Pemanfaatan plankton sebagai sumber makanan ikan bandeng (chanos) di waduk IR. H. Jiuand, Jawa Barat

(1)

PEMANFAATAN PLANKTON SEBAGAI SUMBER MAKANAN

IKAN BANDENG (Chanos chanos)

DI WADUK IR. H. JUANDA, JAWA BARAT

DEDEN IBNU AQIL

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


(2)

PEMANFAATAN PLANKTON SEBAGAI SUMBER MAKANAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) DI WADUK IR. H. JUANDA, JAWA BARAT

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

DEDEN IBNU AQIL 106095003205

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH APAPUN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, 15 Oktober 2010

Deden Ibnu Aqil 106095003205


(4)

PENGESAHAN UJIAN

Skripsi berjudul “Pemanfaatan Plankton Sebagai Sumber Makanan Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat” yang ditulis oleh Deden Ibnu Aqil NIM 106095003205 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi

Menyetujui:

Penguji 1, Penguji 2,

Dasumiati, M.Si Nani Radiastuti, M.Si NIP. 197309231999032002 NIP. 19650902200112001

Pembimbing 1, Pembimbing 2,

Ir. Lukman, M.Si DR. Lily Surayya E.P, M.Env.Stud. NIP. 196205141988031001 NIP.196904042005012005

Mengetahui,

Dekan

Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Prodi Biologi

DR.Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis DR. Lily Surayya E.P, M.Env.Stud NIP.196801172001121001 NIP. 196904042005012005


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah sholawat bagi Rasul-Nya, Alhamdullah berkat nikmatnya penulis bisa menyelesaikan tulisan ini yang berjudul “Pemanfaatan

Plankton Sebagai Sumber Makanan Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat” pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada:

1. DR. Gadis Sri Haryani selaku Kepala Pusat Penelitan Limnologi-LIPI yang telah mengijinkan penulis melakukan penelitian di Puslit Limnologi

2. DR. Lily Surayya Eka Putri selaku Ketua Program Studi Biologi dan sekaligus pembimbing 2 yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis

3. Ir. Lukman, M.Si selaku pembimbing 1 yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis sampai penulis menyelasaikan tulisan ini

4. Triyanto, M.Si yang telah mengijinkan penulis mengikiti penelitian dan yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis

5. Drs. Muhammad Badjoeri yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan saran kepada penulis

6. Para Peneliti serta Rekan-rekan Mahasiswa/i Pusat Penelitian Limnologi. 7. Umi dan Bapak yang banyak memberikan motivasi yang tak terhingga hingga

akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhirnya

8. Kakak-kakak Yayah Syukriah, Sayuti, Abdul Aziz, Lilis Muchlisoh, Sutrisno, adikku Hilman Fahmi serta keponakanku Ayesa adzkia dan Muhammad Wafi


(6)

Trisnohadi yang tak hentinya memberikan motivasi penulis sampai bisa menyelesaikan tugas akhir ini

9. Sahabatku Adeng Hudaya yang selalu menemani penulis dalam menjalani hiluk pikuk di kampus sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

10. Angkatan 2006 Biologi FST, KPP Tarsius FST, dan BKPM kelurahan Bedahan

Serta semua pihak yang telah membantu kegiatan penelitian yang penulis tidak sebutkan satu per-satu. Sungguh tak ada manusia yang sempurna selain mengakui akan kekurangan yang penulis tidak sadari, penulis berharap kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan ini.

Jakarta, 10 Oktober 2010 Deden Ibnu Aqil


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Hipotesis ... 2

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Waduk Ir. H. Juanda ... 4

2.2 Biologi Ikan Bandeng ... 5

2.2.1 Klasifikasi dan morfologi ikan bandeng ... 5

2.2.2 Distribusi ikan bandeng ... 7

2.2.3 Fisiologi ikan bandeng ... 7

2.2.4 Siklus hidup ikan bandeng ... 9

2.3 Komunitas Plankton ... 10

2.4 Makanan ikan bandeng ... 12


(8)

2.5.2 Oksigen ... 15

2.5.3 Kekeruhan ... 15

2.5.4 Suhu ... 16

2.5.5 Derajat keasaman (pH) ... 16

2.5.6 Nutrien ... 17

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 20

3.2 Alat dan Bahan ... 20

3.3 Cara kerja... 20

3.3.1 Penentuan titik sampling ... 21

3.3.2 Pengambilan lambung ikan bandeng ... 22

3.3.3 Pengambilan plankton ... 23

3.3.4 Pengukuran kualitas air ... 24

3.4 Analisis sampel ... 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas air Waduk Ir. H. Juanda ... 27

4.2 Kelimpahan Plankton Waduk Ir. H. Juanda ... 31

4.3 Pemanfaatan makanan ikan bandeng ... 35


(9)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan... 43

5.2 Saran ……….…… 43

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Hasil pengukuran kualitas air Waduk Ir. H. Juanda .….……….. 34 Tabel 2. Kelimpahan plankton rata-rata Waduk Ir. H. Juanda ………….. 34 Tabel 3. Nilai index of preponderance (IP) ikan bandeng …...………….. 42


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Ikan bandeng..……….…. 6

Gambar 2. Stasiun Penelitian...……….…. 21

Gambar 3. Persentase makanan ikan bandeng .……...……….…. 26

Gambar 4. Persentase makanan tiap stasiun …...……….…. 29

Gambar 5. Persentase tiap-tiap makanan ikan bandeng ..………...….…. 31

Gambar 6. Persentase isi lambung masing-masing ukuran ikan…..….…. 31

Gambar 7. Persentase isi lambung pada tiap stasiun ..……….…. 33

Gambar 8. Kelimpahan plankton dari zona fotik …. ..……….…. 35


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Gambar plankton di Perairan …...……….…. 50

Lampiran 2. Gambar plankton di lambung……….…. 51

Lampiran 3. Gambar stasiun penelitian………..……….…. 52

Lampiran 4. Kelimpahan plankton (ind/l) ….……….………. 53

Lampiran 5. (IP) berdasarkan ukuran ikan bandeng …………...…….…. 54

Lampiran 6. (IP) isi lambung ikan bandeng Waduk Ir. H. Juanda…….…. 55


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat adalah salah satu tipe ekosisitem air tawar yang dibendung dari Sungai Citarum dan dihuni oleh berbagai organisme air termasuk ikan dan plankton. Kelimpahan plankton yang tinggi berperan penting dalam produktivitas suatu perairan dan merupakan sumber pakan alami yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan-ikan yang ada di perairan.

Estimasi potensi produksi ikan di waduk tersebut berdasarkan produkivitas primer fitoplankton menurut Kartamihardja dan Krismono (2003) adalah sebesar 1.646 ton/tahun, sedangkan hasil tangkapan produksi hasil tangkapan ikan aktual pada tahun 2002 sebesar 425 ton. Potensi produksi ikan berdasarkan produktivitas primer masih jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan dengan produksi hasil tangkapan ikan aktual. Hal ini berarti bahwa hanya 25% saja dari potensi produksi ikan yang baru dimanfaatkan.

Berbagai upaya untuk meningkatkan produksi ikan di waduk Ir. H. Juanda telah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1965 dengan melakukan introduksi beberapa jenis ikan. Terakhir tahun 2008 - 2010 telah dilakukan penebaran benih ikan bandeng + 2 Juta ekor yang dilepas di perairan Waduk Ir.H.Juanda. Ikan


(14)

ikan pemakan plankton atau planktivorus (http://web.ipb.ac.id.diakses 1 Maret 2010).

Penebaran ikan bandeng bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan ketersediaan pakan alami yang melimpah berupa plankton dan disamping itu ikan ini juga mempunyai habitat hidup di perairan dalam, sehingga diharapkan ikan ini dapat menempati habitat dibagian tengah waduk yang cukup dalam yang saat ini masih kosong (Warta Budidaya, 2008). Ketersediaan dan kemudahan dalam pengadaan benih ikan bandeng dalam jumlah yang besar dan nilainya yang ekonomis serta kemampuannya untuk beradaptasi di perairan tawar menjadi faktor pilihan utama dalam penebaran ikan tersebut (DKP-ACIAR,2007).

Untuk mengetahui keberhasilan penebaraan tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai pemanfaatan plankton yang dimanfaatkan oleh ikan bandeng di Waduk Ir. H. Juanda ini. Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui tingkat pemanfaatan plankton dan efektivitas ikan bandeng dalam memanfaatkan plankton tersebut. Hasil penelitian ini tentunya akan memberikan informasi untuk kebijakan pengelolaan perikanan selanjutnya di Waduk Ir. H. Juanda.

1.2. Perumusan Masalah

Apakah ikan bandeng di Waduk Ir. H. Juanda dapat memanfaatkan plankton sebagai sumber makanan utamanya.


(15)

1.3. Hipotesis

Ikan bandeng dapat memanfaatkan plankton sebagai sumber makanan utamanya di Waduk Ir. H. Juanda.

1.4. Tujuan Penelitian

Mengetahui pemanfaatan plankton oleh ikan bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat.

1.5. Manfaat Penelitian

Menjadi informasi untuk pengelolaan dan pemanfaatan Waduk Ir. H. Juanda secara berkesinambungan.


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi perairan Waduk Ir. H. Juanda

Waduk Ir.H.Juanda terletak di Kabupaten Purwakarta propinsi Jawa Barat, berada pada titk koordinat 6029’ LS - 6041’ dan 107018' BT – 107024’ BT (Sukimin, 1999). Waduk Ir.H.Juanda merupakan salah satu waduk di Jawa Barat yang dibangun di bagian tengah Sungai Citarum. Waduk Ir.H. Juanda memilki luas 8.300 ha dengan ketinggian 110 dpl (di atas permukaan laut). Kedalaman rata-rata waduk ini adalah 35,59 m dengan kedalaman maksimum 97 m. Fluktuasi tinggi muka air antara 92,9-106,8 m dpl, atau sekitar 13,9 m/tahun. Bagian hulu Waduk Ir.H.Juanda terdapat Waduk Cirata 6.200 ha dan Waduk Saguling 5.340 ha, sehingga tiga waduk ini membentuk waduk berjenjang/cascade (PJT II, 2005).

Menurut Straskraba dan Tundisi (1999) secara umum ekosistem waduk dapat dibagi menjadi tiga zona yaitu zona mengalir (riverine), zona transisi, dan zona perairan tenang (lacustrine). Sumber air Waduk Ir. H. Juanda berasal dari sungai Citarum dan Cilalawi. Berdasarkan sumber air yang masuk menurut menurut Sukimin (1999) ekosistem Waduk Ir. H. Juanda secara gradient longitudinal dapat dibagi ke dalam zona mengalir (riverine), zona transisi dan zona menggenang (lacustrine) (perairan tengah dan DAM). Zona mengalir terdapat di dua tempat, yaitu zona yang terlaeak di daerah intlet dari Waduk Cirata dan Sungai Cisomang dan zona yang terletak di aliranSungai Cilalawi.


(17)

Waduk Ir. H. Juanda berfungsi serbaguna yaitu sebagai pembangkit tenaga listrik (PLTA), pengendali banjir, irigasi, sumber air minum, pariwisata, dan perikanan. Pada kegiatan perikanan, usaha yang paling mendominasi adalah kegiatan budidaya ikan di keramba jaring apung (KJA). Dalam perkembangannya kegiatan budidaya ikan KJA terus meningkat. Pada tahun 2000 jumlah KJA tercatat sebanyak 2.537 unit (Husen, 2000) dan menurut data terakhir jumlah KJA telah mencapai 4.577 unit (DKP-ACIAR, 2007).

Pemanfaatan perairan Waduk Ir. H. Juanda untuk budidaya ikan dalam KJA, telah memberikan dampak terhadap perubahan kualitas perairan waduk. Sisa pakan ikan merupakan beban limbah organik yang diterima perairan waduk dengan jumlah yang cukup besar. Nastiti dkk, (2001) mengestimasi besarnya beban N dan P yang berasal dari kegiatan KJA di Waduk Ir.H.Juanda yaitu sebesar 36.531,3 ton/tahun dan 33.968,4 ton/tahun. Akibat masukan bahan organik yang besar tersebut telah menyebabkan perairan waduk mengalami proses eutrofikasi.

2.2. Biologi Ikan Bandeng

2.2.1. Klasifikasi dan morfologi ikan Bandeng

Ikan bendeng merupakan komoditas utama dalam ikan budidaya air payau karena kandungan gizinya yang mempunyai nilai tinggi yang digemari banyak orang. klasifikasi ikan bandeng dalam Saanin (1984) bahwa ikan bandeng termasuk ordo Gonorhynchiformes, family Chanidae, dan Genus Chanos.


(18)

Gambar 1. Ikan bandeng (Chanos chanos, Forskal 1775) Foto:Aqil (2010)

Ikan bandeng secara morfologi dicirikan dengan bentuk memanjang berbentuk seperti torpedo. Sirip ekornya bercabang (forked), pada bagian tubuhnya tersusun sisik-sisik kecil yang teratur membentuk cycloid. Tubuhnya berwarna putih keperakan terutama pada bagian perut (ventral), sedangkan pada bagian punggung (dorsal) warnanya biru kehitaman. Garis linea lateralis jelas terlihat memanjang dari bagian belakang tutup insang sampai ke pangkal ekor. Ikan bandeng dewasa dapat mencapai bobot 4-14 kg dengan panjang 50-150 cm (Gotanco & Menez, 2004).

2.2.2. Distribusi ikan Bandeng

Menurut Bagarinao (1994), ikan bandeng diduga berasal dari wilayah Eropa dan Amerika Utara dan melakukan migrasi ke wilayah laut tropis. Saat ini ikan bandeng lebih banyak ditemukan pada daerah tropis. Ikan bandeng dewasa hidup di laut dengan panjang total tubuh 70-150 cm. Bila tiba saatnya, bandeng secara alami akan memijah di tengah malam sampai menjelang pagi. Jumlah telur


(19)

yang dihasilkan dalam satu kali pemijahan berkisar antara tiga ratus ribu sampai satu juta (Nontji, 2006). Ikan bandeng sudah lama dibudidayakan, umumnya pada kolam/tambak air payau, keramba jaring apung di laut (Garcia, 1990) dan di danau-danau dangkal yang berair tawar dengan sistem pen (pagar bambu) di Philipina dan Taiwan (Liau & Chen, 1986).

Di alam ikan bandeng banyak dijumpai di daerah pantai dan pulau di daerah trofik di Indo-pasifik. Kelimpahan tertinggi terdapat di daerah Asia Tenggara dan sebelah barat perairan pasifik (Gordon & Hong, 1986). Ikan bandeng hidup pada berbagai tipe habitat, meliputi perairan pantai, muara, kawasan mangrove, danau pinggir pantai, daerah pasang surut (tidal flash), sungai dan daerah berarus (stream). Namun demikian ikan bandeng umumnya

hidup di daerah litoral pantai pada sepanjang masa hidupnya (Gordon & Hong, 1986).

2.2.3. Fisiologi ikan bandeng

Ikan bandeng merupakan ikan euryhaline yang dapat beradaptasi pada

salinitas yang luas, dapat hidup di perairan tawar, payau, dan laut (Gordon & Hong, 1986). Lee (1986) melaporkan bahwa ikan bandeng dewasa di

Danau Naujan dan Taal di Philipina yang dikenal sebagai daerah habitat ikan bandeng dewasa, ikan tersebut tidak mengalami matang gonad (immature). Pematangan gonad akan berlangsung dalam waktu yang singkat ketika mereka kembali ke laut untuk memijah.


(20)

Ikan air laut memiliki mekanisme adaptasi tertentu yang bermanfaat untuk menghindari kehilangan air dari tubuh mereka. Kehilangan air dari tubuh akan terjadi melalui insang, dan sebagai penggantinya hewan ini meminum air laut dalam jumlah yang sangat banyak. Namun cara tersebut menyebabkan garam yang ikut masuk ke dalam tubuh harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Pengeluaran kelebihan garam dalam jumlah besar dilakukan melalui insang, karena insang akan mengandung sel khusus yang di sebut klorid. yaitu sel yang berfungsi mengeluarkan NaCl dari plasma air laut secara aktif (Isnaeni, 2006).

Ikan air tawar memiilki osmoregulasi yakni ikan mempunyai cairan tubuh

dengan tekanan osmotik yang lebih tinggi dari lingkungannya

(hipertonis/osmotik). Air masuk kedalam tubuh hewan dikeluarkan dalam bentuk urin. Laju urin hewan air tawar jauh lebih tinggi dari pada yang dialami hewan laut. Jadi hewan perlu transpor aktif untuk memasukan ion kedalam tubuhnya (Isnaeni, 2006).

Batas toleransi ikan bandeng terhadap salinitas bervariasi dilihat dari usia (Duenas & Young, 1983 dalam Garcia, 1990). Larva berumur tujuh hari merupakan masa yang paling sensitif terhadap perubahan salinitas dan penanganan stres, tingkat toleransi hanya dalam kisaran 16-20 ppt. Sebaliknya, ikan bandeng umur 21 hari sudah dapat mentolerir salinitas dengan kisaran 0-70 ppt. Kemampuan benih untuk menahan ekstrimnya salinitas mungkin terkait dengan kemampuan mereka untuk secara bertahap mengubah kepadatan dan ukuran sel klorida mereka dan osmolalitas plasma dan untuk mendekati keadaan normal (Almendras, 1982 dalam Garcia, 1990).


(21)

2.2.4. Siklus hidup ikan Bandeng

Siklus hidup ikan bandeng, dimulai dari telur yang berasal dari pemijahan yang berlangsung dilaut terbuka dekat dengan pantai pada kedalaman 10-40 m, dengan dasar perairanya dapat berupa pasir atau koral (Gordon & Hong, 1986). Telur ikan bandeng melayang, bersifat pelagis dengan diameter 1,10-1,25 mm, masa inkubasi sampai menetas berlangsung 20-25 jam pada suhu 16-32 C0 dan salinitas 29-34 ppt (Garcia, 1990). Menurut Nontji (2006) larva bandeng merupakan komunitas plankton di laut yang kemudian berkembang di perairan pantai berpasir yang berair disebut nener, sedangkan bila berukuran lebih besar sekitar 5-8 cm disebut protolan.

Setelah beberapa hari larva bandeng kembali ke laut, kemudian berkembang menjadi juvenil dalam kurun waktu 1-2 minggu. Juvenil bandeng selanjutnya memasuki perairan pantai, muara-muara sungai, kawasan mangrove, danau pinggir laut dan rawa. Beberapa di antaranya memasuki perairan tawar, seperti sungai dan danau (Bagarinao, 1994). Juvenil kemudian berkembang menjadi ikan-ikan remaja dan kembali ke laut terbuka. Ikan bandeng mengalami matang gonad pada umur 5-6 tahun, dan untuk selanjutnya ikan-ikan dewasa akan hidup di perairan laut dan siap untuk memijah (Gordon & Hong, 1986).

2.3. Komunitas Plankton

Plankton adalah mahluk (tumbuhan atau hewan) yang hidupnya mengapung atau mengambang, atau melayang di dalam air yang kemampuan


(22)

(Nontji, 2006). Menurut Nyibakken (1988) plankton dapat dibagi menjadi dua golongan, yakni fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton terdiri dari tumbuhan yang bebas melayang dan hanyut serta mampu berfotosintesis, sedangkan zooplankton ialah hewan-hewan planktonik.

Fitoplankton adalah mikroorganisme nabati yang hidup melayang di dalam air, relatif tidak mempunyai daya gerak sehingga keberadaanya dipengaruhi oleh gerakan air, serta mampu berfotosintesis. Kemampuan fitoplankton melakukan fotosintesis karena sel tubuhnya mengandung klorofil. Klorofil berfungsi untuk mengubah zat anorganik menjadi zat organik dengan bantuan sinar matahari. Zat organik yang dihasilkan dipergunakan untuk kebutuhan dirinya sendiri dan untuk kebutuhan organisme air lainya (Davis, 1995).

Fitoplankton dapat ditemukan di seluruh massa air mulai dari permukaan sampai pada kedalaman di mana intensitas cahaya matahari masih memungkinkan untuk digunakan dalam proses fotosintesis (zona eufotik). Fitoplankton merupakan flora yang paling besar perananya di perairan yaitu sebagai produsen primer. Salah satu sifat khas fitoplankton adalah dapat berkembang sacara kerapatan berlipat ganda dalam waktu yang relatif singkat, tumbuh dengan kerapatan tinggi, melimpah, dan terhampar luas (Nontji, 1987).

Zooplankton, disebut juga plankton hewani, adalah hewan yang hidupnya mengapung, mengambang, atau melayang di air. Kemampuan renangnya sangat terbatas hingga keberadaanya sangat ditentukan oleh arus. Zooplankton bersifat heterotrofik, yakni tidak dapat memproduksi sendiri bahan organik dari anorganik. Oleh karena itu kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada bahan organik


(23)

dari fitoplankton sebagai makananya. Ukurannya yang paling umum berkisar

0,2-2 mm (Nontji, 2006).

Status tropik Waduk Ir. H. Juanda tergolong eutrofik - hypertropik (Nastiti

dkk, 2001). Akibat penambahan nutrien yang melimpah telah menyebabkan kelimpahan fitoplankton meningkat. Komposisi kelimpahan fitoplankton terdiri dari kelas chlorophyceae, cyanophyceae, bacillariophyiceae, dan dinophyiceae. Kelimpahan tertinggi dari kelas chlorophyceae(Umar dkk, 2004).

Zooplankton yang terdapat di Waduk Ir. H. Juanda termasuk dalam kelas crustaceae, terdiri atas 7 genera yaitu Cyclops, Diaptomus, Daphnia, Diaphanosoma, Brachionus, Keratella, dan Polyartha. (Kartamihardja, 2007).

2.4. Makanan ikan bandeng

Makanan merupakan faktor penting yang harus tersedia dalam suatu perairan. Ketersediaan makanan merupakan faktor yang menentukan kepadatan populasi, pertumbuhan, reproduksi dan dinamika populasi serta kondisi ikan yang ada disuatu perairan. Ikan yang hidup pada suatu perairan untuk melangsungkan hidupnya memerlukan makanan, sedangkan makanan ditentukan oleh kemampuan suatu perairan untuk mensuplai bahan organik (Effendi, 1979). Makanan alami bagi ikan dapat berupa fitoplankton, zooplankton, ikan, tumbuhan air, hewan dasar (organisme benthik) ataupun detritus, tergantung dari kategori jenis ikan, yaitu herbivora, karnivora, omnivora, dan detritifora


(24)

tumbuhan, oleh karena itu ikan pemakan tumbuhan cenderung memakan material tumbuhan yang lambat dicernanya. Ikan herbivor harus dapat mengekstraksi nutrien melalui ususnya yang panjang. Usus ini berfungsi sebagai penahan makanan dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama untuk mendapat kesempatan penggunaan penuh material makanan yang sudah dicerna (Effendi, 1997).

Ikan herbivor tidak mempunyai gigi dan mempunyai tapis insang yang lembut yang dapat menyaring fitoplankton dari air. Ikan ini tidak mempunyai lambung yang benar (yaitu bagian usus yang mempunyai jaringan otot kuat, mengekresi asam, mudah mengembang, terdapat di bagian muka alat pencerna makanannya), ususnya panjang berliku-liku dengan dinding yang tipis. Ikan karnivor mempunyai gigi untuk menyergap, menahan, dan merobek mangsa dan jari-jari tapis insangnya menyesuaikan untuk penahan, memegang, memarut, dan menggilas mangsa. Memiliki lambung benar, palsu dan usus pendek, tebal dan elastis (Effendi, 1997).

Ikan bandeng adalah ikan herbivora (Garcia, 1990), pada seluruh stadia hidup ikan ini merupakan ikan planktivorus, aktivitas makannya adalah pada siang hari (Kumagai et al, 1985). Makanan dimakan dengan cara menyaringnya dari air kemudian masuk ke dalam mulut, dengan menggunakan tapis insang (Gordon & Hong, 1986).

Jenis makanan ikan bandeng bervariasi teragantung pada stadia hidup dan habitatnya. Ikan bandeng dewasa di alam jenis makanan utamanya terdiri dari organisme benthik dan planktonik yang terdiri dari gastropoda, lamellibranchia,


(25)

foraminifera, alga berfilamen, diatoma, cocepoda, nematoda, dan detritus. Sedangkan larva bandeng umumnya memakan Copepod dan diatoms (Santiago, 1986). Menurut penelitian Luckstadt (2002) melaporkan bahwa isi lambung ikan bandeng juvenil di Tarawa Selatan Philipina didominansi oleh alga yang terdiri dari alga sel tunggal (chlorophyta), sel tunggal dan sel berfilamen (cyanophyta), diatom, crustaceae, ciliata, dinoflagellata, rotatoria, dan yang terbesar adalah detritus.

Ikan bandeng yang dibudidayakan di tambak umumnya memakan klekap (lab-lab), yaitu komunitas mahluk hidup komplek yang terdiri dari asosiasi antara

blugreen algae, diatom, dan hewan invetebrata serta lumut (alga hijau berfilamen). Menurut Garcia (1990) klekap atau lab-lab merupakan komposisi biologi kompleks dari hewan dan tumbuhan mikrobentik yang berasosiasi dengan lumpur di dasar kolam. Komponen tumbuhan dapat terdiri dari berbagai tipe alga berfilamen dari bluegreen algae dan green algae serta diatom. Komponen hewan terdiri dari protozoa, copepoda, ostracoda, nematoda, moluska, dan crustaceae. Namun demikian dari banyak studi mengenai kebiasaan makanan menunjukan bahwa kelompok makanan yang disukai oleh seluruh kelompok umur ikan bandeng adalah bluegreen algae dan yang dipelihara di tambak air payau adalah benthik diatom (Tang Hwang, 1966 dalam Garcia, 1990).

2.5. Kimia dan Fisika Perairan


(26)

nilai produksi dan kapasitas dalam membentuk senyawa organik dari senyawa anorganik banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti kondisi fisika dan kimia, ketersediaan unsur hara dalam suatu perairan, kondisi iklim, dan pemangsaan oleh organisme herbivora (Wiadnyana, 1996). Beberapa faktor eksternal yang berperan dalam membentuk senyawa organik dan anorganik di perairan adalah cahaya, oksigen, kecerahan, suhu, pH, dan Nutrien.

1. Cahaya

Perkembangan fitoplankton sangat ditentukan oleh intensitas sinar matahari, temperatur, unsur hara, dan tipe komunitas fitoplankton (Goldman dan Horne, 1982). Dalam suatu pengamatan, fitoplankton sering dijumpai memiliki perbedaan baik jenis ataupun jumlahnya pada daerah yang berdekatan, meskipun dari massa air yang sama. Pada perairan sering didapatkan kandungan fitoplankton yang sangat melimpah, namun pada stasiun di dekatnya kandungan fitoplankton sangat sedikit (Davis, 1995). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kelimpahan dan penyebaran fitoplankton antara lain angin, unsur hara, kedalaman perairan, dan aktivitas pemangsaan (Fahrul, 2002).

2. Oksigen

Oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosíntesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut. Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung dari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut. Odum (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen


(27)

pada lapisan permukaan akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis.

Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik. Keperluan organisme terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya. Oksigen di dalam air berguna untuk menunjang kehidupan ikan dan organisme air lainnya. Kadar oksigen terlarut di perairan yang ideal bagi pertumbuhan ikan dewasa adalah > 5 mg/l. Pada kisaran 4–5 mg/l ikan masih dapat bertahan tetapi pertumbuhannya terhambat (Jubaedah, 2006).

3. Kecerahan

Penetrasi cahaya sering kali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, membatasi zona fotosintesa dimana habitat akuatik dibatasi oleh kedalaman. Kekeruhan terutama disebabkan oleh lumpur dan partikel yang dapat mengendap, dan sering kali menjadi faktor pembatas. Sebaliknya bila kekeruhan disebabkan oleh organisme, ukuran kekeruhan merupakan indikasi produktifitas. (Odum, 1981).

Kecerahan dapat diukur dengan alat yang amat sederhana yang disebut

cakram Secchi yang berupa cakram putih dengan garis tengah kira-kira 20 cm dan dimasukan kedalam air sampai tak terlihat dari permukaan. Kedalaman itu disebut kejernihan atau kecerahan cakram Secchi yang berkisar antara beberapa cm pada air yang sangat keruh dan sampai 40 m pada air yang amat jernih (Odum, 1981).


(28)

Winarni (2004) melaporkan bahwa kecerahan Waduk Ir. H. Juanda berkisar antara 73 - 130 crn.

4. Suhu

Suhu dalam perairan mempunyai sifat yang unik yang berhubungan dengan panas yang secara bersama-sama mengurangi perubahan suhu sampai tingkat minimal, sehingga perbedaan suhu dalam air lebih kecil dan perubahan yang terjadi lebih lambat dari pada udara (Odum,1971). Suhu merupakan faktor utama yang mempengaruhi proses fisika kimia yang terjadi di dalam perairan. Suhu air secara tidak langsung akan mempengaruhi kelarutan oksigen dan secara langsung mempengaruhi proses kehidupan organisme. Kisaran suhu perairan Waduk Ir. Juanda menurut Goenawati, dkk (2008) berkisar antara 28,5-30.4 C0. 5. Derajat keasaman (pH)

Derajat keasaman adalah banyaknya ion hidrogen yang terkandung di dalam air. Nilai pH di sungai dipengaruhi oleh karakteristik batuan dan tanah di sekelilingnya. Tinggi rendahnya pH air sangat ditentukan oleh konsentrasi ion hidrogen yang terdapat dalam perairan. Setiap organisme mempunyai pH optimum untuk kehidupannya. Nilai pH perairan merupakan salah satu faktor lingkungan yang berhubungan dengan susunan spesies dari ikan. Kisaran pH yang ideal untuk kehidupan ikan adalah antara 6,5 - 8,5 (Jubaedah, 2006).

pH Waduk Ir. H. Juanda Menurut Goenawati, dkk (2008) pH di Waduk Ir. H. Juanda berkisar 7,5-8,5. Kisaran pH tersebut merupakan kisaran yang masih mendukung untuk kehidupan plankton dan ikan. Kisaran pH menurut Boyd


(29)

(1982) untuk kehidupan ikan adalah 6-8, sedangkan pH yang ideal bagi kehidupan plankton berkisar antara 6,8 – 8,0.

6. Nutrien

Fitoplankton membutuhkan berbagai unsur untuk pertumbuhannya. Beberapa unsur ini dibutuhkan dalam jumlah relatif besar dan disebut hara makro (macro-nutrient) misalnya C (karbon), O (oksigen), N (nitrogen), P (fosfor), Si

(sillikon), S (sulfur), Mg (magnesium), K (kalium) dan Ca (kalsium). Diantara unsur-unsur ini P, N, dan Si ádalah yang paling sering dijumpai sebagai faktor pembatas (limiting factor) pertumbuhan fitoplankton. Unsur P dan N diperlukan

untuk semua jenis alga fitoplankton sedangkan Si terutama dibutuhkan oleh jenis-jenis yang dinding selnya mengandung kerangka Si, misalnya diatom (Nontji, 2006)

Selain hara makro diperlukan juga hara mikro (micro-nutrien) untuk

pertumbuhan alga fitoplankton. Hara mikro ini berupa unsur-unsur kelumit (trace

element) yang diperlukan dalam jumlah yang Sangat kecil seperti Fe (besi), Mn

(mangan), Cu (tembaga), Zn (seng), B (boron), Mo (molibdenum), V (vanadium), dan Co (kobalt). ( Nontji, 2006).

a. Nitrogen (N)

Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan fitoplankton dan merupakan unsur utama pembentukan protein. Nitrogen bebas air segera mengalami perubahan menjadi ammonia, ammonium, nitrit, dan nitrat (Wardoyo, 1981 dalam Rafii, 2004). Fitoplankton pada umumnya mensintesa


(30)

dinophyceae dapat memenuhi kebutuhannya akan nitrogen dengan memanfaatkan senyawa-senyawa nitrogen dengan memanfaatkan senyawa organik yang larut dalam organik yang larut dalam air. Umar, dkk (2004) melaporkan bahwa kandungan toatal nitrogen di Waduk Ir. H. Juanda dari semua stasiun pengamatan relative tinggi yaitu 0,353 – 0,626 mg/l.

b. Fosfor (P)

Fosfor di perairan terdapat dalam berbagai bentuk, diantaranya dalam bentuk butiran-butiran kalsium fosfat (CaPO4) dan besi fosfat (FePO4) dan

sebagian lagi dalam bentuk fosfat anorganik (orthophosphat) (Romimohtarto dan Juwana, 1999). Menurut Bruno et al (1987 dalam Widjaya, 1994), kandungan

fosfat yang yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton berada pada kisaran 0,27-5,51 ppm. Umar, dkk (2004) malaporkan bahwa total fosfor Waduk Ir. H.


(31)

BAB III METODOLOGI Penelitian pemanfaatan

plankton oleh ikan bandeng Penebaran

Ikan bandeng di Waduk Ir.H.Juanda

kelimpahan plankton di Waduk Ir.H.Juanda Kelimpahan plankton di Waduk

Ir. H. Juanda Tinggi

Pemanfaatan plankton Optimal/tidak Sebagai sumber pakan alami yang dapat

dimanfaatkan bagi plankton feeder

Analisa lambung ikan bandeng


(32)

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2010, bertempat di Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat. Analisa plankton dan isi lambung ikan bandeng dilakukan di Laboratoium Fisiologi Pusat Penelitian Limnologi LIPI Cibinong.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan meliputi; plankton net no. 25, mistar ukur, Secchi disk, Van dorn bottle sampler volume 2 liter, plastik ukuran ¼ kg, alat pengukur kualitas air (Water Quality Checker Horiba U-10), dan Sedgwick rafter .

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sampel lambung ikan bandeng, plankton, dan pengawet berupa lugol 1 % dan formailin 10 % (Handayani, 2003), serta contoh air dari hasil pengambilan di lapangan.

3.3. Cara kerja

Pengambilan contoh lambung ikan bandeng, contoh plankton, pengukuran panjang serta pengukuran parameter kualitas air dilakukan satu kali pada empat stasiun penelitian yang mewakili kondisi perairan waduk. Analisis makanan utama ikan bandeng, kelimpahan plankton, serta analisis parameter kualitas air Waduk Ir. H. Juanda dilakukan pada Laboratorium Fisiologi Pusat Penelitian Limnologi-LIPI.


(33)

Penentuan stasiun penelitian dibagi menjadi empat stasiun yang mewakili perairan Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat (Gambar 2).

 Stasiun1: daerah Inlet yang utama aliran air Sungai Citarum.  Stasiun 2: daerah tengah waduk

 Stasiun 3: daerah genangan utama dekat dengan DAM utama

 Stasiun 4: daerah budidaya ikan keramba jaring apung (KJA)

Gambar 2. Peta stasiun penelitian di Waduk Ir.H.Juanda Sumber: http:// Maps.Google.com

3.3.2. Pengambilan sampel lambung ikan bandeng

Pengambilan ikan bandeng untuk diambil lambungnya dilakukan berdasarkan hasil tangkapan nelayan yang dianggap mewakili ukuran ikan bandeng yaitu ukuran kecil, ukuran sedang, dan ukuran besar dari tiap-tiap

DAM Utama

Sungai Cilalawi

1

2

3

4

Sungai Citarum

Jawa Barat Lokasi Waduk


(34)

diambil lambungnya lalu dimasukan keadalam plastik ¼ kg dan diawetkan dengan formalin 10 % dan diberi label. Sampel lambung ikan dikelompokan berdasarkan ukuran panjang dan lokasi stasiun penelitian. Contoh lambung dianalisa di Laboratorium Fisiologi Pusat Penelitian Limnologi-LIPI Cibinong.

Lambung yang telah dibedah, diambil isinya kemudian diencerkan dengan 10 ml aquadest, kemudian diidentifikasi dengan mikroskop olympus CH - 2 dan Nikon DHIAPHOT 300 dengan perbesaran 20 x 10 dengan metode estimasi persentase volume pada lapang pandang dengan menduga indeks bagian terbesar (indeks of preponderance) satu jenis makanan yang dimanfaatkan oleh ikan bandeng (Effendi, 1997).

Berdasarkan pengambilan ikan bandeng dari 4 stasiun di Waduk Ir. H. Juanda didapatkan ukuran ikan berkisar antara 12 – 32 cm kemudian dibagi menjadi 3 kisaran ukuran yakni didapatkan ukuran ikan kecil berkisar (12-18 cm), ikan sedang (19-25 cm), dan ikan besar (26-32 cm). Ikan ukuran kecil sebanyak 7 ekor, ikan ukuran sedang sebanyak 36 ekor, dan ikan besar sebanyak 17 ekor dengan total keseluruhan 60 ekor ikan bandeng.

3.3.3. Pengambilan contoh plankton

Pengambilan contoh plankton dilakukan bersamaan dengan pengambilan contoh ikan, contoh air diambil pada permukaan sebanyak 10 liter pada kedalaman Secchi disk dan 2,5 x Secchi disk (Preisendorver, 1986) masing-masing 4 liter dengan menggunakan Van dorn bottle sampler. Contoh air disaring dengan plankton Net No. 25, dan contoh air dimasukan kedalam botol 19 ml yang


(35)

diawetkan dengan lugol 1 % sebanyak 5-10 tetes. contoh plankton selanjutnya diamati dibawah mikroskop dengan metode sapuan menggunakan Sedgwick rafter

untuk mencacah plankton yang tersaring kemudian diidentifikasi dengan buku Prescot (1951), (1961) dan Mizuno (1979).

3.3.4. Pengukuran Kualitas Air

Pengukuran kualitas air dilakukan di setiap stasiun bersamaan dengan pengambilan contoh ikan yakni mengukur suhu, pH, DO, dan kecerahan dengan menggunakan alat WQC Horiba U-10 dan Secchi disk. Kemudian pengambilan contoh air untuk mengukur total N, dan total P. Sampel air dimasukan kedalam botol sampel 500 ml dan selanjutnya dianalisa di laboratorium dengan menggunakan metode brucine untuk total N dengan dan untuk metode molybdate

untuk total P.

3.4. Bagan Kerja


(36)

3.5. Analisis Sampel

3.5.1. Kelimpahan plankton

Perhitungan kelimpahan plankton dilakukan dengan menggunakan metode sapuan di atas gelas objek Sedgwick rafter. Rumus perhitungan kelimpahan plankton berdasarkan APHA (1995) adalah sebagai berikut:

N = N x Vr X 1

Pengukuran Kualitas Air Pengambilan contoh air Analisis N dan P Analisis Plankton

N dan P Plankton Kecerahan (cm)

Suhu C0

pH DO (mg/l) Turbiditas (NTU)

Analisis lambung ikan Contoh lambung


(37)

Vo Vs

Hhhh

Dimana:

N = kelimpahan palnkton (ind/l)

n = jumlah plankton yang tercacah (ind/l) Vr = volume air tersaring (ml)

Vo = volume air yang diamati pada Sedgwick rafter (ml) Vs = volume air yang disaring (l)

3.5.2. Penentuan makanan utama

Penentuan makanan utama ikan bandeng dilakukan dengan perhitungan indeks bagian terbesar (Index of preponderance, IP), yang merupakan kombinasi metode frekuensi kejadian dengan metode volumetrik seperti yang dikemukakan oleh Natarjan & Jhigran (1961 dalam Effendi 1979):

IP = Vi X Oi x 100%

∑(Vi X Oi) Dimana:

IP = Index of preponderance

Oi = Persentase frekuensi kejadian satu macam makanan

Vi = Persentase volume satu macam makanan

∑(Vi x Oi) = jumlah dari Vi x Oi dari semua macam makanan

Penelitian makanan utama, makanan pelengkap dan makanan tambahan pada setiap kelas ukuran ikan ditentukan berdasarkan kriteria penilaian yang dikemukakan oleh Nikolsky (1963), Berdasarkan nilai IP, kelompok makanan utama IP > 40%, makanan pelengkap IP 4% - 40% dan makanan tambahan IP < 4 %.


(38)

3.5.3. Analisis Data

Data yang telah didapat dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan di atas. Hasil penelitian ini akan disajikan dalam bentuk tabulasi dan histogram.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kualitas Air Waduk Ir. H. Juanda

Kondisi perairan Waduk Ir. H. Juanda dari beberapa paramater lingkungan yang diukur seperti kecerahan berkisar 58-100 cm, suhu 27,2-30,9 0C, pH


(39)

6,95-8,14, DO 1,14-9,76 mg/l, Turbiditas 4–16 NTU, total nitrogen (TN) 0,265– 1,7061 mg/l, dan total fosfor (TP) 0,0441–0,0902 mg/l (Tabel 1 & 2).

Tabel 1. Hasil Pengukuran Kualitas air setiap stasiun berdasarkan kedalaman zona fotik di Waduk Ir. H. Juanda

Tabel 2. Hasil Pengukuran Kualitas air setiap stasiun di Waduk Ir. H. Juanda

Nilai kecerahan perairan Waduk Ir. H. Juanda berkisar antara 58 – 100 cm (Tabel 2) dengan kecerahan tertinggi dijumpai pada stasiun 3 dan terendah pada stasiun 1. Stasiun 3 merupakan wilayah genangan utama Waduk Ir. H. Juanda yang memungkinkan pada stasiun ini terjadinya proses pengendapan karena kondisi perairan yang relatif tenang. Nilai kecerahan ini relatif lebih rendah dibandingkan nilai kecerahan yang dilaporkan oleh Winarni (2004) yang melaporkan bahwa kecerahan Waduk Ir. H. Juanda berkisar 73-130 cm.

Nilai terendah terhadap kecerahan pada stasiun 1. Hal ini dimungkinkan karena pada stasiun ini terjadi kelimpahan plankton yang lebih tinggi dari stasiun lainnya yang menyebabkan berkurangnya penetrasi cahaya yang masuk

Kedalaman (cm) Permukaan Secchi Disk 2,57 x Secchi Disk

Kualitas Perairan

/Stasiun 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 pH 7,86 7.05 7.55 7.93 7.78 7.1 7.33 7.43 6.95 7.03 8.14 7,06 DO (mg/l) 9,76 5.85 6.06 6.03 9.34 5.85 6.14 5.59 1.14 5.83 6.14 5,54 Suhu 0 C 30,9 30 29.3 30.1 30.4 29.5 29.2 29.9 28.1 29.5 27.2 29,7 Turb. (NTU) 16 4 10 6 8 4 4 5 13 4 5 8

Kualitas Perairan ST. 1 ST. 2 ST. 3 ST. 4 Kecerahan (cm) 58 79 100 68

TN (mg/l) 1.7061 0.6265 0.6270 0.8058 TP (mg/l) 0.0902 0.0441 0.0784 0.0654


(40)

sampai ke dalam perairan. Nilai kecerahan pada stasiun yang rendah 58 cm sementara turbiditasnya paling tinggi 16 NTU (Tabel 1 & 2).

Perairan Waduk Ir. H. Juanda memiliki kisaran suhu air antara 27,9 – 30,9

0

C (Tabel 1), dengan penurunan suhu dari setiap kedalaman wilayah fotik relatif kecil. Kisaran ini tidak jauh berbeda dengan Winarni (2004) yang melaporkan bahwa suhu Waduk Ir. H. Juanda yang berkisar antara 28,5-29,8 0C dan Goenawati dkk (2008) yang melaporkan bahwa kisaran suhu perairan Waduk Ir. Juanda berkisar antara 28,5-30,4 0C. Menurut Nastiti (1989) di perairan Waduk Ir. H. Juanda perbedaan suhu pada kolom air antara 0-10 m kurang dari 3 0C dan suhu relatif tinggi sepanjang tahun (>250C) serta tidak menunjukan gejala stratifikasi.

Kandungan oksigen terlarut (DO) pada perairan waduk berkisar antara 1,14 – 9,76 mg/l (Tabel 1). Kandungan DO tertinggi terjadi di stasiun 1 yaitu 9,76 mg/l yakni pada lapisan permukaan dan terendah pada pengambilan stasiun ini pula yakni pada kedalaman 145 cm atau pada kedalaman 2,5 x Secchi disk (Tabel 1). Tingginya nilai DO di lapisan permukaan stasiun 1 dapat terjadi karena proses difusi yang tinggi akibat adanya agitasi di wilayah tersebut atau karena hasil fotosintesis dari tingginya kelimpahan fitoplankton (ind/l) pada stasiun ini.

Menurut Salmin (2000) Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari dari suatu proses difusi dari udara bebas dan fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut. Simarmata (2007) melaporkan bahwa rata-rata konsentrasi DO di kolom air permukaan Waduk Ir. H. Juanda berkisar


(41)

antara 3,32−8,93 mg/l dan di lapisan tengah yaitu pada kedalaman 7 m konsentrasi DO berkisar antara 1,44 - 4,78 mg/l.

Nilai DO terendah terjadi pada stasiun 1 pula yakni pada kedalaman 145 cm. Hal ini dimungkinkan karena pada wilayah ini merupakan wilayah aliran sungai yang kedalamanya agak dangkal sehingga konsentrasi DO yang terukur sangat rendah. Nilai DO yang terukur merupakan nilai yang termasuk rendah (<2 mg/l) karena menurut Swingle (1968), kandungan DO minimun untuk mendukung kehidupan organisme adalah 2 mg/l dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa (toksik).

pH pada perairan waduk berkisar antara 6,95 – 8,14 (Tabel 1). Goenawati,

dkk (2008) melaporkan bahwa pH di Waduk Ir. H. Juanda berkisar antara 7,5-8,5. Kisaran pH tersebut merupakan kisaran yang masih mendukung untuk kehidupan plankton dan ikan. Menurut Boyd (1982) kisaran pH yang layak untuk kehidupan ikan adalah 6-8, sedangkan pH yang ideal bagi kehidupan plankton berkisar antara 6,8 – 8,0.

Kandungan total nitrogen (TN) dan total fosfat (TP) pada perairan merupakan ukuran untuk kesuburan perairan. Konsentrasi TN dan TP pada perairan Waduk Ir. H. Juanda dari empat stasiun berkisar antara 0,6265 – 1,7061 mg/l dan 0,0441 - 0,0902 mg/l (Tabel 2). Ryding dan Rast (1989) mengemukakan bahwa perairan eutrofik memilki kadar TN berkisar antara 0,393 - 6,100 mg/l dan kadar TP berkisar antara 0,016 - 0,386 mg/l. Dengan demikian perairan Waduk Ir. H. Juanda dapat digolongkan sebagai perairan


(42)

Kandungan TN dari masing-masing stasiun memperlihatkan variasi, kandungan tertinggi pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 2. Stasiun 1 merupakan inlet dari Waduk Ir. H. Juanda terutama diduga berasal dari Waduk Cirata sehingga banyaknya masukan nutrien yang masuk ke stasiun ini. Menurut Sukimin (1996) kandungan bahan organik yang masuk ke perairan, terutama di daerah sumber utama air (outlet Waduk Cirata) mempunyai kisaran yang lebih besar dibandingkan dengan zona lainnya.

Kandungan TN yang rendah terjadi pada stasiun 2 dan 3 yang kandungannya tidak berbeda nyata. Hal ini dimungkinakan pada stasiun ini merupakan staisun yang berada pada zona transisi yakni zona pertemuan antara air waduk yang mengalir dan juga perairan waduk yang relatif tenang hal ini menyebabkan TN pada stasiun ini paling rendah karena dimungkinkan mengalami sedimentasi.

Kandungan TP di perairan Waduk Ir. H. Juanda hampir sama dengan kandungan TN. Kandungan TP tertinggi pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 2. Kandungan TP tertinggi pada stasiun 1 sedangkan kandungan terendah pada stasiun 2, kerendahan ini dimungkinkan karena stasiun ini merupakan zona penggaduhan atau zona transisi yaitu daerah pertemuan antara daerah mengalir dan daerah menggenang dimungkinkan mengalami pengendapan sehingga kandungan fosfat pada stasiun ini relatif rendah.


(43)

Ditemukan 27 genus plankton yang terdiri 5 kelas dari fitoplankton dan 2 kelas dari zooplankton. fitoplankton tardiri dari kelas cyanophyceae (5 genus), chlorophycea (10 genus), bacillariophyceae (4 genus), dynophyceae (2 genus), dan euglanophyceae (1 genus) sedangkan zooplankton terdiri dari dua kelas crustaceae (cladocera dan copepoda) (3 genus) dan rotatoria (2 genus).

Dari hasil pengamatan fitoplankton yang paling tinggi kelimpahnnya adalah dari chlorophyceae (10 Genus). Genus yang paling tinggi jumlah kelimpahannya adalah Chlorella (tabel 3). Umar, dkk (2004) melaporkan bahwa chlorophyceae merupakan kelas yang paling tinggi persentasenya di Waduk Ir. H. Juanda.

Zooplankton yang ditemukan pada saat pengamatan adalah rotatoria, cladocera, dan copepoda. Kelimpahan tertinggi dari rotatoria. Rotatoria terdiri dari genus Karatella dan Branchionus sedangakan cladocera terdiri dari

Daphnia dan Bosmina, sedangkan copepoda yaitu genus Cyclops (tabel 3 & lampiran 4). Sulawesty, dkk (2008) menyatakan bahwa copepoda dan cladocera merupakan kelompok zooplankton yang hampir selalu ada di setiap situ yang ada di Jawa Barat, rotifera juga ditemukan di semua situ kecuali di Situ Patenggang.

Tabel 3. Kelimpahan plankton rata-rata berdasarkan zona fotik dari setiap stasiun di Waduk Ir. H. Juanda

No. PLANKTON GENUS ST. 1 ST. 2 ST. 3 ST. 4

FITOPLANKTON


(44)

2 Chlorophyceae Scenedesmus 3 1 14

Staurastrum 42 14 39 30

Ulothrix 112 37 95 51

Pediastrum 6 2 4

Chlorella 9551 3184 364 75

Monaripidium 32 11 34

Cosmarium 2 10

Closterium 9 3 98 95

Oocystis 2

Coelastrum 1

3 Bacillariophyceae Synedra 19 6 15 31

Frustulia 19 6 30 21

Navicula 2 1 8 10

Cymbella 4 1

4 Dynophyceae Ceratium 28 9 50 50

Glenodinium 141 47 23 40

5 Euglenophyceae Trachelomonas 3

ZOOPLANKTON

7 Crustacea

Cladosera

Daphnia 8 3 4 6

Bosmina 3

Copepoda Cyclops 5 2 4 8 Rotatoria Karatella 9 3 11 21

Branchionus 4 23

Jumlah 13924 4641 2589 2791

Kelimpahan cyanophyceae di setiap stasiun relatif tinggi karena kemampuan sebarnya yang luas serta didukung oleh lingkungan yang mendukung kehidupannya. Mason (1993) menyatakan bahwa ciri umum alga di danau eutrofik adalah sering didominansi oleh cyanophyceae, sedangkan menurut Kumar & Sigh (1979 dalam Prihantini, 2006) menyatakan bahwa meningkatnya kadar nutrien ditambah dengan suhu dan cahaya yang sesuai, aliran air yang sangat lambat, dan adanya faktor pendukung lain menyebabkan terjadi blooming cyanophyta di perairan. Niken, dkk (2006) melaporkan bahwa cyanophyceae merupakan penyusun utama komunitas fitoplankton di seluruh lokasi penelitian Waduk Ir. H. Juanda pada ketiga lapisan kedalaman. Penyusun


(45)

komunitas selanjutnya adalah dari kelas chloropyceae terdiri dari genus Ulothrix

dan Chlorella kelas bacillariophyceae dan kemudian dari kelas dinophyceae.

Gambar 3. Kelimpahan Plankton dari tiga kedalaman zona fotik yang berbeda pada tiap stasiun pengamatan di Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat

Kelimpahan plankton tertinggi terdapat pada stasiun 1 pada permukaan yaitu 18.697 ind/l dan kelimpahan terendah pada stasiun 4 pada permukaan juga yakni 1.034 ind/l (Gambar 3). Kondisi tersebut dimungkinkan terjadi karena pada stasiun 1 merupakan inlet utama dari Waduk Ir. H. Juanda dari Waduk Cirata yang membawa nutrien yang masuk ke Waduk Ir. H. Juanda yang bersumber dari Waduk Cirata. Jika dikaitkan dengan kandungan TN dan TP pada stasiun 1 lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya, yaitu dengan TN 1,7061 mg/l dan TP 0,0902 mg/l.

Kelimpahan plankton terendah pada permukaan stasiun 4 hal ini dimungkinkan karena faktor lingkungan yang menjadikan kelimpahannya lebih rendah dibandingkan stasiun lainnya yaitu suhu yang cukup tinggi 30,10C akibat penetrasi cahaya yang masuk ke perairan dan pH yang paling tinggi dibandingkan pada stasiun dan zona fotik lainnya yaitu 7,93 menyebabkan


(46)

Niken, dkk (2006) menyatakan bahwa nilai kelimpahan plankton di Waduk Ir. H. Juanda pada permukaan selalu lebih rendah dibandingkan dengan kedalaman 2 dan 4 m. Keadaan ini terjadi karena penetrasi cahaya yang masuk ke perairan akan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Akibatnya suhu pada permukaan air cendrung menjadi lebih tinggi, akibatnya fitoplankton cendrung berada di kedalaman tertentu yang masih mendapatkan cahaya dari pada perairan.

Goldman & Horne (1983), menyatakan bahwa pada umumnya fitoplankton banyak terdapat pada zona fotik, karena pada zona ini cahaya relatif banyak tersedia untuk fotosintetis. Kelimpahan planton dari tiga kedalaman yang berbeda pada zona fotik paling tinggi kelimpahannya pada permukaan. Kelimpahan terendah pada pengambilan kedalaman 2,5 x Secchi disk (Gambar 4). Pada permukaan stasiun 1 kelimpahan tertinggi adalah chlorophyceae 17.582 ind/l sedangkan kelimpahan terendah copepoda 3 Ind/l pada stasiun 1.

Secara umum plankton akan cendrung lebih banyak ditemukan dimana intensitas cahaya matahari paling banyak ditemukan oleh karenanya kelimpahan tertinggi terjadi pada permukaan. Umar, dkk (2004) mengemukakan bahwa kelimpahan fitoplankton di Waduk Ir. H. Juanda tertinggi terjadi pada kedalaman 0,5 m sedangkan kelimpahan terendah terjadi pada kedalaman 8 m.

Pada kedalaman Secchi disk memilki kecerahan berkisar 145-250 cm. plankton yang kelimpahannya tertinggi masih chlorophyceae 14.038 ind/l dan terendah cladocera 6 ind/l (Gambar 4 & 5) . Pada kedalaman 2,5 x Secchi disk


(47)

euglenophyceae 6 ind/l (Gambar 4 & 5). Menurut (Belcher & Swale, 1976

dalam Warsa, 2006) fitoplankton dari kelas cyanophyceae ditemukan hampir di seluruh kedalaman, karena mempunyai kemampuan untuk hidup pada perairan yang kurang cahaya matahari.

Gambar 4. Kelimpahan fitoplankton dari tiga kedalaman zona fotik yang berbeda pada tiap stasiun pengamatan di Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat


(48)

Gambar 5. Kelimpahan zooplankton dari tiga kedalaman zona fotik yang berbeda pada tiap stasiun pengamatan di Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat

4.3. Persentase Makanan ikan bandeng

Berdasarkan hasil analisis, isi lambung ikan bandeng terdiri dari fitoplankton, zooplankton, detritus, dan sisa tumbuhan. Masing-masing dengan persentase 43%, 46%, dan 11%. Plankton dan detritus merupakan makanan utama ikan bandeng di Waduk Ir. H. Juanda sedangkan tumbuhan merupakan makanan pelengkapnya ikan bandeng di Waduk ini mengikuti kriteria Nikolsky (1963) dimana makanan utama ikan bandeng adalah detritus dan plankton (Gambar 6). Dari analisis lebih lanjut, komposisi plankton pada isi lambung ikan terdiri dari fitoplankton yang berkisar antara 10 - 20 % dan zooplankton berkisar antara 9,6 - 30 % (Lampiran 6).


(49)

Gambar 6. Persentase makanan ikan bandeng untuk semua ukuran di Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat

Berdasarkan stasiun penelitian, pemanfaatan plankton oleh ikan bandeng yang tertinggi di stasiun 4 yang mencapai 50% plankton. Hal ini jika dikaitkan dengan ketersediaan plankton pada stasiun 4 yaitu kelas terbanyak dari zooplankton dari rotatoria namun yang paling banyak ditemukan pada lambung ikan adalah dari copepoda (Lampiran 5). Hal ini dimungkinkan rotatoria lebih mudah dicerna sehingga tidak teridentifikasi.

Persentase pemanfaatan plankton pada lambung ikan dan kelimpahan plankton di waduk berbanding terbalik. Stasiun 1 kelimpahan planktonnya tertinggi akan tetapi persentase pemanfaatan plankton pada lambung ikan bandeng rendah. Hal ini dimungkinkan ikan bandeng tidak memanfaatkan secara optimal plankton pada stasiun 1 karena pada stasiun ini kelimpahan chlorophyceae yaitu Chlorella paling tinggi kelimpahannya dengan rata-rata dari kedalaman zona fotik (9.551 ind/l) sementara ikan bandeng tidak mencerna

Chrolella. Menurut Juario & Storch (1984) ikan bandeng juvenil tidak dapat mencerna Chlorella yang memiliki dinding sel yang keras.

Persentase sisa tumbuhan tertinggi terjadi pada stasiun 1. Stasiun ini merupakan zona mengalir waduk yang masih terdapat tumbuhan di pinggir sungai yang dipinggirnya masih banyak tumbuhan. Tumbuhan inilah yang dimanfaatkan sebagai makanan ikan bandeng yang berukuran lebih besar di bandingkan dengan ikan bandeng yang berukuran lebih kecil. hal ini yang


(50)

dengan stasiun lainnya (Gambar 7). Sukimin & Nurlatifah (1999) malaporkan bahwa pada zona mengalir Waduk Ir. H. Juanda merupakan daerah yang banyak ditemukan tumbuhan air yang telah mati.

Persentase detritus pada saat pengamatan isi lambung paling tinggi dibandingkan dengan makanan lainnya (Gambar 7). Dilihat dari kemampuan ikan bandeng yang mampu hidup pada perairan yang dalam menyebabkan ikan ini dapat memanfaatkan kondisi waduk yang memang cukup dalam, sehingga ikan bandeng dapat mengambil makananannya dari perairan waduk yang banyak terdapat detritus. Detritus ini kemungkinan berasal dari sisa pakan ikan, feses, dan plankton yang mati. Sachlan (1982) menyatakan bahwa detritus diartikan sebagai fitoplankton yang mati, tetapi masih bisa digunakan sebagai makanan fauna.

Gambar 7. Persentase (%) isi lambung ikan bandeng dari tiap stasiun di Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat


(51)

Plankton yang ditemukan pada saat pengamatan terdiri dari 22 genus yang terdiri atas copepoda (2 genus), bacillariopyceae (6 genus), cladocera (2 genus), cyanophyceae 3 genus), chloropyceae (5 genus), rotatoria (2 genus), dan dinophycea (2 genus). Copepoda merupakan plankton yang paling banyak ditemukan pada saat pengamatan isi lambung ikan (Tabel 4).

Berdasarkan penelitian Luckstadt (2002) di Tarawa Selatan melaporkan bahwa isi lambung juvenil ikan bandeng didominansi oleh alga yang terdiri dari alga sel tunggal (chlorophyta), sel tunggal dan sel berfilamen (cyanophyta), diatom, crustaceae, ciliata, dinoflagellata, rotatoria, dan yang terbesar adalah detritus. Dari penelitian tersebut komposisi lambung ikan bandeng memilki banyak kesamaan dengan penelitian isi lambung ikan bandeng yang dilakukan di Waduk Ir. H. Juanda ini.

Tabel 4.Nilai (index of preponderance) IP lambung ikan bandeng di Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat

No. Isi Lambung/Stasiun ST. 1 (%) ST. 2 (%) ST. 3 (%) ST.4 (%)

Fitoplankton

1 Chlorophyceae 0.04 0.28 7.53 1.24 2 Cyanophyceae 14.65 2.87 2.78 2.49 3 Bacillariophyceae 0.81 7.04 21.50 13.66 4 Dinophyceae 0.05 0.13 0.81 2.94

Zooplankton

5 Rotatoria 0.14 1.28 0.21 2.31


(52)

8 Sisa Tumbuhan 26.58 14.79 0.40 2.45

9 Detritus 40.68 40.04 54.58 46.90

Jumlah 100 100 100 100

Copepoda merupakan crustacea yang paling banyak ditemukan pada saat pengamatan isi lambung ikan yaitu Cyclops dan Nauplius. Dari penelitian ini isi lambung ikan bandeng di Waduk Ir. H. Juanda diketahui bahwa secara spesifik kelompok copepoda merupakan zooplankton yang menunjukan persentase cukup tinggi dibandingkan jenis zooplankton lainnya (Tabel 4 & lampiran 6).

Menurut Sachlan (1982) copepoda merupakan primary-food untuk makanan ikan baik di laut maupun di air tawar, selanjutnya dikemukaan pula bahwa famili cyclopoidea mempunyai perananan penting di perairan tawar, terutama Cyclops yang terdapat di segala macam perairan tawar di seluruh dunia dan genus ini merupakan genus yang paling tahan hidup dalam kondisi jelek. Garcia (1990) melaporkan bahwa ikan bandeng dari perairan pantai memakan copepod dan diatom sebagai makanan utamanya. Mereka bisa memakan lebih dari satu copepod dalam satu waktu.

4.4. Pemanfaatan makanan berdasarkan ukuran ikan Bandeng

Secara umum detritus memilki persentase tertinggi dibandingkan dengan persentase makanan lainnya. Persentase plankton pada ukuran ikan lebih besar lebih rendah dibandingkan ukuran ikan yang lebih kecil akan tetapi variasi makanan lebih banyak pada ukuran ikan yang sedang dan besar yakni mampu memanfaatkan tumbuhan yang ada pada perairan maupun di sekitar Waduk Ir. H. Juanda (Gambar 8).


(53)

Gambar 8. Persentase (%) IP isi lambung masing –masing ukuran ikan bandeng di Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat

Ikan bandeng kecil pemanfaatan paling optimal pada stasiun 4 (50,5 %) plankton. Rata-rata dari masing-masing stasiun yaitu (50,0 %) komposisi plankton terdiri dari fitoplankton (32,0 %), dan (13,0 %) zooplankton. Plankton yang paling dominan ditemukan adalah Synedra (15,4 %) dan Navicula (14,8 %) dari kelas Bacillaryophyceae (Lampiran 5 & 6). Menurut Sachlan (1982), kelas Baciilariophyceae merupakan fitoplankton yang dinding selnya tidak diliputi oleh lendir yang tebal, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai makanan ikan bandeng yang berukuran kecil ini.

Ukuran bandeng sedang yang paling optimal pemanfaatan planktonnya adalah pada stasiun 4 yaitu (66,2%) plankton. Rata-rata dari setiap stasiun (47,8 %) plankton yang terdiri dari (19,4 %) fitoplankton dan (28,4 %) zooplankton, Plankton yang dominan adalah dari Cladocera yaitu Daphnia (21,5 %) (Lampiran 5 & 6)


(54)

zooplankton. Plankton yang dominan dari kelas cyanophycaea yaitu genus

Anabaena (25,9 %) (Lampiran 5 & 6).

Menurut Lukstadt (2002), salah satu isi lambung ikan bandeng Juvenil adalah alga berfilamen (Cyanophyta) dan hal ini diperkuat oleh Amores (2003) yang menyatakan bahwa Juvenil dan dewasa ikan bandeng memakan cyanobacteria, ganggang, dan invertebrata kecil didasar perairan. Tang Hwang (1966 dalam Garcia 1990) juga melaporkan bahwa kelompok makanan yang disukai oleh seluruh kelompok umur ikan bandeng adalah bluegreen algae dan benthik diatom yang dipelihara di tambak air payau.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Makanan utama ikan bandeng adalah plankton 43 % dan detritus 46 %. fitoplankton yang mendominasi adalah baciilariophyceae dan zooplankton yang mendominasi adalah copepoda.


(55)

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai ikan-ikan lain selain ikan bandeng yang mampu memanfaatkan plankton yang lebih maksimal sehingga dapat menjadi ikan tebaran di Waduk Ir. H. Juanda.

Ikan bandeng dapat menjadi ikan tebaran di Waduk Ir. H. Juanda karena ikan ini dapat memanfaatkan plankton sebagai makanan utamanya meskipun detritus juga dimanfaatkannya sebagai makanan.

DAFTAR PUSTAKA

APHA (American Public Health Association). 1995. Standard Method for Examination of Water and Waste Water.19 th ed. Washington D.C.

Amores, A.Y. 2003. The Milkfish Spawning Aggregation of Mactan Island, Central Philippines. Ocean Care Advocates, Inc.

Bagarinao, T.U. 1991. Biology of Milkfish (Chanos chanos Forsskal). Aquaculture Department, Southeast Asian Fisheries Development Center, Tigbauan, Iloilo, Philippines. September 1991. 94 pp.


(56)

Bagarinao, T.U. 1994. Systematics, Distribution, Genetics and Life History of Milkfish, Chanos chanos. Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC), Aquaculture Department, 5021 Tigbauan, Iloilo, Philippines. Boyd, C.E. 1982. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Auburn University of

Agriculture Station. Alabana, USA. 359 p

Davis, C.C. 1995. The Marine and Fresh Water Plankton.Michigan State. Univ. Press, 562.

Djanang, B.T.H. 2003. Analisa Kebiasaan Makanan Ikan Karandang (Channa pleurophtalamus) yang Tertangkap di Danau Sebagau. Jurnal Central Kalimantan Fisheries. Vol 4. 57-64.

DKP-ACIAR. Departemen Kelautan dan Perikanan dan Australian Centre for Intenational Agricultural Research. 2007. Panduan Teknis Pengelolaan Perikanan secara Bersama pada Perairan Waduk di Indonesia.

Efendi, H. 2000. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan. IPB. Bogor Effendi, M. I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor Effendi, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama Yogyakarta. Fahrul, F.M. 2002. Metode Ekologi untuk Penentuan Pencemaran Perairan.

Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Arsitektur Landsekap dan Teknologi Lingkungan. Jakarta: Univ. Trisaksti.

Fahrul, F.M. 2007. Metode Bioekologi Sampling. PT Bumi Aksara. Jakarta

Garcia, L.M.B. 1990. Fisheries Biology of Milkfish (Chanos chanos Forskal).

Proceedins of the Regional Workshop on Milkfish Culture Development in the South Pacific tarawa, Kribati, 21-25 November 1988.

Goenawati, I., M.A. Jabbar, I. Hermawati. 2008. Kesuburan Perairan Ditinjau dari Konsentrasi Nitrat, Phospat dan Kelimpahan Fitoplankton di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat. Jurnal Penelitian STP No.2

Gordon, M.S, and Hong, L.Q. 1986. Biology of Chanos chanos. In: Lee CS, Gordon MS, Watanabe WO. Editor. Aquaculture of Milkfish (Chanos chanos): State of the Art. The Oceanic Institute Makapuu Point Waimanolo, Hawai, hlm 1-33.


(57)

Gotanco, R.G.B and Menez M.A.J. 2004. Population Genetic Structure of

Milkfish, Chanos chanos, Based on PCR-RFLP Analysis of the

Mithocondrial Control Region. Marine Biologi. 145: 789 - 801

Handayani, T. 2003. Kebiasaan Makanan Ikan Tambakan (Helostoma

temminckiona dan Keterkaitannya dengan Ketersediaan Fitoplankton.

JCKF. Vol .4 (2): 98-109

Haryadi, S., I.N.N. Suryadiputra, dan B. Widigdo. 1992. Limnologi: Metode Kualitas Air. IPB. Bogor. 121 hal

Husen, M. 2000. Kelestarian Danau dan Waduk di DAS Citarum Potensi dan Ancaman. Prosiding Semiloka Nasional. Pengelolaan dan Pemanfaatan dan Danau dan Waduk. Universitas Padjajaran. Bandung

Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Penerbit Kansius (Anggota IKAPI). Yogyakarta

Juario, J.V and V. Storch. 1984. Biological Evaluation of Phytoplankton (Chlorella sp., Tetraselmis sp. and Isochrysis galbana) as Food for Milkfish Fry. Aquaculture. 40: 193– 198

Jubaedah, I. 2006. Pengelolaan Waduk bagi Kelestarian dan Keanekaragaman Hayati Ikan. Jurnal Penyuluhan Pertanian. Vol. 1 No. 1.

Kartamiharja, E.S. 2007. Distribusi Spasio Temporal Kelimpahan dan Biomassa Fitoplankton dalam Kaitannya dengan Potensi Produksi Ikan di Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat. Disertasi: Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor

Kartamiharja, E.P dan Krismono. 2003. Distribusi Spasio Temporal Kelimpahan dan Biomassa Fitoplankton dalam Kaitannya dengan Potensi Produksi Ikan di Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat. JPPI. Edisi Sumber Daya Penangkapan Vol.9 No.7 : 9 – 18.

Khoa, D.V and T.B. DO. 1999. Asean Marine Water Quality Criteria for

Dissolved Oxygen (DO). ASEAN-Canada CPMS-II AMWQC for

Dissolved Oxygen Cooperative Programme on Marine Science March 1999 XI. Marine Environment Division, Water Quality Management Bureau, Pollution Control Department.


(58)

(1982-Kumagai, S., T.U. Bogarinao., A. Unggai. 1985. Growth of Juvenile Milkfish

Chanos chanos in a Natural Habitat. Mar. Ecol. Prog. Serv. Vol. 22: 1-4 Lee, C.S. 1986. Reproduction. In: Lee C.S, Gordon M.S, Watanabe W.O. Editor.

Aquaculture of Milkfish (Chanos chanos ): State of the art. The Oceanic Institute Makapuu Point Waimanalo, Hawai. Hlm 57-76

Lukstadt, C. and Reiti, T. 2002. Investigetion on Feeding Behaviour of Juvenile Milkfish (Chanos chanos Forskal) in Brackishwater Lagoons on South Tarawa, Kribati. Verhandlungen der Gesellschaft Fur Ichthyologie Band

3, 37-38

Mason, C.F. 1993. Biology of Freshwater Pollution, 3rd. Ed. Longman Scientific and Technical. New York. 351.

Niklosky, G.V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press London. England Niken, T.M., Pratiwi, E.M,. Adiwilaga., M. Krisanti, dan H.D. Winarni. 2006.

Distribusi Spasial Fitoplankton pada Kawasan Keramba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Juanda. Prosiding Seminar Nasional Limnologi 2006.

Jakarta. 222-240 p.

Nastiti, A.S. 1989. Suatu Pendugaan Status Air Perairan Waduk Juanda di Daerah Pasir Kole Pada Bulan Juni 1988. Ditinjau Dari Aspek Fisika Kimia dan Fitoplankton. Tesis. Pasca Sarjana. IPB. Bogor. 82 hal.

Nastiti, A.S.K,. Krismono,. Kartamihardja, E.S. 2001. Dampak Budi Daya Ikan dalam Karamba Jaring Apung terhadap Peningkatan Unsur N dan P di Perairan Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. JPPI. Vol.7 (2) : 22 – 23 Nyibakken, J.W. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT

Gramedia. Jakarta

Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta

Mansyur, A dan S. Tonnek. 2003. Prospek Budidaya Ikan Bandeng di Keramba Jaring Apung Laut dan Muara Sungai. Balai Penelitian Perikanan Pantai Sulawesi Selatan

Mizuno, T. 1980. Illustration of Freshwater Plankton of Japan. Hoikosha Publishing Co.Ltd. Osaka. Japan.

Odum, E.P. 1981. Fundamental of Ecology 3rd edition. W.B Sounders. Co .Philadephia


(59)

PJT II (Perum Jasa Tirta II). 2005. Perum Jasa Tirta II dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Waduk Ir. H. Djuanda untuk Perikanan Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring Apung. Makalah disampaikan pada Workshop; Culture, Capture Coflicts: Substaining Fish Production and Livelihoods in Indonesian Reservoirs, Bandung 19-20 Oktober 2005. Kerjasama Ditjen Perikanan Budidaya dengan ACIAR, Australia. 13 hal

Peristiwady, T. 2006. Petunjuk Identifikasi, Ikan Ikan Ekonomis Penting di Indonesia. LIPI Press. Jakarta. 40-41

Preisendorfer, R.W. 1986. Secchi disk science: Visual optics of natural waters.

Limnol. Oceanogh 31: 909-926.

Prescot, G.W. 1951. Algae Of Western Great Lakes Area. Cranbrook Institute Of Science.

Prescot, G.W. 1961. How To Know, The Fresh Water Algae. WM. C Brown Company Publishers. IOWA. 348 p

Prihantini, N.B., W. Wardhana., A. Widyawan., dan R. Rianto. 2006. Cyanobacteria dari Beberapa Situ dan Sungai di Kawasan Jakarta dan Depok, Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Limnologi 2006. Jakarta. 210-221.

Rafii, A. 2004. Hubungan Karakteristik Fisika Kimiawi Peraiaran terhadap Sebaran Fitoplankton dan klorofil-a di Teluk Jobokut Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.

Rustamaji. 2009. Aktivitas Enzim Katepsin Dan Kolagenase dari Daging Ikan Bandeng (Chanos Chanos Forskall) selama Periode Kemunduran Mutu Ikan. Skripsi: IPB. Bogor.

Romimohtarto, K dan S. Juawana. 2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta

Ryding, S.O and W. Rast. 1989. The Control of Eutrofhication of Lakes and Reservoir. Man And Biosphere Series. UNESCO and Partheson Publ. Group. 314 p

Saanin, H. 1986. Taksonomi dan Kuntji Identifikasi Ikan. Penerbit Binatjipta. Bandung.


(60)

Salmin. 2000. Kadar Okisigen Terlarut di Perairan Sungai Dadap, Goba, Muara Karang dan Teluk Banten. Dalam: Foraminifera sebagai Bioindikator Pencemaran, Hasil Studi di Perairan Estuarin Sungai Dadap, Tangerang (Djoko P. Praseno, Ricky Rositasari, dan S. Hadi Riyono, eds.) P3O-LIPI. 42-46

Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. Jurnal Oceana. Vol XXX (3): 21 – 26

Santiago, C.B. 1986. Nutrition and Feeds. In: Lee C.S & Gordon M.S, Watanabe W.O. Editor. Aquaculture of Milkfish (Chanos chanos): State Of The Art. The Oceanic Institute Makapuu Point Waimanalo, Hawai. 181-199.

Simarmata A.H. 2007. Kajian Keterkaitan antara Kemantapan Cadangan Oksigen

dengan Beban Masukan Bahan Organik di Waduk Ir. H. Juanda , Purwakarta, Jawa Barat. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Straskraba, M,. and Tundisi, J.G. 1999. Guidelines of Lake Management Vol. 9. Reservoir Water Quality Management. International Lake Environment Committee, 236 pp.

Sukimin, S. 1996. Studi Pemantauan Kualitas Air dan Pola Penyusunan Pola Perikanan Jaring Apung di Perairan Waduk Ir. H. Juanda. SAMEO BIOTROP. Bogor.

Sukimin, S. 1999. Pengelolaan dan Pemanfaatan Perairan Waduk Ir. H. Juanda

untuk Perikanan yang Berwawasan Lingkungan. Semiloka Nasional

Pengelolaan Danau dan Waduk. SAMEO BIOTROP. Bogor.

Sukimin, S. dan H. Nurlatifah. 1999. Keanekaragaman Hayati Akuatik dan Kualitas Lingkungan Waduk Ir. H. Juanda. Perum Otorita Jatiluhur – SAMEO BIOTROP. Bogor.

Sulawesty, F., Reliana L.T., and Sulastri. 2008. Penyebaran Zooplankton di Beberapa Situ di Jawa Barat. Limnotek. Vol. XVI(1): 51-58

Swingel, H.S. 1968. Standardization of Chemestrical Analysis for Water and Pond Muds. F.A.O. Fish, Rep.Vol 4 (44): 397-421.

Triyanto. 2008. Komunitas Ikan dan Keterkaitan dengan Fakor Lingkungan di Perairan Waduk Ir. H. Juanda, Jatiluhur. Laporan Lapangan. Sekolah Pasca Sarjana. IPB Bogor (tidak dipublikasikan).

Umar, C., Adiwilaga, E.M., dan Kartamihardja, E.S. 2004. Struktur Komunitas dan Kelimpahan Fitoplankton Kaitannya dengan Unsur Hara (Nitrogen


(61)

dan fosfor) di lokasi Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring Apung, di

Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat. JPPI Edisi sumberdaya dan

Penangkapan. Vol. 10 (6) : 41-54.

Wardoyo, S.T.H. 1978. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Dalam : Prosiding Seminar Pengendalian Pencemaran Air. (eds

Dirjen Pengairan Departemen PU). 293-300

Warta Budidaya; Media informasi perikanan. 2008. Tahun ke-6, Edisi XVII/2008 Warsa, A dan Husna. 2006. Biolimnologi Danau Towuti Sulawesi Selatan.

Prosiding Seminar Nasional Limnologi 2006. Jakarta. 183-192.

Wiadnyana, N.N. 1996. Pengantar Kuliah dan Praktikum Produktifitas Perairan. BPPSDL. P3O-LIPI. Ambon

Widitastuti, E. 2004. Ketersediaan Oksigen Terlarut Selama 24 jam secara Vertikal Pada Lokasi Perikanan Keramba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta. Skripsi: IPB. Bogor

Widjaya, F. 1994. Komposisi Kelimpahan Plankton Laut di Teluk Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Fakultas Perikanan dan IPB. Bogor

Winarni, H.D. 2004. Distribusi Spasial Fitoplankton pada Kawasan Keramba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Juanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat.


(62)

(63)

Lampiran 1. Gambar plankton di perairan Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat (Perbesaran 20 x 10 – 40 x 10)

Microcystis

Foto: Aqil (2010)

Chrolella

Foto: Aqil (2010)

Ceratium

Foto: Aqil (2010)

Ulothrix


(64)

Lampiran 2. Gambar plankton dan sisa tumbuhan di lambung ikan bandeng Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat (Perbesaran 20 x 10 – 40 x 10)

Microcystis

Foto: Aqil (2010)

Ulothrix

Foto: Aqil (2010)

Bosmina

Foto: Aqil (2010)

Karatella


(65)

Lampiran 3. Gambar stasiun penelitian di Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat

Stasiun 1 Foto: Aqil (2010)

Stasiun 2 Foto: Aqil (2010)

Stasiun 3 Foto: Aqil (2010)

Stasiun 4 Foto: Aqil (2010)


(1)

52

Lampiran 3. Gambar stasiun penelitian di Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat

Stasiun 1

Foto: Aqil (2010)

Stasiun 2

Foto: Aqil (2010)

Stasiun 3

Foto: Aqil (2010)

Stasiun 4

Foto: Aqil (2010)


(2)

53

Lampiran 4. Tabel Kelimpahan (ind/l) plankton Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat

Ket: *

Secchi disk

(S D)

No. Plankton Genus Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

0 m SD* 2,5 x SD* 0 m SD* 2,5 x SD* 0 m SD* 2,5 x SD* 0 m SD* 2,5 x SD*

1 Cyanophyceae Microcystis 74 0 19 3 6 63 5 0 25 13

Oscillatoria 10 2514 5719 1383 3756 4205 13 1216 1992 41 3040 1925

Anabaena 1708 228 253 167 272 266 1246 101 44 378 203 32

Merismopedia 51 0 127 18 44 152 46 19 70 28 114 63

Nostoc 367 475 260 185 443 228 193 260 158 408 424 291

2 Chlorophyceae Scenedesmus 8 0 0 5 25 38 3 25 13 0 0 0

Staurastrum 18 19 89 20 19 63 41 25 51 8 13 70

Ulothrix 8 114 215 63 82 285 33 95 158 13 57 82

Pediastrum 5 13 0 0 13 19 0 0 13

Chlorella 16381 10900 1372 233 2503 3302 502 82 507 15 89 120

Monaripidium 0 95 0 0 0 0 0 0 101 0

Cosmarium 0 0 0 8 6 0 0 6 0 5 6 19

Closterium 28 0 0 208 120 89 48 152 95 68 152 63

Oocystis 0 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0

Coelastrum 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0

3 Bacillariophyceae Synedra 0 6 51 13 0 6 8 13 25 18 25,333 51

Frustulia 18 38 0 91 19 0 8 82 0 0 0 63

Navicula 0 6 0 3 0 32 0 6 19 18 13 0

Cymbella 0 0 13 10 0 6 0 0 0 0 0

4 Dynophyceae Ceratium 8 19 57 21 13 108 43 108 0 18 25 108

Glenodinium 0 146 279 0 51 44 5 6 57 13 51 57

5 Euglenopyceae Trachelomonas 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 0 0

Zooplankton

7 Crustacea

Cladosera

Daphnia 5 0 19 8 0 0 11 0 0 5 6 6

Bosmina 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0

Copepoda Cyclops 3 13 0 0 0 13 0 13 0

8 Rotatoria Karatella valga 8 6 13 5 6 19 0 0 32 0 0 63

Branchionus 0 6 6 0 0 70


(3)

54

Lampiran 5. Kualitas air di Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat

Stasiun Kedalaman pH D0 (mg/l) suhu C0 Cond. mS/cm Turb. (NTU) Kecerahan (cm) TN (mg/l) TN (mg/l)

Stasiun 1 Permukaan 7.86 9.76 30.9 0.264 16

Secchi disk (58 cm) 7.78 9.34 30.4 0.264 8 58 0.0902 1.7061

2,5 x Secchi disk (145 cm) 6.95 1.14 28.1 0.273 13

rata-rata 7.46 6.74 29.8 0.267 12

Stasiun 2 Permukaan 7.05 5.85 30 0.262 4

secchi disk (79 cm) 7.1 5.57 29.5 0.262 4 79 0.0441 0.6265

2,5 x Secchi disk (198 cm) 7.03 5.83 29.5 0.262 4

rata-rata 7.06 5.75 29.7 0.262 4

Stasiun 3 Permukaan 7.55 6.06 29.3 0.258 10

secchi disk (100 cm) 7.33 6.14 29.2 0.259 4 100 0.0784 0.6270

2,5 Secchi disk (250 cm) 8.14 6.14 27.9 0.259 5

rata-rata 7.67 6.11 28.8 0.259 8

Stasiun 4 Permukaan 7.93 6.03 30.1 0.248 6

secchi disk (68 cm) 7.43 5.59 29.9 0.248 5 68 0.0654 0.8058

2,5 Secchi disk (170 cm) 7.06 5.54 29.7 0.244 8

rata-rata 7.47 5.72 29.9 0.247 6


(4)

55

Lampiran 5. Nilai

index of preponderance

(IP) plankton di lambung ikan bandeng

Waduk Ir. H. Juanda Jawa, Barat.

No. PLANKTON/STASIUN

1 (%)

2 (%)

3 (%)

4 (%)

I

FITOPLANKTON

15,54

10,31

35,28

20,33

A

Chlorophyceae

0,04

0,28

7,51

1,24

1

Ankistrodesmus

0,22

0,23

2

Chlorella

0,04

0,06

0,04

0,15

3

Scenedesmus

0,02

4

Staurastrum

0,23

5

Ulothrix

7,01

1,07

B

Cyanophyceae

14,65

2,87

2,77

2,49

6

Anabaena

0,02

2,75

0,87

7

Microcystis

14,33

0,37

0,02

1,53

8

Oocystis

0,30

2,50

0,10

C

Bacillariophyceae

0,81

7,04

24,20

13,66

9

Fragillaria

0

0,03

10

Navicula

0

0

4,85

0,70

11

Nitzschia

0

0

0,03

12

Synedra

0,81

7,00

16,57

12,96

13

Frustullia

2,75

14

Pleurogonium

0,23

D

Dinophyceae

0,05

0,13

0,80

2,94

15

Ceratium

0,02

0,02

0,01

16

Glenodinium

0,02

0,13

0,79

2,93

II

ZOOPLANKTON

17,15

9.63

9,63

30,32

E

Rotatoria

0,14

1,28

0,21

2,31

17

Brachionus

0,03

0,26

18

Keratella

0,14

1,28

0,18

2,05

F

Crustacea

6,32

7,34

4,45

11,62

Cladocera

19

Bosmina

0,28

0,23

0,09

1,04

20

Daphnia

6,04

7,11

4,36

10,58

Copepoda

10,69

26,24

4,97

16,39

21

Cyclops

10,49

26,24

3,42

16,39

22

Nauplius

0,20

1,55

G

Tumbuhan

26,58

14,79

0,40

2,45

H

Detritus

40,68

40,04

54,46

46,9


(5)

56

Lampiran 6.

A.

Jadwal kegiatan penelitian

B.

Anggaran Dana Penelitian

Kegiatan

Bulan

Februari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

Persiapan penelitian

Pelaksanaan Penelitian

Analisis Data

I

TRANSPORTASI DAN LOGISTIK

RINCIAN

Jumlah (Rp.)

Depok-Kp.Rambutan @ Rp. 5000; x 2 x2 pp

Rp. 20.000;

Kp. Rambutan-Purwakarta @Rp. 100.000; x 2 x2 PP

Rp. 400.000;

Komsumsi @ Rp. 30.000 x 3 x 2

Rp. 180.000;

Sewa perahu @ Rp. 500.000 x 2

Rp. 1.000.000;

Jumlah

Rp. 1.590.000;

II

BAHAN

Formalin 10%

Rp. 100.000;

Lugol 1 %

Rp. 100.000;

Label @ 8000 x 2

Rp. 16.000;

Plastik 1/4 kg x @ Rp.8000 x 2page

Rp. 16.000;

Tissue gulung @ Rp. 4 000; x 6

Rp. 24.000;

Jumlah

Rp. 256.000;

PERALATAN

Peralatan bedah @Rp. 90.000 x 2 set

Rp. 180.000;

IV

PENELITIAN LABORATORIUM

Komsumsi

Makan @ Rp. 15.000 x 3 x 30

Rp. 1.350.000;

Transportasi

Depok - Cibinong @ Rp. 15.000 x 2 x 30

Rp. 900.000;

Jumlah

Rp. 2.250.000;

V

SEMINAR PROPOSAL DAN SKRIPSI

Seminar Proposal

Fotocopy + Jilid @ Rp. 8000 x 5

Rp. 40.000;

Seminar Hasil

Fotocopy + Jilid @ Rp. 12.000 x 5

Rp. 60.000;

Jumlah

Rp. 100.000;


(6)