Akumulasi Subkronis Arsen Anorganik Pada Tikus Sprague Dawley

AKUMULASI SUBKRONIS ARSEN ANORGANIK
PADA TIKUS SPRAGUE DAWLEY

DEWI SULANJARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Akumulasi Subkronis
Arsen Anorganik pada Tikus Sprague Dawley adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015

Dewi Sulanjari
B 351130041

RINGKASAN
DEWI SULANJARI. Akumulasi Subkronis Arsen Anorganik pada Tikus Sprague
Dawley. Dibimbing oleh EKOWATI HANDHARYANI dan AGUS SETIYONO.
Toksisitas arsen merupakan masalah kesehatan global yang mempengaruhi
jutaan orang. Arsen diketahui mampu menyebabkan keracunan karena
kehadirannya di dalam air minum yang dikonsumsi manusia secara terus
menerus. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek paparan arsen anorganik
terhadap aktivitas enzim sebagai indikator adanya kerusakan sel hati, mengetahui
besarnya konsentrasi arsen anorganik setelah paparan subkronis dan mempelajari
perubahan patologi yang terjadi pada organ interna tikus Sprague Dawley.
Tikus secara random dibagi dalam 4 kelompok perlakuan masing-masing
terdiri dari 4 ekor. Kelompok perlakuan tersebut antara lain : (i) kontrol, diberikan
aquadestilata steril, (ii) arsenic acid diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg bobot
badan, (iii) arsenic acid diberikan dengan dosis 5 mg/kg bobot badan, dan (iv)
arsenic acid diberikan dengan dosis 10 mg/kg bobot badan. Perlakuan diberikan
secara oral menggunakan sonde tikus setiap hari selama 28 hari. Setelah masa
perlakuan berakhir, tikus diterminasi dengan menggunakan gas CO2. Darah

diambil melalui jantung untuk pemeriksaan biokimia darah. Organ hati dan otak
dikoleksi, sebagian untuk pemeriksaan dengan metode inductively coupled
plasma-mass spectrometry (ICP-MS) dan sebagian difiksasi dalam 10% buffered
neutral formalin (BNF). Evaluasi histopatologi jaringan dilakukan dengan
mengamati preparat jaringan yang telah diwarnai dengan pewarnaan
hematoksilin-eosin (HE).
Hasil menunjukkan bahwa paparan arsenic acid selama 28 hari mampu
mengakibatkan peningkatan aktivitas enzim aspartate amino transferase (AST)
dan alanine amino transferase (ALT) secara signifikan jika dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Selain itu, pada organ hati menunjukkan akumulasi arsen
anorganik yang lebih tinggi secara signifikan jika dibandingkan dengan otak.
Akumulasi arsen anorganik pada organ hati maupun otak memperlihatkan respon
yang semakin meningkat seiring dengan penambahan dosis. Lesio histopatologi
pada hati menunjukkan infiltrasi sel-sel mononuklear di daerah portal disertai
degenerasi dan nekrosis hepatosit. Perubahan pada hipokampus ditandai dengan
infiltrasi sel-sel radang dan nekrosis sel neuron. Dapat disimpulkan bahwa dalam
penelitian ini paparan arsenic acid selama 28 hari sudah mampu menimbulkan
kerusakan pada organ hati maupun otak dari tikus Sprague Dawley.
Kata kunci: arsen anorganik, tikus, ICP-MS, hati, otak, enzim, histopatologi


SUMMARY
DEWI SULANJARI. Subcronic accumulation of inorganic arsenic in Sprague
Dawley rats. Supervised by EKOWATI HANDHARYANI and AGUS
SETIYONO.
Arsenic toxicity is a global health problem affecting millions of people. It
is said that arsenic is capable to cause toxicity because of its presence in water
consumed by people continously. The aims of this research are to find out the
effect of anorganic exposure towards enzyme activity as an indicator that there is
a liver cell damage, to find out the amount of anorganic arsenic concentration
after sub cronic exposure and to study patology changes found in the internal
organ of rat Sprague Dawley.
The rat was randomly grouped into four groups of treatment in which
each treatment consisted of four rats. The groups of treatment were : (i) control, it
was given sterile aquadestile, (ii) arsenic acid was given in 2,5 mg/kg dosage of
body weight, (iii) arsenic acid was given in 5 mg/kg dosage of body weight, and
(iv) arsenic acid was given in 10 mg/kg dosage of body weight. The treatment
was given orally by using rat sonde every day during 28 days. After the period of
treament had ended, the rats were determined by using CO2 gas. The blood was
taken through the heart for examining the blood biochemical. Organ of liver and
brain was collected, some of which were for examination with the method of

inductively coupled plasma-mass spectrometry (ICP-MS) and the other was fixed
in 10% buffered neutral formalin (BNF). The evaluation of tissue histopatology
was conducted by observing the tissue preparat that had been colored with
hematoksilin-eosin (HE).
The result showed that arsenic acid exposure during 28 days could cause
the increase of the activity enzim of aspartate amino transferase (AST) and
alanine amino transferase (ALT) significantly if compared to control group. In
addition, the liver showed significantly higher anorganic accumulation compared
to brain. Accumulation of anorganic arsenic in the liver and brain showed a more
increasing response in line with the dosage rise. Lesio histopatology in liver show
mononuclear cell infiltration in the area of portal accompanied by degeneration
and necrosis of hepatocyt. The change in hipocampus was marked by infiltration
of inflammation cell and neuron cell necrosis. It can be concluded that in this
research the exposure of arsenic acid during 28 days have been able to cause
damage in liver and brain of the rat, Sprague Dawley.
Keyword : arsenic acid, rat, ICP-MS, liver, brain, enzyme, histopathology

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

AKUMULASI SUBKRONIS ARSEN ANORGANIK
PADA TIKUS SPRAGUE DAWLEY

DEWI SULANJARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Biomedis Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

Dr drh Anita Esfandiari, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari samapai Mei
2015 ini ialah toksisitas subkronis logam berat arsen, dengan judul Akumulasi
Subkronis Arsen Anorganik pada Tikus Sprague Dawley.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Drh Ekowati Handharyani,
MSi PhD dan Bapak Drh Agus Setiyono, MS PhD selaku pembimbing, Ibu Dr
Drh Anita Esfandiari, MSi selaku penguji luar komisi serta Suyanto, SP MSi yang
telah banyak memberikan bantuan dan saran selama penelitian dan penyelesaian
tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang magister ini melalui fasilitas

beasiswa yang telah diberikan. Penghargaan juga disampaikan kepada Ibu Dra
Anny Sulistiowaty Apt selaku Kepala Pusat Pengujian Obat dan Makanan
Nasional, Ibu Dra Kusmiaty MPharm, Ibu Dra Wiwik Ambarwati MEpid, Ibu
Drh Eniek Suwarni, Bapak Monides Sagala, Drh Mawar Subangkit, MSi serta
seluruh staf Laboratorium Patologi FKH IPB. Ungkapan terimakasih juga
disampaikan untuk Bapak, Ibu, suami tercinta Prasanto Januar Adhiarto, ST,
Ananda Hanif Arsa Nararya, Ananda Affan Raka Aryasetia, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Bogor, Agustus 2015
Dewi Sulanjari

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

i

DAFTAR LAMPIRAN


ii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
3
3

TINJAUAN PUSTAKA

3

Arsen


3

Sumber Arsen

4

Paparan Arsen

5

Absorpsi

5

Distribusi

5

Metabolisme dan Ekskresi


6

Analisis Akumulasi Arsen dengan Metode ICP-MC

6

Deteksi Enzim terhadapGangguan Fungsi Hati

7

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Hewan Percobaan
Bahan dan Alat
Metode

8
8
8
9

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Kimia Darah
Analisis Arsen Anorganik dengan Metode ICP-MS
Pembacaan Lesio Histopatologi

11
11
13
15

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

17
17
18

DAFTAR PUSTAKA

18

RIWAYAT HIDUP

27

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Struktur kimia dari beberapa unsur arsen
Metabolisme arsen anorganik
Reaksi enzimatis pada enzim aspartate amino transferase (AST) dan
alanine amino transferase (ALT)
Pengaruh dosis arsen anorganik terhadap kadar enzim AST dan ALT
Konsentrasi arsen anorganik pada hati dan otak (A), Pengaruh organ
dan dosis terhadap konsentrasi arsen anorganik (B)
Lesio histopatologi hati
Lesio histopatologi otak

3
6
8
12
14
16
17

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Skema Pemberian Subkronis Arsen Anorganik
Analisis Biokimia Darah : Enzim AST dan ALT dengan metode
IFCC tanpa PP
Skema Analisis Arsen Anorganik dengan metode ICP-MS
Skema Pemeriksaan Histopatologi

23
24
25
26

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Toksisitas arsen merupakan masalah kesehatan global yang mempengaruhi
jutaan orang. Kontaminasi arsen berasal dari sumber geologi alam menembus
akuifer sehingga mencemari air tanah dan dapat juga terjadi dari hasil proses
pertambangan dan industri lainnya. Arsen diketahui mampu menyebabkan
keracunan karena kehadirannya di dalam air minum dan spesies arsen yang paling
umum adalah arsenat [HAsO2-4; As (V)] dan arsenit [H3AsO3; As (III)]. Arsen III
memiliki potensi 60 kali lebih toksik dibandingkan dengan arsen V. Arsen organik
bersifat kurang toksik sedangkan arsen anorganik bersifat toksik (Ratnaike 2003).
Hal ini disebabkan karena arsen organik yang masuk ke dalam tubuh tidak mudah
diserap masuk ke dalam sel dan mengalami metabolisme yang terbatas (Cohen et
al. 2006).
Toksisitas kronis akibat kontaminasi arsen dalam air minum telah
dilaporkan lebih dari tiga puluh negara di dunia (Chakraborti et al. 2002).
Sebanyak 79,9 juta penduduk Banglades dan 42,7 juta penduduk Bengal Barat di
India terdeteksi arsen pada air tanah dengan konsentrasi melebihi ambang batas
yang dipersyaratkan oleh WHO yaitu 10 ppb (Chowdhury et al. 2000). Beberapa
negara bagian di USA dan China, terdeteksi arsen dalam air minum yang
dikonsumsi penduduk dengan konsentrasi lebih dari 1ppm (Vishwajeet et al.
2014). Pencemaran arsen dipandang cukup serius karena tingkat toksisitasnya
yang sangat tinggi terhadap organisme hidup. Paparan arsen melalui air minum
telah dilaporkan menyebabkan kanker pada kulit dan beberapa organ dalam serta
terjadinya hiperkeratosis, perubahan pigmentasi, efek pada sistem sirkulasi dan
sistem syaraf (Flora et al. 2007).
Studi eksperimental pada hewan model yang terpapar arsen dalam air
minum menunjukkan adanya peningkatan aktivitas enzim pada organ hati. Hati
merupakan bagian penting dalam proses metilasi, setelah arsen tertelan masuk
akan terserap pertama kali di dalam hati dan paparan arsen mampu menyebabkan
gangguan pada hati (Devaraju et al. 2010; Vishwajeet et al. 2014). Arsen juga
diketahui mampu menembus plasenta dan uterus, serta bagian otak dengan
melewati blood brain barrier sehingga mempengaruhi kerja sistem saraf pusat
(Tolins et al. 2014).
Beberapa teknik telah banyak digunakan untuk mendeteksi keberadaan
senyawa arsen, salah satunya adalah dengan metode inductively coupled plasmamass spectrometry (ICP-MS). Metode ini mempunyai sensitifitas yang tinggi
dengan konsentrasi hingga part-per-trillion (ppt), mampu mendeteksi sampel
yang berupa cairan dan ekstrak cairan dari sampel biologis maupun lingkungan
(Francesconi dan Kuehnelt 2004). Selain itu metode ini dapat digunakan untuk
analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Arsen organik dan anorganik akan dapat
dipisahkan dari total arsen menggunakan cation exchange chromatography yang
merupakan bagian dari metode ICP-MS (Sloth et al. 2005).
Banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan akibat paparan arsen
mengharuskan pemerintah sebagai regulator untuk menetapkan ambang batas
cemaran arsen dalam air minum. Menurut peraturan Menteri Kesehatan RI nomor

2
492/Menkes/Per/IV/2010 tanggal 29 April 2010 menetapkan kadar maksimum
arsen yang diperbolehkan dalam sumber air minum adalah 10 µg/L (ppb).
Peraturan pemerintah tersebut berlaku untuk total arsen saja, sedangkan unsur
arsen anorganik merupakan unsur yang lebih toksik dibandingkan dengan arsen
organik. Kebijakan terkait batasan kadar arsen anorganik yang diperbolehkan
dalam air minum sangat penting untuk menjamin keamanan dan kesehatan
masyarakat seperti yang telah ditetapkan di beberapa negara lain.
Mengingat beberapa kasus kontaminasi arsen anorganik di dalam air minum
dapat menyebabkan gangguan serius pada organ tubuh, diperlukan suatu studi
akumulasi arsen anorganik setelah paparan subkronis pada hewan model.
Penelitian ini melakukan analisis biokimia darah terhadap enzim aminotransferase
sebagai indikator adanya kerusakan sel hati. Studi pada hewan model mencit
akibat paparan arsen anorganik valensi tiga secara akut (Vishwajeet et al. 2014)
maupun subkronis (Yasmin et al. 2011) menunjukkan peningkatan aktivitas dari
enzim aminotransferase . Penelitian ini juga dilakukan analisis konsentrasi arsen
anorganik di hati dan otak secara kuantitatif menggunakan metode inductively
coupled plasma-mass spectrometry (ICP-MS). Hal yang hampir sama dilakukan
oleh Bashir et al. (2006) dengan mengukur konsentrasi arsen total dalam hati dan
otak setelah pemberian arsen anorganik valensi tiga secara akut. Studi
histopatologi menunjukkan adanya kerusakan sel pada organ interna akibat
paparan arsen anorganik (Bashir et al. 2006 dan Ferzand et al. 2008).
Perumusan Masalah
Kontaminasi arsen anorganik dalam air minum menimbulkan gangguan
kesehatan yang serius karena tingkat toksisitasnya yang sangat tinggi terhadap
organisme hidup. Sampai saat ini penelitian mengenai akumulasi arsen anorganik
pada hewan model setelah paparan subkronis masih jarang dilakukan. Adanya
kerusakan pada sel hati dari adanya paparan bahan toksik dapat diketahui dari
aktivitas enzim aspartate amino transferase (AST) dan alanine amino transferase
(ALT) yang cenderung meningkat dibandingkan nilai normalnya.
Analisis konsentrasi arsen anorganik dilakukan dengan metode yang
mutakhir yaitu inductively coupled plasma-mass spectrometry (ICP-MS). ICP-MS
menggunakan plasma sebagai sumber ionisasi dan MS mampu menganalisis serta
mendeteksi produksi ion. Unsur yang mengandung atom dapat dibelokkan oleh
medan magnet dengan kondisi atom tersebut diubah lebih dahulu menjadi bentuk
ion. Partikel-partikel yang bermuatan positif akan dibelokkan oleh medan magnet,
sedangkan partikel yang tidak bermuatan atau netral tidak akan dibelokkan,
dengan polymeric cation exchange solid phase extraction, ion yang terdapat
dalam senyawa arsen dapat dipisahkan dalam bentuk arsen anorganik.
Kerusakan sel pada jaringan atau organ dapat diketahui dari gambaran
histopatologinya, dengan teknik pewarnaan pada preparat histopatologi mampu
menjelaskan perubahan yang terjadi dan distribusinya dalam organ tersebut.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh paparan arsen
anorganik terhadap organ hati sebagai tempat biotransformasi arsen, mengetahui

3
besarnya konsentrasi arsen anorganik setelah paparan subkronis dan mempelajari
perubahan patologi yang terjadi pada organ interna tikus Sprague Dawley.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan manfaat yaitu menambah informasi mengenai
toksisitas arsen anorganik setelah paparan subkronis dan pengaruhnya terhadap
aktivitas enzim AST dan ALT sebagai indikator kerusakan hati serta gambaran
perubahan patologi pada organ hati dan otak. Secara spesifik penelitian ini
menambah pengetahuan dan ketrampilan dalam penggunaan teknik Inductively
Coupled Plasma-Mass Spectrometry (ICP-MS) untuk menganalisis unsur-unsur
organik maupun anorganik seperti logam arsen. Informasi ini dapat dimanfaatkan
oleh pemerintah sebagai basis data dan acuan dalam menetapkan kebijakan terkait
dengan batasan kadar arsen anorganik yang diperbolehkan dalam minuman yang
dikonsumsi masyarakat di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
Arsen
Arsen dikenal dengan simbol As, memiliki nomor atom 33, merupakan
unsur yang terdapat di berbagai tempat dan terbentuk secara alami di dalam
lapisan bumi. Keberadaan arsen di alam sangat berlimpah, menduduki peringkat
ke-20 di dalam lapisan kerak bumi, peringkat ke-14 di air laut dan ke 12 dalam
tubuh manusia (Mandal dan Suzuki 2002). Arsen terjadi dalam bentuk organik
maupun anorganik, memiliki perbedaan valensi meliputi +5 (arsenate), +3
(arsenite) dan -3 (arsine). Arsen yang bergabung dengan elemen lain seperti
oksigen, sulfur dan klorida akan membentuk arsen anorganik, sedangkan arsen
yang bergabung dengan elemen hidrogen dan karbon akan terbentuk arsen organik
(Orloff et al. 2009).

Gambar 1 Struktur kimia dari beberapa unsur arsen (Hughes et al. 2011)
Arsen trihidrida disebut sebagai arsine (AsH3) adalah arsen berbentuk gas,
sebagai agen pereduksi yang kuat dan digunakan dalam produksi beberapa macam

4
arsenide. Arsen trioksida disebut juga arsen putih (As2O3) adalah senyawa yang
tidak berwarna, tidak berbau dan merupakan bentuk komersial dari arsen sebagai
bahan dasar untuk berbagai produk sintetis. Arsen pentaoksida merupakan bentuk
arsen valensi +5 dan disebut juga arsenate (As2O5) (WHO 2001). Arsen dalam
bentuk organik bersifat kurang toksik sedangkan bentuk anorganik bersifat toksik.
Bentuk arsenite (+3) memiliki potensi enam puluh kali lebih toksik dibandingkan
dengan arsenate (+5) (Ratnaike 2003).
Arsen sangat jarang ditemukan di alam dalam bentuk elemen murni, namun
arsen organik sebagai arsenobetain banyak terdapat pada mikrobiota, tumbuhan
dan sistem biologi lain. Bentuk tereduksi dari arsen (arsenate maupun arsenite)
sering dijumpai dalam produk-produk industri, limbah pertanian dan di
permukaan air (Mashkoor et al. 2013). Jutaan manusia di dunia terpapar arsen
anorganik akibat konsumsi dari air minum dan makanan yang terkontaminasi
arsen (Silbergeld et al. 2008).
Arsen merupakan golongan logam dalam bentuk organik maupun anorganik
ditemukan dalam air dan tanah di seluruh dunia khususnya di Bangladesh, India
dan beberapa negara di Asia Tenggara (Bhattacharya et al. 2009). Sebanyak 79,9
juta penduduk Banglades dan 42,7 juta penduduk Bengal Barat di India terdeteksi
arsen pada air tanah dengan konsentrasi melebihi ambang batas yang
dipersyaratkan oleh WHO yaitu 10 ppb (Chowdhury et al. 2000). Beberapa
negara bagian di USA dan China, terdeteksi arsen dalam air minum yang
dikonsumsi penduduk dengan konsentrasi lebih dari 1 ppm (Vishwajeet et al.
2014).Pencemaran arsen dipandang cukup serius karena tingkat toksisitasnya yang
sangat tinggi terhadap organisme hidup. Paparan arsen melalui air minum telah
dilaporkan menyebabkan kanker pada kulit dan beberapa organ dalam serta
terjadinya hiperkeratosis, perubahan pigmentasi, efek pada sistem sirkulasi dan
sistem syaraf (Flora et al. 2007).
Sumber arsen
Manusia dapat terpapar oleh arsen dari sumber alami maupun antropogenik.
Jauh sebelum aktivitas manusia berpengaruh terhadap keseimbangan alam, unsur
arsen terdistribusi di seluruh lapisan kerak bumi, tanah, sedimen, air, udara dan
organisme hidup (Mandal dan Suzuki 2002). Emisi vulkanik merupakan sumber
alami terpenting dari paparan arsen. Sumber anthropogenik arsen dapat ditemukan
dalam produk herbisida, pupuk, pestisida, produk perawatan kulit, kapas,
pengawetan kayu dan obat-obatan (Tseng 2007).
Sumber lain pencemaran
arsen termasuk proses pembakaran batubara, menghirup udara dalam ruangan
yang mengandung polutan dari pembakaran batu bara dan asap rokok (Kapaj et al.
2006).
Sumber paparan terbesar dari arsen dan logam berat lain umumnya berasal
dari makanan seperti seafood, beras, jamur dan produk dari unggas (Smedley dan
Kinniburgh 2002, Jones 2007, Petroczi dan Naughton 2009, Nepusz et al. 2009).
Kandungan arsen dalam seafood sebagian besar dalam bentuk organik yang
disebut arsenobetain, memiliki daya toksisitas yang rendah dibandingkan dengan
yang lain. Seafood, ikan dan alga merupakan sumber arsen organik. Senyawa
organik ini dapat menaikkan level arsenik dalam darah tetapi secara cepat mampu
diekskresikan dalam bentuk tidak berubah di dalam urin (Han et al. 1998).

5
Belum lama telah dilaporkan bahwa pengobatan tradisional Cina
menggunakan produk herbal yang mengandung arsen untuk tujuan terapeutik. Hal
ini dapat menimbulkan bahaya kesehatan yang serius (Martena et al. 2010).
Pigmen pewarna yang digunakan dalam industri kosmetik seperti eye‐shadow
seringkali mengandung unsur beracun termasuk arsen (Sainio et al. 2000). Kulit
di bagian kelopak mata bersifat sangat halus dan pemakaian eye‐shadow dapat
menimbulkan eczema. Selain itu, partikel arsen dapat larut dalam air dan
mengalami penyerapan secara perkutan melalui kulit yang basah. Ketika arsen
masuk sistem peredaran darah akan terserap kulit, dan pada konsentrasi arsen
yang tinggi dapat berpotensi memicu terjadinya karsinogenesis (Jomova et al.
2011).

Paparan arsen
Paparan arsen terjadi melalui proses inhalasi, absorpsi pada
kulit, ingesti atau oral dan secara parenteral. Sebagian besar manusia di seluruh
dunia terkontaminasi arsen secara kronis. Paparan arsen juga dapat terjadi pada
pekerja di perkebunan anggur, pabrik keramik, pembuatan kaca, peleburan dan
penyulingan biji besi, proses produksi untuk produk pertanian seperti pestisida
dan herbisida (Tchounwou 2004).
Arsen berada di air, tanah ataupun makanan, sehingga arsen yang tertelan
akan dengan cepat masuk ke dalam tubuh manusia. Debu di udara yang
mengandung arsen dengan mudah terhirup dan sebagian besar partikel debu
tersebut melekat pada selaput dalam paru-paru. Paparan arsen ke dalam tubuh
melalui kulit sangat jarang terjadi sehingga risiko keracunan arsen
yang ditimbulkan oleh rute ini sangat kecil (Chen et al. 1992).
Arsen diketahui mampu menembus plasenta dan hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa paparan melalui uterus dapat terjadi baik pada manusia
maupun hewan percobaan. Sebuah penelitian menggunakan arsen yang dilabel
arsenat dan arsenit pada mencit bunting, dengan menggunakan autoradiografi dan
gamma counting terlihat bahwa arsen mampu menembus plasenta induk masuk ke
sirkulasi darah fetus (Lindgren et al. 1984).
Absorpsi
Absorpsi senyawa arsen tergantung dari bentuk kimianya. Arsen dengan
bentuk yang sukar larut seperti arsenic sulphide dan lead arsenate memiliki
kecepatan absorpsi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan bentuk arsen
yang mudah larut, baik melalui rute oral ataupun inhalasi. Lokasi utama absorpsi
arsen terjadi di dalam saluran pencernaan khususnya usus halus melalui proses
elektrogenik yang melibatkan gradient proton (H+). Arsen jenis AsIII, AsV,
monomethylarsonous acid (MMA) dan dimethylarsinous acid (DMA) pada
manusia secara oral akan terabsorpsi lebih dari 80 persen (Ratnaike 2003).
Absorpsi arsenat (As+5) sebagian besar akan direduksi menjadi bentuk arsenit di
dalam tubuh melalui proses metilasi di dalam hati oleh enzim metil transferase
yang diperoleh dari S-adenosylmethionine sebagai donor metil dan gluthathione

6
(GSH) sebagai essential co-factor. Hasil proses metilasi arsen diperoleh bentuk
MMA dan DMA sebagai metabolit akhir (Mandal dan Suzuki 2002).
Arsen juga dapat terabsorpsi melalui rute inhalasi. Pasien dengan kondisi
kanker paru-paru akibat paparan arsen melalui asap rokok, terdeposit kurang lebih
40 persen dan yang terabsorpsi sebesar kurang lebih 75 hingga 85 persen.
Absorpsi melalui kulit persentasenya relatif lebih rendah dibandingkan rute
absorpsi yang lain (WHO 2001).
Distribusi
Setelah proses absorpsi, arsen akan terdistribusi di dalam tubuh dalam
plasma darah dan eritrosit, serta sebagian akan diikat oleh hemoglobin. Distribusi
dalam plasma darah dan eritrosit tergantung pada valensi dan dosis pemberian
arsen serta spesies hewan. Sebagian besar spesies hewan setelah paparan arsen
menunjukkan konsentrasi terbesar ditemukan di dalam organ hati, ginjal, limpa
dan paru-paru, beberapa minggu kemudian arsen akan terakumulasi di dalam
jaringan ektodermal seperti rambut dan kuku akibat akumulasi arsen dengan
konsentrasi tinggi akan terikat oleh protein yang mengandung sulfur dalam
jaringan tersebut (Eisler 2004).
Metabolisme dan Ekskresi
Arsen yang terabsorpsi akan mengalami biometilasi hepatik membentuk
monomethylarsonic acid (MMA) yang bersifat sedikit toksik. Sekitar 50 persen
dari dosis yang tertelan akan tereliminasi melewati urin dalam tiga hingga lima
hari. Dimethylarsinic acid (DMA) merupakan metabolit utama di dalam urin yaitu
sebesar 60 hingga 70 persen jika dibandingkan dengan MMA. Sedikit dari arsen
anorganik yang diekresikan dalam bentuk tidak berubah (Ratnaike 2003).

Gambar 2 Metabolisme arsen anorganik (Jomova et al. 2011)
Penelitian dari suatu kasus keracunan akut akibat arsen dianalisis
menggunakan atomic absorption spectrometry (AAS) menunjukkan adanya

7
konsentrasi tertinggi dari arsen di dalam ginjal dan hati. Paparan arsen secara
kronis menunjukkan akumulasi arsen di dalam hati, ginjal, jantung, paru-paru dan
konsentrasi kecil di dalam muskulus, sistem syaraf, saluran pencernaan dan limpa.
Setelah dua minggu, arsen akan terdeposit di dalam rambut dan kuku
(Benramdane 1999).

Analisis akumulasi arsen dengan teknik ICP-MS
Metode yang biasa digunakan untuk mendeteksi adanya senyawa arsen
dalam suatu sampel antara lain atomic absorption spectrometry (AAS), atomic
fluorescence spectrometry (AFS), inductively coupled plasma-mass spectrometry
(ICP-MS), high performance liquid chromatography- inductively coupled plasmamass spectrometry (HPLC-ICP-MS), hydride generation (HG), gas
chromatrography (GC) (Francesconi dan Kuehnelt 2004).
Teknik yang sering digunakan untuk menentukan spesiasi arsen adalah
dengan inductively coupled plasma-mass spectrometry (ICP-MS). Arsen organik
dan anorganik akan dapat dipisahkan dari total arsen menggunakan cation
exchange chromatography yang merupakan bagian dari metode ICP-MS (Sloth et
al. 2005). Teknik ini memiliki keunggulan yaitu merupakan metode yang
tangguh dengan sensitifitas yang tinggi, mampu digunakan untuk sampel berupa
cairan dan ekstrak cairan dari sampel biologis maupun lingkungan, mampu
mendeteksi spesies arsen secara kuantitatif, adanya gangguan spektrum yang
sering muncul akan dengan cepat diatasi dengan adanya kromatografi atau
menggunakan collision cell technology atau analisis massa resolusi tinggi
(Francesconi dan Kuehnelt 2004).

Deteksi Enzim Hati
Transaminase adalah enzim penting untuk proses metabolisme pada hewan
dan berhubungan erat dengan sintesis asam amino. Termasuk dalam kelompok
enzim transaminase ini adalah aspartate amino transferase (AST) dan alanine
amino transferase (ALT) (Devaraju et al. 2010). Enzim AST dan ALT banyak
ditemukan terutama di organ hati, tetapi juga dapat ditemukan dalam eritosit,
jaringan otot dan organ lain seperti pankreas dan ginjal. Enzim AST sebelumnya
dikenal dengan istilah serum glutamat oksaloasetat transaminase (GOT),
sedangkan enzim ALT dikenal sebagai serum glutamic piruvat transaminase
(GPT).
Enzim AST dilepaskan ke dalam darah jika hati mengalami gangguan.
Luka pada jaringan akan menyebabkan pelepasan enzim ke dalam aliran darah
dengan konsentrasi yang meningkat, misalnya pada kejadian infark miokardial
jantung, hepatitis, sirosis, pankreatitis akut, penyakit ginjal akut dan gangguan
muskulus primer. Penurunan kadar AST dapat juga terjadi pada kondisi
kehamilan, penyakit beri-beri dan diabetes ketoasidosis. Enzim ALT ditemukan
pada beberapa jaringan namun yang terbanyak ada di dalam hati. Kadar ALT yang
meningkat dijumpai pada kondisi hepatitis, sirosis, jaundice maupun penyakit hati

8
lainnya. adanya gangguan pada otot jantung. Kedua enzim transaminase berperan
penting dalam diagnosa adanya kerusakan sel hati(Viswajeet et al. 2014).

Gambar 3 Reaksi enzimatis pada enzim aspartate amino transferase (AST) dan
alanine amino transferase (ALT) (Huang et al. 2006)
Beberapa metode untuk mendeteksi enzim AST dan ALT sesuai dengan
International Federation of Clinical Chemistry (IFCC) dan The Scandinavian
Committee on Enzymes (SCE) meliputi metode kolorimetrik, spektrofotometri,
chemiluminescen, kromatografi, fluoresen and absorbansi ultra violet, radiokimia
dan teknik elektrokimia (Huang et al. 2006).

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan April 2015,
bertempat di Laboratorium Hewan Percobaan dan Laboratorium Pangan, Pusat
Pengujian Obat dan Makanan Nasional (BPOM RI) dan Laboratorium Patologi,
Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor.

9
Hewan Percobaan
Penelitian ini menggunakan hewan coba tikus jantan galur Sprague
Dawley, sejumlah 16 ekor, umur 7-8 minggu dengan bobot badan 180±20 gram
yang diperoleh dari Laboratorium Hewan Percobaan, Pusat Pengujian Obat dan
Makanan Nasional (BPOM RI Jakarta).
Bahan dan Alat
Bahan dan peralatan yang dibutuhkan antara lain : Arsenic acid (H3AsO4,
diperoleh dari PT. Merck tbk, Jakarta, Indonesia), Solid Phase Extraction (SPE),
methanol, H2O 18,2 MΩ, HCl 0,5 N, Nitric acid 10%, buffered neutral formaline
(BNF) 10%, alkohol, xylol, pewarna Meyer’s hematoksilin dan eosin, sonde tikus,
botol spesimen, microtube, gunting, scalpel, pisau, tissue processor, embedding
center, microtome, waterbath, oven, seperangkat alat inductively coupled plasmamass spectrometry (ICP-MS), mikroskop yang dilengkapi dengan kamera digital
dan monitor, dan lain-lain.
Metode
Seluruh metode yang dilakukan dalam penelitian ini sudah mendapatkan
persetujuan atas perlakuan etik dari Komisi Etik Hewan Institut Pertanian Bogor
No. 05/RSH IPB/2015 . Penelitian ini menggunakan enam belas ekor tikus yang
dibagi menjadi empat kelompok perlakuan. Keempat kelompok perlakuan
diberikan arsenic acid dengan dosis bertingkat yaitu 0 (kontrol); 2,5; 5,0 dan 10,0
mg/kg bobot badan. Kelompok kontrol diberikan aquades dan diperlakukan sama
dengan kelompok perlakuan yang diberikan arsenic acid. Hari ke 29 setelah
periode perlakuan, tikus dieuthanasi menggunakan gas CO2. Organ hati dan otak
dikeluarkan. Sebagian organ tersebut difiksasi dalam larutan Buffer Netral
Formalin 10% untuk pembuatan preparat histopatologi dan sebagian lagi
disimpan di dalam freezer untuk analisis kadar arsen anorganik menggunakan
metode ICP-MS.
Analisis Darah
Pengambilan darah dilakukan segera setelah hewan dieuthanasi. Darah
diambil melalui jantung untuk pemeriksaan biokimia darah meliputi aktivitas
enzim aspartate amino transferase (AST) dan alanine amino transferase (ALT).
Pengukuran AST dan ALT menggunakan metode reaksi kinetik enzimatik sesuai
International Federation of Clinical Chemistry and Laboratory Medicine (IFCC).
Analisis Arsen Anorganik dengan Teknik ICP-MS
Analisis arsen anorganik dilakukan sesuai dengan prosedur dalam metode
analisis di Laboratorium Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional. Tahap
pertama adalah pembuatan larutan uji dengan cara setiap sampel organ dipotong
halus dan digerus kemudian ditimbang secara kuantitatif. Sampel organ
dimasukkan ke dalam tabung sentrifus kemudian dihomogenkan untuk
selanjutnya diinkubasi pada suhu 90 oC selama 20 menit. Setelah diinkubasi
larutan sampel didiamkan terlebih dahulu pada suhu ruangan, selanjutnya

10
disentrifugasi 4000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil sebanyak 0,5 mL
kemudian dimasukkan ke dalam kolom solid phase extraction (SPE) yang
sebelumnya telah mengalami prakondisi dengan 3,0 mL methanol dan 3,0 mL air
18,2 MΩ. Analit selanjutnya dielusi menggunakan 3,0 mL HCl 0,5 N dan 2,0 mL
air 18,2 MΩ dengan laju alir 1 tetes per detik (sebagai Larutan A).
Tahap ke dua adalah pembuatan larutan baku terdiri dari Larutan Baku
Induk arsenic acid dengan konsentrasi 1000 mg/L. Larutan Baku Antara I berisi
sejumlah 1,0 mL Larutan Baku Induk dipipet dan dimasukkan ke dalam labu ukur
100 mL kemudian diencerkan dengan HCl 0,5 N hingga tanda batas 100. Larutan
Baku Antara II berisi sejumlah 1,0 mL Larutan Baku Antara I dipipet dan
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL kemudian diencerkan dengan HCl 0,5 N
hingga tanda batas 100. Larutan Baku Kerja dengan konsentrasi masing-masing 0;
2; 4; 6; 8; 10; 12; 14 ng/L dibuat dengan cara memipet Larutan Baku Antara II
masing-masing 0; 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7 mL,dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL,
kemudian diencerkan dengan HCl 0,5 N hingga tanda 50 (sebagai Larutan B).
Tahap ke tiga adalah pembuatan larutan blangko dengan cara yang sama
seperti larutan uji tanpa sampel organ (sebagai Larutan C). Prosedur Penetapan
arsen anorganik adalah mengukur larutan A, B dan C menggunakan alat ICP-MS.
Kadar arsen anorganik dalam sampel dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
Kadar arsen (ng/g) = Csp x V x F
w
Csp adalah kadar arsen anorganik yang diperoleh dari perhitungan menggunakan
kurva kalibrasi (ng/mL), V adalah volume larutan sampel uji (mL) dan F adalah
faktor pengenceran.
Pembuatan Preparat Histopatologi
Organ hati dan otak yang telah difiksasi dalam larutan buffer netral
formalin 10% selama ± 48 jam, dipotong dengan ketebalan ±3 mm kemudian
dimasukkan ke dalam tissue casset. Selanjutnya casset dimasukkan ke dalam
Automatic Tissue Processor yang berisi larutan dengan urutan alkohol 70%, 80%,
90%, 96%, alkohol absolut (I, II dan III), xylol (I dan II), paraffin (I dan II).
Proses tersebut membutuhkan waktu kurang lebih selama 24 jam dengan tujuan
dehidrasi, clearing dan impregnansi jaringan. Tahap selanjutnya adalah
pencetakan (embedding) ke dalam alat pencetak yang berisi paraffin cair. Cetakan
yang telah berisi organ dan paraffin cair kemudian dikeringkan dengan
mendinginkan di atas alat frozen tissue embedding machine. Jaringan dipotong
dengan ketebalan 3-5µm menggunakan rotary microtome. Irisan jaringan
diapungkan dalam waterbath dan diambil secara hati-hati dengan gelas obyek,
selanjutnya dilakukan pengeringan dan dimasukkan ke dalam incubator selama
semalam pada suhu 50-60 oC.
Pewarnaan Hematoksilin Eosin
Preparat histopatologi diwarnai dengan pewarnaan rutin Hematoksilin dan
Eosin untuk melihat kemungkinan adanya perubahan morfologi pada organ secara

11
umum dan perubahan yang mengarah terhadap adanya arsenikosis. Prosedur
pewarnaan HE meliputi proses deparafinisasi dan rehidrasi dengan merendam
preparat histopatologi ke dalam larutan xylol (I dan II) masing-masing selama 2
menit, dilanjutkan dengan perendaman alkohol 96%, 80% dan aquades selama 1
menit. Proses berikutnya adalah merendam ke dalam larutan warna Meyer’s
hematoksilin selama 8 menit kemudian dicuci dengan air mengalir selama 30
detik. Jaringan yang telah diwarnai dengan hematoksilin selanjutnya dicuci
dengan air mengalir selama 2 menit. Proses pewarnaan berikutnya adalah
perendaman pada larutan eosin selama 2-3 menit kemudian dibilas dengan air
mengalir selama 30-60 detik. Untuk proses dehidrasi, jaringan selanjutnya
dimasukkan dalam larutan alkohol bertingkat 70%, 80% 96% dan alkohol absolut
masing-masing 10 kali celupan. Dilanjutkan dengan proses clearing
menggunakan larutan xylol (I, II dan III) masing-masing selama 2 menit. Jaringan
yang sudah terwarnai selanjutnya di mounting dan ditutup dengan cover glass dan
siap untuk diamati menggunakan mikroskop.
Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan
percobaan dengan bentuk rancangan acak lengkap (RAL) untuk mengetahui
pengaruh organ interna tikus dan dosis terhadap akumulasi arsen anorganik, serta
pengaruh akumulasi arsen anorganik terhadap kadar enzim. Jika analisis
menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan maka pengujian dilanjutkan
dengan Uji Duncan. Data dianalisis menggunakan software SPSS 22. Analisis
secara deskriptif juga dilakukan terhadap perubahan patologi organ hati dan otak.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisis Darah
Analisis enzim aspartate amino transferase (AST) dan alanine amino
transferase (ALT) digunakan sebagai salah satu parameter adanya kerusakan
terhadap organ hati. Pengaruh pemberian arsen anorganik dengan dosis yang
berbeda terhadap kadar enzim AST di dalam hati menunjukkan adanya perbedaan
yang nyata antara kelompok perlakuan dengan kontrol. Hasil analisis pada
kelompok perlakuan terjadi peningkatan aktivitas enzim AST yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal yang sama juga terjadi pada hasil
pengukuran aktivitas enzim ALT terlihat adanya perbedaan yang nyata antara
kelompok perlakuan dengan kontrol. Tikus yang diberikan perlakuan arsen
anorganik menunjukkan aktivitas enzim ALT yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan kelompok kontrol.
Hasil analisis aktivitas enzim AST dan ALT dalam penelitian ini disajikan
pada Gambar 4. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa arsen anorganik
mampu menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas enzim, baik AST maupun
ALT di dalam sirkulasi darah yang mengindikasikan terjadinya kerusakan pada
organ hati. Navarro et al. (1993) menjelaskan bahwa terjadinya peningkatan
aktivitas enzim AST dan ALT di dalam plasma terutama disebabkan oleh adanya

12
kebocoran dari enzim tersebut dari sitosol hati masuk ke dalam aliran darah, yang
memberikan indikasi terhadap efek hepatotoksik dari senyawa arsen.
206.75b

Aktivitas Enzim (U/L)

350

151.5b

300
250
200

216b
199b

207.75b
138.5b

111.25a

150
100

AST
45a

ALT

50
0
0

2.5

5

10

Dosis (mg/kg)

Gambar 4 Pengaruh dosis arsen anorganik terhadap aktivitas enzim AST dan
ALT
AST dan ALT merupakan dua enzim penting yang bekerja sebagai
perantara utama dalam metabolisme karbohidrat dan protein. Hasil reaksi kedua
enzim menghasilkan asam-asam keto untuk berlangsungnya siklus Krebs dan
menghasilkan energi. Arsenat (As V) dan arsenit (As III) dapat mengganggu
produksi energi dari sel melalui mekanisme yang berbeda. Arsenat memiliki
kesamaan struktur dengan fosfat sehingga proses glikolisis akan terganggu dan
akhirnya menurunkan produksi ATP. Arsenit menghambat enzim dalam siklus
asam sitrat mitokondria sehingga mengakibatkan penurunan produksi energi
(Aphosian 1989).
Aktivitas enzim transferase mengalami perubahan dalam jaringan sebagai
akibat beberapa kondisi patologis. Aktivitas enzim AST dan ALT dalam kondisi
fisiologis berada dalam batasan normal, tetapi apabila organ hati atau jantung
mengalami gangguan maka kedua enzim transaminase tersebut akan dilepaskan ke
dalam aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan kadar enzim dalam darah.
Oleh karena itu kadar AST dan ALT dalam darah berkaitan secara langsung
dengan tingkat kerusakan suatu jaringan maupun organ. Rasio AST terhadap ALT
dapat membantu menentukan tingkat kerusakan suatu organ (Huang et al.2006).
Enzim AST berfungsi mengkatalisis pemindahan secara reversibel dari
asam aspartat dan asam α-ketoglutarat menjadi asam oksaloasetat dan asam
glutamat. Sedangkan enzim ALT berfungsi mengkatalisis pemindahan secara
reversibel dari alanin dan asam α-ketoglutarat menjadi asam piruvat dan asam
glutamat. Enzim glutamat dehidrogenase (GDH) berperan dalam jalur katabolisme
asam amino. Enzim tesebut mengkatalisis secara reversibel pada proses deaminasi
oksidatif dari glutamat menjadi α-ketoglutarat dan amonia dengan nukleotida
piridin (NAD atau NADH) sebagai koenzim. Semua fungsi dari enzim-enzim
tersebut sebagai perantara dalam metabolisme protein dan karbohidrat . Produk

13
akhir dari reaksi enzim tersebut adalah penggabungan dari asam-asam keto untuk
selanjutnya masuk ke dalam siklus TCA atau siklus Krebs (Devaraju et al. 2010).

Hasil Analisis Arsen Anorganik dengan Metode ICP-MS

A

Konsentrasi Arsen Anorganik
(µg/g jaringan)

Organ interna tikus Sprague dawley yang diambil untuk pengukuran
konsentrasi arsen anorganik dalam penelitian ini adalah hati dan otak. Hasil
analisis statistik, memperlihatkan bahwa organ hati dan otak berpengaruh
terhadap akumulasi arsen anorganik. Tikus yang diberikan perlakuan arsen
anorganik menunjukkan akumulasi pada otak, tetapi akumulasi logam berat
tersebut terlihat lebih besar ditemukan di hati (Gambar 5A). Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian pada tikus yang diberikan arsen anorganik secara akut
(Bashir et al. 2006) dan pada mencit dengan pemberian secara kronis (Carmignani
et al. 1983).
Data pada Gambar 5B menunjukkan bahwa rerata konsentrasi arsen
anorganik di hati tertinggi pada dosis 10 mg/kg bobot badan, sedangkan pada
pemberian dosis 2,5 dan 5 mg/kg selama 28 hari tidak berbeda secara nyata,
namun ketiga dosis perlakuan tersebut jika dibandingkan dengan kelompok
kontrol menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pemberian secara subkronis dari arsenic acid dosis 2,5
hingga 10 mg/kg bobot badan pada tikus memberikan respon akumulasi yang
semakin meningkat di dalam organ hati.
Hati merupakan organ penting dalam berbagai proses metabolisme dan
pengaruh dari masuknya bahan kimia maupun xenobiotik ke dalam tubuh akan
terdeteksi pertama kali di dalam hati. Proses metabolisme arsen terjadi di dalam
hati yang merupakan tempat utama untuk metilasi arsen di dalam tubuh
(Vishwajeet et al. 2014). Hughes dan Thompson (1996) melakukan studi terhadap
arsen anorganik dengan pemberian secara tunggal dan penelitian lanjutan oleh
Hughes et al. (1999) yaitu pemberian berulang subkronik dari arsen anorganik
melalui air minum dengan dosis 0,014 – 1,4 mg/L pada mencit, menunjukkan
bahwa kapasitas metilasi dan ekskresi pada arsen tidak berbeda secara nyata.
80.00

66.19b

70.00
60.00
50.00
40.00
11.84a

30.00
20.00
10.00
0.00
hati

Organ

otak

14

B

Konsentrasi Arsen Anorganik
(µg/g jaringan)

140

113.77c

120
100

78.26b

70.98b

80

hati

60

otak

40
1.74a
20

0.3a

11.57b

14.75c

20.76d

0
0

2.5

5
Dosis (mg/kg)

10

Gambar 5 Konsentrasi arsen anorganik pada hati dan otak (A), Pengaruh organ
dan dosis terhadap konsentrasi arsen anorganik (B).
Arsen di dalam air minum biasanya ditemukan dalam bentuk anorganik
arsenat (As V) atau arsenit (As III), hal ini tergantung pada pH dan adanya unsur
oksidator maupun reduktor (Shraim et al. 2002). Jalur metabolisme arsen
anorganik melibatkan 2 jalur utama reaksi kimia yaitu reaksi reduksi dan
metilasi oksidatif. Arsenat pentavalent direduksi menjadi arsenit trivalen terutama
di dalam darah sebelum dimetabolisme lebih lanjut (Vahter 2002). Sebanyak 50
hingga 70 persen dosis tunggal arsenat secara cepat direduksi menjadi arsenit pada
sebagian besar spesies secara non enzimatik melalui glutathione sebagai donor
elektron maupun secara enzimatis dengan dikatalisasi oleh enzim arsenat
reduktase (Kitchin 2001). Arsenit (As III) jauh lebih cepat diserap oleh hepatosit
dibandingkan dengan arsenat (As V). Hal ini dikarenakan arsenit bersifat tidak
mudah terurai pada pH fisiologis sedangkan arsenat dalam bentuk terionisasi. Hati
merupakan organ utama dalam proses metilasi arsen dikarenakan ingesti arsen
langsung masuk ke dalam hati. Proses metilasi arsen anorganik dianggap sebagai
mekanisme detoksifikasi karena hasil metabolit MMAV dan DMAV bersifat
kurang toksik (Vahter 2002 dan Gebel 2002).
Hasil analisis statistik pada otak memperlihatkan akumulasi arsen
anorganik yang berbeda nyata pada dosis 2,5 hingga 10 mg/kg bobot badan
terhadap kontrol. Rerata dosis dari yang tertinggi yaitu dosis 10; 5; 2,5 dan
terendah pada dosis 0 mg/kg bobot badan (Gambar 1B). Hasil penelitian ini
memperlihatkan bahwa arsenic acid mampu menembus blood brain barrier dan
terakumulasi di dalam otak tikus. Sifat lipofilik dari logam organik memudahkan
dalam menembus blood brain barrier, begitu juga dengan logam anorganik akan
mampu mencapai jaringan otak. Efek toksik arsen anorganik secara akut maupun
kronis melibatkan beberapa sistem organ termasuk sistem syaraf pusat (Beckett et
al. 1986). Nagaraju dan Desiraju (1993) juga menyatakan bahwa arsen anorganik
mampu menembus blood brain barrier, terakumulasi di otak dan menimbulkan
efek neurokimia.

15
Blood-brain barrier merupakan struktur bagian dari otak yang membentuk
persimpangan diantara kapiler sel endotel otak dengan sel-sel epitel dalam
pleksus koroid yang berperan khusus mencegah protein dan molekul yang lebih
kecil bercampur dengan cairan cerebrospinal (Barret et al. 2012). Efek
neurotoksisitas dari suatu bahan toksik dipengaruhi oleh permeabilitas dari blood
brain barrier terhadap bahan toksik tersebut (Rai et al. 2010). Penelitian pada
hewan percobaan dengan pemberian arsen melalui air minum menunjukkan
bahwa adanya hubungan antara dosis dan respon dari arsen pada otak. Hal ini
membuktikan bahwa blood brain barrier tidak mampu menghalangi masuknya
arsen ke dalam sistem saraf pusat dan dilaporkan bahwa arsen berdampak toksik
melalui peningkatan permeabilitas dari blood brain barrier (Rai et al.2010 dan
Xi et al. 2010).
Paparan arsen anorganik mengakibatkan akumulasi di daerah hipokampus
otak yang berperan dalam fungsi kognitif dan memori. Menurut Wasserman et al.
(2014) berpendapat bahwa berkurangnya fungsi kognitif yang ditandai dengan
penurunan kecerdasan, koefisien verbal dan gangguan proses belajar serta memori
berhubungan dengan terjadinya paparan kronis dari logam berat seperti arsen.
Gangguan kognitif dan sistem syaraf tergantung pada besarnya konsentrasi, waktu
dan durasi terhadap paparan arsen (Tyler dan Allan 2014). Ahmed et al. (2011)
menyatakan bahwa logam berat arsen memiliki potensi sebagai teratogen yang
mampu menembus plasenta selama tahap perkembangan dengan konsentrasi yang
tinggi, hal ini menyebabkan gangguan pertumbuhan dan defek sistem saraf.
Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi
Deskripsi lesio yang ditemukan pada organ hati dengan pewarnaan HE
antara lain adalah kelompok kontrol secara umum hepatosit tidak terlihat
perubahan, hanya ada sedikit kongesti yang umum terjadi pada waktu proses
euthanasia. Dosis 2,5 mg/kg menunjukkan mulai terjadi perubahan di daerah
portal dengan adanya infiltrasi sel-sel radang dan beberapa sel mengalami
degenerasi. Dosis 5 mg/kg terlihat perubahan yang hampir sama dengan dosis 2,5
mg/kg, namun daerah yang mengalami degenerasi terjadi perluasan dengan
ditandai adanya inti yang mengecil dan hilang, di daerah portal terjadi edema
disertai infiltrasi sel-sel radang. Dosis 10 mg/kg tampak jelas kerusakannya
dengan adanya degenerasi dan nekrosis yang meluas disertai infiltrasi sel-sel
radang yang semakin banyak (Gambar 6).
Das et al. (2010) dan Somia et al. (2006) menyatakan bahwa adanya
perubahan degenerasi dan nekrosis pada hati dapat disebabkan oleh peroksidasi
lipid yang dihasilkan oleh reactive oxygen species (ROS). Toksisitas arsen
dimediasi oleh produk metabolitnya (Yamanaka et al. 2000). Menurut Liu et al.
2001, arsen dapat menyebabkan toksik melalui oksidatif stress sehingga
dihasilkan reactive oxygen species. Radikal bebas terdeteksi pada sel yang
diinduksi dengan arsen.
Nekrosis pada hati dapat diakibatkan oleh oxystress dari adanya induksi
arsenik pada proses degradasi protein selular. Ruang sinusoidal hati melebar
karena terjadi penyusutan dan nekrosis sel hati akibat paparan arsenik sehingga
meningkatkan permeabilitas dari infiltrasi bahan selular (Ferzand et al. 2008).
Infiltrasi sel mononuklear di daerah portal kaitannya dengan hiperplasia saluran

16
empedu bisa disebabkan oleh produksi IL-33, IL-1α dan produksi molekul intra
dan ekstraseluler yang rusak dari sel-sel nekrotik di hati. Sel yang mengalami
nekrosis dikenali oleh makrofag dan dihasilkan sitokin untuk proses regenerasi
(Mashkoor et al. 2013).

Gambar 6 Lesio histopatologi hati. Kontrol (A); Dosis 2,5 mg/kg berat badan
(B); Dosis 5 mg/kg berat badan (C) ; Dosis 10 mg/kg berat badan
(D). Terlihat infiltrasi sel radang ( ) di daerah portal (lingkaran)
dan hepatosit yang mengalami nekrosis ( ). Pewarnaan HE. Skala:
40 µm.
Pemeriksaan histopatologi pada otak yang dievaluasi adalah di bagian
hipokampus karena di daerah ini sangat berperan penting dalam proses
penerimaan informasi, penyimpanan memori baru dan pengungkapan memori
lama (Kumar et al. 2005). Lesio histopatologi yang terjadi pada otak disajikan
pada Gambar 7. Perubahan yang terlihat antara lain ; untuk kelompok kontrol
secara umum tidak ada perubahan. Pada dosis 2,5 mg/kg terlihat adanya infiltrasi
sel-sel radang. Dosis 5 dan 10 mg/kg tampak jelas nekrosis sel-sel neuron yang
cukup banyak, hampir 40 persen terlihat kematian dari neuron, diduga sebagai
akibat dari arsen anorganik yang mampu menembus blood-brain barrier dan
terakumulasi di dalam otak. Kerusakan jaringan yang terlihat dengan pewarnaan
HE ini sejalan dengan hasil analisis menggunakan ICP-MS yang menunjukkan
rerata konsentrasi arsen anorganik yang semakin tinggi dengan pemberian dosis
yang semakin meningkat.

17
Paparan arsen pada hewan model diketahui mampu menyebabkan
perubahan secara seluler pada otak. Adanya arsen menyebabkan terjadinya
peningkatan apoptosis pada astrosit, penurunan proses astrositik, penurunan
ekspresi astrositik dari glial fibrillary acidic protein yang memelihara keutuhan
dari astrosit. Astrosit berperan penting dalam menjaga integritas dari blood brain
barrier, penyokong dalam proses biokimia dalam jaringan saraf dan berperan
penting dalam pembentukan memori jangka panjang (Rai et al. 2010).

Gambar 7 Lesio histopatologi otak. Kontrol (A); Dosis 2,5 mg/kg berat badan
(B); Dosis 5 mg/kg berat badan (C) ; Dosis 10 mg/kg berat badan
(D). Terlihat infiltrasi sel radang (
) dan ne

Dokumen yang terkait

Pengaruh Hormon Testosteron Undekanoat (TU) Dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa dan Histologi Spermatogenesis Tikus Jantan (Rattus Novergicus L) Galur Sprague Dawley

4 46 157

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 70% Daun Pacing (Costus spiralis) terhadap Diameter Tubulus Seminiferus, Motilitas, dan Spermisidal pada Tikus Jantan Strain Sprague-Dawley

0 10 95

Uji Efek Antifertilitas Serbuk Bawang Putih (Allium Sativum L.) Pada Tikus Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo Dan In Vitro

3 25 115

Uji Antifertillitas Ekstrak Metanol Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L) pada Tikus Jantan Strain Sprague Dawley Secara In Vivo

4 11 134

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) Terhadap Kualitas Sperma Pada Tikus Jantan Galur Sprague- Dawley Secara In Vivo dan Aktivitas Spermisidal Secara In Vitro

0 15 104

Efek Pemberian Ekstrak Kayu Nigella sativa terhadap Glukosa Darah Dan Kolesterol Tikus Diabetes Mellitus yang Diinduksi Streptozotocin. 2014

1 6 62

Uji Aktivitas Hepatoprotektif Ekstrak Air Sarang Burung Walet Putih (Collocalia fuciphaga Thunberg, 1821). Terhadap Aktivitas SGPT & SGOT Pada Tikus Putih Jantan Galur Sprague-Dawley

0 23 107

Aktivitas antifertilitas ekstrak etanol 70% daun pacing (costus spiralis) pada tikus sprague-dawley jantan secara in vivo

1 32 0

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor (Moringa Oleifera Lam) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa, Morfologi Spermatozoa, Dan Diameter Tubulus Seminiferus Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley

4 34 116

Toksisitas akut dan subkronis ekstrak air buah murbei pada tikus Sprague dawley

1 8 151