Analisis Kerugian Ekonomi, serta Pengetahuan Masyarakat Terhadap Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) (Studi Kasus Desa Kuta Gajah, Kecamatan Kutambaru dan Desa Besilam, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat)

(1)

SUMATERA

(Pongo abelii)

(Studi Kasus Desa Kuta Gajah, Kecamatan Kutambaru dan Desa Besilam Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat)

SKRIPSI

Oleh:

ONI SRI RAHAYU SITORUS 091201011/MANAJEMEN HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013


(2)

Besilam, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat) Nama : Oni Sri Rahayu Sitorus

Nim : 091201011

Program Studi : Kehutanan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Pindi Patana S. Hut, M. Sc. Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si.

Ketua Anggota

Mengetahui,

Siti Latifah, S. Hut, M. Si, Ph. D Ketua Program Studi Kehutanan


(3)

ABSTRACT

ONI SRI RAHAYU SITORUS : Analysis of Economic Loss and Society Knowledge of Orangutan Sumatera conflict (Pongoabelli) (Case Study Kuta Gajah Village Kutambaru District and Besilam Village Padang Tualang District Langkat Regency) . Supervised by PINDI PATANA and AGUS PURWOKO

The biggest threat of the wildlife animal is caused by forest clearing into agriculture land, gardening, mining,and the settlement. Forest degradation or the loss of wild animal, especially Orangutan Sumatera (Pongo abelli) force them to enter the society agricultural area and cause conflicts between human and Orangutan.The purpose of this research are to calculate the total economic loss that society suffered caused by the conflicts, to know the cost that society, LSM and government have been spend for mitigating conflict between human and Orangutan Sumatera (P. abelli) and also to analize the society knowledge about the reasons of the conflicts between human and Orangutan Sumatera (P. abelli). Thuis research did in March 2013 to April 2013 in Kuta Gajah and Besilam Village in interview method with citizen whom damaged the land by the Orangutan.

The results of this research show that total economic loss of Kuta Gajah citizen is Rp. 1.484.700,00/family/month while the Besilam citizen is Rp. 70.000,00/family/month. In the conflict mitigation, the government cooperate with OIC and total cost that have been spend is Rp. 116.000,00 for meriam karbit technique in Kuta Gajah village and Rp. 9.840.000,00 for Orangutan evacuation to TNGL in Besilam village.


(4)

ABSTRAK

ONI SRI RAHAYU SITORUS: Analisis Kerugian Ekonomi, serta Pengetahuan Masyarakat Terhadap Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) (Studi Kasus Desa Kuta Gajah, Kecamatan Kutambaru dan Desa Besilam, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat). Di bawah bimbingan PINDI PATANA dan AGUS PURWOKO

Ancaman terbesar terhadap kelangsungan hidup satwaliar berasal dari perusakan habitatnya yang disebabkan oleh pembukaan hutan untuk dijadikan lahan pertanian, perkebunan, pertambangan, dan pemukiman. Penyusutan lahan hutan atau hilangnya habitat satwaliar khususnya orangutan Sumatera (Pongo abelii) memaksa mereka masuk ke dalam areal perkebunan masyarakat dan memicu konflik antara manusia dengan orangutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghitung total kerugian ekonomi yang diderita masyarakat akibat adanya konflik, mengetahui dana yang dikeluarkan oleh masyarakat, LSM dan pemerintah dalamupaya melakukan mitigasi konflik manusia dengan orangutan Sumatera (P. abelii) serta menganalisis pengetahuan masyarakat tentang penyebab terjadinya konflik antara manusia dengan orangutan (P. abelii). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013 di Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam dengan menggunakan teknik wawancara dengan masyarakat yang ladangnya dirusak oleh orangutan.

Hasil penelitian ini menunjukkan kerugian yang di derita masyarakat Desa Kuta Gajah sebesar Rp 1.484.700,00/KK/Bulan, sementara untuk Desa Besilam sebesar Rp 70.000/KK/Bulan. Dalam hal penanganan konflik pemerintah bekerjasama dengan pihak OIC dalam menangani masalah konflik dengan membutuhkan dana sebesar Rp 116.000,00 untuk penanganan menggunakan meriam karbit di Desa Kuta Gajah dan mengeluarkan dana sebesar Rp 9.840.000,00 untuk kegiatan evakuasi orangutan yang berada di Desa Besilam dan memiindahkannya ke TNGL.

Kata kunci: Orangutan Sumatera, Konflik, Kerugian Ekonomi, Biaya Mitigasi


(5)

Penulis bernama Oni Sri Rahayu Sitorus yang lahir di Aek Song-songan tanggal 02 Juni 1991 dari ayah bernama Eddy Yanto Sitorus dan ibu bernama Budiah. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara.

Riwayat pendidikan penulis, lulus Sekolah Dasar di SDN 010133 Bandar Pulau tahun 2003. Selanjutnya penulis lulus dari SLTP Negeri 1 Bandar Pulau pada tahun 2006, jenjang SMA penulis seslesaikan pada tahun 2008 di SMA Negeri 1 Bandar Pulau, kemudian lulus seleksi masuk USU melalui jalur PMP. Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Klimatologi Hutan, Hasil Hutan Non Kayu, Pemanenan Hasil Hutan, Silvikultur dan P2EH (Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan), selain itu penulis juga mengikuti kegiatan kemahasiswaan di Departemen Kehutanan yaitu Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) dan Badan Kemakmuran Mushalla Baytul Asjaar. Praktek Kerja Lapang dilaksanakan di Hutan Tanaman Industri PT. PSPI (Perawang Sukses Perkasa Industri), Riau dari tanggal 28 Januari sampai 28 Februari 2013.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkat dan perlindungan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adapun judul dari skripsi ini adalah “Analisis Kerugian Ekonomi, serta Pengetahuan Masyarakat Terhadap Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) (Studi Kasus Desa Kuta Gajah, Kecamatan Kutambaru dan Desa Besilam, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat)”.

Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pindi Patana, S.Hut., M.Sc., selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si., selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan, arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih juga kepada dosen dan staf pegawai Program Studi Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat, dunia ilmu pengetahuan dan bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, Juni 2013


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 5

Kondisi Fisik ... 5

Letak dan Geografis ... 5

Topografi ... 6

Iklim ... 6

Tanah ... 7

Sosial Ekonomi ... 7

Taman Nasional Gunung Leuser... 8

Orangutan Sumatera (Pongo abelii) ... 9

Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) ... 11

Fragmentasi Habitat ... 12

Faktor Penyebab Konflik ... 13


(8)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

Alat dan Bahan Penelitian ... 19

Metode Penelitian ... 19

Metode Pengumpulan Data ... 19

Teknik dan Tahapan Pengambilan Data ... 19

Teknik Analisis Data ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden ... 22

Karakteristik Lahan Konflik ... 28

Gangguan Satwaliar ... 31

Deskripsi Gangguan Satwaliar ... 33

Faktor Penyebab Konflik dengan Orangutan ... 38

Penanganan Konflik Orangutan oleh Masyarakat ... 44

Kerugian Ekonomi Masyarakat Akibat Konflik dengan Orangutan ... 47

Penanganan Konflik Orangutan yang Dilakukan Pemerintah dan LSM ... 53

Persepsi Masyarakat tentang Keberadaan Orangutan ... 59

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 64

Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(9)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Karakteristik responden ... 22

2. Tingkat generasi responden selama tinggal di desa ... 24

3. Perbedaan karakteristik lahan Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam ... 28

4. Hubungan jarak dari TNGL dengan ada atau tidaknya gangguan orangutan ... 29

5. Peringkat gangguan oleh satwaliar pengganggu tanaman berdasarkan wawancara ... 32

6. Jenis Gangguan yang disebabkan satwaliar di lahan masyarakat Desa Kuta Gajah ... 33

7. Jenis gangguan yang disebabkan satwaliar di lahan masyarakat Desa Besilam ... 34

8. Faktor penyebab konflik orangutan menurut persepsi masyarakat ... 38

9. Teknik penanganan konflik orangutan yang dilakukan masyarakat ... 46

10. Kerugian ekonomi akibat konflik orangutan di Desa Kuta Gajah ... 48

11. Kerugian ekonomi akibat konflik orangutan di Desa Besilam ... 51

12. Fungsi spesifik penanggulangan konflik ... 54

13. Biaya yang dikeluarkan oleh oic selama proses evakuasi ... 56

14. Persepsi responden terhadap keberadaan orangutan ... 59


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Sketsa lokasi penelitian ... 18

2. Bukti kepemilikan lahan di Desa Kuta Gajah (A), Bukti kepemilikan lahan di Desa Besilam (B) ... 25

3. Histogram jumlah responden berdasarkan luas lahan ... 26

4. Histogram jumlah responden berdasarkan pendapatan perbulan ... 27

5. Sarang yang dibuat pada pohon durian masyarakat (A), Pohon sawit yang Bagian yang dirusak pucuknya oleh orangutan (B) ... 37

6. Kerusakan lahan yang terus meningkat di Desa Besilam ... 38

7. Orangutan yang terisolasi di kebun karet masyarakat ... 40

8. Histogram jumlah ladang yang dirusak satwaliar di Desa Kuta Gajah... 42

9. Sisa kulit durian yang dirusak orangutan ... 43

10. Histogram jumlah ladang yang dirusak satwaliar di Desa Besilam ... 44

11. Kantor yang dibangun oleh pihak TNGL dan OIC ... 55

12. Pencarian orangutan oleh tim OIC ... 57

13. Ladang konflik sisa tebangan pohon durian masyarakat ... 61

14. Teknik penanganan konflik paling efektif menurut masyarakat Desa Kuta Gajah ... 62


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Kuisioner peneliitian ... 68

2. Peta lokasi penelitian ... 77

3. Data pemilik lahan di Desa Kuta Gajah ... 78

4. Data pemilik lahan di Desa Besilam ... 79

5. Teknik penenganan orangutan yang dilakukan masyarakat ... 80

6. Kerusakan yang disebabkan orangutan di Desa Kuta Gajah ... 81

7. Kerusakan yang disebabkan orangutan di Desa Besilam... 84

8. Pendapat responden tentang penyebab konflik orangutan ... 85

9. Jenis kerusakan tanaman akibat gangguan satwa liar di Desa Kuta Gajah ... 86

10. Jenis kerusakan tanaman akibat gangguan satwa liar di Desa Besilam ... 102

11. Data diri responden ... 104


(12)

ABSTRACT

ONI SRI RAHAYU SITORUS : Analysis of Economic Loss and Society Knowledge of Orangutan Sumatera conflict (Pongoabelli) (Case Study Kuta Gajah Village Kutambaru District and Besilam Village Padang Tualang District Langkat Regency) . Supervised by PINDI PATANA and AGUS PURWOKO

The biggest threat of the wildlife animal is caused by forest clearing into agriculture land, gardening, mining,and the settlement. Forest degradation or the loss of wild animal, especially Orangutan Sumatera (Pongo abelli) force them to enter the society agricultural area and cause conflicts between human and Orangutan.The purpose of this research are to calculate the total economic loss that society suffered caused by the conflicts, to know the cost that society, LSM and government have been spend for mitigating conflict between human and Orangutan Sumatera (P. abelli) and also to analize the society knowledge about the reasons of the conflicts between human and Orangutan Sumatera (P. abelli). Thuis research did in March 2013 to April 2013 in Kuta Gajah and Besilam Village in interview method with citizen whom damaged the land by the Orangutan.

The results of this research show that total economic loss of Kuta Gajah citizen is Rp. 1.484.700,00/family/month while the Besilam citizen is Rp. 70.000,00/family/month. In the conflict mitigation, the government cooperate with OIC and total cost that have been spend is Rp. 116.000,00 for meriam karbit technique in Kuta Gajah village and Rp. 9.840.000,00 for Orangutan evacuation to TNGL in Besilam village.


(13)

ABSTRAK

ONI SRI RAHAYU SITORUS: Analisis Kerugian Ekonomi, serta Pengetahuan Masyarakat Terhadap Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) (Studi Kasus Desa Kuta Gajah, Kecamatan Kutambaru dan Desa Besilam, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat). Di bawah bimbingan PINDI PATANA dan AGUS PURWOKO

Ancaman terbesar terhadap kelangsungan hidup satwaliar berasal dari perusakan habitatnya yang disebabkan oleh pembukaan hutan untuk dijadikan lahan pertanian, perkebunan, pertambangan, dan pemukiman. Penyusutan lahan hutan atau hilangnya habitat satwaliar khususnya orangutan Sumatera (Pongo abelii) memaksa mereka masuk ke dalam areal perkebunan masyarakat dan memicu konflik antara manusia dengan orangutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghitung total kerugian ekonomi yang diderita masyarakat akibat adanya konflik, mengetahui dana yang dikeluarkan oleh masyarakat, LSM dan pemerintah dalamupaya melakukan mitigasi konflik manusia dengan orangutan Sumatera (P. abelii) serta menganalisis pengetahuan masyarakat tentang penyebab terjadinya konflik antara manusia dengan orangutan (P. abelii). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013 di Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam dengan menggunakan teknik wawancara dengan masyarakat yang ladangnya dirusak oleh orangutan.

Hasil penelitian ini menunjukkan kerugian yang di derita masyarakat Desa Kuta Gajah sebesar Rp 1.484.700,00/KK/Bulan, sementara untuk Desa Besilam sebesar Rp 70.000/KK/Bulan. Dalam hal penanganan konflik pemerintah bekerjasama dengan pihak OIC dalam menangani masalah konflik dengan membutuhkan dana sebesar Rp 116.000,00 untuk penanganan menggunakan meriam karbit di Desa Kuta Gajah dan mengeluarkan dana sebesar Rp 9.840.000,00 untuk kegiatan evakuasi orangutan yang berada di Desa Besilam dan memiindahkannya ke TNGL.

Kata kunci: Orangutan Sumatera, Konflik, Kerugian Ekonomi, Biaya Mitigasi


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ancaman terbesar terhadap kelangsungan hidup satwaliar berasal dari perusakan habitatnya yang disebabkan oleh pembukaan hutan untuk dijadikan lahan pertanian, perkebunan, pertambangan, dan pemukiman. Kegiatan tersebut mengakibatkan populasi satwaliar menurun dan tempat hidupnya terbelah-belah (fragmentasi).

Konflik antara manusia dan orangutan terjadi karena adanya kompetisi untuk sumber daya alam yang terbatas. Sebagian dari masyarakat masih beranggapan, bahwa orangutan “hanyalah binatang’ yang derajatnya lebih rendah daripada manusia sehingga hak dan kebutuhannya untuk hidup sering tidak dipertimbangkan. Ketika kebutuhan manusia akan lahan, sumber daya alam, kekayaan dan kesejahteraan meningkat, ancaman bagi keberadaan dan kelangsungan hidup orangutan juga meningkat (Yuwono dkk, 2007).

Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sebagai sebagai rumah terakhir bagi orangutan Sumatera juga merupakan habitat yang kompleks dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Selain orangutan, terdapat juga sejumlah spesies hewan dan tumbuhan khas TNGL. Laju degradasi hutan TNGL mengancam keberadaan hewan di hutan tersebut dan hal yang tidak dapat terhindarkan adalah terjadinya konflik antara manusia dengan orangutan dimana terjadi tumpang tindih kebutuhan. Manusia yang berladang di sekitar kawasan TNGL diganggu oleh


(15)

orangutan yang merasa bahwa ladang tersebut masih merupakan wilayah jelajahnya. Hal ini jelas menimbulkan hubungan yang negatif antar manusia dengan orangutan.

Keberadaan Kawasan TNGL yang belum sepenuhnya ditata batas seringkali menjadi masalah dengan adanya lahan garapan warga desa. Dalam penelitian Afiff dkk (2012) hanya 53% dari responden yang mengetahui lokasi TNGL, sebagian besar dari mereka juga tidak mengetahui lokasi dan batas taman nasional. Ini menunjukkan bahwa keberadaan TNGL berikut batas-batasnya tidak berada dalam tataran yang cukup dimengerti dan dipahami oleh penduduk. Tidak mengherankan bila relasi masyarakat dengan TNGL lebih diwarnai berbagai jenis konflik. Sedikitnya ada tiga persoalan yang menjadi dasar terjadinya konflik tersebut, yaitu tata batas, perambahan hutan, serta pengalaman kurang menyenangkan yang dialami penduduk ketika berinteraksi dengan personil.

Konflik antara manusia dengan orangutan termasuk suatu permasalahan yang serius yang harus diperhatikan dan dicari jalan keluarnya. Faktanya konflik yang terjadi bukan hanya di sekitar kawasan TNGL dimana orangutan bebas keluar masuk kawasan TNGL dan merusak hasil tanaman warga yang biasanya berupa buah-buahan yang menjadi makanan kesukaannya. Konflik juga sering terjadi di kawasan yang dulunya merupakan satu kesatuan hutan dengan TNGL, namun setelah adanya aktifitas manusia menyebabkan terjadinya fragmentasi kawasan. Akibat adanya fragmentasi kawasan tersebut orangutan terisolasi di lahan perkebunan masyarakat dan tidak dapat kembali ke habitat aslinya. Hal ini mendorong orangutan untuk hidup di kawasan perladangan dan mencoba bertahan hidup dengan cara mencari makan di ladang masyarakat tersebut. Semakin meningkatnya teknologi di bidang kehutanan


(16)

dan didukung oleh sumber daya manusia yang tinggi diharapkan bisa menyelesaikan masalah tersebut.

Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan mendapatkan jawaban tentang total kerugian ekonomi yang diderita masyarakat akibat terjadinya konflik antar manusia dengan orangutan Sumatera (Pongo abelii), seberapa besar biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah, masyarakat ataupun lembaga swadaya masyarakat dalam melakukan mitigasi konflik antara manusia dengan orangutan dan bagaimana persepsi dan pengetahuan masyarakat mengenai konflik antar manusia dengan orangutan Sumatera (P. abelii) dan pengetahuan tentang teknik mitigasi konflik yang terjadi dengan orangutan Sumatera (P. abelii).

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menghitung total kerugian ekonomi yang diderita masyarakat Desa Kuta Gajah, Kecamatan Kutambaru dan di Desa Besilam, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat akibat terjadinya konflik antara manusia dengan orangutan Sumatera (Pongo abelii).

2. Mengetahui biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah, masyarakat ataupun lembaga swadaya masyarakat dalam melakukan mitigasi konflik antara manusia dengan orangutan di kedua desa tersebut.

3. Menganalisis persepsi dan pengetahuan masyarakat mengenai penyebab konflik antara manusia dengan orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan pengetahuan


(17)

tentang teknik mitigasi konflik yang terjadi dengan orangutan Sumatera (Pongo abelii).

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah :

1. Sebagai sumber informasi mengenai kerugian yang diderita masyarakat akibat terjadinya konflik antara manusia dengan orangutan (Pongo abelii) sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam memanajemen konflik antara manusia dengan orangutan (Pongo abelii).

2. Sebagai bahan evaluasi untuk menilai pengetahuan masyarakat dalam melakukan mitigasi konflik antara manusia dengan orangutan (Pongo abelii).


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Bahorok yang berada di Kabupaten Langkat terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1965 tentang pembentukan daerah otonom di Provinsi Sumatera Utara, maka Kabupaten Langkat ditetapkan menjadi daerah otonom (BPS Kabupaten Langkat, 2011).

Lokasi penelitian merupakan lokasi yang terletak di Desa Kuta Gajah, Kecamatan Kutambaru, Kabupaten Langkat merupakan lokasi yang sering terjadi konflik antara orangutan dengan masyarakat setempat. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut berada pada kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang memungkinkan satwaliar masuk ke perladangan penduduk. Lokasi penelitian lain yang dipilih yaitu Desa Besilam, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat yang berjarak 30 Km dari kawasan TNGL dimana terdapat orangutan yang sudah cukup lama terfragmentasi sehingga orangutan tersebut tidak dapat keluar dari perladangan penduduk dan ketika sumber pakannya habis orangutan tersebut memakan pucuk daun sawit warga yang masih muda sehingga menimbulkan konflik.

Kondisi Fisik Lokasi Penelitian

Letak dan Geografis

Kabupaten Langkat terletak antara : 3o 14` 00" - 4o 13` 00" Lintang Utara dan 97o 52` 00" - 98o 45` 00" Bujur Timur. Wilayah kabupaten Langkat meliputi:


(19)

• Kawasan hutan lindung seluas +- 266.232 Ha (42,51 %) dan kawasan lahan budidaya seluas +- 360.097 Ha (57,49 %).

• Kawasan hutan lindung terdiri dari kawasan pelestarian alam Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) seluas +- 213.985 Ha.

• Kawasan Timur Laut seluas +- 9.520 Ha. • Kawasan Penyangga seluas +- 7.600 Ha.

• Kawasan Hutan Bakau seluas +- 20.200 Ha dan kawasan lainnya +- 14.927 Ha.

(BPS Kabupaten Langkat, 2009) Topografi

Daerah Kabupaten Langkat dibedakan atas 3 bagian. Bagian-bagian tersebut antara lain : pesisir pantai dengan ketinggian 0-4 meter di atas permukaan laut, dataran rendah dengan ketinggian 0-30 meter di atas permukaan laut, dataran tinggi

dengan ketinggian 30-1200 meter di atas permukaan laut (BPS Kabupaten Langkat, 2011).

Iklim

Kabupaten Langkat termasuk daerah yang beriklim tropis, sehingga daerah ini memiliki 2 musim yaitu musim kemarau yang terjadi pada bulan Februari sampai dengan Agustus dan musim hujan yang terjadi pada bulan September sampai dengan Januari. Musim kemarau dan musim hujan biasanya ditandai dengan sedikit banyaknya hari hujan dan volume curah hujan pada bulan terjadinya musim (BPS Kabupaten Langkat, 2011).


(20)

Tanah

Jenis-jenis tanah yang berada di Kabupaten Langkat antara lain : sepanjang pantai terdiri dari jenis tanah Aluvial, yang sesuai untuk jenis tanaman pertanian pangan, dataran rendah dengan jenis tanah glei humus rendah, hidromofil kelabu dan

plarosal, dataran tinggi jenis tanah podsolid berwarna merah kuning (BPS Kabupaten Langkat, 2011).

Sosial Ekonomi

Desa Kuta Gajah memiliki lahan seluas 1700 Ha yang terdiri dari lahan pertanian sawah 15 Ha, lahan perladangan 90 Ha, lahan perkebunan masyarakat 815 Ha, perumahan 25 Ha, kolam ikan 5 Ha, perkantoran/ sarana social 9,73 Ha dan lahan yang belum dimanfaatkan seluas 685,2 Ha. Desa Kutagajah adalah merupakan desa pertanian. Maka hasil ekonomi warga dan mata pencaharian warga sebagian besar adalah petani. Dari jumlah KK (1039 KK) 80% diantaranya adalah petani. Selebihnya ada PNS, pedagang, karyawan perkebunan dan lain-lain. Sementara kemampuan produksi produksi pertanian Desa Kuta Gajah yaitu karet kurang lebih 80 ton, kelapa sawit 170 ton/bulan, sehingga pendapatan rata-rata kuarang lebih Rp1.200.000/ bulan/ KK (BPS Kabupaten Langkat, 2011).

Desa Besilam memiliki lahan seluas 2358,42 Ha dengan jumlah penduduk di desa ini adalah 5048 jiwa Penduduk Besilam rata-rata mempunyai penghasilan dari kegiatan bertani sawit dan karet (BPS Kabupaten Langkat, 2011)


(21)

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terletak di Provinsi Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam. Area seluas 1.094.692 hektar (ha) ini ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai taman nasional pada tahun 1980. Nama TNGL diambil dari Gunung Leuser yang membentang di kawasan tersebut dengan ketinggian mencapai 3.404 meter (m) diatas permukaan laut (dpl). Bersama dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Kerinci Seblat, TNGL ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 2004 sebagai situs warisan dunia, Tropical Rainforest Heritage of Sumatra pada tahun 2004. Sebelumnya, TNGL juga telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981, dan ASEAN Heritage Park pada tahun 1984. TNGL berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang luasnya mencapai 2,6 juta ha dan dianggap sebagai rumah terakhir bagi orangutan Sumatera yang sangat terancam punah. KEL merupakan habitat yang kompleks dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, namun sekaligus rentan (OIC, 2009).

Seperempat abad sejak Leuser ditunjuk sebagai Taman Nasional, telah banyak terjadi perubahan-perubahan geopolitik dan tata guna lahan akibat intervensi pembangunan diseluruh kabupaten sekitar Leuser. Di wilayah Sumatera Utara Leuser dikepung oleh perkebunan sawit. Peningkatan luas perkebunan sawit tersebut cukup signifikan. Pada tahun 1992, luas perkebunan sawit rakyat, swasta dan milik pemerintah tersebut 513.101 ha dan meningkat pada tahun 1998 menjadi seluas 697.553 ha, dengan demikian peningkatannya rata-rata 30.742 ha pertahun (Balai TNGL, 2006).


(22)

Ekosistem Leuser juga merupakan habitat fauna kunci seperti gajah sumatera (Elephas maxsimus sumaterae), badak sumatera (Dicerorhinus sumateraensis), dan orangutan sumatera (Pongo obelii). Selain itu ada owa (Hylobateslar), kedih (Presbytis thomasi) dan fauna lainnya. Selain itu sebagai rumah fauna, di TNGL juga ada 4.000 spesies flora dan 3 jenis dari 15 jenis tumbuhan parasit rafflesia serta ada tumbuhan obat.

Orangutan Sumatera (Pongo abelii)

Klasifikasi orangutan menurut Groves (2001) termasuk ke dalam ordo Primata dan famili Homonidae dengan urutan klasifikasi sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Primata Family : Hominoidea Subfamily : Pongidae Genus : Pongo

Species : Pongo abelii (orangutan Sumatera)

Orangutan merupakan salah satu kera besar yang bersifat arboreal dan soliter dengan ciri-ciri bertubuh besar, rambut berwarna coklat kemerahan, tidak berekor dan secara genetik memiliki kemiripan dengan manusia (97,4 %). Secara fisik yang membedakan orangutan Sumatera dari orangutan Kalimantan adalah ukuran badan


(23)

yang lebih besar, rambut jarang dan pendek serta berwarna lebih gelap atau coklat kemerah-merahan, serta pada umur bayi terlihat ada bercak-bercak berwarna kemerahan atau kehijau-hijauan.

Proses perkembangan umur orangutan di alam dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu kategori morfologi dan kategori tingkah laku. Mac Kinnon (1974), Rikjsen (1978), dan Galdikas (1986) menjelaskan tahapan perkembangan orangutan sebagai berikut :

1. Bayi (infant) : kisaran umur 0 – 2,5 tahun, dengan berat badan sekitar 2-6 kg. 2. Anak-anak (juvenile) : kisaran umur 2,5 – 7 tahun dengan berat badan 6 – 15 kg. 3. Remaja (adolescent) : kisaran umur 7 – 10 tahun dengan berat badan sekitar 15 –

30 kg.

4. Pra dewasa : kisaran umur 10 – 12 tahun dengan berat badan sekitar 30 – 40 kg 5. Dewasa : kisaran umur 12 – 35 tahun dengan berat badan sekitar 30 – 50 kg.

Popwati, et. al. (1997) menjelaskan bahwa orangutan betina rata-rata mencapai dewasa kelamin pada umur 15 tahun dan beranak tiap 8 tahun sekali, karena anak orangutan akan tinggal bersama dan tergantung pada induknya sampai ia berumur 7 – 8 tahun. Seekor induk orangutan tidak akan pernah memberikan bayinya kepada orangutan lain, sehingga untuk mendapatkan satu ekor anak orangutan, minimal harus diburu induknya terlebih dahulu.

Rodman (1988) menyatakan bahwa dalam populasi orangutan terdapat tiga unit populasi yaitu, jantan dewasa soliter, betina dewasa dengan seekor anak serta jantan pra dewasa soliter. Kadang-kadang ketiga unit tersebut terlihat dalam suatu


(24)

kumpulan sementara (temporary association) di pohon pakan (feeding group) serta dalam hidup berpasangan (consortship).

Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii)

Orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, yaitu hutan dataran rendah, perbukitan, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa, bakau dan nipah, serta pada hutan pegunungan. Hoeve (1996) menyatakan bahwa habitat orangutan Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada ketinggian 1.000 mdpl.

Menurut Rijksen dan Meijaard (1999), populasi orangutan Sumatera sebagian besar sebarannya terbatasan pada hutan hujan dataran rendah, sebagian besar orangutan Sumatera berada di daerah yang memiliki ketinggian di bawah 500 m dpl dan jarang menjelajah ke tempat lebih tinggi dari 1.500 m dpl. Hutan ini paling terancam di konversi ke penggunaan lain, terutama untuk perluasan perkebunan.

Daya dukung habitat orangutan ditentukan oleh produktivitas tumbuhan yang menghasilkan makanan pada waktu yang tepat dan sebagai tempat beristirahat yang aman. Kekurangan makanan akan menyebabkan terjadinya persaingan dan anggota yang statusnya lebih rendah harus mencari sumber makanan di tempat lain atau menerima sumber makanan alternatif. Apabila kebutuhan dasar (air, makanan, tempat beristirahat) cukup tersedia, maka aktivitas hidup orangutan akan berlangsung normal, dengan kata lain daya dukung untuk kehidupan orangutan ditentukan oleh ketersediaan kebutuhan dasar (Meijaard, 2001).


(25)

Syukur (2000) menyatakan bahwa kepadatan orangutan dipengaruhi oleh ketinggian wilayah yang menjadi habitat orangutan, tipe hutan dan tingkat gangguan atau ancaman. Kepadatan orangutan semakin menurun dengan meningkatnya ketinggian suatu tempat. Rata-rata kepadatan orangutan untuk setiap tipe hutan adalah sebagai berikut : 5 individu/km2 pada hutan rawa (ketinggian sekitar 30 mdpl), 2,5 individu/km2 pada ketinggian < 500 mdpl, 1,8 5 individu/km2 pada ketinggian 500 – 1.000 mdpl dan akan jarang atau sama sekali tidak ditemukan pada ketinggian > 1.800 mdpl.

Hasil survey Singleton dan Wich (2011) melaporkan bahwa di sepanjang transek blok timur dan blok barat TNGL, termasuk di areal dengan ketinggian sekitar 1.500 mdpl ditemukan sarang orangutan. Hal ini menunjukkan pada areal TNGL yang lebih tinggi, kehadiran orangutan Sumatera lebih sering dibandingkan dengan laporan survei sebelumnya. Selain itu, daerah yang sudah ditebangi, ketika disurvei, menunjukkan kecenderungan memiliki kepadatan populasi orangutan yang rendah dibandingkan daerah areal hutan primer, tapi populasinya masih mendukung baik dari segi kelayakan kepadatan populasinya maupun dari jumlah keseluruhan orangutannya.

Fragmentasi Habitat

Fragmentasi merupakan penyebab utama hilangnya sejumlah besar spesies (Elisa, 2000). Fragmentasi habitat adalah pengurangan luas atau terbaginya habitat menjadi areal-areal yang sempit (MENLH, 2008). Salah satunya adalah kondisi orangutan (P. abelii) yang berada di ladang masyarakat. Satwaliar memiliki pola


(26)

pergerakan tertentu dalam usaha individu maupun populasi untuk mendapatkan sumberdaya yang diperlukan agar dapat bertahan hidup dan berkembang biak (Alikodra, 2002). Namun disaat kondisi habitat yang tidak memungkinkan dan kondisi tersebut terjadi terus-menerus dan berlangsung lama, ruang lingkup dan pergerakan satwaliar akan menjadi sempit.

Dampak fragmentasi pada satwaliar, khususnya spesies adalah : pengurangan jumlah individu, pengurangan ukuran populasi karena individu terbatas pada fragmen kecil, isolasi spasial populasi sisa. Sedangkan dampak genetik dari fragmentasi adalah kehilangan diversitas genetik, perubahan dalam struktur antarpopulasi, peningkatan kawin kerabat (inbreeding). Fragmentasi menyebabkan kepunahan spesies di dalam populasi lokal. Oleh karena itu usaha untuk menjaga atau memulihkan species pada bentang alam (landscape) yang terfragmentasi adalah mengurangi kesempatan untuk kepunahan atau meningkatkan kesempatan untuk rekolonisasi dengan peningkatan dan perluasan habitat populasi lokal (Elisa, 2000).

Faktor Penyebab Konflik

Kementerian Kehutanan (2008) menjelaskan bahwa konflik antara manusia dan satwaliar terjadi akibat sejumlah interaksi negatif baik langsung maupun tidak langsung antara manusia dan satwaliar. Pada kondisi tertentu konflik tersebut dapat merugikan semua pihak yang berkonflik. Konflik yang terjadi cenderung menimbulkan sikap negatif manusia terhadap satwaliar, yaitu berkurangnya apresiasi manusia terhadap satwaliar serta mengakibatkan efek-efek detrimental terhadap upaya konservasi. Kerugian yang umum terjadi akibat konflik diantaranya seperti


(27)

rusaknya tanaman pertanian dan atau perkebunan serta pemangsaan ternak oleh satwaliar, atau bahkan menimbulkan korban jiwa manusia. Disisi lain tidak jarang satwaliar yang berkonflik mengalami kematian akibat berbagai tindakan penanggulangan konflik yang dilakukan. Satwaliar yang sering berkonflik dengan manusia antara lain gajah, harimau, orang utan, buaya, dan lainnya.

Konflik antara manusia dan satwaliar yang terjadi cenderung meningkat akhir-akhir ini. Apapun yang terjadi dan jenis satwaliar apapun yang terlibat, konflik manusia dengan satwaliar merupakan permasalahan kompleks karena bukan hanya berhubungan dengan keselamatan manusia tetapi juga satwa itu sendiri. Konflik yang terjadi seharusnya mendorong pemerintah dan para pihak terkait lebih bijaksana dalam memahami kehidupan satwaliar sehingga tindakan penanganan dan pencegahannya dapat lebih optimal dan berdasarkan akar permasalahan konflik tersebut. Perbaikan habitat alami satwaliar, meminimalisir dan merehabilitasi kerusakan hutan, serta mengontrol pemanfaatan berlebihan jenis flora dan fauna liar merupakan prasyarat utama dalam penanganan konflik manusia dengan satwaliar. Beberapa faktor yang menjadi peneybab terjadinya konflik satwaliar dengan manusia di antaranya adalah :

- Penurunan luas dan kualitas hutan yang drastis - Pemanfaatan hasil hutan yang terlalu berlebihan

- Pembukaan akses terhadap kawasan hutan yang terlalu tinggi - Kebakaran hutan


(28)

Prinsip Penanganan Konflik Orangutan dengan Masyarakat

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwaliar, prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam kegiatan ini adalah :

1) Manusia dan orangutan merupakan bagian kepentingan manusia

Konflik manusia dan orangutan menempatkan kedua pihak pada situasi dirugikan. Dalam memilih solusi alternatif konflik yang akan diterapkan, pertimbangan langkah untuk mengurangi resiko kerugian yang diderita oleh manusia, secara bersamaan harus didasari pertimbangan terbaik untuk kelestarian orangutan yang terlibat konflik. Prinsip ini terutama digunakan pada saat proses evakuasi orangutan dari perkebunan masyarakat. Satu sisi, kerugian dari pihak masyarakat yaitu menganggap orangutan sebagai hama perkebunan dan dari sisi lain kerugian dari pihak orangutan adalah terbatasnya ruang gerak bahkan sampai dengan ancaman terhadap hidup orangutan apabila orangutan diburu oleh masyarakat. Sehingga proses evakuasi merupakan solusi yang dapat mengurangi resiko kerugian terhadap kedua pihak.

2) Spesific Site

Secara umum konflik muncul antara lain karena rusak atau menyempitnya habitat orangutan yang disebabkan aktivitas manusia atau bencana alam. Aktivitas manusia dapat berupa pembangunan di sekitar atau di dalam kawasan hutan atau kegiatan yang bersifat ilegal atau tanpa ijin. Karakteristik habitat, kondisi populasi orangutan, dan faktor ekologi lain menuntut intensitas dan solusi penanganan konflik bervariasi di masing-masing wilayah. Sehingga sangat memungkinkan terjadinya


(29)

pilihan kombinasi solusi untuk masing-masing wilayah konflik. Solusi yang efektif disuatu lokasi, belum tentu dapat diterapkan pada situasi konflik di daerah lain, demikian pula sebaliknya. Prinsip ini digunakan dalam pertimbangan penentuan lokasi reintroduksi atau pelepasliaran. Penilaian terhadap habitat asal serta potensi habitat pada lokasi reintroduksi dilakukan untuk penetapan lokasi pelepasliaran (dengan pilihan : dikembalikan ke habitat asal atau harus dipindahkan ke lokasi lain yang berpotensi sebagai habitat orangutan).

3) Tidak ada solusi tunggal

Konflik manusia dengan orangutan dan tindakan penanggulangannya merupakan sesuatu yang kompleks karena menuntut rangkaian kombinasi berbagai solusi potensial yang tergabung dalam sebuah proses penanggulangan konflik yang menyeluruh. Prinsip ini diterapkan pada saat penentuan mekanisme penanggulangan konflik. Beberapa solusi diusulkan dalam pertemuan teknis dan dibahas tentang kelebihan dan kekurangan dari masing-masing solusi, kemudian ditetapkan satu kombinasi solusi penanggulangan konflik yang efektif dan efisien.

4) Skala habitat

Upaya penanggulangan konflik yang komprehensif harus berdasarkan penilaian yang menyeluruh dari keseluruhan daerah jelajahnya (home range based mitigation). Untuk kasus penanggulangan konflik orangutan dengan manusia, prinsip ini digunakan dalam penilaian calon lokasi introduksi orangutan. Penilaian terhadap komponen habitat dilakukan secara menyeluruh, diantaranya kondisi cuaca, ketersediaan pakan, ketersediaan tempat bersarang, ancaman predator, resiko


(30)

gangguan dari aktivitas manusia serta kapasitas populasi orangutan pada potensi habitat.

5) Tanggungjawab multi pihak

Selain sebagai sebuah isu konservasi, konflik juga mempengaruhi dan memiliki dampak sosial dan ekonomi di daerah konflik. Sehingga penanggulangan konflik manusia dengan orangutan harus melibatkan berbagai pihak yang terkait. Prinsip ini digunakan dalam penentuan personil yang terlibat dalam kegiatan penanggulangan konflik.


(31)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah ladang masyarakat yang berada di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yaitu di Desa Kuta Gajah (Kecamatan Kutambaru) dan Desa Besilam (Kecamatan Padang Tualang), Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Penelitian di lapangan dilaksanakan pada bulan Maret 2013 sampai dengan Bulan April 2013.


(32)

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang diguanakan dalam penelitian ini adalah kamera digital, seperangkat komputer, kalkulator, tabulasi data, tally sheet, kuisioner, alat tulis serta dokumen lain yang bekaitan dengan penelitian.

Metode Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data skunder. Data primer adalah data yang diambil langsung dari objek data, dan data skunder adalah data yang diperoleh dari dokumen atau instansi terkait.

Data primer yang akan dikumpulkan antar lain adalah : jenis tanaman masyarakat yang dirusak oleh orangutan, penanggulangan secara tradisional yang dilakukan masyarakat untuk mengusir orangutan, penanggulangan yang dilakukan oleh instansi pemerintahan dan swasta untuk menangani konflik yang terjadi di desa tersebut, kerugian yang dialami oleh masyarakat setiap tahunnya akibat masuknya orangutan ke ladang milik mereka, serta biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat dalam melakukan pengusiran orangutan.

2. Teknik dan Tahapan Pengambilan Data

Tahapan pengambilan data yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : a. Survey pendahuluan ke lapangan dan penentuan desa konflik.

b. Desa yang akan diteliti adalah desa dengan kriteria : desa yang ladang masyarakatnya sering dimasuki oleh orangutan


(33)

c. Pengumpulan data penduduk dilakukan dengan metode purposive sampling. Menurut singarimbun dan Sovian (1989), purposive sampling adalah metode pengambilan sampel yang bersifat tidak acak, dan sampel dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yaitu masyarakat yang lahannya terlibat konflik dengan satwa liar.

d. Untuk jumlah sampel yang akan diambil menurut Arikunto (1993), jika populasi lebih dari 100 orang maka disarankan untuk mengambil jumlah sampel antara 10 % - 15 %, 20 %- 25 % dari jumlah populasi dan ini telah dianggap representative (Arikunto, 1993 :149). Populasi dalam penelitian ini adalah total jumlah kepala keluarga pada dusun yang mengalami konflik dengan orangutan di Desa Kuta Gajah, Kecamatan Kutambaru dan di Desa Besilam, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat. Jumlah sampel yang dijadikan sebagai responden di Desa Kuta Gajah sebanyak 20 orang dan di Desa Besilam sebanyak 20 orang.

e. Responden kunci (key informan) adalah pejabat instansi terkait, tokoh masyarakat, dan LSM. Responden kunci diambil secara purpossive sampling yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian.

f. Melakukan diskusi terhadap responden kunci untuk mengetahui kondisi umum desa penelitian

g. Wawancara dan diskusi dengan menggunakan kuisioner terhadap para responden penelitian untuk memperoleh data tentang :

- Jenis tanaman yang dirusak oleh orangutan,


(34)

- Biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat, atapun instansi terkait, - Teknik mitigasi konflik yang sudah dilakukan,

- Pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang satwa liar khususnya orangutan serta teknik mitigasinya.

h. Pengolahan data dengan melakukan tabulasi seluruh data, selanjutnya analisis dengan analisis deskriptif.

i. Sedangkan pengolahan data kualitatif dianalisis dengan mendeskripsikan karakteristiknya.

3. Teknik Analisis Data

Besarnya intensitas gangguan satwaliar terhadap komoditas pertanian dilihat dari kerugian secara finansial. Data yang mendukung penaksiran nilai kerugian komoditas pertanian meliputi jumlah kerusakan tanaman, harga jual/kg, dan biaya penanganan yang dikeluarkan petani. Data tersebut diperoleh dari hasil wawancara dengan penduduk yang diambil sebagai responden dan pengamatan langsung di lapangan.

Menghitung rata-rata kerugian ekonomi yang disebabkan oleh konflik satwaliar yang masuk keperladangan masyarakat dapat dihitung dengan rumus:

Rata-rata kerugian/ KK / bulan =

∑ Kerugian satu desa ∑ Responden


(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Jumlah sampel yang diambil dari desa Kuta Gajah sebanyak 20 orang dari total jumlah kepala keluarga yang berada di Dusun I, Desa Kuta Gajah, dan sampel untuk Desa Besilam diambil sebanyak 20 sampel dari total jumlah kepala keluarga yang berada di dusun IX, Desa Besilam dengan kriteria responden yang mengalami gangguan orangutan pada lahan yang diusahakannya. Analisis identitas responden disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik responden

No Karakteristik Dusun I, Desa Kuta Gajah Dusun IX, Desa Besilam Frekuensi (F) Persentase

(%)

Frekuensi (F) Persentase (%) 1. Umur

a. 21- 40 Tahun b. 41- 60 Tahun

15 5 75 25 9 11 45 55

Jumlah 20 100 20 100

2. Jenis kelamin a. Laki-laki b. Perempuan 20 - 100 - 11 9 55 45

Jumlah 20 100 20 100

3. Agama a. Islam b. Kristen 14 6 70 30 20 - 100 -

Jumlah 20 100 20 100

4. Suku a. Karo b. Jawa c. Melayu d. Mandailing 17 2 1 - 85 10 5 - - 3 12 5 - 15 60 25

Jumlah 20 100 20 100

5. Pendidikan terakhir a. SD b. SMP c. SMA 8 2 10 40 10 50 15 4 1 75 20 5

Jumlah 20 100 20 100

6. Status kependudukan a. Penduduk asli b. Pendatang 20 - 100 - 20 - 100 -


(36)

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 1, diketahui bahwa berdasarkan usia responden di Desa Kuta Gajah yang lebih banyak adalah responden yang berusia 21- 41 tahun sebanyak 15 orang (75 %), sedangkan responden di Desa Besilam lebih banyak responden yang berusia 41-60 tahun yaitu sebanyak 11 orang (55%). Perbedaan usia yang terdapat di kedua desa tersebut dikerenakan perbedaan kebudayaan. Di Desa Kuta Gajah banyaknya masyarakat yang berusia produktif untuk mengusahakan ladang mereka karena berdasarkan hasil wawancara dari 20 responden mayoritas suku di desa tersebut adalah suku karo (85%) yang pada saat usia sudah tidak produktif lagi mereka lebih banyak dijadikan petua di disa tersebut dan ladang yang mereka usahakan sebelumnya diberikan kepada anak-anak mereka.

Sebanyak 12 orang responden (60%) masyarakat Desa Besilam bersuku melayu dimana masyarakat desa tersebut lebih banyak responden petani yang berusia sudah tidak produktif. Hal ini disebabkan karena pola hidup sederhana masyarakat melayu yang ada di daerah tersebut dimana mereka hanya mencari nafkah sebatas untuk makan dan kebutuhan primer saja dan lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk beribadah. Di Desa Besilam merupakan desa dengan kebudayaan islam yang masih kental. Usia yang tidak produktif ini mereka habiskan dengan mengerjakan ladang dan jika mereka memiliki anak, anak mereka tersebut lebih banyak yang pergi keluar desa tersebut dan bekerja disana.

Jika dilihat dari karakteristik umur responden yang dijadikan sampel berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan di lapangan oleh peneliti mengenai jenis kelamin di Desa Kuta Gajah sebanyak 20 responden (100%) berjenis kelamin laki-laki, hal ini jelas sangat berbeda dengan Desa Besilam,


(37)

sebanyak 11 responden (55%) berjenis kelamin laki-laki dan 9 orang responden (45%) berjenis kelamin perempuan. Pada Desa Kuta Gajah yang lebih mengetahui keadaan ladangnya kebanyakan adalah berjenis kelamin laki-laki karena anggota keluarga mereka yang perempuan kebanyakan lebih banyak dirumah dari pada pergi keladang, berbeda dengan Desa Besilam dimana yang bekerja diladang dan mengetahui kondisi ladangnya berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Jika ditinjau dari tingkat pendidikan dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan terakhir responden di Desa Kuta Gajah adalah tingkat SMA sebanyak 10 orang (50%) namun responden yang tamat SD sebanyak 8 orang (40%) dari semua jumlah responden yang ada. Di Desa Besilam sebanyak 15 orang responden (75%) hanya tamatan SD, ini membuktikan bahwa masyarakat masih belum sadar akan pentingnya pendidikan dan tingkat pendidikan ini akan sangat berpengaruh terhadap jawaban responden mengenai persepsinya terhadap konflik orangutan.

Semua responden Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam mengaku merupakan penduduk asli yang lahir dan menetap di desa tersebut sehingga mereka memang sudah lama mengetahui keberadaan orangutan di desa mereka. Untuk melihat perbedaan tingkat generasi responden yang tinggal di kedua desa tersebut dapat dilihat pada Tabel.2

Tabel 2. Tingkat generasi responden selama tinggal di desa

No Generasi ke- Desa Kuta Gajah Desa Besilam

Jumlah reponden Persentase (%) Jumlah reponden Persentase (%) 1 2 3 4 I II III IV - 4 10 6 - 20 50 30 0 4 14 2 0 20 70 10


(38)

Dari Tabel 2. Berdasarkan informasi yng di dapatkan dari responden di Desa Besilam bahwa sebanyak 10 orang (50%) resmponden menyatakan bahwa di desa tersebut mereka merupakan generasi ke-3 setelah mendapatkan tanah yang diwariskan dari orangtua mereka terdahulu. Tanah yang dimiliki masyarakat Desa Kuta Gajah kebanyakan merupakan tanah ulayat yang diturunkan secara garis keturunan, hal ini dapat dilihat dengan banyaknya masyarakat di desa tersebut yang tidak memiliki bukti kepemilikan lahan dengan akta camat. Untuk Desa Besilam sebanyak 14 orang responden (70%) mereka tinggal di desa tersebut merupakan keturunan ke 3. Meskipun mereka merupakan masyarakat asli desa tersebut namun sebanyak 8 orang (40%) yang tidak memiliki ladang sendiri dan mengerjakan ladang orang lain.

Gambar 2. Bukti kepemilikan lahan di Desa Kuta Gajah (A), Bukti

kepemilikan lahan di Desa Besilam (B)

Dari Gambar 2. dapat dilihat bahwa di Desa Kuta Gajah sebanyak 19 orang responden (95 %) pemilik lahan pribadi yang tidak memiliki sertifikat camat, mereka hanya memiliki surat izin garap yang dikeluarkan oleh kepala desa. Didesa Besilam sebanyak 10 orang responden (50%) mengatakan bahwa lahan yang diusahakannya


(39)

merupakan lahan milik orang lain dimana mereka semua tidak mengetahui bukti kepemilikan lahan yang mereka usahakan dengan alasan lahan tersebut bukan milik mereka. Hanya ada 2 orang responden (10%) tanahnya yang bersertifikat camat, sisanya sebanyak 8 orang responden (40%) pemilik lahan pribadi mengaku mereka tidak memiliki sertifikat camat dan hanya memiliki surat izin garap dari kepala desa dengan alasan mahalnya pembuatan sertifikat tersebut. Ini sungguh sangat menghawatirkan karena masyarakat belum sadar akan pentingnya kelegalan sebuah kepemilikan tanah. Dengan adanya surat kepemilikan yang sah mereka bisa memiliki tanah yang mereka tinggali dengan utuh dan dilindungi oleh undang-undang. Tetapi, apabila mereka tidak memiliki surat kepemilikan yang sah sewaktu-waktu tanah mereka bisa menjadi masalah bagi mereka sendiri.

Gambar 3. Histogram jumlah responden berdasarkan luas lahan yang diusahakan

Dari Gambar 3. dapat dilihat bahwa sebanyak 18 orang responden (90 %) masyarakat Desa Besilam yang hanya mengusahakan ladang seluas 0-2 Ha. Hal ini


(40)

sebanding dengan tingkat pendapatan masyarakat Desa Besilam yang ada beberapa responden menyatakan bahwa penghasilan mereka hanya 300 ribu rupiah. Meskipun lahan yang diusahakan mereka seluas 2 Ha kebanyakan dari masyarakat Desa Besilam (50%) mengusahakan lahan milik orang lain, hal ini sangat jauh jika dilihat dari penghasilan yang dimiliki masyarakat Desa Kuta Gajah yang berpenghasilan lebih dari satu juta perbulan (lihat Lampiran 11. Data diri).

Gambar 4. Histogram jumlah responden berdasarkan tingkat tingkat penghasilan perbulan

Jika dilihat dari Gambar 4. di Desa Besilam sekitar 70% masyarakatnya berpenghasilan Rp 100.000,00 sampai dengan 1 juta rupiah, sedangkan di Desa Kuta Gajah tidak ada satupun responden yang mempunyai penghasilan dibawah 1 juta. Tingkat penghasilan ini dipengaruhi oleh faktor usia dimana Di Desa Besilam lebih banyak respondennya yang berusia 41-60 tahun (55%) dimana pada usia ini merupakan usia yang sudah kurang produktif dan berbeda dengan Desa Kuta Gajah


(41)

sebanyak 15 orang 75% responden masih berusia produktif (21-41 tahun) sehingga penghasilan mereka lebih tinggi di bandingkan dengan pendapatan masyarakat Desa Besilam.

Karakteristik Lahan Konflik

Dari hasil wawancara dengan masyarakat Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam diketahui bahwa kedua desa tersebut sama-sama terdapat gangguan dari orangutan. Namun terdapat perbedaan gangguan yang sangat jelas antara Desa Kuta gajah dan Desa besilam karena perbedaan karakteristik lahan konflik di kedua desa tersebut. Perbedaan karakteristik lahan pada Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbedaan karakteristik lahan Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam

No Karakteristik Desa Kuta Gajah Desa Besilam 1. Jarak lahan dari

TNGL

Berbatasan langsung sampai dengan 2 Km

30 Km kearah barat 2. Waktu terjadinya

konflik di ladang

Saat musim buah Satu kali setiap minggu 3. Jenis tanaman yang

diganggu

Tanaman durian, mangga dan cempedak

Tanaman sawit dan karet 4. Penyebab orangutan

mengganggu

Karena orangutan menyukai buah-buahan sehingga orangutan keluar dari TNGL

Orangutan terisolasi dilahan milik masyarakat seluas 25 Ha yang dulunya merupakan satu kesatuan hutan dengan TNGL 5. Orangutan

mengganggu sejak

Sejak dulu, setiap tanaman berbuah

Sejak dua tahun terakhir untuk tanaman sawit

Kawasan konflik antara petani dengan orangutan yang dialami oleh masyarakat Desa Kuta Gajah kawasan yang berbatasan langsung dengan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser. Seidensticker (1984) menyatakan bahwa gangguan satwaliar banyak terjadi di desa-desa, pemukiman penduduk, atau tanaman


(42)

perkebunan yang lokasinya berdekatan/ berbatasan langsung dengan cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional atau habitat-habitat lainnya.

Orangutan mengganggu tanaman masyarakat Desa Kuta Gajah sudah sejak masyarakat membuka ladang di desa tersebu sekitar tahun 1940-an, karena orangutan memang menyukai buah yang mereka tanam.Orangutan selalu masuk ke lahan perkebunan milik masyarakat pada saat musim buah seperti buah durian, mangga atau cempedak yang biasanya berlangsung selama 3 bulan. Sementara itu untuk Desa Besilam orangutan baru mengganggu tanaman sawit sejak dua tahun terakhir disebabkan karena di desa tersebut sangat jarang ditanam tanaman buah-buahan. Berdasarkan informasi warga bahwa dulunya orangutan tersebut memakan buah tukas yang tumbuh liar di sekitar desa mereka. Namun keberadaan pohon tersebut kini telah habis sehingga mendorong orangutan untuk mencari alternatif makanan lain.

Untuk lokasi yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL di Desa Kuta Gajah hubungan jarak dengan ada tidaknya gangguan orangutan di ladang masyarakat dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hubungan jarak dari TNGL dengan ada atau tidaknya gangguan orangutan

No Jarak dari TNGL Desa Besilam Desa Kuta Gajah

AG % TG % AG % TG %

1 Berbatasan langsung 8 40 1 5 0 0 0 0

2 50 m – 500 m 4 20 1 5 0 0 0 0

3 500 m – 1000 m 2 10 3 15 0 0 0 0

4 >1000 m 1 5 0 0 13 65 7 35

Total 15 75 5 25 20 65 7 35

Keterangan : AG : Ada gangguan TG : Tidak Ada Gangguan


(43)

Dari data di atas dapat dilihat bahwa dari 9 orang responden (45%) yang lahannya berbatasan langsung dengan TNGL hanya satu orang (5 %) yang mengatakan bahwa lahannya tidak diganggu oleh orangutan karena orang tersebut tidak menanam jenis buah-buahan di ladang miliknya. Dari 5 orang responden (25%) pemilik lahan yang berjarak 50 m – 100 m ada 4 orang (20 %) yang lahannya di ganggu dan 1 orang (5%) lahannya tidak diganggu. Sementara untuk 5 orang responden (25 %) responden yang lahannya berjarak 500 m - 1000 m terdapat sebanyak 2 orang (10%) yang lahannya diganggu dan 3 orang (15%) menyatakan lahannya tidak diganggu oleh orangutan. Orangutan juga masuk dan merusak panen buah milik 1 (5%) orang responden yang ladangya berada sekitar 2000 m dari TNGL. Di Desa Besilam, dari seluruh responden 13 orang responden (65%) mengatakan bahwa ladang mereka diganggu orangutan dan 7 orang (35%) mengatakan tidak ada gangguan orangutan diladang mereka. Adanya gangguan yang terjadi di Desa Besilam yang rata-rata berjarak 30 Km dari Taman Nasional Gunung Leuser disebabkan karena orangutan tersebut terisolasi dan menetap diladang ladang milik masyarakat. Ditemukannya kasus yang berbeda dengan jarak lokasi konflik dengan taman nasional yang berbeda menunjukkan bahwa konflik orangutan tidak hanya terjadi di sekitar Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser tetapi masih ada konflik orangutan yang berhubungan dengan masalah fragmentasi lahan. Untuk melihat lokasi konflik orangutan yang menjadi lokasi penelitian berikut merupakan sketsa lokasi Desa Kuta Gajah dengan Desa Besilam dilihat dari letaknya dari Taman Nasional Gunung Leuser.


(44)

Gangguan Satwaliar

Dari hasil wawancara dengan masyarakat di Desa Kuta Gajah semua responden menyatakan bahwa 7 species satwaliar dianggap menjadi masalah di kebun mereka. Satwaliar yang dianggap paling bermasalah adalah satwa primata (76%), yaitu kera ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestrina), kedih (Presbytis thomasi) dan orangutan (Pongo abelii), dan diikuti oleh babi hutan (Sus scrofa) (12%), rusa (Cervus unicolor). (10%) dan landak (Hystrix javanicus) (3%). Sekitar 15 dari 20 orang petani yang menyatakan bermasalah dengan orangutan, 75 % petani ini menganggap kebanyakan orangutan merusak buah durian, buah mangga dan buah cempedak.

Berbeda dengan Desa Kuta Gajah, jenis satwaliar yang merusak kebun milik warga di Desa Besilam hanya ada 3 species dianggap menjadi masalah di kebun milik mereka. Dari ketiga jenis satwaliar tersebut semuanya merupakan jenis satwa primata yaitu kera ekor panjang (Macaca fascicularis), kedih (Presbytis thomasi) dan orangutan (Pongo abelii). Satwaliar yang dianggap paling bermasalah adalah beruk (Macaca nemestrina) dan orangutan (Pongo abelii) dengan persentasi yang sama yaitu sebesar 36 % dari total gangguan dan kemudian monyet kedih (28 %). Sebanyak 13 responden di desa ini mengganggap bahwa orangutan merusak jenis tanaman sawit dengan cara mengoyak pucuk daun muda kelapa sawit (umbut) dan juga mematahkan ranting karet untuk membuat sarang. Jenis satwaliar pengganggu tanaman di Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam berdasarkan peringkat gangguan terbanyak dapat dilihat pada Tabel 5. berikut :


(45)

Tabel 5. Peringkat gangguan oleh satwaliar pengganggu tanaman berdasarkan wawancara

No Jenis satwa Nama latin Desa Kuta Gajah Desa Besilam n % Rank n % Rank 1 Babi hutan Sus scrofa 8/20 40 4 0/20 0 - 2 Kera ekor panjang Macaca fascicularis 13/20 65 3 13/20 65 1 3 Beruk Macaca nemestrina 3/20 15 6 0/20 0 - 4 Kedih Presbytis thomasi 19/20 95 1 10/20 50 2 5 Orangutan Pongo abelii 15/20 75 2 13/20 65 1 6 Rusa Cervus unicolor 6/20 30 5 0/20 0 - 7 Landak Hystrix javanicus 2/20 10 7 0/20 0 -

Keterangan : * Jawaban boleh lebih dari satu

Dari data dapat dilihat bahwa di Desa Kuta Gajah ranking hewan yang dianggap mengganggu : (1) kedih (Presbytis thomasi), (2) orangutan (Pongo abelii) (3). kera ekor panjang (Macaca fascicularis), (4) babi hutan (Sus scrofa), (5) rusa (Cervus unicolor), (6) beruk (Macaca nemestrina) dan landak (Hystrix javanicus). Pada Desa Besilam jenis satwaliar pengganggu di urutan pertama yaitu jenis kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan orangutan (Pongo abelii), sementara ranking

kedua yang dianggap masyarakat sebagai pengganggu yaitu kedih (Presbytis thomasi).

Keberadaan kera ekor panjang sangatlah mengganggu tanaman masyarakat di Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam. Hewan ini dianggap sebagai hewan yang menjadi hama di perkebunan mereka. Menurut Medway (1978) kera ekor panjang (Macaca fascicularis) termasuk jenis primata yang mudah beradaptasi dengan lingkungannya oleh karena itu jenis satwa ini dapat dijumpai di berbagai tipe habitat mulai dari hutan alam hingga hutan sekunder bahkan dapat ditemukan juga di pinggir ladang ataupun perkebunan. Seiring dengan semakin sempitnya kawasan hutan, peranan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) bukan lagi sebagai penyeimbang


(46)

ekosistem tetapi justru sebagai musuh petani dan dapat menjadi sumber hama dipersawahan dan di perkebunan.

Deskripsi Gangguan Satwaliar

Setiap jenis satwa membuat jenis gangguan yang berbeda pada jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat. Gangguan yang berbeda tersebut terkadang juga di sebabkan oleh hewan yang sama dengan kondisi dan lokasi yang berbeda. Jenis kerusakan berbeda tergantung dengan jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat di sekitar habitat satwaliar tersebut. Pada Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam terdapat beberapa jenis perbedaan gangguan tanaman yang disebabkan oleh satwaliar. Kerusakan bagian tanaman yang disebabkan oleh satwaliar di Desa Kuta Gajah akan dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Jenis gangguan yang disebabkan satwaliar di lahan masyarakat Desa Kuta Gajah

No Jenis hewan Jenis tanaman

yang dirusak

Jenis gangguan

Tanaman muda Tanaman dewasa Pucuk Akar Batang Pucuk Kulit Buah Ranting

1 Babi hutan Karet -   - - - -

2 Kera ekor panjang Karet  - -  - - -

3 Beruk Karet - - -  - - -

4 Kedih Karet  - -  - - -

5 Orangutan Durian Cempedak Mangga - - - - - - - - - - - - - -     _ _

6 Rusa Karet - - - - 

7 Landak Karet  - - - - -

Keterangan : Tanaman muda : - usia tanaman 0 - 10 tahun Tanaman dewasa : - usia tanaman > 10 tahun

Pada Desa Besilam karena jaraknya yang jauh dari TNGL jenis satwaliar yang merusak tidak sebanyak jenis satwaliar yang merusak ladang masyarakat desa Kuta


(47)

Gajah. Kerusakan bagian tanaman yang disebabkan oleh satwaliar di Desa Kuta Gajah akan dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Jenis gangguan yang disebabkan satwaliar di lahan masyarakat Desa Besilam

No Jenis Hewan Jenis tanaman

yang dirusak

Jenis gangguan

Tanaman muda Tanaman dewasa Pucuk Akar Batang Pucuk Kulit Buah Ranting

1 Kera ekor panjang Karet  - -  - - -

2 Kedih Karet  - -  - - -

3 Orangutan Sawit Karet

- - -

- -

 - - - - -

Keterangan : Tanaman muda : - karet usia tanaman 0 - 9 tahun - sawit usia tanaman 0 - 6 tahun Tanaman dewasa : - karet usia tanaman >10 tahun

- karet usia tanaman > 7 tahun

Keberadaan babi hutan (Sus scrofa) di kebun karet milik Warga Desa Kuta Gajah sebagai hama cukup meresahkan. Babi hutan (Sus scrofa) ini masuk ke lahan milik masyarakat pada malam hari dan mencabut tanaman karet milik mereka yang baru saja mereka tanam. Bagian tanaman yang dirusak babi hutan berdasarkan informasi warga yaitu bagian akar dan batang tanaman karet yang masih muda. Menurut Bailey (2000) babi hutan (Sus scrofa) hidup di berbagai kondisi lingkungan yang beragam di kepulauan Indonesia, yaitu di hutan hujan, rawa, padang rumput, dan area pertanian. Pada umumnya babi hutan termasuk hewan nocturnal, yaitu hewan yang mencari makan pada malam hari, makanan dari babi hutan itu sendiri adalah akar-akaran, buah-buahan yang jatuh, dedaunan, pucuk daun muda dan kadang-kadang memakan tanah. Tingginya tingkat degradasi dan deforestasi hutan serta fragmentasi habitat merupakan ancaman bagi populasi babi hutan. Selain terancam karena semakin tingginya tingkat kerusakan hutan, babi hutan juga sangat


(48)

rawan terhadap perburuan maupun diburu karena dianggap sebagai hama perusak lahan pertanian.

Kerusakan yang disebabkan oleh kera ekor panjang di kedua desa baik di Desa Kuta Gajah maupun Desa Besilam berupa kerusakan daun muda tanaman karet. Kera ekor panjang bukan hanya memakan daun muda pada saat tanaman baru ditanam, tetapi juga memakan pucuk daun tanaman karet hingga tanaman tersebut tua. Kera ekor panjang kerap kali memanjat dan bertengger di ranting karet, memakan dedaunan muda dan juga mematahkan ranting pohon sehingga tanaman tersebut menjadi rusak dan mengurangi hasil produksinya. Selain itu kera ekor panjang dan babi hutan juga sering menjatuhkan hasil karet yang ada di dalam tempurung. Gangguan tersebut akan berkurang bila petani terus menjaga dan mengawasi ladangnya setiap hari agar gangguan dari satwaliar tersebut dapat berkurang.

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles) merupakan salah satu jenis satwa pemakan buah (frugivorous). Penggolongan ini didasarkan pada banyaknya bagian tumbuhan yang dimakan oleh kera ekor panjang tersebut. Namun demikian, hasil penelitian Sugiharto (1992) menunjukkan bahwa komposisi bagian vegetasi yang dimakan oleh kera ekor panjang terdiri atas : bagian daun sebanyak 49,93%, buah 38,54%, bunga 6,60% dan lain-lain sebanyak 5,94%.

Adanya permasalahan gangguan kera ekor panjang diduga karena kawasan hutan di sekitar ladang masyarakat telah mengalami kerusakan habitat akibat perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Menurut Sugiharto (1992) perubahan lingkungan sering mengarah kerusakan lingkungan sebagai akibat


(49)

penduduk telah mengeksploitasi lingkungan pada tingkat melebihi daya dukung lingkungan tersebut sehingga akibatnya dapat menarik populasi kera ekor panjang (M. fascicularis) untuk menggunakan lahan hutan tersebut sebagai habitatnya. Di samping sebagai pengganggu, kera ekor panjang ini mempunyai potensi untuk dimanfaatkan, tetapi hingga saat ini apa yang dirasakan penduduk terhadap keberadaan kera ekor panjang ini lebih sebagai gangguan dari pada potensi yang biasa dimanfaatkan. Salah satu potensi kera ekor panjang ini dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik dari suatu objek wisata, sehingga dapat menarik perhatian para pengunjung dalam suatu kawasan wisata.

Berdasarkan hasil wawancara, kerusakan yang disebabkan oleh orangutan pada Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam menunjukkan perbedaan jenis tanaman yang dirusak dan perbedaan jenis kerusakan. Di Desa Kuta Gajah orangutan mengganggu tanaman buah durian, mangga dan cempedak milik warga. Kerusakan yang disebabkan orangutan di Desa Kuta Gajah juga disebabkan karena kegiatan orangutan yang memakan buah dan bersarang dengan cara mematahkan ranting dengan lama bersarang 2 sampai 4 hari, dengan jumlah orangutan yang masuk rata-rata 2 ekor untuk setiap ladang dan hal ini tergantung dari jumlah pohon durian yang berbuah di ladang mereka. Orangutan yang masuk dan bersarang dengan jumlah orangutan hanya satu orangutan setiap pohonnya. Ranting-ranting yang dipatahkan tersebut lama kelamaan akan mengurangi produktivitas buah yang mereka tanam setiap tahunnya. Untuk jenis tanaman yang dirusak di Desa Besilam merupakan jenis tanaman karet dan sawit. Pada tanaman karet orangutan membuat sarang dengan cara mematahkan rantingnya, sementara pada tanaman sawit kerusakan yang dibuat adalah


(50)

dengan merusak pucuk daun sawit (umbut sawit) baik tanaman sawit yang masih muda ataupun tanaman yang sudah dewasa. Berbeda dengan di Desa Kuta Gajah orangutan bersarang di pohon karet selama 1 hari dengan jumlah orangutan sebanyak 1 ekor untuk setiap pohonnya dengan jumlah orangutan yang masuk sekitar 1 sampai 3 ekor.

A B

Gambar 5. Sarang yang dibuat pada pohon durian masyarakat (A), Pohon sawit yang dirusak bagian pucuknya oleh orangutan (B)

Kerusakan Habitat di Desa Besilam merupakan faktor pemicu konflik masyarakat desa tersebut dengan orangutan. Orangutan yang kehabisan bahan makanan kemudian memakan umbut sawit sebagai makan utamanya. Orangutan ini diduga terisolasi dilahan perkebuanan masyarakat dan tidak bisa keluar sehingga menganggap lahan karet milik masyarakat merupakan habitatnya. Keadaan ini lama kelamaan akan memicu terjadinya konflik dan akan mengancam keberadaan orangutan tersebut jika orangutan tersebut dibiarkan tinggal dilahan karet milik masyarakat.


(51)

Gambar 6. Kerusakan lahan yang terus meningkat di Desa Besilam

Faktor Penyebab Konflik Orangutan

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam diperoleh data tentang faktor penyebab konflik satwa liar dengan masyarakat di kedua desa tersebut. Faktor penyebab konflik menurut responden karena kerusakan habitat akibat perambahan hutan dan tingkat kesukaan satwaliar terhadap jenis tanaman yang ditanam petani. Data faktor penyebab konflik tersebut disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Faktor penyebab konflik orangutan menurut persepsi masyarakat

Faktor penyebab konflik

Desa

Kuta Gajah Besilam

∑ Responden Persentase (%) ∑ Responden Persentase (%) - Kerusakan habitat akibat perambahan

hutan 6 30% 20 0%

- Tingkat kesukaan satwaliar terhadap

jenis tanaman 14 70% 0 0%

Total 20 100% 20 100%

1. Kerusakan Habitat Akibat Perambahan Hutan

Sebanyak 6 (30%) dari 20 responden yang diwawancarai di Desa Kuta Gajah menyatakan bahwa faktor penyebab konflik antara masyarakat dengan orangutan


(52)

disebabkan karena kerusakan habitat orangutan akibat perambahan hutan. Dari hasil pengamatan di lapangan khususnya untuk Desa Kuta Gajah yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL, sebagian sudah ada yang rusak akibat perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat yang sering menebang kayu di sekitar hutan. Menurut Alikodra (2010) peran manusia dalam masalah gangguan satwaliar salah satunya adalah mereka merusak/ mengganggu habitat-habitat alam satwaliar yang ada di cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional atau mempersempit habitat-habitat khusus lainnya. Keadaan ini dapat menyebabkan kemerosotan daya dukung habitat-habitat berbagai jenis satwaliar. Jika tidak dilakukan pengelolaan intensif akan menyebabkan keluarnya mereka dari daerah-daerah perlindungan (suaka) menuju ke daerah budidaya untuk mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat menyebutnya sebagai gangguan satwaliar. Satwaliar pada umumnya jarang menetap disuatu tempat yang terbatas, hidupnya selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ketempat lainnya untuk mendapatkan makanan. Jika ketersediaan makanan dalam habitat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhannya maka satwaliar akan bergerak mencari makan di daerah lain di sekitar habitatnya. Kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik dengan lokasi sekitar habitat. Pengamatan yang dilakukan di Desa Besilam, sebanyak 20 (100%) dari 20 responden yang diwawancarai juga menyatakan bahwa faktor penyebab konflik karena kerusakan habitat orangutan akibat perambahan hutan. Berdasarkan informasi masyarakat orangutan yang berada di lahan milik masyarakat memang sudah ada sejak dulu karena daerah ini dulunya memang merupakan satu kesatuan hutan dengan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser, namun pertumbuhan manusia yang


(53)

mengubah fungsi lahan menjadi lahan pertanian dan permukiman semakin mendesak kehidupan orangutan dan mengakibatkan orangutan sampai sekarang tinggal di lahan perkebunan karet masyarakat yang kira-kira hanya seluas 25 Ha. Luasan ini sangat tidak mendukung kehidupan orangutan karena di beberapa daerah, satu individu jantan dewasa bisa menggunakan wilayah jelajah seluas 100 km2 atau lebih (Singleton et al., 2009).

Adanya pengembangan budidaya manusia, baik dibidang pertanian, perkebunan maupun kehutanan yang membuka hutan habitat orangutan akan memicu timbulnya konflik antara manusia dengan orangutan. Alikodra (1998) menyatakan bahwa setiap spesies satwaliar mempunyai daerah jelajah dan teritori. Jika daerah jelajah dan teritori ini terpotong oleh kegiatan manusia, mereka akan tetap menganggap bahwa daerah yang dibuka manusia merupakan bagian dari daerah jelajah dan teritorinya karena mereka tidak punya alternatif lain. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya bentrokan kepentingan antar manusia dengan orangutan. dimana manusia merasa terganggu dengan keberadaan orangutan di lahan milik mereka dan orangutan menganggap lahan tersebut sebagai wilayah teritorinya


(54)

2. Tingkat Kesukaan Orangutan Terhadap Jenis Tanaman

Tingkat kesukaan (palatability) satwaliar terhadap suatu jenis tanaman merupakan salah satu faktor yang menyebabkan konflik satwaliar dengan petani. Pakan mempunyai peran yang sangat penting karena konsumsi makanan merupakan

faktor esensial yang menjadi dasar untuk hidup dan menentukan produksi (Parakkasi, 1999), akan tetapi tidak semua zat makanan dapat diserap dan dicerna

oleh alat pencernaan satwaliar, kemampuan satwaliar dalam mencerna bahan pakan juga dapat digunakan untuk menentukan kualitas bahan pakan tersebut bagi satwaliar.

Sebanyak 14 (70%) dari 20 responden yang diwawancarai di Desa Kuta Gajah menyatakan bahwa faktor penyebab konflik antara masyarakat dengan orangutan disebabkan karena tingkat kesukaan satwaliar terhadap jenis tanaman yang ditanam petani. Orangutan di Desa Kuta Gajah masuk ke lahan milik masyarakat hanya pada saat musim berbuah yaitu pada saat musim buah durian, mangga dan cempedak Selain orangutan beberapa jenis, sementara di Desa Besilam tidak ada satupun responden atau 0 % responden yang menyatakan bahwa penyebab konflik adalah karena tingkat kesukaan orangutan dengan makanan karena di Desa Besilam orangutan hanya memakan pucuk daun kelapa sawit yang masih muda (umbut sawit). Selain orangutan terdapat beberapa jenis satwaliar yang juga mengganggu tanaman yang ditanam oleh petani di kedua desa tersebut.


(55)

Gambar 8. Histogram jumlah ladang yang dirusak satwaliar di Desa Kuta Gajah Berdasarkan histogram jumlah ladang karet di Desa Kuta Gajah yang dirusak oleh rusa sebanyak 6 responden dari 20 responden yang memiliki kebun karet. Kera ekor panjang merusak kebun karet milik 13 responden, dan merusak kebun sawit milik 1 responden. Kerusakan yang disebabkan oleh beruk adalah kerusakan yang terjadi pada lahan karet milik 3 responden. Berdasarkan informasi kerusakan terparah disebabkan oleh kedih dimana 19 responden mengaku kebun karet miliknya pernah dirusak oleh kedih. Landak dan babi hutan juga merupakan hewan yang merusak tanaman karet warga dengan kerusakan yang terjadi disebabkan oleh babi hutan sebanyak 8 responden dan hanya 2 responden yang mengatakan bahwa kebunnya dirusak oleh landak.

Sebanyak 15 orang dari 20 orang responden (75%) mengaku ladang mereka pernah dimasuki orangutan. Orangutan tersebut merusak panen durian milik 14 responden dari 15 responden pemilik pohon durian dimana satu orang mengaku orangutan yang masuk keladangnya hanya mematahkan ranting tanaman durian


(56)

miliknya dan bersarang di pohon tersebut ketika musim durian milik tetangganya tiba. Perusakan yang dilakukan oleh orangutan juga terjadi di ladang masyarakat ketika musim cempedak milik 1 orang responden dari 1 orang pemilik pohon cempedak dan juga merusak tanaman 3 responden pemilik mangga dari 3 orang yang memiliki pohon mangga.

Gambar 9. Sisa kulit durian yang dirusak orangutan

Kera ekor panjang juga menyenangi tanaman karet yaitu pada bagian batang dan daun yang masih muda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Poniran (1974), bahwa satwaliar menyukai daun muda atau pucuk-pucuk pohon karena mempunyai palatabilitas yang tinggi, mempunyai nilai gizi yang tinggi dan mudah dicerna dibandingkan dengan kulit batang dan akar. Walaupun kera ekor panjang menyukai tanaman karet untuk dimakan daun muda atau pucuknya, namun kera ekor panjang tersebut tidak menyebabkan kerusakan yang berat yaitu pohon tersebut menjadi mati.

Di Desa Besilam kerusakan tanaman karet disebabkan oleh beruk, kedih dan orangutan. Dari data yang didapat dilapangan dengan mewawancarai 20 orang responden, 17 orang responden mengaku mengusahakan tanaman karet pada lahan


(57)

yang mereka usahakan. Kedih merusak milik 10 orang responden dan orangutan merusak ladang milik 13 orang responden. Kerusakan lain yang juga dirasakan masyarakat desa besilam yaitu kerusakan tanaman sawit yang disebabkan oleh kedih yang dirasakan 1 orang responden dan 10 responden dari 10 orang pemilik kebun sawit.

Gambar 10. Histogram jumlah ladang yang dirusak satwaliar di Desa Besilam

Penanganan Konflik Orangutan oleh Masyarakat

Dalam buku manual pelatihan pengelolaan sumber daya alam yang disusun oleh TIM PNPM (2010) orangutan sering dianggap sebagai hama ketika musim buah tiba. Habitat orangutan yang menipis menyebabkan mereka harus mencari sumber pakan di luar hutan. Sering kali orangutan mendatangi pohon-pohon buah masyarakat yang berada di sekitar hutan sehingga masyarakat marah dan orangutan menjadi korban kemarahan. Kebutuhan mitigasi sangat diperlukan untuk mengurangi konflik dengan orangutan. Hal yang bisa dilakukan untuk mengatasinya dengan cara berpatroli di daerah konflik setiap pagi (dari subuh), siang dan sore hari. Dapat pula dilakukan penghalauan secara langsung oleh petugas patroli.


(58)

Tim patroli bisa berasal dari gabungan masyarakat dan pihak Balai KSDA atau Taman Nasional. Membuat bunyi-bunyian dengan menggunakan suara-suara gaduh bisa mengusir keberadaan orangutan tanpa harus melukainya. Peran serta masyarakat dalam penanganan konflik satwaliar dengan manusia sangat dibutuhkan guna mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan dari kejadian konflik itu sendiri. Namun apabila peran serta masyarakat tidak terorganisir dan tidak mengikuti prosedur penanganan yang baik justru akan berdampak kepada kerugian yang lebih luas. Dalam upaya penanggulangan konflik harus memperhatikan sejumlah hal, yang paling utama adalah penyelesaian konflik harus berpandangan bahwa manusia dan satwaliar sama-sama penting. Untuk menekan terjadinya konflik ataupun mengurangi kerugian, perlu adanya penyamaan persepsi tentang konservasi satwaliar dan keinginan kuat untuk selalu memasukkan kebutuhan ruang dan pakan satwaliar kedalam perencanaan pembangunan.

Jika ditinjau dari keterangan masyarakat di Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam, penanganan konflik yang dilakukan selama ini memang belum ditemukan cara paling efektif karena orangutan akan masuk setiap tahunnya ke ladang milik masyarakat, khususnya ke ladang masyarakat di Desa Kuta Gajah. Di Desa Besilam dalam satu minggu masyarakat mengaku orangutan tersebut masuk sebanyak 1 kali ke lahan pertanian mereka dan membuat sarang di kebun karet milik mereka sebanyak 1 sarang. Berdasarkan informasi masyarakat tidak pernah mengeluarkan biaya sediktpun pada saat melakukan pengusiran orangutan yang masuk ke lahan milik mereka kalaupun ada hanya sekitar Rp 1000,00.


(59)

Penanganan konflik orangutan dengan masyarakat di lapangan, biasanya ketika orangutan masuk ke perladangan masyarakat, suatu cara yang selama ini dilakukan adalah dengan cara mengusir mereka. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan masyarakat dari kedua desa ini, usaha antisipasi untuk menghalau kehadiran orangutan di areal perladangan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat di kedua desa yaitu dengan cara membunyikan mercon, membuat sorakan, menjaga, melempar dan membiarkan saja. Untuk Desa Kuta Gajah masyarakat yang sudah merasa tidak mampu menghalau orangutan melaporkan ke satgas dan menyerahkan sepenuhnya penanganan kepada satgas. Adapun teknik penanganan yang dilakukan masyarakat untuk mengusir orangutan yang masuk ke ladang dapat dilihat pada Tabel 9. berikut :

Tabel 9. Teknik penanganan konflik orangutan yang dilakukan masyarakat (n=20)

Desa Jumlah

Teknik penanganan

Mercon Sorakan Tembak Jaga Lempar Dibiarkan Melapor

ke satgas Total Kuta

Gajah

-F 1 15 - 6 1 6 6 35

-P (%) 3 43 - 17 3 17 17 100

Besilam

-F - 5 - - - 20 - 25

-F

-P (%) - 20 - - - 80 - 100

Keterangan : F = Frekuensi P = Persen

Tabel 9. diatas diketahui teknik penanganan yang paling sering digunakan masyarakat Desa Kuta Gajah adalah dengan cara melakukan sorakan terhadap orangutan yang masuk. Sedangkan di Desa Besilam teknik penanganan yang paling sering digunakan masyarakat adalah dengan membiarkan saja orangutan tersebut masuk dan membuat sarang di pohon karet milik mereka. Adapun teknik lain yang


(1)

Lampiran 10. Jenis kerusakan tanaman akibat satwa liar Di Desa Besilam

No Nama Jenis Tanaman

Yang Ditanam

Jumlah Tanaman Yang Ditanam

Usia Tanaman Jenis Satwa Yang

Merusak Lahan Kerusakan Yang Disebabkan Satwaliar

1 Rafa

Sawit 10 Batang 18 Tahun Orangutan Memakan Daun Sawit Yang Masih Muda

Karet 400 Batang 15 Tahun

Orangutan Monyet Kedih Monyet Beruk

Mematahkan Pucuk Daun Untuk bersarang Memakan pucuk Daun Karet yang Masih Muda Memakan pucuk Daun Karet yang Masih Muda

2 Farida Hanim

Sawit 2 Batang 15 Tahun Orangutan Memakan Daun Sawit Yang Masih Muda

Karet 200 Batang 12 Tahun

Orangutan Mematahkan Pucuk Daun Untuk bersarang Monyet Kedih Memakan pucuk Daun Karet yang Masih Muda Monyet Beruk Memakan pucuk Daun Karet yang Masih Muda 3 Asnawi Karet 400 Batang 15 Tahun Monyet Beruk Memakan pucuk Daun Karet yang Masih Muda

4 Rajali

Sawit 300 Batang 16 Tahun Orangutan Memakan Pucuk Daun Sawit yang Masih Muda Karet 500 Batang 12 Tahun Monyet Kedih Memakan pucuk Daun Karet yang Masih Muda

Orangutan Mematahkan Pucuk Daun Untuk bersarang 5 Ngatini Sawit 100 Batang 8 Tahun Orangutan Memakan Pucuk Daun Sawit yang Masih Muda 6 Kholdun Karet 200 Batang 25 Tahun Monyet Beruk Memakan Pucuk Daun Karet yang Masih

Muda

7 Azizah

Sawit 5 Batang 14 Tahun Orangutan Memakan Pucuk Daun Sawit yang Masih Muda

Karet 400 Batang 10 Tahun

Monyet Kedih Memakan Pucuk Daun Karet yang Masih Muda Orangutan Mematahkan Pucuk Daun Untuk bersarang Monyet Beruk Memakan Pucuk Daun Karet yang Masih Muda 8 Waginem Karet 400 Batang 15 Tahun Orangutan Mematahkan Pucuk Daun Untuk bersarang

Monyet Beruk Memakan Pucuk Daun Karet yang Masih Muda 9 Ibnu


(2)

Sambungan Lampiran 10. Jenis kerusakan tanaman akibat satwa liar Di Desa Besilam

No Nama

Jenis Tanaman Yang Ditanam

Jumlah Tanaman Yang Ditanam

Usia

Tanaman Jenis Satwa Yang

Merusak Lahan Kerusakan Yang Disebabkan Satwa liar 9 Ibnu hasim karet 500 batang 10 tahun Monyet Beruk Memakan pucuk Daun Karet yang Masih Muda 10 Sutrisno Sawit 280 Batang 10 Tahun Orangutan Memakan Pucuk Daun Sawit yang Masih Muda 11 Suhaidi Karet 400 Batang 14 Tahun Monyet Beruk Memakan pucuk Daun Karet yang Masih Muda 12 Uyun Karet 200 Batang 13 Tahun Monyet Kedih Memakan pucuk Daun Karet yang Masih Muda Monyet Beruk Memakan pucuk Daun Karet yang Masih Muda

13 Ilyas Karet 300 batang 12 Tahun

Monyet Beruk Memakan pucuk Daun Karet yang Masih Muda Orangutan Mematahkan Pucuk Daun Untuk bersarang Sawit 10 Batang 10 Tahun Orangutan Memakan Pucuk Daun Sawit yang Masih Muda 14 Juriyah Sawit 400 Batang 7 Tahun Orangutan Memakan Pucuk Daun Sawit yang Masih Muda

15 Asnah Harahap

Sawit 5 Batang 12 Tahun Orangutan Memakan Pucuk Daun Sawit yang Masih Muda Karet 350 batang 8 Tahun Orangutan Mematahkan Pucuk Daun Untuk bersarang

Monyet Kedih Memakan pucuk Daun Karet yang Masih Muda 16 Ani Karet 400 Batang 16 tahun Orangutan Mematahkan Ranting Daun Karet Untuk Bersarang 17 Abdulah Karet 800 batang 14 tahun Monyet Kedih Memakan pucuk Daun Karet yang Masih Muda

Monyet Beruk Memakan pucuk Daun Karet yang Masih Muda Sawit 100 Batang 12 Tahun Monyet Kedih Memakan Buah Sawit

18 Salbiyah Karet 400 Batang 14 Tahun Monyet Kedih Memakan pucuk Daun Karet yang Masih Muda Monyet Beruk Memakan pucuk Daun Karet yang Masih Muda

19 Iyar Harahap

Karet 150 batang 16 tahun Monyet Kedih Memakan pucuk Daun Karet yang Masih Muda Orangutan Mematahkan Ranting Daun Karet Untuk Bersarang Sawit 2 batang 14 Tahun Orangutan Memakan Pucuk Daun Sawit Yang Masih Muda 20 Salamudin

Rangkuti Karet 250 batang 12 Tahun

Monyet Beruk Memakan pucuk Daun Karet yang Masih Muda Orangutan Mematahkan Ranting Daun Karet Untuk Bersarang


(3)

Lampiran 11. Data diri responden

No. Nama Alamat Umur Jenis

Kelamin Agama Suku Pendidika n Terakhir

Pekerjaan Utama / Sampingan

Status

Kependuduka n

Penghasila n per Bulan

Luas Lahan yang Diusahakan 1 Bob Happy

Ginting

Dusun 1, Simolap

33

Tahun Laki-laki Kristen Karo

SMA

Petani / Guide Penduduk Asli 5 Juta 5 Ha 2 Ngorat S. Dusun 1,

Simolap

46

Tahun Laki-laki Islam Karo SD

Petani Penduduk Asli 5 Juta 6 Ha 3 Sadan Ginting Dusun 1,

Kinangkong 40

Tahun Laki-laki Islam Karo SD

Petani Penduduk Asli 1,5 Juta 2 Ha 4 Darmawanta Dusun 1,

Kinangkong 25

Tahun Laki-laki Islam Karo

SMA

Petani Penduduk Asli 1 Juta 2 Ha 5 Edi Pringaten Dusun 1,

Kinangkong 40

Tahun Laki-laki Kristen Karo

SMP

Petani / Ojek Penduduk Asli 2 Juta 3 Ha 6 Darwinta PA Dusun 1,

Kinangkong 28

Tahun Laki-laki Islam Karo

SMP

Petani Penduduk Asli 1.5 Juta 2 Ha 7 Rakot Dusun 1,

Simolap

40

Tahun Laki-laki Kristen Karo

SMA

Petani Penduduk Asli 2 Juta 2 Ha 8 Riswanda Dusun 1,

Kinangkong 24

Tahun Laki-laki Islam

Melay u

SMA Petani / Pencari Ikan

Penduduk Asli

2 Juta 2 Ha 9 Idona ginting Sapolada 41

Tahun Laki-laki Islam Karo

SMA

Petani Penduduk Asli 2 Juta 2 Ha 10 Uni ginting Dusun 1,

Kinangkong 28

Tahun Laki-laki Islam Karo SD


(4)

Sambungan Lampiran 11. Data diri responden

11 Misran

Dusun 1, Simolap

35

Tahun Laki-laki Islam Jawa SD

Petani Penduduk Asli 2,5 Juta 2 Ha 12 Sabar Sitepu Dusun 1,

Kinangkong 58

tahun Laki-laki Islam Karo SD

Petani Penduduk Asli 3 Juta 2 ha 13 Martin

Sembring

Dusun 1, Kinangkong

35

Tahun Laki-laki Kristen Karo

SMA

Petani Penduduk Asli 3 Juta 2 Ha 14 Mbela Ginting Dusun 1,

Simolap

38

Tahun Laki-laki Islam Karo SD

Petani Penduduk Asli 1 Juta 2 Ha 15 Tetap Malem Dusun 1,

Kinangkong 60

Tahun Laki-laki Islam Karo SD

Petani Penduduk Asli 1 Juta 2 Ha 16 Karya sitepu Dusun 1,

Kinangkong 30

Tahun Laki-laki Kristen Karo SD

Petani Penduduk Asli 2 Juta 2 Ha 17 Paten

Sinuraya

Dusun 1, Simolap

40

Tahun Laki-laki Kristen Karo

SMA

Petani Penduduk Asli 2 Juta 2 Ha 18 Idona ginting Sapolidah 41

Tahun Laki-laki Islam Karo

SMA

Petani Penduduk Asli 2 Juta 2 Ha 19 Mahadi

ginting

Dusun 1, Simolap

31

Tahun Laki-laki Islam Karo

SMA

Petani Penduduk Asli 2 Juta 2 Ha 20 Syahrul Dusun 1,

Kinangkong 29

Tahun Laki-laki Islam Jawa

SMA


(5)

Sambungan Lampiran 11. Data diri responden

No. Data Diri Alamat Umur Jenis

Kelamin Agama Suku

Status

Kependudukan Pekerjaan Utama / Sampingan

Pendidikan Terakhir

Penghasilan per Bulan

Luas Lahan yang Diusahakan 1 Rafa Dusun Air Itam 28

Tahun Laki-laki Islam Melayu

Penduduk Asli

Petani SD 1 Juta 2 Ha

2 Farida Hanim Dusun Air Itam 40

Tahun Laki-laki Islam Melayu

Penduduk Asli

Petani SMP 400 Ribu 3 Rante 3 Asnawi Dusun Air Itam 52

Tahun Laki-laki Islam Melayu

Penduduk Asli

Petani SD 2 Juta 1 Ha

4 Rajali Dusun Air Itam 40

Tahun Laki-laki Islam Melayu

Penduduk Asli

Petani SD 2 Juta 3 Ha

5 Ngatini Dusun Air Itam 32

Tahun Perempuan Islam Jawa

Penduduk Asli

Petani SMP 400 Ribu 2 Ha 6 Kholdun Dusun Air Itam 55

Tahun Laki-laki Islam Melayu

Penduduk Asli

Petani SD 1 Juta 0,5 Ha

7 Azizah Dusun Air Itam 43

Tahun Perempuan Islam Melayu

Penduduk Asli

Petani SD 800 Ribu 2 Ha

8 Waginem Dusun Air Itam 52

Tahun Perempuan Islam Jawa

Penduduk Asli

Petani SD 800 Ribu 1 Ha 9 Ibnu Hasim

Ritonga Dusun Air Itam 40

Tahun Laki-laki Islam Mandailing

Penduduk Asli

Petani SMP 1 Juta 1 Ha

10 Sutrisno Dusun Air Itam 50

Tahun Laki-laki Islam Jawa

Penduduk Asli

Petani SD 1,5 Juta 2 Ha

11 Suhaidi Dusun Air Itam 50

Tahun Laki-laki Islam Melayu

Penduduk Asli


(6)

Desa Nama Lama Tinggal Generasi Ke

Kuta Gajah

Bob Happy Ginting 33 Tahun III

Ngorat S. 46 Tahun III

Sadan Ginting 40 Tahun II

Darmawanta 25 Tahun IV

Edi Pringaten 40 Tahun III

Darwinta PA 28 Tahun III

Rakot 40 Tahun III

Riswanda 24 Tahun IV

Idona ginting 41 Tahun III

Uni ginting 28 Tahun IV

Misran 35 Tahun III

Sabar Sitepu 58 tahun II

Martin Sembring 35 Tahun III

Mbela Ginting 38 Tahun III

Tetap Malem 60 Tahun II

Karya sitepu 30 Tahun IV

Paten Sinuraya 40 Tahun II

Idona ginting 41 Tahun III

Mahadi ginting 31 Tahun IV

Syahrul 29 Tahun IV

Besilam

Rafa 28 Tahun IV

Farida Hanim 40 Tahun II

Asnawi 52 Tahun II

Rajali 40 Tahun II

Ngatini 32 Tahun III

Kholdun 55 Tahun II

Azizah 43 Tahun II

Waginem 52 Tahun II

Ibnu Hasim Ritonga 40 Tahun II

Sutrisno 50 Tahun II

Suhaidi 50 Tahun II

Uyun 39 Tahun III

Ilyas 57 Tahun II

Juriyah 27 Tahun IV

Asnah Harahap 39 Tahun III

Ani 50 Tahun II

Abdulah 52 Tahun II

Salbiyah 48 Tahun II

Iyar Harahap 34 Tahun III