Potensi Ekstrak Air dan Etanol Kumis Kucing, Pegagan, Tempuyung, dan Sambiloto sebagai Antihipertensi serta Profil Senyawa Pencirinya.

POTENSI EKSTRAK AIR DAN ETANOL KUMIS KUCING,
PEGAGAN, TEMPUYUNG, DAN SAMBILOTO SEBAGAI
ANTIHIPERTENSI SERTA PROFIL SENYAWA
PENCIRINYA

AJENG MAHARDININGTYAS SAVITRI

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Potensi Ekstrak Air dan
Etanol Kumis Kucing, Pegagan, Tempuyung, dan Sambiloto sebagai
Antihipertensi serta Profil Senyawa Pencirinya adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Ajeng Mahardiningtyas Savitri
NIM G44100105

ABSTRAK
AJENG MAHARDININGTYAS SAVITRI. Potensi Ekstrak Air dan Etanol
Kumis Kucing, Pegagan, Tempuyung, dan Sambiloto sebagai Antihipertensi serta
Profil Senyawa Pencirinya. Dibimbing oleh LATIFAH K. DARUSMAN dan
WULAN TRI WAHYUNI.
Kumis kucing, pegagan, tempuyung, dan sambiloto merupakan tanaman
obat yang banyak digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, seperti
hipertensi. Tujuan penelitian ini adalah menentukan aktivitas inhibisi ekstrak air
dan ekstrak etanol 30% kumis kucing, pegagan, tempuyung, dan sambiloto
terhadap angiotensin converting enzyme (ACE) secara in vitro. Tiga esktrak
dengan daya inhibisi tertinggi selanjutnya diformulasi dengan mixture design dan
diuji aktivitas inhibisinya terhadap ACE. Uji aktivitas inhibisi ACE menunjukkan
bahwa ekstrak etanol 30% pegagan, ekstrak etanol 30% kumis kucing, dan ekstrak

air kumis kucing memiliki aktivitas 3 inhibisi tertinggi. Gabungan ketiga ekstrak
tersebut dengan komposisi (1/6:1/6:2/3) pada konsentrasi 100 ppm memiliki
aktivitas inhibisi ACE hampir sebanding dengan inhibisi kaptopril pada
konsentrasi 100 ppm. Analisis profil senyawa penciri dengan kromatografi lapis
tipis menunjukkan adanya pita sinensetin. Sementara analisis kromatografi cair
kinerja tinggi menunjukkan bahwa formula ekstrak berpotensi mengandung
asiatikosida lebih banyak dibandingkan dengan sinensetin.
Kata kunci: antihipertensi, asiatikosida, penghambatan ACE, sinensetin

ABSTRACT
EMILIA FATMAWATI. Potency of Water and Ethanol Extracts of Kumis
Kucing, Pegagan, Tempuyung, and Sambiloto as Antihypertensive and The Profile
of Their Marker Compounds. Supervised by LATIFAH K. DARUSMAN and
WULAN TRI WAHYUNI.
Kumis kucing, pegagan, tempuyung, and sambiloto are widely used as
medicinal plants to treat a variety of diseases, such as hypertension. The objective
of this researchs was to determine inhibitory activity of water extracts and 30%
ethanol extract of these plants against ACE through in vitro assay. Three extracts
with the highest inhibitory activity were formulated by using mixture design and
its inhibitory activity against ACE was investigated. The result showed that 30%

ethanol extract of pegagan, 30% ethanol extract of kumis kucing, and water
extract of kumis kucing showed three of the highest inhibitory activity.
Formulation of these extracts in composition of 1/6:1/6:2/3 and concentration of
100 ppm showed inhibition against ACE that slightly lower than inhibition of
captopril at 100 ppm. Analysis of marker compounds by using thin layer
chromatography showed that sinensetin band detected under UV light at 254 nm
and 366 nm. Meanwhile high performance liquid chromatographic analysis
showed that the formula contain asiaticoside more than sinensetin.
Keywords: ACE inhibition, antihypertensive, asiaticoside, sinensetin

POTENSI EKSTRAK AIR DAN ETANOL KUMIS KUCING,
PEGAGAN, TEMPUYUNG, DAN SAMBILOTO SEBAGAI
ANTIHIPERTENSI SERTA PROFIL SENYAWA
PENCIRINYA

AJENG MAHARDININGTYAS SAVITRI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains

pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

.

Judul Skripsi

Nama
NIM

Potensi Ekstrak Air dan Etanol Kumis Kucing, Pegagan,
Tempuyung, dan Sambiloto Sebagai Antihipe11ensi se11a
Profil Senyawa Penci1inya
Ajeng Mahardiningtyas Savitri

G44100105

Disetujui oleh

MS

イキセ@

Dr Wulan Tri Wahvuni, MSi
Pembimbing II

ita. MS

Tanggal Lulus:

2t1 AU G 2015

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian serta

menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah yang berjudul Potensi Ekstrak Air
dan Etanol Kumis Kucing, Pegagan, Tempuyung, dan Sambiloto sebagai
Antihipertensi serta Profil Senyawa Pencirinya ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana sains pada Departemen Kimia FMIPA IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Latifah K Darusman,
MS dan Wulan Tri Wahyuni, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, saran, dan arahan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan karya
ilmiah ini berlangsung. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Eman
Suherman, Ibu Nunung, Bapak Dede, Bapak Kosasih, Ibu Nunuk, Ibu Anggi, Ibu
Laela, semua staf Kependidikan Laboratorium Kimia Analitik, dan semua staf
Pusat Studi Biofarmaka atas bantuan yang diberikan selama penelitian. Tak lupa
penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ayah, ibu, adik, Fahmi Luthfie,
Meilisa, Ira, Baiq, Gemilang, Herdiyanto, Cempaka, Pitria Aprilani, dan Ati yang
telah memberikan doa dan dukungannya hingga penelitian dan penulisan karya
ilmiah ini selesai.
Semoga laporan ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Agustus 2015

Ajeng Mahardiningtyas Savitri


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Tujuan Penelitian

1
2


BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Metode

2
2
2

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air dan Ekstraksi Sampel
Uji Inhibisi Ekstrak Tunggal terhadap Aktivitas ACE secara In Vitro
Formulasi Ekstrak dengan Mixture Design
Uji Toksisitas Ekstrak Gabungan dengan Larva Udang A. salina
Profil Senyawa Penciri Formula Ekstrak Berpotensi
Kadar Senyawa Penciri dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

5
5
6
8

9
9
11

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

11
11
12

DAFTAR PUSTAKA

12

LAMPIRAN

14


RIWAYAT HIDUP

24

DAFTAR TABEL
1 Kondisi elusi gradien kromatografi cair kinerja tinggi
2 Kadar air dan rendemen sampel tanaman
3 Nilai inhibisi tertinggi ekstrak tunggal, formulasi ekstrak, dan kaptopril

5
6
9

DAFTAR GAMBAR
1 Simplex centroid with axial design
2 Nilai inhibisi ekstrak etanol 30% ( ) dan ekstrak air ( ) sampel
tanaman terhadap aktivitas ACE
3 Profil KLT standar sinensetin (1), standar asiatikosida (2), formula
ekstrak ulangan ke-1 (3) dan formula ekstrak ulangan ke-2 (4) di bawah
sinar UV 254 nm dan 366 nm sebelum disemprotkan LiebermannBurchard


4
8

10

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Diagram alir penelitian
Hasil deteminasi sampel tanaman
Rendemen sampel tanaman
Uji aktivitas inhibisi ekstrak tunggal terhadap aktivitas Angiotensin
Converting Enzyme
Data uji inhibisi formulasi ekstrak terhadap aktivitas ACE secara in
vitro
Nilai LC50 formula ekstrak berpotensi
Profil senyawa penciri formula ekstrak berpotensi
Kromatogram asiatikosida dan sinensetin

14
15
16
17
18
19
19
22

PENDAHULUAN
Tanaman obat tradisional sejak dahulu telah banyak digunakan masyarakat
di Indonesia bahkan di seluruh dunia untuk mengobati berbagai jenis penyakit
termasuk hipertensi. Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan faktor resiko
utama penyakit kardiovaskuler yang merupakan penyebab kematian yang cukup
tinggi, yaitu mencapai 6.7% dari populasi kematian pada semua umur di
Indonesia. Penyakit ini menjadi perhatian penting karena dapat memicu timbulnya
penyakit lain seperti stroke (terjadi pada otak dan berdampak pada kematian yang
tinggi), penyakit jantung koroner (terjadi pada kerusakan pembuluh darah
jantung), gagal ginjal, penyakit pembuluh lain, serta diabetes melitus (Kemenkes
RI 2013).
Pengobatan hipertensi selama ini dilakukan menggunakan obat
antihipertensi yang dapat memengaruhi sistem pengaturan tekanan darah. Secara
umum, obat antihipertensi bekerja dengan cara diuretik, beta blocker yang bekerja
dengan cara menghalangi reseptor pada otot pembuluh darah yang menyebabkan
pembuluh darah melebar sehingga tekanan darah menurun, blocker kanal kalsium,
blocker reseptor angiotensin II, dan penghambat Angiotensin Converting Enzyme
(ACE) (Palmer dan Williams 2007). Obat antihipertensi yang bekerja dengan cara
penghambat ACE merupakan jenis obat yang banyak digunakan saat ini (RISTEK
RI 2012). Menurut Rohman et al. (2011) yang telah melakukan penelitian
terhadap 1688 dokter, baik dokter spesialis maupun dokter umum, menunjukkan
sebanyak 68.63−78.11% dokter berpendapat bahwa obat antihipertensi harus
diberikan seumur hidup pada penderita hipertensi. Namun, obat tersebut memiliki
beberapa efek negatif yang tidak diinginkan, seperti pusing, mulut kering hingga
depresi. Hal ini menyebabkan banyak orang mulai beralih mengkonsumsi obat
herbal dari tanaman obat, seperti pegagan, sambiloto, tempuyung, dan kumis
kucing (Permadi 2011).
Tanaman-tanaman tersebut pada umumnya telah lama dimanfaatkan untuk
penyembuhan berbagai jenis penyakit oleh masyarakat. Perlakuannya sangatlah
sederhana hanya dengan merebus beberapa bagian tanaman tersebut di dalam air.
Air yang bersifat sangat polar dapat digunakan sebagai pelarut yang aman dan
compatible bagi tubuh karena hampir 60−70% tubuh manusia adalah air. Selain
itu, air juga merupakan larutan yang diperbolehkan oleh Farmakope Indonesia
untuk digunakan sebagai pelarut selain etanol atau campuran etanol-air. Saat ini,
telah diketahui bahwa ekstrak etanol tanaman kumis kucing, sambiloto,
tempuyung, pegagan memiliki daya inhibisi terhadap aktivitas ACE (Yulinda
2011). Oleh karena itu, tanaman-tanaman tersebut dipilih untuk diteliti lebih
mendalam mengenai potensinya sebagai obat antihipertensi dan profil senyawa
pencirinya. Pola atau profil senyawa dapat digunakan untuk memberikan
gambaran awal komponen senyawa kimia yang ada pada suatu campuran ekstrak
berdasarkan pola kromatogramnya. Salah satu komponen senyawa kimia yang
dapat dijadikan sebagai penanda adanya suatu campuran ekstrak ialah senyawa
penciri. Senyawa penciri adalah senyawa yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi adanya kandungan ekstrak suatu jenis tanaman dari suatu
campuran. Contoh senyawa penciri, yaitu sinensetin yang merupakan senyawa
penciri ekstrak kumis kucing, asiatikosida yang merupakan senyawa penciri

2
ekstrak pegagan, androglafolid yang merupakan senyawa penciri ekstrak
sambiloto, dan luteolin yang merupakan senyawa penciri ekstrak tempuyung
(Kemenkes RI 2009). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk melihat
profil senyawa suatu campuran ekstrak ialah kromatografi lapis tipis (KLT).
Metode KLT sering digunakan karena mudah digunakan pada penapisan awal,
sederhana, persiapan sampel yang mudah, dan tidak membutuhkan waktu yang
lama (Istiqomah 2010).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menentukan aktivitas inhibisi ekstrak tunggal etanol
30% dan ekstrak tunggal air tanaman pegagan, kumis kucing, tempuyung,
sambiloto, dan formulasi ekstrak berpotensi terhadap aktivitas ACE serta
menentukan profil senyawa penciri pada formula berpotensi.

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan antara lain simplisia daun sambiloto, daun
kumis kucing, herba pegagan, dan herba tempuyung, etanol 30%, NaOH 10%,
HCl 6 N, air laut, telur udang Artemia salina, hipuril-L-histidil-L-leusina, NaCl,
buffer HEPES, Angiotensin Converting Enzyme, kaptopril, etil asetat, butanol,
H2SO4, metanol, asam asetat, standar asiatikosida, standar sinensetin.
Alat-alat yang digunakan adalah spektrofotometer UV-Vis (Hitachi, Jepang),
oven, ependorf, pipet mikro, sentrifugasi, pelat silika gel GF254, lampu ultraviolet,
camag linomat, kromatografi cair kinerja tinggi (Shimadzhu, Jepang).

Metode
Metode penelitian yang dilakukan meliputi beberapa tahapan (Lampiran 1).
Tahapan tersebut ialah penyiapan sampel, penentuan kadar air simplisia, ekstraksi
menggunakan etanol 30% dan air, uji inhibisi ekstrak terhadap aktivitas ACE,
formulasi ekstrak dan uji inhibisi formula terhadap ACE, uji toksisitas formula,
penentuan profil senyawa penciri formula dengan menggunakan KLT, dan
penentuan kadar senyawa penciri formula.
Preparasi Sampel
Sampel daun yang sudah kering dijadikan serbuk dengan ukuran 60 mesh.
Sampel yang telah dijadikan serbuk tersebut disimpan untuk ditentukan kadar
airnya. Tanaman yang digunakan juga dideterminasi terlebih dahulu.
Kadar Air (AOAC 2006)
Cawan porselin yang telah bersih dikeringkan pada suhu 105 ⁰C selama 3
jam kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang bobotnya. Sebanyak

3
2 gram sampel ditimbang di dalam wadah yang telah diketahui bobotnya. Wadah
berisi sampel dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 ⁰C selama 3 jam
kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang bobotnya. Proses
pengeringan dilakukan hingga bobot konstan. Rumus kadar air sebagai berikut:
adar air %

100%

Keterangan:
A = Bobot contoh sebelum dikeringkan (g)
B = Bobot contoh setelah dikeringkan (g)
Ekstraksi Sampel
Serbuk kering simplisia daun kumis kucing, daun sambiloto, herba pegagan,
dan herba tempuyung masing-masing ditimbang sebanyak 100 gram kemudian
dimaserasi dengan 2 pelarut, yaitu etanol 30% dan air selama 24 jam pada suhu
ruang lalu disaring. Nisbah simplisia dan pelarut sebesar 1:5 (b/v). Ampas
tanaman direndam kembali dengan pelarut semula dan diulangi langkah yang
sama hingga perendaman dilakukan 3 kali ulangan. Setelah itu, setiap filtrat yang
diperoleh dipekatkan dengan penguap putar dengan suhu 30 °C sehingga
diperoleh 8 jenis ekstrak pekat kemudian disimpan pada suhu -20 °C sampai
dilakukan analisis.
Uji Inhibisi Ekstrak terhadap Aktivitas ACE secara In Vitro (Chusman dan
Cheung 1971)
Aktivitas inhibisi ACE dilakukan dengan metode Chusman dan Cheung
(1971) dengan sedikit modifikasi pada komposisi substrat. Sebanyak 50 µL
larutan sampel ekstrak dengan konsentrasi 100 ppm ditambah 50 µL larutan ACE
(25 mU/mL) kemudian di prainkubasi selama 10 menit pada suhu 32 °C. Setelah
itu, campuran diinkubasi kembali dengan 50 µL substrat (Hip-His-Leu 8 mM
dalam bufer HEPES 50 mM yang berisi 300 mM NaCl pada pH 8.3) selama 30
menit pada suhu 32 °C. Reaksi dihentikan dengan penambahan 200 µL HCl 1 M.
Kemudian larutan diekstraksi dengan menambahkan larutan etil asetat sebanyak
1.5 mL dan disentrifugasi (4000×g) selama 15 menit. Selanjutnya supernatan yang
dihasilkan dipindahkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 1 mL lalu diuapkan pada
suhu kamar selama 2 jam dalam vakum atau pengering oven. Setelah kering,
hasilnya dilarutkan dengan 3 mL air destilata dan diukur absorbansnya dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 228 nm.
Formulasi Ekstrak dengan Mixture Design
Formulasi ekstrak dilakukan terhadap 3 ekstrak tunggal dengan nilai inhibisi
tertinggi yang disusun sesuai mixture design dengan bentuk simplex-centroid with
axial design (Gambar 1). Masing-masing formula ekstrak kemudian diuji daya
inhibisinya terhadap aktivitas ACE sehingga didapatkan satu formula ekstrak
dengan nilai inhibisi tertinggi.

4

Gambar 1 Simplex centroid with axial design
Uji Toksisitas Formula Berpotensi terhadap Larva Udang Artemia salina
(Meyer et al. 1982)
Telur udang Artemia salina ditetaskan dalam gelas piala yang berisi air laut
yang telah disaring kemudian diaerasi. Telur udang dibiarkan selama 48 jam di
bawah pencahayaan lampu agar menetas sempurna. Sebanyak 0.02 gram formula
ekstrak berpotensi pekat ditimbang kemudian dilarutkan ke dalam 10 mL air laut
untuk membuat larutan ekstrak dengan konsentrasi 2000 ppm. Ekstrak yang sukar
larut dapat dibantu dengan penambahan Tween-80. Sebanyak 10 ekor larva udang
dan 1000 µL air laut dimasukkan ke dalam vial uji hingga konsentrasi akhir
menjadi 1800, 1600, 1400, 1200, 1000 ppm. Kontrol dilakukan tanpa penambahan
formula berpotensi. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan menghitung
jumlah larva yang mati dari total larva yang dimasukkan ke dalam vial.
Analisis Senyawa Penciri dengan Kromatografi Lapis Tipis (Reniza 2003)
Sebanyak 30 μL ekstrak dengan daya inhibisi tertinggi diaplikasikan pada
pelat KLT. Fase diam yang digunakan ialah silika gel GF254. Selanjutnya, pelat
KLT diangin-anginkan agar sisa pelarut hilang. Setalah kering, pelat dimasukkan
ke dalam bejana pengembang yang berisi fase gerak terpilih, yaitu butanol:asam
asetat:air (5:1:4) yang telah dijenuhkan minimal selama 15 menit. Setelah daya
kapiler dari ekstrak telah maksimal, pelat dikeringkan kemudian dilihat di bawah
lampu ultraviolet pada panjang gelombang 254 nm dan 365 nm. Setelah itu, noda
dideteksi kembali dengan menyemprotkan pereaksi Lieberman Buchard untuk
mendeteksi senyawa golongan triterpenoid. Selanjutnya Rf dari spot yang
dihasilkan dibandingkan dengan pembanding senyawa penciri.
Penentuan Kadar Senyawa Penciri dengan Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi
Penentuan kadar senyawa penciri sinensetin pada sampel tanaman kumis
kucing dilakukan berdasarkan metode dari Akowuah et al. (2004). Pengukuran
dilakukan dengan melarutkan 1 gram formula ekstrak ke dalam 10 ml MeOH:H2O
(6:4) dan sampel disaring dengan membran 0.45 μm untuk analisis dengan KCKT.
Sistem yang digunakan ialah fase diam kolom LiChrosorb RP-18 (250 mm×4.6
i.d. mm, ukuran partikel 5 μm) (Merck Darmstadt, Germany), suhu kolom 25 °C,

5
elusi isokratik dengan fase gerak metanol:air:tetrahidrofuran (45:50:5) (v/v)
dengan laju alir 1 mL/menit. Air yang digunakan sebagai fase gerak terlebih
dahulu ditambahkan asam fosfat agar pH air menjadi 3. Detektor yang digunakan
adalah detektor ultraviolet (UV) pada panjang gelombang 340 nm dan volume
injeksi adalah 20 μl.
Penentuan kadar senyawa penciri Asiatikosida pada sampel tanaman
pegagan dilakukan berdasarkan metode dari Rafamantanana et al. (2009).
Formula dilarutkan dalam 10 mL metanol kemudian disaring dengan membran
0.45 μm lalu diinjeksikan ke KCKT. Sistem yang digunakan untuk menentukan
kadar asiatikosida yaitu menggunakan kolom C18 (4.6 mm×150 mm; ukuran
partikel 5 μm) (X-BridgeTM, Irlandia), elusi gradien asetonitril dan air. Detektor
yang digunakan UV pada panjang gelombang 206 nm dan laju alir 1 mL/menit.
Tabel 1 Kondisi elusi gradien kromatografi cair kinerja tinggi
Waktu (menit)
0
15
30
35
40
45
55

Komposisi fase gerak
Air (%)
Asetonitril (%)
80
20
65
35
35
65
20
80
20
80
80
20
80
20

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air dan Ekstraksi Sampel
Sampel simplisia daun sambiloto, daun kumis kucing, herba pegagan, dan
herba tempuyung didapatkan dari kebun Biofarmaka, Cikabayan, Bogor. Sebelum
dilakukan pengujian, tanaman-tanaman tersebut diidentifikasi terlebih dahulu di
Laboratorium Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian BiologiLIPI Bogor. Identifikasi ini bertujuan mengetahui kebenaran sampel yang
digunakan dengan cara menentukan jenis dan suku dari sampel tanaman yang
digunakan. Hasil identifikasi sampel tanaman menunjukkan bahwa sampel yang
digunakan memang benar tanaman sambiloto, pegagan, kumis kucing, dan
tempuyung (Lampiran 2). Sampel daun dan herba yang sudah kering kemudian
dijadikan serbuk. Serbuk yang digunakan ialah serbuk yang lolos dari penyaringan
60 mesh. Hal ini bertujuan memperluas permukaan sampel sehingga interaksi
antara pelarut dan bahan yang diekstraksi menjadi efektif pada tahap ekstraksi
sehingga memudahkan kelarutan komponen bioaktif dan meningkatkan rendemen
ekstraksi.
Penentuan kadar air dilakukan untuk mengetahui banyaknya kandungan air
dalam suatu bahan sehingga dapat diketahui daya tahan bahan tersebut dalam

6
penyimpanan. Suatu bahan dapat disimpan dalam jangka waktu lama dan relatif
stabil dari serangan mikroba jika nilai kadar airnya kurang dari 10% (Herawati et
al. 2012). Selain itu, nilai kadar air yang kurang dari 10% merupakan syarat suatu
bahan dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan jamu (BPOM 2014).
Berdasarkan pengujian yang dilakukan diketahui bahwa simplisia daun sambiloto,
daun kumis kucing, herba pegagan, dan herba tempuyung masing-masing
memiliki nilai kadar air di atas 10% (Tabel 1). Hal tersebut menunjukkan bahwa
sampel serbuk daun tanaman sambiloto, pegagan, kumis kucing, dan tempuyung
kurang baik disimpan dalam jangka waktu yang lama dan rentan terhadap
serangan mikroba. Selain itu, penentuan kadar air juga dapat digunakan untuk
mengoreksi rendemen hasil ekstraksi sampel.
Simplisia daun sambiloto, daun kumis kucing, herba pegagan, dan herba
tempuyung selanjutnya diekstrasi dengan cara maserasi. Pemilihan teknik
ekstraksi dengan cara maserasi dilakukan untuk menghindari rusaknya komponen
kimia pada simplisia akibat panas. Pelarut yang digunakan ialah etanol 30% dan
air. Penggunaan etanol dan air sebagai pelarut dikarenakan air selalu digunakan
oleh masyarakat sebagai pelarut dengan cara menyeduh dan merebus tanaman
obat, sedangkan etanol merupakan pelarut yang diperbolehkan untuk aplikasi
farmasi karena pada umumnya obat-obatan fitofarmaka diekstraksi dengan
menggunakan pelarut etanol.
Maserasi dilakukan sebanyak 3 kali (masing-masing 24 jam) agar
komponen kimia pada simplisia banyak yang terekstrak oleh pelarut sehingga
pelarut sudah tidak efektif mengekstraksi komponen kimia dalam jumlah yang
berarti. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa rendemen ekstrak etanol 30%
simplisia sambiloto, pegagan, dan kumis kucing lebih tinggi dibandingkan
rendemen ekstrak air kecuali pada simplisia tempuyung. Hal ini dikarenakan
etanol mampu menarik komponen kimia yang memiliki kepolaran berbeda karena
etanol memiliki gugus hidroksil yang bersifat polar dan gugus alkil yang bersifat
nonpolar sehingga mampu melarutkan zat, baik yang bersifat polar dan semi polar.
(Harborne 1987). Perhitungan data rendemen dapat dilihat pada Lampiran 3.
Tabel 2 Kadar air dan rendemen sampel tanaman
Sampel tanaman
Sambiloto
Pegagan
Kumis kucing
Tempuyung

Kadar air (%),
n=3
11.27 ± 0.02
10.27 ± 0.08
14.24 ± 0.05
11.34 ± 0.08

Rendemen (%b/b), n=3
Etanol 30%
Air
8.89 ± 0.17
6.76 ± 0.43
8.57 ± 0.31
5.36 ± 0.27
8.64 ± 0.37
6.39 ± 0.14
5.40 ± 0.35
5.82 ± 0.19

Uji Inhibisi Ekstrak Tunggal terhadap Aktivitas ACE secara In Vitro
Ekstrak air dan etanol 30% simplisia sambiloto, pegagan, kumis kucing, dan
tempuyung selanjutnya diuji daya inhibisinya terhadap aktivitas angiotensin
converting enzyme (ACE). ACE merupakan enzim yang terdapat di dalam sistem
renin-angotensin yang mengontrol tekanan darah dalam tubuh (Massaretto et al.
2011). Enzim ini mengkatalisis perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II

7
yang dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah dan meretensi natrium di
dalam tubuh sehingga volume cairan darah dalam tubuh meningkat. Akibatnya
kerja jantung menjadi lebih berat dalam memompa darah. Hal inilah yang dapat
mengakibatkan hipertensi (Jang et al. 2011). Oleh karena itu, penghambatan
aktivitas ACE mampu menurunkan pembentukan angiotensin II sehingga dapat
mencegah terjadinya hipertensi.
Pengujian daya inhibisi ekstrak dilakukan pada konsentrasi ekstrak 100 ppm.
Pemilihan konsentrasi 100 ppm ini berdasarkan pada penelitian Yulinda (2011)
yang menunjukkan bahwa daya inhibisi ekstrak etanol 30% sambiloto dan
pegagan masih menunjukkan peningkatan hingga konsentrasi ekstrak 100 ppm.
Akan tetapi, ekstrak dengan konsentrasi di atas 100 ppm membuat ACE menjadi
tidak stabil sehingga dapat berpengaruh pada hasil yang diperoleh.
Pengujian dilakukan dengan melarutkan sampel ekstrak ke dalam buffer
HEPES pH 8.3 hingga konsentrasinya menjadi 100 ppm. Ekstrak tersebut
kemudian dicampurkan dengan ACE serta substrat Hipuril-Histidil-Leusin (HipHis-Leu) lalu diinkubasi selama 30 menit pada suhu 32°C. Setelah itu, reaksi
dihentikan dengan menambahkan HCl. Enzim ACE bekerja dengan cara
mengubah substrat Hip-His-Leu (sebagai pengganti angiotensin I) menjadi asam
hipurat. Asam hipurat yang dihasilkan dari aktivitas enzim ACE kemudian
diekstrak dengan menggunakan etil asetat dan selanjutnya diukur dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 228 nm. Data
yang dihasilkan berupa absorbans. Daya inhibisinya ditentukan dengan
membandingkan absorbans kontrol (tanpa penambahan ekstrak) dengan absorbans
sampel. Semakin kecil absorbans yang didapatkan, semakin besar daya inhibisi
ekstrak terhadap aktivitas ACE.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa semua ekstrak memiliki daya inhibisi
terhadap aktivitas ACE. Tiga ekstrak yang memiliki nilai inhibisi tertinggi secara
berturut-urut, yaitu ekstrak air kumis kucing, ekstrak etanol 30% pegagan, dan
ekstrak etanol 30% kumis kucing (Gambar 2). Data lengkap dan perhitungan nilai
inhibisi disajikan pada Lampiran 4. Kumis kucing memang telah diketahui
memiliki daya inhibisi yang tinggi terhadap aktivitas ACE, yaitu 76.98% pada
konsentrasi 50 ppm (Pradono et al. 2010). Pegagan juga telah diketahui memiliki
kemampuan dalam mencegah terjadinya hipertensi melalui penghambatan
aktivitas ACE. Hal ini dibuktikan oleh Hansen et al. (1995) yang menunjukkan
bahwa ekstrak etanol pegagan memiliki daya hambat lebih besar dibandingkan
tanaman obat lainnya, yaitu sebesar 50%.
Sambiloto diketahui mengandung kalium yang tinggi (Prapanza dan
Marianto 2003). Adanya kalium mampu menghambat sekresi hormon aldosteron.
Sekresi hormon aldosteron ini dapat menghambat retensi natrium dalam tubuh
sehingga natrium tertahan di dalam ginjal. Hal ini membuat kadar natrium dalam
ginjal meningkat sehingga ginjal membuangnya melalui urin. Akibatnya, tubuh
mengikat lebih banyak air untuk membuat kadar natrium dalam urin menjadi
normal dan menyebabkan produksi urin meningkat. Hal inilah yang membuat
sambiloto tidak hanya mampu bekerja dengan cara penghambatan ACE dalam
mencegah terjadinya hipertensi tetapi juga dengan cara diuretik (Guyton dan Hall
2008).

8
74,63

80,00
65,67

Nilai Inhibisi (%)

70,00
60,00
50,00

50,75
42,54

64,18

59,70

50,00
37,31

40,00

etanol 30%

30,00

air

20,00
10,00
0,00
Sambiloto

Pegagan

Kumis kucing Tempuyung

Ekstrak (100 ppm)

Gambar 2 Nilai inhibisi ekstrak etanol 30% ( ) dan ekstrak air ( ) sampel
tanaman terhadap aktivitas ACE
Formulasi Ekstrak dengan Mixture Design
Tiga ekstrak tunggal dengan daya inhibisi tertinggi, yaitu ekstrak etanol
30% pegagan, ekstrak etanol 30% kumis kucing, dan ekstrak air kumis kucing
diformulasi dan diuji daya inhibisinya. Penggabungan ekstrak dilakukan
menggunakan mixture design dengan rancangan simplex centroid with axial
design. Mixture design digunakan saat suatu sistem merupakan campuran dari
beberapa komponen yang jumlah totalnya konstan, yaitu 100%. Bertambahnya
jumlah komponen yang digunakan akan menambah jumlah dimensi ruang yang
digunakan untuk menggambarkan mixture. Jika hanya 2 komponen yang
digunakan, profil campuran komponen akan mengikuti garis lurus. Jika 3
komponen yang digunakan, profil campuran komponen akan berbentuk segitiga.
Jika 4 komponen yang digunakan, profil campuran komponen akan berbentuk
tetrahedron dan seterusnya (Wahyuni 2010).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada gabungan ekstrak etanol 30%
pegagan, ekstrak etanol 30% kumis kucing, dan ekstrak air kumis kucing dengan
komposisi (1/6:1/6:2/3) pada konsentrasi 50 ppm dan 100 ppm memiliki daya
inhibisi tertinggi, yaitu sebesar 48.19% dan 66.67%. Nilai persen inhibisi ini
hampir mendekati persen inhibisi kaptopril sebagai kontrol positif yang
menunjukkan nilai inhibisi sebesar 67.62% pada konsentrasi 100 ppm (Tabel 3).
Data lengkap disajikan pada Lampiran 5. Hal ini menunjukkan bahwa adanya
formulasi ekstrak atau penggabungan ekstrak tunggal mampu meningkatkan daya
inhibisi terhadap aktivitas ACE sehingga lebih baik dalam mencegah terjadinya
hipertensi.

9
Tabel 3 Nilai inhibisi ekstrak tunggal, formulasi ekstrak, dan kaptopril
Komposisi

Ekstrak (100 ppm)
Etanol 30% pegagan
Etanol 30% kumis kucing
Air kumis kucing

Tunggal
Campuran (1/6:1/6:2/3)
Kaptopril

Rerata inhibisi (%)
55.24
30.48
15.24
66.67
67.62

Uji Toksisitas Ekstrak Gabungan dengan Larva Udang A. salina
Uji toksisitas dilakukan menggunakan larva udang Artemia salina. Larva
udang A. salina sangat sensitif dan mudah mati apabila terdapat senyawa yang
bersifat toksik. Membran kulitnya yang sangat tipis memungkinkan terjadinya
difusi zat dari lingkungan yang mempengaruhi metabolisme tubuhnya. Uji ini
sering digunakan sebagai uji pendahuluan untuk mengetahui aktivitas farmakologi
dari suatu ekstrak karena praktis, biayanya murah, cepat pelaksanaannya, dan
tidak memerlukan perlakuan yang khusus. Prinsipnya ialah senyawa bioaktif
bersifat toksik jika diberikan pada dosis yang tinggi dan menjadi obat jika
diberikan pada dosis yang rendah. Tujuan dilakukannya uji ini yaitu untuk
mengetahui apakah formula ekstrak bersifat toksis atau tidak. Toksis atau tidaknya
suatu sampel dapat dilihat dari nilai LC50. Nilai LC50 menunjukkan konsentrasi
yang dapat menyebabkan 50% kematian larva A. salina dalam suatu populasi.
Suatu ekstrak dapat dikatakan toksis jika nilai LC50 lebih kecil dari 1000 ppm
(Meyer et al. 1982).
Pengujian awal toksisitas formula ekstrak menggunakan larva A. salina
dilakukan pada konsentrasi 25–1000 ppm. Setelah 24 jam, terlihat bahwa tidak
ada larva udang yang mati hingga konsentrasi 1000 ppm. Selanjutnya pengujian
dilakukan pada konsentrasi 1000–5000 ppm. Hasilnya diketahui bahwa 100%
kematian larva udang terjadi pada konsentrasi 2000–5000 ppm. Pengujian
dilakukan kembali pada konsentrasi 1000–2000 ppm dan hasilnya
memperlihatkan bahwa seiring meningkatnya konsentrasi jumlah larva udang
yang mati juga semakin meningkat. Nilai LC50 didapatkan dengan
menghubungkan persen kematian larva udang dengan log konsentrasi ekstrak.
Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa formula ekstrak bersifat tidak toksik
dan didapatkan nilai LC50 formula ekstrak sebesar 1465.9451 ppm (Lampiran 6).

Profil Senyawa Penciri Formula Ekstrak Berpotensi
Kromatografi lapis tipis dilakukan untuk mengetahui profil senyawa yang
terkandung di dalam formula ekstrak termasuk senyawa pencirinya. Analisis KLT
diawali dengan pemilihan fase gerak terbaik. Fase gerak yang digunakan yaitu
butanol:asam asetat:air (5:1:4) v/v, kloroform:metanol:air (13:5:0.8) v/v,
kloroform:etil asetat (6:4) v/v, dan asam asetat:metanol (9:1) v/v (Reniza 2003,
Kemenkes RI 2009, Suryana 2010). Pelat yang telah dielusi kemudian
dikeringudarakan dan diamati dengan lampu UV pada panjang gelombang 254 nm

10
dan 366 nm lalu dihitung jumlah spot yang terdeteksi. Eluen yang terpilih ialah
eluen yang memiliki spot terbanyak dengan jarak keterpisahan yang baik.
Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa butanol:asam asetat:air (5:1:4) v/v
merupakan eluen yang menghasilkan jumlah spot terbanyak dengan pemisahan
yang cukup baik (Lampiran 7).
Pengujian dilanjutkan dengan melarutkan formula ekstrak ke dalam
metanol lalu ditotolkan pada pelat KLT dengan fase diam silika gel GF254 dan fase
gerak butanol:asam asetat:air (5:1:4) v/v. Identifikasi senyawa penciri formula
ekstrak dilakukan dengan menggunakan standar asiatikosida yang merupakan
senyawa penciri ekstrak pegagan dan standar sinensetin yang merupakan senyawa
penciri ekstrak kumis kucing. Hasil analisis KLT menunjukkan adanya spot
senyawa sinensetin pada formula ekstrak dengan nilai Rf 0.85. Nilai Rf ini sama
dengan spot standar sinensetin setelah dideteksi di bawah sinar UV 254 nm dan
366 nm (Gambar 3). Menurut Harborne (1987), spot senyawa asiatikosida dapat
dilihat menggunakan sinar UV 366 nm setelah disemprot dengan pereaksi
Liebermann-Burchard dan dipanaskan dalam oven pada suhu 105 °C selama 10
menit. Akan tetapi, noda keunguan yang mengindikasinya adanya senyawa
asiatikosida tetap tidak terdeteksi pada formula ekstrak setelah disemprotkan
pereaksi Lieberman-Burchard, baik dilihat pada sinar UV 366 nm maupun cahaya
tampak (Lampiran 7).

Gambar 3 Profil KLT standar sinensetin (1), standar asiatikosida (2), formula
ekstrak ulangan ke-1 (3) dan formula ekstrak ulangan ke-2 (4) di
bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm sebelum disemprotkan
Liebermann-Burchard
Selanjutnya, pengujian dilakukan kembali terhadap ketiga ekstrak tunggal
untuk memastikan apakah senyawa penciri masing-masing ekstrak dapat
terdeteksi atau tidak. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk senyawa sinensetin
yang merupakan senyawa penciri ekstrak kumis kucing dapat dilihat pada Rf 0.83
di bawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Hal ini sesuai
dengan literatur yang menunjukkan bahwa senyawa sinensetin dapat dideteksi
menggunakan sinar UV pada panjang gelombang 366 nm (Kemenkes RI 2009).
Namun demikian, senyawa asiatikosida yang merupakan senyawa penciri ekstrak
pegagan tetap tidak terdeteksi meskipun telah disemprotkan LiebermannBurchard (Lampiran 7). Hal ini diduga terjadi karena beberapa faktor, seperti
terjadinya overlapping senyawa karena ekstrak yang digunakan masih berupa

11
ekstrak kasar yang mengandung banyak senyawa metabolit sekunder lainnya.
Selain itu, kadar senyawa asiatikosida pada pegagan yang kecil dan kurang dari
limit deteksi diduga juga bisa menjadi salah satu faktor tidak munculnya spot
senyawa asiatikosida. Tidak adanya spot senyawa asiatikosida pada formula
sampel tidak berati senyawa tersebut tidak ada. Hal ini diduga karena sedikitnya
komposisi ekstrak pegagan yang hanya 1/6 bagian dari formulasi ekstrak.

Kadar Senyawa Penciri dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Kadar senyawa asiatikosida dan sinensetin dapat ditentukan dengan
menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Pengujian dilakukan
dengan metode adisi standar. Sejumlah tertentu larutan standar ditambahkan ke
dalam larutan sampel dengan konsentrasi tertentu. Metode ini digunakan untuk
menganalisis zat pada konsenstrasi rendah dan meminimalkan kesalahan yang
disebabkan karena adanya matriks pada sampel. Senyawa asiatikosida dan
sinensetin diidentifikasi dengan membandingkan waktu retensi antara standar dan
sampel. Hasil kromatogram menunjukkan waktu retensi senyawa asiatikosida dan
sinensetin pada formulasi ekstrak berturut-turut berada pada 14.399 menit dan
7.157 menit. Waktu retensi ini tidak berbeda jauh dengan waktu retensi larutan
standar senyawa asiatikosida dan sinensetin yang berada pada 14.356 menit dan
7.127 menit. Kadar senyawa penciri tersebut kemudian dihitung dengan
membandingkan luas area puncak senyawa tersebut dengan luas area puncak
senyawa standar. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar senyawa asiatikosida dan
kadar senyawa sinensetin pada formulasi ekstrak berturut-turut sebesar 0.07%
(b/b) dan 0.01% (b/b) (Lampiran 8).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol 30%
pegagan, ekstrak etanol 30% kumis kucing, dan ekstrak air kumis kucing
memiliki daya inhibisi terbesar terhadap aktivitas ACE dibandingkan dengan
ekstrak tunggal lainnya. Formulasi ketiga ekstrak tersebut dengan komposisi
(1/6:1/6:2/3) memiliki persen inhibisi tetinggi dan nilainya sebanding dengan obat
antihipertensi komersial pada konsentrasi yang sama. Analisis profil senyawa
pada formulasi ekstrak menunjukkan adanya pita senyawa sinensetin. Hasil
analisis dengan kromatografi cair kinerja tinggi menunjukkan bahwa kadar
senyawa asiatikosida lebih besar dibandingkan senyawa sinensetin pada formulasi
ekstrak berpotensi.

12
Saran
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui senyawa spesifik
apa yang berperan sebagai inhibitor terhadap aktivitas ACE.

DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2006. Official Methods of
AOAC International Edisi ke-14. Arlington (US): Association of Official
Analytical Chemist.
Akowuah GA, Zhari I, Norhayati I, Sadikun A, Khamsah SM. 2004. Sinensetin,
eupatorin, 30-hydroxy-5, 6, 7, 40-tetramethoxyflavone and rosmarinic acid
contents and antioxidative effect of Orthosiphon stamineus from Malaysia.
Food Chem. 87:559–566.
[BPOM] Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2014. Persyaratan Mutu Obat
Tradisional. Jakarta (ID): BPOM RI
Chusman DW, Cheung HW. 1971. Spectrophotometric assay and properties of
angiotensin converting enzyme of the rabbit lung. Biochem Pharmacol.
20:1637-1648.
Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta (ID):
Penerbit EGC.
Hansen K, Nyman U, Smitt UW, Adsersen A, Gudiksen L, Rajasekharan S,
Pushpangadan P. 1995. In vitro screening of traditional medecine for antihypertensive effect based in inhibition of the angiotensin converting enzyme
(ACE). J Ethnopharmacol. 48:43−51.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Bandung (ID): Penerbit ITB.
Herawati D, Nuraida L, Sumarto. 2012. Cara Produksi Simplisia yang Baik.
Bogor (ID): IPB Pr.
Istiqomah IF. 2010. Pengoptimuman fase gerak KLT dengan rancangan campuran
untuk analisis sidik jari temulawak [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Jang JH, Joeng SC, Kim JH, Lee YH, Ju YC, Lee JS. 2011. Characterisation of a
new antihypertensive angiotensin 1-converting enzyme inhibitory peptide
from Pleurotus cornucopiae. Food Chem. 127:412−418.
[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Farmakope
Herbal Indonesia Edisi Pertama. Jakarta (ID). Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Hipertensi
penyebab kematian nomor tiga. [diunduh 2014 Januari 31]. Tersedia pada:
http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=810
Massaretto IL, Alves MFM, Mira MVM, Carmona AK, Marquez UML. 2011.
Phenolic compounds in raw and cooked rice (Oryza sativa L.) and their
inhibitory effect on the activity of angiotensin I-converting enzyme. J Cer
Sci. 54:236−240.

13
Meyer BN, ferrigni NR, Putnam JE, Jacobsen LB, Nichols DE, McLaughlin JL.
1982. Brine shrimp: A convenient general bioassay for active plant
constituents. Plan Med. 45:31−34.
Palmer A, Williams B. 2007. Simple Guide Tekanan Darah Tinggi. Yasmin E,
penerjemah; Astikawati R, Savitri A, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga.
Terjemahan dari: Simple Guide Blood Pressure.
Permadi A. 2011. Ramuan Herbal Penumpas Hipertensi. Jakarta (ID): Pustaka
Bunda.
Pradono DI, Trisilawati O, Raminiwati M, Susanto S. 2010. Formula
antihipertensi (>60% captopril) dari bahan aktif flavonoid pegagan,
tempuyung, kumis kucing, dan sambiloto serta budidaya untuk
meningkatkan kandungan flavonoid (>1,5%) [catatan penelitian]. KKP3T.
53–55.
Prapanza I, Marianto L. 2003. Khasiat dan Manfaat Sambiloto. Jakarta (ID):
AgroMedia.
Rafamantanana MH, Rozet E, Raoelison GE,Cheuk K, Ratsimamanga SU, Hubert
P, Leclercq JQ. 2009. An improved hplc-uv method for the simultaneous
quantification of triterpenic glycosides and aglycones in leaves of Centella
asiatica (L.) Urb (apiaceae). J Chromatogr B. 877: 2396–2402.
Reniza AW. 2003. Isolasi dan identifikasi senyawa asiatikosida dari pegagan
(Centella asiatica L.Urban) sebagai senyawa antibakteri [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
[RISTEK RI] Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia. 2012.
Preparasi dan karakterisasi antihipertensi dari daun mangga kasturi
(Mangifera casturi) berbasis aktivitasnya sebagai free radical scavenger
(FRS) dan inhibitor angiotensin I converting enzyme (ACE) . [diunduh 2014
Januari 31]. Tersedia pada: http://insentif.ristek.go.id/new_insinas/detail_
penelitian.php?&id=79&id_form=FORM__c8aefca3ae0982e1bd3b9362293
c593429ba1703
Rohman MS, Hersunarti N, Soenarta AA, Suhardjono, Mayza A, Lukito AA,
Kosasih A. 2011. Pemahaman dokter indonesia mengenai hipertensi dan
permasalahan yang dihadapi pada praktik sehari-hari. Maj Kedokt Indones.
61 2 :51−57.
Suryana WN. 2010. Optimasi ekstraksi sinensetin dari kumis kucing [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Wahyuni WT. 2010. Pengoptimuman dan validasi sidik jari kromatografi cair
kinerja tinggi ekstrak Phyllanthus niruri L [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Yulinda L. 2011. Inhibisi ekstrak etanol kumis kucing, pegagan, sambiloto, dan
tempuyung terhadap aktivitas enzim pengubah angiotensin I secara in vitro
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

14
Lampiran 1 Diagram alir penelitian
Simplisia kumis kucing,
pegagan, sambiloto, tempuyung
Penentuan
kadar air

Ekstraksi dengan
etanol 30% dan air

Nilai kadar air

8 ekstrak pekat
Uji inhibisi terhadap
aktivitas ACE secara
in vitro
Nilai inhibisi
ekstrak
Formulasi 3 ekstrak
tunggal dengan nilai
inhibisi tertinggi

Nilai inhibisi
formulasi ekstrak

Formula ekstrak dengan
nilai inhibisi tertinggi

Analisis profil senyawa
penciri dengan KLT

Kromatogram profil
senyawa penciri
Penentuan kadar
senyawa penciri
dengan KCKT
Kadar senyawa penciri pada
formula ekstrak berpotensi

Uji Toksisitas
terhadap
larva udang
A. salina

Nilai LC50

15
Lampiran 2 Hasil deteminasi sampel tanaman

16
Lampiran 3 Rendemen sampel tanaman
Ekstrak etanol 30%
Sampel

Ulangan

Bobot
sampel (g)

Bobot
ekstrak (g)

Rendemen
(%)

1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3

2.0023
2.0017
2.0020
2.0036
2.0050
2.0046
2.0006
2.0003
2.0003
2.0041
2.0039
2.0042

0.1601
0.1591
0.1545
0.1602
0.1495
0.1529
0.1414
0.1495
0.1538
0.0984
0.0889
0.1004

9.01
8.96
8.70
8.91
8.31
8.50
8.24
8.71
8.97
5.54
5.00
5.65

Ulangan

Bobot
sampel (g)

Bobot
ekstrak (g)

Rendemen
(%)

1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3

2.0005
2.0004
2.0005
2.0004
2.0002
2.0005
2.0004
2.0002
2.0005
2.0004
2.0004
2.0005

0.1284
0.1138
0.1076
0.0988
0.0907
0.0994
0.1124
0.1076
0.1141
0.1062
0.1042
0.1008

7.23
6.41
6.63
5.50
5.05
5.53
6.55
6.27
6.35
5.99
5.87
5.61

Sambiloto

Pegagan
Kumis
Kucing
Tempuyung

Rerata
rendemen
(%)
8.89 ± 0.17

8.57 ± 0.31

8.64 ± 0.37

5.40 ± 0.35

Ekstrak air
Sampel

Sambiloto

Pegagan
Kumis
Kucing
Tempuyung

Rerata
rendemen
(%)
6.76 ± 0.43

5.36 ± 0.27

6.39 ± 0.14

5.82 ± 0.19

Contoh perhitungan:
Rendemen ekstrak
air sambiloto (%)

obot ekstrak
100
) (
)
obot sampel
100 kadar air
0.1284
100
= (
) (
) 100%
100 11.27
2.0005
= (

100%
7.23%

17
Lampiran 4 Uji aktivitas inhibisi ekstrak tunggal terhadap aktivitas angiotensin
converting enzyme
Sampel (100 ppm)

Ulangan

Absorbans
kontrol

Absorbans
sampel

Inhibisi
(%)

1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2

0.067
0.067
0.067
0.067
0.067
0.067
0.067
0.067
0.067
0.067
0.067
0.067
0.067
0.067
0.067
0.067

0.037
0.040
0.037
0.029
0.022
0.024
0.031
0.036
0.017
0.031
0.018
0.016
0.044
0.040
0.031
0.023

44.78
40.30
44.78
56.72
67.16
64.18
53.73
46.27
74.63
53.73
73.13
76.12
34.33
40.30
53.73
65.67

Sambiloto etanol 30%
Sambiloto air
Pegagan etanol 30%
Pegagan air
Kumis kucing etanol
30%
Kumis kucing air
Tempuyung etanol
30%
Tempuyung air

Rerata
Inhibisi
(%)
42.54
50.75
65.67
50.00
64.18
74.63
37.31
59.70

Contoh perhitungan:
bsorbans kontrol
bsorbans sampel
bsorbans kontrol
0.067 0.037
=
100%
0.06
= 44.78%

Inhibisi esktrak etanol
=
sambiloto (%)

100%

18
Lampiran 5 Data uji inhibisi formulasi ekstrak terhadap aktivitas ACE secara in
vitro
Komposisi ekstrak
Kumis
Pegagan
Kumis
kucing
etanol
kucing
etanol
30%
air
30%

Absorbans Absorbans
kontrol
sampel

1

0

0

0.035

0

1

0

0.035

0

0

1

0.035

1/2

1/2

0

0.035

0

1/2

1/2

0.035

1/2

-

1/2

0.035

1/6

2/3

1/6

0.035

1/6

1/6

2/3

0.035

2/3

1/6

1/6

0.035

1/3

1/3

1/3

0.035

Kaptopril

0.035

0.013
0.017
0.017
0.024
0.026
0.023
0.027
0.030
0.032
0.028
0.029
0.027
0.022
0.022
0.022
0.036
0.039
0.037
0.017
0.018
0.017
0.012
0.012
0.011
0.015
0.026
0.029
0.050
0.052
0.051
0.011
0.011
0.012

Inhibisi
(%)
62.86
51.43
51.43
31.43
25.71
34.29
22.86
14.29
8.57
20.00
17.14
22.86
37.14
37.14
37.14
-2.86
-11.43
-5.71
51.43
48.57
51.43
65.71
65.71
68.57
57.14
25.71
17.14
-42.86
-48.57
-45.71
68.57
68.57
65.71

Rerata
inhibisi
(%)

55.24

30.48

15.24

20.00

37.14

-6.67

50.48

66.67

33.33

-45.71

67.62

19
Lampiran 6 Nilai LC50 formula ekstrak berpotensi
Ulangan

Persamaan regresi

Nilai
R2

Nilai LC50
(ppm)

1
2
3

y 343.07x − 1036.2
y = 345.33x − 1041.3
y = 297.48x − 897.16

Rerata
LC50
(ppm)

0.9578
0.9552
0.9679

1465.9451
1445.9912
1527.3731

1479.7698

Contoh perhitungan :
y 343.07x − 1036.2
dengan y = persen kematian dan x = log konsentrasi ekstrak
maka :
y = 343.07x − 1036.2
50 = 343.07x − 1036.2
1086.2 = 343.07x
x = 3.1661
-1
log = 1465.9451 ppm
sehingga didapat nilai LC50 gabungan ekstrak sebesar 1465.9451 ppm

Lampiran 7 Profil senyawa penciri formula ekstrak berpotensi

a

b

c

d

(a) Hasil elusi fase gerak asam asetat:metanol (9:1) v/v (a),
kloroform:etil asetat (6:4) v/v (b), butanol:asam asetat:air (5:1:4) v/v
(c), kloroform:metanol:air (13:5:0.8) v/v (d)

20
Lanjutan lampiran 7

(b) Profil KLT standar sinensetin (1), standar asiatikosida (2), formula
ekstrak ulangan ke-1 (3), dan formula ekstrak ulangan ke-2 (4)
setelah disemprot Liebermann-Burchard

(c) Profil KLT standar sinensetin (1), standar asiatikosida (2), formula
ekstrak ulangan ke-1 (3), dan formula ekstrak ulangan ke-2 (4) di
bawah sinar UV 254 nm setelah disemprot Liebermann-Burchard

(d) Profil KLT standar sinensetin (1), standar asiatikosida (2), formula
ekstrak ulangan ke-1 (3), dan formula ekstrak ulangan ke-2 (4) di
bawah sinar UV 366 nm setelah disemprot Liebermann-Burchard

21
Lanjutan lampiran 7

1 2

1 2

(e) Profil KLT standar asiatikosida (1) dan ekstrak etanol 30% pegagan
(2) di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm sebelum disemprot
Liebermann-Burchard

1 2

1 2

1 2

(f) Profil KLT standar asiatikosida (1) dan ekstrak etanol 30% pegagan
(2) di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm setelah disemprot
Liebermann-Burchard

22
Lanjutan lampiran 7

1

2

1

3

2

3

(g) Profil KLT standar sinensetin (1), ekstrak etanol 30% kumis kucing (2),
ekstrak air kumis kucing (3) di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm

Lampiran 8 Kromatogram asiatikosida dan sinensetin

1

2
q

(a) Kromatogram standar asiatikosida 100 mg/L (1) dan formulasi
ekstrak dengan penambahan standar 100 mg/L (2)

23
Lanjutan lampiran 8
1

2
q

q

(b) Kromatogram standar sinensetin 12.5 mg/L (1) dan formulasi
ekstrak dengan penambahan standar 12.5 mg/L (2)

Larutan stok yang mengandung 0.29 gram formulasi ekstrak dalam 10 mL dibuat,
kemudian 1 mL larutan stok dipipet dan diencerkan qke dalam labu takar 5 mL.
onsentrasi analat
Luas area sampel
onsentrasi standar
Luas area standar
Luas area
a
s
Luas area standar
Luas area sampel dengan penambahan standar
a
Luas area standar
4800936 4503768
12.5 mg L
a
4503768
= 0.8248 mg L 5 4.1239 mg L
4.1239 mg

adar sinensetin

1000 mL

10 mL

290 mg

100%

Luas area standar

0.01% b b

s

24

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 1991 dari pasangan
Drs Samsudin dan Dra Harsiti Saptaningsih. Penulis adalah anak pertama dari
tiga bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 12
Jakarta dan melanjutkan studi di Departemen Kimia, FMIPA IPB melalui jalur
SNMPTN tahun 2010.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum
Asas Kimia Analitik pada tahun ajaran 2014/2015 dan menjadi asisten praktikum
Kimia Analitik Layanan tahun 2013/2014. Selain itu, penulis juga pernah
melaksanakan praktik lapangan di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit Jakarta (BBTKL PP) dan menulis laporan praktik lapang
dengan judul “Verifikasi Metode Fosfat dari
ir Limbah Menggunakan
Spektrofotometer UV-Vis”.