Implication of Stocking Milkfish (Chanos chanos) on Plankton Consumption in Ir H Djuanda Reservoir, West Java

(1)

IMPLIKASI PENEBARAN IKAN BANDENG

(

Chanos chanos

) DALAM PEMANFAATAN PLANKTON

DI WADUK IR. H. DJUANDA, JAWA BARAT

TRIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Implikasi Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) dalam Pemanfaatan Plankton di Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka, di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2010

Triyanto


(4)

ABSTRACT

TRIYANTO. Implication of Stocking Milkfish (Chanos chanos) on Plankton

Consumption in Ir. H. Djuanda Reservoir, West Java. Under the supervision of M. MUKHLIS KAMAL and NIKEN T.M. PRATIWI.

The study was aimed to evaluate the success of stocking of milkfish based on ability and effectiveness in the food consumption of the available plankton and fish growth. The study was conducted in December 2009-February 2010 at 4 stations representing all zones of Djuanda reservoir. Station 1 is a riverine zone located on Bojong, Station 2 is a transition zone located on Astap-Ancol, Station 3 is a lacustrine zone, located on Main DAM-Pasir Kole, and Station 4 is an area of fish culture at the floating cages located on Cilalawi-Ubrug. The fishes caught by experimental gillnet with the mesh sizes from 1, 11/2, 2 and 21/2 inches at intervals

times of every ±10 days. The results showed that stocking of milkfish got success based on food consumption and fish growth. The milkfish was able to use the available plankton as its food. The main food of milkfish based on Index of Preponderance were phytoplankton (35.2-56.42%) and zooplankton (12.22-42.8%). No differences in the food consumption by the fishes at each size class of fish length and between location (ANOVA:P>0.05). Food consumption by the fishes followed the availability of plankton as a food on the water. The dynamics of change of food consumption that happened as according to availability of plankton as its food. The growths of milkfish which occur quite rapidly at 0.26-1.1%/day with the rate of increase in daily length reach 0.2-2.1 mm/day. The coefficient of growth (K) was 4.2/year. The stocking of milkfish in Djuanda reservoir was represent one of the effort on management of fishery resources in inland water which showed the good result.


(5)

RINGKASAN

TRIYANTO. Implikasi Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) dalam Pemanfaatan Plankton di Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. Dibimbing oleh M. MUKHLIS KAMAL dan NIKEN T.M. PRATIWI.

Plankton dalam ekosistem waduk berperan penting dalam produktivitas suatu perairan dan merupakan sumber pakan alami yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan-ikan yang ada di perairan. Pemanfaatan plankton oleh ikan-ikan yang ada di Waduk Ir.H. Djuanda (Waduk Djuanda) saat ini belum berlangsung optimal. Penebaran ikan bandeng bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan ketersediaan pakan alami yang melimpah. Ketersediaan dan kemudahan dalam pengadaan benih ikan bandeng dalam jumlah yang besar dan nilainya yang ekonomis serta kemampuannya untuk beradaptasi di perairan tawar menjadi faktor pilihan utama dalam penebaran ikan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keberhasilan penebaran ikan bandeng, berdasarkan kemampuan dan efektivitasnya dalam pemanfaatan plankton yang tersedia dan pertumbuhan ikan tersebut.

Penelitian dilakukan di empat lokasi mewakili semua zona perairan waduk. Stasiun 1 di daerah Bojong (zona riverine), adalah daerah yang mendapat pengaruh dari pemasukan air Sungai Citarum dan Waduk Cirata. Stasiun 2 di daerah Ancol-Astap (zona transisi). Stasiun 3 di daerah dekat DAM-Pasir Kole (zona genangan utama). Stasiun 4 di Cilalawi-Ubrug (zona budidaya ikan di KJA). Penelitian dilakukan pada Desember 2009 sampai Februari 2010 dengan interval waktu setiap ±10 hari sekali. Pengambilan sampel ikan bandeng dilakukan menggunakan alat tangkap experimental gillnet dengan ukuran mata jaring, 1, 11/2, 2, dan 21/2inchi. Panjang setiap jaring adalah 35 m dengan tinggi

jaring 2 m. Penangkapan ikan dilakukan dari pagi sampai sore hari.

Parameter kualitas air yang diukur meliputi parameter físika (suhu, kedalaman, kecerahan, dan turbiditas), kimia (pH, DO, TN, TP, dan NH4), dan

biologi (klorofil-a, komposisi dan kelimpahan plankton). Sampel ikan bandeng yang tertangkap di setiap stasiun penelitian diukur panjang total dan beratnya kemudian saluran pencernaan ikan diambil untuk keperluan analisis makanan. Data dianalisis secara deskriptif quantitatif meliputi distribusi sebaran ukuran ikan bandeng, komposisi dan kelimpahan plankton, kebiasaan makan dan makanan ikan serta kondisi kualitas perairan pada setiap stasiun penelitian. Evaluasi keberhasilan penebaran ikan bandeng berdasarkan pada analisis makanan dan kebiasaan makan, kesesuaian jenis makanan yang dimakan dengan ketersediaan sumber makanan, pemilihan makanan, dan efektivitas pemanfaatan makanan, serta pertumbuhan ikan.

Hasil penelitian menunjukkan distribusi sebaran ikan bandeng terdapat pada semua zona di perairan Waduk Djuanda. Total hasil tangkapan ikan bandeng mencapai 1.093 ekor dengan kisaran panjang total 11-32 cm dan berat tubuh berkisar antara 10-264 gram. Terdapat dua kelompok ukuran panjang yaitu kelompok pertama dengan nilai tengah ukuran panjang 14,9±1,4 cm (populasi dugaan 246 ekor) dan kelompok ukuran kedua adalah 24,8±2,9 cm (populasi dugaan 824 ekor).


(6)

Penebaran ikan bandeng di Waduk Djuanda menunjukkan hasil yang baik. Ikan bandeng yang diintroduksikan mampu memanfaatkan plankton yang tersedia sebagai makanannya. Berdasarkan analisis saluran pencernaan, ikan bandeng dapat memanfaatkan plankton yang tersedia sebagai makanannya. Makanan utama ikan bandeng terdiri dari kelompok fitoplankton (35,2-56,42%), zooplankton (12,22-42,8%), serta kelompok makanan lain-lain (10,92-34,99%) yang terdiri dari detritus, serasah tumbuhan, cacing, dan insekta.

Berdasarkan nilai luas relung makanan dan nilai efektivitas pemanfaatan makanan tidak terdapat perbedaan pemanfaatan makanan pada setiap kelas ukuran panjang ikan dan antar stasiun penelitian (ANOVA; P>0,05). Pemanfaatan makanan oleh ikan bandeng antar ukuran ikan bandeng dan lokasi penelitian menunjukkan tingkat pemanfaatan yang sama. Dinamika perubahan pemanfaatan makanan yang terjadi sesuai dengan ketersediaan makanan yang ada.

Keberhasilan penebaran ikan bandeng terkait dengan pemanfaatan plankton sebagai makanannya ditunjukkan dengan pertumbuhan ikan bandeng yang cukup pesat. Laju pertumbuhan spesifik mencapai 0,26-1,1%/hari dengan pertambahan panjang harian mencapai 0,2-2,1 mm/hari. Dugaan parameter pertumbuhan K mencapai 4,2/tahun.

Hasil pengukuran kondisi kualitas perairan secara keseluruhan masih mendukung untuk kehidupan ikan bandeng. Peristiwa umbalan yang terjadi setiap tahun, teramati pada pertengahan Januari 2010 ditandai dengan rendahnya konsentrasi DO dan tingginya kandungan NH4. Umbalan terjadi dimulai pada

daerah Stasiun 1, Stasiun 2 sampai ke daerah genangan utama perairan waduk (Stasiun 3). Selama penelitian berlangsung tidak terjadiumbalan pada Stasiun 4. Berdasarkan kandungan TN, TP, dan klorofil-a, Waduk Djuanda masih tergolong dalam perairan yang eutrofik. Analisis komponen utama dan matrik korelasi, menunjukkan beberapa parameter lingkungan memiliki korelasi dengan populasi ikan bandeng yaitu DO, suhu, kecerahan, turbiditas, NH4, klorofil-a, dan

kelimpahan zooplankton.

Pertumbuhan ikan bandeng yang paling tinggi terdapat di Stasiun 4. Berdasarkan ketersediaan makanan, efektivitas pemanfaatan makanan, luas relung makanan, faktor kondisi, dan koefisen pertumbuhan, serta faktor kualitas air di Stasiun 4 juga menunjukkan nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Stasiun 4 memiliki zona litoral yang luas dengan ketersediaan makanan serta faktor kualitas perairan yang mendukung dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan lokasi yang ideal bagi penebaran ikan bandeng berikutnya. Selain faktor ketersediaan makanan dan kualitas perairan, beberapa hal lain yang perlu diperhatikan dalam penebaran ikan bandeng adalah proses adaptasi salinitas dan penentuan sintasan hidup pada awal penebaran. Hal tersebut sangat penting dilakukan untuk meningkatkan sintasan penebaran dan mengetahui tingkat adaptasi ikan pada lingkungan yang baru sehingga populasi ikan bandeng yang hidup di perairan waduk dapat diprediksi dengan baik.


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

IMPLIKASI PENEBARAN IKAN BANDENG

(

Chanos chanos

) DALAM PEMANFAATAN PLANKTON

DI WADUK IR. H. DJUANDA, JAWA BARAT

TRIYANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010


(9)

Judul Tesis : Implikasi Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) dalam Pemanfaatan Plankton di Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat

Nama : Triyanto

NIM : C251070091

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(10)

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis yang menjadi syarat bagi penulis untuk memperoleh gelar magister sains ini adalah mengenai implikasi dari penebaran ikan bandeng (Chanos chanos) dalam pemanfaatan plankton di Waduk Ir.H. Djuanda, Jawa Barat. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. dan Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. sebagai Komisi Pembimbing atas arahan dan masukannya dalam pembimbingan.

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga, selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP) SPs IPB-Bogor.

Almarhum Dr. Ir. Sutrisno Sukimin, DEA., yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukkan dalam perencanaan penelitian.

Prof.Dr.Ir. M.F. Rahardjo, DEA. dan Dr. Kardio Praptokardio atas bimbingan dan saran serta motivasi yang diberikan selama penulis melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB-Bogor.

Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA., atas saran dan masukan yang diberikan dalam ujian akhir untuk kesempurnaan tesis ini.

Pimpinan LIPI melalui Bapak Sekertaris Utama-LIPI yang telah memberikan kesempatan kepada penulis melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB-Bogor melalui karyasiswa LIPI.

Dr.Ir. Gadis Sri Haryani, selaku Kepala Pusat Penelitian Limnologi-LIPI dan Dr. Tri Widiyanto, M.Si., selaku Kepala Bidang Produktivitas Perairan Darat Pusat Penelitian Limnologi-LIPI yang telah memberikan ijin dan memberikan dukungannya kepada penulis untuk melanjutkan studi.

Dr. Ir. Didik Wahju Hendro Tjahjo, selaku Kepala Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan - KKP atas bantuan sarana penelitian yang diberikan.

Ibu Sri Endah Purnamaningtyas S.Pi., Mujiyanto, M.Si., Hatma, Pak Waino, dan segenap staf di Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan-KKP yang telah membantu dalam penelitian di lapangan.

Dr.Ir. Fatuchri S. dan Ir. Masykur selaku penanggung jawab kegiatan penebaran ikan bandeng di Waduk Djuanda atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti kegiatan tersebut dan bantuan pendanaan dalam pengambilan sampel di lapangan.

Pak Dedeng, Pak Dadang, Pak Hasan dan para nelayan yang tergabung dalam Kelompok Nelayan Harapan Jaya, Desa Cibinong Purwakarta yang telah banyak membantu dalam penelitian di lapangan.

Segenap keluarga: Ayah, ibu, istri, putra-putra penulis, dan rekan-rekan di Puslit Limnologi-LIPI, rekan-rekan mahasiswa SDP SPs IPB-Bogor, serta pihak lain yang turut membantu, penulis mengucapkan terimakasih atas dukungan dan bantuannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2010


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 September 1971, sebagai anak ke tiga dari empat bersaudara, dari pasangan ayahanda Salikun BA dan Turyati. Pada tahun 1993 menyelesaikan studi di Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta program Diploma III Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Perairan. Pada tahun yang sama bekerja sebagai staf teknis di PT. Seafer General Food (SGF) sebuah perusahaan nasional yang bergerak di bidang budidaya udang windu di Kendal Jawa Tengah. Pada tahun 1995 melanjutkan studi S1 di Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan dan lulus pada tahun 1998.

Pada tahun 1999 penulis bekerja sebagai staf peneliti bidang produktivitas perairan darat Puslit Limnologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dengan jabatan terakhir sebagai peneliti muda. Pada tahun 2007 mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi S2 pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

1. PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan dan Manfaat .. ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Deskripsi Perairan Waduk Djuanda ... 5

Komunitas Plankton ... 7

Bioekologi Ikan Bandeng ... 9

Makanan dan Kebiasaan Makan ... 11

Pertumbuhan ... 13

3. METODE PENELITIAN ... 15

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 15

Penebaran Ikan Bandeng ... 15

Alat dan Bahan ... 16

Metode Pengumpulan Data ... 17

Analisis Data ... 19

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

Kondisi Perairan Waduk Djuanda ... 27

Kelimpahan Plankton ... 36

Distribusi Kelompok Ukuran Ikan Bandeng ... 39

Makanan dan Kebiasaan Makan Ikan Bandeng ... 43

Kesesuaian Jenis Makanan Ikan Bandeng dengan Ketersediaan Jenis Makanan ... 49

Pertumbuhan Ikan Bandeng ... 53

Efektivitas Pemanfaatan Makanan ... 60

Implikasi Penebaran Ikan Bandeng ... 63

Upaya Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Waduk Djuanda berdasarkan Penebaran Ikan Bandeng ... 67

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Parameter, alat, dan metode pengukuran dalam penelitian ... 18 2. Nilai rata-rata kualitas perairan pada setiap stasiun penelitian di Waduk

Djuanda Desember 2009-Februari 2010 ……….……….. 28

3. Nilai tengah ukuran panjang total dan dugaan populasi ikan bandeng yang terbentuk dari analisis Bhattacarya di Waduk Djuanda Desember

2009-Februari 2010 ………. 42

4. Indeks bagian terbesar (IP:%) kelompok makanan ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010 ………... 45 5. Tingkat kesamaan pemanfaatan kelompok jenis makanan berdasarkan

indeks tumpang tindih relung makanan pada kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember-Februari 2010 ... 52 6. Hubungan panjang berat, pola pertumbuhan, dan faktor kondisi ikan

bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010 ... 54 7. Variabel penentu keberadaan ikan bandeng pada setiap stasiun penelitian


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Diagram kerangka pendekatan masalah ... 3 2. Peta lokasi penelitian di Waduk Djuanda ... 16 3. Tinggi muka air rata-rata Waduk Djuanda Tahun 2006-2009 (PJT II

2009) ……… 27

4. Perkembangan parameter físika perairan Waduk Djuanda pada setiap stasiun penelitian Desember 2009-Februari 2010 …... 30 5. Perkembangan parameter kimia perairan Waduk Djuanda pada setiap

stasiun penelitian Desember 2009 Februari 2010 ………... 32 6. Grafik analisis komponen utama antara varibel lingkungan ikan

bandeng dan sebaran lokasi penelitian di Waduk Djuanda ... 35 7. Hasil analisis kluster yang memperlihatkan kedekatan antara stasiun

penelitian berdasarkan variabel lingkungan, populasi ikan, dan kelimpahan plankton di Waduk Djuanda ... 35 8. Kelimpahan fitoplankton (sel/L) dan zooplankton (ind./L) di perairan

Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010 ………... 37 9. Komposisi kelimpahan fitoplankton (%) dan zooplankton (%) di

perairan Waduk Djuanda periode Desember 2009-Februari 2010 …….. 38 10. Distribusi sebaran ukuran kelas panjang total ikan bandeng di Waduk

Djuanda Desember 2009-Februari 2010 ………. 39

11. Sebaran ukuran panjang total minimum, panjang total maksimum dan panjang total rata-rata ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember

2009-Februari 2010 ………..………... 41

12. Sebaran berat minimum, berat maksimum, dan berat rata-rata ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010 ... 42 13. Pengelompokan ukuran panjang total ikan bandeng di Waduk Djuanda

pada periode Desember 2009-Februari 2010 ……... 43 14. Presentase kelompok makanan utama ikan bandeng di Waduk Djuanda

Desember 2009-Februari 2010 ………... 44 15. Indeks bagian terbesar (IP:%) kelompok makanan uatama berdasarkan

kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember

2009-Februari 2010 ………..………. 47

16. Indeks bagian terbesar (IP:%) jenis makanan berdasarkan kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010 ………... 48


(16)

17. Nilai rata-rata luas relung makanan berdasarkan kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda Bulan Desember 2009-Februari 2010. 50 18. Pertambahan panjang total rata-rata ikan bandeng yang tertangkap di

Waduk Djuanda dengan alat tangkap eksperimental gillnet Desember 2009-Februari 2010 ... 53 19. Hubungan panjang berat ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember

2009-Ferbruari 2010 ... 55 20. Parameter pertumbuhan dan pola pertumbuhan ikan bandeng pada

setiap stasiun penelitian di Waduk Djuanda Desember 2009- Februari

2010 ………. 57

21. Pola pertumbuhan ikan bandeng berdasarkan sebaran frekuensi panjang di Waduk Djuanda pada setiap stasiun penelitian Desember-Februari

2010 ………. 58

22. Pola pertumbuhan ikan bandeng berdasarkan nilai koefisien pertumbuhan (K) di Waduk Djuanda pada Desember 2009-Februari

2010 ………..……… 59

23. Perbandingan nilai efektivitas pemanfaatan makanan berdasarkan kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember

2009-Februari 2010 ..……….……… 61

24. Grafik analisis komponen utama antara variabel penentu yang mencirikan keberadaan ikan bandeng di Waduk Djuanda ... 70


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Hasil pengukuran kualitas perairan pada setiap stasiun penelitian di

Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010 ……… 81 2. Analisis komponen utama (PCA: Principal Components Analysis)

antara varibel lingkungan ikan bandeng dan sebaran lokasi penelitian di Waduk Djuanda ... 83 3. Kelimpahan plankton di perairan Waduk Djuanda pada permukaan

perairan Desember 2009 - Februari 2010 ... 85 4. Indeks bagian terbesar (IP:%) kelompok jenis makanan ikan bandeng di

Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010 ... 93 5. Analisis sidik ragam (Anova) luas relung makanan antar kelompok

ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember

2009-Februari 2010 ………... 95

6. Nilai indeks pemilihan makanan masing-masing jenis makanan ikan bandeng berdasarkan stasiun penelitian di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010 ... 96 7. Nilai indeks pemilihan makanan masing-masing jenis makanan

berdasarkan kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda

Desember 2009-Februari 2010 ………. 97

8. Perhitungan Uji t untuk nilai b sama dengan tiga dalam hubungan panjang berat ikan bandeng di Waduk Djuanda ……… 101 9. Efektivitas pemanfaatan makanan berdasarkan kelas ukuran panjang

ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010 ... 102 10. Analisis sidik ragam (Anova) Efektivitas pemanfaatan makanan

berdasarkan kelas ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda

Desember 2009-Februari 2010 ………. 103

11. Analisis sidik ragam (Anova) indeks bagian terbesar (IP:%) kelompok makanan ikan Bandung di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010 ... 104 12. Analisis sidik ragam (Anova) indeks bagian terbesar (IP:%) kelompok

makanan berdasarkan kelompok ukuran panjang ikan bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010 ... 105 13. Analisis komponen utama (PCA: Principal Components Analysis)

antara varibel penentu yang mencirikan keberadaan ikan bandeng di Waduk Djuanda ... 107


(18)

14 Kegiatan penelitian implikasi penebaran ikan bandeng dalam pemanfaatan plankton di Waduk Djuanda ... 108


(19)

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanfatan perairan Waduk Ir. H. Djuanda (Waduk Djuanda) dalam budidaya ikan di keramba jaring apung dan berbagai aktivitas manusia lainnya, telah memberikan dampak terhadap perubahan kualitas perairan waduk. Sisa pakan ikan yang berasal dari kegiatan budidaya ikan dalam KJA dan berbagai limbah antrofogenik telah menyebabkan perairan waduk mengalami proses eutrofikasi. Perairan waduk yang subur menyebabkan kelimpahan plankton tinggi. Status trofik Waduk Djuanda saat ini tergolong eutrofik-hipertrofik (Nastiti et al. 2001; Kartamihardja & Krismono 2003).

Kelimpahan plankton yang tinggi berperan penting dalam produktivitas suatu perairan serta merupakan sumber pakan alami yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan-ikan yang ada di perairan. Pemanfaatan plankton oleh ikan-ikan yang ada di Waduk Djuanda saat ini belum berlangsung optimal. Estimasi potensi produksi ikan di waduk tersebut berdasarkan produktivitas primer fitoplankton adalah sebesar 1.646 ton/tahun, sedangkan produksi hasil tangkapan ikan aktual pada tahun 2002 sebesar 425 ton. Potensi produksi ikan berdasarkan produktivitas primer perairan waduk masih jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan produksi hasil tangkapan ikan aktual (Kartamihardja & Krismono 2003; Kartamihardja 2007).

Untuk keperluan pengelolaan perikanan sejak tahun 1965 telah dilakukan kegiatan introduksi beberapa jenis ikan, seperti ikan gurame (Osphronemus gouramy), mas (Cyprinus carpio), tawes (Barbonymous gonionotus), nila (Oreochromis niloticus), nilem (Osteochilus hasellti), mujair (O. mossambicus), dan tambakan (Helostoma teminncki) (Sarnita 1982), dan pada Juli 2008 telah ditebar kurang lebih 2 juta ekor ikan bandeng (Chanos chanos) dengan ukuran panjang total rata-rata 5,7 cm dan berat rata-rata 1,3 gram (DKP-ACIAR 2009).

Tujuan dari penebaran ini adalah untuk meningkatkan produktivitas perikanan dengan memanfaatkan relung makanan yang belum dimanfatkan oleh jenis ikan yang ada di perairan waduk. Menurut Sukimin (2004), hal yang paling penting dalam kegiatan peningkatan perikanan (fisheries enhancement) adalah


(20)

menjaga kelestarian sumberdaya perairan dengan memperhitungkan daya dukung perairannya serta menggunakan jenis-jenis ikan yang dapat memanfaatkan tingkat trofik (trophic level) dari rantai makan yang terdapat dalam ekosistem perairan tersebut.

Penebaran ikan bandeng bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan ketersediaan pakan alami yang melimpah. Ketersediaan dan kemudahan dalam pengadaan benih ikan bandeng dalam jumlah yang besar dan nilainya yang ekonomis serta kemampuannya untuk beradaptasi di perairan tawar menjadi faktor pilihan utama dalam penebaran ikan tersebut (DKP-ACIAR 2007; Kartamihardja 2009).

Perumusan Masalah

Permasalahan yang terjadi di Waduk Djuanda sehubungan dengan kondisi perairan yang mengalami proses penyuburan adalah adanya kelimpahan plankton yang tinggi dan belum termanfaatkan oleh komunitas ikan yang ada. Hal ini disebabkan karena tingkat pemanfaatan plankton berdasarkan aliran energi melalui mekanisme rantai makanan tidak berlangsung secara efisien. Komunitas ikan yang ada belum sepenuhnya memanfaatkan sumberdaya pakan yang berasal dari plankton. Hal tersebut jelas terlihat dari estimasi potensi produksi ikan berdasarkan produktivitas primer yang tinggi, sedangkan produksi hasil tangkapan ikan aktual yang ada masih lebih rendah. Untuk meningkatkan pemanfaatan plankton yang tersedia diperlukan introduksi atau penebaran ikan pemakan plankton.

Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan planktivora dengan pakan utamanya adalah fitoplankton. Penebaran ikan bandeng di Waduk Djuanda merupakan salah satu upaya dalam memanfaatkan kelimpahan plankton tersebut. Untuk mengetahui keberhasilan atau efektivitas penebaran ikan tersebut perlu dilakukan kajian terhadap pemanfaatan plankton yang terjadi melalui kebiasaan makanan. Untuk lebih jelasnya alur pendekatan masalah tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.


(21)

Gambar 1. Diagram kerangka pendekatan masalah

Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keberhasilan penebaran ikan bandeng dalam pemanfaatan plankton di perairan Waduk Djuanda. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam merumuskan bentuk pengelolaan dan pemanfaatan Waduk Djuanda dan perairan umum lainnya yang subur/eutrof sehubungan dengan pemanfaatan plankton yang melimpah melalui penebaran ikan pemakan plankton.


(22)

(23)

2. TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Perairan Waduk Djuanda

Waduk Djuanda merupakan salah satu waduk di Jawa Barat yang dibangun di bagian tengah Sungai Citarum dengan sumber airnya berasal dari Waduk Cirata. Waduk Djuanda memiliki luas 8.300 Ha dengan ketinggian sekitar 110 mdpl (di atas permukaan laut). Kedalaman rata-rata waduk ini adalah 35,59 m dengan kedalaman maksimum 97 m. Fluktuasi tinggi muka air antara 92,9-106,8 mdpl atau sekitar 13,9 m/tahun. Volume air yang masuk ke waduk berkisar antara 83,76-221,87 m3/detik, sedangkan air yang keluar dari waduk berkisar antara 112,97-197,84 m3/detik. Pada bagian hulu Waduk Djuanda terdapat Waduk Cirata (6.200 Ha) dan Waduk Saguling (5.340 Ha), sehingga tiga waduk ini membentuk waduk berjenjang/cascade (PJT II 2002 dalam Kartamihardja 2007)

Sumber air Waduk Djuanda berasal dari Sungai Citarum dan Cilalawi. Berdasarkan sumber air yang masuk Krismono (1989) mengemukakan pembagian Waduk Djuanda yaitu: (1) wilayah pemasukan sungai Citarum, (2) wilayah pemasukan sungai Cilalawi, serta (3) wilayah tengah merupakan wilayah yang terletak jauh dari sumber pemasukan air sungai sehingga wilayah tersebut relatif lebih stabil. Menurut Straskraba dan Tundisi (1999) secara umum ekosistem waduk dapat dibagi menjadi tiga zona yaitu zona mengalir (riverine), zona transisi, dan zona perairan tenang (lacustrine).

Waduk Djuanda berfungsi serbaguna yaitu sebagai pembangkit tenaga listrik (PLTA), pengendali banjir, irigasi, sumber air minum, pariwisata dan perikanan. Pada kegiatan perikanan, usaha yang paling mendominasi adalah kegiatan budidaya ikan di keramba jaring apung (KJA). Dalam perkembangannya kegiatan budidaya di KJA terus meningkat. Pada tahun 2000 tercatat jumlah KJA sebanyak 2.537 unit (Husen 2000) dan menurut data terakhir tahun 2006 jumlah KJA telah mencapai 4.577 unit (DKP-ACIAR 2007).

Pemanfatan perairan Waduk Djuanda untuk budidaya ikan di KJA, telah memberikan dampak terhadap perubahan kualitas perairan waduk. Sisa pakan ikan merupakan beban limbah organik yang diterima perairan waduk dengan


(24)

jumlah yang cukup besar. Nastiti et al. (2001) mengestimasi besarnya beban N dan P yang berasal dari kegiatan KJA di Waduk Djuanda yaitu sebesar 36.531,3 ton/tahun dan 33.968,4 ton/tahun. Masukan bahan organik yang besar tersebut telah menyebabkan perairan waduk mengalami proses eutrofikasi.

Status trofik Waduk Djuanda tergolong eutrofik-hipertrofik (Nastiti et al. 2001; Kartamihardja & Krismono 2003). Akibat penambahan nutrien yang melimpah telah menyebabkan kelimpahan fitoplankton meningkat. Kelimpahan fitoplankton di Waduk Djuanda sangat tinggi yaitu 91.000-2,9 x 106 sel/L dengan biomassa sebesar 800-1600 mg/m2. Komposisi kelimpahan fitoplankton terdiri dari kelas Chlorophyceae, Cyanophyceae, Bacillariphyceae, dan Dinophyceae, dengan kelimpahan yang tertinggi adalah dari kelas Cyanophyceae

(Kartamihardja & Krismono 2003; Umar et al. 2004).

Komunitas ikan di Waduk Djuanda terdiri dari ikan-ikan yang berasal dari perairan setempat dan ikan-ikan introduksi yang sengaja ditebarkan ke perairan waduk atau yang secara tidak sengaja masuk ke dalam perairan waduk. Ikan-ikan asli yang ada merupakan ikan-ikan asli dari Sungai Citarum dan Sungai Cilalawi serta sungai-sungai lain yang aliran airnya terhubung dengan perairan waduk. Sarnita (1982) melaporkan terdapat 23 jenis ikan asli dari Sungai Citarum yang terdapat di perairan Waduk Djuanda. Dalam perkembangannya jenis-jenis ikan asli tersebut mulai berkurang jumlah dan jenisnya. Menurut Krismono (2000) pada tahun 1987 dilaporkan hanya 14 jenis ikan asli yang masih terdapat di Waduk Djuanda.

Komposisi jenis ikan di Waduk Djuanda saat ini didominasi oleh ikan-ikan introduksi, baik yang memang sengaja di tebar atau masuk melalui benih ikan budidaya yang selanjutnya lepas dan berkembang di perairan waduk. Hasil penelitian Kartamihardja (2007); Nurnaningsih (2004) menunjukkan ikan oskar (Amphilophus ctrinellus), bandeng (Chanos chanos), kongo (Parachromis managuensis), dan nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan-ikan yang saat ini banyak dijumpai di perairan waduk.

Pemanfaatan plankton oleh komunitas ikan yang ada di perairan waduk sebagai sumber pakan masih dapat ditingkatkan. Hasil penelitian Kartamihardja (2007) memperlihatkan bahwa potensi produksi ikan (1.646 ton/tahun) masih


(25)

lebih besar dibandingkan dengan hasil tangkapan aktual (425 ton). Menurutnya kelimpahan dan biomassa fitoplankton yang tinggi di Waduk Djuanda sangat potensial untuk pengembangan perikanan tangkap, yaitu dengan memanfaatkan transfer efisiensi trofik dari biomassa fitoplankton menjadi biomassa ikan dengan melakukan penebaran ikan pemakan plankton.

Penebaran ikan sehubungan dengan kegiatan pengelolaan perikanan di Waduk Djuanda telah dilakukan sejak tahun 1965 melalui introduksi beberapa jenis ikan, seperti ikan gurame (Osphronemus gouramy), mas (Cyprinus carpio), tawes (Barbonymous gonionotus), nila (O. niloticus), nilem (Osteochilus hasellti), mujair (O. mossambicus), dan tambakan (Helostoma teminncki) (Sarnita 1982). Pada tahun 2008 dilakukan penebaran ikan bandeng sebanyak kurang lebih 2 juta ekor oleh Departemen Kelautan dan Perikanan-RI. Penebaran ikan bandeng ini bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan ketersediaan pakan alami (plankton) yang melimpah.

Ikan bandeng telah dibudidayakan di perairan tawar, seperti di Philipina pada tahun 1979 (Liao & Chen 1986; Shang 1986), di Taiwan pada tahun 1982 (Shang 1986), dan mulai dilakukan di Indonesia pada sekitar tahun 2000 (DKP 2005). Ikan bandeng telah hidup dan beradaptasi di lingkungan perairan Waduk Djuanda. Awalnya ikan tersebut dipelihara dalam keramba jaring apung, namun dalam perkembangannya ada ikan yang lepas dan selanjutnya hidup dalam perairan waduk. Hasil penelitian Nurnaningsih (2004) mendapatkan ikan bandeng merupakan jenis ikan yang paling banyak tertangkap pada bulan Mei-Oktober 2003. Distribusi ukuran ikan bandeng yang tertangkap juga bervariasi yaitu dengan panjang 90-370 mm dan bobot ikan 6-310 gram. Penyebaran ikan bandeng di Waduk Djuanda juga cukup luas meliputi zona riverine sampai ke zona lacustrine (Kartamihardja 2007).

Komunitas Plankton

Plankton merupakan mikroorganisme yang hidup di perairan, tawar, payau maupun laut. Berdasarkan jenisnya plankton dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah mikroorganisme tumbuhan yang hidup melayang di perairan dan dapat berfotosintesis,


(26)

sedangkan zooplankton adalah mikroorganisme hewan dapat bergerak aktif di perairan dan tidak dapat berfotosintesis (Molles 2005).

Plankton di Waduk Djuanda terdiri dari fitoplankton dan zooplankton. Komunitas fitoplankton yang ada terdiri dari kelas Chlorophyceae,

Cyanophyceae, Bacillariphyceae, dan Dinophyceae, dengan kelimpahan yang tertinggi adalah dari kelas Cyanophyceae (Kartamihardja & Krismono 2003; Umar et al. 2004). Zooplankton di Waduk Djuanda termasuk dalam kelas

Crustacea, terdiri atas tujuh genera yaitu Cyclops, Diaptomus, Daphnia,

Diaphanosama, Brachionus, Keratella dan Polyartha. Komposisi genera zooplankton yang ada saat ini masih sama dengan yang ditemukan pada tahun 2001, zooplankton yang selalu ditemukan adalah Cyclops, Polyarthra, dan

Keratella, dengan kelimpahan rata-rata zooplankton berkisar antara 524-1438 ind./L (Kartamihardja 2007).

Fitoplankton merupakan dasar di dalam rantai makanan pada ekosistem perairan (danau dan laut), sebagai produsen yang menduduki tingkat trofik pertama. Sebagai produsen primer, fitoplankton memiliki peranan penting dalam siklus energi. Transfer energi akan berlangsung melalui mekanisme rantai makanan dari tingkat trofik pertama ke tingkat trofik berikutnya (William & Martinez 2004; Angelini et al. 2006). Fitoplankton akan dimangsa oleh zooplankton yang kemudian akan dimangsa oleh ikan atau predator lainnya, mengantarkan energi dan materi ke jenjang trofik yang lebih tinggi. Menurut Brussaard et al. (1996), fitoplankton mengandung karbon dan nutrien dalam bentuk fraksi partikulat yang sangat penting dalam aliran energi, sebagai sumber karbon dan nutrien organik pada ekosistem perairan. Hasil penelitian Cole et al. (2006) menunjukan adanya asupan sumber nutrien secara nyata yang berasal dari DOC (Dissolve Organic Carbon) dan POC (Particulat Organic Carbon) ke dalam jejaring makanan dalam mensuplai produksi zooplankton dan invertebrata benthik, aliran karbon dimanfaatkan oleh zooplankton sebesar 33-73% dan 20-50% dimanfaatkan untuk produksi ikan.

Penelitian mengenai jejaring makanan dilakukan untuk menggambarkan transfer energi yang berlangsung dalam perairan serta untuk mengestimasi besaran produktivitas suatu perairan. Melalui transfer energi ini potensi produksi ikan


(27)

dalam suatu perairan danau atau waduk dapat diestimasi melalui pendekatan produktivitas primer (Arner et al. 1998; Hakanson & Gyllenhammar 2005; Kartamihardja 2007). Van Dam et al. (2002), menyatakan bahwa produksi ikan pada kolam ekstensif dan semi intensif akan meningkat sepuluh kali lebih tinggi jika produksi primer yang tersedia dapat dimanfaatkan secara langsung oleh ikan herbivora.

Mekanisme rantai makanan pada suatu perairan juga dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengelolaan biota melalui manipulasi dalam jaring-jaring makanan yang ada dalam suatu perairan. Seperti yang dilakukan Hunt et al. (2003) yang melakukan kontrol blooming dari cyanobacterial dengan menggunakan Australian gudgeon (Hypseleotris spp.) di Danau Maroon-Queensland. Hasil percobaannya menunjukkan pengaruh yang sangat signifikan antara biomassa zooplankton dan kelimpahan ikan, dimana kelimpahan zoolankton (Ceriodaphnia dan Calanoid copepods) meningkat pada kondisi kelimpahan ikan rendah atau tidak ada ikan sama sekali dan total fitoplankton menurun pada kondisi kelimpahan Oocystis dan Dictyosphaerium meningkat dengan kelimpahan ikan yang rendah.

Bioekologi Ikan Bandeng

Ikan bandeng atau dikenal dengan nama umum milkfish adalah salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis di beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Philipina, Thailand, dan Taiwan (Shang 1986; Garcia 1990; Bagarinao 1994). Ikan bandeng termasuk ke dalam kelas Osteicthyes, famili Chanidae dan Genus Chanos. Ikan bandeng sudah lama dapat dibudidayakan, umumnya pada kolam/tambak air payau, keramba jaring apung di laut (Liao & Chen 1986; Garcia 1990; Mansyur & Tonnek 2003), dan di danau-danau dangkal yang berair tawar dengan sistem pen di Philipina dan Taiwan (Liao & Chen 1986).

Ikan bandeng dicirikan oleh bentuk tubuh yang elongated, atau kompres, berbentuk seperti torpedo. Sirip ekornya bercabang (forked), pada bagian tubuhnya terdapat susunan sisik kecil yang teratur berbentuk cycloid. Tubuhnya


(28)

berwarna putih keperakan, terutama pada bagian perut (ventral), sedangkan pada bagian punggung (dorsal) warnanya biru kehitaman. Garis linea lateralis jelas terlihat memanjang dari bagian belakang tutup insang sampai ke pangkal ekor. Ikan bandeng dewasa dapat mencapai bobot 4-14 kg dengan panjang 50-150 cm (Garcia 1990; Bagarinao1994; Gotanco & Menez 2004).

Ikan bandeng merupakan ikan euryhaline yang dapat beradaptasi pada kisaran salinitas yang luas, dapat hidup di perairan tawar, payau, dan laut (Gordon & Hong 1986). Di alam ikan bandeng banyak dijumpai di daerah pantai dan pulau-pulau di daerah tropik di Indo-Pasifik (Bagarinao 1994). Kelimpahan tertinggi terdapat di daerah Asia Tenggara dan sebelah Barat perairan Pasifik. (Gordon & Hong 1986; Garcia 1990). Ikan bandeng hidup di berbagai tipe habitat, meliputi perairan pantai, muara, kawasan mangrove, laguna, daerah pasang surut (tidal flats), sungai dan daerah berarus (streams). Ikan bandeng umumnya hidup di daerah litoral pantai sepanjang masa hidupnya (Gordon & Hong 1986).

Pada beberapa laporan, ikan bandeng dewasa dapat dijumpai di perairan tawar, seperti di danau-danau berbagai tipe di Philipina, Indonesia, dan Papua Nugini (Rabanal and Rongillo 1975 dalam Gordon & Hong 1986; Gotanco & Menez 2004), dan di sungai besar dekat dengan pantai di Madagaskar, dengan jarak kurang lebih 150 km dari pantai (Therizen 1976 dalam Gordon & Hong 1986). Ikan bandeng dewasa yang ada di perairan tawar tidak mengalami perkembangan gonad atau tidak matang gonad (Bagarinao 1994). Reyes (1978)

dalam Garcia (1990) melaporkan bahwa ikan bandeng dewasa di Danau Naujan dan Taal di Philipina yang telah dikenal sebagai daerah habitat bagi ikan bandeng dewasa, ikan tersebut tidak mengalami matang gonad (immature). Pematangan gonad akan berlangsung dalam waktu singkat ketika mereka kembali ke laut untuk memijah (Lee 1986; Bagarinao 1994).

Siklus hidup ikan bandeng dimulai dari telur yang berasal dari pemijahan yang berlangsung di laut terbuka dekat dengan pantai pada kedalaman 10-40 m, dengan dasar perairannya dapat berupa pasir atau koral (Garcia 1990; Gordon & Hong 1986). Telur ikan bandeng melayang, bersifat pelagis dengan diameter 1,10-1,25 mm. Massa inkubasi telur sampai menetas berlangsung antara 20-25


(29)

jam pada suhu 26-32oC dan salinitas 29-34 ppt (Garcia 1990). Setelah 2-3 minggu larva yang bertahan hidup dalam jumlah besar mendiami pantai yang bersih dengan dasar pasir. Larva tersebut dimanfaatkan sebagai sumber benih dalam kegiatan budidaya bandeng, yang dikenal dengan istilah “nener bandeng”. Setelah beberapa hari larva bandeng kembali ke laut, kemudian berkembang menjadi juvenil dalam kurun waktu 1-2 minggu. Juvenil bandeng selanjutnya memasuki perairan pantai, muara-muara sungai, kawasan mangrove, laguna, dan rawa, beberapa diantaranya memasuki perairan tawar, seperti sungai dan danau (Bagarinao 1994). Juvenil kemudian berkembang menjadi ikan-ikan remaja dan kembali ke laut terbuka. Ikan mengalami matang gonad pada umur 5-6 tahun. Selanjutnya ikan-ikan dewasa akan hidup di perairan laut dan siap untuk memijah (Gordon & Hong 1986).

Makanan dan Kebiasaan Makan

Makanan merupakan faktor penting yang harus tersedia dalam suatu perairan. Ketersediaan makanan merupakan faktor yang menentukan kepadatan populasi, pertumbuhan, reproduksi, dan dinamika populasi serta kondisi ikan yang ada di suatu perairan (Efendie 1997). Makanan alami bagi ikan dapat berupa fitoplankton, zooplankton, ikan, tanaman air, hewan dasar (organisme benthik) ataupun detritus, tergantung dari kategori jenis ikan, yaitu herbivora, karnivora, omnivora, dan detritifora.

Ikan bandeng adalah ikan herbivora (Garcia 1990). Jenis makanan ikan bandeng bervariasi tergantung dari stadia hidup dan habitatnya. Ikan bandeng dewasa di alam memiliki jenis makanan utama yang terdiri dari organisme benthik dan planktonik. Makanan utama tersebut terdiri dari gastropoda, lamellibranchia, foraminifera, alga filamen, diatom, copepoda, nematoda, dan detritus (Santiago 1986; Gordon & Hong 1986; Garcia 1990).

Menurut Kinoshita (1981) dalam Garcia (1990), larva bandeng umumnya memakan copepod dan diatom. Larva dan juvenil bandeng yang terdapat di pantai dan di daerah litoral memakan organisme benthik, epifitik dan planktonik, yang umumnya terdiri dari diatom dan bluegreen algae, dan terkadang nematoda dan


(30)

larva crustacea (Kumagai et al. 1985; Santiago 1986; Bagarinao 1981 dalam

Garcia 1990).

Ikan bandeng yang dibudidayakan di tambak umumnya memakan klekap (lab-lab), yaitu zat hidup komplek yang terdiri dari asosiasi antara bluegreen algae, diatom, dan hewan invertebrata, serta lumut (alga hijau berfilamen). Menurut Santiago (1986) dan Garcia (1990) klekap atau lab-lab merupakan komposisi biologi komplek dari hewan dan tumbuhan mikrobenthik yang berasosiasi dengan lumpur di dasar kolam. Komponen tumbuhan dapat terdiri dari berbagai tipe bakteri, alga berfilamen dari bluegreen algae dan green algae

serta diatom. Komponen hewan dapat terdiri dari protozoa, copepoda, ostracoda, nematoda, moluska, dan crustacea. Menurut Tang dan Hwang (1966) dalam

Santiago (1986) dari banyak studi kebiasaan makanan menunjukan bahwa kelompok bluegreen algae dan benthik diatom adalah jenis makanan yang paling disukai oleh seluruh kelompok umur ikan bandeng yang dipelihara di tambak air payau.

Studi kebiasaan makanan ikan bandeng di perairan tawar seperti sungai, danau dan waduk belum banyak dilaporkan. Menurut Nurnaningsih (2004) makanan ikan bandeng di Waduk Djuanda, terdiri dari Cyanophyceae, Bacillariophyceae, Dinophyceae, potongan tanaman, dan serasah dengan komposisi makanan yang paling tinggi adalah dari kelompok Bacillariophyceae

yaitu sebesar 45%. Menurut Tjahjo dan Purnamaningtyas (2009) fitoplankton dan zooplankton menjadi makanan utama di Waduk Djuanda pada bulan September 2008-Januari 2009.

Ikan bandeng pada seluruh stadia hidupnya merupakan ikan planktivora, aktivitas makannya adalah pada siang hari (Kumagaiet al. 1985; Gordon & Hong 1986; Garcia 1990). Makanan dimakan dengan cara menyaringnya dari air kemudian masuk ke dalam mulut, dengan menggunakan tapis insang (Gordon & Hong 1986). Penelitian Lückstädt dan Reiti (2003) terhadap kebiasaan makan juvenile bandeng di laguna air payau Kiribati pada siang dan malam hari tidak menunjukan adanya perbedaan. Hasil analisis makanan pada lambung ikan menunjukan jenis makanannya terdiri dari Chloropyhta, Cyanophyceae, Bacillariophyceae, Diatom, Crustace, dan detritus. Menurut Bagarinao (1994)


(31)

perubahan jenis makanan pada stadia juvenil mengikuti metamorfosis yang terjadi, yaitu dari sifat pemakan zooplankton pada fase larva berubah menjadi pemakan benthik selanjutnya berubah menjadi herbivora, detritivora atau omnivora tergantung dari tipe makanan yang dominan di habitatnya.

Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah suatu proses yang terjadi di dalam tubuh organisme yang menyebabkan perubahan ukuran panjang dan berat tubuh dalam periode waktu tertentu. Pertumbuhan ikan merupakan perbedaan antara energi yang masuk dan energi yang keluar, dan energi yang masuk diperoleh dari pakan yang dikonsumsi. Pengetahuan mengenai konsumsi pakan amat diperlukan dalam studi pertumbuhan (Effendie 1997).

Menurut Liao et al. (1979) dalam Garcia (1990) pertumbuhan larva ikan bandeng adalah mengikuti pola sigmoid. Laju pertumbuhan larva berdasarkan data distribusi frekuensi panjang hasil tangkapan larva bandeng di Pulau Panay, Philipina adalah sebesar 0,5 mm/hari (Garcia 1990). Sedangkan Kumagai et al.

(1985) melaporkan laju pertumbuhan juvenil bandeng di Laguna Naburut, Philipina adalah 7-9 mm/minggu, dengan sifat pertumbuhan allometrik positif, dengan persamaan W = 5,0223 x 10-6 L 3,2388 (L = panjang cagak).

Ikan bandeng yang dipelihara di keramba jaring apung di Teluk Awarange Sulawesi Selatan selama 120 hari pemeliharaan memiliki laju pertumbuhan harian mencapai 1,75%/hari dengan pertambahan bobot rata-rata pada akhir penelitian sebesar 500 gram (Kurniati 2003). Ikan bandeng yang dikultur bersama dengan

Gracilariopsis bailinae di kolam dengan kisaran salinitas 17-30 ppt, laju pertumbuhan hariannya mencapai 4,8±0,33%/hari (Alcantara et al. 1999). Menurut Garcia (1990), pertumbuhan ikan bandeng dewasa di alam dapat mencapai 7 cm/tahun untuk ikan betina dan 5 cm/tahun untuk ikan jantan. Schuster (1960) dalam Garcia (1990) menyatakan bahwa laju pertumbuhan ikan bandeng bervariasi tergantung pada ukuran awal ikan yang dipelihara, kelimpahan, iklim, musim, kondisi lingkungan setempat, laju pembalikan massa air, luas kolam, dan kedalaman serta adanya hama dan pemangsa.


(32)

(33)

3. METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Waduk Djuanda, Jatiluhur Jawa Barat pada bulan Desember 2009-Februari 2010. Pengambilan sampel ikan, plankton, dan data kualitas air dilakukan setiap sepuluh hari sekali. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, Cibinong.

Penentuan stasiun penelitian dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa (1) ada keterkaitan distribusi antara ikan bandeng dan plankton, (2) sampel ikan yang diperoleh mewakili populasi ikan bandeng, dan (3) stasiun penelitian mencirikan tipe habitat perairan. Berdasarkan hal tersebut ditetapkan empat stasiun penelitian (Gambar 2) yaitu sebagai berikut:

 Stasiun 1: Bojong dan sekitarnya, merupakan zona riverine, daerah yang mendapat masukan dari aliran air Sungai Citarum dan Waduk Cirata

 Stasiun 2: Astap-Ancol (zona transisi);

 Stasiun 3: daerah genangan utama (zona lacustrine) dekat dengan DAM, dan  Stasiun 4: Cilalawi dan sekitarnya (Zona Budidaya ikan KJA)

Penebaran Ikan Bandeng

Penebaran ikan bandeng di Waduk Djuanda merupakan salah satu program Kementerian Kelautan dan Perikanan RI untuk memanfaatkan sumberdaya pakan alami (plankton) di perairan waduk dan untuk meningkatkan produksi perikanan tangkap. Penebaran ikan tersebut mulai dilaksanakan pada awal bulan Juli sampai Agustus 2008 sebanyak 2 juta ekor dengan ukuran antara 2,5-9,2 cm dan berat 0,1-9,5 gram. Lokasi penebaran pertama ini hanya dilakukan di satu lokasi yaitu di daerah genangan utama waduk meliputi wilayah Pasir Jangkung, DAM/bendungan, Baras Barat, Pasir Canar dan Gabuk. Penebaran berikutnya dilakukan pada Bulan Oktober 2009-Januari 2010 dengan total penebaran sekitar 4 juta ekor dengan kisaran ukuran panjang 1,2-10,5 cm dan berat 0,15-8,5 gram. Lokasi penebaran tersebar di empat zona Waduk Djuanda yaitu zona riverine


(34)

(Galumpit, Bojong, dan Sodong), zona transisi (Ancol, Astap, dan Pasir Kole), zona genangan (Pasir Jangkung, DAM, Pelabuhan Biru, dan Gabrug) dan zona budidaya (Cilalawi, Cibinong, dan DAM Ubrug) (DKP-ACIAR 2009).

Gambar 2 Peta lokasi penelitian di Waduk Djuanda

(Sumber: Peta Rupa Bumi Indonesia, Bakosurtanal 2010)

Alat dan Bahan

Bahan penelitian meliputi sampel ikan bandeng, plankton, dan sampel air yang diperoleh dari hasil pengambilan sampel di lapangan. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah experimental gillnet (jaring insang eksperimen), jaring plankton ukuran mata jaring 40 m, keping Secchi, mistar

ST.3

ST.4 ST.2


(35)

ukur, dan Van dorn bottle sampler volume dua liter untuk pengambilan sampel air, serta alat pengukur kualitas air (Water quality Checker Horiba U-10).

Metode Pengumpulan Data

Pelaksanaan penelitian dilakukan atas dua tahapan, yaitu penelitian di lapangan dan penelitian di laboratorium. Penelitian di lapangan meliputi pengambilan sampel ikan, sampel plankton dan pengukuran beberapa parameter kualitas air. Penelitian di laboratorium meliputi, pengukuran panjang dan bobot ikan, analisis makanan dan kebiasaan makan, identifikasi jenis, penghitungan komposisi, dan kelimpahan serta biomassa plankton, dan analisis beberapa parameter kimia perairan. Untuk menunjang penelitian, dilakukan pengambilan data sekunder meliputi data morfologi dan tinggi muka air waduk, data hasil tangkapan ikan oleh nelayan setempat, serta data lainnya yang terkait.

Pengambilan Sampel Ikan

Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan jaring insang eksperimental menggunakan beberapa ukuran mata jaring (1, 11/2, 2 dan 21/2 inchi). Panjang

masing-masing jaring adalah 35 meter dan tinggi jaring 2 meter. Penangkapan ikan dilakukan pada pagi-sore hari. Jaring di angkat pada interval waktu 2 jam sekali atau sesuai dengan kondisi ikan hasil tangkapan.

Seluruh sampel ikan yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan lokasi penelitian. Setiap sampel ikan yang diperoleh diukur panjang totalnya dengan mistar ukur ketelitian 1 mm dan ditimbang bobotnya dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 1,0 gram. Sampel ikan kemudian diawetkan dengan formalin 10%. Untuk mengetahui tingkat pemanfaatan plankton dan kebiasaan makan dilakukan pengambilan sampel lambung ikan bandeng.

Pengambilan Sampel Plankton

Pengambilan sampel plankton dilakukan dengan cara mengambil sampel air pada bagian permukaan. Sampel air yang diambil sebanyak 10 liter. Air tersebut kemudian disaring dengan menggunakan jaring plankton berukuran mata


(36)

jaring 40 m. Sampel air yang tersaring (19 ml) dimasukan dalam botol koleksi yang berlabel kemudian diawet dengan larutan Lugol 1% sebanyak 5-10 tetes. Sampel plankton kemudian diamati di bawah mikroskop, untuk selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan petunjuk Nedham dan Nedham (1963), Precott (1970), dan Mizuno (1979).

Pengukuran Kualitas Air

Pengukuran kualitas air dilakukan di setiap stasiun penelitian bersamaan dengan pengambilan sampel ikan. Sampel air untuk keperluan analisis kualitas air dimasukan dalam botol sampel 500 ml dan diawetkan dengan es untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium sesuai dengan parameter kualitas air yang akan dianalisis. Parameter kualitas air yang diukur beserta metode dan alat yang digunakan dalam pengukuran disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter, alat dan metode pengukuran dalam penelitian

Parameter Satuan Alat dan Metode Lokasi

Fisika

Suhu oC WQC Horiba U-10 in situ

Kedalaman m Visual,tali berskala in situ

Kecerahan cm Visual, keping Secchi in situ

Kekeruhan NTU WQC Horiba U-10 in situ

Kimia

pH - WQC Horiba U-10 in situ

DO mg/L YSI 550A in situ

TN mg/L Spektrofotometer/metode brucine Lab.

TP mg/L Spektrofotometer/metode ammonium

molybdate

Lab.

NH4-N mg/L Spektrofotometer/metode phenate Lab.

Biologi

Klorofil-a mg/m3 Spektrofotometer/metode

spektrofotometri Lab. Plankton -Fitoplankton -Zooplankton sel/L ind./L

Plankton net/Sedwick Rafter Cell

(APHA 1995)

in situ & Lab.

Ikan ekor Jaring insang eksperimental (1, 11/2, 2,

dan 21/2 inchi) / analisis lambung

in situ & Lab.

-Panjang dan bobot cm dan g Mistar ukur dan timbangan Lab.

-Makanan dan kebiasaan makan


(37)

Pengamatan dan Analisis di Laboratorium

Pengamatan dan analisis di laboratorium dilakukan terhadap sampel yang diperoleh. Pengamatan dan analisis yang dilakukan meliputi, pengukuran panjang total dan bobot ikan, analisis makanan dan kebiasaan makan, serta identifikasi dan penentuan kelimpahan dan komposisi plankton.

Kelimpahan dan Komposisi Plankton

Kelimpahan dan komposisi plankton ditentukan berdasarkan sampel yang diperoleh, meliputi kelimpahan dan komposisi fitoplankton dan zooplankton. Kelimpahan plankton dihitung dengan menggunakan Sedwick Rafter Cell (SRC) menggunakan formula dari APHA (1995), adalah sebagai berikut:

N = n x x x

Keterangan :

N = kelimpahan plankton (fitoplankton: sel/L & zooplankton: ind./L). n = jumlah plankton yang tercacah.

Vd = volume air contoh yang disaring (L).

Vt = volume air contoh yang tersaring (ml).

Vcg= volume SRC (ml).

Ot = luas gelas penutup SRC (mm2).

Op = luasan observasi/pengamatan (mm2).

Analisis Data Kebiasaan Makanan

Kebiasaan makanan ikan bandeng yang tertangkap pada setiap kelas ukuran dianalisis dengan penghitungan indeks bagian terbesar (Index of Preponderance, IP). Perhitungan indeks bagian terbesar merupakan kombinasi dari metode frekuensi kejadian dan metode volumetrik seperti yang dikemukakan oleh Natarajan dan Jhigran dalam Effendie (1979), yaitu sebagai berikut:

Index of Preponderance (IP) = Ii = Vi x O x 100i

 ( Vi x Oi)

1 Vd

Vt

Vcg

Ot


(38)

Keterangan :

IP = indeks bagian terbesar.

Oi = persentase frekuensi kejadian satu macam makanan.

Vi = persentase volume satu macam makanan.

 Vi x Oi = jumlah dari Vi x Oi dari semua macam makanan.

Penentuan makanan utama, makanan pelengkap dan makanan tambahan pada setiap kelas ukuran ikan ditentukan berdasarkan kriteria penilaian yang didasari dari nilai IP. Menurut Nikolsky (1963), kelompok makanan utama memiliki nilai IP lebih besar dari 40%, kelompok makanan pelengkap memiliki nilai IP antara 4%-40% dan kelompok makanan tambahan memiliki nilia IP kurang dari 4%.

Indeks Pilihan Makanan

Indeks pilihan makanan digunakan untuk mengetahui nilai pemilihan makanan pada setiap ukuran ikan terhadap suatu jenis makanan tertentu. Perhitungan indeks pilihan makanan dilakukan berdasarkan perhitungan indeks pilihan (Index of Electivity, Ei) dari Ivlev dalam Effendie (1997); Jobling et al.

(2001) adalah sebagai berikut: Ei =

Keterangan :

Ei = indeks pilihan makanan.

ri = jumlah relatif organisme makanan ke-i yang dimakan.

pi = jumlah relatif organisme makanan ke-i yang ada di dalam perairan.

Luas dan Tumpang Tindih Relung Makanan

Luas relung makanan ikan bandeng pada setiap kelas ukuran yang tertangkap dihitung menggunakan perhitungan indeks Levins’s berdasarkan Krebs (1989). Nilai indeks luas relung berkisar antara 0-1. Nilai indeks yang kecil (mendekati 0) mengindikasikan bahwa ikan hanya memanfaatkan satu atau sangat sedikit jenis makanannya, dan bila nilai indeks besar (mendekati 1)

mengindikasi-ri - pi


(39)

kan bahwa ikan memanfaatkan banyak jenis makanan. Perhitungan luas relung makanan adalah sebagai berikut:

BA = - 1

Keterangan :

BA = indeks luas relung Levin’s yang distandarkan. n = jumlah total jenis makanan yang dimanfaatkan.

Pij = proporsi jenis makanan ke-j yang dimanfaatkan oleh ukuran ikan ke-i.

Tumpang tindih relung makanan ditentukan berdasarkan indeks Morisita, seperti yang dijelaskan oleh Horn (Krebs 1989). Nilai tumpang tindih relung makanan berkisar antara 0-1. Jika nilainya mendekati nol maka tingkat kesamaan makanan kecil dan jika nilainya mendekati satu maka terdapat kesamaan makanan antar kelompok ukuran ikan. Perhitungan tumpang tindih relung makanan adalah sebagai berikut:

Cik =

Keterangan :

Cik= indeks Morisita-Horn dari kelompok ukuran ikan ke-i dan ke-k.

Pij = proporsi makanan ke-j yang dimanfaatkan oleh kelompok ukuran ikan ke-i.

Pkj = proporsi makanan ke-j yang dimanfaatkan oleh kelompok ukuran ikan ke-k.

Efektivitas pemanfaatan makanan

Efektivitas pemanfaatan makanan ditentukan berdasarkan rasio jumlah/biomassa plankton yang dimakan terhadap jumlah/biomassa plankton yang tersedia berdasarkan nilai FR: Foraging ratio (Jacobs 1974 dalam Jobling et al. 2001). Semakin tinggi nilai FR maka menunjukan tingginya efektivitas ikan dalam memanfaatkan makanan.

Efektivitas (FR) = r/p Keterangan :

FR = efektivitas pemanfaatan makanan.

r = jumlah/biomassa plankton yang dimakan.

p = jumlah/biomassa plankton yang tersedia di perairan. 1

n - 1

1

∑Pij2

2 ∑PijPkj


(40)

Pertumbuhan

Beberapa analisis dilakukan untuk mendeskripsikan pertumbuhan ikan bandeng di Waduk Djuanda. Pertumbuhan ikan bandeng dianalisis berdasarkan penghitungan pertumbuhan panjang spesifik dan pertumbuhan panjang harian (Ricker 1979 dalamAlanaraet al. 2001) yaitu sebagai berikut:

SGR = [(ln L2– ln L1) / (t2-t1)] x 100%

DGR = (L2– L1) / (t2-t1)

Keterangan :

SGR = persentase pertambahan bobot spesifik (%/hari). DGR = pertumbuhan panjang harian (mm/hari).

L1 = panjang ikan pada pada pengamatan pertama.

L2 = panjang ikan pada pengamatan berikutnya pada satuan waktu tertentu.

t2-t1 = selang waktu pengamatan (periode pertumbuhan).

Penentuan estimasi laju pertumbuhan berdasarkan ekspresi panjang dengan menggunakan model von Bertalanffy (Sparre & Venema 1999). Koefisien pertumbuhan (K) dan panjang teoritis (L) diduga berdasarkan metode plot von Bertalanffy yang dihitung dengan bantuan program FiSAT. Model pertumbuhan berdasarkan model von Bertalanffy adalah sebagai berikut:

Lt = L (1-e –K (t-to ) )

Keterangan :

Lt = panjang ikan pada saat t.

L = panjang teoritis.

K = koefisien pertumbuhan.

t = waktu pada saat panjang ikan = Lt

t0 = umur ikan teoritis pada saat L = 0

Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi

Analisis hubungan panjang berat ikan bandeng dilakukan untuk mengetahui sifat pertumbuhan allometrik dan isometrik. Hubungan panjang berat yang terjadi mengikuti persamaan sebagai berikut:

W = a L b Keterangan :

W = bobot ikan (gram). L = panjang total ikan (cm). a dan b = konstanta.


(41)

Untuk menguji nilai b sama dengan 3 atau tidak, dilakukan uji t berdasarkan Steel & Torrie (1995). Jika nilai b lebih besar dari 3 berarti pertambahan panjang ikan tidak secepat pertambahan bobotnya atau disebut juga pola pertumbuhan allometrik positif, ikan akan terlihat gemuk (montok). Sedangkan bila nilai b lebih kecil dari 3 berarti kecepatan pertambahan panjang ikan lebih cepat dari pertambahan bobotnya, ikan akan terlihat kurus, atau disebut juga pola pertumbuhan allometrik negatif. Jika nilai b sama dengan 3 maka pertambahan panjang sebanding dengan pertambahan bobotnya atau disebut juga pola pertumbuhan ikan isometrik (Effendie 1997).

Faktor Kondisi

Penentuan faktor kondisi menurut Effendie (1997) merupakan salah satu derivat penting dari pertumbuhan yang dapat dijadikan sebagai indikasi untuk menilai kondisi ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. Selanjutnya dijelaskan bahwa variasi nilai faktor kondisi bergantung kepada ketersediaan makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad. Perhitungan faktor kondisi dilakukan dengan menggunakan ketentuan sebagai berikut:

Kt =

digunakan untuk perhitungan bila pertumbuhan ikan bersifat allometrik. Keterangan:

Kt = faktor kondisi

W = bobot ikan

L = panjang total ikan (mm) a dan b = konstanta

Kt =

digunakanan untuk perhitungan bila pertumbuhan ikan bersifat isometrik. Keterangan:

Kt = faktor kondisi

W = bobot ikan

L = panjang total ikan (mm) a dan b = konstanta

W a L b

W. 105 L 3


(42)

Distribusi dan Pengelompokan Ukuran Panjang

Perhitungan dilakukan berdasarkan analisis frekuensi panjang dengan metode Bhattacharya (Sparre & Venema 1999). Perhitungan dilakukan dengan bantuan paket program FiSAT. Analisis ini dilakukan untuk melihat adanya perubahan ukuran populasi ikan berdasarkan pertambahan panjang. Frekuensi panjang ikan dihitung dengan membuat interval kelas. Jumlah dan interval selang kelas dihitung dengan rumus sebagai berikut:

SK = 1 + 3,32 Log N

JK = Dimana:

SK = selang kelas panjang ikan N = jumlah/banyaknya ikan (ekor) JK = jumlah kelas

Pmaks. = panjang maksimum ikan

Pmin. = panjang minimum ikan

Analisis Data Hasil Tangkapan Ikan

Analisis data hasil tangkapan dilakukan untuk melengkapi data mengenai ikan bandeng yang ditebar. Pengambilan data berasal dari hasil tangkapan para nelayan. Data yang dikumpulkan dan dianalisis meliputi data komposisi dan ukuran hasil tangkapan, lokasi penangkapan, jenis alat tangkap yang digunakan, dan total hasil tangkapan. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah metode survei dan wawancara kepada para nelayan di sekitar lokasi penelitian serta pengumpulan data sekunder lainnya dari pihak yang terkait yang mendukung penelitian ini.

Uji Statistik

Uji statistik dilakukan dengan analisis sidik ragam (ANOVA; Steel & Torrie 1995) terhadap beberapa variabel kerja untuk melihat ada tidaknya perbedaan implikasi penebaran ikan bandeng dalam pemanfaatan plankton pada masing-masing zona penelitian. Model yang dikemukakan dalam analisis sidik ragam yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Pmaks.-Pmin.


(43)

Yij = µ + i + j +ij

Dimana:

Yij = satuan pengamatan dari zona penelitian ke-i dan waktu pengamatan ke-j

µ = pengaruh umum dari nilai rata-rata pengamatan. i = pengaruh zona penelitian ke-i.

j = pengaruh antar waktu ke-j.

ij = pengaruh sisa/galat.

i = zona atau lokasi penelitian ke-i. j = waktu pengamatan ke-j.

Tabel Sidik Ragam

Sumber keragaman

Derajat bebas (DB)

Jumlah Kuadrat(JK)

Kuadrat Tengah (KT)

Fhit Ftabel

Antar zona (p) p-1 JKP KTP KTP/KTS Tabel F

Antar waktu (k) k-1 JKK KTK KTK/KTS Tabel F

Sisa/galat (s) (p-1)(k-1) JKS KTS

Total pk-1 JKT

Keterangan:

JKT = Jumlah kuadrat total: JKP = Jumlah kuadrat perlakuan: JKK = Jumlah kuadrat kelompok:

JKS = Jumlah kuadrat sisa: JKT - JKP - JKK KTP = Kuadrat tengah perlakuan: JKP/DBp

KTK = Kuadrat tengah kelompok: JKT/DBk

KTS = Kuadrat tengah sisa: JKS/DBs

Fhit = Nilai F hitung

Ftabel = Nilai F tabel pada masing-masing derajat bebas

P = Keragaman antar zona penelitian K = Keragaman antar waktu pengamatan

Hipotesis

Hipotesis yang diuji berdasarkan tabel sidik ragam adalah sebagai berikut: Ho : 1 = 2 = p = 0 dan 1= 2 = k = 0

H1 : sedikitnya ada satu dari i danj≠ 0 ; i = 1,2,...., p dan j = 1,2,...., k

Y2i. / p - Y2. ./pk

i

Y2.j /k - Y2. ./pk j


(44)

Apabila Fhit lebih kecil dari Ftabel maka gagal menolak Ho atau implikasi

penebaran yang ditunjukan pada satuan pengamatan (variabel) tetentu berbeda pada masing-masing zona penelitian (perlakuan/pengamatan) dan antar waktu pengamatan (kelompok). Apabila Fhit lebih besar dari Ftabel maka terima Ho

implikasi penebaran yang ditunjukan pada satuan pengamatan (variabel) tetentu adalah sama pada masing-masing zona penelitian (perlakuan/pengamatan) dan antar waktu pengamatan (kelompok).

Uji BNT

Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) sebagai uji lanjutan dilakukan apabila Fhitung yang diperoleh berdasarkan analisis sidik ragam berbeda nyata. Uji BNT dilakukan berdasarkan perbandingan antara pasangan zona penelitian (perlakuan), dengan perhitungan sebagai berikut:

d = yi. - y.j│ dimana yi. merupakan rataan perlakuan ke-i dan y.j

merupakan rataan perlakuan ke .j Kaidah keputusan yang diambil adalah sebagai berikut:

d ≤ BNTα = tα/2 (db Sisa) √2KTS/n maka gagal tolak Ho

d > BNTα = tα/2 (db Sisa) √2KTS/n tolak Ho Analisis PCA

Analisis Komponen Utama (PCA: Principal Components Analysis) dilakukan pada seluruh variabel pengamatan untuk mengetahui karakteristik variabel penelitian yang mencirikan kondisi setiap stasiun pengamatan. Hubungan antara variabel penelitian diketahui berdasarkan analisis korelasi antar variabel penelitian berdasarkan matrik korelasi. Hubungan kedekatan antar stasiun penelitian diketahui berdasarkan jarak Euclidean dari analisis kelompok. Perhitungan PCA dan analisis kelompok dilakukan dengan menggunakan program MVSP 3.1. Matrik korelasi dihitung dengan menggunakan program MS.Excel.


(45)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Perairan Waduk Djuanda

Kondisi perairan Waduk Djuanda pada awal penelitian (Desember 2009) berada pada tinggi muka air rata-rata 99,17 mdpl. Tinggi muka air tersebut relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata tinggi muka air pada tahun sebelumnya yang hanya mencapai 80,01 mdpl pada tahun 2006 dan 96 mdpl pada tahun 2007 (Gambar 3). Kenaikan rata-rata tinggi muka air tersebut erat kaitannya dengan meningkatnya curah hujan yang terjadi pada tahun 2008 dan 2009. Secara keseluruhan kondisi air pada saat penelitian Desember-Februari 2010 merupakan kondisi air tinggi. Hasil pengukuran kondisi lingkungan di setiap lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

70 75 80 85 90 95 100 105 110 J a n F e b M a r A p r M e i J u n J u l A g s t S e p t O k t N o v D e s T in g g i m u k a a ir ( m d p l) Th.2009 Th.2008 Th.2007 Th.2006

Gambar 3 Tinggi muka air rata-rata Waduk Djuanda tahun 2006-2009 (PJT II 2009).

Pengamatan kondisi kualitas perairan Waduk Djuanda dilakukan terhadap beberapa parameter físika (suhu, kedalaman, kecerahan, dan turbiditas), kimia (pH, DO, TN, TP dan NH4), dan biologi (komposisi dan kelimpahan plankton,

serta kandungan klorofil-a). Hasil pengukuran parameter físika, kimia, dan biologi perairan disajikan pada Tabel 2.


(46)

Tabel 2 Nilai rata-rata kualitas perairan pada setiap stasiun penelitian di Waduk Djuanda periode Desember 2009-Februari 2010.

Parameter Stasiun Penelitian

Perairan ST.1 ST.2 ST.3 ST.4

Parameter Fisika

1. Suhu (oC ) 29,7 ± 1,2 29,7 ± 0,9 29,3 ± 0,8 30,3 ±1,1

2. Konduktivitas (mS/cm) 0,28 ± 0,02 0,26 ± 0,006 0,26 ± 0,01 0,25 ± 0,001

3. Turbiditas (NTU) 10,3 ± 7,8 3,53 ± 0,68 3,71 ± 2,58 6,00 ± 1,67

4. Kecerahan (cm) 67 ± 11 94 ± 17 101 ± 7 59 ± 9

5. Kedalaman (m) 3,3 ± 1,1 5 ± 2,5 6,6 ± 3,5 2,4 ± 0,5

Parameter Kimia

1. pH 7,49 ± 0,62 7,34 ± 0,52 7,63 ± 0,53 7,72 ± 0,43

2. DO (mg/L) 7,39 ± 2,42 6,62 ± 1,24 6,11 ± 2,56 7,23 ± 1,69

3. NH4 (mg/L) 0,871 ± 0,548 0,240 ± 0,179 0,202 ± 0,276 0,170 ± 0,072

4. TN (mg/L) 1,780 ± 0,767 0,704 ± 0,373 1,243 ± 1,384 0,629 ± 0,186

5. TP (mg/L) 0,085 ± 0,043 0,070 ± 0,056 0,091 ± 0,059 0,056 ± 0,038

Parameter Biologi

1. Kelimpahan fito. (sel/L) 564.952±458.112 856.361±818.094 392.851±326.012 344.294±210.769 2. Kelimpahan zoo. (ind./L) 54.121±47.046 17.733±16,728 16.812±14.564 31.091±23.979

3. Klorofil-a (mg/m3) 43,68±17.06 28,89±13,46 19,98±8,91 29,81±9,11

Berdasarkan Tabel 2 suhu perairan di Waduk Djuanda tidak menunjukkan adanya variasi yang besar antarlokasi penelitian (Anova: P>0,05). Suhu berkisar antara 27,8-31,1 oC. Suhu perairan relatif lebih tinggi pada Stasiun 4 yang disebabkan oleh waktu pengukuran selama penelitian dilakukan pada siang hari, yaitu berkisar antara pukul 12.00-14.00 WIB. Suhu perairan dengan fluktuasi yang tinggi dijumpai pada Stasiun 1 dengan suhu sebesar 29,7±1,2 oC. Fluktuasi yang terjadi juga disebabkan oleh perubahan waktu pengukuran yang tidak tetap mengikuti waktu pelaksanaan penelitian. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, kisaran suhu perairan hasil pengukuran selama penelitian relatif tidak berbeda. Nastiti et al. (2001) melaporkan bahwa kisaran suhu permukaan hasil penelitiannya sebesar 27-31 oC. Nurnaningsih (2004) melapor-kan kisaran suhu pada Bulan Mei-Oktober 2003 pada empat lokasi di perairan Waduk Djuanda berkisar antara 28,80-29,47 oC.


(47)

Konduktivitas merupakan ukuran terhadap kandungan ion-ion yang berada di suatu badan air. Hasil pengukuran nilai konduktivitas rata-rata di Waduk Djuanda selama penelitian berkisar antara 0,245-0,310 mS/cm. Berdasarkan grafik perkembangan hasil pengukuran konduktivitas selama penelitian tidak menunjukkan adanya peningkatan yang berarti (Gambar 4). Peningkatan terjadi di Stasiun 1 pada Bulan Januari, peningkatan konduktivitas diduga disebabkan oleh tingginya intensitas hujan pada Bulan Januari. Masuknya partikel dan mineral yang terbawa air hujan menuju ke perairan waduk dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kanduangan ion-ion tertentu, sehingga nilai konduktivitas tinggi.

Kecerahan dan turbiditas hasil pengukuran di Waduk Djuanda menunjukkan adanya perbedaan hasil pengukuran pada setiap stasiun penelitian. Nilai kecerahan yang rendah diikuti oleh tingginya tingkat turbiditas perairan. Kecerahan terendah dan turbiditas yang tinggi dijumpai pada Stasiun 1 dan Stasiun 4, masing-masing untuk kecerahan sebesar 67±11 cm dan 59±9 cm, sedangkan untuk nilai turbiditas masing-masing sebesar 10,3±7,8 NTU dan 6,00±1,67 NTU. Nilai kecerahan masih relatif sama dengan hasil penelitian pada tahun 2004 dengan nilai kisaran kecerahan 57-112 cm (Nurnaningsih 2004). Nilai turbiditas hasil penelitian sebelumnya mencapai 20-190 NTU (Nastiti et al. 2001).

Stasiun 1 dan Stasiun 4 merupakan lokasi yang mendapat pengaruh langsung dari aliran air yang masuk ke Waduk Djuanda. Stasiun 1 di daerah Bojong merupakan daerah yang pertama mendapat pengaruh masuknya air yang berasal dari aliran air yang keluar dari Waduk Cirata. Stasiun 4 di Daerah Cilalawi merupakan daerah budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung (KJA) dan merupakan daerah yang mendapat pengaruh dari aliran air yang masuk ke perairan waduk melalui Sungai Cilalawi yang terletak di bagian ujung dari lokasi penelitian tersebut. Aliran air akan membawa partikel ke perairan, sedangkan kegiatan budidaya ikan KJA akan mempengaruhi kualitas perairan dari berbagai aktivitas yang terjadi seperti dari sisa pakan, sisa metabolisme ikan yang dipelihara atau dari berbagai aktivitas para pelaku usaha tersebut.


(48)

Gambar 4 Perkembangan parameter físika perairan Waduk Djuanda pada setiap stasiun penelitian Desember 2009-Februari 2010.

Kedalaman perairan yang diukur merupakan kedalaman saat dilakukannya penangkapan ikan selama penelitian. Kedalaman daerah penelitian berkisar antara 2-13 m. Kedalaman tersebut merupakan wilayah yang meliputi zona litoral dan zona limnetik Waduk Djuanda. Kedalaman erat kaitannya dengan sifat biologi ikan bandeng yang mencari makan di zona litoral dan zona limnetik untuk

Konduktivitas (mS/cm) 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N

il

a

i

Suhu (oC)

25 27 29 31 33 35

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N il a i Turbid (NTU) 0 5 10 15 20 25 30

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N il a i Kecerahan (cm) 25 50 75 100 125 150

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N il a i Kedalaman (m) 0 3 6 9 12 15

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N

il

a

i


(49)

memanfaatkan plankton sebagai makanannya. Menurut Kartamihardja (2007), zona litoral waduk meliputi daerah pinggir waduk yang dangkal dimana intensitas cahaya matahari dapat menembus sampai dasar perairan dengan luas 14-37% dari total luas perairan. Zona limnetik perairan waduk memiliki tingkat kecerahan antara 100-150 cm dengan demikian penetrasi cahaya masih efektif sampai kedalaman 2,5-5 m. Luas zona limnetik ini mencapai 63-86% dari luas total perairan.

Nilai pH perairan Waduk Djuanda secara general tidak mengalami fluktuasi, baik berdasarkan stasiun penelitian maupun waktu pengukuran. Kisaran nilai pH berada pada nilai 6,46-8,54. Penurunan pH terjadi pada pengukuran ke-3 pada 14 Januari 2010 (Gambar 5). Berdasarkan pemantauan di lapangan Waduk Djuanda sedang mengalami peristiwa umbalan, yaitu naiknya massa air lapisan bawah yang banyak mengandung bahan organik ke permukaan perairan. Degradasi organik yang terjadi dapat menyebabkan penurunan pH dan menurunnya konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan. Peristiwa umbalan

hampir terjadi setiap tahun dan biasanya dimulai pada awal musim penghujan dimana suhu permukaan saat itu lebih rendah bila dibandingkan dengan suhu lapisan air di bawahnya. Bila dilihat dari hasil pengukuran suhu juga nampak jelas pada saat itu terjadi penurunan suhu di perairan waduk dan rendahnya konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan.

Oksigen terlarut (DO) merupakan parameter utama yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan biota air termasuk ikan. Konsentrasi DO hasil pengukuran berbeda-beda pada setiap stasiun penelitian dan waktu pengukuran. Nilai rata-rata DO tertinggi dijumpai pada Stasiun 1 dan 4 masing-masing sebesar 7,39±2,42 mg/L dan 7,23±1,69 mg/L, sedangkan terendah dijumpai pada Stasiun 3 yaitu sebesar 6,11±2,56 mg/L. Fluktuasi hasil pengukuran DO tertinggi dijumpai pada Stasiun 1 dan 3. Stasiun 1 merupakan daerah yang pertama kali mendapat pengaruh masuknya air dari outlet Waduk Cirata. Air yang keluar dari waduk ini memiliki kualitas yang rendah. Waduk Cirata mendapat beban masukan organik yang cukup besar dari kegiatan perikanan keramba jaring apung (KJA), yaitu mencapai 47.628 ton/tahun (Nastiti et al. 2001). Stasiun 3 merupakan zona genangan utama yang berada dekat dengan DAM atau


(50)

pengeluaran Waduk Djuanda, diduga akumulasi organik dan senyawa lainnya terjadi di daerah ini. Menurut informasi penduduk setempat peristiwa umbalan

umumnya terjadi pertama kali pada wilayah tersebut. Saat terjadi umbalan pada pertengahan Januari 2010 kandungan DO pada Stasiun 1 dan 3 adalah sangat rendah yaitu masing-masing 3,16 mg/L dan 0,65 mg/L.

Gambar 5 Perkembangan parameter kimia perairan Waduk Djuanda pada setiap stasiun penelitian Desember 2009-Februari 2010.

pH 0 2 4 6 8 10

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

Ni la i DO (mg/L) 0 2 4 6 8 10

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N

il

a

i

Klorofil-a (mg/m3)

0 20 40 60 80

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N

il

a

i

ST.1 ST.2 ST.3 ST.4

NH4 (mg/L)

0,0 0,4 0,8 1,2 1,6 2,0

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N il a i TP (mg/L) 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N i l a i TN (mg/L) 0 1 2 3 4 5

26 Des 4 Jan 14 Jan 23 Jan 1 Feb 13 Feb 22 Feb

N

il

a


(1)

Lampiran 11 Analisis sidik ragam (Anova) indeks bagian terbesar (IP:%)

kelompok makanan ikan Bandung di Waduk Djuanda Desember

2009-Februari 2010.

Data Input

Stasiun Kelompok makanan (IP%)

Penelitian Fitoplankton Zooplankton Lain-lain

ST.1 51,29 37,80 12,41

ST.2 35,19 42,79 29,42

ST.3 58,61 31,08 26,07

ST.4 52,82 13,29 16,79

Hasil perhitungan Anova: (Ms. Excel)

SUMMARY Count Sum Average Variance

Fitoplankton 4 197,9159 49,47897 100,6211 Zooplankton 4 124,9787 31,24466 166,2097 Lain-lain 4 84,6913 21,17282 62,61773

ST.1 3 101,5 33,83332 389,5852

ST.2 3 107,4095 35,80317 45,04563 ST.3 3 115,7665 38,58883 307,0408 ST.4 3 82,90989 27,63663 478,7116

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Kelompok makanan 1646,894 2 823,4468 6,223518 0,034409 5,143253 Stasiun penelitian 194,4729 3 64,82431 0,489935 0,701969 4,757063

Error 793,8726 6 132,3121

Total 2635,239 11

Keterangan:

P>0,05 : tidak berbeda nyata

P<0,05 : berbeda nyata


(2)

Lampiran 12 Analisis sidik ragam (Anova) indeks bagian terbesar (IP:%)

kelompok makanan berdasarkan kelompok ukuran panjang ikan

bandeng di Waduk Djuanda Desember 2009-Februari 2010.

Data Input

Kelompok makanan Selang Kelas Panjang (cm)

Fitoplankton 11-18 19-26 27-34

ST.1 57,56 52,40 32,67

ST.2 - 45,99 30,36

ST.3 52,56 54,10 43,10

ST.4 63,16 26,95 55,94

Zooplankton

ST.1 27,17 39,34 33,92

ST.2 - 41,93 41,63

ST.3 22,37 24,48 34,11

ST.4 5,52 20,03 7,72

Lain-lain

ST.1 15,27 8,26 33,42

ST.2 - 12,08 28,02

ST.3 25,07 21,42 22,79

ST.4 31,32 53,02 36,35

Hasil perhitungan Anova: (Ms. Excel)

SUMMARY Count Sum Average Variance

Fitoplankton 3 142,6312 47,54374 172,6327 Fitoplankton 3 76,34749 25,44916 546,8387 Fitoplankton 3 149,7603 49,92009 35,44104

Fitoplankton 3 146,048 48,68265 367,2921

11-18 cm 4 173,2814 43,32035 852,823

19-26 cm 4 179,4392 44,8598 154,761

27-34 cm 4 162,0664 40,51659 136,4383

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Stasiun penelitian 1226,45 3 408,8168 1,112116 0,415035 4,757063 Kelas PT (cm) 38,79253 2 19,39627 0,052764 0,949039 5,143253


(3)

Lampiran 12 Lanjutan.

SUMMARY Count Sum Average Variance

11-18 cm 4 55,06245 13,76561 170,3766

19-26 cm 4 125,7778 31,44446 116,9668

27-34 cm 4 117,367 29,34176 220,725

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Stasiun penelitian 831,7539 3 277,2513 2,402347 0,166185 4,757063 Kelas PT (cm) 746,1059 2 373,0529 3,232456 0,111529 5,143253

Error 692,4511 6 115,4085

Total 2270,311 11

SUMMARY Count Sum Average Variance

Lain-lain 3 56,94705 18,98235 168,4959

Lain-lain 3 40,09836 13,36612 197,4794

Lain-lain 3 69,28147 23,09382 3,399486

Lain-lain 3 120,6788 40,22628 129,0258

11-18 cm 4 71,65615 17,91404 186,2507

19-26 cm 4 94,78298 23,69575 412,6569

27-34 cm 4 120,5666 30,14165 35,92734

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Stasiun penelitian 1207,026 3 402,3421 3,461116 0,091403 4,757063 Kelas PT (cm) 299,323 2 149,6615 1,287451 0,342583 5,143253

Error 697,4782 6 116,2464

Total 2203,828 11

Keterangan:

P>0,05 : tidak berbeda nyata

P<0,05 : berbeda nyata


(4)

Lampiran 13 Analisis komponen utama (PCA:

Principal Components Analysis

)

antara variabel penentu yang mencirikan keberadaan ikan

bandeng di Waduk Djuanda.

PRINCIPAL COMPONENTS ANALYSIS

Analysing 11 variables x 4 cases

Data log(10) transformed

Tolerance of eigenanalysis set at 1E-7

Data standardized

Eigenvalues

Axis 1

Axis 2

Axis 3

Axis 4

Eigenvalues

6,537

2,702

1,761

0

Percentage

59,424

24,564

16,012

0

Cum. Percentage

59,424

83,988

100

100

PCA variable loadings

Axis 1

Axis 2

Axis 3

Axis 4

Bandeng

0,239

0,145

-0,569

0,168

IP Fitoplankton

0,17

-0,49

-0,303

-0,148

IP Zooplankton

-0,375

0,152

-0,099

0,302

IP Lain-lain

0,286

0,131

0,488

-0,133

E

0,196

0,438

-0,362

-0,483

LR

0,379

0,152

0,025

0,763

K

0,331

0,239

0,27

-0,158

Kn

0,353

-0,112

-0,295

0,004

b

0,323

0,34

0,062

0,001

SGR

0,303

-0,348

0,201

-0,022

DGR

0,282

-0,421

0,021

-0,001

PCA case scores

Axis 1

Axis 2

Axis 3

ST.1

-0,599

0,126

-1,102

ST.2

-1,055

0,981

0,627

ST.3

-0,533

-1,299

0,381


(5)

Lampiran 14 Kegiatan penelitian implikasi penebaran ikan bandeng dalam

pemanfaatan plankton di Waduk Djuanda.

Lokasi penelitian pada setiap stasiun penelitian di Waduk Djuanda

Penangkapan dan pengukuran ikan bandeng yang tertangkap selama penelitian

ST.1

ST.2

ST.4

ST.3


(6)

Lampiran 14 Lanjutan.

eberapa contoh makanan yang ditemukan dalam saluran pencernaan ikan bandeng

3

1

2

4

5

6

8

7


Dokumen yang terkait

Pemanfaatan plankton sebagai sumber makanan ikan bandeng (chanos) di waduk IR. H. Jiuand, Jawa Barat

1 24 70

Rearing of Milkfish, Chanos Chanos, in Net Cages at Sea at Various Stocking Densities

0 8 3

Toksisitas akut, biokonsentrasi dan bioeliminasi insektisida malathion pada juvenil ikan bandeng (Chanos chanos forsskal)

0 7 160

Ecobiology Character of Midas Cichlid (Amphilophus citrinellus Günther, 1864) as A Basis for Controlling Alien Fish Species in Ir. H. Djuanda Reservoir, West Java.

0 9 106

Ecobiology Character of Midas Cichlid (Amphilophus citrinellus Günther, 1864) as A Basis for Controlling Alien Fish Species in Ir. H. Djuanda Reservoir, West Java

2 17 59

Study On The Toxicity of Nickel to Oxygen Consumption, Haematological and Histopathological Condition and Secondary Stress of Juvenile Milkfish Chanos chanos [Forsskal] Juvenile

1 11 120

Intensitas dan Prevalensi Ektoparasit Pada Ikan Bandeng (Chanos chanos) Dalam Karamba Jaring Apung (KJA) di Waduk Cirata, Kabupaten Cianjur Jawa Barat - Intensity and Prevalence of Ectoparasites on Milkfish (Chanos chanos) in Floating Net Cage (KJA) at Ci

0 0 10

Pertumbuhan ikan oskar di Waduk Ir H. Djuanda, Jawa Barat [Growth of Midas Cichlid in Ir. H. Djuanda Reservoir, West Java] | Tampubolon | Jurnal Iktiologi Indonesia 1 SM

0 2 11

IDENTIFIKASI KEBERADAAN DAN JENIS MIKROPLASTIK PADA IKAN BANDENG (Chanos chanos¸Forskal) DI TAMBAK LOROK, SEMARANG IDENTIFICATION OF MICROPLASTICS OCCURRENCE AND TYPE IN MILKFISH (Chanos chanos, Forskal) ATTAMBAK LOROK, SEMARANG SKRIPSI

0 2 13

Temperature and Salinity Effects on Bioaccumulation, Gill Structure, and Radiation Dose Estimation in the Milkfish Chanos chanos Exposed to 137Cs - e-Repository BATAN

0 0 7