Study on Beta-lactam Residue in Imported Pasteurized Milk from Australia through Soekarno-Hatta Airport

KAJIAN RESIDU BETA LAKTAM DALAM SUSU
PASTEURISASI IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI
PELABUHAN UDARA SOEKARNO-HATTA

TRIFERA MELANINGRUM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Residu Beta Laktam dalam
Susu Pasteurisasi Impor dari Australia melalui Pelabuhan Udara Soekarno-Hatta
adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor,

Juni 2012

Trifera Melaningrum
NIM. B251100104

ABSTRACT

TRIFERA MELANINGRUM. Study on Beta-lactam Residue in Imported
Pasteurized Milk from Australia through Soekarno-Hatta Airport. Under direction
of MIRNAWATI SUDARWANTO and HADRI LATIF.
Beta-lactam antibiotic residue occurs in pasteurization milk due to
application of beta-lactam antibiotic in dairy cattle treatment. The residue does not
only create problems in dairy industry but also have impact on public health. The
aims of the study were to determine the presence and the amount of beta-lactam
antibiotic in imported pasteurization milk. Sample size was calculated using the
formula to detect disease according Canon and Roe (1982) cited by Martin et al.
(1987). The sixty samples of imported pasteurized milk from Australia were used
in this study. The bioassay (screening test) was used and followed by

confirmation test used high performance liquid chromatography (HPLC). Both of
the tests showed negative result. It means all of the samples did not contain betalactam antibiotic.
Keywords: pasteurized milk, beta-lactam antibiotics, residue, bioassay, HPLC

RINGKASAN

TRIFERA MELANINGRUM. Kajian Residu Beta Laktam dalam Susu
Pasteurisasi Impor dari Australia melalui Pelabuhan Udara Soekarno-Hatta.
Dibimbing oleh MIRNAWATI SUDARWANTO dan HADRI LATIF.
Susu merupakan bahan pangan asal hewan yang mempunyai nilai gizi baik
dan seimbang. Konsumsi susu di Indonesia semakin meningkat seiring dengan
kenaikan jumlah penduduk, peningkatan kesejahteraan, dan kesadaran masyarakat
akan pentingnya sumber protein hewani. Susu berkualitas baik haruslah aman, dan
layak dikonsumsi. Keberadaan residu antibiotika dalam susu menjadikan susu
tidak aman dikonsumsi karena dapat menimbulkan gangguan kesehatan.
Antibiotika telah digunakan secara luas, baik dalam lingkup kesehatan
manusia maupun kesehatan hewan. Masalah residu antibiotika dalam pangan asal
hewan berkaitan dengan praktek yang kurang baik dalam penggunaan di lapangan.
Penggunaan antibiotika di peternakan antara lain untuk pengobatan penyakit,
pencegahan dan sebagai pemacu pertumbuhan (feed additive).

Beta laktam adalah antibiotika yang sering digunakan pada hewan karena
mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dengan cara merusak
dinding sel bakteri serta dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi pakan dan
pertumbuhan hewan ternak. Beta laktam sangat umum digunakan di peternakan
sapi perah, terutama untuk pengobatan mastitis. Penggunaan antibiotika, termasuk
beta laktam yang tidak memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time) akan
menimbulkan residu antibiotika pada produk hewan (Donkor et al. 2011).
Produk susu olahan, temasuk susu pasteurisasi dapat beresiko mengandung
residu antibiotika. Menurut hasil penelitian Sudarwanto et al. (1992) bahwa
32.52% susu pasteurisasi dan 31.10% susu segar di wilayah Jakarta, Bogor, dan
Bandung mengandung residu antibiotika dalam jumlah yang cukup tinggi. Oleh
karena itu perlu dilakukan pengujian adanya residu antibiotika untuk memperoleh
susu pasteurisasi yang aman dikonsumsi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat residu beta
laktam dalam susu pasteurisasi impor dari Australia melalui Pelabuhan Udara
Soekarno-Hatta dan menyediakan data bagi Karantina Pertanian dalam upaya
penetapan kebijakan terkait pentingnya pengujian residu beta laktam sebagai
tindakan karantina di tempat pemasukan.
Penelitian ini dilakukan terhadap 60 sampel susu pasteurisasi impor setelah
dilakukan penghitungan dengan rumus deteksi penyakit menurut Canon dan Roe

(1982) yang dikutip Martin et. al. (1987). Pengambilan sampel dilakukan secara
bertahap dengan menggunakan random sampling sebanyak 12 kemasan/
kedatangan.
Seluruh sampel diuji dengan menggunakan metode bioassay secara triplo.
Sampel yang menunjukkan hasil positif pada bioassay dikonfirmasi dengan
metode HPLC. Penyajian data pada kedua uji dilakukan secara diskriptif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa susu pasteurisasi impor dari
Australia yang melalui pelabuhan udara Soekarno-Hatta tidak mengandung residu
antibiotika beta laktam. Hasil ini diperoleh melalui uji bioassay yang

memperlihatkan tidak ditemukannya zona terang disekitar cakram steril yang telah
diteteskan sampel susu pasteurisasi. Pada grafik kromatogram HPLC, pada menit
ke-5.94 tidak terdapat puncak yang sesuai dengan kromatogram pada kontrol.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa susu pasteurisasi impor dari
Australia yang melalui pelabuhan udara Soekarno Hatta tidak mengandung residu
antibiotika beta laktam. Penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam melakukan tindakan karantina bagi petugas karantina dan
Badan Karantina Pertanian untuk menetapkan aturan pemasukan produk susu.
Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap residu antibiotika dari
golongan antibiotika selain beta laktam.


Kata kunci : residu antibiotika, beta laktam, susu pasteurisasi, bioassay, HPLC

©Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KAJIAN RESIDU BETA LAKTAM DALAM SUSU
PASTEURISASI IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI
PELABUHAN UDARA SOEKARNO-HATTA

TRIFERA MELANINGRUM

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si.

Judul Tesis
Nama
NIM

: Kajian Residu Beta Laktam dalam Susu Pasteurisasi Impor dari
Australia melalui Pelabuhan Udara Soekarno-Hatta
: Trifera Melaningrum
: B251100104


Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati B Sudarwanto
Ketua

Dr. drh. Hadri Latif, M.Si.
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si.

Tanggal Ujian : 07 Juni 2012

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


Tanggal Lulus : 23 Januari 2009

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Salawat dan
salam kita sampaikan kepada Junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang
membawa kita kedalam alam rahmah dan cahaya iman dan Islam. Amien.
Penelitian ini berjudul “Kajian Residu Beta Laktam dalam Susu Pasteurisasi
Impor dari Australia melalui Pelabuhan Udara Soekarno-Hatta” yang
dilaksanakan sejak bulan Januari sampai April 2012.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir. Hari
Priyono, M.Si. dan Ibu Ir. Banun Harpini M.Sc., yang memberikan dukungan
moril dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana. Terima kasih
dan penghargaan yang sebesar-besarnya juga penulis tujukan kepada Prof. Dr.
drh. Hj. Mirnawati B Sudarwanto dan Dr. drh. Hadri Latif, M.Si., selaku dosen
pembimbing yang dengan ketulusan dan kebesaran hati telah meluangkan waktu,
tenaga dan pikirannya sebagai pembimbing, ibu/bapak, dan sekaligus sahabat
dalam mendidik, mengarahkan dan memberikan masukan kepada penulis dari
awal hingga selesainya tesis ini. Penghargaan dan terima kasih penulis tujukan

pada Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si. selaku ketua program studi Kesehatan
Masyarakat Veteriner dan segenap staf pengajar program studi Kesmavet FKH
IPB atas bimbingan dan ilmu yang diberikan selama kami menyelesaikan
pendidikan di program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Dr. Ir. Eti Riyani yang bertindak sebagai moderator pada seminar hasil penelitian
dan Dr. drh. Trioso Purnawarman, MSi. yang bertindak sebagai penguji luar
komisi pada ujian tesis. Ucapan yang sama penulis tujukan pada bapak Agus
Haryanto, SE. yang telah membantu kelancaran selama studi, bapak Yuhendra dan
bapak Rahmat yang telah membantu dalam pengujian sampel penelitian.
Demikian juga atas dukungan fasilitas, kemudahan, dan sarana yang telah
diberikan maka tak lupa saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Dr. Ir. Antarjo Dikin, M.Sc. beserta staf di Laboratorium Balai Besar Uji Terap
Teknik dan Metode Karantina Pertanian Bekasi yang telah membantu dalam
pengujian sampel, Dr. Ir. Musyaffak Fauzi, SH, M.Si. dan segenap staf Balai
Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta yang telah membantu selama
pengumpulan sampel, drh. Agus Sunanto, MP. beserta staf Laboratorium di Balai
Besar Karantina Tanjung Priok atas ijin dan dukungannya kepada penulis selama
masa perkuliahan, serta drh. Adi Mardin dan segenap rekan kerja di Stasiun
Karantina Pertanian Kelas I Cilacap atas dukungannya kepada penulis selama

masa perkuliahan. Selain itu, ucapan terima kasih juga disampaikan pada drh. Uti
Ratnasari Herdiana, M.Si., drh. Arum kusnila Dewi, M.Si., drh. Anjar Maryati,
drh. Nuryani Triwijayanti, Riska Desitania S.Si., Dr. R. Widyastuti, Yuningsih
dan Yessi Anastasia, A.Md. yang membantu proses penelitian.
Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada rekanrekan teman sejawat Kelas Khusus Karantina Hewan (Gatot, Ary, Ijjah, Ali,
Donni, Hari, Platika, Helmi, AJ, Endah, Wulan, Fitri, Ama, dan Endang), tidak
lupa terima kasih kepada rekan-rekan S2 KMV regular dan tentunya masih

banyak lagi rekan-rekan yang telah turut membantu tapi tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Ungkapan syukur dan hormat juga penulis sampaikan kepada Papa dan Mama
di Pati, Bapak (alm) dan Ibu Mertua di Kebumen, kakakku Wati, adikku Anis,
serta keluarga besar eyang Soebakri atas semua dukungan selama menyelesaikan
kuliah ini. Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada
suamiku tercinta Amir atas dukungan, perhatian, kesabaran, cinta dan kasih
sayangnya, juga kepada kedua buah hatiku Fahrun Imana dan Faros Abdillah,
kalian bertiga adalah penyemangat hidupku.
Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, semoga Tuhan Yang Maha
Esa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Harapan penulis
semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi Badan Karantina serta

masyarakat veteriner Indonesia.

Bogor, Juni i2012
Trifera Melaningrum

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pati Jawa Tengah pada tanggal 30 Mei 1974 sebagai
anak ke-2 dari 3 (tiga) bersaudara dari ayah Sungkowo dan ibu Isniyati. Bersama
kedua saudara dididik dan dibesarkan dengan penuh kehangatan dan kasih sayang.
Penulis menempuh pendidikan Taman Kanak Kanak di Pertiwi Pati tahun
1980, Sekolah Dasar Negeri diselesaikan tahun 1986 di SD Pati Kidul I Pati,
Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Pati tahun 1989, Sekolah Menengah Atas
Negeri 2 Pati tahun 1992, Lulus Sarjana Kedokteran Hewan Universitas Gadjah
Mada tahun 1998 dan menjadi Dokter Hewan pada bulan Agustus 1999 di
Universitas yang sama. Pada tahun 2010 mendapat kesempatan untuk melanjutkan
studi S2 (Magister) di program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan dukungan biaya perkuliahan dari
DIPA Badan Karantina Pertanian, Kementrian Pertanian.
Setelah lulus dokter hewan, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil
di Stasiun Karantina Hewan Semarang dari tahun 2000 sampai dengan 2008. Pada
pertengahan tahun 2008 dipindah ke Stasiun Karantina Hewan Kelas I Cilacap
hingga saat ini.
Penulis menikah dengan Amir, SP, M.Sc. pada tanggal 29 Juni 2003 dan
telah dikaruniai dua orang anak laki-laki bernama Fahrun Imana dan Faros
Abdillah.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................

xix

DAFTAR GAMBAR ..............................................................................

xxi

PENDAHULUAN
Latar Belakang ...............................................................................
Tujuan ............................................................................................
Manfaat ..........................................................................................
Hipotesis ........................................................................................

1
2
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Susu Pasteurisasi ............................................................................
Antibiotika .....................................................................................
Penggunaan Antibiotika di Peternakan ..........................................
Residu Antibiotika dalam Susu .....................................................
Dampak Residu Antibiotika ..........................................................
Metode Pengujian Residu Antibiotika ...........................................

3
6
9
11
12
13

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................
Alat dan Bahan ..............................................................................
Rancangan Penelitian.....................................................................
Metode Penelitian ..........................................................................
Pengumpulan Sampel ...........................................................
Uji Pendahuluan ...................................................................
Bioassay ...............................................................................
Uji Konfirmasi (HPLC) .......................................................
Analisis Data .................................................................................

15
15
16
16
16
16
17
18
19

HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
Uji Pendahuluan.............................................................................
Bioassay ........................................................................................
Metode Konfirmasi (HPLC) .........................................................
Gambaran Residu Beta laktam dalam Susu Pasteurisasi………...

21
21
23
25
26

SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
Simpulan ........................................................................................
Saran .............................................................................................

29
29
29

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................

31

xvii

DAFTAR TABEL

Halaman
1. Suhu dan waktu pada proses pasteurisasi .............................................

4

2. Perbandingan komposisi susu segar dan pasteurisasi...........................

4

3. Syarat mutu susu segar .........................................................................

5

4. Spektrum aktifitas antibiotika ..............................................................

6

5. Aktifitas beberapa antibiotika ..............................................................

7

6. Waktu henti obat beberapa jenis antibiotika ........................................

12

7. Batas maksimum residu antibiotika dalam susu...................................

12

8. Hasil pemeriksaan dengan metode bioassay ........................................

24

xix

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Struktur kimia penisilin (ampisilin dan amoksilin) dan cephalosporin
(cephadroxil) .....................................................................................

8

2. Uji peroksidase ...................................................................................

22

3. Uji kekeruhan .....................................................................................

22

4. Uji bioassay ........................................................................................

24

5. Kromatogram HPLC ..........................................................................

25

xxi

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Susu merupakan bahan pangan asal hewan yang mempunyai nilai gizi baik
dan seimbang. Susu berkualitas baik haruslah aman, dan layak dikonsumsi.
Keberadaan residu antibiotika dalam susu menjadikan susu tidak aman
dikonsumsi karena dapat menimbulkan gangguan kesehatan.
Antibiotika telah digunakan secara luas, baik dalam lingkup kesehatan
manusia maupun kesehatan hewan. Masalah residu antibiotika dalam pangan asal
hewan berkaitan dengan penggunaan antibiotika yang tidak benar di lapangan.
Penggunaan antibiotika di peternakan antara lain untuk pengobatan, pencegahan
penyakit, dan sebagai pemacu pertumbuhan (growth promotor dalam pakan).
Beta laktam adalah antibiotika yang sering digunakan pada hewan karena
mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dengan cara merusak
dinding sel bakteri dan dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi pakan serta
pertumbuhan hewan ternak. Beta laktam sangat umum digunakan di peternakan
sapi perah, terutama untuk pengobatan mastitis. Penggunaan antibiotika, termasuk
beta laktam yang tidak memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time) akan
menyebabkan residu antibiotika pada produk hewan (Donkor et al. 2011).
Produk susu olahan, temasuk susu pasteurisasi mempunyai resiko
mengandung residu antibiotika. Resiko tersebut karena suhu pemanasan yang
digunakan dalam proses pengolahan tidak/ belum cukup untuk mengurangi residu
antibiotika dalam susu. Menurut hasil penelitian Sudarwanto et al. (1992) bahwa
32.52% susu pasteurisasi dan 31.10% susu segar di wilayah Jakarta, Bogor, dan
Bandung mengandung residu antibiotika dalam jumlah yang cukup tinggi, oleh
karena itu perlu dilakukan pengujian adanya residu antibiotika dalam susu
pasteurisasi agar aman dikonsumsi.
Karantina Pertanian merupakan satu diantara lembaga pemerintah yang
mempunyai tugas untuk menjamin keamanan pangan produk hewan impor. Belum
tersedianya data tentang keberadaan residu antibiotika dalam susu pasteurisasi

2

impor dari Australia menjadikan pengujian residu beta laktam perlu menjadi
prioritas untuk tindakan karantina terhadap produk olahan susu tersebut.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data keberadaan residu beta
laktam dalam susu pasteurisasi impor dari Australia melalui Pelabuhan Udara
Soekarno-Hatta.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah tersedianya data
keberadaan residu beta laktam pada susu pasteurisasi impor dari Australia yang
dapat dijadikan informasi ilmiah yang berguna bagi institusi terkait (Badan
Karantina Pertanian) dalam upaya penetapan kebijakan terkait pentingnya
pengujian residu beta laktam sebagai bagian tindakan karantina di tempat
pemasukan.
Hipotesis Penelitian
Dalam penelitian ini disusun hipotesis sebagai berikut:
H0 = Susu pasteurisasi impor dari Australia melalui Pelabuhan Udara
Soekarno-Hatta mengandung residu antibiotika beta laktam.
H1 = Susu pasteurisasi impor dari Australia melalui Pelabuhan Udara
Soekarno-Hatta tidak mengandung residu antibiotika beta laktam.

TINJAUAN PUSTAKA

Susu Pasteurisasi
Susu pasteurisasi merupakan minuman bergizi tinggi, khususnya karena
mengandung protein tinggi serta mempunyai aroma yang spesifik susu. Aroma
dan cita rasa susu sangat dipengaruhi oleh kadar laktosa susu (Syarief dan Halid
1997). Susu merupakan hasil utama pada usaha budidaya ternak perah. Hidayat
(2010) menyatakan, susu yang dihasilkan harus memenuhi syarat aman, sehat,
utuh, dan halal (ASUH). Untuk mendapatkan susu yang ASUH dibutuhkan
penanganan susu yang khusus karena zat gizi yang terkandung dalam susu
mendukung pertumbuhan mikroorganisme patogen dan apatogen. Akibat
tercemarnya oleh mikroorganisme, maka susu mudah rusak dan menjadi sumber
terjadinya foodborne disease. Foodborne disease adalah penyakit yang
disebabkan karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar oleh
mikroorganisme atau bahan kimia termasuk antibiotika (Gustiani 2009).
Susu pasteurisasi adalah susu yang telah mengalami proses pemanasan
sehingga mempunyai daya simpan lebih lama dibanding susu mentah disertai
musnahnya mikroorganisme patogen yang dapat mengganggu kesehatan
konsumen. Proses pasteurisasi berdasarkan rekomendasi Public Health Services
(PHS) Amerika Serikat tahun 1978 adalah proses pemanasan pada suhu dan waktu
tertentu seperti terlihat pada Tabel 1.
Menurut Food and Drug Assosiation (FDA 2011) susu pasteurisasi sesuai
ketentuan Pasteurization Marketing Ordinance (PMO) adalah pemanasan susu
dengan menggunakan suhu rendah-waktu lama (LTLT) yaitu pada suhu 63 °C
(145 °F) selama 30 menit atau dengan menggunakan suhu tinggi-waktu singkat
(HTST) yaitu pada suhu 72 °C (161 °F) selama 15 detik. Pasteurisasi merupakan
salah satu cara pengolahan susu dengan cara pemanasan untuk mempertahankan
mutu dan keamanan susu. Suhu pemanasan yang tidak terlalu tinggi menyebabkan
produk tetap mempunyai komposisi dan keadaan yang hampir sama dengan susu
segar namun daya tahannya lebih panjang (Silva dan Bibbs 2010).

4

Tabel 1 Suhu dan waktu pada proses pasteurisasi (Hubbert dan
Hagstad 1991)
Suhu
°C

°F

Waktu
(detik)

63

145

1800

72

161

15

89

191

1

90

194

0.5

94

201

0.1

96

204

0.05

100

212

0.01

138

286

2

Istilah umum
long time holding
high temperature short time (HTST)

ultra high temperatur (UHT)

Tujuan pasteurisasi selain untuk membunuh bakteri patogen dan non
patogen (Hobbs dan Robert 1987; Fardiaz 1989; Gaman dan Sherrington 1992),
juga untuk memperpanjang daya simpan susu. Kay (1962) menyatakan bahwa
penggunaan panas pada pasteurisasi tidak begitu menimbulkan perubahan pada
komposisi dan rasa susu sehingga masih seperti susu segar. Perbandingan
komposisi antara susu segar dan susu pasteurisasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Perbandingan komposisi susu segar dan susu pasteurisasi
(Muchtadi dan Sugiyono 1992)
Komposisi

Susu segar (%)

Susu pasteurisasi (%)

Air

87.25

87.31 – 88.61

Protein

3.50

2.73 – 2.90

Lemak

3.80

3.00 – 3.40

Laktosa

4.80

4.80 – 4.91

Mineral

0.65

0.16 – 0.18

Proses pasteurisasi yang diikuti langsung dengan pendinginan, daya simpan
produk akan lebih lama dengan mutu yang lebih baik (Frazier dan Westhoff
1988). Misalnya pada pemanasan 72 °C selama 15 detik dengan suhu
penyimpanan 1 sampai 2 °C, daya simpannya dapat mencapai 3 minggu,
sedangkan pada suhu penyimpanan 4 sampai 7 °C daya simpan susu pasteurisasi
hanya 1 sampai 2 minggu. Menurut Badan Standarisasi Nasional (BSN) pada SNI
tahun 1995 nomor 01-3951, proses pasteurisasi yang digunakan adalah minimum

5

pemanasan pada temperatur 63 oC – 66 oC selama 30 menit atau pada pemanasan
72 oC minimum selama 15 detik, kemudian segera didinginkan sampai 10 oC,
selanjutnya diperlakukan secara aseptis dan disimpan pada suhu maksimum 4 oC.
Tabel 3 memperlihatkan persyaratan susu segar berdasarkan Standar Nasional
Indonesia (SNI) nomor 3141.1:2011.
Tabel 3 Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 3141.1:2011
No.

Karakteristik

Syarat

1.

Berat jenis (pada suhu 27.5 °C) minimum

1.0270

2.

Kadar lemak minimum

3.0%

3.

Kadar bahan kering tanpa lemak minimum

7.8%

4.

Kadar protein minimum

2.8%

5.

Warna, bau, rasa dan kekentalan

tidak ada perubahan

6.

Derajat asam

6 - 7.5 °SH

7.

Uji alkohol (70%)

negatif

8.

Potensial hydrogen (pH)

6.3 - 6.75

9.

Cemaran mikroba maksimum:
- Total kuman
- Salmonella
- E. coli (patogen)
- Koliform

1 x 106 CFU/mL
negatif
negatif
1 x 103 CFU/mL

10.

Jumlah sel somatis maksimum

4 x 105 sel/mL

11.

Cemaran logam berbahaya, maksimum:
- Timbal (Pb)
- Merkuri (Hg)
- Arsen (As)

0.02 ppm
0.03 ppm
0.1 ppm

12.

Residu antibiotika (golongan laktam,
tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida)

negatif

13.

Uji pemalsuan

negatif

14.

Titik beku

-0.520 °C s/d -0.560 °C

15.

Uji peroksidase

positif

Cemaran mikroorganisme berbahaya dalam produk hewan asal ternak
dapat ditularkan ke manusia. Cemaran atau residu kimia seperti residu obat
(antibiotika dan hormon), residu pestisida, dan mikotoksin perlu juga diwaspadai.

6

Keberadaan residu antibiotika dalam produk hewan perlu mendapat perhatian
karena dapat menyebabkan terjadinya resistensi antibiotika (Bahri et al. 2002).

Antibiotika
Antibiotika merupakan suatu bahan atau zat yang diproduksi oleh bakteri
atau cendawan tertentu yang dapat digunakan untuk pengobatan terhadap infeksi
mikroorganisme terutama yang disebabkan oleh bakteri. Senyawa ini mampu
menghentikan proses pertumbuhan dari bakteri bahkan dapat membunuh bakteri
yang secara umum dikenal sebagai efek bakteriostatik dan bakterisidal (Bezoen
et al. 2000). Menurut Giguere (2006) antibiotika merupakan hasil intermediet atau
hasil akhir dari metabolisme mikroba. Antibiotika dapat diklasifikasikan atas
beberapa kategori. Secara umum dapat dibagi berdasarkan empat kategori yaitu
berdasarkan target mikroorganisme, aktifitas bakteri, kemampuan bakterisidal
atau bakteriostatik, serta waktu dan konsentrasi obat.
1) Target mikroorganisme
Antibiotika digambarkan sebagai spektrum sempit jika hanya menghambat
bakteri saja atau dikatakan berspektrum luas jika dapat menghambat mikoplasma,
riketsia dan klamidia. Spektrum aktifitas terhadap target mikroorganisme
dijelaskan pada Tabel 4.
Tabel 4 Spektrum aktifitas antibiotika (Giguere 2006)
Antibiotika
Bakteri Cendawan
Aminoglikosida
Beta laktam
Kloramfenicol
Fluoroquinolon
Linkosamid
Makrolida
Oksazolidion
Pleuromutilin
Tetrasiklin
Streptogramin
Sulfonamid
Trimetoprim

+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+

-

+/- : melawan beberapa protozoa

Kelas Mikroorganisme
Mikoplasma Riketsia
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

+
+
+
-

Klamidia Protozoa
+
+
+
+
+
+
+
-

+/+/+/+/+
+

7

2) Aktifitas antibakteri
Beberapa antibiotika dapat menghambat bakteri Gram negatif atau Gram
positif saja sehingga disebut memiliki aktifitas yang sempit, sedangkan antibiotika
dengan aktifitas spektrum luas memiliki kemampuan menghambat atau bekerja
pada bakteri Gram negatif dan positif. Definisi ini tidak sepenuhnya mutlak
karena beberapa jenis antibiotika dapat bekerja terhadap kedua kelompok bakteri
baik Gram positif maupun Gram negatif tetapi hanya menghambat beberapa jenis
bakteri dari keduanya. Aktifitas beberapa jenis antibiotika terhadap kelompok
dijelaskan dalam Tabel 5.
Tabel 5 Aktifitas beberapa antibiotika (Giguere 2006)
Spektrum
Sangat
luas
Cukup
luas
Sempit

+
(+)
+/-

Bakteri aerob

Bakteri anaerob

Gram +

Gram -

Gram +

Gram -

+

+

+

+

+
+
(+)
+

+
(+)
(+)
+/-

+
+
(+)
+

(+)
(+)
(+)
(+)

+

-

+

(+)

+
+/(+)
(+)
+

+/+
+
(+)
+
-

+
+
(+)

(+)
+
(+)

Contoh
karbapenem, kloramfenikol, generasi
ke 3 fluoroquinolon, glisilsilin
generasi ke 3 dan ke 4 sefalosporin
generasi ke 2 sefalosporin
Tetrasiklin
ampisilin, amoksisilin, generasi 1
sephalosporin
ampisilin, linkosamid, glikopeptida,
streptogramin, oksazolidion
makrolida
monobaktam, aminoglikosida
generasi 2 fluoroquinolon
trimetroprim sulfa
nitromidazol
rifamisin

aktifitas sangat baik
aktifitas cukup
aktifitas terbatas
tidak ada aktifitas atau diabaikan

3) Kemampuan bakterisidal dan bakteriostatik
Beberapa jenis antibiotika menghambat pertumbuhan bakteri pada suatu
konsentrasi, atau disebut konsentrasi penghambatan minimun ‘minimum
inhibitory concentration’ (MIC), namun membutuhkan konsentrasi yang lebih
tinggi untuk membunuh atau konsentrasi pembunuh minimum ‘minimum
bactericidal concentration’ (MBC). Pengelompokan antibiotika berdasarkan
kemampuannya menghambat atau membunuh bakteri dibagi menjadi dua yaitu

8

bakteriostatik dan bakteriosidal. Bakteriostatik adalah antibiotika yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri (kloramfenikol, tetrasiklin), sedangkan
bakteriostatik adalah antibiotika yang dapat membunuh bakteri (beta laktam,
aminoglikosida), hal ini tidak berlaku mutlak karena tergantung juga pada
konsentrasi obat dan jenis mikroba target. Salah satu contohnya adalah bennzyl
penicillin dari kelompok bakterisidal namun pada konsentrasi rendah bekerja
sebagai bakteriostatik.

4) Waktu dan konsentrasi obat
Antibiotika sering diklasifikasikan berdasarkan waktu aktifitas dan
konsentrasi obat yang tergantung pada farmakodinamika. Farmakodinamika obat
menggambarkan efek obat terhadap mikroorganisme. Farmakokinetika obat
menggambarkan konsentrasi obat dalam serum setelah proses absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi. Ketika digabungkan dengan nilai MIC dapat
diprediksi kemungkinan pemusnahan bakteri dan keberhasilan pengobatan.
Beberapa jenis antibiotika mampu meningkatkan efek bakterisidal jika dilakukan
penambahan konsentrasi. Beberapa jenis antibiotika juga membutuhkan waktu
cukup lama dan konsentrasi tinggi untuk dapat bekerja efektif seperti
fluoroquinolon dan aminoglikosida.

Antibiotika betalaktam

Gambar 1

Struktur kimia penisilin (ampisilin dan amoksisilin) dan
sefalosporin (sefadroxil).

9

Beta laktam adalah antibiotika tertua dan banyak digunakan di masyarakat
(Ghinidi et al. 2002). Antibiotika beta laktam seperti penisilin dan sefalosporin
banyak digunakan di lapangan (Shammipur et al. 2002), seperti pengobatan
mastitis (Riediker et al. 2004). Gambar 1 memperlihatkan cincin beta laktam dari
penisilin dan sefalosporin (Fagerquist dan Lightfield 2003).
Penisillin merupakan antibiotika yang efektif untuk bakteri Gram positif.
Senyawa ini sering digunakan sebagai obat pilihan utama untuk semua jenis
infeksi karena tidak menimbulkan efek samping yang toksik dan bersifat
bakterisidal (Olsom 2003). Menurut Gustavsson et al. (2002) walaupun terdapat
banyak jenis antibiotika dan kemoterapi yang digunakan untuk pengobatan infeksi
pada sapi perah, namun masalah utama industri susu adalah penisilin. Penisilin
tidak beracun tetapi untuk individu yang sensitif dapat menyebabkan alergi
(Grunwald dan Petz 2003).
Menurut

Admin

(2007),

absorbsi

penisilin

bisa

melalui

peroral,

intramuskular, intravena, intratrakheal, intrauteri dan intramammari. Pada keadaan
normal penisilin didistribusikan dengan cepat dari plasma darah ke dalam jaringan
tubuh. Pengukuran presentasi volume distribusi (apparent volume distribution/
AVD) sebesar 50% memperlihatkan cepat dan mudahnya distribusi penisilin ke
dalam jaringan. Melalui ginjal, penisilin diekskresikan dengan cepat yaitu
mencapai 60-80% dari obat yang dikonsumsi, sedangkan ekskresi melalui kelenjar
susu 16% dari yang ada di dalam plasma, hal ini menunjukkan bahwa penisilin
lebih banyak dieliminasi tubuh melalui ginjal daripada melalui susu.

Penggunaaan Antibiotika di Peternakan
Secara umum, diperkirakan 50% dari seluruh antibiotika digunakan untuk
keperluan di bidang kedokteran hewan (Teuber 2001). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika dalam dunia peternakan berkisar
antara 80% pada perunggasan, 75% pada peternakan babi, 60% pada peternakan
sapi potong, dan 75% antibiotika digunakan pada peternakan sapi perah
(Crawford dan Franco 1996). Aplikasi antibiotika pada sapi perah dapat dilakukan
melalui berbagai

rute

yang berbeda

yaitu mulut (peroral), intravena,

intramuskular, subkutaneus, intrauteri, dan intramamamari. Semua aplikasi

10

tersebut dapat memicu terjadinya residu antibiotika dalam susu (Mitchell et al.
1998). Sampai sekarang masih terdapat dilema, di satu sisi penggunaan antibiotika
sangat perlu akan tetapi di sisi lain berakibat buruk bagi kesehatan masyarakat
(Crawford dan Franco 1996).
Antibiotika sebagai obat yang paling banyak digunakan dalam peternakan,
secara umum diketahui mempunyai dua target tujuan dalam penggunaannya yaitu
sebagai agen terapeutik dan sebagai agen subterapeutik. Penggunaan antibiotika
sebagai agen terapeutik berfungsi untuk melakukan terapi terhadap kejadian
penyakit

sedangkan

penggunaan

sebagai

subterapeutik

bertujuan

untuk

meningkatkan produksi ternak dengan cara meningkatkan efisiensi makanan
untuk pertumbuhan dan melakukan modifikasi terhadap komposisi nutrisi dari
produk yang dihasilkan oleh ternak tersebut (CDUFA 1999).
Penggunaan antibiotika pada sapi laktasi akan menghasilkan residu di dalam
susu (NRA 2000). Antibiotika secara komersial banyak digunakan dalam industri
peternakan sebagai zat yang ditambahkan pada pakan hewan yang bertindak
sebagai agents growth promotors (AGPs) dan juga sebagai suatu zat yang
digunakan untuk kontrol dan pencegahan terjadinya penyakit. Cara kerja dari
AGPs ini belum diketahui secara pasti, akan tetapi secara umum diketahui bahwa
antibiotika yang berfungsi sebagai AGPs akan mengurangi keberadaan organisme
patogen dan mengurangi jumlah mikroorganisme yang bersaing dengan inang
dalam mendapatkan nutrisi. Fungsi lain antibiotika sebagai AGPs ialah
merangsang atau menghambat secara selektif pertumbuhan dari mikroorganisme
yang banyak menggunakan nutrisi inang untuk pertumbuhannya, namun menurut
Bambeke et al. (2000) penggunaan antibiotika sebagai bahan tambahan pakan
atau pangan akan menghasilkan masalah yang sulit dikendalikan.
Penggunaan antibiotika secara rasional seharusnya didasarkan atas
pengetahuan tentang struktur dan biokimia dari bakteri serta farmakodinamika dan
farmakokinetika dari obat-obatan tersebut. Suatu obat yang kurang efektif apabila
dipenetrasikan dengan baik dibandingkan dengan obat yang efektif tapi dengan
penetrasi yang kurang baik maka keduanya akan sama-sama gagal dalam upaya
pengobatan penyakit dan kemungkinan akan memicu perkembangan strain-strain
yang resisten terhadap obat tersebut (Abadi dan Less 2000).

11

Residu Antibiotika dalam Susu
Residu antibiotika adalah senyawa asal dan/atau metabolitnya yang terdapat
dalam jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari
antibiotika tersebut. Residu dalam bahan pangan meliputi senyawa asal yang tidak
berubah, metabolit dan/atau konjugat lain. Beberapa metabolit obat diketahui
bersifat kurang atau tidak toksik dibandingkan dengan senyawa asalnya, namun
beberapa metabolit bersifat lebih toksik (Lukman 2010).
Menurut Rahayu (2010), senyawa yang masuk ke dalam tubuh, akan
mengalami berbagai proses yang terdiri dari penyerapan (absorbsi), distribusi,
metabolisme, dan eliminasi. Kecepatan proses biologis tersebut tergantung pada
jenis, bentuk, cara masuk, dan metabolisme dari senyawa tersebut. Penyerapan
terjadi di dalam saluran pencernaan yang sebagian besar dilakukan oleh usus,
apabila bahan tersebut masuk melalui mulut. Senyawa asli maupun hasil
metabolismenya akan dibawa oleh darah dan akan didistribusikan ke seluruh
bagian tubuh setelah terjadi penyerapan. Metabolisme akan terjadi di dalam
organ-organ tubuh, kemudian dieliminasi oleh alat-alat ekskresi, terutama ginjal
dalam bentuk urin dan usus dalam bentuk feses.
Senyawa-senyawa dalam bentuk murni maupun metabolitnya akan
tertinggal atau tertahan di dalam jaringan untuk waktu tertentu tergantung pada
waktu henti senyawa tersebut atau metabolitnya. Kecepatan eliminasi obat pada
ternak yang sehat akan jauh lebih cepat daripada pada ternak yang sakit. Saat
keadaan tubuh lemah atau terdapat gangguan metabolisme, maka proses eliminasi
obat akan terganggu. Timbunan senyawa atau metabolitnya di dalam tubuh akan
terjadi apabila senyawa-senyawa tersebut diberikan dalam waktu yang lama
(Rahayu 2010).
Bishop (2005) menyatakan bahwa penggunaan obat-obatan dalam
menangani berbagai permasalahan kesehatan di peternakan dapat menyebabkan
terjadinya residu dalam susu dan mempengaruhi kualitas susu tersebut. Kehadiran
substansi antimikrobial dalam susu seperti residu antibiotika dapat mengakibatkan
masalah kesehatan yang serius. Hadirnya residu antibiotika dalam susu dapat
diakibatkan tidak diperhatikannya waktu henti obat (withdrawal time) dari

12

antibiotika tersebut. Waktu henti obat beberapa antibiotika disajikan dalam
Tabel 6.
Tabel 6 Waktu henti obat beberapa jenis antibiotika (Bishop 2005)
Withdrawal time (jam)

Jenis antibiotika
Penisilin G

96

Eritromisin

36

Tetrasiklin

72

Streptomisin

48
Dampak Residu Antibiotika

Residu antibiotika yang terdapat pada produk pangan asal hewan dapat
menyebabkan masalah kesehatan dalam tubuh manusia antara lain dapat
menimbulkan reaksi baik yang bersifat akut atau kronis (CDUFA 1999). Residu
antibiotika dalam pangan dapat menimbulkan dampak terhadap kesehatan
masyarakat bila dikonsumsi dalam waktu yang lama. Dampak tersebut dapat
berupa toksikologis (residu antibiotika bersifat racun terhadap hati, ginjal dan
pusat pembentukan darah), mikrobiologis (residu antibiotika akan mengganggu
keseimbangan

mikroflora

didalam

saluran

pencernaan

sehingga

dapat

mengganggu metabolisme tubuh), imunopatologis (yaitu residu antibiotika dapat
menjadi faktor pemicu timbulnya reaksi alergi dari yang bersifat ringan sampai
dengan berat dan bersifat fatal), dan menimbulkan gangguan pada sistem syaraf
serta kerusakan jaringan (Donkor et al. 2011). Batas maksimum residu antibiotika
dalam susu menurut SNI 01-6366-2000 (BSN 2000) disajikan dalam Tabel 7.
Tabel 7 Batas maksimum residu antibiotika dalam susu (SNI 01-6366-2000)
Jenis antibiotika

Batas maksimum residu

Penisilin G

0.10 IU/kg

Eritromisin

0.05 mg/kg

Tetrasiklin

0.10 mg/kg

Streptomisin

0.10 mg/kg

13

Metode Pengujian Residu Antibiotika
Metode pengujian residu antibiotika dapat berupa uji cepat (rapid test kit),
uji tapis/ screening test (bioassay dan ELISA) dan uji konfirmasi (HPLC). Begitu
banyak jenis uji yang ada, namun tidak ada satupun uji yang menjamin hasilnya
paling baik (Wehr dan Frank 2004).
Uji cepat merupakan metode pengujian residu antibiotika yang tidak
memakan waktu banyak dan mudah penggunaannya. Uji tapis pada umumnya
merupakan

uji

kualitatif

dan

semi

kuantitatif

yang

berfungsi

untuk

mengidentifikasi adanya residu antibiotika dengan cepat, mudah digunakan, dan
relatif tidak mahal.
Bioassay merupakan pengujian yang menggunakan mikroorganisme untuk
mendeteksi senyawa antibiotika yang masih aktif (BSN 2008). Menurut
Eenennaam et al. (1993), spesifisitas bioassay ditunjukkan dari tipe golongan
antibiotika yang dapat dideteksi dengan melihat hambatan pertumbuhan bakteri.
Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan uji tapis yang
memiliki sensitifitas tinggi, sederhana, dan mampu menguji banyak sampel hanya
dengan volume sampel yang sedikit (Wang et al. 2009).
High performance liquid chromatography (HPLC) adalah metode yang
sangat membantu dalam konfirmasi keberadaan residu antibiotika dalam pangan
asal hewan. Metode HPLC didasarkan pada reserved-phase chromatography dan
multisignal UV-visiblediode array detection (UV-VAD). Spektrum UV berperan
sebagai alat identifikasi tambahan (Husgen dan Schuster 2001). Metode HPLC
mampu mengkonfirmasi kehadiran dan mengidentifikasi jenis antibiotika dalam
susu.

14

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian diawali dengan pengambilan sampel susu pasteurisasi impor dari
Australia melalui Pelabuhan Udara Soekarno-Hatta. Pengujian dilakukan di Balai
Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian (BUTTMKP), Balai Pengujian
Mutu Produk Peternakan (BPMPP), dan Balai Besar Penelitian Veteriner
(BBalitvet).
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan April 2012.

Alat dan Bahan
Pengujian Pendahuluan
Bahan yang digunakan adalah susu pasteurisasi impor, H2O2 0.5%, HCl
paraphenilin diamine 2%, amonium sulfat jenuh (NH4)2SO4. Peralatan yang
diperlukan adalah tabung reaksi, rak tabung reaksi, timbangan, tabung erlenmeyer.
Pengujian Bioassay
Bahan yang digunakan adalah susu pasteurisasi impor, mikroorganisme
(Spora Bacillus stearothermophilus ATCC 7953), peptone (Difco 211677), yeast
extract (Difco 212750), bacto agar (Difco 214010), dextrose (Difco 215530),
natrium penisilin (Sigma P-7794), K2HPO4 (Merck 1.047831.000),

Na2HPO4

(Merck 1.065860.500), aquadest, kertas cakram steril (diameter 8 mm). Peralatan
yang diperlukan adalah cawan petri, tabung reaksi, tabung sentrifus, labu ukur,
gelas ukur, erlenmeyer, pipet volumetrik, pengocok tabung, magnet pengaduk, pH
meter, mikro pipet, jangka sorong, ose, dan pinset.
Pengujian HPLC
Bahan yang digunakan adalah susu pasteurisasi impor, aquades,
asetonitril, metanol, bufer fosfat (pH = 8.5), 0.05 mol/L: 8.7 g kalium fosfat
dilarutkan dalam 1000 mL aquades, larutan antibiotika standar (penisilin
1 mg/mL) dalam metanol, H2SO4 0.17 M, Sodium Tungstad 5%, NaCl, bufer
fosfat 0.2 M. Peralatan yang digunakan adalah sentrifus dingin, evaporator, HPLC

16

colum agilent ZORBAX Eclips Plus, 2.1 mm x 100 mm, 3.5 μm (p/n 59793-902),
dan HPLC dengan diode array detector (Agilent Technologies, Inc, USA).

Rancangan Penelitian
Sampel yang diuji adalah susu pasteurisasi impor dari Australia melalui
Pelabuhan Udara Soekarno-Hatta. Jumlah sampel yang diambil, dihitung dengan
menggunakan rumus deteksi penyakit (detect disease) (Martin et al. 1987).
n = [1- (1-a) 1/D] [N-(D-1)/2]
Keterangan :
N = Jumlah populasi
n = Ukuran sampel
a = Tingkat kepercayaan (95%)
D = Nilai dugaan populasi yang sakit (D=PxN, dengan asumsi P:5%)
Seluruh sampel diuji dengan menggunakan metode bioassay secara triplo.
Sampel yang menunjukkan hasil positif pada bioassay, dikonfirmasi dengan
metode HPLC.

Metode Penelitian
Pengumpulan Sampel
Pengambilan sampel untuk penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil
susu pasteurisasi secara acak sederhana. Susu pasteurisasi impor setiap
kedatangan diambil sebanyak 12 sampel, hingga jumlah sampel terpenuhi.
Sebelum diuji, sampel disimpan dalam lemari pendingin suhu -20 °C.
Uji Pendahuluan
Uji Storch merupakan uji kesempurnaan proses pasteurisasi. Reaksi positif
menunjukkan susu yang sudah mengalami pemanasan. Reaksi ini terjadi setelah
kedalam 5 mL sampel susu ditambahan 4 tetes H2O2 0.5% dan 2 tetes HCl
paraphenilin diamine 2%. Reaksi positif memperlihatkan warna putih (susu
pasteurisasi), sedangkan reaksi negatif memperlihatkan warna biru (susu mentah
atau mengandung 5% susu mentah).

17

Uji Aschaffenburg atau uji kekeruhan dilakukan untuk mengetahui apakah
susu telah mengalami proses pemanasan yang melebihi suhu pasteurisasi. Pada
20 mL sampel susu pasteurisasi ditambahkan 4 g amonium sulfat jenuh
(NH4)2SO4 dan dikocok. Kemudian campuran tersebut disaring ke dalam tabung
reaksi dan filtratnya dimasukkan dalam penangas air (mendidih) selama 5 menit.
Filtrat yang jernih menyatakan tidak ada albumin dalam susu dan susu tersebut
telah dipanaskan diatas titik didih susu (>100.16°C).
Uji Bioasay
Uji tapis untuk mendeteksi residu beta laktam dalam susu dilakukan dengan
menggunakan metode bioassay. Uji ini untuk mendeteksi adanya residu
antibiotika dengan cepat, mudah digunakan, dan relatif tidak mahal. Secara
umum, tahapan pengujiannya terdiri dari persiapan, pengujian, dan pembacaan
hasil. Persiapan, meliputi persiapan media agar, kultur media, larutan dapar, dan
larutan baku.
Persiapan media agar, sebanyak 5 g peptone, 12 g yeast extract, 15-18 g
bacto agar, 1 g dextrose, dilarutkan dalam 1000 mL aquadest, kemudian diukur
pada pH 5.7±0.1 dan dididihkan. Media disterilisasi menggunakan autoklaf pada
suhu 121 °C dengan tekanan 15 psi (pound per square inchi) selama 15 menit.
Persiapan kultur media. Bakteri Bacillus stearothermophilus ATCC 7953
diinokulasikan ke dalam agar miring dan diinkubasi pada suhu 55 °C selama
1 minggu. Bakteri yang telah ditumbuhkan tersebut dipanen dan dimasukkan ke
dalam tabung berisi larutan NaCl fisiologis steril 20 mL. Larutan kemudian
dipanaskan dalam penangas air pada suhu 65 °C selama 30 menit. Selanjutnya
disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit dan supernatan
(lapisan atas) dibuang. Kemudian ditambahkan NaCl fisiologis steril secukupnya
lalu dikocok. Selanjutnya, dimasukkan ke dalam refrigerator dengan suhu 4 °C
selama 18-24 jam. Larutan tersebut dipanaskan kembali dalam penangas air pada
suhu 65 °C selama 30 menit. Selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan
1 000 rpm selama 5 menit dan diambil supernatannya. Hasilnya disimpan dalam
refrigerator sebagai suspensi spora.

18

Pembuatan larutan dapar fosfat. Sebanyak 7 g K2HPO4, 6 g Na2HPO4,
dilarutkan dalam 1000 mL aquadest, kemudian larutan disterilisasi menggunakan
autoklaf pada suhu 121°C dengan tekanan 15 psi selama 15 menit.
Larutan baku untuk kontrol antibiotika. Standar penicillin ditimbang
kemudian diencerkan dengan larutan dapar dari konsentrasi 1 000 IU/mL hingga
0.01 IU/mL. Larutan dengan konsentrasi 0.01 IU/mL digunakan sebagai larutan
standar kerja.
Pengujian dengan bioassay. Sebanyak 10 mL sampel dimasukkan dalam
tabung reaksi. Sementara itu, kultur media disiapkan dengan menuangkan 8 mL
pada setiap cawan petri. Selanjutnya kertas cakram steril diletakkan di atas
permukaan kultur media. Tiap cawan petri berisi 5 buah kertas cakram, yang
terdiri dari 3 buah cakram yang masing-masing ditetesi 75 μL sampel yang akan
dianalisa, satu kertas ditetesi 75 μL larutan baku antibiotika 0.01 IU/mL sebagai
kontrol positif, dan satu kertas lagi ditetesi larutan dapar fosfat sebagai kontrol
negatif. Cawan petri ditutup dan diinkubasi pada suhu 55 °C selama 16-18 jam.
Pengujian sampel dilakukan dengan tiga kali pengulangan untuk mendapatkan
data yang akurat.
Pembacaan hasil dilakukan dengan mengamati dan mengukur diameter zona
hambatan yang terbentuk disekeliling kertas cakram menggunakan jangka sorong.
Sampel dinyatakan positif mengandung antibiotika apabila zona hambat yang
terbentuk ≥ 2 mm dari tepi kertas cakram. Sampel dinyatakan negatif apabila zona
hambat yang terbentuk 0 – 2 mm. Karena zona hambat yang terbentuk < 2 mm
dianggap akibat adanya natural inhibitor. Diameter zona hambatan pada kontrol
positif sebesar 20 ± 1 mm, sedangkan kontrol negatif tidak membentuk zona
hambat (SNI 2008).
Uji Konfirmasi (HPLC)
Uji konfirmasi untuk mendeteksi residu beta laktam dalam susu pasteurisasi
dilakukan dengan menggunakan HPLC. Metode ini didasarkan pada reservedphase chromatography dan multisignal UV-visiblediode-aray detection (UVDAD). Spektrum UV berperan sebagai alat identifikasi tambahan (Husgen dan
Schuster 2001). Alat HPLC diatur pada kolom 15 cm x 3.9 mm, kecepatan aliran

19

0.8 mL/menit, fase gerak (A: aquades/10 mM amonium asetat dan B: asetonitril),
run time 12 menit, jeda 3 menit, suhu 180 °C, injeksi 50 μL.
Tahap persiapan: 5 mL susu dimasukkan dalam tabung sentrifus yang
mempunyai tutup, ditambahkan 25 mL aquadest dan 4 mL H2SO4 0.17 M serta 4
mL Sodium Tungstad 5%, dihomogenkan selama 2 menit kemudian disentrifus
dengan kecepatan 3.000 rpm selama 10 menit. Larutan supernatant dipisahkan
dari residunya kemudian ditambahkan 10 mL NaCl 20% pada filtratnya.
Tahap pemurnian, yaitu ke dalam kartrid C18 dialirkan perlahan-lahan
10 mL metanol, 10 mL aquades, 10 mL NaCl 2%. Kemudian dialirkan sampel.
Bilas kartrid C18 dengan mengalirkan 10 mL NaCl 2% dan 10 mL aquades.
Selanjutnya sampel di-elusi dengan 3 mL bufer fosfat 0.2 M dalam
asetonitril (pelarut elusi penisilin). Hasil elutan kemudian dipindahkan ke dalam
aliran gas nitrogen sampai kering. Residu disuspensikan kembali dengan 10 mL
fase gerak (asetonitril 0.1%), kemudian divortex selama 2 menit dan dipindahkan
ke dalam vial 2 mL untuk dimasukkan dalam alat HPLC.
Hasil dari pengujian dengan HPLC ditampilkan dalam bentuk kromatogram.
Waktu dan volume retensi pada setiap senyawa ditunjukkan dengan munculnya
beberapa puncak. Uji kualitatif dilakukan dengan mencocokkan waktu retensi
masing-masing puncak pada kromatogram sampel dengan waktu retensi senyawa
standar. Lebar dan tinggi puncak digunakan untuk menentukan besarnya
konsentrasi diukur secara otomatis oleh alat pengolah data.

Analissis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif
dengan menyajikan data dalam bentuk tabel dan gambar.

20

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perhitungan sampel berdasarkan jumlah susu pasteurisasi yang diimpor dari
Australia pada tahun 2011 yaitu 39 570.90 kg, sehingga jumlah sampel yang diuji
dalam penelitian ini sebanyak 59 dan digenapkan menjadi 60. Pengambilan
sampel diperoleh secara bertahap yaitu 12 sampel pada setiap importasi/
kedatangan. Sebelum diuji, setiap sampel susu dibagi menjadi 3 bagian untuk
selanjutnya disimpan dalam suhu beku -20 °C. Pembagian sampel menjadi
3 bagian diperuntukkan 2 jenis pengujian yaitu uji bioassay dan HPLC serta
1 bagian sebagai arsip. Sebelum dilakukan pengujian residu antibiotika, sampel
susu terlebih dahulu diuji kesempurnaan pasteurisasi (uji Storch) dan diuji
terhadap pemanasan sterilisasi (uji Aschaffenburg). Uji pendahuluan ini untuk
memastikan bahwa susu yang diperiksa adalah susu pasteurisasi dan jenis
pasteurisasinya.

Uji Pendahuluan
Uji Storch, dimaksudkan untuk mengetahui kesempurnaan proses
pasteurisasi. Menurut Rahman et al. (1992) enzim peroksidase adalah enzim yang
ditemukan pada susu mentah dan mudah rusak oleh proses pemanasan. Susu yang
tidak mengalami pemanasan dengan sempurna atau masih mengandung 5% susu
mentah menunjukkan perubahan warna menjadi biru (Gambar 2). Pada uji ini,
seluruh sampel susu menunjukkan warna putih yang artinya seluruh sampel
adalah susu yang sudah dipanaskan/ pasteurisasi dengan sempurna. Reaksi ini
menunjukkan bahwa kemungkinan susu pasteurisasi yang digunakan sebagai
sampel dipanaskan pada suhu tinggi dalam waktu singkat (HTST) yang akan
menginaktifkan enzim peroksidase. Proses pasteurisasi pada pemanasan dengan
suhu 85 oC selama 8 detik (Rahman