Toksisitas akut dan subkronis ekstrak air buah murbei pada tikus Sprague dawley

(1)

TOKSISITAS AKUT DAN SUBKRONIS EKSTRAK AIR BUAH

MURBEI (Morus alba L.) PADA TIKUS SPRAGUE DAWLEY

MOHAMAD ANA SYABANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Toksisitas Akut dan Subkronis Ekstrak Air Buah Murbei (Morus alba L.) pada Tikus Sprague Dawley adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

Mohamad Ana Syabana F251080061


(3)

ABSTRACT

MOHAMAD ANA SYABANA. Acute and Subchronic Toxicity Studies Of Water Extract Mulberry Fruit (Morus alba L.) on Sprague Dawley Rat. Under

direction of FRANSISKA RUNGKAT ZAKARIA and DEWI RATIH

AGUNGPRIYONO.

Mulberry fruit have a lot of positive impact to health, so it is suitable to develop it as functional food or phytopharmaceutical. Before it, mulberry fruit must be proven have no negative effect when it is consumed every day. This research aim is to study acute and sub chronic toxicity of mulberry fruit water extract on Sprague Dawley rat. The acute toxicity was determined by giving extract of 5 gram of fruit/kg body weight by gavage to 5 male and female rats group one time. The 3 day observations showed that the treatment did not cause any mortality nor clinical signs such as physical changes, decrease of body weight and feed consumption. The sub chronic toxicity was determined by giving extract of 0.1 and 1 gram of fruit/kg body weight to each 5 male and female rats group daily with the mulberry fruit water extract continuously for 92 days. The 92 days observation showed that the treatment did not cause any mortality nor any clinical signs such as physical changes, decrease of body weight and feed consumption compared to the control group. After 92 days of treatment, all rats were terminated, and their serum, liver and kidneys tissue were collected for assessing liver and kidney damage microscopically. Biochemistry parameters profile that linked with liver damaged did not show any liver toxicity incident, only slight increased of protein in the group that received 1 g/kg bw which was statistically significantly (p<0,05) although it is still within normal range. Microscopic liver examination also did not showed hepatocytes damage. Biochemistry parameter profile that linked with kidney damage and histology of kidney did not show kidney toxicity. The glomerulus lesion is increase along with increasing doses but the tubulus lesion is decrease along with increasing doses, although they are not statistically significant. (p>0,05).


(4)

RINGKASAN

MOHAMAD ANA SYABANA. Toksisitas Akut dan Subkronis Ekstrak Air Buah Murbei pada Tikus Sprague Dawley. Dibimbing oleh FRANSISKA RUNGKAT ZAKARIA dan DEWI RATIH AGUNG PRIYONO.

Dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma masyarakat terkait konsumsi pangan, jika sebelumnya pangan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, sekarang pangan juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan atau lebih dikenal dengan istilah pangan fungsional. Indonesia dikenal sebagai negara yang subur tanahnya, sehingga banyak tanaman yang bukan asli Indonesia dapat tumbuh subur dan dapat digunakan sebagai bahan pembuatan pangan fungsional, salah satunya tanaman murbei (Morus alba L.).

Pohon murbei yang bernama latin Morus alba L dan Mandarin, Sang ye, tidak hanya disukai ulat sutera, tapi juga bermanfaat bagi manusia. Bagian tanaman ini, khususnya buah murbei telah lama dikenal memiliki khasiat bagi yang mengkonsumsinya, diantaranya dapat mengobati sakit demam, mencegah terjadinya ateroskleriosis pada kelinci dan menghambat pergerakan dan invasi metastasis pada sel kanker karsinoma paru-paru manusia. Selain itu buah ini juga memiliki potensi antioksidatif dan antiinflamasi serta antihiperlipidemia.

Selama ini buah murbei belum banyak dimanfaatkan di Indonesia kecuali hanya pada tataran konsumsi langsung dan itu pun tidak dikonsumsi setiap hari. Jika mengacu pada berbagai macam khasiat buah murbei maka buah ini sebenarnya layak untuk dikembangkan sebagai bahan baku pangan fungsional, obat herbal ataupun pengembangan lainnya. Tetapi sebelum dikembangkan tentu harus diketahui apakah ada efek negatif dari konsumsi buah murbei apalagi jika konsumsi tersebut dilakukan setiap hari. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian toksikologi untuk melihat dampak akut dan sub kronis penggunaan buah murbei. Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui toksisitas akut ekstrak air buah murbei dosis 5 g/kg bb terhadap karakteristik fisik dan tingkah laku tikus Sprague Dawley, dan (2) untuk mengetahui toksisitas sub kronis ekstrak air buah murbei pada dosis 0,1 g/kg bb dan 1 g/kg bb terhadap tampilan fisik dan tingkah laku, profil biokimia serum darah, histologi hati dan ginjal tikus percobaan.

Penelitian ini dilaksanakan dalam 3 tahap yaitu (1) Pembuatan ekstrak air buah murbei agar dapat diberikan menggunakan sonde lambung dan pembuatan pakan standar AIN (America Institut of Nutrition); (2) Pemeliharaan dan pengamatan; (3) Analisis profil biokimiawi serum, preparat histologi hati dan ginjal tikus percobaan. Tikus Sprague Dawley diadaptasi 2 minggu lalu dibagi : (a) Perlakuan akut, tikus dicekok 1 kali dengan dosis 5 g/kg bb, lalu diamati kejadian kematian, banyaknya konsumsi pakan, perubahan berat badan dan perubahan tingkah laku selama 3 hari, (b) Perlakuan sub kronis, tikus di bagi 3 kelompok perlakuan yaitu : dosis 0,1 g/kg bb; 1 g/kg bb dan kontrol, lalu dicekok selama 92 hari dan selama itu juga dilakukan pengamatan meliputi terjadinya kematian, perubahan tingkah laku, banyaknya konsumsi pakan dan perubahan berat badan. Pada hari ke 93 tikus diterminasi diambil serumnya dan dianalisis kandungan bilirubin, albumin, total lemak dan protein, SGPT, SGOT, ALT, urea,


(5)

kreatinin, kolesterol, TGA, fosfor, kalium, klorida, kalsium dan glukosa. Hati dan ginjal juga diambil lalu ditimbang dan dibuat preparat histologi dengan pewarnaan hematoksilin-eosin untuk melihat persentase sel normal, degenerasi dan nekrosis pada sel hepatosit; endapan protein pada glomerulus dan degenerasi hialin pada tubulus.

Pada percobaan akut data kuantitatif berupa berat badan dan sisa pakan hanya dilihat kecenderungannya saja. Sedangkan pada percobaan sub kronis data kuantitatif berupa berat badan, sisa pakan, analisis biokimia serum dan juga pengamatan preparat histologi diambil dari semua tikus dalam setiap kelompok dan dibandingkan. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1 perlakuan 2 taraf dosis. Kemudian dilakukan uji lanjut dengan uji wilayah berganda duncan (DMRT) taraf 5 % untuk melihat perbedaan antar perlakuan.

Hasil analisis proksimat buah murbei menunjukkan bahwa bagian terbesar sampel buah murbei semi kering adalah karbohidrat sebesar 55%, lalu air 25%, protein 10%, abu 8% dan lemak 3%. Sedangkan hasil penelitian toksisitas akut pemberian ekstrak air buah murbei dosis tunggal 5 g/kg bb tidak mempengaruhi tingkah laku, fisik, rata-rata berat badan dan konsumsi pakan selama 3 hari pengamatan. Ini menunjukkan bahwa ekstrak air buah murbei tidak toksik bagi tikus percobaan.

Pada penelitian toksisitas sub kronis, pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb menunjukkan tidak terjadi kematian, perubahan fisik dan tingkah laku, serta penurunan konsumsi pakan dan berat badan pada tikus perlakuan selama 92 hari pengamatan. Demikian juga berat organ hati dan ginjal pada tikus perlakuan tidak jauh berbeda dengan kontrolnya, ini menunjukkan tidak terjadi hipertrofi pada sel-sel hati dan ginjal tikus perlakuan. Analisis kerusakan hati dengan cara menganalisis serum menunjukkan pada tikus jantan, konsentrasi rata-rata SGPT, SGOT, alkalin fosfatase, albumin, total lipid, kolesterol, trigliserida, bilirubin langsung dan total tikus perlakuan lebih rendah dibanding tikus kontrol. Analisis sidik ragam pada taraf 5 % menunjukkan semua parameter tidak berbeda nyata baik pada tikus jantan maupun betina, kecuali SGOT tikus jantan pada perlakuan dosis 1g/kg bb nyata lebih rendah dan protein tikus betina pada perlakuan dosis 1 g/kg bb yang nyata lebih tinggi. Meskipun demikian konsentrasi total protein serum pada tikus perlakuan 1 g/kg bb masih masuk dalam rentang konsentrasi protein pada tikus normal.

Analisis histopatologi hati dengan pewarnaan HE menunjukkan bahwa pada organ hati perlakuan, maupun kontrol telah terjadi lesio baik degenerasi hidropis, degenerasi lemak maupun nekrosis. Tetapi persentase sel normal pada kelompok hati perlakuan lebih banyak di banding dengan tikus kontrol dan kondisi ini berbanding terbalik dengan jumlah sel yang mengalami degenerasi lemak dan nekrosis baik pada tikus jantan dan betina. Pada tikus jantan analisis sidik ragam terhadap persentase sel yang mengalami degenerasi hidropik dan degenerasi lemak nyata lebih rendah dari kontrol (p<0,05), sedangkan persentase sel yang mengalami nekrosis dan sel normal tidak berbeda nyata. Pada tikus betina persentase sel yang mengalami nekrosis, degenerasi hidropik, degenerasi lemak dan normal tidak berbeda nyata (p>0,05). Berdasarkan analisis pada paramater serum yang berkaitan dengan kerusakan hati dan juga histologi organ hati


(6)

menunjukkan bahwa pemberian ekstrak air buah murbei pada dosis 0,1 g/kg bb dan 1 g/kg bb tidak bersifat toksik bagi organ hati tikus percobaan.

Analisis kerusakan ginjal dengan cara mengukur profil biokimiawi serum menunjukkan konsentrasi rata-rata urea, kreatinin dan kalsium pada serum tikus perlakuan cenderung lebih tinggi dibanding tikus kontrol, sedangkan konsentrasi rata-rata fosfor, klorida dan kalium serum tikus perlakuan cenderung lebih rendah dari kontrol. Analisis sidik ragam pada taraf 5% terhadap konsentrasi rata-rata urea, kreatinin, kalsium, klorida dan kalium tidak berbeda nyata, sedangkan terhadap konsentrasi rata-rata fosfor berbeda nyata baik pada tikus jantan dan betina. Pada tikus jantan konsentrasi rata-rata fosfor tikus perlakuan dosis 1 g/kg bb berbeda nyata, sedangkan pada tikus betina konsentrasi rata-rata fosfor tikus perlakuan dosis 0,1 dan 1 g/kg bb berbeda nyata. Berdasarkan konsentrasi kalsium serum yang cenderung normal maka rendahnya fosfor tersebut bukan berkaitan dengan kerusakan ginjal (sekresi berlebihan akibat hiperparatiroidisme), tetapi diduga berkaitan dengan kebutuhan fosfor untuk membentuk ATP yang dibutuhkan saat regenerasi sel hepatosit pada tikus perlakuan tersebut.

Profil preparat histologi ginjal diamati pada bagian glomerulus dan tubulus, pada glomerulus diamati terjadinya endapan protein sedangkan pada tubulus diamati terjadinya degenerasi hialin. Pada tubulus persentase rata-rata degenerasi hialin perlakuan lebih rendah dibanding kontrol, sedangkan pada glomerulus endapan protein yang terjadi pada tikus perlakuan semakin meningkat dengan semakin tingginya dosis yang diberikan. Analisis sidik ragam pada taraf 5% menunjukkan lesi yang terjadi pada glomerulus dan tubulus tidak berbeda nyata baik pada kelompok jantan maupun betina. Hasil ini menguatkan dugaan rendahnya konsentrasi fosfor serum bukan dikarenakan rusaknya ginjal. Berdasarkan analisis pada paramater serum yang berkaitan dengan kerusakan ginjal dan juga histologi organ ginjal menunjukkan bahwa pemberian ekstrak air buah murbei pada dosis 0,1 g/kg bb dan 1 g/kg bb tidak bersifat toksik bagi organ ginjal tikus percobaan. Meskipun demikian telah terjadi lesio pada glomerulus yang meningkat dengan meningkatnya dosis ekstrak air buah murbei yang diberikan walaupun secara statistik tidak berbeda nyata.

Kata kunci: ekstrak air buah murbei, ginjal, hati, profil biokimia darah, toksikopatologi akut, toksikopatologi sub kronis


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

TOKSISITAS AKUT DAN SUBKRONIS EKSTRAK AIR BUAH

MURBEI (Morus alba L.) PADA TIKUS SPRAGUE DAWLEY

MOHAMAD ANA SYABANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Mayor Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(9)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Toksisitas Akut dan Sub Kronis Sari Buah Murbei (Morus alba L.) Pada Tikus Sprague Dawley

Nama : Mohammad Ana Syabana

NRP : F251080061

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Fransiska R Zakaria, M.Sc Ketua

Drh. Dewi Ratih A., Ph.D, APVet Anggota

Diketahui Ketua Program Mayor Ilmu Pangan

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang berjudul

”Toksisitas Akut dan Subkronis Ekstrak Air Buah Murbei (Morus alba L.) pada Tikus Sprague Dawley”.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Ir. Fransisca Rungkat Zakaria, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing atas segala kebaikan, bantuan, bimbingan, motivasi, perhatian dan kepercayaannya untuk mengikutsertakan penulis dalam proyek penelitian ini.

2. Ibu Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala kebaikan, bantuan, bimbingan, motivasi dan perhatian.

3. Bapak Ir. Arif Hartoyo, M.Si selaku dosen penguji di luar komisi pembimbing atas saran dan masukannya.

4. Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti-H., M.Sc. selaku ketua Mayor Ilmu Pangan dan Bapak Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc selaku Ketua Departemen ITP.

5. Seluruh staf pengajar Program Mayor Ilmu Pangan dan SEAFAST Center atas ilmu yang diberikan selama menempuh studi di IPN.

6. Rektor, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Jurusan Agroekoteknologi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa atas arahan dan izin yang diberikan sehingga penulisa dapat melanjutkan studi pascasarjana di IPB.

7. Istri tercinta dr. Uun Maesunah dan putri tersayang Putri Naila Mazaya Syabana atas segala inspirasi, dukungan, motivasi, do’a, kasih sayang dan pengertiannya.

8. Kedua orang tua, Bapak Drs. H. M. Amin Bay, M.Ag dan mimi Hj.Nina Suhaeti atas segala dukungan, motivasi, do’a, kasih sayang dan pengertiannya.

9. Mama KH. Bahauddin Anshor dan mimi Hj.Eli Aliyah atas dukungan, motivasi, do’a dan pengertiannya.


(11)

10. Adik-adikku Dini, Diyah, Asep, Dede, Niar, Zulfaturrahmah, Nanang, Acong, Ela dan Abih.

11. Sahabat-sahabatku khususnya IPN angkatan 2008 atas segala

kebersamaannya berjuang di IPN.

12. Pada teman-teman yang bergabung dalam proyek uji toksikologi.

13. Para laboran dan teknisi di lingkungan Departemen ITP dan SEAFAST Center (khususnya pak Adi, pak Taufik, dan Bu Sri), terima kasih atas bantuannya.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan agar dapat memberikan informasi dalam pengembangan karya tulis ilmiah ini lebih lanjut. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2010 Mohamad Ana Syabana


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Indramayu Jawa Barat pada tanggal 7 Juni 1982 sebagai putra ke-1 dari 4 bersaudara dari pasangan Bapak Drs. H. Muhamad Amin Bay, M.Ag dan Ibu Hj. Nina Suhaeti. Penulis menamatkan Sekolah Dasar (SD) di Indramayu, Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Assalaam Solo. Pada tahun 2000 penulis diterima di Program Studi Biokimia IPB melalui jalur USMI dan lulus pada tahun 2005.

Pada tahun 2005-Juni 2006, penulis bekerja di PT Mitra Manggalindo Jakarta sebagai Supervisor Quality Control. Pada bulan Juli 2006 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten. Pada September 2008, penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), Program Magister Ilmu Pangan dengan beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi (DIKTI).


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………..…………....

xv DAFTAR GAMBAR ………..

xvii DAFTAR LAMPIRAN ………..

xviii 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang……….. 1

1.2 Tujuan………... 3

1.3 Hipotesis………... 3

1.4 Manfaat penelitian ..………... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Murbei (Morus alba L.)..………... 5

2.1.2 Botani………... 5

2.1.3 Komponen kimiawi ………... 6

2.1.4 Fitofarmaka ……… 7

2.2 Toksisitas ………... 9

2.2.1 Uji toksikologi umum ………... 10

2.2.2 Parameter pengamatan………... 11

2.2.3 Adsorbsi, distribusi dan metabolisme toksikan……….. 13

2.2.4 Organ sasaran utama ………... 16

3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ……….. 24

3.2 Bahan... 24

3.3 Alat... 25

3.4 Metode………. 25

3.4.1 Pembuatan ekstrak air buah murbei dan persiapan Pakan standar………... 25

3.4.2 Pemeliharaan, pengamatan dan analisis tikus percobaan... 28

3.4.3 Pengolahan data dan rancangan percobaan……... 31

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kandungan Gizi Buah Murbei..………. 32

4.2 Kondisi Tikus Percobaan..………. 33

4.3 Pengujian Toksisitas Akut……….. 34

4.4 Pengujian Toksisitas Sub Kronis……… 36

4.4.1 Gejala klinis……… 36

4.4.1.1 Berat badan dan konsumsi pakan………. 36

4.4.1.2 Kondisi fisik dan tingkah laku……….. 39

4.4.1.3 Berat hati dan ginjal………. 40

4.4.2 Analisis kerusakan hati……….. 41


(14)

4.4.2.2 Histologi hati………. 56

4.4.2.3 Pembahasan umum……… 60

4.4.3 Analisis kerusakan ginjal………... 63

4.4.3.1 Analisis serum tikus……….. 64

4.4.3.2 Histologi ginjal………. 74

4.4.3.3 Pembahasan umum……… 76

5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan………. 79

5.2 Saran………. 80

DAFTAR PUSTAKA ………. 81


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Karakteristik kimiawi dan komposisi mineral buah murbei…... 6

Tabel 2 Tanda toksik pada organ atau sistem fisiologi tubuh………. 12

Tabel 3 Konsumsi ransum standar………... 27

Tabel 4 Jenis pengamatan fisik dan tingkah laku yang dilakukan... 30

Tabel 5 Kandungan gizi buah murbei……….. 32 Tabel 6 Hasil pengamatan fisik dan tingkah laku pada tikus kontrol dan

perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb………...

40

Tabel 7 Berat relatif dan standar deviasi organ hati dan ginjal tikus kontrol dan perlakuan pemberian ekstrak buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb………..

41

Tabel 8 Rata-rata dan standar deviasi enzim SGPT (U/l), SGOT (U/l) dan alkalin fosfatase (U/l) pada tikus kontrol dan perlakuan

pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb…… 44

Tabel 9 Rata-rata dan standar deviasi bilirubin total (mg/dl) dan conjugated bilirubin (mg/dl) pada tikus kontrol dan perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb…….

47

Tabel 10 Rata-rata dan standar deviasi total protein (g/dl) dan albumin (g/dl) pada tikus kontrol dan perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb……….

50

Tabel 11 Rata-rata dan standar deviasi glukosa (mg/dl) pada tikus kontrol dan perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb……….

53

Tabel 12 Rata-rata dan standar deviasi total lipid (mg/dl), kolesterol (mg/dl) dan trigliserida (mg/dl) pada tikus kontrol dan perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb…....

55

Tabel 13 Persentase sel normal, degenerasi hidropik, degenerasi lemak dan nekrosis sel hepatosit pada tikus kontrol dan perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb…….

57

Tabel 14 Rata-rata dan standar deviasi BUN (mg/dl) dan kreatinin (mg/dl) pada tikus kontol dan perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb……….

65

Tabel 15 Rata-rata dan standar deviasi fosfor (mg/dl) dan kalsium (mg/dl) pada tikus kontol dan perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb………

68

Tabel 16 Rata-rata dan standar deviasi klorida (mmol/l) dan kalium (mmol/l) pada tikus kontol dan perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb………...


(16)

Tabel 17 Persentase rata-rata terjadinya endapan protein pada glomerulus dan degenerasi hialin pada tubulus tikus kontrol dan perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb……. 74


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Buah murbei……… 5

Gambar 2 Anatomi hati ... 16

Gambar 3 Anatomi ginjal... 21

Gambar 4 Diagram alir rencana penelitian... 26

Gambar 5 Rata-rata berat badan tikus jantan dan betina yang diberi ekstrak air buah murbei dosis 5 g/kg bb………... 34

Gambar 6 Rata-rata konsumsi pakan tikus jantan dan betina yang diberi ekstrak air buah murbei dosis 5 g/kg bb………. 35

Gambar 7 Grafik rata-rata berat badan tikus jantan dan betina yang diberi ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb serta kontrol selama 92 hari perlakuan……….. 37

Gambar 8 Grafik konsumsi pakan rata-rata per hari pada tikus jantan dan betina kontrol dan perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb……… 38

Gambar 9 Metabolisme bilirubin………... 46

Gambar 10 Kerusakan sel yang meliputi degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosis pada tikus kontrol………… 58

Gambar 11 Kerusakan sel yang meliputi degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosis pada tikus perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 g/kg bb…….. 59

Gambar 12 Kerusakan sel yang meliputi degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosis pada tikus perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 1 g/kg bb………. 60

Gambar 13 Terjadinya endapan protein pada tikus kontrol (a), perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 g/kg bb (b) dan 1 g/kg bb (c)……….. 75

Gambar 14 Terjadinya degenerasi hialin pada tikus kontrol (a), perlakuan pemberian ekstrak air buah murbei dosis 0,1 g/kg bb (b) dan 1 g/kg bb (c)………... 76


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Berat badan (gram) tikus selama 3 hari pengamatan pada pengujian toksisitas akut ekstrak air buah murbei dosis

tunggal 5 g/kg bb……….. 88

Lampiran 2 Konsumsi pakan (gram) tikus selama 3 hari pengamatan pada pengujian toksisitas akut ekstrak air buah murbei

dosis tunggal 5 g/kg bb………. 88

Lampiran 3 Parameter tingkah laku dan perubahan fisik………. 88 Lampiran 4a Berat badan (gram) tikus jantan pada pengujian toksisitas

sub kronis ekstrak air buah murbei……… 89 Lampiran 4b Analisis sidik ragam selisih berat badan awal dan akhir

perlakuan pada tikus jantan………. 91

Lampiran 5a Berat badan (gram) tikus betina pada pengujian toksisitas sub kronis ekstrak air buah murbei………. 92 Lampiran 5b Analisis sidik ragam selisih berat badan awal dan akhir

perlakuan pada tikus betina……… 94

Lampiran 6a Konsumsi pakan (gram) tikus jantan pada pengujian

toksisitas sub kronis ekstrak air buah murbei……… 95 Lampiran 6b Analisis sidik ragam rata-rata konsumsi pakan per hari

pada tikus jantan………. 99

Lampiran 7a Konsumsi pakan (gram) tikus betina pada pengujian

toksisitas sub kronis ekstrak air buah murbei………. 100 Lampiran 7b Analisis sidik ragam rata-rata konsumsi pakan per hari

pada tikus betina………. 104

Lampiran 8 Berat awal (gram) dan berat relatif (per 100 gram bb)

organ hati dan ginjal tikus jantan……… 105 Lampiran 9 Berat awal (gram) dan berat relatif (per 100 g bb) organ

hati dan ginjal tikus betina………. 105

Lampiran 10a Analisis sidik ragam organ hati tikus jantan………. 106 Lampiran 10b Analisis sidik ragam organ hati tikus betina………. 106 Lampiran 11a Analisis sidik ragam organ ginjal tikus jantan………….. 106 Lampiran 11b Analisis sidik ragam organ ginjal tikus betina………….. 106 Lampiran 12a Konsentrasi SGPT (U/l) serum tikus jantan……….. 107 Lampiran 12b Analisis sidik ragam konsentrasi SGPT (U/l) serum tikus

jantan………... 107


(19)

Lampiran 13b Analisis sidik ragam konsentrasi SGPT (U/l) serum tikus

betina……….. 107

Lampiran 14a Konsentrasi SGOT (U/l) serum tikus jantan……….. 108 Lampiran 14b Analisis sidik ragam konsentrasi SGOT (U/l) serum tikus

jantan………... 108

Lampiran 14c Uji lanjut DMRT konsentrasi SGOT (U/l) serum tikus

jantan………. 108

Lampiran 15a Konsentrasi SGOT (U/l) serum tikus betina………. 108 Lampiran 15b Analisis sidik ragam konsentrasi SGOT (U/l) serum tikus

betina……….. 108

Lampiran 16a Konsentrasi alkalin fosfatase (U/l) serum tikus jantan…... 109 Lampiran 16b Analisis sidik ragam konsentrasi alkalin fosfatase (U/l)

serum tikus jantan……….. 109

Lampiran 17a Konsentrasi alkalin fosfatase (U/l) serum tikus betina….. 109 Lampiran 17b Analisis sidik ragam konsentrasi alkalin fosfatase (U/l)

serum tikus betina………. 109

Lampiran 18a Konsentrasi bilirubin total (mg/dl) serum tikus jantan… 110 Lampiran 18b Analisis sidik ragam konsentrasi bilirubin total (mg/dl)

serum tikus jantan……….. 110

Lampiran 19a Konsentrasi bilirubin total (mg/dl) serum tikus betina…. 110 Lampiran 19b Analisis sidik ragam konsentrasi bilirubin total (mg/dl)

serum tikus betina………. 110

Lampiran 20a Konsentrasi conjugated bilirubin (mg/dl) serum tikus

jantan……… 111

Lampiran 20b Analisis sidik ragam konsentrasi conjugated bilirubin

(mg/dl) serum tikus jantan……….. 111

Lampiran 21a Konsentrasi conjugated bilirubin (mg/dl) serum tikus

betina……… 111

Lampiran 21b Analisis sidik ragam konsentrasi conjugated bilirubin

(mg/dl) serum tikus betina……… 111

Lampiran 22a Konsentrasi protein total (mg/dl) serum tikus jantan….. 112 Lampiran 22b Analisis sidik ragam konsentrasi protein total (mg/dl)

serum tikus jantan……… 112

Lampiran 23a Konsentrasi protein total (mg/dl) serum tikus betina…. 112 Lampiran 23b Analisis sidik ragam konsentrasi protein total (mg/dl)

serum tikus betina………. 112

Lampiran 23c Uji lanjut DMRT konsentrasi protein total (mg/dl) serum


(20)

Lampiran 24a Konsentrasi albumin (mg/dl) serum tikus jantan………… 113 Lampiran 24b Analisis sidik ragam konsentrasi albumin (mg/dl) serum

tikus jantan………. 113

Lampiran 25a Konsentrasi albumin (mg/dl) serum tikus betina……….. 113 Lampiran 25b Analisis sidik ragam konsentrasi albumin (mg/dl) serum

tikus betina………. 113

Lampiran 26a Konsentrasi glukosa (mg/dl) serum tikus jantan……….. 114 Lampiran 26b Analisis sidik ragam konsentrasi glukosa (mg/dl) serum

tikus jantan……… 114

Lampiran 27a Konsentrasi glukosa (mg/dl) serum tikus betina………. 114 Lampiran 27b Analisis sidik ragam konsentrasi albumin (mg/dl) serum

tikus betina………. 114

Lampiran 28a Konsentrasi lipid total (mg/dl) serum tikus jantan……… 115 Lampiran 28b Analisis sidik ragam konsentrasi lipid total (mg/dl) serum

tikus jantan……….. 115

Lampiran 29a Konsentrasi lipid total (mg/dl) serum tikus betina……….. 115 Lampiran 29b Analisis sidik ragam konsentrasi lipid total (mg/dl) serum

tikus betina……….. 115

Lampiran 30a Konsentrasi kolesterol (mg/dl) serum tikus jantan………. 116 Lampiran 30b Analisis sidik ragam konsentrasi kolesterol (mg/dl) serum

tikus jantan………. 116

Lampiran 31a Konsentrasi kolesterol (mg/dl) serum tikus betina……… 116 Lampiran 31b Analisis sidik ragam konsentrasi kolesterol (mg/dl) serum

tikus betina……….. 116

Lampiran 32a Konsentrasi trigliserida (mg/dl) serum tikus jantan……… 117 Lampiran 32b Analisis sidik ragam konsentrasi trigliserida (mg/dl)

serum tikus jantan………... 117

Lampiran 33a Konsentrasi trigliserida (mg/dl) serum tikus betina…….. 117 Lampiran 33b Analisis sidik ragam konsentrasi trigliserida (mg/dl)

serum tikus betina………. 117

Lampiran 34a Persentase rata-rata (5 lapang pandang) profil histologi

sel hepatosit tikus jantan……….. 118

Lampiran 34b Sidik ragam persentase nekrosis pada sel hepatosit tikus

jantan………. 118

Lampiran 34c Sidik ragam persentase degenerasi hidropis pada sel


(21)

Lampiran 34d Uji lanjut DMRT persentase degenerasi hidropis pada sel

hepatosit tikus jantan……….. 118

Lampiran 34e Sidik ragam persentase degenerasi lemak pada sel

hepatosit tikus jantan………. 119

Lampiran 34f Uji lanjut DMRT persentase degenerasi lemak pada sel

hepatosit tikus jantan………. 119

Lampiran 34g Sidik ragam persentase sel normal pada sel hepatosit

tikus jantan……… 119

Lampiran 35a Persentase rata-rata (5 lapang pandang) profil histologi

sel hepatosit tikus betina……… 119

Lampiran 35b Sidik ragam persentase nekrosis pada sel hepatosit tikus

betina……….. 120

Lampiran 35c Sidik ragam persentase degenerasi hidropis pada sel

hepatosit tikus betina……….. 120

Lampiran 35d Sidik ragam persentase degenerasi lemak pada sel

hepatosit tikus betina……… 120

Lampiran 35e Sidik ragam persentase sel normal pada sel hepatosit

tikus betina………..……….. 120

Lampiran 36a Konsentrasi BUN (mg/dl) serum tikus jantan………. 121 Lampiran 36b Analisis sidik ragam konsentrasi BUN (mg/dl) serum

tikus jantan……….. 121

Lampiran 37a Konsentrasi BUN (mg/dl) serum tikus betina………. 121 Lampiran 37b Analisis sidik ragam konsentrasi BUN (mg/dl) serum

tikus betina……….. 121

Lampiran 38a Konsentrasi kreatinin (mg/dl) serum tikus jantan……….. 122 Lampiran 38b Analisis sidik ragam konsentrasi kreatinin (mg/dl) serum

tikus jantan……….. 122

Lampiran 39a Konsentrasi kreatinin (mg/dl) serum tikus betina……….. 122 Lampiran 39b Analisis sidik ragam konsentrasi kreatinin (mg/dl) serum

tikus betina………. 122

Lampiran 40a Konsentrasi fosfor (mg/dl) serum tikus jantan…………. 123 Lampiran 40b Analisis sidik ragam konsentrasi fosfor (mg/dl) serum

tikus jantan……… 123

Lampiran 40c Hasil uji lanjut DMRT konsentrasi fosfor (mg/dl) serum

tikus jantan………. 123

Lampiran 41a Konsentrasi fosfor (mg/dl) serum tikus betina………….. 123 Lampiran 41b Analisis sidik ragam konsentrasi fosfor (mg/dl) serum


(22)

Lampiran 41c Hasil uji lanjut DMRT konsentrasi fosfor (mg/dl) serum

tikus betina………. 123

Lampiran 42a Konsentrasi kalsium (mg/dl) serum tikus jantan……….. 124 Lampiran 42b Analisis sidik ragam konsentrasi kalsium (mg/dl) serum

tikus jantan………. 124

Lampiran 43a Konsentrasi kalsium (mg/dl) serum tikus betina………… 124 Lampiran 43b Analisis sidik ragam konsentrasi kalsium (mg/dl) serum

tikus betina………. 124

Lampiran 44a Konsentrasi klorida (mg/dl) serum tikus jantan…………. 125 Lampiran 44b Analisis sidik ragam konsentrasi klorida (mg/dl) serum

tikus jantan……… 125

Lampiran 45a Konsentrasi klorida (mg/dl) serum tikus betina………… 125 Lampiran 45b Analisis sidik ragam konsentrasi klorida (mg/dl) serum

tikus betina……… 125

Lampiran 46a Konsentrasi potasium (mg/dl) serum tikus jantan………. 126 Lampiran 46b Analisis sidik ragam konsentrasi potasium (mg/dl) serum

tikus jantan………. 126

Lampiran 47a Konsentrasi potasium (mg/dl) serum tikus betina………. 126 Lampiran 47b Analisis sidik ragam konsentrasi potasium (mg/dl) serum

tikus betina………. 126

Lampiran 48a Persentase terjadinya endapan protein pada glomerulus

(20 bidang lapang pandang)……… 127

Lampiran 48b Analisis sidik ragam persentase endapan protein pada

glomerulus tikus jantan……….. 127

Lampiran 48c Analisis sidik ragam persentase endapan protein pada

glomerulus tikus betina………. 127

Lampiran 49a Persentase terjadinya degenerasi hialin pada tubulus (20

bidang lapang pandang)………. 128

Lampiran 49b Analisis sidik ragam persentase degenerasi hialin pada

tubulus tikus jantan………. 128

Lampiran 49c Analisis sidik ragam persentase degenerasi hialin pada


(23)

(24)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini telah terjadi sedikit pergeseran paradigma masyarakat, khususnya bagi kalangan menengah ke atas, berkaitan dengan konsumsi pangan. Di tahun-tahun sebelumnya fokus utama yang dilakukan manusia di bidang pangan adalah mencoba mengimbangi laju kenaikan penduduk sehingga harapannya terbentuk kecukupan pangan bagi penduduk dunia. Kondisi ini diperkuat dengan teori Robert Malthus pada tahun 1878 yang menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk akan terjadi secara geometrik sedangkan pangan pertumbuhannya secara aritmatik. Artinya ada suatu waktu yang jika tidak dilakukan intervensi terhadap pangan maka akan terjadi kekurangan pangan.

Tetapi akhir-akhir ini, walaupun usaha-usaha untuk menjamin kecukupan pangan bagi penduduk dunia terus dilakukan, seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan, ada paradigma lain yang berkaitan dengan konsumsi pangan yaitu pangan tidak hanya dikaitkan untuk menanggulangi rasa lapar saja tetapi juga dihubungkan dengan kesehatan orang yang mengkonsumsinya. Secara umum hal tersebut lebih dikenal dengan istilah pangan fungsional.

Definisi pangan fungsional (Food for Specified Health Use (FOSHU)) menurut Badan POM adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan (BPOM 2005). Sedangkan Goldberg (1994) mendefinisikan pangan fungsional sebagai segala makanan ataupun bahan pangan yang dapat memberikan dampak positif kepada individu yang mengkonsumsinya berkaitan dengan kesehatan, kebugaran fisik atau pun kejernihan pikiran. Selain itu pangan fungsional juga harus dapat dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen. Selain tidak memberikan kontra indikasi dan tidak memberi efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya (Astawan 2003).


(25)

Beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional adalah: (1) Harus merupakan produk pangan (bukan berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk) yang berasal dari bahan (ingredien) alami, (2) Dapat dan layak dikonsumsi sebagai bagian dari diet atau menu sehari-hari, (3) Mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna, serta dapat memberikan peran dalam proses tubuh tertentu, seperti: memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah penyakit tertentu, membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit tertentu, menjaga kondisi fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan (Goldberg 1994).

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah, tentunya kaya akan sumber-sumber makanan fungsional baik yang masih berbentuk bahan dasar (misalnya jahe, serealia dan lain-lain) maupun makanan tradisional yang sudah diolah contohnya tempe. Selain itu banyak juga tanaman yang bukan asli Indonesia dan telah dikenal memiliki banyak manfaat bagi kesehatan dapat tumbuh subur di Indonesia karena kesuburan tanah dan iklim yang sesuai, salah satunya adalah buah arbei ataupun sering disebut juga murbei. Daun murbei lebih dikenal dan telah dimanfaatkan dalam budidaya ulat sutra sebagai sumber makanan bagi ulat tersebut. Sementara buahnya pemanfaatan selama ini hanya dikonsumsi secara langsung.

Pohon murbei yang bernama latin Morus alba L dan Mandarin, Sang ye, tidak hanya disukai ulat sutera, tapi juga bermanfaat bagi manusia. Di Thailand daunnya dikenal memiliki khasiat, khususnya pada orang yang menderita diabetes melitus yaitu dapat menurunkan gula darah dan juga mencegah hiperlipidemia (Sinsatienporn 2006). Sedangkan senyawa yang ada pada kulit akarnya memiliki kemampuan menghambat aktivitas virus herpes simplex type 1 (HSV-1) (Du et al.

2003). Buah murbei dikenal dapat mengobati sakit demam, antioksidatif, antiinflamasi dan antihiperlipidemia (Bae dan Suh 2006), mencegah terjadinya ateroskleriosis pada kelinci (Chen et al. 2005) dan menghambat pergerakan dan invasi metastasis pada sel kanker karsinoma paru-paru manusia (Chen et al. 2006). Menurut Dalimartha (2000), buah murbei mengandung sianidin, isoquercetin, sakarida, asam linoleat, asam stearat, asam oleat, karoten dan beberapa vitamin, yaitu vitamin B2, B1 dan C. Sedangkan menurut Ercisli dan


(26)

Orhan (2007) keberadaan senyawa fenol dan asam askorbat pada buah murbei bertanggung jawab terhadap aktivitas antioksidan buah ini. Total fenol, total flavonoid dan total asam askorbat buah murbei berturut-turut adalah 181 mg/100 gram, 29 mg/100 gram dan 100-300 mg/100 gram buah kering.

Selama ini buah murbei belum banyak dimanfaatkan di Indonesia kecuali hanya pada tataran konsumsi langsung dan itu pun tidak dikonsumsi setiap hari. Jika mengacu pada berbagai macam khasiat buah murbei maka buah ini sebenarnya layak untuk dikembangkan sebagai bahan baku pangan fungsional, obat herbal ataupun pengembangan lainnya. Tetapi sebelum dikembangkan tentu harus diketahui apakah ada efek negatif dari konsumsi buah murbei apalagi jika konsumsi tersebut dilakukan setiap hari. Salah satu uji yang dapat dilakukan untuk melihat apakah ada efek negatif konsumsi buah murbei adalah melalui uji toksikologi baik secara akut (dosis tunggal) maupun sub kronis (dosis berulang dalam jangka waktu tertentu). Toksik atau tidaknya buah murbei ini dapat diamati dari beberapa parameter seperti pengamatan fisik, berubahan tingkah laku tikus percobaan, ada tidaknya kematian tikus akibat permberian ekstrak air buah murbei; komposisi serum; dan ada tidaknya gejala kerusakan hati serta ginjal.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari tosisitas akut dan sub kronis ekstrak air buah murbei (Morus alba L).

Tujuan khusus

1. Mengetahui toksisitas akut ekstrak air buah murbei dosis 5 g/kg bb terhadap karakteristik fisik dan tingkah laku tikus Sprague Dawley.

2. Mengetahui toksisitas sub kronis ekstrak air buah murbei dosis 0,1 dan 1 g/kg bb terhadap karakteristik fisik dan tingkah laku, profil serum dan tingkat kerusakan hati serta ginjal tikus Sprague Dawley.

1.3. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah: ekstrak air buah murbei tidak toksik terhadap tikus Sprague Dawley pada dosis 5 g/kg bb dengan metode akut, dan dosis 0,1 dan 1 g/kg dengan metode sub kronis.


(27)

1.3. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah memberikan suatu informasi ilmiah tentang konsumsi ekstrak air buah murbei terhadap toksisitas akut dan sub kronis pada tikus Sprague Dawley. Selain itu juga dapat diketahui data tentang pengaruh konsumsi tersebut terhadap profil biokimia serum tikus dan juga profil histologi hati dan ginjal tikus percobaan. Semua data tersebut bisa menjadi rujukan keamanan konsumsi buah murbei.


(28)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Murbei (Morus alba L.) 2.1.1. Botani

Murbei (Morus alba L.) termasuk dalam famili moraceae yang berasal dari Cina. Tanaman murbei tumbuh baik pada ketinggian lebih dari 100 m diatas permukaan laut (dpl) dan memerlukan cukup sinar matahari. Tumbuhan yang sudah dibudidayakan ini menyukai daerah-daerah yang cukup basa seperti di lereng gunung, tetapi pada tanah yang berdrainase baik. Tanaman ini kadang ditemukan tumbuh liar. Murbei dikenal dengan nama berbeda-beda, seperti: besaran (Indonesia), murbai, besaran (Jawa), kerta, kitau (Sumatra), Sang ye (China), may mon, dau tam (Vietnam), morus leaf, morus bark, morus fruit, murbei fruit (Dalimartha 2000)

Pohon murbei dapat tumbuh hingga 9 meter, percabangannya banyak, cabang muda, berambut halus, daun tunggal, letak berselang dan bertangkai dengan panjang 1-4 cm. Helai daun berbentuk bulat telur sampai berbentuk jantung, ujung runcing, pangkal tumpul, tepi bergerigi, pertulangan menyirip, agak menonjol, permukaan atas dan bawah kasar, panjang 2,0-2,5 cm serta berwarna hijau. Bunga majemuk berbentuk tandan, keluar dari ketiak daun, mahkota berbentuk tajuk dan berwarna putih. Dalam satu pohon terdapat bunga jantan, bunga betina dan bunga sempurna yang terpisah, selain itu tanaman murbei dapat berbunga sepanjang tahun (Dalimartha 2000).

Buah murbei banyak berupa buah buni, berair dan rasanya enak. Buah muda berwarna hijau setelah masak menjadi hitam (Gambar 1). Buahnya kecil dan saling berlekatan (bergerombol), Bijinya kecil dengan ukuran 1-1,2 mm dan berwarna hitam.


(29)

2.1.2. Komponen kimiawi

Komponen terbesar buah murbei adalah air (71,5 %), lalu total padatan terlarut 20,4 %, kadar keasaman kurang lebih 0,25 %, pH sekitar 5,6, asam askorbat sebesar 22,4 mg/100 gram dan lemak total sebesar 1,10 %. Komposisi asam lemak yang terdapat dalam buah ini adalah asam linoleat (54,2 % dari lemak total 1,1 %) asam palmitat (19,8 % dari lemak total 1,1 %) dan asam oleat (8,41 % dari lemak total 1,1 %) (Ercisli dan Orhan 2007) (Tabel 1). Komposisi mineral yang ada pada buah murbei utamanya adalah kalium sebesar 1141 mg/100 gram buah, lalu fosfor 235 mg/100 gram buah, kalsium 139 mg/100 gram (Ercisli dan Orhan 2007) (Tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik kimiawi dan komposisi mineral buah murbei (Ercisli dan Orhan 2007)

Karakteristik kimiawi Jumlah Jenis mineral Konsentrasi (mg/100 gr)

Berat sampel buah (g) 3,49 Fosfor 235 Total berat kering (%) 29,5 Kalium 1141

Kadar air (%) 71,5 Kalsium 139

pH 5,6 Magnesium 109

Total asam (%) 0,25 Natrium 60

Total padatan terlarut(%) 20,4 Besi 4,3

Total lemak (%) 1,1 Tembaga 0,4

Asam lemak (%) Mangan 4,0

C14:0 0,98 Seng 3,1

C 16:0 22,42 cis-C16:1 0,67 C18:0 4,27 cis-C18:1 10,49 cis-C18:2 57,26 cis-C18:3 0 cis-C19:1 0,062 cis-C18:1 0 C 22:0 0,26

Selain itu buah ini juga mengandung 181 mg total alkaloid /100 gram sampel buah dan 29 mg total flavonoid /100 gram sampel buah. Jenis alkaloidnya adalah 1-deoksinojirimisin (DNJ), N-metil-1-deoksinojirimisin, fagomin (FAG), kalistegin B2, 4-O-D-galaktopiranosil-kalistegin B2, 1,4-dideoksi-1,4-imino-


(30)

D-arabinitol (D-ABA), 1,4-dideoksi-1,4-imino- (2-O-D-glukopiranosil) -D-arabinitol, 2,3-dihidroksinortropan, 2,3-dihidroksinortropan, 2,3,6 ekso- trihidroksinortropan, 2,3,4-trihidroksinortropan, 3,6 ekso-dihidroksinortropan, 3,6-dihidroksinortropan, 2-O-D-galaktopiranosil-1-deoksinojirimisin dan 6-O-D-glukopiranosil-1-deoksinojirimisin (Kusano et al. 2002).

Sedangkan jenis flavonoidnya adalah sianidin 3-O-(6-O-x-rhamno piranosil- -D-glukopiranosida, sianidin 3-O-(6-O-x-rhamnopiranosil - -D-galakto piranosida, sianidin 3-O- -D-glukopiranosida, sianidin 3-O- -D-galakopiranosida dan sianidin 7-O- -D-glukopiranosida (Du et al. 2008). Sianidin 3 rutinosida, sianidin-3-monoglukosida dan isoquecertin (Chen et al. 2006).

2.1.3. Fitofarmaka

Murbei merupakan salah satu tanaman yang dikenal memiliki khasiat dibidang medis baik dari buah, daun dan kulit akar. Buah murbei dalam pengobatan tradisional China digunakan untuk menurunkan tekanan darah (Bae dan Suh 2006). Selain itu ekstrak air buah murbei memiliki aktivitas antioksidan yang bekerja dengan cara menangkap elektron radikal pada superoksida (O2

.

) dan hidroksi radikal (OH.). Ekstrak etanol buah murbei sejumlah 255 mg memiliki kemampuan untuk menghambat oksidasi asam linoleat sebesar 52,7–73,3 % dan dapat menangkap 60 % dari DPPH (Bae dan Suh 2006).

Menurut Chen et al. 2006 senyawa bioaktif yang bertanggungjawab terhadap aktivitas antioksidan buah murbei utamanya adalah sianidin 3-rutinosida, sianidin-3-monoglukosida, isoquesertin dan vitamin C. Sianidin 3-rutinosida dan sianidin-3-monoglukosida termasuk ke dalam kelompok sianidin yang digolongkan dalam kelompok pewarna alami antosianin, aktivitas antioksidan kelompok ini diduga berasal dari aglikonnya (Bae dan Suh 2006). Sedangkan isoquecertin dimasukkan ke dalam kelompok quecertin, menurut Chopra et al. (2000) quecertin merupakan salah satu jenis flavonoid penting yang dapat mencegah teroksidasinya LDL dalam darah.

Senyawa bioaktif sianidin 3-rutinosida dan sianidin-3-monoglukosida dari buah murbei selain berperan dalam aktivitas antioksidan, juga memiliki aktivitas antikanker dengan cara menghambat migrasi dan invasi metastasis sel karsinoma


(31)

kanker paru-paru manusia pada kultur sel (Chen et al. 2006). Buah murbei juga memiliki senyawa bioaktif sianidin 3-O- -D-Glukopiranosida (Butt et al. 2008), menurut Kang et al. (2006) senyawa tersebut dapat mengurangi kerusakan sel neuronal dan juga dapat melawan iskhemia serebral. Ekstrak buah morus alba juga dilaporkan memiliki aktivitas antimutagenik terhadap genotoksikan (seperti sinar X, N-metilnitrosourea, siplofosfamida dan NaF), ekstrak tersebut dapat menurunkan frekuensi kromosom yang menyimpang (Alekperov 2002).

Chen et al. (2005) melaporkan bahwa 0,5 atau 1 % ekstrak air dari buah murbei yang ditambahkan dalam pakan kelinci dapat menurunkan kadar trigliserida, kolesterol dan LDL kelinci tersebut dan juga dapat mengurangi terjadinya ateroskleriosis dalam aorta sebesar 42-63%. Data-data tersebut menunjukkan bahwa ekstrak air buah murbei tidak hanya berperan dalam mencegah oksidasi LDL tapi juga memiliki akivitas antihiperlipidemia. Selain itu menurut Syafutri (2008) ekstrak air buah murberi dapat meningkatkan konsentrasi HDL darah.

Ekstrak buah murbei juga mempengaruhi aktivitas sistim imun, menurut Lin dan Tan (2007) murbei memiliki aktivitas sebagai imunomudolator dan aktivitas tersebut utamanya dipengaruhi oleh tingginya kadar polifenol yang mencapai 1515,9 mg/100 gram bahan segar. Selain itu 10 μg/ml ekstrak buah ini diketahui dapat meningkatkan interleukin 2 yang menstimulasi pertumbuhan dan pembelahan sel T, sedangkan 500 μg/ml ekstrak buah murbei dapat meningkatkan sekresi interferon sampai 106,6 pg/ml, interleukin-4 2,6 pg/ml dan interleukin-5 24,4 pg/ml (Lin dan Tan 2008). Jus buah murbei juga dapat berperan sebagai antiinflamasi dengan cara menghambat efek profilatik pada inflamasi yang diinduksi lipopolisakarida pada peritoneal makrofag melalui meningkatkan sekresi sitokin antiinflamasi atau menurunkan sitokin yang dapat meningkatkan terjadinya inflamasi (Lin dan Tan 2007).

Ekstrak air dari buah ini juga diketahui dapat menurunkan kandungan etanol darah setelah pemberian etanol secara oral. Efek tersebut diduga terjadi karena ekstrak ini menghambat penurunan enzim alkohol dehidrogenase (enzim ini bekerja bolak-balik yaitu mengubah etanol menjadi asetaldehida dan juga sebaliknya) dan mensuplai koenzim nikotinamida adenin dinukleotida (koenzim untuk enzim dalam katabolisme etanol) sehingga dengan keberadaan enzim


(32)

tersebut dan juga koenzimnya maka katabolisme etanol menjadi lebih cepat. Efek tersebut berkaitan dengan kandungan polifenol yang ada pada buah murbei.

Di dalam pemanfaatannya sebagai obat, buah murbei sering diolah dahulu menjadi jus. Selain itu di negara China buah murbei dikonsumsi dalam bentuk segar dan diolah menjadi liquor (sejenis minuman buah). Di Eropa buah murbei ini juga telah diolah menjadi minuman fermentasi (wine) yang banyak dikonsumsi oleh kaum wanita Eropa.

Selain buahnya, daun dan kulit akar murbei juga memiliki manfaat medis, daun murbei diketahui efektif untuk menurunkan gula darah (hipoglikemik), menurunkan tekanan darah (hipotensif) dan diuretik (Kim et al. 2006). Menurut Sohn et al. (2004) senyawa aktif kuwanon C, mulberrofuran G dan albanol B pada daun murbei memiliki aktivitas antibakteri dengan konsentrasi minimal yang dapat menghambat (MIC) antara 5 sampai 30 µg/ml. Komponen quecertin 3 (6-malonil glikosida) yang ada pada daun murbei menyebabkan daun ini juga memiliki aktivitas antioksidan.

Ekstrak metanol kulit akar murbei dapat menurunkan kandungan gula darah hal ini berkaitan dengan keberadaan senyawa bioaktif moran A (Butt et al. 2008), sedangkan senyawa bioaktif leachinone G dan mulberroside C yang diisolasi dari kulit akar murbei memiliki aktivitas antiviral terhadap virus herpes simplek tipe 1 (HSV-1) (Du et al. 2003), selain itu menurut Moon et al. (1983) ekstrak komponen polisakarida dari kulit akar murbei dapat melawan aktivitas sarcoma 108 mencit.

2.2. Toksisitas

Toksisitas didefinisikan sebagai efek bahaya yang ditimbulkan oleh suatu zat /senyawa/bahan terhadap organisme yang terpapar zat/senyawa/bahan tersebut. Efek bahaya tersebut dapat terkena pada keseluruhan organisme tersebut (misalnya kematian) atau pada bagian kecil dari organisme tersebut misalnya organ dan sel seperti hati, ginjal dan lain-lain. Menurut Hodgson dan Levi (2000) untuk menilai efek bahaya suatu zat/senyawa/bahan maka satu hal yang perlu diperhatikan adalah dosisnya, karena bahan uji tersebut pada dosis tertentu tidak berbahaya tetapi pada dosis yang lebih tinggi mungkin berbahaya.


(33)

toksikologi umum dan uji toksikologi khusus, uji toksikologi umum meliputi pengujian toksisitas akut, sub kronis dan kronis.

2.2.1. Uji toksikologi umum

2.2.1.1.Toksisitas akut

Toksisitas akut merupakan derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi dalam tempo singkat setelah pemberiannya dalam dosis tunggal atau pemberian berulang dalam waktu terbatas (umumnya 24 jam). Batasan waktu singkat adalah bisa dalam rentang 24 jam ataupun paling lama adalah 14 hari (Hodgson dan Levi 2000). Tujuan utama dilakukan pengujian ini adalah untuk menetapkan potensi ketoksikan akut, yakni kisaran dosis letal atau dosis toksik bahan uji pada satu hewan uji atau lebih. Selain itu pengujian toksisitas akut juga ditujukan untuk menilai bebagai macam gejala klinis yang timbul, adanya efek toksik yang khas dan mekanisme yang memerantarai terjadinya kematian hewan uji (Omaye 2004).

Jadi, dalam ketoksikan akut, data yang dikumpulkan berupa tolok ukur ketoksikan kuantitatif (kisaran dosis letal/toksik) dan tolok ukur ketoksikan kualitatif (gejala klinis, wujud dan mekanisme efek toksik). Tolok ukur kuantitatif yang sering digunakan untuk menyatakan kisaran dosis letal/toksik adalah nilai

Lethal dosis 50 % (LD 50), artinya dosis tunggal sesuatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik terhadap 50% hewan uji.

Data yang di dapat dari pengujian ketoksikan akut dapat sebagai acuan untuk melakukan penelitian dengan jangka waktu yang lebih lama sehingga dapat memprediksi, mendiagnosa dan menentukan treatment yang tepat untuk menanggulangi dampak tersebut. Selain itu data tersebut juga dapat menjadi acuan bagi pemangku kebijakan untuk menentukan regulasi dan bagi peneliti data tersebut dapat digunakan untuk menentukan mekanisme toksisitasnya (Omaye 2004).

2.2.1.2. Ketoksikan sub kronis dan kronis

Uji ketoksikan sub kronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu selama jangka waktu


(34)

kurang lebih 10 % dari masa hidup hewan uji, misalnya 3 bulan untuk tikus dan 1 atau 2 tahun untuk anjing. Pengujian sub kronis ini bertujuan untuk menyelidiki efek toksik yang timbul karena pemberian berulang dari zat/senyawa/bahan tersebut dalam jangka waktu tertentu. Data pengujian sub kronis dapat memberikan informasi berharga mengenai efek kumulatif dari suatu zat pada organ sasaran, toleransi fisiologis dan metabolik pada dosis rendah dalam jangka waktu tertentu (Yossa 2008).

Sedangkan uji ketoksikan kronis merupakan uji ketoksikan suatu zat/bahan/senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu selama masa hidup hewan coba atau sekurang-kurangnya sebagian besar dari hidupnya, misal 18 bulan untuk mencit dan 24 bulan untuk tikus (Lu 1995, Omaye 2004). Jadi uji toksisitas sub kronis dan akut hanya dibedakan berdasarkan waktunya saja.

Kedua pengujian ini utamanya ditujukan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik sampel terkait dengan jenis organ yang terkena maupun kekerabatan antara dosis dan spektrum efek toksik. Selain itu, seringkali uji ini juga ditujukan untuk mengevaluasi keterbalikan (reversibilitas spektrum efek toksik yang terjadi). Dengan dilakukannya uji ini, memungkinkan terliputnya wujud dan sifat efek toksik yang munculnya lambat dan tidak muncul atau teramati pada uji ketoksikan akut.

2.2.2. Parameter pengamatan

Parameter yang biasa digunakan dalam toksisitas akut, sub kronis dan kronis adalah

1. LD 50

Tolok ukur kuantitatif yang sering digunakan untuk menyatakan kisaran dosis letal/toksik adalah nilai Lethal dosis 50 % (LD 50), artinya dosis tunggal sesuatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik terhadap 50% hewan uji (Akhila et al. 2007) 2. Pengamatan tingkah laku hewan percobaan

Pada dosis tertentu paparan senyawa toksik terhadap suatu hewan uji tidak sampai mematikan hewan tersebut tetapi tetap dapat merusak organ


(35)

sasarannya. Kerusakan terhadap organ tersebut kadang kala akan terlihat pada aktivitas dan tingkah laku keseharian hewan percobaan (Tabel 2). Tabel 2. Tanda toksik pada organ atau sistem fisiologi tubuh (Lu 1995)

Sistim atau organ Tanda toksik

Autonomik Membran niktitans melemah, eksoftalmos, hipersekresi hidung, salivasi, diare, keluar air seni, piloereksi

Perilaku Sedasi, gelisah, kepala tertunduk, kuku siap mencakar, terengah-engah, iritabilitas, sikap agresif atau defensif, ketakutan, bingung, aktivitas yang aneh

Sensorik Reflek kornea, reflek penempatan, reflek tungkai belakang, peka terhadap bunyi dan sentuhan, nistagmus

Neuromuskuler Aktivitas meningkat atau berkurang, fasikulasi tremor, konvulsi, ataksia, lemas, opistotonus, respon

Kardiovaskuler Denyut jantung meningkat atau berkurang, sianosis, vasokontriksi, vasodilatasi, pendarahan

Pernafasan Hipopnea, dispnea, terengah-engah, apnea Mata Warna mata, pemeriksaaan oftalmologik, Gastrointestinal Diare, muntah, feses, nafsu makan Sistim kemih Volume urin, konsistensi, warna

Kulit Warna, penampilan, bulu, eritema, bengkak

3. Pengamatan terhadap berat badan dan konsumsi pakan

Pengamatan ini dilakukan untuk menilai apakah percobaan yang dilakukan akan mempengaruhi konsumsi pakan hewan coba yang nantinya juga berkaitan dengan berat badan tikus tersebut.

4. Analisis kimiawi darah, serum atau urin

Analisa kimiawi darah biasanya mencakup hematokrit, hemoglobin, menghitung jumlah eritosit, leukosit dan trombosit. Pengujian yang dilakukan pada serum biasanya mencakup glukosa darah, SGOT, SGPT, alkalin fosfatase, protein total, lipid total, albumin, bilirubin, urea darah, kreatinin dan unsur-unsur anorganik seperti fosfor, kalium, kalsium, natrium dan klorida. Sedangkan pada urin mencakup pemeriksaan fisik warna, berat jenis, dan pH, selain itu dilakukan juga pemeriksaan kimiawi biasanya mencakup protein, glukosa, keton, kreatinin, sel darah merah dan kristal serta benda amorf.

Data hasil pengujian tersebut pada beberapa analisis dapat digunakan untuk menilai kerusakan organ tertentu, misalnya keberadaan enzim SGPT dan SGOT dan juga bilirubin yang tinggi dalam serum sampel maka


(36)

mengindikasikan kerusakan hati, sedangkan jumlah kreatinin dan juga urea yang tinggi dalam serum dan juga urin mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjal.

5. Pengamatan histologi terhadap organ/jaringan yang diduga menjadi sasaran senyawa toksik.

Pengamatan histologi terhadap organ sasaran aksi senyawa toksik dilakukan untuk mengkonfirmasi kerusakan dan juga menghitung paparan kerusakan terhadap sel organ tersebut. Pengamatan biasanya dilakukan terhadap sel yang normal dan juga sel yang mengalami degradasi, nekrosis dan juga apoptosis.

Parameter LD 50 dipakai hanya dalam pengujian toksisitas akut sedangkan parameter yang lainnya bisa dipakai baik dalam pengamatan toksisitas akut, sub kronis maupun kronis. Pada pengujian toksisitas akut kadang kala hanya dilakukan dengan menggunakan parameter LD 50 seperti penelitian yang dilakukan oleh Rasekh et al. (2005), ada yang menggunakan parameter LD 50 dan juga pengamatan tingkah laku hewan percobaan (Joshi et al. 2007, Alade et al. 2009) dan ada yang menggunakan parameter LD 50, pengamatan tingkah laku hewan percobaan, berat badan dan konsumsi ransum dan pengamatan histologi terhadap organ (Somfai-relle et al. 2005).

Sedangkan pengujian toksisitas sub kronis maupun kronis ada yang hanya menggunakan paremeter analisis kimiawi serum (Amanvermez et al. 2009), ada yang menggunakan parameter analisis serum dan paraneter pengamatan histologi (Alade et al. 2009) dan ada yang menggunakan parameter kematian, pengamatan tingkah laku hewan percobaan, berat badan dan konsumsi pakan, analisis kimiawi terhadap darah, serum dan urin dan juga pengamatan histologi terhadap organ (Somfai-relle et al. 2005).

2.2.3. Adsorbsi, distribusi dan metabolisme toksikan

Umumnya racun masuk ke dalam tubuh melalui 3 cara, yaitu sistim pernafasan, mulut (pencernaan) dan kulit. Meskipun demikian racun tidak bisa begitu saja masuk ke dalam tubuh. Sistim ataupun organ tempat masuknya racun tersebut memiliki pertahanan-pertahanan, baik yang bersifat fisik maupun


(37)

enzimatis. Membran sel merupakan sawar (barrier) yang menghalangi masuknya racun pada semua semua sistim organ, artinya racun harus melalui membran-membran sel tersebut untuk dapat diserap, didistribusi, dimetabolisme tubuh. Membran sel mempunyai sifat semipermeabel artinya hanya melewatkan senyawa tertentu yang dikehendaki sel tersebut. Senyawa toksikan melewati membran sel melalui empat mekanisme yaitu difusi pasif, filtrasi oleh pori-pori membran, transport aktif dengan perantara carrier dan pencaplokan oleh sel (pinositosis) (Hodgson dan Levi 2000).

Sistim pencernaan umumnya dapat dimasuki toksikan karena toksikan tersebut berada dalam makanan ataupun minuman yang dikonsumsi. Sebelum diabsorsi, toksikan akan mengalami interaksi dengan komponen kimiawi yang ada pada saluran pencernaan seperti HCl pada lambung. Absorsi utamanya terjadi diusus halus dan senyawa-senyawa tertentu dapat diserap dilambung. Faktor penting yang mempengaruhi perjalanan toksikan di saluran pencernaan sampai akhirnya dapat diserap di lambung ataupun usus adalah pH lingkungan pencernaan (Hodgson dan Levi 2000), hal ini terjadi karena dari mulut sampai usus halus terjadi perbedaan pH, mulut memiliki pH 7 sedangkan lambung pH nya 1 sampai 2 karena sekresi HCl dan usus halus pH nya sekitar 6.

Adanya perbedaan pH saat toksikan melalui jalur pencernaan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan kimiawi pada toksikan, sehingga saat mencapai usus halus akan mempengaruhi dapat atau tidaknya suatu toksikan diserap dan juga cara penyerapannya. Racun yang tidak terionisasi dan larut dalam lipid akan diserap melalui cara difusi pasif. Disamping itu dalam usus juga terdapat protein pembawa yang tugas normalnya adalah membawa nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan tubuh, namun beberapa toksikan seperti 5-fluorourasil dan timbal dapat menggunakan protein carier tersebut untuk memasuki membran usus halus, sedangkan pewarna azo dan latek polistirena dapat memasuki usus dengan cara pinositosis (Lu 1995).

Jalur pernafasan juga dapat dimasuki toksikan yang biasanya ada dalam udara yang diserap tubuh. Bentuknya bisa gas seperti karbon monoksida dan belerang dioksida dan juga bisa berupa uap cairan seperti benzen dan karbon tetraklorida. Tempat utama penyerapannya adalah alveoli paru-paru yang memiliki


(38)

permukaan luas, tempat ini mudah diserang karena (1) memiliki banyak pembuluh darah kapiler tempat terjadinya pertukaran gas (2) memiliki lapisan cair yang tipis yang dapat mudah dilewati gas (Hodgson dan Levi 2000). Disamping itu menurut Donatus (2001) ukuran partikel menjadi faktor penentu utama absorsi racun pada alveolus. Misalkan racun timah dengan garis tengah ukuran partikel 0,25 μm dapat dengan mudah diabsorbi di alveoli, sedangkan uranuim dioksida dengan diameter 3

μm tidak bisa diabsorsi di alveoli.

Kulit merupakan salah satu tempat yang bisa menjadi jalan masuknya toksikan ke dalam tubuh. Walaupun demikian, umumnya kulit relatif impermeabel sehingga merupakan sawar (barrier) yang baik bagi tubuh terhadap toksikan. Meskipun demikian senyawa toksik insektisida paration yang bisa masuk melalui kulit dapat menyebabkan dampak yang fatal bagi tubuh (Donatus 2001). Zat-zat asam, basa, gas mustard dan beberapa pelarut seperti dimetil sulfoksida (DMSO) akan merusak sawar kulit sehingga memudahkan masuknya toksikan melalui kulit. Absorbsi toksikan pada kulit dapat terjadi melalui folikel rambut atau lewat kelenjar keringat tetapi absorbsinya kecil. Absorpsi toksikan melalui kulit umumnya terjadi ketika toksikan tersebut dapat menembus lapisan kulit yang terdiri atas epidermis dan dermis (Lu 1995).

Setelah melewati sawar-sawar yang ada pada jalur masuknya toksikan tersebut, maka toksikan akan masuk ke darah dan didistribusikan ke tempat yang menjadi target aksinya. Laju distribusi ke tiap-tiap organ tubuh berhubungan dengan laju aliran darah, mudah tidaknya zat kimia itu melewati dinding kapiler dan membran sel serta afinitas target aksi dengan toksikan tersebut (Lu 1995). Tempat yang biasanya dapat mengikat dan menyimpan toksikan tersebut adalah protein plasma, hati, ginjal, jaringan lemak dan tulang.

Komponen protein plasma umumnya berperan mengikat toksikan anorganik, contoh protein plasma adalah albumin yang dapat mengikat aneka ragam senyawa misalnya kalsium, tembaga dan seng; celuloplasmin yang dapat mengikat tembaga dan litium; dan alfa glikoprotein yang dapat mengikat senyawa yang bersifat basa. Jaringan lemak berperan dalam mengikat dan menyimpan toksikan yang larut dalam lipid contohnya DDT, dieldrin dan bifenilpoliklorin (PCB). Tulang merupakan tempat penimbunan utama dari toksikan flourida, timbal


(39)

dan strongsium. Hati dan ginjal merupakan tempat penyimpanan toksikan yang paling besar karena organ tersebut merupakan tempat terjadinya metabolisme (hati) dan jalur eliminasi (ginjal) yang utama bagi toksikan.

2.2.4. Organ sasaran utama

2.2.4.1. Hati a. Morfologi hati

Hati merupakan salah satu organ besar dalam tubuh. Beratnya rata-rata sekitar 2,5% dari berat badan normal. Hati terletak pada rongga perut kanan bagian atas dibawah diafragma. Permukaan hati diliputi oleh lapisan jaringan ikat padat dan ditutupi oleh peritoneum. Hati terbagi menjadi beberapa lobus tergantung spesiesnya, hati tikus terbagi menjadi empat lobus, yaitu lobus kiri, lobus median, lobus kanan dan lobus kaudatus. Secara mikrokopis, setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut sebagai lobulus yang merupakan unit fungsional dari organ hati dan letaknya mengelilingi sebuah vena sentralis. Setiap lobulus hati terbangun dari beberapa komponen yaitu sel-sel parenkim hati (sel hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel kuppfer dan kanakuli billiaris.

Gambar 2. Anatomi hati (www.enjoylongerhealth.com)

Sel hepatosit berbentuk polihedral dengan inti bulat terletak ditengah, sel tersebut tersusun radial kearah luar vena sentralis. Diantara hepatosit terdapat kapiler-kapiler yang disebut sebagi sinusoid yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika (Gambar 2). Pada beberapa sinusoid akan ditemukan sel kuppfer yang berfungsi sebagai makrofag yang memiliki fungsi


(40)

fagositik (Delman dan Eurell 1998).

Hati menerima darah dari dua sumber yaitu darah arteri (dari arteri hepatika kiri dan kanan) dan darah vena porta yang mengalir dari saluran pencernaan dan abdomen lain yaitu limpa dan kantung empedu (Delman dan Eurell 1998). Darah yang masuk mengandung berbagai nutrisi yang baru diserap oleh saluran pencernaan, selain itu turut masuk juga berbagai bakteri, darah merah yang sudah tua dan toksin yang harus diolah, dihancurkan atau disimpan. Sebanyak 75-80% darah pada organ hati berasal dari vena porta sedangkan 20-25% darah yang masuk ke hati berasal dari arteri hepatika dan darah tersebut kaya akan oksigen (Duffus dan Worth 2006).

Hati mempunyai beberapa fungsi yaitu fungsi metabolisme diantaranya karbohidrat, lipid, vitamin, zat besi dan darah; fungsi sintesis dan fungsi detoksifikasi. Fungsi metabolisme karbohidrat dilakukan hati dengan cara mengatur pembentukan, penyimpanan, dan pemecahan glikogen. Sedangkan dalam metabolisme lipid hati berperan dalam mensintesis, menyimpan dan mengeluarkan lemak untuk didistribusikan ke seluruh tubuh. Berkaitan dengan vitamin larut lemak (ADEK) dan zat besi hati berperan sebagai organ penyimpanan bagi keduanya (Delman dan Eurell 1998).

Fungsi sintesis dilakukan hati dengan melakukan beberapa proses diantaranya mensintesis protein plasma seperti albumin dan globulin dan juga mensintesis empedu yang memungkinkan makanan berlemak dan mengandung vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E dan K) dapat diserap oleh usus halus.

Fungsi detoksifikasi dapat dilakukan oleh hati karena hati memiliki enzim-enzim yang dapat melakukan proses tersebut. Proses detoksifikasi dilakukan melalui dua tahap, yaitu: 1. mengubah senyawa xenobiotik melalui reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis dan hidrasi yang dikatalisis oleh enzim hepatik (contohnya sitokrom P450 (Hukkanen et al. 2001)), 2. mengikatnya dengan senyawa yang lebih larut air (konjugasi) misalnya glukoronat, asam sulfat, dan glutation yang dikatilisis oleh enzim. Contohnya glutation-S-transferase yang mengkatalisis mengikatan senyawa glutation pada senyawa xenobiotik (Fanucchi et al. 2000).


(41)

b. Patologi hati

Hati merupakan organ yang umumnya paling sering mengalami kerusakan akibat adanya toksikan, kondisi tersebut berkaitan dengan peran dan posisi hati dalam sirkulasi cairan tubuh. Sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem pencernaan, setelah diserap lalu memasuki darah di sistim vena porta dan di distribusikan ke hati. Kondisi tersebut diperparah dengan kenyataan bahwa 80% darah yang masuk ke hati berasal dari vena porta tersebut (Harlina 2007).

Berdasarkan proses sirkulasi toksikan yang masuk melalui pencernaan, maka hati merupakan organ yang pertama kali menerima toksikan tersebut dan juga organ yang pertama kali akan memetabolismenya. Proses metabolisme tersebut dalam beberapa kasus dapat meningkatkan toksisitas toksikan sehingga dapat merusak hati, contohnya senyawa epoksida yang setelah dimetabolisme dengan komplek enzim fase I ternyata menjadi senyawa yang lebih reaktif dan dapat melekat pada DNA hati membentuk “DNA adduct” sehingga menyebabkan kanker.

Keberadaan toksikan tersebut dapat menyebabkan beberapa perubahan pada berbagai komponen sel hati seperti bocornya membran sel dan mitokondria yang membesar. Perubahan pada komponen sel hati ada yang bersifat reversibel dan ada yang irreversibel. Degenerasi merupakan kerusakan sel yang reversibel karena hati dapat melakukan proses regenerasi sel dengan cara melakukan replikasi (Guyton dan Hall 1997). Meskipun demikian proses degenerasi yang berlangsung secara terus menerus dapat menyebabkan kematian sel (nekrosis) dan nekrosis merupakan kerusakan sel yang bersifat irreversibel.

Keberadaan toksikan juga dapat menyebabkan kerusakan pada organ hati secara umum (yang juga berhubungan dengan kerusakan pada sel hati) seperti nekrosis, perlemakan hati dan sirosis (Lu 1995). Nekrosis merupakan kematian sel hati (hepatosit), berdasarkan penyebabnya dapat disebabkan karena dua hal yaitu (1) karena pengaruh langsung zat toksik (2) karena kekurangan O2 dan nutrisi.


(42)

(Lu 1995). Lemak yang menumpuk dihati merupakan lemak netral dalam bentuk trigliserida. Menurut Farrel dan Larter (2006) secara garis besar penumpukan tersebut bisa disebabkan karena konsumsi alkohol yang berlebihan ataupun bukan karena alkohol seperti tetrasiklin, etionin (Lu 1995) dan defisiensi kolin (Rinella et al. 2008). Mekanisme yang paling umum yang menyebabkan penumpukan trigliserida tersebut adalah terganggunya pelepasan trigliserida dari hati ke dalam plasma darah (Carlton dan McGavin 1995).

Sirosis merupakan bentuk peradangan kronis yang ditandai dengan pembentukan jaringan. Sirosis ditandai dengan adanya septa kolagen yang tersebar disebagian besar hati sehingga hati menjadi keras. Beberapa senyawa karsinogen dan juga CCl 4 dapat menjadi penyebab sirosis, selain itu konsumsi

alkohol dan dibarengi dengan diet yang kurang kolin, protein, metionin, vitamin B12, dan asam folat juga dapat menyebabkan sirosis pada hati (Lu

1995).

Pendeteksian gangguan fungsi hati dapat dilihat terhadap kandungan bilirubin total hati yang meningkat dan kadar protein plasma (albumin dan globulin) yang menurun. Menurut Harlina (2007) penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin sering terjadi pada sindrom nefrotik, patah tulang, infeksi, tumor dan kondisi-kondisi peradangan. Sedangkan gangguan terhadap proses detoksifikasi dalam hati ditandai dengan peningkatan kadar enzim-enzim transaminase yaitu serum glutamat oksaloasetat transaminase (SGOT), serum glutamat piruvat transaminase (SGPT) dan juga enzim alkalin fosfatase. Gangguan fungsi hati juga dapat dilihat dari kandungan total lemak, protein, kolesterol dan trigliserida.

Gangguan yang diidentifikasi pada profil biokimiawi serum darah tersebut dapat dikorelasikan dengan profil histopatologi hati yang berkaitan dengan kondisi sel yang mengalami lesio degenerasi hidropik, degenerasi lemak, nekrosis ataupun apoptosis. Pengamatan dilakukan pada bagian perilobuler yang dekat dengan vena hepatika dan arteri hepatika, karena bagian ini yang pertama kali berinteraksi dengan darah yang berasal dari usus (membawa zat gizi dan juga xenobiotik). Dengan mengkorelasikan kedua


(43)

parameter tersebut maka akan didapat gambaran yang lebih utuh terkait dampak toksisitas dari suatu senyawa terhadap organ hati.

2.2.4.2. Ginjal a. Morfologi ginjal

Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen terutama di daerah lumbal, disebelah kanan dan kiri tulang belakang dibungkus lapisan lemak dengan jumlah sepasang. Pada umumnya ginjal berbentuk seperti kacang dengan warna merah kecoklatan. Bagian luar ginjal yang beraspek gelap disebut kortek dan bagian dalam yang beraspek agak cerah disebut medula yang di dalamnya terdapat unit fungsional ginjal yang disebut nefron dengan jumlah ribuan. Nefron memiliki fungsi dasar untuk membersihkan plasma darah dari substansi yang tidak diinginkan oleh tubuh yang biasanya berasal dari hasil metabolisme urea, kreatinin, asam urat, ion-ion natrium, kalium, klorida serta ion hidrogen dalam jumlah yang berlebih (Guyton dan Hall 1997). Secara struktur nefron terdiri atas glomerulus dan serangkaian tubulus.

Glomerulus terdapat dalam ruang bowman dan mendapat aliran darah dari arteri aferen yang merupakan sistim kapiler bertekanan tinggi (Lu 1995). Dinding kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau penyaringan. Darah dapat disaring melalui dinding epitelium tipis yang berpori dari glomerulus dan ruang Bowman karena adanya tekanan dari darah yang mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalam tubulus ginjal mengalir melalui tubulus proksimal, ansa henle dan ke tubulus distal (Gambar 3). Dari sini cairan akan mengalir kesistem pengumpul yang terdiri dari tubulus penghubung, tubulus kolektivus kortikal dan tubulus kolektivus medularis. Cairan menjadi makin kental di sepanjang tubulus dan saluran untuk membentuk urin, yang kemudian dibawa ke kandung kemih melewati ureter (Delman dan Eurell 1998).

Fungsi ginjal adalah menyingkirkan hasil metabolisme normal (seperti urea, asam urat dan kreatinin) dan juga senyawa xenobiotik yang tidak dibutuhkan tubuh. Disamping itu ginjal juga berperan penting dalam menjaga homeostasis tubuh berkaitan dengan pH, cairan dan juga komposisi mineral


(44)

seperti sodium, potasium, klorida, kalsium dan fosfor.

Gambar 3. Antomi Ginjal (www.uic.edu).

Proses pengaturan cairan dan juga mineral dilakukan oleh ginjal dengan perantara 2 hormon yaitu hormon vasopresin dan hormon aldosteron yang pengeluarannya diperantarai oleh sistem renin-angiotensin. ketika tubuh kekurangan cairan salah satunya ditandai dengan ketika osmolalitas plasma yang meningkat maka parat juxtaglomerulat pada ginjal akan mengeluarkan enzim proteolitik renin. Enzim tersebut akan mengkatalisis perubahan angiotensin plasma menjadi angiotensin I yang selanjutnya akan diubah menjadi angiotensin II di paru-paru oleh angiotensin converting enzim (ACE).

Angiotensin II akan memerintahkan hipotalamus melakukan 2 hal, yaitu (1) menstimulasi rasa haus, (2) memerintahkan jaringan ptuitari posterior untuk melepaskan hormon vasopresin ke dalam plasma, selanjutnya hormon ini menuju sel-sel duktus koligenites ginjal untuk meningkatkan permeabilitas terhadap air sehingga mengakibatkan peningkatan reabsorbsi air. Air yang direabsorbsi ini meningkatkan volume dan menurunkan osmolaritas cairan ekstraseluler (CES), jadi secara singkat hormon vasopresin mempunyai fungsi antidiuretik. Tetapi jika osmolalitas tubuh normal kembali maka sekresi hormon vasopresin dihentikan.


(45)

mengeluarkan hormon aldosteron. Hormon ini berfungsi meningkatkan reabsorpsi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium pada bagian tubulus distal ginjal (Guyton dan Hall 1997).

b. Patologi ginjal

Ginjal juga merupakan salah satu organ utama yang menjadi sasaran aksi toksikan karena beberapa hal, yaitu: (1) Mempunyai volume aliran darah yang tinggi, darah tersebut umumnya membawa zat-zat yang tidak diperlukan tubuh termasuk toksikan, (2) Mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat, (3) Membawa toksikan melalui tubulus dan, (4) Mengaktifkan toksikan tertentu (Lu 1995). Keberadaan senyawa toksik dan juga peranan ginjal terhadap senyawa toksik tersebut menyebabkan terjadi interaksi antara toksikan dengan sel-sel pada ginjal, interaksi tersebut dapat menyebabkan efek buruk pada semua bagian ginjal.

Gangguan yang umumnya terjadi pada glomerulus adalah gangguan filtrasi yang bisa diakibatkan karena pori-pori glomerulus mudah dilakui oleh senyawa sehingga ketika filtrat yang sampai di tubuli berada dalam jumlah yang tidak normal (Harlina 2007), selain itu pada glomerulus juga sering terjadi endapan protein maupun amiloid yang dapat melebar sehingga mempersempit ruang Bowman (McGavin dan Zachary 2007). Sedangkan kelainan pada tubulus biasanya berkaitan dengan tidak sempurnanya fungsi reabsorpsi dan keberadaan senyawa toksik. Beberapa kelainan yang umumnya terjadi berkaitan dengan tidak sempurnya reabsoprsi diantaranya adalah degenerasi hidropik, degenerasi hialin dan degenerasi lemak pada tubulus proksimal (Thomas 1979). Degenerasi tersebut bersifat reversibel, artinya jika penyebabnya hilang maka degenerasi pun akan hilang, tetapi jika penyebabnya terus-menerus ada maka sel yang mengalami degenerasi lama kelamaan akan berubah menjadi sel nekrosis (McGavin dan Zachary 2007).

Gangguan-gangguan yang terjadi pada ginjal dapat menyebabkan terhambatnya proses pembentukan urin yang bisa diakibatkan karena kemampuan filtrasi glomerulus menurun. Kondisi ini akan mengakibatkan tekanan darah meningkat dan timbul racun metabolisme dalam darah terutama ureum dan kreatinin.


(46)

Pengujian untuk mendeteksi kerusakan ginjal dapat diamati secara kimiawi pada urin dan serum darah. Analisis dapat dilakukan pada kandungan kreatinin, urea, beberapa ion elektrolit seperti potasium, sodium, kalsium, fosfor dan klorida. Kreatinin merupakan hasil degradasi dari kreatin dan juga merupakan produk akhir dari metabolisme otot. Kreatinin disintesis dari asam amino arginin dan glisin di dalam hati dan ginjal. Kreatinin difiltrasi glomerulus dan tidak disekresikan ataupun direasorbsi tubulus, sehingga kreatinin sering dijadikan indikator untuk mengetahui laju filtrasi glomerulus (Harlina 2007).

Sedangkan urea merupakan hasil metabolisme tubuh terhadap amonia dari protein atau dengan kata lain urea merupakan bentuk buangan amonia yang dihasilkan dari katabolisme protein. Sehingga kadar ureum akan tergantung dari kadar amonia yang tentunya tergantung dari banyaknya asam amino yang dikatabolisme oleh tubuh. Pada kondisi normal kandungan ureum yang berlebih akan dikeluarkan tubuh lewat ginjal, sehingga jika kadar urea dalam serum darah tinggi berarti ada indikasi kelainan ginjal dalam menjalankan fungsinya untuk mengeluarkan ureum lewat urin.

Peranan ginjal dalam menjaga hemostasis pH dan cairan tubuh sangat erat kaitannya dengan keberadaan ion-ion elektrolit dalam tubuh khususnya pada serum darah (yang mudah diamati). Jumlahnya pada serum darah yang lebih rendah ataupun lebih tinggi dari normal, mengindikasikan adanya permasalahan pada ginjal khususnya pada bagian tubulus dalam mereabsorbi ion-ion tersebut.

Kelainan-kelainan yang diamati pada profil biokimia serum darah, dapat dikorelasikan dengan profil histologi ginjal yang berkaitan dengan terjadinya lesio degenerasi hialin pada tubulus dan endapan protein pada glomerulus. Pengamatan terhadap preparat histologi ginjal dilakukan pada bagian glomerulus yang menjalankan fungsi filtrasi dan tubulus proksimal karena bagian ini yang pertama kali menerima filtrat hasil filtrasi glomerulus.


(47)

METODOLOGI

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia Pangan dan Laboratorium Kimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Laboratorium Hewan Percobaan Departemen ITP dan Seafast Centre IPB dan Bagian Patologi Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Penelitian dilakukan dari bulan Desember 2009 sampai bulan Juni 2010.

3.2. Bahan

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah Morus alba L. kering yang diperoleh dari Fytagoras BV Sylviusweg Leiden Belanda. Sedangkan bahan untuk pembuatan pakan standar terdiri dari sumber protein berupa kasein, minyak jagung, tepung maizena merk horning, CMC, multivitamin (terdiri dari vitamin A 1000 IU, vitamin B1 1,4 mg, vitamin B2 1,6 mg, vitamin B6 2 mg, vitamin B12 3 mg, vitamin C 60 mg, vitamin D 100 IU, vitamin E 5 mg, nikotinamida 9 mg, kalsium pantotenat 5 mg) dan campuran mineral mix (untuk membuat 100mg campuran mineral terdiri dari NaCl 139,3 mg; KI 0,79; KH2PO4

389 mg; MgSO4.7H2O 57,3 mg; CaCO3 381,4; FeSO4.7H2O 27 mg; MnSO4.7H2O

4.010 mg; ZnSO4 0,548 mg; CuSO4.5H2O 0.477; CoCl. 6H2O 0.023

Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus Sprague Dawley jantan dan betina yang berumur 6-7 minggu masing-masing sejumlah 20 ekor yang didapat dari hasil breeding. Bahan kimia yang digunakan adalah air aquades, H2SO4 pekat,

eter, alkohol 70%, 80% dan 100%, xylol, parafin cair, formalin, Buffer PBS, pewarna hematoksilin, pewarna eosin. Analisis serum menggunakan kit komersial AMS yang meliputi analisis bilirubin, alkalin fosfatase, SGPT, SGOT, total protein, total lipid, kolesterol, trigliserida, urea, fosfor, kalium, kalsium, klorida, glukosa, kreatinin, albumin.


(48)

3.3. Alat

Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan laruan ekstrak air buah murbei adalah neraca analitik, blender, sentrifugasi, gelas piala, sudip, batang pengaduk, corong, gelas ukur, tissu dan tabung reaksi. Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk pemeliharaan tikus adalah kandang tikus dari boks plastik, tempat pakan dari alumunium, tempat minum berupa botol, timbangan tikus dan alat pembersih kandang serta syringe.

Alat-alat yang digunakan saat analisis adalah neraca analitik, gelas piala, tabung reaksi, gelas ukur, corong, sentrifugasi, tabung sentrifugasi, syringe, spektrofotometer UV vis, kuvet, timbangan, sudip, batang pengaduk, pipet tetes, pipet volumetrik, peipet mikro, tip plastik, mikrotom, mikroskop, preparat kaca, botol-botol tempat reagen, oven, penangas air, vortek, eppendorf dan alat-alat bedah tikus.

3.4. Metode

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu pembuatan ekstrak air buah murbei dan persiapan pakan setelah itu dilakukan penelitian uji toksisitas ekstrak air buah murbei pada tikus Sprague Dawley (Gambar 4).

1. Pembuatan ekstrak air buah murbei dan persiapan pakan standar a. Pembuatan ekstrak air buah murbei

Buah Morus alba L. semi kering yang didapat dari Fytagoras BV Sylviusweg Leiden Belanda masih berbentuk buah utuh. Langkah awal adalah menghaluskan sampel dengan menggunakan disc mill sehingga di dapat sampel yang agak halus, selanjutnya sampel diblender kering sehingga bentuk sampel menjadi lebih halus. Sampel yang telah halus tersebut selanjutnya digunakan untuk membuat ekstrak air buah murbei, dengan cara :

™ Pembuatan dosis 5 g/kg bb

Lima puluh gram sampel ditimbang lalu di tambah 150 mL H2O dan

dihomogenisasi dengan blender selama 5 menit, setelah itu di saring dengan saringan 70 mesh. Filtrat cairan itu yang nantinya akan dicekok menggunakan sonde lambung ke tikus dengan volume 15 ml/kg berat badan tikus.


(49)

Gambar 4. Diagram alir rencana penelitian.

Ditambah H2O dan Di blender

Blender kering Penepungan (dengan disc mill) Buah semi kering

Morus alba L.

Ekstrak air buah

Morus alba L. Di saring dengan mesh 70

Analisis: bilirubin, albumin, total lemak dan protein, SGPT, SGOT, ALT, urea, kreatinin, kolesterol, TGA, fosfor, kalium, klorida, kalsium dan glukosa

Dibedah

(terminasi dengan eter over dosis)

Pengamatan: persentase sel normal, degeneratif dan nekrosis

Histologi:pewarnaan hematoksilin-eosin

Hati dan ginjal

Serum Darah Dikelompokkan Adaptasi 2 minggu 40 Tikus Sprague Dawley 20 jantan dan 20 betina

Sub kronis: dosis 0,1 kg/kg BB; 1 kg/kg BB; kontrol. @ kelompok 5 jantan 5 betina Akut: Dosis 5 g/kg bb

@ (5 jantan dan 5 betina)

92 hari perlakuan, pengamatan: kematian, tingkah laku, berat badan, konsumsi pakan Parameter :

kematian dan tingkah laku Pengamatan 3 hari

Perlakuan akut 1 kali pemberian sari murbei, sub kronis pemberian sari murbei setiap hari selama 92 hari perlakuan


(1)

Lampiran 40a. Konsentrasi fosfor (mg/dl) serum tikus jantan.

Perlakuan

Jantan

1 2 3 4 5 Kontrol 8,463 6,459 6,033 5,015 5,848 0,1 gr/kg bb 5,735 4,320 8,319 7,354 4,749 1 gr/kg bb 6,830 2,904 3,424 3,261 3,173

Lampiran 40b. Analisis sidik ragam konsentrasi fosfor (mg/dl) serum tikus jantan. Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung Nilai P Perlakuan 2 17,984 8,992 3,724 0,050

Galat 12 28,972 2,414

Total 14 46,956

Lampiran 40c. Hasil uji lanjut DMRT konsentrasi fosfor (mg/dl) serum tikus jantan.

Perlakuan N Rata-rata Grup Duncan

Kontrol 5 6,0954 A

0,1 gr/kg bb 5 6,3636 A

1 gr/kg bb 5 3,9184 B

Lampiran 41a. Konsentrasi fosfor (mg/dl) serum tikus betina.

Perlakuan

Betina

6 7 8 9 10

Kontrol 8,350 11,015 8,206 7,274 7,234 0,1 gr/kg bb 2,908 2,747 8,512 8,362 4,374

1 gr/kg bb 2,747 2,485 2,660 3,020 2,722 Lampiran 41b. Analisis sidik ragam konsentrasi fosfor (mg/dl) serum tikus betina.

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat


(2)

Lampiran 42a. Konsentrasi kalsium (mg/dl) serum tikus jantan.

Perlakuan

Jantan

1 2 3 4 5 Kontrol 9,335 9,355 9,491 9,355 8,998 0,1 gr/kg bb 9,227 9,848 8,675 9,335 9,653 1 gr/kg bb 9,100 9,721 9,413 9,506 9,736

Lampiran 42b. Analisis sidik ragam konsentrasi kalsium (mg/dl) serum tikus jantan.

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung Nilai P Perlakuan 2 0,098 0,049 0,484 0,628

Galat 12 1,218 0,101

Total 14 1,316

Lampiran 43a. Konsentrasi kalsium (mg/dl) serum tikus betina.

Perlakuan

Betina

6 7 8 9 10

Kontrol 8,861 6,778 9,335 9,359 9,604 0,1 gr/kg bb 9,614 9,658 9,648 9,531 9,389 1 gr/kg bb 9,149 9,369 9,702 9,418 9,516

Lampiran 43b. Analisis sidik ragam konsentrasi kalsium (mg/dl) serum tikus betina.

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung Nilai P Perlakuan 2 1,737 0,868 1,877 0,195

Galat 12 5,551 0,463


(3)

Lampiran 44a. Konsentrasi klorida (mg/dl) serum tikus jantan.

Perlakuan

Jantan

1 2 3 4 5

Kontrol 95,212 103,285 100,334 98,886 99,332 0,1 gr/kg bb 96,604 101,837 98,664 98,719 86,192 1 gr/kg bb 96,214 96,325 101,949 97,272 98,274

Lampiran 44b. Analisis sidik ragam konsentrasi klorida (mg/dl) serum tikus jantan.

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung Nilai P Perlakuan 2 22,633 11,316 0,678 0,526 Galat 12 200,277 16,690

Total 14 222,910

Lampiran 45a. Konsentrasi klorida (mg/dl) serum tikus betina.

Perlakuan

Betina

6 7 8 9 10

Kontrol 85,746 102,673 98,775 104,788 102,506 0,1 gr/kg bb 97,940 94,321 94,878 98,218 93,541 1 gr/kg bb 104,677 101,114 92,817 92,706 101,392

Lampiran 45b. Analisis sidik ragam konsentrasi klorida (mg/dl) serum tikus betina.

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung Nilai P Perlakuan 2 29,126 14,563 0,469 0,637 Galat 12 372,726 31,060


(4)

Lampiran 46a. Konsentrasi potasium (mg/dl) serum tikus jantan.

Perlakuan

Jantan

1 2 3 4 5

Kontrol 2,567 1,858 2,205 2,224 1,996

0,1 gr/kg bb 1,840 2,276 1,022 1,623 1,287 1 gr/kg bb 0,776 1,910 1,813 1,224 2,265

Lampiran 46b. Analisis sidik ragam konsentrasi potasium (mg/dl) serum tikus jantan.

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung Nilai P Perlakuan 2 1,070 0,535 2,431 0,130

Galat 12 2,640 0,220

Total 14 3,710

Lampiran 47a. Konsentrasi potasium (mg/dl) serum tikus betina.

Perlakuan

Betina

6 7 8 9 10

Kontrol 1,966 1,358 2,451 2,399 1,802 0,1 gr/kg bb 1,828 1,530 2,500 1,530 0,862 1 gr/kg bb 0,981 1,451 0,993 2,015 2,276

Lampiran 47b. Analisis sidik ragam konsentrasi potasium (mg/dl) serum tikus betina.

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung Nilai P Perlakuan 2 0,558 0,279 0,929 0,422

Galat 12 3,606 0,300


(5)

Lampiran 48a. Persentase terjadinya endapan protein pada glomerulus (20 bidang lapang pandang).

Jantan Betina Perlakuan Persentase Perlakuan Persentase

C1 20 D1 20 C2 10 D2 15 C3 20 D3 30 C4 15 D4 35 C5 15 D5 15 Rata-rata 16 Rata-rata 23

E1 20 F1 15 E2 15 F2 30 E3 20 F3 25 E4 25 F4 30 E5 15 F5 20 Rata-rata 19 Rata-rata 24

G1 25 H1 35 G2 20 H2 25 G3 15 H3 40 G4 20 H4 20 G5 20 H5 15 Rata-rata 20 Rata-rata 27

Lampiran 48b. Analisis sidik ragam persentase endapan protein pada glomerulus tikus jantan.

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung Nilai P Perlakuan 2 43,333 21,667 1,368 0,292 Galat 12 190,000 15,833

Total 14 233,333

Lampiran 48c. Analisis sidik ragam persentase endapan protein pada glomerulus tikus betina.


(6)

Lampiran 49a. Persentase terjadinya degenerasi hialin pada tubulus (20 bidang lapang pandang).

Jantan Betina Perlakuan Persentase Perlakuan Persentase

C1 0,71 D1 1,46

C2 0,00 D2 0,00

C3 0,00 D3 4,17

C4 3,37 D4 0,00

C5 0,71 D5 1,74

Rata-rata 0,96 Rata-rata 1,47

E1 0,00 F1 0,00 E2 0,00 F2 0,00 E3 0,00 F3 0,50 E4 0,00 F4 0,00 E5 0,83 F5 1,00 Rata-rata 0,17 Rata-rata 0,30

G1 0,83 H1 0,00

G2 0,00 H2 0,00

G3 1,88 H3 0,00

G4 1,84 H4 0,00

G5 0,00 H5 0,00

Rata-rata 0,91 Rata-rata 0,00

Lampiran 49b. Analisis sidik ragam persentase degenerasi hialin pada tubulus tikus jantan.

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung Nilai P Perlakuan 1,972 2 0,986 1,003 0,396 Galat 11,796 12 0,983

Total 13,768 14

Lampiran 49c. Analisis sidik ragam persentase degenerasi hialin pada tubulus tikus betina.

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung Nilai P Perlakuan 6,068 2 3,034 2,916 0,093 Galat 12,485 12 1,040