TINJAUAN PUSTAKA Implication of Stocking Milkfish (Chanos chanos) on Plankton Consumption in Ir H Djuanda Reservoir, West Java
6 jumlah yang cukup besar. Nastiti et al. 2001 mengestimasi besarnya beban N
dan P yang berasal dari kegiatan KJA di Waduk Djuanda yaitu sebesar 36.531,3 tontahun dan 33.968,4 tontahun. Masukan bahan organik yang besar tersebut
telah menyebabkan perairan waduk mengalami proses eutrofikasi. Status trofik Waduk Djuanda tergolong eutrofik-hipertrofik Nastiti et al.
2001; Kartamihardja Krismono 2003. Akibat penambahan nutrien yang melimpah telah menyebabkan kelimpahan fitoplankton meningkat. Kelimpahan
fitoplankton di Waduk Djuanda sangat tinggi yaitu 91.000-2,9 x 10
6
selL dengan biomassa sebesar 800-1600 mgm
2
. Komposisi kelimpahan fitoplankton terdiri dari kelas Chlorophyceae, Cyanophyceae, Bacillariphyceae, dan Dinophyceae,
dengan kelimpahan yang tertinggi adalah
dari kelas Cyanophyceae
Kartamihardja Krismono 2003; Umar et al. 2004. Komunitas ikan di Waduk Djuanda terdiri dari ikan-ikan yang berasal dari
perairan setempat dan ikan-ikan introduksi yang sengaja ditebarkan ke perairan waduk atau yang secara tidak sengaja masuk ke dalam perairan waduk. Ikan-ikan
asli yang ada merupakan ikan-ikan asli dari Sungai Citarum dan Sungai Cilalawi serta sungai-sungai lain yang aliran airnya terhubung dengan perairan waduk.
Sarnita 1982 melaporkan terdapat 23 jenis ikan asli dari Sungai Citarum yang terdapat di perairan Waduk Djuanda. Dalam perkembangannya jenis-jenis ikan
asli tersebut mulai berkurang jumlah dan jenisnya. Menurut Krismono 2000 pada tahun 1987 dilaporkan hanya 14 jenis ikan asli yang masih terdapat di
Waduk Djuanda. Komposisi jenis ikan di Waduk Djuanda saat ini didominasi oleh ikan-ikan
introduksi, baik yang memang sengaja di tebar atau masuk melalui benih ikan budidaya yang selanjutnya lepas dan berkembang di perairan waduk. Hasil
penelitian Kartamihardja 2007; Nurnaningsih 2004 menunjukkan ikan oskar Amphilophus ctrinellus, bandeng Chanos chanos, kongo Parachromis
managuensis, dan nila Oreochromis niloticus merupakan ikan-ikan yang saat ini banyak dijumpai di perairan waduk.
Pemanfaatan plankton oleh komunitas ikan yang ada di perairan waduk sebagai sumber pakan masih dapat ditingkatkan. Hasil penelitian Kartamihardja
2007 memperlihatkan bahwa potensi produksi ikan 1.646 tontahun masih
7 lebih besar dibandingkan dengan hasil tangkapan aktual 425 ton. Menurutnya
kelimpahan dan biomassa fitoplankton yang tinggi di Waduk Djuanda sangat potensial untuk pengembangan perikanan tangkap, yaitu dengan memanfaatkan
transfer efisiensi trofik dari biomassa fitoplankton menjadi biomassa ikan dengan melakukan penebaran ikan pemakan plankton.
Penebaran ikan sehubungan dengan kegiatan pengelolaan perikanan di Waduk Djuanda telah dilakukan sejak tahun 1965 melalui introduksi beberapa
jenis ikan, seperti ikan gurame Osphronemus gouramy, mas Cyprinus carpio, tawes Barbonymous gonionotus, nila O. niloticus, nilem Osteochilus hasellti,
mujair O. mossambicus, dan tambakan Helostoma teminncki Sarnita 1982. Pada tahun 2008 dilakukan penebaran ikan bandeng sebanyak kurang lebih 2 juta
ekor oleh Departemen Kelautan dan Perikanan-RI. Penebaran ikan bandeng ini bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan ketersediaan pakan alami plankton
yang melimpah. Ikan bandeng telah dibudidayakan di perairan tawar, seperti di Philipina
pada tahun 1979 Liao Chen 1986; Shang 1986, di Taiwan pada tahun 1982 Shang 1986, dan mulai dilakukan di Indonesia pada sekitar tahun 2000 DKP
2005. Ikan bandeng telah hidup dan beradaptasi di lingkungan perairan Waduk Djuanda. Awalnya ikan tersebut dipelihara dalam keramba jaring apung, namun
dalam perkembangannya ada ikan yang lepas dan selanjutnya hidup dalam perairan waduk. Hasil penelitian Nurnaningsih 2004 mendapatkan ikan bandeng
merupakan jenis ikan yang paling banyak tertangkap pada bulan Mei-Oktober 2003. Distribusi ukuran ikan bandeng yang tertangkap juga bervariasi yaitu
dengan panjang 90-370 mm dan bobot ikan 6-310 gram. Penyebaran ikan bandeng di Waduk Djuanda juga cukup luas meliputi zona riverine sampai ke
zona lacustrine Kartamihardja 2007.
Komunitas Plankton
Plankton merupakan mikroorganisme yang hidup di perairan, tawar, payau maupun laut. Berdasarkan jenisnya plankton dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah mikroorganisme tumbuhan yang hidup melayang di perairan dan dapat berfotosintesis,
8 sedangkan zooplankton adalah mikroorganisme hewan dapat bergerak aktif di
perairan dan tidak dapat berfotosintesis Molles 2005. Plankton di Waduk Djuanda terdiri dari fitoplankton dan zooplankton.
Komunitas fitoplankton yang ada terdiri
dari kelas Chlorophyceae, Cyanophyceae, Bacillariphyceae, dan Dinophyceae, dengan kelimpahan yang
tertinggi adalah dari kelas Cyanophyceae Kartamihardja Krismono 2003; Umar et al. 2004. Zooplankton di Waduk Djuanda termasuk dalam kelas
Crustacea, terdiri atas tujuh genera yaitu Cyclops, Diaptomus, Daphnia, Diaphanosama, Brachionus, Keratella dan Polyartha. Komposisi genera
zooplankton yang ada saat ini masih sama dengan yang ditemukan pada tahun 2001, zooplankton yang selalu ditemukan adalah Cyclops, Polyarthra, dan
Keratella, dengan kelimpahan rata-rata zooplankton berkisar antara 524-1438 ind.L Kartamihardja 2007.
Fitoplankton merupakan dasar di dalam rantai makanan pada ekosistem perairan danau dan laut, sebagai produsen yang menduduki tingkat trofik
pertama. Sebagai produsen primer, fitoplankton memiliki peranan penting dalam siklus energi. Transfer energi akan berlangsung melalui mekanisme rantai
makanan dari tingkat trofik pertama ke tingkat trofik berikutnya William Martinez 2004; Angelini et al. 2006. Fitoplankton akan dimangsa oleh
zooplankton yang kemudian akan dimangsa oleh ikan atau predator lainnya, mengantarkan energi dan materi ke jenjang trofik yang lebih tinggi. Menurut
Brussaard et al. 1996, fitoplankton mengandung karbon dan nutrien dalam bentuk fraksi partikulat yang sangat penting dalam aliran energi, sebagai sumber
karbon dan nutrien organik pada ekosistem perairan. Hasil penelitian Cole et al. 2006 menunjukan adanya asupan sumber nutrien secara nyata yang berasal dari
DOC Dissolve Organic Carbon dan POC Particulat Organic Carbon ke dalam jejaring makanan dalam mensuplai produksi zooplankton dan invertebrata
benthik, aliran karbon dimanfaatkan oleh zooplankton sebesar 33-73 dan 20- 50 dimanfaatkan untuk produksi ikan.
Penelitian mengenai jejaring makanan dilakukan untuk menggambarkan transfer energi yang berlangsung dalam perairan serta untuk mengestimasi besaran
produktivitas suatu perairan. Melalui transfer energi ini potensi produksi ikan
9 dalam suatu perairan danau atau waduk dapat diestimasi melalui pendekatan
produktivitas primer Arner et al. 1998; Hakanson Gyllenhammar 2005; Kartamihardja 2007. Van Dam et al. 2002, menyatakan bahwa produksi ikan
pada kolam ekstensif dan semi intensif akan meningkat sepuluh kali lebih tinggi jika produksi primer yang tersedia dapat dimanfaatkan secara langsung oleh ikan
herbivora. Mekanisme rantai makanan pada suatu perairan juga dapat dijadikan
sebagai dasar dalam pengelolaan biota melalui manipulasi dalam jaring-jaring makanan yang ada dalam suatu perairan. Seperti yang dilakukan Hunt et al.
2003 yang melakukan kontrol blooming dari cyanobacterial dengan menggunakan Australian gudgeon Hypseleotris spp. di Danau Maroon-
Queensland. Hasil percobaannya menunjukkan pengaruh yang sangat signifikan antara biomassa zooplankton dan kelimpahan ikan, dimana kelimpahan
zoolankton Ceriodaphnia dan Calanoid copepods meningkat pada kondisi kelimpahan ikan rendah atau tidak ada ikan sama sekali dan total fitoplankton
menurun pada kondisi kelimpahan Oocystis dan Dictyosphaerium meningkat dengan kelimpahan ikan yang rendah.
Bioekologi Ikan Bandeng
Ikan bandeng atau dikenal dengan nama umum milkfish adalah salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis di beberapa negara di Asia
Tenggara, seperti Indonesia, Philipina, Thailand, dan Taiwan Shang 1986; Garcia 1990; Bagarinao 1994. Ikan bandeng termasuk ke dalam kelas
Osteicthyes, famili Chanidae dan Genus Chanos. Ikan bandeng sudah lama dapat dibudidayakan, umumnya pada kolamtambak air payau, keramba jaring apung di
laut Liao Chen 1986; Garcia 1990; Mansyur Tonnek 2003, dan di danau- danau dangkal yang berair tawar dengan sistem pen di Philipina dan Taiwan Liao
Chen 1986. Ikan bandeng dicirikan oleh bentuk tubuh yang elongated, atau kompres,
berbentuk seperti torpedo. Sirip ekornya bercabang forked, pada bagian tubuhnya terdapat susunan sisik kecil yang teratur berbentuk cycloid. Tubuhnya
10 berwarna putih keperakan, terutama pada bagian perut ventral, sedangkan pada
bagian punggung dorsal warnanya biru kehitaman. Garis linea lateralis jelas terlihat memanjang dari bagian belakang tutup insang sampai ke pangkal ekor.
Ikan bandeng dewasa dapat mencapai bobot 4-14 kg dengan panjang 50-150 cm Garcia 1990; Bagarinao1994; Gotanco Menez 2004.
Ikan bandeng merupakan ikan euryhaline yang dapat beradaptasi pada kisaran salinitas yang luas, dapat hidup di perairan tawar, payau, dan laut Gordon
Hong 1986. Di alam ikan bandeng banyak dijumpai di daerah pantai dan pulau-pulau di daerah tropik di Indo-Pasifik Bagarinao 1994. Kelimpahan
tertinggi terdapat di daerah Asia Tenggara dan sebelah Barat perairan Pasifik. Gordon Hong 1986; Garcia 1990. Ikan bandeng hidup di berbagai tipe
habitat, meliputi perairan pantai, muara, kawasan mangrove, laguna, daerah pasang surut tidal flats, sungai dan daerah berarus streams. Ikan bandeng
umumnya hidup di daerah litoral pantai sepanjang masa hidupnya Gordon Hong 1986.
Pada beberapa laporan, ikan bandeng dewasa dapat dijumpai di perairan tawar, seperti di danau-danau berbagai tipe di Philipina, Indonesia, dan Papua
Nugini Rabanal and Rongillo 1975 dalam Gordon Hong 1986; Gotanco Menez 2004, dan di sungai besar dekat dengan pantai di Madagaskar, dengan
jarak kurang lebih 150 km dari pantai Therizen 1976 dalam Gordon Hong 1986. Ikan bandeng dewasa yang ada di perairan tawar tidak mengalami
perkembangan gonad atau tidak matang gonad Bagarinao 1994. Reyes 1978 dalam Garcia 1990 melaporkan bahwa ikan bandeng dewasa di Danau Naujan
dan Taal di Philipina yang telah dikenal sebagai daerah habitat bagi ikan bandeng dewasa, ikan tersebut tidak mengalami matang gonad immature. Pematangan
gonad akan berlangsung dalam waktu singkat ketika mereka kembali ke laut untuk memijah Lee 1986; Bagarinao 1994.
Siklus hidup ikan bandeng dimulai dari telur yang berasal dari pemijahan yang berlangsung di laut terbuka dekat dengan pantai pada kedalaman 10-40 m,
dengan dasar perairannya dapat berupa pasir atau koral Garcia 1990; Gordon Hong 1986. Telur ikan bandeng melayang, bersifat pelagis dengan diameter
1,10-1,25 mm. Massa inkubasi telur sampai menetas berlangsung antara 20-25
11 jam pada suhu 26-32
o
C dan salinitas 29-34 ppt Garcia 1990. Setelah 2-3 minggu larva yang bertahan hidup dalam jumlah besar mendiami pantai yang
bersih dengan dasar pasir. Larva tersebut dimanfaatkan sebagai sumber benih dalam kegiatan budidaya bandeng, yang dikenal dengan istilah “nener bandeng”.
Setelah beberapa hari larva bandeng kembali ke laut, kemudian berkembang menjadi juvenil dalam kurun waktu 1-2 minggu. Juvenil bandeng selanjutnya
memasuki perairan pantai, muara-muara sungai, kawasan mangrove, laguna, dan rawa, beberapa diantaranya memasuki perairan tawar, seperti sungai dan danau
Bagarinao 1994
.
Juvenil kemudian berkembang menjadi ikan-ikan remaja dan kembali ke laut terbuka. Ikan mengalami matang gonad pada umur 5-6 tahun.
Selanjutnya ikan-ikan dewasa akan hidup di perairan laut dan siap untuk memijah Gordon Hong 1986.
Makanan dan Kebiasaan Makan
Makanan merupakan faktor penting yang harus tersedia dalam suatu perairan. Ketersediaan makanan merupakan faktor yang menentukan kepadatan
populasi, pertumbuhan, reproduksi, dan dinamika populasi serta kondisi ikan yang ada di suatu perairan Efendie 1997. Makanan alami bagi ikan dapat berupa
fitoplankton, zooplankton, ikan, tanaman air, hewan dasar organisme benthik ataupun detritus, tergantung dari kategori jenis ikan, yaitu herbivora, karnivora,
omnivora, dan detritifora. Ikan bandeng adalah ikan herbivora Garcia 1990. Jenis makanan ikan
bandeng bervariasi tergantung dari stadia hidup dan habitatnya. Ikan bandeng dewasa di alam memiliki jenis makanan utama yang terdiri dari organisme benthik
dan planktonik. Makanan utama tersebut terdiri dari gastropoda, lamellibranchia, foraminifera, alga filamen, diatom, copepoda, nematoda, dan detritus Santiago
1986; Gordon Hong 1986; Garcia 1990. Menurut Kinoshita 1981 dalam Garcia 1990, larva bandeng umumnya
memakan copepod dan diatom. Larva dan juvenil bandeng yang terdapat di pantai dan di daerah litoral memakan organisme benthik, epifitik dan planktonik, yang
umumnya terdiri dari diatom dan bluegreen algae, dan terkadang nematoda dan
12 larva crustacea Kumagai et al. 1985; Santiago 1986; Bagarinao 1981 dalam
Garcia 1990. Ikan bandeng yang dibudidayakan di tambak umumnya memakan klekap
lab-lab, yaitu zat hidup komplek yang terdiri dari asosiasi antara bluegreen algae, diatom, dan hewan invertebrata, serta lumut alga hijau berfilamen.
Menurut Santiago 1986 dan Garcia 1990 klekap atau lab-lab merupakan komposisi biologi komplek dari hewan dan tumbuhan mikrobenthik yang
berasosiasi dengan lumpur di dasar kolam. Komponen tumbuhan dapat terdiri dari berbagai tipe bakteri, alga berfilamen dari bluegreen algae dan green algae
serta diatom. Komponen hewan dapat terdiri dari protozoa, copepoda, ostracoda, nematoda, moluska, dan crustacea. Menurut Tang dan Hwang 1966 dalam
Santiago 1986 dari banyak studi kebiasaan makanan menunjukan bahwa kelompok bluegreen algae dan benthik diatom adalah jenis makanan yang paling
disukai oleh seluruh kelompok umur ikan bandeng yang dipelihara di tambak air payau.
Studi kebiasaan makanan ikan bandeng di perairan tawar seperti sungai, danau dan waduk belum banyak dilaporkan. Menurut Nurnaningsih 2004
makanan ikan bandeng di Waduk Djuanda, terdiri dari Cyanophyceae, Bacillariophyceae, Dinophyceae, potongan tanaman, dan serasah dengan
komposisi makanan yang paling tinggi adalah dari kelompok Bacillariophyceae yaitu sebesar 45. Menurut Tjahjo dan Purnamaningtyas 2009 fitoplankton dan
zooplankton menjadi makanan utama di Waduk Djuanda pada bulan September 2008-Januari 2009.
Ikan bandeng pada seluruh stadia hidupnya merupakan ikan planktivora, aktivitas makannya adalah pada siang hari Kumagai et al. 1985; Gordon Hong
1986; Garcia 1990. Makanan dimakan dengan cara menyaringnya dari air kemudian masuk ke dalam mulut, dengan menggunakan tapis insang Gordon
Hong 1986. Penelitian Lückstädt dan Reiti 2003 terhadap kebiasaan makan juvenile bandeng di laguna air payau Kiribati pada siang dan malam hari tidak
menunjukan adanya perbedaan. Hasil analisis makanan pada lambung ikan menunjukan jenis makanannya terdiri dari Chloropyhta, Cyanophyceae,
Bacillariophyceae, Diatom, Crustace, dan detritus. Menurut Bagarinao 1994
13 perubahan jenis makanan pada stadia juvenil mengikuti metamorfosis yang
terjadi, yaitu dari sifat pemakan zooplankton pada fase larva berubah menjadi pemakan benthik selanjutnya berubah menjadi herbivora, detritivora atau
omnivora tergantung dari tipe makanan yang dominan di habitatnya.
Pertumbuhan
Pertumbuhan adalah suatu proses yang terjadi di dalam tubuh organisme yang menyebabkan perubahan ukuran panjang dan berat tubuh dalam periode
waktu tertentu. Pertumbuhan ikan merupakan perbedaan antara energi yang masuk dan energi yang keluar, dan energi yang masuk diperoleh dari pakan yang
dikonsumsi. Pengetahuan mengenai konsumsi pakan amat diperlukan dalam studi pertumbuhan Effendie 1997.
Menurut Liao et al. 1979 dalam Garcia 1990 pertumbuhan larva ikan bandeng adalah mengikuti pola sigmoid. Laju pertumbuhan larva berdasarkan
data distribusi frekuensi panjang hasil tangkapan larva bandeng di Pulau Panay, Philipina adalah sebesar 0,5 mmhari Garcia 1990. Sedangkan Kumagai et al.
1985 melaporkan laju pertumbuhan juvenil bandeng di Laguna Naburut, Philipina adalah 7-9 mmminggu, dengan sifat pertumbuhan allometrik positif,
dengan persamaan W = 5,0223 x 10
-6
L
3,2388
L = panjang cagak. Ikan bandeng yang dipelihara di keramba jaring apung di Teluk Awarange
Sulawesi Selatan selama 120 hari pemeliharaan memiliki laju pertumbuhan harian mencapai 1,75hari dengan pertambahan bobot rata-rata pada akhir penelitian
sebesar 500 gram Kurniati 2003. Ikan bandeng yang dikultur bersama dengan Gracilariopsis bailinae di kolam dengan kisaran salinitas 17-30 ppt, laju
pertumbuhan hariannya mencapai 4,8±0,33hari Alcantara et al. 1999. Menurut Garcia 1990, pertumbuhan ikan bandeng dewasa di alam dapat
mencapai 7 cmtahun untuk ikan betina dan 5 cmtahun untuk ikan jantan. Schuster 1960 dalam Garcia 1990 menyatakan bahwa laju pertumbuhan ikan
bandeng bervariasi tergantung pada ukuran awal ikan yang dipelihara, kelimpahan, iklim, musim, kondisi lingkungan setempat, laju pembalikan massa
air, luas kolam, dan kedalaman serta adanya hama dan pemangsa.
14
15