Peran Kombinasi Hormon Etinil Estradiol dan Noretindron Asetat dengan Protein Kedelai terhadap Cedera Iskemia Reperfusi Miokardium pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Hiperkolesterolemik yang Diovariektomi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian tertinggi bagi
wanita di negara barat khususnya pada wanita berumur 50 tahun ke atas.
Kelompok usia tersebut adalah kelompok wanita yang memasuki usia menopause
(mati haid) yang ditandai dengan penurunan hormon estrogen akibat fungsi
ovarium yang menurun.

Hormon estrogen sangat penting bagi kaum wanita

karena selain berperan dalam fungsi reproduksi juga memberi efek kardioproteksi.
Oleh karena itu, sebagai usaha pencegahan terjadinya penyakit jantung koroner
pada kelompok wanita tersebut, para praktisi kesehatan memberikan terapi sulih
hormon estrogen kepada wanita yang rahimnya sudah diangkat atau kombinasi
estrogen dengan progestogen bagi wanita yang masih mempunyai rahim.
Penambahan

progestogen

bertujuan


untuk

mengurangi

efek

hiperplasia

endometrium yang diinduksi oleh estrogen karena dapat meningkatkan resiko
terjadinya kanker rahim.
Jenis estrogen yang sering dipakai dan telah banyak diteliti antara lain
estrogen ekuin terkonjugasi (CEE, conjugated equine estrogen) dan etinil
estradiol (EE, ethynil estradiol) sedangkan dari golongan progestogen yaitu
medroksiprogesteron asetat (MPA, medroxyprogesterone acetate) dan noretindron
asetat (NETA, norethindrone acetate). Dalam upaya membuktikan efek terapi
estrogen maupun kombinasinya dengan progestogen, telah dilakukan beberapa uji
klinik yang melibatkan ribuan wanita pascamati haid di Amerika Serikat (AS)
yaitu Women’s Health Initiative (WHI) dan Heart and Estrogen/Progestin
Replacement Study (HERS). Tujuan utama dari kedua uji klinik tersebut untuk
mengetahui keuntungan dan kerugian terapi estrogen dan kombinasinya dengan

progestogen dalam jangka waktu yang panjang.
Ternyata meskipun terapi hormon tersebut dapat memberikan manfaat
pencegahan terhadap penyakit jantung koroner dan osteoporosis, hasil dari kedua
uji tersebut melaporkan adanya kecenderungan terjadinya stroke, thromboemboli
vena, dan kanker payudara walaupun tidak signifikan.

Temuan tersebut

menimbulkan kontroversi yang luas di kalangan ilmuwan maupun kaum wanita
khususnya kelompok wanita pascamati haid yang sangat berharap untuk tetap

2
mendapatkan pengobatan yang dapat mengatasi keluhan-keluhan subjektif akibat
keadaan mati haid dan memberi proteksi terhadap penyakit jantung koroner. Oleh
karena itu, usaha-usaha alternatif untuk pengobatan dan pencegahan terus dicari
oleh peneliti maupun perusahaan obat.

Salah satu diantaranya dengan

mengkonsumsi produk kedelai yang banyak mengandung isoflavon yaitu suatu

fitoestrogen yang memiliki sifat estrogenik karena dapat berikatan dengan
reseptor estrogen.
Gagasan pengobatan menggunakan produk kedelai berdasarkan hasil studi
epidemiologi yang melaporkan insiden dan mortalitas akibat penyakit jantung
koroner dan kanker payudara maupun rahim pada wanita Jepang sangat rendah
dibandingkan populasi di barat. Hal ini berkaitan dengan perbedaan signifikan
dalam komposisi diet orang Jepang yang banyak mengandung produk kedelai
dibandingkan diet orang barat (Parkin et al. 1992; Vitolin et al. 2002). Sebagai
akibat dari hasil studi epidemiologi tersebut, terjadi suatu peningkatkan
pemakaian bentuk produk protein kedelai sebanyak 23% pada wanita AS yang
mendekati

masa

mati

haid

(perimenopause)


maupun

pascamati

haid

(postmenopause) (Kreijkamp-Kasper et al. 2005). Khasiat kedelai didukung pula
oleh pernyataan dari Food and Drug Administration di AS yang menyarankan
untuk mengkonsumsi kedelai sebagai usaha mengurangi resiko penyakit jantung
koroner karena mengandung isoflavon.
Selain berkhasiat untuk proteksi jantung, fitoesterogen dapat melindungi
efek proliferasi pada endometrium dan payudara yang diinduksi oleh estrogen.
Hal ini dibuktikan oleh Foth dan Cline (1998) pada pada monyet ekor panjang
yang diovariektomi.

Sedangkan pemberian kombinasi terapi estrogen dan

isoflavon dari kedelai ternyata dapat mengurangi salah satu faktor resiko penyakit
kardiovaskuler yaitu dapat menurunkan kolesterol ester pada aorta monyet ekor
panjang yang diberi diet aterogenik (Wagner et al. 1997a).

Namun demikian, kemampuan suatu terapi kombinasi estrogen dan
progestogen dengan protein kedelai belum pernah diteliti efeknya terhadap
tindakan reperfusi pascainfark akut miokardium.

Tindakan reperfusi seperti

trombolisis, angioplasti, dan bedah koroner bypass merupakan suatu usaha
pengobatan bertujuan untuk dapat memberi suatu aliran darah pada miokardium

3
yang iskemia melalui pembuluh koroner. Namun tindakan reperfusi miokardium
dapat menimbulkan suatu konsekuensi berupa keadaan patologis yaitu kematian
jaringan lebih lanjut yang disebut cedera iskemia-reperfusi (ischemia reperfusion
injury, I/R). Keadaan ini diperkirakan akibat masuknya darah yang teroksigenasi
secara cepat sehingga menyebabkan interaksi antara sel endotel dan netrofil dalam
miokardium yang iskemik. Kejadian ini menimbulkan kerusakan lebih lanjut
dengan mengeluarkan berbagai komponen inflamasi dan menurunkan produksi
faktor kardioprotektif seperti nitrogen monooksida (NO, nitric oxide) (Carden &
Granger 2000; Jones & Lefer 2000). Komponen inflamasi yang berperan antara
lain adalah peningkatan mieloperoksidase (MPO) yang merupakan hasil aktivasi

sel netrofil dan terbentuknya stress oksidatif dengan ditandai peningkatan
malondialdehida (MDA) (Dhalla et al. 2000; Frangogiannis et al. 2002).
Pemilihan jenis terapi estrogen dan progestogen yang akan dikombinasikan
dengan protein kedelai berdasarkan dua studi terdahulu oleh Suparto et al. (2003
dan 2005) yang telah membuktikan bahwa kombinasi EE dan NETA memberi
proteksi terhadap cedera iskemia reperfusi yang berakibat mereduksi luas infark
dibandingkan dengan kombinasi CEE dan MPA maupun EE dan MPA. Selain
efek pada jantung, efek proliferasi pada kelenjar payudara dan hiperplasia
endometrium

pada kelompok kombinasi

EE dan NETA lebih sedikit

dibandingkan kombinasi CEE dan MPA.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dalam penelitian ini akan dipelajari
efek pemberian kombinasi EE dan NETA dengan protein kedelai terhadap
miokardium yang mengalami cedera iskemia dan reperfusi serta pengaruhnya
terhadap kelenjar payudara dan endometrium. Untuk itu, sebagai hewan model
digunakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) betina dewasa yang telah

diovariektomi dan hiperkolesterolemik untuk menyerupai keadaan wanita
pascamati haid.
Tujuan
Tujuan umum penelitian ini untuk mempelajari peran kombinasi hormon EE
dan NETA dengan protein kedelai dalam pencegahan terjadinya penyakit jantung
koroner dan efek sampingnya pada monyet ekor panjang (M. fascicularis) betina
dewasa yang hiperkolesterolemik dan telah diovariektomi.

4
Tujuan khusus penelitian ini untuk mempelajari dan mengkaji peranan
hormon EE dan NETA dengan kombinasi protein kedelai terhadap:
1 Faktor resiko penyakit jantung koroner
2 Cedera iskemia-reperfusi miokardium
3 Uterus dan kelenjar payudara.
Manfaat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif untuk
pengobatan dan pencegahan terhadap penyakit jantung koroner pada wanita
pascamati haid menggunakan kombinasi EE dan NETA dengan protein kedelai.
Pemakaian protein kedelai dapat juga membuka peluang untuk penelitian lain
memakai sumber protein nabati lainnya yang mengandung fitoesterogen maupun

jenis estrogen dan progestogen lainnya sebagai terapi kombinasi.
Hipotesis
Interaksi protein kedelai dengan terapi hormonal akan memberi manfaat
dengan menghambat atau mengurangi terjadinya cedera I/R pada miokardium dan
mengurangi efek samping pada endometrium dan kelenjar payudara.
Kerangka Pemikiran
Monyet ekor panjang betina dewasa yang diovariektomi dan diberi pakan
aterogenik digunakan sebagai hewan model karena mempunyai kemiripan dengan
kondisi wanita pascamati haid yaitu dalam meningkatnya faktor resiko terhadap
terjadinya penyakit jantung koroner.

Faktor resiko tersebut antara lain

peningkatan konsentrasi plasma lipoprotein densitas rendah (LDL, low density
lipoprotein), trigliserida dan penurunan kolesterol lipoprotein densitas tinggi
(HDL, high density lipoprotein). Seperti pada wanita pascamati haid, pemberian
estrogen pada hewan model ini dapat menurunkan LDL dan meningkatkan
kolesterol HDL sehingga menghambat progresi aterosklerosis.
Estrogen mencegah terjadinya penyakit jantung koroner melalui beberapa
mekanisme antara lain melalui faktor lipid darah, vasokonstriksi, koagulasi,

mediator-mediator inflamasi dan fungsi hemodinamik. Pemberian estrogen harus
dikombinasi dengan progestogen untuk mengurangi hiperplasia glandular dan

5
stromal pada endometrium yang merupakan indikator suatu proses keganasan.
Kombinasi hormon tersebut ternyata belum memberi hasil yang terbaik karena
masih timbul efek samping dari pemakaiannya. Oleh karena itu dicari kombinasi
dengan zat lain yang mempunyai efek estrogenik sehingga memberi proteksi
terhadap faktor resiko penyakit jantung koroner dan minimal dalam menimbulkan
efek samping.
Protein kedelai mengandung isoflavon yaitu suatu fitoestrogen yang
diketahui mempunyai sifat estrogenik yang lebih lemah daripada estrogen
endogenous. Protein kedelai ini bermanfaat karena dapat menurunkan LDL dan
kemungkinan menaikan HDL. Selain itu isoflavon meningkatkan vasodilatasi
arteri koronaria yang aterosklerosis dan menurunkan oksidasi LDL. Peran diatas
dapat mengurangi

progresi

aterosklerosis


sehingga

memperbaiki

fungsi

miokardium dan mencegah terjadinya penyakit jantung koroner. Selain itu, secara
teoritis isoflavon mempunyai efek antiproliferatif maupun efek apoptosis. Efek
ini diharapkan tidak menyebabkan efek samping pada endometrium dan payudara.
Pemberian kombinasi hormon EE dan NETA dengan protein kedelai
diharapkan dapat saling memberi pengaruh yang bermanfaat untuk mencegah
penyakit jantung koroner. Untuk membuktikan hal tersebut, dilakukan tindakan
iskemia miokardium dengan ligasi sementara arteri koronaria dan kemudian
dibuka ligasinya sebagai tindakan reperfusi. Reperfusi merupakan suatu usaha
memberi aliran darah kembali ke daerah iskemia. Tindakan ini menimbulkan
kerusakan miosit yang disebabkan oleh suatu proses kompleks antara lain oleh
akumulasi sel netrofil dan senyawa ROS (Radical oxygen species) stres oksidatif
sehingga disebut cedera iskemia dan reperfusi. Daerah yang iskemia tersebut
merupakan daerah yang nantinya akan menjadi daerah infark miokardium.

Akumulasi dan aktifitas sel netrofil dilihat dengan mengukur konsentrasi dari
MPO sebagai indikator interaksi sel lekosit dengan endotel dan MDA sebagai
produk akhir dari lipid peroksidasi.
Selain itu, diharapkan kombinasi diatas mempengaruhi hemodinamika
miokardium terutama saat reperfusi.
meningkat

karena terbentuknya

Aliran darah dalam miokardium dapat

kolateral-kolateral

pembuluh

darah

dan

vasodilatasi akibat konsumsi protein kedelai dan estrogen. Faktor hemodinamika

6
lainnya seperti curah jantung (cardiac output), frekuensi denyut jantung dan
volume sekuncup (stroke volume) mengalami peningkatan sebagai tanda
kontraktilitas miokardium yang berpengaruh terhadap I/R. Kombinasi hormon
dengan protein kedelai diharapkan pula akan memberi efek samping yang
minimal karena kedelai yang bersifat antiestrogenik pada uterus dan payudara.

7

TINJAUAN PUSTAKA
Menopause (Mati haid)
Definisi dan Gejala
Secara definisi, mati haid adalah suatu penghentian menstruasi yang
permanen akibat hilangnya fungsi folikuler ovarium. Secara klinis, mati haid
didiagnosa setelah 12 bulan berturut-turut terjadinya amenorrhoe (tidak terjadinya
haid). Pada umumnya, wanita yang mengalami mati haid rata-rata umur 51 tahun
(Greendale et al. 1999; Turgeon et al. 2004). Hanya satu persen wanita yang
mengalaminya pada umur 40 tahun dan lima persen pada umur diatas 55 tahun
(Johnson 1998). Keadaan mati haid dapat secara tidak alamiah yaitu melalui
pembedahan pengangkatan ovarium misalnya pada kelainan kista atau tumor
ovarium.

Wanita yang mengalami pengangkatan ovarium dapat mengalami

keluhan-keluhan seperti wanita yang mengalami mati haid secara alamiah.
Sebelum seorang wanita memasuki masa mati haid, wanita tersebut akan
mengalami masa perimenopause (masa sebelum keadaan mati haid) yaitu masa
transisisi sebelum terjadinya mati haid dan biasanya sekitar 2-8 tahun
sebelumnya. Pada masa transisi, konsentrasi FSH (Follicle Stimulating Hormone)
mengalami peningkatan sampai diatas 40 IU/L pada beberapa siklus menstruasi
kemudian turun kembali pada konsentrasi premenopause siklus berikutnya.
Selain FSH, LH (Luteinizing hormone), gonadotrophin releasing hormone
(GnRH) dan estrogen dapat meningkat konsentrasinya pada masa transisi
(Greendale & Sowers 1997).

Rerata konsentrasi estradiol dalam serum pada

menstruasi siklus 28 hari adalah 80-100 pg/ml, pada masa transisi sekitar 35-50
pg/ml, dan pada masa pascamati haid antara 15-40 pg/ml (Gracia et al. 2005).
Penurunan fungsi ovarium dapat mengganggu kesehatan dan menurunkan
kualitas hidup wanita pada masa tersebut.

Siklus menstruasi menjadi tidak

teratur, timbul sensasi panas yang disertai keringat berlebihan (hot flashes),
insomnia, inkontinensia urin, atrofi vagina, depresi, dan penurunan fungsi seksual
(Lobo 1994). Gejala vasomotor terjadi pada 35-50% pada wanita perimenopause
dan 30-80% pada wanita pascamati haid. Tetapi intensitas keluhan atau gejala
yang dialami wanita mati haid dapat berbeda-beda antara wanita dari negara

8
berbeda. Hal ini diduga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti cara hidup, cara
makan, dan sosiokulturnya. Contohnya keluhan hot flashes, dilaporkan oleh 80%
wanita barat tetapi hanya 10-20% wanita Asia pada kelompok umur yang sama
(Greendale et al. 1999).
Wanita kelompok usia mati haid ini mempunyai konsekuensi peningkatkan
resiko terhadap penyakit jantung koroner dan osteoporosis.

Kedua penyakit

tersebut meningkat sampai dua kali lipat pada wanita pascamati haid
dibandingkan pada wanita perimenopause. Penyakit jantung koroner merupakan
penyebab kematian yang cukup tinggi pada wanita golongan ini dan melampaui
angka kematian pria pada kelompok umur yang sama (Bush et al. 1987; 1999;
AHA 2000)

(Gambar 1).

Oleh karena itu diharapkan adanya suatu usaha

intervensi dalam bentuk pengobatan yang dapat menurunkan angka kematian
tersebut.
4.500
PJK
stroke
Kanker Paru

Angka Mortalitas/ 100,000

4.000
3.500

Kanker Payudara
Kanker Kolorektal
Kanker Endometrium

3.000
2.500
2.000
1.500
1.000
500
0
40-44

45-49

50-54 55-59 60-64 65-69 70-74

75-79 80-84

85+

Umur (Tahun)

Gambar 1

Angka mortalitas wanita di Amerika Serikat akibat penyakit
degeneratif (Miller 1997).

Estrogen dan Respon Kardiovaskuler
Hasil penelitian dasar dan uji pre-klinis telah banyak menunjukkan bahwa
estrogen berperan dalam proteksi jantung (Mendelson & Karas 1999; Wagner
2000; Mikkola & Clarkson 2002). Mekanisme estrogen memberi kardioproteksi
cukup kompleks antara lain melalui mekanisme yang bergantung pada lipid darah
maupun yang tidak melalui mekanisme lipid. Kemungkinan mekanisme lainnya

9
terhadap aktivitas antioksidan, koagulasi, fibrinolisis, inflamasi dan reaktivitas
vaskuler.
Mekanisme proteksi estrogen melalui lipid darah telah dibuktikan dalam
suatu uji klinik yatiu Postmenopausal Estrogen/Progestin Intervention (PEPI
1995) terhadap sejumlah wanita pascamati haid.

Pada uji klinik tersebut

dibuktikan bahwa estrogen oral dapat mengurangi faktor resiko penyakit jantung
koroner dengan menurunkan konsentrasi kolesterol melalui penurunan kolesterol
LDL dan peningkatan kolesterol HDL.

Pada uji preklinik, temuan tersebut

dibuktikan kembali bahwa 25% efek kardioprotektif estrogen melalui mekanisme
lipid termasuk meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan kolesterol LDL
serta konsentrasi Lp(a). Sedangkan 75% efek protektif estrogen melalui efek sel
endotel pembuluh darah, vasodilatasi, sensitivitas insulin, dan faktor koagulasi
(Wagner 2000). Terapi estrogen dapat mengurangi perkembangan aterosklerosis
pada monyet ekor panjang yang diovariektomi dan diberi pakan aterogenik karena
ternyata aterosklerosis arteria koronaria berkurang hampir 50% oleh 17β estradiol
baik tanpa atau dengan progestogen (Adams et al. 1990).
Terapi estrogen juga mencegah terjadinya penyakit jantung koroner dengan
memperbaiki vasodilatasi arteri yang mengalami aterosklerosis.

Hal ini

dibuktikan oleh Williams et al. (1990) pada monyet ekor panjang dengan kondisi
aterosklerosis dilihat dari kemampuan dilatasi vaskuler terhadap asetilkolin, yaitu
suatu vasodilator yang membutuhkan peran dari sel endotel pembuluh darah.
Hewan yang mendapatkan estradiol mengalami vasodilatasi lebih besar
dibandingkan kontrol.

Kemampuan dilatasi ini diperkirakan sebagian karena

meningkatnya NO dan sintetase NO (Guetta et al 1997).
Pada cedera endotel pembuluh darah, endotel tersebut akan melepaskan
faktor pertumbuhan dan kemoatraktan, sehingga memicu penempelan monosit
pada sel endotel dan migrasinya ke intima.

Peristiwa ini juga menstimulasi

akumulasi lipid di intima kemudian sel otot polos bermigrasi dari tunika media
pembuluh darah dan berproliferasi di miointima. Estrogen berpengaruh langsung
terhadap pembuluh darah dengan meningkatkan vasodilatasi dan menghambat
aterosklerosis (Mendelsohn & Karas 1999). Efek estrogen pada pembuluh darah
ada dua macam yaitu efek yang bereaksi secara cepat melalui mekanisme

10
nongenomik dan secara lambat atau jangka panjang melalui genomik.

Efek

estrogen sebagai kardioprotektif dirangkum pada Gambar 2 dan Tabel 1
(Mendelsohn 2002).
Sel Endotelial

Sel otot polos

Estrogen

Efek Cepat (non -genomik):
vasodilatasi
nitrik oksid

Efek jangka panjang (genomik):
cedera vaskuler
pertumbuhan sel endotelial
pertumbuhan sel otot polos

Gambar 2 Efek langsung estrogen pada pembuluh darah (Modifikasi Mendelsohn
& Karas 1999).
Tabel 1 Efek direk dan indirek dari estrogen sebagai kardioprotektif
Langsung
Efek cepat, nongenomik:
- peningkatan vasodilatasi arteri
- peningkatan sintesis NO

Tidak langsung
Efek pada lipoprotein serum:
- penurunan konsentrasi LDL
- peningkatan konsentrasi HDL
- peningkatan konsentrasi TG
Efek pada koagulasi dan fibrinolisis:
Efek jangka panjang, genomik:
- peningkatan enzim vasodilatasi
Bervariasi tergantung jenis, dosis, dan
- penurunan cedera vaskuler
lama terapi estrogen.
- peningkatan pertumbuhan sel endotel Efek antioksidan:
- penurunan proliferasi sel otot polos
- penurunan oksidasi LDL
(Modifikasi dari Mendelsohn & Karas 1999; Wagner 2001-2002)
Estrogen sistemik dapat diberikan secara oral ataupun non-oral seperti
intradermal (patch), krim vagina, implan, atau suntikan intramuskular.
Pemakaian estrogen non-oral pada umumnya bertujuan untuk menghindari
metabolisme pertama di hati.

Hal ini sangat berguna bagi wanita dengan

gangguan fungsi hati. Kelemahan bentuk suntikan adalah konsentrasi di dalam
darah ternyata sangat bervariasi. Sehingga pemberian implan estrogen seringkali
menimbulkan kesulitan pada saat pelepasannya. Jenis-jenis estrogen yang sering
digunakan sebagai terapi hormon untuk wanita pascamati haid serta dosisnya
tercantum pada Tabel 2. Ukuran dosis tersebut tergantung dari jenis estrogen

11
yang diberikan dan pada umumnya berdasarkan dosis terendah untuk
mendapatkan efek optimum pada terapi osteoporosis dengan resiko minimal untuk
terjadinya kanker payudara maupun endometrium (Greendale et al. 1999; Mikkola
& Clarkson 2002).
Tabel 2 Beberapa jenis estrogen dan dosisnya
Nama Generik (Nama Dagang)
Estrogen ekuin terkonjugasi (Premarin)
17β estradiol valerat (Climaval)
17β estradiol patch (Estraderm)
17β estradiol implan (Riselle)
17β estradiol gel (Estrogel)
Etinil estradiol
(Modifikasi dari Greendale et al. 1999)

Dosis dan cara pakai
0,625 mg/hari, oral
2 mg/hari, oral
0,05 mg 4 kali/hari, topikal
25 mg/6 bulan, subkutan
1,0 mg/hari, topikal
5 µg/hari, oral

Peran Progestogen pada Endometrium
Kekhawatiran pemberian estrogen eksogen untuk wanita yang masih
mempunyai rahim yaitu dapat meningkatkan kecepatan mitosis kelenjar maupun
stroma endometrium, suatu efek yang memicu pertumbuhan dan penebalan
endometrium. Oleh karena itu, untuk mengurangi efek proliferasi endometrium
akibat pemberian estrogen, maka perlu dikombinasi dengan progesteron.
Mekanisme efek protektif progesteron terhadap hiperplasia endometrium yaitu
dengan mengurangi reseptor seluler untuk estradiol. Selain itu progesteron dapat
menginduksi enzim yang mengkonversi estradiol menjadi metabolit yang kurang
kuat (estron sulfat), mengantagonis sintesis asam deoksiribonukleat, dan
mengurangi multiplikasi sel (Taitel & Kafrissen 1995).

Dengan demikian

kelenjar endometrium menjadi atropi dan epitelnya tidak aktif. Hal ini dibuktikan
oleh Moyer et al. (1993) yang melaporkan bahwa pemakaian progesteron sampai
dengan lima tahun menekan mitosis pada kelenjar endometrium dan tidak
ditemukan terbentuknya hiperlasia atau karsinoma endometrium.
Efek progestogenik tergantung pada adanya grup keto pada C3 dan ikatan
rangkap pada C4 dan C5 dari molekul steroid tersebut (Gambar 3). Ada dua
bentuk progestogen, yaitu bentuk alami berasal dari organisme hidup dan bentuk
derivat sintetik yang disebut progestin.

Bentuk alami yaitu progesteron

merupakan senyawa yang identik dengan senyawa yang disekresikan oleh
ovarium manusia setelah ovulasi dan oleh plasenta selama kehamilan. Sedangkan

12
bentuk progestin diperoleh dari suatu prekursor tanaman, misal diosgenin yang
berasal dari yam semacam umbi-umbian atau kacang kedelai. (Sitruk-Ware 2002;
Wiegratz & Kuhl 2004).
CH 3
C

O

CH 3
CH3

19
2
3
O

5
4

Gambar 3 Struktur progesteron dengan grup keto pada C3 (Sitruk-Ware 2002).
Progestogen sangat bervariasi dilihat dari struktur kimianya, farmakokinetik
dan potensinya. Progestin yang strukturnya mirip dengan progesteron terdapat
dari dua derivat yaitu derivat pregnan dan 19-norpregnan (19-norprogesterone).
Kedua derivat tersebut terdapat dalam bentuk berasetilasi atau tidak berasetilasi.
Progestin yang bentuknya mirip dengan testosteron dapat mempunyai etinil atau
tidak mempunyai etinil.

Noretindron asetat dibuat dari prekursor tanaman

diosgenin dan termasuk bentuk testosteron yang mempunyai etinil (Stanczyk
2003). Progestogen sendiri tidak berikatan dengan reseptor estrogen oleh karena
itu tidak mempunyai efek estrogenik, akan tetapi pada noretindron dinyatakan
memiliki efek estrogenik yang lemah yang disebabkan reaksi aromatisasi cepat di
dalam hati yang menghasilkan metabolit EE.
Jenis-jenis progestogen yang sering dipakai untuk kombinasi terapi estrogen
progestogen dirangkum pada Tabel 3.
Tabel 3

Progestogen dan dosis yang dipakai untuk terapi kombinasi dengan
estrogen.
Nama Generik (Nama Dagang)
Dosis
Progesterone (Prometrium)
100, 200 mg
Progestin tablet:
Medroksiprogesteron asetat (Provera) 2,5 mg; 5 mg; 10 mg
Noretindron asetat (Aygestin)
0,35 mg
Norgestrel (Ovrette)
0,075 mg
(NAMS Position Statements, 2003)

13
Pemberian kombinasi hormon EE dan NETA pada studi acak tersamar
membuktikan bahwa hasil biopsi endometrium selama dua tahun tidak
menimbulkan hiperplasia endometrium. Selain itu, kombinasi EE dan NETA
dapat menghilangkan gejala seperti hot flashes sampai 77 % dan memperbaiki
profil lipid dengan menurunkan konsentrasi kolesterol LDL dan menaikan
kolesterol HDL (Sperrof et al. 1996).
Terapi Hormon Kombinasi
Terapi sulih hormon atau terapi hormon merupakan usaha pengobatan untuk
menghilangkan gejala-gejala yang dialami oleh kelompok wanita mati haid.
Pengobatan ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1942 dengan obat
Premarin, suatu pil estrogen, berasal dari urin kuda hamil dengan tujuan
menghilangkan gejala-gejala mati haid. Dalam perkembangannya, pemakaian
terapi hormon digunakan oleh praktisi kesehatan sebagai pengganti hormon yang
hilang untuk mencegah osteoporosis. FDA pada tahun 1986 merekomendasikan
bahwa terapi estrogen selain mengobati gejala mati haid juga untuk mencegah
osteoporosis. Ternyata pada sebagian uji klinis dilaporkan bahwa terapi estrogen
memberi manfaat baik untuk jantung sehingga dapat digunakan sebagai
pencegahan terhadap penyakit jantung koroner. Hal ini dibuktikan bahwa terapi
estrogen berhubungan erat dengan pengurangan mortalitas dan morbiditas sekitar
35-50% berdasarkan hasil penelitian pada perawat kesehatan di Harvard (BarretConnor & Grady 1998).
Namun demikian karena jenis, dosis, dan cara pemberian hormon estrogen
dan progestogen yang diteliti sangat bervariasi maka hasil uji-uji klinis
memberikan hasil berbeda.

Faktor resiko dan umur dari populasi wanita

pascamati haid yang diteliti juga sangat mempengaruhi hasil penelitian. Suatu uji
klinik prospektif yang menggunakan sejumlah besar responden berumur antara
50-79 tahun menunjukkan bahwa terapi hormon estrogen ternyata tidak
mengurangi resiko terjadinya peristiwa jantung koroner. Hasil tersebut sangat
mengejutkan karena bertolak belakang dari hasil uji preklinik pada hewan model
monyet yang membuktikan efek pencegahan yang cukup dramatis dalam
menurunkan faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner

yang dapat

14
menghambat progresi aterosklerosis (Bush et al. 1987; Mikkola & Clarkson
2002).
Pemakaian jenis progestogen dapat berpengaruh terhadap manfaat dari
estrogen. Hal ini dibuktikan dalam uji klinik PEPI yang mengindikasikan bahwa
penggunaan terapi hormon dapat memberi proteksi terhadap penyakit jantung.
Ternyata pemberian mikronisasi progesteron dengan estrogen menghasilkan suatu
profil lipoprotein yang lebih baik karena meningkatkan HDL dan menurunkan
LDL dibandingkan dengan pemberian MPA. Dalam uji ini dilaporkan bahwa
pada kelompok yang memperoleh estrogen tanpa progestogen mempunyai profil
lipoprotein yang lebih baik tetapi mengalami hiperplasia endometrium yang
sangat signifikan dibandingkan kelompok yang mendapatkan kombinasi estrogen
dan progestogen (Writing Group of PEPI 1995). Demikian pula pada uji klinik
HERS yang mengobservasi sejumlah wanita pascamati haid dengan riwayat
penyakit jantung koroner, ternyata terapi hormon CEE dan MPA tidak mencegah
terulangnya serangan penyakit jantung koroner dibandingkan dengan plasebo.
Hal tersebut diperkuat dengan hasil uji klinik WHI yang melaporkan
peningkatan penyakit jantung koroner, stroke, trombosis vena, dan kanker
payudara pada wanita yang memperoleh CEE dan MPA dibandingkan pada
kelompok yang hanya mendapatkan estrogen dan plasebo. Dengan demikian uji
klinik ini dihentikan dua tahun lebih awal dari rencana karena efek merugikannya
lebih besar daripada manfaatnya (WHI 2002).
Penelitian yang dilakukan pada monyet ekor panjang juga membuktikan
bahwa jenis progestogen yang dikombinasikan dengan estrogen memberi hasil
yang berbeda. Efek negatif dari pemberian tersebut yaitu meningkatnya resiko
kanker payudara seperti yang telah dilaporkan oleh Cline et al. (1996). Dari hasil
penelitiannya, monyet ekor panjang yang mendapatkan CEE dan MPA
menunjukkan peningkatan proliferasi epitelial kelenjar payudara sebagai penanda
suatu kanker payudara. Demikian pula pada suatu uji klinis membuktikan bahwa
wanita yang mendapatkan estrogen dan progestin mengalami peningkatan resiko
kanker payudara (Santen et al. 2001). Wiegrats & Kuhl (2004) melaporkan
bahwa pemberian NETA mengurangi resiko kanker payudara sampai dengan 50%
dibandingkan derivat progesteron. Penelitian-penelitian lain yang melaporkan

15
bahwa jenis progestogen yang dikombinasikan

dengan estrogen dapat

mempengaruhi efek manfaat pada jantung antara lain kombinasi estrogen dan
nomegestrol asetat (Wagner et al. 1998; William et al. 2002), estrogen dan NETA
(Alexandersen et al. 1998; Suparto et al. 2003), dan estradiol dan progesteron
(Mikkola & Clarkson 2002).
Oleh karena itu pemilihan progestogen harus mempertimbangkan jenis,
dosis dan cara pemberiannya (NAMS position statement 2003). Hasil-hasil yang
tidak konsisten pada uji-uji klinik terkontrol seperti HERS, PEPI, dan WHI
(Hulley et al. 1998; Herrington et al. 2000; WHI 2002) menimbulkan suatu
kekhawatiran yang serius tentang keuntungan dan kerugian pemakaian terapi
hormon untuk kelompok wanita pascamati haid.
Protein Kedelai
Kandungan dan Struktur
Protein kedelai berasal dari kacang kedelai (Glycine max.) yang sejak
beberapa abad yang lalu telah dikultivasi di Asia dan baru pada awal 1900
menjadi produk pertanian unggulan di AS. Protein kedelai diproduksi dari kacang
kedelai mentah melalui beberapa tahapan proses yang menghilangkan lemak dan
komponen yang tidak dapat dicerna sehingga menjadi protein yang terkonsentrasi.
Protein kedelai mengandung seluruh asam amino esensial dalam jumlah yang
cukup untuk menunjang kehidupan manusia oleh karena itu dapat sebagai sumber
protein yang lengkap. Beberapa komponen dalam protein kedelai mempunyai
manfaat hipokolesterolemik antara lain tripsin inhibitor, asam fitat, saponin, dan
serat, akan tetapi yang paling menonjol adalah kandungan isoflavonnya (Eardman
& Fordyce 1989).
Komponen protein kedelai yang menarik perhatian para peneliti adalah
isoflavon yang mempunyai struktur mirip estrogen sehingga disebut sebagai
fitoestrogen. Secara definisi, fitoestrogen adalah suatu zat atau metabolit dari
tumbuhan yang dapat menginduksi respon biologis melalui ikatannya dengan
reseptor estrogen α dan β. Ikatan fitoestrogen dengan reseptor estrogen lebih
lemah dibandingkan dengan estrogen endogen, akan tetapi berikatan dengan
reseptor estrogen β hampir 80% dari afinitas 17β estradiol. Fitoestrogen dapat

16
dianggap sebagai selective estrogen receptor modulators (modulator reseptor
estrogen selektif) alami karena agonis estrogen untuk sistem kardiovaskuler,
tulang dan otak, sementara sebagai antagonis estrogen untuk kelenjar payudara
dan uterus (Mäkelä & Gustafsson 2002).
Fitoestrogen ini merupakan bagian dari matriks kompleks protein kedelai
yang mengandung 1-3 mg isoflavon pada tiap gramnya. Kandungan isoflavon
sangat bervariasi tergantung sumber dan pengolahannya sebagai pangan. Seperti
contohnya kandungan isoflavon dalam tempe hanya 62 mg/100g sedangkan pada
kecap hampir hilang kandungan isoflavonnya (Nagata et al. 1998). Isoflavon
mempunyai cincin fenolik yang dibutuhkan untuk dapat berikatan dengan reseptor
estrogen. Beberapa senyawa fenolik mempunyai kemampuan untuk memberi
elektron H dari grup hidroksilnya untuk radikal bebas seperti contohnya pada
genistein dan daidzein. Oleh karena itu isoflavon berperan sebagai antioksidan
yang kuat sehingga dapat memproteksi tubuh dari kerusakan yang disebabkan
oleh radikal bebas (Mitchell et al. 1998).
Protein kedelai mengandung tiga senyawa isoflavon yaitu genistein,
daidzein, dan glisitein yang strukturnya mirip dengan estrogen (17β estradiol).
Struktur umumnya mempunyai dua cincin benzen (A dan B) dan berikatan dengan
suatu cincin heterosiklik yang mengandung oksigen (C). Kemiripannya terletak
pada cincin A dengan substitusi gugus hidroksil dan suatu gugus hidroksil kedua
dalam ruang datar yang sama (Gambar 4) (Miksicek 1993; Anderson et al. 1999).
OH

OH

A
HO

O

B

Genistein

C

OH

O
OH
O

HO

Daidzein

HO

O
OH
O

Glycitein

17β-Estradiol

H 3CO

HO

Gambar 4

O

Struktur kimia isoflavon genistein, daidzein, glisitein dan 17β
estradiol (Anderson et al. 1999).

17
Sebagian besar isoflavon dari kedelai dalam bentuk konjugat glukosa atau
glikon disebut genistin, daidzin dan glisitin.

Saat diabsorbsi dalam usus,

dikonversi menjadi aglikon dengan bantuan flora usus sehingga menjadi genistein,
daidzein dan glisitein. Selanjutnya, bentuk aglikon tersebut dimetabolisme lebih
lanjut dalam hati menjadi ekuol. Isoflavon adalah molekul yang larut dalam
lemak dibawa dari lambung ke jaringan dengan khilomikron. Sedangkan ekuol
dapat dibawa dalam darah berikatan dengan protein serum. Ekuol dan isoflavon
lainnya, disekresi oleh hati ke dalam empedu dan masuk dalam sirkulasi
enterohepatik. Sirkulasi enterohepatik dapat berlangsung berulang kali sehingga
mendapatkan konsentrasi yang stabil untuk dapat memberi efek pada jaringan
yang memiliki reseptor estrogen. Akan tetapi, konsentrasi yang stabil ini sangat
tergantung pada kontinuitas pemasukan atau konsumsi isoflavonnya (King &
Bursill 1998).
Efek pada Sistem Kardiovaskuler
Protein

kedelai

dianggap

bermanfaat

untuk

pencegahan

penyakit

kardiovaskuler karena dapat mempengaruhi faktor-faktor resiko penyakit jantung
koroner. Faktor-faktor yang dipengaruhi yaitu efek hipokolesterolemik, efek pada
peroksidasi lipid, reaktivitas vaskuler, dan aterosklerosis. Peran protein kedelai
untuk lipid plasma dibuktikan oleh Anderson et al. (1995), dalam suatu metaanalisis dari 38 uji klinik pada manusia. Studi ini membandingkan efek protein
kedelai dengan plasebo yang menunjukkan protein kedelai dapat menurunkan
kolesterol LDL plasma sebesar ~13%, untuk TG ~10%, dan ~2% kenaikan
kolesterol HDL. Akan tetapi, efek kedelai terhadap kolesterol plasma bervariasi
karena

efek

hipokolesterolemik

lebih

besar

pada

pasien

dengan

hiperkolesterolemik dibandingkan pada normokolesterol. Dalam suatu uji klinik
pada wanita perimenopause dan pascamati haid, pengobatan selama lima minggu
dengan 80 mg/hari ekstrak isoflavon kedelai terjadi perbaikan elastisitas
pembuluh darah, akan tetapi tidak ada efek terhadap dilatasi vaskuler yang
dimediasi oleh endotel dan terhadap konsentrasi kolesterol HDL maupun
kolesterol LDL (Nestel et al. 1997).

18
Hasil studi meta-analisis oleh Zhan dan Ho (2005) dari 23 uji klinik sejak
tahun 1995 sampai dengan 2002, mengkalkulasi perubahan konsentrasi lipid
ternyata protein kedelai dengan isoflavon masih utuh menurunkan kolesterol
darah sampai 3,77%, kolesterol LDL turun 5,25%, dan trigliserid turun 7,27%
sedangkan kolesterol HDL meningkat sampai 3,03%.

Perubahan profil lipid

sangat dipengaruhi oleh konsentrasi awal kolesterol dan lamanya pemberian
protein kedelai. Sebaliknya pemberian isoflavon saja tidak memberi efek yang
bermakna terhadap penurunan kolesterol darah.
Selain uji pada manusia, telah dilaporkan pula uji pada monyet ekor panjang
yang membuktikan fitoestrogen isoflavon memberi manfaat terhadap faktor resiko
Anthony et al. (1997) dan Clarkson et al. (2001)

penyakit kardiovaskuler.

meneliti pengaruh fitoestrogen kedelai terhadap profil lipid darah. Diet yang
diberikan yaitu diet kasein dan laktalbumin sebagai sumber protein hewani, isolat
protein kedelai (isoflavon utuh), dan isolat protein kedelai tanpa isoflavon selama
14 bulan.

Ternyata isolat protein kedelai yang mengandung isoflavon

menghasilkan konsentrasi kolesterol HDL tertinggi, menurunkan kolesterol
plasma dan kolesterol LDL serta menghambat terbentuknya aterosklerosis.
Pada hewan model lain yaitu kelinci, terjadi aterosklerosis yang cukup parah
pada kelompok yang mendapatkan kasein sehingga mencapai derajat 3 di arkus
aorta dibandingkan dengan yang mendapatkan protein kedelai (Huff et al. 1982)
(Gambar 5). Hasil penelitian ini mendukung bahwa kedelai dapat mengurangi
terjadinya aterosklerosis.
Arkus Aorta

Aorta Thorasikus

D
E
R
A
J
A
T

Kasein

Gambar 5

Protein Kedelai

Kasein

Protein Kedelai

Derajat ateroskleroris pada aorta kelinci akibat protein kasein dan
kedelai (Huff et al. 1982).

19
Bukti bahwa protein kedelai dapat bekerja sama dengan terapi hormon 17β
estradiol telah dilaporkan oleh Wagner et al. (1997a). Ada suatu interaksi antara
estradiol dan protein kedelai sehingga menghambat pembentukan kolesteril ester
aorta dan peroksidasi lipid arteri dibandingkan dengan kasein laktalbumin pada
monyet ekor panjang yang telah diovariektomi. Dalam penelitian ini, terbukti
baik estrogen maupun isoflavon mempunyai aktivitas antioksidan yang
berpengaruh terhadap aterogenesis.
Williams et al. (2001) meneliti pula efek interaktif protein kedelai dengan
estradiol mikronisasi (1 mg/hari) terhadap reaktivitas vaskuler dengan angiografi
pada monyet ekor panjang yang diovariektomi dan diberi pakan aterogenik.
Pembuluh darah dari kelompok yang mendapatkan protein kedelai tidak berespon
terhadap asetilkolin, suatu vasodilator, tetapi kombinasinya dengan estradiol
menunjukkan vasodilatasi yang signifikan dibandingkan pemberian estradiol saja.
Untuk profil lipid plasma, pemberian protein kedelai secara bermakna
memperbaiki konsentrasi lipid plasma. Maka disimpulkan dari kedua penelitian
diatas, bahwa estradiol dan protein kedelai mempunyai efek interaktif terhadap
reaktivitas vaskuler dan mereduksi kolesterol ester aorta.
Kapiotis et al. (1997) mempelajari mekanisme kerja genistein secara in vitro
pada oksidasi LDL dalam sel endotel pembuluh darah manusia dan sapi yang
diukur dengan uji asam tiobarbiturat.
berkurangnya pembentukan

Penambahan genistein mengakibatkan

asam tiobarbiturik (TBARS, thiobarbituric acid

reactive substance). Oksidasi LDL yang dimediasi oleh sel endotel dihambat oleh
genistein sehingga memberi proteksi terhadap LDL.

Demikian juga dengan

daidzein mempunyai efek menghambat oksidasi LDL dengan kemampuan yang
lebih rendah dibandingkan dengan genistein.
Mekanisme menurunkan kolesterol oleh protein kedelai kemungkinan
melalui keterlibatan reseptor LDL. Suatu penelitian yang menggunakan mencit
tanpa reseptor LDL (LDL-receptor knockout) yang diberi kedelai tidak memberi
efek penurunan lipid plasma dibandingkan dengan mencit yang mengandung
reseptor LDL (Kirk et al. 1998). Hasil tersebut konsisten dengan pengamatan
pada sel makrofag bahwa kedelai memicu mRNA reseptor LDL (Sirtori et al.
1998).

20
Efek pada Payudara dan Endometrium
Protein kedelai dipercaya tidak menstimulasi proliferasi kelenjar payudara
dan sel endometrium seperti halnya estrogen mamalia. Hasil studi epidemiologi
menunjukkan bahwa kanker payudara tiga kali lebih rendah pada wanita Jepang
yang mengkonsumsi kedelai dibandingkan wanita di AS yang sangat sedikit
makan kedelai (Adlercreutz 1998). Bukti lain yang mendukung peran kedelai
dalam mencegah kanker payudara berdasarkan hasil uji preklinik, dan uji klinik
yang secara konsisten menemukan reduksi resiko kanker payudara dengan
meningkatkan konsumsi kedelai (Clarkson 2001).
Hubungan resiko kanker payudara dan konsumsi keledai sangat kuat pada
wanita premenopause dibandingkan pada wanita pascamati haid. Hubungan ini
menunjukkan efek protektif fitoestrogen kedelai melalui mekanisme efek
antagonis estrogenik. Indikator untuk resiko kanker payudara adalah densitas
jaringan payudara dan produksi carian payudara diluar masa laktasi. Banyak
dugaan mekanisme efek protektif fitoestrogen sebagai antikanker melalui efek
antiproliferatif,

menghambat tirosin kinase, menginduksi apoptosis, dan

antiangiogenesis. (Wagner 2001).
Bukti-bukti yang lebih menyakinkan didapat dari uji preklinik in-vitro dan
in-vivo pada hewan coba tikus maupun monyet ekor panjang.

Dosis tinggi

genistein (>10 µmol/l) mempunyai efek antiproliferatif terhadap sel kanker
payudara MCF-7 yang menunjukkan bahwa efek tersebut tidak melalui reseptor
estrogen, akan tetapi melalui penghambatan aktivitas tirosin kinase. Genistein
merupakan penghambat topoimerase DNA dan juga bersifat antioksidan serta
menginduksi apoptosis pada sel kanker payudara secara in-vitro. Penelitian pada
tikus, oleh Barnes et al. (1994) dan Constantinou et al. (1996) menunjukkan
bahwa isoflavon khususnya genistein mengurangi jumlah tumor kelenjar payudara
dibandingkan dengan tikus yang tidak memperoleh isoflavon
Efek antikanker dari isoflavon (ekivalen dosis wanita yaitu 129 mg/hari),
estradiol dan kombinasinya diujikan pada hewan coba monyet ekor panjang yang
diovariektomi.

Setelah enam bulan, dilakukan pengukuran morfometri dan

imunohistokimia pada endometrium dan kelenjar payudara.

Hasil penelitian

tersebut menemukan bahwa penambahan kedelai pada estradiol sangat

21
mengurangi efek proliferasi kelenjar payudara maupun endometrium yang
disebabkan oleh estradiol (Gambar 6).

Hal ini berarti bahwa kedelai dapat

bermanfaat bagi wanita pascamati haid karena kedelai memiliki efek antagonistik
pada proliferasi endometrium dan payudara bila dikombinasikan dengan estrogen
eksogen (Foth & Cline 1998).

20
15

Ki-67
(%) 10
5
0

Gambar 6

Cont
rol
Kontrol

EE22

SPE
E+ E2 2
KDL SPKDL+E

Persentase sel duktus kelenjar payudara dengan Ki-67 petanda
proliferasi pada kelompok kontrol, estradiol (E2), kedelai (KDL) dan
kombinasi KDL dengan E2 pada monyet ekor panjang yang
diovariektomi (Foth & Cline 1998).

Wood et al. (2006) meneliti peran isoflavon dan estradiol
antikanker payudara pada monyet ekor panjang yang diovariektomi.

sebagai
Dosis

isoflavon yang digunakan yaitu 0, 60, 120, atau 240 mg/hari dan dikombinasikan
dengan 17β estradiol dosis rendah (0,09 mg/hari) dan dosis tinggi (0,5 mg/hari)
selama empat bulan. Ternyata kelompok yang mendapatkan isoflavon dengan
dosis tertinggi menunjukkan proliferasi payudara terendah dalam suasana estrogen
yang tinggi. Sebaliknya, pemberian isoflavon tidak menyebabkan efek agonis
estrogen dan efek antagonis yang minimal bila dalam lingkungan estrogen yang
rendah (estradiol dosis rendah).

Temuan ini menunjukkan bahwa isoflavon

mengantagonis efek estradiol terhadap proliferasi payudara sangat tergantung
pada dosisnya.
Suatu uji klinik oleh Goodman et al. (1997) melaporkan bahwa konsumsi
kedelai dapat menurunkan resiko kanker endometrium sampai dengan 50%. Pada
dua penelitian acak tersamar ganda yang memberikan isoflavon dosis 92 mg

22
isoflavon/hari (Balk et al. 2002) dan dosis 72 mg isoflavon/hari (Penotti et al.
2003) selama enam bulan pada wanita pascamati haid, ternyata hasilnya
menunjukkan endometrium yang atrofik.

Uji klinik lainnya melihat efek

isoflavon kedelai dengan dosis 114 mg/hari terhadap epitel vagina dan
endometrium pada wanita pascamati haid selama tiga bulan, ternyata tidak
mempengaruhi epitel vagina maupun endometrium sehingga pemakaiannya
dianggap aman (Nikander et al. 2005).
Foth & Cline (1998) membuktikan pula bahwa estradiol meningkatkan
proliferasi endometrium seperti yang sudah diprediksi dan penambahan
fitoestrogen pada estradiol dapat mengurangi efek proliferasi yang dipicu oleh
estradiol sehingga tidak berbeda dengan kontrol. Efek fitoestrogen yang dapat
mengantagonis efek estrogen terhadap endometrium, menimbulkan pemikiran
kemungkinannya fitoestrogen sebagai terapi kombinasi dengan estradiol.
Kombinasi tersebut dapat memaksimalkan manfaatnya terhadap kardiovaskuler
dan dapat memproteksi tulang dengan meminimalkan efek negatif pada payudara
dan uterus.
Akan tetapi, pemberian isoflavon dalam jangka waktu yang lama perlu
dipertimbangkan seusai dengan hasil penelitian oleh Unfer et al. 2004. Mereka
melaporkan bahwa tablet isoflavon dengan dosis 150 mg/hari selama lima tahun
pada wanita pascamati haid ternyata 3,37% mengalami hiperplasia endometrium
dibandingkan plasebo.
Penyakit Jantung Koroner
Fisiologi Kerja Jantung
Jantung merupakan organ dalam tubuh yang mempunyai fungsi sebagai
pompa darah untuk mengalirkan nutrien dan oksigen ke seluruh tubuh. Jantung
mempunyai empat bilik atau ruang yaitu atrium dan ventrikel masing-masing sisi
kanan dan kiri (Gambar 7). Atrium untuk mengumpulkan darah dari sistem
sirkulasi perifer dan kembali ke jantung. Ventrikel untuk memompa darah keluar
dari jantung untuk ke seluruh tubuh.

23
Aorta

Vena kava superior

Arteri pulmonari kiri

Arteria
kiri
Atrium koronaria
kiri
Arteria koronaria kanan
Arteria koronaria kiri
desendens
Atrium kanan

Vena kava inferior

Ventrikel kiri

Ventrikel kanan

Gambar 7 Jantung dari bagian anterior, dengan pembuluh darah utamanya.
(MedlinePlus 2004).
Ada dua arteria koronaria yang utama yaitu kiri dan kanan, yang keluar dari
sinus koronaria diatas katup aorta, tempat bermuaranya arteria koronaria disebut
sinus valsalva. Arteria koronaria kiri memanjang sekitar 3,5 cm menjadi arteria
anterior kiri desendens dan cabang sirkumfleks. Arteria kiri desendens mengikuti
celah diantara kedua ventrikel yang memberi sirkulasi darah untuk ventrikel kiri
dan bagian anterior dari septum interventrikular serta otot papiler anterior dari
ventrikel kiri. Arteria koronaria kanan berada dalam celah atrioventrkular dan
mengalirkan darah ke ventrikel kanan. Selanjutnya, arteria tersebut ke arah
posterior untuk memberi sirkulasi darah pada bagian posterior jantung. Nodus
sinoatrial dialiri darah dari arteria koronaria kanan (Gambar 7). Cabang-cabang
utama dari arteria koronaria tidak berhubungan akan tetapi terdapat anastomotik
yang saling menghubungkan dengan arteri kecil (Matfin & Porth 2005).
Bila pada salah satu arteria koronaria tersebut mengalami oklusi oleh suatu
sebab patologis seperti aterosklerosis, maka pembuluh darah kolateral akan
membesar untuk mengatasi sumbatan tersebut.

Keadaan tersebut tidak

menimbulkan gejala karena tubuh mengatasi obstruksi tersebut dengan
pembentukan pembuluh darah kolateral. Oleh karena itu, biasanya pada tahap
awal penyakit jantung koroner tidak memberi gejala dan baru menunjukkan suatu
gejala berupa rasa nyeri dada bila kelainan sudah lanjut. Hal ini disebabkan oleh
gangguan keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen pada miokardium
distal dari daerah lesi (Porth 2005).

24
Sistem hemodinamika adalah sistem yang berperan dalam prinsip-prinsip
fisika aliran darah dalam pembuluh darah dan jantung. Suatu kekuatan yang
dihasilkan oleh jantung untuk menggerakan darah melalui sistem kardiovaskuler.
Jantung mendorong darah ke dalam aorta kemudian melebarkan dan
menimbulkan tekanan di dalam aorta.

Tekanan yang dihasilkan selanjutnya

mendorong darah melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh dan kemudian
kembali ke jantung.
Parameter untuk sistem hemodinamika ini antara lain curah jantung
(Cardiac output), volume sekuncup (stroke volume), dan frekuensi denyut jantung
(heart rate). Akibat kontraksi miokardium yang berirama dan sinkron maka darah
dipompa masuk ke dalam sirkulasi pulmonar dan sistemik. Curah jantung adalah
hasil pengukuran volume sekuncup dan frekuensi jantung dengan unit liter per
menit (L/menit). Maka curah jantung adalah volume darah yang dipompa oleh
tiap ventrikel per menit. Curah jantung dapat bervariasi tergantung kebutuhan
jaringan perifer untuk oksigen dan nutrisi. Jumlah darah yang dipompa oleh tiap
ventrikel per menit pada orang dalam keadaan istirahat kurang lebih lima L/menit
atau 0,1 L/menit/kg sebagai nilai normalnya.

Volume sekuncup atau curah

sekuncup adalah volume darah yang dikeluarkan oleh ventrikel setiap detiknya
(Guyton 1994; Price & Wilson 1995; Porth 2005).
Volume sekuncup dan frekuensi jantung merupakan faktor penentu curah
jantung yang dapat dipertahankan dengan stabil bila ada perubahan dengan
menyesuaikan parameter lainnya. Bila frekuensi jantung menurun maka ventrikel
akan meningkatkan waktu pengisian agar volumenya lebih besar dan darah yang
dikeluarkan per denyut menjadi lebih banyak pula. Akan tetapi, bila volume
sekuncup menurun, maka curah jantung dapat stabil dengan meningkatkan
frekuensi jantung. Kemampuan untuk perubahan dan stabilisasi curah jantung
tergantung pada pengaturan frekuensi jantung dan volume sekuncup (Guyton
1994).
Pengaturan frekuensi jantung dilakukan dengan pengaturan ekstrinsik sistem
syaraf otonom yaitu syaraf parasimpatis dan simpatis yang mempersyarafi nodus
sino atrium dan atrio ventrikular dengan mempengaruhi kecepatan dan frekuensi
konduksi impuls. Stimulasi parasimpatis akan mengurangi frekuensi denyut

25
jantung, sedangkan simpatis mempercepat denyut jantung. Kecepatan frekuensi
jantung yang normal terutama diatur oleh syaraf parasimpatis pada 80 dpm
(denyut per menit) (Carleton 1995).
Untuk curah sekuncup tergantung pada tiga hal yaitu beban awal (preload),
kedua yaitu kontraktilitas dan ketiga adalah beban akhir (after load). Hukum
Starling menyatakan bahwa peregangan/pemanjangan serabut miokardium selama
diastol dengan meningkatan volume akhir diastolik akan meningkatkan kekuatan
kontraksi pada saat sistolik.

Alir balik yang meningkat akan meningkatkan

peregangan sarkomer sehingga jumlah interaksi aktin miosin meningkatkan
jumlah miofilamen yang saling tumpang tindih untuk meningkatkan kontraksi.
Kontraktilias tergantung pada perubahan dalam kekuatan kontraksi yang timbul
terhadap perubahan panjang serabut miokardium.

Pertambahan kontraktilitas

merupakan hasil intensifikasi dari interaksi pada jembatan penghubung aktin
miosin dalam sarkomer. Intensitas interaksi ini berhubungan dengan kadar ionion kalsium yang bebas. Pemberian kalsium atau katekolamin akan memperkuat
kontraktilitas (Guyton 1994; Price & Wilson 1995).
Oleh karena itu variabel atau parameter seperti frekuensi denyut jantung,
daya kontraksi, massa otot dan tegangan dinding ventrikel sangat penting untuk
menentukan besarnya kebutuhan oksigen miokardium. Suatu kebutuhan oksigen
pada miokardium yang meningkat, maka aliran pembuluh koroner harus
ditingkatkan dengan mendilatasi arteria koronaria.

Akan tetapi bila pada

pembuluh darah tersebut terjadi stenosis maka dilatasi tidak terjadi sehingga
terjadi kekurangan oksigen. Maka keadaan kekurangan oksigen tersebut disebut
iskemia yang dapat bersifat sementara, akan tetapi bila berlangsung lama
terjadilah kematian sel (necrosis) yang disebut infark. Bagian jantung yang paling
sering mengalami keadaan iskemia dan infark adalah ventrikel kiri karena
kebutuhannya akan oksigen lebih besar dengan adanya resistensi sitemik terhadap
ejeksi serta massa otot yang besar (Price & Wilson 1995; Porth 2005).
Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner

disebut juga penyakit jantung iskemik yaitu

penyakit yang diakibatkan adanya ketidak seimbangan antara persediaan dan
kebutuhan darah yang mengandung oksigen untuk jantung.

Kejadian kasus

26
jantung iskemik umumnya sekitar 90% disebabkan oleh berkurangnya aliran
darah koroner karena obstruksi aterosklerosis dari arteria koronaria sehingga
menjadi penyebab hipoksia atau anoksia dari miokardium. Keadaan obstruksi
koronaria dapat menimbulkan angina pektoris dan infark miokardium (Cotran et
al. 1989).
Proses patologis kejadian diatas dikenal dengan aterosklerosis yaitu suatu
pengerasan arteri yang dikarakterisasi oleh deposisi lipid pada lapisan intima
pembuluh darah besar dan sedang. Sejak masa kan