Analysis of Zeranol Residue in Imported Meat from Australia and New Zealand through the Port of Tanjung Priok

ANALISIS RESIDU ZERANOL DALAM DAGING SAPI YANG
DIIMPOR DARI AUSTRALIA DAN SELANDIA BARU
MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK

SITI KHADIJAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Residu Zeranol dalam
Daging Sapi yang Diimpor dari Australia dan Selandia Baru melalui Pelabuhan
Tanjung Priok adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor,

Juni 2012

Siti Khadijah
NIM B25100174

ABSTRACT
SITI KHADIJAH. Analysis of Zeranol Residue in Imported Meat from Australia
and New Zealand through the Port of Tanjung Priok. Under direction of HADRI
LATIF and A. WINNY SANJAYA
Zeranol is one of the hormone growth promotants which is a synthetic
derivative product from mycotoxin and could affect human health. The objective
of this research was to analyze the presence of zeranol residue in imported meat
from Australia and New Zealand. All of the meat samples were detected by
enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). The result showed that 5 of 59
(8.5%) samples from Australia and 1 of 59 (1.7%) samples from New Zealand
contained zeranol residue, with a mean concentration of 0.644±0.157 ppb and
0.680±0.00 ppb, respectively. There were no significant difference concentration
of zeranol residue in imported meat from both countries (p>0.05). The result

indicated that the concentration of zeranol residue was below the maximum
residue limit (MRL) which was established by the National Standardization
Agency of Indonesia (SNI No. 01-6366-2000).
Keywords: zeranol, residue, imported meat, ELISA.

RINGKASAN
SITI KHADIJAH. Analisis Residu Zeranol dalam Daging Sapi yang Diimpor dari
Australia dan Selandia Baru Melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Dibimbing oleh
HADRI LATIF dan A. WINNY SANJAYA.
Kebutuhan daging di Indonesia saat ini terpenuhi dari pemotongan sapi
lokal, sapi bakalan, serta importasi daging dari empat negara, yaitu Amerika
Serikat, Australia, Kanada, dan Selandia Baru. Australia merupakan produser
terbesar dalam pemenuhan daging dan ternak di Indonesia. Hampir 40% peternak
di Australia dan Selandia Baru menambahkan senyawa-senyawa kimia melalui
pakan ternaknya atau menggunakan hormon pertumbuhan untuk meningkatkan
pertumbuhan dan efisiensi pakan. Penggunaan hormon pertumbuhan ini dapat
memperbaiki peningkatan berat badan harian sekitar 10-30%, efisiensi pakan 515%, dan mengurangi lemak karkas 5-8%. Kondisi ini dapat memberikan
keuntungan rata-rata $35.00-$80.00 per ekor dibandingkan dengan ternak yang
tidak diberi hormon pertumbuhan.
Hormon pertumbuhan yang digunakan berupa hormon alami dan sintetik.

Hormon alami yang digunakan adalah testosteron, estradiol-17β, dan progesteron,
sedangkan hormon sintetik adalah trenbolon asetat (TBA), zeranol dan
melengestrol asetat (MGA). Hormon pertumbuhan digunakan di Australia sejak
tahun 1979. Hormon estrogen, termasuk zeranol, merupakan hormon
pertumbuhan utama yang digunakan di Australia dan sejak tahun 1972 Selandia
Baru sudah menggunakan zeranol sebagai pemacu pertumbuhan ternaknya.
Zeranol merupakan hormon sintetik, non-steroid, resorcylic acid lactones yang
mempunyai efek estrogenik. Zeranol adalah hasil metabolit dari mycoestrogen
zearalenon yang dikultur dari Gibberella zea (Fusarium graminearum).
Penggunaan zeranol di peternakan menimbulkan kekhawatiran terhadap
adanya residu zeranol akibat penggunaan yang tidak sesuai dengan aturan
pemakaian. Di Indonesia belum ada peraturan yang mewajibkan pencantuman
pemeriksaan dan pengujian residu hormon di tempat pemasukan daging sapi
impor. Residu zeranol yang melebihi maximum residue limit (MRL) dapat
membahayakan kesehatan konsumen, untuk itu diperlukan suatu pengujian
sebagai langkah pengawasan bahan pangan dalam rangka menjamin keamanan
daging sapi yang diimpor. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan
membandingkan kandungan residu zeranol dalam daging yang diimpor dari
Australia dan Selandia Baru.
Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara acak sederhana

terhadap daging tanpa tulang yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru pada
setiap kedatangan sampai jumlah sampel terpenuhi. Sampel yang diambil adalah
sampel yang masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Jumlah sampel tersebut
dihitung dengan menggunakan rumus detect disease dan didapatkan jumlah
sampel sebesar 59 box daging sapi untuk masing-masing negara.
Hasil pengujian ELISA pada penelitian ini menunjukkan hasil positif.
Sebanyak 5 dari 59 sampel (8.5%) daging dari Australia mengandung zeranol
dengan rataan konsentrasi sebesar 0.644 part per billion (ppb) dan 1 dari 59
sampel (1.7%) daging dari Selandia Baru positif mengandung residu zeranol

dengan rataan konsentrasi 0.680 ppb. Hasil ini menunjukkan penggunaan zeranol
di Australia lebih banyak dibandingkan di Selandia Baru.
Analisis dengan uji t untuk mengetahui perbedaan konsentrasi zeranol yang
didapat dari hasil ELISA dalam daging dari Australia dan Selandia Baru
menunjukkan angka yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Meskipun jumlah sampel
yang positif dalam daging yang diimpor dari Australia menunjukkan angka yang
lebih besar dibandingkan dengan Selandia Baru. Seluruh sampel yang positif dari
kedua negara konsentrasinya di bawah nilai MRL yang ditetapkan dalam SNI No.
01-6366-2000 yaitu 2 ppb.
Kata kunci: zeranol, residu, daging sapi impor, ELISA


© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

ANALISIS RESIDU ZERANOL DALAM DAGING SAPI YANG
DIIMPOR DARI AUSTRALIA DAN SELANDIA BARU
MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK

SITI KHADIJAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. drh. Mirnawati B. Sudarwanto

Judul Tesis
Nama
NRP

: Analisis Residu Zeranol dalam Daging Sapi yang Diimpor
dari Australia dan Selandia Baru melalui Pelabuhan
Tanjung Priok
: Siti Khadijah
: B 251100174

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS.
Anggota

Dr. drh. Hadri Latif, M.Si.
Ketua

Diketahui :

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian:


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat
dan hidayahNya sehingga penulisan karya ilmiah ini selesai pada waktunya. Tema
yang dipilih dalam penelitian ini adalah Analisis Residu Zeranol dalam Daging
Sapi yang Diimpor dari Australia dan Selandia Baru melalui Pelabuhan Tanjung
Priok. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Maret 2012.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan pada Dr. drh. Hadri Latif, M.Si dan
Prof. Dr. drh. A. Winny S, MS selaku komisi pembimbing, serta Prof. Dr. drh.
Mirnawati B. Sudarwanto selaku penguji luar komisi pada ujian tesis. Tak lupa
juga kepada Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si, Dr. Ir Etih Sudarnika, M.Si
dan seluruh staf pengajar dan staf penunjang bagian Kesehatan Masyarakat
Veteriner, Kepala Badan Karantina Pertanian, Kepala Balai Besar Karantina
Pertanian Tanjung Priok dan seluruh staf laboratorium Balai Besar Karantina
Pertanian Tanjung Priok, Kepala Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Mamuju,
Dr. drh. Kisman A. R., Dr. drh. Sriyanto, atas bantuan serta fasilitas yang
diberikan selama studi dan penelitian ini dilaksanakan. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan pada tetta, mama, seluruh keluarga, serta teman-teman KMV 15

angkatan kedua, dan pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas doa,
dukungan, dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat, baik untuk Karantina Hewan,
maupun untuk masyarakat umum.
Bogor, Juni 2012
Siti Khadijah

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya, tanggal 18 Maret 1980 dari ayah Drs. H.
Ambo Dalle dan ibu H. Siti Aminah. Penulis merupakan anak kelima dari enam
bersaudara.
Penulis lulus dari SMA Negeri 7 Surabaya tahun 1998 dan pada tahun
yang sama lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru di Universitas Airlangga
Surabaya dan memilih Fakultas Kedokteran Hewan. Tahun 2003 penulis meraih
gelar Sarjana Kedokteran Hewan, melanjutkan studi Program Pendidikan Profesi
Dokter Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga dan lulus
pada tahun 2004 dengan gelar dokter hewan (drh).
Penulis bekerja sebagai Medik Veteriner di Stasiun Karantina Hewan
Kelas I Parepare tahun 2006 dan pindah ke Stasiun Karantina Pertanian Kelas II
Mamuju tahun 2007 sampai sekarang.

Beasiswa dan ijin belajar untuk melanjutkan studi magister sains di
program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor diberikan oleh Badan Karantina Pertanian tahun 2010 dan penulis dipindah
tugaskan sementara di Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok hingga
masa studi berakhir.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
PENDAHULUAN
Latar Belakang .................................................................................
Rumusan Masalah
..........................................................................
Tujuan Penelitian ............................................................................
Manfaat Penelitian
..........................................................................
Hipotesis Penelitian
........................................................................


xix
xxi
xxiii
1
4
4
4
5

TINJAUAN PUSTAKA
Daging .............................................................................................
Hormon
..........................................................................................
Residu Hormon
...............................................................................
Penggunaan Hormon Pertumbuhan
..............................................
Zeranol .............................................................................................
Residu dan Metabolit Zeranol
.......................................................
Toksisitas Zeranol
..........................................................................
Metode Deteksi Residu Zeranol
.....................................................

7
8
9
10
11
13
15
17

MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
.......................................................
Alat dan Bahan Penelitian
..............................................................
Rancangan Penelitian
.....................................................................
Persiapan Sampel
..........................................................................
Prosedur Pengujian
........................................................................
Analisis Data
.................................................................................

19
19
19
20
21
21

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Residu Zeranol dengan ELISA
....................................
Residu Zeranol dalam Daging yang Diimpor dari Australia
..........
Residu Zeranol dalam Daging yang Diimpor dari Selandia Baru ..
Perbandingan Kandungan Residu Zeranol dalam Daging yang
Diimpor dari Australia dan Selandia Baru
..................................
SIMPULAN DAN SARAN

27

.....................................................................

35

...............................................................................

37

.............................................................................................

43

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

23
24
26

xvii

xviii

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Frekuensi dan jumlah daging impor yang dilalulintaskan melalui
Pelabuhan Tanjung Priok .....................................................................

2

2

Batas maksimum residu zeranol pada daging dan beberapa offal ........

14

3

Metode penentuan konsentrasi zeranol pada daging

............................

17

4

Perhitungan jumlah sampel daging yang diimpor dari Australia
dan Selandia Baru .................................................................................

20

5

Hasil pengujian zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia

...

25

6

Hasil pengujian zeranol dalam daging yang diimpor dari Selandia Baru

26

7

Perbandingan kandungan zeranol dalam daging yang diimpor dari
Australia dan Selandia Baru ................................................................

27

Maximum permissible levels (MPL) zeranol di Selandia Baru

30

8

..........

xix

xx

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Struktur kimia zeranol ……....................................................................

12

2 Struktur kimia zearalanon

.....................................................................

12

3 Struktur kimia taleranol ..........................................................................

12

4 Struktur kimia zearalenon

16

.....................................................................

5 Standar kurva ELISA untuk zeranol

.....................................................

23

xxi

xxii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Data sampel dan negara pengimpor daging

...............................................

45

.…....

47

2 Hasil pengujian zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia

3 Hasil pengujian zeranol dalam daging yang diimpor dari Selandia Baru

49

4 Pengambilan sampel ..................................................................................

51

5 Preparasi sampel .......................................................................................

52

6 Hasil residu zeranol ....................................................................................

53

7 Pengujian zeranol

54

......................................................................................

xxiii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daging sapi merupakan jenis makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat
Indonesia sebagai asupan gizi. Daging merupakan komoditi yang cukup tinggi
permintaannya, seiring dengan meningkatnya pendapatan dan taraf kesejahteraan
hidup masyarakat (Ditkesmavet 2010a). Kebutuhan daging di Indonesia saat ini
terpenuhi dari pemotongan sapi lokal dan sapi bakalan serta importasi daging
beku dari empat negara yaitu Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Selandia
Baru.
Penyediaan daging sapi dari pemotongan sapi lokal masih berfluktuasi.
Tahun 2005 sampai dengan 2006 penyediaan daging sapi tersebut mengalami
peningkatan sebesar 19.2%, lalu terjadi penurunan pada tahun 2007 sebesar 18.8%
selanjutnya mengalami peningkatan rata-rata sebesar 9.1% sampai tahun 2009.
Sebaliknya impor daging mengalami peningkatan rata-rata sebesar 10.6% dalam
kurun waktu 3 tahun (2005-2008), tetapi mengalami penurunan sebesar 1% pada
tahun 2009 dan tahun 2010 mengalami peningkatan kembali sebesar 71.42%
(Ditjennak 2010).
Australia merupakan produser terbesar dalam pemenuhan daging dan ternak
dunia. Setiap tahun lebih dari 2 juta ekor sapi dan 14 juta ekor domba dijual di
pasar ternak, serta penyembelihan setiap minggu sekitar 133 000 sapi dan 308 600
domba (Desmarchelier et al. 2007). Data dari Meat and Livestock Australia
(MLA) pada tahun 2012 menunjukkan ekspor daging sapi beku Australia ke Asia
mencapai angka 1 175 951 kg dan offal sebanyak 656 012 kg. Hampir 40%
peternak di Australia dan Selandia Baru menambahkan senyawa-senyawa kimia
melalui pakan ternaknya atau menggunakan hormon pertumbuhan untuk
meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan (Zhong et al. 2011; MLA 2012).
Sebanyak 95% peternakan di empat negara pengekspor daging sapi ke
Indonesia masih menggunakan hormon pertumbuhan. Di Australia, hormon
pertumbuhan yang digunakan adalah estrogen, testosteron, progesteron, trenbolon
asetat (TBA), dan zeranol. Penggunaan hormon pertumbuhan ini dapat
memperbaiki peningkatan berat badan harian sekitar 10-30%, efisiensi pakan 5-

2
15%, dan mengurangi lemak karkas 5-8%. Kondisi ini dapat memberikan
keuntungan rata-rata $35.00-$80.00 per-ekor dibandingkan dengan ternak yang
tidak diberi hormon pertumbuhan (Partridge 2010). Hormon pertumbuhan yang
digunakan berupa hormon alami dan sintetik. Hormon alami yang digunakan
adalah testosteron, estradiol-17β, dan progesteron, sedangkan hormon sintetik
adalah trenbolon asetat (TBA), zeranol, dan melengestrol asetat (MGA) (Toews
dan McEwen 1994). Hormon pertumbuhan digunakan di Australia sejak tahun
1979. Hormon estrogen, termasuk zeranol merupakan hormon pertumbuhan
utama yang digunakan di Australia dan sejak tahun 1972, Selandia Baru sudah
menggunakan zeranol sebagai pemacu pertumbuhan ternaknya (McNerney 1985).
Hal ini seharusnya menjadi perhatian Indonesia karena dikhawatirkan masih ada
residu zeranol dalam daging sapi yang diimpor Australia dan Selandia Baru.
Daging impor ini sebagian besar masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok.
Frekuensi dan jumlah daging impor yang dilalulintaskan melalui Pelabuhan
Tanjung Priok berdasarkan laporan tahunan Balai Besar Karantina Pertanian
(BBKP) Tanjung Priok tahun 2012 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Frekuensi dan jumlah daging impor yang dilalulintaskan melalui
Pelabuhan Tanjung Priok
Tahun 2009
Negara asal

Jumlah
(kg)

Tahun 2010

Frekuensi
(kali)

Jumlah
(kg)

Tahun 2011

Frekuensi
(kali)

Jumlah
(kg)

Frekuensi
(kali)

Amerika Serikat
Australia
Kanada

214 478
53 865 663
503 193

28
6 366
21

4 837 831
55 415 399
355 765

370
7 706
15

8 843 398.00
45 144 415.85
198 581.00

562
7 119
18

Selandia Baru

28 329 265

5 981

38 672 695

8 463

26 824 483.23

4 699

Total

82 912 599

12 396

99 281 690

16 554

1 178 860 130.00

12 398

Sumber: Laporan tahunan BBKP Tanjung Priok (2012)

Zeranol merupakan senyawa yang telah digunakan selama lebih dari 50
tahun. Hormon sintetik ini dapat meningkatkan berat badan, memperbaiki
efisiensi pakan, dan menurunkan kandungan lemak daging (Solomon 2001).
Menurut Yuri et al. (2006), residu zeranol dapat mengubah ekspresi gen pengatur
reseptor estrogen pada sel kultur normal dan sel kanker payudara, meskipun

3
hormon ini ada dalam konsentrasi rendah yang dapat menimbulkan gangguan
pada kesehatan konsumen.
Lamming (1987) menyatakan bahwa zeranol memiliki aktivitas estrogen
dan mempunyai kemampuan dalam mengikat reseptor estrogen telah terbukti
sampai 20% dari aktivitas E2-17β dengan zearalenon dan taleranol sebagai hasil
metabolitnya, dimana metabolit ini mempunyai aktivitas yang lebih rendah
daripada zeranol. Menurut Le Guevel dan Pakdel (2001), potensi dari zeranol
dapat digambarkan dengan menggunakan sel rekombinan manusia Ishikawa Cell
Line, yang menunjukkan ekspresi reseptor estrogen dan kejadian kanker rahim.
Larangan penggunaan hormon dalam perdagangan internasional dikeluarkan
untuk melindungi konsumen dan telah diikuti oleh negara Belanda (1961), Belgia
(1962), dan oleh negara Uni Eropa (1988). Negara-negara seperti Amerika
Serikat, Australia, Kanada, dan Selandia Baru masih mengijinkan digunakan
hormon pertumbuhan. Demikian pula β-agonis di Amerika Serikat (seperti
ractopamin) juga masih digunakan, meskipun telah dilarang di banyak negara
(Stephany 2010).
Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 513.a/Kpts/OT.210/L/
12/2008 tentang Manual Pengujian Residu Hormon pada Pangan Segar Asal
Hewan menyatakan bahwa penggunaan hormon pertumbuhan pada hewan ternak
dilarang sejak tahun 1983. Terapi hormon hanya boleh dipakai pada keadaan
adanya gangguan reproduksi di bawah pengawasan dokter hewan, termasuk
pengawasan masa henti obat (withdrawal time). Peraturan ini menyebutkan bahwa
saat ini hanya diizinkan penggunaan hormon yang bersifat alami saja (Barantan
2008).
Keamanan penggunaan zeranol telah lama diperdebatkan. Uni Eropa telah
melarang penggunaan zeranol sejak tahun 1989 dengan Undang-undang Nomor
96/22/EC dan 96/23/EC. Waktu henti obat sebelum pemotongan yang harus
dipatuhi oleh negara pengguna zeranol adalah 60-70 hari setelah implantasi dan
harus terus dilakukan monitoring di peternakan (Pregel et al. 2007). Menurut
Zhong et al. (2011), daging sapi yang mengandung residu zeranol ataupun
metabolitnya, jika dikonsumsi manusia akan dapat menyebabkan resiko kanker

4
payudara karena dapat berikatan dengan active site dari reseptor estrogen (ERα
dan ERβ) dan mengubah sel epitel payudara normal.
Keamanan pangan yang merupakan hal mutlak dan merupakan tanggung
jawab bersama, seperti yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun
1996 tentang Pangan. Upaya yang dapat ditempuh dalam menjamin keamanan
pangan termasuk kemungkinan adanya residu hormon dalam daging adalah
dengan melakukan pengujian residu hormon di tempat pemasukan daging impor
sehingga dapat menjamin daging sapi impor aman untuk dikonsumsi.

Rumusan Masalah
Kebutuhan daging dalam negeri yang besar sebagian dipenuhi dengan
importasi terutama dari Australia dan Selandia Baru. Kedua negara pengekspor
daging tersebut masih menggunakan hormon pertumbuhan pada peternakannya
termasuk zeranol yang merupakan hormon estrogen pemacu pertumbuhan utama
di kedua negara tersebut.
Penggunaan zeranol di peternakan menimbulkan kekhawatiran adanya
residu zeranol akibat penggunaan yang tidak sesuai dengan aturan pemakaian.
Indonesia

belum

mempunyai peraturan yang

mewajibkan pencantuman

pemeriksaan dan pengujian residu hormon di tempat pemasukan terhadap daging
sapi yang diimpor.
Residu zeranol yang melebihi maximum residu limit (MRL) dapat
membahayakan kesehatan konsumen sehingga diperlukan suatu pengujian sebagai
langkah pengawasan bahan pangan dalam rangka menjamin keamanan daging
sapi yang diimpor.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mendeteksi dan membandingkan kandungan
residu zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah tersedianya data dan informasi mengenai
kandungan zeranol dalam daging sapi yang diimpor dari Australia dan Selandia

5
Baru, serta sebagai bahan masukan untuk menerapkan pengujian di tempat
pemasukan sebagai pengawasan keamanan pangan.

Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah
1.

H0: tidak ditemukan adanya residu zeranol dalam daging yang diimpor dari
Australia dan Selandia Baru.
H1: ditemukan adanya residu zeranol dalam daging yang diimpor dari
Australia dan Selandia Baru.

2.

H0: tidak ada perbedaan kandungan residu zeranol dalam daging yang
diimpor dari Australia dan Selandia Baru.
H1: ada perbedaan kandungan residu zeranol dalam daging yang diimpor
dari Australia dan Selandia Baru.

TINJAUAN PUSTAKA
Daging
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil
pengolahan jaringan-jaringan yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan
gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Komponen utama penyusun daging
adalah otot. Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena
fungsi fisiologisnya berhenti. Daging juga tersusun dari jaringan ikat, epitelial,
jaringan saraf, pembuluh darah, dan lemak (Soeparno 2005). Offal adalah seluruh
bagian tubuh hewan yang disembelih secara halal dan higienis selain karkas yang
terdiri dari organ-organ di rongga dada dan rongga perut, kepala, ekor, kaki mulai
dari tarsus/karpus ke bawah, ambing, dan alat reproduksi (Lukman et al. 2007).
Menurut Lawrie (2003), yang dimaksud daging adalah daging hewan yang
digunakan sebagai makanan dan dalam praktiknya diperluas dengan memasukkan
organ-organ, seperti hati dan ginjal, otot, dan jaringan lain yang dapat dimakan di
samping urat daging.
Daging merupakan sumber asam amino essensial dan mineral. Komposisi
kimia daging terdiri dari air sekitar 75%, protein 19%, lemak 2.5%, nitrogen
terlarut non protein 1.65%, dan bahan-bahan anorganik 0.65% (Lawrie 2003).
Komposisi ini bervariasi di antara spesies, bangsa, atau individu ternak, dan
dipengaruhi oleh faktor genetika dan lingkungan, termasuk didalamnya faktor
nutrisi. Nilai kalori daging banyak ditentukan oleh kandungan lemak intraseluler
di dalam serabut-serabut otot yang disebut lemak marbling (Soeparno 2005).
Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa implantasi hormon yang
diberikan pada ternak akan menurunkan lemak marbling sekitar 4-7%. Hal ini
disebabkan oleh efek dari pemberian hormon pertumbuhan dalam meningkatkan
deposisi protein dan tidak berefek pada disposisi lemak (Hunter et al. 2001).
Daging yang banyak dikonsumsi di Indonesia adalah daging sapi, daging
domba, daging babi, daging kambing, dan daging unggas. Daging unggas yang
sering dikonsumsi adalah daging ayam. Daging lainnya adalah daging yang
berasal dari hewan-hewan liar, seperti kijang atau babi hutan. Demikian pula
dengan daging yang berasal dari organisme yang hidup di air yang paling banyak

8
dikonsumsi adalah daging ikan, udang, kepiting, dan kerang (Soeparno 2005).
Sebagian besar daging yang dikonsumsi di Inggris berasal dari daging domba,
sapi, dan babi. Masyarakat Eropa juga mengkonsumsi daging kuda, kerbau, dan
rusa (Lawrie 2003).
Pertumbuhan dan perkembangan ternak pedaging dapat distimulasi dengan
perlakuan hormon dari kelenjar pituitari, terutama hormon pertumbuhan
(somatotropin) dan hormon-hormon kelamin. Salah satu pengaruh implantasi
hormon terhadap komposisi karkas adalah peningkatan proporsi daging dan
menurunkan lemak (Soeparno 2005). Penggunaan hormon pada peternakan ini
dapat menyebabkan adanya residu hormon dalam daging. The Australia Pesticides
and Veterinary Medicines Authority (APVMA) menyetujui pemberian obatobatan dan bahan kimia lainnya pada peternakan di Australia. Bahan kimia
tersebut termasuk antimikroba, antelmentika, hormon pertumbuhan, dan pestisida.
Survei yang dilakukan pada tahun 2005 sampai dengan 2006 oleh Badan Survei
Australia menunjukkan adanya kandungan residu dalam daging yang melebihi
MRL sebesar 5% (Desmarchelier et al. 2007).

Hormon
Hormon berasal dari bahasa Yunani yang berarti merangsang atau
membangun aktivitas. Feradis (2010) menjelaskan hormon adalah sebagai suatu
substansi organik fisiologik yang dibebaskan oleh sel-sel hidup yang akan
berdifusi ke jaringan lain dan mempengaruhi fisiologis organisme tersebut.
Nussey dan Whitehead (2001) mengklasifikasi hormon menurut struktur kimia
menjadi hormon peptida, steroid, dan derivat dari tirosin atau triptofan.
Hormon peptida adalah kelompok hormon dengan jumlah anggota paling
banyak merupakan hormon dengan berat jenis yang besar (memiliki lebih dari 200
asam amino) dan larut dalam air. Hormon ini dihasilkan oleh hipotalamus,
neurohipofisa, adenohipofisa, paratiroid, dan pulau langerhans. Hormon ini
disusun oleh asam amino. Pemberian hormon ini harus secara suntikan karena jika
melalui oral akan dirusak oleh enzim pencernaan (Nussey dan Whitehead 2001;
Murray et al. 2003).

9
Kelompok yang kedua adalah hormon steroid. Semua hormon kelamin dan
adrenal kortikal merupakan hormon steroid. Hormon steroid mempunyai struktur
yang komplek dan merupakan hasil dari metabolit kolesterol (Nussey dan
Whitehead 2001; Anwar 2005). Kelompok ketiga adalah hormon yang berasal
dari tirosin atau triptofan. Kotekolamin merupakan derivat dari tirosin. Sebanyak
5%

dari

hormon

pada

mamalia

merupakan

kotekolamin

(epinephrin,

norepinephrin) (Mc Donals 1989; Nussey dan Whitehead 2001).
Pertumbuhan ternak diatur oleh hormon, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Hormon dapat mengubah reaksi biokimia yang berkaitan dengan proses
pertumbuhan dan perkembangan komponen tubuh. Berbagai hormon diketahui
mempercepat pertumbuhan jaringan biologis dan memperlihatkan kontrol
terhadap fungsinya secara langsung atau tidak langsung. Mekanisme aktivitas
umumnya adalah terhadap protein enzim yang mengontrol tingkat reaksi kimia
untuk sintesis atau dengan jalan membuat molekul substrat yang mudah dimasuki
seperti insulin (Lawrie 2003).
Menurut Soeparno (2005), hormon yang mempengaruhi pertumbuhan dapat
dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok anabolik dan kelompok katabolik.
Somatotropik hormon (STH) atau somatotropin atau growth hormon (GH),
testosteron, dan tiroksin termasuk hormon yang mempunyai pengaruh anabolik,
sedangkan estrogen termasuk hormon katabolik. Hormon yang mempunyai
pengaruh langsung terhadap pertumbuhan, antara lain adalah somatotropin,
tiroksin, androgen, estrogen, dan glikokortikoid. Hormon-hormon tersebut
mempengaruhi pertumbuhan massa tubuh, termasuk pertumbuhan tulang dan
metabolisme nitrogen (Soeparno 2005).

Residu Hormon
Residu hormon dalam daging sangat penting diperhatikan saat hormon
pertumbuhan sintetik digunakan. Residu merupakan akumulasi obat atau bahan
kimia dan/atau metabolitnya yang terdapat pada produk hewan, sebagai akibat
pemakaian obat hewan, hormon, pestisida, dan cemaran logam berat pada hewan
dan/atau produk hewan (Ditkesmavet 2010b). Keputusan Kepala Badan Karantina
Pertanian Nomor 513.a/Kpts/OT.210/L/12/2008

menyatakan bahwa

yang

10
dimaksud dengan residu hormon adalah hormon baik senyawa induk maupun
metabolit/turunannya yang terkandung dalam daging, jeroan, susu, darah, atau
serum baik sebagai akibat langsung ataupun tidak langsung dari penggunaan
hormon (Barantan 2008).
Residu hormon yang terdapat dalam daging dapat berasal dari penggunaan
hormon, baik secara implantasi ataupun oral. Penggunaan secara implan biasanya
diletakkan di bawah kulit pada permukaan atas telinga, sedangkan pemberian oral
berupa feed additive ataupun dari pakan yang terkontaminasi (Toews dan
McEwen 1994).
Keberadaan residu hormon pertumbuhan pada daging dapat menyebabkan
gangguan kesehatan seperti kanker, efek reproduksi, dan gangguan endokrin
(Scientific Guidance Panel 2008). Selain itu menurut Aksglaede et al. (2006),
residu hormon juga dapat mempengaruhi keseimbangan hormon alami di dalam
tubuh.

Penggunaan Hormon Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan kenaikan berat badan dan ukuran karena adanya
peningkatan jumlah dari sel (hiperplasia) atau peningkatan ukuran dari sel
(hipertropi). Pertumbuhan dapat terjadi dari peningkatan deposisi protein, diukur
sebagai peningkatan retensi nitrogen dalam karkas seperti juga peningkatan
deposisi lemak. Deposisi protein merupakan pengaturan keseimbangan antara
sintesis dan degradasi protein, sedangkan deposisi lemak merupakan pengaturan
keseimbangan antara lipogenesis dan lipolisis (Squires 2003).
Penggunaan hormon pertumbuhan pada hewan dibagi dalam dua kelompok,
yaitu zat alami (diekstraksi dari hewan atau diproduksi menggunakan DNA
rekombinan) dan zat yang diproduksi secara sintetis (xenobiotik). Testosteron,
estradiol, progesteron, dan somatotropin merupakan zat yang termasuk dalam zat
alami, sedangkan senyawa xenobiotik adalah TBA, MGA, zeranol, golongan
stilbenes (terutama dietilstilbestron/DES), dan β-agonis (seperti clenbuterol).
Kelompok pertama yang termasuk zat alami merupakan hormon sex yang secara
alami ada pada mamalia (termasuk manusia) karena itu hormon ini biasanya ada

11
dalam produk hewan dan ditemukan dalam kadar yang bervariasi tergantung dari
umur, keadaan hewan, dan status fisiologi (Toews dan McEwen 1994).
Hormon pertumbuhan pada ternak telah digunakan sejak lama dengan
tujuan meningkatkan berat badan, memperbaiki efisiensi pakan, meningkatkan
protein, dan menurunkan kandungan lemak tubuh. Berbagai hormon pertumbuhan
juga telah diperdagangkan lebih dari 50 tahun yang lalu, seperti estradiol-17β
(Compudose), zeranol (Ralgro), trenbolon asetat (Finaplix), melengestrol asetat
(MGA), kombinasi trenbolon asetat dan estradiol (Revalor), ataupun kombinasi
testosteron dan estradiol (Implix BF) (Solomon 2001).
Aplikasi penggunaan hormon pertumbuhan alami (testosteron, estradiol 17β, dan progesteron) dan sintetik (TBA, zeranol, dan MGA) melalui implantasi
dalam bentuk karet silatik atau pellet (diletakkan di bawah kulit pada permukaan
atas telinga), tetapi khusus untuk MGA diberikan secara oral dalam bentuk feed
additive (Galbraith 2002; Nazli et al. 2005). Menurut Meyer et al. (1984), tempat
implantasi mempengaruhi kadar residu dalam plasma, sehingga pellet diletakkan
di bawah kulit pada permukaan atas telinga yang menghasilkan konsentrasi residu
rendah dalam plasma.
Menurut Squires (2003), secara umum hormon pertumbuhan dapat
diberikan melalui tiga cara yaitu oral (ditambahkan pada pakan, contohnya:
MGA), injeksi intramuskular (kadar residu yang tinggi pada tempat penyuntikan),
dan implantasi (umumnya ditempatkan pada telinga). Formulasi pemberian
hormon secara implantasi dalam bentuk compress pellet mempunyai waktu paruh
sekitar 90-120 hari, sedangkan bentuk silastic rubber memberikan respon
perlahan dan dilepaskan sampai 200-400 hari.

Zeranol
Zeranol digunakan sebagai pemacu pertumbuhan di beberapa negara seperti
Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Selandia Baru. Zeranol merupakan
hormon sintetik, non-steroid, resorcylic acid lactones yang mempunyai efek
estrogenik. Zeranol adalah hasil metabolit dari mycoestrogen zearalenon yang
dikultur dari Gibberella zea (Fusarium graminearum) (Baldwin et al. 1983; Yuri
et al. 2006). Perbedaan zeranol dan zearalenon hanya pada ikatan rangkap yang

12
dimiliki zeranol pada posisi atom C7 dan C11/C12 yang bukan merupakan gugus
karboksil (Lindsay 1985).
Zeranol di masyarakat dikenal dengan merek dagang Ralgro, berisi tiga
pellet kecil yang masing-masing berisi 12 mg zeranol. Dosis penggunaan zeranol
di peternakan sapi adalah 36 mg, dengan withdrawal time sekitar 65 hari. Pada
peternakan kambing dosis yang digunakan adalah 12 mg, dengan withdrawal time
40 hari (Baldwin et al. 1983).
Zeranol (Gambar 1) juga dikenal sebagai zearalanol dengan nama kimia
(3S, 7R)-3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12-decahydro-7, 14, 16-trihydroxy-3-methyl1H-2-benzoxacyclotetradecin-1-one. Struktur kimia ini juga dikenal dengan 6-(6,
10-dihydroxyundecyl)-β-resorcylic acid-µ-lacton. Zeranol mempunyai struktur
molekul C18H26O5 dan berat molekul 322.40 Dalton (Baldwin et al. 1983).
Zeranol umumnya digunakan pada anak sapi setelah disapih, penggemukan
sapi jantan dan sapi betina melalui implan di telinga (Zhong et al. 2011). Posisi
implan zeranol adalah antara kulit dan kartilago telinga sisi belakang dan di
bawah telinga. Setelah diimplan, zeranol akan dimetabolisme menjadi zearalanon
(Gambar 2) dan menjadi metabolit yang lebih kecil yakni taleranol (Gambar 3).
Ada enam senyawa yang berhubungan dengan zeranol dan metabolitnya, yaitu
zearalanon (zeranol), α-zearalanon, β-zearalanon (taleranol), α-zearalenon,
zearalenon (mikotoksin), β-zearalenon (Baldwin et al. 1983; Leffers et al. 2001;
Malekinejad et al. 2006).
OH

O

H

CH3

O

H

HO

OH

Gambar 1 Struktur kimia zeranol.
OH

O H

OH

CH3

Gambar 2 Struktur kimia zearalanon.

H

CH3

O

O
HO

O

O

HO

OH
H

Gambar 3 Struktur kimia taleranol.

13
Zeranol merupakan kasus khusus diantara pengganggu sistem endokrin
lainnya karena zeranol berbeda dengan semua bahan kimia, ada dalam makanan
sebagai sesuatu yang sengaja ditambahkan. Zeranol dirancang sebagai tiruan
estrogen yang kuat, kadang-kadang disebut sebagai ‘natural identical estrogen’
(Lindsay 1985).
Zeranol mempunyai aktivitas mirip dengan estrogen. Saat zeranol diimplan
di bawah kulit (subcutaneous) pada telinga, zeranol akan dilepaskan secara
perlahan-lahan. Metabolisme dalam tubuh ternak memperlihatkan efek anabolik
yang akan bekerja untuk sekresi hormon pertumbuhan dari pituitari dan
kemungkinan akhir akan dapat menyebabkan penambahan tingkat insulin plasma
yaitu terjadi peningkatan konsentrasi sirkulasi somatotropin (ST) dan hormon
insulin-like growth factor 1 (IGF-1) (Lawrie 2003; Zhong et al. 2011).
Hormon IGF-1 adalah mitogenik peptida (bentuk dari protein untuk
membentuk sel seperti mitosis), terdiri dari 70 asam amino yang menstimulasi
secara selular proliferasi dan deferensiasi di otot dan jaringan lain (Zhong et al.
2011). Menurut Sternesjo dan Johnson (1998), somatotropin dan IGF-1
berpengaruh sangat kuat dalam tubuh dalam hal pemanfaatan bahan makanan,
menghasilkan jaringan, tulang, dan lemak. Hasilnya meningkatkan efisiensi pakan
dan meningkatkan berat badan.
Stimulasi IGF-1 pada proliferasi kondrosit atau sel kartilago akan
meningkatkan pertumbuhan tulang. Keadaan ini juga akan meningkatkan
proliferasi sel satelit yang akan bergabung dengan miofibril dan berkontribusi
pada pertumbuhan otot dan juga akan merangsang sintesis asam amino dan
sintesis protein (Squires 2003).

Residu dan Metabolit Zeranol
Standar Codex Alimentarius Commission (CAC) untuk obat hewan atau
hormon biasanya ditetapkan dalam persyaratan acceptable daily intake (ADI) dan
maximum residue limit (MRL) atau batas maksimum residu (BMR), sedangkan di
Indonesia ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia oleh Badan Standarisasi
Nasional (BSN). Batas maksimum residu zeranol pada daging dan beberapa offal,
disajikan dalam Tabel 2.

14
Zeranol yang berisi zearalanon dapat berikatan dan mengaktifkan reseptor
estrogen sehingga menghasilkan sindrom hiperestrogenik pada hewan. Hubungan
antara konsumsi jamur pada biji-bijian dan hiperestrogenik pada babi telah diteliti
sejak tahun 1920 (Bennet dan Klich 2003).
Tabel 2 Batas maksimum residu zeranol pada daging dan beberapa offal
Produk hewan

CAC (µg/kg)

BSN (µg/kg)

2

2

Daging
Hati

10

USFDA (µg/kg)
150
300

Ginjal

450

Lemak

600

Sumber: CAC (2011), BSN (2000), Galbraith (2002)
Kurt dan Mirocha pada tahun 1978 melaporkan bahwa konsentrasi
zearalenon yang rendah (1.0 ppm) sudah dapat menimbulkan sindrom
hiperestrogenik pada babi. Konsentrasi yang tinggi menyebabkan gangguan siklus
kebuntingan, aborsi, dan masalah reproduksi lainnya. Keadaan ini juga telah
terjadi pada sapi dan domba (Bennet dan Klich 2003).
Zearalenon dan hasil metabolismenya yang masuk dalam tubuh secara oral
dapat dideteksi di empedu dengan angka rata-rata 68% β-zearalenon, 24% αzearalenon dan 8% zearalenon. Pada ruminansia, zearalenon dan metabolitnya
ditemukan pada otot, hati, ginjal, kandung kemih, lemak meskipun hanya
mengkonsumsi 0.1 mg zearalenon/hari/kg pakan (Zinedine et al. 2007).
Zeranol memiliki potensi estrogenik yang tinggi, sehingga keberadaan
estrogen dalam daging merupakan paparan estrogen eksogen bagi konsumen.
Menurut Aksglaede et al. (2006), zeranol dan metabolitnya mempunyai potensi
yang sama dengan diethilstilbestrol dan estradiol-17β dalam mengganggu
keseimbangan hormon alami.
Zeranol dan metabolitnya diekskresikan dalam senyawa bebas dan sebagai
konjugat (glukoronat dan atau sulfat), dengan variasi tiap spesies yaitu 99% pada
manusia dan 1% pada anjing. Manusia mengekskresikan zeranol melalui urin,
dimana senyawa ini menjadi lebih hidrofobik yang terkonjugasi, sedangkan anjing

15
mengekskresikannya melalui feses, dalam bentuk tidak terkonjugasi karena
terhambat oleh aktivitas bakteri β-glukuronidase dan sulfatase, meskipun senyawa
hasil konjugasi dapat masuk ke saluran usus sebagai konjugat empedu (Baldwin et
al. 1983).
The National Residue Survey Australia tahun 2003 menyatakan adanya
residu hormon pada sampel urin sapi dan kuda. Sampel urin sapi yang diuji
mengandung α-zeranol (zeranol) sebesar 0.003 mg/kg, β-zeranol (taleranol)
0.004 mg/kg

dan

metabolit

zeranol

lainnya.

Pihak

Australia

sendiri

mengindikasikan temuan tersebut sebagai kontaminasi jamur Fusarium spp pada
ladang penggembalaan atau pakan akan tetapi tidak ada penelusuran lebih lanjut
akan temuan tersebut (Crapp 2003).

Toksisitas Zeranol
Bahan dasar hormon sintetik zeranol yaitu zearalenon dapat menimbulkan
gejala muntah, diare dan pusing pada konsumen makanan dengan residu zeranol.
Kejadian ini dihubungkan dengan outbreak mikotoksin yang terjadi pada negaranegara yang banyak mengkonsumsi biji-bijian (Zinedine et al. 2007).
Toksisitas zearalenon sendiri dapat digolongkan menjadi:
a. Fase akut: pada fase ini konsentrasi zearalenon yang dapat menimbulkan sakit
adalah rendah, hanya sekitar 2 000-20 000 mg/kg berat badan (LD50 pada
mencit, tikus putih, dan marmot yang diberi zearalenon secara oral).
b. Fase sub-akut dan sub-kronis: pemberian oral zearalenon pada hewan domestik
sampai 90 hari intake memperlihatkan interaksi zearalenon dengan reseptor
estrogen. Babi dan domba memperlihatkan respon yang lebih peka daripada
rodensia (dosis yang diberikan adalah 40 µg/kg berat badan/hari).
c. Fase kronis dan karsinogenik: penelitian awal menunjukkan adanya luka pada
hati yang berkembang menjadi hepatokarsinoma pada mencit. Pada mencit
betina menunjukkan gangguan sirkulasi hormon estrogen, dengan efek berbeda
di jaringan yang berbeda seperti fibrosis uterus ataupun kista glandula mamae.
d. Efek pada endokrin: zearalenon dan metabolitnya menunjukkan aktivitas dapat
berikatan dengan estrogen reseptor (ERα dan ERβ) pada beberapa penelitian in
vitro ataupun in vivo. Afinitas zearalenon dalam mengikat ER pada kisaran

16
0.01, relatif hampir sama aktivitasnya dengan estradiol-17β. Hal ini dapat
mempengaruhi kesehatan berupa resiko kanker payudara dan kanker lainnya
(Zinedine et al. 2007).
Takemura et al. (2007) dalam penelitiannya menemukan afinitas zearalenon
(Gambar 4) dan zeranol yang kuat dalam mengikat reseptor estrogen (ER α dan
ERβ) dan afinitas zeranol lebih besar dibandingkan dengan zearalenon. Kuiper et
al. (1998) juga melaporkan bahwa afinitas zearalenon pada ERα sekitas 10% dan
18% pada ERβ dari afinitas estrogen. Relatif binding afinity (RBA) zearalenon
yang ditemukan oleh Takemura et al. (2007) adalah 4.3% pada ERα dan 6.0%
pada ERβ, sedangkan RBA zeranol lebih besar dibandingkan dengan zearalenon,
yaitu 48% dan 23% masing-masing pada ERα dan ERβ. Hal ini membuktikan
zeranol dan zearalenon mempunyai afinitas yang berbeda pada reseptor estrogen
dimana zeranol mempunyai afinitas lebih kuat pada ERα dibandingkan dengan
zearalenon. Kesimpulan yang dapat diambil adalah zeranol lebih kuat dalam
mengikat reseptor estrogen dibandingkan zearalenon.
OH

O

H

CH3

O
HO

O

Gambar 4 Struktur kimia zearalenon.
Takemura et al. (2007) juga menjelaskan penempatan active site reseptor
estrogen oleh zearalenon dan zeranol yaitu dengan cara yang mirip dengan
estrogen, seperti cincin phenol yang menempati area yang sama dengan cincin A
dari estrogen dan cincin metil yang berdekatan dengan area cincin C18 dari
estrogen.
Menurut Truhaut et al. (1985), toksisitas zeranol dibandingkan dengan
estradiol-17β adalah sebagai berikut
a. Aktifitas seperti estrogen: secara in vitro zeranol mempunyai kemampuan
mengikat

reseptor

estrogen

kompetitif

menggantikan

estradiol-17β.

Kemampuan RBA zeranol sekitar 14% dibandingkan dengan estradiol-17β.

17
Zeranol secara in vivo mempunyai aktivitas yang lebih kecil dibandingkan
dengan estradiol-17β.
b. Fertilitas: zeranol yang diberikan secara oral kepada rodensia jantan dengan
dosis 0.3125 mg/kg/hari selama 60 hari tidak menyebabkan toksisitas, tetapi
dengan dosis 1.25 dan 5.0 mg/kg/hari akan menyebabkan penundaan
pembuahan pada rodensia betina. Dosis tinggi pada rodensia betina akan
menyebabkan penurunan jumlah fetus, dan meningkatkan kematian fetus
dalam kandungan.

Metode Deteksi Residu Zeranol
Berbagai metode (Tabel 3) telah dikembangkan untuk mendeteksi hormon
dalam sampel biologis. Pengujian yang dikembangkan untuk mendeteksi residu
zeranol antara lain gas chromatography/mass spectrometry (GC-MS), high
performance liquid

chromatography/mass spectrometry (HPLC-MS)

dan

immunoassay (Sawaya et al. 1998; Liu et al. 2007).
Tabel 3 Metode penentuan konsentrasi zeranol pada daging
Metode

Limit deteksi

HPLC
TLC
GC/MS
RIA
ELISA

Tidak dilaporkan
10-25 ppb
0.15-5.0 ppb, 0.5 ppm
0.3 ppb, 2.5 ppm
10 pg, 1.09 ppm

Sumber: Doyle (2000)
Enzym linked immunosorbance assay (ELISA) adalah metode cepat dan
praktis untuk mendeteksi residu dalam produk makanan dan direkomendasikan
oleh Uni Eropa (Nazli et al. 2005). Metode ELISA yang digunakan untuk
mendeteksi zeranol adalah ELISA kompetitif. Hasil ELISA dapat dibaca dalam
beberapa jam, cukup spesifik, dan sensitif (Reig dan Toldrá 2007).
Metode ELISA yang digunakan adalah competitive binding assay. Uji
kompetitif ini berdasarkan pada ikatan spesifik hormon dengan protein (spesifik

18
antibodi). Keseimbangan uji dibentuk antara jumlah hormon yang tidak dilabel
dan yang berlabel dengan ikatan protein yang komplek. Proporsi hormon yang
dilabel dengan yang tidak dilabel dalam mengikat antibodi, bergantung pada
jumlah hormon yang tidak dilabel yang ada dalam pengujian tersebut. Jumlah dari
ikatan tersebut menurun seiring dengan meningkatnya jumlah hormon yang tidak
dilabel (Squires 2003).
Pengujian lain yang dijadikan konfirmasi setelah ELISA adalah high
performance liquid chromatography (HPLC). Metode ini diyakini sangat sensitif
dan spesifik untuk menganalisis residu zeranol pada jaringan (Ding et al. 2009).
Metode HPLC merupakan salah satu metode kromatografi. Kromatografi ini dapat
didefinisikan sebagai teknik pemisahan yang melibatkan transfer massa antara
fase stasioner dan bergerak (mobile) (Reig dan Toldrá 2007).
Metode HPLC terdiri dari dua fase. Fase diam (stasioner) dan fase gerak
(mobile). Fase diam merupakan fase dalam column dari semua jenis kromatografi,
dimana sampel yang memiliki interaksi kuat akan terelusi dari column dengan
lambat dan memiliki waktu retensi lebil lama. Cairan pembawa larutan sampel
pada fase gerak akan terus-menerus mengalir melalui column dan membawa
analit. Biasanya campuran pelarut yang digunakan seperti metanol atau acetonitril
(Karen dan Liyuan 2005). Prinsip metode ini adalah teknik pemisahan komponen
sampel yang terdiri dari placement (injection) cairan sampel, fase stasioner dalam
tube yang berisi partikel berpori dan akhirnya komponen sampel tersebut dialirkan
melalui column dengan cairan yang bertekanan. Pemisahan komponen sampel ini
melibatkan berbagai reaksi kimia dan atau interaksi fisik antara molekul dan
partikel sampel. Komponen-komponen sampel ini dipisahkan dengan perangkat
(detektor), yang sekaligus mengukur jumlah komponen sampel yang dipisahkan
tersebut (Agilent Tech 2010).

MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel untuk penelitian dilakukan di Pelabuhan Tanjung Priok
pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2011. Pengujian dilakukan di
Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok , Jakarta Utara pada
bulan Januari sampai dengan Maret 2012.
Pengolahan data dari hasil pengujian dilakukan di Bagian Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi impor tanpa
tulang dan untuk pengujian digunakan Ridascreen ELISA Kit (Art. No.: R3301,
r-Biopharm AG, Darmstadt, Jerman).

Bahan kimia yang digunakan adalah

akuades, phosphat buffer saline (PBS Buffer, Bio Basic Inc, PD 0435), tertbuthylmethylether ((CH3)3COCH3, Merck 1.01849.1000), kloroform (CHCl3,
Merck 1.02445.2500), natrium hidroksida (NaOH, Merck 1.06498.1000).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung erlenmeyer,
timbangan analitik, tabung sentrifus 15 ml, multichannel/singel pipet, tip,
evaporator, vortex, gunting, pinset, pipet, spatula, sentrifuse, freezer -25 °C,
waterbath, ELISA reader (Thermo Scientific) dengan Skenit software 2.5.1.

Rancangan Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana terhadap daging tanpa
tulang yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru pada setiap kedatangan
sampai jumlah sampel terpenuhi dengan menggunakan rumus detect disease
sebagai berikut (Martin et al. 1987): n = [1-(1-a)1/D] [N-{(D-1)/2}].
Keterangan:
n : ukuran sampel
a : tingkat kepercayaan (95%)
D: nilai dugaan populasi yang sakit (D = PxN, dengan asumsi P : 5%)
N: jumlah populasi

20
Daging impor dari Australia (2010) mencapai 55 415 399 kg dan Selandia
Baru sebesar 38 672 695 kg. Unit sampling yang digunakan adalah boks daging
yang diimpor. Perhitungan jumlah sampel dalam penelitian ini disajikan pada
Tabel 4.
Tabel 4 Perhitungan jumlah sampel daging yang diimpor dari Australia dan
Selandia Baru

Negara asal
Australia
Selandia Baru

Importasi daging
(kg)

Konversi per
boks (27.2 kg)

55 415 399
38 672 695

2 037 330
1 421 790

Jumlah
sampel
(=n)*
59
59

* dengan menggunakan perangkat Win Episcope 2.0

Persiapan Sampel
Preparasi sampel daging pada penelitian ini mengacu pada application
note r-biopharm. Daging tanpa tulang yang telah dibuang lemaknya diambil
sebanyak 1 g, dihomogenkan dengan 1 ml 20 mM PBS buffer menggunakan
vortex kemudian sampel ditambahkan dengan 10 ml larutan tert-butilmethylether
dan dikocok selama 30 menit, disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan
4 000 g pada suhu 10-15 °C. Supernatan yang terbentuk dipindahkan ke tabung
lain dan dievaporasi hingga kering pada suhu 60 °C. Residu yang sudah kering
tersebut dilarutkan dalam 1 ml kloroform, lalu ditambahkan 3 ml 1 M NaOH dan
dicampur selama 30 detik. Larutan disentrifus kembali selama 10 menit dengan
kecepatan 4 000 g pada suhu 10-15 °C. Supernatan dipindahkan ke tabung lain
yang berisi 250 µl asam asetat 96%, kemudian ditambahkan 5 ml larutan tertbutilmethyleter dan dibekukan pada -25 °C selama 60 menit. Supernatan
dipindahkan kembali ke tabung lain dan di evaporasi hingga kering pada suhu
60 °C. Residu yang didapatkan tersebut dilarutkan dalam 2 ml cairan buffer dan
diambil seba