Kritik Sosial dalam Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN CERPEN LUKISAN
KALIGRAFI KARYA A. MUSTOFA BISRI
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk memenuhi syarat mencapai gelar sarjana pendidikan

Oleh
Muhammad Zainal Abidin
NIM 1110013000024

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016

ABSTRAK

MUHAMMAD ZAINAL ABIDIN. Skripsi: Kritik Sosial dalam Kumpulan

Cerpen Lukisan Kaligrafi Karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Sastra di SMA. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta 2016.
Penelitian ini bertujuan menganalisis kehidupan masyarakat pesantren lewat tiga
cerpen “Gus Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi” yang terdapat dalam
kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri lewat tinjauan kritik
sosial.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang dilakukan menggunakan
pendekatan mimetik yang dikhususkan dalam penerapannya dalam karya sastra
khususnya cerpen. Pendekatan mimetik dalam penelitian ini melalui tiga tataran
yaitu, kritik terhadap kiai, kritik terhadap perilaku mistik islam/sufisme dan kritik
terhadap pesantren.
Pada akhirnya, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kritik sosial yang terdapat
dalam tiga cerpen karya A. Mustofa Bisri anggapan masyarakat tentang adanya
elemen-elemen pembentuk dalam lingkungan pesantren. Bagi kalangan masyarakat,
keseharian mereka (masyarakat pesantren) melingkupi institusi pendidikan yang
bergerak pada sisi keagamaanya saja. Pandangan tersebut, secara garis besar memang
benar adanya. namun di sisi lain pesantern juga kerap erat kaitanya dengan hal-hal

mistis, hal ini juga terjadi di kalagan masyarakat yang lebih luas (di luar pesantren).
Maka, dalam kumpulan cerpen “Lukisan Kaligrafi” ini, kritik sosial yang dibicarakan
yaitu mengenai tawaran terhadap para kiai dan masyarakat agar tidak menyikapi
segala kejadian hanya dari satu sisi saja. melainkan mereka harus mempertimbangkan
segala aspek yang ada dan mengetahui penyebab kejadian tersebut bisa terjadi. Baik
dalam pesantren, para Kiai dan masyarakat secara umum.
Kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A Mustofa Bisri ini dapat diterapkan
sebagai pembelajaran sastra di sekolah. Pada pertemuan yang membahas tentang
memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen. hingga mampu
menggugah minat baca siswa terutama yang berkaitan dengan pesantren serta
mengembangkan daya kritis siswa dalam memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik
sebuah cerpen.
Kata kunci: Kritik sosial, kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi, A. Mustofa Bisri,
Pembelajaran Bahasa dan Satra Indonesia.

i

ABSTRACT

MUHAMMAD ZAINAL ABIDIN. Thesis: Social Critism In The Collection of

Lukisan Kaligrafi Short Story by A. Mustafa Bisri Implications for Indonesian
Language and Literature Learning in Senior High School. Education of
Indonesian Language and Literature. Faculty of Tarbiyah and Teacher Training,
Syarif Hidayatullah Jakarta.
This research aimed to analyze the life of people in pesantren by using three
short stories “Gus Jakfar”, “Gus Muslih”, and “Lukisan Kaligrafi” that included in
short story of LukisanKaligrafis’ collection by A. MustofaBisri in considering of
social critic.
Finally, this research can be concluded that social critic including in three
short stories by A. Mustofa Bisri is people perspective about some shaper elements in
pesantren environment, such as heir daily activities covering in education institution
that move just in the religious side. The last, that perspective composesthe opinion
that pesantren as monotonous education institution. In literary teaching or learning,
the things who need to be developed is that the thing who concerned sense;
reasoning; affective, social, and religious.
This Lukisan Kaligrafi short story collection by A. Mustofa Bisri can be
learned as literary education in the shool. At the time that discuss about
understanding literary discourse through reading short story activity, until the student
can understand about how to reading literature, especially literature that relating to
the pesantren.

Keyword: Social critic, short story of Lukisan Kaligrafi collection, A. Mustofa Bisri,
Indonesian language learning and literature.

ii

KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil „alamin, puji syukur ke hadirat Allah yang telah
memberikan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
Salawat dan salam semoga selalu tercurak kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, para sahabat, dan pengikutnya.
Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Kritik Sosial dalam Kumpulan
cerpe Lukisan Kaligrafi Karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”. Penulis banyak memerlukan
bantuan, saran, masukan dan bimbingan dari berbagai pihak. Berkat bantuan
mereka skripsi yang disusun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar
sarjana pendidikan (S. Pd) ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karenanya,
penulis menyampaikan terima kasih pada:
1. Bapak dan Ibu tercinta, Sulaiman dan Siti Fatimah yang senantiasa
mengalirkan doa setiap saat, memberikan dorongan moral dan moril.
2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Makyun Subuki, M. Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia.
4. Ahmad Bahtiar, M. Hum., dosen pembimbing skripsi, yang telah memberi
bimbingan, semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini
dengan baik.
5. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberi ilmu
pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan
6. Teman-teman PBSI angkatan 2010, khususnya kelas A Ahmad Fahrudin,
Ahmad Samsudin, Amalia Utami, Anggraeni, Anisah Utari, Astuti
Nurasani, Ayu Rizki, Churin In Nabila, Dessy Husnul Qotimah, Dimas
Albiyan, Dina Sakinah, Edah Ajizah, Ema Fitriyani, Habibah Ramadhan,
Herlina Wahyu, Indra Dwi Permana, Jayanti Puspita Dewi, Lintang

iii

Akhlakulkharomah, Liza Amalia, Meizar Fatkhul Izza, Muhamad Alfinur,
Fahrudin Muallim, Nur Afianti, Nur Amalina, Nur Rafiqah, Papat
Fathiyah, Puguh Apria Rantau, Ratna Agustina, Rifka Fitrotuzzakia, Riza

Hernita, Septiara Lianasari, Sri Wahyuningsih, Vera Aditya, Wilda Istiana,
dan Yanti Nuryana), teman-teman Majelis Kantiniyah (Bang Ipang, Levi
arnaldo, Irsyad Zulfahmi Bohari Muslim, Fajar, Muhammad Ikbal, Bang
Zek serta Teman-teman Uye (Daniel Adepi, Miftah Falakhi, Sigit
Purnomo,

Zakky

Ramdhani

Muslim,

Dede

Sunarya,

Lintang

Akhlakulkharomah, Muhammad Alfinur, Fahrudin Mualim, anak-anak
kosan Gang Jati, yang selalu sabar dan rela membantu juga memberikan

semangat kepada penulis.
7. Terima kasih atas bimbingan, motivasi, doa, semangat yang tidak pernah
putus diberikan kepada penulis. Semoga Allah membalas kebaikan kalian
semua. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam
pembuatan penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi
yang memerlukannya.

Jakarta, 14 September 2016

Penulis
Muhammad Zainal Abidin

iv

DAFTAR ISI
Halaman Judul
Lembar Persetujuan Pembimbing
Surat Pernyataan Keaslian Skripsi
ABSTRAK ......................................................................................................


i

ABSTRACT ....................................................................................................

ii

KATA PENGANTAR ....................................................................................

iii

DAFTAR ISI...................................................................................................

v

BAB I PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.

F.
G.

Latar Belakang ..............................................................................
Identifikasi Masalah ......................................................................
Batasan Masalah............................................................................
Rumusan Masalah .........................................................................
Tujuan Penelitian ..........................................................................
Manfaat Penelitian ........................................................................
Metode Penelitian..........................................................................
1. Bentuk dan Strategi Penelitian .................................................
2. Jenis Penelitian.........................................................................
3. Prosedur Penelitian ..................................................................
4. Teknik Penulisan ......................................................................
5. Teknik Pengumpulan Data .......................................................
6. Sumber Data .............................................................................

1
3
3

4
4
5
5
5
6
6
7
7
7

BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Kritik Sosial ................................................................
B. Pesantren .......................................................................................
1. Pengertian Pesantren
2. Ciri-Ciri Pesantren
C. Pengertian Kiai ..............................................................................
D. Cerita Pendek ................................................................................

v


9
10

12
13

1. Pengertian Cerita Pendek
2. Ciri-Ciri Cerita Pendek
3. Unsur Cerita Pendek
E. Pendekatan Mimetik......................................................................
F. Pembelajaran Sastra ......................................................................
G. Penelitian yang Relevan ................................................................

24
25
26

BAB III BIOGRAFI DAN PANDANGAN PENGARANG A. MUSTOFA BISRI
A. Biografi A. Mustofa Bisri .............................................................
B. Karya-Karya A. Mustofa Bisri ......................................................
C. Pandangan A. Mustofa Bisri Sebagai Sastrawan ..........................

28
30
31

BAB IV PEMBAHASAN
A. Analisis Unsur Intrinsik ...............................................................
B. Analisis Kritik Sosial ....................................................................
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ......................

35
53
62

BAB V PENUTUP
A. Simpulan .......................................................................................
B. Saran ..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vi

64
65

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Cerpen merupakan salah satu genre sastra yang digunakan dalam
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah-sekolah. Setiap karya sastra
selalu menghadirkan pengalaman estetik, bahan perenungan, dan kerap menyajikan
banyak hal lain yang dapat menambah pengetahuan manusia yang menghayatinya.
Oleh karena itu cerpen sebagai karya sastra mengandung nilai-nilai pendidikan yang
dapat dijadikan sumber pengetahuan dan belajar.
Oleh karena itu pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia hadir dan bertujuan
agar siswa dan masyarakat pada umumnya mampu menghargai dan menikmati karya
sastra tersebut sebagai bagian dari pendidikan. Sebab pada umumnya masyarakat saat
ini cenderung menilai bahwa cerpen sebatas bacaan yang menghibur semata. Padahal
cerpen merupakan bahasa komunikasi antara penyair dan pembacanya dan
komunikasi tersebut akan berjalan dengan sehat apabila pembaca dapat menemukan
nilai-nilai dalam cerpen tersebut. Nilai-nilai tersebut dapat berupa bahan
pembelajaran moral, agama, kebangsaan dan sebagainya.
Sastra sendiri merupakan institusi sosial yang memakai medium bahasa.
Teknik-teknik sastra seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan
konvensi dan norma masyarakat sebab sastra menyajikan sebuah kehidupan.
Kehidupan ini sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra
lebih cenderung meniru alam dan dunia subjektif manusia.
Salah satu sastrawan yang mengunakan cerpen sebagai alat untuk
mengungkapkan kritik suatu persoalan yang terjadi di tengah-tengah kehidupannya
adalah A. Mustofa Bisri. Ia adalah seorang kiai yang berjiwa seniman atau seniman
yang merangkap kiai. Hal inilah yang mendasari penulis untuk mengambil cerpen-

1

2

cerpen beliau sebagai bahan penelitian. Karakteristik „tema pesantren Jawa’ cerpencerpen A. Mustofa Bisri menarik untuk ditelaah. Terlebih lagi di implikasikan dalam
sistem pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.
Beberapa masalah soal umat Islam yang dihadirkan A. Mustofa Bisri melalui
cerpen-cerpennya ternyata menjadi kritik kehidupan di pesantren terhadap
masyarakat pesantren dan masyarakat Islam di Indonesia. Dalam buku kumpulan
cerpennya, terdapat lima belas cerpen yang A. Mustofa Bisri tulis, beberapa
cerpennya memiliki tema yang sama antara cerpen yang satu dengan cerpen yang
lain, oleh karena itu penulis hanya akan meneliti tiga dari lima belas cerpen yang
terdapat dalam buku kumpulan cerpennya.
Melalui pendekatan mimetik penulis akan membandingkan peristiwa atau
fenomena yang ditemui di dalam cerita serta menghubungkannya dengan kenyataan
di luar karya. Cerpen “Gus jakfar”, “Gus Muslih” dan “Lukisan Kaligrafi” dirasa
mampu untuk mewakili keseluruhan tema yang ada dalam kumpulan cerpen tersebut,
karena menceritakan tentang kehidupan di dalam pesantren dan persoalan-persoalan
yang kerap hadir dalam kehidupan pesantren. Seperti kritik yang ditujukan untuk
masyarakat pada umumnya, yaitu mengenai kebiasaan masyarakat yang tidak mau
menerima hal-hal baru dalam ritual keagamaan.
Dalam pembelajaran bahasa dan sastra indonesia nilai ekstrinsik mencakup
beberapa nilai dalam kehidupan, seperti nilai sosial, agama, budaya dan politik.
Minimnya pembelajaran agama di sekolah karena porsi jam pelajaran agama yang
hanya mendapat waktu belajar 2x45 menit dalam satu minggu sehingga dirasa masih
sedikit dibandingkan dengan pelajaran ilmu umum lainnya terutama bahasa Indonesia
yang mendapat waktu lebih banyak 4x45 menit dalam seminggu maka salah satu
siasat guru bahasa dan sastra indonesia untuk memberikan pengetahuan agama
kepada siswa dengan cara mengajarkan untuk mencari nilai-nilai agama atau
ekstrinsik yang terdapat dalam sebuah karya sastra.

3

Dengan penelitian ini penulis berharap siswa dapat memahami dan mengerti
unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam sebuah prosa khususnya cerpen. Selain itu
diharapkan juga penelitian ini dapat memperluas pengetahuan agama siswa melalui
pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
penulis mengangkat judul skripsi Kritik sosial dalam kumpulan cerpen Lukisan
Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia Di SMA.

B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang ada, maka identifikasi masalah
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kurangnya pembahasan mengenai kritik sosial yang membahas tentang
kehidupan masyarakat pesantren dan masyarakat Islam di Indonesia.
2. Kurangnya implikasi mengenai kritik sosial yang membahas tentang
kehidupan di dalam pesantren dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi
karya A. Mustofa Bisri terhadap pembelajaran di SMA.
3. Kurangnya pemahaman siswa dalam memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik
dalam sebuah karya sastra.
4. Kurangnya pembelajaran agama di sekolah.
C. Batasan Masalah
Pembatasan masalah bertujuan membatasi banyaknya masalah yang muncul
dalam penelitian ini. Pembatasan masalah juga dapat mempermudah peneliti agar
objek yang diteliti lebih spesifik dan mendalam, karena terlalu banyak cerpen yang
terdapat dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi maka penulis membatasi
penelitian pada tiga cerpen yang dirujuk, yaitu: “Cerpen Gus Jakfar”, “Gus Muslih”
dan “Lukisan Kaligrafi”. Penulis menganggap ketiga cerpen tersebut mampu menjadi

4

bahan penelitian yang hendak di teliti oleh penulis yaitu kritik sosial dalam kumpulan
cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. Dalam kumpulan cerpen Lukisan
Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri terdapat banyak temuan masalah, maka dari itu,
penulis membatasi dan memfokuskan penelitian pada:
1. Kritik sosial dalam cerpen kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A.
Mustofa Bisri terhadap masyarakat pesantren Jawa dan masyarakat Islam di
Indonesia
2. Implikasi kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri
terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah penelitian
seperti telah dikemukakan di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana kritik sosial kehidupan pesantren dalam tiga cerpen “Gus
Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi” yang terdapat dalam
kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri?
2. Bagaimana implikasi kumpulan cerpen karya A. Mustofa Bisri terhadap
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan kritik sosial di pesantren dalam dalam tiga cerpen “Gus
Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi” yang terdapat dalam
kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri.
2. Mendeskripsikan Implikasi kumpulan cerpen karya A. Mustofa Bisri
terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas XI.

5

F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Untuk menambah keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia, memberikan
manfaat pada semua pembaca dalam bentuk tergugahnya kesadaran siswa di
lingkungan sosial menjadi sebuah hal yang penting untuk terus ditingkatkan
ditengah derasnya arus pusaran keadaan saat ini yang terus mengacu nilainilai keduniawian.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi
mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan memperkaya
referensi keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Pembaca dapat memperoleh gambaran tentang kritik kehidupan di
pesantren dalam sebuah karya sastra, mengapresiasi sebuah karya sastra
serta selalu tertarik untuk meneliti dan menelaah karya tersebut dengan
pandangan yang segar dan orisinil, bagi mahasiswa yang kelak akan
menjadi calon pendidik
c. Bagi calon pendidik, memperoleh pemahaman tentang cerpen secara
terstruktur dan mendalam
G. Metode Penelitian
1. Bentuk dan Strategi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang dilakukan
menggunakan pendekatan mimetik yang dikhususkan dalam penerapannya dalam
karya sastra khususnya cerpen. Pendekatan mimetik dalam penelitian ini melalui

6

tiga tataran yaitu, kritik terhadap kiai, kritik terhadap perilaku mistik
islam/sufisme dan kritik terhadap pesantren.
“Metode desktiptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan faktafakta yang kemudian disusul dengan analisis”. Secara etimologis, deskripsi dan
analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasal dari
bahasa Yunani, analyein („ana’= atas, „lyein’ = lepas, urai), tidak diberikan arti
tambahan, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan
pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode gabungan yang lain, misalnya
deskriptif komparatif, metode dengan cara menguraikan dan membandingkan,
dan metode deskriptif induktif, metode dengan cara menguraikan yang diikuti
dengan pemahaman dari dalam ke luar.1
Kemudian pendekatan ekstrinsik (pendekatan melalui faktor luar yang
mempengaruhi karya sastra), yang dalam hal ini dikaitkan dengan realita yang
ada.

2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library
research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen lain
yang berhubungan dengan objek penelitian.

3. Prosedur Penelitian
Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan langkahlangkah sebagai berikut:
a. Membaca buku kumpulan cerpen karya A. Mustofa Bisri yaitu Lukisan
Kaligrafi.
b. Menetapkan tiga cerpen karya A. Mustofa Bisri yang terdapat pada
kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi
1

sebagai objek penelitian dengan

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), h.. 53.

7

fokus menemukan kritik sosial dalam dunia Pesantren yang tergambar
dalam tiga cerpen tersebut serta implementasinya dalam dunia pendidikan.
c. Membaca ulang dengan cermat tiga cerpen A. Mustofa Bisri, Lukisan
Kaligrafi untuk menentukan hal yang dipahami sebagai kritik sosial dalam
dunia Pesantren yang terdapat dalam Tiga cerpen tersebut dan
implikasinya dalam dunia pendidikan.
d. Menandai setiap kata, kalimat dan paragraf yang mengandung kritik sosial
dalam kehidupan Pesantren.
e. Mengklasifikasikan data dan menetapkan analisis kritik sosial dalam
kehidupan Pesantren.
f. Menganalisis

data

yang

sudah

diklasifikasikan

dan

melakukan

pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi data.
g. Menyimpulkan hasil penelitian

4. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada buku
Pedoman Penulisan Skripisi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu suatu
cara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, buku, surat
kabar, dan majalah.
6. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung
objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu kumpulan cerpen Lukisan
Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Agustus
2009, Lukisan Kaligrafi.

8

b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat untuk
membantu penelitian, yaitu berupa buku-buku atau sumber-sumber dari
penulis lain yang berbicara terkait dengan objek penelitian.

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Kritik Sosial
Kata kritik berasal dari kata krites yang dalam bahasa Yunani berarti
“hakim”. Krinein adalah kata kerja dari krites yang berarti “menghakimi”. Kata
tersebut adalah pangkal dari kata benda criterion yang artinya “dasar
penghakiman”. Istilah itu lalu berkembang hingga memunculkan istilah kritikos
atau “hakim karya sastra”.1 Sedangkan kata kritik dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) ialah, “kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian
dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan
sebagainya.”2 Sedangkan kata sosial bermakna, “berkenaan dengan masyarakat,
suka memerhatikan kepentingan umum."3
Kritik

sosial dapat dipahami sebagai suatu ide atau gagasan yang

bertolak belakang atau berfungsi sebagai diapoda dari kenyataan maupun berbagai
bentuk keadaan yang tidak sesuai
Akhnad Zaini Akbar, kritik

dengan

tujuan

dan

harapan.

Menurut

sosial adalah satu bentuk komunikasi dalam

masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol jalannya sebuah sistem
sosial atau proses bermasyarakat. Zaini juga mengatakan bahwa pelbagai tindakan
sosial ataupun individual yang menyimpang dari kaidah umum dapat dihindari
maupun dicegah dengan cara memfungsikan kritik sosial. Dengan kata lain kritik
sosial dalam pandangan ini berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan
reproduksi sebuah sistem sosial atau masyarakat.4
Sementara itu Moh. Mahfud MD mengartikan kritik sosial sebagai sesuatu
yang mendasar di dalam kehidupan masyarakat, sebab masyarakat terus berubah
atau berkembang sehingga diperlukan semacam situasi dan perilaku ideal (ideal
conduct) yang sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat itu.
1

— 1.4.

Suminto A. Sayuti, Wiyatmi, Kritik Sastra, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 1.3

2

http://bahasa.kemdiknas.go.id//kbbi/index.php, diakses tanggal 20 Agustus 2015.
Ibid.
4
Moh Mahfud MD dkk, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta: UII
Press,1997), h. 47.
3

9

10

Dalam kalimat Mahfud yang lain, “kritik sosial adalah sesuatu yang positif sebab
ia mendorong sesuatu terjadi di dalam masyarakat untuk kembali ke kriteria (di
sini kata kritik terkait kriteria) yang dianggap wajar dan telah disepakati
bersama.”5 Jadi, dapat disimpulkan sebagai seuah upaya pngembalian terhadap
persoalan yang dikembalikan terhadap

B. Pesantren
1. Pengertian Pesantren
Pesantren berasal dari kata “santri”, dengan awalan “pe” dan akhiran
“an” yang mempunya arti asrama tempat santri atau tempat murid belajar
mengaji. Santri adalah orang yang mendalami agama Islam, orang yang
beribadat dengan sungguh-sungguh, orang yang saleh.6
Johns yang dikutip Dhofier berpendapat bahwa istilah santri berasal
dari bahasa Tamil artinya guru mengaji. C.C. Berg berpendapat bahwa istilah
tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang
tahu buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama
Hindu. Kata shastri tersebut berasal dari kata shastra yang berarti buku suci,
buku agama atau buku tentang ilmu pengetahuan.7
Sedangkan Nurcholish Madjid menyatakan bahwa kata santri berasa
dari bahasa Jawa yaitu “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti
seorang guru kemana pergi.8
Kata pondok dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bangunan
untuk tempat sementara, rumah, bangunan tempat tinggal yang berpetak yang
berdinding bilik dan beratap rumbia, madrasah dan asrama (tempat mengaji,
belajar agama Islam).9

5
6

Ibid., h. 71.
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991),

h. 878.
7

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia, Cet. IX, (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 41.
8
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina, 1997), h. 19-20.
9
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., h. 781.

11

Pesantren atau pondok adalah lembaga yang mewujudkan proses wajar
perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari segi historis, pesantren tidak
hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga keaslian (indigenous)
Indonesia; sebab lembaga yang serupa, sudah terdapat pada masa kekuasaan
Hindu-Budha, sedangkan Islam meneruskan dan mengislamkannya.10
Pesantren

secara

terminologi

didefinisikan

sebagai

lembaga

pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami,
menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya
moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.11
2. Ciri Pesantren
Dhofier menjelaskan bahwa ada lima elemen sehingga dapat disebut
sebagai pesantren yaitu adanya pondok, masjid, kiyai, santri, dan pengkajian
kitab Islam klasik (kitab kuning).12
Sedangkan

Kafwari

sebagaimana

dikutip

oleh

Tafsir

telah

mengidentifikasikan pesantren dan membagi pesantren menjadi empat pola
yaitu:
a. Pola satu, yaitu pesantren yang memiliki unit kegiatan dan elemen
yang berupa masjid dan rumah kiyai.pesantren ini masih
sederhana. Kiyai mempergunakan masjid atau rumahnya untuk
tempat mengaji. Biasanya santri berasal dari daerah sekitarnya
namun pengajaran telah diselenggarakan secara kontiniu dan
sistematik.
b. Pola dua, yaitu sama dengan pola satu ditambah dengan pondok
bagi santri.
c. Pola tiga, yaitu sama dengan pola dua ditambah dengan adanya
madrasah dan ditambah dengan pengajaran kitab kuning klasik.
d. Pola empat, yaitu pesantren pola tiga ditambah dengan adanya
keterampilan seperti peternakan, kerajinan, koperasi, sawah,
lading, dan sebagainya.13

10

M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, ( Jakarta:
P3M, 1987), h. 5.
11
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan
Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h. 55.
12
Dhofier, Op.Cit., h. 44.
13
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung:Rosda Karya, 1992),
h. 193.

12

C. Pengertian Kiai
Kiai atau pengasuh pondok pesantren adalah elemen yang sangat esensial
bagi suatu pesantren. Pada umumnya, sosok kiai sangat berpengaruh, kharismatik,
dan berwibawa sehingga sangat disegani oleh masyarakat di lingkungan pondok
pesantren. Kiai adalah tokoh sentral dalam suatu pesantren, maju mundurnya satu
pesantren ditentukan oleh wibawa dan karisma sang kiai.
Menurut asal-usulnya, perkataan kiai digunakan untuk tiga jenis gelar
yang saling berbeda, yaitu:
1. Sebagai gelar kehormatan pada barang yang dianggap keramat,
misalnya “Kiai Garuda Kencana” yang digunakan untuk sebutan
Kereta Emas yang berada di Keraton Yogyakarta.
2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam
yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan
kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kiai, ia juga
sering disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan
Islamnya).14
Para Kiai dengan kelebihannya dalam penguasaan pengetahuan Islam,
seringkali terlihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan
Tuhan dan rahasia alam sehinggga mereka dianggap memiliki kedudukan yang
tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam.15
Sedangkan anak seorang kiai laki-laki disebut dengan panggilan “Gus”
yang berasal dari kata bagus yang bertujuan untuk mendoakan seorang anak agar
menjadi orang yang baik, istilah Gus juga menjadi panggilan kehormatan untuk
seseorang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gus diartikan sebagai nama
julukan atau nama panggilan kepada anak laki-laki.16
Semua warga pesantren tunduk pada kiai. Mereka berusaha keras
melaksanakan semua perintahnya dan menjauhi semua larangannya, serta
menjaga agar jangan sampai melakukan hal-hal yang sekiranya tidak direstui kiai,
14

Dhofier, Op. Cit., h. 93.
Dhofier, Op. Cit., h. 94.
16
KBBI edisi kedua, h. 377.
15

13

sebaiknya mereka sesalu berusaha melakukan hal-hal yang sekiranya direstui
kiai.17
Kiai sebagai pengasuh pondok pesantren diposisikan sebagai top leader
yang menjadi panutan bagi santrinya. Oleh karena itu, segala bentuk kebijakan
pesantren berada di tangan kiai, terkhusus yang berkaitan dengan pembentukan
suasana kepesantrenan.

D. Cerita Pendek
1. Pengertian Cerita Pendek (Cerpen)
Pengertian cerpen telah dibuat dan dikemukakan oleh pakar sastra,
sastrawan. Di bawah ini ada beberapa pengertian cerita pendek yang
dikemukakan oleh pakar sastra.
H.B. Jassin mengemukakan bahwa cerita pendek adalah cerita yang
pendek. Jassin lebih jauh mengungkapkan bahwa tentang cerpen ini orang
boleh bertengkar, tetapi cerita yang seratus halaman panjangnya sudah tentu
tidak bisa disebut cerpen dan memang tidak ada cerpen yang sedemikian
panjangnya. Cerita yang panjangnya sepuluh atau dua puluh halaman masih
bisa disebut cerpen tetapi ada juga cerpen yang panjangnya hanya satu
halaman.18
Pengertian cerpen selanjutnya dikemukakan oleh Sumardjo dan Saini
di dalam buku mereka Apresiasi Kesustraan. Mereka berpendapat bahwa
cerpen adalah cerita pendek. Tetapi dengan hanya melihat fisiknya yang
pendek orang belum dapat menetapkan sebuah cerita yang pendek adalah
sebuah cerpen.19
Sumardjo juga mengemukakan pengertian cerpen di dalam bukunya
Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen. Ia berpengertian bahwa cerpen adalah
17

Ahmad Musthofa Haroen dkk, Khazanah Intelektual Pesantren, (Jakarta: 2009), h.

436.
18

Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer (Yogyakarta: Graha Imu, 2012), Cet. 2,

19

Ibid.

h. 50.

14

diksi pendek yang selesai dibaca dalam “sekali duduk”. Cerpen hanya
memiliki satu arti satu krisis dan satu efek untuk pembacanya. Untuk ukuran
Indonesia cerpen terdiri dari 4 sampai dengan 15 halaman folio ketik.
Pengertian cerpen yang dikemukakan oleh H.B. Jassin, Sumardjo, dan
Saini di atas tidak berbeda jauh dengan pengertian cerita pendek Edgar Allan
Poe (penyair, pengarang cerpen, novelet, dan esai Amerika abad ke-19). Dia
terkenal bukan hanya karena karya-karya kreatifnya, melainkan karena
konsep-konsep sastranya. Salah satu konsepnya yang penting tidak lain
mengenai cerpen. Ia mengatakan bahwa cerpen adalah karya sastra yang tidak
panjang cukup dibaca sekali duduk, bertitik berat pada satu masalah dan
memberi kesan tunggal.
Sumardjo dalam Antilan Purba berpengertian bahwa cerpen adalah
cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fisik dalam
aspeknya yang terkecil. Kependekan sebuah cerpen bukan karena bentuknya
yang jauh lebih pendek dari novel, melainkan karena aspek masalahnya yang
sangat dibatasi. Dengan pembatasan ini, sebuah masalah akan tergambarkan
jauh lebih jelas dan lebih mengesankan bagi pembaca. Kesan yang
ditinggalkan oleh sebuah cerpen harus tajam dan dalam sehingga sekali
membacanya kita tak akan mudah lupa.20
Cerpen biasanya menggunakan 15.000 kata atau 50 halaman. Nugroho
Notosusanto menyatakan bahwa jumlah kata yang digunakan dalam cerpen
sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap. Cerpen,
selain kependekannya ditunjukkan oleh jumlah kata yang digunakan, peristiwa
dan isinya sangat pendek. Peristiwa yang disajikan memang pendek dan isi
ceritanyapun singkat, tetapi mengandung kesan yang mendalam. Oleh karena
peristiwa dan isinya singkat, maka pelaku-pelaku dalam cerpen pun relatif
sedikit jika dibandingkan roman atau novel.21 Satu yang terpenting, cerita

20

Ibid., h. 51.
Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2010), h. 126.
21

15

pendek haruslah berbentuk “padat”. Jumlah kata dalam cerpen harus lebih
sedikit ketimbang jumlah kata dalam novel.22
Berdasarkan pendapat H.B. Jassin, Sumardjo, Saini, dan Edgar Allan
Poe sastrawan asal Amerika ini, penulis lebih mengikuti pendapat dari
Sumardjo. Maka dari itu, disimpulkan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang
tidak panjang dan cukup dibaca sekali duduk dengan aspek masalah yang
sangat dibatasi sehingga tergambar lebih jelas dan lebih mengesankan dan
pembaca pun tidak mudah lupa isi ceritanya

2. Ciri Cerita Pendek (Cerpen)
Cerpen memiliki ciri utama yaitu singkat, padu, intensif. Di samping
ciri tersebut, ciri lainnya adalah sifat rekaan (fiction). Cerpen bukan penuturan
kejadian yang pernah terjadi, berdasarkan kenyataan kejadian yang
sebenarnya, tetapi murni ciptaan saja, direka oleh pengarangnya. Meskipun
cerpen adalah rekaan, namun ia ditulis berdasarkan kenyataan kehidupan. Apa
yang diceritakan di dalam cerpen memang tidak pernah terjadi, tetapi dapat
terjadi semacam itu. Pembaca cerita rekaan bukan sekadar membacar kisah
lamunan. Membaca karena cerpen menunjukkan suatu sisi kenyataan.
Pembacanya menghayati pengalaman seseorang, mengidentifikasi diri dengan
tokoh cerita rekaan sehingga ikut mengalami peristiwa yang dihadapinya.
Perbuatan-perbuatannya, pikiran dan perasaannya, keputusannya, dilemalemanya, dan sebagainya. 23
Ciri selanjutnya adalah sifat naratif atau penceritaan. Cerpen bukanlah
pancandraan (deskripsi) argumentasi dan analisis tentang suatu hal, tetapi
cerita. Tidak setiap cerita disebut cerpen. Dalam hal ini sebuah sketsa
(penggambaran tentang sesuatu kenyataan), berita, dan kisah perjalanan juga
berbentuk cerita, namun semua itu berdasarkan hal-hal yang benar-benar ada
dan telah terjadi.24
22

Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 76
Purba, Op. Cit., h. 52.
24
Jakob Sumardjo dan Saini K.M., Apresiasi Kesusastraan (Jakarta: PT Gramedia,
1986), h. 37.
23

16

3. Unsur Cerita Pendek
Bentuk prosa rekaan modern bisa dibedakan atas roman, novel,
novelet, dan cerpen karena tidak ada penelitian yang mendukung pembedaan
beberapa bentuk tersebut lebih banyak didasarkan pada panjang-pendeknya
dan luas-tidaknya masalah yang dipaparkan dalam prosa rekaan. Walaupun
tidak selalu benar, ada juga yang dasar pembedaannya ditambah dengan
bahasa dan lukisannya.25
Dilihat dari perkembangannya cerita pendek dibagi menjadi dua yaitu:
(1) cerita pendek sastra (cerita serius) yaitu cerita yang mengandung nilai
sastra (moral, etika, dan estetika); (2) cerita pendek hiburan (cerpen pop) yaitu
cerita pendek yang umumnya untuk menghibur yang mengutamakan selera
pembaca dan kurang memperhatikan unsur didaktis, moral, etika.26
Karakter utama dalam fiksi (cerpen) adalah peristiwa, yaitu suatu
kejadian yang di dalamnya ada hubungan antara tokoh, alur, dan setting.
Peristiwa dalam cerpen menunjukkan dua pola, yaitu peristiwa monologis
yang merupakan penggambaran keadaan dan kedirian yang bersifat tunggal,
dimana tokoh sedang bermonolog atau penulis sedang menggambarkan
keadaan; dan peristiwa dialogis yang merupakan penggambaran keadaan
hubungan tokoh dengan tokoh dalam suatu keadaan tempat dan waktu
tertentu. Baik peristiwa dialogis dan monologis selalu ada dalam sebuah
cerpen.27
Sekalipun ada peristiwa monologis dan dialogis sebagai peristiwa
pembangun cerita, tetapi hakikatnya peristiwa itu menunjukkan karakter yang
sama, yaitu peristiwa sebagai pembangun cerpen selalu terbentuk atas: tokoh,
setting, dan alur. Dengan demikian, ketiganya adalah pembangun cerita yang
konkret (fact) yaitu suatu fakta-fakta konkret yang eksplisit membangun

25

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Grasindo, 2008)., h. 140.
Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sastra Indonesia (Bandung: UPI PRESS,
2006), cet. 2, h. 37.
27
Heru Kurniawan dan Sutardi, Proses Kreatif Menulis Cerita Pendek, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2012), h. 61.
26

17

cerpen ataupun fiksi sehingga ketiga unsur ini (tokoh, latar, dan alur) disebut
dengan fakta cerita. Melalui fakta cerita inilah maka tema, pesan, amanat,
suasana, dan sudut pandang diaktualisasikan.28

a. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya
sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau
sistem organisme karya sastra.29 Unsur-unsurnya antara lain: biografi
pengarang yang turut menentukan ciri karya yang dihasilkan, psikologi
pengarang atau pun pembaca, keadaan lingkungan pengarang seperti
ekonomi, politik dan sosial yang dapat mempengaruhi karyanya.

b. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur yang berada di dalam sebuah
karya sastra, yaitu unsur yang membangun karya itu sendiri. Keutuhan
atau kelengkapan sebuah cerpen dilihat dari segi-segi unsur yang
membentuknya. Adapun unsur-unsur itu adalah

tema, tokoh dan

penokohan, latar, sudut pandang, alur, gaya bahasa, dan pesan atau
amanat. Unsur ini dapat dijumpai dalam cerpen ketika membacanya.
1). Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita.30 Stanton
dan Kenny dalam Burhan Nurgiyantoro mengatakan bahwa
tema (theme) adalah makna yang terkandung oleh sebuah
cerita.31 Dalam menemukan tema prosa rekaan, pembaca
sebetulnya juga dapat menemukan nilai-nilai didaktis yang
berhubungan dengan masalah manusia dan kemanusiaan serta
hidup dan kehidupan.32 Dengan demikian, untuk menentukan
28

Ibid.
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2005), cet. 5, h. 23
30
Siswanto, Op. Cit., h. 161.
31
Burhan, Op. Cit., h. 67.
32
Siswanto, Op. Cit., h. 161.
29

18

tema harus memahami isi keseluruhan sebuah cerita, sehingga
dapat memperoleh inti dari sebuah cerita dan menentukan tema
dengan tepat.

2). Tokoh dan Penokohan
Yang dimaksud dengan tokoh adalah para pelaku atau
subjek lirik dalam karya sastra.33 Aminuddin dalam Siswanto,
tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita
rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan
cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.34
Burhan berpendapat bahwa istilah “tokoh” menunjuk pada
orangnya, pelaku cerpen. Sedangkan penokohan artinya
karakter dan perwatakan— menunjuk pada penempatan tokohtokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah
cerita.35
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh
dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan
ditampilkan terus-menerus dan sebaliknya, ada tokoh(-tokoh)
yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita.
Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita (central
character, main character), sedang yang kedua adalah tokoh
tambahan (peripheral character).36 Hampir sependapat dengan
Burhan menurut Sudjiman dalam Priyatni, berdasarkan
fungsinya, tokoh dibedakan atas tokoh utama dan tokoh
bawahan atau pembantu. Tokoh utama adalah tokoh yang
memegang peranan utama, frekuensi kemunculannya sangat
tinggi, menjadi pusat penceritaan. Sedangkan tokoh bawahan
adalah tokoh yang mendukung tokoh utama, yang membuat
33

Priyatni, Op. Cit., h. 110.
Siswanto, Op. Cit., h. 142.
35
Burhan, Op. Cit., h. 165.
36
Ibid., h.176.
34

19

cerita lebih hidup.37 Dalam sebuah cerita tidak hanya
memunculkan satu tokoh saja, pastinya ada tokoh tambahan di
samping tokoh utama agar cerita lebih hidup dengan kehadiran
tokoh-tokoh lain. Oleh karena itu, setiap tokoh dalam karya
fiksi memiliki sifat, sikap, dan tingkah laku atau watak-watak
yang berbeda, sehingga cerita akan lebih menarik dengan
perbedaan watak yang digambarkan di dalam cerita. Hubungan
tokoh dengan dengan unsur cerita yang lain, seperti hubungan
tokoh dan latar merupakan dua unsur rekaan yang erat
berhubungan dan tunjang-menunjang.38

3). Alur (plot)
Menurut

Abrams

dalam

Siswanto,

alur

adalah

rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para
pelaku dalam suatu cerita. Menurut Aminuddin dalam
Siswanto,

membedakan

tahapan-tahapan

peristiwa

atas

pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan
penyelesaian.39
Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita
rekaan atau drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau
latar cerita. Yang dikenalkan dari tokoh ini, misalnya, nama,
asal, ciri fisik, dan sifatnya.
Konflik atau tikaian, ketegangan atau pertentangan
antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan
atau drama. Pertentangan ini dapat terjadi dalam diri satu
tokoh, antara dua tokoh, antara tokoh dan masyarakat atau

37

Priyatni, Op. Cit., 110
Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya,
1988), h. 27.
39
Siswanto, Op. Cit., h. 159.
38

20

lingkungannya, antara tokoh dan alam, serta antara tokoh dan
Tuhan. Ada konflik lahir dan batin.
Komplikasi atau rumitan bagian tengah alur cerita
rekaan atau drama yang mengembangkan tikaian.
Klimaks adalah bagian alur cerita rekaan atau drama
yang melukiskan puncak ketegangan.
Leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapai
klimaks. Pada tahap ini peristiwa-peristiwa yang terjadi
menunjukkan perkembangan lakuan ke arah selesaian.
Selesaian adalah tahap akhir suatu cerita rekaan atau
drama. Ada dua macam selesaian: tertutup dan terbuka.
Selesaian tertutup adalah bentuk penyelesaian cerita yang
diberikan oleh sastrawan. Selesaian terbuka adalah bentuk
penyelesaian cerita yang diserahkan kepada pembaca.40
Tahap-tahap alur dijelaskan sebagai urutan waktu
kejadian di dalam cerita. Namun, tidak semua cerita dimulai
dari tahap yang paling awal yaitu pengenalan. Ada pula cerita
yang dimulai dari tahap penyelesaian, hal itu disebut alur
mundur. Sedangkan tahap alur yang runtut dari pengenalan
hingga selesaian disebut alur maju. Bagi pembaca, alur atau
plot berguna untuk memahami keseluruhan isi cerita secara
runtut dan jelas.

4. Latar (Setting)
Setting adalah latar atau tempat kejadian, watu sebuah
cerita. Setting bisa menunjukkan tempat, waktu, suasana batin,
saat cerita itu terjadi.41 Latar, tidak hanya merujuk pada lokasi
peristiwa, tetapi juga memiliki kemampuan untuk membangun
karakter tokoh, menentukan tema, serta membangun suasana
40
41

Ibid., h. 160.
Esti Ismawati, Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), h. 72.

21

tertentu. Latar, tidak hanya mampu memberikan pengetahuan
tentang masyarakat tertentu, tapi juga mampu melukiskan
secara lengkap berbagai masalah, watak, sikap hidup, ambisi
masyarakat tertentu.42
Menurut Abrams dalam Siswanto, latar cerita adalah
tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical
time), dan kebiasaan masyarakat (social circumtances) dalam
setiap episode atau bagian-bagian tempat.43
Jacob Sumardjo menyatakan bahwa setting tidak hanya
berupa tempat atau lokal saja, tetapi juga mencakup suatu
daerah dengan watak kehidupannya. Hal ini senada dengan
pendapat Stephen Minot yang menyatakan bahwa latar
memuat: latar waktu, latar alam/geografi, dan latar sosial.44
Faktor dominan dalam latar antara lain: a) faktor tempat yaitu
gambaran tentang di mana peristiwa atau cerita dalam fiksi itu
terjadi. Tempat itu bisa terdiri atas negara, kota, kampung atau
desa, pantai, hutan, dan lainnya; b) faktor waktu, merupakan
gambaran kapan, masa, dan saat tertentu terjadinya peristiwa
dalam karya fiksi itu. Faktor waktu ini ada hubungan dengan
tempat, yaitu gambaran suatu tempat pada masa, zaman, tahun,
atau musim tertentu. Waktu berkaitan pula dengan sejarah; c)
faktor sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat.45 Tata cara kehidupan sosial
masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang
cukup kompleks. Dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan
bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Latar

42

Wahyu Wibowo, Konglomerasi Sastra, (Jakarta: Paronpers, 1995), h. 57.
Siswanto, Op. Cit., h. 149.
44
Priyatni, Op. Cit., h. 112.
45
Nani Tuloli, Teori Fiksi, (Gorontalo: Nurul Jannah, 2000), h. 53-55.

43

22

sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh, misalnya
rendah, menengah, atau atas.46
Namun, tidak semua latar bisa ditampilkan di dalam
cerpen baik itu latar waktu, tempat, atau latar sosial. Bisa jadi
dalam sebuah cerita hanya menonjolkan latar tempatnya saja,
atau latar waktu, dan bahkan latar sosial saja yang ditampilkan
pada sebuah cerita.

5). Sudut Pandang
Seorang pengarang dalam memaparkan ceritanya dapat
memilih sudut pandang tertentu. Pengarang dapat memilih satu
atau lebih narator/pencerita yang bertugas memaparkan ide,
peristiwa-peristiwa dalam prosa fiksi. Secara garis besar,
pengarang dapat memilih pencerita akuan atau diaan.47
a. Sudut Pandang Orang Pertama “Aku”
Seseorang

pencerita

dapat

dikatakan

sebagai

pencerita akuan apabila pencerita tersebut dalam bercerita
menggunakan kata ganti orang pertama: aku atau saya.
Sudut pandang orang pertama “aku” (tokoh utama) serba
tahu yaitu seorang narator yang bisa mengetahui semua
gerak fisik maupun psikisnya. Biasanya bertindak sebagai
tokoh utama yang serba tahu.
Tidak semua cerita menggunakan sudut pandang
orang pertama “aku” serba tahu. Ada kemungkinan
pencerita atau narator hanya mengetahui gerak-gerik fisik
dari para tokoh, hal tersebut sebagai “aku” (tokoh
tambahan).

46
47

Burhan, Op. Cit., h. 233-234.
Priyatni, Op. Cit., h. 115.

23

b. Sudut Persona Orang Ketiga “Dia”
Sudut
diklasifikasikan

pandang
menjadi

orang

ketiga

ini

dapat

dua,

“Dia”

serba

tahu

(menceritakan segala hal yang dipikirkan, dirasakan oleh
berbagai tokoh dalam cerita) dan “Dia” terbatas atau
objektif (hanya terbatas mengamati pada satu tokoh).

c. Sudut Pandang Campuran
Pengarang menggunakan lebih dari satu teknik
dalam bercerita. Pengarang dapat mengubah teknik atau
berganti-ganti teknik penceritaan dalam sebuah karyanya.
Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi,
teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk
menemukan gagasan ceritanya.48 Pemahaman pembaca
terhadap sebuah karya sastra dipengaruhi oleh kejelasan
sudut pandang yang digunakan oleh pengarang dalam
karyanya, sehingga sudut pandang dapat menentukan
sejauh mana pemahaman pembaca terhadap sebuah karya
dan mampu memberikan penilaian terhadap karya tersebut.

8). Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra;
pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau
pendengar.49 Pengarang pastinya mempunyai tujuan ketika
menciptakan karya. Tujuan tersebut tentunya diperuntukkan
bagi pembacanya, sehingga pesan yang ingin disampaikan
dapat diterima oleh pembaca. Di dalam karya sastra modern
amanat biasanya disampaikan secara tersirat dalam cerita.

48
49

Burhan, Op. Cit., h. 248.
Ibid., h. 162.

24

E. Pendekatan Mimetik
Berbicara tentang teori mimetik, tidak dapat terlepas dari pengaruh filsuf
besar Yunani yaitu Plato dan Aristoteles. Pendekatan mimetik memandang karya
sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan nyata. Konsep tersebut
dikemukakan filsuf Plato, dan kemudian diungkapkan oleh Aristoteles. Plato
berpendapat bahwa seni hanya tiruan alam yang nilainya jauh di bawah kenyataan
dan

ide.

Sedangkan

Aristoteles

menyatakan

bahwa

tiruan

itu

justru

membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum, karena seni
merupakan aktivitas manusia.50
Mimetik berasal dari bahasa Yunani yaitu mimesis yang berarti tiruan.
Pertama kali digunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan oleh
Plato dan Aristoteles. Dan dari abad ke abad sangat mempengaruhi teori-teori seni
dan sastra di Eropa.
Abrams dalam Nyoman Kutha Ratna, mengatakan pendekatan mimesis
merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Teori estetis ini tidak hanya
ada di Barat tetapi juga di dunia Arab dan Indonesia. Dalam khazanah sastra
Indonesia, yaitu dalam puisi Jawa Kuno seni berfungsi untuk meniru keindahan
alam. Dalam bentuk yang berbeda, yaitu abad ke-18, dalam pandangan Marxis
dan sosiologi sastra, karya seni dianggap sebagai dokumen sosial. Apabila
kelompok Marxis memandang karya seni sebagai refleksi, maka sosiologi sastra
memandang kenyataan sebagai sesuatu yang sudah ditafsirkan. Dalam hubungan
ini pendekatan mimesis memiliki persamaan dengan pendekatan sosiologis