Keabsahanvaliditas transaksi e-commerce dalam analisis hukum kontrak

para pihak di beri kebebasan untuk bentuk dan isi suatu kontrak itu. Ketiga, Azas kekuatan mengikatnya kontrak. Dengan adanya kata sepakat tersebut menimbulkan kekuatan mengikatnya kontrak. 12 . Dalam prinsip ini terkandung bahwa kontrak yang dibuat oleh para pihak secara sah mengikat kedua belah pihak layaknya undang-undang. Dengan perkataan lain apa yang disepakati kedua belah pihak menjadi undang-undang bagi para pihak. Kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikatnya kontrak antara lain dibatasi oleh itikad baik. 13 Asas itikad baik ini menghendaki bahwa suatu perjanjian dilaksanakan secara jujur, yakni dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Asas ini adalah salah satu sendi terpenting dari hukum perjanjian. Itikad baik tersebut tidak hanya mengacu kepada itikad baik para pihak, tetapi harus pula mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, sebabi tikad baik merupakan bagian dari masyarakat. itikad baik ini akhrinya mencerminkan standar keadilan atau kepatuhan masyarakat. Dengan makna yang demikian itu menjadikan itikad baik sebagai suatu universal social force yang mengatur hubungan sosial antar mereka, yakni setiap warga negara harus memiliki kewajiban untuk bertindak dengan itikad baik terhadap semua warga negara. 14

C. Keabsahanvaliditas transaksi e-commerce dalam analisis hukum kontrak

12 Ibid, hlm, 96 13 Ibid, hlm. 98 14 Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pasca Sarjana, Jakarta: 2003, hlm.138 12 1. Lahirnya kesepakatan di dalam transaksi e-commerce Pada prinsipnya, menurut KUH Perdata, bentuk suatu perjanjian adalah bebas, tidak terikat pada bentuk tertentu. Untuk pengaturan e- commerce menerapkan KUH Perdata secara analogi, dimana terhadap ketentuan-ketentuan dari e-commerce diterapkan ketentuan KUH Perdata yang menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana suatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih Pasal 1313 KUH Perdata. Sekalipun undang-undang tidak secara tegas mengatakan, tetapi dari ketentuan yang ada, antara lain Pasal 1320 jo Pasal 1338 KUH Perdata, dapat disimpulkan bahwa pada asasnya, kecuali ditentukan lain, undang- undang tidak menentukan cara orang menyatakan kehendak. Jadi jika dikemudian hari terdapat perselisihan antara apa yang dikehendaki dengan apa yang dinyatakan oleh salah satu pihak maka pernyataan itulah yang dijadikan sandaran bagi pihak lainnya untuk menuntut prestasi pelaksanaan perjanjian. Kata sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian yang diamanatkan di dalam Pasal 1320 Burgelijk Wet Boek KUH Perdata dianggap telah tercapai apabila pernyataan salah satu pihak diterima oleh pihak lainnya. Contoh pernyataan kehendak yang dinyatakan dengan tanda-tanda dapat dilihat dalam proses pelelangan, orang dapat menyatakan persetujuan atau ketidak setujuannya hanya dengan melakukan gerakan tubuh baik melalui tangan ataupun kepala. 13 Berkaitan dengan kesepakatan dan lahirnya perjanjian, Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan beberapa teori mengenai lahirnya perjanjian tersebut: 15 a. Teori kehendak wilstheorie mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat. b. Teori pengiriman verzendtheorie, mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. c. Teori kepercayaan vertrowenstheorie, mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan. Dalam transaksi elektronik e-transaction, terdapat pola untuk mencapai pernyataan “sepakat”. Metode atau pola yang digunakan adalah, melalui “single click”, double click” hingga “three click”. Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Pada prinsipnya, pernyataan “sepakat” dari salah pihak atas pernyataan dari pihak lainnya telah terwakili melalui tiga pola tersebut. Ringkasnya, suatu perjanjian dianggap telah terjadi pada saat salah satu pihak menyatakan sepakat menyepakati pokok perjanjian yang dinyatakan oleh pihak lainnya. Pernyataan tersebutlah yang dijadikan dasar kesepakatan pernyataan kehendak dari kedua belah pihak. 15 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alummni,1994, h. 24 14 Belum adanya peraturan khusus mengenai transaksi elektronik tidak menyebabkan perjanjian yang dibuat secara elektronik tersebut dimintakan pembatalan. Karena secara nyata tidak terdapat perubahan subtantif dalam transaksi yang dilakukan secara elektronik. Namun perlu juga diperhatikan ketentuan mengenai klausula baku dalam suatu perjanjian, dan bagaimana kaitannya dengan aspek perlindungan konsumen 2. Syarat- syahnya transaksi E-commerce Berdasarkan syarat-syarat hukum kontrak konvensional, maka apabila dikaitkan dengan sistem online contract seperti di dalam transaksi e- commerce akan sulit untuk diterapkan dan mampu memberi jaminan hukum. Oleh karena itu wajar saja pemahaman yang berkembang selama ini, syarat perjanjian yang tertera dalam pasal 1320 KUH Perdata hanya bisa berlaku untuk transaksi konvensional. Menurut pendapat penulis tidak demikianlah halnya,perkembangan teknologi sebenarnya adalah satu dari sebuah realitas teknologi. Realitas teknologi hanya berperan untuk membuat hubungan hukum konvensional bisa berlangsung efektif dan efisien. Gambarannya adalah sebagai berikut, dalam transaksi jual beli tetap saja dikenal proses pembayaran dan penyerahan barang sedangkan di dalam e-commerce juga terdapat pembayaran dan penyerahan barang. Dari situ disimpulkan bahwa, dengan adanya internet atau e- commerce hanyalah membuat jual beli atau hubungan hukum yang terjadi 15 menjadi lebih singkat, mudah, dan sederhana. Secara hukum, tidak ada perubahan konsepsi dalam suatu transaksi yang berlangsung. Kemudian, kapan suatu perjanjian dalam transaksi e-commerce tersebut berlangsung tentunya sangat berkaitan erat dengan siapa saja suatu transaksi tersebut dilakukan. Dalam transaksi biasa, perjanjian berakhir ketika masing-masing pihak melakukan kewajibannya masing-masing. Transaksi e-commerce sebenarnya tidak berbeda dengan transaksi yang berlangsung secara online. Namun memang tidak sesederhana jika dibandingkan dengan transaksi konvensional. Dalam transaksi online, tanggung jawab kewajiban atau perjanjian tadi dibagi kepada beberapa pihak yang terlibat dalam jual beli tersebut. Paling tidak ada tiga pihak yang terlibat dalam transaksi on line baik B2B business to business dan B2C business to cumsomer, antara lain perusahaan penyedia barang seller, kemudian perusahaan penyediaan jasa pengriman packaging, dan jasa pembayaran bank. Biasanya disetiap bagian pekerjaan penawaran, pembayaran, pengiriman masing-masing pihak membagi tanggung jawab sesuai dengan kompetensi masing-masing. Pada proses penawaran dan proses persetujuan jenis barang yang dibeli maka transaksi antara penjual seller dengan pembeli buyer selesai. Penjual menerima persetujuan jenis barang yang dipilih dan pembeli menerima konfirmasi bahwa pesanan atau pilihan barang telah diketahui oleh penjual. 16 Hal ini bisa dikatakan bahwa transaksi antara penjual dengan pembeli dalam tahapan persetujuan barang telah selesai sebagian sambil menunggu barang tiba atau diantar ke alamat pembeli. Karena biasanya Bank baru akan mengabulkan permohonan dari pembeli setelah penjual menerima konfirmasi dari Bank yang ditunjuk oleh penjual dalam transaksi e- commerce tersebut. Setelah penjual menerima konfirmasi bahwa pembeli telah membayar harga barang yang dipesan, selanjutnya penjual akan melanjutkan atau mengirimkan konfirmasi kepada perusahaan jasa pengiriman untuk mengirimkan barang yang dipesan ke alamat pembeli. Setelah semua proses terlewati, dimana ada proses penawaran, pembayaran, dan penyerahan barang maka perjanjian tersebut dikatakan selesai seluruhnya atau perjanjian tersebut telah berakhir. Pihak yang terkait langsung dalam transaksi paling tidak ada empat pihak yang terlibat, diatas telah disebutkan antara lain; penjual, pembeli, penyedia jasa pembayaran, penyedia jasa pengiriman. Kemudian mengenai kecakapan di dalam membuat suatu perjanjian, hal ini tergantung kepada hukum mana yang di pilih oleh para pihak untuk menyelesaikan seandainya nanti terjadi sangketa. Apabila di lihat dari ketentuan KUH perdata pasal 1329 menyatakan bahwa setiap orang cakap untuk perjanjian, kecuali apabila menurut Undang-undang dinyatakan tidak cakap. Seseorang dikatakan belum dewasa jika belum mencapai 21 tahun. Seseorang dikatakan dewasa jika teleh berumur 21 tahun, tetapi telah menikah. 17

D. Masalah-masalah hukum dalam transaksi e-commerce