Impact of Raskin Policy to Consumption Pattern Local Staple Food in Papua.

DAMPAK KEBIJAKAN RASKIN TERHADAP
POLA KONSUMSI PANGAN POKOK LOKAL DI PAPUA

NUR SAIDAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Kebijakan Raskin
terhadap Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal di Papua adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Nur Saidah
NRP H151114024

RINGKASAN
NUR SAIDAH. Dampak Kebijakan Raskin terhadap Pola Konsumsi Pangan
Pokok Lokal di Papua. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan SRI MULATSIH.
Negara Indonesia sebagai negara agraris masih mengimpor kebutuhan
pangan, terutama beras. Program swasembada pangan yang lebih menitikberatkan
pada beras dan peningkatan produksi dihadapkan pada masalah produktivitas yang
mencapai levelling off. Pemerintah sadar akan pentingnya kesimbangan antara
produksi dan konsumsi pangan. Akan tetapi, kebijakan penganekaragaman
pangan yang sudah dicanangkan lebih dari 45 tahun lalu belum berhasil sesuai
dengan harapan. Hal itu terjadi karena ada kebijakan atau program yang justru
mengeliminasi tujuan penganekaragaman, seperti pemberian beras untuk pegawai,
penetapan harga atap, dan pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin).
Pemberian raskin, sebagai transfer secara tidak langsung pendapatan
pemerintah kepada rumah tangga miskin, merupakan upaya yang baik dalam
mengatasi masalah rawan pangan. Akan tetapi, dampak lain dari relatif murah dan

mudah diperolehnya beras semakin mendorong masyarakat untuk
mengonsumsinya. Kompetisi antarmakanan pokok lain akan terpinggirkan jika
pemerintah hanya memperhatikan perberasan dan mengabaikan keberadaan
pangan pokok lokal yang berpotensi seperti yang terjadi di Papua.
Papua sebagai salah satu provinsi dengan permintaan beras yang banyak
juga belum menerapkan aturan nyata terkait penganekaragaman. Potensi bahan
pangan pokok lokal, seperti ubi jalar dan sagu, belum dimanfaatkan untuk
menggantikan dominasi beras. Komoditas pangan pokok lokal utama masyarakat
Papua, yaitu ubi jalar dan sagu, semakin tidak digemari seiring meningkatnya
pendapatan. Golongan rumah tangga yang lebih sejahtera semakin banyak yang
mengonsumsi beras. Data konsumsi pangan yang ada secara riil menunjukkan
kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan menggambarkan tingkat
kecukupan pangan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, subsidi pangan
sebaiknya disesuaikan dengan kearifan lokal. Misalnya, masyarakat Papua
diarahkan untuk kembali mengonsumsi ubi jalar/sagu.
Berdasarkan hal itu, penelitian ini mengkaji perlu tidaknya kebijakan
raskin dilanjutkan, dicabut, atau diganti kebijakan bahan pangan pokok lokal
dengan pertimbangan swasembada dan batas kebutuhan kalori pangan pokok
anjuran Widya karya nasional Pangan dan Gizi (WNPG). Cakupan penelitian ini
fokus pada Papua sehingga data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi

Nasional (Susenas) 2008–2010 panel Papua. Sumber data lain berasal dari Badan
Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik
(BPS).
Pengaruh perubahan harga komoditas beras pada taraf satu persen
berpengaruh signifikan terhadap proporsi pengeluaran semua komoditas pangan.
Perubahan harga beras sangat berpengaruh terhadap proporsi pengeluaran
kelompok komoditas yang dianalisis. Hal ini berarti bahwa beras secara umum
masih merupakan kebutuhan pokok utama. Pengaruh perubahan harga komoditas
lainnya ada yang signifikan dan ada pula yang tidak. Harga berpengaruh negatif
terhadap permintaan sendiri, sedangkan pengaruh terhadap permintaaan
komoditas lain bisa positif, bisa negatif. Guncangan harga pangan pun

memengaruhi inflasi sehingga akan berdampak negatif terhadap daya beli
masyarakat. Pengaruh nilai pendapatan terhadap proporsi pengeluaran tiap
komoditas hampir semuanya nyata, kecuali untuk komoditas ubi jalar dan buah.
Koefisien pendapatan untuk kelompok komoditas pangan sebagian besar bertanda
positif. Hal itu berarti adanya tambahan secara signifikan proporsi pendapatan
rumah tangga akan diikuti peningkatan permintaan pada kelompok komoditas
pangan tersebut.
Berdasarkan penelitian dari ketiga alternatif, simulasi yang memberikan

dampak sesuai dengan tujuan penganekaragaman pangan serta mempertahankan
batas anjuran kebutuhan energi adalah simulasi 3. Simulasi 3 mengakomodasi
penurunan beras dan meningkatkan konsumsi pangan pokok lokal. Beras
diganti dengan paket ubi jalar/sagu sesuai dengan potensi pangan pokok lokal.
Pengaruh kenaikan harga beras diimbangi dengan penurunan harga pangan
lokal (ubi jalar atau sagu). Dampak simulasi 3 menghasilkan penurunan
konsumsi beras sebesar 21,47%, tetapi tergantikan dengan kenaikan konsumsi
ubi jalar dan sagu (yaitu 23,19% dan 25,01%).
Oleh karena itu, program raskin sebaiknya segera diganti dengan program
subsidi pangan lain yang berbasis pada bahan pangan pokok lokal. Untuk
wilayah Papua, daerah dengan bahan pokok lokal sagu dapat mengganti
konsumsi beras dengan sagu. Daerah dengan bahan pokok lokal ubi jalar dapat
mengganti konsumsi beras dengan ubi jalar. Teknis penggantian dapat
diusulkan dengan pemberian kupon yang hanya bisa ditukar dengan sejumlah
kuantitas pangan pokok lokal dengan harga subsidi. Hal itu sesuai dengan
upaya penggalakan kembali program penganekaragaman pangan untuk
mendukung swasembada beras yang dikuatkan dengan Perpres No. 22 Tahun
2009 dan Permentan No. 43 Tahun 2009. Perhatian utama dimulai dengan
penganekaragaman pangan pokok (yang bertujuan menurunkan konsumsi beras
agar beralih ke bahan pangan pokok lokal).

Kata kunci: pangan pokok lokal, pola konsumsi, raskin, Papua, LA-AIDS

SUMMARY
NUR SAIDAH. Impact of Raskin Policy to Consumption Pattern Local Staple
Food in Papua. Supervised by SRI HARTOYO and SRI MULATSIH.
Indonesia as an agricultural country, in fact, still needs to import food,
especially rice. Food self-sufficiency program, which focus on increasing
production of rice, is now reached leveling off stage. When realized the
importance of production and consumption balance, the government issued fooddiversification policy over 45 years ago. However, it is not successful as expected.
For some reasons, several government policies or programs were not actually
supporting diversification policy, such as rice for government employees, ceiling
price, and rice for the poor (raskin) policy.
Raskin policy, a transfer of government revenue indirectly to poor
households, is a good effort to overcome social problem due to increase of oil
price. Yet, this program is getting people to consume more rice. Competition
among staple-foods will be unbalance if the government sees rice as national food
and forgets the potential local staple food.
Papua, as province with big demand of rice, have not implement real policy
in food diversification. Local staple foods potencies, such as sweet potatoes and
sago, are getting less consumed by the local people to replace rice. They consume

more rice as they become more prosper. The main staple food commodities
locally Papuan people are sweet potatoes and sago growing that the higher the
class the higher the consumption of rice is due to the superiority of local staple
food. Food consumption data in real terms demonstrate the ability of households
in food access and describe the level of household in food sufficiency. The
increasing rate of food consumption also implicitly reflects the level of income or
purchasing power in food. Therefore, food diversification policy should be
adjusted to local wisdom. Then, Papuan should be directed to consume sweet
potato and sago.
This study examines whether the food for the poor program should be
continued, removed, or replaced with local staple food according to standard
calorie need. The research focus on Papua region and use data from the National
Socio-Economic Survey (Susenas) 2008–2010 panel Papua. Other data sources
derived from the Food Security Agency (BKP) Ministry of Agriculture and the
Central Statistics Agency (BPS).
The one percent change in rice price affects significantly the price of all
commodities and the proportion of outlay commodity groups analysed. This
generally means that rice is still the main staple food. The changing price of some
commodities affect to other, some commodities don’t affect at all. The price has
not only negative effect on the demand itself, but also has positive or negative to

other commodities demand. The price fluctuation causes inflation and people’s
ability of purchasing food. The influence of revenue expenditure proportion to all
commodities is significant, except to sweet potatoes and fruit. The coefficient of
income to most of the food commodity groups is positive. It means that the
increase proportion of household income will be followed by a significant
increase in demand rate for food commodity groups.

According to research of three alternative, simulations which give effect to
the purpose of diversification of food and energy needs in maintaining the
recommended limit is 3rd simulation. It suggests to replaced raskin policy to
accommodate the decline rice consumption and increase the local staple food.
Rice replaced by sweet potato or sago adjusted as potential local staple food. The
increase of rice price can be substitute by the decrease of local food price (sweet
potato or sago). The impact of simulation 3 is the reduce of rice consumption by
21.47%, but replaced with the increase of sweet potatoes or sago consumption (by
23.19% and 25.01%).
Therefore, the raskin policy should be immediately replaced with other
staple food policy based on local staple foods. For Papua region, sago-based
district can change rice with sago. Sweet potato-based district can change rice
with sweet potato. The implementation in changing rice to local staple food can be

done by giving coupons that can only be trade with local staple food, not rice,
with subsidized price. This is suitable according to the government policy in
Presidential Regulation No. 22 in 2009 and Agriculture Minister Regulation No.
43 in 2009. The main concern of those two regulations is the staple food
diversification policy (in reducing rice consumption and increasing local staple
food consumption).

Keywords: local staple foods, consumption pattern, raskin, LA-AIDS

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DAMPAK KEBIJAKAN RASKIN TERHADAP

POLA KONSUMSI PANGAN POKOK LOKAL DI PAPUA

NUR SAIDAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir M. Parulian Hutagaol, MS

Judul Tesis : Dampak Kebijakan Raskin terhadap Pola Konsumsi Pangan Pokok
Lokal di Papua
Nama

: Nur Saidah
NIM
: H151114024

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Sri Hartoyo, MS
Ketua

Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

Dekan Sekolah Pascasarjana


Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
30 Januari 2014

Tanggal Lulus:

Judul Tesis : Dampak Kebijakan Raskin terhadap Pola Konsumsi Pangan Pokok
Lokal di Papua
: Nur Saidah
Nama
: H151114024
NIM

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

(

Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr
Anggota

Dr Ir Sri Hartoyo, MS
Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

Tanggal Ujian:
30 Januari 2014

Tanggal Lulus:

0 1 APR 20 14

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah pendidikan, dengan judul Dampak Kebijakan
Raskin terhadap Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal di Papua.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku
ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr Ir Sri Mulasih, MscAgr selaku anggota
komisi pembimbing, yang meluangkan waktu dan kesabaran untuk memberikan
bimbingan, arahan, dan masukan yang bermanfaat dalam penyusunan tesis ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr Ir M. Parulian Hutagaol, MSc dan
Ibu Dr Ir Wiwiek Rindayati, MSi atas saran dan masukannya demi perbaikan tesis
ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Kepala BPS Republik Indonesia, Kepala BPS Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan
pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah
Pascasarjana (SPs) IPB. Terima kasih disampaikan kepada Ida Fariana yang telah
membantu pengumpulan data, juga kepada Diana Bhakti dan Leisa Triana yang
telah mentransfer pemahaman terkait LA-AIDS..
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Dr Ir
R. Nunung Nuryartono, MSi beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi
Ilmu Ekonomi SPs IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis. Tak lupa
ucapan terima kasih untuk teman-teman BPS IPB batch 4 atas segala bantuannya
selama di IPB.
Ungkapan terima kasih terdalam untuk suami dan anak-anak tercinta, atas
segala doa, kasih sayang, dukungan, dan kesabaran yang diberikan.Kepada
mamak dan saudaraku yang senantiasa mendoakan penulis sehingga mampu
menyelesaikan pendidikan ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan dikarenakan
keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan tanggung
jawab penulis. Besar harapan penulis bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi
dalam proses pembangunan dan bermanfaat untuk pengembangan penelitian di
masa mendatang.

Bogor, Januari 2014
Nur Saidah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Ketahanan dan Swasembada Pangan
Kebijakan Raskin
Pola Konsumsi Rumah Tangga
Fungsi Permintaan
Efek Substitusi dan Efek Pendapatan
Tinjauan Empiris
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Analisis Deskriptif
Analisis Model LA-AIDS
Spesifikasi Model
4 KONSUMSI PANGAN PAPUA
Keragaan Konsumsi Pangan Pokok Papua
Faktor yang Memengaruhi Pola Konsumsi Pangan Lokal di Papua
Dampak Kebijakan Raskin terhadap Konsumsi Pangan Pokok
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

vii
vii
vii
1
1
4
7
7
7
7
7
8
10
11
14
15
16
17
18
18
19
19
19
21
25
25
28
34
36
36
36
37

LAMPIRAN

39

RIWAYAT HIDUP

60

DAFTAR TABEL
1 Persentase rumah tangga menurut komoditi pangan sumber
karbohidrat yang dikonsumsi
2 Perkembangan produktivitas, produksi padi, beras, konsumsi serta
volume impor beras tahun 2006 - 2010
3 Skor PPH dan peringkat menurut provinsi tahun 2008 dan 2012
4 Perkembangan rata-rata jumlah konsumsi pangan di Provinsi Papua
tahun 2008 - 2010 (kg/kap/bulan)
5 Rata-rata jumlah konsumsi pangan berdasarkan jenis potensi pangan
pokok di Provinsi Papua tahun 2008 - 2010 (kg/kap/bulan)
6 Rata-rata jumlah konsumsi pangan berdasarkan golongan dan
penerimaan raskin di Provinsi Papua tahun 2008 - 2010
(kg/kap/bulan)
7 Koefisien penduga parameter model LA-AIDS Provinsi Papua
8 Elastisitas permintaan harga sendiri, harga silang, dan pendapatan
rumah tangga di Provinsi Papua menurut komoditi
9 Elastisitas Permintaan harga sendiri berdasarkan dummy kategori di
Provinsi Papua
10 Persentase Perubahan Permintaan/Konsumsi Menurut Komoditi
Berdasarkan Alternatif Simulasi di Provinsi Papua (%)

1
2
5
26
27

28
29
31
32
35

DAFTAR GAMBAR
1 Produksi dan produktivitas padi Indonesia tahun 2000 - 2010
2 Peta rasio konsumsi normatif perkapita terhadap produksi bersih
serealia per daerah
3 Alur distribusi pembagian raskin
4 Efek subtitusi dan pendapatan saat penurunan harga beras
5 Kerangka pemikiran
6 Pola konsumsi beras-ubi jalar dan konsumsi beras-sagu rata-rata
perkapita berdasarkan golongan dan jenis potensi di Papua tahun
2008 - 2010

2
3
10
14
17

28

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Daftar kabupaten/kota di Papua berdasarkan potensi
Hasil Output SAS dengan metode Pooled Least Square
Hasil Output SAS dengan metode SUR
Elastisitas Harga Sendiri, Harga Silang, dan Pendapatan
berdasarkan kondisi menurut komoditi

39
40
49
56

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Beras merupakan makanan pokok utama bagi sebagian besar penduduk
Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), beras dikonsumsi oleh
hampir 97% rumah tangga di Indonesia pada tahun 2010 seperti yang tersaji pada
Tabel 1. Komoditi sumber karbohidrat lain hanya dikonsumsi sebagian kecil
rumah tangga, singkong dikonsumsi 35% dan trennya semakin menurun. Selain
itu, dari penduduk yang bekerja di sektor pertanian hampir separuhnya merupakan
petani padi. Hal ini menjadikan beras sebagai komoditas ekonomi strategis
sekaligus komoditas politik karena dapat mempengaruhi kerawanan pangan dan
keamanan nasional.
Tabel 1. Persentase rumah tangga menurut beberapa komoditi pangan sumber
karbohidrat yang dikonsumsi
Komoditas Pangan

2008

2009

2010

Beras
Jagung Pipilan
Singkong
Ubi Jalar
Sagu
Kentang
Talas/Keladi

96.56
9.21
35.20
10.04
7.43
6.70
6.96

96.52
8.40
30.53
8.94
6.90
6.35
7.30

96.80
7.76
28.50
9.00
7.02
6.25
5.68

Sumber: BPS (2008 - 2010)

Ketergantungan penduduk terhadap beras yang tinggi menyebabkan
pemerintah sangat memperhatikan tingkat ketersediaan dalam jumlah yang cukup
sampai level wilayah terkecil. Dalam UU No.7 Tahun 1996 yang diperbarui
dengan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan merupakan
kondisi terpenuhinya pangan bagi individu maupun rumah tangga yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, aman, merata, dan terjangkau. Pemerintah
menyusun kebijakan dan regulasi dalam rangka mencapai kemandirian dan
ketahanan pangan, dengan menempuh dua strategi melalui peningkatan produksi
dan penurunan konsumsi pangan, terutama beras. Pemenuhan kebutuhan pangan
nasional khususnya beras terus mengalami peningkatan dikarenakan adanya
pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi beras perkapita yang tinggi
tiap tahun.
Ketahanan pangan yang menitikberatkan ketersediaan pangan terutama
beras melalui peningkatan produksi dalam negeri dihadapkan pada semakin
terbatasnya kapasitas produksi. Produksi padi memang masih mengalami
peningkatan akan tetapi produktivitas sudah mengalami pelandaian seperti yang
terlihat pada Gambar 1. Hal yang perlu diperhatikan juga bahwa produksi
Indonesia ada keterbatasan terkait sumberdaya lahan dan air untuk pertanian,
antara lain: meluasnya lahan kritis yang mengancam produksi pangan, penyusutan
lahan pertanian terutama persawahan karena ada konversi lahan menjadi industri,
pemukiman, bahkan perkebunan kelapa sawit, perubahan iklim global yang
menyebabkan perubahan pola curah hujan dan pola tanam (Bappenas 2008).

2

Penyediaan air untuk irigasi makin sulit dipenuhi dikarenakan kerusakan
infrastruktur pengairan, degradasi sistem irigasi, kerusakan hutan, dan persaingan
pemanfaatan sumber daya air dengan sektor lain. Data dari Kementrian Pekerjaan
Umum (2011) menunjukkan bahwa sejumlah 52% prasarana irigasi dalam kondisi
rusak dengan rincian 10% rusak berat sedangkan sisanya sebesar 42% dalam
kondisi rusak sedang dan ringan.
Produksi dan produktivitas Padi

70
65
60
55
50
Produktivitas
Padi (Ku/Ha)

45
40

Produksi Padi
(juta ton)

35
30
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Tahun
Sumber: BPS (2011)

Gambar 1. Produksi dan produktivitas padi Indonesia tahun 2000 - 2010
Strategi penurunan konsumsi beras melalui penganekaragaman konsumsi
pangan sangat diperlukan. Penganekaragaman sangat diperlukan karena
produktivitas mengalami levelling off dan tingkat konsumsi beras masyarakat
Indonesia sudah melampaui standar kecukupan konsumsi anjuran pada
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) sebebsar 1 100 kkal. Rata-rata
konsumsi energi per kapita per hari untuk padi-padian sudah mencapai 1 232 kkal
atau 112% dari anjuran. Hasil estimasi BPS (2011) memperkirakan bahwa
konsumsi beras mencapai 139.15 kg/kapita/tahun. Tingginya konsumsi beras
Indonesia jauh melebihi negara tetangga seperti Thailand yang 79 kg/kapita/tahun
dan Malaysia yang hanya 63 kg/kapita/tahun. Apabila konsumsi beras selalu
setinggi ini padahal sumber daya produksi mempunyai keterbatasan, Indonesia
akan semakin tergantung dengan pasokan dari luar negeri. Impor beras pernah
turun di tahun 2008 dan 2009, tapi kemudian meningkat lagi seperti tersaji pada
Tabel 2 yaitu di tahun 2010 menjadi 688 ribu ton.
Tabel 2. Perkembangan produktivitas, produksi padi, beras, konsumsi serta
volume impor beras tahun 2006 – 2010
Produktivitas Produksi
Produksi
Konsumsi
Impor
Tahun
Padi
Padi
Beras
Beras
Beras
(Ku/Ha)
(ribu ton) (ribu ton)
(ribu ton)
(ribu ton)
2006
2007
2008
2009
2010

46.2
47.05
48.94
49.99
50.15

Sumber: BPS (2006 - 2010)

54 454
57 157
60 325
64 398
66 469

31 773
33 350
35 199
37 575
38 783

27 486
28 785
30 135
30 922
33 067

438
1 407
290
250
688

3

Ketergantungan beras impor perlu dikurangi dan segera beralih kepada
produk pangan lokal yang masih berpotensi untuk dikembangkan. Komoditi
pangan lokal seperti singkong, ubi jalar, sagu, jagung, dan talas dapat digunakan
sebagai sumber karbohidrat pengganti beras. Indonesia mengalami impor
komoditas pangan tertinggi pada saat krisis pangan tahun 2007. Tingginya impor
produk pangan menyebabkan neraca perdagangan pertanian subsektor tanaman
pangan masih negatif.
Beberapa provinsi seperti Provinsi Papua, Papua Barat, Riau, Kepulauan
Riau, Maluku, dan Bangka Belitung termasuk wilayah dengan defisit serealia
tinggi (Gambar 2) sehingga membutuhkan pasokan dari daerah lain. Provinsi
dengan defisit serealia mempunyai peran dalam impor beras. Oleh karena itu,
utamanya di provinsi tersebut perlu dicarikan sumber pangan alternatif pengganti
beras. Pemenuhan kebutuhan untuk konsumsi beras di Papua dipasok dari luar
daerah seperti Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 2009 kapasitas
produksi beras di Papua hanya mencapai 49 ribu ton padahal kebutuhannya
sebesar 312 ribu ton. Hal tersebut menyebabkan Papua mendatangkan beras lebih
dari 5 kali kapasitas produksinya, yaitu mencapai 263 ribu ton beras (BPS Papua
2009).
Dependensi Papua terhadap beras pasokan dari luar daerah menyebabkan
Papua sangat rentan terhadap guncangan terutama dari sisi ketersediaan dan
kelancaran distribusi. Penerapan kebijakan perberasan yang dominan pada masa
Orde Baru menyebabkan perubahan sosial budaya, masyarakat yang
mengkonsumsi bahan pokok lain kini merata mengkonsumsi beras (beras
oriented). Di Provinsi Papua yang sumber pangan pokok lokal sebelumnya adalah
ubi jalar dan sagu, kini pangan pokok lokal tersebut semakin terpinggirkan.

Sumber: Badan Ketahanan Pangan (2009)

Gambar 2. Peta rasio konsumsi normatif perkapita terhadap produksi bersih
serealia per daerah

4

Kondisi Provinsi Papua ditinjau dari sisi agroekologi kurang produktif
untuk ditanami padi. Hanya beberapa kabupaten yang mampu memproduksi padi
seperti Merauke, Jayapura, dan Waropen, namun, produktivitasnya masih di
bawah produktivitas nasional. Pada tahun 2009, produktivitas padi di Papua hanya
39.43 Ku/Ha jauh di bawah produktivitas nasional yang hampir mencapai 50
Ku/Ha. Papua lebih berpotensi sebagai daerah penghasil sagu atau ubi jalar. Dari
dua juta hektar kebun sagu dunia, satu juta ada di Indonesia dimana sekitar 900
ribu hektar terdapat di Papua. Selain itu, ditinjau dari kondisi sosiologi
masyarakat Papua yang tidak terbiasa bertanam padi cukup mempersulit dalam
peningkatan produktivitasnya.
Beberapa hal tersebut menjadi landasan pemerintah untuk semakin
menggalakkan program diversifikasi pangan. Program diversifikasi pangan
merupakan program prioritas untuk mendukung swasembada beras dengan dasar
Perpres No. 22 tahun 2009 dan Permentan No. 43 Tahun 2009. Kegiatan utama
program diimplementasikan melalui gerakan Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan (P2KP). Program tersebut sudah mulai mengedepankan
kearifan potensi pangan lokal sebagai wujud program diversifikasi pangan
sekaligus mencapai pola pangan harapan (PPH) yang seimbang.
Perumusan Masalah
Program diversifikasi pangan yang sebenarnya sudah dimulai lebih dari 45
tahun yang lalu dirasakan belum berhasil sesuai harapan (Mardianto et al. 2005).
Hal tersebut dikarenakan ada beberapa kebijakan maupun program yang justru
mengeliminasi tujuan diversifikasi seperti pemberian beras untuk pegawai,
penetapan harga atap, dan pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin).
Kebijakan pemerintah yang inkonsisten perlu dievaluasi ulang yang menjadi
prioritas sesuai tujuan pembangunan.
Pemberian raskin mulai 2002 yang merupakan pengembangan dari
Operasi Pasar Khusus (OPK) beras secara langsung kepada penerima merupakan
upaya yang baik dalam mengatasi masalah rawan pangan. raskin dapat dipandang
sebagai transfer pendapatan pemerintah secara tidak langsung terhadap rumah
tangga miskin. Akan tetapi, dampak lain dari kebijakan tersebut menyebabkan
beras relatif murah dan mudah diperoleh sehinggga semakin mendorong
masyarakat untuk mengkonsumsinya. Kompetisi antar makanan pokok lain akan
terpinggirkan apabila pemerintah terlalu memperhatikan kondisi perberasan dan
mengindahkan keberadaan pangan pokok lokal yang berpotensi.
Konsumsi beras yang sudah membudaya bahkan di daerah yang bukan
berpotensi beras seperti Papua perlu dikembalikan pada kearifan pangan lokalnya.
Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Papua pada tahun
2009 tercatat bahwa sebanyak penduduk Papua yang mengkonsumsi sagu hanya
15%, mengkonsumsi umbi-umbian 30%, dan sebagian besar yaitu sebanyak 55%
lebih gemar memakan nasi dibandingkan pangan pokok lokal yang tersedia.
Target pemerintah yang disepakati pada WNPG 2004 untuk menurunkan
konsumsi beras per tahun sebesar 1.5% belum terwujud, bahkan trennya justru
semakin naik. Selama ini sisi konsumsi masih kurang dikaji padahal sudah
menjadi indikasi adanya pemborosan.

5

Pangan lokal belum dimanfaatkan secara optimal dibuktikan pada
penelitian Rachman dan Ariani (2008) yang menunjukkan bahwa sejak tahun
2005 mayoritas masyarakat, di kota atau desa, kaya maupun miskin memiliki satu
pangan pokok yaitu beras. Konsumsi pangan masyarakat belum beragam dan
seimbang sehingga keanekaraagaman konsumsi dan gizi yang sesuai dengan
kaidah nutrisi seimbang belum terwujud. Ariani dan Ashari (2003) menyebutkan
bahwa persentase yang mengkonsumsi beras di Maluku dan Papua meskipun
masih 80%, tapi trennya meningkat.
Tabel 3. Skor PPH dan peringkat menurut provinsi tahun 2008 dan 2012
Skor PPH
Peringkat
No.
Provinsi
2008
2012
2008
2012
1
Aceh
73.4
69.5
30
29
2
Sumatra Utara
75.1
74.1
29
21
3
Sumatra Barat
79.6
77.5
19
11
4
Riau
84.0
77.2
5
12
5
Kepulauan Riau
83.4
77.7
8
10
6
Jambi
82.7
79.9
13
6
7
Sumatra Selatan
82.7
76.7
14
15
8
Kep. Bangka Belitung
83.9
75.7
6
18
9
Bengkulu
79.5
76.5
20
16
10
Lampung
85.8
80.9
4
3
11
DKI Jakarta
82.9
81.2
9
2
12
Jawa Barat
76.4
70.2
27
27
13
Banten
82.8
76.1
11
17
14
Jawa Tengah
81.0
73.6
15
22
15
DI Yogyakarta
77.0
80.7
26
4
16
Jawa Timur
80.5
73.3
17
23
17
Bali
93.3
81.2
1
1
18
NTB
73.4
71.2
31
26
19
NTT
79.1
67.8
21
32
20
Kalimantan Barat
76.4
68.6
28
31
21
Kalimantan Tengah
87.9
79.6
2
7
22
Kalimantan Selatan
78.5
76.7
23
14
23
Kalimantan Timur
80.5
78.3
16
8
24
Sulawesi Utara
82.7
77.8
12
9
25
Sulawesi Tengah
83.7
72.7
7
25
26
Sulawesi Tenggara
80.3
75.3
18
20
27
Sulawesi Selatan
86.9
80.4
3
5
28
Gorontalo
68.5
69.7
32
28
29
Sulawesi Barat
77.5
68.8
25
30
30
Maluku
78.0
75.5
24
19
31
Maluku Utara
82.9
76.8
10
13
32
Papua
78.8
64.0
22
33
33
Papua Barat
73.1
24
Indonesia
Sumber: BKP (2008 dan 2012)

81.9

75.4

6

Data Survei Sosial ekonomi Nasional (Susenas) 2008 menunjukkan bahwa
skor keragaman konsumsi pangan yang diukur dengan skor Pola Pangan Harapan
(PPH) baru mencapai 81.9 masih di bawah target WNPG 2004 yaitu sebesar 89.8.
Dari Tabel 3 terlihat bahwa secara umum skor PPH 2012 menurun dibandingkan
tahun 2008, dan penurunan yang signifikan adalah Papua bahkan menjadi provinsi
peringkat terakhir. Retnaningsih (2007) menyatakan bahwa rumah tangga dengan
kemandirian pangan tinggi mempunya skor PPH yang lebih baik dibandingkan
lainnnya. Kemandirian pangan rumah tangga merupakan dasar ketahanan dan
kemandirian pangan daerah.
Di era otonomi daerah dimana seharusnya daerah bisa mandiri dan
mengembangkan kearifan lokal, Papua sampai sekarang dirasa masih terlalu
menginduk pada kebijakan pemerintah pusat. Strategi dan peraturan Pemerintah
Papua belum diarahkan untuk mengembangkan kerangka P2KP di Papua.
Penerapan peraturan aturan atau kebijakan penganekaragaman seperti yang
dilakukan Kota Depok (sehari tanpa nasi) dan NTB (kudapan lokal saat rapat
pemerintah daerah) belum dilakukan. Pengembangan produk pangan lokal seperti
industri pangan berbasis sagu dan ubi jalar juga belum ada, padahal daerah lain
ada yang sudah mengembangkan beras analog, mi sagu, dan produk olahan
lainnya.
Dengan pertimbangan kondisi dan peluang potensi pengembangan
keanekaragaman konsumsi pangan lokal di Papua, maka pola konsumsi berbasis
pangan pokok lokal perlu dirubah setahap demi setahap dengan
mempertimbangkan ketersediaan pangan, pengetahuan, dan daya beli masyarakat.
Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 25 tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas) bahwa program peningkatan
ketahanan pangan mencakup peningkatan keanekaragaman pada subsistem
produksi juga subsistem konsumsi pangan sampai pada tingkat rumah tangga
(Suryana et al. 2001).
Pengembangan kerangka P2KP di Papua salah satunya dapat dilakukan
dengan mengintervensi program raskin. Program raskin di Papua sebaiknya
dicarikan alternatif pengganti sesuai denga kondisi kewilayahan dan potensi
pangan lokalnya. Penggantian program raskin menjadi pangan lokalnya
diharapkan dapat mendorong kemandirian pangan dan mengurangi konsumsi
beras di Papua. Selain itu, ke depannya dapat meminimalkan sumbangan Papua
terhadap impor beras dan diharapkan dapat mengekspor produk pangan lokalnya.
Pola konsumsi pangan dapat berlainan antar suku bangsa, antar daerah,
dan antar golongan pendapatan. Menurut Sumarwan dan Sukandar (1998) besar
kecilnya pendapatan akan menentukan jenis pangan yang akan dikonsumsi oleh
suatu rumah tangga, kemudian jenis pangan tersebut akan menentukan pola
konsumsinya. Kahar (2010) menyatakan bahwa keragaman konsumsi masyarakat
di desa dan di kota berbeda dikarenakan perbedaan fasilitas dan aksesibilitas suatu
wilayah.
Aksesibilitas terhadap sumber pangan karbohidrat di Papua perlu
diidentifikasi dan dikategorikan berdasarkan potensi pangan lokalnya. Identifikasi
dan pengategorian potensi pangan pokok lokal akan memperjelas gambaran
kondisi. Selain itu, penghitungan elastisitas (harga, silang, dan pendapatan)
sebagai dasar simulasi dengan pengategorian tersebut diharapkan menghasilkan
produk pangan apa yang lebih tepat digunakan sebagai pengganti beras di Papua.

7

Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi
fokus penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pola konsumsi pangan penduduk Provinsi Papua, apakah sudah
menggambarkan kondisi keanekaragaman pangan berbasis kearifan pangan
pokok lokal atau belum?
2. Bagaimana cara untuk mempengaruhi pola konsumsi pangan pokok agar
kembali pada komoditi kearifan pangan pokok lokal di Papua?
3. Bagaimana dampak kebijakan pemberian raskin terhadap perubahan pola
konsumsi pangan pokok lokal di Provinsi Papua?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan, maka tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan kondisi pola konsumsi pangan pokok di Provinsi Papua.
2. Menganalisis faktor yang berpengaruh pada pola konsumsi pangan pokokdi
Provinsi Papua.
3. Menganalisis dampak kebijakan pemberian raskin terhadap pola konsumsi
pangan pokok di Provinsi Papua.
Manfaat Penelitian
Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat digunakan pemerintah dalam
membantu perencanaan dan evaluasi penyediaan pangan bagi pemenuhan
kebutuhan konsumsi suatu daerah terutama di Provinsi Papua. Selain itu, agar
dapat digunakan sebagai alternatif upaya percepatan program diversifikasi
berbasis pangan pokok lokal dan memberikan usulan alternatif kebijakan
pengganti raskin.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Ketahanan dan Swasembada Pangan
Konsep ketahanan pangan berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata,
dan terjangkau. Konsep ketahanan pangan tersebut sejalan dengan definisi
ketahanan pangan menurut Food and Agriculture Organization (FAO) dan World
Health Organization (WHO) yaitu akses setiap rumah tangga dan individu untuk
dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat.
Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan yang fokus pada beras,
pemerintah melakukan program swasembada beras. Kebijakan swasembada beras
yang diterapkan di Indonesia diwujudkan melalui sisi produksi maupun konsumsi.
Beberapa kebijakan/program yang dilakukan meliputi banyak kegiatan, di
antaranya:
1. Kebijakan subsidi produksi. Subsidi produksi langsung merupakan alternatif
peningkatan produksi dalam kerangka meminimalkan biaya produksi petani.
Subsidi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pemberian langsung kepada
produsen sejumlah nilai tertentu untuk setiap unit produk yang diproduksi, dan

8

yang kedua dengan mensubsidi input yang paling penting (critical) untuk
produksi seperti pupuk, irigasi, dan sebagainya. Dengan subsidi jenis kedua ini
maka harga input akan berada di bawah harga pasar bebas (free market) dan
dapat dilakukan dengan pemberian melalui produsen input atau ke petani
langsung.
2. Kebijakan stabilisasi harga beras melalui penentuan Harga Atap (Ceiling Price)
dan Harga Dasar (Floor Price). Kebijakan stabilisasi harga bermanfaat bagi
masyarakat secara keseluruhan sepanjang biaya penyimpanan untuk buffer
stock tidak lebih besar dari pada dead weight loss yang timbul. Stabilisasi harga
dapat juga dilakukan dengan buka tutup keran impor jika pemerintah tidak
melakukan pembelian untuk mengisi stok tapi hal ini akan mengurangi
kesejahteraan petani.
Pelaksanaan stabilisasi harga beras utamanya dilakukan melalui operasi
pasar. Pada awalnya, sasaran operasi ditujukan untuk semua lapisan masyarakat
kemudian berubah mulai tahun 1998 dengan sasaran daerah tertentu dalam bentuk
Operasi Pasar Murni (OPM). Sasaran dievaluasi kembali menjadi masyarakat
miskin dalam Operasi Pasar Khusus (OPK) mulai Juli 1998 yang menjadi cikal
bakal program raskin. Simatupang dan Timmer (2008) menjelaskan bahwa
stabilisasi harga beras maupun subsidi input relatif tidak efektif.
Kajian mengenai kebijakan swasembada pertanian di Indonesia sebagian
besar menggunakan pendekatan ekonomi yang mengabaikan kompetisi di antara
berbagai kelompok kepentingan dalam mempengaruhi pembuatan dan
implementasi kebijakan tersebut. Barrett (1999) menegaskan bahwa adanya gap
yang besar pada penggunaan pendekatan analisis kebijakan pertanian
menyebabkan tidak terungkapnya upaya politik (political strugle) dari berbagai
kelompok kepentingan dalam memperebutkan manfaat kebijakan bagi masingmasing kelompok, dan penekanan dari aspek politik gagal menjelaskan proses
ekonomi (economic genesis) dari konvergensi yang terjadi.
Kerangka ketahanan dilanjutkan untuk mencapai kemandirian bahkan
kedaulatan pangan. Kemandirian pangan merupakan ketahanan pangan yang
dicapai melalui pengoptimalisasian sumber daya domestik. Karakteristik lokal
daerah seperti potensi sumber daya alam dan keberagaman sumber daya pangan
perlu menjadi basis pertimbangan dalam menentukan kebijakan pangan.
Beberapa kajian penelitian sudah membahas masalah ketidakseimbangan
antara produksi dan konsumsi Indonesia. Pemerintah sudah mencermati kondisi
ini sehingga kemudian digalakkan kembali program diversifikasi pangan.
Pemerintah mengusahakan untuk dapat merubah kebiasaan konsumsi ‘beras’
oriented, agar kembali menyukai produk pangan lokal.
Kebijakan Raskin
Cikal bakal program raskin adalah program bantuan pangan bersubsidi
yang disebut OPK Beras pada Juli 1998. Program ini termasuk salah satu program
Jaring pengaman Sosial (JPS) dan merupakan komponen ketahanan pangan.
Perubahan nama menjadi raskin baru pada tahun 2002 yang bertujuan untuk
mempertajam ketepatan sasaran penerima manfaat. OPK dan raskin dinilai telah
mampu mengontrol inflasi dan mempertahankan ketahanan pangan masyarakat
miskin.

9

Berdasarkan Inpres No.9 Tahun 2001, kebijakan intervensi pangan murah
yang disebut raskin bertujuan memberikan jaminan bagi ketersediaan dan
pelaksanaan penyaluran beras bagi kelompok rumah tangga sasaran (RTS) dan
daerah rawan pangan. Kerangka manfaat raskin dapat memberikan dampak ganda
terhadap pengurangan kemiskinan (Siregar dan Anggraini 2010). Dampak ganda
yang dimaksud adalah dalam hal pengadaan (oleh petani) dan pemberian raskin
(bagi RTS). Petani memperoleh jaminan pembelian dan harga sehingga ada
perbaikan kesejahteraan petani terutama petani gurem dan penurunan kemiskinan
di pedesaaan. RTS penerima berarti mendapatkan transfer pendapatan dan
kenaikan produktivitas (karena ada perbaikan gizi). Tujuan mempertahankan
ketahanan pangan RTS dan stabilisasi harga dapat tercapai.
Keberhasilan program raskin diukur berdasarkan tingkat pencapaian
indikator 6T, yaitu: tepat sasaran, jumlah, harga, waktu, kualitas, dan administrasi.
Evaluasi raskin sudah banyak dilakukan, baik oleh perguruan tinggi maupun
lembaga penelitian. Hastuti et al. (2012) memperlihatkan bahwa ke-6 indikator
ketepatan belum sepenuhnya tercapai. Program raskin masih perlu perbaikan agar
semakin efektif dalam mencapai tujuan.
Ketepatan harga dan waktu menjadi masalah terutama di daerah yang sulit
dijangkau seperti Papua. Alur distribusi pemberian raskin yang seharusnya pada
titik distribusi setingkat kelurahan tidak bisa dilakukan seperti pada Gambar 3.
Letak yang jauh dan medan yang sulit dijangkau menjadikan beberapa daerah
memperoleh raskin tidak setiap bulan, tapi harus dirapel untuk beberapa bulan.
Pada dasarnya tujuan untuk mempertahankan ketahanan pangan tidak
harus berorientasi beras, masih banyak pangan pokok lokal yang dapat
dikembangkan. Pemberian raskin akan mengurangi superiotas beras dan membuat
pangan pokok lokal semakin kurang diminati. Dari segi vitamin ataupun serat, ada
sebagian pangan lokal yang mampu memberikan kalori yang tinggi sekaligus serat
yang lebih banyak. Keunggulan pangan lokal harus semakin dipromosikan agar
secara bertahap masyarakat dapat beralih kembali mengkonsumsinya. Selain itu,
pengolahan lanjutan pangan lokal menjadi produk industri berbasis agro
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.

10

Ketua Tim raskin Nasional: Kementrian
Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat
Pagu Provinsi

Gubernur
Pagu Kab/Kota

Bupati/Walikota

Perum Bulog
(Divisi/Sub Divisi Regional.

Gudang :
Satgas raskin

Titik Distribusi:
Pelaksana Distribusi

Kelompok Kerja

Warung Desa

Kelompok Masyarakat

Rumah Tangga Sasaran Penerima raskin
Sumber: Badan Urusan Logistig (Bulog)

Gambar 3. Alur distribusi pembagian raskin

Pola Konsumsi Rumah Tangga
Pola konsumsi merupakan suatu cara mengkombinasikan komoditas unsur
konsumsi dengan tingkat konsumsi secara keseluruhan. Permintaan/konsumsi
pada dasarnya dibatasi oleh kemampuan untuk mengkonsumsi barang/jasa
tersebut. Kemampuan tersebut ditentukan terutama oleh pendapatan dari rumah
tangga dan harga barang yang dikehendaki. Apabila jumlah pendapatan yang
dapat dibelanjakan berubah maka jumlah barang yang diminta juga akan berubah.
Demikian pula halnya bila harga barang yang dikehendaki berubah. Hal ini
menjadi kendala bagi rumah tangga dalam mengkonsumsi suatu barang.
Keterbatasan pendapatan yang dimiliki antar rumah tangga membuat tingkat
konsumsi akan suatu barang berbeda pula, sehingga membentuk pola konsumsi
yang berbeda antar rumah tangga.

11

Satu cara untuk mengkaji pola konsumi rumah tangga adalah dengan
menganalisis tingkat pengeluaran konsumsi rumah tangga tersebut. Pengetahuan
mengenai jenis-jenis barang yang dikonsumsi masyarakat dapat dijadikan dasar
bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pangan, terutama terkait
ketersediaan yang cukup dan pemenuhan gizi yang optimal.
Pengeluaran pangan negara berkembang lebih besar dibandingkan
pengeluaran untuk bukan pangan. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendapatan
yang rendah sehingga pemenuhan kebutuhan makanan menjadi prioritas utama.
Pada kurun waktu dari tahun 2002-2010 di Indonesia, rata-rata pengeluaran untuk
konsumsi makanan terutama bahan pokok lebih tinggi dari konsumsi non
makanan. Komoditi beras mendominasi besaran konsumsi makanan, sedangkan
untuk konsumsi non makanan khususnya komoditi barang dan jasa seperti
perumahan dan pendidikan masih menempati prioritas yang utama (BPS, 2010).
Perilaku dan karakteristik konsumen dapat digunakan untuk melihat pola
konsumsi. Kahar (2010) mengemukakan bahwa penduduk pedesaan masih
mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan sedangkan penduduk
perkotaan sudah mulai beralih kebutuhan non makanan. Tingkat pendidikan
kepala rumah tangga mempengaruhi konsumsi komoditas protein hewani (daging,
ikan, telur, dan susu) di daerah perkotaan. Jumlah anggota rumah tangga
mempengaruhi besaran konsumsi makanan pokok.
Konsumsi pangan pada rumah tangga dapat dinilai melalui kualitas dan
kuantitas pangan. Dalam penelitian ini, konsumsi pangan dilihat dari kuantitas
pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Dari sisi kualitas dinilai dari
keragaman komposisi jenis pangan dan kecukupan gizi yang terkandung di
dalamnya. Kualitas pangan diukur dari pemenuhan kalori yang terkandung dalam
bahan makanan yang dikonsumsi dibandingkan dengan batas anjuran WNPG
untuk pangan sumber karbohidrat sebesar 1 100 kalori.
Fungsi Permintaan
Teori permintaan menjelaskan sifat pemintaan konsumen terhadap suatu
komoditas dan hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan harga.
Permintaan suatu barang ditentukan oleh banyak faktor, antara lain harga barang
itu sendiri, harga barang lain yang terkait, pendapatan, selera, jumlah penduduk,
dan ekspektasi keadaan di masa mendatang.
Konsumen diasumsikan mempunyai sifat rasional yaitu bertujuan
memaksimumkan utilitasnya berdasarkan batasan jumlah pendapatan atau
anggaran belanja yang dimiliki. Konsumen akan memilih berbagai kombinasi
sejumlah n barang dengan kendala anggaran. Fungsi permintaan konsumen yang
disesuaikan dengan kendala anggaran dituliskan secara matematis dengan:
)
(2.1)
= (
…. ) + ( − ∑
dimana y adalah pendapatan (tetap), pi adalah harga barang ke-i. λ adalah marjinal
utilitas dari pendapatan
Fungsi permintaan ini disebut sebagai fungsi permintaan Marshallian
(Marshallian Demand Function) atau disebut juga uncompensated demand
function yang menyatakan bahwa suatu besaran konsumsi atau permintaan
komoditi oleh seorang konsumen dipengaruhi oleh tingkat harga komoditi
tersebut, harga komoditi lain, dan pendapatan. Bentuk yang lain adalah fungsi

12

permintaan Hicksian (Hicksian demand function) yang diperoleh dari minimisasi
pengeluaran pada tingkat utilitas tertentu (konstan).
Kesimpulan penting dari fungsi permintaan Marshallian adalah permintaan
terhadap komoditas apapun merupakan fungsi single-value dari harga-harga dan
pendapatan, dan fungsi permintaan adalah homogen derajat nol dalam harga dan
pendapatan dimana bila semua harga dan pendapatan berubah dalam proporsi
yang sama maka jumlah barang yang diminta tetap, tidak akan berubah
(Henderson dan Quandt 1980). Kesimpulan pertama merupakan nilai maksimum
dari turunan pertama fungsi utilitas yang ditunjukkan dengan nilai Rate of
Commodity Subtitution (RCS) sama dengan rasio harga. Kesimpulan yang kedua
menunjukkan bahwa syarat turunan kedua harus terpenuhi. Dalam permintaan n
barang turunan kedua menghasilkan penurunan RCS antara tiap pasang komoditi.
Dalam model permintaan untuk n komoditi maka elastisitas yang dihasilkan
harus memenuhi kondisi (Henderson dan Quandt 1980):
1. Homogenitas.
Persyaratan yang menyebutkan bahwa jika pendapatan dan harga berubah
dalam proporsi yang sama, maka permintaan terhadap suatu komoditas tidak
akan berubah. Hal ini merupakan implikasi dari sifat fungsi permintaan yang
homogen berderajat nol terhadap harga dan pendapatan. Bentuk matematisnya
adalah sebagai berikut:
+
= 0
(2.2)
+ ∑
dimana εii adalah elastisitas harga sendiri, εij adalah elastisitas harga silang dan
adalah elastisitas pendapatan.
2. Agregasi Cournot.
Agregasi cournot merupakan rata-rata tertimbang dari elatisitas harga sendiri
dan elastisitas harga silang sebuah komoditi dengan penimbang rata-rata
pangsa pendapatan atau proporsi pengeluaran barang tersebut terhadap total
pengeluaran, sama dengan negatif dari pangsa pendapatan barang tersebut,
sebagai berikut :
∑ α ε = − α = 1, ……, n
(2.3)
dimana α adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-i terhadap total
pengeluaran, α adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-j terhadap total
pengeluaran, adalah elastisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang.
Untuk fungsi permintaan terkompensasi (Hicksian Demand Function) maka
aggregasi Cournot harus sama dengan nol. Dinotasikan dengan rumus :
∑ α ξ = 0 = 1, ……, n
(2.4)
dimana ξ adalah elatisitas harga silang terkompensasi.
3. Aggregasi Engel.
Aggregasi Engel menunjukkan hubungan antara elastisitas pendapatan dengan
berbagai komoditi yang dibelanjakan konsumen. Jumlah elastisitas pendapatan
tertimbang semua komoditi yang dibelanjakan konsumen sama dengan satu.
Dinotasikan dengan rumus :
∑ α = 1
(2.5)
dimana η adalah elastisitas pendapatan
4. Negativitas dan Slutsky Condition.
Perubahan harga akan menyebabkan perubahan pendapatan riil. Dampak
perubahan ini bisa dipisahkan atas pengaruh substitusi (substitution effect) dan

13

pengaruh pendapatan (income effect). Slutsky-schultz condition adalah bahwa
nilai elastisitas harga sendiri dari uncompensated demand akan sama nilainya
dengan elastisitas harga sendiri dari compensated demand dikurangi dengan
elastisitas pendapatan yang sudah dikali dengan proporsi pengeluaran
komoditas ke-i. Persamaan Slutsky dirumuskan sebagai berikut:
ε = ∑ ξ − α
(2.6)
dimana εii adalah elastisitas harga sendiri uncompensated, ξ adalah elatisitas
harga sendiri compensated, dan adalah elastisitas pendapatan.
Pengaruh substitusi merupakan pengaruh negatif, yang merupakan syarat
negativitas Slutsky. Syarat simetri Slutky menyatakan bahwa apabila
pendapatan riil konstan, pengaruh substitusi akibat perubahan harga
komoditas j terhadap permintaan komoditas i sama dengan pengaruh substitusi
akibat perubahan harga komoditas i terhadap permintaan komoditas j. Efek
substitusi dari komoditas i dan j tersebut bersifat simetri, dan kondisi simetri
dapat ditulis sebagai berikut :
α ( ε + α ) = α ( ε + α )
(2.7)

Elastisitas didefinisikan sebagai ukuran persentase perubahan pada suatu
variabel yang disebabkan oleh perubahan satu persen variabel yang lain.
Elastisitas permintaan menunjukkan persentase perubahan jumlah barang yang
diminta akibat perubahan 1% variabel yang memengaruhinya, sementara kondisi
lainnya diasumsikan tidak berubah. Jika dilihat dari penyebab perubahan
permintaan, elastisitas dikelompokkan menjadi elastisitas harga (sendiri),
elastisitas silang, dan elastisitas pendapatan.
Elastisitas harga, merupakan persentase kenaikan/penurunan jumlah
barang yang diminta akibat perubahan harga barang itu sendiri. Sesuai dengan
hokum permintaan, kenaikan harga menyebabkan turunnya jumlah barang yang
diminta. Sebaliknya, turunnya harga barang tersebut akan menyebabkan kenaikan
kenaikan jumlah barang yang diminta. Sehingga, elastisitas harga mempunyai
tanda negatif. Nilai elastisitas dapat membedakan barang menjadi: |ε| < 1 (barang
inelastic), |ε| = 1, (barang tersebut termasuk barang yang memiliki elastisitas unit),
dan |ε| > 1 (barang elastis).
Elastisitas silang menunjukkan perubahan jumlah barang yang diminta
(dalam %) disebabkan oleh perubahan harga barang lain (dalam %). Nilai
elastisitas silang tergantung pada hubungan kedua barang tersebut, apakah barang
pelengkap (komplementer) dengan nilai elastisitas < 0, barang pengganti
(substitusi) dengan nilai elastisitas > 0, atau tidak ada hubungan kegunaan pada
kedua barang tersebut (netral) jika nilai elastisitas silangnya = 0.
Elastisitas pendapatan menunjukkan ukuran respon permintaan konsumen
terhadap suatu komoditas akibat adanya perubahan pendapatan konsumen. Nilai
elastisitas pendapatan dapat dipergunakan untuk mengelompokkan suatu barang
apakah termasuk barang inferior, barang normal, atau barang mewah. Nilai
elastisitas dapat dibedakan menjadi: ε < 0, barang tersebut termasuk barang
inferior, 0 < ε 1,
barang tersebut termasuk barang mewah.

14

Efek Substitusi dan Efek Pendapatan
Hubungan permintaan suatu jenis barang dengan adanya perubahan harga
akan menimbulkan dua efek, yaitu efek substitusi dan efek pendapatan.
Maksimisasi utilitas dengan asumsi barang normal adalah turunnya harga barang
akan meningkatkan jumlah barang yang dibeli. Hal ini dikarenakan efek substitus