Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008.
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan,
Banding, Kasasi
Dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi Dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta,
2008. Yesmil Anwar, Adang, Sistem Peradilan Pidana, Widya Pajajaran, Bandung,
2011.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.
C. Sumber Lain
Abdul Haris Semendawai, Eksistensi Justice Collaborator Dalam Perkara Korupsi Catatan Tentang Urgensi Dan Implikasi Yuridis Atas
Penetapannya Pada Proses Peradilan Pidana. Makalah Seminar Disampaikan Pada Kegiatan Stadium General Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta, 17 April 2013.
Maria Yudithia Bayu Hapsari, Konsep Dan Ketentuan Justice Collaborator Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Universitas
Indonesia, 2012.
D. Website
Abdul Haris Semendawai, Penanganan Dan Perlindungan “Justice Collaborator” Dalam Sistem Hukum Pidana Di Indonesia. Diakses dari
http:www.elsam.or.id.
Denny Indrayana,
Ayo Jadi
Justice Collaborator.
Diakses dari
http:bphn.go.id.
Pengertian korupsi, http:id.wikipedia.orgwikikorupsi. Diakses pada hari Kamis. 25 Mei 2014.
http:www.referensimakalah.com201205alat-bukti-yang-sah-menurut- kuhp_2231.html
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Rizky Adiputra
Tempat Tanggal Lahir : Cimahi, 9 Maret 1992 Jenis Kelamin
: Laki-Laki Agama
: Islam Alamat
: Jl. H.Hamim No 56 A RTRW 0220, Cimahi Utara Telepon
: 0817205092 Pendidikan Formal
: - SDN Cimahi 2 - SMPN 6 Cimahi
- SMAN 5 Cimahi
Daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya tanpa ada rekayasa yang melebih-lebihkan.
i
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur Peneliti ucapkan kepada Allah S.W.T. yang telah memberikan segala rahmat dan karunian-Nya, shalawat serta salam kepada
Nabi besar Muhammad S.A.W., berkat taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi dengan judul :
”Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelaku Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi Dan Korban ”.
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan tugas skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi isi maupun sistematika
pembahasan. Keterbatasan kemampuan serta pengalaman dari peneliti sendiri merupakan salah satu faktor penyebab sehingga masih banyak yang perlu
diperbaiki. Peneliti mengharapkan kritik dan saran untuk dapat memperbaiki kekurangan dikemudian hari.
Pada proses penyusunan skripsi ini, Peneliti mendapat bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh Karena itu Peneliti mengucapkan terima
kasihdengan penuh rasa hormat kepada Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan
kesabarannya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, selain itu juga dalam kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, M.Sc., selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia;
2. Yth Ibu Prof. Dr. Hj. Umi Narimawati, Dra. S.E., M.Siselaku Wakil Rektor I Universitas Komputer Indonesia;
3. Yth Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E., M.S., A.Kselaku Wakil Rektor II Universitas Komputer Indonesia;
4. Yth Ibu Prof. Dr. Hj. Aelina Surya,selaku Wakil Rektor I Universitas Komputer Indonesia;
5. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, SH., MS., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
ii 6. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia; 7. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas Hukum
Universitas Komputer Indonesia; 8. Yth. Ibu Febilita Wulan Sari, S.H., M.H., selaku Dosen Fakultas Hukum
Universitas Komputer Indonesia; 9. Yth. Bapak Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H., selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia; 10. Yth. Ibu Dr. Farida Yulianti, S.H., S.E., M.M., selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia; 11. Yth. Ibu Yani Brilyani Tavipah., S.H., M.H., selaku Dosen Fakultas Hukum
Universitas Komputer Indonesia; Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua saya dan teman-
teman terdekat saya yang selalu mendukung dan memberi semangat dalam menyelesaikan Skripsi ini. Semoga segala sesuatu dan pengorbanan yang
ditujukan dan diberikan baik moril maupun materil kepada Peneliti, mendapatkan imbalan yang berlipat ganda dari Allah S.W.T Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang serta berada dalam perlindungan-Nya. Akhir kata, semoga segala pengorbanan yang diberikan oleh orang-orang
terkasih, baik moril maupun materil mendapatkan imbalan yang berlipat ganda dari Allah S.W.T. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang serta berada
dalam Perlindungan-Nya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan peneliti sendiri.
Bandung, Agustus 2014
Peneliti
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PELAKU JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG
NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
LEGAL PROTECTION OF JUSTICE COLLABORATOR IN THE CORRUPTION CRIMES BASED ON THE LAW NUMBER 8 YEAR 1981
ON CRIMINAL PROCEDURE LAW IN CONJUNCTION WITH THE LAW NUMBER 13 YEAR 2006 ON THE PROTECTION OF WITNESSES AND
VICTIMS
OLEH: RIZKY ADIPUTRA
31610001
ABSTRAK
Skripsi ini mengkaji tentang perlindungan hukum terhadap saksi justice collaborator dalam tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban selaku lembaga yang melindungi saksi dan
korban dari ancaman fisik dan psikis. Perlindungan saksi justice collaborator sangat penting karena saksi tersebut memiliki informasi-informasi penting akan adanya suatu
tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi. Suatu keberhasilan penegak hukum dalam mengungkap dan membuktikan tindak pidana bergantung pada keberanian
dankemauan seseorang menjadi saksi yang akan mengungkap berdasarkan apa yang dilihat dan dialaminya untuk mempermudah pembuktian kesalahan tersangka dan
terdakwa. Permasalahannya adalah perlindungan hukum terhadap saksi yang bekerja sama justice collaborator berdasarkanUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban serta Hambatan-hambatan apa yang timbul dalam
mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terhadap saksi yang bekerja sama justice collaborator.
Penulisan ini dilakukan secara diskriptifanalitis, yaitu menggambarkan fakta yang terjadi kemudian dianalisis berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
serta metode pendekatan secara yuridis normatif, yaitu dengan menyesuaikan terhadap peraturan yang ada. Data-data yang telah dikumpulkan baik data sekunder, data primer,
dan data tersier yang kemudian disusun untuk selanjutnya di analisis secara yuridis kualitatif, yaitu metode penelitian yang bertitik tolak dari norma-norma, asas-asas dan
peraturan perundang undangan yang ada, untuk mencapai kepastian hukum. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis dapat ditarik kesimpulan bahwa
Pentingnya peranan saksi pelaku yang bekerjasama justice collaborator dalam membantu aparat hukum membongkar tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi,
maka diperlukan perlindungan hukum untuk melidungi saksi justice collaborator dari ancaman kekerasan fisik maupun psikis dan pengurangan hukuman sesuai ketentuan
dari United Nations Convention Againts Corruption UNCAC dan United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime UNCATOC yang telah diratifikasi
pemerintah Indonesia. Aturan mengenai perlindungan saksi dan korban di Indonesia sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban. Implemetasi perlindungan saksi pelaku yang bekerjasama justice collaborator memiliki hambatan dari segi hukum yaitu lemahnya Pasal 10 ayat 2
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang mana dalam penerapannya tidak memberikan pengurangan hukuman dan tidak
mendapatkan penghargaan. Kelemahan undang-undang LPSK coba ditutupi dengan diterbitkannya SEMA dan Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia,
Nomor M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER-045AJA122011, Nomor 1 Tahun
2011, Nomor KEPB-0201-55122011, Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
ABSTRACT
This final script examined the legal protection of witnesses justice collaborators in the corruption crimes based on the Law No. 8 Year 1981 on Criminal Procedure Law
in conjunction with the Law No. 13 Year 2006 on the Protection of Witnesses and Victims from physical and psychological threats. The protection of justice collaborators is very
important because because they have vital information concerning the existence of a particular criminal act, especially that ofcorruption. The success of law enforcement in
uncovering and proving criminal acts highly depends on the courage and willingness of a witness to reveal based on what is seen and experienced to facilitate the refutation of
suspects and defendants. The problem in this research embraced the legal protection of a witness as justice collaborator based on the Law No. 13 Year 2006 on the Protection of
Witnesses and Victims and the existing barriers in implementing the law to protect the witness as justice collaborator.
This is a descriptive analysis research. It tried to illustrate the facts which were then analyzed based the existing law. It employed a normative juridical method adjusted
to the existing regulations. The collected data, either primary data, secondary data, or tertiary data were then compiled and analyzed by using qualitative juridical analysis. This
research started from the norms and principles of the existing laws and regulations, to achieve legal certainty.
Based on the research and analysis results, the researcher concluded that considering the importance of justice collaborator in assisting law enforcement agencies
to dismantle criminal acts of corruption in particular, it was necessary to give legal protection to the witness from physical violence and psychological threat and appropriate
sentence reduction in accordance with the United Nations Convention Against Corruption UNCAC and the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime
UNCATOC, which had been ratified by the Indonesian government. The rules on the protection of witnesses and victims in Indonesia had already been already stated in the
Law Number 13 Year 2006 on the Protection of Witnesses and Victims. The implementation of the justice collaborator protection encountered legal barriers in terms
of the weakness of Article 10 verse 2 of Law No. 13 Year 2006 on the Protection of Witnesses and Victims, in which the law did not provide sentence reduction and
rewardsappreciation. This weakness was overcome by the release of SEMA and Joint Regulation among the Minister of Justice and Human Rights of the Republic of Indonesia,
Attorney General of the Republic of Indonesia, Indonesian National Police Chief, and Chairman of the Witness and Victim Protection Agency of the Republic of Indonesia, No.
M.HH-11.HM.03.02.th.2011, No. PER-045 a JA 122011, No. 1 of 2011, No. KEPB-02 01-55 122011, No. 4 of 2011 on the Protection of Reporter, Reporter Witnesses, and
Justice Collaborators.
Latar Belakang
Tujuan dari hukum diantaranya untuk mencapai kepastian dan keadilan hukum, untuk menjamin dua hal tersebut perlu adanya peraturan perundang-
undangan dalam bentuk tertulis yang berasaskan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manfaat, keseimbangan, keserasian dan
keselarasan dalam perikehidupan, untuk itu negara Indonesia menandatangani ketentuan baru dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi
United Nations Convention Againts Corruption tahun 2003 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nations Convention Againts Corruption 2003 dan Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang terorganisir United Nations Convention
Againts Transnational Organized Crime yang yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations
Convention Againts Transnational Organized Crime mengenai justice collaborator.
Istilah justice collaborators menjadi populer dan banyak disebut oleh berbagai kalangan dalam beberapa tahun terakhir, sampai saat ini belum
ditemukan padanan yang pas dalam bahasa Indonesia untuk istilah tersebut. Ada pakar yang memadankan istilah justice collaborators sebagai saksi pelaku
yang berkerjasama. Pada perkembangannya Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 memberikan
terjemahan justice collaborators sebagai saksi pelaku pidana yang mengetahui dan bekerja sama dengan aparat penegak hukum.
Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban menyebutkan saksi sebagai alat bukti dalam
perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu pristiwa pidana yang iadengar sendiri dan ia alami sendiri.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana whistleblower Dan Saksi Pelaku Yang
Bekerjasama justice collaborators di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, justice collaborators diartikan sebagai saksi pelaku yang mengetahui dan
bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap kejahatan. Istilah justice collaborators merupakan istilah baru dalam Hukum Acara
Pidana di Indonesia, terdapat istilah saksi mahkota atau crown witness, yaitu salah satu pelaku tindak pidana ditarik sebagai saksi kunci untuk mengungkap
pelaku-pelaku yang lain dengan diberi pengurangan ancaman hukum. Sistem ini sudah lama diterapkan di negara Eropa Kontinental seperti
Belanda, Perancis, dan Italia dengan menggunakan protection of cooperating
person, sedangkan di negara-negara Anglo Saxon, memiliki asas plea bargaining yang berarti sama dengan konsep protection of cooperating person. Konsep
whistle blower lebih banyak diusung oleh negara-negara anglo saxon, seperti Amerika dan negara-negara commonwhealth negara jajahan Inggris.
Pengungkap fakta pada konsep whistle blowers dan konsep protection of cooperating person merupakan dua hal yang berbeda. Pengungkap fakta pada
konsep whistle blowers sama sekali tidak dapat dipidana, sedangkan pengungkap fakta pada konsep protection of cooperating person, dapat dipidana
namun mendapatkan keringanan. Konsep protection of cooperating person lebih terkonsentrasi kepada pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum
justice collaborator dalam mengungkap kasus. Kurangnya penegakan hukum mengenai perlindungan saksi justice
collaborator membuat para saksi tidak ingin memberikan kesaksian mengenai segala sesuatu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri.Saksi dan korban
tindak pidana korupsi dalam prakteknya rentan terhadap teror dan intimidasi, tidak sedikit saksi dan korban memilih absen dari proses hukum karena jiwanya
sangat terancam. Keadaan ini tentu sangat berlaku bagi whistle blowers dan justice collaborator yang sedang menghadapi kasus tindak pidana.
Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah yang akan penulis bahas dalam penulisan hukum, yaitu :
1. Bagaimana perlindungan
hukum terhadap
saksi justice
collaborator berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban?
2. Hambatan-hambatan apa
yang timbul
dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban terhadap saksi justice collaborator?
Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Normatif,yaitu:
“Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan dengan norma-norma hukumya yang merupakan patokan untuk bertingkah laku atau melakukan
perbuatan yang pantas.”
1. Tahap Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam 2 dua tahap, yaitu : a. Penelitian kepustakaan library research
Penelitian kepustakaan yaitu: “Penelitian terhadap data sekunder, yang dengan
teratur dan
sistematis menyelenggarakan
pengumpulan dan pengolahan bahan pustaka untuk disajikan dalam bentuk layanan yang bersifat edukatif,
informatif, dan kreatif kepada masyarakat.”
Studi kepustakaan ini untuk mempelajari dan meneliti literatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perlindungan
saksi justice collaborator dan bagaimana penanganan terhadap saksi yang sekaligus tersangka dalam membongar suatu tindak
pidana korupsi, sehingga data yang diperoleh sebagai berikut : 1 Data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat
seperti Undang-Undang dasar 1945, Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat Edara Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011
tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana Whistleblower dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama
Justice Collaborator di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu,
serta website
www.hukumonline.com, www.detik.com.
2 Data sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan hukum primer dan dapat
membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer antara lain:
a Rancangan peraturan perundang-undangan b Hasil karya ilmiah para sarjana
c Hasil-hasil penelitian 3 Data Tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan infomasi maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
2. Teknik Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah berupa studi literatur dan studi lapangan. Studi literature digunakan untuk
mengumpulkan dan menganalisis bahan-bahan primer, bahan sekunder maupun bahan tertier.
Pembahasan
1. Perlindungan
Hukum Terhadap
Saksi Justice
Collaborator Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Untuk mendapatkan posisi justice collaborator hanya dapat
diperoleh dua cara yaitu, ditawarkan melalui aparat hukum atau bersedia secara sukarela untuk menjadi justice collaborator. Posisi
untuk menjadi justice collaborator sangat dilematis dikarenakan banyak sekali ancaman-ancaman yang akan menimpa dirinya baik dari
faktor internal maupun eksternal. Perlindungan hukum bagi saksi justice collaborator tidak diatur
secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tetapi diatur dalam Pasal 6 Peraturan
Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Perlindungan tersebut tidak hanya diberikan berdasarkan pada Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor
dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, tetapi diberikan oleh aparat penegak hukum dengan mempertimbangkan perannya sebagai pelaku
yang bekerjasama justice collaborator.
Perlindungan fisik telah diberikan oleh LPSK selaku lembaga yang melindungi saksi dan korban kepada saksi justice collaborator
berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
2. Kendala
– Kendala Dalam Implementasi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mencangkup seluruh hak-hak dan perlindungan
saksi bagi korban kejahatan. Penerapan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tidak terlepas dari kendala
– kendala karena disatu sisi memberikan perlindungan dan hak-hak kepada saksi dan korban
tetapi, disisi lain kurang memperhatikan proses pelaksanaan dari perlindungan saksi dan korban tersebut, seperti pengurangan
hukuman dan mendapat penghargaan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban mendapatkan dukungan dari masyarakat, tetapi masih banyak sejumlah pihak masih menganggap
justice collaborator sebagai hal yang baru dalam peradilan di Indonesia.
Simpulan dan Saran 1.
Simpulan
a. Pentingnya peranan saksi pelaku yang bekerjasama justice collaborator dalam membantu aparat hukum membongkar tindak
pidana khususnya tindak pidana korupsi, maka diperlukan perlindungan hukum untuk melidungi saksi justice collaborator dari
ancaman kekerasan fisik maupun psikis dan pengurangan hukuman. Aturan mengenai perlindungan saksi dan korban di
Indonesia sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, khusus mengenai
perlindungan saksi pelaku yang bekerja sama justice collaborator diatur dalam Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, selain adannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, terdapat pula Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana Whistleblower dan Saksi
Pelaku yang Bekerjasama Justice Collaborator dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, kemudian pemerintah mengeluarkan
Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala
Kepolisian Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban
Republik Indonesia,
Nomor M.HH-
11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER-045AJA122011, Nomor 1 Tahun 2011, Nomor KEPB-0201-55122011, Nomor 4 Tahun
2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi
Pelaku yang Bekerjasama.
b. Implemetasi perlindungan saksi pelaku yang bekerjasama justice collaborator memiliki hambatan dari segi hukum yaitu lemahnya
Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang mana dalam penerapannya
tidak memberikan pengurangan hukuman dan tidak mendapatkan
penghargaan. Kelemahan dalam Pasal 10 ayat 2 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, dilengkapi dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak
Pidana Whistleblower dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama
Justice Collaborator di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. 2. Saran
a. Perlu melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya
yang berkaitan dengan perlindungan saksi pelaku yang bekerjasama justice collaborator.
b. Perlu adanya mekanisme dalam melakukan hubungan kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan penegak
hukum yang ada. c. Perlu adanya penguatan dan pemahaman mengenai Surat Edaran
Mahkamah Agung dan Surat Keputusan Bersama antara Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan Ketua LPSK
mengenai perlindungan bagi saksi pelaku yang bekerjasama justice collaborator.
Daftar Pustaka Sumber Buku
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013. Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi, Sinar
Grafika, Jakarta, 2012. Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Perseptif
Hukum, Penaku, Jakarta, 2012. Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Yogyakarta, 2007.
Lamintang, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997. Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta,
2011. Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah Dan
Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2007.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002.
Salman Soemadiningrat dan Anthon Freddy Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika
Aditama, Bandung, 2010. _____________________, Filsafat Hukum-Perkembangan dan Dinamika
Masalah, Refika Aditama, Bandung, 2010. Reza Zia ul-Haq, Kapan Kapok? Kisah-Kisah Kasus Korupsi Yang
Menyakitkan Hati, Ircisod, Jogjakarta, 2013. Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia
Indonesia, Semarang, 1998. Soejono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2001. Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana, CV Armico, Bandung, 1990.
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,
Bandung, 1992.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008.
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan,
Banding, Kasasi
Dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi Dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta,
2008. Yesmil Anwar, Adang, Sistem Peradilan Pidana, Widya Pajajaran, Bandung,
2011.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.
Sumber Lain Abdul Haris Semendawai, Eksistensi Justice Collaborator Dalam Perkara
Korupsi Catatan Tentang Urgensi Dan Implikasi Yuridis Atas Penetapannya Pada Proses Peradilan Pidana. Makalah Seminar
Disampaikan Pada Kegiatan Stadium General Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta, 17 April 2013.
Maria Yudithia Bayu Hapsari, Konsep Dan Ketentuan Justice Collaborator Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Universitas
Indonesia, 2012.
Website
Abdul Haris Semendawai, Penanganan Dan Perlindungan “Justice Collaborator” Dalam Sistem Hukum Pidana Di Indonesia. Diakses dari
http:www.elsam.or.id.
Denny Indrayana,
Ayo Jadi
Justice Collaborator.
Diakses dari
http:bphn.go.id.
Pengertian korupsi, http:id.wikipedia.orgwikikorupsi. Diakses pada hari Kamis. 25 Mei 2014.
http:www.referensimakalah.com201205alat-bukti-yang-sah-menurut- kuhp_2231.html
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar
1945. Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Indonesia sebagai negara hukum memiliki
ideologi untuk menciptakan adanya keamanan, ketertiban, keadilan dan kesejahteraan dalam kehidupan yang bermasyarakat dan bernegara, serta
menghendaki agar hukum ditegakkan, artinya hukum harus dihormati dan ditaati oleh seluruh masyarakat tanpa kecuali.
Pancasila sebagai dasar negara yang mencerminkan jiwa bangsa Indonesia harus menjiwai semua peraturan hukum dan pelaksanaanya,
ketentuan ini menunjukan bahwa di negara Indonesia menjamin adanya perlindungan hak-hak asasi manusia berdasarkan ketentuan hukum.
1
Kewajiban bagi setiap penyelenggara negara untuk menegakan keadilan dan kebenaran berdasarkan pancasila yang selanjutnya melakukan
pedoman peraturan-peraturan pelaksanaan, selain itu sifat hukum yang berdasarkan pancasila, hukum mempunyai fungsi pengayoman agar cita-cita
luhur bangsa Indonesia tercapai dan terpelihara.
2
1
Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Yogyakarta, 2007. Hlm. 92.
2
Ibid. Hlm. 93.
Tujuan dari hukum itu diantaranya untuk mencapai kepastian dan keadilan hukum, untuk menjamin dua hal tersebut perlu adanya peraturan
perundang-undangan dalam bentuk tertulis yang berasaskan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manfaat, keseimbangan,
keserasian dan keselarasan dalam perikehidupan, untuk itu negara Indonesia menandatangani ketentuan baru dalam Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi United Nations Convention Againts Corruption tahun 2003 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption 2003 dan Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana
Transnasional Yang terorganisir United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime yang yang telah diratifikasi dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime mengenai justice
collaborator. Istilah justice collaborators menjadi populer dan banyak disebut oleh
berbagai kalangan dalam beberapa tahun terakhir, sampai saat ini belum ditemukan padanan yang pas dalam bahasa Indonesia untuk istilah tersebut.
Ada pakar yang memadankan istilah justice collaborators sebagai saksi pelaku yang berkerjasama. Pada perkembangannya Mahkamah Agung
melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 memberikan terjemahan justice collaborators sebagai saksi pelaku
pidana yang mengetahui dan bekerja sama dengan aparat penegak hukum. Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi Dan Korban menyebutkan saksi sebagai alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu pristiwa pidana yang iadengar sendiri dan ia alami sendiri.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana whistleblower Dan Saksi Pelaku
Yang Bekerjasama justice collaborators di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, justice collaborators diartikan sebagai saksi pelaku yang
mengetahui dan bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap kejahatan.
Pengertian menurut Council of Europe Committee of Minister, bahwa yang dimaksud dengan collaborator of justice adalah
3
: ”Seseorang yang juga berperan sebagai pelaku tindak pidana, atau
secara meyakinkan adalah merupakan bagian dari tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama atau kejahatan terorganisir dalam
segala bentuknya,atau merupakan bagian dari kejahatan terorganisir, namun yang bersangkutan bersedia untuk bekerjasama dengan aparat
penegak hukum untuk memberikan kesaksian mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama atau terorganisir, atau
mengenai berbagai bentuktindak pidana yang terkait dengan kejahatan terorganisir maupun kejahatan
serius lainnya”. Istilah justice collaborators merupakan istilah baru dalam Hukum Acara
Pidana di Indonesia, terdapat istilah saksi mahkota atau crown witness, yaitu salah satu pelaku tindak pidana ditarik sebagai saksi kunci untuk
mengungkap pelaku-pelaku yang lain dengan diberi pengurangan ancaman hukum.
4
3
Abdul Haris Semendawai, Pe a ga a da Perli du ga Justi e Colla orator Dala
Sistem Hukum Pidana Di Indonesia. Diakses dari http:www.elsam.or.id. Pada 03 April 2014. Pukul 20.33 WIB.
4
Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborators Dalam Perspektif Hukum, Penaku, Jakarta, 2012. Hlm 11.
Sistem ini sudah lama diterapkan di negara Eropa Kontinental seperti Belanda, Perancis, dan Italia dengan menggunakan protection of
cooperating person, sedangkan di negara-negara Anglo Saxon, memiliki asas plea bargaining yang berarti sama dengan konsep protection of
cooperating person. Konsep whistle blower lebih banyak diusung oleh negara-negara anglo saxon, seperti Amerika dan negara-negara
commonwhealth negara jajahan Inggris.
5
Pengungkap fakta pada konsep whistle blowers dan konsep protection of cooperating person merupakan dua hal yang berbeda. Pengungkap fakta
pada konsep whistle blowers sama sekali tidak dapat dipidana, sedangkan pengungkap fakta pada konsep protection of cooperating person, dapat
dipidana namun mendapatkan keringanan. Konsep protection of cooperating person lebih terkonsentrasi kepada pelaku yang bekerja sama dengan
penegak hukum justice collaborator dalam mengungkap kasus.
6
Kurangnya penegakan hukum mengenai perlindungan saksi justice collaborator membuat para saksi tidak ingin memberikan kesaksian
mengenai segala sesuatu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri.Saksi dan korban tindak pidana korupsi dalam prakteknya rentan terhadap teror
dan intimidasi, tidak sedikit saksi dan korban memilih absen dari proses hukum karena jiwanya sangat terancam. Keadaan ini tentu sangat berlaku
bagi whistle blowers dan justice collaborator yang sedang menghadapi kasus tindak pidana.
7
5
Ibid. Hlm 12.
6
Ibid.
7
Ibid.
Adapun resiko-resiko membuat seorang whistle blower danjustice collabolator tidak ingin memberikan keterangan yang diketahuisebagai
berikut :
8
1. Resiko internal. a. Para whistle blower dan justice collabolator akan dimusuhi
oleh rekan-rekannya sendiri. b. Keluarga whistle blower dan justice collabolator akan
terancam. c. Para whistleblower dan justice collabolator akan dihabisi
karier dan mata pencahariannya. d. Whistle blower dan justice collabolator akan mendapat
ancaman pembalasan fisik yang mengancam keselamatan jiwanya.
2. Resiko eksternal. a. Whistle blower dan justice collabolator akan mendapat
ancaman pembalasan phisik yang mengancam keselamatan jiwanya.
b. Whistle blower dan justice collabolator akan mendapat resiko hukum ditetapkan status hukumnya sebagai tersangka, atau
bahkan terdakwa, dilakukan upaya paksa penangkapan danpenahanan, dituntut dan diadili, dan divonis hukuman
berikutancaman denda dan ganti rugi yang beratnya seperti pelaku lain.
8
Ibid. Hlm 15.
Keberhasilan penegak hukum dalam mengungkap dan membuktikan tindak pidana bergantung pada kebersediaan dan keberanian seseorang
menjadi saksi atau pelapor yang mengungkap dan bersaksi terhadap kejahatan yang terjadi. Kedudukan saksi sangat penting dalam sebuah
proses peradilan, karena saksi mempunyai keterangan berdasarkan apa yang dilihat dan dialaminya untuk mempermudah pembuktian kesalahan
tersangka dan terdakwa.
9
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu undang-undang positif yang berada
dalam masyarakat yang mengatur mengenai saksi dan korban. Undang- undang tersebut mengatur tentang peran pemerintah dalam memberikan
perlindungan hukum kepada saksi dan korban dalam tindak pidana dan diharapkan menjadi suatu terobosan yang mampu menutupi kelemahan-
kelemahan hukum yang berkaitan dengan perlindungan saksi dan korban. Persoalan banyaknya saksi yang tidak bersedia menjadisaksi ataupun tidak
berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya karenatidak adanya jaminan yang memadai terutama jaminan atas perlindunganataupun
mekanisme tertentu untuk bersaksi dan melaporkan tindak kejahatan. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban mengatur mengenai seorang saksi yang juga tersangka dan bekerjasama dengan penegak hukum sering sekali tidak
mendapatkan perhatian dari pemerintah, seseorang yang mengetahui pelanggaran pidana serta menjadi pelakunya sering mendapatkan
kriminalisasi dari penegak hukum. Syarat untuk menjadi seorang justice
9
Ibid. Hlm 16.
collaborator haruslah mendapatkan izin dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK. Inilah yang menjadi kendala bagi seorang justice
collaborator dalam memberikan keterangannya. Fakta yang dialami saksi pelaku yang bekerja sama justice collaborator adalah kasus Agus Chondro
yang mengungkap adanya kasus cek pelawat ke sejumlah anggota DPR. Kasus ini bermula saat Agus Chondro terbukti menerima suap cek untuk
memenangkan Miranda Goeltom dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior
Bank Indonesia pada tahun 2004, kemudian Agus Chondro ditangkap dan ditetapkan sebagai pelaku dan bersedia membantu penegak hukum untuk
membongkar kasus tersebut. Oleh karena itu Agus Chondro ditetapkan sebagai saksi pelaku atau dengan istilah lain Justice Collaborator.
Berdasarkan latar belakang masalah yang ada maka peneliti mengangkat judul :
“Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelaku Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi Dan Korban”.
B. Identifikasi Masalah