Penyebab dan Tujuan Demokrasi Lokal

38 SaidHaryanto,1985:63 mencontohkan di Indonesia yang hanya sesekali berbicara persoalan yang berbau politik dalam sastra. Menurutnya, orang boleh menyinggung –nyinggung politik dalam forum sastra tapi dalam pembicaraan seperti itu pembahasan tentang politik terbatas pada politik sang sastrawan diluar kesastrawannya, diluar karya sastranya, atau persoalan – persoalan politis yang ikut menjadi bagian dari karya sastra. Demokrasi tidak bisa terlepas dari sastra dikarenakan sastra merupakan cara penyampain demokrasi dalam sebuah sastra tentu kita mengenal puisi atau prosa. Puisi yang lebih bebas, kadang berisi juga tafsir yang luas. Sementara prosa adalah sedikit yang lebih tertata dengan segala bentuk dan iringan tanda bacanya. Demokrasi di Indonesia bisa kita sama artikan dengan sastra. Dimana sebagai ide demokrasi bisa sama seperti puisi yang memiliki kebebasan dalam penafsirannya. Tapi demokrasi dalam sebuah wujud adalah sebuah prosa dimana kita harus taat pada setiap ejaannya. Membaca demokrasi dari setiap hurufnya. Demokrasi dalam huruf ada yang konsonan ada juga yang vokal. Lalu anggaplah setiap huruf dalam demokrasi ini sebagai suara dari setiap warga negara dalam kancah demokrasi. Konsonan dapat disamakan seperti warga negara yang paling dominan dan mampu menjadi bagian dari proses demokrasi tapi lebih banyak memilih untuk diam. Sementara vokal adalah bagian yang cukup sedikit namun memberi dampak pada suara dalam demokrasi. 39

F. Sastrawan Penyampai Ide

Sastrawan adalah sebutan bagi penulis sastra, pujangga, ahli sastra, intelektual, sarjana; atau cendekiawan dan jauhari dalam diksi klasik.Sastra adalah bahasa kata-kata, gaya bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab bukan bahasa sehari-hari, kesusastraan, kitab suci Hindu, kitab ilmu pengetahuan, kitab, pustaka, primbon berisi ramalan, hitungan, dsb Salah satu dari fungsi bahasa, menurut Aminudin 2002:41, adalah fungsi ideasional yaitu fungsi bahasa untuk mengemukakan sesuatu sebagaimana dipresentasikan penuturnya.Dalam sarasehan nasional, yang kemudian dipublikasikan Harian Pikiran Rakyat, edisi 29 oktober 1984, Budiman menyatakan sastrawan harus mempunyai mission untuk menolong dan mengangkat rakyatnya. Ini menyangkut ideologi sastra yang berusaha memperjuangkan masalah –masalah besar yang diderita bangsanya, seperti kemiskinan. Mengutif BudimanHaryanto,1985:131 mengemukakan sebagiberikut: “yang terpenting setiap sastrawan harus sadar akan publiknya karena keindahan itu tidak universal, keindahan itu terikat oleh dimensi ruang dan waktu, yang indah di Amerika belum tentu indah di Indonesia. Mengenai publik karya seni ini, Arifin C. Noer, menandaskan bahwa publiknya adalah terbuka, siapa saja”