Kajian Dimentions of Marital Quality: Memahami Konsep, Metode Penelitian, dan Beberapa Kajian Kepustakaan Dalam Sosiologi Keluarga

Tambunan, Perilaku Konservasi Pada...

KAJIAN DIMENTIONS OF MARITAL QUALITY:
MEMAHAMI KONSEP, METODE PENELITIAN, DAN BEBERAPA
KAJIAN KEPUSTAKAAN DALAM SOSIOLOGI KELUARGA
Rizabuana Ismail
Abstract: This article propose various concept of marriage quality measurement,
terminology development and the component utilization. Family sociologist use the
statistics method with various instrument to examine, analizing and pulling the sample to
do the reseach, hence other knowledge and analytical technique use the same method.
Finally, this article indicates the marriage quality dimension concept is related to
multidimensional aspect such as economic, religius, and gender.
Keywords: marital quality, family, gender
PENDAHULUAN
Konsep Dimensi Kualitas Perkawinan
Walaupun kualitas perkawinan telah
dijadikan payung untuk menaungi konsep
`perkawinan yang baik’ (good marriage),
ternyata ia bukan suatu usaha mudah untuk
mendefinisikan istilah ini. Berbagai komponen
pengistilahan telah digunakan dan berbagai

pengukuran dilakukan terhadap komponen ini,
untuk mencari konsep yang sesuai. Namun
demikian, pengistilahan komponen kualitas
perkawinan yang sering digunakan adalah seperti
berikut:
(i). Kebahagiaan Dalam Perkawinan (Marital
Happiness).
Komponen
kualitas
perkawinan ini paling banyak dijadikan
alat pengukur. Konsep ini merujuk kepada
perasaan yang dialami seseorang dalam
perkawinannya.
Kebahagiaan
adalah
konsep yang sukar difahami sehingga tidak
ada yang dapat menyeimbangkan di antara
`perasaan bahagia’ dan `perasaan tidak
bahagia’. Kesukaran ini disebabkan karena
ia berhubungan dengan emosi yang

kompleks di dalam diri seseorang
(Termann, 1935).
(ii). Kepuasan Dalam Perkawinan (Marital
Satisfaction). Komponen kedua untuk
mengukur kualitas perkawinan adalah
melalui kepuasan dalam perkawinan yang
dialami oleh pasangan suami isteri. Konsep
ini merujuk kepada keinginan-keinginan,
harapan-harapan, dan hasrat dari masingmasing individu yang bertemu dalam
sebuah perkawinan. Komponen ini
dinyatakan oleh Bahr (1989) sebagai suatu

penilaian menyeluruh yang bersifat
subjektif dari seorang individu.
(iii). Penyesuaian Dalam Perkawinan (Marital
Adjustment). Konsep yang digunakan ini
bersifat menyeluruh untuk menilai suatu
perkawinan. Ia digunakan untuk menilai
bagaimana seorang individu memandang
pasangannya. Spanier (1976) menyatakan

penyesuaian dalam perkawinan harus
dilihat dari dua segi yang berlainan.
Pertama, sebagai suatu proses dan kedua
sebagai cara untuk menilai suatu
perkawinan. Kedua-duanya dilihat sebagai
suatu kontinum yang bergerak, dimulai dari
sisi yang tidak dapat menyesuaikan diri dan
diakhiri pada sisi bagaimana seorang
individu dapat menyesuaikan diri dengan
pasangannya.
(iv). Ketidakstabilan
Dalam
Perkawinan
(Marital Instability). Komponen terakhir
dari kualitas dalam perkawinan adalah
ketidakstabilan dalam perkawinan, yang
didefinisikan sebagai suatu bentuk
kecenderungan
untuk
melakukan

perceraian sebagai jalan keluar dari
persoalan yang dihadapi. Konsep ini terdiri
dari dua komponen yaitu secara kognitif
dan secara tingkah laku (behavioral).
Secara kognitif, pasangan yang menikah
mempunyai suatu pemikiran bahwa
perkawinan
adalah
sesuatu
yang
menyukarkan dan sering membayangkan
tentang perceraian. Manakala komponen
tingkah laku dapat dilihat dalam bentuk
perbuatan seperti: bercerita kepada teman
tentang perceraian, mencari nasihat dan
bantuan dari pengacara, tokoh agama, dan

Rizabuana Ismail adalah Dosen Departemen Sosiologi FISIP USU Medan
88


Universitas Sumatera Utara

Ismail, Kajian Dimentions of Marital Quality:...

konselor perkawinan tentang cara bercerai
atau kemungkinan-kemungkinan untuk
menghadapi perceraian.
David Johnson dan rekan-rekan (1986)
telah menemukan dua komponen kualitas
perkawinan
secara
signifikan.
Pertama,
kebahagiaan dalam perkawinan dan interaksi
dalam perkawinan; Kedua, ketidaksefahaman
dalam perkawinan, persoalan-persoalan yang
dihadapi dalam perkawinan dan ketidakstabilan
dalam perkawinan. Ia mengingatkan bahwa
dengan mengandaikan kebahagiaan dalam
perkawinan atau penyesuaian dalam perkawinan

sebagai kualitas perkawinan yang bersifat
unidimensional
dan
menyederhanakan
kesimpulan dengan satu angka penilaian saja,
akan menghasilkan keputusan yang tidak tepat
dan menyesatkan tentang kualitas perkawinan.
Secara nyata, penyesuaian dan kepuasan dalam
perkawinan maupun masalah-masalah dalam
perkawinan adalah dua elemen dalam perkawinan
yang berlainan. Oleh karena itu, Johnson dan
rekan-rekan menyimpulkan bahwa komponen
kualitas dalam perkawinan seperti: interaksi
dalam perkawinan, persoalan-persoalan dalam
perkawinan,
ketidaksefahaman
dalam
perkawinan,
dan
ketidakstabilan

dalam
perkawinan adalah konsep yang berbeda dan
harus diukur secara berasingan dalam mengkaji
kualitas perkawinan.
Beberapa peneliti mengkritik pendekatan
multidimensional Johnson dengan mengatakan
cara ini akan mengaburkan makna kualitas
perkawinan dan hanya dapat digunakan untuk
keperluan klinis saja. Namun demikian,
pendekatan ini telah menjadi tumpuan kajian
yang berkesinambungan mulai dekade 90-an
hingga sekarang, untuk melihat berbagai aspek
kehidupan keluarga seperti ekonomi keluarga,
kesehatan, dan pembangunan.
Konsep perkawinan yang berkualitas
dalam kehidupan sebuah keluarga, pada akhirakhir ini telah mengalami beberapa perubahan
(Glen, 1990). Perubahan ini didorong oleh
pertimbangan
secara
metodologikal

dan
konseptual. Beberapa peneliti, melihat konsep
kualitas perkawinan ini dari berbagai aspek. (1)
Konsep kualitas perkawinan yang ditentukan
sendiri oleh pasangan yang menikah itu. Mereka
menilai sendiri bagaimana perasaan yang dialami
dalam perkawinannya.
Perasaan
bahagia
(happiness) dan kepuasan (satisfaction) dari

perkawinannya akan mempengaruhi pandangan
terhadap konsep ini. (2) Menentukan kualitas
suatu perkawinan dengan memasukkan ke dalam
berbagai karekteristik dari hubungan-hubungan
dalam perkawinan itu sebagai definisi. Antara
lain, mereka menentukannya dengan mengukur
tingkat keseringan terjadinya ketidaksesuaian
antara pasangan suami isteri, bagaimana
hubungan interaksi di antara pasangan ini dan

jumlah terjadinya ketidaksefahaman pada keduadua pasangan, jumlah dan kualitas dari
ketidaksefahaman antara suami dengan isteri dan
bagaimana penyesuaian yang harus dilakukan
dalam perkawinan mereka; (3) Memasukkan
metode
pengukuran
yang
bersifat
multidimensional untuk mengukur kualitas
perkawinan sebuah keluarga (Spanier, 1976).
Kualitas perkawinan haruslah ditentukan dengan
menilai secara individu dari pasangan masingmasing dan menilai hubungan-hubungan dari
berbagai elemen. Metode pengukuran ini muncul
dari
kritikan
terhadap
latar
belakang
metodologikal dan konseptual yang digunakan.
Secara konseptual, ia menggabungkan berbagai

elemen untuk mengetahui apakah elemen itu
mempengaruhi ataupun saling mempengaruhi
antara elemen. Sebagai contoh, untuk
menentukan
kebahagiaan
dalam
suatu
perkawinan peranan elemen lainnya yang sangat
mempengaruhi harus diperhitungkan, seperti:
jumlah frekwensi pertengkaran; (4) kualitas
perkawinan yang berbeda bagi setiap pasangan
berdasarkan lama perkawinan dan bergantung
kepada gender (Johnson, White, Edwards &
Booth, 1986).
Walaupun terjadi perbedaan pandangan
terhadap konsep kualitas perkawinan di atas,
namun pada perkembangan terakhirnya beberapa
peneliti telah menganalisa kualitas suatu
perkawinan dengan pendekatan Dimensi Kualitas
Perkawinan. Dimensi ini dikelompokkan kepada

dua bagian (Johnson, Amoloza, dan Booth,
1992). Bagian pertama, yang dikelompokkan
sebagai dimensi satu, yaitu menilai hubungan
dalam perkawinan secara individu yang disebut
dengan `Dimensi Kebahagiaan Perkawinan’
(marital happiness). Bagian dua pula, terdiri dari
empat dimensi yang menggambarkan hubunganhubungan yang menentukan dalam kualitas
perkawinan, yaitu: Dimensi interaksi dalam
perkawinan (marital interaction); (3) Dimensi
ketidaksefahaman dalam perkawinan (marital
disagreement) yang diukur dari jumlah dan

89
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2008, Volume II, No. 2

intensitasnya; (4) Dimensi masalah-masalah yang
muncul di dalam perkawinan (marital problems)
yang disebabkan oleh tingkah laku dari setiap
pasangan dan (5) Dimensi kecenderungan untuk
bercerai (divorce proneness). Kelima konsep
dimensi kualitas dalam perkawinan yang selalu
digunakan para peneliti adalah:
1. Dimensi Kebahagiaan dalam Perkawinan
(Marital Happiness).
Dimensi
ini
digunakan
untuk
menentukan tingkat kepuasan seorang individu
dalam perkawinannya. Kebahagiaan suatu
perkawinan bagi seorang individu berbeda
dengan individu lain. Oleh karena dimensi ini
lebih bersifat subjektif, komponen yang diguna
untuk mengukur tingkat kepuasan dan
kebahagiaan perkawinan dari seorang individu
dibatasi kepada beberapa perspektif berikut:
a. Perasaan bahagia yang bersifat umum
tentang perkawinannya.
Tingkat kebahagiaan ini hanya diketahui dan
dirasai oleh individu tersebut saja.
Kebahagiaan dalam perkawinan ini hanya
diperoleh individu apabila dibandingkan
dengan kebahagiaan perkawinan yang
dirasainya pada tiga tahun yang lalu.
Kebahagiaan dalam perkawinan ini juga
diukur dari kekuatan cinta dan kasih sayang
terhadap
pasangannya.
Pertanyaanpertanyaan tentang kebahagiaan dalam
perkawinan (marital happiness), selalunya
berhubungan dengan kepuasan dalam
perkawinan (marital satisfaction). Walau
bagaimanapun, determinan terpenting untuk
menentukan kualitas suatu hubungan
perkawinan seseorang adalah kepuasan dan
kebahagiaan dari pasangan tersebut (Rogers
dan White, 1998:293-308). Untuk itu,
pengukuran yang digunakan untuk melihat
kebahagiaan dari pasangan ini antara lain
adalah komitmen terhadap peranan masingmasing suami dan isteri, persetujuan kepada
perubahan peranan yang dilakukan oleh salah
satu pasangan tetapi disetujui oleh
pasangannya dan penyesuaian terhadap
perubahan suasana di sekitarnya dan peranan
pasangan masing-masing.
b. Perasaan berbahagia terhadap aspek yang
bersifat spesifik dari hubungan suami isteri
Selain diukur dengan kepuasan yang bersifat
umum, pengukur tambahan digunakan untuk

90

memahami kebahagiaan setiap pasangan.
Item yang digunakan pada komponen yang
bersifat spesifik, antara lain hal-hal dalam
mencapai kesefahaman bersama, timbulnya
perasaan cinta dan kasih sayang, berusaha
mencari kesamaan terhadap sesuatu hal yang
berbeda, kepuasan dalam hubungan seksual
dengan pasangannya, kesetiaan terhadap
pasangan dan melakukan sesuatu untuk
melayani pasangannya.
2. Dimensi Interaksi dalam Perkawinan
(Marital Interaction).
Bentuk interaksi yang berlaku antara
pasangan suami dan isteri pada dimensi ini,
terbatas pada kerjasama antara keduanya dalam
kehidupan seharian. Interaksi yang dilakukan
menunjukkan wujudnya `komunikasi’ terbuka di
antara pasangan suami isteri, ada tanggung jawab
untuk terus `menjaga’ kebersamaan mereka,
menjaga keseimbangan untuk saling bergantung
dengan
pasangan,
kesetaraan
terhadap
kemampuan bersama dan menghargai pasangan
(Bidwell, 1999:259). Kebersamaan dalam
keseharian ini diwujudkan pada lima item yaitu
makan
bersama,
berbelanja
bersama,
mengunjungi teman ataupun sanak saudara
bersama, mengerjakan pekerjaan rumah di dalam
ataupun di luar rumah secara bersama, dan pergi
berjalan-jalan ataupun pergi berlibur bersama.
Dengan kata lain, interaksi diwujudkan dalam
aktivitas bersama seharian pada pasangan suami
isteri.
3. Dimensi Ketidaksefahaman dalam Perkawinan
(Marital Disagreement)
Dimensi ini digunakan untuk melihat
ketidaksefahaman dan ketidaksesuaian di antara
pasangan suami isteri terhadap berbagai
kesepakatan yng telah mereka nyatakan pada
awal perkawinannya. Ada ketidaksesuaian
terhadap tujuan masing-masing pasangan secara
individu ataupun menghadapi berbagai persoalan
lainnya yang membuat mereka tidak bersepakat.
Pengukuran dilakukan bukan terhadap sumber
ketidaksesuaian atau ketidaksefahaman tersebut,
melainkan dengan melihat apa yang dilakukan
akibat ketidaksesuaian ataupun ketidaksefahaman
di antara mereka itu.
Untuk mengukur ketidaksesuaian di
antara pasangan ini dilakukan melalui dua cara.

Universitas Sumatera Utara

Ismail, Kajian Dimentions of Marital Quality:...

Pertama, melalui pertanyaan yang berhubungan
dengan tingkah laku salah satu pasangan terhadap
pasangannya, seperti frekwensi berbantahan
terhadap apa yang dikerjakan oleh pasangannya
ketika bersama-sama melakukan pekerjaan di
dalam rumah. Cara lainnya adalah menghitung
frekwensi pertengkaran yang terjadi dan
mengukur sampai seberapa jauh tindakan
dilakukan dari seorang pasangan terhadap
pasangan lainnya, seperti: berteriak-teriak
ataupun berbicara keras terhadap pasangannya,
frekwensi ketidaksesuaian dengan segala
perbuatan pasangannya ataupun ketidaksesuaian
ini dilanjutkan dengan melakukan tamparan,
pukulan, ataupun tendangan terhadap pasangan.
4. Dimensi Masalah dalam Perkawinan (Marital
Problems).
Dimensi ini digunakan untuk melihat
kemampuan pasangan suami isteri mengatasi
berbagai masalah dalam perkawinannya. Masalah
yang dihadapi oleh pasangan ini terbentuk
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
a. Berdasarkan ciri pembawaan seorang individu
maupun disebabkan oleh tingkah laku ataupun
perbuatan dari masing-masing pasangannya.
Komponen
dimensi
masalah
dalam
perkawinan yang pertama: sikap mudah marah
dari salah satu pasangan, mempunyai perasaan
sensitif dan mudah tersinggung, terlalu mudah
cemburu, tertutup dan tidak ingin bertegur
sapa dengan orang lain.
b. Terjadinya kecurangan ataupun ketidaksetiaan
di
antara
pasangan
suami
isteri
Penyelewengan yang terjadi ini, sama ada
dalam bentuk hubungan seksual dengan orang
lain yang bukan pasangannya yang sah,
ataupun memiliki hubungan percintaan
dengan orang lain.
c. Persoalan salah satu pasangan ataupun
keduanya selalu berada di luar rumah
sehingga tidak mempunyai masa yang cukup
untuk berinteraksi dengan keluarga juga
merupakan komponen pada dimensi ini.
Persoalan masalah keuangan rumahtangga
sehingga ada pasangan yang dianggap lebih
boros dalam penggunaan uang, tidak terbuka
dalam penggunaan uang untuk keluarga, ada
pasangan yang terlibat dengan perjudian,
peminum alkohol, penggunaan narkoba,
terlibat dengan tindakan kriminal dan
pelanggaran hukum.

Persoalan-persoalan
ini
menyebabkan
rendahnya kualitas perkawinan sebuah
keluarga, yang selalunya ditandai dengan
pertengkaran dan ketidakharmonisan di antara
pasangan suami isteri.
5. Dimensi Kecenderungan untuk Bercerai
(Divorce Pronenes).
Konsep ini ditandai dengan bentuk
kecenderungan yang dimiliki oleh salah seorang
dari pasangan suami isteri sebagai suatu sikap, jalan
keluar ataupun pengambilan keputusan terakhir
yaitu bercerai dengan pasangannya. Bentuk
kecenderungan untuk bercerai ini termasuk di
dalamnya komponen kognitif dan komponen
tindakan. Pada komponen kognitif, bentuk
kecenderungan tersebut, adalah:
a. Apabila salah satu pasangan suami isteri
mempunyai fikiran bahwa perkawinan itu
hanyalah tempat mencari berbagai masalah,
baik masalah dalam keluarga, anak-anak,
rumahtangga,
keuangan,
mengurangi
kebebasan dan keterbatasan untuk menikmati
kehidupan di luar rumahtangga.
b. Apabila salah satu pasangan suami isteri
mempunyai pikiran bahwa jalan keluar dari
masalah perkawinan itu adalah perceraian.
Artinya, jika terjadi pertengkaran ataupun
ketidaksesuaian di antara pasangan suami
isteri disebabkan suatu permasalahan dalam
perkawinan, tidak dapat diselesaikan atau
menghadapi masalah keluarga yang rumit,
jalan keluar tercepat yang diputuskan adalah
memilih untuk bercerai.
Sedangkan komponen tindakan (action)
yang termasuk dalam dimensi ini adalah:
a. Apabila salah satu pasangan suami isteri ini
telah menyatakan kepada teman terdekatnya,
saudaranya bahkan kepada pasangannya
tentang keinginannya untuk bercerai.
Ucapan
ataupun
perkataan
tersebut
dinyatakan sebagai suatu bentuk jalan keluar
ataupun
mengakhiri
perbedaan
dan
ketidaksefahaman di antara pasangan suami
isteri itu.
b. Telah bertukar-pikiran dengan konselor
masalah perkawinan, bertemu dengan
pengacara, menjumpai pihak pengadilan
agama, membuat surat permohonan cerai
kepada
pasangannya
dan
termasuk
menyebutkan perkataan `seandainya kita
bercerai’ kepada pasangannya.

91
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2008, Volume II, No. 2

Dimensi ini disebut juga dengan bentuk
perkawinan yang tidak stabil. Puncak dari
ketidakstabilan dalam perkawinan adalah jika
responden telah berada pada tahap melakukan
tindakan seperti memasukkan surat tuntutan
bercerai ke pengadilan agama.
Metode Penelitian Mengenai Dimensi Kualitas
Perkawinan
Metode penelitian mengenai kualitas
perkawinan dan stabilitas keluarga yang pernah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya, merangkumi
perbincangan tentang besarnya jumlah sampel,
ciri-ciri, pengukuran, variabel, dan metode
analisis
yang
sering
digunakan
telah
dibincangkan oleh Lewis dan Spanier (1980)
serta Karney dan Bradburry (1995). Mereka
mengemukakan beberapa tradisi yang biasa
digunakan dalam penelitian tersebut, antara lain:
1. Pada dekade awal, kajian lebih banyak
melihat respons dari kaum wanita (isteri)
berbanding kaum pria (suami) terhadap
kehidupan mereka. Namun, pada akhirnya
unit analisis yang dilakukan adalah kepada
kedua-dua pasangan dan lebih ditekankan
kepada interaksi antara suami dan isteri serta
ciri-ciri dari hubungan tersebut. Wawancara
dan teknik observasi untuk pengumpulan
data dilakukan terhadap pasangan yang
menikah.
2. Pengukuran kualitas perkawinan dijadikan
sebagai isu metodologi. Fokus perhatian
ditumpukan kepada elemen realibiliti,
validiti, respon dan alat ukur terhadap isu
yang dibahas.
3. Dari 115 kajian yang pernah dilakukan
mengenai kualitas perkawinan sebuah
keluarga, besarnya sampel yang digunakan di
antara 16 hingga 5,083 responden.
Kebanyakan pengkaji menggunakan jumlah
sampel yang kecil: 33 persen peneliti hanya
menggunakan sampel di bawah 100
responden, 20 persen yang lain menggunakan
100-200 responden. Enam belas persen
daripada 115 kajian menggunakan 200-500
responden dan selebihnya 30 persen
menggunakan lebih dari 500 responden.
Besar ataupun kecilnya ukuran sampel yang
digunakan
oleh
peneliti,
selalu
mempertimbangkan variabel yang hendak
diuji dan metode penelitian yang hendak
digunakan. Ukuran sampel dalam jumlah
besar lazimnya digunakan untuk menguji

92

4.

5.

6.

7.

variabel secara demografis. Manakala
tentang tingkah laku dari salah satu pasangan
diuji dengan ukuran sampel yang kecil dan
menggunakan metode observasi. Selain itu,
penggunaan ukuran sampel yang besar sering
dilakukan pada penelitian dekade 70-an
berbanding dekade 60-an yang lebih banyak
menggunakan ukuran sampel kecil.
Pada suatu ketika, peneliti kualitas
perkawinan lebih tertarik membahas tema
tentang `kehidupan bersama layaknya suami
isteri’ sebagai bagian dari struktur
perkawinan. Pembahasan yang dilakukan
mengutarakan isu hubungan perkawinan
berkualitas yang bertolak belakang, yaitu
antara suami isteri yang kawin secara sah
dengan hubungan lelaki dan wanita yang
hidup bersama tanpa perkawinan tetapi
berkualitas. Namun demikian, perbincangan
secara teori dan metodologi dimulai dengan
melihat kedua-duanya sebagai hubungan
yang bertentangan dengan konteks hubungan
perkawinan yang wajar dilakukan.
Kajian lebih banyak menggunakan statistik
multivariat
untuk
menganalisa
data
perkawinan yang berkualitas dan bentuk
penyelidikan mengaplikasikan metode secara
`cross-sectional’ dan longitudinal. Masalah
kekurangan atau kelebihan teknik analisa
yang digunakan, didapati 37 kajian terhadap
kualitas perkawinan menggunakan teknik
korelasi, 16 kajian menggunakan teknik
ujian-t dan 28 kajian menggunakan analisis
varians (Anova). 37 kajian menggunakan
teknik regresi berganda dan 30 kajian
menggunakan `Structural Equation Modelling’
atau (SEM). 7 kajian lagi menggunakan
kaedah statistik yang tidak tepat seperti
jadwal kontigensi atau korelasi dengan
kelompok yang lebih ekstrim
Kajian dalam tahun 1970-an, telah
memperbaiki
kesilapan
masa
lalu
terutamanya mengenai peranan lelaki dan
perempuan dalam kehidupan berkeluarga dan
berusaha membentuk `body of literature’ dari
konsep kualitas perkawinan yang belum
pernah diteliti sebelumnya.
Hingga kini, kajian-kajian kecil mengenai
kualitas perkawinan dengan menggunakan
berbagai variabel bebas telah dilakukan,
seperti: pengaruh perkawinan terhadap
kesehatan seseorang, harga diri dan kejiwaan
salah
seorang
pasangan.
Walaupun

Universitas Sumatera Utara

Ismail, Kajian Dimentions of Marital Quality:...

umumnya, kajian perkawinan berkualitas
sering menggunakan variabel terikat, namun
kajian
ini
turut
mempertimbangkan
kedinamikaan perkawinan sebagai suatu hal
yang dipengaruhi oleh berbagai masalah
yang kompleks.
8. Pada dekade ini, kajian mengenai keluarga
mulai dikembangkan dan diteruskan dengan
kajian-kajian perbandingan kekeluargaan di
tingkat internasional, tidak terbatas di
kawasan Amerika saja dan dikaji secara
lintas-budaya.
Perkembangan terhadap instrumen yang
digunakan dalam penyelidikan tentang kualitas
perkawinan pasangan suami isteri terus berubah
mengikut perkembangan masa (Bidwell dan
Brenda, 2000:301). Walaupun kajian ini
berkembang semenjak 1929, instrumen yang
banyak digunakan pada awalnya adalah
instrumen Short Marital Adjustment Test
(SMAT) oleh Locke dan Wallace (1959). Ini
diikuti oleh instrumen Dyadic Adjustment Scale
(DAS) oleh Spanier (1976). Metode pengukuran
yang digunakan Spanier lebih menekankan
kepada pendekatan psikologi dan latar belakang
kehidupan sosial pasangan itu sendiri. Metode ini
dapat digunakan untuk mengetahui komponenkomponen kualitas perkawinan dan masalahmasalah yang timbul pada hubungan di antara
pasangan suami isteri.
Manakala metode pengukuran yang
dikemukakan oleh Locke dan Wallace lebih
menekankan kepada latar belakang dan berbagai
faktor lainnya ketika masa anak-anak pada
pasangan yang mempengaruhi kedinamikaan
hubungan
kedua-duanya.
Mereka
telah
memperkenalkan lima belas item untuk
mengukur
kualitas
perkawinan
dengan
menggunakan SMAT. Secara ringkas, SMAT
mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti: masa
ketika mereka berkenalan, latar-belakang ketika
masih kanak-kanak yaitu keadaan yang
berhubungan dengan kebiasaan menjalankan
aktivitas keagamaan dalam keluarga, keadaan
kedua orangtua ketika tinggal bersama di suatu
tempat, tingkat konflik yang terjadi pada ibu
bapak mereka, tingkat kebahagiaan yang dirasai
anak-anak ketika bersama-sama orangtuanya, dan
hal-hal yang diizinkan atau dilarang oleh
orangtuanya. Instrumen ini diajukan kepada 281
pasangan yang menikah dengan tumpuan

pertanyaan tentang keadaan perkawinan secara
luas (Freestone dan Plekcharty, 1997).
Sedangkan metode pengukuran DAS
yang sering disebut sebagai `a mainstay in both
marital functioning literature and couple
treatment literature’ (Hunsley, 1995:236), tidak
hanya digunakan pada pasangan yang menikah
saja, malahan juga kepada pasangan-pasangan
lainnya. Peneliti dapat menilai dan mengetahui
tingkat hubungan yang wujud di antara setiap
pasangan yang menikah. Peneliti juga dapat
mengukur seberapa jauh perasaan dan hubungan
individu pada saat itu terhadap pasangannya
setelah membandingkan dengan beberapa tahun
sebelumnya. Metode ini berfungsi untuk
mengetahui bagaimana responden memahami
pasangan dan komitmen terhadap pasangannya.
DAS lebih dimaksudkan sebagai satu cara
penyesuaian dan pemahaman di antara pasangan
suami isteri.
Menurut Spanier (1976), penyesuaian
hubungan suami isteri itu merupakan suatu
proses yang harus melalui berbagai tahap seperti
komunikasi yang efektif, proses menangani
konflik-konflik yang terjadi dan kepuasan dalam
berbagai hubungan sesama pasangan. Beliau
menggunakan pengukuran DAS terhadap 281
responden dan 32 item yang dikelompokkan
kepada empat instrument hubungan diantara
suami isteri (dyads) yang disebut diadiks
kesepakatan (dyadics concensus), diadiks
kesepaduaan (dyadics cohesion), diadiks
kepuasan (dyadics satisfaction) dan bentukbentuk yang menunjukkan kasih sayang di antara
kedua-duanya (affectional expression). Masingmasing jalinan hubungan di antara suami isteri ini
mempunyai pengukuran tersendiri. Diadiks
kesepakatan digunakan untuk mengukur tingkat
persetujuan diantara setiap pasangan terhadap
isu-isu keluarga yang dianggap penting seperti:
isu pengelolaan keuangan keluarga, rekreasi,
ibadah keagamaan dan hubungan dengan temanteman. Sedangkan pada diadiks kesepaduan,
bertujuan untuk mengukur derajat kebersamaan
dalam hubungan sehari-hari, kerjasama di dalam
urusan rumahtangga dan keintiman di antara
keduanya. Item ini membincangkan hal-hal
seperti: menjaga perasaan pasangan, pertukaran
ide, bersama-sama dalam suka dan duka,
berbincang berbagai hal dan bersama-sama
mengerjakan urusan-urusan lainnya.

93
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2008, Volume II, No. 2

Beberapa Kajian Kepustakaan mengenai
Dimensi Kualitas Perkawinan
Fokus kajian di bawah ini adalah kepada
dimensi perkawinan berkualitas (dimentions of
marital quality) sebagai bagian dari perkawinan
berkualitas (marital quality). Para pakar telah
menyorotinya dari berbagai aspek multidimensi
dan peristilahan. Di antaranya menyoroti impak
hubungan kekeluargaan di antara suami dan isteri
yang dipengaruhi oleh aspek ekonomi,
keagamaan dan gender. Beberapa pendapat telah
dikemukakan antara lain:
Pengaruh Ekonomi terhadap Perilaku SuamiIsteri
Pengaruh aspek ekonomi terhadap
keluarga yang membahas hubungan diantara
suami isteri apabila berhadapan dengan kesulitan
ekonomi dan apabila terjadi tekanan terhadap
ekonomi rumahtangga, telah dilakukan oleh
Conger, Elder, Lorenz, Simons, Whitbeck, Huck,
dan Melby (1990). Mereka mengukur hubungan
perkawinan berkualitas diantara pasangan suami
isteri dengan tingkat perasaan kepuasan dan
kebahagiaan yang diperolehi apabila menghadapi
krisis ekonomi yang sulit. Kajian awal
menyebutkan bahwa kesulitan ekonomi dalam
keluarga menimbulkan berbagai risiko, di
antaranya ialah terputusnya hubungan sebuah
perkawinan, keluarga yang berpecah belah,
terjadinya kekasaran fisik pada anggota keluarga
dan anak-anak yang diabaikan. Namun demikian,
kajian yang melihat dimensi interaksi diantara
pasangan suami isteri yang sedang menghadapi
krisis ekonomi, menemukan bahwa ketegangan
ekonomi yang menyebabkan penambahan
pertentangan dan mengurangi kemesraan
hubungan suami isteri hanya didapati pada
suami. Pada pihak isteri, ketegangan ekonomi
tidak memberi dampak pada perasaannya yang
berhubungan dengan perkawinannya. Secara
tidak langsung, situasi ini memberi dampak
kepada kualitas perkawinan yang disebabkan
oleh tingkah laku suami.
Lorenz, Conger, Simons, Whitbeck, dan
Elder (1991) juga melakukan kajian yang sama
yaitu pengaruh ekonomi pada salah satu dimensi
kualitas perkawinan. Perbedaannya hanya
terletak kepada model yang digunakan dan
metode pensampelannya. Mereka menggunakan
item dimensi kualitas perkawinan yang sama.
Model yang digunakan adalah untuk melihat
kemesraan dan pertengkaran pada pasangan

94

suami isteri dengan menggunakan dimensi
interaksi dalam perkawinan. Keadaan ini dilihat
ketika wujud kesulitan ekonomi dan tekanan
ekonomi (economic pressure) pada keluarga
sehingga
mempengaruhi
kualitas
dan
ketidakstabilan dalam perkawinan. Sedangkan
cara pengambilan sampel dilakukan dengan
`metode varians’ yaitu masing-masing suami dan
isteri menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaaan
dari kuesioner yang diberikan tentang sikap dan
tingkah laku pasangannya. Metode observasi
secara eksternal dilakukan juga melalui pita
video terutama mengenai kemesraan dan
pertengkaran di antara pasangan tersebut. Konsep
tekanan secara ekonomi yang digunakan merujuk
secara emosi, kognitif dan maklum balas melalui
tingkah laku anggota keluarga berdasarkan
kesulitan memenuhi keperluan kehidupan seharihari dengan sumber keuangan keluarga yang
dimiliki.
Selain itu juga Huggies, Galinsky, dan
Morris (1992) mengemukakan dua dimensi dari
kualitas perkawinan pada para karyawan
perusahaan yaitu dimensi tekanan dan dimensi
persahabatan. Walaupun menggunakan istilah
berbeda, dimensi tekanan yang dimaksudkan
adalah sebagai dimensi ketidaksefahaman dalam
perkawinan. Dimensi ini digunakan untuk
mengetahui berbagai aktivitas suami dan isteri
yang dilakukan bersama-sama dan topik-topik
yang biasa dibincangkan sehingga terjadi
ketidaksefahaman dalam perkawinan pada tiga
bulan terakhir ini. Demikian juga dengan dimensi
persahabatan, digunakan untuk melihat hal-hal
positif dalam hubungan tingkahlaku perkawinan
(marital behavior) suami dan isteri, seperti
percaya kepada pasangan, tertawa bersama atau
merasakan kegembiraan dalam tiga bulan terakhir
ini. Kedua dimensi ini dilihat dalam
hubungannya dengan ciri-ciri pekerjaan suami
atau isteri dan gangguan-gangguan yang dihadapi
di antara kepentingan pekerjaan dengan
kepentingan keluarga.
Karekteristik
pekerjaan
(job
characteristics) menggambarkan peran karyawan
dalam tugas-tugas yang dilakukan. Ia terbagi
kepada dua aspek yaitu ciri-ciri kerja secara struktur
dan ciri-ciri kerja secara psikososial. Ciri-ciri kerja
secara struktur (structural job characteristics)
merupakan gambaran berbagai aspek yang
berhubungan dengan kerja itu sendiri, meliputi
waktu bekerja, keinginan melakukan kerja di luar
kantor, waktu kerja pada akhir minggu dan jadwal

Universitas Sumatera Utara

Ismail, Kajian Dimentions of Marital Quality:...

kerja yang tidak tetap. Sedangkan ciri-ciri kerja
secara psikososial adalah berdasarkan kepada halhal yang menentukan isi dan proses kerja yang
harus dilakukan. Meliputi penentuan individu
dalam pembuatan keputusan, kemampuan
melaksanakan keputusan yang diambil, beban kerja
secara psikologis, suasana kerja yang tidak nyaman,
kemampuan supervisor dalam membagi pekerjaan
dan perhatian supervisor memperhatikan keperluankeperluan keluarga bawahannya.
Istilah gangguan dalam hubungan kerja
dengan keluarga (work-family interference)
menunjukkan terdapat banyak hal yang menjadi
titik persinggungan antara pekerjaan dengan
kehidupan berkeluarga seorang pekerja. Titik ini
menjadikan penyebab kewujudan tekanan (tension)
pada diri karyawan dan keluarganya. Ada dua
bentuk gangguan yaitu gangguan secara struktur
dan gangguan secara psikologi. Gangguan secara
strutural (structural interference), dapat dijelaskan
sebagai satu bentuk perluasan dari satu peran yang
dilakukan baik oleh karena tuntutan pekerjaan,
keluarga maupun keadaan organisasi yang sukar
diurus. Dua aspek yang perlu dibahas dari bentuk
gangguan ini yaitu kesukaran untuk berperan dalam
keluarga dan juga kesukaran berperan dalam
pekerjaan. Manakala gangguan secara psikologi
adalah perubahan mood dari yang bersifat positif
menjadi mood yang bersifat negatif. Misalnya,
mood untuk bekerja telah bertukar menjadi mood
untuk memikirkan keluarga. Dengan kata lain, kita
lebih memperhatikan kemampuan interpersonal
karyawan daripada memperhatikan anggota
keluarganya atau lebih memperhatikan mood
karyawan
dengan
menimbang
keadaan
rumahtangganya.
Selain itu, Rogers dan Amato (1997)
telah menggunakan kelima aspek dimensi
kualitas perkawinan untuk melihat pengaruh
perubahan ekonomi dan perubahan sosial yang
terjadi pada dua generasi. Perubahan itu adalah
penurunan tingkat kualitas perkawinan pada
generasi yang kawin pada tahun 1969-1980 dan
generasi yang kawin pada tahun 1981-1992.
Perubahan pada dua generasi ini diukur melalui
dua variabel yaitu latar belakang pendidikan
responden dan umur ketika mula menikah.
Sedangkan indikator yang digunakan untuk
melihat perubahan itu adalah: sumber ekonomi
keluarga, pekerjaan dan kehadiran anak dalam
rumahtangga, sikap dan peranan gender secara
tradisional, hubungan suami isteri sebelum

menikah serta komitmen untuk mempertahankan
perkawinan.
Penggunaan data sampel probabilitas
secara nasional menunjukkan penurunan kualitas
perkawinan pada tiga dari lima dimensi kualitas
perkawinan pada kelompok generasi yang lebih
muda berbanding dengan kelompok generasi
yang lebih berusia. Perubahan itu dilihat pada
item interaksi dalam perkawinan yang menurun,
item konflik dalam perkawinan yang semakin
meningkat dan item masalah-masalah dalam
perkawinan yang juga menunjukkan peningkatan.
Walaupun demikian, pada kelompok generasi
yang lebih muda tidak terjadi penurunan yang
signifikan pada item kebahagiaan dalam
perkawinan dan kecenderungan untuk bercerai.
Ketaatan Beribadat dan Pengaruhnya
terhadap Kualitas Perkawinan
Pengaruh keagamaan terhadap hubungan
suami isteri membahas bagaimana ketaatan
seorang penganut agama terhadap hubungan
dengan pasangannya. Booth, Johnson, Branaman,
dan, Sica (1995), telah menggunakan kelima-lima
dimensi perkawinan berkualitas dari Johnson,
Amoloza, et al (1992) untuk menguji pengaruh
ketaatan sebuah keluarga sebagai penganut suatu
agama terhadap kualitas perkawinan pasangan
suami isteri. Dari kajian ini, diperoleh bukti
bahwa apabila terjadi perubahan dalam
memahami dan melaksanakan ibadah keagamaan,
maka terjadi perubahan pada dimensi kualitas
perkawinan yaitu dimensi kecenderungan untuk
bercerai (divorce pronenes). Dari kelima-lima
indikator yang menyatakan apabila seseorang itu
bersifat religius (seperti: kehadiran ke tempat
ibadah, melaksanakan ibadah di rumah,
melibatkan diri dalam kegiatan keagamaan, rajin
membaca kitab suci dan pengaruhnya dalam
kehidupan seharian) menunjukkan pengaruh yang
signifikan dengan dimensi kualitas perkawinan
tersebut. Pasangan ini cenderung untuk tidak
berfikir tentang perceraian dan membicarakan
tentang kemungkinan bercerai dengan orang lain.
Semakin aktif seseorang melaksanakan aktivitas
keagamaannya maka hubungan antara suami
isteri (marital relation) juga semakin meningkat.
Selain tidak mempunyai fikiran untuk bercerai,
mereka juga mengurangi kecenderungan untuk
bertengkar dan menghindari berbagai masalah
yang dapat menyebabkan terjadinya pertengkaran
atau membuat masalah yang menuju kepada
perceraian.

95
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2008, Volume II, No. 2

Namun di sisi lainnya, peningkatan
kualitas perkawinan pada dimensi kebahagiaan
dalam perkawinan (marital happiness) hanya
berpengaruh terhadap dua dari lima indikator
pasangan yang religius yaitu hanya berpengaruh
terhadap kehadiran di tempat ibadah dan
berpengaruh terhadap kehidupan seharian.
Demikian juga pada peningkatan dimensi
interaksi dalam perkawinan, hanya berpengaruh
terhadap kehadiran ke tempat ibadah. Walaupun
demikian, perubahan tingkat religius salah satu
pasangan terhadap kualitas perkawinannya samasama berpengaruh di antara lelaki dan
perempuan.
Gender dan Hubungannya dengan Kualitas
Perkawinan
Kajian aspek gender yang dilakukan
umumnya membahas bagaimana pengaruh
hubungan kekeluargaan apabila seorang isteri
bekerja, berpendapatan lebih tinggi dari suami dan
pembahagiaan kerja dalam rumah tangga. Dengan
menggunakan kelima-lima dimensi kualitas
perkawinan seperti di atas, Amato dan Booth
(1995) coba melihat perubahan sikap terhadap
peranan gender dari pasangan suami dan isteri.
Perubahan sikap ini dilihat melalui survei secara
longitudinal yaitu dengan membagikan kepada
sikap secara tradisional dan sikap secara tidaktradisional dari sesebuah keluarga. Sikap
tradisional ini digambarkan dengan terjadinya
pembagian secara dikotomis di antara suami
sebagai satu-satunya kepala keluarga pencari
nafkah dengan isteri sebagai suri rumah tangga
sepenuh masa yang tidak menghasilkan
pendapatan, tetapi menunjukkan dampak akibat
perbedaan peranan ini. Sedangkan sikap tidaktradisional digambarkan sebagai sebuah keluarga
di mana suami dan isteri telah mempunyai peranan
bersama dan hubungan kedua-duanya bersifat
egalitarian.
Kesimpulan kajiannya ini adalah kualitas
perkawinan yang semakin menurun akan dihadapi
oleh para isteri yang masih mempunyai sikap
tradisional dalam keluarga. Mereka merasa
kurang bahagia dalam perkawinan karena sering
menghadapi berbagai masalah. Bagi suami yang
mengamalkan sedikit sikap tradisional dalam
rumahtangganya,
akan
merasa
kualitas
perkawinannya semakin bertambah baik dan
hanya sedikit masalah yang dialami. Secara
ringkas dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai
perkawinan berkualitas itu para isteri lebih

96

berkeinginan untuk bersikap tidak-tradisional
dalam menguruskan kehidupan rumah tangganya
dan para suami pula lebih berkeinginan
mempunyai sikap tradisional dibandingkan
pasangannya. Walaupun
demikian, untuk
mengurangi ketegangan antara keduanya dan
mengurangi konflik yang lebih nyata, disarankan
agar lebih banyak kaum lelaki yang mendukung
untuk berkongsi peran (role sharing) dan
melakukan kesamaan darjat secara gender (gender
equality) dengan pasangannya.
Manakala,
Rogers
(1996)
dalam
kajiannya terhadap isteri-isteri yang bekerja telah
melihat perkawinan berkualitas mereka dengan
menggunakan dua item dari demensi kualitas
perkawinan yaitu dimensi kebahagiaan dalam
perkawinan (marital happiness) dan dimensi
konflik dalam perkawinan (marital conflict).
Kedua dimensi tersebut digunakan kepada para
isteri yang bekerja dan memiliki anak-anak.
Mereka ini dikategorikan sebagai keluarga yang
isterinya bekerja dan perkawinannya dilalui
tanpa pernah bercerai, dan kategori keluarga yang
isterinya bekerja tetapi telah menikah lagi setelah
bercerai. Ia menggunakan dua jenis keluarga ini
untuk melihat hubungan di antara isteri yang
bekerja, kualitas perkawinan dan ukuran
keluarga.
Pada keluarga pertama, beliau mendapati
bahwa hubungan korelasi di antara isteri yang
bekerja dengan kedua-dua dimensi kualitas
perkawinan tersebut adalah sangat lemah, tidak
signifikan dan konsisten dengan perspektif
pertentangan peranan. Bagi para isteri yang
bekerja paruh waktu, umumnya hanya
mengalami
sedikit
kebahagiaan
dalam
perkawinan dan lebih banyak mengalami konflik
dalam perkawinan. Biasanya, disebabkan
pengaruh tuntutan keluarga dan anak-anak yang
semakin bertambah. Hasil kajian ini dilihat
sejalan dengan hasil kajian terdahulu (Hill,1988;
Voydanoff, 1988) yang menyebutkan bahwa
pada keluarga yang mempunyai pendapatan
ganda di mana isterinya bekerja akan berhadapan
dengan berbagai pertentangan peran (role strain).
Pada keluarga kedua pula, beliau
mendapati bahwa hubungan keduanya lebih
rumit dan bergantung kepada jumlah anak yang
tinggal bersama serta masih didapati kewujudan
pertentangan peran dalam hubungan suami isteri.
Secara umum, hal ini terjadi dalam keluarga kecil
dengan jumlah anak hanya satu orang. Dalam
keadaan seperti ini, isteri yang bekerja sepenuh

Universitas Sumatera Utara

Ismail, Kajian Dimentions of Marital Quality:...

masa
biasanya
mengalami
kebahagiaan
perkawinan yang rendah dan mengalami konflik
dalam perkawinan yang tinggi. Sebaliknya,
dalam keluarga yang lebih besar dengan jumlah
anak tiga hingga empat orang, isteri-isteri yang
bekerja sepenuh masa ternyata mengalami
kebahagiaan perkawinan yang lebih tinggi dan
konflik dalam perkawinan yang lebih sedikit. Ini
dapat difahami, apabila (1) anak mempunyai nilai
sebagai sumber ekonomi, dapat membantu kerja,
meringankan beban ekonomi keluarga dan
menambah kualitas perkawinan dalam keluarga.
dan (2) Isteri-isteri bekerja yang membawa anak
dalam perkawinannya kembali, telah dapat
menunjukkan bahwa ia telah ikut memberi
sumbangan yang positif dalam perkawinannya.
Dengan demikian, ia dapat memberi rasa
tanggungjawab dan bersama-sama untuk
membina keluarga.

Secara umum, penelitian menggunakan
pendekatan multidimensional dari dimensi kualitas
perkawinan ini terus dilakukan sepanjang dekade
90-an hingga kini. Berbagai aspek yang dikaji
selalunya diukur dengan kelima-lima bagian dari
dimensi kualitas perkawinan atau beberapa bagian
saja. Namun demikian, ada yang menggunakan
bagian dari dimensi kualitas perkawinan itu dengan
pengistilahan yang lain seperti persahabatan,
pertemanan atau perasaan empati dalam melihat
hubungan suami isteri. Namun demikian, apabila
ditelusuri lebih mendalam pada item-item dari
bagian itu juga telah menyentuh pada bagian yang
sama dari salah satu bagian dimensi kualitas
perkawinan. Selain itu, sampel yang digunakan
juga tidak terbatas pada dekade itu saja. Apalagi
jika
digunakan
untuk
membandingkan
perkembangan suatu aspek untuk beberapa generasi
keluarga.

97
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2008, Volume II, No. 2

DAFTAR PUSTAKA
Amato, Paul R., and Booth Alan. Changes in Gender Role Attitude and Perceived Marital Quality.
American Sosiological Review, Vol 60, 1995: 58-66.
Amato, Paul R., David Johnson, Alan Booth, and Stacy J Rogers. Continuity and Change in Marital
Quality between 1980 and 2000. Journal of Marriage and the Family, (65) 2003: 1-22.
Booth, Alan, David R. Johnson, Ann Branaman and Alan Sica. Belief and Behavior: Does Religion
Matter in Today`s Marriage?. Journal of Marriage and the Family, 57 (1995): 661-671.
Burr, Wesley R. (ed.). Contemporary Theories About The Family, Research Based Theories. New
York: The Free Press, 1979.
Conger, Rand D., Glen H. Elder, Frederick O. Lorenz, Katherine J. Conger, Ronald L. Simons, Les
B. Whitbeck, Shirley Huck and Janet. N Melby. Linking Economic Hardship to Marital
Quality and Instability. Journal of Marriage and the Family, (52)1990: 643-656.
Dush Claire M Kamp, Catherine L Cohan and Paul R Amato. The Relationship Between Cohabitation
and Marital Quality and Stability: Change Across Cohorts?. Journal of Marriage and the
Family, (65) 2003: 539-549.
Glen, Norval D and Michael Supancic. The Social and Demographic Correlates of Divorce and
Separation in The United States: An Updated and Reconsideration. Journal of Marriage and
the Family, (46) 1984: 563-575.
Helms Heather M, Ann C. Crouter and Susan M. Mchale. Marital Quality and Spouse’ Marriage
Work With Close Friends and Each Other. Journal of Marriage and the Family, (65) 2003:
963-977.
Hoffman, S. and Holmes, J. Husband, Wives and Divorce, dalam G.J. Duncan & J.N Morgan (eds.),
Five Thousand American Families-Patterns of Economic Progress, Vol. 4. Ann Arbor:
Institute for Social Research, University Michigan, 1976.
Hughes Diane, Ellen Galinsky, and Anne Morris. The Effect of Job Characteristics on Marital Quality:
Specifying Linking Mechanisms. Journal of Marriage and the Family, 54 (1992): 31-42.
Johnson, David R., and Booth Alan. Marital Quality: A Product of the Dyadic Environment or
Individual Factors?. Social Forces, Vol 76:3, March 1998: 883-904.
Johnson, David R.,Teodora O. Amoloza, Alan Booth. Stability and Development Change in Marital
Quality: A Three Wave Panel Analysis. Journal of Marriage and The Family, 54 (1992): 582594.
Johnson, David R., Lynn K. White, John N. Edwards, and Alan Booth. Dimensions of Marital Quality,
Towards Methodological and Conceptual Refinement. Journal of Family Issues, Vol 7:1,
March 1986: 31-49.
Johnson, Nan E and Ching Li Wang. Changing Rural Social System: Adaptation and Survival.
Michigan: Michigan State University, 1997.

98

Universitas Sumatera Utara

Ismail, Kajian Dimentions of Marital Quality:...

Karney, Benyamin R and Bradbury Thomas,N. The Longitudinal Course of Marital Quality and
Stability: A Review of Theory, Method and Research. Psychologcal Bulletin, Vol 118 (1),
1995:3-34.
Kiecolt K. Jill. Satisfaction With Work and Family Life: No Evidence of a Cultural Reversal. Journal
of Marriage and the Family, (65) 2003: 23-35.
Lavee Yoav and Ruth Katz. Division of labor, Perceived Fairness, and Marital Quality: The Effect of
Gender Ideology. Journal of Marriage and the Family, Vol 64, (February 2002): 27-39.
Lewis, R.A and G.B. Spanier. Theorizing About The Quality and Stability of Marriage, dalam
W.R. Burr et.al. (eds) Contemporary Theories about the family, Vol. 1. New York: The Free
Press, 1979.
Lewis, R.A and G.B. Spanier. Marital quality, Marital Stability and Social Change dalam Nye F. Ivan
(ed.) Family Relationship, reward and Costs. London: Sage Publ., 1982
Locke, Harvey and Karl Wallace. Short Marital Adjustment and Prediction Tests: Their Reliability
and Validity. Marriage and Family Living 21 (August, 1959):251-255.
Lorenz, Frederick O, Rand D. Conger, Ronald L. Simons, Les Whitbeck and Glen H. Elder Jr.
Economic Pressure and Marital Quality: An Illustration of the Method Variance Problem in
the Causal Modeling of Family Processe. Journal of Marriage and the Family, 53 (1991): 375
- 388.
Rogers Stacy J., Mothers` Work Hours and Marital Quality: Variations by Family Structure and
Family Size. Journal of Marriage and the Family 58 (1996): 606-617.
Rogers Stacy J., and Paul R. Amato. Is Marital Quality Declining? the Evidance from Two
Generation. Social Forces, Vol 75 (3), March 1997: 1089-1100.
Settles Barbara. The Illusion of Stability in Family Life: The Reality of Change and Mobility. Marriage
& Family Review, 19 (1993): 5-29.
Sussman, Marvin B. and Suzanne K. Steinmetz, Handbook of Marriage and the Family, New York:
Plenum Press, 1988.
Spanier, Graham.Measuring. Dyadic Adjustment: New Scales for Assesing the Quality of Marriage
and Similar Dyads. Journal of Marriage and the Family, 38 (February, 1976):15-27.
Tarver, J.D. Age At Marriage and Duration of Marriage of Divorced Couples. Sociology and Social
Research, 36(1951): 102-106.
Vannoy Dana, and William W. Philliber. Wife`s Employment and Quality of Marriage. Journal of
Marriage and the Family, 54 (1992): 387-398.
Wickrama, K.A.S., Frederick O. Lorenz, Rand D. Conger and Glen H. Elder Jr.. Marital Quality and
Physical Illness: A Latent Growth Curve Analysis. Journal of Marriage and The Family, 59
(1997): 143-155.

99
Universitas Sumatera Utara