PENDAHULUAN PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA KEDUDUKAN DAN PERANAN JAKSA DALAM KENDALA- KENDALA DAN HAMBATAN YANG DIHADAPI KEJAKSAAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KESIMPULAN DAN SARAN KENDALA YANG DIHADAPI KEJAKSAAN DALAM

dengan kata yang diperlukan sehingga akan diperoleh gambaran dalam prakteknya terhadap permalahan yang ingin dijawab.

G. Sistematika Penulisan

Agar mudah dalam penyusunan dan memahami isi serta pesan yang ingin di sampaikan maka penulis menguraikan secara ringkas pembahasan dalam skripsi ini. Dalam penulisan skrpsi ini akan dibagi menjadi 5 lima bab, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam Bab I ini akan diuraikan tentang latar belakang pemikiran penulis sehingga mengangkat judul dengan perumusan masalahnya, tujuan dan manfaat yang ingin dicapai melalui penulisan skripsi ini, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan yang dipakai serta sistematika penulisan skripsi.

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Dalam Bab ini diuaraikan tentang pengaturan hukum tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia, jenis penjatuhan pidana pada perkara tindak pidana korupsi, bentuk tindak pidana korupsi, subyek dan pertanggungjawaban dalam delik korupsi, serta mekanisme pemeriksaan tindak pidana korupsi. Universitas Sumatera Utara

BAB III KEDUDUKAN DAN PERANAN JAKSA DALAM

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Dalam Bab ini akan diuraikan mengenai kedudukan dan peranan Jaksa dan segala upaya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

BAB IV KENDALA- KENDALA DAN HAMBATAN YANG DIHADAPI KEJAKSAAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI Dalam Bab ini akan diuraikan tentang hal- hal apa saja yang menjadi kendala dan hambatan yang dihadapi Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi Indonesia dan di Kota Binjai.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bagian terakhir yang memuat kesimpulan dan saran atas setiap permasalahan yang telah dikemukakan. Dalam hal ini penulis skrpsi menyimpulkan dan memberikan jawaban dari permasalahan dan kemudian penulis memberikan saran- saran untuk masalah yang ada dalam masyarakat dan diharapkan akan berguna dalam praktik. Universitas Sumatera Utara

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI

DI INDONESIA A. Sejarah Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui bebrapa masa perubahan perundang- undangan. Istilah korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angakatan Darat Peraturan Militer Nomor PRTPM061957. Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut 15 1. Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari: : a. Pengaturan yang berkuasa Nomor PRTPM061957 dikeluarkan oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini ada dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian. 16 15 Evi Hartanti, Op.cit, halaman 22 16 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi UU No.31 Tahun 1999. Penerbit Mandar Maju, Bandung 2001, halaman 13 Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima Universitas Sumatera Utara bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan material baginya. 17 b. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRTPM081957 berisi tentang pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang- orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta Benda PHB. c. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRTPM0111957 merupakan peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda PHB untuk melakukan penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi. d. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor PRTPEPERPU0311958 serta peraturan pelaksananya. e. Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRTz.1I71958 tanggal 17 April 1958 diumumkan dalam BN Nomor 4258. Peraturan tersebut diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan Laut. 18 17 Ibid, halaman 13-14 18 Jur. Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005 Universitas Sumatera Utara 2. Masa Undang- Undang Nomor 24PrpTahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. 19 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Anti Korupsi, yang merupakan peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat Undang- Undang ini masih melekat sifat kedaruratan, menurut pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949. 20 Undang- Undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1961. 21 3. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 LNRI 1971-19, TNLRI 2958 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 LNRI 1999-40, TNLRI 387, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 LNRI 2001-134, TNLRI 4150, tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 LNRI 2002-137. TNLRI 4250 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dasar hukum dari munculnya peraturan di luar Kitab Undang- Undang hukum Pidana KUHP di atas adalah Pasal 103 KUHP. Di dalam pasal tersebut dinyatakan, “ Ketentuan- ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini 19 Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, halaman 15 20 Konstitusi RIS dicabut dengan berlakunya UUDS 1950 dan UUDS 1950 dicabut dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959 21 Evi Hartanti, op. Cit, halaman 22-23 Universitas Sumatera Utara juga berlaku bagi perbuatan- perbuatan yang oleh ketentuan perundang- undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh Undang- Undang ditentukan lain.” 22 Ketentuan- ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibentuklah suatu peraturan perundang- undangan guna memberantas masalah korupsi, dengan harapan dapat mengisis serta menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP. Dengan berlakunya Undang- Undang 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan tindak Pidana korupsi, maka ketentuan Pasal 209 KUHP, Pasal 210 KUHP, Pasal 387 KUHP, Pasal 388 KUHP, Pasal 415, Pasal 416 KUHP, Pasal 417 KUHP, Pasal 418 KUHP, Pasal Jadi, dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang- undangan mengatur lain daripada yang telah diatur dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum Lex Specialis Derogat Legi Generali. Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan perundang- undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan- ketentuan yang telah diatur dalam KUHP. Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP sebenarnya terdapat ketentuan- ketentuan yang mengancam dengan pidana orang yang melakukan delik jabatan, pada khususnya delik- delik yang dilakukan oleh pejabat yang terkait dengan korupsi. 22 Ibid, halaman 23 Universitas Sumatera Utara 419 KUHP, Pasal 420 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP, Pasal 434 KUHP dinyatakan tidak berlaku. 23 Perumusan tindak pidana korupsi menutur pasal 2 ayat 1 Undang- undang Nomor 31 tahun 1999 adalah setiap orang orang-perorangan atau korporasi yang memenuhi unsurelemen dari pasal tersebut. Dengan demikian, pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal ini adalah “Setiap Orang”, tidak ada keharusan Pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang dapat berbentuk badan hukum atau perkumpulan. Adapun perbuatan yang dilakukan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi adalah sebagai berikut: 24 1. Memperkaya diri sendiri, artinya bahwa perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri. 2. Memperkaya orang lain, maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. Jadi, di sini yang diuntungkan bukan pelaku langsung. 3. Memperkaya korporasi, atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum Pasal 1 angka 1 undang- undang Nomor 31 Tahun 1999. 23 Ibid, Halaman 25. 24 Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung, 2002, halaman 31. Universitas Sumatera Utara Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak peraturan perundang- undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi. Diantaranya ada KUHP, Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi beserta revisinya melalui Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002. Secara substansi Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit. Dalam Undang- Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagai tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang tetapi juga pada korporasi, sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana mati, seperti yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 undang- undang tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula dilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian telah diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol, undang- undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran serta masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi dilakukan melalui kerja sama dengan dunia Internasioanal. Hal ini Universitas Sumatera Utara dilakukan dengan cara menandatangani konvensi PBB tentang anti korupsi yang memberikan peluang untuk mengembalikan aset- aset para koruptor yang di bawa lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia akan diuntungkan dengan penanda tangan jonvensi ini. Salah satu yang penting dalam konvensi inia adalah adanya pengaturan tentang pembekuan, penyitaan dari harta benda hasil korupsi yang ada di luar negeri. 25

B. Bentuk Tindak Pidana Korupsi, Subyek, dan Pertanggungjawaban dalam Delik Korupsi

Dalam praktek kita mengenal dua bentuk korupsi diantaranya Administrative Coruption, di mana segala sesuatu yang dijalankan adalah sesuai dengan hukum peraturan yang berlaku. Akan tetapi, individu- individu tertentu memperkaya dirinya sendiri. Misalnya dalam hal proses rekruitmen pegawai negeri, di mana dilakukan ujian seleksi mulai dari seleksi administratif sampai ujian pengetahuan atau kemampuan. Akan tetapi. Yang harus diluluskan sudah tertentu orangnya. Selain itu ada juga yang disebut dengan Against the rule corruption, artinya korupsi yang dilakukan adalah sepenuhnya bertentangan dengan hukum. Misalnya penyuapan, penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Di masa orde lama masalah korupsi ini diperangi dengan Peraturan Penguasa Perang Nomor 25 Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Penerbit Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, Jakarta 2008, halaman 49-50. Universitas Sumatera Utara PrtPerpu0131958, yang diumumkan pada tanggal 16 April 1958 dan disiarkan dalam Berita Negara nomor 40 Tahun 1958. 26 Subjek delik korupsi menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999, terbagi dalam dua kelompok, yang kedua-duanya jika melakukan perbuatan pidana diancam sanksi. Pelaku ataupun subjek delik tersebut adalah manusia, korporasi, pegawai negeri, dan setiap orang. 27 Ada beberapa perumusan delik dalam tindak pidana korupsi diantaranya adalah: 28 1. Memperkaya Diri atau Orang Lain Secara Melawan Hukum Perumusan tindak pidana korupsi menurut pasal 2 ayat 1 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah setiap orang orang- perorangan atau korporasi yang memenuhi unsur elemen dari pasal tersebut.dengan demikian, pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal ini adalah “Setiap orang”, tidak ada keharusan Pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang dapat berbentuk badan hukum atau perkumpulan. 2. Melakukan Perbuatan Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi Adapun perbuatan yang dilakukan menurut elemen ini adalah: 26 Darwan Prinst, op.cit, halaman 10-11 27 Evi Hartanti, op.cit, halaman 21 28 Darwan Prinst, Op. Cit, halaman 29-32 Universitas Sumatera Utara a. Memperkaya diri sendiri, artinya dengan perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri. b. Memperkaya orang lain, yaitu akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. Jadi yang diuntungkan bukan pelaku langsung. c. Memperkaya korporasi, atau mungkin juga mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporsi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekeyaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun badan hukum pasal 1 angka 1 Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999. 3. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Apabila perbuatan itu dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, perbuatan pidana sudah selesai dan sempurna dilakukan. Adapun yang dimaksud dengan keugangan neagar adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat Universitas Sumatera Utara maupun di daerah. Hukumannya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- Delik dalam pasal 3 penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana, yang pertama sekali perlu dipahami, bahwa pelaku tindak pidana menurut pasal 3 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini adalah setiap orang, yakni orang perorangan dan korporasi yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya. 29 Pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari hukum pidana umum. Hal itu nyata dalam hal, kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia pasal 23 ayat 1 sampai ayat 4 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971, pasal 38 ayat 1,2,3 dan 4 UU Tindak Pidana Korupsi 1990. Perampasan barang- barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi pasal 23 ayat 5 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971, pasal 38 ayat 5 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1999, bahkan kesempatan banding tidak ada. Perumusan delik dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971 yang sangat luas ruang lingkupnya, terutama unsur ketiga pada pasal 1 ayat 1 sub a dan b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971, pasal 2 dan 3 UU pemberantasan tindak pidana Korupsi 1999. Penafsiran kata “menggelapkan” pada delik penggelapan pasal 415 KUHP oleh Yurisprudensi baik di Belanda maupun di Indonesia sangat luas. Uraian mengenai perluasan pertanggungjawaban pidana 29 Ibid, halaman 33 Universitas Sumatera Utara tersebut di atas dilanjutkan di bawah ini, pasal ini diadopsi menjadi pasal 8 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2001. 30 C. Jenis Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Menurut UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 Berdasarkan ketentuan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: a. Terhadap orang yang melakukan tindak pidana korupsi 1. Pidana Mati, baik berdasarkan pasal 69 KUHP, UU PTPK maupun berdasarkan hak tertinggi manusia pidana mati adalah pidana terberat karena pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup manusia yang merupakan hak asasi manusia yang utama. Selain itu, tidak dapat dikoreksi atau diperbaiki eksekusi yang telah terjadi apabila dikemudian hari ditemukan kekeliruan. Untuk itu hanya perbuatan pidana yang benar- benar berat yang diancam oleh pidana mati. Dan setiap pasal yang mencantumkan pidana mati selalu disertai alternatif pidana lainnya sehingga hakim tidak disertai merta pasti menjatuhkan hukuman mati kepada pelanggar pasal yang diancam pidana mati. Misalnya pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana sementara paling lama 20 tahun sebagaimana tercantum dalam pasal 340 KUHP, prinsip ini juga diikuti UU lain termasuk UU PTPK. 31 30 Jur. Andi hamzah, op.cit, halaman 93 31 Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, Penerbit Solusi Publishing, Jakarta 2010, halaman 7. Di Universitas Sumatera Utara dalam UU No.31 Tahun 1999 hanya terdapat tindak pidana yang diancam mati yaitu pasal 2 ayat 2. Pidana mati di sini “dapat diancam apabila tindak pidana yang diatur pada ayat 2 beserta penjelasannya. Keadaan tertentu dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku, pada waktu terjadi bencana nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi atau moneter. 2. Pidana Penjara, merupakan perampasan kemerdekaan yang merupakan hak dasar diambil secara paksa. Mereka tidak bebas pergi ke mana saja dan tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial sesuai yang ia kehendaki. Namun, waktu pemidanaannya dipergunkan demi kepentingan reclassering Pemasyarakatan atau pembinaan. Pengaturan pidana penjara menurut KUHP adalah sebagai berikut: - Seumur hidup tanpa minimal atau maksimal. - Sementara dengan waktu paling pendek satu hari dan paling lama 15 tahun sesuai pasal 12 ayat 2 KUHP. Pidana penjara dapat melewati batas maksimum umum yaitu 15 tahun menjadi hingga 20 tahun dalam hal: - Hakim boleh memilih antara pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara 20 tahun. - Hakim boleh memilih antara pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara 20 tahun. Universitas Sumatera Utara - Ada pemberatan umum yaitu, concursus pembarengan yang diatur dalam pasal 65 hingga pasal 70, reseidve pengulangan yang diatur dalam pasal 486 hingga pasal 488, pasal 52 mengenai pengalahgunaan wewenang jabatan, dan pasal 52a tentang menyalahgunakan bendera RI. - Ada pemberatan khusus, seperti pasal 355 jo pasal 356 mengenai penganiayaan seorang anak terhadap ibu kandungnya. Semua tindak pidana yang diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diancam dengan pidana penjara baik penjara seumur hidup maupun sementara. Pidana penjara seumur hidup terdapat dalam pasal 2 ayat 1,3,12,12B ayat 2. Pidana penjara sementara diancam dengan batas maksimum dan batas minimum. Batas minimum ditentukan dalam pasal- pasal dalam UU ini sebagai salah satu upaya dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Pidana penjara sementara berkisar antara 1 tahun hingga 20 tahun. Pidana 20 tahun sebagai alternatif penjara seumur hidup. 32 3. Pidana Tambahan 33 a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang- barang tersebut. 32 Ibid, halaman 7- 9 33 Evi Hartantai, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta 2008, halaman 14-15 Universitas Sumatera Utara b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak- banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. c. Penuntupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 tahun. d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak- hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. f. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. 4. Gugatan Perdata kepada ahli warisnya, dalam hal ini terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya. 34 34 Ibid, halaman 15 Universitas Sumatera Utara 5. Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh atas nama suatu korporasi, di mana pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimum ditambah 13. Penjatuhan pidana ini melalui prosedural ketentuan pasal 20 ayat 1-66 Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999 adalah sebagai berikut: 35 a. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi atau pengurusnya. b. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang- orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama- sama. c. Dala hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain. d. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. e. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka pengadilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. Tindak pidana korupsi dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu tindak pidana korupsi murni dan tindak pidana tidak murni. Tindak pidana murni dalam 35 Ibid, halaman 15 Universitas Sumatera Utara perumusanya memuat norma dan sanksi sekaligus. Adapun tindak pidana tidak murni dalam perumusannya hanya memuat sanksi saja, sedangkan normanya terdapat dalam KUHP. 36 Adanya pembedaan ancaman pidana baik penjara maupun denda sesuai bobot delik termasuk kualifikasinya dalam UU Pemberantasan Tindak pidana Korupsi Tahun 1999. Dengan demikian, ada yang diancam dengan pidana penjara maksimum seumur hidup pasal 2, dan denda maksimum satu milyar. 37 Berdasarkan ketentuan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, maka penjatuhan hukuman menurut beberapa pasal yaitu, pada pasal 5 yang rumusannya diadopsi dari pasal 209 KUHP, ancaman penjaranya turun menjadi maksimum lima tahun, tetapi dendanya masih menjadi 250 juta rupiah. Pada pasal 6 rumusannya diadopsi dari pasal 210 KUHP menyuap hakim, pidana penjaranya turun menjadi maksimum lima belas tahun, tetapi dendanya naik menjadi 750 juta rupiah. Pada pasal 7 yang rumusan deliknya diadopsi dari pasal 387 dan 388, ancaman pidana penjaranya juga turun menjadi maksimum tujuh tahun, tetapi dendanya naik manjadi maksimum 350 juta rupiah 38 Pada pasal 8 UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, “ dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit 150 juta rupiah dan paling . 36 Ibid, halaman 15 37 Jur. Andi Hamzah, Op.cit, halaman 111 38 Ibid, halaman 111-112 Universitas Sumatera Utara banyak 750 juta rupiah, pidana denda pada pasal 11sama hal nya dengan pasal 8 yang membedakannya hanya denda pidanya yaitu 1 tahun dan paling lama 5 tahun. Dalam pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan pidana denda paling sedikit 50 juta rupiah dan paling banyak 250 juta rupiah. Pemidanaan pada pasal 10 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah pidana penjara paling sedkit 2 tahun dan paling lama 7 tahun dengan denda paling sedikit 100 juta rupiah dan paling banyak 350 juta rupiah. Pada pasal 12 dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak satu milyar. Universitas Sumatera Utara

BAB III KEDUDUKAN DAN PERANAN JAKSA DALAM PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA KORUPSI A. Peranan Jaksa dari Sudut Pandang Penal Policy dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Peranan Kejaksaan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat diwujudkan dalam bentuk hasil kerja yang maksimal dam seimbang sesuai kebijakan- kebijakan lain yang mendukung upaya pemberantasan korupsi di luar Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu sendiri. 39 Berdasarkan ketentuan pasal 284 ayat 2 KUHAP jo. Pasal 17 PP No.27 Tahun 1983 jo. Pasal 26 UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 44 ayat 4 serta pasal 50 ayat 1,2,3 dan 4 UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 30 huruf d UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Kejaksaan adalah salah satu institusi penegak hukum yang masih diberi wewenang melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. 40 Kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan penal penerapan hukum pidana, dan 39 Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 2005, halaman 58-59 40 Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar,dan Syarif Fadillah. Strategi Pencegahan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT.Refika Aditama, Bandung 2008, halaman 18 Universitas Sumatera Utara pendekatan nonpenal pendekatan di luar hukum pidana. Peranan Jaksa dari sudut pandang penal policy dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, di mana istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy”. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut juga politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. 41 Secara umum , pengertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah “policy” atau “bleid” khususnya dimaksudkan dalam arti “wijsbeleid” , menurut Robert R. Mayer dan Ernest Greenwood , dapat dirumuskan sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif 42 Pencegahan dan pendekatan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “Penal Law Enforcement Policy” yang fungsionalisasi dan atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu . 43 1. Formulasi kebijakan legislatiflegislasi. : 2. Aplikasi kebijakan yudikatifyudicial. 3. Eksekusi kebijakan eksekusiadministrasi. 41 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Penerbit Pustaka Bangsa Press, Medan 2008, halaman 65 42 http: www. Repository.usu.ac.id 43 ibid Universitas Sumatera Utara Usaha pemberantasan kejahatan lewat pembuatan undang- undang hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat. Dengan demikian seandainya kebijakan pemberantasan kejahatan politik kriminal dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” hukum pidana , maka kebijakan hukum pidana penal policy, khususnya pada tahap formulasi kebijakan legislasi yang merupakan tugas dari aparat pembuat undang- undang , harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial berupa “social-welfare” dan “social-defence”. Adapun mekanisme pemeriksaan terhadap tindak pidana korupsi yang merupakan upaya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi secara Penal yaitu:

1. Pemeriksaan Pendahuluan

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan hasil- hasil intervensi yang dibuat secara tertulis dari pihak tersangka. Dalam tahapan ini dikumpulkan bahan- bahan yang menjadi barang bukti atau alat- alat bukti dalam suatu rangkaian berkas perkara, serta kelengkapan pemeriksaan lainnya dengan maksud untuk dapat menyerahkan perkara ke pengadilan. Proses pemeriksaan pendahuluan ini berupa kegiatan yang rinciannya merupakan pemeriksaan persiapan, yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan. 44 a. Penahanan Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam 44 Evi Hartanti, op.cit, halaman 43 Universitas Sumatera Utara tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih dan tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 282 ayat 3, pasal 296, pasal 355 ayat 1, pasal 353 ayat 1, pasal 372, pasal 379a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480, dan 506 KUHP, pasal 25 dan pasal 26 pelanggaran terhadap ordonansi bea dab cukai, terakhir diubah dengan staatsblad tahun 1931 nomor 471. b. Jenis Penahanan Jenis- jenis penahanan pasal 22 KUHAP dapat berupa penahanan rumah tahanan negara, penahanan rumah yang dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penahanan tersebut 13 dari jumlah lamanya waktu penahanan. Penahanan kota yang dilakukan di kota tempat tinggal atau tenpat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan, untuk penahan kota pengurangan tersebut 15 dari jumlah lamanya waktu penahanan. c. Jangka waktu penahanan dan hak tersangka atau terdakwa Perintah penahanan oleh penyidik paling lama 20 hari. Apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai maka dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang paling lama 40 hari yang diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang paling lama 30 hari, setelah 60 hari tersebut penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Universitas Sumatera Utara Pada kenyataannya batasan waktu 90 hari dirasakan tidak cukup. Oleh karena itu pemecahannya adalah bahwa 90 hari kerja adalah merupakan batas minimal dalam penyelesaian perkara, sedangkan batas maksimalnya disesuaikan dengan tenggang waktu penahanan. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, maka terdakwa keluar demi hkum, dan perkaranya tetap dilanjutkan dengan pengertian tidak batal demi hukum. 45 Hakim Pengadilan Tinggi yang mengadili perkara guna kepentingan pemeriksaan tingkat banding berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama 30 hari. Apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, maka dapat oleh ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan paling lama 60 hari. Setelah 90 hari perkara tersebut belum dihapus, terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara guna kepentingan Kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan paling lama 50 hari apabila perkaranya belum selesai diperiksa maka Ketua Mahkamah Agung dapat memperpanjang masa penahanan paling lama 60 hari. Setelah 110 hari perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Jadi, seorang tersangka atau terdakwa dari pertama kali ditahan dalam rangka penyidikan sampai pada tingkat kasasi dapat ditahan paling lama 400 hari. 46

2. Penuntutan

Penuntutan oleh pasal 1 butir 7 didefenisikan sebagai “tindakan penuntut umum untuyk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang 45 Analisis dan evaluasi penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Badan pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta 2008, hal 32 46 Evi Hartanti, Op.cit, halaman 46-47 Universitas Sumatera Utara dalam hal dan menurut cara uang diatur dalam undang- undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan”. 47 Pengertian penuntutan ini sama dengan pengertian penuntutan yang tercantum dalam pasal 1 Undang- Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Sedangkan dasar hukum yang mengatur kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penuntutan tindak pidana korupsi adalah Pasal 6 Undang- Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan, “ Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. 48 Adapun yang dimaksud dengan Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim pasal 1 angka 6 KUHAP, sedangkan Jaksa itu sendiri adalah pejabat yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakannya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 49 47 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Penerbit Bayumedia, Malang 2005, halaman 381-382 48 Analisis dan evaluasi penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Badan pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta 2008, hal 15 49 Darwan, op.cit, halaman 96 Dalam hal Penuntut Umum melakukan penuntutan itu, maka ia dapat mengambil beberapa sikap, misalnya dalam hal tersangkut beberapa orang Terdakwa, maksudnnya apakah perkara itu diajukan dalam satu berkas atau dipecah menjadi beberapa berkas perkara. Pemecahan perkara ini biasanya dilakukan apabila terdapat kekurangan saksi- saksi, sehingga perlu diadakan saksi mahkota. Di mana pelaku yang satu menjadi saksi untuk pelaku lainnya. Universitas Sumatera Utara

3. Pemeriksaan Akhir

Kekuasaan untuk mengadili perkara pidana, mengaitkan wewenang untuk mengadili kompetensi pemberian kekuasaan mengadili atributif dan wewenang berdasarkan pembagian kekuasaan di pengadilan negeri. Dalam pasal 144 KUHAP, menentukan bahwa penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan atau tidak melanjutkan penuntutannya. Pengubahan tersebut hanya dapat dilakukan satu kali, selambat- lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai. KUHAP menggunakan asas keselarasan, keseimbangan, dan keserasian, di mana disatu pihak memberikan hak kepada tersangka atau terdakwa, dan untuk merealisasi hak itu, undang- undang menentukan tentang memberikan kewajiban dalam pemenuhannya secara maksimal. Dapat dikatakan juga bahwa asas ini mencerminkan “prinsip legalitas”, sebagai salah satu ciri dari negara hukum yang kita anut, dan memperhatikan adanya hubungan antara the rule of the law dan negara hukum. Pemeriksaan perkara pidana di pengadilan sebagai berikut: 50 1. Pembacaan surat dakwaan pasal 155 KUHAP, terdakwa hanya dapat dipidana jika terbukti telah melakukan delik yang tercantum dalam surat dakwaan. Jika terdakwa terbukti melakukan delik tetapi tidak disebut dalam dakwaan, maka ia tidak dapat dipidana. Untuk menyusun dakwaan, tidak perlu dimulai dengan 50 Evi Hartanti, Op.cit, halaman 49 Universitas Sumatera Utara melawan hukum. Dalam hukum pidana delik itu dibagi menjadi dua, yaitu perbuatan dan pertanggungjawaban. Pada perumusan delik di atas perbuatan adalah “memperkaya diri dan seterusnya”, dan akibatnya 51 2. Eksepsi pasal 156 KUHAP, adalah hak terdakwa untuk mengajukan keberatan setelah mendengar isi surat dakwaan. Eksepsi bertujuan untuk menghemat tenaga dan waktu dalam persidangan. Jika dari surat dakwaan itu sendiri sudah diketahui bahwa perkara dapat diputus atas dasar dakwaan tanpa pemeriksaan di sidang pengadilan, perkara diputus tanpa pemeriksaan dalam sidang. “kerugian keuangan negara”, disusul dengan “melawan hukum” yang dapat diartikan dalam delik ini sebagai “tanpa hak untuk menikmati hasil korupsi”. 3. Pemeriksaan saksi dan saksi ahli, yang bertujuan untuk meneliti apakah para saksi yang dipanggil sudah hadir di persidangan, di mana saksi diperiksa secara bergantian. Menurut pasal 160 ayat 1 sub b KUHAP yang pertama kali diperiksa adalah korban yang menjadi saksi. Dalam pemeriksaan terdapat dua saksi yaitu saksi de charge adalah saksi yang memberatkan. Saksi ini diajukan sejak awal oleh penuntut umum. Adapaun saksi a de charge, yaitu saksi yang meringankan terdakwa, saksi ini diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya. 52 51 Ibid, halaman 50 52 Ibid, halaman 51 Orang- orang yang dapat menjadi saksi adalah orang lain atau keluarga. Terhadap saksi dari keluarga yang terdekat tidak diperbolehkan didengar sebagai saksi, karena pembentuk undang- undang tidak yakin bahwa mereka meskipun disumpah tidak akan membantu keluarganya yang dapat Universitas Sumatera Utara merugikan pihak kepentingan umum, oleh ketentuan ini maka hindarilah kesulitan si keluaga itu untuk melanggar sumpahnya atau sebaliknya merugikan keluarga dan yang dapat menjadi saksi dari keluarga adalah graad keempat. 53 Saksi ahli, adalah mereka yang bukan langsung terkait dengan perkara, tetapi saksi ahli bisa memberikan keterangan kepada hakim, tentang sebab dan akibat suatu peristiwa dari sudut pandang ilmu pengetahuan yang saksi miliki. 54 4. Keterangan terdakwa pasal 177-178 dalam hal pemeriksaan di persidangan dia tidak disumpah. Apabila terdakwa atau saksi tidak dapat berbahasa Indonesia, maka pengadilan menunjuk seorang juru bahasa yang telah bersumpah atau berjanji atas kebenaran yang diterjemahkannya. 5. Pembuktian pasal 181 KUHAP meliputi barang bukti yang dipergunakan terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau hasil dari suatu tindak pidana. Barang- barang disita oleh penyelidik sebagai bukti dalam sidang pengadilan. Dalam pasal 181 ayat 1 KUHAP, ditentukan bahwa hakim ketua sidang memperlihatkan barang tersebut kepada terdakwa dan menanyakan apakah terdakwa kenal dengan barang tersebut. Ada 5 alat bukti yang disebut dalam pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Perluasan alat bukti yang ada pada KUHAP tercantum dalam pasal 26A UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan “alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk 53 Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, halaman 93-94 54 Ibid, halaman 94 Universitas Sumatera Utara sebagaiamana dimaksud dalam pasal 188 ayat 2 UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diteriman, atau disimpan secara elektronik dengan optik atau yang serupa dengan itu dan dokumen yang setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan atau sarana, baik tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. 55 6. Requisitoir atau tuntutan pidana pasal 187 huruf a KUHAP. Apabila menurut pertimbangan majelis hakim pemeriksaan atas terdakwa dan para saksi telah cukup, penuntut umum dipersilahkan menyampaikan tuntutan pidana. Adapun isi surat tuntutan adalah identitas terdakwa, surat dakwaan, keterangan saksi saksi ahli, keterangan terdakwa, barang bukti, hal- hal yang meringankan serta yang memberatkan terdakwa, dan tuntutan permohonan kepada hakim. 7. Pledoi pasal 196 ayat 3 KUHAP merupakan kesempatan yang diberikan hakim ketua sidang kepada terdakwa dan penasehat hukumnya untuk disampaikan setelah adanya pembacaan tuntutan oleh penuntut umum. 8. Replik- duplik pasal 182 ayat 1 butir c KUHAP. Atas pledoi terdakwa, penuntut umum dapat memberi jawabannya, yang dikenal denga istilah replik. 55 Analisis dan evaluasi penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Badan pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta 2008, hal 35-36 Universitas Sumatera Utara Terdakwa dan penasihat hukumnya masih mempunyai kesempatan untuk menjawab replik dengan duplik. 56 9. Kesimpulan, dibuat sesudah sidang dinyatakan ditutup,yang dibuat oleh penuntut umum dan pembela masing- masing, yang menjadi dasar bagi majelis hakim untuk mengambil keputusan dengan dilakukannya musyawarah antara para hakim pasal 182 ayat 3 KUHAP. Musyawarah yang dilakukan oleh majelis hakim didasarkan kepada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pasal 182 ayat 4. 57 10. Putusan pengadilan, yang diatur dalam pasal 191 ayat 1 dan 2 serta pasal 193 ayat 1 KUHAP, di mana adanya putusan bebas pasal 191 ayat 1, suatu putusan yang menyatakan bahwa kesalahan terdakwa atau perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum pasal 191 ayat 2 yang berisi tentang alasan pembenar dan alasan pemaaf. Kemudian pemidanaan pasal 191, dimana putusan yang dijatuhkan pada tedakwa oleh hakim apabila kesalahan terdakwa dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan. 58 Penulis ingin menguraikan sedikit tentang pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi. Pembuktian sebagai suatu kegiatan untuk usaha membuktikan sesuatu objek yang dibuktikan melalui alat- alat bukti yang boleh digunakan dengan cara- cara tertentu menurut undang- undang 59 56 Evi Hartanti, Op.cit, halaman 52 57 Ibid, halaman, 52 58 Ibid, halaman 52-53 59 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT.Alumni Bandung 2006, halaman 101 . Universitas Sumatera Utara Penegakan hukum pidana merupakan tugas komponen- komponen aparat penegak hukum yang tergabung dalam sistem peradilan pidana. Penerapan hukum pidana sebagai salah satu kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan Negeri yang harus memperhatikan faktor dan kondisi kriminogen yang dapat menimbulkan terjadinya tindak pidana korupsi. Di indonesia telah banyak undang- undang dan peraturan maupun lembaga yang khusus dalam mengatasi korupsi, diantaranya Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo. Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan UU Tipikor serta UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Jaksa Selaku Penyidik dan Penuntut Umum dalam Tindak Pidana Korupsi, di mana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik yang diatur oleh undang- undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana. Asal kata penyidikan adalah sidik yang berarti periksa, menyidik, menyelidiki, mengamat- amati. 60 Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna 60 Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, setakan II, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta 1989, halaman 837 Universitas Sumatera Utara menemukan tersangkanya Pasal 1 angka 2 KUHAP. Sesuai dengan ketentuan Pasal 284 ayat 2 KUHAP, penyidik untuk tindak pidana khusus sebagaimana tersebut pada undang- undang tertentu sampai ada perubahan atau dinyatakan tidak berlaku lagi, dan penyidikannya adalah Jaksa Penuntut Umum 61 61 Darwin Prinst, Op.cit, halaman 91-92 . Secara yuridis, pengertian penyidikan akan mengacu kepada Pasal 1 angka 2 KUHAP yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah “ serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Pasal 26 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa : “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang- Undang ini. Terhadap tindak pidana korupsi, sebelum keluarnya Undang- Undang No.31 tahun 1999, penyidikannya dilakukan oleh kejaksaan. Namun demikian, setelah lahirnya Undang- Undang No.31 Tahun 1999, yaitu pasca-Agustus 1999, penangan terhadap tindak pidana korupsi ini memiliki keragaman pemahaman. Universitas Sumatera Utara Ada beberapa pendapat tentang pengertian penuntutan oleh beberapa sarjana yaitu 62 a. Sudarto, menjelaskan bahwa tindakan penuntutan adalah berupa penyerahan berkas perkara si tersangka kepada hakim dan sekaligus supaya diserahkan kepada sidang pengadilan verwijzing naar de terechtizitting. : b. Wirjono Prodjodikoro, menururt seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa. c. S.M. Amin, menuntut adalah penyerahan perkara ke sidang oleh hakim. d. Mertiman Prodjoharmidjojo, penuntutan dalam arti luas merupakan segala tindakan penuntut umum sejak ia menerima berkas dari penyidik untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri. Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penuntutan merupakan satu proses dari berbagai tindakan yang harus dilakukan oleh seorang jaksa. Dalam KUHAP diatur juga tugas jaksa dalam bidang prapenuntutan. Prapenuntutan dalam KUHAP diatur dalam pasal 14 huruf b, sebagai berikut: “ mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan 62 Evi Hartanti, Op.cit, halaman 37 Universitas Sumatera Utara memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan 4 dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik 63 Dalam Bab II bagian pertama pada pasal 5 UU Kejaksaan itu dinyatakan bahwa susunan Kejaksaan terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri, sedangkan dalam bagian kedua pada pasal 8 diatur tentang Jaksa, sebagai berikut . Jaksa sebagai penuntut umum dalam perkara pidana harus mengetahui secara jelas semua pekerjaan yang harus dilakukan penyidik dari permulaan hingga terakhir yang seluruhnya harus dilakukan berdasarkan hukum. Jaksa akan mempertanggungjawabkan semua perlakuan terhadap terdakwa itu mulai tersangka disidik, kemudian diperiksa perkaranya, lalu ditahan, dan akhirnya apakah tuntutannya yang dilakukan oleh jaksa itu sah dan benar atau tidak menurut hukum sehingga benar- benar rasa keadilan masyarakat dipenuhi. 64 4. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma- norma keagamaan, : 1. Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung, 2. Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa bertindak untuk dan atas nama negara serta bertanggungjawab menurut saluran hierarki. 3. Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah. 63 Ibid, halaman 37 64 Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Universitas Sumatera Utara kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai- nilai kemanusiaan, yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya. 5. Dalam hal melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayaut 4, Jaksa diduga melakukan tindak pidana maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahan terhadap jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung. Dalam Undang- Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pasal 30 menjelaskan 65 1. Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: : a. melakukan penuntutan b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannyadikoordinasikan dengan penyidik 65 Evi Hartanti,Op.cit, halaman 35 Universitas Sumatera Utara 2. Dibidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Menurut ketentuan di atas, jaksa bertugas sebagai penuntut umum yang melakukan “tindakan penuntutan”. Menurut KUHAP dalam pasal 1 butir 7 menyatakan sebagai berikut, “ tindakan penuntutan adalah melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan”. 66 Di dalam KUHAP diatur wewenang penuntut umum pasal 1 butir 66 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 disebutkan bahwa 67 a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. : b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang- undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 66 Ibid, halaman 35 67 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana pasal 1 butir 6 Undang- Undang No.8 Tahun 1981 Universitas Sumatera Utara

B. Peranan Jaksa dari Sudut Pandang Non Penal Policy dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pendekatan non penal dilakukan mengingat faktor korelatif terjadinya tindak pidana korupsi erat kaitannya dengan persoalan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya. Tindak pidana korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor- faktor penyebabnya yaitu 68 1. Lemahnya pendidikan agama dan etika, dengan kurangnya pendidikan kenyataannya sekarang kasus- kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, terpelajar, dan terpandang sehingga alasan ini dapat dikatakan kurang tepat. : 2. Kolonialisme, di mana suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetian dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi. 3. Kemiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan para konglomerat. 4. Tidak adanya sanksi yang tegas dan keras. 5. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi. 6. Struktur pemerintahan. 68 Ibid, halaman 11 Universitas Sumatera Utara 7. Perubahan radikal. Pada sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit tansisional. 8. Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan. Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat. Keadaan moral dan intelektual dalam konfigurasi kondisi- kondisi yang lain. Beberapa faktor yang dapat menjinakkan korupsi, walaupun tidak akan memberantasnya adalah 69 1. Keterikatan positif pada pemerintahan dan keterlibatan spiritual serta tugas kemajuan nasioanal dan publik maupun birokrasi. : 2. Administratif yang efisien serta penyesuaian struktural yang layak dari mesin dan aturan pemerintah sehingga menghindari penciptaan sumber- sumber korupsi. 3. Kondisi sejarah dan sosiologisnya yang menguntungkan. 4. Berfungsinya suatu sistem yang antikorupsi. 5. Kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar moral dan intelektual yang tinggi. Adapun faktor- faktor lainnya sebagai penyebab terjadinya tindak pidana korupsi yaitu 70 a. Korupsi dapat terjadi karena faktor kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri. : 69 Ibid, halaman 11-12 70 http:www.repository.usu.ac.id Universitas Sumatera Utara b. Korupsi dapat terjadi karena adanya kultur budaya. c. Korupsi dapat terjadi karena buruknya manajemen, manajemen yang kurang baik akan menimbulkan kebocoran- kebocoran keuangan yang membawa akibat orang akan mudah melakukan korupsi. d. Korupsi juga dapat terjadi karena adanya arus modernisasi, korupsi lebih banyak dijumpai pada masyarakat negara yang sedang berkembang. e. Korupsi dapat terjadi karena faktor ekonomi. Sebenarnya, penyebab terjadinya korupsi tidak dapat dipungkiri bahwa “kesempatan dan jabatan kekuasaan”, sebagai sumber utama dari korupsi. Penyebab korupsi juga terjadi karena melemahnya integritas moral yang turut melemahkan disiplin dari aparatnya. Wewenang dan tanggung jawab dalam penyelenggaan negara serta partisipasi masyarakat yang lemah dalam menjalankan fungsi kontrol penyebab meningkatnya korupsi di Indonesia 71 Akibat-akibat yang ditimbulkan dari terjadinya tindak pidana korupsi adalah . 72 3. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi. : 1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap. 2. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya. 71 ibid 72 http:www.Library.usu.ac.iddownloadfisipfisip-erika1.pdf Universitas Sumatera Utara Selanjutnya Mc Mullan 1961 menyatakan bahwa akibat korupsi adalah: a. ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, b. memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha c. terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam b. kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibat- akibat korupsi diatas adalah sebagai berikut : 1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal. 2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial. 3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik. 4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. Untuk mencegah terjadinya korupsi besar- besaran, bagi pejabat yang menduduki jabatan yang rawan korupsi seperti bidang pelayanan masyarakat, pendapatan negara, dan pembuat kebijaksanaan maka harus di daftar kekayaannya sebelum menjabat jabatannya, sehingga mudah diperiksa pertambahan kekayaannya dibandingkan dengan pendapatannya yang resmi, hal ini agar tidak memberikan kesempatan bagi para pejabat untuk melakukan korupsi. Universitas Sumatera Utara Baharuddin Lopa dalam bukunya “Kejahatan Korupsi dan Penegakkan Hukum” membagi korupsi menurut sifatnya dalam dua bentuk yaitu 73 a. Korupsi yang Bermotif Terselubung, yaitu korupsi secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata. : b. Korupsi yang Bermotif Ganda, yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotif lain, yakni kepentingan politik. Ciri- ciri korupsi dijelaskan oleh Shed Husein Alatas dalam bukunya “Sosiologi Korupsi” sebagai berikut 74 a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan. : b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiannya. c. Koruspi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. d. Mereka yang mempraktikkan cara- cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum. 73 Evi Hartanti, Op.cit, halaman 10 74 Ibid, halaman 10-11 Universitas Sumatera Utara e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan- keputusan itu. f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum masyarakat. g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepecayaan. Dasar upaya non penal dalam penanggulangan korupsi yang lebih menitikberatkan pada upaya preventif, yaitu upaya yang dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana korupsi dapat dilaksanakan dengan cara menangani faktor- faktor pendorong dan akibat dari terjadinya korupsi yaitu 75 a. Cara Moralistik, yang secara umum melalui pembinaan mental dan moral manusia, ceramah, dan penyuluhan di bidang keagamaan, etika, dan hukum. Upaya untuk memperbaiki mental dan moral manusia adalah salah satu upaya yang tidak kalah pentingnya untuk ditempuh dalam upaya pemberantasan korupsi. : b. Cara abolisionistik, di mana cara ini berasumsi bahwa korupsi adalah suatu kejahatan yang harus diberantas sengan terlebih dahulu menggali sebab- sebabnya dan kemudian penanggulangan diserahkan pada usaha- usaha untuk menghilangkan sebab- sebab tersebut. Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan 75 Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi, Penerbit PT.Citra Aditya Bakti, Bandung 2005, halaman 60 Universitas Sumatera Utara pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara the end justifies the means. Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab. Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang menurut para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan, Caiden dalam Soerjono, 1980 memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut 76 Kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi secara penal dan non penal mempunyai kedudukan yang strategis dan berperan dalam sistem peradilan pidana. Kesadaran masyarakat juga berperan dalam pemberantasan tindak pidana : a. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu. b. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat. c. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi. Sebagaimana yang telah penulis uraikan di atas, mengenai penal policy dan non penal policy dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka haruslah dilakukan pendekatan penerapan hukum pidana saja, namun dalam hal ini penerapan hukum pidana ini mempunyai keterbatasan dan tidak cukup untuk menanggulangi korupsi. 76 http:www.Library.usu.ac.iddownloadfisipfisip-erika1.pdf Universitas Sumatera Utara korupsi, baik itu tokoh agama, tokoh msyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lainnya. C. Proses Pemberantasan dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh Jaksa di Kota Binjai Pada dasarnya lembaga Kejaksaan adalah alat negara penegak hukum, pelindung dan pengayom masyarakat yang berkewajiban memelihara tegaknya hukum. Lembaga Kejaksaan berperan sebagai penegak hukum. Kejaksaan adalah satu- satunya lembaga negara yang merupakan aparat pemerintah yang berwenang melimpahkan perkara pidana, menuntut pelaku tindak pidana, kekuasaan ini merupakan ciri khas dari Kejaksaan yang membedakannya dengan lembaga- lembaga atau badan- badan penegak hukum lain. Selain itu dalam tindak pidana umumnya sebagai penuntut umum, tetapi penyidik dan penuntut umum. Sebagai penyidik maka diperlukan suatu bukti sehingga dapat diketemukan tersangkanya.dasarnya penyelidikan dan penyidikan setiap tindak pidana korupsi. Kenyataan yang masih banyak terjadi adalah kasus korupsi yang belum terungkap, hal ini mengakibatkan masyarakat menjadi pesimis dengan kesungguhan Kejaksaan dalam mengungkap berbagai kasus tindak pidana korupsi yang sedang terjadi saat ini.ada banyak kasus korupsi yang terjadi di Kota Binjai, yang sebagian sudah dapat teratasi dan sebagiannya lagi masih belum ada penyelesaiannya dan sanksi hukum yang pantas untuk para pelaku tindak pidana korupsi. Salah satu kasus yang terjadi di kota Binjai adalah seorang Pegawai Negeri sipil selaku Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Universitas Sumatera Utara yang bernama Drs. Ngasiken Pinem berumur 51 Tahun bertempat tinggal di Binjai telah ditahan dalam Rumah Tahanan Negara berdasarkan Surat Perintah Penahanan : 77 1. Menyatakan terdakwa Drs. Ngasiken Pinem, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “menyalahgunakan 1. Penuntut Umum tanggal 8 Oktober 2008: Print-42N.2.11 sejak tanggal 8 Oktober 2008 sampai tanggal 27 Oktober 2008. 2. Hakim tanggal 27 Oktober 2008, No.385Pend.Pid2008PN.BJ sejak tanggal 24 Oktober 2008 sampai tanggal 22 Nopember 2008. 3. Perpanjangan penahanan oleh Ketua Pengadilan Negeri tanggal 7 Nopember 2008 No.385Pend.Pid2008PN-BJ sejak tanggal 23 Nopember 2008 sampai tanggal 21 Januari 2009. 4. Perpanjangan Penahanan oleh Pengadilan Tinggi sejak tanggal 22 Januari 2009 sampai dengan 20 Pebruari 2009. 5. Perpanjangan Penahanan oleh Pengadilan Tinggi yang II sejak tanggal 21 Pebruari 2009 sampai 22 Maret 2009. Terdakwa didampingi penasehat hukumnya yaitu Muhammad Syarifuddin,SH dan Aripin H Sagala,SH. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang dibacakan dipersidangan pada hari Selasa tanggal 10 Pebruari 2009 yang menuntut agar Majelis Hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut: 77 Dikutip langsung dari berkas kasus Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Negeri Binjai Universitas Sumatera Utara kewenangan atau sarana yang ada padanya yang merugikan keuangan Negara”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 3 jo pasal 18 UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No.20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP. 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Drs. Ngasiken Pinem dengan pidana penjara 2 tahun 6 bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan denda sebesar Rp. 50.000.000 subsidier 3 bulan kurungan. 3. Menghukum terdakwa Drs. Ngasiken Pinem, untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 83.955.000 secara tanggung renteng dengan drs. Ngasiken Pinem dan ahmad saimin selaku direktur CV. Seribu Jaya dengan ketentuan apabila dalam jangka 1 bulan terdakwa tidak membayar maka hartabenda terdakwa dapat dirampas dan dilelang untuk Negara dan apabila terdakwa tidak memiliki haerta yang cukup untuk mengganti uang tersebut maka terdakwa dikenakan pidana pengganti dengan penjara selama 10 bulan. 4. Menyatakan barang bukti berupa: - Handtractor merk Yamaguchi Yanmar 7 unit - Power Thereser Multiguna 6 unit - Rice Transplanter 2 unit - Dinamo Mesin 2 buah - Salurabn Pembuang Sisa 1 unit - Papan Lapis 366 unit - Perangkat Uji Lahan 11 unit Universitas Sumatera Utara - Ventilater 2 unit - Handtarctor model KAI 711 dilengkapi gandengannya 4 unit - Uang sejumlah Rp. 62.000.000 Penasihat Hukum terdakwa mengajukan nota pembelaan yang telah dibacakan dipersidangan pada Senin tanggal 23 Pebruari 2007 yang bahwa pada prinsipnya penasihat hukum terdakwa tidak keberatan terhadap tuntutan jaksa penuntut umum, akan tetapi penasihat hukum tidak sependapat dengan Jaksa penuntut Umum tentang perhitungan kerugian negara, ancaman hukuman maupun denda serta uang pengganti yang diuraikan Jaksa Penuntut Umum, bahwa kerugian negara sejumlah Rp. 61.604.546, bahwa sesuai dengan dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum pengembalian uang ditanggung renteng oleh terdakwa Ngasiken Pinem, terdakwa Arifin Nasution dan ahmad saimin Direktur CV. Seribu Jaya DPO, sehingga sudah sepatutnya kerugian negara sebesar Rp. 62.000.000 harus dibagi tiga dan memohon agar terdakwa dijatuhi hukuman yang seringan- ringannya. Dipersidangan terdakwa secara pribadi telah mebacakan nota pembelaannya sendiri yang menyatakan bahwa terdakwa telah berupaya memberikan arahan pada PPK dan Bendahar untuk melaksanakan proyek dengan sebaik- baiknya, dan setelah terdakwa mengetahui barang yang diterima tidak sesuai dengan pesanannya dari awal perjanjian yang telah dibuat, maka terdakwa telah berupaya melakukan teguran dengan mengirimkan surat teguran sebanyak 4 kali dan berupaya menemui saudara Yuda Permana sebagai wakil Direktur CV. Seribu Jaya, dan terdakwa tetap melaporkan kepada Bapak Walikota dan Bapak Universitas Sumatera Utara Wakil Walikota dan kemudian terdakwa mengakui kesalahan dan kelalaiannya karena terlalu percaya kepada bawahan dan memohon dijatuhi hukuman yang seringan- ringannya karena terdakwa telah melaksanakan tugas selama 29 tahun. Terdakwa telah didakwa Jaksa Penuntut Umum telah melakukan tindak pidana sesuai dengan surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum No. Reg. Perk: PDK 06BNJAIFL102008 tertanggal 13 Oktober 2008 yang dakwaannya berisi tentang terdakwa Drs. Ngasiken Pinem selaku Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kota Binjai tahun 2007 dan sekaligus nsebagai Kuasa Pengguna Anggaran yang ditetapkan berdasarkan surat Keputusan Walikota Binjai No. 050-83K2007 tanggal 9 Januari 2007, bersama- sama dengan Arifin Nasution SP selaku Bendahara Kegiatan mengadakan Bahan dan Alat- Alat Mesin Pertanian pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura kota Binjai tahun 2007 perkaranya diajukan terpisah dan Ahmad Saimin DPO selaku CV. Seribu Jaya atau masing- masing bertindak sendiri- sendiri, secara berturut- turut pada hari- hari dan tanggal 12 Juli 2007 sampai dengan tanggal 30 Nopember 2007 atau setidak- tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2007, telah melakukan, turut melakukan atau menyuruh melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, bertempat di Kantor Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kota Binjai. Mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum memperakaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp.297.955.000 dilakukan dengan cara: Universitas Sumatera Utara - Bahwa dalam rangka peningkatan mutu pertanian di Kota Binjai, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kota Binjai mendapat dana sebesar Rp.498.388.125 dari dana Alokasi Khusus dan APBD kota Binjai tahun anggaran 2007 sebesar 10 untuk kegiatan pengadaan bahan dan alat- alat mesin pertanian. - Berdasarkan surat keputusan tanggal 22 Mei 2007, dibuatlah surat perjanjian kontrak No: 602.1-10PPKAPBDDAKDPTHPALAT07 tanggal 24 Mei 2007 tentang paket pengadaan bahan dan alat-alat mesin pertanian dengan nilai harga sebesar Rp.488.350.000, yang ditandatangani pihak I Zulkarnain Nasution,SP Pejabat Pembuat KomitmenPPK, Pihak II Ahmad Saimin Direktur CV. Seribu Jaya, dan Drs.Ngasiken Pinem Kuasa Pengguna AnggaranKepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura. - Bahwa perjanjian kontrak tersebut berisikan tentang waktu penyelesaian pekerjaan 60 hari kalender, terhitung sejak tanggal 22 Mei 2007 sampai 20 Juli 2007, pembayaran dilakukan 4 termyn, termyn I 30, termyn II 30, termyn III 30, dan termyn IV 10. - Proses pembayaran pada setiap termynnya dilakukan dengan cara penyedia barang mengajukan permintaan pembayaran kepada PPK dengan melampirkan berita acara pencapaian fisik, berita acara pemeriksaan barang dan berita acara penerimaan barang dari petugas pemeriksapenerima barang yang disetuhui PPK, setelah permintaan pembayaran disetujui PPK, kemudian diajukan ke bendahara kegiatan untuk meminta persetujuan Universitas Sumatera Utara pencairan uang kepada kuasa pengguna anggaran, bendahara kegiatan melakukan pembayaran kepada penyedia barang dengan membuatakan berita acara pembayaran, tanda terima pembayaran dan kwitansi yang ditandatangani oleh penyedia barang, bendahara kegiatan dan kuasa pengguna anggaran. - Bahwa sampai dengan batas waktu yang ditetapkan dalam perjanjian tanggal 20 Juli 2007, CV. Seribu Jaya penyedia barang tidak dapat memenuhi perjanjian, di mana tidak ada satu pun barang- barang berupa bahan atau alat- alat mesin pertanian yang harus diserahkan ke Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan holtikultura kota Binjai pengguna barang, namun pada tanggal 5 Juli 2007 Direktur CV.Seribu Jaya Ahmad Saimin dengan surat No.04SJ-BJIVII2007 mengajukan permintaan pembayaran termyn I sebesar 30 dari nilai kontrak Rp.488.350.000, yakni sebesar Rp.146.505.000, yang ditujukan kepada PPK tanpa melengkapi syarat- syarat administrasi seperti berita acara pencapaian fisik, berita acara pemeriksaanbarang dan berita acara penerimaan barang. - Setelah Arifin Nasution,SP memproses permintaan pembayaran termyn I, lalu ia meminta persetujuan pencairan uang untuk pembayaran termyn I kepada kuasa pengguna anggaran terdakwa Drs.Ngasiken Pinem, terdakwa melakukan pencaiaran uang padahal ia mengetahui bahwa barang- barang sebagaiamana dalam perjanjian belum ada diserahkan CV. Seribu Jaya kepada Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura kota Binjai. Universitas Sumatera Utara - Setelah Arifin Nasution,SP memproses permintaan pembayaran termyn I sebesar 30 yang diajukan oleh Direktur CV.Seribu Jaya, lalu ia memintakan persetujuan pencairan uang untuk pembayaran termyn I tersebut kepada Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kota Binjai dan oleh terdakwa Drs. Ngasiken Pinem permintaan pencairan uang tersebut disetujui, padahal ia mengetahui bahwa barang- barangnya belum ada diserahkan oleh CV. Seribu Jaya. - Sekitar bulan Agustus 2007 Direktur CV. Seribu Jaya Ahmad Saimin dengan surat tanpa nomor dan tanggal mengajukan permintaan pembayaran termyn ke II sebesar 30 yakni Rp. 146.505.000 yang ditujukan kepada PPK dengan melengkapi syarat- syarat seperti berita acara pemeriksaan pekerjaan dan berita acara pencapaian fisik tertanggal 14 Agustus 2007, namun tidak ada melengkapi syarat lainnya berupa berita acara barang karena pada kenyataannya CV. Seribu Jaya belum menyerahkan satu pun barang- barang tersebut. Selanjutnya Arifin Nasution,SP memintakan persetujuan pencairan uang untuk pembayaran termyn II sebesar 30 kepada pengguna anggaran terdakwa Drs.Ngasiken Pinem dan disetujui tanpa melihat barang- barang tersebut yang belum ada diserahkan sama sekali dan pada tanggal 15 Agustus 2007 Arifin melakukan pembayaran termyn II. - Tanggal 14 September 2007 Direktur CV. Seribu Jaya Ahmad saimin mengajukan permintaan pembyaran termyn III sebesar 30 yang ditujukan kepada PPK tanpa melengkapi syarat- syarat administrasi dalam permintaan pembayaran. Universitas Sumatera Utara - Sekitar bulan November 2007 CV. Seribu Jaya kembali menyerahkan barang berupa 2 unit rice transpanter merek mitsubishiyanji china type 2 ZT- 9356 B, 3 unit sealer type pijak, 2 unit dinamo, 2 unit handtractor, setelah dilakukan peemriksaan alat- alat pertanian tersebut ternyata tidak sesuai dengan perjanjian sehingga PPK Zulkarnain Nasution,SP tidak mau menandatngani berita acara penerimaan barang. Pada 27 Nopember 2007 Direktur CV. Seribu Jaya Ahmad Saimin dengan surat tanpa nomor mengajukan pembayaran termyn IV sebesar 10. Setelah disetujui permintaan pencairan uang untuk pembayaran termyn IV oleh terdakwa Drs. Ngasiken Pinem pada tanggal 30 Nopember 2007. Maka dengan ini total keseluruhan pembayaran yang dilakukann kepada Direktur CV. Seribu Jaya sebesar Rp.488.350.000. - Bahwa sekitar bulan Desember 2007 CV. Seribu Jaya kembali menyerahkan alat- alat mesin berupa 1 unit handtractor merek yanmar type TF 85 Mly-di, 11 unit perangkat uji lahan sawah dan 2 unit ventilater dan setelah dilakukan pemeriksaan alat- alat pertanian tersebut ternyata tidak sesuai dengan perjanjian sehingga PPK Zulkarnain Nasution,SP tidak mau menandatangani berita acara serah terima barang. - Salah satu perbuatan yang dilakukan CV. Seribu Jaya yang mengakibatkan kekecawaan terhadap pemegang kontrak adalah berdasarkan keterangan saksi Ir. Warnita Eva Roza Kasubdis Bangunan kota Binjai tanggal 5 Juni 2008 menerangkan papan lapis sebanyak 36 unit yang diserahkan oleh CV. Seribu Jaya kepada pengguna barangDinas Pertanian Tanaman Pangan dan Universitas Sumatera Utara Holtikultura kota Binjai tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak, karena papan lapis tersebut terbuat dari jenis kayu sembarang kelas II yang harganya diperkirakan Rp.376.250.000, sedangkan dalam kontrak papan lapis adalah jenis kayu meranti. - Bahwa akibat perbuatan Drs. Ngasiken Pinem bersama- asama dengan Arifin Nasution,SP dan Ahmad Saimin Direktur CV. Seribu Jaya, telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp. 297.955.000. - Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP. Mengadili tedakwa Drs. Ngasiken Pinem telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan telah melakukan Tindak Pidan Korupsi secara Bersama- sama dan dijatuhkan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dan denda sebesar Rp.50.000.000 dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar denda maka akan digantikan dengan pidana kurungan selama 3 bulan. Berdasarkan studi kasus di Kejaksaan Negeri Binjai di atas adapun peranan Kejaksaan Binjai yang sudah dilaksanakan dengan sebaik- baiknya. Menurut penulis bahwasannya tuntutan terhadap terdakwa sudah cukup adil dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Hal ini terbukti bahwasannya kasus di atas sudah di eksekusi oleh Jaksa berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Nomor : PRINT-368 N.2.11Fu092009, dan juga diperkuat berdasarkan putusan Pengadilan Negeri yang di mana Jaksa tidak ada melakukan banding terhadap kasus tersebut dan dengan telah dikeluarkannya P-48 Surat Perintah Pelaksanaan Universitas Sumatera Utara Putusan Pengadilan Nomor: PRINT-368N.2.11Fu092009, maka kasus tersebut telah mendapatkan putusan yang sah dan sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi pada kasusu di atas yang telah dilakukan Kejaksaan Negeri Binjai secara penal dan non penal sudah cukup baik dan maksimal, sehingga memberikan putusan pengadilan yang selayaknya bagi terdakwa. Pemberantasan tindak pidana korupsi secara penal telah dilakukan secara baik, dengan adanya undang- undang dan pasal- pasal yang digunakan dalam perkara tersebut yaitu Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP serta pasal- pasal lainnya yang berkaitan dengan perkara tersebut. Sehingga terdakwa diadili dan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama- sama dengan pidana penjara 1 tahun 6 bulan dan denda sebesar Rp.50.000.000,-. Dengan adanya kasus di atas telah ada bukti bahwasannya kinerja Kejaksaan sudah cukup memberikan bukti bahwasannya jaksa tidak main- main dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, walaupun tetap ada beberapa kasus tindak pidana korupsi yang belum terungkap. Universitas Sumatera Utara

BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI KEJAKSAAN DALAM

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Kendala yang Dihadapi Jaksa dalam Pemberantasan Korupsi Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik,terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro adapula yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan dapat meusak sendi-sendi kebersamaan bangsa. Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit Universitas Sumatera Utara yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat 78 Kesulitan pembuktian tindak pidana korupsi juga diakui oleh pejabat KPK, di mana kinerja KPK mulai menurun dalam tahun 2006 karena pemberantasan korupsi tidak sehebat di tahun 2005 lalu korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisir dan bersifat batas teritorial transnasional, di samping pencucian uang, perdangan manusia, penyeludupan migran, dan penyelundupan senjata api. Demikian bunyi ketentuan dalam Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisasi, yang Konvensinya pada tahun 2000 sudah ditandatangani namun belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, sedangkan Konvensi Anti Korupsi tahun 2003 telah diratifikasi dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2006 . Sulitnya mengungkap pelaku tindak pidana korupsi juga diakibatkan adanya kegagalan Jaksa Penuntut Umum dalam memberikan alat bukti yang dapat meyakinkan Hakim, dan dalam penangannya membutuhkan konsentrasi serta pemahaman yang tepat terhadap Undang- undang Korupsi. 79 Alasan ketiga pemberantasan korupsi sulit dilakukan adalah karena di dalam sistem birokrasi yang juga koruptif sehingga memerlukan instrument hukum yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya. Alasan keempat, . Adapun alasan kedua di mana sulitnya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan yaitu, korupsi terbukti telah melemahkan sistem pemerintahan dari dalam yang merupakan virus berbahaya dan penyebab proses pembusukan dalam kinerja pemerintahan serta melemahkan demokrasi. 78 http:www.Library.usu.ac.iddownloadfisipfisip-erika1.pdf 79 http:www.sindo.go.id, Maju Mundur Revisi UU Pemberantasan Korupsi Universitas Sumatera Utara korupsi tidak lagi merupakan masalah dalam negeri atau masalah nasional dalam negara, melainkan sudah merupakan kerjasama aktif antara negara- negara yang berkepentingan atau hubungan antara kedua negara atau lebih, sehingga memerlukan kerjasama aktif antara negara- negara yang berkepentingan atau dirugikan karena korupsi. Kecanggihan modus operandi korupsi dan perlindungan asset korupsi didukung oleh teknologi informasi modren telah diakui sangat menyulitkan pemberantasan korupsi di semua negara terutama dalam proses pembuktiannya 80 Kendala- kendala yang dihadapi yang dialami dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, di mana korupsi dapat terjadi di negara maju dan berkembang seperti Indonesia. Ada beberapa kendala yang dihadapi bangsa Indonesia dalam pemberantasan korupsi yaitu . 81 a. Penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung setengah- setengah. : b. Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas, termasuk perbaikan, birokrasi yang cenderung terjebak perbaikan, tanpa membenahi struktur dan kultur. c. Kurang optimalnya fungsi komponen- komponen pengawas atau pengontrol. d. Banyaknya celah yang dapat dimasuki tindakan korupsi pada sistem politik dan sistem administrasi negara Indonesia. e. Kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan perkara, sehingga para pelaku korupsi gampang mengelak dari tuduhan yang diajukan Jaksa. f. Taktik- taktik para pelaku koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat dan negara yang semakin canggih. 80 http:www.portalhukum.com, Romli Atmasasmita 81 http:www.jawogokil.blogspot..com Universitas Sumatera Utara g. Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam menjalankan amanah yang diemban.

1. Kendala Yuridis

Profesionalisasi Jaksa dalam pengumpulan bukti-bukti terjadinya kasus korupsi, haruslah cermat dan kuat secara yuridis tanpa terkontaminasi aspek lain yang bukan ranah kewenangannya. Untuk mencapai profesionalisme ini tidak ada pilihan lain kecuali berlatih dan terus belajar menambah wawasan pengetahuan, menyangkut tugas dan wewenangnya selaku pejabat fungsional di bidang penegakan hukum, walaupun tunjangan kesejahteraannya masih belum memadai, seoarang yang berpredikat Jaksa dituntut untuk memberikan yang terbaik kepada bangsa dan Negara sebagai wujud pengabdian 82 . Berbagai cobaan dan godaan yang datang, tidak akan ada artinya jika dihadapi dengan kejujuran dan kepribadian yang tangguh aspek moralnya, ingat prinsip ketika menjadi awal mahasiswa hukum yaitu, Fiat Juticia Ruatcoelum yakni meskipun langit akan runtuh, keadilan harus diteggakan 83 Kendala lainnya adalah, pertama adanya polemik mengenai kata “dapat”, dalam pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hal yang terbilang serius, beberapa aturan justru memihak kepada .Upaya pemberantasan korupsi melalui upaya represif dalam pelaksanaannya melalui berbagai kendala terutama dalam mencari bukti- bukti adanya penyimpangan. 82 http:www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com, Peningkatan Eksistensi Jaksa dalam Pemberantasan Korupsi 83 Ibid, Peningkatan Eksistensi Jaksa dalam Pemberantasan Korupsi Universitas Sumatera Utara pelaku korupsi. Misalnya, Kepala daerah tidak bisa segera diperiksa karena proses penyidikannya memerlukan izin presiden. Masalah pembuktian di persidangan juga menjadi kendala. Saksi- saksi yang diajukan di depan persidangan sering sekali mencabut kembali pernyataan yang telah diberikan pada saat Berita Acara Pemeriksaan ditingkat penyidikan dengan alasan saksi tersebut di bawah tekanan. Perkara tindak pidana korupsi yang disidik tidak semuanya dapat ditingkatkan ke tahap penuntutan. Jika ada unsur yang tidak didukung alat bukti, atau adanya alasan- alasan pemaaf berdasarkan Yurisprudensi, karena sifat melawan hukum tidak terbukti, maka perkara tersebut diterbitkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan SP3. Banyak kalangan yang menilai, Kejaksaan dan Kepolisian tidak serius dalam pemberantasan kasus korupsi.

2. Kendala Non Yuridis

Kejujuran aparat penegak hukum termasuk kejaksaan yang memiliki kewenangan sebagai penuntut dan penyidik tindak pidana korupsi sangatlah penting adanya.apabila kewenangan tersebut disalahgunakan maka kepercayaan masyarakat akan kinerja lembaga ini akan berkurang. Undang-Undang No:16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia memberikan landasan hukum yang kuat untuk melaksanakan penyidikan beserta kelanjutannya menyangkut tindak pidana tertentu, termasuk diantaranya tindak pidana Korupsi. Oleh karena itu Kejaksaan sangat dituntut kemampuan serta tanggung jawabnya untuk melaksanakan tuntutan keinginan maupun harapan masyarakat. Dengan kata lain bidang tindak pidana khusus Universitas Sumatera Utara harus meningkatkan kinerja yang baik dengan cara mengevaluasi pelaksanaan tugas, memecahkan permasalahan yang timbul diseluruh tahapan mulai penyidikan, penuntutan sampai upaya hukum dan eksekusi 84 Dampak dari citra yang terbentuk terhadap Kejaksaan telah menimbulkan ketidakpercayaan pada masyarakat. Hal ini perlu diatasi dengan adanya pendekatan lembaga dan sosialisasi konsep pemberantasan korupsi yang strategis. Harus diakui bahwa partispasi masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana . Faktor kinerja aparat yang tidak bagus dimata masyarakat telah menjadi kelemahan intenal Kejaksaan, di mana sumber daya manusia yang belum menunjukkan integritas tertinggi bagi bangsa dan negaranya. Profesionalisasi Jaksa dalam pengumpulan bukti-bukti terjadinya kasus korupsi, haruslah cermat dan kuat secara yuridis tanpa terkontaminasi aspek lain yang bukan ranah kewenangannya. Untuk mencapai profesionalisme ini tidak ada pilihan lain kecuali berlatih dan terus belajar menambah wawasan pengetahuan, menyangkut tugas dan wewenangnya selaku pejabat fungsional di bidang penegakan hokum, walaupun tunjangan kesejahteraannya masih belum memadai, seoarang yang berpredikat Jaksa dituntut untuk memberikan yang terbaik kepada bangsa dan Negara sebagai wujud pengabdian. Berbagai cobaan dan godaan yang datang, tidak akan ada artinya jika dihadapi dengan kejujuran dan kepribadian yang tangguh aspek moralnya, ingat prinsip ketika menjadi awal mahasiswa hukum yaitu; Fiat Juticia Ruatcoelum yakni meskipun langit akan runtuh, keadilan harus ditegakkan. 84 http:www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com Universitas Sumatera Utara korupsi, mampu mewujudkan iklim kondusif dalam proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satu upaya terobosan untuk mengoptimalkan peran masyarakat beserta perangkat sosial yang dimilikinya, yakni budaya. Selama ini reaksi masyarakat terhadap perilaku korupsi masih sangat minim. Korupsi masih merupakan “peristiwa elit” dan hanya kalangan tertentu saja yang menggagap sebagai sebuah kejahatan besar sehingga harus diperangi. Umumnya masyarakat kurang peduli terhadap korupsi dan seolah terlepas dari kehidupan sehari-hari 85 Sebagai aparat penegak hukum, Jaksa harus dapat menghindarkan tindak tanduknya dari budaya- budaya seperti memberi suap, upeti, imbalan jasa, dan hadiah. Hal ini terjadi karena adanya kepentingan dari pihak- pihak lain dalam . Dalam kontek budaya, korupsi belum menjadi kata yang menggetarkan di dalam sukma masyarakat. Kata korupsi belum mengalirkan makna yang kuat dan jelas sehingga siapapun yang mendengarnya akan secara spontan memberikan reaksi-reaksi tertentu dengan cepat. Berbeda dengan misalnya kata maling, copet atau rampok. Untuk sebagian besar masyarakat kita, kata tersebut telah memiliki pengertian dan makna yang jelas dalam alam pikir dan kehidupan sehari-hari. Bila suatu saat ada orang berteriak keras menyebut kata tersebut disuatu tempat, maka percayalah secara spontan masyarakat yang mendengarnya akan memberikan reaksi cepat dan spontan. 85 www.transparansi.or.id...pendekatan-budaya-dalam-pemberantasan tindak pidana korupsi Universitas Sumatera Utara kasus korupsi tersebut sehingga membawa kesulitan bagi Kejaksaan untuk mengungkap kasus- kasus korupsi yang masuk 86 Berdasrkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Junaidi, SH sebagai Kasi Intelejen Kejaksaan Negeri Binjai, yang menyatakan bahwa adapun hambatan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum khusunya Jaksa sebagai penuntut umum sekaligus menjadi penyidik tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut . 87 1. Adapun biaya penanganan perkara tidak sebanding dengan jumlah laporan yang masuk di Kejaksaan Negeri Binjai. : 2. Jumlah personil Jaksa yang menyidik tidak sebanding dengan jumlah laporan yang masuk di Kejaksaan Negeri Binjai. 3. Jumlah perkara pidana umum yang masuk ke Kejaksaan Negeri Binjai lebih banyak sehingga perkara korupsi tidak dapat di sidik semana mestinya. 4. Saksi dan terdakwa yang terlalu lama karena sering berpindah- pindah tempat tinggalnya, sehingga menjadikan penyidikan memakan waktu yang lama. 5. Kesulitan yang timbuk adalah dalam hal penyidik untuk menemukan harta benda tersangka atau keluarganya yang didapat dari hasil tindak pidana korupsi untuk disita sebagai barang bukti. Penyitaan sangat penting untuk mengembalikan keuangan negara yang telah dikorupsi, untuk digunakan untuk pembangunan. Dalam tahun 2010 sedikitnya 700 kasus tindak pidana umum yang ditangani di Pengadilan Negeri Binjai. Jumlah perkara meningkat 20 persen 86 Edi Yunara, op cit 87 Hasil wawancara dengan Junaidi Lubis,SH, Kasi Intelejen Kejaksaan Negeri Binjai pada tanggal 19 Desember 2011 Universitas Sumatera Utara dibanding tahun 2009 yang hanya 500 perkara. Dari jumlah tersebut, kasus narkoba paling banyak ditangani sekitar 40 persen. Data Perkara Korupsi pada Tahap Penyidikan Periode Tahun 2009-2011 Sumber : Laporan Tahunan Kejaksaan Negeri Binjai 2009-2011 Data Hukum dan Grasi Tindak Pidana Korupsi Tahun 2010-2011 di Kejaksaan Negeri Binjai Jenis Tindak pidana dan upaya Hukum 2010 2011 Banding 1 kasus 1 kasus Kasasi - 4 kasus Peninjauan Kembali - - Grasi - - No. Tahun Penyidik Kejaksaan Negeri Binjai 1 2 3 2009 2010 2011 3 kasus 3 kasus 6 kasus Universitas Sumatera Utara Berdasarkan data yang diperoleh dari hasikl wawancara lansung yang penulis lakukan di Kejaksaan Negeri Binjai terungkap bahwa data terbaru pada tahun 2009 ada 3 kasus penyidikan, tahun 2010 ada 3 kasus penyidikan, dan tahun 2011 ada 6 kasus dalam penyidikan. Data Penangan Perkara Korupsi dalam Tahap Penyidikan dan Penuntutan di Kejaksaan Negeri Binjai pada Bulan Mei Tahun 2010 dan 2011 Penyidikan Penuntutan 9 perkara yang terdiri : - Tindak pidana korupsi selaku pejabat pembuat komitmen proyek pada Pembangunan Prasarana dan Sarana Dasar Pemukiaman Berbasis Masyarakat tahun 2009, biaya proyek Rp.851.500.000,-. - Tindak pidana korupsi selaku direktur sebuah CV dalam proyek fasilitas pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukiman berbasis masyarakat tahun 2009, biaya proyek Rp. 851.500.000,- - Tindak pidana korupsi selaku direktur 3 kasus yang terdiri dari: - Kasus yang sama - Kasus yang sama - Kasus yang sama Universitas Sumatera Utara sebuah CV Lancang kuning dalam pembangunan pelaksanaan proyek fasilitasi prasarana dan sarana dasar pemukiman berbasis masyarakat, biaya proyek Rp. 851.300.000,- - Tindak pidana korupsi selaku bendahara pengeluaran bidanag bina marga yang berasal dari anggaran swakelola pemeliharaan jalan dan jembatan tahun 2010 pada Dinas Pekerajaan Umum Binjai, biaya proyek Rp.4.500.000.000,- - Tindak pidana korupsi selaku bendahara pengeluaran bidang cipta karya dan pengairan, biaya proyek Rp. 4.500.000.000,- . - Tindak pidana korupsi selaku direktur CV Ikhsan proyek fasilitasi pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukiman berbasis masyarakat tahun 2009, biaya proyek Rp. 530.000.000 . - Tindak pidana korupsi selaku direktur CV.Raka Putra proyek fasilitasi pembangunan prarana dan sarana dasar Universitas Sumatera Utara pemukiman berbasis masyarakat, biaya proyek Rp.859.000.000,- - Tindak pidana korupsi selaku direktur CV.Karya Binjai dengan kasus yang sama seperti di atas dengan biaya proyek Rp.811.000.00,- - Tindak pidana korupsi selaku kepala Dinas Umum kota Binjai dalam pembangunan jalan dan jembatan sistem swakelola tahun 2010 biaya proyek Rp.4.500.000.000,- Sumber : Laporan Bulanan Kegiatan Penyidikan Tindak Pidana Khusu Bulan Mei tahun 2011 Universitas Sumatera Utara Data penyelamatan keuangan Negara Periode Juni 2010 dan Agustus 2011 Berdasarkan Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap No. Jenis pengembalian uang Nilai Pengembalian Rp bulan Juni 2010 Nilai Pengembalian Rp bulan Agustus 2011 1 2 3 Denda Biaya perkara Uang pengganti 50 juta + 75 juta 10 ribu - 50 juta 5 ribu 235.461.754,64 Keberhasilan kejaksaan dalam mengungkap kasus korupsi tidak lepas adanya peran serta dari beberapa pihak seperti halnya Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK. Presiden pun merupakan orang nomor satu di pemerintahan yang juga sangat berperan dalam pemberantasan korupsi. Prestasi dan keberhasilan menjalankan tugas dan wewenangnya ada juga sebagian dari mereka tercoreng namanya akibat ulag beberapa jaksa yang nakal. Mengingat lembaga Kepolisian dan Kejaksaan dirasakan paling riskan dipengaruhi kultur feodalisme karena langsung di bawah kendali presiden, maka pengawasan masyarakat dan LSM harus ekstra ketat terhadap dua lembaga tersebut. Memang ada juga kekhawatiran bahwa sebagian LSM juga bisa dibayar, Universitas Sumatera Utara yang mau bergerak jika dibayar, dan tidak mau bergerak kalau penguasa bilang tidak boleh, namun LSM demikian hanyalah sebagian kecil 88 88 Sumber: www.beritaindonesia.co.id...feodalisme-hambat-pemberantasan-korupsi . Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN