Hubungan Antara Faktor Lingkungan Dengan Parameter Demografi Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca Fascicularis).

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR LINGKUNGAN DENGAN
PARAMETER DEMOGRAFI POPULASI
MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis)

CORY WULAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Hubungan antara Faktor
Lingkungan dengan Parameter Demografi Populasi Monyet Ekor Panjang
(Macaca fascicularis) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015
Cory Wulan
NIM E351120051

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
CORY WULAN. Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Parameter
Demografi Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis). Dibimbing oleh
YANTO SANTOSA dan ENTANG ISKANDAR.
Monyet ekor panjang dari wilayah Asia Tenggara merupakan jenis satwa
primata utama yang diperdagangkan di dunia untuk berbagai pemanfaatan seperti
di bidang biomedis, bidang antariksa dan lain sebagainya. Hingga akhir tahun
1990-an, permintaan yang tinggi terhadap monyet ekor panjang ternyata lebih
banyak dipenuhi dari hasil tangkapan langsung dari alam dan menunjukkan
adanya kecenderungan eksploitasi yang berlebihan sehingga dapat membahayakan
kelestarian populasinya di alam bila pemanenannya tidak dilakukan dengan suatu
kajian ilmiah.

Sehubungan dengan pemanfaatannya tersebut, jumlah monyet ekor
panjang yang ditangkap dari alam harus berdasarkan kuota tangkap yang
dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Kementerian Kehutanan. Namun peraturan terkait kuota tangkap yang dikeluarkan
hingga saat ini hanya berisi jumlah yang diambil dan belum terinci sesuai jenis
kelamin dan kelas umur dan belum berdasarkan data parameter demografi
populasinya.
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa parameter demografi
monyet ekor panjang yang dapat digunakan sebagai penentu kuota tangkap
monyet ekor panjang tersebut adalah rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina
reproduktif dan peluang hidup. Lingkungan merupakan faktor penting bagi
kehidupan populasi monyet ekor panjang di habitat alaminya sehingga seberapa
besar pengaruh dari faktor lingkungan terhadap parameter demografi populasi dari
monyet ekor panjang di habitat alaminya perlu dilakukan kajian secara
menyeluruh.
Penelitian tentang hubungan antara faktor lingkungan dengan paramater
demografi populasi monyet ekor panjang dilakukan dengan tujuan
mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap peluang
hidup dan rasio jumlah bayi dan anak per betina reproduktif serta merumuskan
model hubungan antara faktor-faktor lingkungan dan populasi yang telah

teridentifikasi terhadap kedua parameter demografi tersebut.
Pengambilan data parameter demografi populasi monyet ekor panjang
dilakukan dengan menggunakan metode titik terkonsentrasi. Pengamatan
dilakukan tiga kali yaitu pada pagi hari (06.00-08.00), siang hari (11.00-13.00),
dan sore hari (16.00-18.00) masing-masing dengan 5 kali ulangan yang dilakukan
selama 7 hari. Data yang dicatat selama pengamatan yaitu jumlah individu tiap
kelompok, jumlah individu berdasarkan jenis kelamin serta berdasarkan kelas
umur. Untuk parameter biofisik habitat yang diamati antara lain: suhu dan
kelembaban udara di bawah tegakan, ketinggian tempat, pH tanah, kemiringan
lokasi, intensitas cahaya matahari di bawah tegakan, jarak pohon pakan dari
sumber air, jarak pohon pakan dari kebun terdekat milik masyarakat serta
kerapatan tumbuhan pakan di berbagai tingkat pertumbuhan. Untuk mengetahui

ada tidaknya pengaruh faktor lingkungan terhadap parameter demografi
digunakan uji regresi linear berganda pada selang kepercayaan 95%.
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa peluang hidup kelas umur anak
ke muda dipengaruhi oleh kerapatan pakan pada tingkat pancang dengan model
hubungan yaitu Y(peluang hidup anak-muda) = 0.144 + 0.002 Kpcg. Rasio jumlah bayi
dan anak terhadap betina reproduktif dipengaruhi oleh kerapatan pakan tingkat
pancang dan tiang dengan model hubungan Y(rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina

reproduktif) = 1.186 – 0.005 Kpcg + 0.002 Ktg. Hasil analisis regresi juga
menunjukkan bahwa peluang hidup dari kelas umur muda ke dewasa tidak
dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Kata kunci: faktor lingkungan,
demografi

habitat, monyet ekor panjang, parameter

SUMMARY
CORY WULAN. The relationship of environmental factors and population
demographic parameters of long tailed macaque (Macaca fascicularis).
Supervised by YANTO SANTOSA and ENTANG ISKANDAR.
Long-tailed macaque from Southeast Asia is a main primate species traded
in the world for multiple uses such as biomedical, aerospace and other fields. High
demand for long tailed macaque in early nineties mostly fulfilled by wild caught,
and caused a tendency of excessive exploitation. Therefore, the scientific study of
population needs to be conducted to control population. The number of long-tailed
macaque from wild caught must be based on the quota set by the Director General
of Forest Protection and Nature Conservation of the Ministry of Forestry. But, the
quota regulations only contain the number of wild caught and not based on

demographic parameter yet. Previous studies show that demographic parameters
used as a determinant of long-tailed macaques quota are the ratio of infant and
juvenile to the reproductive female and life opportunity. Environment is an
important factor for the long-tailed macaque’s population in their natural habitat.
The influence of environmental factors on the demographic parameters should be
examined thoroughly. The main reason of this research was to see environmental
influences on demographic parameters of the population in their natural habitat
and to formulate models of relationship between environmental factors to
demographics parameters. This research was conducted in four types of natural
habitat ecosystems that were planted forest ecosystem in Gunung Walat Education
Forest, coastal and lowland forest ecosystem in the Pangandaran Nature Reserve/
Recreation Park, karst ecosystem in Paliyan Nature Reserve, and mountain forest
ecosystem in Kaliurang Recreation Park. The object of this research was 11
groups of long tailed macaque in various habitat types using concentration count
method. Observations were made for seven days, three times a day for each group;
morning (6:00 to 08:00), noon (11:00 to 13:00) and afternoon (16:00 to 18:00).
The data collected during the observation were the number of individual,
individual by sex and individual by age class of each group. Environmental
factors that were observed consists of temperature and humidity under the stands,
altitude, the density of food sources, soil pH, slope, intensity of sunlight under

stands, food sources distance from water source, and food sources distance from
the nearest farm. The influence of environmental factors on demographic
parameters was determined with multiple linear regression. The results show that
the life opportunity of infant and juvenile to sub-adult classes was affected by
food sources density of saplings. The model is Y = 0.144 + 0.002 Kpcg. The ratio
of infants and juvenile to reproductive females was affected by food sources
density of saplings and poles. The model is Y = 1.186-0.005 Kpcg + 0.002 Ktg.
The regression analysis also show that the life opportunity of sub-adult to adults
classes is not influenced by environmental factors
Keywords: demography parameter, environmental factors, habitats, long tailed
macaque

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR LINGKUNGAN DENGAN
PARAMETER DEMOGRAFI POPULASI
MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis)

CORY WULAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :


Dr Ir Nyoto Santoso, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 hingga Mei
2014 ini ialah parameter demografi populasi monyet ekor panjang, dengan judul
Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Parameter Demografi Populasi
Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis). Penyusunan tesis ini tidak terlepas
dari bantuan banyak pihak sehingga penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan
mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Bapak Prof Dr Ir Yanto Santosa selaku ketua komisi pembimbing dan
Bapak Dr Ir Entang Iskandar selaku anggota komisi pembimbing, yang telah
bersedia membimbing, meluangkan waktu, mengarahkan, serta memberikan
saran sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.
2.
Bapak Dr Ir Nyoto Santoso selaku penguji dari luar komisi yang telah
memberikan masukan dan arahan untuk penyempurnaan penulisan tesis ini.

3.
Ibu Dr Ir Siti Badriyah Rushayati selaku pimpinan sidang ujian tesis yang
telah memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan penulisan tesis
ini.
4.
Bapak Dr Ir Nandi Kosmaryandi selaku Direktur Hutan Pendidikan Gunung
Walat, Balai Besar KSDA Jawa Barat, Bapak Yana selaku Kepala Resort
CA/ TWA Pangandaran, Balai KSDA Yogyakarta, Bapak Widodo selaku
Kepala Resort Paliyan, Balai Taman Nasional Gunung Merapi, Bapak
Teguh selaku Kepala Resort Pakem-Turi wilayah Kaliurang yang telah
memberikan ijin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian.
5.
Pak Uus, Pak Lilik, Pak Ona, Pak Radiyo, Pak Barjono, Tubagus Maulana
Muhammad Yusuf, S.Hut, M.Si, dan Achmad Fauzi yang telah membantu
penulis dalam pengambilan data di lapangan serta Koko Erliyanto, S.Hut
atas bantuan pembuatan peta lokasi penelitian.
6.
Ayahanda Armen Putra, Ibunda Rosmanidar A.Md, adik-adik penulis Titin
Agusmella A.Md, Rola Nanda Widuri S.Si dan Mhd. Bintang Pamungkas
serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya.

7.
Ikhwanul Hakima SE atas doa, semangat, dan dukungannya.
8.
Teman-teman seperjuangan Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT) tahun
2012 untuk kebersamaan dan dukungannya selama ini.
Demikian ucapan terima kasih ini disampaikan dengan penuh ketulusan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2015
Cory Wulan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA

3

3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

7

3 METODE
Lokasi dan Waktu
Alat dan Objek Penelitian
Jenis data yang dikumpulkan
Metode Pengumpulan Data
Analisis Data

11
11
11
11
11
15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter Demografi
Faktor Lingkungan Habitat
Analisis hubungan antara lingkungan dengan parameter demografi

18
18
25
30

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

33
33
33

DAFTAR PUSTAKA

34

LAMPIRAN

40

RIWAYAT HIDUP

51

DAFTAR TABEL
1 Teknik pengumpulan data pengamatan parameter demografi dan
lingkungan populasi monyet ekor panjang
2 Karakteristik kelompok monyet ekor panjang di seluruh lokasi
pengamatan
3 Peluang hidup dan rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina
reproduktif tiap kelompok monyet ekor panjang di seluruh lokasi
pengamatan
4 Seks rasio monyet ekor panjang di seluruh lokasi pengamatan
5 Suhu harian dan kelembaban udara di seluruh lokasi pengamatan
6 Ketinggian lokasi, pH tanah lantai hutan dan kemiringan lahan di
seluruh lokasi pengamatan
7 Jarak pohon pakan dari sumber air dan kebun masyarakat terdekat di
seluruh lokasi pengamatan
8 Kerapatan pohon pakan di seluruh lokasi pengamatan

13
18
21
24
25
27
29
30

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Pengamatan struktur umur monyet ekor panjang
Desain plot analisis vegetasi untuk tiap lokasi penelitian
Monyet ekor panjang di berbagai lokasi pengamatan
Habitat monyet ekor panjang di berbagai lokasi pengamatan
Beberapa jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang di lokasi
pengamatan

12
14
21
28
31

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta lokasi penelitian
2 Hasil uji asumsi regresi klasik model hubungan antara faktor
lingkungan dengan peluang hidup kelas umur anak-muda dan rasio
jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif

41
43

4 PENDAHULUAN
Latar belakang
Monyet ekor panjang dari wilayah Asia Tenggara merupakan jenis satwa
primata utama yang diperdagangkan di dunia (Eudey 1999) dan dimanfaatkan
untuk kepentingan penelitian biomedis (Gaillot et al. 2006) contohnya sebagai
model penelitian penyakit tubercolosis (Rahmi et al. 2010), model penelitian
obesitas dan osteoporosis (Saniwu et al. 2010, Wardy et al. 2010). Selain
pemanfaatan di bidang biomedis monyet ekor panjang juga dimanfaatkan dalam
bidang teknologi antariksa (Santosa 1996). Monyet ekor panjang tersebut diekspor
ke beberapa negara di dunia seperti Cina dan Amerika Serikat (Eudey 2008).
Monyet ekor panjang dari kelompok jantan muda adalah jenis yang diminta untuk
memenuhi permintaan ekspor tersebut (Kusmardiastuti 2010, Surya 2010).
Hingga akhir tahun 1990-an, permintaan yang tinggi terhadap monyet ekor
panjang ternyata lebih banyak dipenuhi dari hasil tangkapan langsung dari alam
dan menunjukkan adanya kecenderungan eksploitasi yang berlebihan sehingga
dapat membahayakan kelestarian populasinya di alam bila pemanenannya tidak
dilakukan dengan suatu kajian ilmiah (Eudey 2008). Homyack dan Haas (2009)
menyatakan bahwa pemahaman tentang cara pemanenan dari alam akan
memberikan pengaruh bagi struktur ekosistem, proses ekologis, keragaman jenis
serta kelangsungan hidup suatu populasi yang diperlukan bagi pengelolaan
kawasan hutan demi kelestarian populasi secara ekologis dan ekonomis.
Demi pemenuhan kebutuhan ekspor yang tinggi dan keuntungan ekonomi,
perdagangan spesies ini dilakukan tidak hanya melalui perdagangan legal bahkan
juga secara ilegal yang tentunya bisa mengakibatkan penurunan jumlah spesies ini
dari habitat alaminya dengan cepat (Eudey 2008). Indonesia merupakan satu dari
empat negara di Asia Tenggara selain Filipina, Malaysia, dan Thailand yang
menjadi pengekspor monyet ekor panjang terbesar (Eudey 1999) ke negara lain.
Hal ini merupakan upaya yang sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia
dalam rangka usaha peningkatan devisa negara dari sektor non-migas, antara lain
dari sektor kehutanan (Santosa 1996).
Sehubungan dengan pemanfaatannya, jumlah monyet ekor panjang yang
ditangkap dari alam harus berdasarkan kuota tangkap yang dikeluarkan oleh
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA)
Kementerian Kehutanan. Namun kenyataannya peraturan terkait kuota tangkap
yang dikeluarkan oleh PHKA ini hingga saat ini hanya berisi jumlah yang diambil
dan belum terinci sesuai jenis kelamin dan kelas umur, sehingga bisa dikatakan
bahwa pengambilan spesies ini dari habitat alaminya belum berdasarkan data
parameter demografi populasi. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Kusmardiastuti (2010), dan Surya (2010) diketahui bahwa parameter demografi
monyet ekor panjang yang dapat digunakan sebagai penentu kuota tangkap
monyet ekor panjang tersebut adalah rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina
reproduktif dan peluang hidup.
Parameter demografi terdiri atas tingkat kelahiran, kematian, nisbah
kelamin dan ukuran populasi merupakan komponen yang penting di dalam
mempelajari perkembangan populasi satwa liar (Santosa 2010) dan juga
merupakan hal yang mendasar untuk memahami bagaimana kondisi populasi

2

tersebut (Lebreton et al. 1993 dalam Marker et al. 2003). Kajian ilmiah terkait
parameter demografi populasi yang tervalidasi pada dasarnya dapat menentukan
strategi konservasi monyet ekor panjang tersebut (Santosa 2010). Perkembangan
parameter demografi dari waktu ke waktu sangat diperlukan bagi analisis
kelestarian suatu spesies di masa yang akan datang (Santosa et al. 2012).
Perkembangan populasi monyet ekor panjang khususnya untuk populasi
yang berada di alam tentunya akan berkaitan dengan kondisi lingkungan yang
menjadi habitat spesies ini. Hasil penelitian terkait perilaku dan aktivitas harian
monyet ekor panjang yang telah dilakukan oleh Widiyanti (2001) menyatakan
bahwa aktivitas makan merupakan aktivitas yang paling banyak dilakukan selain
bergerak. Makan menjadi salah satu aktivitas pokok satwa liar (Ueno 2001)
karena energi yang diperlukan oleh makhluk hidup untuk menjalankan aktivitas
hariannya diperoleh dari makanan yang diolah di dalam tubuhnya (Sinclair 2006).
Bagi primata dari kelompok Macaca jenis frugivores yang artinya hampir sekitar
60-90% jenis pakannya didominasi oleh buah-buahan (Clutton-Brock dan Harvey
1977 dalam Bercovitch dan Huffman 1999), maka energi yang digunakan untuk
beraktivitas berasal dari jenis buah-buahan tersebut.
Jenis monyet ekor panjang hidup dalam koloni/ kelompok sehingga di
dalam pemanfaatan potensi pakannya akan terlihat dari struktur sosial dalam
kelompok tersebut (Berkovitch dan Huffman 1999). Berbagai hal terkait ekologi
monyet ekor panjang selanjutnya dapat dianalisis dari aktivitas makan tersebut
sebagai contoh yaitu bagaimana penggunaan relung monyet ekor panjang yang
berkohabitasi dengan lutung (Hendratmoko 2009) serta bagaimana karakteristik
wilayah jelajahnya (Hidayat 2012).
Penelitian terkait parameter demografi monyet ekor panjang telah banyak
dilakukan. Namun sejauh mana faktor lingkungan mempengaruhi parameter
demografi populasi dari monyet ekor panjang di habitat alaminya belum dikaji
secara menyeluruh, padahal lingkungan merupakan faktor penting bagi kehidupan
populasi monyet ekor panjang di habitat alaminya. Hal inilah yang menjadi alasan
utama penelitian ini perlu untuk dilakukan yaitu untuk melihat ada tidaknya
pengaruh lingkungan terhadap parameter demografi populasi monyet ekor
panjang di habitat alaminya.
Perumusan Masalah
Belum tersedianya data populasi dan kajian ilmiah menyeluruh terhadap
populasi monyet ekor panjang terutama bagi komoditi ekspor membuat penurunan
populasinya menurun secara cepat meskipun statusnya bukanlah satwa yang
dilindungi. Selain itu belum dilakukannya kajian yang menyeluruh tentang
bagaimana lingkungan mempengaruhi parameter demografi monyet ekor panjang
di beberapa tipe habitat alaminya memunculkan pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
a. Bagaimana variasi parameter demografi populasi monyet pada tiap-tiap
tipe habitat tersebut?
b. Bagaimana variasi kondisi lingkungan pada tiap-tiap tipe habitat monyet
yang diamati?
c. Bagaimana pengaruh faktor lingkungan terhadap parameter demografi
populasi monyet di habitat alaminya?

3

Tujuan Penelitian
Penelitian tentang hubungan antara faktor lingkungan dengan paramater
demografi populasi monyet ekor panjang dilakukan dengan tujuan
mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap peluang
hidup dan rasio jumlah bayi per betina reproduktif serta merumuskan model
hubungan antara faktor-faktor lingkungan dan populasi yang telah teridentifikasi
terhadap kedua parameter demografi tersebut.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian adalah bahwa faktor lingkungan di habitat
alaminya mempengaruhi parameter demografi populasi monyet ekor panjang.
Ruang lingkup penelitian
Penelitian ini meliputi kajian literatur terhadap hasil-hasil penelitian yang
menyangkut aspek demografi serta habitat populasi alami monyet ekor panjang
serta serangkaian pengamatan lapangan secara langsung yang ditujukan untuk
memperoleh data ukuran dan tipe kelompok, ukuran populasi, struktur kelas
umur, nisbah kelamin, dan kondisi habitatnya pada beberapa tipe habitat alami
monyet ekor panjang yang diamati.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang
Persebaran monyet ekor panjang
Penyebaran populasi merupakan suatu gambaran proses pemencaran
individu-individu dalam ruang dan waktu (Santosa 1995). Monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis) merupakan satu dari 19 jenis primata genus Macaca
(Fooden 1982) dan merupakan genus primata yang paling banyak tersebar di
seluruh dunia (Berkovitch dan Huffman 1999) yang terdistribusi di selatan,
tenggara dan timur Asia serta di utara Afrika (Matsumura 2001). Daerah
persebaran monyet ekor panjang yaitu Indocina, Thailand, Burma (Myanmar),
Malaysia, Philipina, dan Indonesia (Hendratmoko 2009). Monyet ekor panjang di
Indonesia menyebar di banyak wilayah di Indonesia yaitu meliputi Kalimantan,
Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumba dan Flores (Supriatna dan Wahyono
2000). Persebaran yang luas tersebut dikarenakan kemampuan monyet ekor
panjang dalam beradaptasi terhadap lingkungannya bila dibandingkan dengan
jenis primata selain manusia lainnya (Lindburg 1991 dalam Berkovitch dan
Huffman 1999) dan didukung pula dengan kemampuannya untuk tetap bertahan
hidup pada habitat yang terganggu (Cowlishaw dan Dunbar 2000), monyet ekor
panjang mampu hidup di pepohonan dan di atas tanah), mempunyai variasi pakan
yang banyak, laju reproduksi yang tinggi dan tidak takut dengan kehadiran
manusia.
Persebaran monyet ekor panjang di Pulau Jawa yang pernah dijumpai
beberapa di antaranya yaitu Gunung Mas, Cagar Alam Telaga Warna, Cikakak,
Kali Gondang, Maja Singi, Tawangmangu, Wanagama, Tulung Agung,
Bektiharjo, Sumber Semen, Colo, Goa Kreo, Kutosari, Jati Barang, Cirebon,
Cibubur, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Halimun Salak, Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango, dan Gunung Slamet. Galdikas (1984)
menyatakan bahwa monyet ekor panjang biasanya dapat dijumpai di sepanjang
sungai-sugai ataupun daerah rawa yang berbatasan dengan sungai ataupun hutanhutan dengan tanah yang kering. Nugroho (2012) menyatakan bahwa keberadaan
monyet ekor panjang juga tersebar di antara lahan pertanian, bahkan terkadang
hidup berdekatan dengan lingkungan tempat tinggal manusia karena dapat
mencari makanan di sekitar tempat sampah (Lekagul dan McNeely 1977)
sehingga sering menimbulkan konflik dengan manusia.
Habitat Monyet Ekor Panjang
Habitat satwa liar secara umum diartikan adalah tempat/ lokasi dimana
satwa liar tersebut hidup (Morrison et al. 2006). Habitat mempunyai fungsi dalam
penyediaan makanan, air, dan perlindungan (Bailey 1984). Habitat yang sesuai
menyediakan semua kelengkapan habitat bagi suatu jenis selama periode musim
tertentu atau berlangsung sepanjang tahun (Surya 2010). Secara lengkap habitat
dapat didefinisikan sebagai sumberdaya yang cocok (makanan, tempat
perlindungan) serta kondisi lingkungan (faktor abiotik seperti suhu udara, faktor
biotik seperti pesaing dan predator) yang dapat menentukan kehadiran, ketahanan,
serta perkembangbiakan suatu populasi (Sinclair et al. 2006). Akses untuk

5

memperoleh habitat yang sesuai menjadi hal yang penting bagi satwa liar untuk
bertahan hidup dan berkembang biak (Lindenmeyer dan Fischer 2006).
Matsumura (2001) menjelaskan bahwa kelompok genus Macaca memiliki habitat
yang tersebar merata di hampir seluruh tipe habitat seluruh dunia, yaitu mulai dari
hutan hujan tropis hingga daerah kering (semi-arid), mangrove, hingga hutan
temperate. Hal ini merupakan bukti bahwa kemampuan adaptasi satwa ini sangat
tinggi terhadap berbagai tipe habitat (Supriatna dan Wahyono 2000).
Jenis pakan
Pakan monyet ekor panjang dapat terdiri dari buah-buahan, biji-bijian,
pucuk, serangga, kepiting, kadal, katak, moluska (Lekagul dan McNeely 1977).
Beberapa hasil penelitian terkait jenis tumbuhan yang menjadi pakan monyet ekor
panjang antara lain: Santoso (1996), Kusmardiastuti (2010), Surya (2010),
Hidayat (2012) menyatakan bahwa monyet ekor panjang yang diamati banyak
memakan daun dan buah.
Perilaku Makan
Monyet ekor panjang termasuk ke dalam kelompok satwa yang
beraktivitas pada siang hari (diurnal) yang lebih banyak dilakukan di atas
permukaan tanah/ terestrial dibandingkan di atas pohon (Napier dan Napier 1967).
Priyono (1998) menyatakan bahwa monyet ekor panjang tidur di atas pohon
secara berpindah-pindah untuk menghindarkan diri dari predator. Aktivitas harian
monyet ekor panjang diatur dalam hierarki sosial dalam kelompoknya. Pada saat
mencari makan pagi hari, jantan muda berjalan di depan dan di samping luar
kelompoknya, jantan dominan berjalan di tengah-tengah kelompok bersama
dengan betina dan anaknya yang masih kecil. Pada saat makan individu yang
paling dominan akan makan terlebih dahulu kemudian diikuti dengan anggota
kelompok yang lain berdasarkan pola hierarki (Napier dan Napier 1967). Pada
saat beristirahat, jantan dominan monyet ekor panjang dikelilingi oleh betinabetina dengan anak-anaknya yang masih kecil yang berada pada tempat yang lebih
baik dan dekat dengan lokasi makanannya. Pada saat menghadapi bahaya atau
bilamana ada monyet lain yang memasuki wilayah teritorinya, jantan dominan
dan jantan lainnya akan menghadapinya secara bersama-sama sedangkan betina
dan anaknya akan menghindar dari bahaya (Soeratmo 1979 dalam Priyono 1998).
Parameter Demografi Populasi
Angka kelahiran (Natalitas)
Natalitas monyet ekor panjang termasuk ke dalam a birth flow model yaitu
golongan yang dapat menghasikan individu baru dengan kecepatan yang tetap
sepanjang tahun. Priyono (1998) menyatakan bahwa laju natalitas spesifik monyet
ekor panjang di alam tidak dapat dihitung secara tepat karena: (1) umur tiap
individu monyet ekor panjang di alam tidak dapat ditentukan secara pasti, (2)
pengelompokan umur tiap individu didasarkan atas ciri-ciri kualitatif, (3) selang
waktu antar kelas umur tidak sama. Untuk mengatasi keterbatasan tersebut maka
pendugaan laju natalitas didasarkan pada hasil pengamatan terhadap kelompok

6

monyet ekor panjang dengan komposisi struktur umur yang lengkap yaitu bayi,
anak, muda dan dewasa. Sejauh ini pendekatan yang bisa dilakukan dalam
pendugaan laju natalitas adalah dengan menggunakan asumsi-asumsi sebagai
berikut (Priyono 1998): (1) anggota populasi pada kelas umur bayi merupakan
jumlah kelahiran kumulatif selama 1.5 tahun, (2) laju kematian pada setiap kelas
umur adalah konstan, dan (3) individu monyet ekor panjang yang dapat
melahirkan termasuk ke dalam kelas umur muda dan dewasa.
Angka kematian (Mortalitas)
Mortalitas atau tingkat kematian adalah suatu perbandingan antara jumlah
total individu yang mati dengan jumlah total individu (Santosa 1996). Angka laju
kematian populasi monyet ekor panjang dapat diduga pula dari peluang hidup
poplasi dari setiap kelas umurnya (Supartono 2001). Mortalitas satwa liar dapat
disebabkan karena keadaan alam, kecelakaan, perkelahian ataupun karena
aktivitas manusia. Kematian yang disebabkan oleh keadaan alam seperti penyakit,
pemangsaan, kebakaran, kelaparan, dan lain sebagainya. Kematian yang
disebabkan karena kecelakaan misalnya seperti tenggelam, tertimbun tanah
longsor, tertimpa batu, ataupun kecelakaan yang menyebabkan terjadinya infeksi
sehingga mengalami kematian. Untuk kematian yang diakibatkan karena adanya
perkelahian biasanya terjadi karena antara jenis yang sama untuk mendapatkan
ruang, makanan, dan air serta persaingan untuk menguasai kawasan. Sedangkan
untuk kematian yang disebabkan karena aktivitas manusia seperti perusakan
habitat, pemburuan, terkena perangkap, dan lain sebagainya.
Reproduksi
Santosa (1996) menyatakan bahwa laju reproduksi adalah jumlah anak
yang dihasilkan dari tiap betina yang telah matang seksual. Monyet ekor panjang
mencapai kedewasaan atau minimum dapat melakukan perkawinan berkisar
antara 3.5-5 tahun (van Lavieren 1983 dalam Priyono 1998). Siklus menstruasi
berkisar 28 hari dengan lama birahi sekitar 11 hari (Napier dan Napier 1967).
Selang waktu pembiakan (breeding interval) terjadi antara 24-28 bulan, masa
bunting berkisar antara 160-186 hari dengan rata-rata 167 hari. Jumlah anak yang
dilahirkan adalah sebanyak satu ekor (Supriatna dan Wahyono 2000) dengan berat
bayi yang dilahirkan berkisar antara 230-470 gram. Induk betina dapat melahirkan
tiap dua tahun bila masa sapih anak dibiarkan secara alami yaitu sampai anak
berumur 1.5 tahun (Napier dan Napier 1967). Monyet ekor panjang memiliki
sistem perkawinan multi male-multi female, yakni memiliki beberapa ekor betina
dan jantan dewasa dalam kelompoknya.
Seks Rasio
Seks rasio/ nisbah kelamin adalah perbandingan jumlah jantan dengan
betina dalam satu populasi (Alikodra 2002) yang terdiri dari:
a. Global/ kasar yaitu perbandingan antara jumlah seluruh jantan terhadap
jumlah seluruh betina dalam populasi.
b. Spesifik/ khusus yaitu perbandingan antara jumlah jantan pada kelas umur
tertentu terhadap jumlah betina dari kelas umur tersebut.

7

Struktur populasi
Struktur populasi/ piramida umur yaitu gambaran proporsi jumlah individu
pada setiap kelas umur dan jenis kelamin terhadap jumlah keseluruhan anggota
populasi (Kartono dan Santosa 2012). Odum (1993) menyatakan bahwa
penyebaran umur merupakan ciri atau sifat penting populasi yang mempengaruhi
natalitas dan mortalitas. Lebih lanjut Odum (1993) kembali menjelaskan bahwa
nisbah dari pelbagai kelompok umur dalam suatu populasi menentukan status
reproduktif yang sedang berlangsung dari populasi dan menyatakan apa yang
dapat diharapkan pada masa mendatang.

3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Hutan Pendidikan Gunung Walat
Sejarah, letak dan luas
Hutan Pendidikan Gunung walat (HPGW) terletak 2.4 km dari poros jalan
Sukabumi-Bogor. Secara geografis HPGW berada pada 106048’27” BT sampai
106050’29” BT dan 6054’23” LS sampai 6055’35” LS. Secara administrasi
pemerintahan HPGW terletak di wilayah kecamatan Cibadak, Kabupaten
Sukabumi dan termasuk ke dalam wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten
Sukabumi. Luas kawasan HPGW adalah 359 ha, terdiri dari 3 blok, yaitu Blok
Timur (Cikatomang) seluas 120 ha, blok Barat (Cimenyan) seluas 125 ha, dan
blok tengah (Tangkalak) seluas 114 ha.
Komplek Hutan Gunung Walat ditunjuk menjadi kawasan HPGW
berdasarkan SK Menteri Pertanian RI No. 008/Kpts/DJ/I/1973. Pengelolaan
kawasan HPGW seluas 3359 ha dilaksanankan oleh IPB dengan status hak pakai
sebagai hutan pendididkan dan dikelola oleh Unit Kebun Percobaan IPB degan
jangka waktu 20 tahun. Tahun 1992 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.
687/Kpts-II/1992 tentang penunjukan komplek hutan Gunung Walat sebagai
hutan pendidikan dilaksanakan bersama antara Fakultas Kehutanan IPB dan Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan/ Balai Latihan Kehutanan (BLK) Bogor.
Tahun 2005 status hukum kawasan HPGW lebih kuat dengan terbitnya SK
Menhut No. 188/Menhut-II/2005 yang menetapkan fungsi hutan kawasan HPGW
sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) dan pengelolaannya
diserahkan kepada Fakultas Kehutanan IPB dengan tujuan khusus sebagai hutan
pendidikan.
Kondisi fisik kawasan
Hutan Pendidikan Gunung Walat terletak pada ketinggian 460-715 mdpl.
Topografi bervariasi dari landai sampai bergelombang terutama di bagian selatan,
sedangkan di bagian utara mempunyai topografi yang semakin curam. Jenis tanah
HPGW yaitu kompleks dari podsolik, latosol, litosol dari batuan endapan dan
bekuan daerah bukit, sedang di bagian barat daya terdapat areal peralihan dengan
jenis batuan karst, sehingga di sekitar kawasan tersebut terbentuk beberapa gua
alam karst.
Klasifikasi iklim HPGW menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe B,
dengan curah hujan tahunan berkisar antara 1600-4400 mm. Kawasan HPGW
masuk ke dalam sistem pengelolaan DAS Cimandiri.
Kondisi biologis kawasan
Tegakan yang ada di HPGW didominasi oleh tanaman damar (Agathis
lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), sengon
(Paraserianthis falcataria), mahoni daun besar (Swietenia macrophylla) dan jenis
lainnya seperti kayu afrika (Maesopsis eminii), rasamala (Altingia excelsa),
sonokeling (Dalbergia latifolia), Gliricidia sp., Shorea sp., dan akasia (Acacia
mangium). Sedangkan untuk keragaman fauna, dapat ditemukan beberapa jenis

9

satwaliar dari jenis mamalia, reptilia, dan burung. Kelompok mamalia yang bisa
dijumpai yaitu babi hutan (Sus scrofa), monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis), kelinci liar (Nesolagus sp.), meong congkok (Felis bengalensis),
tupai (Callociurus sp.), trenggiling (Manis javanica), musang (Paradoxurus
hermaphroditus). Untuk kelompok jenis burung dapat dijumpai sekitar 20 enis
burung, antara lain elang jawa (Spizaetus bartelsii), emprit, kutilang, dan lain-lain.
Untuk jenis reptilia antara lain biawak, ular, dan bunglon.
CA/ TWA Pangandaran
Sejarah, letak dan luas
Kawasan Cagar Alam Pangandaran (CAP) menyatu dengan Taman Wisata
Alam (TWAP) merupakan semenanjung kecil yang terletak di pantai selatan
Pulau Jawa. Semenanjung ini merupakan sebuah pulau yang dihubungkan dengan
daratan utama dan dipisahkan oleh jalur sempit yang diapit antara dua teluk
selebar ±200 meter. Secara administratif pemerintahan CAP dan TWAP berada di
Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa
Barat, sedangkan secara geografis kawasan CAP/ TWAP terletak pada koordinat
108039’05”-108040’48” BT dan 7042’03”-7043’48” LS. Sebelum ditetapkan
sebagai Cagar Alam (CA) kawasan hutan pangandaran terlebih dahulu ditetapkan
sebagai kawasan Suaka Margasatwa, hal ini berdasarkan Gb Tanggal 7-12-1934
Nomor 19 Stbl. 669, dengan luas 497 ha (luas yang sebenarnya 530 ha) dan taman
laut luasnya 470 ha. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya setelah
ditemukan bunga Raflesia Padma, status Suaka Margasatwa diubah menjadi
Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor:
34/KMP/1961. Seiring dengan kebutuhan masyarakat akan rekreasi, maka
sebagian kawasan seluas 37.70 Ha dijadikan Hutan Wisata dalam bentuk Taman
Wisata Alam (TWA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor:
170/Kpts/Um/3/1978 tanggal 10-3-1978.
Topografi dan iklim
Topografi kawasan ini mulai dari landai sampai berbukit kecil dengan
ketinggian tempat rata-rata 100 meter di atas permukaan laut. Menurut klasifikasi
Schmidt dan Ferguson, CA dan TWA Pangandaran termasuk tipe iklim B dengan
curah hujan rata-rata per tahun 3.196 mm dengan kelembaban udara antara 8090%.
Potensi biotik kawasan
Flora
Flora yang terdapat sekitar 80% merupakan vegetasi hutan sekunder tua
dan sisanya adalah hutan primer. Pohon-pohon yang dominan antara lain Laban
(Vitex pubescens), Kisegel (Dilenia excelsea), dan Marong (Cratoxylon
formosum). Selain itu banyak juga terdapat jenis-jenis pohon seperti: reungas
(Buchanania arborencens), kondang (Ficus variegata), teureup (Artocarpus
elsatica) dan lain-lain. Formasi Baringtonia terdiri dari nyamplung (Callophylum
inophylum), waru laut (Hibiscus tiliaceus), ketapang (Terminalia cattapa), dan

10

butun (Baringtonia asiatica). Untuk dataran rendahnya terdapat hutan tanaman
yang merupakan tanaman exotica, yaitu yang terdiri dari tanaman jati (Tectona
grandis), mahoni (Swietenia mahagoni) dan komis (Acacia auriculirformis).
Fauna
Satwa liar yang terdapat diantaranya adalah: banteng (Bos sondaicus),
kijang (Muntiacus muntjak), tando (Cynocephalus variegatus), kalong (Pteroptus
vampyrus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung (Trcyphithecus
auratus), kangkareng (Anthracoceros convexus), rangkong (Buceros rhinoceros),
dan ayam hutan (Gallus gallus).
Sejarah, letak, dan luas

Suaka Margasatwa Paliyan

Suaka Margasatwa Paliyan dengan luas total 434.60 hektar berada di
wilayah Kecamatan Paliyan dan Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul.
Letak Suaka Margasatwa Paliyan sendiri berada pada petak 136 s/d 141 yang
dulunya merupakan wilayah pangkuan hutan produksi dari Dinas Kehutanan
Provinsi D.I Yogyakarta (tepatnya masuk wilayah Resort Polisi Hutan (RPH)
Paliyan yang tergabung dalam Bagian Daerah Hutan (BDH). Suaka Margasatwa
Paliyan ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:
171/Kpts-II/2000 tentang penunjukan kawasan hutan di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Kawasan ini merupakan alih fungsi dari kawasan hutan produksi
pada petak 136 sampai dengan petak 141 berada di wilayah BDH Paliyan dengan
luas total 434.60 ha.
Topografi
Topografi kawasan SM Paliyan berupa perbukitan karst dengan lapisan tanah
yang tipis, memiliki kelerengan di atas 40% serta pada ketinggian antara 100-300
m dpl.
Potensi biotik kawasan
Flora
Tanaman kayu-kayuan yang ada di dalam kawasan SM Paliyan sudah
jarang ditemukan. Hanya petak 136, 137 dan 138 atau sekitar 3.25% dari total
kawasan SM Paliyan yang terdapat beberapa tanaman tinggal dalam tingkatan
permudaan pancang, tiang dan pohon dengan kondisi yang juga tidak lebih sehat
dengan kondisi normal. Jenis pohon yang ada terdiri dari jati dan sono keling.
Fauna
Satwa utama kawasan SM Paliyan adalah monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis). Untuk jenis satwa lainnya di SM Paliyan ditemukan 20 spesies
burung yang tergabung dalam 14 famili, terbagi dalam lima jenis frugivorousinsectivorous, 12 jenis insectivorous, dua spesies nectarinivorous dan satu jenis
carnivorous. Terdapat satu jenis burung yang termasuk kategori vulnerable
berdasarkan status IUCN, yaitu butbut (Centopus nigrorufus) dan yang lainnya

11

termasuk kategori tidak terancam secara global. Adapun jenis-jenis burung yang
mempunyai kepadatan populasi tertinggi yaitu : kutilang, pentet/ bentet kelabu,
olive backed sunbird dan tekukur.
Letak dan luas

Hutan Wisata Kaliurang

Hutan Wisata Kaliurang berada di bawah pengelolaan Balai Taman
Nasional Gunung Merapi yang terletak di antara 107015’03” dan 100029’30” BT,
7034’51” dan 7047’03” LS dengan ketinggian antara 775-2000 m dpl. Wilayah di
bagian selatan merupakan dataran rendah yang subur, sedangkan di bagian utara
sebagian besar merupakan tanah kering yang berupa perladangan dan pekarangan
serta memiliki permukaan yang agak miring ke selatan dengan batas paling utara
adalah Gunung Merapi.
Kondisi fisik kawasan
Secara klimatologis, Kaliurang memiliki curah hujan rata-rata tahunan
3000-3500 mm/tahun. Berdasarkan analisis peta kemiringan lereng dapat
diketahui bahwa kawasan wisata Kaliurang mempunyai kemiringan lereng
berkisar antara 8-150.
Potensi biotik kawasan
Flora
Berdasarkan hasil inventarisasi, Kaliurang memiliki leih dari 1000 jenis
tumbuhan, termasuk 75 anggrek langka. Flora di lereng selatan didominasi oleh
hutan campuran yang relatif stabil dan berstatus hutan lindung. Jenis-jenis eksotik
yang ada di kawasan ini antara lain: rasamala (Altingia excelsa), bambu cendani
(Bambusa vulgaris), bunga sepatu (Hibiscus rosasinensis), nogosari (Palaqium
rostratum) dan lain-lain. Beberapa jenis anggrek yang bisa ditemukan antara lain:
anggrek ekor bajing/ tupai (Rinchostylist retusa), anggrek kalajengking (Arachinis
flosseris), Vanda tricolor, dan lain-lain.
Fauna
Hutan Wisata Kaliurang memiliki jenis mamalia kecil dan besar.
Berdasarkan hasil inventarisasi yang telah dilakukan diketahui bahwa di dalam
kawasan ini terdapat 147 jenis burung, 90 jenis di antaranya merupakan jenis
burung-brung yang menetap. Beberapa jenis tersebut merupakan burung endemik
Jawa dan dua jenis dikhawatirkan punah yaitu burung matahari (Crocias
albonotatus) dan burung kuda (Garrulac rufifron). Hutan Kaliurang juga dikenal
sebagai habitat elang hitam. Jenis fauna lain yang juga bisa ditemukan di dalam
kawasan ini antara lain macan tutul, kijang, kucing hutan, ayam hutan, alap-alap,
kedasih, macan kumbang, lutung, elang jawa, dan monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis).

METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan pada berbagai tipe habitat monyet ekor panjang
(Lampiran 1) yaitu: Hutan Wisata Kaliurang (ekosistem hutan pegunungan), SM
Paliyan (ekosistem karst), CA/ TWA Pangandaran (ekosistem pantai dan hutan
dataran rendah), Hutan Pendidikan Gunung Walat (ekosistem hutan tanaman).
Penelitian dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2014.
Alat dan Objek Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: peta tematik
lokasi penelitian pada berbagai tipe habitat, kompas, teropong binokuler, GPS
receiver, pita meter, hand counter, tali rafia, kamera digital, stopwatch,
termohygrometer, tally sheet pengamatan serta alat tulis. Objek penelitian yaitu 11
kelompok monyet ekor panjang yaitu terdiri dari dua kelompok pada Hutan
Wisata Kaliurang, dua kelompok pada SM Paliyan, empat kelompok pada
CA/TWA Pangandaran, serta tiga kelompok pada Hutan Pendidikan Gunung
Walat.
Jenis data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu berupa data primer dan
data sekunder. Data primer meliputi struktur umur, jumlah kelompok dan individu
dalam kelompok monyet ekor panjang serta kerapatan vegetasi sumber pakan
monyet ekor panjang pada berbagai tipe habitat. Data sekunder meliputi rasio
jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif, peluang hidup serta faktorfaktor yang paling berpengaruh terhadap kedua parameter monyet ekor panjang
tersebut di alam serta kondisi vegetasi pada lokasi penelitian.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan
langsung. Pengambilan data melalui pengamatan di lapangan secara langsung
dilakukan untuk mengetahui kerapatan vegetasi potensi sumber pakan monyet
ekor panjang, jumlah populasi, jumlah anggota, struktur umur dan nisbah kelamin
tiap kelompok pada berbagai tipe habitat. Metode pengumpulan data monyet ekor
panjang, potensi tumbuhan pakan dan kondisi fisik habitatnya adalah sebagai
berikut:
Parameter demografi
Pengambilan data parameter demografi populasi monyet ekor panjang
dilakukan dengan menggunakan metode titik terkonsentrasi (concentration count
method). Rinaldi (1992) menyatakan bahwa metode ini digunakan untuk
mengetahui struktur kelompok berupa ukuran dan komposisi suatu kelompok
satwa dimana pengamatan atau pencatatan dilakukan secara langsung pada saat

13

kelompok satwa sedang melakukan aktivitas. Lokasi pengamatan yaitu
berdasarkan pada infomasi awal yang diperoleh dari petugas lapangan tentang
lokasi keberadaan monyet ekor panjang yang paling sering dijumpai. Pengamatan
dilakukan tiga kali yaitu pada pagi hari (06.00-08.00), siang hari (11.00-13.00),
dan sore hari (16.00-18.00) masing-masing dengan lima kali ulangan yang
dilakukan selama tujuh hari. Data yang dicatat selama pengamatan yaitu jumlah
individu tiap kelompok, jumlah individu berdasarkan jenis kelamin serta
berdasarkan kelas umur. Pengamatan terhadap struktur umur (Gambar 1)
dikelompokkan menjadi empat yaitu (Soma et al. 2009):
a.
Jantan dewasa (9-21 tahun), ditandai oleh wajah dengan cambang kurang
lebat, berkumis, bantalan duduk kiri dan kanan menyatu, adanya skrotum.
Jantan dewasa memiliki morfologi badan besar, taring panjang, dan tingkah
laku cenderung superior,
b.
Betina dewasa (9-21 tahun), ditandai oleh wajah dengan cambang yang
lebat, berjenggot, bantalan duduk kiri dan kanan terpisah, adanya vulva
vagina. Betina dewasa memiliki ambing dan puting susu yang terlihat
menggantung.
c.
Kelompok muda (4-9 tahun), dimana pengamatan antara jantan dan betina
digabung menjadi satu karena secara morfologi belum terlihat adanya tandatanda yang spesifik untuk membedakan jenis kelaminnya. Batas bawah
umur muda adalah berubahnya warna rambut hitam di kepala menjadi
keabu-abuan.
d.
Anakan (0-4 tahun) yaitu monyet yang baru lahir, memiliki warna hitam
pada rambut kepala, dan masih digendong oleh induk monyet.

Jantan dewasa

Betina dewasa

Muda

Anak

Bayi

Gambar 1 Pengamatan struktur umur monyet ekor panjang menurut Soma et al.
(2009)

14

Kondisi biofisik habitat
Parameter biofisik habitat alami monyet ekor panjang yang diamati dan
teknik pengumpulan datanya seperti pada Tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1

Teknik pengumpulan data pengamatan parameter demografi dan
lingkungan populasi MEP

Data
Parameter
Data biofisik a. Suhu dan kelembaban
habitat
udara

b. Ketinggian tempat
c. Vegetasi

d. Kerapatan tumbuhan
pakan

e. jarak pohon pakan dari
sumber air
f. jarak pohon pakan ke
kebun terdekat milik
masyarakat sekitar
g. Intensitas cahaya
matahari

Teknik pengumpulan data
suhu dan kelembaban udara
diukur dengan termohygrometer
yang dilakukan pada pagi hari
jam 07.00 WIB, siang hari jam
11.00 WIB dan sore hari jam
17.00 WIB pada setiap titik lokasi
pengamatantidur)
ketinggian tempat dari permukaan
laut (mdpl) diukur dengan
menggunakan GPS
pada setiap jalur pengamatan
dilakukan
analisis
vegetasi
dengan menggunakan metode
garis berpetak, di mana pohon
pakan merupakan titik awal
dilakukannya analisis vegetasi.
Analisis vegetasi ini dilakukan
dengan maksud untuk mengetahui
bagaimana kondisi vegetasi di
lokasi
pengamatan
serta
kerapatan
tumbuhan
yang
menjadi sumber pakan monyet
ekor panjang
identifikasi jenis tumbuhan pakan
monyet ekor panjang dari hasil
analisis vegetasi pada petak
contoh untuk tingkat semai,
pancang, tiang, dan pohon,
selanjutnya
dihitung
jumlah
jenisnya
jarak tegak lurus terhadap sumber
air terdekat yang diukur dengan
menggunakan GPS
jarak tegak lurus terhadap kebun
terdekat yang diukur dengan
menggunakan GPS.
mengukur
intensitas
cahaya
matahari di bawah tegakan yang
dihitung pada saat siang hari yaitu
pada posisi matahari tertinggi

15

Data

Parameter
h. pH tanah

Teknik pengumpulan data
pH tanah diukur pada tiga titik
per
lokasi
pengamatan,
selanjutnya nilai pH tanah adalah
hasil rataan dari penghitungan
tiga titik tersebut.
kemiringan lahan diukur dengan
menggunakan suunto per lokasi
pengamatan populasi monyet
ekor panjang

i. Kemiringan lahan

Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan petak pengamatan
berukuran 20 x 20 m yang diletakkan mengelilingi pohon pakan yang telah
ditandai sebagai titik awal dilakukannya analisis vegetasi. Metode ini dilakukan
dengan asumsi bahwa monyet ekor panjang akan berada dekat di sekitar titik-titik
pohon pakan yang telah ditandai. Setiap titik lokasi pohon pakan dibuat lima
petak pengamatan (Gambar 2). Pohon pakan menjadi titik awal pembuatan plot
pengamatan pertama selanjutnya empat plot pengamatan berikutnya tersebar pada
empat penjuru titik pohon pakan yaitu arah utara, selatan, barat, dan timur. Plot
pengamatan dapat bertambah sesuai dengan arah jalur lintasan monyet ekor
panjang, yaitu pada kondisi vegetasi yang berbeda dengan plot pengamatan
sebelumnya atau sesuai dengan luas wilayah jelajah harian monyet ekor panjang
dengan intensitas sampling sebesar 2%. Identifikasi tumbuhan pakan dilakukan
berdasarkan informasi masyarakat dan pengamatan di lapangan. Semua tingkatan
tumbuhan dicatat nama lokal, jumlah, serta bagian yang dimakan oleh monyet
ekor panjang. Adapun bentuk jalur pengamatan adalah seperti pada Gambar 1
sebagai berikut:

A dB

D
C

A B

ABB
C

D

C

Pohon
D

C

ABB
C

D

ABB
C

D

Petak pengamatan
berukuran 20 x 20 m

Gambar 2 Desain plot analisis vegetasi untuk tiap lokasi penelitian

16

Keterangan
A
B
C
D

:
:
:
:
:

Petak pengukuran semai berukuran 2 x 2 m
Petak pengukuran pancang berukuran 4 x 4 m
Petak pengukuran tiang berukuran 10 x 10 m
Petak pengukuran semai berukuran 20 x 20 m
Analisis Data

Parameter Demografi
Data pengamatan terhadap populasi monyet ekor panjang (jumlah individu
tiap kelompok, jumlah individu berdasar jenis kelamin serta berdasar kelas umur)
digunakan untuk mencari rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif dan
peluang hidup untuk setiap kelas umur. Dua parameter ini dianalisis sesuai dengan
pertumbuhan populasi monyet ekor panjang yang mengikuti matriks Leslie yang
telah dimodifikasi (Priyono 1998), yaitu:
Rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif (r)
Rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif merupakan
perbadingan antara jumlah individu kelompok umur bayi dan anak terhadap
jumlah total individu betina produktif pada suatu periode tertentu. Persamaan
yang digunakan untuk menghitung rasio tersebut adalah sebagai berikut:
r=
Keterangan:
r
=
rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif
Xi
=
jumlah bayi dan anak pada kelompok ke-i
Bi
=
jumlah betina produktif pada kelompok ke-i
Peluang hidup
Persamaan untuk menghitung peluang hidup (px) untuk setiap kelas umur
yaitu sebagai berikut:
px =
= 1 – Mortalitas
Keterangan:
Lx+1 =
jumlah individu yang hidup pada KUx+1
Lx
=
jumlah individu yang hidup pada KUx

17

Kerapatan tumbuhan pakan
Potensi tumbuhan pakan monyet ekor panjang pada tiap lokasi penelitian
dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Soerianegara dan
Indrawan 2005):
K=
( )
Untuk jenis tumbuhan yang menjadi pakan monyet ekor panjang mengacu pada
hasil penelitian Hendratmoko (2009), Kusmardiatuti (2010), serta Hidayat (2012).
Analisis pengaruh faktor lingkungan terhadap parameter demografi monyet
ekor panjang
Regresi digunakan untuk menganalisis hubungan di antara beberapa
variabel bebas dengan variabel terikat (Gotelli dan Ellison 2004). Uji regresi
linear dengan metode stepwise menggunakan SPSS 16.0 digunakan untuk
mengetahui pengaruh faktor lingkungan terhadap parameter demografi. Selang
kepercayaan yang digunakan yaitu sebesar 95%. Variabel bebas yaitu dari faktor
lingkungan meliputi suhu udara, kelembaban udara, ketinggian tempat, kerapatan
semai, kerapatan pancang, kerapatan tiang, kerapatan pohon, jarak pohon pakan
dari sumber air, jarak pohon pakan dari kebun masyarakat, pH tanah, intensitas
cahaya matahari serta kemiringan lahan. Sedangkan parameter demografi yang
merupakan variabel terikat adalah peluang hidup dan rasio jumlah bayi dan anak
terhadap betina reproduktif. Persamaan yang digunakan yaitu:
Y = b0 + b1x1 + b2x2 + ... + b12x12 + Ɛ
Keterangan:
Y
b0
bi
x1
x2
x3
x4
x5
x6
x7
x8
x9
x10
x11
x12

=
=
=
=
=
=
=
=
=