Peranan Aceh monitoring mission dalam upaya peace building di Aceh tahun 2005-2006

(1)

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Citra Dea Gemala

NIM 208083000023

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(2)

PERAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA

PEACE BUILDING DI ACEH PADA TAHUN 2005 – 2006

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 8 Desember 2013


(3)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Utnuk Memenuthi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

CITRA DEA GEMALA

NIM 208083000023

Dosen Pembimbing

Teguh Santosa MA,

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014


(4)

PEACE BUILDING DI ACEH TAHUN 2005-2006

Oleh

CITRA DEA GEMALA NIM 208083000023

Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.

Ketua, Sekretaris,

Agus Nilmada Azmi, M.Si Agus Nilmada Azmi, M.Si

NIP.197808042009121002 NIP.197808042009121002

Penguji I, Penguji II,

Drs. Aiyub Mochsin, MA, Agus Nilmada Azmi, M.Si

02001540 NIP.197808042009121002

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 16 Januari 2014. Ketua Pogram Studi Hubungan Internasional

Kiky Rizky, M.Si


(5)

Pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinski, Finlandia, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani Nota Kesepahaman Untuk mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung selama 30 tahun di Aceh. Perjanjian ini juga menjadi dasar bagi Uni Eropa dan ASEAN untuk membentuk sebuah lembaga pemantau untuk mengawasi implementasi Nota Kesepahaman di Aceh.

Aceh Monitoring Mission (AMM) menjalankan misi di Aceh selama 15 bulan. AMM memainkan peran yang sangat penting bagi proses implementasi damai di Aceh. Diantara beberapa keberhasilan peran dan tugas AMM, juga terdapat berbagai kelemahan atau kegagalan. Kunci keberhasilan AMM sendiri adalah komposisi anggota-anggotanya yang merupakan representasi dari dua organisasi regional yang sangat kredibel dan berpengaruh, baik bagi GAM dan Pemerintah RI, yaitu Uni Eropa dan ASEAN.

Skripsi ini menganalisa tentang peran yang dilakukan Aceh Monitoring Mission dalam upaya peacebuilding di Aceh pada periode tahun 2005-2006, melalui usaha-usahanya sebagai mediator dan tim pemantau pelaksanaan MoU Helsinki dengan menggunakan beberapa konsep yakni peranan, peace building, organisasi internasional dan teori resolusi konflik. Dari hasil analisa yang menggunakan beberapa teori dan konsep dapat disimpulkan bahwa lembaga pemantau dalam proses implementasi perjanjian perdamaian memang diperlukan untuk menjaga kestabilan sistem pasca konflik.


(6)

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Sang Pencipta, atas segala bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dengan judul "Peranan Aceh Monitoring Mission dalam Upaya Peace Building di Aceh tahun 2005-2006".

Pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) utnuk mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung selama 30 tahun di Aceh. MoU ini juga menjadi dasar bagi Uni Eropa dan ASEAN utnuk membentuk lembaga pemantau untuk mengawasi implementasi MoU di Aceh. Aceh Monitoring Mission menjalanan misi di Aceh selama 15 bulan, banyak kalangan mulai dari sipil hingga pengamat politik menilai bahwa AMM berhasil membawa kedua belah pihak unt mengimplementasikan dengan baik MoU Helsinki. Namun, tidak sedikit juga yang menilai bahwa faktor-faktor yang dapat menggangu jalannya perdamaian ini belum seluruhnya dapat dihilangkan dan memiliki kemungkinan untuk muncul kembali pasca kepergian AMM. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama Kepada bapak Teguh Santosa MA selaku pembimbing, yang sangat sabar meluangkan waktunya untuk berbagi pengetahuan dan juga saran serta koreksi kepada penulis; kepada seluruh staf pengajar program studi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; dan juga kepada dosen penguji skripsi bapak Agus Nilmada Azmi Msi dan bapak Drs. Aiyub Mochsin MA yang telah meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan masukan pada skrips ini.


(7)

Erdiana beserta onah, Sandi Banta Hidayat S.Kom dan Nabilla Intan Medina atas dukungan, canda tawanya. Kepada calon anakku dan suami terimakasih atas cinta kasih, kesabaran , dukungan, dan pengertiannya selama penyelesaian skripsi ini.

Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada teman-teman seperjuangan di program studi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ; HI2008c, HMI KomFISIP serta seluruh rekan-rekan mahasiswa yang tidak dapat disebutkan satu per satu, pada program studi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 14 Januari 2014


(8)

vii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I Pendahuluan ... 1

A. Latar belakang masalah ... 1

B. Pertanyaan penelitian... 7

C. Kerangka pemikiran ... 7

D. Metode penelitian ... 14

E. Sistematika penulisan ... 15

BAB II Konflik Aceh ... 17

A. Identitas keacehan ... 17

B. Latar belakang konflik ... 20

C. Perlawanan kaum nasionalis Aceh ... 22

1. Pemberontakan Daud Beureureh... 23

2. Pemberontakan Hasan Tiro dan lahirnya GAM ... 29

D. Resolusi konflik oleh pemerintah RI ... 32


(9)

viii

BAB IV Analisa peran Aceh Monitoring Mission dalam Peace Building Process di

Aceh ... 48

A. Demobilisasi dan Decommissioning persenjataan GAM... 48

B. Redeployment TNI dan Polri... 53

C. Amnesti ... 54

D. Reintegrasi GAM ... 58

E. Undang-undang Pemerintahan Aceh ... 63

F. Pengaturan keamanan dan hak asasi manusia ... 69

G. Hambatan dan tantangan AMM ... 73

BAB V Kesimpulan dan saran ... 78

A.Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... x LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

Tabel IV.A.1 Statistik perlucutan senjata GAM ... 50 Tabel IV.B.1 Statistik penarikan Pasukan Non-organik TNI/POLRI ... 53 Tabel IV.E.1 Perbandingan UUPA dan Nota Kesepahaman... 65 Tabel IV.F.1 Rekapitulasi tabel kekerasan satu tahun perjanjian damai RI


(11)

Sejak berakhirnya perang dingin pada tahun 1990-an, isu keamanan non-tradisional menjadi fokus utama dalam sistem perpolitikan internasional. Menurut data yang ada, peperangan yang terjadi pasca Perang Dunia II tercatat dari awal tahun 1949 hingga 2001 terdapat sekitar 143 negara dunia diguncang 761 konflik di mana diantaranya terdapat 457 kasus konflik yang melibatkan kekerasan. Dari 457 kasus tersebut, 73.5% merupakan konflik internal yang sebagian besar terjadi di negara-negara berkembang (the Post-Conflict Fund, 2003).

Isu-isu keamanan tradisional memang masih menyisakan masalah hingga kini (Steans & Pettiford, 2009:436). meskipun isu keamanan non-tradisional seperti masalah lingkungan, kemiskinan, populasi, migrasi, terorisme, intervensi kemanusiaan, kejahatan yang terorganisir dan konflik separatis dapat mempengaruhi keamanan suatu negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini pula yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Beragam konflik internal

(intra-state conflict) yang terjadi di negeri ini banyak dilatarbelakangi oleh isu-isu etnis,

agama ataupun gerakan separatisme (Abdullah, 2011:87). Hal ini juga menjadi isu yang menimbulkan konflik Aceh dengan pemerintah Indonesia hingga memunculkan pada gerakan separatisme Aceh yang bernama GAM (Gerakan Aceh Merdeka).

Jika dirunut ke belakang, sebetulnya gerakan separatisme Aceh telah berlangsung sejak awal kemerdekaan RI dengan dimulainya pemberontakan rakyat


(12)

Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh pada tahun 1957. Pemberontakan ini didasari oleh rasa kekecewaan rakyat Aceh atas sikap sentralisasi pemerintah pusat dengan menghapus provinsi Aceh dan memasukkan Aceh menjadi bagian dari provinsi Sumatera Utara. Hal tersebut bertolak belakang dengan janji Presiden Soekarno pasca perang kemerdekaan akan menjadikan Aceh menjadi daerah otonomi khusus. Namun sebelum hal itu terjadi, pergolakan serta pemberontakan terhadap gerakan separatis kembali mencuat. Gejolak yang kian memanas antara pemerintah pusat dengan Aceh, maka cara praktis untuk melunakkan hati rakyat Aceh, pemerintah pusat kemudian memberikan Aceh dengan status Daerah Istimewa pada 26 Mei 1959 melalui Keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959 (Kawilarang, 2010:159). Pemberontakan Daud Beureureh berakhir pada 9 Mei 1962, ketika Kolonel M. Jasin Panglima Kodam Iskandar Muda berhasil membujuk Daud Beureureh untuk turun gunung.

Pada tahun 1976 rakyat Aceh kembali bergolak dengan diproklamirkannya kemerdekaan Aceh pada tanggal 4 Desember oleh Hasan Di Tiro. Gerakan serta perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan yang disebut dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini muncul akibat akumulasi ketidakpuasan Aceh terhadap pemerintah pusat yang dianggap telah berlaku tidak adil disetiap sektor kehidupan pada masyarakat Aceh, terutama dalam sektor ekonomi (Fahri Ali dkk, 2008:112). Pemberontakan GAM ini juga dibangun dengan landasan ideologi keacehan oleh Hasan Tiro. Ideologi keacehan ini adalah hasil dari pertautan antara fakta sejarah Aceh yang melihat wilayahnya sebagai “Serambi Mekkah” yakni daerah penyebaran


(13)

agama Islam pertama di Asia Tenggara. Keyakinan Hasan Tiro dengan sejarah kejayaan Aceh di masa lampau untuk berdiri sendiri dan didukung oleh melimpahnya sumber daya alam tanpa harus tergantung pada pemerintah pusat.

Dari awal berdirinya, GAM telah mengalami tekanan dari pemerintah Orde Baru dengan dilakukannya Daerah Operasi Militer (DOM), keadaan ini membuat perjuangan serta kekuatan GAM melemah. Sekitar tahun 1980-an GAM mulai kembali menemukan kekuatannya. Hal ini disebabkan sepanjang tahun 1986 hingga 1989 sebanyak 5000 personil GAM telah mendapat latihan militer di Libya. Aksi-aksi militer anggota GAM dari alumni Libya ternyata lebih kuat dan lebih variatif (Fahri Ali dkk, 2008:163). Keadaan ini membuat pemerintah pusat melancaran operasi militer yang lebih keras dan ofensif, yang dikenal sebagai Operasi Jaring Merah dan memjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer.

Seiring berjalannya waktu, penanganan konflik yang mengedepankan pendekatan militer telah menyisakan pelanggaran HAM dalam skala besar, hal demikian pula perlawanan GAM yang semain ofensif terhadap pemerintah pusat. Pada akhirnya Pemerintah RI berinisiatif melakukan usaha untuk mewujudkan perdamaian yakni dengan cara melakukan perudingan. Perundingan yang ditempuh oleh RI dan GAM tergolong sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Aceh.

Upaya menghadirkan pihak ketiga dalam bentuk perundingan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh pemerintah. Upaya penyelesaian konflik antara Pemerintah RI dan GAM pun kemudian diprakarsai oleh Presiden Abdurrahman


(14)

Wahid (1999-2001) dan diteruskan pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2005). Dari upaya keseriusan tersebut hadirlah NGO Hendry Dunant Centre

(HDC) sebagai pihak ketiga dan mediator. Hasil dari perundingan ini adalah Jeda Kemanusiaan (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh). Jeda

kemanusiaan ini adalah usaha untuk mencapai perdamaian dengan rentang waktu penghentian konflik fisik. Dalam hal ini, Jeda Kemanusiaan I dimulai pada 2 Juni hingga September 2000, namun dapat diperpanjang hingga 27 September 2000. Asumsinya adalah bahwa rentang waktu itu cukup untuk mengambil langkah yang lebih konstruktif dalam perdamaian. Ini dibuktikan dengan munculnya pelaksanaan Jeda Kemanusiaan II yang berlangsung dari 16 September 2000 hingga 15 Januari 2001. (Hamid, 2008:61-64)

Setelah Jeda Kemanusiaan berlangsung kemudian diteruskan oleh Perjanjian Penghentian Permusuhan atau yang dikenal sebagai Cessation of Hostilities

Agreement (CoHA) yang ditandatangani pada 9 Desember 2002. Akan tetapi,

perjanjian ini tidak berlangsung lama dikarenakan selama proses perjanjian diterapkan berbagai kekerasan dan bentrokan antara Tentara RI dan GAM tidak mengalami penurunan (Hamid; 141). Maka, melalui Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 2003 yang ditandatangani pada 19 Mei, Presiden Megawati memberlakukan Darurat Militer di Aceh dengan mengirimkan 40.000 pasukan Tentara Nasional Indonesia dan 14.000 personel Polisi (Kawilarang, 2008;169)

Sejak berlangsungnya pernyataan Keadaan Bahaya oleh Megawati, pada tanggal 26 Desember 2004 terjadi bencana gempa dan Tsunami di Aceh yang


(15)

menggemparkan dunia internasional yang menyebabkan sekitar 230.000 jiwa meninggal dunia, 36.786 jiwa hilang, dan 174.000 jiwa tinggal di tenda pengungsian. Sekitar 120.000 rumah hancur, 800 km jalan dan 260 jembatan rusak, 639 fasilitas kesehatan hancur serta 2.224 sekolah hancur. Sejak peristiwa itu pula organisasi-organisasi international mulai masuk ke Aceh untuk memberikan bantuan kepada korban Tsunami. Walaupun pada awalnya perhatian dunia internasional lebih tertuju kepada bantuan kemanusiaan, akan tetapi lama kelamaan bantuan secara politik juga menjadi sorotan dunia internasional, yaitu mengusahakan perdamaian antara RI dan GAM yang berkonflik selama kurang lebih 30 tahun (Kawilarang, 2010:177).

Adapun salah satu organisasi internasional yang turut memberikan bantuan baik sosial ataupun politik di Aceh adalah Uni Eropa. Kontribusi Uni Eropa terhadap proses perdamaian Aceh, telah dimulai sejak terjadinya bencana Tsunami. Program bantuan kemanusiaan ini dilanjutkan dengan komitmen Komisi Eropa dan negara anggota Uni Eropa untuk mendukung terciptanya perdamaian dan pembangunan Aceh setelah konflik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun yaitu dengan menghadirkan Crisis Management Initiative (CMI) sebagai mediator antara pemerintah RI dan GAM untuk mencapai kesepakatan damai.

Setelah melalui proses negosiasi yang panjang, pada 15 Agustus ditandatanganilah Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) di

Helsinski yang menghasilkan kesepakatan sebagai berikut ; a) Penyelenggaraan Pemerintahan Khusus di Aceh, b) Menyelenggarakan Hak Azasi Manusia, C)


(16)

Amnesti dan Reintegrasi Mantan Kombatan ke dalam Masyarakat, d) Pengaturan Keamanan, e) Pembentukan Misi Monitoring Aceh, f) Penyelesaian Perselisihan.

Salah satu langkah mendesak yang dilaksanakan seusai ditandatanganinya MoU Helsinski adalah pembentuan Aceh Monitoring Mission (AMM) atau Misi

Pemantau Aceh. AMM mendapat mandat untuk memantau pelaksanaan komitmen para pihak yang bersepakat dalam MoU Helsinski. Dalam MoU Helsinski pasal 5 ayat 1 disebutkan : “Misi Pemantau Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan Negara-negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan

komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.”.

Ada beberapa Mandat yang harus dijalankan oleh AMM sesuai dengan Nota Kesepahaman yaitu memantau proses perubahan peraturan perundang-undangan daerah Aceh, reintegrasi mantan kombatan GAM, mengadakan pemilu daerah di Aceh, penarikan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan POLRI, memberikan bantuan dalam penangananhak asasi manusia, memutuskan kasus amnesty yang disengketakan dan membentuk serta memelihara hubungan baik dengan pihak yang bertikai.

Untuk lebih jauh dalam menganalisis beberapa peran AMM lainnya, maka diperlukan analisis komprehensif terhadap peran AMM. Yaitu dengan menganalisa mandatnya sesuai yang dituangkan dalam Nota kesepahaman (Mou) Helsinki. Di lain pihak juga penelitian ini bertujuan untuk mengalisa peran AMM selama melakukan tugasnya di Aceh dan juga faktor-faktor apa saja yang membuatnya berhasil


(17)

menjadikan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk mematuhi Nota Nesepahaman Helsinski.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat ditarik sebuah pokok permasalahan yaitu :

Bagaimana peranan yang dilakukan Aceh Monitoring Mission (AMM) dalam

upaya Peace building di Aceh pada tahun 2005-2006 ?

C. Kerangka pemikiran

Pada penelitian ini, analisa mengenai peran Aceh Monitoring Mission dalam upaya peace building di Aceh tahun 2005-2006 akan menggunakan dua teori dan dua konsep. Teori yang akan menjadi dasar penelitian ini adalah resolusi konflik dan organisasi internasional. Sedangkan dua konsep yang akan menjadi pisau analisis dalam penelitian ini adalah peranan dan peace building.

Konflik adalah situasi dan kondisi dimana terjadi pertentangan dan kekerasan dalam menyelesaikan masalah antara sesama anggota masyarakat, antara masyarakat dengan pemerintah maupun antara masyarakat dengan organisasi etnis di suatu wilayah. Berakhirnya Perang Dingin, telah mengakibatkan perubahan dalam peta konflik dunia, dimana konflik lebih banyak terjadi dalam negara (intrastate) daripada

antar negara (interstate).

Tipologi konflik di Indonesia dapat dilihat dalam realitas konflik yang cukup menonjol selama ini terjadi di Indonesia yaitu :


(18)

a) Konflik Horisontal, merupakan konflik yang terjadi antar kelompok agama, kelompok pendatang dengan penduduk asli, kelompok etnis atau suku dan organisasi bisnis yang berada di lokasi setempat.

b) Konflik Vertikal, merupakan konflik yang terjadi antara pemerintah dan kelompok-kelompok sosial masyarakat tertentu. Asumsinya, konflik terjadi karena merupakan akibat dari proses pembuatan kebijakan (policy)

pemerintah yang tidak partisipatif dan pada tahap berikutnya memunculkan perbedaan pendapat, pertentangan, kekerasan serta separatisme (Hadi dkk 2005).

Dalam rangka mencari penyelesaian yang efektif dari sebuah konflik internal maka perlu mengidentifikasikan sebab-sebab fundamental suatu konflik. Levy (Hadi dkk 2007:24) berupaya menemukan variabel independen dari suatu konflik dengan mengkaji sumber-sumber konflik dari empat level analisa yaitu level sistemik, sosial kemasyarakatan, organisasi birokrasi dan individual. Penyelesaian konflik dapat tercapai apabila sumber-sumber konflik disetiap level analisa yang berbeda dapat ditangani secara optimal. Di pihak lain Burton melihat bahwa sumber-sumber utama konflik berhubungan dengan keterkaitan yang berkesinambungan antara struktur sosial, institusi sosial dan pemenuhan kebutuhan dasarmanusia. Identifikasi dari kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak yang terlibat konflik adalah hal yang sangat penting. Berbagai macam sebab terjadinya konflik internal termasuk gerakan separatisme, seperti perbedaan etnis, faktor historis, perbedaan agama dan kebudayaan serta ketidak-adilan politik dan ekonomi.


(19)

Resolusi konflik merupakan suatu proses penyelesaian masalah dalam konflik. Pengambilan keputusan adalah bagian yang penting dalam resolusi konflik. Sebelum meyimpulkan analisis pengambilan keputusan, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, seperti mengenai perbedaan persepsi pihak yang bertikai, perselisihan yang dinegosiasikan, isu-isu yang krusial untuk mencari penyelesaian. Resolusi konflik sebagai alternatif untuk menyelesaikan permasalahan dalam konflik dengan tidak adanya pemaksaan dan kekerasan dalam mengkontrol konflik (Bavly, 2002:6)

Tujuan paling mendasar dari resolusi konflik (Sukma, 2009) adalah tercapainya perdamaian yang bukan hanya menyangkut masalah militer, politik dan ekonomi saja, tetapi juga harus menyangkut pemenuhan dari berbagai kebutuhan ekonomi, aspirasi dan hak dari pihak-pihak yang bertikai. Usaha menciptakan perdamaian berarti usaha mengurangi tingkat permusuhan dan kekerasan, memanusiakan pihak lain, membangun rasa saling percaya dan merespon kebutuhan dan kepentingan dari pihak-pihak yang bertikai. J.Galtung menyatakan bahwa usaha perdamaian terdiri dari, membuat perdamaian (peace making), memelihara

perdamaian (peacekeeping) dan membangun perdamaian (peacebuilding) (Bavly,

2002)

Peace building adalah kegiatan menciptakan perdamaian mulai dari bawah

sampai ketingkat para pemimpin (bottom up). Menurut Fisher, Peace Building

menyangkut usaha-usaha meningkatkan hubungan dari pihak-pihak yang bertikai sampai tercapainya rasa saling percaya dan kerja sama yang lebih tinggi, membangun


(20)

persepsi yanglebih akurat, menciptakan iklim yang lebih positif dan menciptakan keinginan politik yang tidak bertahan lama karena perdamaian yang lebih kuat untuk dapat melakukan perundingan-perundingan yang konstruktif ditengah adanya perbedaan-perbedaan (Bavly 2002:8). Peace Making adalah usaha-usaha yang

dilakukan oleh negara-negara atau perwakilan-perwakilan resmi melalui kegiatan diplomasi untukmencapai suatu penyelesaian dari pihak-pihak yang bertikai. Sedangkan Peace Keeping adalah kegiatan intervensi dari pihak ketiga untuk

memisahkan pihak-pihakyang berperang dan menjaga agar tidak terjadi tindakan kekerasan.

Konsep peace building mulai banyak digunakan setelah Sekretaris Jenderal

PBB Boutros Boutros-Ghali (1992: 11) mengeluarkan laporannya, An Agenda for

Peace, pada tahun 1992. Dalam laporan tersebut, peace building dipahami sebagai

serangkaian aktivitas yang dimaksudkan untuk “mengidentifikasikan dan mendukung berbagai struktur yang bertujuan untuk memperkuat dan mempersolid perdamaian sehingga dapat mencegah terulangnya kembali konflik”. Namun, dalam perkembangannya, definisi peace building yang dikembangkan Boutros-Ghali

kemudian mencakup juga berbagai upaya untuk menanggulangi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh konflik, menghilangkan akar penyebab konflik (root causes of

conflict), dan membuat negative peace atau ketiadaan kekerasan berubah menjadi

positive peace dimana masyarakat merasakan keadilan social, kesejahteraan ekonomi


(21)

Upaya penyelesaian suatu konflik dapat dapat dilihat dalam kerangka studi mengenai resolusi konflik yang bertujuan untuk menelaah berbagai macam situasi, pemerintahan atau kegiatan organisasi internasional yang dapat mencegah krisis menjadi perang, atau jika perang sudah terjadi akan berupaya mengakhiri perang dan melakukan upaya perdamaian hingga keakarnya.

Secara sederhana, Organisasi internasional adalah pihak yang berada di luar konflik antara dua pihak atau lebih yang bertikai mencoba untuk membantu mereka mencapai penyelesaian masalah melalui berbagai kesepakatan (Pruit dan Rubin, 2004:374). Tujuan masuknya organisasi internasional adalah merubah situasi konflik destruktif dan menurunkan tingkat eskalasinya, mengalihkan para pelaku onflik menuju ke arah penyelesaian konflik dan mendamaikannya.

Hal utama yang dituntut dari keterlibatan organisasi internasional adalah sikap nertal untuk tidak memihak salah satu pihak yang bertikai. Pada awalnya, netralitas atau impartial ini menjadi syarat mutlak keberhasilan resolusi konflik. Dalam

perjalanannnya kemudian, hal tersebut justru melahirkan dilema dan berjalan serba salah. Di satu sisi diperlukan demi terlaksananya program secara fair, tetapi di sisi lain tidak jarang netralitas itu sendiri justru membantu agresor atau pihak yang kuat dalam memerangi pihak yang lemah. Netralitas organisasi internasional dituntut dalam persoalan identitasi saja (Stedman, 1996:363). Keberpihakan terhadap kelompok lemah dituntut dalam segala atifitas resolusi konflik, baik sejak pencegahan sampai pada postconflict building, tidak hanya pada aktifitas militer tetapi juga


(22)

Titik paling krusial dalam menjalankan perdamaian yang berkelanjutan tahap implementasi dari kesepakatan damai. Dari sekian banyak perjanjian damai yang berhasil dilaksanakan, sebagian besar juga gagal dalam tahap ini. Ini menunjukkan bahwa tahap implementasi jauh lebih sulit daripada menghasilkan sebuah kesepakatan. Keberhasilan implementasi menjadi suatu keharusan dari suksesnya sebuah resolusi konflik yang bertujuan untuk menyelesaikan semua penyebab konflik dan juga sangat tergantung dari kemampuan institusi-institusi yang ada dalam negara dalam menjaga kestabilan sistem pasca konflik (Rasmussen, 1997:40). Institusi tersebut adalah lembaga yang terlibat langsung dalam pelaksanaan dan monitoring perdamaian yang dilakukan secara bersama oleh pihak-pihak yang terlibat konflik atau melibatkan organisasi internasional.

Menurut Kriesberg (1998), implementasi akan berhasil manakala ada sebuah organisasi internasional kuat yang bertugas mengontrol jalannya kesepakatan damai dengan mengkombinasikan berbagai metode baik kekuatan militer maupun ekonomi dan politik (h. 99). Dengan catatan, metode kekerasan atau penggunaan kekuatan militer harus dibatasi dan tidak bersifat berpihak kepada salah satu pihak yang terlibat konflik (Kriesberg, 1998:100). Hal ini menjelaskan bahwa sebelum perdamaian benar-benar tercipta dengan baik dan stabil perlu ada lembaga monitor di area konflik.

Dalam kaitanya dengan proses perdamaian yang terjadi di Aceh, NGO seperti

Aceh Monitoring Mission (AMM) merupakan sebuah organisasi internasional yang


(23)

Aceh Darussalam. Peranan AMM dalam penyelesaian konflik tersebut merupakan perilaku politik yang diharapakan dari pihak lain. Peran AMM dalam proses perdamaian di Aceh merupakan peran yang di dapat karena permintaan dari kedua belah pihak, yaitu GAM-RI. Dengan kata lain peran didapat karena diundang oleh pihak lain bukan inisiatif sendiri.

Peranan merupakan aspek dinamis. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannnya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Dari konsep peranan tersebut muncullah istilah peran. Peran adalah seperangkat tingkat yang di harapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat. Berbeda dengan peranan yang sifatnya mengkristal, peran bersifat insidental (Perwita dan Yani, 2005:29).

Peranan (role) dapat didefinisikan sebagai berikut: Perilaku yang di harapkan dari seseorang yang mempunyai status (Horton dan Hunt, 1987:132). Peranan dapat dilihat sebagai tugas atau kewajiban atas suatu posisi sekaligus juga hak atas suatu posisi. Peranan memiliki sifat saling tergantung dan berhubungan dengan harapan. Harapan-harapan ini tidak terbatas hanya pada aksi (action), tetapi juga termasuk

harapan mengenai motivasi (motivation), kepercayaan (beliefs), perasaan (feelings),

sikap (attitudes) dan nilai-nilai (values) (Perwita dan Yani, 2005:30).

Teori peranan menegaskan bahwa perilaku politik adalah perilaku dalam menjalankan peranan politik. Teori ini berasumsi bahwa sebagian besar perilaku politik adalah akibat dari tuntutan atau harapan terhadap peran yang kebetulan dipegang oleh aktor politik. Seseorang yang menduduki posisi tertentu di harapkan


(24)

akan berperilaku tertentu pula. Harapan itulah yang membentuk peranan (Mas’oed, 1989:45).

Mengenai sumber munculnya harapan tersebut dapat berasal dari dua sumber, yaitu:

1. Harapan yang dimiliki orang lain terhadap aktor politik.

2. Harapan juga bisa muncul dari cara si pemegang peran menafsirkan peranan yang dipegangnya, yaitu harapannya sendiri tentang apa yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan, tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan (Mas’oed, 1989:46-47).

Jadi, peranan dapat dikatakan sebagai pelaksanaan dari fungsi oleh struktur-struktur tertentu. Peranan ini tergantung juga pada posisi atau kedudukan struktur-struktur itu dan harapan lingkungan sekitar terhadap struktur tadi. Peranan juga di pengaruhi oleh situasi dan kondisi serta kemampuan dari si pemeran.

D. Metode Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah kajian pustaka berupa studi literatur dengan memilih data yang relevan untuk mendukung penelitian yang diambil dari buku referensi, artikel, jurnal, buku-buku ilmiah, internet, media massa dan majalah.

Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian kualitatif.Cara pengumpulan data dilakukan melalui teknik pengumpulan data sekunder atau library research. Dalam

hal ini, data yang diperlukan akan dihimpun dari berbagai buku bacaaan/literatur, arsip-arsip dan laporan tahunan dari Aceh Monitoring Mission, jurnal-jurnal dari


(25)

lembaga penelitian bidang konflik, artikel media baik dari surat kabar maupun majalah dan dari laman internet.

Dalam menganalisa data, penulis akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut : pertama, menghimpun literatur dan dokumen-dokumen yang relevan sebagai sumber data dan informasi yang diperlukan. Kedua, memilah atau mengklasifikasikan data atau informasi secara sistematis. Ketiga, mengadakan analisis dengan metode dan teknik pengumpulan data yang tepat untuk dikaji berdasarkan kerangka dasar teori. Keempat, pencapaian kesimpulan dari penelitian.

E. Sistematika Penulisan

Guna mempermudah penulisan, skripsi ini membagi pembahasan menjadi beberapa BAB, Sub Bab, dan Sub-sub Bab yang diuraikan secara singkat dalam sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah B. Pertanyaan Penelitian C. Kerangka Teori D. Metode Penelitian E. Sistematika Penulisan Bab II Konflik Aceh

A. Identitas Keacehan

B. Latar Belakang Konflik Aceh


(26)

1) Pemberontakan Daud Beureureh

2) Pemberontakan Hasan Tiro dan Lahirnya GAM

D. Resolusi Konflik Aceh Oleh Pemerintah RI

E. Upaya Perdamaian Dari Crisis Management Initiative

Bab III Profil Aceh Monitoring Mission

A. Profil AMM

B. Struktur dan Mekanisme kerja AMM

C. Tugas dan Mandat AMM

Bab IV Analis Peran Aceh Monitoring Mission dalam Peace Building Process di Aceh

A. Demobilisasi dan Decommisioning persenjataan GAM

B. Redeployment TNI dan POLRI

C. Amnesti

D. Reintegrasi GAM

E. Undang-Undang Pemerintahan Aceh

F. Pengaturan keamanan dan Hak Asasi Manusia

G. Hambatan dan Tantangan AMM

Bab V Penutup

A. Kesimpulan

B. Saran Daftar Pustaka Lampiran-lampiran


(27)

BAB II KONFLIK ACEH

Sebelum membahas lebih jauh mengenai konflik Aceh sangatlah penting dipaparkan terlebih mengenai identitas keacehan, guna mendapatkan pemahaman menyeluruh (holistic) dari apa yang melatar-belakangi terjadinya konflik Aceh.

Untuk itu penting menelusuri identitas keacehan sebagai variable penelusuran guna mengetahui Latar Belakang Konfilk Aceh. Setelah itu barulah menjelaskan perlawanan Kaum Nasionalis Aceh serta upaya Pemerintah dalam Resolusi Konflik dalam konflik Aceh yang menghasilkan Nota Kesepahaman Helsinski sebagai landasan terbentuknya Aceh Monitoring Mission dalam membangun perdamaian di Aceh.

A. Identitas Keacehan

Aceh merupakan sebuah provinsi di Indonesia, lebih tepatnya Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh. Jumlah penduduk provinsi ini sekitar 4.500.000 jiwa. Letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.


(28)

Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat menjunjung tinggi nilai agama (Time Magazine, 15 Februari 2007). Persentase penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup sesuai syariah Islam (Islamic studies: 2013).

Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak bumi dan gas alam. Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah yang terbesar di dunia. Aceh juga terkenal dengan hutannya yang terletak di

sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane diAceh Tenggara sampai Ulu

Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara.

Identitas daerah yang tersebar di Indonesia mempunyai ciri dan khas tersendiri di setiap wilayahnya, salah satunya yaitu Aceh. Aceh merupakan suku bangsa Indonesia yang dikenal memiliki identitas dan sejarah yang khas. Sebutan sebagai Serambi Mekah bagi Aceh tidak hanya berarti sebagai pintu masuk pertama penyebaran agama Islam di Indonesia, tetapi juga mempunyai konotasi tentang tingginya pengaruh nilai-nilai Islam dalam adat istiadat dan semangat juang masyarakat Aceh. Terkait dengan julukan Serambi Mekkah ini, ada dua pandangan


(29)

dalam memaknai istilah Serambi Mekkah (Reid, 2006: 38-39). Pertama, pengertian

tersebut terindikasi pada naskah kuno karya Ar-Raniri, terminologi Serambi Mekkah yang pertama ini merujuk dengan pengertian Aceh merupakan Mekkah-nya kawasan Timur (Mecca of the East). Kedua, pengertian ini yang merujuk pada pandangan

Snouck Hurgronje (ICG 2001:17) , yang mengartikan istilah Serambi Mekkah Sebagai “gerbang ke Tanah Suci” (The Gate to the Holy Land). Penyebutan ini disebaban terdapatnya fakta bahwa daerah Aceh sering digunakan oleh para calon jemaah haji dari kepulauan di Timur sebagai tempat persinggahan sebelum mereka melanjutkan perjalanannya ke Mekkah.

Dari pengertian di atas, terdapat pemahaman yang sangat khas antara pengertian Aceh dengan Serambi Mekkah yaitu identitas keislaman (Islamic Identity).

Pada akhirnya ketika kita mengucapkan istilah Aceh dengan Serambi Mekkah maka timbul pula pemahaman bahwa Aceh merupakan kawasan Islam di wilayah timur. Di lain pihak, julukan Serambi Mekkah yang melekat pada wilayah Aceh dengan mudah pula diasosiasikan dengan identitas keislaman Aceh. Identitas Islam yang sudah melekat jauh sebelum Indonesia merdeka inilah dalam perjalanannya ternyata menjadi pemicu konflik antara Aceh dan Republik Indonesia. Identitas keislaman Aceh tidak hanya digunakan oleh para elit politik aceh untuk membangun sentimen kolektif masyarakat ketika berhadapan dengan kelompok lain, tetapi juga dimanfaatkan pemerintah pusat sebagai pilihan bagi Aceh dalam kerangka kebijakan desentralisasi dan pemberian otonomi khusus.


(30)

B. Latar Belakang Konflk Aceh

Sejak berlangsungnya konflik Aceh melalui pemberontakan yang dipimpin oleh Daud Beureueh pada tahun 1957 (Kawilarang, 2010:159), beragam dampak yang ditimbulkan amatlah parah pada masyarakat sipil Aceh. Ribuan rakyat sipil tak berdosa telah gugur, mengalami penyiksaan dan cacat, menjadi janda dan anak yatim. Ribuan orang telah kehilangan tempat tinggal dan ribuan lainnya kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian. Ratusan sekolah terbakar, sehingga mengganggu proses pendidikan. Lebih jauh dari itu, masyarakat sipil hampir tidak memiliki akses terhadap hukum, sementara sebagian besar lembaga pengadilan tidak berfungsi lagi.

Kekecewaan masyarakat Aceh diawali ketika Teungku Daud Beureuh masuk dalam “Daftar Hitam” yang ingin disingkirkan oleh Pemerintah Pusat. Seperti kita ketahui Teungku Daud merupakan salah satu tokoh rakyat Aceh dalam mengusir penjajah dengan ikut sertanya Teungku Daud bersama Republik dengan cara mengumpulkan dana untuk melawan penjajah. Janji dari Presiden Soekarno untuk memberikan kebebasan rakyat Aceh menerapkan syariat Islam tidak ditepati, semakin membuat pedih rakyat Aceh. Kekecewaan rakyat Aceh yang tidak terbendung akhirnya menimbulkan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pada tahun 1953. pemberontakan ini dapat ditumpas pada tanggal 26 Mei 1959 ketika Aceh diberikan otonomi luas, terutama dalam bidang agama, adat dan pendidikan. Konflik yang terjadi di Aceh khususnya Gerakan Separatisme Aceh berlatar belakang tentang perjanjian antara Inggris dan Kesultanan Aceh pada tahun 1819 dan Perjanjian Anglo Dutch yang menyatakan bahwa Aceh merupakan Negara yang


(31)

merdeka, hal inilah yang membuat GAM berusaha mengembalikan kedaulatan tersebut kepada Kesultanan Aceh.

Aceh yang kita ketahui merupakan provinsi yang mempunyai ciri khas yakni rakyat Aceh mempunyai identitas social-kultural dan religi yang kuat. Salah satu alasan terjadinya pemberontakan Teungku Daud adalah keinginan Teungku Daud untuk menerapkan syariat Islam di Aceh, yang pada saat itu disetujui oleh pemerintah pada saat penumpasan pemberontakan DI/TII. Namun rezim Orde Baru membuat sebuah keputusan yang lagi-lagi membuat kekecewaan di hati rakyat Aceh (Reid: 2006, 23).

Keputusan yang diambil oleh Rezim Orde Baru dengan model politik sentralisme adalah melalui UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa, Orde membuat penyeragaman di semua daerah tanpa memperhatikan nilai-nilai lokal (Tim Peneliti LIPI, 2007, 54-55).

Akibat kedua UU tersebut, secara otomatis keistemewaan Aceh akan tereliminasi. Syariat Islam yang sudah menjadi ciri khas dari rakyat Aceh menjadi hilang karena lembaga-lembaga adapt yang ada sejak lama di Aceh harus digantikan oleh struktur pemerintahan modern yang diinginkan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal inilah yang membuat kekcewaan rakyat Aceh terhadap pemerintahan pusat semakin besar.

Faktor ekonomi juga turut serta menjadi penyebab terjadinya konflik yang dilakukan oleh gerakan separatisme di Aceh (GAM). Pada masa Orde Baru kebijakan


(32)

Pemerintah ditekankan pada pembangunan dengan didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Aset sumber daya alam di Aceh dieksploitasi dalam konteks pembangunan ini. Pabrik LNG dan pupuk Iskandar Muda yang dibangun di Aceh maju pesat. Bahkan Indonesia menjadi salah satu eksportir LNG terbesar dan 90% dari produksi pupuk ditujukan bagi ekspor.

Namun, berdasarkan kebijakan yang diambil pada masa rezim Orde Baru yang sentralisasi, ekonomi Aceh terkonsentrasi oleh power dan otoritas yang berpusat di Jakarta, maka pembangunan di Aceh tidak mengalami kemajuan yang signifikan bila dibandingkan keuntungan pusat yang diperoleh dari wilayah Aceh. Akibat dari pembangunan yang terlalu banyak di Jakarta adalah rakyat Aceh mengalami kesengsaraan dan kesusahan dimana di wilayah Aceh Utara dan Aceh Timur tercatat 2.275 desa miskin pada tahun 1993 (Hadi 2007:50-51).

Hal itu semua membuat rakyat Aceh sadar bahwa yang seharusnya menikmati hasil dari sumber daya alam adalah masyarakat Aceh sendiri bukan pusat. Hal inilah yang membuat rakyat Aceh semakin kecewa dengan pemerintah pusat. Kesadaran rakyat Aceh tentang ketidakadilan pusat terhadap Aceh dimanfaatkan oleh GAM, dimana GAM memperoleh kekuatan setelah industri gas dan minyak di Aceh Utara berdiri pada tahun 1970.

C. Perlawanan Kaum Nasionalis Aceh

Perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Aceh telah tercatat sebanyak dua kali kepada Pemerintah Pusat. Pertama, pemberontakan yang dipimpin oleh Teuku M. Daud Beureueh pada 1953 dan yang kedua oleh Hasan Tiro pada 1976. Daud


(33)

Beureueh merupakan tokoh ulama terkemuka di Aceh yang mendirikan dan menjadi ketua PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) pada tahun 1939 (Reid, 2005:275). Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, PUSA berhadapan dengan kelompok

Uleebalang dalam upaya mereka menguasai setiap sektor kekuasaan dan

pemerintahan di Aceh.

Pertentangan kaum ulama dengan kaum Uleebalang tersebut menimbulkan konflik yang belangsung dari 22 Desember 1945 sampai dengan 13 Januari 1946 yang dikenal dengan insiden Cumbok.

1. Pemberontakan Daud Beureueh

Setidaknya ada tiga alasan utama pemberontakan yang dipimpin oleh Daud Beureueh ini. Pertama, terkait dengan konsep dasar kenegaraan, terutama yang

berhubungan dengan dasar dan bentuk negara, sebelum kemerdekaan 17 Agustus 1945, wacana politik yang berkembang di kalangan para tokoh pejuang kemerdekaan saat itu adalah mengenai dasar negara yang akan didirikan (Latif, 2011:65). Para tokoh yang tergabung dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yang juga diwakili oleh kelompok Islam, pada 18 Agustus 1945 akhirnya menyetujui Pancasila sebagai Dasar Negara (Latif, 2011: 67-95).

Dengan ditetapkannya Undang-undang Dasar 1945 yang dalam Mukadimah tidak memuat tujuh kata dalam sila pertama seperti yang terdapat pada Piagam Jakarta, yaitu “ dengan kewajiban menjalanan syariat Islam bagi pemeluknya” pada 18 Agustus 1945, kelompok Islam merasa aspirasi mereka tidak terakomodasi dengan


(34)

baik dalam hal yang sangat prinsipil, yaitu dasar negara. Hal inilah yang menjadi awal mula kekecewaan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan dari kelompok Islam.

Daud Beureueh sendiri pada mulanya dapat menerima realitas politik bahwa Indonesia yang baru didirikan berdasarkan Pancasila. Sekalipun rakyat Aceh menginginkan Negara yang berdasarkan Islam, para pemimpin Aceh mampu meyakinkan rakyatnya bahwa untuk saat itu, ketika Indonesia yang baru lahir masih menghadapi perjuangan fisik melawan Belanda, sebaiknya untuk sementara menerima dahulu dan mendukung Indonesia yang berdasarkan Pancasila sampai nanti diadakan pemilihan umum (Ibrahimy, 2001: 43).

Selain itu, kesediaan Daud Beureueh menerima konsep Negara Indonesia yang berasaskan Pancasila lebih disebabkan oleh janji Presiden Soekarno yang diucapkan pada kunjungannya yang pertamakali ke Aceh yakni memberikan kebebasan kepada Aceh dalam menjalankan syariat Islam dan otonomi khusus sesuai dengan syariat Islam (Santosa, 2006:142). Untuk menindaklanjuti janji Presiden Soekarno tersebut, pada 1949 beberapa tokoh Aceh menghadap Wakil Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara, yang saat itu juga menjadi Kepala Pemerintahan Darurat Republik Indonesia/PDRI guna mendesak Pemerintah Pusat guna membentuk Provinsi Aceh yang otonom dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Akhirnya permintaan ini dikabulkan dengan dikeluarkannya Peraturan Wakil Perdana

Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.

8/Des/WKPM 17 Desember 1949 yang menyataan Aceh sebagai Provinsi dan Daud Beureueh sebagai Gubernur (Kawilarang, 2010:154).


(35)

Keadaan berubah setelah Hindia Belanda resmi membubarkan diri pada 27 Desember 1945 dan RI berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam pertemuan Dewan Menteri RIS pada 8 Agustus 1950 disepakati Indonesia terdiri dari 10 Provinsi hal ini menjadikan Aceh dan Sumatera Utara dijadikan 1 Provinsi. Pada akhir tahun 1950, Mohammad Natsir yang pada saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri mengumumkan Provinsi Aceh dilebur menjadi satu dengan Provinsi Sumatera Utara, sedangkan Daud Beureueh diangkat menjadi pejabat tinggi di Kementerian Dalam Negeri di Jakarta. Keputusan ini sangat mengecewakan masyarakat Aceh karena pusat pemerintahan daerah Aceh berubah bahkan peralatan kantor dan mobil-mobil dinas pemerintahan yang berada di Banda Aceh dibawa ke Medan. Padahal semua inventaris tersebut dibeli secara swadaya oleh masyarakat Aceh.

Kekecewaan Daud Beureueh terhadap Pemerintah Pusat mencapai puncaknya ketika Presiden Soekarno pada 27 Januari 1953 berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan, yang menegaskan bahwa Indonesia tidak mungkin menggunakan Islam sebagai dasar Negara. Pernyataan ini sekaligus menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan pada Pancasila, bukan Islam. Dengan pernyataan Soekarno ini semakin jelas bagi para tokoh Aceh bahwa Indonesia tidak memberikan peluang bagi Negara untuk menggunakan Islam sebagai dasar Negara dan pupus juga harapan rakyat Aceh utnuk menerapkan syariat Islam di Aceh. Hal ini telah membuat Daud Beureueh kecewa, sehingga pada 21 September 1953 Daud Beureueh menyatakan Aceh memisahkan diri dari Indonesia dan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia


(36)

(NII) mengikuti Kartosoewirjo lalu membubarkan Divisi X TNI yang berada di Aceh. Pernyataan ini terjadi setelah kongres ulama di Titeue Pidie. Setelah membubarkan Divisi X TNI, sejumlah pasukan TNI bergabung menjadi tentara Islam di bawah komando Daud Beureueh.

Kedua, terkait dengan politik sentralisasi yang dijalankan oleh Pemerintah

Pusat pada masa-masa awal Republik berdiri. Kebijakan setralisasi yang membawa kembali Indonesia menjadi negara kesatuan ini dapat dipahami dalam konteks situasi politik nasional saat itu, yaitu selama periode 1949 sampai 1950. Pada saat itu Indonesia sedang menghadapi masa perjuangan fisik dalam mempertahankan kemerdekaan. Dalam upaya mempertahankan kekuasaannya di Indonesia, Belanda menjalankan politik pecah belah dengan membentuk negara-negara yang berdiri sendiri dan tidak tergabung dalam federasi yaitu, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Federasi Kalimantan Tenggara, Negara Kalimantan Timur, Bangka, Belitung, dan Riau (Awaludin 2009).

Di tengah situasi politik yang masih labil dan eksistensi RI yang sangat rapuh itu menjadikan RI lebih mementingkan upaya konsolidasi nasional dan memperkuat kesatuan wilayah RI ke dalam sistem kenegaraan yang solid. Di tengah situasi yang penuh dengan semangat perjuangan mempertahanan kemerdekaan dan ditambah dengan dominasi kaum nasionalis dalam percaturan politik saat itu, maka muncul desakan membubaran Negara federasi dan membentuk Negara kesatuan. Namun, dalam perspektif rakyat Aceh, justru semangat kesatuan dan persatuan pada saat itu


(37)

harus dibayar mahal dengan hilangnya Provinsi Aceh yang dinilai sebagai representatif identitas keislaman.

Alasan ketiga yang mendorong pemberontakan Daud Beureueh adalah tidak terakomodasinya nilai Islam dalam pemerintahan di Aceh. Nilai-nilai Islam memang telah lama berakar dalam kehidupan rayat Aceh dan mereka tetap mengharapkan bahwa suatu saat Islam dapat kembali menjadi dasar dalam hidup berpemerintahan di Aceh.

Aspirasi dan identitas Islam yang begitu mengakar di kalangan rakyat sejak ratusan tahun, dan mencapai masa kejayaannya pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), menemukan momentum baru untuk dimanifestasikan kembali dalam tatanan kehidupan masyaraat Aceh ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 (Ibrahimy, 2001:43). Namun, ketika Soekarno menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara nasional yang berasaskan Pancasila bukan Islam, Daud Beureueh semakin yain bahwa pemimpin pusat telah menyimpang dari jalan yang benar. Republik Indonesia tidak berkembang menjadi Negara yang berdasarkan Islam, satu-satunya kemungkinan yang terkandung dalam prinsip Ketuhanan Yang Masa Esa, sila pertama Pancasila (Santosa, 2006:152).

Pandangan seperti ini menunjukkan bahwa ide Islam yang diyakini oleh Daud Beureueh tidak hanya pas dalam lingkup Aceh, namun lebih jauh dari itu. Daud Beureueh menilai bahwa Indonesia pun secara keseluruhan mestinya berdasarkan Islam. Pada titik inilah Daud Beureueh membentur kenyataan politik bahwa aspirasi Negara nasional lebih dominan saat itu, sehingga menyadarkan dirinya bahwa


(38)

Indonesia tidak mungkin akan mengakomodasi aspirasi Islam yang selama ini menjadi identitas Aceh.

Dengan adanya kepastian bahwa Indonesia tidak akan menolerir bentuk pemerintahan daerah yang berlandaskan Islam, pemimpin Aceh sudah dapat memperkirakan bahwa pemerintah pusat akan menekan Aceh, baik dalam urusan syariat Islam maupun dalam hal kepemerintahan. Kekhawatiran itulah yang akhirnya memaksa banyak tokoh Islam di Aceh ikut mendukung pemberontakan Daud Beureueh (Aguswandi & Large, 2009:3).

Pemberontakan Daud Beureueh tidak berhenti meski Pemerintah Pusat akhirnya mengembalikan Aceh sebagai tersendiri yang terpisah dari Provinsi Sumatera Utara dengan Undang-undang No. 24/1956. Undang-undang tersebut sama sekali tidak menyebut pemberian otonomi Aceh dalam pemberlakuan syariat Islam (Syukriy, 2009:3).

Seiring berjalannya waktu, tiga tahun setelah itu barulah perubahan status mulai diberikan. Status “Daerah Istimewa” baru diberikan untuk Aceh pada 26 Mei 1959 melalui Keputusan Perdana Menteri RI No.1/Missi/1959, yang isinya antara lain Daerah Istimewa Aceh dapat melaksakan otonomi daerah yang seluas-luasnya terutama dalam bidang agama, pendidikan, dan peribadatan (Nurrohman, 2006:4). Pemberontakan Daud Beureueh baru berakhir pada 9 Mei 1962, ketika Kolonel M. Jasin, Panglima Kodam Iskandar Muda berhasil membujuk Daud Beureuh untuk turun gunung.


(39)

2. Pemberontakan Hasan Tiro dan Lahirnya GAM

Perbedaan kedua terkait tujuan pemberontakan. Berbeda dengan

pemberontakan Daud Beureueh yang mulanya hanya menginginkan otonomi di bidang pendidikan dan penerapan syariat Islam tetapi masih dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemberontakan Hasan Tiro sejak awal memang bertujuan untuk membentukan Negara Aceh yang merdeka dan terpisahkan Republik Indonesia (Schulze, 2004:1).

Dalam ungkapan Sukma (2003:149), tujuan pemberontakan Daud Beureueh sama dengan pemberontakan Darul Islam Aceh yang menginginkan Indonesia menjadi Negara Islam dan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam. Sedangkan pemberontakan Hasan Tiro bertujuan untuk memisahkan diri secara utuh dari Indonesia. Aspirasi untuk merdeka yang memotivasi pemberontakan Hasan Tiro ini diperkuat juga oleh adanya sentimen nasionalisme Aceh, terkait dengan konstruksi identitas Aceh yang berdasarkan pada etnik, bahasa, kultur, sejarah dan geografi (Miller, 2008:12).

Pemberontakan Hasan Tiro ini dipicu oleh ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat Aceh dalam hal pengelolaan sumber daya alam Aceh oleh Pemerintah Pusat, di samping didorong pula oleh sentimen nasionalisme etnik (ethno nasionalism) yang

bertumpu pada kekhasan Aceh dalam hal sejarah, etnisitas, kultur, dan geografi. Sentiment nasionalisme etnik ini tercermin dari bagaimana Hasan Tiro menarik garis perbedaan tegas antara Indonesia dan Aceh dengan cara menyebut rakyat Aceh sebagai “bangsa Aceh”. Dengan frasa “bangsa Aceh” ini Hasan Tiro bermaksud


(40)

memperkenalkan konsep bangsa Aceh sebagai lawan dari bangsa Indonesia (Kawilarang, 2008:157).

Pemberontakan Hasan Tiro ini terjadi pada saat Pemerintahan Soeharto, yang mana rezim ini terfokus pada masalah pembangunan ekonomi yang membutuhan stabilitas politik, sehingga Pemerintah Pusat tidak pernah menolerir adanya aspirasi daerah yang menuntut otonomi, apalagi memisahkan diri. Oleh karena itu, tidak lama setelah Hasan Tiro memproklamasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Pemerintah Pusat mengambil langkah tegas, yaitu dengan melancarkan tindakan militer atau hard

power.

Sejak Hasan Tiro melancarkan pemberontakan terhadap Pemerintahan Pusat dengan mendeklasikan GAM dan sebelum tercapai perdamaian pada tahun 2005, ada fase-fase penting yang dialami oleh GAM (Schulze, 2004:4).

Pertama, periode kelahiran (1976-1989), ketika GAM masih merupakan sebuah kelompok kecil yang beranggotakan kira-kira 70 orang tetapi memiliki ikatan ideologi yang kuat. Anggota GAM saat itu terdiri dari orang-orang terdidik, seperti dokter, insinyur, akademi, dan pengusaha. Untuk mematahkan pemberontakan ini, Soeharto melancarkan operasi militer, sehingga banyak anggota organisasi ini yang tewas dan pemimpinnya banyak yang dipenjara atau melarikan diri. Pada periode ini, akibat oprasi militer yang keras dari Pemerintah Pusat, pengikut GAM tercerai-berai ke berbagai tempat dan mulai melakukan gerakan bawah tanah. Pada tahun 1986 banyak pemuda Aceh yang dikirim oleh Hasan Tiro untuk mengikuti pelatihan militer di beberapa Negara asing termasuk Libya (Schulze, 2004:14). Hal ini dikarenakan


(41)

Pemerintah Pusat mengirimkan ribuan pasukan ke Aceh dan tidak ada dukungan internasional terhadap GAM, hingga pada akhirnya Hasan Tiro pindah ke Swedia dan menjadi warganegara disana.

Kedua, periode kebangkitan GAM (1989-1998). Pada tahun 1989 banyak pemuda Aceh yang telah mengikuti pelatihan militer di Libya kembali ke Aceh dan bergabung dengan GAM. Dengan kembalinya pejuang-pejuang yang terampil secara militer ini GAM mulai mengkonsolidasikan organisasinya, terutama penentuan struktur dan garis komando organisasi di Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Para alumni Libya ini juga merekrut dan melatih ratusan anggota baru mengenai kemiliteran, sehingga jumlah pengikut GAM bertambah banyak. Pada tahun inilah perlawanan GAM secara militer menunjukkan peningkatan, sehingga Pemerintah Pusat melancarkan Operasi Jaring Merah dan menjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Selama DOM ini militer Indonesia menjalankan operasi pembersihan terhadap penduduk atau desa yagn dicurigai memberikan bantuan logistic dan tempat perlindungan bagi para gerilyawan GAM. Operasi seperti ini dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi penduduk desa, agar tidak memberikan dukungan kepada GAM (Schulze, 2004:4).

Ketiga, Periode kematangan GAM (1998-2005). Pada periode ini perlawanan GAM berkurang secara signifikan pada 1991. Pada tahun ini, akibat operasi militer Pemerintahan Pusat yang keras, dapat dikatakan GAM sebenarnya sudah habis. Namun demikian, GAM masih bias eksis karena GAM masih memiliki pemimpin-pemimpin mereka di pengasingan yang terus memperjuangkan kemerdekaan Aceh.


(42)

Di samping itu, GAM masih bias menyuarakan kemerdekaan Aceh karena beberapa pemimpin mereka melancarkan perjuangan dari Negara tetangga, Malaysiam dengan dukungan orang Aceh yang tersebar di berbagai tempat di luar negeri. Sekalipun secara fisik keberadaan GAM di Aceh jauh berjurang, tindak kekerasan yang dilakukan tentara justru melahirkan generasi baru di Aceh yang bersimpati terhadap GAM. Generasi baru inilah yang kelak, ketika Soeharto jatuh pada 1998, menjadi motor penggerak bagi gerakan massa yang mendesak Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan konflik Aceh.

D. Resolusi Konflik Aceh Oleh Pemerintah RI

Resolusi konflik pada era Soeharto lebih banyak ditangani dengan pendekatan keamanan (security approach) atau hard power daripada soft power. Pada era

Soeharto tidak pernah ada keinginan untuk menyelesaikan konflik Aceh melalui cara-cara negosiasi atau soft power. Pemerintah Pusat juga berusaha untuk mencoba

mencari simpati rakyat (winning hearts and minds). Program simpatik seperti ini

dilakukan hanya dalam konteks untuk mencegah agar rakyat Aceh tidak ikut bergabung dengan GAM. Aspinal dan Crouch (2003:3) mengungkapkan bahwa hanya sebagian kecil dari elit TNI yang benar-benar memahami konsep “memenangkan hati rakyat” itu. Bagi sebagian besar elit TNI, pemberian konsesi kepada rakyat Aceh yang menginginkan merdeka hanya memicu perlawanan yang lebih kuat.

Pasca jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, gelombang arus reformasi melanda Indonesia telah mengubah landasan politik domestic. Dari yang berhaluan


(43)

otoriter menjadi rezim demokratis. Perubahan sistem politik demokratis disertai juga dengan tuntutan untuk penegakan hukum telah mengubah cara pandang pemerintah baru. Presiden Habibie melihat bahwa Aceh tidak lagi dianggap sebagai musuh bangsa Indonesia, melainkan saudara kandung Bangsa Indonesia (Ali, 2008:197).

Pada Mei 1998, muncul gerakan anti-militer dan anti-Jakarta. Di tengah situasi politik yang tidak berpihak pada TNI dan di tengah derasnya tuntutan pengungkapan tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan TNI di Aceh selama era Soeharto, Panglima ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) Jendral Wiranto berusaha untuk meraih kembali kepercayaan masyarakat dengan mencabut status DOM di Aceh pada 7 Agustus 1998. Di samping pencabutan status DOM, Jendral Wiranto juga meminta maaf atas perilaku individu TNI selama masa DOM. Lalu setelah itu Presiden Habibie pun ketika berkunjung ke Aceh pada Maret 1999 juga meminta maaf atas apa yang telah dilakukan oleh TNI (Aspinal & Crouch, 2003:6). Perubahan dalam pendekatan untuk menyelesaikan konflik pada era Habibie mengubah pendekatan penyelesaian konflik yang dilakukan pada Orde Baru yakni

security approach menjadi prosperity approach.

Presiden Habibie juga memberikan amnesti kepada sejumlah tahanan politik yang terkait dengan GAM, menyalurkan bantuan dana untuk anak yatim dan janda korban konflik serta memberikan kesempatan kepada anak-anak mantan anggota GAM untuk menjadi pegawai negeri. Pada masa pemerintahan Habibie juga disahkan Undang-undang No.44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Undang-undang tersebut memberikan otonomi dan


(44)

kewenangan khusus kepada Aceh hanya di bidang pendidikan, agama, adat, dan peran ulama. Pada masa pemerintahan Habibie inilah titik kebijakan soft power dalam

resolusi konflik di Aceh berawal yang kelak juga akan digunakan pada pemerintahan setelah Habibie. Namun demikian, Habibie sendiri tidak pernah sempat menindaklanjuti kebijakannya yang lebih menekankan pada kesejahteraan karena masa kepemimpinannya yang singkat.

Pada Oktober 1999, Habibie digantikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, yang dikenal sebagai orang yang memiliki komitmen kuat terhadap demokrasi dan pluralisme. Pada masa kepemimpinannya Gus Dur menawarkan kepada Aceh tiga opsi, yakni otonomi total (total autonomy) ,

pembagian pendapatan 75% dan 25% antara Aceh dan Jakarta, dan status provinsi istimewa (Aspinal & Crouch, 2003:9). Pada masa kepemimpinan Gus Dur untuk pertama kalinya sejak konflik Aceh dimulai pada tahun 1976, Indonesia bersedia mengadakan dialog dan perundingan dengan GAM yang difasilitasi oleh Henry

Dunant Center (HDC), sebuah lembaga swadaya masyarakat berkedudukan di

Jenewa, Swiss. Hasil dari perundingan tersebut berakhir dengan ditandatanganinya dokumen Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh pada 12 Mei 2000

yang berisi antara lain kesepakatan kedua belah pihak untuk menghentikan kekerasan di Aceh.

Terjadinya perundingan Jeda Kemanusiaan ini menghadirkan perkembangan penting dalam konflik Aceh, baik bagi Indonesia maupun GAM. Bagi Indonesia perundingan ini adalah yang pertama sejak 23 tahun resolusi konflik Aceh dilakukan


(45)

dengan jalan militer. Karena adanya paradigm baru dalam resolusi konflik di Aceh yakni melalui jalan perundingan, bagi Indonesia sendiri adalah pilihan politik yang terbaik. Sementara bagi GAM, perundingan Jeda Kemanusiaan memberi tiga arti penting bagi profil gerakan mereka. Pertama, dari tataran kelembagaan, perundingan tersebut dinilai sebagai langkah strategis dalam konteks perlawanan terhadap Pemerintah Pusat. Kenyataan GAM duduk satu meja dengan Pemerintah Indonesia secara resmi menyodorkan suatu realitas politik baru yaitu eksistensi GAM sebagai “entitas politik” diakui oleh pemerintah Indonesia. Kedua, dari tataran internasional. GAM berharap perundingan Jeda Kemanusiaan dapat membangaun citra GAM di mata dunia. Terlebih perundingan ini difasilitasi oleh lembaga internasional, GAM berharap bahwa perundingan ini dapat dijadikan sebgai kendaraan untuk membuat isu aceh mendunia, dengan harapan masyarakat internasional memberikan dukungannya kepada GAM. Ketiga, dari tataran taktis. Jeda Kemanusiaan digunaan oleh GAM untuk memperluas pengaruhnya di Aceh. Dengan diberhentikannya kekerasan, GAM yang secara militer jauh lebih lemah dari TNI justru mendapat kesempatan untuk memperluas basis dukungan di kalangan penduduk local dan mengkonsolidasikan kekuatan militernya. (Huber, 2008 dalam Aguswandi & Large, 2008:17).

Ketika GAM memanfaatkan Jeda Kemanusiaan untuk konsolidasi organisasi dan perluasan pengaruhnya, TNI dan Polri malah diimbau untuk tidak melakukan tindakan ofensif. Sikap TNI dan Polri yang tidak ofensif sesuai dengan imbauan itu dimanfaatkan GAM untuk meningkatkan kegiatan militernya. Hal inilah yang pada akhirnya memicu kembali kekerasan antara TNI/Polri dan GAM, sehingga samapi


(46)

pada akhir Jeda Kemanusiaan pada Januari 2001, kekerasan tetap saja terjadi. Dapat dikatakan selama tahun 2000 implementasi Jeda Kemanusiaan mengalami kegagalan. Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan gagalnya Jeda Kemanusiaan ini. Pertama, karena tidak adanya kepercayaan dari kedua belah pihak yang berkonflik. Kedua, Jeda Kemanusiaan ini hanya mengatur tentang aspek keamanan dari konflik Aceh, yaitu penghentian kekerasan dan operasi militer. Dan ketiga, tidak adanya komitmen pada level aparat di lapangan terhadap kesepakatan penghentian kekerasan. Gagalnya implementasi Jeda Kemanusiaan meberikan indikasi bahwa perundingan damai dengan GAM tidak aan berjalan baik tanpa ada dukungan dari TNI dan Polri.

Naiknya Megawati Soekarnoputri ke kursi Presiden pada Juli 2001 merupakan titik balik peran TNI dalam pentas politik nasional dalam konteks resolusi konflik Aceh. Komitmen politik Presiden Megawati yang nasionalis dan sangat menekankan pada integritas wilayah menjadikan resolusi konflik di Aceh pun bergeser kembali menjadi hard power (operasi militer) dan soft power (pemberi

otonomi luas) secara bersamaan dalam periode yang sama. Kedua kebijakan itu dijalankan secara berbarengan untuk menekan GAM mau menerima otonomi luas seperti yang ditawarkan oleh pusat (Aspinal & Crouch, 2003:26).

Strategi pemerintah yang mengkombinasikan hard power dan soft power

dalam waktu yang bersamaan ternyata memang membuahkan hasil. Dapat dikatakan, pendekatan kombinasi seperti ini, pada tingkat tertentu, telah “memaksa” GAM untuk mau berunding lagi. Hal ini terlihat dari kesediaan GAM untuk berunding kembali dengan Pemerintah Pusat untuk yang kedua kalinya. Pada 9 Desember 2002 tercapai


(47)

kesepakatan Cessation of Hostilities Agreementi/COHA, yang isinya antara lain

mengatur tentang demiliterisasi kedua belah pihak, penyaluran bantuan kemanusiaan dan pembangunan kembali fasilitas yang rusak akibat perang. Namun, kesepakatan COHA ini juga tidak bertahan lama dikarenakan kedua belah pihak masing-masing memiliki interpretasi tersendiri terhadap COHA.

Perbedaan interpretasi seperti ini membuat pelaksanaan di lapangan menjadi sulit, sehingga mudah memancing kedua belah pihak kembali melakukan kekerasan. Kesulitan implementasi ini diperparah lagi oleh tidak singkronnya sikap antara aparat di lapangan dan elit TNI/Polri maupun antar petinggi TNI/Polri sendiri serta minimnya dukungan politik dari militer (Tempo, 5 Juli 2009:66).

Presiden Megawati akhirnya menandatangani darurat militer di Aceh pada 19 Mei 2003. Hal ini yang mengawali hard power dalam resolusi konflik Aceh.

Keberanian Presiden Megawati dalam menerapkan darurat militer ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, pemerintahannya merasa sudah menunjukkan kepada khalayak Indonesia dan dunia internasional bahwa Pemerintah sudah cukup banyak member kesempatan kepada GAM untuk merundingkan kembali tuntutan merdeka dengan menerima otonomi yang sudah sangat luas, namun GAM tidak menunjukkan tanda-tanda untuk melepas tuntutan kemerdekaannya. Kedua, Megawati merasa “aman” secara politik dengan keputusan darurat militernya karena keputusan tersebut didukung oleh TNI/Polri, DPR, serta opini publik dan media massa (Aspinal & Crouch, 2003:45).


(48)

Perubahan pendekatan dalam resolusi konflik Aceh menemukan momentum baru ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) memenangi Pemilu Presiden pada 2004. Secara umum dapat dikatakan bahwa selama era SBY-JK, resolusi konflik Aceh dilakukan dengan soft power atau dengan cara damai.

Setidanya ada dua faktor yang mendorong digunakannya soft power selama era

SBY-JK.

Pertama, faktor politik. Pemilu Presiden 2004 adalah pemilu presiden pertama dalam sejarah politik Indonesia yang dilakukan secara langsung oleh rakyat. Naiknya SBY-JK ke tampuk kekuasaan melalui pemilu langsung menandai mulainya era baru dalam politik nasional Indonesia, yaitu sistem politik yang lebih demokratis. Sistem politik yang demokratis ini memberi pengaruh yang signifikan dalam cara Pemerintahan SBY-JK menyikapi konflik Aceh. SBY-JK yang terpilih melalui proses demokrasi langsung menunjukkan sikap politik yang lebih mengedepankan cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik.

Kedua, faktor personal, yaitu terkait dengan sikap politik SBY-JK secara pribadi dalam melihat konflik Aceh. Dimulainya pendekatan soft power dalam

resolusi konflik Aceh didorong oleh kenyataan yang diyakini SBY-JK yang percaya bahwa konflik Aceh hanya bisa diselesaikan melalui dialog dan perundingan (Aspinal, 2005:66).

E. Upaya Perdamaian Dari Crisis Management Initiative

Sejak berlangsungnya pernyataan Keadaan Bahaya oleh Megawati seperrti yang dinyatakan di atas, sekitar satu tahun lebih setelah itu, lebih tepatnya 25


(49)

Desember 2004 terjadi bencana gempa dan Tsunami di Aceh yang menggemparkan dunia internasional yang menyebabkan sekitar 230.000 jiwa meninggal dunia, 36.786 jiwa hilang, dan 174.000 jiwa tinggal di tenda pengungsian. Sekitar 120.000 rumah hancur, 800 km jalan dan 260 jembatan rusak, 639 fasilitas kesehatan hancur serta 2.224 sekolah hancur. Sejak peristiwa itu pula organisasi-organisasi international mulai masuk ke Aceh untuk memberikan bantuan kepada korban Tsunami. Walaupun pada awalnya perhatian dunia internasional lebih tertuju kepada bantuan kemanusiaan, akan tetapi lama kelamaan dialihkan kepada bantuan secara politik, yaitu mengusahakan perdamaian antara RI dan GAM yang berkonflik selama kurang lebih 30 tahun (Kawilarang, 2010:177).

Adapun salah satu organisasi internasional yang turut memberikan bantuan baik sosial ataupun politik di Aceh adalah Uni Eropa. Kontribusi Uni Eropa terhadap proses perdamaian Aceh, telah dimulai sejak terjadinya bencana Tsunami. Dalam kurun beberapa jam setelah terjadinya Tsunami, Uni Eropa segera merespon dengan memberikan bantuan darurat, disusul beberapa hari kemudian dengan bantuan tambahan untuk kesehatan dasar, sistem peringatan dini epidemik dan bantuan psikososial bagi para korban. Sampai Januari tahun 2006, Komisi Eropa telah menyediakan dana sebesar 60 juta Euro untuk bantuan kemanusiaan Aceh (Pardo, 2012).

Program bantuan kemanusiaan ini dilanjutkan dengan komitmen Komisi Eropa dan negara anggota Uni Eropa untuk mendukung terciptanya perdamaian dan pembangunan Aceh setelah konflik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.


(50)

Komisi Eropa dan negara-negara anggota Uni Eropa masing-masing telah menjanjikan sebesar 285 juta Euro dan 670 juta Euro untuk digunakan sebagai bantuan kemanusiaan, rekonstruksi dan proses perdamaian di Aceh (Pardo, 2012). Dana tersebut antara lain diberikan kepada CMI (Crisis Management Initiative) untuk

membiayai perundingan damai di Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM.

CMIadalah sebuah lembaga independen yang mempunyai misi meningkatkan

kapasitas manajemen komunitas internasional untuk pencegahan krisis dan melakukan rehabilitasi pasca konflik. Dalam mediasi konflik Aceh ini dalam catatan yang diterbitkan oleh CSIS oleh Hamid Awaluddin (2008), baik GAM maupun Pemerintah RI yang yang sedang bersengketa bersama-sama sepakat untuk menunjuk CMI sebagai mediator dalam proses perdamaian. Negosiasi yang menjadi pusat perhatian internasional ini dilakukan dalam lima putaran yang terpisah selama delapan bulan.

Setelah melalui proses negosiasi yang panjang, pada 15 Agustus ditandatanganilah Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) di

Helsinski yang menghasilkan kesepakatan sebagai berikut ; a) Penyelenggaraan Pemerintahan Khusus di Aceh, b) Menyelenggarakan Hak Azasi Manusia, C) Amnesti dan Reintegrasi Mantan Kombatan ke dalam Masyarakat, d) Pengaturan Keamanan, e) Pembentukan Misi Monitoring Aceh, f) Penyelesaian Perselisihan.

Salah satu langkah mendesak yang dilaksanakan seusai ditandatanganinya MoU Helsinski adalah pembentuan Aceh Monitoring Mission (AMM) atau Misi


(51)

para pihak yang bersepakat dalam MoU Helsinski. Dalam MoU Helsinski pasal 5 ayat 1 disebutkan

Misi Pemantau Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan Negara-negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan

komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.”

Sebagai wujud kegembiraan terhadap perundingan damai, warga Aceh melakukan pawai keliling sambil memukul rapa-i-pase sebagai simbol perang telah

dihentikan, sementara mantan anggota GAM melaukan konvoi keliling Aceh dengan menggunakan kendaraan roda dua. Dari pihak pemerintah, meski penarikan pasukan atau aparat keamanan non-organik dilakukan satu bulan setelah Nota Kesepahaman ditandatangani, penarikan pasukan dilakukan lebih cepat bahkan sebagian telah dipulangkan sebelum Nota Kesepahaman ditandatangani. Demikian juga dengan pihak GAM. Puluhan anggota GAM memutuskan untuk turun gunung terlebih dahulu begitu mendengar kesepakatan Nota Kesepahaman ditandatangani meskipun perintah demobilisasi dilaksanakan tanggal 15 September 2005.


(52)

BAB III

Aceh Monitoring Mission

A. Profil Aceh Monitoring Mission

Aceh Monitoring Mission (AMM) merupakan misi sipil yang terdiri dari para pemantau dari Negara-negara Uni Eropa dan Negara-negara ASEAN serta Norwegia dan Swiss. Sesuai dengan MoU Helsinski Pasal 5 butir 8, Anggota-anggotanya tidak dipersenjatai dan terdiri dari orang-orang yang dianggap memiliki keahlian dan kompetensi beragam yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas dalam misi ini. Kendati misi sipil, bukan berarti AMM menolak keanggotaan militer. Anggota yang memiliki keterkaitan dengan teknis kemiliteran.

AMM memiliki perbedaan dengan lembaga monitoring yang dibentuk Henry

Dunant Centre (HDC), untuk memantau implementasi damai, HDC membentuk Joint

Security Commitee (JSC) yang memiliki tugas : a) memformulasikan proses

implementasi kesepakatan. b) memonitor situasi keamanan di Aceh. c) melakukan investigasi secara penuh terhadap kekerasan keamanan. d) memperbaiki situasi keamanan dan memberikan sanksi. e) meyakinkan tidak adanya kekuatan paramiliter baru. f) mendesain dan mengimplementasikan proses demiliterisasi. Struktur dari JSC adalah pejabat-pejabat senior yang ditunjuk sebagai wakil Pemertintah dan GAM dan seorang pihak ketiga (HDC) yang disetujui kedua belah pihak. Kemudian untuk memutuskan perselisihan yang muncul di lapangan, dibentuk Joint Council (JC) yang


(53)

Berdasarkan pengalaman sebelumnya dari hasil HDC, Marti Ahtisari memasukkan AMM dalam kesepakatan damai yang harus direalisasikan dan menjadikan Uni Eropa sebagai lembaga monitoring yang juga mengikutsertakan ASEAN. Karena itu kemudian dalam Nota Kesepahaman damai dibentuk kerjasama Eropa – ASEAN sebagai pihak yang akan memonitor kesepakatan damai di Aceh. Bentuk kerjasama tersebut dicantumkan dalam artikel 5 dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM.

Kerjasama yang terjalin antara Uni Eropa dan ASEAN dinilai sebagai sesuatu hal yang tidak lazim, tetapi terbukti efektif (Grevi, 2005:5). Namun sebenarnya, keterlibatan ASEAN harusnya dilihat sebagai institusi regional antara Negara-negara di wilayah Asia Tenggara dan Indonesia adalah salah satu anggotanya. Keterlibatan Uni Eropa karena ASEAN memiliki konsep kerjasama ASEAN Community Security

dengan beberapa negara, diantaranya Uni Eropa.

AMM memiliki mandat yang tercantum dalam MoU Helsinki pasal 5.2 yaitu untuk : a) memantau demobilisasi GAM dan decommissioning persenjataannya, b)

memantau relokasi tentara dan polisi non-organik, c) memantau reintegrasi anggota-anggota GAM yang aktif ke dalam masyarakat, d) memantau situasi hak asasi manusia dan memberikan bantuan dalam bidang HAM, e) memantau proses perubahan peraturan perundang-undangan, f) memutuskan kasus-kasus amnesti yang disengketakan, g) menyelidiki dan memutuskan kasus-kasus amnesti yang disengketakan, h) menyelidiki dan memutuskan pengaduan dan tuduhan pelanggaran


(54)

terhadap MOU Helsinski, i) membentuk dan memelihara hubungan dan kerjasama yang baik dengan para pihak.

Sesuai dengan mandat yang terdapat dalam MoU Helsinki, AMM seharusnya sudah berada di Aceh sejak hari pertama MoU Helsinki diberlakukan yaitu pada tanggal 15 Agustus 2005. Namun, karena ada keterlambatan dari Uni Eropa, AMM baru berada di Aceh secara resmi pada tanggal 15 September 2005. Misi ini berlangsung dari 15 september 2005 hingga 15 Juni 2006 (aceh-mm.org), dan kemudian diperpanjang oleh Uni Eropa hingga pelaksanaan Pemilihan kepada daerah (Pilkada), namun tidak melebihi 15 September 2006, seperti yang ditetapkan dalam pertemuan Komisi Uni Eropa di Brussels, Kamis, 11 Mei 2006 (Kompas, 2006). Namun terkait dengan tertundanya pelaksaan Pilkada, tugas AMM akhirnya diperpanjang hingga 15 Desember 2006 (aceh-mm.org).

B. Struktur AMM

AMM diketuai oleh seorang warganegara Belanda, Pieter Feith. Anggota AMM terdiri dari 220 orang, 120 orang dari Eropa dan sisanya dari Negara-negara ASEAN (Brunei Darussalam, Malaysia, Philipina, Singapura, dan Thailand). Jumlah total staf AMM adalah 231 orang. Ketua AMM dibantu oleh tiga deputi, masing-masing dari Thailand, Finlandia dan India. Kepala staf AMM berasal dari Eropa, sementara deputinya Philipina. Secara umum, struktur AMM, seperti departemen atau unitdikepalai oleh anggota dari negara-negara Eropa dengan deputi dari negara ASEAN. Penunjukan anggota dari negara Eropa debagai kepala unit atau departemen


(55)

dimaksudkan sebagai upaya untuk menghadirkan rasa kepercayaan, terutama dari pihak GAM, terhadap lembaga AMM. Pembagian kerja ini menunjukkan adanya komitmen dan kerjasama yang baik antara Eropa dan ASEAN (Grevi, 2008). Untuk jelasnya lihat tabel dibawah ini.

Tabel III.B.1 Personel Internasional di AMM

Ketua AMM didampingi empat penasehat, meliputi penasehat politik, hukum, penasehat khusus dan seorang yang memiliki tanggung jawab sebagai liaison

dengan Presiden Uni Eropa. Departemen yang paling luas adalah departemen ASEAN

Brunei 20

Malaysia 20

Philipina 17

Singapura 15

Thailand 21

Total 93

Eropa

Austria 3

Denmark 8

Finlandia 15

Perancis 5

Jerman 11

Irlandia 1

Italia 1

Lithuania 2

Belanda 9

Spanyol 10

Swedia 25

Ingggris 9

Uni Eropa 2

Norwegia 4

Swiss 2


(1)

mendukung terciptanya perdamaian di Aceh. Penghargaan ini diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada hari Jumat tanggal 18 Agustus 2006 di Istana Merdeka (Serambi Indonesia, 2006).

B. Saran

Bagi wilayah atau daerah yang tengah mengalami proses damai, keberadaan pihak ketiga yang bertugas memonitor proses perdamaian sangatlah penting keberadaannya banyak proses damai yang gagal akibat ketiadaan lembaga yang mengontrol. Berbagai insiden di Aceh walaupun kecil bisa saja menjadi ancaman yang serius jika tidak ada lembaga yang serius dalam menangani kasus yang ada. Karena itulah sikap optimis terhadap keberlangsungan perdamaian di Aceh harus tetap ditunjukkan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Adli. 2011. Membedah Sejarah Aceh. Aceh: Bandar Publishing. Aspinall, Edward. 2005. The Helsinski Agreement : A More Promising Basis for Aceh

Peace ? Policy Studies 20. Washington: East West Centre.

Awaludin, Hamid. 2008, Damai di Aceh, Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki, CSIS.

Bennet, Le Roy A. 1997. International Organizations : Principles and Issues. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Charles W . Kegley dan Eugene Wittkopf. 2004. World Politics: Trend and Transformation. California: Wadsworth.

Fahri Ali, Suharso Monoarfa, & Bahtiar Effendi.2008.Kalla dan Perdamaian Aceh.Jakarta: Lspeu.

Hadi, Syamsul dkk,. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru. CIRes, FISIP UI: Yayasan Obor. Jakarta.

Hass, Michael.1969. International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research and Theory.dalam James N Rosenau. Newyork: The Free Pers.

Hauss, Charles. 2001. International Conflict Resolution: International Relations for the 21st Century. London & New York: Continum.

Hoffman, Stanley. 1998, “A World of Complexity” dalam Douglas J.Murray dan Paul Viotti, The Defense Policies of Nations: A Comparative Study, Lexington: Lexington Books.

Hugh Miall, Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse, 1999. Contemporary Conflict Resolution Cambridge: Polity Press.

Husain, Farid. 2011. Keeping Trust for Peace: Kisah dan Kiat Menumbuhkembangkan Damai di Aceh. Jakarta: Rajut Publishing.

Ibrahimy, M. Nur El. 2001. Peranan Teungku M. Daud Beureureh dalam Pergolakan Aceh. Aceh : Media Dakwah.


(3)

James A. Wall, Jr, Mediation, a Current Review and Theory Development Columbia: University of Missouri.

Jill Steans & Lloyd Pettiford. 2009. International Relations: Perspective and Themes, England: Pearson Education Limited.

John J.Marsheimer, 1995. The Promise of Liberalism, A Comparative Analysis of Consensus Politics, London: Darmouth Publishing.

John W Creswell, 1994, Research Design Qualitative and Quantitative Approaches. United Kingdom: Sage Publications.

J. Lewis Rasmussen, 1997. Peacemaking in the Twenty-First Century: New Rules,

New Roles, New Actors”. Washington D.C: USIP.

Kawilarang, Harry. 2008. Aceh Dari Sultan Iskandar Muda Ke Helsinki.Aceh: Bandar Publishing.

Kriesberg, Louis. 1998. Constructive Conflict; From Escalation to Resolution. Lanham: Rowman and Littlefield Publisher.

Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Mas’oed, Mohtar, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi Dictionary, Jakarta:LP3ES.

M. Hasyim. 1995, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Lembaga Peneliti UI. Paul R.Viotti dan Mark V.Kauppi. 1990, International Relations Theory: Realism,

Pluralism, Globalism, and Beyond. New York: Allyn & Bacon.

Reid, Anthony, 2005, Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, Yayasan Obor, Jakarta. R. Michael Feener & Partick Daly. 2011.Memetakan Masa Lalu Aceh. Jakarta:

Pustaka Larasan.

Santosa, Kholid O. 2011. Jejak-jejak Sang Pejuang Pemberontak, Pemikiran, Gerakan dan Ekspresi Politik S.M. Kartosuwiryo dan Daud Beureureh, SegaArsy.


(4)

Studi Hubungan Internasional. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Smith, Calvin. 2000. Facilitating „Perspectival Reciprocity‟ in Mediation: Some Reflection on a Failed Case.Springer.

Syamsuddin Haris, et.al. 1999. Indonesia di Ambang Perpecahan ?. Jakarta: Erlangga.

Laporan dokumen dan surat kabar

Awaludin, Hamid. 2008. Damai di Aceh, Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinski. CSIS.

Boutros Boutros-Ghali, 1992. An Agenda for Peace. New York: United Nations. BRR dan Mitra Internasional.”Aceh dan Nias Satu Tahun Setelah Tsunami, Upaya

Pemulihan dan Langkah ke Depan”, Desember 2005.

BRR dan Mitra Internasional “Aceh dan Nias Dua Tahun Setelah Tsunami”, Desember 2006.

ICG Asia Report, Aceh : Kenapa Kekuatan Militer Tidak akan Membawa pada Perdamaian Kekal, No. 17, 12 Juni 2001.

ICG Asia Report, Aceh : Perdamaian yang Rapuh. No. 17, 12 Juni 2001. ICG Asia Report, Aceh : So Far So Good, No. 44, 3 Desember 2005. Nurrohman. 2006. Hukum Islam di Era Demokrasi: Tantangan dan Peluang bagi

Formalisasi Syariat Islam di Indonesia. Islamic Studies. Bandung. Nota Kesepahaman Pemerintah RI dan GAM

Schulze, Kristen E. 2004. The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization. Policy Studies 2. Washington.

Surat Kabar Harian Jakarta Post Surat Kabar Harian Kompas Surat Kabar Harian Republika

Surat Kabar Harian Serambi Indonesia Tabloid Mingguan Kontras

Tabloid Seumike The Post-conflict Fund


(5)

Time Magazine Tim Peneliti LIPI INTERNET

46 senjata api ilegal berhasil disita pasca-MoU, Jumat 20 April 2007. Tersedia di internet : diunduh tanggal 12 Februari 2013.

http://www.acehkita.com/?dir=news&file=detail&id=1793

Aspinal, Edward. Pada Akhirnya Perdamaian Terjadi ?. Tersedia di internet :

Diunduh tanggal 13 Februari 2013.

http://www.acheheye.org/data_files/bahasa_format/analysis_bhs/analysis_insi deind/analysis_insideind_2006/analysis_insideind_2005_08_00_01.html

Burdock, Daniel. Prospek Perdamaian. Tersedia di internet : diunduh tanggal 4

Maret 2013.

http://www.acheheye.org/data_files/bahasa_format/analysis_bhs/analysis_insi deind/analysis_insideind_2006/analysis_insideind_2006_04_06_01.html

GAM Menolak Sejumlah Pasal UUPA, 2 Agustus 2006. Tersedia di internet : diunduh tanggal 3 Maret 2013. http://www.kompas.com

Herrberg, Ance. (2012), Brussels “di belakang layar‟ Proses Perdamaian Aceh, tersedia di internet; diunduh tanggal 10 November 2012. http://www.c-r.org/our-work/accord/aceh/bahasa/backstage.php

Kebijakan Uni Eropa dalam membentuk AMM, tersedia di internet; diunduh tanggal 9 Juni 2012. http://www.delidn.ec.europa.eu/en/newsroom/aricle-060227 ID.pdf

Mawardi, Dr.Ir.Moch.Ikhwanuddin, (2005), Strategi Dasar Penanganan Daerah Konflik di Indonesia, tersedia di internet; diunduh tanggal 10 November 2012.

http://www.pda-undp.tripod.com/plenary52.pdf.

Pasca MoU, Kriminalitas meningkat. 1 Juni 2006, tersedia di internet : di unduh tanggal 3 Maret 2013. http://www.acehkita.com

Pemantau Perdamaian Aceh, Januari 2007 Interpeace mulai bertugas, tersedia di internet: di unduh tanggal 12 Februari 2013. http://www.acehkita.com

Situs resmi Aceh Monitoring Mission. Tersedia di Internet; diunduh pada tanggal 9 Juni 2012 http://www.aceh-mm.org/indo/amm_menu/about.html


(6)

TNI Dukung Perundingan di Helsinski, Pernyataan Panglima TNI Endriartono, 13 April 2005. Tersedia di internet: di unduh tanggal 3 Maret 2013.

http://www.kompas.com

Kejayaan Aceh dan Politisasi Syariat Islam,Tersedia di internet: di unduh tanggal 3 Maret 2013.