Analysis of Zeranol Residue in Imported Meat from Australia and New Zealand through the Port of Tanjung Priok

(1)

MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK

SITI KHADIJAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Residu Zeranol dalam Daging Sapi yang Diimpor dari Australia dan Selandia Baru melalui Pelabuhan Tanjung Priok adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

Siti Khadijah


(3)

SITI KHADIJAH. Analysis of Zeranol Residue in Imported Meat from Australia and New Zealand through the Port of Tanjung Priok. Under direction of HADRI LATIF and A. WINNY SANJAYA

Zeranol is one of the hormone growth promotants which is a synthetic

derivative product from mycotoxin and could affect human health. The objective of this research was to analyze the presence of zeranol residue in imported meat from Australia and New Zealand. All of the meat samples were detected by enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). The result showed that 5 of 59 (8.5%) samples from Australia and 1 of 59 (1.7%) samples from New Zealand contained zeranol residue, with a mean concentration of 0.644±0.157 ppb and 0.680±0.00 ppb, respectively. There were no significant difference concentration of zeranol residue in imported meat from both countries (p>0.05). The result indicated that the concentration of zeranol residue was below the maximum residue limit (MRL) which was established by the National Standardization Agency of Indonesia (SNI No. 01-6366-2000).


(4)

SITI KHADIJAH. Analisis Residu Zeranol dalam Daging Sapi yang Diimpor dari Australia dan Selandia Baru Melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Dibimbing oleh HADRI LATIF dan A. WINNY SANJAYA.

Kebutuhan daging di Indonesia saat ini terpenuhi dari pemotongan sapi lokal, sapi bakalan, serta importasi daging dari empat negara, yaitu Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Selandia Baru. Australia merupakan produser terbesar dalam pemenuhan daging dan ternak di Indonesia. Hampir 40% peternak di Australia dan Selandia Baru menambahkan senyawa-senyawa kimia melalui pakan ternaknya atau menggunakan hormon pertumbuhan untuk meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan. Penggunaan hormon pertumbuhan ini dapat memperbaiki peningkatan berat badan harian sekitar 10-30%, efisiensi pakan 5-15%, dan mengurangi lemak karkas 5-8%. Kondisi ini dapat memberikan keuntungan rata-rata $35.00-$80.00 per ekor dibandingkan dengan ternak yang tidak diberi hormon pertumbuhan.

Hormon pertumbuhan yang digunakan berupa hormon alami dan sintetik. Hormon alami yang digunakan adalah testosteron, estradiol-17β, dan progesteron, sedangkan hormon sintetik adalah trenbolon asetat (TBA), zeranol dan melengestrol asetat (MGA). Hormon pertumbuhan digunakan di Australia sejak tahun 1979. Hormon estrogen, termasuk zeranol, merupakan hormon pertumbuhan utama yang digunakan di Australia dan sejak tahun 1972 Selandia Baru sudah menggunakan zeranol sebagai pemacu pertumbuhan ternaknya. Zeranol merupakan hormon sintetik, non-steroid, resorcylic acid lactones yang mempunyai efek estrogenik. Zeranol adalah hasil metabolit dari mycoestrogen

zearalenon yang dikultur dari Gibberella zea (Fusarium graminearum).

Penggunaan zeranol di peternakan menimbulkan kekhawatiran terhadap adanya residu zeranol akibat penggunaan yang tidak sesuai dengan aturan pemakaian. Di Indonesia belum ada peraturan yang mewajibkan pencantuman pemeriksaan dan pengujian residu hormon di tempat pemasukan daging sapi impor. Residu zeranol yang melebihi maximum residue limit (MRL) dapat membahayakan kesehatan konsumen, untuk itu diperlukan suatu pengujian sebagai langkah pengawasan bahan pangan dalam rangka menjamin keamanan daging sapi yang diimpor. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan membandingkan kandungan residu zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru.

Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara acak sederhana terhadap daging tanpa tulang yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru pada setiap kedatangan sampai jumlah sampel terpenuhi. Sampel yang diambil adalah sampel yang masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Jumlah sampel tersebut dihitung dengan menggunakan rumus detect disease dan didapatkan jumlah sampel sebesar 59 box daging sapi untuk masing-masing negara.

Hasil pengujian ELISA pada penelitian ini menunjukkan hasil positif. Sebanyak 5 dari 59 sampel (8.5%) daging dari Australia mengandung zeranol dengan rataan konsentrasi sebesar 0.644 part per billion (ppb) dan 1 dari 59 sampel (1.7%) daging dari Selandia Baru positif mengandung residu zeranol


(5)

Analisis dengan uji t untuk mengetahui perbedaan konsentrasi zeranol yang didapat dari hasil ELISA dalam daging dari Australia dan Selandia Baru menunjukkan angka yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Meskipun jumlah sampel yang positif dalam daging yang diimpor dari Australia menunjukkan angka yang lebih besar dibandingkan dengan Selandia Baru. Seluruh sampel yang positif dari kedua negara konsentrasinya di bawah nilai MRL yang ditetapkan dalam SNI No. 01-6366-2000 yaitu 2 ppb.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK

SITI KHADIJAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

(9)

Tanjung Priok Nama : Siti Khadijah

NRP : B 251100174

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Dr. drh. Hadri Latif, M.Si. Prof. Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS.

Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(10)

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulisan karya ilmiah ini selesai pada waktunya. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Analisis Residu Zeranol dalam Daging Sapi yang Diimpor dari Australia dan Selandia Baru melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Maret 2012. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pada Dr. drh. Hadri Latif, M.Si dan Prof. Dr. drh. A. Winny S, MS selaku komisi pembimbing, serta Prof. Dr. drh. Mirnawati B. Sudarwanto selaku penguji luar komisi pada ujian tesis. Tak lupa juga kepada Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si, Dr. Ir Etih Sudarnika, M.Si dan seluruh staf pengajar dan staf penunjang bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Kepala Badan Karantina Pertanian, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok dan seluruh staf laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, Kepala Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Mamuju, Dr. drh. Kisman A. R., Dr. drh. Sriyanto, atas bantuan serta fasilitas yang diberikan selama studi dan penelitian ini dilaksanakan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan pada tetta, mama, seluruh keluarga, serta teman-teman KMV 15 angkatan kedua, dan pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas doa, dukungan, dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat, baik untuk Karantina Hewan, maupun untuk masyarakat umum.

Bogor, Juni 2012


(11)

Penulis dilahirkan di Surabaya, tanggal 18 Maret 1980 dari ayah Drs. H. Ambo Dalle dan ibu H. Siti Aminah. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara.

Penulis lulus dari SMA Negeri 7 Surabaya tahun 1998 dan pada tahun yang sama lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru di Universitas Airlangga Surabaya dan memilih Fakultas Kedokteran Hewan. Tahun 2003 penulis meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan, melanjutkan studi Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga dan lulus pada tahun 2004 dengan gelar dokter hewan (drh).

Penulis bekerja sebagai Medik Veteriner di Stasiun Karantina Hewan Kelas I Parepare tahun 2006 dan pindah ke Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Mamuju tahun 2007 sampai sekarang.

Beasiswa dan ijin belajar untuk melanjutkan studi magister sains di program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diberikan oleh Badan Karantina Pertanian tahun 2010 dan penulis dipindah tugaskan sementara di Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok hingga masa studi berakhir.


(12)

xvii

Halaman

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Daging ... 7

Hormon ... 8

Residu Hormon ... 9

Penggunaan Hormon Pertumbuhan ... 10

Zeranol ... 11

Residu dan Metabolit Zeranol ... 13

Toksisitas Zeranol ... 15

Metode Deteksi Residu Zeranol ... 17

MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

Alat dan Bahan Penelitian ... 19

Rancangan Penelitian ... 19

Persiapan Sampel ... 20

Prosedur Pengujian ... 21

Analisis Data ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Residu Zeranol dengan ELISA ... 23

Residu Zeranol dalam Daging yang Diimpor dari Australia ... 24

Residu Zeranol dalam Daging yang Diimpor dari Selandia Baru .. 26

Perbandingan Kandungan Residu Zeranol dalam Daging yang Diimpor dari Australia dan Selandia Baru ... 27

SIMPULAN DAN SARAN ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 37


(13)

(14)

xix Halaman

1 Frekuensi dan jumlah daging impor yang dilalulintaskan melalui

Pelabuhan Tanjung Priok ... 2

2 Batas maksimum residu zeranol pada daging dan beberapa offal ... 14

3 Metode penentuan konsentrasi zeranol pada daging ... 17

4 Perhitungan jumlah sampel daging yang diimpor dari Australia

dan Selandia Baru ... 20

5 Hasil pengujian zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia ... 25

6 Hasil pengujian zeranol dalam daging yang diimpor dari Selandia Baru 26

7 Perbandingan kandungan zeranol dalam daging yang diimpor dari

Australia dan Selandia Baru ... 27


(15)

(16)

xxi Halaman

1 Struktur kimia zeranol ……... 12

2 Struktur kimia zearalanon ... 12

3 Struktur kimia taleranol ... 12

4 Struktur kimia zearalenon ... 16


(17)

(18)

xxiii Halaman

1 Data sampel dan negara pengimpor daging ... 45

2 Hasil pengujian zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia .….... 47

3 Hasil pengujian zeranol dalam daging yang diimpor dari Selandia Baru 49 4 Pengambilan sampel ... 51

5 Preparasi sampel ... 52

6 Hasil residu zeranol ... 53


(19)

Latar Belakang

Daging sapi merupakan jenis makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia sebagai asupan gizi. Daging merupakan komoditi yang cukup tinggi permintaannya, seiring dengan meningkatnya pendapatan dan taraf kesejahteraan hidup masyarakat (Ditkesmavet 2010a). Kebutuhan daging di Indonesia saat ini terpenuhi dari pemotongan sapi lokal dan sapi bakalan serta importasi daging beku dari empat negara yaitu Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Selandia Baru.

Penyediaan daging sapi dari pemotongan sapi lokal masih berfluktuasi. Tahun 2005 sampai dengan 2006 penyediaan daging sapi tersebut mengalami peningkatan sebesar 19.2%, lalu terjadi penurunan pada tahun 2007 sebesar 18.8% selanjutnya mengalami peningkatan rata-rata sebesar 9.1% sampai tahun 2009. Sebaliknya impor daging mengalami peningkatan rata-rata sebesar 10.6% dalam kurun waktu 3 tahun (2005-2008), tetapi mengalami penurunan sebesar 1% pada tahun 2009 dan tahun 2010 mengalami peningkatan kembali sebesar 71.42% (Ditjennak 2010).

Australia merupakan produser terbesar dalam pemenuhan daging dan ternak dunia. Setiap tahun lebih dari 2 juta ekor sapi dan 14 juta ekor domba dijual di pasar ternak, serta penyembelihan setiap minggu sekitar 133 000 sapi dan 308 600 domba (Desmarchelier et al. 2007). Data dari Meat and Livestock Australia

(MLA) pada tahun 2012 menunjukkan ekspor daging sapi beku Australia ke Asia mencapai angka 1 175 951 kg dan offal sebanyak 656 012 kg. Hampir 40% peternak di Australia dan Selandia Baru menambahkan senyawa-senyawa kimia melalui pakan ternaknya atau menggunakan hormon pertumbuhan untuk meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan (Zhong et al. 2011; MLA 2012).

Sebanyak 95% peternakan di empat negara pengekspor daging sapi ke Indonesia masih menggunakan hormon pertumbuhan. Di Australia, hormon pertumbuhan yang digunakan adalah estrogen, testosteron, progesteron, trenbolon asetat (TBA), dan zeranol. Penggunaan hormon pertumbuhan ini dapat memperbaiki peningkatan berat badan harian sekitar 10-30%, efisiensi pakan


(20)

5-15%, dan mengurangi lemak karkas 5-8%. Kondisi ini dapat memberikan keuntungan rata-rata $35.00-$80.00 per-ekor dibandingkan dengan ternak yang tidak diberi hormon pertumbuhan (Partridge 2010). Hormon pertumbuhan yang digunakan berupa hormon alami dan sintetik. Hormon alami yang digunakan adalah testosteron, estradiol-17β, dan progesteron, sedangkan hormon sintetik adalah trenbolon asetat (TBA), zeranol, dan melengestrol asetat (MGA) (Toews dan McEwen 1994). Hormon pertumbuhan digunakan di Australia sejak tahun 1979. Hormon estrogen, termasuk zeranol merupakan hormon pertumbuhan utama yang digunakan di Australia dan sejak tahun 1972, Selandia Baru sudah menggunakan zeranol sebagai pemacu pertumbuhan ternaknya (McNerney 1985). Hal ini seharusnya menjadi perhatian Indonesia karena dikhawatirkan masih ada residu zeranol dalam daging sapi yang diimpor Australia dan Selandia Baru. Daging impor ini sebagian besar masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Frekuensi dan jumlah daging impor yang dilalulintaskan melalui Pelabuhan Tanjung Priok berdasarkan laporan tahunan Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Tanjung Priok tahun 2012 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Frekuensi dan jumlah daging impor yang dilalulintaskan melalui Pelabuhan Tanjung Priok

Negara asal

Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Jumlah (kg) Frekuensi (kali) Jumlah (kg) Frekuensi (kali) Jumlah (kg) Frekuensi (kali) Amerika Serikat 214 478 28 4 837 831 370 8 843 398.00 562 Australia 53 865 663 6 366 55 415 399 7 706 45 144 415.85 7 119 Kanada 503 193 21 355 765 15 198 581.00 18 Selandia Baru 28 329 265 5 981 38 672 695 8 463 26 824 483.23 4 699 Total 82 912 599 12 396 99 281 690 16 554 1 178 860 130.00 12 398 Sumber: Laporan tahunan BBKP Tanjung Priok (2012)

Zeranol merupakan senyawa yang telah digunakan selama lebih dari 50 tahun. Hormon sintetik ini dapat meningkatkan berat badan, memperbaiki efisiensi pakan, dan menurunkan kandungan lemak daging (Solomon 2001). Menurut Yuri et al. (2006), residu zeranol dapat mengubah ekspresi gen pengatur reseptor estrogen pada sel kultur normal dan sel kanker payudara, meskipun


(21)

hormon ini ada dalam konsentrasi rendah yang dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan konsumen.

Lamming (1987) menyatakan bahwa zeranol memiliki aktivitas estrogen dan mempunyai kemampuan dalam mengikat reseptor estrogen telah terbukti sampai 20% dari aktivitas E2-17β dengan zearalenon dan taleranol sebagai hasil metabolitnya, dimana metabolit ini mempunyai aktivitas yang lebih rendah daripada zeranol. Menurut Le Guevel dan Pakdel (2001), potensi dari zeranol dapat digambarkan dengan menggunakan sel rekombinan manusia Ishikawa Cell Line, yang menunjukkan ekspresi reseptor estrogen dan kejadian kanker rahim.

Larangan penggunaan hormon dalam perdagangan internasional dikeluarkan untuk melindungi konsumen dan telah diikuti oleh negara Belanda (1961), Belgia (1962), dan oleh negara Uni Eropa (1988). Negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Selandia Baru masih mengijinkan digunakan hormon pertumbuhan. Demikian pula β-agonis di Amerika Serikat (seperti ractopamin) juga masih digunakan, meskipun telah dilarang di banyak negara (Stephany 2010).

Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 513.a/Kpts/OT.210/L/ 12/2008 tentang Manual Pengujian Residu Hormon pada Pangan Segar Asal Hewan menyatakan bahwa penggunaan hormon pertumbuhan pada hewan ternak dilarang sejak tahun 1983. Terapi hormon hanya boleh dipakai pada keadaan adanya gangguan reproduksi di bawah pengawasan dokter hewan, termasuk pengawasan masa henti obat (withdrawal time). Peraturan ini menyebutkan bahwa saat ini hanya diizinkan penggunaan hormon yang bersifat alami saja (Barantan 2008).

Keamanan penggunaan zeranol telah lama diperdebatkan. Uni Eropa telah melarang penggunaan zeranol sejak tahun 1989 dengan Undang-undang Nomor 96/22/EC dan 96/23/EC. Waktu henti obat sebelum pemotongan yang harus dipatuhi oleh negara pengguna zeranol adalah 60-70 hari setelah implantasi dan harus terus dilakukan monitoring di peternakan (Pregel et al. 2007). Menurut Zhong et al. (2011), daging sapi yang mengandung residu zeranol ataupun metabolitnya, jika dikonsumsi manusia akan dapat menyebabkan resiko kanker


(22)

payudara karena dapat berikatan dengan active site dari reseptor estrogen (ERα

dan ERβ) dan mengubah sel epitel payudara normal.

Keamanan pangan yang merupakan hal mutlak dan merupakan tanggung jawab bersama, seperti yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Upaya yang dapat ditempuh dalam menjamin keamanan pangan termasuk kemungkinan adanya residu hormon dalam daging adalah dengan melakukan pengujian residu hormon di tempat pemasukan daging impor sehingga dapat menjamin daging sapi impor aman untuk dikonsumsi.

Rumusan Masalah

Kebutuhan daging dalam negeri yang besar sebagian dipenuhi dengan importasi terutama dari Australia dan Selandia Baru. Kedua negara pengekspor daging tersebut masih menggunakan hormon pertumbuhan pada peternakannya termasuk zeranol yang merupakan hormon estrogen pemacu pertumbuhan utama di kedua negara tersebut.

Penggunaan zeranol di peternakan menimbulkan kekhawatiran adanya residu zeranol akibat penggunaan yang tidak sesuai dengan aturan pemakaian. Indonesia belum mempunyai peraturan yang mewajibkan pencantuman pemeriksaan dan pengujian residu hormon di tempat pemasukan terhadap daging sapi yang diimpor.

Residu zeranol yang melebihi maximum residu limit (MRL) dapat membahayakan kesehatan konsumen sehingga diperlukan suatu pengujian sebagai langkah pengawasan bahan pangan dalam rangka menjamin keamanan daging sapi yang diimpor.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeteksi dan membandingkan kandungan residu zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah tersedianya data dan informasi mengenai kandungan zeranol dalam daging sapi yang diimpor dari Australia dan Selandia


(23)

Baru, serta sebagai bahan masukan untuk menerapkan pengujian di tempat pemasukan sebagai pengawasan keamanan pangan.

Hipotesis Penelitian Hipotesis dari penelitian ini adalah

1. H0: tidak ditemukan adanya residu zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru.

H1: ditemukan adanya residu zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru.

2. H0: tidak ada perbedaan kandungan residu zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru.

H1: ada perbedaan kandungan residu zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru.


(24)

Daging

Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Komponen utama penyusun daging adalah otot. Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya berhenti. Daging juga tersusun dari jaringan ikat, epitelial, jaringan saraf, pembuluh darah, dan lemak (Soeparno 2005). Offal adalah seluruh bagian tubuh hewan yang disembelih secara halal dan higienis selain karkas yang terdiri dari organ-organ di rongga dada dan rongga perut, kepala, ekor, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, ambing, dan alat reproduksi (Lukman et al. 2007). Menurut Lawrie (2003), yang dimaksud daging adalah daging hewan yang digunakan sebagai makanan dan dalam praktiknya diperluas dengan memasukkan organ-organ, seperti hati dan ginjal, otot, dan jaringan lain yang dapat dimakan di samping urat daging.

Daging merupakan sumber asam amino essensial dan mineral. Komposisi kimia daging terdiri dari air sekitar 75%, protein 19%, lemak 2.5%, nitrogen terlarut non protein 1.65%, dan bahan-bahan anorganik 0.65% (Lawrie 2003). Komposisi ini bervariasi di antara spesies, bangsa, atau individu ternak, dan dipengaruhi oleh faktor genetika dan lingkungan, termasuk didalamnya faktor nutrisi. Nilai kalori daging banyak ditentukan oleh kandungan lemak intraseluler di dalam serabut-serabut otot yang disebut lemak marbling (Soeparno 2005). Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa implantasi hormon yang diberikan pada ternak akan menurunkan lemak marbling sekitar 4-7%. Hal ini disebabkan oleh efek dari pemberian hormon pertumbuhan dalam meningkatkan deposisi protein dan tidak berefek pada disposisi lemak (Hunter et al. 2001).

Daging yang banyak dikonsumsi di Indonesia adalah daging sapi, daging domba, daging babi, daging kambing, dan daging unggas. Daging unggas yang sering dikonsumsi adalah daging ayam. Daging lainnya adalah daging yang berasal dari hewan-hewan liar, seperti kijang atau babi hutan. Demikian pula dengan daging yang berasal dari organisme yang hidup di air yang paling banyak


(25)

dikonsumsi adalah daging ikan, udang, kepiting, dan kerang (Soeparno 2005). Sebagian besar daging yang dikonsumsi di Inggris berasal dari daging domba, sapi, dan babi. Masyarakat Eropa juga mengkonsumsi daging kuda, kerbau, dan rusa (Lawrie 2003).

Pertumbuhan dan perkembangan ternak pedaging dapat distimulasi dengan perlakuan hormon dari kelenjar pituitari, terutama hormon pertumbuhan (somatotropin) dan hormon-hormon kelamin. Salah satu pengaruh implantasi hormon terhadap komposisi karkas adalah peningkatan proporsi daging dan menurunkan lemak (Soeparno 2005). Penggunaan hormon pada peternakan ini dapat menyebabkan adanya residu hormon dalam daging. The Australia Pesticides and Veterinary Medicines Authority (APVMA) menyetujui pemberian obat-obatan dan bahan kimia lainnya pada peternakan di Australia. Bahan kimia tersebut termasuk antimikroba, antelmentika, hormon pertumbuhan, dan pestisida. Survei yang dilakukan pada tahun 2005 sampai dengan 2006 oleh Badan Survei Australia menunjukkan adanya kandungan residu dalam daging yang melebihi MRL sebesar 5% (Desmarchelier et al. 2007).

Hormon

Hormon berasal dari bahasa Yunani yang berarti merangsang atau membangun aktivitas. Feradis (2010) menjelaskan hormon adalah sebagai suatu substansi organik fisiologik yang dibebaskan oleh sel-sel hidup yang akan berdifusi ke jaringan lain dan mempengaruhi fisiologis organisme tersebut. Nussey dan Whitehead (2001) mengklasifikasi hormon menurut struktur kimia menjadi hormon peptida, steroid, dan derivat dari tirosin atau triptofan.

Hormon peptida adalah kelompok hormon dengan jumlah anggota paling banyak merupakan hormon dengan berat jenis yang besar (memiliki lebih dari 200 asam amino) dan larut dalam air. Hormon ini dihasilkan oleh hipotalamus, neurohipofisa, adenohipofisa, paratiroid, dan pulau langerhans. Hormon ini disusun oleh asam amino. Pemberian hormon ini harus secara suntikan karena jika melalui oral akan dirusak oleh enzim pencernaan (Nussey dan Whitehead 2001; Murray et al. 2003).


(26)

Kelompok yang kedua adalah hormon steroid. Semua hormon kelamin dan adrenal kortikal merupakan hormon steroid. Hormon steroid mempunyai struktur yang komplek dan merupakan hasil dari metabolit kolesterol (Nussey dan Whitehead 2001; Anwar 2005). Kelompok ketiga adalah hormon yang berasal dari tirosin atau triptofan. Kotekolamin merupakan derivat dari tirosin. Sebanyak 5% dari hormon pada mamalia merupakan kotekolamin (epinephrin, norepinephrin) (Mc Donals 1989; Nussey dan Whitehead 2001).

Pertumbuhan ternak diatur oleh hormon, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hormon dapat mengubah reaksi biokimia yang berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan komponen tubuh. Berbagai hormon diketahui mempercepat pertumbuhan jaringan biologis dan memperlihatkan kontrol terhadap fungsinya secara langsung atau tidak langsung. Mekanisme aktivitas umumnya adalah terhadap protein enzim yang mengontrol tingkat reaksi kimia untuk sintesis atau dengan jalan membuat molekul substrat yang mudah dimasuki seperti insulin (Lawrie 2003).

Menurut Soeparno (2005), hormon yang mempengaruhi pertumbuhan dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok anabolik dan kelompok katabolik. Somatotropik hormon (STH) atau somatotropin atau growth hormon (GH), testosteron, dan tiroksin termasuk hormon yang mempunyai pengaruh anabolik, sedangkan estrogen termasuk hormon katabolik. Hormon yang mempunyai pengaruh langsung terhadap pertumbuhan, antara lain adalah somatotropin, tiroksin, androgen, estrogen, dan glikokortikoid. Hormon-hormon tersebut mempengaruhi pertumbuhan massa tubuh, termasuk pertumbuhan tulang dan metabolisme nitrogen (Soeparno 2005).

Residu Hormon

Residu hormon dalam daging sangat penting diperhatikan saat hormon pertumbuhan sintetik digunakan. Residu merupakan akumulasi obat atau bahan kimia dan/atau metabolitnya yang terdapat pada produk hewan, sebagai akibat pemakaian obat hewan, hormon, pestisida, dan cemaran logam berat pada hewan dan/atau produk hewan (Ditkesmavet 2010b). Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 513.a/Kpts/OT.210/L/12/2008 menyatakan bahwa yang


(27)

dimaksud dengan residu hormon adalah hormon baik senyawa induk maupun metabolit/turunannya yang terkandung dalam daging, jeroan, susu, darah, atau serum baik sebagai akibat langsung ataupun tidak langsung dari penggunaan hormon (Barantan 2008).

Residu hormon yang terdapat dalam daging dapat berasal dari penggunaan hormon, baik secara implantasi ataupun oral. Penggunaan secara implan biasanya diletakkan di bawah kulit pada permukaan atas telinga, sedangkan pemberian oral berupa feed additive ataupun dari pakan yang terkontaminasi (Toews dan McEwen 1994).

Keberadaan residu hormon pertumbuhan pada daging dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti kanker, efek reproduksi, dan gangguan endokrin (Scientific Guidance Panel 2008). Selain itu menurut Aksglaede et al. (2006), residu hormon juga dapat mempengaruhi keseimbangan hormon alami di dalam tubuh.

Penggunaan Hormon Pertumbuhan

Pertumbuhan merupakan kenaikan berat badan dan ukuran karena adanya peningkatan jumlah dari sel (hiperplasia) atau peningkatan ukuran dari sel (hipertropi). Pertumbuhan dapat terjadi dari peningkatan deposisi protein, diukur sebagai peningkatan retensi nitrogen dalam karkas seperti juga peningkatan deposisi lemak. Deposisi protein merupakan pengaturan keseimbangan antara sintesis dan degradasi protein, sedangkan deposisi lemak merupakan pengaturan keseimbangan antara lipogenesis dan lipolisis (Squires 2003).

Penggunaan hormon pertumbuhan pada hewan dibagi dalam dua kelompok, yaitu zat alami (diekstraksi dari hewan atau diproduksi menggunakan DNA rekombinan) dan zat yang diproduksi secara sintetis (xenobiotik). Testosteron, estradiol, progesteron, dan somatotropin merupakan zat yang termasuk dalam zat alami, sedangkan senyawa xenobiotik adalah TBA, MGA, zeranol, golongan stilbenes (terutama dietilstilbestron/DES), dan β-agonis (seperti clenbuterol). Kelompok pertama yang termasuk zat alami merupakan hormon sex yang secara alami ada pada mamalia (termasuk manusia) karena itu hormon ini biasanya ada


(28)

dalam produk hewan dan ditemukan dalam kadar yang bervariasi tergantung dari umur, keadaan hewan, dan status fisiologi (Toews dan McEwen 1994).

Hormon pertumbuhan pada ternak telah digunakan sejak lama dengan tujuan meningkatkan berat badan, memperbaiki efisiensi pakan, meningkatkan protein, dan menurunkan kandungan lemak tubuh. Berbagai hormon pertumbuhan juga telah diperdagangkan lebih dari 50 tahun yang lalu, seperti estradiol-17β (Compudose), zeranol (Ralgro), trenbolon asetat (Finaplix), melengestrol asetat (MGA), kombinasi trenbolon asetat dan estradiol (Revalor), ataupun kombinasi testosteron dan estradiol (Implix BF) (Solomon 2001).

Aplikasi penggunaan hormon pertumbuhan alami (testosteron, estradiol

17-β, dan progesteron) dan sintetik (TBA, zeranol, dan MGA) melalui implantasi dalam bentuk karet silatik atau pellet (diletakkan di bawah kulit pada permukaan atas telinga), tetapi khusus untuk MGA diberikan secara oral dalam bentuk feed additive (Galbraith 2002; Nazli et al. 2005). Menurut Meyer et al. (1984), tempat implantasi mempengaruhi kadar residu dalam plasma, sehingga pellet diletakkan di bawah kulit pada permukaan atas telinga yang menghasilkan konsentrasi residu rendah dalam plasma.

Menurut Squires (2003), secara umum hormon pertumbuhan dapat diberikan melalui tiga cara yaitu oral (ditambahkan pada pakan, contohnya: MGA), injeksi intramuskular (kadar residu yang tinggi pada tempat penyuntikan), dan implantasi (umumnya ditempatkan pada telinga). Formulasi pemberian hormon secara implantasi dalam bentuk compress pellet mempunyai waktu paruh sekitar 90-120 hari, sedangkan bentuk silastic rubber memberikan respon perlahan dan dilepaskan sampai 200-400 hari.

Zeranol

Zeranol digunakan sebagai pemacu pertumbuhan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Selandia Baru. Zeranol merupakan hormon sintetik, non-steroid, resorcylic acid lactones yang mempunyai efek estrogenik. Zeranol adalah hasil metabolit dari mycoestrogen zearalenon yang dikultur dari Gibberella zea (Fusarium graminearum) (Baldwin et al. 1983; Yuri


(29)

O O OH O H OH H CH3

H dimiliki zeranol pada posisi atom C7 dan C11/C12 yang bukan merupakan gugus karboksil (Lindsay 1985).

Zeranol di masyarakat dikenal dengan merek dagang Ralgro, berisi tiga

pellet kecil yang masing-masing berisi 12 mg zeranol. Dosis penggunaan zeranol di peternakan sapi adalah 36 mg, dengan withdrawal time sekitar 65 hari. Pada peternakan kambing dosis yang digunakan adalah 12 mg, dengan withdrawal time

40 hari (Baldwin et al. 1983).

Zeranol (Gambar 1) juga dikenal sebagai zearalanol dengan nama kimia (3S, 7R)-3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12-decahydro-7, 14, 16-trihydroxy-3-methyl -1H-2-benzoxacyclotetradecin-1-one. Struktur kimia ini juga dikenal dengan 6-(6, 10-dihydroxyundecyl)-β-resorcylic acid-µ-lacton. Zeranol mempunyai struktur molekul C18H26O5 dan berat molekul 322.40 Dalton (Baldwin et al. 1983).

Zeranol umumnya digunakan pada anak sapi setelah disapih, penggemukan sapi jantan dan sapi betina melalui implan di telinga (Zhong et al. 2011). Posisi implan zeranol adalah antara kulit dan kartilago telinga sisi belakang dan di bawah telinga. Setelah diimplan, zeranol akan dimetabolisme menjadi zearalanon (Gambar 2) dan menjadi metabolit yang lebih kecil yakni taleranol (Gambar 3). Ada enam senyawa yang berhubungan dengan zeranol dan metabolitnya, yaitu zearalanon (zeranol), α-zearalanon, β-zearalanon (taleranol), α-zearalenon,

zearalenon (mikotoksin), β-zearalenon (Baldwin et al. 1983; Leffers et al. 2001; Malekinejad et al. 2006).

O

OH

O H

O H CH

3

H OH

Gambar 1 Struktur kimia zeranol.

O OH O H O O CH3 H


(30)

Zeranol merupakan kasus khusus diantara pengganggu sistem endokrin lainnya karena zeranol berbeda dengan semua bahan kimia, ada dalam makanan sebagai sesuatu yang sengaja ditambahkan. Zeranol dirancang sebagai tiruan estrogen yang kuat, kadang-kadang disebut sebagai ‘natural identical estrogen’ (Lindsay 1985).

Zeranol mempunyai aktivitas mirip dengan estrogen. Saat zeranol diimplan di bawah kulit (subcutaneous) pada telinga, zeranol akan dilepaskan secara perlahan-lahan. Metabolisme dalam tubuh ternak memperlihatkan efek anabolik yang akan bekerja untuk sekresi hormon pertumbuhan dari pituitari dan kemungkinan akhir akan dapat menyebabkan penambahan tingkat insulin plasma yaitu terjadi peningkatan konsentrasi sirkulasi somatotropin (ST) dan hormon insulin-like growth factor 1 (IGF-1) (Lawrie 2003; Zhong et al. 2011).

Hormon IGF-1 adalah mitogenik peptida (bentuk dari protein untuk membentuk sel seperti mitosis), terdiri dari 70 asam amino yang menstimulasi secara selular proliferasi dan deferensiasi di otot dan jaringan lain (Zhong et al. 2011). Menurut Sternesjo dan Johnson (1998), somatotropin dan IGF-1 berpengaruh sangat kuat dalam tubuh dalam hal pemanfaatan bahan makanan, menghasilkan jaringan, tulang, dan lemak. Hasilnya meningkatkan efisiensi pakan dan meningkatkan berat badan.

Stimulasi IGF-1 pada proliferasi kondrosit atau sel kartilago akan meningkatkan pertumbuhan tulang. Keadaan ini juga akan meningkatkan proliferasi sel satelit yang akan bergabung dengan miofibril dan berkontribusi pada pertumbuhan otot dan juga akan merangsang sintesis asam amino dan sintesis protein (Squires 2003).

Residu dan Metabolit Zeranol

Standar Codex Alimentarius Commission (CAC) untuk obat hewan atau hormon biasanya ditetapkan dalam persyaratan acceptable daily intake (ADI) dan maximum residue limit (MRL) atau batas maksimum residu (BMR), sedangkan di Indonesia ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). Batas maksimum residu zeranol pada daging dan beberapa offal, disajikan dalam Tabel 2.


(31)

Zeranol yang berisi zearalanon dapat berikatan dan mengaktifkan reseptor estrogen sehingga menghasilkan sindrom hiperestrogenik pada hewan. Hubungan antara konsumsi jamur pada biji-bijian dan hiperestrogenik pada babi telah diteliti sejak tahun 1920 (Bennet dan Klich 2003).

Tabel 2 Batas maksimum residu zeranol pada daging dan beberapa offal

Produk hewan CAC (µg/kg) BSN (µg/kg) USFDA (µg/kg) Daging 2 2 150

Hati 10 300

Ginjal 450

Lemak 600

Sumber: CAC (2011), BSN (2000), Galbraith (2002)

Kurt dan Mirocha pada tahun 1978 melaporkan bahwa konsentrasi zearalenon yang rendah (1.0 ppm) sudah dapat menimbulkan sindrom hiperestrogenik pada babi. Konsentrasi yang tinggi menyebabkan gangguan siklus kebuntingan, aborsi, dan masalah reproduksi lainnya. Keadaan ini juga telah terjadi pada sapi dan domba (Bennet dan Klich 2003).

Zearalenon dan hasil metabolismenya yang masuk dalam tubuh secara oral dapat dideteksi di empedu dengan angka rata-rata 68% β-zearalenon, 24% α -zearalenon dan 8% -zearalenon. Pada ruminansia, -zearalenon dan metabolitnya ditemukan pada otot, hati, ginjal, kandung kemih, lemak meskipun hanya mengkonsumsi 0.1 mg zearalenon/hari/kg pakan (Zinedine et al. 2007).

Zeranol memiliki potensi estrogenik yang tinggi, sehingga keberadaan estrogen dalam daging merupakan paparan estrogen eksogen bagi konsumen. Menurut Aksglaede et al. (2006), zeranol dan metabolitnya mempunyai potensi yang sama dengan diethilstilbestrol dan estradiol-17β dalam mengganggu keseimbangan hormon alami.

Zeranol dan metabolitnya diekskresikan dalam senyawa bebas dan sebagai konjugat (glukoronat dan atau sulfat), dengan variasi tiap spesies yaitu 99% pada manusia dan 1% pada anjing. Manusia mengekskresikan zeranol melalui urin, dimana senyawa ini menjadi lebih hidrofobik yang terkonjugasi, sedangkan anjing


(32)

mengekskresikannya melalui feses, dalam bentuk tidak terkonjugasi karena

terhambat oleh aktivitas bakteri β-glukuronidase dan sulfatase, meskipun senyawa hasil konjugasi dapat masuk ke saluran usus sebagai konjugat empedu (Baldwin et al. 1983).

The National Residue Survey Australia tahun 2003 menyatakan adanya residu hormon pada sampel urin sapi dan kuda. Sampel urin sapi yang diuji

mengandung α-zeranol (zeranol) sebesar 0.003 mg/kg, β-zeranol (taleranol) 0.004 mg/kg dan metabolit zeranol lainnya. Pihak Australia sendiri mengindikasikan temuan tersebut sebagai kontaminasi jamur Fusarium spp pada ladang penggembalaan atau pakan akan tetapi tidak ada penelusuran lebih lanjut akan temuan tersebut (Crapp 2003).

Toksisitas Zeranol

Bahan dasar hormon sintetik zeranol yaitu zearalenon dapat menimbulkan gejala muntah, diare dan pusing pada konsumen makanan dengan residu zeranol. Kejadian ini dihubungkan dengan outbreak mikotoksin yang terjadi pada negara-negara yang banyak mengkonsumsi biji-bijian (Zinedine et al. 2007).

Toksisitas zearalenon sendiri dapat digolongkan menjadi:

a. Fase akut: pada fase ini konsentrasi zearalenon yang dapat menimbulkan sakit adalah rendah, hanya sekitar 2 000-20 000 mg/kg berat badan (LD50 pada mencit, tikus putih, dan marmot yang diberi zearalenon secara oral).

b. Fase sub-akut dan sub-kronis: pemberian oral zearalenon pada hewan domestik sampai 90 hari intake memperlihatkan interaksi zearalenon dengan reseptor estrogen. Babi dan domba memperlihatkan respon yang lebih peka daripada rodensia (dosis yang diberikan adalah 40 µg/kg berat badan/hari).

c. Fase kronis dan karsinogenik: penelitian awal menunjukkan adanya luka pada hati yang berkembang menjadi hepatokarsinoma pada mencit. Pada mencit betina menunjukkan gangguan sirkulasi hormon estrogen, dengan efek berbeda di jaringan yang berbeda seperti fibrosis uterus ataupun kista glandula mamae. d. Efek pada endokrin: zearalenon dan metabolitnya menunjukkan aktivitas dapat

berikatan dengan estrogen reseptor (ERα dan ERβ) pada beberapa penelitian in


(33)

0.01, relatif hampir sama aktivitasnya dengan estradiol-17β. Hal ini dapat mempengaruhi kesehatan berupa resiko kanker payudara dan kanker lainnya (Zinedine et al. 2007).

Takemura et al. (2007) dalam penelitiannya menemukan afinitas zearalenon (Gambar 4) dan zeranol yang kuat dalam mengikat reseptor estrogen (ERα dan

ERβ) dan afinitas zeranol lebih besar dibandingkan dengan zearalenon. Kuiper et

al. (1998) juga melaporkan bahwa afinitas zearalenon pada ERα sekitas 10% dan

18% pada ERβ dari afinitas estrogen. Relatif binding afinity (RBA) zearalenon

yang ditemukan oleh Takemura et al. (2007) adalah 4.3% pada ERα dan 6.0%

pada ERβ, sedangkan RBA zeranol lebih besar dibandingkan dengan zearalenon, yaitu 48% dan 23% masing-masing pada ERα dan ERβ. Hal ini membuktikan zeranol dan zearalenon mempunyai afinitas yang berbeda pada reseptor estrogen dimana zeranol mempunyai afinitas lebih kuat pada ERα dibandingkan dengan zearalenon. Kesimpulan yang dapat diambil adalah zeranol lebih kuat dalam mengikat reseptor estrogen dibandingkan zearalenon.

O

O O

H

OH O CH

3

H

Gambar 4 Struktur kimia zearalenon.

Takemura et al. (2007) juga menjelaskan penempatan active site reseptor estrogen oleh zearalenon dan zeranol yaitu dengan cara yang mirip dengan estrogen, seperti cincin phenol yang menempati area yang sama dengan cincin A dari estrogen dan cincin metil yang berdekatan dengan area cincin C18 dari estrogen.

Menurut Truhaut et al. (1985), toksisitas zeranol dibandingkan dengan estradiol-17β adalah sebagai berikut

a. Aktifitas seperti estrogen: secara in vitro zeranol mempunyai kemampuan mengikat reseptor estrogen kompetitif menggantikan estradiol-17β. Kemampuan RBA zeranol sekitar 14% dibandingkan dengan estradiol-17β.


(34)

Zeranol secara in vivo mempunyai aktivitas yang lebih kecil dibandingkan dengan estradiol-17β.

b. Fertilitas: zeranol yang diberikan secara oral kepada rodensia jantan dengan dosis 0.3125 mg/kg/hari selama 60 hari tidak menyebabkan toksisitas, tetapi dengan dosis 1.25 dan 5.0 mg/kg/hari akan menyebabkan penundaan pembuahan pada rodensia betina. Dosis tinggi pada rodensia betina akan menyebabkan penurunan jumlah fetus, dan meningkatkan kematian fetus dalam kandungan.

Metode Deteksi Residu Zeranol

Berbagai metode (Tabel 3) telah dikembangkan untuk mendeteksi hormon dalam sampel biologis. Pengujian yang dikembangkan untuk mendeteksi residu zeranol antara lain gas chromatography/mass spectrometry (GC-MS), high

performance liquid chromatography/mass spectrometry (HPLC-MS) dan

immunoassay (Sawaya et al. 1998; Liu et al. 2007).

Tabel 3 Metode penentuan konsentrasi zeranol pada daging

Metode Limit deteksi

HPLC Tidak dilaporkan

TLC 10-25 ppb

GC/MS 0.15-5.0 ppb, 0.5 ppm

RIA 0.3 ppb, 2.5 ppm

ELISA 10 pg, 1.09 ppm

Sumber: Doyle (2000)

Enzym linked immunosorbance assay (ELISA) adalah metode cepat dan praktis untuk mendeteksi residu dalam produk makanan dan direkomendasikan oleh Uni Eropa (Nazli et al. 2005). Metode ELISA yang digunakan untuk mendeteksi zeranol adalah ELISA kompetitif. Hasil ELISA dapat dibaca dalam beberapa jam, cukup spesifik, dan sensitif (Reig dan Toldrá 2007).

Metode ELISA yang digunakan adalah competitive binding assay. Uji kompetitif ini berdasarkan pada ikatan spesifik hormon dengan protein (spesifik


(35)

antibodi). Keseimbangan uji dibentuk antara jumlah hormon yang tidak dilabel dan yang berlabel dengan ikatan protein yang komplek. Proporsi hormon yang dilabel dengan yang tidak dilabel dalam mengikat antibodi, bergantung pada jumlah hormon yang tidak dilabel yang ada dalam pengujian tersebut. Jumlah dari ikatan tersebut menurun seiring dengan meningkatnya jumlah hormon yang tidak dilabel (Squires 2003).

Pengujian lain yang dijadikan konfirmasi setelah ELISA adalah high performance liquid chromatography (HPLC). Metode ini diyakini sangat sensitif dan spesifik untuk menganalisis residu zeranol pada jaringan (Ding et al. 2009). Metode HPLC merupakan salah satu metode kromatografi. Kromatografi ini dapat didefinisikan sebagai teknik pemisahan yang melibatkan transfer massa antara fase stasioner dan bergerak (mobile) (Reig dan Toldrá 2007).

Metode HPLC terdiri dari dua fase. Fase diam (stasioner) dan fase gerak (mobile). Fase diam merupakan fase dalam column dari semua jenis kromatografi, dimana sampel yang memiliki interaksi kuat akan terelusi dari column dengan lambat dan memiliki waktu retensi lebil lama. Cairan pembawa larutan sampel pada fase gerak akan terus-menerus mengalir melalui column dan membawa analit. Biasanya campuran pelarut yang digunakan seperti metanol atau acetonitril (Karen dan Liyuan 2005). Prinsip metode ini adalah teknik pemisahan komponen sampel yang terdiri dari placement (injection) cairan sampel, fase stasioner dalam tube yang berisi partikel berpori dan akhirnya komponen sampel tersebut dialirkan melalui column dengan cairan yang bertekanan. Pemisahan komponen sampel ini melibatkan berbagai reaksi kimia dan atau interaksi fisik antara molekul dan partikel sampel. Komponen-komponen sampel ini dipisahkan dengan perangkat (detektor), yang sekaligus mengukur jumlah komponen sampel yang dipisahkan tersebut (Agilent Tech 2010).


(36)

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan sampel untuk penelitian dilakukan di Pelabuhan Tanjung Priok pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2011. Pengujian dilakukan di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok , Jakarta Utara pada bulan Januari sampai dengan Maret 2012.

Pengolahan data dari hasil pengujian dilakukan di Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi impor tanpa tulang dan untuk pengujian digunakan Ridascreen ELISA Kit (Art. No.: R3301, r-Biopharm AG, Darmstadt, Jerman). Bahan kimia yang digunakan adalah akuades, phosphat buffer saline (PBS Buffer, Bio Basic Inc, PD 0435), tert-buthylmethylether ((CH3)3COCH3, Merck 1.01849.1000), kloroform (CHCl3, Merck 1.02445.2500), natrium hidroksida (NaOH, Merck 1.06498.1000).

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung erlenmeyer, timbangan analitik, tabung sentrifus 15 ml, multichannel/singel pipet, tip, evaporator, vortex, gunting, pinset, pipet, spatula, sentrifuse, freezer -25 °C,

waterbath, ELISA reader (Thermo Scientific) dengan Skenit software 2.5.1.

Rancangan Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana terhadap daging tanpa tulang yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru pada setiap kedatangan sampai jumlah sampel terpenuhi dengan menggunakan rumus detect disease

sebagai berikut (Martin et al. 1987): n = [1-(1-a)1/D] [N-{(D-1)/2}]. Keterangan:

n : ukuran sampel

a : tingkat kepercayaan (95%)

D: nilai dugaan populasi yang sakit (D = PxN, dengan asumsi P : 5%) N: jumlah populasi


(37)

Daging impor dari Australia (2010) mencapai 55 415 399 kg dan Selandia Baru sebesar 38 672 695 kg. Unit sampling yang digunakan adalah boks daging yang diimpor. Perhitungan jumlah sampel dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Perhitungan jumlah sampel daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru

Negara asal Importasi daging (kg) boks (27.2 kg) Konversi per

Jumlah sampel (=n)*

Australia 55 415 399 2 037 330 59

Selandia Baru 38 672 695 1 421 790 59 * dengan menggunakan perangkat Win Episcope 2.0

Persiapan Sampel

Preparasi sampel daging pada penelitian ini mengacu pada application note r-biopharm. Daging tanpa tulang yang telah dibuang lemaknya diambil sebanyak 1 g, dihomogenkan dengan 1 ml 20 mM PBS buffer menggunakan vortex kemudian sampel ditambahkan dengan 10 ml larutan tert-butilmethylether

dan dikocok selama 30 menit, disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 4 000 g pada suhu 10-15 °C. Supernatan yang terbentuk dipindahkan ke tabung lain dan dievaporasi hingga kering pada suhu 60 °C. Residu yang sudah kering tersebut dilarutkan dalam 1 ml kloroform, lalu ditambahkan 3 ml 1 M NaOH dan dicampur selama 30 detik. Larutan disentrifus kembali selama 10 menit dengan kecepatan 4 000 g pada suhu 10-15 °C. Supernatan dipindahkan ke tabung lain yang berisi 250 µl asam asetat 96%, kemudian ditambahkan 5 ml larutan tert-butilmethyleter dan dibekukan pada -25 °C selama 60 menit. Supernatan dipindahkan kembali ke tabung lain dan di evaporasi hingga kering pada suhu 60 °C. Residu yang didapatkan tersebut dilarutkan dalam 2 ml cairan buffer dan diambil sebanyak 20 µl, untuk masing-masing sumur microplate.


(38)

Prosedur Pengujian

Prosedur deteksi residu zeranol dengan metode ELISA mengacu pada

application note r-biopharm. Larutan antibodi sebanyak 100 µl dimasukkan pada masing-masing sumur dan dicampur secara manual. Microplate tersebut diinkubasi selama 30 menit pada temperatur ruangan (20-25 °C), cairan yang ada dalam microplate dibuang dan dicuci dengan wash solution sebanyak 3 kali. Sampel yang telah dipreparasi diambil sebanyak 20 µl dan bersama dengan 100 µ l konjugat peroksida zeranol ditambahkan pada masing-masing sumur microplate.

Microplate diinkubasi selama 30 menit pada temperatur ruangan (20-25 °C), setelah sebelumnya larutan di dalamnya dicampur secara manual. Cairan dalam

microplate dibuang dan dicuci sebanyak 3 kali dengan wash solution. Substrat ditambahkan sebanyak 100 µl pada masing-masing sumur microplate, dicampurkan secara manual dan diinkubasi selama 15 menit pada temperatur ruangan (20-25 °C) dalam kondisi gelap. Reaksi dihentikan dengan menambahkan

stop solution (100 µl) pada masing-masing lubang microplate. Hasil pengujian dibaca dengan menggunakan ELISA reader, pada panjang gelombang 450 nm. Pembacaan ini dilakukan dalam 30 menit setelah penambahan stop solution, kemudian respon dari hasil ELISA reader dibaca dengan menggunakan software

Rida®Soft Win (Art.No. Z9999).

Analisis Data

Data yang diperoleh diolah secara deskriptif untuk menggambarkan keberadaan residu zeranol pada daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru, kemudian untuk mengetahui perbedaan kandungan residu zeranol pada masing-masing negara digunakan uji proporsi dan uji t dengan perangkat SPSS 13.0 dan Microsoft Excel.


(39)

Pengujian Residu Zeranol dengan ELISA

Seluruh sampel daging yang diimpor dari kedua negara diuji dengan menggunakan metode ELISA. Metode ELISA merupakan pengujian yang mudah, biaya relatif murah, dan sesuai untuk pengujian rutin. Metode pengujian ini merupakan pengujian awal (screening) untuk mengetahui kandungan residu zeranol dalam daging yang diimpor. ELISA yang digunakan adalah ELISA kompetitif, dimana pengujian berdasarkan pada pengikatan spesifik hormon dengan protein (spesifik antibodi) (Squires 2003).

Limit deteksi ELISA yang digunakan untuk mendeteksi residu zeranol pada penelitian ini adalah 500 part per billion (ppt), dengan 50% inhibition sebesar 1 000.7 ppt (Gambar 5). Limit deteksi merupakan tingkat konsentrasi terendah yang dapat digunakan untuk dapat mendeteksi suatu substansi.

Gambar 5 Standar kurva ELISA untuk zeranol.

Perbandingan antara kemiringan kurva yang terbentuk dengan konsentrasi yang digunakan disebut dengan standar kurva. Kemiringan dari kurva tersebut merupakan respon dari pengujian yang menggambarkan konsentrasi hormon dari

A b s o r b a n s i (%)


(40)

sampel. Jumlah dari ikatan hormon yang dilabel dan konsentrasi hormon dapat dibedakan dari standar kurva. Jumlah hormon yang dilabel pada sumbu y, dengan konsentrasi dari hormon yang tidak dilabel pada sumbu x. Jumlah dari ikatan hormon yang dilabel dan konsentrasi hormon memberikan kemiringan kurva antara 10-90% dari penyerapan optical density (OD)(Squires 2003).

Sampel dalam pengujian ini dikerjakan secara duplo. Menurut Squires (2003), pengujian selayaknya dikerjakan dengan ulangan yang cukup untuk menggambarkan reproducibility, yang dibedakan dengan coefficient of variation

yang rendah (CV = standar deviasi dibagi dengan mean).

Immunoassay merupakan salah satu metode pemeriksaan residu hormon. Metode ini dipakai untuk screening dalam berbagai pemeriksaan bahan pangan karena cepat dan cukup spesifik serta sensitif. Matrik sampel daging dapat mempengaruhi sensitifitas, perubahan atau penurunan nilai absorban (OD), atau kedua-duanya. Oleh karenanya pengenceran pada sampel sebelum analisa hingga dua kali merupakan cara yang cukup efektif sehingga diharapkan tidak mempengaruhi sensitifitas, perubahan atau penurunan nilai absorban (OD), atau dapat menyebabkan tingginya konsentrasi dari residu yang ada pada sampel (Rachmawati et al. β004; Cigić dan Prosen β009).

Residu Zeranol dalam Daging yang Diimpor dari Australia

Hasil pengujian kandungan zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia menggunakan ELISA disajikan pada Tabel 5. Sebanyak 5 dari 59 sampel (8.5%) daging dari Australia mengandung zeranol dengan rataan konsentrasi sebesar 0.644 part per billion (ppb). Hasil positif pada pengujian ini menunjukkan masih digunakannya zeranol sebagai hormon pertumbuhan di Australia. Menurut MLA (2012), zeranol merupakan hormon estrogenik utama, bersama estradiol, yang digunakan di Australia.

Kisaran konsentrasi zeranol yang ditemukan pada penelitian ini masih berada di bawah batas maksimum residu zeranol yang ditetapkan di Indonesia yaitu 2 ppb. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan kemungkinan penggunaan zeranol masih memperhatikan withdrawal time yaitu 60-70 hari setelah implantasi.


(41)

Tabel 5 Hasil pengujian zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia

Negara N Sampel positif

n % Kode Konsentrasi (ppb)

Australia 59 5 8.5 A14 0.921

A28 0.611

A31 0.562

A46 0.588

A56 0.535

Menurut Maddox (1988), residu zeranol sebenarnya sulit dideteksi, meskipun ternak dipotong sebelum withdrawal time berakhir, pemotongan ternak pada hari ke 45 setelah implantasi hanya didapatkan residu dalam jumlah yang

kecil, yaitu pada hati (≤β ppb), ginjal (≤1 ppb), lemak (≤1 ppb), dan otot serta

plasma (≤0.β ppb). Hal ini dibuktikan pada monitoring di Scotlandia dan Inggris

Utara tahun 1984-1987. Sebanyak 6 014 ekor ternak, hanya didapatkan 6% residu zeranol pada sapi jantan dan betina yang diimplan zeranol dengan dosis 36 mg. EFSA (2007) menyatakan bahwa residu zeranol dalam jaringan hewan adalah sebesar 0.35-1.21 ppb di hati, 0.08-0.22 ppb di ginjal, 0.01-0.73 ppb di otot, dan 0.06-0.22 ppb di lemak.

Doyle (2000) menyebutkan bahwa dalam penelitian Dixon dan Russell pada tahun 1983 dan 1986, kadar residu zeranol masih dapat terdeteksi setelah 70 hari implantasi sebesar 230 ppb dan masih dapat ditemukan pada hari ke 120 dengan konsentrasi yang sangat kecil. Meskipun ternak telah diimplan zeranol lebih dari 4 kali dengan dosis 36 mg, kadar residu zeranol tidak akan meningkat secara signifikan. Menurut laporan dari FAO, kadar tertinggi residu zeranol pada daging adalah 130 ppb di hari ke 5 pasca implantasi dan akan menurun sebesar 44 ppb setelah hari ke 65 (Doyle 2000).

Hasil metabolisme dari Fusarium spp yaitu zearalenon dapat menimbulkan reaksi silang dengan zeranol sehingga kemungkinan juga hasil positif yang didapatkan pada pengujian ini merupakan reaksi silang dengan metabolit

Fusarium spp. Pihak Australia pernah mengindikasikan adanya kandungan residu zeranol pada daging hasil survey tahun 2003 oleh kontaminasi jamur


(42)

Fusarium spp pada ladang penggembalaan atau pakan akan tetapi tidak ada penelusuran lebih lanjut terhadap temuan tersebut (Crapp 2003).

Residu Zeranol dalam Daging yang Diimpor dari Selandia Baru Hasil pengujian zeranol dalam daging yang diimpor dari Selandia Baru dengan ELISA disajikan pada Tabel 6. Pengujian ini menunjukkan hasil hanya 1 dari 59 sampel (1.7%) positif mengandung zeranol. Seperti juga hasil positif yang didapat pada sampel dari Australia, konsentrasi sampel dari Selandia Baru juga lebih rendah dari nilai MRL zeranol yang ditetapkan oleh BSN yaitu sebesar 2 pbb.

Tabel 6 Hasil pengujian zeranol dalam daging yang diimpor dari Selandia Baru

Negara N Sampel positif

n % Kode Konsentrasi (ppb)

Selandia Baru 59 1 1.7 S55 0.680

Hasil negatif yang ditemukan dalam sejumlah sampel pada penelitian ini dapat diartikan bahwa sampel tersebut tidak mengandung zeranol atau memiliki konsentrasi residu di bawah limit deteksi dari kit ELISA yang digunakan. Hasil positif yang ditemukan menunjukkan kemungkinan pemakaian zeranol di Selandia Baru tidak sebanyak penggunaannya di Australia.

Menurut NZMAF (2011), mengacu pada regulated control scheme-hormonal growth promotants notice 2011, penggunaan zeranol sejak tahun 1972 mulai perlahan-lahan digantikan oleh hormon-hormon pertumbuhan seperti Compudose 100 (estradiol-17β), Compudose G (TBA dan estradiol-17β), Revalor S (TBA dan estradiol benzoat), Synovex S (estradiol benzoat dan progesteron), Synovex H (testosteron propionat dan estradiol benzoat), dan Synovex Plus (TBA dan estradiol benzoat).


(43)

Perbandingan Kandungan Residu Zeranol dalam Daging yang Diimpor dari Australia dan Selandia Baru

Perbedaan konsentrasi zeranol yang didapat dari hasil ELISA dalam daging dari Australia dan Selandia Baru menunjukkan angka yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Meskipun jumlah sampel yang positif dalam daging yang diimpor dari Australia menunjukkan angka yang lebih besar dibandingkan dengan Selandia Baru (Tabel 7).

Tabel 7 Perbandingan kandungan zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru

Negara positif n positif % Mean konsentrasi (ppb) Min-Max (ppb)

Australia 5 8.5 0.644±0.157 0.535-0.921 Selandia Baru 1 1.7 0.680±0.00 0.680

Jumlah sampel yang positif mengandung zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru didapatkan berbeda, hal ini kemungkinkan disebabkan oleh penerapan strategi implantasi hewan yang bervariasi, respon dari individu (ternak), termasuk breed ternak yang diimplantasi, serta adanya kontaminasi dari jamur Fusarium spp.

Menurut EFSA (2007), zeranol tidak akan ada dalam jaringan dalam kondisi normal, tetapi dapat diukur setelah penggunaan preparat ini sebagai hormon pertumbuhan. Hal yang patut diwaspadai adalah mikotoksin zearalenon yang terdapat dalam pakan, dapat dikonversi menjadi zeranol. Hal ini akan menyulitkan monitoring residu pada produk hewan.

Penerapan strategi implantasi yang bervariasi bergantung pada pemakaian hormon-hormon pertumbuhan di Australia dan Selandia Baru. Menurut Partridge (2010), strategi implantasi hormon pertumbuhan di Australia menggunakan long acting hormone growth promotants (HGPs) yang berkisar antara 100-400 hari (tergantung dari tujuan HGPs yang digunakan). Selama masa tersebut, ternak dapat diimplantasi berulang dengan berbagai HGPs. Sapi jantan dapat menggunakan Ralgro (36 mg zeranol), Compudose (estradiol-17β) atau Synovex C (estradiol benzoat dan progesteron) dalam masa perkembangan. Pada


(44)

awal penggemukan digunakan Synovex S, Progro S (estradiol benzoat dan progesteron) atau Revalor G (TBA dan estradiol-17β). Sebagai akhir dari fase penggemukan, digunakan Revalor S (TBA dan estradiol-17β) ditambah Progro T -S (TBA).

Di Australia, terutama di bagian utara, rumput tumbuh musiman dan ternak memerlukan waktu 2-4 tahun untuk dapat dipotong dalam kondisi yang baik, sehingga implantasi digunakan untuk mendorong pertumbuhan pada saat yang sama rumput tersebut tumbuh subur. Penggunaan hormon pertumbuhan di Australia didasarkan pada keadaan daerah (ketersediaan pakan hijauan) dan tujuan penggemukan (MLA 2012).

Selandia Baru saat ini sudah jarang menggunakan zeranol sebagai pemacu pertumbuhan di peternakannya. Penggantian zeranol dengan hormon-hormon pertumbuhan lainnya, seperti Compudose mungkin karena hormon pertumbuhan tersebut memberikan peningkatan berat badan yang lebih besar yaitu lebih dari 20% daripada zeranol (ELANCO 2011).

Heitzman (1983) menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan implantasi hormon pertumbuhan di peternakan, utamanya adalah absorbsi hormon yang diimplan (berhubungan dengan administrasi dan formulasi hormon), distribusi dalam berbagai jaringan tubuh (berhubungan dengan tempat implantasi), metabolisme, dan ekskresi dari hormon yang diimplan. Metabolisme dari hormon yang diimplan terjadi di darah, hati, dan ginjal. Zeranol yang berbentuk compress pellet, absorbsinya berlangsung lambat, memberikan efek peningkatan pertumbuhan pada bulan ke-2 sampai dengan ke-4 setelah pemberian. Umumnya hormon pertumbuhan yang diberikan akan dimetabolisme, dikeluarkan, atau diambil oleh jaringan dalam bentuk senyawa yang tidak aktif. Aktivitas hati dan ginjal sangat berperan dalam metabolisme dan ekskresi, dimana diasumsikan kadar obat yang masuk sebanding dengan kadar pembersihan oleh hati dan ginjal. Kadar residu yang tinggi dapat ditemukan pada jaringan atau daging ternak dan kemungkinan disebabkan oleh pemberian hormon pertumbuhan pada awal implantasi, kerusakan hati dan ginjal, serta pemotongan ternak yang tidak memperhatikan withdrawal time. Pemotongan ternak tanpa memperhatikan


(45)

ternak tersebut dikonsumsi. Pemotongan yang ilegal ini patut diwaspadai karena banyaknya penggunaan zeranol dan panjangnya withdrawal time yaitu 65 hari untuk dosis 36 mg (Toews dan McEwen 1994). Setelah ternak diimplan dengan zeranol (dosis 36 mg), waktu paruh zeranol dalam tubuh merupakan fungsi dari kecepatan pelepasan atau absorbsi obat, yang perlahan-lahan dilepaskan saat implantasi.

Biotransformasi zeranol pada domba dan sapi yang diimplan secara subkutan dan secara oral pada tikus, anjing, dan monyet menghasilkan metabolit pertama berupa zearalanon, sedangkan metabolit pertama pada kelinci adalah teleranol, yang merupakan metabolit kedua dari domba, sapi, tikus, anjing, dan monyet. Ada asumsi bahwa oksidasi zeranol menjadi zearalanon kemungkinan dapat menjadi reaksi yang reversible, dimana secara terbalik akan menghasilkan senyawa dari kedua epimer tersebut (zeranol dan taleranol), sebagai produk dari pengurangan zearalanon dalam tubuh (Baldwin et al. 1983).

Respon individu ternak yang diimplan juga mempengaruhi pemberian hormon pertumbuhan. Venamore et al. (1982) menyatakan bahwa penggunaan zeranol pada bangsa sapi yang dipelihara di Australia yaitu bangsa Bos Taurus

dan Bos Indicus memiliki perbedaan yang nyata dalam pertambahan berat badan. Pertambahan berat badan sapi bangsa Bos Taurus lebih besar dibandingkan dengan sapi Bos Indicus (waktu pemeliharaan 69-112 hari) dalam kondisi bebas parasit dan ketersediaan nutrisi yang tinggi. Penelitian serupa dilakukan oleh Williams et al. (1991) pada sapi jantan bangsa Angus dan Brangus yang diimplantasi zeranol, menyimpulkan bahwa pertambahan berat badan sapi bangsa Angus yang lebih besar dibandingkan pada sapi bangsa Brangus. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perubahan komposisi tubuh yang berakibat pada peningkatan berat badan pada bangsa sapi yang berbeda, diperantarai oleh sejumlah perubahan hormonal yang terjadi, termasuk peningkatan konsentrasi hormon pertumbuhan dalam tubuh.

Semua sampel yang diuji dari kedua negara dengan ELISA memperlihatkan konsentrasi hasil di bawah maximum residu limit (MRL) dari yang ditetapkan BSN. Berdasarkan SNI No. 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran


(46)

Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan bahwa batas kandungan zeranol pada daging adalah 2 ppb.

Australia dan Selandia Baru mempunyai kerja sama dalam pengaturan standar pengembangan dan penerapan standar makanan. Sistem ini didirikan berdasarkan perjanjian yang ditandatangani pada bulan Desember 1995 dan didasarkan pada Commonwealth, State, and Territory Agreement tahun 1991. Sistem ini terus berjalan dibawah The Food Regulation Agreement 2002 dan diimplementasikan dalam perundangan pangan di setiap negara bagian di Australia dan Selandia Baru, yang disebut sebagai The Food Standards Australia New Zealand Act 1991 of The Commenwealth of Australia (FSANZ Act). Menurut FSANZ-Amendment Nomor 78 Tahun 2005, MRL untuk zeranol adalah 20 ppb (FSANZ 2005).

Nilai MRL untuk zeranol yang ditetapkan Australia sendiri sebesar 20 ppb untuk offal dan 5 ppb untuk daging (APVMA 2012). Selandia Baru dalam Animal products (contaminant specifications) notice 2008 New Zealand Food Safety Authority, menetapkan batas maksimum zeranol ditunjukkan dengan maximum permissible levels (MPL) (NZFSA 2008). Kandungan zeranol dalam MPL disajikan pada Tabel 8. Batas maksimum kandungan zeranol dalam daging yang ditetapkan oleh SNI Indonesia masih lebih kecil jika dibandingkan dengan Australia dan Selandia Baru. Angka yang sama juga diterapkan di Kanada dan CAC, seperti yang tertera pada Tabel 2 yaitu 2 ppb. World Health Organization (WHO) menyatakan residu zeranol tidak melebihi batas 2 ppb dalam daging dan 10 ppb dalam hati (Nazli et al. 2005).

Tabel 8 Maximum permissible levels (MPL) zeranol di Selandia Baru

MPL zeranol (ppb) Jenis produk hewan

10 Offal sapi, kambing, domba, dan rusa

5 Daging, lemak, darah, dan urin sapi, kambing, domba, rusa, dan kuda

200 Empedu sapi

20 Empedu domba, kambing, rusa, dan kuda Sumber: NZFSA (2008)


(47)

Negara Uni Eropa mengacu pada EU Directed 96/22/EC yang terbit pada 23 Mei 1996 melarang penggunaan hormon pertumbuhan di peternakan, hal ini disebabkan oleh kekhawatiran akan dampak hormon pada kesehatan konsumen. Dalam EU Directed 96/22/EC, hormon pertumbuhan yang dilarang adalah stilbenes dan derivatnya, antitiroid agen, steroid, dan senyawa resorcylic acid lactones, termasuk zeranol dan beta agonis (Arvanitoyannis et al. 2005). Peraturan ini juga menggolongkan hormon pertumbuhan ini sebagai golongan A yaitu golongan substansi yang dilarang, seperti halnya dengan hormon steroid. Golongan A tersebut diberlakukan kadar zero tolerance, kecuali pada medroxyprogesteron (MPA) yang diberi batas sampai 1 µg/kg dalam lemak ginjal. Selain itu, negara Uni Eropa juga menetapkan minimum required performance limits (MPRL) pada interpretasi hasil uji metode analisis yang digunakan untuk mendeteksi substansi yang dilarang tersebut (Noppe et al. 2008).

Maximum residue limit (MRL) merupakan konsentrasi residu maksimum yang diizinkan atau direkomendasikan dapat diterima dalam produk hewan (BSN 2000). Rekomendasi MRL digunakan untuk memonitor kandungan residu dalam produk hewan agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika kandungan residu dalam produk hewan melampaui MRL dapat diindikasikan adanya penyalahgunaan dari bahan kimia yang digunakan (APVMA 2008). Penerapan MRL ini berbeda dengan penerapan di Uni Eropa (UE). Pemberian perlakuan pada ternak seperti pemberian hormon pertumbuhan pada hewan yang akan disembelih untuk kebutuhan konsumsi manusia dilarang di UE. Larangan ini diperkuat dengan peraturan dan dikontrol dengan inspeksi, sedangkan di Amerika Serikat, inspeksi merupakan bagian dari monitoring dari penerapan MRL pada produk hewan yang dikonsumsi manusia yaitu daging, lemak, hati, atau ginjal. Penerapan ini diikuti oleh negara-negara pengguna hormon pertumbuhan di peternakannya (Stephany 2010).

Penetapan MRL dari CAC diikuti dengan penetapan acceptable daily intake

(ADI) yaitu sebesar 0-0.5 µg/kg per berat badan (CAC 2011). Angka ADI merupakan jumlah residu yang terdapat dalam makanan yang dapat dikonsumsi setiap hari tanpa menyebabkan gangguan kesehatan pada konsumen (APVMA 2008). Angka ini didasarkan pada dosis tertinggi yang belum menyebabkan


(48)

gangguan kesehatan, yang dikalikan dengan berat badan konsumen dan dibagi dengan safety factor 100. Badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat menetapkan ADI zeranol sebesar 125 ppb (EFSA 2007). Ahli dari Committee on

Food Additive Joint FAO/WHO menetapkan ADI sebesar 35 ppb untuk konsumen

dengan berat badan rata-rata 70 kg (Galbraith 2002). Penerapan ADI diikuti dengan adanya potential daily intake (PDI), yang merupakan rata-rata intake dari jaringan hewan yang ditemukan residu didalamnya. Angka untuk PDI harus lebih kecil dibandingkan dengan ADI (Squires 2003).

Beberapa negara berbeda dalam menetapkan MRL dan ADI terhadap zeranol. Keadaan ini disebabkan karena penetapan MRL dan ADI bergantung pada faktor resiko yang timbul pada setiap warga negara yang bersangkutan, termasuk faktor konsumsi daging dan jeroan, berat badan, dan umur (Rasyid 2010).

Zeranol mempunyai efek estrogenik yang kuat. Percobaan yang dilakukan oleh Yuri et al. (2004), dengan dosis 0.1 mg/kg zeranol yang disuntikkan pada rodensia, mendorong pubertas yang lebih cepat dan ketidakseimbangan siklus estrus pada minggu ke 8 sampai 11. Rodensia tersebut kurang menghasilkan corpora luteum, tidak ada ovulasi, dan terjadi sterilitas.

Yuri et al. (2006) melaporkan bahwa zeranol memberikan efek biphasic pada pertumbuhan reseptor estrogen positif (ER positif) pada sel human breast carcinoma yaitu sel MCF-7 dan KPL-1. Zeranol menstimulasi pertumbuhan ER positif dari kedua sel tersebut pada konsentrasi rendah (<5 µM), tetapi menghambat pertumbuhan sel MCF-7 dan KPL-1 pada konsentrasi tinggi

(≥50 µM), sedangkan pada sel MDA-MB 231 yaitu sel human breast carcinoma

dengan reseptor estrogen negatif (ER negatif), zeranol menghambat pertumbuhannya dengan konsentrasi tinggi (>50 µM), tetapi tidak merangsang perkembangan ER negatif. Kesimpulan yang didapat dari percobaan Yuri et al. (2006) adalah zeranol mempunyai efek pada pertumbuhan ER positif pada sel

human breast carcinoma dimana dosis rendah akan menstimulasi pertumbuhan sel dengan mengubah susunan sel dan dosis tinggi akan menginduksi sel untuk memblok siklus sel dan mengakibatkan apoptotik sel.


(49)

Zeranol dan metabolitnya akan bersaing dengan estrogen untuk mengikat

active site dari reseptor estrogen pada sitoplasma dalam uterus tikus, kelenjar mamae tikus, hati sapi, dan sel kanker payudara manusia. Zeranol dan zearalenon dapat menyebabkan penghambatan dari hipotalamus dan hipofisis anterior, serta atrofi ovarium, testis, prostat, dan vesikula seminalis (Lindsay 1985).

Liu (2003) dalam disertasinya, menyimpulkan bahwa aktivitas estrogenik zeranol sebagai derivat zearalenon dapat menstimulasi pertumbuhan kelenjar mamae pada heifer dan rodensia, menstimulasi proliferasi kultur sel normal payudara dan sel kultur kanker payudara. Menurut Leffers et al. (2001), zeranol dapat menstimulasi proliferasi dari jaringan payudara dan menginduksi terjadinya neoplasia hepatik. Zeranol juga dapat melintasi plasenta dan terdeteksi dalam jaringan janin. Resiko residu zeranol pada janin perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan janin laki-laki (Borazan et al. 2007).

Impor daging dimaksudkan hanya untuk mendukung dan memenuhi kebutuhan daging sapi nasional yang terus meningkat, tetapi bila tidak diwaspadai hal ini dapat menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan hewani khususnya daging sapi, semakin jauh dari harapan. Kewajiban menjaga keamanan pangan sesuai dengan amanat dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 harus terus ditingkatkan seiring dengan meningkatnya importasi daging. Hingga saat ini pengujian zeranol belum dipersyaratkan terhadap daging yang diimpor ke dalam wilayah Republik Indonesia.

Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 513.a/ Kpts/ OT.210/ L/12/2008 tentang Manual Pengujian Residu Hormon pada Pangan Segar Asal Hewan, hanya berupa acuan bagi petugas karantina hewan dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan keamanan pangan dan memberikan pedoman dalam melakukan pengujian pangan asal hewan terhadap kemungkinan adanya residu hormon. Ruang lingkup pengujiannya terbatas pada senyawa TBA, diethilstilbestrol, ractopamin, dan MGA. Pengujian untuk zeranol belum dimasukkan dalam manual pengujian. Pengujian terhadap kandungan zeranol dalam daging sangat diperlukan sebagai bentuk pengawasan terhadap keamanan pangan khususnya keamanan pangan asal hewan.


(50)

Simpulan

Simpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah

1. Daging impor dari Australia dan Selandia Baru positif mengandung zeranol dengan pengujian ELISA sehingga berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan bagi masyarakat.

2. Tidak terdapat perbedaan kandungan zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru. Seluruh sampel yang positif dari kedua negara konsentrasinya di bawah nilai MRL yang ditetapkan dalam SNI No. 01-6366-2000.

Saran

Pengujian zeranol dalam daging perlu dilakukan sebagai bagian dari tindakan karantina di tempat-tempat pemasukan untuk menjamin keamanan daging yang diimpor, terutama dari negara yang memperbolehkan penggunaan zeranol pada ternak selama masa pemeliharaan atau penggemukan.


(51)

Anwar R. 2005. Biosintesis, sekresi dan mekanisme kerja hormon. Prosiding Pertemuan Fertilitas Endokrinologi Reproduksi Bagian Obstetri dan Ginekologi RSHS/FKUP Bandung, 22 Juni 2005. hlm 1-24.

[Agilent Tech] Agilent Technologies Inc. 2010. HPLC Basic [terhubung berkala] www.agilenttechnologies.com [10 Pebruari 2012].

Aksglaede L, Juul A, Leffers H, Skakkebaek NE, Danersson AM. 2006. The sensitivity of the child to sex steroid: possible impact of exogenous estrogens. Hum Repro Update 12: 341-349.

Arvanitoyannis IS, Choreftaki S, Tserkezou P. 2005. An update of EU legislation (directives and regulations) on food-related issues (safety, hygiene, packing, technology, gmos, additives, radiation, labelling): presentation and comments. Int J Food Sci Tech 40: 1021-1112.

[APVMA] Australian Pesticides and Veterinary Medicines Authority. 2008. Chemicals and food safety [terhubung berkala] www.apvma.gov.au [6 Maret 2012].

[APVMA] Australian Pesticides and Veterinary Medicines Authority. 2012. The MRL Standard: maximum residue limits in food and animal feedstuff [terhubung berkala] www.apvma.gov.au [6 Maret 2012].

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia No. 01-6366-2000 tentang batas maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal hewan. Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta.

[BBKP Tanjung Priok] Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok. 2012.

Laporan tahunan BBKP Tanjung Priok 2009-2012. Tanjung Priok: BBKP Tanjung Priok.

Baldwin RS, Williams RD, Terry MK. 1983. Zeranol: a review of the metabolism, toxicology, and analytical methods for detection of tissue residues. J Regul Toxic Pharm 3: 9-25.

[BARANTAN] Badan Karantina Pertanian. 2008. Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 513.a/Kpts/OT.210/L/12/2008 tentang manual pengujian residu hormon pada pangan segar asal hewan. Jakarta: Barantan RI.


(52)

Borazan ÖG, Karagül H, Çelik S, Ünal N, Pekcan M, Sel T. 2007. Determinan of zeranol residues and the serum testosteron, oestrogene and progesterone levels in lambs around Ankara region. Ankara Üniv Vet Fak Derg 54: 7-10.

Cigić IK, Prosen H. β009. An overview of conventional and emerging analytical

methods for the determination of mycotoxins. Int J Mol Sci 10: 62-115.

[CAC] Codex Alimentarius Commission. 2011. Maximum residue limits for veterinary drugs in foods [terhubung berkala] www.codexalimentarius.net [6 Maret 2012].

Crapp D. 2003. Animal health surveillance. Australian quarterly report. Vol 8 issue 4.

Ding T, Xu J, Liu F, Yang C. 2009. Detection of six zeranol residues in animal derived food by HPLC-MS/MS. Thermo Scientific [terhubung berkala] www.thermo.com [11 April 2011].

[DITJENNAK] Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Blue print program swasembada daging sapi 2014. Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.

[DITKESMAVET] Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. 2010a. Strategi penguatan produksi daging sapi dalam negeri. Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.

[DITKESMAVET] Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. 2010b. Petunjuk teknis pelaksanaan monitoring dan surveillans residu dan cemaran mikroba (PMSR-CM) pada produk asal hewan. Pedoman Umum. Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.

Desmarchelier P, Fegan N, Smale N, Small A. 2007. Managing safety and quality through the red meat chain. Meat Sci 77: 28-35.

Doyle E. 2000. Human Safety of Hormone Implans Used to Promote Growth in Cattle. Food Research Institute. University of Wisconsin, USA.

[EFSA] European Food Safety Authority. 2007. Opinion of the scientific panel on contaminants in the food chain on a request from the european commission related to hormone residues in bovine meat and meat products. J EFSA 510: 1-62

[ELANCO] Elanco Animal Health. 2011. The fact about HGPS: exploding the myth [terhubung berkala] www.elanco.co.nz [22 Mei 2012].

[FSANZ] Food Standards Australia New Zealand. 2005. Australia New Zealand food standards code-amandement no. 78-2005. Federal Register of Legeslative Instruments. The Commonwealth of Australia.


(53)

Feradis. 2010. Reproduksi Ternak. Edisi ke-1. Bandung: Alfabeta.

Galbraith H. 2002. Hormones in international meat production: biological, sociological, and consumer issues. Nutr Res Rev 15: 293.

Hunter RA, McCrabb GJ, O’neill CJ. The influence of hormonal growth

promotants on marbling. Marbling Symposium 2011.

Heitzman RJ. 1983. The absorption, distribution and excretion of anabolic agents.

J Anim Sci 57: 233-238.

Karen, Liyuan. 2005. High Performance Liquid Chromatography [terhubung berkala] www.ecs.umass.edu.com [10 Pebruari 2012].

Kuiper GGJM, Lemmen JG, Carlsson BO, Corton JC, Safe SH, Van Der SPT, Van Der Burg B, Gustafsson JA. 1998. Interaction of estrogenic chemicals and phytoestrogens with estrogen receptor β. J Endocrin 10: 4252-4263. Lamming. 1987 in Galbraith H. 2002. Hormones in international meat production:

biological, sociological, and consumer issues. Nutr Res Rev 15: 293.

Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Parakkasi A, penerjemah. Edisi ke-5. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Meat Science.

Le Guevel R, Pakdel F. 2001. Assessment of oestrogenic potency of chemicals used as growth promoter by in vitro methods. Hum Repro 16: 1030-1036.

Leffers H, Næsby M, Vendelbo B, Skakkebæk NE, Jørgensen M. 2001. Oestrogenic potencies of zeranol, oestradiol, diethylstilboestrol, bisphenol-a, and genestein: implications for exposure assessment of potential endocrine disrupters. Hum Repro 16: 1037-1045.

Lindsay DG. 1985. Zeranol - a natural identical ‘oestrogen’?. J Food Chem Toxic

23: 767-774.

Liu S. 2003. An estrodenically regulated potential tumor supressor gene, protein

tyrosine phosphatase (ptp ) in human breast [dissertation]. Ohio:

Veterinary Biosciences Program, The Ohio State University.

Liu Y, Cun-zhen Z, Xiang-yang Y, Zhi-yong Z, Xiao Z, Rong-rong L, Xian-jin L, Zhen-ming G. 2007. Development and evaluation of immunoassay for zeranol in bovine urine. J Zhejiang Univ Sci B 8: 900-905.

Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Soejoedono RR, Purnawarman T, Latif H. 2007. Higiene Pangan. Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. FKH IPB Bogor.


(54)

[MLA] Meat and Livestock Australia. 2012. Auss DAFF statistics meat export [terhubung berkala] www.mla.com.au [6 Maret 2012].

Maddox. 1988 in Toews DW, McEwen SA. 1994. Residues of hormonal substances in food of animal origin: a risk assessment. Prev Vet Medic 20: 235-247.

Malekinejad H, Maas-Bakker R, Fink-Gremmels J. 2006. Spesies differences in the hepatic biotransformation of zearalenone. Vet J 172: 96-102.

Martin WS, Meek AH, Willeberg P. 1987. Veterinary Epidemiology. Principles and Methods. Iowa: Iowa State University Press.

McDonals. 1989. Veterinary Endocrinology and Reproduction. Fourth ed. Philadelphia: Lea and Febiger Press.

McNerney. 1985. Effect of zeranol on beef steer growth rate in four geographical locations of New Zealand [abstrak]. New Zealand Vet J 33.

Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Hartono A, penerjemah; Anna PB, Tiara MNS, editor. Edisi ke- 25. Jakarta:

EGC. Terjemahan dari: Harper’s Biochemistry.

Meyer et al. 1984 in Baldwin RS, Williams RD, Terry MK. 1983. Zeranol: a review of the metabolism, toxicology, and analytical methods for detection of tissue residues. JRegul Toxic Pharm 3: 9-25.

Nazli B, Çolak H, Aydin A, Hampikyan H. 2005. The presence of some anabolic residues in meat and meat products sold in Istambul. Turk J Vet Anim Sci

29: 691-699.

Nussey S, Whitehead S. 2001. Endocrinology: An Integrated Approach. Oxford: BIOS Scientific Publishers.

Noppe H, Le Bizec B, Verheyden K, De Brabander HF. 2008. Novel analytical methods for the determination of steroid hormones in edible matrices. Anal Chim Acta 611: 1-16.

[NZFSA] New Zealand Food Safety Authority. 2008. Animal product (contaminant specifications) notice 2008. The New Zealand Food Safety Authority. Wellington.

[NZMAF] New Zealand Ministry of Agriculture and Fishery. 2011. Animal product (contaminant specifications) notice 2011. The New Zealand Food Safety Authority. Wellington.

Partridge I. 2010. Using Hormone growth promotants to increase beef production. Meat & Livestock Australia.


(1)

(2)

Lampiran 3 Hasil pengujian zeranol dalam daging yang diimpor dari Selandia Baru

Kode sampel (ppb) Hasil Interpretasi Kode sampel (ppb) Hasil Interpretasi S01 < 0.5 Negatif S31 < 0.5 Negatif

S02 < 0.5 Negatif S32 < 0.5 Negatif

S03 < 0.5 Negatif S33 < 0.5 Negatif

S04 < 0.5 Negatif S34 < 0.5 Negatif

S05 < 0.5 Negatif S35 < 0.5 Negatif

S06 < 0.5 Negatif S36 < 0.5 Negatif

S07 < 0.5 Negatif S37 < 0.5 Negatif

S08 < 0.5 Negatif S38 < 0.5 Negatif

S09 < 0.5 Negatif S39 < 0.5 Negatif

S10 < 0.5 Negatif S40 < 0.5 Negatif

S11 < 0.5 Negatif S41 < 0.5 Negatif

S12 < 0.5 Negatif S42 < 0.5 Negatif

S13 < 0.5 Negatif S43 < 0.5 Negatif

S14 < 0.5 Negatif S44 < 0.5 Negatif

S15 < 0.5 Negatif S45 < 0.5 Negatif

S16 < 0.5 Negatif S46 < 0.5 Negatif

S17 < 0.5 Negatif S47 < 0.5 Negatif

S18 < 0.5 Negatif S48 < 0.5 Negatif

S19 < 0.5 Negatif S49 < 0.5 Negatif

S20 < 0.5 Negatif S50 < 0.5 Negatif

S21 < 0.5 Negatif S51 < 0.5 Negatif S22 < 0.5 Negatif S52 < 0.5 Negatif

S23 < 0.5 Negatif S53 < 0.5 Negatif

S24 < 0.5 Negatif S54 < 0.5 Negatif

S25 < 0.5 Negatif S55 0.680 Positif

S26 < 0.5 Negatif S56 < 0.5 Negatif

S27 < 0.5 Negatif S57 < 0.5 Negatif

S28 < 0.5 Negatif S58 < 0.5 Negatif

S29 < 0.5 Negatif S59 < 0.5 Negatif


(3)

Lampiran 4 Pengambilan sampel

Pemeriksaan kontainer


(4)

Lampiran 5 Preparasi sampel

Homogenisasi sampel


(5)

Lampiran 6 Hasil residu zeranol

Hasil evaporasi (residu)


(6)

Lampiran 7 Pengujian zeranol

Pengujian ELISA residu zeranol