Potret Sejarah Revolusi Indonesia dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

ADE NURFADILAH

1111013000100

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M.Hum.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana potret sejarah Indonesia setelah merdeka atau disebut dengan masa revolusi yang terdapat pada cerpen “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”, “Ceritera dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka” guna menambah wawasan sejarah dan meningkatkan rasa nasionalisme. Metode yang digunakan adalah kualitatif dan pendekatan yang digunakan adalah mimetik.

Adapun hasil pembahasannya, yaitu: 1) Potret peristiwa yang terjadi selama masa revolusi Indonesia dalam cerpen “CSMHJMD”, “Ceritera dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka”: dalam poin ini terdapat gambaran mengenai pemberontakan di Sumatera Timur, gambaran mengenai kondisi pemuda Indonesa yang menyelundupkan senjata dari Singapura, gambaran mengenai hasil keputusan KMB yang merugikan, dan kerasnya Belanda dalam mempertahankan Irian Barat. Selain itu di dalamnya juga terdapat potret kerjasama/hubungan dengan negara lain, di antaranya: hubungan dengan negara komunis, Singapura, India (New Delhi), dan Uni Soviet. 2) Potret dampak revolusi Indonesia, dalam poin ini dampaknya adalah tumbuh rasa empati dalam diri pemuda Indonesia, dan adanya beberapa masalah lama yang tidak kunjung selesai. 3) Persamaan dan perbedaan, dalam poin ini persamaannya adalah sama-sama membahas peristiwa selama masa revolusi, membahas hubungan dengan negara lain, dan menampilkan dampak dari masa revolusi. sementara perbedaan terletak pada aliran yang digunakan. Cerpen “CSMHJMD” menggunakan aliran psikologi, “Si Djamal Anak Merdeka” menggunakan aliran Struktural, sementara “Ceritera dari Singapura” tidak termasuk ke dalam aliran mana pun karena yang ditampilkan hanya salah satu kegiatan di masa revolusi. Implikasinya dapat diterapkan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas XII dengan SK: Memahami wacana sastra puisi dan cerpen.

Kata Kunci: Potret sejarah revolusi Indonesia, cerpen, pembelajaran sastra,


(6)

ii ABSTRACT

Ade Nurfadilah. 1111013000100, “A Portrait History of Indonesian Revolution in a Collection of Perempuan Short Stories by Mochtar Lubis and its Implication on Indonesian Languages and Literature Learning”. Indonesian Language and Literature Education Department, Faculty of Tarbiyah and Teaching Science, Islamic State University Of Syarif Hidayatullah Jakarta. Advisor: Novi Diah Haryanti, M. Hum.

This study aimed to see how the portrait of Indonesian history after the independence, or it can be known as revolution period which written on short stories of “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”, “Ceritera dari Singapura”, and “Si Djamal Anak Merdeka” to add history knowledge and increase nationality sense. The study uses a qualitative method and a mimetic approach.

The result of this study are: 1) A portrait of events which occurred at Indonesian revolution period in short stories of “CSMHJMD”, “Ceritera dari Singapura”, and “Si Djamal Anak Merdeka”: in this point, ther are a descriptions about insurgence in East Sumatera, Indonesian youth condition whom hold weapon illegally from Singapore, the result of KMB decision which loss, and tough of Dutch in holding west Irian. In addition,there are foreign cooperation includes: relation with communist state, Singapore, Hindus’ (New Delhi), and Soviet Union. 2) A portrait of the impact of Indonesian revolution: in this point the impact is growing sense of empathy on the Indonesian youth, and the existence of some old problems unresolved.3). The equality and differences: in this point the equality is discussing about the events during revolution, foreign coorperation, and showing the impact of revolution period. While the differences used the ism term. On short story of “CSMHJMD” used a psychologism , “Si Djamal Anak Merdeka” used a structuralism, while the short story of “Ceritera dari Singapura” is not used at all because there is only one of the activities of the revolution. The implication can be applied in Indonesian language and literature learning at the twelfth senior high school in standard competency on understanding the discourse of literary poetry and short stories.

Keywords: A portrait history of Indonesian revolution, short stories, literary


(7)

iii

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis curahkan kepada baginda Nabi Muhammad Shallahu alaihi wasalam. dan semoga kita mendapat syafaatnya kelak.

Skripsi dengan judul “Potret Sejarah Revolusi Indonesia dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia” penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapat gelar sarjana pendidikan program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam proses penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat perhatian dan bantuan, baik berupa semangat, doa, dan bantuan dalam mengumpulkan data. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Makyun Subuki, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

3. Dona Aji Karunia Putra, M.A, selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Novi Diah Haryanti, M.Hum, selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan ilmu, arahan, dan masukan yang bermanfaat dengan penuh kesabaran.

5. Ahmad Bahtiar M, Hum., dan Rosida Erowati M, Hum. selaku dosen penguji yang benar-benar baik.

6. Seluruh dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu serta pengalaman berharga.

7. Kepada kedua orangtua Bapak M. Toha dan Ibu Suharti, tanpa keduanya penulis tidak bisa menjadi seperti ini.


(8)

iv

8. Kakak-kakak tercinta: Tajudin Thaha Putra, Siti Mutiah, Nurhikmah, Siti Umayah Sari, dan Abdul Aziz Muslim. Kemudian juga kakak ipar penulis: Eneng Musfiroh, Andri Wijaya, Ahmad Syaihullah FR., dan Zaidah, yang senantiasa membantu penulis ketika mendapat kesulitan, baik yang berkaitan dengan proses perkuliahan maupun di luar hal itu.

9. Keponakan-keponakan tersayang: Taju, Tiara, Adi, Nazilah, Nabil Rifqi, Sabrina, Nazmi, Liqo, Syafiq, Neysa, Abdan, dan Ibra. Tangis, tawa, dan canda mereka sangat menghibur penulis ketika merasa lelah.

10.Untuk sahabat sholiha “until Jannah”: Ayu, Biyan, Naila, dan Hafifah, yang selalu mendo’akan dan menyemangati penulis dengan tulus.

11.Untuk sahabat MTs: Bunda Maryam, Ai, dan Nur Husna.

12.Kepada kakak senior yang penulis sayangi: Ka Rizka, Ka Papat, Ka Bibeh, Ka Ara, dan Ka Dimas. Mereka adalah orang-orang terbaik yang mau berbagi ilmu.

13.Anak-anak SYLine: Riris, Dwi, Devi Pilun, Sintia Culet, Siti, Ara Unni, dan Aisyah Unni, kegilaan mereka selalu membuat penulis rindu.

14.Cebol-cebol: Mput, Astri, Amel, Mba’e, dan Ayu, mereka adalah teman istimewa.

15.Untuk Maisyah R. Putri, terimakasih atas tumpangan kosannya, untuk Atun, Marcita, Lily, Septi, dan Esih terimakasih telah menemani hari-hari penulis di kampus.

16.Teman-teman PPKT: Annisa, Ipuy, Kahfi, Shendy, dan Wildan.

17.Teman-teman Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UIN Jakarta angkatan 2011, khususnya untuk PBSI C yang selalu kompak dalam kesederhanaan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran demi menjadi lebih baik.

Ciputat, 25 Februari 2016


(9)

v

ABSTRACT ... ii

KATAPENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 4

C.Pembatasan Masalah ... 5

D.Rumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 5

F. Manfaat Penelitian ... 5

G.Metode Penelitian ... 6

H.Sumber Data ... 7

I. Teknik Pengumpulan Data ... 7

J. Teknik Analisis Data ... 8

BAB II LANDASAN TEORI A.Hakikat Cerpen ... 9

B.Unsur Pembangun Cerpen ... 19

C.Hakikat Revolusi dan Sejarah Singkat Revolusi Indonesia . 21 D.Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ... 30

E. Penelitian yang Relevan ... 32

BAB III PENGARANG DAN KARYANYA A.Biografi Mochtar Lubis ... 36

B.Pemikiran Mochtar Lubis ... 38

C.Karya-karya Mochtar Lubis ... 39

D.Latar Belakang Terciptanya Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis ... 40


(10)

vi

PEREMPUAN KARYA MOCHTAR LUBIS

A.Unsur Intrinsik Cerpen ... 45 B.Potret Sejarah Revolusi Indonesia dalam Kumpulan

Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis ... 95 C.Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia ... 126

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ... 129 B. Saran ... 130 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN LEMBAR UJI REFERENSI PROFIL PENULIS


(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setelah Jepang menyerah, Indonesia dikatakan sudah matang untuk memulai revolusi. Revolusi merupakan suatu momen pembebasan yang memungkinkan rakyat Indonesia menentukan masa depannya sendiri.1 Maka setelah proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945 (revolusi nasional) muncullah serangkaian tindakan tergesa-gesa dalam mendirikan sebuah negara republik, seperti menentukan presiden dan wakil presiden, pembentukan Undang-undang Dasar, serta pembentukan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Sementara di berbagai daerah berlangsung pula revolusi sosial yang dilatarbelakangi oleh ketimpangan antara rakyat kelas bawah dan kelas atas baik dari segi ekonomi maupun segi keadilan. Proklamasi dijadikan titik awal untuk melampiaskan ketiadakadilan yang bahkan sudah dirasakan sejak bertahun-tahun lamanya sehingga terjadi banyak pembangkangan.

Zaman revolusi menjadi sejarah cemerlang bagi bangsa Indonesia karena pada masa ini rakyat Indonesia bahu-membahu melawan kekuasaan asing, mencari identitas bangsa, dan mengubah tatanan sosial agar lebih adil. Pada masa ini pula untuk pertama kalinya rakyat Indonesia menjalankan segala sesuatu tanpa paksaan pihak asing.

Sebagai rakyat Indonesia, mengetahui sejarah perjuangan sudah menjadi suatu kewajiban, tidak hanya sebatas tahu bahwa Indonesia pernah dijajah Belanda selama kurang lebih tiga ratus tahun kemudian diganti oleh pendudukan Jepang dan merdeka pada 17 Agustus 1945. Akan tetapi rakyat Indonesia harus tahu bagaimana rumitnya masa-masa revolusi dalam merebut kemerdekaan yang sebenarnya. Tanpa adanya revolusi kita tidak bisa melihat Indonesia seperti sekarang. Maka sejarah revolusi menjadi hal yang penting

1

Robert Bridson Cribb, Gejolak Revolusi Di Jakarta 1945-1949 Pergulatan antara

Otonomi dan Hegemoni, Terj. dari Jakarta in the Indonesian Revolution, 1945-1949 oleh Hasan


(12)

untuk dipelajari dan dipahami agar rakyat Indonesia semakin pandai dalam menghargai sejarah dan jasa pahlawannya sebagaimana semboyan Soekarno yaitu “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya”. Untuk menjadi bangsa yang besar kita perlu menengok ke belakang dan bercermin pada sejarah.

Sayangnya sikap tidak acuh terhadap sejarah pun sudah tertanam sejak di bangku sekolah. Anak-anak selalu menganggap pelajaran sejarah adalah pelajaran yang paling membosankan, kisah-kisah yang dipaparkan baik melalui lisan atau tulisan membuat mereka jenuh, terlebih saat mereka harus mengingat kejadian-kejadian tersebut dengan cara hafalan, bahkan bisa jadi kegiatan mengheningkan cipta hanya sebatas doa tanpa penghayatan.

Melihat hal yang demikian penulis merasa perlu adanya alternatif untuk memahami sejarah agar tidak terlalu kaku, salah satu alternatifnya adalah dengan karya sastra, di sinilah sastra/pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ikut berperan karena antara sejarah dan sastra saling melengkapi. Karya sastra dapat dijadikan alat perekam sejarah sementara sejarah dapat dijadikan sebagai objek karya sastra. Salah satu karya sastra yang dapat digunakan adalah cerpen. Cerpen merupakan serangkaian cerita yang melukiskan suatu kejadian yang menyangkut persoalan jiwa atau kehidupan manusia.2 Cerita yang dibuat sedemikian padat mengingat cerpen sendiri lebih sedikit ruang lingkupnya daripada novel.

Salah satu sastrawan yang menulis kisah-kisah sejarah dalam cerpen adalah Mochtar Lubis. Ia bukan hanya seorang sastrawan melainkan juga seorang jurnalis. Setelah proklamasi Lubis bergabung dengan Antara, karena bahasa Inggrisnya bagus ia menjadi penghubung dengan para koresponden yang datang ke Indonesia. Perannya sebagai jurnalis membuat pengetahuannya akan sejarah sangat luas. Ia banyak meliput peristiwa-peristiwa penting baik peristiwa yang terjadi di Indonesia atau pun di luar negeri seperti saat pecah perang Korea

2

Widjojoko, dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI


(13)

misalnya, peristiwa perang korea pun dimasukkan ke dalam cerpennya yang berjudul “Kebun Pohon Kastanye”.

Pada tahun 1956, terbit kumpulan cerpen Perempuan yang kemudian dicetak ulang pada tahun 2010 oleh Yayasan Obor Indonesia. Dalam kumpulan cerpen tersebut ada sembilan belas cerpen, beberapa di antaranya menceritakan tentang masa revolusi Indonesia, yaitu “Cerita dari Singapura”, “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”, dan “Si Djamal Anak Merdeka”. Kisah-kisah yang terdapat dalam cerpen tersebut dapat ditemukan faktanya dalam catatan sejarah Indonesa.

Pada cerpennya yang berjudul “Cerita dari Singapura”, Lubis menampilkan peristiwa tentang penyelundupan senjata di Singapura saat revolusi Indonesia pecah. Penyelundupan itu dilakukan secara hati-hati karena ketika itu Singapura di bawah peraturan militer yang ketat. Pada cerpen “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri” Lubis menampilkan peristiwa tentang revolusi sosial di Sumetera Timur yaitu masalah sengketa tanah Onderneming sepeninggalan Jepang. Sementara pada cerpen “Si Djamal Anak Merdeka” Lubis menampilkan peristiwa ketimpangan sosial antara rakyat kelas atas dan kelas bawah setelah Indonesia merdeka, serta disinggung juga masalah Irian Barat.

Hal ini menjadi menarik ketika sebuah sejarah ditampilkan dalam bentuk cerita pendek, yang halamannya pun sedikit. Lubis mampu menampilkan potret revolusi Indonesia dari berbagai peristiwa dengan penyajian yang padat, lugas, tidak bertele-tele dan disisipi humor-humor segar. Meski lewat cerita yang pendek Lubis tetap ingin mengajak pembaca untuk berpikir bahwa kisah yang ada dalam cerpennya tersebut merupakan masalah kita semua. Mochtar Lubis menghendaki kita untuk tidak menghakimi sesama namun bagaimana secara bersama kita membangun dan menolong kemanusiaan.3 Inilah yang membuat penulis tertarik untuk menganalisis ketiga cerpen tesebut.

3

Mochtar Lubis, Perempuan Kumpulan Cerita Pendek, (Jakarta: Yayasan Obor


(14)

Penelitian ini pun nantinya diharapkan dapat berimplikasi pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah, karena dalam pembelajaran bahasa Indonesia, sastra memang diyakini mengandung unsur yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembentukan karakter. Sastra mempunyai andil yang tidak kecil dalam pembentukan dan pengembangan kepribadian anak.4 Dalam hal ini karakter yang diharapkan adalah sikap nasionalisme dan cinta tanah air.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis bermaksud untuk menganalisis apa saja peristiwa-peristiwa revolusi Indonesia yang terdapat dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis dengan menggunakan pendekatan mimetik, yaitu suatu pendekatan yang menelaah karya sastra dengan cara mengungkapkan hasil imajinasi pengarang terhadap kenyataan, pembayangan, atau cermin kehidupan nyata.5 Kemudian penulis akan mengimplikasikannya dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Dengan demikian, penulis memilih judul: “Potret Sejarah Revolusi

Indonesia dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis dan

Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Hak-hak kemerdekaan rakyat Indonesia setelah proklamasi masih belum sepenuhnya dirasakan.

2. Banyak rakyat Indonesia yang tidak mengetahui sejarah bangsa Indonesia. 3. Kurangnya sikap nasionalisme dan cinta tanah air dalam diri siswa.

4. Kurangnya minat siswa terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. 5. Siswa dituntut untuk memahami kumpulan cerpen Perempuan karya

Mochtar Lubis dengan sungguh-sungguh agar siswa mampu memahami potret sejarah revolusi Indonesia yang terekam di dalamnya.

4

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gadjah Mada University,

2013), Edisi revisi, h. 434. 5


(15)

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, penulis membatasi masalah hanya pada potret revolusi Indonesia pada kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana potret revolusi Indonesia dalam kumpulan cerpen Perempuan

karya Mochtar Lubis?

b. Bagaimana implikasi penelitian kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia?

E. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui potret revolusi Indonesia dalam kumpulan cerpen

Perempuan karya Mochtar Lubis.

b. Untuk mengetahui implikasi penelitian kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun secara praktis. Untuk lebih jelas mengenai kedua manfaat tersebut akan dijelaskan berikut ini:

1. Manfaat Teoretis

Dapat dijadikan sebagai media pembelajaran di bidang sastra khususnya dalam mengkaji sejarah yang terdapat dalam cerpen. Selain itu diharapkan dapat menambah pengetahuan akan sejarash.


(16)

2. Manfaat praktis

Adanya pembelajaran yang mengarahkan peserta didik dalam menanamkan rasa nasionalisme, cinta tanah air, keberanian, persahabatan, dan rasa tanggungjawab. Sementara bagi guru dapat dijadikan sebagai alternatif dalam mengajar dan mendidik para pesrta didik agar lebih menyenangkan.

G. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode ini dilakukan dengan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi.6 Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Metode ini memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Cara-cara inilah yang mendorong metode kualitatif dianggap sebagai multimetode sebab penelitian pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan.7 Ciri-ciri terpenting metode kualitatif, sebagai berikut:

a. Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural.

b. Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna selalu berubah.

c. Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek peneliti sebagai instrumen utama, sehingga terjadi interaksi langsung di antaranya.

d. Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka.

e. Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing-masing.8

6

Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2007), Edisi Revisi, h. 46. 7Ibid.,

h. 47

8


(17)

Berdasarkan pengertian dan cirinya, dapat disimpulkan bahwa metode kualitatif adalah metode yang digunakan untuk meneliti data yang bersifat alamiah, terbuka, dan dapat berubah sesuai dengan penafsiran subjek peneliti terhadap objek penelitian. Penyajian datanya dibuat dalam bentuk deskripsi yaitu berupa kata dan gambar.

Dalam penelitian ini penulis akan mendeskripsikan kata, kalimat, a tau wacana dalam objek yang diamati. Dalam hal ini objek yang diamati adalah kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis dan implikasinya pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

H. Sumber Data

Sumber data untuk penelitian ini terdapat dua sumber, yaitu data primer dan data sekunder.

a. Sumber data primer

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen

Perempuan karya Mochtar Lubis yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, cetakan kedua pada Juni 2010, dengan tebal halaman 198. Cerpen yang digunakan yaitu “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri (CSMHJMD)”, “Ceritera Dari Singapura”, “Si Djamal Anak Merdeka”.

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku, artikel, dan segala macam data sebagai pelengkap atau tambahan yang memiliki hubungan dengan objek penelitian.

I. Teknik Pengumpulan Data

Langkah-langkah pengumpulan data dalam kumpulan cerpen

Perempuan: “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”, “Cerita dari Singapura”, dan“Si Djamal Anak Merdeka” karya Mochtar Lubis yaitu:


(18)

Pertama, membaca secara cermat cerpen “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”, “Cerita dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka” karya Mochtar Lubis untuk mencari kata dan kalimat yang mengandung unsur sejarah revolusi Indonesia.

Kedua, penulis menandai kata dan kalimat yang berkaitan dengan sejarah revolusi Indonesia dalam cerpen “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”, “Cerita dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka” karya Mochtar Lubis. Data-data yang terkumpul digunakan sebagai data primer dalam penyusunan analisis sesuai tujuan yang akan dicapai.

J. Teknik Analisis Data

Adapun langkah yang digunakan untuk menganalisis data sebagai berikut:

a. Menganalisis cerpen “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”, “Cerita dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka” karya Mochtar Lubis dengan menggunakan analisis struktural untuk mengetahui bagiamana unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen-cerpen tersebut.

b. Melakukan pembahasan terhadap hasil analisis yang berkaitan dengan sejarah revolusi Indonesia dalam cerpen “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”, “Cerita dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka”karya Mochtar Lubis melalui pendekatan mimetik.

c. Mengimplikasikan cerpen “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”, “Cerita dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka” karya Mochtar Lubis pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah dengan menghubungkan materi pelajaran di sekolah. d. Menyimpulkan hasil penelitian.


(19)

9

A. Hakikat Cerpen

Semua teks/karya rekaan yang berbentuk narasi (tidak dalam bentuk dialog) disebut dengan prosa narasi, isinya berupa sederetan peristiwa atau sejarah yang dibentuk dengan sedemikian rupa melalui percampuran antara kenyataan dengan imajinasi penciptnya. Dalam kelompok ini, cerita pendek termasuk di dalamnya.1

Cerita pendek atau disingkat dengan cerpen adalah cerita yang melukiskan sebuah peristiwa atau kejadian apa saja yang menyangkut persoalan jiwa atau kehidupan manusia.2 Edgar Allan Poe dalam Nurgiyantoro mengatakan bahwa “cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam”.3 Sementara Ellery Sedgwick mengatakan dalam Tarigan “Cerita pendek adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan yang memberikan kesan tunggal pada jiwa pembaca. Cerita pendek tidak boleh dipenuhi dengan hal-hal yang tidak perlu atau “a short-story must not be cluttered up with irrelevance”.”4 Ajip Rosidi juga memberikan batasan dan keterangan bahwa “cerpen atau cerita pendek adalah cerita yang pendek dan merupakan suatu kebulatan ide.... Dalam kesingkatan dan kepadatannya itu, sebuah cerpen harus terikat pada suatu kesatuan jiwa: pendek, padat, dan lengkap. Tidak ada bagian-bagian yang boleh dikatakan “lebih” dan bisa dibuang”.5

1

Melani Budianta, dkk. Membaca Sastra, (Magelang: Indonesia Tera, 2006), h. 77.

2

Widjojoko, dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia,(Bandung: UPI

Press, 2006), h. 37. 3

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University,

2013), Edisi Revisi, h. 12. 4

Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: ANGKASA, 2011),

Edisi Revisi, h. 179. 5Ibid.,


(20)

Panjang pendeknya cerita dalam cerpen tidak menentu karena memang tidak ada kesepakatan khusus di antara para pengarang atau para ahli prihal ukuran tersebut, sehingga panjang cerpen bervariasi. Nurgiyantoro mengatakan “Ada cerpen yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali: bekisar 500-an kata; ada cerpen yang panjang (long short story), yang teridiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata.”6

Hal di atas senada dengan pembagian cerpen yang dikemukakan oleh Tarigan, yaitu berdasarkan jumlah kata dan berdasarkan nilai. Berdasarkan jumlah kata, cerpen dibagi menjadi dua: (1) cerpen yang pendek (short shor story), yaitu cerita yang jumlah kata-katanya pada umumnya di bawah 5.000 kata, maksimum 5.000 kata, atau kira-kira 16 halaman kuarto spasi rangkap, (2) cerpen yang panjang (long short story), yaitu cerita pendek yang jumlah kata-katanya di antara 5. 000 sampai 10.000 kata; minimal 5.000 kata dan maksimal 10.000 kata, atau kira-kira 33 halaman kuarto spasi rangkap. Sama halnya dengan jumlah kata, cerpen yang berdasarkan nilai sastra pun dibagi menjadi dua: (1) cerpen sastra, (2) cerpen hiburan. Apabila kita sering membaca cerpen, maka kita dapat membedakan mana cerpen yang benar-benar bernilai sastra, dan mana cerpen yang tidak bernilai sastra (ditujukan untuk menghibur saja). Di Indonesia, cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah-majalah: Indonesia, Mimbar Indonesia, Zenith, Sastra, Cerita Pendek, Horison, Budaya Jaya, adalah cerpen sastra, sementara yang dimuat di majalah Terang Bulan dan sejenisnya adalah cerpen hiburan.7

Tarigan membagi cerpen sastra dan hiburan berdasarkan nilai, namun Widjojoko dan Hidayat membagi berdasarkan perkembangannya, yaitu: (1) Cerita pendek sastra (cerita serius) yaitu cerpen yang mengandung nilai sastra (moral, etika, dan estetika); (2) Cerita pendek hiburan (cerita pop) yaitu cerita pendek yang umumnya untuk menghibur, lebih mengutamakan selera

6

Nurgiyantoro. Loc.Cit.

7


(21)

pembaca dan kurang memperhatikan unsur didaktis, moral, dan etika.8 Keduanya juga menjelaskan tiga belas ciri-ciri cerita pendek, yaitu:

(1) Penyampaian cerita secara singkat dan padat; (2) Jalinan jiwa dan kejadian dan kejadian bulat dan padu, dan di dalamnya mengandung unsur pertikaian yang akhirnya mencapai klimak dan diakhiri dengan penyelesaian masalah; (3) tema cerita tentang nilai kemanusiaan, moral, dan etika; (4) Membicarakan masalah tunggal dan dapat dibaca dalam waktu singkat. (5) Memusatkan perhatian pada tokoh protagonis; (6) Unsur utama yang terdapat dalam cerpen adalah adegan, tokoh, gerak; (7) Adanya kebulatan kisah (cerita); (8) Bahasa yang dipergunakan dalam cerpen tajam, sugestif, dan menarik perhatian; (9) Sebuah cerita pendek mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung; (10) Sebuah cerita pendek harus menimbulkan efek dalam pikiran pembaca; (11) Dalam cerita pendek terdapat suatu kejadian atau persoalan yang menguasai jalan cerita; (12) Cerita pendek bergantung pada satu situasi; (13) Pelaku utama mengalami perubahan nasib dan cerita berkembang secara memusat. Alur cerita berpusat pada peristiwa yang memberi rangsangan pada pembaca.9

Kelebihan cerpen adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak—jadi secara implisit—dari sekadar apa yang diceritakan. Cerita dipadatkan dan difokuskan pada satu permasalahan.10

B. Unsur Pembangun Cerpen

Cerita pendek memiliki unsur-unsur intrinsik seperti: tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, amanat.

1. Tema

Tema adalah gagasan utama atau maksud utama yang mendasari sebuah cerita. Ia menjadi bagian paling relevan terhadap setiap peristiwa dan detail sebuah cerita. Stanton mengatakah bahwa:

Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ‘makna’ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti cinta,

8

Widjojoko, dan Hidayat, Loc.Cit.

9Ibid., h. 38. 10


(22)

derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua.11

Sama halnya dengan pengertian di atas, Nurgiyantoro juga mengatakan “tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, sosial, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, sering, tema disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita”.12

Tema merupakan barang abstrak yang dalam penentuannya membutuhkan pemahaman terhadap bagian-bagian pendukung cerita, yaitu tokoh dan perwatakan, latar, suasana, alur, dan persoalan yang dibicarakan. Apabila pembaca telah dapat menentukan atau menemukan tema dari karya sastra yang dibaca, artinya ia telah mengetahui apa tujuan pengarang dalam ceritanya.13 Hal ini senada dengan yang dikemukakan Amminudin dalam Siswanto yaitu “seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya”.14

Untuk memahami tema melalui unsur pembangunnya bisa dimulai dengan memahami tokoh terlebih dahulu, terutama tokoh utama, karena tokoh utama biasanya “dibebani” tugas membawakan tema, maka pembaca perlu memahami itu dengan mengajukan pertanyaan seperti: permasalahan apa yang dihadapi, apa motivasi bersikap dan berperilaku, bagaimana perwatakan, bagaimanakah sikap dan pandangannya terhadap permasalahan itu, apa dan bagaimana cara yang dipikir, dirasa, dan dilakukan, serta bagaimana keputusan yang diambil, dan sebagainya. Kerja selanjutnya

11

Robert Stanton, Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction of Fiction oleh Sugihastuti dan

Rossi Abi Irsyad,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 36-37.

12

Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 32.

13

A. Hayati, dan Winarno Adiwardoyo, Latihan Apresiasi Sastra, (Malang: Yayasan

Asih Asah Asuh, 1990), h. 13. 14


(23)

adalah memahami alur cerita dengan menafsirkan konflik, khususnya konflik utama. Konflik utama lazimnya menjadi fokus utama pengembangan cerita, jika konflik utama tersebut berhasil ditemukan, secara garis besar cerita fiksi yang bersangkutan sudah dapat dipahami, dan ini menjadi modal penting untuk sampai pada penemuan tema. Dalam sebuah cerita fiksi lazimnya ada tokoh utama, konflik utama, dan tema utama. Ketiganya saling berkaitan, karena pelaku atau pemilik konflik utama pasti adalah tokoh utama, dan di situlah umumnya letak tema utama.15

Biasanya dalam sebuah tema, pengarang tidak hanya berhenti pada pokok persoalan saja, tetapi disertakan pula pemecahannya atau jalan keluar menghadapi persoalan tersebut. Hal ini tentu bergantung pada pandangan dan pemikiran pengarang.16 Sama seperti makna pengalaman manusia, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita, karena tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak.17

2. Tokoh atau Penokohan

Tokoh cerita (character) sebagaimana dikemukakan Abrams adalah “orang (-orang) yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang dieskpresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan”.18

Sementara tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan Abrams, Baldic juga menjelaskan bahwa “tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau drama, sedang penokohan (characterization) adalah penghadiran tokoh dalam fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya”.19 Selain tokoh utama, pengarang juga menghadirkan

15

Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 136-137.

16

Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1989), h.

89. 17

Stanton, Op. Cit., h. 37.

18

Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 247.


(24)

tokoh-tokoh tambahan sebagai pelengkap, tokoh dalam cerpen tidak terlalu banyak karena ruang dalam cerpen terlalu sempit.

Sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas lewat kata dan tindakannya. 20 Dengan demikian istilah “penokohan” lebih luas daripada “tokoh”, sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.21

Dalam melukiskan perwatakan atau penokohan biasanya penulis menggunakan cara tertentu. Ada yang menggunakan cara analitik, ada yang dramatik, dan ada yang menggunakan cara gabungan antra analitik dan dramatik. Secara analitik pengarang akan menjelaskan watak tokohnya secara rinci. Misalnya, A adalah seorang yang kikir dan dengki. Secara dramatik pengarang tidak secara langsung menggambarkan watak tokohnya tetapi dengan cara melukiskan tempat lingkungan, menampilkan dialog antartokoh, menceritakan perbuatan, tingkah laku atau reaksi tokoh terhadap suatu kejadian. Sedangkan cara gabungan pengarang menjelaskan dengan kedua cara sebelumnya namun antara reaksi dan tutur katanya jangan sampai bertolak belakang.22

3. Sudut Pandang

Secara umum sudut pandang merupakan tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentag tokoh, peristiwa, tempat, waktu, dan gayanya sendiri.23

Stanton mengatakan bahwa ‘kita’ memiliki posisi yang berbeda, memiliki hubungan yang berbeda dengan tiap peristiwa dalam tiap cerita: di dalam atau di luar satu karakter, menyatu atau terpisah secara emosional. ‘Posisi’ ini, pusat kesadaran tempat kita dapat memahami

20

Ibid.

21Ibid., h. 248. 22

Suroto, Op. Cit., h. 93-94.

23


(25)

setiap peristiwa dalam cerita, dinamakan ‘sudut pandang’. Tempat dan sifat sudut pandang tidak muncul serta merta. Pengarang harus memilih sudut pandangnya dengan hati-hati agar cerita yang diutarakannya menimbulkan efek yang pas.24

Perbedaan sudut pandang dapat dilihat dari bagaimana kehadiran cerita itu kepada pembaca, di antaranya:

1) Sudut Pandang Persona Ketiga: ”Dia”

Narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang ini dibagi menjadi dua yaitu:

a. “Dia” Mahatau

Cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang, narator, dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. b. “Dia” Terbatas, “Dia” seabagai pengamat

Dalam sudut padang “Dia” terbatas, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja. Sementara dalam sudut pandang “Dia” sebagai pengamat, narator bahkan hanya dapat melaporkan segala sesuatu yang dapat didengar, atau dapat dijangkau oleh indera.

2) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”

Narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan keadaan dirinya sendiri. Sudut pandang ini pun dibagi menjadi dua:

a. “Aku” Tokoh Utama

Si “Aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik. b. “Aku” Tokoh Tambahan

“Aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan. Tokoh “Aku” hadir membawakan cerita, sementara tokoh yang diceritakan “dibiarkan” untuk mengisahkan pengalamannya sendiri.

24


(26)

3) Sudut Pandang Persona Kedua: “Kau”

Sudut pandang gaya “kau” merupakan cara pengisahan yang mempergunakan “kau” yang biasanya sebagai variasi cara memandang oleh tokoh aku dan dia.

4) Sudut Pandang Campuran

Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dituliskannya.25

4. Alur

Abrams mengatakan dalam Siswanto “Alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan persitiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah cerita.”26

Sementara Sudjiman mengartikan “Alur sebagai jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencari efek tertentu. Jalinannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab akibat). Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian”.27 Peristiwa kausal yang dihadirkan lewat alur tidak hanya terbatas pada hal-hal fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter, kilasan-kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya.28

Sudjiman membagi alur atas alur utama dan alur bawahan. Alur utama yaitu rangkaian peristiwa utama yang menggerakkan jalan cerita, sementara alur bawahan adalah alur kedua (tambahan) yang disusupkan di sela-sela bagian-bagian alur utama sebagai variasi.29

25

Nurgiyantoro,Op.Cit., h. 347-359

26

Siswanto, Op.Cit., h. 159.

27Ibid. 28

Stanton, Op.Cit., h. 26.

29


(27)

5. Gaya Bahasa

Bahasa adalah bahan mentah yang digunakan sastrawan untuk mengemukakan maksud dalam karya sastranya. Dapat dikatakan bahwa setiap karya sastra hanyalah seleksi beberapa bagian dari suatu bahasa tertentu, seperti halnya patung dapat dianggap sebagai sebongkah marmer yang dikikis sedikit bagian-bagiannya.30 Sementara Aminuddin mengatakan “gaya” adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca”.31 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah pemakaian bahasa dalam karya sastra dengan gaya yang indah sehingga dapat menyentuh emosi pembaca.

6. Latar

Latar dalam sebuah cerita menjelaskan tentang waktu, tempat, dan suasana kejadian. Menggambarkan lingkungan atau semesta yang saling berkaitan dengan peristiwa yang tengah berlangsung—bahkan satu periode sejarah pun bisa dijelaskan dalam sebuah karya melalui latar. Hal ini berdasarkan penjelasan Stanton, ia mengatakan bahwa:

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semseta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor seperti sebuah café di Paris, pegunungan di California, sebuah jalan buntu di sudut kota Dublin dan sebagainya. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah.32

Sebagaimana penjelasan di atas, unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial-budaya. Di bawah ini akan dijelaskan unsur –unsur latar sesuai dengan yang dikemukakan Nurgiyantoro:

Pertama, latar tempat yaitu menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan

30

Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of Literature

oleh Melani Budianta, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 217. 31

Siswanto, Op.Cit., h. 158-159.

32


(28)

mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.33

Kedua, latar waktu yaitu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.34

Ketiga, latar sosial-budaya yaitu menunjuk pada hal-hal berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkungan yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain.35

Deskripsi latar dapat bersifat fisik, realistis, dokumenter, dapat pula berupa deskrpsi perasaan.36

7. Amanat

Dalam setiap karya sastra pasti memuat nilai-nilai di dalamnya. Nilai dari sudut sastrawan dapat disebut dengan amanat, sehingga amanat dapat dikatakan sebagai gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. 37Amanat biasanya tersirat dan sangat bergantung pada interpretasi si pembaca, sehingga amanat yang ditangkap oleh pembaca yang satu dengan pembaca lainnya seringkali berbeda.

Unsur pembangun selanjutnya yaitu unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik untuk setiap karya sastra sama. Unsur ini mencakup berbagai aspek kehidupan sosial yang tampaknya menjadi latar belakang penyampaian tema dan amanat cerita. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar tubuh karya sastra itu sendiri atau unsur luar sastra yang memengaruhi penciptaan karya sastra.

33

Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 314.

34

Ibid., h. 318.

35

Ibid., h. 322. 36

Melani Budianta, dkk., Op, Cit., h. 86.

37Ibid., h. 162.


(29)

Unsur tersebut meliputi latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang, adat-istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi, pengetahuan agama, dan lain-lain. Pengetahuan sosial budaya suatu masyarakat, seluk beluk kehidupan masyarakat modern harus diketahui pengarang guna menunjang keberhasilan sebuah cerita. Selain unsur dari luar pengarang, ada unsur yang melekat pada diri pengarang yang turut memengaruhi cerita. Agama atau pandangan hidup seorang pengarang paling tidak akan ikut mewarnai pemecahan persoalan yang dikemukakannya. Misanya orang yang berjiwa nasioanlis dengan orang berjiwa komunis tidak akan sama dalam memecahkan persoalan politik yang dihadapi tokoh-tokohnya karena hal-hal tersebut sifatnya individual.38

C. Pendekatan Mimetik

Mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas”.39

Pada dasarnya seni adalah tiruan dari alam semesta, “The mimetic orientation—the explanation of art as essentially an imitation of aspects of the universe”.40 Bagi Abrams, teori mimetik ini mungkin teori yang primitif, akan tetapi mimetik bukanlah konsep yang sederhana, karena untuk memahami ‘imitasi’/’tiruan’ kita perlu memahami terlebih dahulu pendapat dua fislosuf terkenal yaitu Plato dan Aristoteles mengenai teori mimetik ini.41

Pendekatan ini diawali dari pendapat Plato tentang seni. Ia berpendapat bahwa seni berdiri di bawah kenyataan. Seni hanya meniru hal-hal yang ada atau nampak.42 Plato memperlihatkan sikapnya yang negatif terhadap seni,

38

Suroto, Op. Cit., h. 138-139.

39

Siswanto, Op.Cit., h. 188.

40

M.H Abrams, The Mirror and The Lamp Romantic Theory and The Critical Tradition,

(London: Oxford University Press, 1953), h. 8.

41 Ibid.


(30)

karena menurutnya seni hanya menyajikan suatu ilusi tentang kenyataan dan tetap jauh dari “kebenaran”. Plato juga menjelaskan bahwa ide merupakan sesuatu yang kekal dan tidak berubah, ide mencerminkan rasa, alami, atau buatan, seperti gambar dalam air dan cermin atau seni rupa:

The philosopher in the platonic dialogues characteristically operates with three categories. The fisrt categoriy is that of the eternal and unchanging ideas; the second, reflecting this, is the world of sense, natural or artificial; and the third category, in turn reflecting the second, comprises such thing as shadows, images in water and mirrors, and the fine arts.43

Bila seorang tukang membuat sebuah ranjang maka ia menjiplak ranjang seperti yang terdapat dalam dunia ide-ide walaupun jiplakan itu tidak selalu memadai aslinya, namun seorang tukang lebih dekat pada kebenaran daripada seorang pelukis atau penyair, karena seorang tukang menjiplak sesuatu yang bisa disentuh dengan pancaindera sementara penyair atau pelukis menjiplak gambar-gambar kosong yang mengambang.44 Bagi Plato tukang-tukang pembuat barang lebih berguna daripada orang-orang yang hanya melukiskan barang-barang itu karena mereka hanya menggambarkan sesuatu, mereka tidak dapat dijadikan contoh ataupun teladan.45

Sementara bagi Aristoteles yang merupakan murid dari Plato sendri berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif; penyair, sambil beritik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru. Dengan bermimesis penyair menciptakan kembali kenyataan, adapun bahannya ialah fakta dari masa kini atau masa silam, keyakinan, dan cita-cita.46

Dalam ilmu sastra modern teori Aristoteles mengenai mimesis kembali diperhatikan setelah pada abad Renaissance teorinya sempat diartikan secara sempit. Pada sastra modern pendapat Aristoteles di samping sastra menciptakan suatu kenyataan sendiri, terdapat juga suatu teori, bahwa sastra

43 Ibid.

44

Jan van Luxemburg, dkk. Pengantar Ilmu Sastra, Terj. dari Inleiding in de

Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia, 1986), h. 16.

45 Ibid.

46Ibid., h. 17.


(31)

membuat sebuah modul (bagan) mengenai kenyataan.47 Bagi Aristoteles yang penting dalam karya seni adalah sejauh mana ia mampu memperlihatkan kenyataan baru yang dapat memperluas cakrawala manusia. Justru karya seni yang menampilkan kenyataan apa adanya dianggap tidak bernilai.48

Akan tetapi, meski pengertian mimetik mengalami perbedaan, pada intinya mimetik dapat dipahami dalam dua kategori yaitu “mudah ditiru dan tiruan”. “But although in many later mimetic theories everything is comprehended in two categories, the imitable and the imitiation”.49 Berbagai teori mimesis mempunyai satu unsur yang sama: perhatian diarahkan kepada hubungan antara gambar dan apa yang digambarkan. Tolok ukur estetik pertama ialah sejauh mana gambar itu sesuai dengan kenyataan.50

D. Hakikat Revolusi dan Sejarah Singkat Revolusi Indonesia (Pasca

Kemerdekaan)

a) Hakikat Revolusi

Revolusi adalah bentuk perubahan sosial paling spektakuler; sebagai tanda perpecahan mendasar dalam proses historis; pembentukan ulang masyarakat dari dalam dan pembentukan ulang manusia. Pada saat revolusi terjadi, masyarakat mengalami puncak agennya, meledakkan potensi transformasi terhadap dirinya sendiri. Masyarakat dan anggotanya seperti hidup kembali atau hampir serupa dengan makna “lahir kembali” setelah revolusi usai. Artinya, revolusi menjadi sebuah tanda akan kesejahteraan sosial.51

Revolusi menimbulkan perubahan dalam cakupan luas dan menyentuh semua dimensi masyarakat, seperti: ekonomi, politik, kultur, organisasi sosial, kehidupan sehari-hari, dan kepribadian manusia. Dalam cakupan tersebut, perubahan yang terjadi bersifat radikal, fundamental, serta menyentuh inti

47Ibid., h. 18. 48

Atmazaki, Ilmu Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1990), h. 41.

49

M.H Abrams, Loc. Cit.

50

Luxemburg, Op.Cit., h. 19.

51

Piötr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Terj. dari The Sosiology of Social Change


(32)

bangunan dan fungsi sosial. Revolusi membangkitkan emosional khusus dan reaksi intelektual pelakunya dan mengalami ledakan mobilisasi massa, antusiasme, kegemparan, kegirangan, kegembiraan, optimisme dan harapan; perasaan hebat dan perkasa; keriangan aktivisme dan menggapai kembali makna kehidupan; melambungkan aspirasi dan pandangan utopia ke masa depan.52

Istilah revolusi memang telah muncul di abad ke 14, ketika itu revolusi semata berarti gerakan melingkar (circular). Revolusi berarti penggantian penguasa secara melingkar atau penggantian seluruh elite politik menyertai kemunculan negara nasional.53 Konsep revolusi modern baru terbentuk sekitar abad ke 18 saat pecahnya revolusi di Prancis tahun 1789. Pada waktu itu istilah revolusi digunakan untuk melukiskan terobosan zaman serupa, penataan ulang kehidupan masyarakat secara fundamental. Kemudian pada abad ke 19 perkembangan modernitas yang tak tertandingi (industri, urbanisme, kapitalisme) juga menjadi “era emas” ide revolusi yang memengaruhi kehidupan sehari-hari. Masyarakat dipandang mengalami perubahan progresif menuju tatanan masa depan yang ideal. Marx menggunakan konsep revolusi sebagai alat ampuh untuk menumbangkan kapitalisme dan sebagai landasan untuk membangun masyarakat komunis sebagai penggantinya.54

Revolusi atau perubahan secara cepat didahului oleh kondisi yang disebut “revolutionary prodrome”, yang meliputi peningkatan ketakpuasan, keluhan, kekacauan, dan konflik yang disebabkan krisis ekonomi atau fiskal. Selain itu revolusi juga terjadi karena rezim lama hancur, golongan moderat yang menang berupaya memelihara kesinambungan dengan masa lalu, kekuatan radikal dan ekstrem mampu mengeksploitasi kekecewaan yang meluas dan memobilisasi massa serta menggantikan golongan moderat. Tahap “teror” mulai ketika kekuatan radikal mencoba memaksakan ketertiban dan

52Ibid. 53Ibid.,

h. 359. 54Ibid.


(33)

menyapu bersih semua bekas rezim lama, hingga akhirnya keseimbangan dipulihkan di tahap terakhir dalam arti pulih dari demam revolusi.55

b) Teori Utama Revolusi

Dalam Sztompka dijelaskan beberapa aliran utama teori revolusi. Masing-masing adalah:

Pertama, aliran tindakan. Aliran ini menekankan pada revolusi yang ditandai oleh perubahan mendasar ciri prilaku manusia. Perilaku beradab digantikan oleh perilaku binatang yang hendak saling memangsa. Sorokin mencatat perubahan seperti itu ke dalam enam bidang: (a) transformasi reaksi terhadap ucapan; (b) penyelewengan reaksi terhadap pemilikan; (c) penyelewengan reaksi seksual; (d) penyelewengan reaksi terhadap tugas; (e) penyelewengan reaksi terhadap kekuasaan dan bawahan; dan (f) reaksi terhadap agama, moral, estetika, dan berbagai bentuk perilaku lainnya.

Kedua, aliran psikologi. Aliran ini mengabaikan bidang tindakan reflek atau naluriah dasar yang beralih ke bidang orientasi sikap dan motivasi. Teori ini erat kaitannya dengan pemikiran akal sehat (commmon sense). Revolusi disebabkan oleh sindrom mental yang menyakitkan di mana kesengsaraan mendorong pemberontakan.

Ketiga, aliran struktural. Aliran ini memusatkan perhatian pada tingkat struktur makro. Revolusi adalah hasil hambatan dan ketegangan struktural dan terutama bentuk hubungan khusus antara rakyat dan pemerintah. Penyebab revolusi dicari di tingkat hubungan sosial khusus, yakni dalam kondisi hubungan antarkelas dan antarkelompok baik nasional maupun internasional.

Keempat, aliran politik. Aliran ini melihat revolusi sebagai sifat fenomena politik yang menganggap bahwa revolusi bukanlah fenomena luar biasa (penyimpangan), tetapi justru kelanjutan proses politik dengan cara lain.56

55Ibid.,

h. 363-364. 56Ibid.,


(34)

c) Sejarah Singkat Masa Revolusi Indonesia (Pasca Kemerdekaan) Revolusi yang terjadi di Indonesia merupakan suatu momen pembebasan yang memungkinkan rakyat Indonesia untuk menentukan masa depannya sendiri setelah bertahun-tahun dijajah oleh bangsa asing.57 Revolusi secara harfiah bukan berarti anti-Belanda, melainkan sebagaimana yang diungkapkan oleh para pemimpin republik yang mengartikan bahwa revolusi lebih kepada anti-imperialis dan anti kolonialis.58 Maka tidaklah mengherankan apabila hasilnya bukan sebuah bangsa baru yang harmonis dan serasi, justru muncul suatu pertarungan sengit antar individu dan kekuatan sosial. Mengenai orang-orang Indonesia yang mendukung revolusi, ditarik perbedaan antara kekuatan perjuangan bersenjata dan kekuatan diplomasi, antara mereka yang mendukung revolusi sosial dan mereka yang menentangnya, antara golongan kiri dan golongan kanan, dan sebagainya. Semua perbedaan itu merupakan gambaran suatu masa ketika perpecahan-perpecahan yang menimpa Indonesia beraneka ragam dan terus berubah. Bagi kaum revolusioner, segala sesuatu tampak dimungkinkan kecuali kekalahan.59

Indonesia memulai perubahan setelah Jepang menyerah, ditandai dengan adanya sebuah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.60 Pemerintahan baru pun segera dijalankan, di antaranya membagi wilayah Indonesia menjadi delapan provinsi, mengangkat gubernur untuk setiap provinsi, dan memberikan intruksi mengenai pemerintahan di luar Jakarta melalui para utusan Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP).61

Setelah mengetahui Jepang menyerah, Belanda segera memanfaatkan momen ini untuk kembali menguasai Indonesia. Hal ini ditandai dengan datangnya sekutu yang diboncengi oleh Belanda sendiri. Terjadilah

57

Robert Bridson Cribb, Gejolak Revolusi Di Jakarta 1945-1949 Pergulatan antara

Otonomi dan Hegemoni, Terj. dari Jakarta in the Indonesian Revolution, 1945-1949 oleh Hasan

Basri,(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), h. 9.

58Ibid. 59

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Terj. dari A History of Modern

Indonesia Since c. 1200 oleh Satrio Wahono, dkk, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-II, h. 428-429.

60

Robert Bridson Cribb, Op. Cit., h. 7.

61 Ibid.


(35)

pertempuran antara pejuang RI dengan pihak Belanda. Selama masa ini berlangsung, terdapat banyak sekali peristiwa penting seperti pergantian berbagai posisi kabinet, berbagai perundingan dan lain sebagainya.

Pada tanggal 1 November 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa pemerintah menginginkan pengakuan terhadap Negara dan Pemerintah Republik Indonesia dari serikat atau dari pihak Belanda yang dibuat sebelum perang dunia II. Sebagai realiasasi dari maklumat tersebut kabinet presidensial yang dipimpin oleh Presiden sendiri diganti menjadi kabinet ministerial dengan perdana menterinya yaitu Sutan Sjahrir. Kabinet Sjahrir itu pun segera mengadakan kontak diplomatik dengan pihak Belanda dan Inggris. Akan tetapi di sisi lain, suatu gabungan organisasi bernama Persatuan Perjuangan (PP) melakukan oposisi terhadap kabinet Sjahrir. Mereka berpendapat bahwa perundingan hanya dapat dilaksanakan atas dasar pengakuan 100% terhadap Republik Indonesia. Oposisi tersebut terlalu kuat maka Sjahrir menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden, namun Presiden kembali menunjuk Sjahrir sebagai perdana menteri pada Kabinet Sjahrir II.62

Meski demikian, hubungan Indonesia dengan dunia internasional mengalami perubahan yang signifikan setelah naiknya kabinet Sjahrir pada November 1946. Pada masa perjuangan kemerdekaan tugas utama kementerian luar negeri sejalan dengan tuntutan perjuangan, yaitu pengakuan dunia internasional terhadap kemerdekaan Indonesia. Namun nampaknya, dalam urusan politik luar negeri, RI masih terkendala oleh upaya-upaya Belanda untuk menutup segala kemungkinan RI dalam mendapatkan pengakuan internasional. Sampai pertengahan tahun 1947, posisi hubungan luar negeri RI masih terbatas pada hubungan regional RI di tiga ibukota negara, yaitu Singapura, New Delhi (India), dan Cairo (Mesir). Ketiga negara tersebut menjadi titik tumpu bagi perjuangan Indonesia di luar negeri. Singapura menjadi titik tumpuan utama hubungan luar negeri RI. Melalui

62

Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notousanto, Sejarah Nasional


(36)

Singapura, hubungan keluar jauh lebih mudah.63 Sementara itu hubungan Indonesia dengan India sudah terjalin sejak April 1946 ketika Sjahrir memberikan bantuan beras. Hubungan di antara keduanya pun semakin diperkuat pada Konferensi New Delhi (Inter-Asian Relations Conference) bulan Maret-April 1947. Selain menyampaikan pidatonya “One Asia, One World” atau “Satu Asia, Satu Dunia” pada acara penutupan konferensi, Sjahrir juga melakukan pendekatan ke berbagai negara peserta. Baginya, hal ini menjadi kesempatan untuk RI dalam mengembangkan sayapnya di luar negeri.64

Selanjutnya, perundingan-perundingan antara Indonesia dengan Belanda terus dilakukan sebagai jalan tengah untuk menghindari peperangan. Di antaranya perundingan Linggarjati pada November 1946. Hasil perundingan diumumkan pada 15 November 1946 dan telah tersusun sebagai naskah persetujuan yang terdiri dari 17 pasal. Kemudian, naskah terebut diparaf oleh kedua belah pihak untuk disampaikan kepada pemerintah masing-masing. Isi naskahnya adalah: (1) Pemerintah RI dan Belanda bersama-sama menyelenggarakan berdirinya sebuah negara federasi, yang dinamai Negara Indonesia Serikat, (2) Pemerintah RIS akan bekerja sama dengan pemerintah Belanda dan akan membentuk Uni Indonesia—Belanda.65 Sayangnya, perundingan atau perjanjian Linggarjati itu hanya dijadikan alat untuk menambah pasukannya, Belanda mengajukan beberapa tuntutan yang merugikan Indonesia. Penolakan pun terjadi hingga akhirnya Belanda melakukan Agresi Militer I.

Selanjutnya perjanjian Renville. Naskah perjanjian Renville antara lain tentang persetujuan gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda; dan enam pokok prinsip tambahan untuk perundingan guna mencapai penyelesaian politik. Akan tetapi, lagi-lagi nasib perjanjian ini sama dengan Linggarjati,

63

Amrin Imran, dkk., Indonesia dalam Arus Sejarah Perang dan Revolusi, (Jakarta: PT

Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), h. 237-239. 64Ibid.,

h. 239. 65


(37)

karena Belanda kembali melakukan Agresi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948.66

Pengkhianatan tersebut membuat dunia Internasional terus menerus menekan Belanda. Hingga akhirnya Belanda setuju untuk melakukan perundingan kembali dengan Indonesia namun kali ini diawasi oleh PBB. Perundingan yang dinamakan Konfrensi Meja Bundar (KMB) ini akan dilaksanakan di Den Haag, Belanda pada 23 Agustus 1949, guna membicarakan masalah Indonesia dan merundingkan syarat-syarat “penyerahan” kedaulatan, serta pembentukan Uni Indonesia—Belanda.67 Namun sebelumnya diadakan perundingan pendahulu di Jakarta yang disebut dengan perundingan atau perjanjian Roem-Royen, dan setelah itu dibuat konferensi inter-Indonesia. Keduanya dibuat untuk mempersiapkan KMB.

Terdapat beberapa perjanjian yang dihasilkan dari KMB (1949), salah satunya adalah masalah Irian Barat yang akan ditangguhkan sampai tahun berikutnya yaitu pada tahun 1950. Setelah RIS melantik Presiden dan membentuk kabinet baru (kabinet Hatta), hubungan dengan Belanda diusahakan menjadi lebih baik dengan harapan Belanda akan menyerahkan Irian Barat, sehingga pada bulan April 1950 dilangsungkan Konferensi Tingkat Menteri antara Indonesia-Belanda untuk membicarakan sengketa Irian Barat. Dari hasil konferensi tersebut pihak Belanda hanya menyetujui suatu persetujuan di mana kedaulatan atas Irian Barat berada pada Uni Indonesia-Belanda, sedangkan de facto pemerintah tetap di tangan Belanda.68 Artinya, Belanda tetap kukuh untuk mempertahankan Irian Barat. Sementara Indonesia pun tetap bersikeras ingin memperjuangkan Irian Barat. Hingga akhirnya Indonesia berencana untuk menghapus perjanjian KMB.

Di sisi lain, berdampingan dengan revolusi di tingkat kota, berlangsung pula revolusi di sejumlah daerah dengan target sisa-sisa pendukung tatanan kolonial. Salah satu daerah yang cukup menjadi sorotan adalah revolusi di Sumatera Timur pada Maret 1946. Latar belakang revolusi di Sumatera Timur

66Ibid., h. 138. 67Ibid.,

h. 163.

68


(38)

adalah kebijakan pemerintah Belanda yang menciptakan pemisah antara penduduk yang terdiri dari beragam etnik di satu pihak dan para raja serta kaum bangsawan kerajaan Melayu, Karo, dan Simalungun di pihak lain.69

Sumatera Timur merupakan unit administratif ciptaan Belanda pada abad ke-19. Melalui kontrak politik dan hubungan baik dengan kesultanan setempat, Belanda membuka perkebunan lada dan tembakau.70 Perkebunan tembakau tumbuh dengan pesat di wilayah kesultanan di Sumatera Timur sehingga banyak buruh perkebunan yang diangkut oleh Belanda, seperti dari Cina Selatan, Jawa Tengah dan Timur.71 Pada masa kolonial semua tanah merupakan milik Sultan. Akan tetapi setelah Jepang masuk, pemerintah Jepang mencabut semua hak istimewa tersebut serta mengalihkan lahan perkebunan (Onderneming) kepada para buruh. Atas izin Jepang terhadap pengelolahan tanah perkebunan tersebut, rakyat memiliki persepsi bahwa mereka telah memperoleh kembali tanah mereka yang dulu dirampas oleh Belanda, dan ketika Jepang kalah, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, gerakan-gerakan yang menentang kembalinya Belanda berlangsung seiring dengan rasa dendam antikerajaan.72 Berbagai organisasi dan laskar pemuda bersatu demi menyelesaikan perjuangan lewat jalan revolusi bukan jalan perundingan. Sasaran mereka adalah selain melakukan aksi daulat terhadap kerajaan, juga merebut dan menguasai bekas perkebunan (Onderneming) Belanda melalui program Ekonomi Rakyat Republik Indonesia (ERRI).73

Pada Maret 1946, kelompok garis keras menyiapkan langkahnya sendiri. Bagi mereka, semua sifat kolot dan feodal harus dihapuskan, dan semua kekayaan kaum feodal tersebut harus menjadi milik negara. sehingga, pada 3 Maret 1946 revolusi benar-benar dimulai dengan melakukan penangkapan

69

Amrin Imran, dkk, Op.Cit., h. 280.

70

Ibid., h. 281. 71

Audrey R. Kahin, Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, Terj. dari Regional

Dynamics of the Indonesian Revolution oleh Satyagraha Hoerip, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), h. 120.

72

Amrin Imran, dkk., Op. Cit., h. 281.

73Ibid.,


(39)

terhadap raja, menggedor istana untuk memperoleh kekayaan, dan menangkap rakyat yang dianggap moderat (Pro-Barat). Kekacauan itu terus meluas ke seluruh Sumatera Timur. Perkebunan diduduki oleh unit-unit laskar, dan tanah perkebunan dibagikan kepada buruh.74

Sementara itu, terkait masalah penguasaan tanah, pemerintah mengeluarkan UU No 13 tahun 1946 untuk menghapus desa-desa perdikan yang bebas pajak, di mana pada waktu itu elite-elite menguasai sebagian besar tanah di desa-desa. Namun sayangnya, kebebasan tersebut terusik oleh hasil perjanjian KMB (1949) yang memutarbalikkan kebebasan atas penguasaan tanah oleh para buruh dan tani. Belanda meminta jaminan atas tanah perkebunan (onderneming) sebagai syarat kedaulatan Indonesia. Pemerintah pun memberikan pengakuan hak tanah bagi orang asing yaitu hak konsesi, hak

erfpacht, dan hak untuk mengusahakan selanjutnya. Permasalahan ini menimbulkan sengketa tanah, kaum tani dan buruh yang merasa sudah memiliki tanah-tanah onderneming tersebut melakukan penolakan yang dipropagandai oleh PKI dan PNI, namun pemerintah tetap bersikeras dan mengancam untuk mentraktor rumah-rumah mereka jika masih saja keras kepala. Peristiwa “traktor maut” ini dikenal dengan peristiwa Tanjung Morawa pada tahun 1953.

Selanjutnya, pada tiap-tiap negara yang melakukan revolusi tentu identik dengan persenjataan atau perlengkapan militer lainnya. Di Indonesia sendiri, pemerolehan senjata kemiliteran diperoleh dari beberapa pihak, salah satunya dari Singapura. Singapura cukup berperan dalam bidang persenjataan. Penyelundupan senjata dari luar negeri melalui kapal laut, terutama dari Singapura ke Sumatera merupakan sumber yang sangat penting. Republik Indonesia tidak hanya memperoleh senjata, tetapi juga alat perlengkapan militer lainnya. Koordinator kegiatan ekspor impor Republik Indonesia berada di bawah kendali Banking and Tranding Company (BTC), sebuah tranding house semi pemerintah. BTC bertugas membeli hasil komoditas pertanian Indonesia kemudian menjualnya ke luar Indonesia dengan transaksi sistem

74


(40)

barter. Akan tetapi, biasanya transaksi persenjataan memerlukan uang kontan, sehingga produk pertanian yang diangkut dengan kapal-kapal dijual ke pedagang di Singapura, setelah itu mereka mencari agen penjual senjata. Pembelian senjata ke Singapura sangat rumit karena harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari otoritas Singapura. Dana dari penjualan hasil bumi Sumatera di Singapura terkumpul begitu banyak sehingga mampu membelikan senjata untuk 461.000 pasukan TNI pada pertengahan 1948.75

Pada intinya baik revolusi nasional atau sosial, keduanya berjalan beriringan dan saling memengaruhi satu sama lain. Bagi negara yang baru lahir, kondisi Indonesia pada saat itu cukup kacau. Saat pemerintah sibuk memebujuk Belanda, rakyat Indonesia di berbagai daerah seperti Sumatera malah melakukan pemberontakan yang mengatas namakan kemerdekaan. Revolusi nasioal memang berakhir pada tahun 1949 setelah diadakannya KMB. Namun permasalahan masih belum berakhir, cita-cita kedaulatan Indonesia yang sesungguhnya sedikit melenceng, karena perundingan tersebut memutuskan kedaulatan atas RIS bukan NKRI. Terlebih lagi masalah Irian Barat yang terus berlangsung hingga tahun 1950. Kondisi ekonomi rakyat pun pada tahun itu tidak teratur, terjadinya kesenjangan sosial antara pejabat-pejabat dengan rakyat masih menjadi soal yang harus diselesaikan, dan juga masalah penguasaan atas tanah-tanah onderneming yang kembali menuai pemberontakan.

E. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Sebagaimana pendapat Horatius bahwa sastra berfungsi sebagai Dulce

dan Utile, maka sudah sewajarnya sastra berhubungan dengan pendidikan. Baik itu pendidikan tentang sastra atau pendidikan melalui karya sastra yang tentunya diliputi oleh beberapa aspek yaitu, teori sastra, sejarah sastra, sastra bandingan, apresiasi sastra, dan kritik sastra.

Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra dalam kurikulum 2004 adalah agar (1) peserta didik

75


(41)

mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; dan (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.76

Tujuan tersebut dijabarkan ke dalam beberapa aspek yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra meliputi kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, drama) dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca.77

Pembelajaran sastra hendaknya mempertimbangkan keseimbangan pribadi dan kecerdasan peserta didik. Pembelajaran semacam ini akan mempertimbangkan keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, logika, estetika, dan kinestetika.78 Rahmanto menjelaskan empat manfaat sastra dalam pengajaran bahasa Indonesia, di antaranya:

1. Membantu keterampilan berbahasa

Seperti kita ketahui, ada empat keterampilan berbahsa: (i) menyimak (ii) wicara (berbicara) (iii) membaca (iv) menulis. Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih ketrampilan membaca, dan mungkin ditambah sedikit keterampilan menyimak, wicara (berbicara), dan menulis yang masing-masing erat hubungannya.

2. Meningkatkan pengetahuan budaya

Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan sesuatu dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan orang yang meghayatinya. Dengan mengajarkan

76

Siswanto, Op. Cit., h. 170.

77

Ibid., h. 171.

78


(42)

sastra kepada siswa maka siswa akan tahu bahwa fakta-fakta yang perlu dipahami bukan hanya sekadar fakta tentang benda, tetapi fakta-fakta tentang kehidupan.

3. Mengembangkan cipta dan rasa

Kecakapan yang harus dikembangkan dalam pembelajaran sastra adalah kecakapan yang memiliki sifat indera, penalaran, afektif, sosial, dan religius. Oleh karena itu, apabila sastra diajarkan dengan benar, maka akan dapat menyediakan kesempatan untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan tersebut lebih dari apa yang disediakan oleh mata pelajaran yang lain, sehingga pengajaran sastra tersebut dapat lebih mendekati arah dan tujuan pengajaran dalam arti sesungguhnya.

4. Menunjang pembentukan watak

Dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan untuk membentuk watak. Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam, karena dibanding pelajaran-pelajaran lainnya, sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantarkan kita mengenal seluruh rangkaian kehidupaan manusia. Kedua, sehubungan dengan pembinaan watak ini adalah bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi: ketekunan, kepandaian, pegimajian, dan penciptaan.79

Surampaet mengatakan Demi kehidupan sastra di Indonesia, demi berkembangnya apresiasi sastra, demi lahirnya kemerdekaan berpikir, perlu diperhatikan sarana utama untuk itu. Sarana tersebut antara lain ketersediaan buku-buku sastra yang baik disamping guru-guru yang baik, bijaksana dan kreatif. Dikhawatirkan bila sekolah hanya menetaskan murid-murid yang pintar tetapi tidak memiliki hati nurani kemanuasiaan seperti robot-robot.Untuk itu memansiakan manusia, sastra perlu dibelajarkan.80

79

H. L. B. Moody. Metode Pengajaran Sastra. Saduran Bebas dari The Teaching of

Literature oleh B. Rahmanto. (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 16-24. 80

Kinayati Djojosuroto dan Surastina, Pembelajaran Apresiasi Sastra, (Yogyakarta:


(43)

Dengan demikian sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia pendidikan nyata. Maka sangat keliru jika dunia pendidikan mengesampingkan bidang humaniora dan mengutamakan bidang eksak.

F. Penelitian Relevan

Penelitian yang relevan digunakan untuk mencari persamaan dan perbedaan antara penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Berikut adalah hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan topik penelitian yang akan penulis lakukan.

Dina Wulan Suci dari dan Maman Suryaman, Universitas Negeri Yogyakarta dengan judul “Konflik Tokoh Utama Perempuan dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis (Pendekatan Psikologi Sastra)”, tahun 2013. Fokus permasalahan dalam penelitian yang dilakukan oleh Dina Wulan Suci adalah konflik internal dan konflik eksternal pada tokoh utama perempuan yang dikaji secara psikologi sastra. Hasil penelitiannya menunjukkan empat kesimpulan: (1) Wujud karakter tokoh utama perempuan dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis dapat dilihat seara dimensi fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Secara dimensi fisiologis, tokoh utama perempuan kebanyakan berwajah cantik dan telah menikah. Secara dimensi psikologis, tokoh utama perempuan kebanyakan termasuk tipe tidak setia. Secara dimensi sosiologis, tokoh utama perempuan kebanyakan merupakan warga negara Indonesia dan kaya. (2) Wujud konflik internal yang dialami tokoh utama perempuan dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis yaitu kebanyakan mengalami kekecewaan dan kecemasan. Wujud konflik eksternal yang dialami tokoh utama perempuan dalam kumpulan cerpen perempuan karya Mochtar Lubis yaitu tentang harta, dan kebanyakan konflik perselisihan dengan pasangan. (3) Faktor penyebab terjadinya konflik eksternal pada tokoh utama perempuan yaitu atas ketidakcocokan terhadap pasangannya. (4) Penyelesaian konflik yang dilakukan oleh tokoh utama perempuan yaitu kebanyakan menyelesaikan


(44)

koflik internal dan konflik eksternal dengan cara dan usahanya sendiri, tanpa bantuan orang lain.81

Zaratul Ilmia dari Universitas Airlangga dengan judul “Tokoh-tokoh Liyan dalam Cerpen-cerpen Pada Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis” tahun 2013. Penelitian yang dilakukan oleh Zaratul Ilmia ini bertujuan untuk mengidentifikasi presentasi jejak-jejak kolonial dalam struktur cerpen-cerpen pada kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis, kemudian dilanjutkan untuk mengidentifikasi keliyanan tokoh pribumi dalam cerpen-cerpen pada kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat presentasi jejak-jejak kolonial pada lima cerpen dalam kumpulan cerpen Perempuan. Presentasi jejak-jejak kolonial tersebut dapat dilihat dari tiga unsur: pencerita, latar, dan penokohan. Jejak-jejak kolonial tersebut tidak lain menggambarkan adanya zaman kolonial dan tokoh-tokoh liyan pada lima cerpen tersebut. Kemudian, temuan jejak-jejak kolonial tersebut dapat diteruskan pada pembahasan selanjutnya, terutama untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk keliyanan tokoh pribumi dalam lima cerpen pada kumpulan cerpen Perempuan. Bentuk-bentuk keliyanan tokoh pribumi dapat dilihat dari tuturan pencerita, daerah koloni, bangsa tokoh pribumi, dan pelabelan yang dilekatkan pada tokoh pribumi. Keliyanan tokoh-tokoh pribumi tersebut diketahui sebagai akibat pelabelan Barat terhadap Timur sehingga tokoh pribumi dapat dikatakan mewakili pribumi Timur. Tokoh pribumi tersebut juga melakukan usaha peniruan (mimikri) sebagai bentuk resistensi dalam mengatasi keliyanan sehingga terlepas dari posisi liyan. Berdasarkan keliyanan tokoh pribumi tersebut dapat dimaknai dalam konteks masyarakat pada zamannya dan pada saat ini.

81

Dina Wulan Suci dan Maman Suryaman, “Konflik Tokoh Utama Perempuan dalam

Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis (Pendekatan Psikologi Sastra)”, E-Journal,

Universtas Negeri Yogyakarta, 2013 dalam

http://www.journal.student.uny.ac.id/jurnal/artikel/3372/36/376 , diunduh pada Selasa, 15 September 2015 pukul 20:52 WIB.


(45)

Terdapat diskriminasi, pencitraan, dan krisis identitas dilihat dari keliyanan tokoh pribumi yang masih relevan dengan konteks masyarakat saat ini.82

Lisa Karmiasih dari Universitas Suryakancana Cianjur dengan judul “Analisis Unsur Tema, Latar, dan Penokohan Pada Kumpulan Cerpen

Perempuan Karangan Mochtar Lubis dan Pembelajarannya Di Kelas IX SMPN 2 Bantargadung” tahun 2015. Fokus permasalahan dalam penelitian yang dilakukan oleh Lisa Karmiasih adalah unsur tema, latar dan penokohan dalam kumpulan cerpen Perempuan karangan Mochtar Lubis yang dikaji secara sastra. Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa kesimpulan. (1) unsur intrinsik tema, latar, dan penokohan dalam kumpulan cerpen

Perempuan karangan Mochtar Lubis, (2) Cerpen ini memiliki keunggulan dari segi tema dan bacaan yang sesuai dengan aspek bahasa, psikologi dan budaya yang mampu memberikan bimbingan dan pembelajaran yang baik bagi pembaca, sehingga kumpulan cerpen ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran cerpen di tingkat SMP.83

82

Zaratul Ilmia, “Tokoh-tokoh Liyan dalam Cerpen-cerpen Pada Kumpulan Cerpen

Perempuan Karya Mochtar Lubis”, Skripsi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, 2013.

dalam http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2013-ilmiazarat

31177&node=1681&start=21&PHPSESSID=501605d1d1ea61d8faf34c9dd5abe060 diunduh pada Selasa, 16 September 2015, pukul 17.31. WIB.

83

Lisa Karmiasih, “Analisis Unsur Tema, Latar, dan Penokohan Pada Kumpulan Cerpen

Perempuan Karangan Mochtar Lubis dan Pembelajarannya Di Kelas IX SMPN 2 Bantargadung”, Jurnal PBSI S2 Pascasarjana, Universitas Suryakancana Cianjur, 2015. dalam

http://s2pbsiunsurcianjur.ac.id/publikasi/database-jurnal.html diunduh pada Selasa, 22 September 2015, pukul 07.24 WIB.


(46)

36

A. Biografi Mochtar Lubis

Mochtar Lubis adalah salah satu tokoh besar Indonesia yang pernah ada. Sosoknya yang tegas, kritis, dan apa adanya membuat dirinya begitu disegani. Mochtar Lubis lahir di Padang pada 07 Maret 1922. Ayahnya, Raja Pandapotan Lubis adalah seorang bangsawan Mandailing yang menjabat sebagai asisten demang (Demang adalah kepala distrik, atau wedana, atau wedono. Asisten demang adalah asisten wedana atau sekarang disebut camat) di Padang antara tahun 1915 dan 1929. Mereka tinggal di kota kecil sungai Penuh. sementara Ibunya bernama Siti Madinah Nasution, yang juga keturunan bangsawan Mandailing. Ia adalah anak kepala kuria, atau induk kampung (distrik) di daerah Batak, bergelar Mangaraja Sorik Merapi. Mochtar Lubis adalah anak ke enam, atau anak lelaki ke tiga. Mereka seluruhnya adalah: Nurhalijah, Nurleila, Amzar, Bachtiar, Nurjani, Mochtar, Achmad, Rosniah, Asniah, dan Firman.1

Mochtar Lubis biasa menggambarkan Ayahnya adalah seorang yang berwatak keras, pekerja keras, dan berdisiplin, sementara ibunya dilukiskannya sebagai seorang wanita yang lembut, periang, dan seorang Ibu yang gemar mendongeng. Ia mengaku bahwa ayahnya feodal (garis keturunannya) tetapi tidak suka pada sikap feodal. Sebagai anak keluarga ningrat, hidup Mochtar berkecukupan, bahkan Ayahnya mempunyai sebuah mobil.2

Di Sungai Penuh, Mochtar Lubis mengikuti pendidikan di Sekolah Rakyat hanya selama setahun, setelah itu ia pindah ke Hollandsch Inlandsche School (HIS). Setelah lulus sekolah dasar (1935) Ayahnya menganjurkan

1

Atmakusumah, “Mochtar Lubis Wartawan Jihad,” (Jakarta: Harian Kompas, 1992), h.

48.

2Ibid.,


(47)

Mochtar untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Ekonomi di Kayutanam, Sumatera Barat. Sekolah ini mengembangkan semangat gerakan nasionalis. Kemudian setelah lulus pada tahun 1939, ia menjadi guru di HIS Teluk Dalam di Pulau Nias namun tidak lama, karena ia memutuskan untuk merantau lebih jauh yaitu ke Batavia. Mula-mula ia bekerja di perusahaan farmasi, kemudian pindah ke Bank Factorij, sebuah bank swastra terbesar di Hindia Belanda yang membiayai pabrik gula.3 Setelah itu, tentara Jepang pun menduduki negeri ini pada Maret 1942. Selama pendudukan militer Jepang itulah Mochtar Lubis mulai mengenal dunia pers. Sebelum benar-benar menggeluti dunia pers, ia bekerja sebagai anggota staf dinas monitoring siaran rado luar negeri, bagian dari Komando Tinggi Militer Jepang di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Dinas itu memantau siaran radio negara-negara sekutu seperti yang dipancarkan oleh

Voice of America (VOA), Radio Australia, dan BBC London. Laporan dari hasil pemantauan itu kemudian dipelajari oleh staf Jepang.4 Pada masa pendudukan Jepang itu juga, Mochtar Lubis bertemu dengan seorang perempuan bernama Siti Halimah Kartawidjaja (Hally) yang waktu itu menjadi pegawai Asia Raya.

Mochtar Lubis mulai sungguh-sungguh terjun dalam profesi jurnalistik, pers, wartawan, setelah Perang Dunia Kedua berakhir. Ia menjadi pegawai harian Merdeka.5 Ia juga mendirikan Kantor Berita Antara, kemudian mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya, mendirikan majalah

Horizon bersama kawan-kawannya begitu juga pendiri Yayasan Obor Indonesia.6 Lubis adalah wartawan yang mempunyai komitmen, karena ada perjuangan yang ingin dilaksanakan, seperti perjuangan melawan segala bentuk kebatilan, menegakkan kemanusiaan dan melawan semua hal yang menekan, merugikan, serta menindas kemanusiaan.7 Pemimpin redaksi

Indonesia Raya itu sempat dipenjara dan menjadi tahanan rumah selama

3Ibid.,

h. 52-53. 4Ibid.,

h. 53. 5

Ibid., h. 60. 6

Mochtar Lubis, Perempuan Kumpulan Cerita Pendek, (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2010), h. 197. 7


(48)

sembilan tahun hingga ia mendapat anugerah Pena Emas, “La Plume d’Or”,

oleh Federasi Internasional Serikat Penerbit Surat Kabar—FIEJ—yang bermarkas besar di Paris. Anugerah tersebut diberikan kepada wartawan yang gigih memperjuangkan kebebasan pers sampai menderita.8 Salah satu kesan yang mendalam didapatnya dari pengalaman ditahan ialah bahwa orang baru benar-benar menghargai kebebasan apabila pernah berkenalan dengan penjara. Penghargaannya kepada kebebasan, yang bagaikan senapas dengan cintanya kepada Ibu, Istri, Anak-anak, Cucu-cucu, dan juga para menantunya, diungkapkan dalam kedua catatan hariannya yang sudah dibukukan, yaitu

Catatan Subversif dan Kampdagboek.9

Meski Indonesia Raya terputus penerbitannya, dan tidak lagi menulis di pers dalam negeri secara teratur, Lubis tidak pernah berhenti berjuang dalam dunia kewartawanan, bahkan ia terlibat aktif dalam pendirian dan pengelolaan Yayasan Pers Asia—Press Foundation of Asia—sebagai pendiri dan terus-menerus sebagai direktur.10

B. Pemikiran Mochtar Lubis

Karya-karya Mochtar Lubis dianggap mempunyai ‘ruh’ totalitas yang sangat memperkaya kesusastraan Indonesia. Goresan tinta emasnya mampu menjabarkan realitas sosial, serta berbagai wawasan tentang manusia Indonesia dengan berbagai dimensi yang cukup tajam, bahkan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Isma Sawitri mengatakan bahwa “Ia begitu konsisten mencipta dalam kurun waktu yang cukup panjang, hingga setiap karyanya merefleksikan gejala dan gejolak zamannya”.11

Dalam pikiran Mochtar Lubis, seorang sastrawan harus berani mengkritik dengan suara yang terang, kukuh, tegap, dan semangat kemanusiaan yang besar. Tidak boleh ragu apalagi takut untuk berbicara bagi

8 Ibid.

9

Ibid., h. 50.

10 Ibid.

11

Agus Sularto, “Ibarat Gemuruh Guntur di Siang Bolong”, dalam Media Indonesia,


(49)

mereka yang menjadi korban ketidakadilan dan ketidak berprikemanusiaan di setiap zaman.12 Seorang seniman harus memperoleh kebenaran dan keindahan, apabila keduanya sudah didapat maka tidak ada lagi tempat ketidakadilan dan kesewenangan yang bermuka buruk, keji, ganas, rakus, dan menjijikkan.13 Ramdhan KH menilai bahwa “Mochtar Lubis adalah manusia Indonesia yang keluar dari kancah revolusi bangsanya. Tetapi ia tidak sinis terhadap revolusi, sebab ia salah satu pelakunya.”14

Mochtar Lubis sangat memprioritaskan kebebasan manusia, hak-hak asasi, hak-hak demokrasi yang dijadikan operasional dalam menyemarakkan dunia kreativitas,15 sehingga dapat dilihat pada tiap-tiap tulisannya yang begitu transparan, tidak pernah mau mempergunakan kata-kata yang samar-samar, atau tidak mau bicara atau menulis di balik tirai.16 Semua diungkapkan dengan apa adanya.

C. Karya-karya Mochtar Lubis

Selain sebagai wartawan, Mochtar Lubis juga dikenal sebagai sastrawan. Cerita pendeknya dikumpulkan dalam buku Si Jamal (1950) dan Perempuan

(1956). Kemudian romannya yang telah terbit Tidak Ada Esok (1950), Jalan Tak Ada Ujung (1952) yang mendapat hadiah sastra BMKN. Karya selanjutnya yaitu Senja di Jakarta, mula-mula terbit dalam bahasa Inggris dengan judul Twilight in Jakarta (1963) dan terbit dalam bahasa melayu pada tahun 1964. Romannya yang berjudul Harimau! Harimau! (1975) mendapat sambutan luas dan memperoleh hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai buku terbaik di tahun 1975. Sementara karyanya Maut dan Cinta juga memperoleh hadiah dari Yayasan Jaya Raya. Selain menulis karya fiksi ia juga seringkali menulis esai dengan nama samaran yaitu “Savitri”, serta menerjemahkan beberapa karya sastra asing seperti Tiga Cerita dari Negeri

12Ibid.

13

Ibid. h. 2.

14 Ibid.

15

Bowo, “Mochtar Lubis Kreativitas Dimampatkan”, dalam Majalah Vista, nomor 01,

Selasa, 14 Januari 1992. h. 80. 16


(50)

Dollar (1950), Kisah-kisah dari Eropa (1952). Dan pada tahun 1950, Mochtar Lubis pernah memperoleh hadiah atas laporannya tentang perang Korea, lalu pada tahun 1966 ia kembali memperoleh hadiah Magsaysay untuk karya-karya jurnalistiknya.17

D. Latar Belakang Terciptanya Kumpulan Cerpen Perempuan karya

Mochtar Lubis

Dilihat dari sepenggal perjalanan hidupnya, Mochtar Lubis memiliki banyak pengalaman, mulai dari masa kecilnya sebagai putra demang hingga lebih khusus lagi saat ia menjadi wartawan. Pengalamannya bertemu dengan banyak orang baik di dalam maupun di luar negeri memberinya isnpirasi yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya. Salah satu karya Mochtar Lubis yang tidak kalah lugas dari karya-karya lainnya adalah kumpulan cerpen

Perempuan. Kisah-kisah yang terdapat di dalam kumpulan cerpen tersebut merupakan hasil pengalaman Mochtar Lubis sendiri dan juga hasil dari pengalaman orang-orang sekitar yang diceritakan padanya. Sebagaimana dikutip dari Riris K. Toha Surampaet dalam kata pengantar pada kumpulan cerpen Perempuan:

Inti cerita ini juga dapat dirujuk pada pengalaman hidup pengarang seperti dapat kita saksikan pada “kampung kami di Sumatera, “kebun karet ayah di Kerinci”, “ketika ayahku dahulu menjabat demang di Kerinci itu” (“Lotre Haji Zakaria”) yang menunjuk dan merujuk pada kehidupan pribadi pengarangnya.” Mochtar Lubis dikenal datang dari keluarga berada dan ayahnya adalah seorang demang di Sumatera.18 Pada kumpulan cerpen ini juga dapat kita periksa kejadiannya dalam catatan sejarah Indonesia, misalnya peristiwa serangan gerombolan dalam cerpen ‘Sepotong Rokok Kretek’. Sebagaimana yang dikatakan L.R Baskoro dan Ign Haryanto bahwa Mochtar Lubis pernah mengalami pengalaman pahit saat bekerja di Antara. Ia pernah menulis soal gerombolan perampok rakyat di tengah masa revolusi. Tulisan tersebut berdasarkan cerita dari mertuanya

17

Mochtar Lubis, Op.Cit., h. 197-198.

18Ibid., h. viii.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

BIOGRAFI PENULIS

Ade Nurfadilah, lahir di Jakarta pada 14 April 1993. Anak ke enam dari enam bersaudara ini tinggal di Rawa Bokor, kota Tangerang Provinsi Banten. Pendidikan yang pernah ditempuhnya yaitu Madrasah Ibtidaiyah Nurul Khairaat (1999-2004) lalu pindah ke Madrasah Ibtidaiyah Nurul Hikmah (2005). Setelah lulus, ia memutuskan untuk terus mengenyam pendidikan agama di Madrasah Tsanawiyah Da’il Khairaat (2008), dan Madrasah Aliyah Da’il Khairaat (2011), hingga akhirnya melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Motto hidupnya adalah “Hadirkan Allah dalam setiap usaha”.


Dokumen yang terkait

Gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan Cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah

19 175 84

Penggunaan gaya bahasa pada kumpulan cerpen hujan kepagian karya Nugroho Notosusanto dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA

26 226 127

Masalah Sosial dalam kumpulan cerpen mata yang enak dipandang karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia

7 128 101

Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

9 84 213

Potret buruh Indonesia pada masa orde baru dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah

2 61 0

Nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

19 99 77

Nilai Sejarah dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

13 66 77

Fakta Sejarah dalam Novel Saman Karya Ayu Utami dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

2 48 149

Kritik Sosial dalam Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

4 25 93

NILAI PSIKOLOGI TOKOH PADA NOVEL JALAN TAK ADA UJUNG KARYA MOCHTAR LUBIS DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA.

6 72 27