Analisis Kerugian Ekonomi, serta Pengetahuan Masyarakat Terhadap Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) (Studi Kasus Desa Kuta Gajah, Kecamatan Kutambaru dan Desa Besilam, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat)

TINJAUAN PUSTAKA

  Keadaan Umum Lokasi Penelitian

  Kecamatan Bahorok yang berada di Kabupaten Langkat terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1965 tentang pembentukan daerah otonom di Provinsi Sumatera Utara, maka Kabupaten Langkat ditetapkan menjadi daerah otonom (BPS Kabupaten Langkat, 2011).

  Lokasi penelitian merupakan lokasi yang terletak di Desa Kuta Gajah, Kecamatan Kutambaru, Kabupaten Langkat merupakan lokasi yang sering terjadi konflik antara orangutan dengan masyarakat setempat. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut berada pada kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang memungkinkan satwaliar masuk ke perladangan penduduk. Lokasi penelitian lain yang dipilih yaitu Desa Besilam, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat yang berjarak 30 Km dari kawasan TNGL dimana terdapat orangutan yang sudah cukup lama terfragmentasi sehingga orangutan tersebut tidak dapat keluar dari perladangan penduduk dan ketika sumber pakannya habis orangutan tersebut memakan pucuk daun sawit warga yang masih muda sehingga menimbulkan konflik.

  Kondisi Fisik Lokasi Penelitian

  Letak dan Geografis

  o o

  Kabupaten Langkat terletak antara : 3 14` 00" - 4 13` 00" Lintang Utara

  o o

  dan 97 52` 00" - 98 45` 00" Bujur Timur. Wilayah kabupaten Langkat meliputi:

  • Kawasan hutan lindung seluas +- 266.232 Ha (42,51 %) dan kawasan lahan budidaya seluas +- 360.097 Ha (57,49 %).
  • Kawasan hutan lindung terdiri dari kawasan pelestarian alam Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) seluas +- 213.985 Ha.
  • Kawasan Timur Laut seluas +- 9.520 Ha.
  • Kawasan Penyangga seluas +- 7.600 Ha.
  • Kawasan Hutan Bakau seluas +- 20.200 Ha dan kawasan lainnya +- 14.927 Ha.

  (BPS Kabupaten Langkat, 2009) Topografi

  Daerah Kabupaten Langkat dibedakan atas 3 bagian. Bagian-bagian tersebut antara lain : pesisir pantai dengan ketinggian 0-4 meter di atas permukaan laut, dataran rendah dengan ketinggian 0-30 meter di atas permukaan laut, dataran tinggi dengan ketinggian 30-1200 meter di atas permukaan laut (BPS Kabupaten Langkat, 2011). Iklim

  Kabupaten Langkat termasuk daerah yang beriklim tropis, sehingga daerah ini memiliki 2 musim yaitu musim kemarau yang terjadi pada bulan Februari sampai dengan Agustus dan musim hujan yang terjadi pada bulan September sampai dengan Januari. Musim kemarau dan musim hujan biasanya ditandai dengan sedikit banyaknya hari hujan dan volume curah hujan pada bulan terjadinya musim (BPS Kabupaten Langkat, 2011). Tanah Jenis-jenis tanah yang berada di Kabupaten Langkat antara lain : sepanjang pantai terdiri dari jenis tanah Aluvial, yang sesuai untuk jenis tanaman pertanian pangan, dataran rendah dengan jenis tanah glei humus rendah, hidromofil kelabu dan plarosal, dataran tinggi jenis tanah podsolid berwarna merah kuning (BPS Kabupaten Langkat, 2011). Sosial Ekonomi

  Desa Kuta Gajah memiliki lahan seluas 1700 Ha yang terdiri dari lahan pertanian sawah 15 Ha, lahan perladangan 90 Ha, lahan perkebunan masyarakat 815 Ha, perumahan 25 Ha, kolam ikan 5 Ha, perkantoran/ sarana social 9,73 Ha dan lahan yang belum dimanfaatkan seluas 685,2 Ha. Desa Kutagajah adalah merupakan desa pertanian. Maka hasil ekonomi warga dan mata pencaharian warga sebagian besar adalah petani. Dari jumlah KK (1039 KK) 80% diantaranya adalah petani.

  Selebihnya ada PNS, pedagang, karyawan perkebunan dan lain-lain. Sementara kemampuan produksi produksi pertanian Desa Kuta Gajah yaitu karet kurang lebih 80 ton, kelapa sawit 170 ton/bulan, sehingga pendapatan rata-rata kuarang lebih Rp1.200.000/ bulan/ KK (BPS Kabupaten Langkat, 2011).

  Desa Besilam memiliki lahan seluas 2358,42 Ha dengan jumlah penduduk di desa ini adalah 5048 jiwa Penduduk Besilam rata-rata mempunyai penghasilan dari kegiatan bertani sawit dan karet (BPS Kabupaten Langkat, 2011)

  Taman Nasional Gunung Leuser

  Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terletak di Provinsi Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam. Area seluas 1.094.692 hektar (ha) ini ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai taman nasional pada tahun 1980. Nama TNGL diambil dari Gunung Leuser yang membentang di kawasan tersebut dengan ketinggian mencapai 3.404 meter (m) diatas permukaan laut (dpl). Bersama dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Kerinci Seblat, TNGL ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 2004 sebagai situs warisan dunia, Tropical

  Rainforest Heritage of Sumatra pada tahun 2004. Sebelumnya, TNGL juga telah

  ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981, dan ASEAN Heritage Park pada tahun 1984. TNGL berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang luasnya mencapai 2,6 juta ha dan dianggap sebagai rumah terakhir bagi orangutan Sumatera yang sangat terancam punah. KEL merupakan habitat yang kompleks dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, namun sekaligus rentan (OIC, 2009).

  Seperempat abad sejak Leuser ditunjuk sebagai Taman Nasional, telah banyak terjadi perubahan-perubahan geopolitik dan tata guna lahan akibat intervensi pembangunan diseluruh kabupaten sekitar Leuser. Di wilayah Sumatera Utara Leuser dikepung oleh perkebunan sawit. Peningkatan luas perkebunan sawit tersebut cukup signifikan. Pada tahun 1992, luas perkebunan sawit rakyat, swasta dan milik pemerintah tersebut 513.101 ha dan meningkat pada tahun 1998 menjadi seluas 697.553 ha, dengan demikian peningkatannya rata-rata 30.742 ha pertahun (Balai TNGL, 2006).

  Ekosistem Leuser juga merupakan habitat fauna kunci seperti gajah sumatera (Elephas maxsimus sumaterae), badak sumatera (Dicerorhinus sumateraensis), dan orangutan sumatera (Pongo obelii). Selain itu ada owa (Hylobateslar), kedih (Presbytis thomasi) dan fauna lainnya. Selain itu sebagai rumah fauna, di TNGL juga ada 4.000 spesies flora dan 3 jenis dari 15 jenis tumbuhan parasit rafflesia serta ada tumbuhan obat.

  Orangutan Sumatera (Pongo abelii)

  Klasifikasi orangutan menurut Groves (2001) termasuk ke dalam ordo Primata dan famili Homonidae dengan urutan klasifikasi sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Primata Family : Hominoidea Subfamily : Pongidae Genus : Pongo Species : Pongo abelii (orangutan Sumatera)

  Orangutan merupakan salah satu kera besar yang bersifat arboreal dan soliter dengan ciri-ciri bertubuh besar, rambut berwarna coklat kemerahan, tidak berekor dan secara genetik memiliki kemiripan dengan manusia (97,4 %). Secara fisik yang membedakan orangutan Sumatera dari orangutan Kalimantan adalah ukuran badan yang lebih besar, rambut jarang dan pendek serta berwarna lebih gelap atau coklat kemerah-merahan, serta pada umur bayi terlihat ada bercak-bercak berwarna kemerahan atau kehijau-hijauan.

  Proses perkembangan umur orangutan di alam dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu kategori morfologi dan kategori tingkah laku. Mac Kinnon (1974), Rikjsen (1978), dan Galdikas (1986) menjelaskan tahapan perkembangan orangutan sebagai berikut :

  Bayi (infant) : kisaran umur 0 – 2,5 tahun, dengan berat badan sekitar 2-6 kg.

  1. Anak-anak (juvenile) : kisaran umur 2,5 – 7 tahun dengan berat badan 6 – 15 kg.

  2. Remaja (adolescent) : kisaran umur 7 – 10 tahun dengan berat badan sekitar 15 – 3.

  30 kg. Pra dewasa : kisaran umur 10 – 12 tahun dengan berat badan sekitar 30 – 40 kg 4. Dewasa : kisaran umur 12 – 35 tahun dengan berat badan sekitar 30 – 50 kg.

  5. Popwati, et. al. (1997) menjelaskan bahwa orangutan betina rata-rata

  mencapai dewasa kelamin pada umur 15 tahun dan beranak tiap 8 tahun sekali, karena anak orangutan akan tinggal bersama dan tergantung pada induknya sampai ia berumur 7 – 8 tahun. Seekor induk orangutan tidak akan pernah memberikan bayinya kepada orangutan lain, sehingga untuk mendapatkan satu ekor anak orangutan, minimal harus diburu induknya terlebih dahulu.

  Rodman (1988) menyatakan bahwa dalam populasi orangutan terdapat tiga unit populasi yaitu, jantan dewasa soliter, betina dewasa dengan seekor anak serta jantan pra dewasa soliter. Kadang-kadang ketiga unit tersebut terlihat dalam suatu kumpulan sementara (temporary association) di pohon pakan (feeding group) serta dalam hidup berpasangan (consortship).

  Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii)

  Orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, yaitu hutan dataran rendah, perbukitan, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa, bakau dan nipah, serta pada hutan pegunungan. Hoeve (1996) menyatakan bahwa habitat orangutan Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada ketinggian 1.000 mdpl.

  Menurut Rijksen dan Meijaard (1999), populasi orangutan Sumatera sebagian besar sebarannya terbatasan pada hutan hujan dataran rendah, sebagian besar orangutan Sumatera berada di daerah yang memiliki ketinggian di bawah 500 m dpl dan jarang menjelajah ke tempat lebih tinggi dari 1.500 m dpl. Hutan ini paling terancam di konversi ke penggunaan lain, terutama untuk perluasan perkebunan.

  Daya dukung habitat orangutan ditentukan oleh produktivitas tumbuhan yang menghasilkan makanan pada waktu yang tepat dan sebagai tempat beristirahat yang aman. Kekurangan makanan akan menyebabkan terjadinya persaingan dan anggota yang statusnya lebih rendah harus mencari sumber makanan di tempat lain atau menerima sumber makanan alternatif. Apabila kebutuhan dasar (air, makanan, tempat beristirahat) cukup tersedia, maka aktivitas hidup orangutan akan berlangsung normal, dengan kata lain daya dukung untuk kehidupan orangutan ditentukan oleh ketersediaan kebutuhan dasar (Meijaard, 2001).

  Syukur (2000) menyatakan bahwa kepadatan orangutan dipengaruhi oleh ketinggian wilayah yang menjadi habitat orangutan, tipe hutan dan tingkat gangguan atau ancaman. Kepadatan orangutan semakin menurun dengan meningkatnya ketinggian suatu tempat. Rata-rata kepadatan orangutan untuk setiap tipe hutan

  2

  adalah sebagai berikut : 5 individu/km pada hutan rawa (ketinggian sekitar 30 mdpl),

  2

  2

  2,5 individu/km pada ketinggian < 500 mdpl, 1,8 5 individu/km pada ketinggian 500 – 1.000 mdpl dan akan jarang atau sama sekali tidak ditemukan pada ketinggian > 1.800 mdpl.

  Hasil survey Singleton dan Wich (2011) melaporkan bahwa di sepanjang transek blok timur dan blok barat TNGL, termasuk di areal dengan ketinggian sekitar 1.500 mdpl ditemukan sarang orangutan. Hal ini menunjukkan pada areal TNGL yang lebih tinggi, kehadiran orangutan Sumatera lebih sering dibandingkan dengan laporan survei sebelumnya. Selain itu, daerah yang sudah ditebangi, ketika disurvei, menunjukkan kecenderungan memiliki kepadatan populasi orangutan yang rendah dibandingkan daerah areal hutan primer, tapi populasinya masih mendukung baik dari segi kelayakan kepadatan populasinya maupun dari jumlah keseluruhan orangutannya.

  Fragmentasi Habitat

  Fragmentasi merupakan penyebab utama hilangnya sejumlah besar spesies (Elisa, 2000). Fragmentasi habitat adalah pengurangan luas atau terbaginya habitat menjadi areal-areal yang sempit (MENLH, 2008). Salah satunya adalah kondisi orangutan (P. abelii) yang berada di ladang masyarakat. Satwaliar memiliki pola pergerakan tertentu dalam usaha individu maupun populasi untuk mendapatkan sumberdaya yang diperlukan agar dapat bertahan hidup dan berkembang biak (Alikodra, 2002). Namun disaat kondisi habitat yang tidak memungkinkan dan kondisi tersebut terjadi terus-menerus dan berlangsung lama, ruang lingkup dan pergerakan satwaliar akan menjadi sempit.

  Dampak fragmentasi pada satwaliar, khususnya spesies adalah : pengurangan jumlah individu, pengurangan ukuran populasi karena individu terbatas pada fragmen kecil, isolasi spasial populasi sisa. Sedangkan dampak genetik dari fragmentasi adalah kehilangan diversitas genetik, perubahan dalam struktur antarpopulasi, peningkatan kawin kerabat (inbreeding). Fragmentasi menyebabkan kepunahan spesies di dalam populasi lokal. Oleh karena itu usaha untuk menjaga atau memulihkan species pada bentang alam (landscape) yang terfragmentasi adalah mengurangi kesempatan untuk kepunahan atau meningkatkan kesempatan untuk rekolonisasi dengan peningkatan dan perluasan habitat populasi lokal (Elisa, 2000).

  Faktor Penyebab Konflik

  Kementerian Kehutanan (2008) menjelaskan bahwa konflik antara manusia dan satwaliar terjadi akibat sejumlah interaksi negatif baik langsung maupun tidak langsung antara manusia dan satwaliar. Pada kondisi tertentu konflik tersebut dapat merugikan semua pihak yang berkonflik. Konflik yang terjadi cenderung menimbulkan sikap negatif manusia terhadap satwaliar, yaitu berkurangnya apresiasi manusia terhadap satwaliar serta mengakibatkan efek-efek detrimental terhadap upaya konservasi. Kerugian yang umum terjadi akibat konflik diantaranya seperti rusaknya tanaman pertanian dan atau perkebunan serta pemangsaan ternak oleh satwaliar, atau bahkan menimbulkan korban jiwa manusia. Disisi lain tidak jarang satwaliar yang berkonflik mengalami kematian akibat berbagai tindakan penanggulangan konflik yang dilakukan. Satwaliar yang sering berkonflik dengan manusia antara lain gajah, harimau, orang utan, buaya, dan lainnya.

  Konflik antara manusia dan satwaliar yang terjadi cenderung meningkat akhir- akhir ini. Apapun yang terjadi dan jenis satwaliar apapun yang terlibat, konflik manusia dengan satwaliar merupakan permasalahan kompleks karena bukan hanya berhubungan dengan keselamatan manusia tetapi juga satwa itu sendiri. Konflik yang terjadi seharusnya mendorong pemerintah dan para pihak terkait lebih bijaksana dalam memahami kehidupan satwaliar sehingga tindakan penanganan dan pencegahannya dapat lebih optimal dan berdasarkan akar permasalahan konflik tersebut. Perbaikan habitat alami satwaliar, meminimalisir dan merehabilitasi kerusakan hutan, serta mengontrol pemanfaatan berlebihan jenis flora dan fauna liar merupakan prasyarat utama dalam penanganan konflik manusia dengan satwaliar.

  Beberapa faktor yang menjadi peneybab terjadinya konflik satwaliar dengan manusia di antaranya adalah : Penurunan luas dan kualitas hutan yang drastis -

  Pemanfaatan hasil hutan yang terlalu berlebihan - Pembukaan akses terhadap kawasan hutan yang terlalu tinggi

  • Kebakaran h

  Prinsip Penanganan Konflik Orangutan dengan Masyarakat

  Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwaliar, prinsip- prinsip dasar yang digunakan dalam kegiatan ini adalah :

  1) Manusia dan orangutan merupakan bagian kepentingan manusia Konflik manusia dan orangutan menempatkan kedua pihak pada situasi dirugikan. Dalam memilih solusi alternatif konflik yang akan diterapkan, pertimbangan langkah untuk mengurangi resiko kerugian yang diderita oleh manusia, secara bersamaan harus didasari pertimbangan terbaik untuk kelestarian orangutan yang terlibat konflik. Prinsip ini terutama digunakan pada saat proses evakuasi orangutan dari perkebunan masyarakat. Satu sisi, kerugian dari pihak masyarakat yaitu menganggap orangutan sebagai hama perkebunan dan dari sisi lain kerugian dari pihak orangutan adalah terbatasnya ruang gerak bahkan sampai dengan ancaman terhadap hidup orangutan apabila orangutan diburu oleh masyarakat. Sehingga proses evakuasi merupakan solusi yang dapat mengurangi resiko kerugian terhadap kedua pihak.

  2) Spesific Site Secara umum konflik muncul antara lain karena rusak atau menyempitnya habitat orangutan yang disebabkan aktivitas manusia atau bencana alam. Aktivitas manusia dapat berupa pembangunan di sekitar atau di dalam kawasan hutan atau kegiatan yang bersifat ilegal atau tanpa ijin. Karakteristik habitat, kondisi populasi orangutan, dan faktor ekologi lain menuntut intensitas dan solusi penanganan konflik bervariasi di masing-masing wilayah. Sehingga sangat memungkinkan terjadinya pilihan kombinasi solusi untuk masing-masing wilayah konflik. Solusi yang efektif disuatu lokasi, belum tentu dapat diterapkan pada situasi konflik di daerah lain, demikian pula sebaliknya. Prinsip ini digunakan dalam pertimbangan penentuan lokasi reintroduksi atau pelepasliaran. Penilaian terhadap habitat asal serta potensi habitat pada lokasi reintroduksi dilakukan untuk penetapan lokasi pelepasliaran (dengan pilihan : dikembalikan ke habitat asal atau harus dipindahkan ke lokasi lain yang berpotensi sebagai habitat orangutan).

3) Tidak ada solusi tunggal

  Konflik manusia dengan orangutan dan tindakan penanggulangannya merupakan sesuatu yang kompleks karena menuntut rangkaian kombinasi berbagai solusi potensial yang tergabung dalam sebuah proses penanggulangan konflik yang menyeluruh. Prinsip ini diterapkan pada saat penentuan mekanisme penanggulangan konflik. Beberapa solusi diusulkan dalam pertemuan teknis dan dibahas tentang kelebihan dan kekurangan dari masing-masing solusi, kemudian ditetapkan satu kombinasi solusi penanggulangan konflik yang efektif dan efisien.

4) Skala habitat

  Upaya penanggulangan konflik yang komprehensif harus berdasarkan penilaian yang menyeluruh dari keseluruhan daerah jelajahnya (home range based

  

mitigation ). Untuk kasus penanggulangan konflik orangutan dengan manusia, prinsip

  ini digunakan dalam penilaian calon lokasi introduksi orangutan. Penilaian terhadap komponen habitat dilakukan secara menyeluruh, diantaranya kondisi cuaca, ketersediaan pakan, ketersediaan tempat bersarang, ancaman predator, resiko gangguan dari aktivitas manusia serta kapasitas populasi orangutan pada potensi habitat.

5) Tanggungjawab multi pihak

  Selain sebagai sebuah isu konservasi, konflik juga mempengaruhi dan memiliki dampak sosial dan ekonomi di daerah konflik. Sehingga penanggulangan konflik manusia dengan orangutan harus melibatkan berbagai pihak yang terkait. Prinsip ini digunakan dalam penentuan personil yang terlibat dalam kegiatan penanggulangan konflik.

Dokumen yang terkait

Analisis Kerugian Ekonomi, serta Pengetahuan Masyarakat Terhadap Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) (Studi Kasus Desa Kuta Gajah, Kecamatan Kutambaru dan Desa Besilam, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat)

4 58 108

Pemetaan Daerah Rawan Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus : Desa Aek Nabara, Batu Satail, Bulu Mario, dan Sitandiang)

8 69 76

Pemetaan Sebaran Vegetasi Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus : Desa Bulu Mario, Aek Nabara dan Huraba)

5 74 99

Identifikasi dan Pemetaan Pohon Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus : Desa Bulu Mario, Aek Nabara dan Huraba)

4 89 78

Prospek Usaha Pengolahan Tape (Ubi Dan Pulut) (Studi Kasus : Desa Tanjung Selamat, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara)

0 39 93

Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Masyarakat (Studi kasus: Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok di Kabupaten Langkat)

13 84 81

Persepsi dan Peran Serta Masyarakat terhadap Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Studi Kasus di Desa Kutambaru Kecamatan Munte Kabupaten Karo)

5 84 59

Aspek Ekonomi, Sosial, dan Budaya Praktek Agroforestry (Studi Kasus Desa Gurukinayan, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo).

20 135 112

Perilaku Makan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan Persepsi Masyarakat terhadap Keberadaannya di Ladang Masyarakat (Studi Kasus di Kecamatan Batang Serangan Kab. Langkat)

3 65 88

Pola Makan Induk Orangutan (Pongo abelii) Di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Desa Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara

0 19 60