Analysis of Food Consumption Situation and Needs in Papua Province

(1)

CAHAYA IRIANI SIAGIAN

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

ABSTRACT

CAHAYA IRIANI SIAGIAN. Analysis of Food Consumption Situation and Needs in Papua Province. Supervised by YAYAT HERYATNO and CESILIA METI DWIRIANI.

The aim of this study was to analyze the food consumption situation and need in Papua Province. This research using secondary data, that were region sosio economic and demographic characteristics, and number of population which ware obtained from Badan Pusat Statistik (BPS), and food consumption obtained from National Socio Economic Survey (Susenas )in 2008, 2009, and 2010. Processing and analysis of data were done by tabulation techniques with descriptive statistics approach using software “Application Program Planning Food and Nutrition”. The results of this data showed energy consumption in Papua Province was 1993 kcal/capita/day (99.6% of RDA) and protein consumption was 48.1 gram/capita/day (92.7% of RDA). The quantity of energy and protein intake still below WNPG 2004 standard. Similarly, score of Desirable Dietary Pattern in 2010 (81.0) was less than minimum service standards (SPM) in 2015 (90). This research also carried outthe need and food consumption and needs prediction for 2011- 2015 in Papua Province. The results showed that consumption of food groups need to be improved are grains (4.29%), animal food (3.02%), fruit/seeds (13.90%), legumes (2.63%), and sugar (2.19%), fruits and vegetables (0.76 %). Similary, prediction analysis showed needs consumption of food groups that should be improved are grains (9.90%), animal food(8.53%), oils and fats(4.3%), fruits/seeds(20.83%), legumes(8.15%), sugar(7.65%),fruits and vegetables (6.18%).


(3)

Provinsi Papua. Di bawah bimbingan oleh Yayat Heryatno dan Cesilia Meti Dwiriani.

Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan. Provinsi Papua merupakan provinsi yang terletak di wilayah paling timur Indonesia. Secara umum, konsumsi energi di Provinsi Papua masih rendah dari konsumsi energi ideal yang direkomendasikan oleh WNPG 2004 (2000 kkal/kapita/hari). Hal ini ditunjukkan dengan konsumsi pangan di Provinsi Papua pada tahun 2007 adalah 1984 kkal/kapita/hari dengan skor PPH yaitu 80.9 (BPS 2008). Skor PPH di Provinsi Papua masih kurang beragam dan berimbang, dimana semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan penduduk tersebut dan berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Kurang beragamnya pangan yang dipilih dan tidak cukupnya jumlah yang dikonsumsi merupakan masalah konsumsi pangan dan gizi yang sering terjadi.

Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan berdasarkan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua. Tujuan khususnya adalah (1) menganalisis situasi konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua pada tahun 2008-2010, (2) menganalisis proyeksi konsumsi pangan penduduk berdasarkan pendekatan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua pada tahun 2011-2015, dan (3) menganalisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk berdasarkan pendekatan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua pada tahun 2011-2015.

Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatanprospective studydengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun 2010 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei-Juni 2012. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data sekunder yang meliputi data karakteristik wilayah, data konsumsi pangan, dan data jumlah penduduk. Data karakteristik wilayah dan data rata-rata kuantitas konsumsi pangan per kapita/minggu menurut jenis dan kelompok makanan serta golongan pengeluaran penduduk di Provinsi Papua tahun 2008-2010 berdasarkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), serta data jumlah penduduk diperoleh dari Papua Dalam Angka dari tahun 2008-2010.

Kegiatan pengolahan di awali dengan pengolahan data konsumsi pangan rumahtangga Provinsi Papua dengan menggunakan program Microsoft excel dan software “Program Analisis Situasi dan Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah”. Analisis dalam pengolahan meliputi (1) analisis situasi konsumsi pangan yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitataif. Analisis kuantitatif yaitu mengamati tingkat kecukupan energi (TKE) dan tingkat kecukupan protein (TKP) sedangkan analisis kualitatif yaitu mengamati skor pola pangan harapan (PPH). (2) analisis proyeksi konsumsi berdasarkan PPH, dan (3) analisis proyeksi kebutuhan pangan wilayah berdasarkan PPH.

Hasil analisis situasi konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua menunjukkan bahwa konsumsi energi penduduk di Provinsi Papua pada tahun


(4)

2010 adalah 1993 kkal (99.6 %AKE) dan konsumsi protein adalah 48.1 gram/kapita/hari (92.7 %AKP). Secara kuantitas konsumsi energi dan protein penduduk di Provinsi Papua masih dibawah standar WNPG 2004. Demikian juga skor PPH pada tahun 2010 adalah 81.0 masih kurang dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 yaitu 90.

Hasil analisis proyeksi skor Pola Pangan Harapan di Provinsi Papua harus ditingkatkan minimal 1,9 poin setiap tahunnya sehingga mencapai skor PPH 90 sesuai standar pelayanan minimum (SPM) pada tahun 2015. Hasil proyeksi konsumsi pangan di Provinsi Papua menujukkan bahwa Kelompok pangan yang masih perlu ditingkatkan konsumsinya adalah kelompok padi-padian (4.3%), kelompok pangan hewani (3.0%), kelompok buah/biji berlemak (13.9%), kelompok kacang-kacangan (2.6%), kelompok pangan gula (2.2%), dan kelompok pangan sayur dan buah (0.8 %).

Hasil analisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua tahun 2011-2015 menunjukkan bahwa kelompok pangan yang masih perlu ditingkatkan adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula serta sayur dan buah dengan pemenuhan kebutuhan konsumsinya adalah 9.9%, 8.5%, 4.4%, 0.8%, 8.1%, 7.6%, dan 6.2% per tahun. Oleh karena itu konsumsi pangan di Provinsi Papua yang masih perlu ditingkatkan adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula serta sayur dan buah agar situasi dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk tercapai sesuai standar pelayanan minimum (SPM) pada tahun 2015.


(5)

CAHAYA IRIANI SIAGIAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Analisis Situasi dan Kebutuhan Konsumsi Pangan di Provinsi Papua Nama : Cahaya Iriani Siagian

NIM : I14080128

Menyetujui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Yayat Heryatno, SP, MPS Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M,Sc NIP. 19690112 199601 1 003 NIP. 19660527 199203 2 003

Mengetahui :

Ketua Departmen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001


(7)

segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Situasi dan Kebutuhan Konsumsi Pangan di Provinsi Papua” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis yaitu Ayah (Houtman Siagian) dan Ibu (Lindawati Gurning) yang selalu memberikan kasih sayang, doa, serta dukungan baik material maupun spiritual.

2. Yayat Heryatno, SP, MPS selaku dosen pembimbing akademik sekaligus pembimbing skripsi atas bimbingan, saran dan masukan selama perkuliahan maupun selama penulisan skripsi.

3. Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M,Sc selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, nasehat, saran, dan masukan selama penulisan skripsi. 4. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji

skripsi yang telah memberikan masukan, saran, dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini.

5. My sister’s (Mentari Siagian, Wulan Siagian, dan Sinta Siagian) yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dan dukungan bagi penulis. 6. Abang Patar Naibaho yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa,

dan dukungan dari awal hingga akhir selama penulisan skripsi.

7. Sahabatku (Mahyuni, Astria, Made, Fenny, Ema, Ilya, Nur indah, Oktavianus, Nehemia, Saidah, dan abang Andri), teman-teman GM 45, dan teman-teman kost ‘Perwira 52’ atas dukungan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan in tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan, maka dengan segala kerendahan hati penulis mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca demi perbaikan. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat, baik bagi penulis maupun pembaca. Amin.

Bogor, November 2012


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jayapura pada tanggal 12 Juli 1989 dari Ayah Houtman Siagian dan Ibu Lindawati Gurning. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Penulis memulai pendidikan dari Taman Kanak-kanak di TK Nuri Manis Nabire dari tahun 1993 sampai 1994. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2000 di SDN Impres Nabarua Nabire. Selanjutnya penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama pada tahun 2004 di SMP Negeri 1 Nabire. Pendidikan menengah atas diselesaikan penulis pada tahun 2007 di SMA Negeri 3 Nabire.

Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB pada tahun 2007 melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Kabupaten Nabire Papua dan tercatat sebagai mahasiswi Mayor Ilmu Gizi pada tahun 2008, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, di Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam berbagai kegiatan salah satunya adalah kepanitiaan Seminar Gizi Nasional 2011. Penulis telah melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Larikan, Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan pada tahun 2011. Penulis juga telah melaksanakan Internship Dietetik di Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon Banten pada bulan Maret sampai April 2011.


(9)

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR...xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Tujuan ... 2

Tujuan Umum ... 2

Tujuan Khusus... 3

Kegunaan Penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Ketahanan Pangan ... 4

Pola Konsumsi Pangan... 6

Kuantitas konsumsi pangan... 7

Kualitas konsumsi pangan ... 9

Perencanaan Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah ... 11

Kebijakan Ketahanan Pangan... 12

KERANGKA PEMIKIRAN ... 15

METODE ... 17

Desain, Waktu dan Tempat... 17

Jenis dan Sumber Data ... 17

Pengolahan dan Analisis Data ... 17

Analisis Situasi Konsumsi Pangan... 18

Analisis konsumsi secara kuantitatif ... 18

Analisis konsumsi secara kualitatif ... 18

Analisis Proyeksi Konsumsi Berdasarkan Pendekatan PPH ... 21

Analisis Kebutuhan Pangan Wilayah Berdasarkan Pendekatan PPH ... 21

Definisi Operasional... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Gambaran Umum Wilayah... 23

Keadaan geografis... 23

Demografi dan Sosial Ekonomi... 23


(10)

x

Kuantitas Konsumsi Pangan... 27

Konsumsi Energi ... 27

Konsumsi Protein ... 31

Kualitas Konsumsi Pangan ... 35

Proyeksi Konsumsi Berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) ... 39

Proyeksi Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) ... 43

KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

Kesimpulan... 47

Saran... 47

DAFTAR PUSTAKA... 49


(11)

1 Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg Pangan 1994, dan DEPTAN

2001 ... 11

2 Jenis data yang digunakan, tahun dan sumber data penelitian ... 17

3 Standar ideal dan target SPM tahun 2015... 19

4 Pola pangan harapan Nasional ... 20

5 Tingkat kecukupan energi perkotaan tahun 2008, 2009, dan 2010 ... 27

6 Tingkat kecukupan energi pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010 ... 28

7 Tingkat kecukupan protein perkotaan + pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010... 29

8 Tingkat kecukupan energi di Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010... 29

9 Tingkat konsumsi protein perkotaan tahun 2008, 2009, dan 2010 ... 31

10 Tingkat konsumsi protein pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010... 32

11 Tingkat konsumsi protein perkotaan+ pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010... 33

12 Tingkat kecukupan protein di Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010... 34

13 Skor pola pangan harapan Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010 ... 36

14 Kontribusi energi menurut kelompok pangan pangan Provinsi Papua tahun 2008-2010... 37

15 Skor PPH menurut kelompok pangan Provinsi Papua tahun 2008-2010... 38

16 Proyeksi Pola Pangan Harapan (PPH) Provinsi Papua berdasarkan konsumsi pangan tahun dasar 2010 ... 39

17 Proyeksi kontribusi energi terhadap Angka Kecukupan Energi (%AKE) menurut kelompok pangan (%) ... 40

18 Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan (kkal/kapita/hari)... 42

19 Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan (gram/kapita/hari) ... 43

20 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan menurut kelompok pangan (kg/kapit/tahun) ... 44

21 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk Provinsi Papua tahun 2011-2015 (Ribu ton/ tahun) ... 45


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran analisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan


(13)

1 Peta Provinsi Papua ... 53 2 Trend skor pola pangan harapan Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan

2010... 54 3 Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan dan jenis pangan

tahun 2011-2015 (gram/kapita/hari) ... 55 4 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan. Dalam rangka menindaklanjuti pelaksanaan UU Pangan tersebut, maka pembangunan di bidang pangan harus diwujudkan secara merata di seluruh wilayah sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal.

Sejalan dengan hal tersebut maka Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk lebih banyak mengatur dan mengelola pembangunan daerah, termasuk pembangunan ketahanan pangan. Ketahanan pangan merupakan urusan wajib pemerintah daerah sesuai dengan pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah yang penyelenggaraannya berpedoman kepada standar pelayanan minimum (SPM). Ketahanan pangan harus diupayakan secara optimal dan berkesinambungan sesuai dengan potensi masing-masing wilayah di semua kabupaten/kota.

Menurut Absari (2007) perencanaan pembangunan suatu wilayah seharusnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduknya. Kebutuhan dasar tersebut meliputi pangan, sandang, dan tempat tinggal. Tingkat kebutuhan gizi bagi konsumsi penduduk dapat digunakan sebagai salah satu standar untuk mengukur kebutuhan dasar penduduk, khususnya dalam hal pangan. Segala sumber daya yang berhubungan dengan produksi dan penyediaan pangan harus dialokasikan sesuai kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan minimal. Pemilihan jenis pangan yang diinginkan diantara kelompoknya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya (aspek pola konsumsi atau preferensi jenis pangan penduduk) dan potensi wilayah setempat (Hardinsyahet al2001).

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman dalam hal sumberdaya alam sehingga menyebabkan setiap wilayah atau daerah mempunyai keunggulan maupun keterbatasan dalam memproduksi bahan pangan secara efisien. Beberapa daerah ada yang mampu memproduksi pangan dalam jumlah yang berlebihan, namun ada juga yang tidak mampu memproduksi pangan dalam jumlah yang cukup. Pemenuhan hak masyarakat indonesia akan


(15)

pangan adalah salah satu bentuk dari tujuan pembangunan ketahanan pangan. Hal ini memungkinkan terdapat pula perbedaan dalam pola konsumsi pangan pada Provinsi Papua.

Provinsi Papua merupakan provinsi yang terletak di wilayah paling timur Indonesia. Provinsi Papua juga merupakan provinsi dengan wilayah terluas di Indonesia, yaitu 319.036,05 km2 atau 16,70 persen dari luas Indonesia. Masyarakat di Provinsi Papua, secara umum masyarakatnya berpola pangan sagu dan umbian sebagai bahan pangan pokok, karena sagu dan umbi-umbian merupakan pangan yang banyak berkembang di daerah tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Suhardjo et al. (1988), jenis dan jumlah pangan dalam pola konsumsi pangan di suatu wilayah biasanya berkembang dari pangan setempat atau pangan yang ditanam di tempat tersebut dalam jangka waktu yang lama atau panjang.

Secara umum, konsumsi energi di Provinsi Papua masih rendah dari konsumsi energi ideal yang direkomendasikan oleh WNPG 2004 yaitu 2000 kkal/kapita/hari. Hal ini ditunjukkan dengan konsumsi pangan di Provinsi Papua pada tahun 2007 adalah 1984 kkal/kapita/hari dengan skor PPH yaitu 80.9 (BPS 2008). Skor PPH di Provinsi Papua masih kurang beragam dan berimbang, dimana semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan penduduk tersebut dan berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Kurang beragamnya pangan yang dipilih dan tidak cukupnya jumlah yang dikonsumsi merupakan masalah konsumsi pangan dan gizi yang sering terjadi.

Selain itu pola konsumsi juga merupakan masalah perilaku penduduk yang berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi, budaya, dan lingkungan. Perbedaan pola konsumsi antar daerah dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi pangan yang beragam antar daerah sehingga menyebabkan perubahan pola konsumsi. Berdasarkan hal tersebut, peneliti akan menganalisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan berdasarkan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua.

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan berdasarkan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua.


(16)

3

Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Menganalisis situasi konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua pada tahun 2008-2010.

2. Menganalisis proyeksi konsumsi pangan penduduk berdasarkan pendekatan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua pada tahun 2011-2015.

3. Menganalisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk berdasarkan pendekatan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua pada tahun 2011-2015.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang penting mengenai situasi dan kebutuhan konsumsi pangan di Provinsi Papua. Informasi yang dihasilkan juga diharapkan dapat digunakan oleh pemerintah Provinsi Papua dalam menyusun kebijakan dan implementasi program di bidang pangan dan gizi.


(17)

Ketahanan pangan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Dengan demikian konsep ketahanan pangan tidak sama dengan swasembada (produksi) pangan (terutama beras). Fokus ketahanan pangan adalah setiap manusia setiap saat mampu mengkonsumsi pangan dan gizi secara seimbang (yang diperoleh dari karagaman pangan) untuk memperoleh status gizi yang baik. Sedangkan swasembada pangan adalah produksi (komoditi) pangan cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik (tidak diperlukan impor). Swasembada pangan merupakan salah satu strategi untuk mewujudkan ketahanan pangan.

Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 Tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan serta mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif.

Pada era desentralisasi, ketahanan pangan telah menjadi salah satu urusan wajib pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten Kota. Oleh karena itu, urusan ketahanan pangan diselenggarakan berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Standar Pelayanan Minimum adalah sebuah kebijakan publik yang mengatur mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Standar Pelayanan Minimum dirancang untuk diterapkan di semua kabupaten/kota; untuk menjamin bahwa semua masyarakat memiliki akses ke pelayanan dasar yang menjadi hak mereka serta agar pelayanan dasar masyarakat di semua tingkatan sistem dapat dipertanggungjawabkan (Baliwatiet al2011).

Menurut Suryana (2001) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga sub sistem yang saling


(18)

5

berinteraksi, yaitu sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi dari ketiga sub sistem tersebut.

Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Subsistem ini berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, baik dari sisi jumlah, kualitas, keragaman maupun kemanan (Suryana 2001). Menurut Suhardjo (1989) ketersediaan pangan di suatu daerah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi penduduk. Pola konsumsi pangan penduduk suatu daerah yang meliputi jumlah serta jenis pangan biasanya berkembang dari pangan yang tersedia setempat atau telah ditanam di daerah tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suryana 2001).

Subsistem distribusi pangan yang efektif dan efisien sebagai prasyarat untuk menjamin agar seluruh rumahtangga dapat memperoleh pangan dan jumlah dan kualitas yang baik sepanjang waktu. Subsistem ini mencakup aspek aksesibilitas secara fisik, ekonomi maupun sosial atas pangan secara merata sepanjang waktu. Akses pangan didefinisikan sebagai kemampuan rumahtangga untuk secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup, melalui berbagai sumber atau kombinasi cadangan pangan yang dimiliki, hasil produksi pangan, pembelian/barter, pemberian, piinjaman dan bantuan pangan (Suryana 2001).

Akses pangan secara fisik ditunjukkan oleh kemampuan memproduksi pangan, infrastruktur dasar maupun kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian akses fisik lebih bersifat kewilayahan dan dipengaruhi oleh ciri dan pengelolaan ekosistem. Akses pangan secara ekonomi menyangkut keterjangkauan masyarakat terhadap pangan yang ditunjukkan oleh harga, sumber mata pencaharian dan pendapatan. Sumber mata pencaharian meliputi kemampuan, aset dan aktivitas yang dapat menjadi sumber pendapatan. Seringkali, sumber mata pencaharian sangat dipengaruhi oleh kondisi maupun pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Akses pangan secara sosial antara lain dicerminkan oleh tingkat pendidikan, bantuan sosial, kebiasaan makan, konflik sosial/keamanan (Suryana 2001).

Aksesibilitas merupakan komponen penting dalam ketahanan pangan rumahtangga. Akses menunjukkan jaminan bahwa setiap rumahtangga dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan norma gizi. Pemeliharaan lingkungan hidup dimaksudkan


(19)

untuk jaminan pangan di masa datang. Pemeliharaan lingkungan berhubungan dengan akses terhadap sumberdaya yaitu dalam hal kepemilikan sumberdaya untuk memproduksi atau membeli pangan yang dibutuhkan. Oleh karena itu masyarakat mempunyai kepentingan untuk melaksanakan konservasi sumberdaya alam dalam rangka ketahanan pangannya (Suryana 2001).

Subsistem konsumsi pangan berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan memenuhi kaidah mutu, keragaman dan keseimbangan gizi, keamanan dan halal, serta efisiensi untuk mencegah pemborosan. Subsistem ini menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik sehingga dapat mengatur menu beragam, bergizi, seimbang secara optimal; pemeliharaan sanitasi dan higiene serta pencegahan penyakit infeksi dalam lingkungan rumahtangga (Suryana 2001).

Pola Konsumsi Pangan

Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan dapat mempertahankan kesehatannya. Sejumlah zat gizi yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan disebut kebutuhan gizi. Kekurangan atau kelebihan konsumsi gizi dari kebutuhan, terutama dalam jangka waktu yang berkesinambungan dapat membahayakan kesehatan, bahkan pada tahap lanjut dapat mengakibatkan kematian (Hardinsyah & Martianto 1989).

Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah 2004). Konsumsi pangan berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan, masalah pengupahan, ukuran kemiskinan, serta perencanaan dan produksi daerah. Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Secara umum di tingkat wilayah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi (pendapatan dan harga), faktor sosio budaya dan religi. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor dan pemilihan jenis maupun banyaknya pangan yang dimakan, dapat berlainan dari masyarakat ke masyarakat dan dari negara ke negara. Akan tetapi faktor-faktor yang tampaknya mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan tersedia, tingkat pendapatan, dan pengetahuan gizi.

Konsumsi pangan merupakan jumlah pangan, baik tunggal maupun beragam yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan


(20)

7

pemenuhan fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Konsumsi pangan adalah suatu informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu (Hardinsyah et al2001). Oleh karena itu, penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlah maupun jenis makanan yang dikonsumsi.

Penilaian konsumsi pangan dimaksudkan sebagai cara untuk mengukur keadaan konsumsi pangan yang terkadang merupakan salah satu cara untuk mengukur status gizi. Menurut Hardinsyah (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang di antaranya adalah aksesibilitas, kebiasaan makan, pola makan, pembagian makanan dalam keluarga, dan besarnya keluarga. Kebiasaan mengkonsumsi pangan yang baik akan menyebabkan status gizi yang baik pula dan keadaan ini dapat terlaksana apabila telah tercipta keseimbangan antara banyaknya jenis-jenis zat gizi yang dikonsumsi dengan banyaknya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kebutuhan gizi adalah sejumlah zat gizi minimum yang harus dipenuhi dari konsumsi pangan. Martianto dan Ariani (2004) juga mengemukakan bahwa konsumsi atau pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor tidak hanya ekonomi tetapi juga faktor budaya, ketersediaan, pendidikan, gaya hidup dan sebagainya, namun kadang-kadang unsur prestise menjadi sangat menonjol.

Pengembangan Pola Konsumsi Pangan dalam hal ini ditujukan pada penganekaragaman pangan yang berasal dari bahan pangan pokok dan semua bahan pangan lain yang dikonsumsi masyarakat, termasuk lauk pauk, sayuran, buah-buahan dan makanan kudapan, berbasis pada kondisi dan potensi daerah/wilayah. Setiap daerah mempunyai pola konsumsi dengan menu yang spesifik dan sudah membudaya serta tercermin didalam tatanan menu sehari-hari. Akan tetapi menu yang tersedia biasanya kurang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan, sehingga perlu ditingkatkan kualitasnya dengan tidak merubah karakteristiknya, agar tetap dapat diterima oleh masyarakat setempat . Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan melalui dua sisi (Bimas Ketahanan Pangan RI 2002). Adapun kedua sisi tersebut adalah:

Kuantitas konsumsi pangan

Kuantitas konsumsi pangan ditinjau dari volume pangan yang dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang dikandung bahan pangan. Kedua hal tersebut digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan sudah dapat memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat dan dikenal sebagai Angka Kecukupan


(21)

Gizi/AKG yang direkomendasikan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Dalam menilai kuantitas konsumsi pangan masyarakat digunakan Parameter Tingkat Konsumsi Energi/TKE dan Tingkat Konsumsi Protein/TKP.

Kecukupan gizi merupakan suatu taraf asupan (intake) yang dianggap dapat memenuhi kecukupan gizi semua orang yang sehat menurut berbagai kelompoknya sehingga kebutuhan pangan hanya diperlukan secukupnya. Kecukupan pangan dapat diukur secara kualitatif dan kuantatif. Ukuran kualitatif meliputi nilai sosal beragam jenis pangan dan nilai cita rasa sedangkan nilai kuantitatif yang umum digunakan adalah kandungan zat gizi (Khumaidi 1994).

Kecukupan gizi dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, kecukupan pangan umumnya dilihat dari kandungan energi pangan, sedangkan secara kualitatif dapat diperkirakan dari besarnya sumbangan protein terhadap nilai energi yang disebut sebagai Rasio Protein-Enegi (R-PE). Jadi dengan demikian, jika kecukupan akan energi dan protein terpenuhi, maka kecukupan zat-zat gizi lainnya pada umumnya sudah terpenuhi atau sekurang-kurangnya tidak terlalu sukar untuk memenuhinya (Khumaidi 1989).

Aspek kecukupan pangan menjadi basis kriteria untuk menentukan status ketahanan pangan. Hal ini karena pangan adalah kebutuhan pokok bagi manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Pada mulanya kecukupan pangan hanya dinilai menurut fisik kuantitas sesuai kebutuhan untuk beraktifitas dalam kehidupan sehari-hari secara sehat. Namun demikian, seiring dengan perkembangan analisis, kriteria kecukupan kemudian juga mencakup kualitas pangan sesuai kebutuhan tubuh manusia (Saliemet al. 2005).

Kuantitas ketersediaan dan konsumsi pangan dapat diketahui dari tingkat ketersediaan/konsumsi energi (TKE) dan tingkat ketersediaan/konsumsi protein (TKP). Nilai TKE adalah proporsi ketersediaan/konsumsi energi aktual terhadap Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan ketersediaan energi penduduk Indonesia adalah 2200 kkal/kap/hari sedangkan konsumsi energi adalah 2000 kkal/kap/hari. Nilai TKP adalah proporsi ketersediaan/ konsumsi protein aktual terhadap Angka Kecukupan Protein (AKP) yang dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan ketersediaan protein penduduk Indonesia adalah 57 gram/kap/hari sedangkan konsumsi protein adalah 52 gram/kap/hari. Jumlah ketersediaan maupun konsumsi tersebut harus dipenuhi agar setiap orang dapat untuk hidup sehat, aktif dan produktif.


(22)

9

Energi

Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi di simpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Hardinsyah dan Tambunan 2004).

Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat dan protein. Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain gajih/lemak dan minyak, buah berlemak (alpukat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari dan kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar air rendah (kacang tanah dan kacang kedelai) dan serelia lainnya, umbi-umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar ai rendah (pisang, kurma dan lain-lain) dan aneka produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya proein antara lain daging, ikan, telur, susu dan aneka produk turunannya.

Protein

Menurut Almatsier (2002) protein berfungsi mengatur keseimbangan air didalam tubuh, memelihara netralitas tubuh, membantu antibodi dan mengangkut zat-zat gizi. Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel.

Protein yang berperan sebagai pengangkut zat besi di dalam tubuh adalah transferin. Kekurangan protein dapat menyebabkan gangguan pada absorpsi transportasi zat-zat gizi termasuk zat besi (Fe). Sumber protein berasal dari pangan hewani seperti susu, telur, daging unggas, ikan, dan kerang, serta pangan nabati seperti kedelai dan produk olahannya seperti tempe, tahu, kacang-kacangan lainnya. Pangan hewani mempunyai faktor yang membantu penyerapan besi (Almatsier 2002).

Kualitas konsumsi pangan

Kualitas konsumsi pangan ditujukan pada keanekaragaman pangan, semakin beragam dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas gizinya. Untuk menilai keanekaragaman pangan digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) (Bimas Ketahanan Pangan RI 2002). Semakin beragam pangan yang dikonsumsi maka akan semakin beragam pula zat gizi yang diperoleh dan semakin meningkat mutu gizinya (Suhardjo 1989).


(23)

Menurut Khumaidi (1994) dengan mengkonsumsi makanan sehari-hari yang beraneka ragam, kekurangan zat gizi dari jenis makanan lain dapat diperoleh sehingga masukan zat-zat gizi menjadi seimbang. Jadi, untuk mencapai masukan zat-zat gizi yang seimbang tidak mungkin dipenuhi hanya satu jenis bahan makanan, melainkan harus terdiri dari aneka ragam bahan makanan.

Kurang beragamnya pangan yang dipilih dan tidak cukupnya jumlah yang dikonsumsi merupakan masalah konsumsi pangan dan gizi yang sering terjadi. Masalah konsumsi pangan dan gizi ini bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari suatu sistem yang ditentukan oleh berbagai faktor yang saling terkait. Masalah yang berkaitan dengan konsumsi pangan dan gizi yaitu seperti tingkat pendapatan, ketersediaan pangan setempat, teknologi, tingkat pengetahuan, kesadaran masyarakat mengenai gizi, kesehatan, dan faktor-faktor sosio budaya seperti kebiasaan makan, sikap, dan pandangan masyarakat terhadap bahan makanan tertentu dan adat istiadat (Sanjur 1982).

Ukuran keseimbangan dan keragaman pangan dapat dilakukan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan merupakan jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi. Kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan dikatakan terpenuhi apabila sesuai PPH. Secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Semakin tinggi skor PPH, ketersediaan dan konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Jika skor PPH mencapai 100, maka wilayah tersebut dikatakan tahan pangan. Selain itu, acuan yang digunakan adalah standar pelayanan minimum (SPM) dengan skor PPH 90 pada tahun 2015.

Pola Pangan Harapan (PPH) atau Desirable Dietary Pattern adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. FAO-RAPA (1989) mendefinisikan PPH sebagai berikut: “Pola pangan harapan adalah komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. Dengan pendekatan PPH dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan (dietary score). Semakin tinggi skor mutu pangan, menunjukkan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisi dan mutu gizinya.


(24)

11

Tim FAO-RAPA (1990) menyadari bahwa proporsi kalori dalam PPH perlu diadaptasi sesuai kondisi/ pola pangan masing-masing Negara dan sstem skor yang dikembangkan oleh tim FAO-RAPA belum divaliditasi. Kritik terhadap PPH juga muncul sehubungan dengan adanya perbedaan rekomendasi pola energi (terutama dari pangan hewani, dan lemak) antara PPH dan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Hardinsyah (1996) dengan menggunakan data Susenas 1990 telah melakukan validasi dan adaptasi PPH dan scoring systemPPH bagi Indonesia yang sejalan dengan konsep Pedoman Umum Gizi Seimbang.

Tahun 2000 Badan Urusan Ketahanan Pangan-Deptan telah melakukan diskusi pakar, lintas subsektor, dan sektor terkait pangan dan gizi tentang harmonisasi PPH dan PUGS. Pertemuan ini menjadi dasar untuk penyempurnaan PPH yang disebut menjadi PPH 2020. Penyempurnaan PPH dan skor PPH terdapat pada Tabel 1 dengan mempertibangkan 1) AKG energi berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (1998) sebesar 2200 kkal/kap/hari; 2) Persentase energi (pola konsumsi energi) untuk PPH dihitung terhadap AKG energi (2200 kkal sebagai penyebut); 3) Rating/bobot disempurnakan sesuai teori rating; 4) Skor maksimum PPH adalah 100 bukan 93; 5) Peran pangan hewani, gula serta sayur dan buah disesuaikan dengan PUGS; 6) Peran umbi-umbian ditingkatkan sejalan dengan kebijakan diversifikasi pangan pokok dan pengembangan pangan lokal; 7) Peran makanan lainnya terutama bumbu dan minuman lainnya.

Tabel 1 Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg Pangan 1994, dan DEPTAN 2001

No Kelompok Pangan

FAO-RAPA

(1989) Meneg Pangan (1994) Deptan (2001) % Min-Max % Bobot Skor % Bobot Skor

1 Padi-padian 40.0 40.0- 60.0 50.0 0.5 25.0 50.0 0.5 25.0 2 Umbi-umbian 5.0 0.0 – 8.0 5.0 0.5 2.5 6.0 0.5 2.5 3 Pangan hewani 20.0 5.0 – 20.0 15.3 2.0 30.6 12.0 2.0 24.0 4 Minyak/lemak 10.0 5.0 – 15.0 10.0 1.0 10.0 10.0 0.5 5.0 5 Buah/biji berminyak 3.0 0.0 – 3.0 3.0 0.5 1.5 3.0 0.5 1.0 6 Kacang-kacangan 6.0 2.0 – 10.0 5.0 2.0 10.0 5.0 2.0 10.0 7 Gula 8.0 2.0 – 15.0 6.7 0.5 3.4 5.0 0.5 2.5 8 Sayur dan buah 5.0 3.0 – 8.0 5.0 2.0 10.0 6.0 5.0 30.0 9 Lain-lain 3.0 0.0 – 5.0 0.0 0.0 0.0 3.0 0.0 0.0

Total 100 100 93.0 100 100

Sumber : DKP, 2006

Perencanaan Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah

Kebutuhan konsumsi pangan suatu wilayah selain dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang cepat merupakan isu sentral yang dihadapi dunia, terlebih di negara


(25)

berkembang termasuk Indonesia. Konsekuensi dari hal tersebut adalah peningkatan ketersediaan pangan untuk mengimbangi pertambahan penduduk.

Perencanaan pembangunan suatu wilayah seharusnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduknya. Kebutuhan dasar tersebut meliputi pangan, sandang, dan tempat tinggal. Tingkat kebutuhan gizi bagi konsumsi penduduk dapat digunak sebagai salah satu standar untuk mengukur kebutuhan dasar penduduk, khususnya dalam hal pangan. Segala sumber daya yang berhubungan dengan produksi dan penyediaan pangan harus dialokasikan sesuai kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan minimal tersebut (Absari 2007).

Perencanaan kebutuhan pangan dengan PPH, selain untuk menyediakan pangan yang beranekaragam sesuai dengan kecukupan gizi setempat, juga member keleluasaan menentukan pilihan jenis pangan yang diinginkan karena PPH disajikan dalam kelompok pangan. Pemilihan jenis pangan yang diinginkan diantara kelompoknya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya (aspek pola konsumsi atau preferensi jenis pangan penduduk) dan potensi wilayah setempat (Hardinsyahet al2001).

Pola pikir perencanaan dengan pendekatan PPH merupakan konsep pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan jangka panjang dan jangka pendek, dengan tujuan utama pendekatan PPH yakni untuk membuat rasionalisasi pola konsumsi yang dianjurkan yang terdiri dari kombinasi aneka pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutrional balance) yang didukung oleh cita rasa (palatability), daya cerna (digestibility) serta dikembangkan sesuai dengan potensi sumber daya local (Hardinsyahet al2002).

Kebijakan Ketahanan Pangan

Kebijakan pangan merupakan penegasan dari kebijakan yang telah dikeluarkan sebelumnya, yaitu UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan (Kantor Meneg Pangan 1997). Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan kenyakinan masyarakat. Kebijakan pangan adalah suatu pernyataan tentang kerangka pikir dan arahan yang digunakan untuk menyusun program pangan guna mencapai situasi pangan dan gizi yang lebih baik (Hardinsyah dan Ariani 2000).


(26)

13

Berdasarkan Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) tahun 2010-2014, tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah untuk membangun ketahanan dan kemandirian pangan baik di tingkat makro (nasional) maupun di tingkat mikro (rumah tangga/ individu). Arah kebijakan umum ketahanan pangan nasional 2010-2014 adalah untuk meningkatkan ketersediaan dan penanganan kerawanan pangan, meningkatkan sistem distribusi dan stabilisasi harga pangan dan meningkatkan pemenuhan kebutuhan konsumsi dan keamanan pangan. KUKP diharapkan menjadi panduan bagi pemerintah, swasta dan masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga, wilayah dan nasional. Oleh karena itu, idealnya KUKP dirumuskan dalam bentuk Peraturan Presiden. Di tingkat provinsi/kabupaten/kota dirumuskan Program Aksi Operasional KUKP dalam bentuk Peraturan Gubenur/Bupati/Walikota.

KUKP Tahun 2010-2014 menyebutkan 15 elemen penting pembangunan ketahanan pangan. Elemen tersebut adalah menjamin ketersediaan pangan, Menata pertanahan dan tata ruang dan wilayah, melakukan antisipasi, aadaptasi dan mitigasi perubahan iklim, menjamin cadangan pangan pemerintah dan masyarakat, mengembangkan sitem distribusi pangan yang adil dan efisien, meningkatkan aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan, menjaga stabilitas harga pangan, mencegah dan menangani keadaan rawan pangan dan gizi, melakukan diversifikasi pangan, meningkatan mutu dan keamanan pangan, memfasilitasi penelitian dan pengembangan, melaksanakan kerjasama internasional, mengembangkan peran serta masyarakat, mengembangkan sumberdaya manusia pangan-pertanian, dan melaksanakan kebijakan makro dan pedagangan yang kondusif.

Pasal 11 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menyebutkan bahwa ketahanan pangan merupakan salah satu urusan wajib pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, karena ketahanan pangan berkaitan dengan pelayanan dasar. Pelayanan Dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan. Dengan demikian, upaya mewujudkan ketahanan pangan penduduk melibatkan banyak pelaku pembangunan, bersifat bidang/sektor pembangunan.

Bentuk kebijakan pembangunan ketahanan pangan sangat penting sebagai acuan untuk merumuskan perencanaan pembangunan provinsi atau kabupaten atau kota dalam kerangka sistem perencanaan nasional. Standar


(27)

Pelayanan Minimum (SPM) adalah sebuah kebijakan publik yang mengatur mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimum.

Provinsi Papua memiliki keragaman yang tinggi dalam kondisi biofisik seperti iklim, topografi, dan vegetasi (Kepas 1990). Keragaman ini juga dijumpai dalam kondisi budaya, adat, kepercayaan, dan bahasa. Mengingat adanya keragaman biofisik dan sosial budaya, sehingga menimbulkan variasi agroekosistem, maka hal ini akan mempengaruhi penyebaran jenis dan produktifitas tanaman pangan di berbagai daerah yang pada akhirnya menimbulkan keragaman pola konsumsi pangan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya di Provinsi Papua (Kepas 1990).

Pangan masyarakat Papua pada umumnya berpola pangan pokok sagu. Hal ini karena jenis tanaman pangan sagu banyak berkembang di wilayah tersebut. Jenis tanaman pangan yang diusahakan adalah ubi jalar, ubi kayu, dan keladi. Menurut Apomfires (2002) yang dilakukan di salah satu kabupaten di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Merauke, sagu (bie) merupakan makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat, biasanya diselingi dengan makanan lain seperti pisang, talas, dan nasi yang merupakan makanan yang telah dikenal dan biasa dikonsumsi. Walaupun ada makanan selingan, tetapi sagu tetap diutamakan, karena beberapa orang menyatakan bahwa mengkonsumsi sagu membuat kenyang lebih lama dibandingkan mengonsumsi pisang, nasi, dan talas.


(28)

KERANGKA PEMIKIRAN

Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia yang berperan penting dalam meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat. Memperoleh pangan yang cukup merupakan hak asasi setiap manusia karena pangan merupakan sumber energi yang diperlukan manusia untuk mempertahankan hidup. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah melalui program peningkatan ketahanan pangan wilayah berbasis pola pangan harapan (PPH).

Pengembangan pola konsumsi pangan dalam hal ini ditujukan pada penganekaragaman pangan yang berasal dari bahan pangan pokok dan semua bahan pangan lain yang dikonsumsi masyarakat, termasuk lauk pauk, sayuran, buah-buahan dan makanan kudapan, berbasis pada kondisi dan potensi daerah/wilayah. Setiap daerah mempunyai pola konsumsi dengan menu yang spesifik dan sudah membudaya serta tercermin di dalam tatanan menu sehari-hari. Akan tetapi menu yang tersedia biasanya kurang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan, sehingga perlu ditingkatkan kualitasnya dengan tidak merubah karakteristiknya, agar tetap dapat diterima oleh masyarakat setempat.

Analisis situasi konsumsi pangan wilayah dapat dilihat dari aspek kuantitatif maupun kualitatif. Analisis konsumsi pangan secara kuantitatif dapat diketahui dari tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP). Nilai TKE adalah proporsi konsumsi energi aktual terhadap Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan konsumsi energi penduduk Indonesia adalah 2000 kkal/kap/hari. Nilai TKP adalah proporsi konsumsi protein aktual terhadap Angka Kecukupan Protein (AKP) yang dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan konsumsi protein penduduk Indonesia adalah 52 gram/kap/hari.

Analisis konsumsi pangan secara kualitatif dapat diketahui dari pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan merupakan jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi. Kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan dikatakan terpenuhi apabila sesuai PPH. Secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Jika skor PPH mencapai 100, maka wilayah tersebut dikatakan tahan pangan.


(29)

Kualitas konsumsi pangan ditujukan pada keanekaragaman pangan. Untuk menilai keanekaragaman pangan digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Setelah evaluasi terhadap skor PPH konsumsi pangan di wilayah, selanjutnya dilakukan penyusunan proyeksi (target) skor PPH yang akan dicapai. Penyusunan proyeksi skor PPH wilayah dapat dilakukan dengan menggunakan interpolasi linier dan acuan skor PPH 90 pada tahun 2015 sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM).

Secara skematis kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan gambar : Diteliti : Tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka pemikiran analisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan di Provinsi Papua.

Analisis Situasi Konsumsi

Proyeksi Konsumsi Pangan

Jumlah penduduk Kebutuhan Konsumsi Pangan

Wilayah

Rumusan Rekomendasi Teknis

Aspek Kuantitatif 1. Angka kecukupan

energi (AKE) 2. Angka kecukupan

Protein (AKP)

Aspek Kualitatif Skor PPH (Pola Pangan Harapan)


(30)

METODE

Desain, Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatanprospective studydengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun 2010 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive yang didasarkan pada konsumsi pangan penduduk masih kurang dari anjuran WNPG 2004 yaitu 2000 kkal/kap/hr . Hal ini ditunjukkan dengan konsumsi pangan di Provinsi Papua pada tahun 2007 adalah 1984 kkal/kapita/hari dengan skor PPH yaitu 80.9 (BPS 2008). Kegiatan penelitian ini mencakup interpretasi data, rekapitulasi data, pengolahan dan analisis data di lakukan di Bogor, Jawa Barat mulai dari bulan Mei- Juli 2012.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data sekunder yang meliputi data karakteristik wilayah, konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan, dan jumlah penduduk diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data karakteristik wilayah adalah keadaan umum wilayah Provinsi Papua tahun 2010. Data konsumsi pangan hasil survey sosial ekonomi nasional (SUSENAS) yang digunakan adalah rata-rata kuantitas konsumsi pangan per kapita/ minggu menurut jenis dan kelompok makanan serta golongan pengeluaran penduduk di Provinsi Papua tahun 2008-2010 dan data jumlah penduduk diperoleh dari jumlah penduduk tengah tahun Provinsi Papua (2008-2010) diperoleh dari jenis, tahun, sumber data, dan instansi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis data yang digunakan, tahun dan sumber data penelitian

No. Jenis data Tahun Sumber data Instansi

1 Karakteristik

wilayah 2010

Keadaan umum

wilayah BPS, Jakarta

2

Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

2008-2010 Data Susenas BPS, Jakarta

3

Jumlah Penduduk dan proyeksi penduduk

2008-2010 Papua Dalam

Angka BPS, Jakarta

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan analisis data dilakukan dengan metode statistik deskriptif menggunakan program Microsoft Excell 2007 dan software program simulasi


(31)

analisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan wilayah (Heryatno, Baliwati, Martianto, & Herawati 2005). Berikut ini uraian secara rinci pengolahan dan analisis data pada setiap bagian.

Analisis Situasi Konsumsi Pangan

Analisis situasi konsumsi pangan ada dua analisis yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitataif. Aspek kuantitas yaitu mengamati tingkat kecukupan energi sedangkan aspek kualitas yaitu mengamati skor pola pangan harapan (PPH).

Analisis konsumsi secara kuantitatif

Analisis kuantitatif dilakukan terhadap Konsumsi Pangan. Kuantitas konsumsi pangan dapat diketahui dari tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP). Nilai TKE adalah proporsi konsumsi energi aktual terhadap Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan konsumsi energi penduduk Indonesia adalah 2000 kkal/kap/hari. Nilai TKP adalah proporsi konsumsi protein aktual terhadap Angka Kecukupan Protein (AKP) yang dianjurkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan konsumsi protein penduduk Indonesia adalah 52 gram/kap/hari. Jumlah konsumsi tersebut harus dipenuhi agar setiap orang dapat untuk hidup sehat, aktif dan produktif.

Perhitungan tingkat kecukupan gizi dirumuskan sebagai berikut :

TKE = [(Konsumsi energi aktual)/(Angka kecukupan energi)] x 100% TKP = [(Konsumsi protein aktual)/(Angka kecukupan protein)] x 100% Analisis konsumsi secara kualitatif

Kualitas konsumsi pangan dicerminkan oleh keanekaragaman secara seimbang. Ukuran keseimbangan dan keragaman pangan dapat dilakukan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan merupakan jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi. Kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan dikatakan terpenuhi apabila sesuai PPH. Secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Jika skor PPH mencapai 100, maka wilayah tersebut dikatakan tahan pangan. Selain itu, acuan yang digunakan standar pelayanan minimum (SPM) dengan skor PPH 90 pada tahun 2015 (Tabel 3).


(32)

19

Tabel 3 Standar ideal dan target SPM tahun 2015

No Kelompok Pangan Ideal SPM

% AKE Skor PPH % AKE Skor PPH

1 Padi-padian 50.0 25.0 45 22.5 2 Umbi-umbian 6.0 2.5 5.4 2.25 3 Pangan hewani 12.0 24.0 10.8 21.6

4 Minyak/lemak 10.0 5.0 9 4.5

5 Buah/biji berminyak 3.0 1.0 2.7 0.9 6 Kacang-kacangan 5.0 10.0 4.5 9.0

7 Gula 5.0 2.5 4.5 2.25

8 Sayur dan buah 6.0 30.0 5.4 27.0

9 Lain-lain 3.0 0.0 2.7 0.0

Total 100.0 100.0 90.0 90.0

Sumber: DKP, 2006

Langkah-langkah pengolahan dan analisis data konsumsi dengan menggunakan software “Program Analisis Situasi dan Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah” meliputi:

1. Pengelompokan Pangan

Data pangan yang dikonsumsi rumah tangga dikonversikan dalam satuan dan jenis komoditas yang disepakati dan dikelompokkan menjadi 9 kelompok meliputi:

a. Padi-padian (beras, jagung, terigu, dan hasil olahannya).

b. Umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, kentang, talas, sagu dan hasil olahannya).

c. Pangan hewani (daging ruminansia, daging unggas, telur, susu, ikan dan hasil olahannya).

d. Minyak dan lemak (minyak kacang tanah, minyak kelapa, minyak kelapa sawit dan lemak).

e. Buah/biji berlemak (kelapa, kemiri, kenari, mete, coklat).

f. Kacang-kacangan (kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, kacang merah, kacang lain serta olahannya).

g. Gula (gula pasir, gula merah, sirup).

h. Sayur dan buah (semua sayur dan buah serta hasil olahannya). i. Lain-lain (bumbu dan minuman).

2. Menghitung konsumsi energi menurut kelompok pangan dan total konsumsi Perhitungan kandungan energi setiap jenis pangan yang dikonsumsi dilakukan dengan bantuan daftar komposisi bahan makanan (DKBM). Selanjutnya dijumlahkan berdasarkan kelompok pangannya. Total energi dari seluruh konsumsi pangan merupakan angka komposisi energi wilayah Papua.


(33)

3. Menghitung kontribusi energi tiap kelompok pangan terhadap total konsumsi energi.

Kontribusi energi tiap kelompok pangan terhadap total konsumsi energi dilakukan dengan membagi energi masing-masing kelompok pangan dengan jumlah total energi dikalikan dengan 100%.

4. Menghitung tingkat kecukupan energi (%AKE)

Tingkat kecukupan energi wilayah diperoleh dari perbandingan jumlah total konsumsi energi terhadap AKE dikalikan 100%. Nilai ini menggambarkan keadaan wilayah. Kontribusi konsumsi energi aktual dari tiap kelompok pangan terhadap AKE juga dihitung dan akan digunakan untuk mengitung skor PPH.

5. Menghitung skor PPH

Langkah-langkah menghitung PPH adalah :

1. Dari kesembilan kelompok pangan tersebut dihitung nilai total konsumsi energinya.

2. Menghitung kontribusi energi dari setiap kelompok pangan, dengan berdasarkan Angka Kecukupan Energi (AKE) WNPG 2004, yaitu :

% AKE = [(Energi kelompok pangan)/2000] x 100%

3. Selanjutnya dengan mengalikan hasil persentase langkah kedua dengan rating/bobot akan diperoleh skor dari masing-masing kelompok pangan. Setiap kelompok pangan memeliki skor maksimum. Apabila skor melebihi rangeoptimal, akan digunakan skor maksimal dalamrangetersebut. 4. Menjumlahkan semua skor dari kelompok pangan sehingga akan

diketahui skor PPH mutu pola konsumsi pangan. Pengelompokan pangan, skor, dan bobot yang digunakan sebagai standar PPH nasional diuraikan pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4 Pola pangan harapan Nasional

No Kelompok Pangan Pola Pangan Harapan Nasional

Gram/hari Energi (kkal) % AKG Bobot Skor PPH

1 Padi-padian 275 1000 50.0 0.5 25.0 2 Umbi-umbian 90 120 6.0 0.5 2.5 3 Pangan hewani 140 240 12.0 2.0 24.0 4 Minyak/lemak 25 200 10.0 0.5 5.0 5 Buah/biji berminyak 10 60 3.0 0.5 1.0 6 Kacang-kacangan 35 100 5.0 2.0 10.0

7 Gula 30 100 5.0 0.5 2.5

8 Sayur dan Buah 230 120 6.0 5.0 30.0

9 Lain-lain 15 60 3.0 0.0 0.0

Total 2000 100 100


(34)

21

Analisis Proyeksi Konsumsi Berdasarkan Pendekatan PPH

Setelah evaluasi terhadap skor PPH konsumsi pangan di wilayah, selanjutnya dilakukan penyusunan proyeksi (target) skor PPH yang akan dicapai. Provinsi Papua diharapkan mampu mencapai skor PPH 100 pada tahun 2020 dan tahun 2015 sudah mencapai skor PPH 90. Sasaran acuan skor PPH 90 pada tahun 2015 sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM). Penyusunan proyeksi skor PPH wilayah sebelum tahun 2015 dapat dilakukan dengan menggunakan interpolasi linier. Titik (tahun) awal skor PPH adalah hasil perhitungan PPH aktual (2010), sedangkan proyeksi akhir skor PPH adalah skor PPH 2015. Skor PPH pangan tahun proyeksi sampai dengan 2015 dihitung dengan menggunakan interpolasi linier dengan rumus berikut:

Dimana : Sp= skor proyeksi PPH tahun p S0= skor PPH tahun awal tahun 2010 St= skor target PPH tahun 2015

n= selisih tahun antara tahun 2015 dengan tahun awal dt= selisih waktu antara tahun yang dicari dengan tahun

awal

Analisis Kebutuhan Pangan Wilayah Berdasarkan Pendekatan PPH

Analisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan berdasarkan pendekatan PPH dihitung dengan menggunakan rumus:

Proyeksi kebutuhan penduduk (Kg/Kap/Hari)

Proyeksi kebutuhan wilayah (Ton/Tahun)

Proyeksi jumlah penduduk dengan pendekatan ekstrapolasi atau trend berdasarkan perkembangan pertumbuhan untuk meramalkan pada tahun t adalah:

Keterangan :

P0= jumlah penduduk tahun dasar Sp=S0+ dt((St-S0)/n

Kebutuhan pangan = kebutuhan pangan pddk (kg/kap/th) x Jumlah penduduk wilayah (ton/tahun) 1000

Kebutuhan pangan = konsumsi (gr/kap/hari) x 365 hari x 110%

penduduk (Kg/Kap/th) 1000


(35)

0 = tahun dasar

L = laju pertumbuhan penduduk T = tahun yang dicari

Definisi Operasional

Situasi Konsumsi Panganadalah keadaan atau kondisi pangan disuatu wilayah berdasarkan aspek kuantitas (tingkat kecukupan energi dan protein) dan aspek kualitas (skor PPH).

Tingkat kecukupan Energi adalah rasio yang dinyatakan dalam persen antara rasio asupan energi aktual dengan angka kecukupan energi yang dianjurkan untuk penduduk Indonesia mengacu pada AKG berdasarkan WNPG 2004.

Pola Pangan Harapan (PPH)adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi setiap kelompok pangan utama dari konsumsi pangan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya..

Proyeksi Konsumsi Pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang diduga di konsumsi penduduk di suatu wilayah agar tercapai pola pangan ideal pada tahun tertentu.

Proyeksi Kebutuhan Pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang disediakan agar sesuai dengan kebutuhan pangan penduduk di suatu wilayah.


(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Wilayah Keadaan geografis

Keadaan geografis Provinsi Papua terletak antara 2025’- 90 Lintang Selatan dan 1300- 1410 Bujur Timur. Di sebelah utara Provinsi Papua dibatasi Samudera Pasifik, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafuru. Sebelah barat berbatasan dengan Laut Seram, Laut Banda, Provinsi Maluku, dan sebelah timur berbatasan dengan Papua New Guinea (BPS 2011).

Ketinggian wilayah di Papua sangat bervariasi. Diukur dari permukaan laut ketinggian wilayah Papua berkisar antara 0-3000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kabupaten Puncak Jaya dengan ibukota Mulia merupakan daerah tertinggi dengan ketinggian 2.980 mdpl, sedangkan Kota Jayapura merupakan daerah dengan ketinggian terendah yaitu 4 mdpl. Berdasarkan keadaan topografi, wilayah pesisir Papua umumnya merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian antara 10-2.980 mdpl (BPS 2011).

Seperti provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Papua memiliki iklim tropis yang di pengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau. Selama tahun 2010, hujan turun setiap bulannya dengan jumlah hari dan curah hujan masing-masing 202 hari dan 2.792 mm. suhu udara di Papua berkisar antara 14,80C-32,10C dan tekanan udara 834,9-1.009,3 mb. Sedangkan kelembaban udara rata-rata 77-86 persen dengan rata-rata penyinaran matahari 31,5-46,9 persen. Curah hujan yang relatif tinggi dan wilayah yang dimiliki sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkannya sektor pertanian di Papua mengingat hampir 30 persen perekonomian tanpa tambang berasal dari sektor tersebut (BPS 2011).

Provinsi Papua mempunyai kelembaban relatif tinggi dimana pada tahun 2010 rata-rata kelembaban udara berkisar antara 77 persen (Kabupaten Jayawijaya- stasiun Wamena) dan 86 persen (Nabire) sedangkan tekanan udara antara 834,9-1.009,3 mb dan rata-rata penyinaran matahari 31,5-46,9 persen. Jumlah gempa bumi yang dirasakan di Papua selama tahun 2010 sebanyak 82 kali, lebih banyak dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 60 kali (BPS 2011).

Peta papua dapat dilihat pada Lampiran 1.

Demografi dan Sosial Ekonomi

Provinsi Papua merupakan provinsi dengan wilayah terluas di Indonesia, yaitu 319.036,05 km2 atau 16,70 persen dari luas Indonesia. Pada tahun 2010, Papua dibagi menjadi 28 kabupaten dan 1 kota dimana Marauke merupakan


(37)

kabupaten/kota terluas (56,84 persen) dan kota Jayapura merupakan kabupaten/kota terkecil di Provinsi Papua (0,10 persen dari luas Papua. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Provinsi Papua sebanyak 2.833.381 jiwa. Penduduk laki-laki Provinsi Papua sebanyak 1.505.883 jiwa (53,15 persen) dan perempuan sebanyak 1.327.498 jiwa (46,85 persen). Dengan demikian, rasio jenis kelamin di Provinsi Papua diatas 100, yaitu 113,4. Rasio jenis kelamin (sex ratio) terdapat di Kabupaten Mimika sebesar 130 dan terendah di Kabupaten Dogiyai sebesar 102 (BPS 2011).

Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Papua per tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 adalah 5,39 persen. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Tolikara adalah tertinggi dibanding kabupaten/kota lainnya di Provinsi Papua yakni mencapai 12,59 persen, sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah di Kabupaten Pegunungan Bintang (2,48 persen). Jumlah penduduk yang begitu besar dan terus bertambah setiap tahun tidak diimbangi dengan pemerataan penyebaran penduduk. Pada tahun 2010, sebagian besar penduduk Papua massih berpusat di Kota Jayapura (BPS 2011).

Kepadatan penduduk di Provinsi Papua merupakan yang terendah di Indonesia. Dengan luas wilayah 756.881,89 km2, kepadatan penduduk di Papua hanya 4 jiwa per km2. Kepadatan tertinggi terjadi di Kota Jayapura, yakni 327 jiwa per km2, sedangkan kepadatan terendah terjadi di Kabupaten Marauke yakni kurang dari 1 jiwa per km2. Penduduk Papua berdasarkan kelompok umur ternyata didominasi oleh kelompok usia muda (0-14 tahun). Kecilnya proporsi penduduk usia tua (kelompok usia 55 tahun ke atas) menunjukkan bahwa tingkat kematian penduduk usia lanjut sangat tinggi. Ini berarti bahwa angka harapan hidup di Papua masih rendah (pada tahun 2009, angka harapan hidup di Papua 68,35 tahun). Selain itu, komposisi penduduk seperti diatas menyebabkan rasio ketergantungan (dependency ratio) di Papua cukup tinggi, yaitu 56.37 persen (BPS 2011).

Provinsi Papua memiliki keragaman yang tinggi dalam kondisi biofisik seperti iklim, topografi, dan vegetasi (Petocz dan Tucker 1987 diacu dalam Kepas 1990). Keragaman ini juga dijumpai dalam kondisi budaya, adat, kepercayaan, dan bahasa. Mengingat adanya keragaman biofisik dan sosial budaya, sehingga menimbulkan variasi agroekosistem, maka hal ini akan mempengaruhi penyebaran jenis dan produktifitas tanaman pangan di berbagai daerah yang pada akhirnya menimbulkan keragaman pola konsumsi pangan


(38)

25

antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya di Provinsi Papua (Kepas 1990).

Sumber pangan spesifik lokal Papua seperti ubi jalar, talas, gembili, sagu, dan jawawut telah dibudidayakan oleh masyarakat asli Papua secara turun temurun. Komoditas tersebut telah menjadi sumber bahan makanan utama bagi masyarakat Papua. Husain (2004) menyatakan, pangan lokal adalah pangan yang diproduksi setempat (suatu wilayah/ daerah tertentu) untuk tujuan ekonomi dan atau konsumsi. Dengan demikian, pangan lokal Papua adalah pangan yang diproduksi di Papua dengan tujuan ekonomi atau produksi.

Kondisi agroekosistem Papua sangat mendukung pengembangan komoditas pertanian, terutama komoditas pangan spesifik lokal. Namun, pengembangan komoditas tersebut tidak merata di dataran Papua, kecuali ubi jalar yang dapat dijumpai di berbagai wilayah, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi, terutama pada wilayah pegunungan tengah. Selain ubi jalar, sagu juga merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat Papua, terutama yang berdomisili di dataran rendah atau di pesisir pantai atau danau. Sagu tumbuh baik pada daerah rawa, meskipun dapat pula tumbuh di daerah kering. Papua merupakan salah satu wilayah yang memiliki hutan sagu terluas di Indonesia. Widjono et al.(2000) menemukan 61 aksesi sagu melalui survei yang dilakukan di daerah Jayapura, Manokwari, Sorong, dan Merauke. Jumlah aksesi tersebut masih memungkinkan bertambah karena survei baru dilakukan di sebagian wilayah potensial sagu di Papua.

Sumber pangan alternatif yang beragam di Papua, mulai dari umbi-umbian, serealia, buah-buahan, dan bahkan tanaman obat dapat menyediakan pangan yang cukup bagi masyarakat setempat sehingga terhindar dari kekurangan gizi (malnutrition) atau kelaparan. Namun, sosialisasi pemanfaatan sumber pangan alternatif tersebut belum dilakukan secara bijak dan berkelanjutan. Selain itu, masyarakat mulai bergantung pada sumber pangan beras karena selain enak juga mudah diperoleh. Hal tersebut merupakan salah satu dampak kebijakan pemerintah yang hanya terfokus pada terjaminnya ketersediaan beras. Kebijakan tersebut tanpa disadari telah mengubah menu karbohidrat masyarakat dari nonberas ke beras, terutama pada daerah yang secara tradisional mengonsumsi pangan bukan beras, seperti kawasan timur Indonesia (Budi 2003).


(39)

Situasi Konsumsi Pangan Provinsi Papua

Pembangunan di Provinsi Papua yang merupakan bagian dari pembangunan nasional dilakukan melalui kegiatan pembangunan di berbagai sektor bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Untuk mewujudkan keadaan tersebut tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor penting dan mendasar adalah faktor pangan yang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Provinsi Papua merupakan salah satu daerah yang memiliki keragaman sumber daya hayati yang cukup tinggi, termasuk tanaman sumber pangan lokal. Sumber pangan lokal Papua yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat adalah ubi jalar, talas, dan sagu. Pangan lokal tersebut banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Papua. Masyarakat yang berdomisili di daerah pegunungan umumnya mengonsumsi ubi jalar dan talas sedangkan yang tinggal di pantai memanfaatkan sagu sebagai pangan pokok. Beberapa jenis ubi jalar, talas, dan sagu telah beradaptasi dengan baik dan dikonsumsi masyarakat Papua secara turun temurun.

Menurut Apomfires (2002) yang dilakukan di salah satu kabupaten di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Merauke, sagu (bie) merupakan makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat, biasanya diselingi dengan makanan lain seperti pisang, talas, dan nasi yang merupakan makanan yang telah dikenal dan biasa dikonsumsi. Walaupun ada makanan selingan, tetapi sagu tetap diutamakan, karena beberapa orang menyatakan bahwa mengkonsumsi sagu membuat kenyang lebih lama dibandingkan mengonsumsi pisang, nasi, dan talas.

Menurut Hardinsyah et al (2001) menyatakan bahwa analisis konsumsi pangan dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis konsumsi pangan secara kuantitatif ditunjukkan oleh tingkat kecukupan gizi. Namun, analisis konsumsi pangan penduduk di suatu wilayah tidak hanya cukup ditunjukkan oleh peningkatan kuantitas konsumsi saja, tetapi perlu analisis lebih lanjut terhadap aspek kualitas konsumsi. Kualitas konsumsi dapat dinilai dari aspek komposisi atau keragaman dan mutu gizi pangan dikonsumsi. Analisis kualitas konsumsi pangan atau skor mutu konsumsi dapat dilakukan menggunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Semakin tinggi skor PPH maka semakin beragam dan berimbang pangan yang dikonsumsi. Oleh karena itu analisis situasi konsumsi pangan Provinsi Papua dilakukan dengan mengamati analisis kuantitatif dan analisis kualitatif.


(40)

27

Kuantitas Konsumsi Pangan

Analisis kuantitatif dilakukan terhadap konsumsi pangan. Kuantitas konsumsi pangan dapat diketahui dari tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP).

Konsumsi Energi

Pangan merupakan kebutuhan pokok yang paling mendasar bagi manusia, karenanya pemenuhan kebutuhan pangan merupakan bagian dari hak azasi individu. Untuk hidup sehat seseorang membutuhkan sejumlah zat gizi yang bersumber dari berbagai macam sumber pangan, baik pangan nabati maupun hewani. Zat gizi yang harus dipenuhi terutama adalah energi dan protein. Menurut Martianto (2004) kekurangan dua zat gizi tersebut dan berlangsung lama akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusianya, diantaranya menurunkan produktifitas kerja, kecerdasan, dan imunitas.

Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi. Sesuai dengan rekomendasi WNPG 2004 menetapkan konsumsi kalori per kapita per hari adalah 2000 kkal. Konsumsi energi menurut kelompok pangan dari tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan.

Tabel 5 Tingkat kecukupan energi perkotaan tahun 2008, 2009, dan 2010

No Kelompok Pangan 2008 2009 2010

kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE

1 Padi-padian 1060 53.0 1000 50.0 1006 50.3 2 Umbi-umbian 92 4.6 80 4.0 89 4.5 3 Pangan hewani 222 11.1 205 10.3 245 12.3 4 Minyak/lemak 241 12.1 238 11.9 234 11.7 5 Buah/biji berminyak 29 1.5 28 1.4 23 1.2 6 Kacang-kacangan 52 2.6 60 3.0 61 3.1

7 Gula 106 5.3 97 4.9 105 5.2

8 Sayur dan buah 81 4.1 76 3.8 91 4.5 9 Lain-lain 26 1.3 22 1.1 24 1.2

Total 1910 95.5 1807 90.4 1879 94.0

*Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari

Tabel 5 menunjukkan bahwa konsumsi energi pada tahun 2008 menurut kelompok pangan padi-padian adalah 1060 kkal/kap/hr (53.0 %AKE), umbi-umbian adalah 92 kkal/kap/hr (4.6 %AKE), pangan hewani adalah 222 kkal/kap/hr (11.1 %AKE), minyak/lemak adalah 241 kkal/kap/hr (12.1 %AKE), buah/ biji berminyak adalah 29 kkal/kap/hr (1.5 %AKE), kacang-kacangan adalah 52 kkal/kap/hr (2.6 %AKE), gula adalah 106 kkal/kap/hr (5.3 %AKE), sayur dan buah adalah 81 kkal/kap/hr (4.1 %AKE), dan pangan lainnya adalah 26 kkal/kap/hr (1.3 %AKE). Pada tahun 2009 konsumsi energi mengalami penurunan menurut kelompok pangan padi-padian, umbi-umbian, pangan


(41)

hewani, minyak/ lemak, buah/ biji bermnyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, pangan lainnya. Kemudian konsumsi energi menurut kelompok pangan meningkat kembali pada tahun 2010.

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa kelompok pangan padi-padian lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pangan umbi-umbian di wilayah perkotaan. Hal ini dipengaruhi oleh preferensi pangan masyarakat terutama di wilayah perkotaan yang masih memilih padi-padian sebagai makanan pokok sumber energi dalam hal ini adalah beras. Dimana masyarakat perkotaan di Provinsi Papua lebih di dominasi oleh pendatang dari luar Papua yang terdiri dari berbagai suku seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan lainnya (BPS 2011).

Tabel 6 Tingkat kecukupan energi pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010

No Kelompok Pangan 2008 2009 2010

kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE

1 Padi-padian 596 29.8 612 30.6 586 29.3 2 Umbi-umbian 655 32.7 665 33.3 748 37.4 3 Pangan hewani 180 9.0 175 8.7 163 8.2 4 Minyak/lemak 184 9.2 208 10.4 217 10.9 5 Buah/biji berminyak 26 1.3 26 1.3 20 1.0 6 Kacang-kacangan 76 3.8 105 5.3 83 4.2

7 Gula 67 3.3 79 4.0 75 3.7

8 Sayur dan buah 106 5.3 109 5.5 118 5.9 9 Lain-lain 14 0.7 13 0.6 15 0.8

Total 1905 95.2 1993 99.6 2026 101.3

*Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari

Tabel 6 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi energi pada tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah pedesaan. Kelompok pangan umbi-umbian, minyak/ lemak, sayur dan buah mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 sedangkan kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/ biji berminyak, gula, dan pangan lainnya mengalami penurunan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai 2010. Kelompok pangan umbi-umbian masih mendominasi dibandingkan dengan kelompok pangan lainnya dari tahun 2008 sampai tahun 2010. Hal ini disebabkan masyarakat di pedesaan Papua yang dominan adalah penduduk asli Papua yang masih mengutamakan konsumsi umbi-umbian sebagai makanan pokok seperti sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan keladi.

Tabel 7 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi energi pada tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah perkotaan+pedesaan. Kelompok pangan umbi-umbian, minyak/ lemak, sayur dan buah, pangan lainnya mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 sedangkan kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/ biji berminyak, dan gula mengalami


(42)

29

penurunan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai 2010. Hal ini diduga karena adanya keterbatasan untuk membeli bahan pangan, faktor sosial budaya, dan preferensi masyarakat terhadap pangan (Wahidah 2005).

Tabel 7 Tingkat kecukupan protein perkotaan + pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010

No Kelompok Pangan 2008 2009 2010

kkal/kap/hr %AKP kkal/kap/hr %AKP kkal/kap/hr %AKP

1 Padi-padian 702 35.1 701 35.0 682 34.1 2 Umbi-umbian 526 26.3 532 26.6 598 29.9 3 Pangan hewani 190 9.5 182 9.1 182 9.1 4 Minyak/lemak 197 9.9 214 10.7 221 11.1 5 Buah/biji berminyak 27 1.3 26 1.3 21 1.0 6 Kacang-kacangan 71 3.5 95 4.7 78 3.9

7 Gula 76 3.8 83 4.2 82 4.1

8 Sayur dan buah 101 5.0 102 5.1 112 5.6 9 Lain-lain 17 0.9 15 0.7 17 0.9

Total 1906 95.3 1950 97.5 1992 99.6

*Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari

Tabel 8 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan Papua mengalami flutuatif dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1910 kkal/kap/hr, 1807 kkal/kap/hr, dan 1879 kkal/kap/hr. Pertumbuhan konsumsi energi di wilayah perkotaan mengalami penurunan 15.5 kkal/kap/hr (0.68%). Hal ini disebabkan karena terjadi penurunan konsumsi energi di Provinsi Papua maupun nasional pada tahun 2009 (DKP 2012).

Tabel 8 Tingkat kecukupan energi di Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010

Wilayah

Konsumsi Tingkat Kecukupan

Pertumbuhan

2008 2009 2010 2008 2009 2010

kkal/kap/hr %AKE* kkal/kap/hr %AKE %

Perkotaan 1910 1807 1879 95.5 90.4 94.0 -15.5 -0.75 -0.68 Pedesaan 1905 1993 2026 95.2 99.6 101.3 60.5 3.05 3.16 Perkotaan+Pedesaan 1906 1950 1993 95.3 97.5 99.6 43.5 2.15 2.23

*Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari

Secara kuantitas tingkat kecukupan energi di perkotaan dari tahun 2008 sampai tahun 2010 tergolong baik masing-masing adalah 95.5 %AKE, 90.4 %AKE, dan 94.0 %AKE. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan Papua dan perkotaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di perkotaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan Papua. Hal ini dapat dilihat bahwa tingkat kecukupan energi Indonesia di wilayah perkotaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 1976 kkal/kap/hr (98.8 %AKE), 1891 kkal/kap/hr (94.6 %AKE), dan 1884 kkal/kap/hr (94.2 %AKE) (DKP 2012).

Konsumsi energi di pedesaan dari tahun 2008 sampai 2010 mengalami peningkatan dengan pertumbuhan 60.5 kkal/kap/hr (3.16%). Peningkatan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai 2010 masing-masing adalah 1905 kkal/kap/hr, 1993 kkal/kap/hr, dan 2026 kkal/kap/hr. Konsumsi energi di wilayah


(43)

pedesaaan tahun 2010 melebihi rekomendasi WNPG 2004. Hal ini diduga karena aktivitas penduduk di pedesaan umumnya membutuhkan energi yang lebih besar sehingga seseorang akan lebih mengutamakan faktor kenyang daripada rasa ataupunprestise. Di wilayah pedesaan tingkat kecukupan energi dari tahun 2008 sampai 2010 tergolong baik masing-masing adalah 95.2 %AKE, 99.6 %AKE, dan 101.3 %AKE.

Apabila dibedakan berdasarkan wilayah pedesaan Papua dan pedesaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di pedesaan Indonesia cenderung menurun dibandingkan dengan pedesaan Papua. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kecukupan energi di wilayah pedesaan mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1905 kkal/kap/hr, 1993 kkal/kap/hr, dan 2026 kkal/kap/hr. sedangkan tingkat kecukupan energi Indonesia di wilayah pedesaan mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 2095 kkal/kap/hr (104.8 %AKE), 1961 kkal/kap/hr (98.1 %AKE), dan 1966 kkal/kap/hr (98.3 %AKE) (DKP 2012).

Tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan+ pedesaan Papua mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1906 kkal/kap/hr, 1950 kkal/kap/hr, dan 1993 kkal/kap/hr. Namun tidak demikian dengan tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan+ pedesaan Indonesia yang mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 2038 kkal/kap/hr (101.9 %AKE), 1927 kkal/kap/hr (96.4 %AKE), dan 1926 kkal/kap/hr (96.3 %AKE) (DKP 2012). Apabila dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan+ pedesaan Papua dan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di perkotaan+ pedesaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan+ pedesaan Papua.

Menurut Regmi dan Dyck (2001) terdapatnya perbedaan kebutuhan energi antara pedesaan dan perkotan adalah perbedaan gaya hidup, ketersediaan pangan dan kemampuan untuk membeli pangan. Masyarakat perkotaan cenderung bergaya hidup sedentary sehingga memerlukan energi yang lebih sedikit sedangkan aktivitas penduduk di pedesaan umumya membutuhkan energi yang lebih besar. Pada umumnya beragam jenis pangan lebih banyak tersedia di perkotaan serta daya beli masyarakatnya lebih tinggi. Menurut Martianto, Ariani, dan Hardinsyah (2003), pada tingkat pendapatan yang terbatas, seseorang akan lebih mengutamakan faktor kenyang daripada rasa


(1)

53


(2)

1 Padi-padian 50.0 0.5 25.0 701.9 35.1 17.5 700.9 35.0 17.5 681.6 34.1 17.0

2 Umbi-umbian 6.0 0.5 2.5 526.3 26.3 2.5 532.0 26.6 2.5 597.8 29.9 2.5

3 Pangan hewani 12.0 2.0 24.0 189.5 9.5 19.0 181.7 9.1 18.2 182.1 9.1 18.2

4 Minyak/lemak 10.0 0.5 5.0 197.4 9.9 4.9 214.5 10.7 5.0 221.3 11.1 5.0

5 Buah/biji berminyak 3.0 0.5 1.0 26.7 1.3 0.7 26.4 1.3 0.7 20.9 1.0 0.5

6 Kacang-kacangan 5.0 2.0 10.0 70.6 3.5 7.1 94.8 4.7 9.5 78.4 3.9 7.8

7 Gula 5.0 0.5 2.5 75.9 3.8 1.9 83.5 4.2 2.1 81.7 4.1 2.0

8 Sayur dan bua 6.0 5.0 30.0 100.7 5.0 25.2 101.7 5.1 25.4 111.5 5.6 27.9

9 Lain-lain 3.0 0.0 0.0 17.2 0.9 0.0 15.0 0.7 0.0 17.5 0.9 0.0

Total 100 100 1906 95.3 78.7 1950 97.5 80.8 1993 99.6 81.0

Perkotaan

1 Padi-padian 50.0 0.5 25.0 1059.8 53.0 25.0 1000.5 50.0 25.0 1006.2 50.3 25.0

2 Umbi-umbian 6.0 0.5 2.5 91.9 4.6 2.3 80.0 4.0 2.0 89.0 4.5 2.2

3 Pangan hewani 12.0 2.0 24.0 222.1 11.1 22.2 205.0 10.3 20.5 245.2 12.3 24.0

4 Minyak/lemak 10.0 0.5 5.0 241.5 12.1 5.0 237.5 11.9 5.0 234.4 11.7 5.0

5 Buah/biji berminyak 3.0 0.5 1.0 29.1 1.5 0.7 28.5 1.4 0.7 23.3 1.2 0.6

6 Kacang-kacangan 5.0 2.0 10.0 51.7 2.6 5.2 60.3 3.0 6.0 61.3 3.1 6.1

7 Gula 5.0 0.5 2.5 106.5 5.3 2.5 97.2 4.9 2.4 104.7 5.2 2.5

8 Sayur dan bua 6.0 5.0 30.0 81.3 4.1 20.3 76.5 3.8 19.1 90.9 4.5 22.7

9 Lain-lain 3.0 0.0 0.0 26.3 1.3 0.0 21.9 1.1 0.0 24.4 1.2 0.0

Total 1910 95.5 83.2 1807 90.4 80.8 1879 94.0 88.2

Pedesaan

1 Padi-padian 50.0 0.5 25.0 596.1 29.8 14.9 612.4 30.6 15.3 585.8 29.3 14.6

2 Umbi-umbian 6.0 0.5 2.5 654.6 32.7 2.5 665.5 33.3 2.5 748.1 37.4 2.5

3 Pangan hewani 12.0 2.0 24.0 179.9 9.0 18.0 174.8 8.7 17.5 163.4 8.2 16.3

4 Minyak/lemak 10.0 0.5 5.0 184.4 9.2 4.6 207.6 10.4 5.0 217.5 10.9 5.0

5 Buah/biji berminyak 3.0 0.5 1.0 25.9 1.3 0.6 25.7 1.3 0.6 20.2 1.0 0.5

6 Kacang-kacangan 5.0 2.0 10.0 76.1 3.8 7.6 105.0 5.3 10.0 83.4 4.2 8.3

7 Gula 5.0 0.5 2.5 66.9 3.3 1.7 79.4 4.0 2.0 74.9 3.7 1.9

8 Sayur dan bua 6.0 5.0 30.0 106.4 5.3 26.6 109.2 5.5 27.3 117.6 5.9 29.4

9 Lain-lain 3.0 0.0 0.0 14.5 0.7 0.0 12.9 0.6 0.0 15.4 0.8 0.0


(3)

55

Lampiran 3 Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan dan jenis pangan tahun 2011-2015 (gram/kapita/hari)

Kelompok/Jenis Pangan

Tahun 2010 Proyeksi Konsumsi Pangan (Gram/Kapita/Hari) Konsumsi Kontribusi

(%)

Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun

Gr/Hari Kg/Thn 2011 2012 2013 2014 2015

Padi-Padian

Beras 160.1 58.4 90.5 169.0 177.8 186.7 195.6 204.5

Jagung 1.9 0.7 1.1 2.0 2.1 2.2 2.3 2.4

Terigu 14.9 5.4 8.4 15.7 16.5 17.4 18.2 19.0

Umbi-umbian

Ubi Kayu 62.9 23.0 14.9 58.0 53.0 48.0 43.1 38.1

Ubi Jalar 301.2 109.9 71.1 277.5 253.8 230.1 206.3 182.6

Sagu 32.4 11.8 7.7 29.9 27.3 24.8 22.2 19.7

Kentang 0.7 0.3 0.2 0.7 0.6 0.6 0.5 0.5

Umbi Lainnya 26.1 9.5 6.2 24.1 22.0 20.0 17.9 15.8

Pangan Hewani

Ikan 62.8 22.9 60.5 65.0 67.1 69.3 71.5 73.7

Daging Ruminansia 9.5 3.5 9.1 9.8 10.1 10.5 10.8 11.1

Daging Unggas 7.7 2.8 7.4 8.0 8.2 8.5 8.8 9.0

Telur 17.9 6.5 17.2 18.5 19.1 19.8 20.4 21.0

Susu 6.1 2.2 5.9 6.3 6.5 6.7 6.9 7.2

Minyak dan Lemak

Minyak Kelapa 5.7 2.1 23.0 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7

Minyak Sawit 18.5 6.8 74.7 18.5 18.5 18.5 18.6 18.6

Minyak Lain 0.6 0.2 2.4 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6

Buah/Biji Berminyak

Kelapa 3.2 1.2 84.2 3.7 4.2 4.8 5.3 5.8

Kemiri 0.5 0.2 12.8 0.6 0.6 0.7 0.8 0.9

Kacang Mede 0.0 0.0 0.4 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

Emping 0.0 0.0 0.6 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

Kacang-kacangan

Kacang Tanah 5.0 1.8 31.5 5.6 6.2 6.8 7.4 8.0

Kacang Kedelai 9.2 3.4 58.1 10.3 11.4 12.5 13.7 14.8

Kacang Hijau 1.4 0.5 8.8 1.6 1.7 1.9 2.1 2.2


(4)

Lanjutan Lampiran 3 Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan dan jenis pangan tahun 2011-2015 (gram/kapita/hari)

Kelompok/Jenis Pangan

Tahun 2010 Proyeksi Konsumsi Pangan (Gram/Kapita/Hari) Konsumsi Kontribusi

(%)

Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun

Gr/Hari Kg/Thn 2011 2012 2013 2014 2015

Gula

Gula Pasir 21.8 8.0 95.3 22.5 23.2 23.9 24.5 25.2

Gula Merah 0.3 0.1 1.1 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3

Sirup 0.8 0.3 3.6 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

Sayur dan Buah

Sayur 224.9 82.1 74.0 219.4 213.9 208.5 203.0 197.6

Buah 78.9 28.8 26.0 77.0 75.1 73.2 71.3 69.4

Lain-lain

Minuman 16.4 6.0 56.3 15.6 14.8 14.0 13.2 12.4

Bumbu 12.7 4.6 43.6 12.1 11.5 10.9 10.2 9.6


(5)

57

Lampiran 4 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

Kelompok/Jenis

Pangan

Proyeksi Konsumsi Pangan (kg/kapita/hari) Proyeksi Konsumsi Pangan (ribu Ton/tahun)

2011 2012 2013 2014 2015 2011 2012 2013 2014 2015

Padi-Padian

Beras 67.8 71.4 75.0 78.5 82.1 2025.63 224.71 248.66 274.54 302.48

Jagung 0.8 0.9 0.9 0.9 1.0 24.26 2.69 2.98 3.29 3.62

Terigu 6.3 6.6 7.0 7.3 7.6 188.30 20.89 23.12 25.52 28.12

Umbi-umbian

Ubi Kayu 23.3 21.3 19.3 17.3 15.3 694.85 66.97 63.98 60.48 56.41

Ubi Jalar 111.4 101.9 92.4 82.8 73.3 3327.08 320.67 306.37 289.59 270.11

Sagu 12.0 11.0 9.9 8.9 7.9 358.30 34.53 32.99 31.19 29.09

Kentang 0.3 0.3 0.2 0.2 0.2 8.25 0.80 0.76 0.72 0.67

Umbi Lainnya 9.7 8.8 8.0 7.2 6.4 288.73 27.83 26.59 25.13 23.44

Pangan Hewani

Ikan 26.1 27.0 27.8 28.7 29.6 778.84 84.84 92.33 100.37 109.01

Daging Ruminansia 3.9 4.1 4.2 4.3 4.5 117.41 12.79 13.92 15.13 16.43

Daging Unggas 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 95.44 10.40 11.31 12.30 13.36

Telur 7.4 7.7 7.9 8.2 8.4 222.01 24.18 26.32 28.61 31.07

Susu 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 75.58 8.23 8.96 9.74 10.58

Minyak dan Lemak

Minyak Kelapa 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 68.21 7.20 7.59 8.01 8.45

Minyak Sawit 7.4 7.4 7.4 7.5 7.5 221.98 23.42 24.70 26.06 27.49

Minyak Lain 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 7.02 0.74 0.78 0.82 0.87

Buah/Biji Berminyak

Kelapa 1.5 1.7 1.9 2.1 2.3 44.46 5.35 6.33 7.41 8.58

Kemiri 0.2 0.3 0.3 0.3 0.4 6.74 0.81 0.96 1.12 1.30

Kacang Mede 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.24 0.03 0.03 0.04 0.05

Emping 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.33 0.04 0.05 0.06 0.06

Kacang-kacangan

Kacang Tanah 2.2 2.5 2.7 3.0 3.2 67.00 7.82 9.05 10.38 11.84

Kacang Kedelai 4.1 4.6 5.0 5.5 5.9 123.73 14.45 16.71 19.17 21.86

Kacang Hijau 0.6 0.7 0.8 0.8 0.9 18.71 2.19 2.53 2.90 3.31


(6)

Gula Pasir 9.0 9.3 9.6 9.9 10.1 269.84 29.29 31.77 34.43 37.29

Gula Merah 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 3.14 0.34 0.37 0.40 0.43

Sirup 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Sayur dan Buah

Sayur 88.1 85.9 83.7 81.5 79.3 2630.53 270.33 277.62 284.92 292.19

Buah 30.9 30.2 29.4 28.6 27.8 923.54 94.91 97.47 100.03 102.59

Lain-lain

Minuman 6.3 6.0 5.6 5.3 5.0 187.41 18.74 18.69 18.58 18.39

Bumbu 4.9 4.6 4.4 4.1 3.9 145.01 14.50 14.46 14.37 14.23