Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match Dalam Meningkatkan Minat Belajar Peserta Didik Di SMA Negeri 11 Tangerang Selatan

(1)

FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 28 September 2016

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A

MATCH DALAM MENINGKATKAN MINAT BELAJAR PESERTA DIDIK DI SMA NEGERI 11 TANGERANG SELATAN

Eny Rosyidatun, Sukarlin, Annisaa Meyrizka K. P

Program Studi Pendidikan Biologi, FITKUIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email koresponden: eny.rosyidatun@uinjkt.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunan model make a match untuk meningkatkan minat belajar biologi di SMA Negeri 11 Kota Tangerang Selatan.Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas. Sampel penelitian berjumlah 29 peserta didik dipilih dengan teknik purposive sampling, dan adapun penentuan kelas tindakan dilakukan secara random oleh guru. Instrumen penelitian yang digunakan adalah angket minat belajar dan lembar observasi aktivitas belajar mengajar yang telah diuji validitas dan reabilitasnya. Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas (classroom action research), dapat disimpulkan bahwapenerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dapat meningkatkan minat belajar peserta didik pada materi sistem hormon di kelas XI IPA 3 SMA Negeri 11 Tangerang Selatan, hal ini terlihat dari keseluruhan nilai angket minat belajar peserta didik, yang apabila dirata-ratakan mempunyai skor 83,3 skor tersebut termasuk ke dalam kategori “tinggi”. Selain itu, penerapan model pembelajaran make a match juga dapat meningkatkan aktivitas belajar peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Hal ini dapat dilihat dari persentase nilai aktivitas belajar peserta didik pada setiap siklusnya, yaitu siklus I (80-86,6%) dan siklus II (96,6%). Terakhir penerapan model pembelajaran make a match juga dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik hal ini dapat dilihat dari persentase jumlah peserta didik yang dapat dikategorikan tuntas karena memenuhi KKM pada setiap siklusnya, yaitu siklus I (55%) dan siklus II (90%), dan rata-rata hasil belajar peserta didik setiap siklusnya juga mengalami peningkatan secara signifikan yaitu siklus I (72,8) dan siklus II rata-rata hasil belajar peserta didik meningkat menjadi (84,1).

Kata Kunci: minat belajar; model pembelajaran kooperatif;make a match

Abstract

This study aims to determine the use of the model make a match to increase interest in learning biology in SMA Negeri11 of South Tangerang. Method research wasclassroomaction research. Samples who are 29 students were chosen by purposive sampling technique, and the class was chosen randomly by teacher. The research instrument used were a questionnaire interest in learning and teaching and learning activity observation sheet that has been tested for validity and reliability. Data analysis was performed by calculating the total score for each indicator and converted into percentage form. Based on the results of classroom action research, it can be concluded that the implementation of cooperative learning model typed make a match can increase the interest of learners in the material hormonal system in class XI IPA 3 SMAN 11 Tangerang, as seen from the overall value of the questionnaire interests of learners, which averaged scores 83.3 is categorizedas "high". In addition, application of learning models make a match can also increase the activity of learners for participating in learning activities. It can be seen from the percentage of the value of the learning activities of students in each cycle, the first cycle (80 to 86.6%) and cycle II (96.6%). Last application of learning models make a match can also improve learning outcomes of students which can be seen from the percentage of students who can be considered complete because it meets the KKM in each cycle, the first cycle (55%) and the second cycle (90%), and average learning outcomes of students in each cycle also increased significantly, namely the first cycle (72.8) and the second cycle average learning outcomes of students increased to (84.1).


(2)

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan salah satu bagian yang penting bagi kehidupan manusia dalam mengembangkan kepribadian dan kemampuannya yang berlangsung seumur hidup. Melalui pendidikan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan wawasan manusia akan terus berkembang, guna memperoleh ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari motivasi pelajar dan kreatifitas pengajar. Dalam proses mengajar, guru harus bisa memilih dan menggunakan beberapa metode mengajar. Banyak metode pembelajaran yang dapat digunakan oleh para guru.Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri.Metode pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas.Menurut Arends dalam Suprijono “Metode pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar” (Suprijono, 2012).

Menurut Oemar Hamalik dalam bukunya yang berjudul Kurikulum dan Pembelajaran mengungkapkan “Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkan berfungsi dalam kehidupan bermasyarakat”.

Hal ini berarti bahwa pendidikan merupakan suatu usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup yang mengarah kepada tujuan yang hendak dicapai.Dengan demikian pendidikan menjadi tanggung jawab semua yang

meliputi orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah harus memberikan perhatian yang sangat besar terhadap penyelenggaraan pendidikan, karena melalui pendidikanlah akan terbentuk karakter dan pengetahuan seseorang yang dapat digunakan untuk mencapai kesejahteraan hidup dan dapat membantu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berguna untuk merubah keadaan suatu bangsa menjadi lebih baik dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas (Isjoni, 2011).

Masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia biasanya karena orientasi pembelajaran di Indonesia cenderung masih bersifat teacher centered atau berpusat pada guru sehingga membuat peserta didik menjadi lebih pasif, sedangkan model pembelajaran yang seharusnya digunakan oleh seorang guru harus membuat peserta didik aktif dalam proses pembelajaran, karena keaktifan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran sangat tergantung dari pemanfaatan potensi yang dimiliki oleh peserta didik itu sendiri. Oleh karena itu keaktifan peserta didik dalam menjalani proses belajar mengajar merupakan salah satu kunci keberhasilan pencapain tujuan pembelajaran. Keaktifan peserta didik dalam proses belajar mengajar dapat mempengaruhi tingkat pemahaman seorang peserta didik, tingkat pemahaman seorang peserta didik akan mempengaruhi hasil belajar yang ia peroleh, hasil belajar adalah salah satu indikator yang bisa digunakan untuk mengukur tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran dan untuk mengukur keberhasilan belajar seseorang.

Pendidikan dengan proses belajar mengajar sebagai kegiatannya, merupakan suatu proses interaksi antara pendidik dan anak didik. Dari proses interaksi itu proses belajar mengajar diikatkan dengan minat dan perhatian antara keduanya, dengan demikian proses belajar mengajar akan terjadi secara efektif dan efisien,


(3)

apabila peserta didik mempunyai minat kepada suatu pekerjaan atau guru yang memengaruhinya. Minat yang besar akan mendorong individu untuk melakukan hal-hal yang lebih baik. Oleh karena itu, minat mempunyai dampak yang sangat besar atas perilaku dan sikap seseorang terhadap segala sesuatu.

Pada dasarnya kegiatan atau perbuatan yang dilakukan setiap orang didasari oleh kecenderungan atau minat. Minat melahirkan perhatian dan hal ini memungkinkan seseorang melakukan sesuatu dengan tekun untuk jangka waktu yang lama. Minat merupakan landasan penting bagi seseorang untuk melakukan kegiatan dengan baik sebagai suatu aspek kejiwaan, minat bukan saja dapat memengaruhi tingkah laku seseorang, tapi juga dapat mendorong orang untuk tetap melakukan dan memperoleh sesuatu. Hal itu sejalan dengan yang dikataka oleh S. Nasution bahwa pelajaran akan berjalan lancar apabila ada minat, anak-anak malas, tidak belajar, gagal, karena tidak ada minat (Nasution, 1998). Dan belajar akan sangat sulit apabila tidak ada minat belajar.

Dalam pembelajaran biologi terutama pada konsep sistem hormon, minat mempunyai peran yang sangat penting, bila seorang peserta didik tidak memiliki minat yang besar untuk belajar maka sulit diharapkan peserta didik tersebut akan tekun memperoleh hasil yang baik dari belajarnya, sebaliknya apabila peserta didik tersebut belajar dengan minat yang besar, maka hasil yang diperoleh lebih baik. Seperti yang diungkapkan oleh Usman Efendi dan Juhaya S. Praja bahwa belajar dengan minat akan lebih baik dari pada belajar tanpa minat (Efendi, 1993).

Proses belajar mengajar baru dapat berlangsung secara efektif dan efisien, jika terdapat minat dan perhatian penuh dari peserta didik, dalam bukunya Bobbi De Porter, Mark

Readrdor dan Sarah singer Nourle yang sangat sukses dengan judul quantum teaching memberikan informasi dari sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa peserta didik yang memiliki konsentrasi penuh akan belajar lebih cepat dan lebih mudah. Selain itu, mereka mengingat informasi lebih lama (Porter, Readrdor, &Nourle, 2000).

Dengan demikian, guru sebagai seorang pendidik harus dapat memaksimalkan proses kegiatan belajar. Guru harus dapat mengetahui keadaan yang tepat untuk memulai proses belajar mengajar, keadaan peserta didik yang memiliki konsentrasi atau perhatian yang penuh tentu akan dapat dengan mudah menerima pelajaran yang diberikan kepadanya, perhatian atau konsentrasi yang penuh dari peserta didik itu merupakan indikator adanya minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan oleh guru.

Bila kegiatan belajar sesuai dengan minat peserta didik, maka kegiatan itu akan berjalan dengan baik, karena adanya daya tarik bagi peserta didik untuk melakukan kegiatan tersebut. Berbeda dengan peserta didik yang tidak berminat dalam belajar, maka ia tidak akan terdorong untuk belajar karena tidak ada daya tarik baginya untuk melakukan kegiatan tersebut, terlebih pandangan para peserta didik untuk pelajaran yaitu sangat sulit karena siklus pembelajaran biologi yang begitu panjang dan kontinu serta saling berhubungan. Oleh karena itu untuk meningkatkan belajar peserta didik perlu ditingkatkan minat belajar peserta didiknya.

Dapat kita kaitkan dengan pernyataannya M. Alisuf Sabri dalam buku Psikologi Pendidikan: Kaitannya dengan belajar, peserta didik yang berminat (sikapnya senang) kepada pelajaran akan tampak terdorong terus untuk belajar, berbeda dengan peserta didik yang sikapnya hanya menerima kepada pelajaran


(4)

mereka hanya tergerak untuk mau belajar tetapi sulit untuk terus tekun, karena tidak ada pendorongnya. Oleh karena itu peranan minat dalam belajar sangat besar (kuat) yaitu minat akan berperan sebagai “Motivating Force” (Sabri, 1995).

Dari keterangan diatas, dapat dijelaskan peserta didik yang memiliki minat belajar dengan peserta didik yang tidak memiliki minat belajar akan terdapat perbedaan, perbedaan tersebut tampak jelas dengan ketekunan yang terus-menerus. Peserta didik yang memiliki minat belajar maka ia akan terus tekun ketika belajar sedangkan peserta didik yang tidak memiliki minat belajar walaupun ia mau untuk belajar akan tetapi ia tidak terus untuk tekun dalam belajar.

Begitu pula dalam proses belajar mengajar dalam mata pelajaran biologi. Dalam belajar biologi, banyak sekali peserta didik yang masih kurang memerhatikan pelajaran karena masih kurangnya minat peserta didik dalam pembelajaran biologi. Dalam pembelajaran biologi terdapat siklus-siklus, tahapan-tahapan atau proses-proses yang harus dipahami, dimana antara siklus itu berkontinu atau berhubungan satu sama lainya. Dalam hal ini biasanya guru biologi akan lebih sering menggunakan proyektor dalam pembelajaran, sehingga biasanya mendatangkan kebosanan kepada peserta didik, dan apabila terjadi kebosanan pada peserta didik maka akan berpengaruh kepada minat peserta didik tersebut untuk membaca dan mengikuti proses belajar.

Dalam proses belajar mengajar salah satu faktor yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan minat belajar peserta didik, salah satu faktornya yaitu model pembelajaran. Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam pembelajaran. Salah satu dari model pembelajaran yang digunakan pada penelitian ini

adalah model pembelajaran kooperatif tipe make a match. Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dimulai dari peserta didik yang mencari pasangan kartu berupa pertanyaan dan jawaban (Lorna, 1994). Peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu yang ditentukan akan diberikan point. Keunggulan dari model pembelajaran ini adalah dapat digunakan untuk semua mata pelajaran dan untuk anak semua usia anak didik. Penerapan model pembelajaraan kooperatif tipe make a match ini memungkinkan peserta didik mencari pasangan sambil belajar mengenai konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan (Saputra, dkk., 2000).

Berdasarkan hasil observasi kasar peneliti di kelas 11 IPA SMAN 11 Tangerang Selatan, peserta didik menganggap bahwa biologi merupakan pelajaran yang membosankan dan agak sulit karena hampir sebagian besar dibutuhkan hafalan dalam memahaminya. Sehingga mereka menunjukkan sikap yang acuh, dan hanya beberapa orang yang aktif ketika proses pembelajaran sedang berlangsung, dan dampak yang akan timbul yaitu kurangnya minat peserta didik dalam mempelajari biologi. Hal ini disebabkan karena masih banyak guru yang mengajarkan mata pelajaran biologi dengan menggunakan metode pembelajaran lama yaitu metode ceramah, yaitu memindahkan informasi dan ilmu pengetahuan kepada peserta didik hanya melalui dimensi pendengaran, konsep-konsep yang diperoleh peserta didik tidak melalui proses kerja maupun penerapan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Guru kurang membangkitkan motivasi peserta didik dan kurang memusatkan perhatian belajar peserta didik. Kemungkinan lain yang terjadi adalah kurangnya penggunaan media pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam proses pemindahan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman yang tidak dapat diajarkan hanya dengan metode ceramah saja. Maka dari


(5)

itu dalam pembelajaran harus adanya variasi kegiatan seperti menggunakan model pembelajaran yang nyaman dan menggembirakan bagi peserta didik agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

Pembelajaran kooperatif tipe make a match adalah suatu model pembelajaran yang lebih mengedepankan kepada aktivitas peserta didik dalam mencari dan mengolah informasi yang telah mereka dapatkan dari berbagai sumber. Model pembelajaran tipe make a match ini diupayakan menjadi model yang tepat digunakan dalam proses pembelajaran, karena model ini dikemas dalam bentuk model yang menyenangkan sehingga para guru diharapkan untuk mencoba menerapkan model ini dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin meneliti lebih dalam lagi dan menyusun laporan penelitian yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match Dalam Meningkatkan Minat Belajar Peserta Didik Pada Konsep Sistem Hormon”

METODE

Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas atau yang lebih dikenal dengan Classroom Action Research.Penelitian ini dilakukan dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelas. Penelitian ini diawali dengan menggunakan penelitian pendahuluan (pra penelitian) dan yang nantinya akan dilanjutkan dengan siklus. Dalam hal ini, yang dimaksud siklus adalah satu putaran kegiatan bertuntun yang kembali ke langkah semula. Dimana setiap siklus terdiri dari empat tahap yaitu: Perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Penelitian ini di desain menjadi dua siklus, siklus pertama dilakukan dalam dua pertemuan dalam satu minggu.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Berdasarkan gambar 1 menurut indikator keberhasilan aktivitas belajar peserta didik telah mencapai kriteria yang “sangat baik” terlihat bahwa aktivitas belajar peserta didik selalu mempunyai kriteria “sangat baik” dan persentase skor yang dihasilkan selama berlangsungnya siklus I dan II mengalami peningkatan semakin berjalannya waktu aktivitas belajar peserta didik semakin meningkat.

Gambar 1. Hasil Aktivitas Belajar Peserta Didik

Gambar 2. Hasil Belajar Peserta Didik Siklus I dan Siklus II

Berdasarkan gambar 2 menunjukkan bahwa hasil belajar peserta didik pada siklus I masih belum mencapai target yang telah ditetapkan. Dari 29 peserta didikhanya 55% yang memperoleh nilai KKM maupun nilai di atas KKM, sedangkan target yang telah ditetapkan adalah sebesar 90%. Dari sisi perolehan nilai, satu orang peserta didik memperoleh nilai tertinggi 90 dan dua orang peserta didik yang memperoleh nilai terendah 55. Sedangkan rata-rata nilai peserta didik pada siklus I secara keseluruhan yaitu 72,8. Sedangkan pada siklus II jumlah peserta didik yang tuntas karena memperoleh nilai yang


(6)

memenuhi KKM, adalah sebesar 90% ini berarti menunjukkan terjadinya peningkatan sebesar 35% dibandingkan dengan siklus I yang hanya mencapai 55% rata-rata hasil belajar peserta didik pada siklus II meningkat menjadi 84,1. Berdasarkan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan, persentase sebesar 90% tersebut dapat dikatakan memenuhi target karena sesuai dengan indikator keberhasilan yaitu, apabila tingkat ketercapaian >85% (lebih besar dari 85%) maka penerapan model pembelajaran make a match materi sistem hormon pada manusia bisa dikatakan berhasil.

Tabel 1. Perbandingan Tingkat Keberhasilan Tindakan Siklus I dan Siklus II

No Data Hasil

Penelitian

Siklus I Siklus II 1. Hasil Belajar

Peserta Didik

55% 90%

2. Aktivitas Belajar Peserta Didik

80-86,6% 96,6% Dari tabel 1 di atas, tampak bahwa terjadi peningkatan yang signifikan dalam tingkat keberhasilan tindakan kelas dari siklus I terhadap siklus II. Pada data tentang hasil belajar peserta didik terlihat ada peningkatan sebesar 35% yakni dari 55% pada siklus I menjadi 90% pada siklus II, sedangkan data untuk aktivitas belajar peserta didik juga mengalami peningkatan sebesar 10%, yakni dari 80-86,6% pada siklus I menjadi 96,6% pada siklus II. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe make a match dapat meningkatkan aktivitas, minat dan hasil belajar peserta didik, khususnya dalam materi sistem hormon.

Pembahasan 1. Siklus I

Dalam penelitian ini, variabel bebasnya adalah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dan variabel terikatnya adalah minat belajar peserta didik.

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan dalam dua siklus. Masing-masing siklus dilaksanakan dalam dua pertemuan. Berdasarkan refleksi yang dilakukan, pelaksanaan tindakan pada siklus I berjalan kurang optimal sehingga hasilnya pun tidak begitu maksimal, hal ini dapat terlihat dari hasil belajar peserta didik pada saat siklus I.

Kekurang optimalan tersebut disebabkan adanya beberapa kelemahan. Pertama, guru pamong kurang berpengalaman dalam mengimplementasikan langkah-langkah model pembelajaran make a match, karena perlu diketahui bahwa guru lebih sering menggunakan metode pembelajaran ceramah dalam kegiatan pembelajaran sebelumnya. Penerapan model pembelajaran make a match dalam PTK ini adalah untuk yang pertama kalinya dilakukan oleh guru sehingga dalam pelaksanaannya masih terlihat kaku dan canggung.

Kedua, peserta didik terbiasa dengan model pembelajaran konvensional, oleh karena itu ketika pembelajaran menggunakan model pembelajaran make a match mereka masih mengalami kebingungan. Sama seperti halnya guru bagi para peserta didik pun, mengikuti pembelajaran dengan model make a match ini adalah untuk yang pertama kalinya. Masih banyak peserta didik yang belum memahami model pembelajaran tersebut.

Dengan kendala dan kelemahan tersebut, maka pelaksanaan tindakan pada siklus I menjadi kurang optimal. Kurang optimalnya pelaksanaan tindakan ini berdampak pada hasil hasil belajar dan minat belajar yang masih kurang maksimal pula. Hal ini tampak pada aspek-aspek yang diteliti pada PTK ini yaitu:

a. Nilai Hasil Belajar Peserta Didik

Pada siklus I ini, persentasenya hanya 55% dari 29 peserta didik yang dapat dikategorikan tuntas karena memperoleh nilai yang memenuhi


(7)

KKM. Berdasarkan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan sebelumnya pada bab 3, persentase nilai hasil belajar peserta didik pada siklus I sebesar 55% apabila tingkat ketercapaian < 85% (kurang dari 85%) maka penerapan model pembelajaran make a match pada materi sistem hormon belum bisa dikatakan efektif.

b. Nilai Aktivitas Belajar Peserta Didik

Pada siklus I ini, jumlah peserta didik yang dapat dikategorikan ke dalam 5 (lima) aspek

pengamatan yang meliputi:

gairah/kemauan/antusias, perasaan suka peserta didik terhadap proses pembelajaran, keaktifan peserta didik selama kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung, perhatian peserta didik, serta partisipasi peserta didik selama proses pembelajaran, sebesar 80-86,6% dengan demikian mengacu pada indikator keberhasilan yang telah ditetapkan pada bab 3 bahwa persentase sebesar 80-86,6% ini termasuk ke dalam kategori “Sangat Baik”.

Secara keseluruhan, perolehan tersebut belum memenuhi target yang telah ditetapkan. Perlu diketahui bahwa target setiap aspek yang diteliti, yaitu nilai hasil belajar peserta didik, nilai aktivitas belajar peserta didik, dan nilai angket minat belajar peserta didik adalah (persenan total keseluruhan aspek). Kurang berhasilnya pelaksanaan tindakan pada siklus I tersebut tidak terlepas dari kendala dan kelemahan baik yang berasal dari guru pamong, peneliti maupun peserta didik.

Oleh karena itu, peneliti dan guru pamong berusaha melakukan langkah-langkah perbaikan untuk diimplementasikan pada siklus II. Langkah-langkah perbaikan tersebut terutama didasarkan atas teori pengelolaan kelas (classroom management). Max Weber sebagaimana dikutip oleh Elinady Dzar Al-Ghifari (Dzar, 2013). Menurut teori ini,

pengelolaan kelas bertujuan agar setiap anak dapat belajar dengan tertib sehingga tercapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, guru harus memiliki keterampilan sebagai berikut:

1) Menunjukkan Sikap Tanggap

Keterampilan ini menggambarkan tingkah laku guru yang memperhatikan peserta didiknya sehingga peserta didik merasa bahwa guru hadir bersama mereka.

2) Membagi Perhatian

Pengelolaan kelas yang efektif terjadi bila guru mampu membagi perhatiannya kepada beberapa kegiatan yang berlangsung dalam waktu yang sama.

3) Memusatkan Perhatian Kelompok

Seorang guru harus mampu memusatkan perhatian kelompok terhadap tugas-tugas yang diberikan sehingga peserta didik tetap terlibat dalam kegiatan belajar.

4) Memberikan Petunjuk yang Jelas

Petunjuk yang jelas sangat diperlukan oleh peserta didik sehingga peserta didik tidak mengalami kebingungan dalam mengerjakan tugas atau perintah dari guru.

5) Menegur

Peserta didik yang telah mengganggu proses pembelajaran dapat diberi teguran. Teguran harus tegas dan jelas namun menghindari perkataan kasar atau menghina. Teguran ini dapat disepakati bentuknya ketika membuat aturan-aturan tertentu antara peserta didik dan guru yang biasanya dilakukan pada awal pembelajaran.

6) Memberikan Penguatan

Segala tingkah laku hendaknya diberi penguatan baik itu penguatan positif maupun


(8)

negatif dan teguran pada perilaku peserta didik yang telah menyimpang.

Berdasarkan teori tersebut, maka langkah-langkah perbaikan yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut:

1) Mendorong kemandirian, inisiatif, dan interaksi peserta didik dalam belajar

Kemandirian, inisiatif, dan interaksi peserta didik baik dengan guru maupun antar sesama teman sejawat, ini merupakan hal penting dalam melaksanakan proses pembelajaran yang menerapkan model make a match. Hal ini dilakukan dengan cara berdiskusi dengan guru pamong saling memberikan pengarahan, motivasi dan wawasan tambahan mengenai cara-cara untuk menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, efektif dan menyenangkan. Guru di dalam kelas harus bisa memancing peserta didik untuk berani bertanya, menjawab dan mengemukakan pendapatnya tanpa ada rasa malu dan takut salah. Selain itu, guru di dalam kelas juga harus bisa menghargai setiap gagasan atau pemikiran peserta didik. Dengan begitu guru dapat mendorong untuk berpikir mandiri dan membantu menemukan identitas intelektual mereka. Cara lain yang dilakukan adalah guru harus bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka untuk memancing mereka berpikir dan berdiskusi terutama diantara para peserta didik. Dengan demikian, pembelajaran berlangsung secara aktif, dinamis, kreatif, dan menyenangkan. 2) Meningkatkan pemahaman guru pamong

dalam menerapkan model pembelajaran make a match

Pemahaman guru pamong tentang implementasi model pembelajaran make a match terlihat masih kurang maksimal, maka dari itu peneliti sebagai observer harus bisa memberikan penjelasan yang utuh, detil, dan mudah dipahami oleh guru pamong itu sendiri maupun peserta

didik atas tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam melaksanaan pembelajaran di dalam kelas. Cara yang dilakukan antara lain mendalami berbagai buku-buku referensi tentang model pembelajaran make a match dan melakukan diskusi dengan guru pamong.

3) Berdiskusi bersama dengan guru pamong Peneliti dalam penelitian ini juga berperan sebagai observer, observer adalah rekan peneliti yang hadir dan membantu pengamatan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Oleh karena itu, observer secara obyektif dapat menilai berbagai kekurangan dan kelemahan berkenaan dengan implementasi langkah-langkah model pembelajaran make a match. Melalui diskusi dengan guru pamong diharapkan dapat memberikan saran, masukan wawasan tambahan dan kritik untuk memperbaiki pelaksanaan tindakan pada siklus berikutnya.

4) Memberikan penjelasan lebih detil tentang model pembelajaran make a match kepada peserta didik

Penjelasan yang utuh, rinci dan detil tentang model pembelajaran make a match kepada peserta didik sangat penting agar mereka tidak mengalami kebingungan dalam mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran make a match. Selain itu, peneliti memberikan kesempatan lebih luas kepada peserta didik untuk bertanya tentang tahapan-tahapan model pembelajaran make a match sehingga mereka benar-benar memahaminya. 5) Meningkatkan aktivitas peserta didik

Model pembelajaran make a match pada dasarnya merupakan model pembelajaran yang dikemas dalam bentuk model pembelajaran yang menyenangkan. Penerapan model pembelajaran make a match di kelas dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan tidak monoton, membuat peserta didik berperan lebih aktif dalam pembelajaran karena pada


(9)

model pembelajaran ini peserta didik diberikan kesempatan yang luas untuk melakukan tanya-jawab dan berdiskusi bersama teman sejawatnya. Dengan demikian diharapkan akan terjadi pertukaran gagasan, penambahan wawasan, dan pertukaran pendapat yang berujung pada lahirnya kemampuan untuk membangun pengetahuan yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri.

2. Siklus II

Berdasarkan refleksi diketahui bahwa pembelajaran pada siklus II mengalami peningkatan yang sangat signifikan dan drastis. Pelaksanaan tindakan kelas berjalan secara lebih baik dan lebih kondusif. Kecanggungan dan kebingungan seperti yang terlihat pada siklus I sudah tidak nampak lagi. Efektivitas dan efisiensi dalam proses pembelajaran tampak sangat kentara. Para peserta didik pun lebih bersemangat dan antusias dalam mengikuti pembelajaran.

Peningkatan tersebut tidak terlepas dari upaya perbaikan atas hasil refleksi yang telah dilakukan. Pada tataran proses pembelajaran, keberanian bertanya, menjawab, dan mengemukakan pendapat sudah tampak terlihat jelas pada sebagian besar peserta didik. Para peserta didik semakin berani mengemukakan gagasan dan pendapatnya sehingga terjadi interaksi belajar yang dinamis antara mereka. Hal ini berimplikasi pada semakin meningkatnya aktivitas, minat dan hasil belajar peserta didik.Peningkatan pemahaman guru pamong dalam mengimplementasikan model pembelajaran make a match memiliki pengaruh yang signifikan terhadap optimalisasi pelaksanaan tindakan pada siklus II ini. Dengan pemahaman yang lebih baik, maka guru pamong mampu memberikan penjelasan yang lebih sistematis, rinci dan detil kepada peserta didik

sehingga pemahaman mereka juga semakin meningkat. Oleh karena itu, para peserta didik tidak mengalami kesulitan dan kebingungan lagi dalam mengimplementasikan tahapan demi tahapan dalam pembelajaran make a match.

Semakin membaiknya proses pembelajaran ini, akan berpengaruh terhadap minat dan hasil belajar peserta didik. Hal ini tampak pada aspek-aspek yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini, yaitu:

a. Nilai Hasil Belajar Peserta Didik

Pada siklus II ini jumlah peserta didik yang tuntas karena memperoleh nilai yang memenuhi KKM, adalah sebesar 90% ini berarti menunjukkan terjadinya peningkatan sebesar 35% dibandingkan dengan siklus I yang hanya mencapai 55% berdasarkan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan pada bab 3, persentase sebesar 90% tersebut dapat dikatakan memenuhi target karena sesuai dengan indikator keberhasilan yaitu, apabila tingkat ketercapaian >85% (lebih besar dari 85%) maka penerapan model pembelajaran make a match materi sistem hormon pada manusia bisa dikatakan berhasil

b. Nilai Aktivitas Belajar Peserta Didik

Pada siklus II ini jumlah peserta didik yang dapat dikategorikan ke dalam 5 (lima) aspek pengamatan yang meliputi: gairah/kemauan/antusias, perasaan suka peserta didik terhadap proses pembelajaran, keaktifan peserta didik selama kegiatan pembelajaran, perhatian peserta didik, serta partisipasi peserta didik selama proses pembelajaran, meningkat menjadi sebesar 96,6%. Peningkatan ini dapat dikatakan cukup signifikan, mengingat pada siklus I peserta didik yang dapat dikategorikan ke dalam 5 (lima) aspek tersebut hanya mencapai 80-86,6%. Persentase sebesar 96,6% mengacu pada kriteria yang telah ditetapkan pada bab 3 bahwa persentase sebesar 96,6% ini termasuk ke dalam kategori “Sangat Baik”.


(10)

c. Nilai Minat Belajar Peserta Didik

Berdasarkan data menurut rekapitulasi nilai angket, dapat dikatakan bahwa pembelajaran pada siklus II berhasil memenuhi target karena sesuai dengan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. Perlu diketahui bahwa target yang telah ditetapkan dalam penelitian ini adalah sebesar 90% untuk masing-masing aspek yang diteliti, yaitu nilai hasil belajar peserta didik, nilai aktivitas belajar peserta didik, dan nilai minat belajar peserta didik. Peningkatan hasil belajar pada siklus II ini pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dalam hal ini, faktor guru memegang peranan yang sangat penting. Guru dapat memberikan penjelasan yang memadai tentang model pembelajaran yang akan dilaksanakan bersama peserta didik. Sebagai fasilitator, guru mampu memposisikan peserta didik sebagai subyek pembelajaran yang aktif.

Di sisi lain, meningkatnya antusias, keaktifan, perasaan suka, perhatian dan partisipasi peserta didik berpengaruh positif terhadap dinamika proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan teori minat belajar yang dikemukakan oleh Alisuf Sabri, mengatakan bahwa:

Minat (interest) adalah “kecenderungan untuk selalu memperhatikan dan mengingat sesuatu secara terus menerus. Minat ini erat kaitannya dengan perasaan terutama perasaan senang, karena itu dapat dikatakan minat terjadi karena sikap senang kepada sesuatu. Orang yang minat kepada sesuatu berarti ia sikapnya senang kepada sesuatu itu” (Sabri, 2007).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas (classroom based action research), dapat disimpulkan bahwa:

Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dapat meningkatkan minat

belajar peserta didik pada materi sistem hormon di kelas XI IPA 3 SMA Negeri 11 Tangerang Selatan, hal ini terlihat dari keseluruhan nilai angket minat belajar peserta didik, yang apabila dirata-ratakan mempunyai skor 83,3 skor tersebut termasuk ke dalam kategori “tinggi”. Selain itu, penerapan model pembelajaran make a match juga dapat meningkatkan aktivitas belajar peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Hal ini dapat dilihat dari persentase nilai aktivitas belajar peserta didik pada setiap siklusnya, yaitu siklus I (80-86,6%) dan siklus II (96,6%). Terakhir penerapan model pembelajaran make a match juga dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik hal ini dapat dilihat dari persentase jumlah peserta didik yang dapat dikategorikan tuntas karena memenuhi KKM pada setiap siklusnya, yaitu siklus I (55%) dan siklus II (90%), dan rata-rata hasil belajar peserta didik setiap siklusnya juga mengalami peningkatan secara signifikan yaitu siklus I (72,8) dan siklus II rata-rata hasil belajar peserta didik meningkat menjadi (84,1).

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, agar pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe make a match lebih efektif, efisien dan memberikan hasil yang lebih optimal, dan maksimal maka disampaikan saran-saran sebagai berikut:

1. Guru harus mempersiapkan secara matang, baik dalam pemahamannya kemampuan maupun peralatannya, sehingga modelpembelajaran kooperatif tipe make a match benar-benar dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien.

2. Guru harus selektif dalam memilih pokok bahasan yang akan diajarkan kepada peserta didik dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe make a match


(11)

sehingga pembelajaran berlangsung secara optimal dan maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Efendi, Usman dan S. Juhaya. 1993. Pengantar Psikologi. Bandung: Angkasa.

Elinady Dzar Al-Ghifari. 2013. Keterampilan Mengelola Kelas. Diakses dari http://elinady.belajar.com/2013/07/Ketera mpilan-Mengelola-Kelas.html (30 April 2016).

Lorna, Curran. 1994. Metode Pembelajaran Make a match. Jakarta: Pustaka Belajar Nasution, S. 1998. Didaktik Azaz-azaz

Mengajar. Bandung: Jemmars

Porter, de bobbi, et. al. 2000. Terjemah Quantum Teaching. Cet I. Bandung: Kaifa. Sabri alisuf, M. 1995. Psikologi Pendidikan. Cet

II. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.

Saputra. M, Yudha, dkk. 2000. Strategi Pembelajaran Kooperatif. Jakarta: Bintang Wali Artika.


(1)

memenuhi KKM, adalah sebesar 90% ini berarti menunjukkan terjadinya peningkatan sebesar 35% dibandingkan dengan siklus I yang hanya mencapai 55% rata-rata hasil belajar peserta didik pada siklus II meningkat menjadi 84,1. Berdasarkan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan, persentase sebesar 90% tersebut dapat dikatakan memenuhi target karena sesuai dengan indikator keberhasilan yaitu, apabila tingkat ketercapaian >85% (lebih besar dari 85%) maka penerapan model pembelajaran

make a match materi sistem hormon pada manusia bisa dikatakan berhasil.

Tabel 1. Perbandingan Tingkat Keberhasilan Tindakan Siklus I dan Siklus II No Data Hasil

Penelitian

Siklus I Siklus II 1. Hasil Belajar

Peserta Didik

55% 90%

2. Aktivitas Belajar Peserta Didik

80-86,6% 96,6% Dari tabel 1 di atas, tampak bahwa terjadi peningkatan yang signifikan dalam tingkat keberhasilan tindakan kelas dari siklus I terhadap siklus II. Pada data tentang hasil belajar peserta didik terlihat ada peningkatan sebesar 35% yakni dari 55% pada siklus I menjadi 90% pada siklus II, sedangkan data untuk aktivitas belajar peserta didik juga mengalami peningkatan sebesar 10%, yakni dari 80-86,6% pada siklus I menjadi 96,6% pada siklus II. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe make a match dapat meningkatkan aktivitas, minat dan hasil belajar peserta didik, khususnya dalam materi sistem hormon.

Pembahasan 1. Siklus I

Dalam penelitian ini, variabel bebasnya adalah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dan variabel terikatnya adalah minat belajar peserta didik.

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan dalam dua siklus. Masing-masing siklus dilaksanakan dalam dua pertemuan. Berdasarkan refleksi yang dilakukan, pelaksanaan tindakan pada siklus I berjalan kurang optimal sehingga hasilnya pun tidak begitu maksimal, hal ini dapat terlihat dari hasil belajar peserta didik pada saat siklus I.

Kekurang optimalan tersebut disebabkan adanya beberapa kelemahan. Pertama, guru pamong kurang berpengalaman dalam mengimplementasikan langkah-langkah model pembelajaran make a match, karena perlu diketahui bahwa guru lebih sering menggunakan metode pembelajaran ceramah dalam kegiatan pembelajaran sebelumnya. Penerapan model pembelajaran make a match dalam PTK ini adalah untuk yang pertama kalinya dilakukan oleh guru sehingga dalam pelaksanaannya masih terlihat kaku dan canggung.

Kedua, peserta didik terbiasa dengan model pembelajaran konvensional, oleh karena itu ketika pembelajaran menggunakan model pembelajaran make a match mereka masih mengalami kebingungan. Sama seperti halnya guru bagi para peserta didik pun, mengikuti pembelajaran dengan model make a match ini adalah untuk yang pertama kalinya. Masih banyak peserta didik yang belum memahami model pembelajaran tersebut.

Dengan kendala dan kelemahan tersebut, maka pelaksanaan tindakan pada siklus I menjadi kurang optimal. Kurang optimalnya pelaksanaan tindakan ini berdampak pada hasil hasil belajar dan minat belajar yang masih kurang maksimal pula. Hal ini tampak pada aspek-aspek yang diteliti pada PTK ini yaitu: a. Nilai Hasil Belajar Peserta Didik

Pada siklus I ini, persentasenya hanya 55% dari 29 peserta didik yang dapat dikategorikan tuntas karena memperoleh nilai yang memenuhi


(2)

KKM. Berdasarkan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan sebelumnya pada bab 3, persentase nilai hasil belajar peserta didik pada siklus I sebesar 55% apabila tingkat ketercapaian < 85% (kurang dari 85%) maka penerapan model pembelajaran make a match pada materi sistem hormon belum bisa dikatakan efektif.

b. Nilai Aktivitas Belajar Peserta Didik Pada siklus I ini, jumlah peserta didik yang dapat dikategorikan ke dalam 5 (lima) aspek

pengamatan yang meliputi:

gairah/kemauan/antusias, perasaan suka peserta didik terhadap proses pembelajaran, keaktifan peserta didik selama kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung, perhatian peserta didik, serta partisipasi peserta didik selama proses pembelajaran, sebesar 80-86,6% dengan demikian mengacu pada indikator keberhasilan yang telah ditetapkan pada bab 3 bahwa persentase sebesar 80-86,6% ini termasuk ke

dalam kategori “Sangat Baik”.

Secara keseluruhan, perolehan tersebut belum memenuhi target yang telah ditetapkan. Perlu diketahui bahwa target setiap aspek yang diteliti, yaitu nilai hasil belajar peserta didik, nilai aktivitas belajar peserta didik, dan nilai angket minat belajar peserta didik adalah (persenan total keseluruhan aspek). Kurang berhasilnya pelaksanaan tindakan pada siklus I tersebut tidak terlepas dari kendala dan kelemahan baik yang berasal dari guru pamong, peneliti maupun peserta didik.

Oleh karena itu, peneliti dan guru pamong berusaha melakukan langkah-langkah perbaikan untuk diimplementasikan pada siklus II. Langkah-langkah perbaikan tersebut terutama didasarkan atas teori pengelolaan kelas (classroom management). Max Weber sebagaimana dikutip oleh Elinady Dzar Al-Ghifari (Dzar, 2013). Menurut teori ini,

pengelolaan kelas bertujuan agar setiap anak dapat belajar dengan tertib sehingga tercapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, guru harus memiliki keterampilan sebagai berikut:

1) Menunjukkan Sikap Tanggap

Keterampilan ini menggambarkan tingkah laku guru yang memperhatikan peserta didiknya sehingga peserta didik merasa bahwa guru hadir bersama mereka.

2) Membagi Perhatian

Pengelolaan kelas yang efektif terjadi bila guru mampu membagi perhatiannya kepada beberapa kegiatan yang berlangsung dalam waktu yang sama.

3) Memusatkan Perhatian Kelompok

Seorang guru harus mampu memusatkan perhatian kelompok terhadap tugas-tugas yang diberikan sehingga peserta didik tetap terlibat dalam kegiatan belajar.

4) Memberikan Petunjuk yang Jelas

Petunjuk yang jelas sangat diperlukan oleh peserta didik sehingga peserta didik tidak mengalami kebingungan dalam mengerjakan tugas atau perintah dari guru.

5) Menegur

Peserta didik yang telah mengganggu proses pembelajaran dapat diberi teguran. Teguran harus tegas dan jelas namun menghindari perkataan kasar atau menghina. Teguran ini dapat disepakati bentuknya ketika membuat aturan-aturan tertentu antara peserta didik dan guru yang biasanya dilakukan pada awal pembelajaran.

6) Memberikan Penguatan

Segala tingkah laku hendaknya diberi penguatan baik itu penguatan positif maupun


(3)

negatif dan teguran pada perilaku peserta didik yang telah menyimpang.

Berdasarkan teori tersebut, maka langkah-langkah perbaikan yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut:

1) Mendorong kemandirian, inisiatif, dan interaksi peserta didik dalam belajar

Kemandirian, inisiatif, dan interaksi peserta didik baik dengan guru maupun antar sesama teman sejawat, ini merupakan hal penting dalam melaksanakan proses pembelajaran yang menerapkan model make a match. Hal ini dilakukan dengan cara berdiskusi dengan guru pamong saling memberikan pengarahan, motivasi dan wawasan tambahan mengenai cara-cara untuk menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, efektif dan menyenangkan. Guru di dalam kelas harus bisa memancing peserta didik untuk berani bertanya, menjawab dan mengemukakan pendapatnya tanpa ada rasa malu dan takut salah. Selain itu, guru di dalam kelas juga harus bisa menghargai setiap gagasan atau pemikiran peserta didik. Dengan begitu guru dapat mendorong untuk berpikir mandiri dan membantu menemukan identitas intelektual mereka. Cara lain yang dilakukan adalah guru harus bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka untuk memancing mereka berpikir dan berdiskusi terutama diantara para peserta didik. Dengan demikian, pembelajaran berlangsung secara aktif, dinamis, kreatif, dan menyenangkan. 2) Meningkatkan pemahaman guru pamong

dalam menerapkan model pembelajaran

make a match

Pemahaman guru pamong tentang implementasi model pembelajaran make a match

terlihat masih kurang maksimal, maka dari itu peneliti sebagai observer harus bisa memberikan penjelasan yang utuh, detil, dan mudah dipahami oleh guru pamong itu sendiri maupun peserta

didik atas tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam melaksanaan pembelajaran di dalam kelas. Cara yang dilakukan antara lain mendalami berbagai buku-buku referensi tentang model pembelajaran make a match dan melakukan diskusi dengan guru pamong.

3) Berdiskusi bersama dengan guru pamong Peneliti dalam penelitian ini juga berperan sebagai observer, observer adalah rekan peneliti yang hadir dan membantu pengamatan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Oleh karena itu, observer secara obyektif dapat menilai berbagai kekurangan dan kelemahan berkenaan dengan implementasi langkah-langkah model pembelajaran make a match. Melalui diskusi dengan guru pamong diharapkan dapat memberikan saran, masukan wawasan tambahan dan kritik untuk memperbaiki pelaksanaan tindakan pada siklus berikutnya.

4) Memberikan penjelasan lebih detil tentang model pembelajaran make a match kepada peserta didik

Penjelasan yang utuh, rinci dan detil tentang model pembelajaran make a match

kepada peserta didik sangat penting agar mereka tidak mengalami kebingungan dalam mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran make a match. Selain itu, peneliti memberikan kesempatan lebih luas kepada peserta didik untuk bertanya tentang tahapan-tahapan model pembelajaran make a match

sehingga mereka benar-benar memahaminya. 5) Meningkatkan aktivitas peserta didik

Model pembelajaran make a match pada dasarnya merupakan model pembelajaran yang dikemas dalam bentuk model pembelajaran yang menyenangkan. Penerapan model pembelajaran

make a match di kelas dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan tidak monoton, membuat peserta didik berperan lebih aktif dalam pembelajaran karena pada


(4)

model pembelajaran ini peserta didik diberikan kesempatan yang luas untuk melakukan tanya-jawab dan berdiskusi bersama teman sejawatnya. Dengan demikian diharapkan akan terjadi pertukaran gagasan, penambahan wawasan, dan pertukaran pendapat yang berujung pada lahirnya kemampuan untuk membangun pengetahuan yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri.

2. Siklus II

Berdasarkan refleksi diketahui bahwa pembelajaran pada siklus II mengalami peningkatan yang sangat signifikan dan drastis. Pelaksanaan tindakan kelas berjalan secara lebih baik dan lebih kondusif. Kecanggungan dan kebingungan seperti yang terlihat pada siklus I sudah tidak nampak lagi. Efektivitas dan efisiensi dalam proses pembelajaran tampak sangat kentara. Para peserta didik pun lebih bersemangat dan antusias dalam mengikuti pembelajaran.

Peningkatan tersebut tidak terlepas dari upaya perbaikan atas hasil refleksi yang telah dilakukan. Pada tataran proses pembelajaran, keberanian bertanya, menjawab, dan mengemukakan pendapat sudah tampak terlihat jelas pada sebagian besar peserta didik. Para peserta didik semakin berani mengemukakan gagasan dan pendapatnya sehingga terjadi interaksi belajar yang dinamis antara mereka. Hal ini berimplikasi pada semakin meningkatnya aktivitas, minat dan hasil belajar peserta didik.Peningkatan pemahaman guru pamong

dalam mengimplementasikan model

pembelajaran make a match memiliki pengaruh yang signifikan terhadap optimalisasi pelaksanaan tindakan pada siklus II ini. Dengan pemahaman yang lebih baik, maka guru pamong mampu memberikan penjelasan yang lebih sistematis, rinci dan detil kepada peserta didik

sehingga pemahaman mereka juga semakin meningkat. Oleh karena itu, para peserta didik tidak mengalami kesulitan dan kebingungan lagi dalam mengimplementasikan tahapan demi tahapan dalam pembelajaran make a match.

Semakin membaiknya proses

pembelajaran ini, akan berpengaruh terhadap minat dan hasil belajar peserta didik. Hal ini tampak pada aspek-aspek yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini, yaitu:

a. Nilai Hasil Belajar Peserta Didik

Pada siklus II ini jumlah peserta didik yang tuntas karena memperoleh nilai yang memenuhi KKM, adalah sebesar 90% ini berarti menunjukkan terjadinya peningkatan sebesar 35% dibandingkan dengan siklus I yang hanya mencapai 55% berdasarkan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan pada bab 3, persentase sebesar 90% tersebut dapat dikatakan memenuhi target karena sesuai dengan indikator keberhasilan yaitu, apabila tingkat ketercapaian >85% (lebih besar dari 85%) maka penerapan model pembelajaran make a match materi sistem hormon pada manusia bisa dikatakan berhasil b. Nilai Aktivitas Belajar Peserta Didik

Pada siklus II ini jumlah peserta didik yang dapat dikategorikan ke dalam 5 (lima)

aspek pengamatan yang meliputi:

gairah/kemauan/antusias, perasaan suka peserta didik terhadap proses pembelajaran, keaktifan peserta didik selama kegiatan pembelajaran, perhatian peserta didik, serta partisipasi peserta didik selama proses pembelajaran, meningkat menjadi sebesar 96,6%. Peningkatan ini dapat dikatakan cukup signifikan, mengingat pada siklus I peserta didik yang dapat dikategorikan ke dalam 5 (lima) aspek tersebut hanya mencapai 80-86,6%. Persentase sebesar 96,6% mengacu pada kriteria yang telah ditetapkan pada bab 3 bahwa persentase sebesar 96,6% ini


(5)

c. Nilai Minat Belajar Peserta Didik

Berdasarkan data menurut rekapitulasi nilai angket, dapat dikatakan bahwa pembelajaran pada siklus II berhasil memenuhi target karena sesuai dengan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. Perlu diketahui bahwa target yang telah ditetapkan dalam penelitian ini adalah sebesar 90% untuk masing-masing aspek yang diteliti, yaitu nilai hasil belajar peserta didik, nilai aktivitas belajar peserta didik, dan nilai minat belajar peserta didik. Peningkatan hasil belajar pada siklus II ini pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dalam hal ini, faktor guru memegang peranan yang sangat penting. Guru dapat memberikan penjelasan yang memadai tentang model pembelajaran yang akan dilaksanakan bersama peserta didik. Sebagai fasilitator, guru mampu memposisikan peserta didik sebagai subyek pembelajaran yang aktif.

Di sisi lain, meningkatnya antusias, keaktifan, perasaan suka, perhatian dan partisipasi peserta didik berpengaruh positif terhadap dinamika proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan teori minat belajar yang dikemukakan oleh Alisuf Sabri, mengatakan bahwa:

Minat (interest) adalah “kecenderungan

untuk selalu memperhatikan dan mengingat sesuatu secara terus menerus. Minat ini erat kaitannya dengan perasaan terutama perasaan senang, karena itu dapat dikatakan minat terjadi karena sikap senang kepada sesuatu. Orang yang minat kepada sesuatu berarti ia sikapnya senang

kepada sesuatu itu” (Sabri, 2007). SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas (classroom based action research), dapat disimpulkan bahwa:

Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dapat meningkatkan minat

belajar peserta didik pada materi sistem hormon di kelas XI IPA 3 SMA Negeri 11 Tangerang Selatan, hal ini terlihat dari keseluruhan nilai angket minat belajar peserta didik, yang apabila dirata-ratakan mempunyai skor 83,3 skor

tersebut termasuk ke dalam kategori “tinggi”. Selain itu, penerapan model pembelajaran make a match juga dapat meningkatkan aktivitas belajar peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Hal ini dapat dilihat dari persentase nilai aktivitas belajar peserta didik pada setiap siklusnya, yaitu siklus I (80-86,6%) dan siklus II (96,6%). Terakhir penerapan model pembelajaran make a match juga dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik hal ini dapat dilihat dari persentase jumlah peserta didik yang dapat dikategorikan tuntas karena memenuhi KKM pada setiap siklusnya, yaitu siklus I (55%) dan siklus II (90%), dan rata-rata hasil belajar peserta didik setiap siklusnya juga mengalami peningkatan secara signifikan yaitu siklus I (72,8) dan siklus II rata-rata hasil belajar peserta didik meningkat menjadi (84,1).

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, agar pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe make a match lebih efektif, efisien dan memberikan hasil yang lebih optimal, dan maksimal maka disampaikan saran-saran sebagai berikut:

1. Guru harus mempersiapkan secara matang, baik dalam pemahamannya kemampuan

maupun peralatannya, sehingga

modelpembelajaran kooperatif tipe make a match benar-benar dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien.

2. Guru harus selektif dalam memilih pokok bahasan yang akan diajarkan kepada peserta didik dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe make a match


(6)

sehingga pembelajaran berlangsung secara optimal dan maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Efendi, Usman dan S. Juhaya. 1993. Pengantar Psikologi. Bandung: Angkasa.

Elinady Dzar Al-Ghifari. 2013. Keterampilan Mengelola Kelas. Diakses dari http://elinady.belajar.com/2013/07/Ketera mpilan-Mengelola-Kelas.html (30 April 2016).

Lorna, Curran. 1994. Metode Pembelajaran Make a match. Jakarta: Pustaka Belajar Nasution, S. 1998. Didaktik Azaz-azaz

Mengajar. Bandung: Jemmars

Porter, de bobbi, et. al. 2000. Terjemah Quantum Teaching. Cet I. Bandung: Kaifa. Sabri alisuf, M. 1995. Psikologi Pendidikan. Cet

II. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.

Saputra. M, Yudha, dkk. 2000. Strategi Pembelajaran Kooperatif. Jakarta: Bintang Wali Artika.