Tb adalah total jumlah buah.
Total Padatan Terlarut (Javanmardi dan Kubota 2006 dengan modifikasi)
Pengukuran total padatan terlarut menggunakan metode destruktif. Daging
buah dihancurkan, lalu sari buah diteteskan pada sensor refractometer. Sebelum
dan sesudah pengukuran sensor tersebut harus dalam kondisi bersih, untuk
menghindari bias data. Total padatan terlarut dinyatakan dalam oBrix.
Total Fenol (Zaro et al. 2014)
Total fenol diukur menggunakan reagen folin-ciocalteu dan asam tanat
sebagai standar, larutan standar digunakan sebagai pembanding absorbansi.
Pembuatan larutan standar dilakukan dengan memasukkan asam tanat ke dalam 6
buah labu takar 10 ml masing-masing sebanyak 1, 0.8, 0.6, 0.4, 0.2 dan 0 ml
untuk blanko. Selanjutnya ditambahkan folin-ciocalteu 0.5 ml, Na2CO3 1 ml dan
ditepatkan dengan air destilata, lalu dihomogenisasi dengan vortex dan didiamkan
hingga warna bening terbentuk.
Terong gelatik diekstrak terlebih dahulu, 1 g buah dicacah dan ditambahkan
10 ml ethanol, lalu didiamkan semalam. 1 ml ekstrak dimasukkan ke dalam labu
takar 10 ml, ditambahkan folin-ciocalteu 0.5 ml dan Na2CO3 1 ml lalu ditepatkan
dengan air destilata. Sampel dihomogenisasi lalu didiamkan selama 30 menit
hingga terbentuk warna bening.
Absorbansi larutan standar dan sampel diukur menggunakan
spektrofotometer pada 760 nm. Total fenol dihitung menggunakan persamaan 6
berikut.
.........................................................................................................(6)
Dimana Abs adalah nilai absorbansi, a dan b adalah gradien dan intersep
dari persamaan yang diperoleh dari plotting absorbansi dan volume larutan
standar, fp adalah faktor pengenceran, w adalah berat sampel (g). Hasil
pengukuran diekspresikan dalam mg ekuivalen asam tanat per gram berat kering
sampel (mg /g).
Total Mikroba (Hussain et al. 2014 dengan modifikasi)
Metode yang digunakan adalah metode hitungan cawan atau total plate
count (TPC). Secara garis besar metode TPC terdiri dari pembuatan media,
pembuatan larutan pengencer, penumbuhan (inkubasi) pada suhu 37 oC,
penghitungan koloni yang tumbuh pada cawan, dan penentuan jumlah mikroba.

11
Pembuatan media diawali dengan melarutkan 8.75 g PCA ke dalam 500 ml
air destilata, lalu dipanaskan hingga mendidih dan disterilisasi di dalam autoclave
pada suhu 121 oC selama 15 menit, selanjutnya disimpan di dalam oven suhu 50
o
C untuk menjaganya tetap cair.
Tahap selanjutnya adalah pembuatan larutan pengencer. 3.4 g KH2PO4
dilarutkan dalam 50 ml air destilata, pH diatur sampai 7.2, setelah tercapai larutan
ditepatkan hingga 100 ml. Selanjutnya diambil 1.25 ml dan dilarutkan lagi dalam
1 L air destilata, larutan disterilisasi dalam autoclave pada suhu 121 oC selama 15
menit. 1 g sampel terong gelatik diekstrak, lalu 1 ml ekstrak dimasukkan ke dalam
9 ml larutan pengencer dan dinyatakan sebagai pengenceran 10-1. Pengenceran 102
dilakukan dengan memasukan 1 ml pengenceran 10-1 dalam 9 ml larutan
pengencer, dan seterusnya hingga diperoleh pengenceran 10-6.
Selanjutnya adalah tahap inkubasi, 1 ml dari masing-masing pengeceran
dituangkan ke dalam cawan petri dan ditambahkan 15-20 ml PCA yang telah
disiapkan sebelumnya. Cawan petri ditutup dan disimpan di dalam incubator suhu
37 oC selama 48 jam dengan posisi terbalik. Koloni bakteri yang telah tumbuh
dihitung secara manual, jumlah mikroba dihitung menggunakan persamaan 7.
N=[

]

.........................................................................................(7)

Dimana N adalah jumlah mikroba (cfu/g), Jk adalah jumlah koloni pada
cawan, n1 adalah jumlah cawan pada pengenceran pertama, n2 adalah jumlah
cawan pada pengenceran kedua dan d adalah pengeceran pada cawan pertama.
Analisis Statistik
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap 2
faktor yaitu faktor suhu dan hari penyimpanan. Perlakuan suhu penyimpanan 5,
10, 15 oC dan suhu ruang, faktor hari penyimpanan ke 0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16
dan 18. Pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali. Model linier dijelaskan dalam
persamaan 8 berikut.
ij +
..................................................................(8)
Keterangan
Yijk
= Nilai pengamatan pada faktor suhu penyimpanan dingin taraf ke-i,
faktor hari penyimpanan taraf ke-j dan ulangan ke-k, ( ,
,
)
merupakan komponen aditif dari rataan, pengaruh utama faktor suhu
penyimpanan dan pengaruh utama faktor hari penyimpanan.
=
Komponen interaksi dari faktor suhu penyimpanan dan faktor hari
ij
penyimpanan
=
Pengaruh acak yang menyebar normal (0, 2).
ijk
Data dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut
Duncan pada taraf nyata 95% menggunakan software SPSS (v16.0, SPSS Inc,
USA).

12

HASIL DAN PEMBAHASAN
Laju Respirasi

Suhu Bola Kering (⁰C)

Suhu Bola Basah (⁰C)

Respirasi merupakan proses perombakan komponen di dalam suatu produk
seperti karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi lainnya menjadi lebih sederhana
untuk mendapatkan energi (Ahmad 2013). Seperti yang telah diketahui bahwa
komoditi pascapanen tidak lagi mendapatkan suplai energi dari induknya,
sehingga komponen yang telah terbentuk dari proses fotosintesis kembali
dirombak. Suhu lingkungan menjadi faktor eksternal yang paling berpengaruh
terhadap respirasi (Singh et al. 2013). Sebaran suhu dan RH selama penyimpanan
ditunjukkan pada Gambar 2.
30
25
20
15
10
5
0

30
25
20
15
10
5
0

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Lama Penyimpanan (Hari)

5 ⁰C

10 ⁰C
15 ⁰C

Suhu
Ruang

0 2 4 6 8 1012141618
Lama Penyimpanan (Hari)
(1)

100
RH (%)

75
50
25
0

0

2

5 ⁰C
15 ⁰C

10 ⁰C
Suhu Ruang

4 6 8 10 12 14 16 18
Lama Penyimpanan (Hari)
(2)

Gambar 2

Sebaran suhu bola basah dan bola kering (1) dan RH (2)
refrigerator selama 18 hari penyimpanan

Massolo et al. (2011) menyatakan bahwa terong merupakan buah non
klimakterik. Buah non-klimakterik tidak menunjukkan peningkatan produksi
etilen atau laju respirasi yang nyata selama proses kematangannya (Kim et al.
2015). Laju respirasi terong gelatik pada variasi suhu penyimpanan 5, 10, 15 oC
dan suhu ruang ditunjukkan pada Gambar 3 berdasarkan laju konsumsi O2 (RO2)
dan produksi CO2 (RCO2). Terong gelatik dinyatakan sebagai buah non-

13
klimakterik karena tidak ada peningkatan RO2 dan RCO2 secara drastis selama
penyimpanan. Pola laju respirasi beberapa buah non-klimakterik yang hampir
sama juga telah dilaporkan oleh Kim et al. (2015) dan Megias et al. (2016).
5 ⁰C

RO2 (ml.O2/kg.jam)

80

10 ⁰C

15 ⁰C

60

Suhu Ruang

40
20
0
0

2

4

6
8 10 12 14
Lama Penyimpanan (Hari)

16

18

RCO2 (ml.CO2/kg.jam)

(1)
5 ⁰C
15 ⁰C

80
60

10 ⁰C
Suhu ruang

40
20
0
0

2

4

6
8
10 12 14
Lama Penyimpanan (Hari)

16

18

(2)
Gambar 3 Perubahan laju respirasi terong gelatik pada variasi suhu
penyimpanan 5, 10, 15 oC dan suhu ruang berdasarkan RO2 (1)
dan RCO2 (2) selama 18 hari penyimpanan
Variasi suhu penyimpanan memberikan pengaruh signifikan terhadap laju
respirasi. Rata-rata RO2 sebesar 8.04, 10.95, 22.09 dan 49.87 ml.O2/kg.jam,
sedangkan rata-rata RCO2 sebesar 3.48, 15.19, 23.79 dan 43.84 ml.CO2/kg.jam
masing-masing untuk suhu 5, 10, 15 oC dan suhu ruang (P≤0.05). Hasil yang sama
dilaporkan oleh Wang dan Long (2014) bahwa RO2 dan RCO2 buah ceri yang
disimpan pada suhu 0 oC jauh lebih rendah dibandingkan pada 20 oC, suhu
penyimpanan yang sesuai akan menghambat aktivitas katabolik dan
mempertahankan mutu selama penyimpanan. Selain suhu penyimpanan, tingkat
kematangan dan kultivar juga mempengaruhi laju respirasi terong cv. Perla Negra
dan Monarca (Zaro et al. 2014).

14
Laju respirasi terong gelatik cenderung menurun hingga hari ke-2
penyimpanan untuk suhu 5 dan 10 oC (P