Kebijakan Sistem Usahatani Berkelanjutan Responsif Gender di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah

(1)

KEBIJAKAN SISTEM USAHATANI

BERKELANJUTAN RESPONSIF GENDER

DI KABUPATEN KARANGANYAR

PROVINSI JAWA TENGAH

Oleh :

Wahyu Hartomo

NRP: P062034204

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ABSTRACT

Hartomo, W, Gender responsive policy for sustainable farming system at Karanganyar district, Central Java. Under supervision of Santun R.P. Sitorus, Aida Vitayala S. Hubeis and Hartrisari Hardjomidjojo.

Implementation of farming system in agriculture wasn’t used fully sustainable concept. It’s a fact that farmer income was very low, land productivity and quality was very poor, and gender unequality still exist in farmer livehood. This research objectives are : 1) To choose priority aspect and main variabel in sustainable cultivation system, 2) To Analize sustainability of many pettern of cultivation, 3) Identiffying the gender relation pattern based on acces and control of male and female in the agriculture resources, 4) Formulating the strategy of gender responsive policy for sustainable farming at Karanganyar district. The research used approach descriptive method by applying case study for six

patterns of cultivation in existing condition at Karanganyar, based on 1) monoculture pattern for paddy, 2) secondary crop, 3) vegetable, 4) floriculture,

5) intercropping, and 6) mixed farming. Data gathering was carried out by ways of questionnaire, intervew with farmer and stake holder in six agriculture farming system at Karanganyar district with Socio Economic and Gender Analysis (SEAGA) instrument and Analytical Hierarchy Process (AHP). And the data further analyzed by SEAGA, AHP and Equity and Equality Index (IKKG).

This research conclude as follows: 1) To develop sustainable agriculture cultivation which enable to social aspect and than follow with ecological aspect and economical aspect. Farmer institution is generally dominant factor in social aspect, and variety of commodities is dominant factor in ecological aspect and than productivity is dominant factor in economical aspect, 2) the pattern of sustainable cultivation was carried out by (a) Floriculture with 0,267 index, (b) Mixedfarming with 0,168 index, (c) Secondary crop and intercroping with 0,148 index, (d) vegetable with 0,139 index, and (e) Paddy with 0,131 index, 3) Acces and control of agriculture resource and cultivation activity is generally dominated of males (husband). Quantitavely this condition shown by IKKG index less than 0,50, 4) Based on the agriculture sustainable cultivation sistem at Karanganyar, we may conclude that cultivation sustainable recommendation are (a) To promote floriculture cultivation for development priority in the future, (b) To increase female acces for training and counselling activities for agriculture technology, and (c) To increase male acces for pricing, post harvest technology and marketing activities.

Key word: cultivation, sustainability, gender responsive, acces, control, SEAGA, AHP, and IKKG.


(3)

ABSTRAK

Hartomo, W. Kebijakan Sistem Usahatani Berkelanjutan Responsif Gender di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh Santun R.P. Sitorus sebagai ketua komisi, Aida Vitayala S. Hubeis dan Hartrisari Hardjomidjojo sebagai anggota.

Kebijakan sistem usahatani yang selama ini dilakukan pada umumnya belum sepenuhnya menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan, terbukti dari pendapatan petani yang masih rendah, terjadi penurunan produktivitas dan kualitas lahan. Selain itu, masih terdapat kesenjangan gender di kalangan petani. Penelitian ini bertujuan untuk: 1). Menentukan aspek prioritas dan variabel utama dalam sistem usahatani berkelanjutan 2). Menganalisis keberlanjutan berbagai pola usahatani, 3). Menganalisis pola relasi gender pada setiap pola usahatani, dan 4) Merumuskan arahan kebijakan sistem usahatani berkelanjutan responsif gender. Penelitian dilakukan di Kabupaten Karanganyar dengan metode deskriptif melalui studi kasus pada enam pola usahatani yang ada, yaitu: 1). Monokultur padi; 2). Monokultur palawija; 3). Monokultur sayuran, 4). Monokultur tanaman hias; 5). Tumpangsari; dan 6). Mixed farming. Data

dikumpulkan melalui kuesioner dan wawancara langsung dengan petani dan

stakeholders yang terkait dalam sistem usahatani di Kabupaten Karanganyar menggunakan instrumen Socio Economic and Gender Analysis (SEAGA),

Analytical Hierarchy Process (AHP), dan Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG).

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa 1). Agar pengembangan sistem usahatani berkelanjutan. faktor yang paling menentukan secara berurutan adalah aspek sosial, aspek lingkungan dan aspek ekonomi. Pada aspek sosial variabel yang paling dominan adalah kelembagaan, sedangkan pada aspek lingkungan adalah variabel jenis komoditas dan pada aspek ekonomi adalah variabel produksi. 2). Pola usahatani yang paling memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan responsif gender secara berurutan adalah: a). Pola usahatani tanaman hias dengan bobot sebesar 0.267; b). Pola usahatani mixed farming dengan bobot sebesar 0.168; c). Pola usahatani monokultur palawija dan tumpangsari dengan bobot masing-masing sebesar 0.148; d) pola usahatani monokultur sayuran dengan bobot sebesar 0.139; dan e). Pola usahatani monokultur padi dengan bobot sebesar 0.131. 3). Akses dan kontrol laki-laki (suami) secara umum, lebih dominan baik terhadap sumberdaya maupun tahapan kegiatan pola usahatani. Kondisi ini secara kuantitatif ditunjukkan oleh nilai Indeks Keadilan Kesetaraan Gender (IKKG) yang lebih kecil dari 0.50. 4). Berdasarkan hasil analisis sistem usahatani berkelanjutan responsif gender di Kabupaten Karanganyar dapat dirumuskan arahan kebijakan sebagai berikut; 1). Dalam mengembangkan sistem usahatani perlu diprioritaskan pada pola usahatani tanaman hias dengan cara mengoptimalkan kelembagaan usahatani khususnya kelembagaan kelompok tani; penentuan jenis komoditas dan proses produksinya 2). Meningkatkan akses dan kontrol perempuan terhadap penyuluhan dan pelatihan teknologi pertanian; 3). Meningkatkan akses dan kontrol laki-laki terhadap hasil penjualan panen, pengolahan hasil panen dan pemasaran, dan 4). Meningkatkan sosialisasi pengarusutamaan gender yang ditujukan kepada petani laki-laki maupun perempuan.


(4)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul Kebijakan Sistem Usahatani Berkelanjutan Responsif Gender di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, September 2007 Yang Menyatakan

Wahyu Hartomo


(5)

KEBIJAKAN SISTEM USAHATANI

BERKELANJUTAN RESPONSIF GENDER

DI KABUPATEN KARANGANYAR

PROVINSI JAWA TENGAH

Wahyu Hartomo

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

Judul : Kebijakan Sistem Usahatani Berkelanjutan Responsif Gender di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah.

N a m a : Wahyu Hartomo

N R P : P 062034204

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Disetujui: Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus K e t u a

Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubeis, M.Sc. Anggota

Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA Anggota

Diketahui:

Plh. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dr. Ir. Etty Riani, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


(7)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, foto kopi, mikro film dan sebagainya


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas segala Karunia, Rahmat dan Ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul “Kebijakan sistem Usahatani Berkelanjutan Responsif Gender di Kabupaten Karanganyar Propinsi Jawa Tengah. Disertasi ini diajukan sebagai tugas akhir dalam menyelesaikan Program Doktor (S-3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

Penelitian dan penulisan dilakukan sejak Januari 2006 sampai dengan Oktober 2006 di Kabupaten Karanganyar. Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat berjalan lancar berkat bimbingan dan dukungan moril dari Ketua Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus, dan Anggota Komisi Pembimbing Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubeis, M.Sc. dan Dr. Ir.Hartrisari Hardjomidjojo, DEA, yang dengan penuh kesabaran mengarahkan dan memberikan masukan-masukan yang konstruktif. Untuk itu Penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga. Penghargaan serta rasa terimakasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS, sebagai Ketua Program Studi serta seluruh dosen di lingkungan Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Dr. Ir. Titi Sumarti, Ec. dan Dr. Ir. Harianto atas kesediaan dan koreksinya saat menjadi penguji luar komisi berturut-turut pada ujian tertutup dan ujian terbuka. Demikian juga kepada Sdri Ririn, Suli dan Iwan yang telah membantu kelancaran proses administrasi selama penulis studi.

Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan rasa terima kasih tak terhingga kepada Ibu Bupati Kabupaten Karanganyar dan Bapak


(9)

Ngadirin dan seluruh jajaran Dinas Pertanian yang telah memberikan kesempatan mengadakan penelitian di Kabupaten Karanganyar, Sdri Anne dan Novi yang telah membantu selama penelitian di lapangan. Atas bantuan dan dukungan serta fasilitas beliau-beliau inilah pelaksanaan penelitian memungkinkan dapat dilakukan dengan lancar. Kepada rekan-rekan mahasiswa program doktor Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, khususnya mahasiswa kelas Kimpraswil penulis menyampaikan terima kasih atas segala kerjasamanya selama mengikuti proses pendidikan sehingga akhirnya dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Gatot Irianto dan keluarga, Dr. Drh. Rohidin Mersyah MMA, Rini Handayani,SE,MM, Drs. Farid Ma’ruf, MA., Dino, Budi, Gina, Thomas, SP, Vranda SP, Ahied, SP dan Abdan Bayhaqi yang membantu penulis untuk memberikan makna atas data dan informasi yang diperoleh di lapangan dan teman-teman PPL dan petani yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis menyampaikan terima kasih atas informasi dan dukungannya dalam kegiatan penelitian ini.

Penulis juga menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada pimpinan instansi penulis di Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, secara khusus penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada saat ujian terbuka, Ibu Sri Rejeki Soemaryoto, SH, Bapak Dr. Yusuf Supiandi, MA, Ibu Dra. Sumarni Dawam Rahardjo, MPA, Bapak. dr. Suryadi Soeparman MPH , dan Dr. Ir. Hertomo Heroe, MM, dan penulis menyampaikan terima kasih pula kepada Dra.Soepardina MA, Dra Puspito Y, MA. Mujiati SH, dr. Soepalarto MPH, Drs. Subagyo, MA. dan dr. Heru Kasidi M.Sc., Dra. Sally Astuti Msi. atas izin dan keleluasaan untuk mengikuti program Pascasarjana IPB.

Kepada orangtua penulis Almarhum ayahanda Mardjijun Sastro Rahardjo dan Almarhummah ibunda Sukarti, dan ibu Sugini, penulis


(10)

mengucapkan terima kasih karena telah menunjukkan dan mewariskan jiwa yang ulet, semangat, pantang menyerah dan disiplin, semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Kepada kakak dan adik-adik Soemardjo, Sri Wahyuningsih, Wahyu Widodo, Wahyu Untari, Wahyu Suharto dan Sri Wahyu Khori Hartati, Kepada isteri Srining Pratiwi, Ananda Wahyu Hadmaji Indra Pratama dan Kartika Wahyu Pramesthi penulis menyampaikan permohonan maaf yang dalam karena telah menyita waktu dan mengurangi perhatian dan kasih sayang.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah begitu banyak memberikan dukungan dan kontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Atas segala bantuan dan dukungan terbaik yang telah diberikan kepada penulis, tiada balasan yang dapat disampaikan melainkan doa tulus semoga Allah SWT membalas amal baik yang telah diberikan agar senantiasa dalam lindungan-Nya.

Tiada kesempurnaan selain kesempurnaan-Nya, penulis menyadari bahwa Disertasi ini masih banyak kekurangannya. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak agar disertasi ini menjadi lebih baik dan bermakna.

Bogor, September 2007 Peneliti


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Karanganyar pada tanggal dua Maret Tahun 1957 sebagai anak ke dua dari enam bersaudara pasangan Alm. Mardjiun Sastrohardjo dan Alm. Sukarti. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) di Karanganyar dan meraih gelar Sarjana Ekonomi jurusan Manajemen di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta pada tahun 1982. Selanjutnya, penulis mendapat kesempatan menempuh jenjang pendidikan Master (S-2) di Asean Institute of Technology (AIT) Bangkok selesai pada tahun 1989. Pada tahun 2004 penulis kembali mendapat kesempatan melanjutkan studi pada jenjang Doktoral (S-3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis sebagai pegawai negeri sipil (PNS) sejak tahun 1983 di Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri sampai tahun 2001, kemudian pindah ke Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan sampai sekarang. Pada saat ini penulis mengemban amanah sebagai Asisten Deputi 2/IV Urusan Masalah Sosial Anak Deputi Perlindungan Anak. Selama bekerja sebagai pegawai negeri sipil, penulis sudah dua kali memperoleh penghargaan berupa Satyalancana Karya Satya X (10 tahun) dari Presiden Republik Indonesia pada tahun 2001 dan penghargaan serupa kembali diperoleh untuk kategori Satyalancana Karya Satya XX (20 Tahun) pada tahun 2003.

Pada tahun 1986, penulis menikah dengan Srining Pratiwi yang berasal dari Kabupaten Nganjuk yang juga berprofesi sebagai pegawai negeri sipil. Dari pernikahan tersebut kami dikaruniai dua orang anak laki-laki dan perempuan. Anak pertama lahir pada tahun 1987, yang kami beri nama Wahyu Hamadji Indra Pratama dan anak kedua lahir pada tahun 1995 yang bernama Kartika Wahyu Pramesthi.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... i

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN... iv

I.PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

1.5. Novelty ... 5

1.6. Kerangka Pikir Penelitian... 5

II.TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Sistem Usahatani Berkelanjutan... 8

2.2. Gender... 14

2.3. Gender dan Rumahtangga Pertanian... 18

2.4. Gender dan Pembangunan Berkelanjutan ... 20

2.5. Analisis Gender ... 24

2.6. Proses Hirarki Analisis... 26

2.7. Analisis Kebijakan... 27

2.8. Hasil Penelitian Terdahulu... 28

III.METODE PENELITIAN ... 35

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 35

3.2. Metode Penelitian ... 36

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 37

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 37

3.5. Teknik Pengambilan Sampel ... 38

3.6. Teknik Analisis Data ... 39

3.6.1. Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process-AHP) ... 39

3.6.2. Analisis Gender pada Enam Pola Usahatani... 45

IV.KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 51

4.1. Keadaan Geografis... 51

4.2. Penduduk dan Pemerintahan ... 52

4.3. Pembangunan Pertanian ... 53

4.4. Industri dan Perdagangan ... 54

4.5. Kelembagaan Pertanian ... 56

V.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 60

5.1. Aspek Prioritas dan Variabel Utama dalam Sistem Usahatani Berkelanjutan di Kabupaten Karanganyar ... 60

5.2. Analisis Keberlanjutan Enam Pola Usahatani... 64 5.3. Analisis Gender pada Enam Pola Usahatani di Kabupaten


(13)

5.3.1. Pola usahatani monokultur padi ... 66

5.3.2. Pola usahatani monokultur sayuran ... 80

5.3.3. Pola usahatani monokultur palawija ... 91

5.3.4. Pola usahatani tumpangsari ... 101

5.3.5. Pola usahatani mixed farming... 112

5.3.6. Pola usahatani monokultur tanaman hias (bunga) ... 124

5.4. Arahan Kebijakan Sistem Usahatani Berkelanjutan Responsif Gender di Kabupaten Karanganyar... 134

5.4.1. Arahan Kebijakan Umum... 134

5.4.2. Kebijakan Khusus per pola usahatani ... 135

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 137

6.1. Kesimpulan ... 137

6.2. Saran ... 138

DAFTAR PUSTAKA ... 140


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Teks Halaman

1. Perbedaan Seks dan Gender ... 15

2. Nama Peneliti, Waktu, Judul, Metode, dan Kesimpulan Penelitian Terdahulu yang Berhubungan dengan Topik Penelitian ... 30

3. Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 37

4. Skala Banding Secara Berpasangan... 42

5. IKKG, Klasifikasi dan Simbol pola relasi laki-laki dan perempuan ... 46

6. Definisi variabel-variabel yang digunakan untuk menentukan tingkat akses dan kontrol laki-laki dan perempuan pada setiap pola usahatani di Kabupaten Karanganyar... 47

7. Tujuan, sumber data, parameter peubah, alat analisis, dan luaran ... 49

8. Jumlah Kelompok Tani berdasarkan kelas/tingkat di Kabupaten Karanganyar tahun 2006 ... 59

9. Pendapat laki-laki dan perempuan tentang alokasi penggunaan lahan, masalah yang dihadapi, solusi yang pernah/akan dilakukan, akses dan kontrol pada pola usahatani monokultur padi di Kabupaten Karanganyar... 66

10. Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya dan tahapan kegiatan usahatani monokultur padi di Kabupaten Karanganyar 69 11. IKKG pada aspek akses-kontrol laki-laki dan perempuan pada pola usahatani monokultur padi... 72

12. Formulasi arahan kebijakan berdasarkan kondisi relasi gender aspek sumberdaya usahatani padi ... 76

13. Formulasi arahan kebijakan berdasarkan kondisi relasi gender aspek tahapan kegiatan usahatani monokultur padi... 78

14. Pendapat laki-laki dan perempuan tentang alokasi penggunaan lahan, masalah yang dihadapi, solusi yang pernah/akan dilakukan, akses dan kontrol pada pola usahatani monokultur sayuran di Kabupaten Karanganyar... 81 15. Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya dan


(15)

16. Pola relasi gender pada aspek akses-kontrol laki-laki dan perempuan pada pola usahatani monokultur sayuran... 86 17. Formulasi arahan kebijakan berdasarkan kondisi relasi gender aspek

sumberdaya usahatani sayuran ... 89 18. Formulasi arahan kebijakan berdasarkan kondisi relasi gender aspek

tahapan kegiatan usahatani sayuran ... 90 19. Pendapat petani laki-laki dan perempuan tentang alokasi penggunaan

lahan, masalah yang dihadapi, solusi yang pernah/akan dilakukan, akses dan kontrol pada pola usahatani monokultur palawija

di Kabupaten Karanganyar... 92 20. Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya dan

tahapan kegiatan usahatani palawija di Kabupaten Karanganyar... 93 21. Pola Relasi gender pada aspek akses-kontrol laki-laki dan

perempuan pada pola usahatani Monokultur Palawija... 95 22. Formulasi arahan kebijakan berdasarkan kondisi relasi gender

aspek sumberdaya usahatani palawija... 99 23. Formulasi arahan kebijakan berdasarkan kondisi relasi gender

aspek tahapan kegiatan usahatani palawija... 100 24. Pendapat laki-laki dan perempuan tentang alokasi penggunaan lahan,

masalah yang dihadapi, solusi yang pernah/akan dilakukan, akses dan kontrol pada pola usahatani tumpangsari

di Kabupaten Karanganyar... 102 25. Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya dan

tahapan kegiatan usahatani tumpangsari di Kabupaten Karanganyar... 105 26. Pola Relasi gender pada aspek akses-kontrol laki-laki dan perempuan

pada pola usahatani tumpangsari ... 107 27. Formulasi arahan kebijakan berdasarkan kondisi relasi gender

aspek sumberdaya usahatani tumpangsari... 110 28. Formulasi arahan kebijakan berdasarkan kondisi relasi gender

aspek tahapan kegiatan usahatani tumpangsari ... 111 29. Pendapat laki-laki dan perempuan tentang alokasi penggunaan lahan,

masalah yang dihadapi, solusi yang pernah/akan dilakukan, akses dan kontrol pada pola usahatani mixed farming

di Kabupaten Karanganyar... 113 30. Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya dan

tahapan kegiatan usahatani mixed farming di Kabupaten Karanganyar .. 116


(16)

31. Pola Relasi gender pada aspek akses-kontrol laki-laki dan perempuan pada pola usahatani mixed farming... 118 32. Formulasi arahan kebijakan berdasarkan kondisi relasi gender aspek

sumberdaya usahatani mixed farming... 121 33. Formulasi arahan kebijakan berdasarkan kondisi relasi gender

aspek tahapan kegiatan usahatani mixed farming ... 122 34. Pendapat laki-laki dan perempuan tentang alokasi penggunaan lahan,

masalah yang dihadapi, solusi yang pernah/akan dilakukan, akses dan kontrol pada pola usahatani monokultur tanaman hias

di Kabupaten Karanganyar... 124 35. Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya pada

pola usahatani monokultur tanaman hias di Kabupaten Karanganyar .... 126 36. Pola Relasi gender pada aspek akses-kontrol laki-laki dan perempuan

pada pola usahatani tanaman hias... 129 37. Formulasi arahan kebijakan berdasarkan kondisi relasi gender

aspek sumberdaya usahatani tanaman hias ... 132 38. Formulasi arahan kebijakan berdasarkan kondisi relasi gender


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Teks Halaman

1. Kerangka pikir penelitian kebijakan sistem usahatani berkelanjutan

responsif gender... 7 2. Lingkup pembangunan sistem agribisnis ... 14 3. Peta Lokasi Penelitian ... 35 4. Struktur hirarki sistem usahatani berkelanjutan di Kabupaten

Karanganyar ... 44 5. Persentase Lahan Kering dan Lahan Sawah di Kabupaten

Karanganyar Tahun 2005... 51 6. Persentase Luas Lahan Sawah Menurut Jenis Irigasi

di Kabupaten Karanganyar Tahun 2005... 52 7. Persentase Lahan Kering Menurut Penggunaannya di Kabupaten

Karanganyar Tahun 2005... 52 8. Bagan susunan organisasi Dinas Pertanian Kabupaten

Karanganyar ... 58 9. Bangunan model (model building) sistem usahatani berkelanjutan

di Kabupaten Karanganyar... 61 10. Bobot tingkat keberlanjutan sistem usahatani untuk setiap pola

usahatani di Kabupaten Karanganyar ... 65 11. Pemetaan relasi gender pada pola usahatani monokultur padi aspek

sumberdaya... 75 12. Pemetaan relasi gender pada pola usahatani monokultur padi aspek

tahapan kegiatan ... 75 13. Pemetaan kebijakan berdasarkan relasi gender pada pola usahatani

monokultur padi ... 80 14. Pemetaan relasi gender pada pola usahatani monokulur sayuran

aspek sumberdaya ... 87 15. Pemetaan relasi gender pada pola usahatani monokultur sayuran


(18)

16. Pemetaan kebijakan berdasarkan relasi gender pada pola usahatani

monokultur sayuran ... 91 17. Pemetaan relasi gender pada pola usahatani monokultur palawija

aspek sumberdaya ... 97 18. Pemetaan relasi gender pada pola usahatani monokultur palawija

aspek tahapan kegiatan ... 98 19. Pemetaan kebijakan berdasarkan relasi gender pada pola usahatani

monokultur palawija... 101 20. Pemetaan relasi gender pada pola usahatani tumpangsari

aspek sumberdaya ... 108 21. Pemetaan relasi gender pada pola usahatani tumpangsari

aspek tahapan kegiatan ... 109 22. Pemetaan kebijakan berdasarkan relasi gender pada pola

usahatani tumpangsari ... 112 23. Pemetaan relasi gender pada pola usahatani mixed farming

aspek sumberdaya ... 119 24. Pemetaan relasi gender pada pola usahatani mixed farming

aspek tahapan kegiatan ... 120 25. Pemetaan kebijakan berdasarkan relasi gender pada pola

usahatani mixed farming... 123 26. Pemetaan relasi gender pada pola usahatani tanaman hias

aspek sumberdaya ... 130 27. Pemetaan relasi gender pada pola usahatani tanaman hias

aspek tahapan kegiatan ... 131 28. Pemetaan kebijakan berdasarkan relasi gender pada pola


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Teks Halaman

1. Kuesioner AHP... 145

2. Kuesioner Sosial Ekonomi Petani ... 150

3. Daftar Pertanyaan FGD di Kelompok Tani (Instrumen SEAGA) ... 157

4. Rekapitulasi Hasil FGD ... 159

5. Indeks Keadilan dan Kesetaraan Gender ... 165

6. Hasil AHP ... 180


(20)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebijakan sistem usahatani yang selama ini dilakukan pada umumnya belum sepenuhnya menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya produktivitas pertanian, belum stabilnya hasil produksi pertanian, rendahnya efisiensi penggunaan sumberdaya pertanian dan rendahnya tingkat kesesuaian jenis usahatani terhadap kondisi lokal. Situasi ini mengakibatkan sistem usahatani yang dikembangkan belum mampu memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Kondisi ini diperburuk oleh kurangnya penyuluhan pertanian, pemakaian pupuk kimia yang berlebihan, kurangnya dukungan alat dan mesin pertanian (alsintan), serta kurangnya perhatian terhadap faktor lingkungan (Irianto et al., 2003).

Pada hakekatnya, sistem usahatani berkelanjutan menganut konsep back to nature, yakni sistem usahatani yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras, dan seimbang dengan lingkungan atau usahatani yang patuh dan tunduk pada kaidah-kaidah alamiah (Salikin, 2003). Upaya manusia yang mengingkari kaidah-kaidah ekosistem dalam jangka pendek mungkin mampu memacu produktivitas lahan dan hasil, namun dalam jangka panjang biasanya hanya akan berakhir dengan kerusakan lingkungan, yang berarti produktivitas lahan juga akan mengalami penurunan.

Menurut Marten (2001), pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pemenuhan kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kecukupan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan tidak berarti berlanjutnya pertumbuhan ekonomi semata, karena bidang ekonomi tergantung pada keterbatasan kapasitas sumber daya alam yang ada. Munasinghe (1993) menyatakan bahwa prasyarat tercapainya pembangunan berkelanjutan adalah keseimbangan tiga aspek utama yaitu ekologi, ekonomi dan sosial.


(21)

Dalam bidang pembangunan pertanian, penerapan konsep pembangunan berkelanjutan khususnya untuk sistem usaha tani perlu mengintegrasikan ketiga aspek tersebut yaitu ekologi, ekonomi dan sosial (Arifin, 2001). Dari aspek ekologi (lingkungan) diharapkan tidak terjadi degradasi lingkungan, dari aspek ekonomi kegiatan harus berorientasi pada peningkatan pendapatan petani (layak), dan dari aspek sosial, kegiatan bertujuan untuk memberikan rasa keadilan dan pemerataan kepada semua pihak yang berkepentingan dengan pembangunan pertanian.

Namun, pengembangan sistem usahatani dengan pendekatan konsep pembangunan berkelanjutan saja ternyata belum cukup untuk memberikan hasil yang optimal. Sampai saat ini dalam pelaksanaan sistem usahatani petani laki-laki dan perempuan sebagai pelaku utama dalam kegiatan sistem usahatani belum memberikan perannya secara optimal. Kesetaraan peran laki-laki dan perempuan dalam pengembangan sistem usahatani diharapkan dapat memberikan pengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi secara nasional, mengingat pertanian merupakan mata pencaharian utama bagi 50 persen lebih penduduk Indonesia.

Pertanian sebagai mata pencaharian lebih dari 50 persen penduduk Indonesia merupakan sektor yang relatif banyak menyerap tenaga kerja perempuan. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 1999 menunjukkan bahwa dari sejumlah 47 juta penduduk berumur 10 tahun ke atas, terdapat 23 juta orang yang lapangan pekerjaan utamanya di sektor pertanian, dengan rasio perempuan per laki-laki sebesar 43,7 persen untuk di perkotaan dan 63,1 persen untuk di perdesaan. Dilaporkan bahwa perempuan yang berfungsi sebagai kepala rumahtangga semakin meningkat jumlahnya, yaitu sekitar 13,2 persen pada tahun 1999 (BPS, 2000). Data tersebut menunjukkan peranserta perempuan berpotensi untuk diikutsertakan dalam kegiatan pengembangan sistem usahatani.

Mayoritas perempuan perdesaan kurang memiliki akses terhadap sumberdaya pertanian seperti terbatasnya akses dan hak atas lahan dan sumberdaya lainnya. Tanpa akses sumberdaya yang memadai,


(22)

perempuan perdesaan tidak dapat menerima insentif yang cukup untuk mengelola sumberdaya alam dan konsekuensinya pembangunan

perdesaan akan terhambat (Rwelamira, 1999). Perbedaan akses antara

laki-laki dan perempuan tersebut menjadi salah satu penyebab terjadinya kesenjangan gender. Kondisi ini pada akhirnya berdampak pada lemahnya kontrol, manfaat, dan partisipasi perempuan dalam kegiatan usahatani secara keseluruhan.

Penelitian tentang kebijakan sistem usahatani berkelanjutan yang responsif gender perlu dilakukan agar kegiatan usahatani menjadi optimal dan terjaminnya kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Penelitian

dilakukan menggunakan pendekatan Social-Economic And Gender

Analysis (SEAGA). Melalui pendekatan SEAGA yang dilakukan secara partisipatif dengan menempatkan masyarakat petani sebagai bagian penting dalam proses pengambilan keputusan dan pemanfaatan sumberdaya pada tingkat lapangan (Micro level), maka masyarakat petani secara bersama-sama dapat melakukan pemahaman tentang kondisi kehidupan mereka sehingga diharapkan dapat membuat rencana dan tindakan yang berhasil guna (FAO, 2001).

Secara kuantitatif pola relasi antara laki-laki dan perempuan tersebut ditunjukkan dalam bentuk nilai indeks keadilan dan kesetaraan gender (IKKG).

Pola relasi gender pada setiap pola usahatani yang ditemukan di lokasi penelitian dalam bentuk nilai IKKG dijadikan dasar untuk menyusun arahan kebijakan apa yang diperlukan agar peran petani laki-laki dan perempuan dapat secara optimal.

1.2. Rumusan Masalah

Sistem usahatani konvensional yang selama ini dilaksanakan oleh masyarakat petani belum memperhatikan kelestarian lingkungan, terutama dalam hal pengolahan tanah dan pemilihan komoditas yang diusahakan. Sistem usahatani yang dikembangkan sekarang masih didominasi oleh kepentingan ekonomi yang berorientasi pada peningkatan pendapatan


(23)

fokus perhatian. Peran laki-laki masih mendominasi hampir pada semua tahapan kegiatan usahatani, baik dalam perencanaan maupun dalam pengambilan keputusan.

Kegiatan usahatani yang dilakukan pada saat ini, selain menghasilkan berbagai produk untuk memenuhi permintaan konsumen, juga menimbulkan berbagai eksternalitas negatif antara lain: 1) polusi udara dari gas metan; 2) polusi tanah, air dan udara dari pestisida dan herbisida; 3) polusi perairan dan udara dari sisa pupuk yang tidak diserap oleh tanaman, dan 4) erosi tanah oleh angin dan air (Adnyana, 2001). Dalam perspektif gender, dominasi laki-laki dalam kegiatan usahatani memberikan dampak kurang optimalnya akses dan kontrol perempuan dalam kegiatan usahatani. Sistem usahatani yang lebih didominasi laki-laki tersebut menjadi faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, maka pertanyaan penelitian ini adalah:

1. Apa aspek prioritas dan variabel utama dalam sistem usahatani berkelanjutan ?.

2. Apa pola usahatani yang paling memenuhi kriteria berkelanjutan ?. 3. Bagaimana pola relasi gender pada setiap pola usahatani ?.

4. Bagaimana rumusan arahan kebijakan sistem usahatani berkelanjutan responsif gender?.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menentukan aspek prioritas dan variabel utama dalam sistem usahatani berkelanjutan.

2. Menganalisis keberlanjutan berbagai pola usahatani.

3. Menganalisis pola relasi gender pada setiap pola usahatani.

4. Merumuskan arahan kebijakan sistem usahatani berkelanjutan responsif gender.


(24)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk:

1. Pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang pertanian yang memperhatikan aspek lingkungan, ekonomi, sosial dan gender.

2. Meningkatkan perhatian semua stakeholder terhadap aspek

lingkungan, ekonomi dan sosial serta gender dalam pengembangan sistem usahatani.

3. Sebagai masukan bagi para pengambil keputusan dalam menyusun perencanaan dan program pembangunan pertanian yang sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan dan memperhatikan kesetaraan gender.

1.5. Novelty

1. Mengkombinasikan analisis sistem usahatani berkelanjutan dengan

analisis gender melalui pendekatan instrumen SEAGA ( Social

Economic And Gender Analysis ) untuk mengukur pola relasi gender dari setiap pola usahatani secara kuantitatif dalam bentuk Indeks Keadilan dan Kesetaraan Gender (IKKG).

2. Memformulasikan arahan kebijakan sistem usahatani berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan (lingkungan, ekonomi, dan sosial) dan gender berdasarkan akses dan kontrol laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya pertanian dan tahapan kegiatan usahatani yang dilakukan.

1.6. Kerangka Pikir Penelitian

Pengembangan sistem usahatani melalui pendekatan ekonomi semata tidak dapat menjamin keberlanjutan usahatani dalam jangka panjang, sehingga diperlukan kombinasi yang seimbang antara aspek: lingkungan, ekonomi, dan sosial sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Aspek yang menjadi prioritas dalam pegembangan sistem usahatani disuatu daerah/wilayah berbeda-beda, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah/wilayah yang bersangkutan.


(25)

Dalam pelaksanaan penelitian dilakukan analisis pola usahatani di derah penelitian. Berdasarkan pola usahatani yang diidentifikasi akan dibuat prioritas pola usahatani yang paling memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan.

Pengembangan sistem usahatani dengan memperhatikan konsep pembangunan berkelanjutan saja ternyata juga belum dapat memberikan manfaat yang optimal bagi petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian jika dilihat dalam perspektif gender. Peran laki-laki yang lebih dominan dalam hal akses dan kontrol pada sistem usahatani menyebabkan ketidaksetaraan gender,

Pola usahatani yang telah teridentifikasi sebelumnya akan di analisis berdasarkan peran laki-laki dan perempuan. Pendekatan SEAGA digunakan untuk analisis ini. Dengan menggunakan pendekatan SEAGA akan diperoleh gambaran secara kualitatif tentang kondisi sosial dan ekonomi masyarakat petani yang ditinjau dari sudut pandang laki-laki (suami) dan perempuan (isteri). Selanjutnya, hasil analisis SEAGA tersebut dikuantifikasi menggunakan rumus Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG) sehingga diperoleh gambaran pola relasi gender dalam bentuk askes dan kontrol terhadap sumberdaya dan tahapan kegiatan usahatani pada setiap pola usahatani yang ada di lokasi penelitian.

Berdasarkan hasil analisis pola usahatani berkelanjutan dan pendekatan SEAGA secara partisipatif dalam bentuk nilai IKKG, dapat dirumuskan arahan kebijakan sistem usahatani berkelanjutan responsif gender di Kabupaten Karanganyar. Secara skematis kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.


(26)

Gambar 1. Kerangka pikir penelitian kebijakan sistem usahatani berkelanjutan responsif gender di Kabupaten Karanganyar.

Pemetaan Kondisi Usahatani

Pola Usahatani di Lokasi Penelitian

Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender

(IKKG)

Pemetaan Pola Relasi Gender Untuk Setiap

Pola Usaha tani SEAGA

Prioritas Pola Usahatani

Pola Relasi Gender

Survey

Usahatani Berkelanjutan

AHP

Pola Relasi Gender

Arahan Kebijakan Sistem Usahatani Berkelanjutan

Responsif Gender Kondisi

Usahatani saat ini


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Usahatani Berkelanjutan

Usahatani merupakan suatu industri biologis yang memanfaatkan materi dan proses hayati untuk memperoleh laba yang layak bagi pelakunya yang dikemas dalam berbagai subsistem mulai dari subsistem praproduksi, produksi, panen, pascapanen, distribusi, dan pemasaran (Adnyana, 2001). Menurut Bachtiar Rifai dalam Soehardjo dan Dahlan (1973) usahatani adalah setiap organisasi dari alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan pada produksi di lapangan pertanian, dimana tatalaksana organisasi tersebut dilaksanakan oleh seseorang atau sekumpulan orang-orang. Definisi usahatani menurut Fardiyanti dalam Sunarso (2005) adalah kegiatan di bidang pertanian yang mengorganisasikan alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan untuk produksi di bidang pertanian. Usahatani merupakan kegiatan yang menggunakan faktor produksi (sumberdaya alam, modal, dan tenaga kerja) untuk menghasilkan produk pertanian yang bermanfaat bagi manusia.

Faktor-faktor produksi dalam usahatani antara lain: faktor produksi alam, faktor produksi tenaga kerja, faktor produksi modal dan pengelolaan. Modal menurut Soehardjo dan Dahlan (1973) adalah barang-barang bernilai ekonomi yang digunakan untuk menghasilkan tambahan kekayaan atau meningkatkan produksi. Modal dalam usahatani yaitu:

1. Tanah beserta bagian-bagian yang terdapat di atasnya seperti tanggul saluran air.

2. Bangunan-bangunan seperti; kandang ternak, lumbung, gudang.

3. Alat-alat pertanian dan mesin: alat-alat sederhana yaitu: bajak, garu, cangkul, linggis, mesin traktor, pengolah tanah, mesin penanam dan mesin pemungut hasil.


(28)

5. Sarana produksi pertanian yang terdiri dari; bibit, pupuk, obat pengendali hama dan penyakit tanaman.

6. Uang tunai untuk membeli perlengkapan produksi yang diperlukan.

Menurut Mosher dalam Soehardjo dan Dahlan (1973) pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani dalam menentukan, mengorganisasi dan mengkoordinasi penggunaan faktor-faktor produksi seefektif mungkin sehingga produksi pertanian memberikan hasil yang lebih baik. Pengelolaan usahatani terdiri dari beberapa tahapan pengambilan keputusan. Dalam pengambilan keputusan, petani dihadapkan pada berbagai prinsip usahatani yaitu :

1. Penentuan perkembangan harga.

Pengetahuan tentang harga faktor produksi dan komoditas yang akan diusahakan relatif penting karena keuntungan usaha tergantung pada harga yang berlaku.

2. Kombinasi beberapa cabang usaha.

Jika terdapat lebih dari satu cabang usaha, seorang petani akan dihadapkan pada pilihan kombinasi yang baik sehingga didapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya dalam setahun.

3. Pemilihan cabang usaha.

Penentuan cabang usahatani dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik dan ekonomi seperti: luas usahatani, tipe usahatani, produktivitas tanah, persediaan tenaga kerja, biaya mendirikan cabang usaha, keadaan harga di waktu cabang usaha itu menghasilkan.

4. Penentuan cara produksi yang terdiri dari : penentuan jumlah dan jenis pupuk yang digunakan, jarak tanam, cara bercocok tanam dan sebagainya.

5. Pembelian sarana produksi yang diperlukan.

Petani perlu menentukan apakah uang yang dimilikinya hendak digunakan untuk membeli makanan, pupuk atau membeli peralatan.


(29)

6. Pemasaran hasil pertanian.

Masalah pemasaran yang sering dihadapi petani adalah: waktu, tempat, cara penjualan, kualitas produksi, cara pengepakan yang efisien, alat yang digunakan dan lain-lain.

7. Pembiayaan usahatani yaitu biaya jangka panjang (biaya

pengembangan dan perluasan usaha) dan biaya jangka pendek (biaya pertanaman, biaya perbaikan alat, serta biaya hidup petani dan keluarganya selama menunggu musim panen).

8. Pengelolaan modal dan pendapatan.

Perubahan usahatani ke arah yang lebih komersiil untuk memperoleh peningkatan pendapatan merupakan masalah karena kurangnya modal yang mereka miliki. Pendapatan yang diperoleh dari hasil produksi kebanyakan ditujukan untuk konsumsi keluarga.

Usahatani dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu subsisten dan komersial. Usahatani subsisten ditujukan untuk kebutuhan keluarga dengan penggunaan alat yang masih sederhana, sedangkan usahatani komersial lebih berorientasi bisnis dan diarahkan pada pemenuhan permintaan pasar agar keuntungan yang diperoleh semakin besar.

Sistem usahatani dikatakan berkelanjutan jika dalam pengelolaannya menerapkan teknologi yang ramah lingkungan atau tidak menimbulkan eksternalitas negatif pada lingkungan baik lingkungan biofisik maupun lingkungan sosial ekonomi pada tingkat mikro maupun makro. Menurut Adnyana (2001) beberapa strategi yang dapat diterapkan sebagai suatu upaya untuk mewujudkan sistem usahatani berkelanjutan, yaitu :

1) Sistem usahatani yang ingin dicapai sedapat mungkin diwujudkan melalui pemanfaatan sumberdaya internal untuk mensubstitusi penggunaan sumberdaya eksternal.

2) Mengurangi penggunaan pupuk buatan yang bersumber dari sumberdaya yang tidak dapat pulih (pupuk anorganik).

3) Menekan intensitas penggunaan pestisida dan herbisida serta penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) secara massal.


(30)

4) Memperluas penerapan rotasi tanaman dan diversifikasi horizontal untuk meningkatkan kesuburan tanah, pengendalian hama dan penyakit, meningkatkan produktifitas dan menekan resiko.

5) Mempertahankan residu tanaman maupun input eksternal serta penanaman tanaman penutup tanah guna mempertahankan kelembaban dan kesuburan tanah.

Menurut Suryana,et al (1998), konsep berkelanjutan mengandung pengertian, bahwa pengembangan produk pertanian harus tetap memelihara kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna menjaga keberlanjutan pertanian dalam jangka panjang lintas generasi (inter-generational sustainability), antara lain dengan mengembangkan sistem usahatani konservasi, penerapan pengendalian hama terpadu (PHT), dan kepatuhan pada prosedur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pertanian. Departemen Pertanian (2001) mengemukakan bahwa dalam pengembangan sistem usahatani perlu diterapkan prinsip berkelanjutan. Prinsip ini mengandung ciri bahwa dalam pengembangan sistem usahatani perlu memiliki kemampuan merespon perubahan pasar, inovasi teknologi yang terus-menerus, menggunakan teknologi yang ramah lingkungan dan mengupayakan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Strategi untuk mewujudkan sistem usahatani lebih sering dikaitkan dengan keberlanjutan dalam meningkatkan efisiensi penggunaan input eksternal dari bahan kimiawi, khususnya pupuk buatan dan pestisida maupun herbisida. Berbagai negara dengan sistem usahatani yang sudah maju, menerapkan sistem usahatani dengan input eksternal rendah (Low External Input Sustainable Agriculture, LEISA). Argumen untuk meningkatkan efisiensi penggunaan input eksternal meliputi sumber energi fosil, menekan biaya produksi, meningkatkan kemampuan untuk swasembada, sadar terhadap bahaya polusi pada kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan (Conway dan Barbier, 1990).

Penggunaan pupuk organik pada lahan pertanian mampu memperbaiki struktur tanah sehingga aerasi di dalamnya menjadi lancar


(31)

dan dapat mengikat unsur Al (aluminium), Mg (magnesium), dan Fe (besi), sehingga unsur pospornya menjadi bebas dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Di samping itu, penggunaan pupuk organik membuat produk pertanian lebih aman untuk dikonsumsi. Dari segi harga jual produk pertanian organik memiliki harga jual yang lebih tinggi dari pada produk pertanian yang menggunakan pupuk anorganik.

Menurut Pambudy (1999), sejalan dengan perkembangan pembangunan bidang pertanian, kegiatan usahatani dilaksanakan pendekatan teknis, pendekatan terpadu, dan pendekatan agribisnis.

1. Pendekatan Teknis

Pendekatan teknis dilakukan dengan tujuan peningkatan produksi pertanian, sehingga dapat memenuhi tuntutan kebutuhan pembangunan pertanian dengan upaya: (a) penggunaan bibit unggul; (b) menekan kejadian hama dan penyakit tanaman melalui kegiatan penolakan, pencegahan, penyidikan, pemberantasan, dan pengendalian penyakit; dan (c) penggunaan pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman.

2. Pendekatan Terpadu

Pengalaman menunjukkan bahwa berbagai upaya pendekatan teknis yang dilakukan ternyata tidak mampu memenuhi tuntutan kebutuhan pembangunan. Untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan pendapatan petani maka diterapkan pendekatan terpadu dengan cara melakukan pembinaan secara pasif melalui tiga penerapan teknologi, yaitu teknologi produksi, ekonomi, dan sosial.

Penerapan teknologi produksi dilakukan melalui: perbaikan mutu bibit, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan pengolahan tanah. Sebagai pendukung penerapan teknologi produksi diterapkan pula teknologi ekonomi berupa perbaikan pasca panen dan pemasaran, sedangkan penerapan teknologi sosial dilakukan dengan mengorganisir petani dalam kelompok tani dan koperasi.


(32)

3. Pendekatan Agribisnis

Istilah agribisnis pertama kali muncul tahun 1950-an sebagai istilah yang digunakan terhadap gugus industri (cluster industry) yang melakukan pendayagunaan sumberdaya hayati (Pambudy et al., 2001). Berdasarkan pendekatan etimologis pengertian agribisnis adalah usaha dagang yang berbasis pada semua kegiatan yang memanfaatkan tanah atau lahan sebagai basis budidaya (agri berarti tanah atau lahan dan bisnis berarti usaha dagang). Sistem agribisnis berarti pemanfaatan tanah atau lahan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan usahatani yang berorientasi pada peningkatan pendapatan petani. Pengertian agribisnis saat ini tidak hanya terbatas pada pengertian berdasarkan etimologis, akan tetapi telah meluas seiring dengan tuntutan aspirasi dan tantangan global yang dikaitkan dengan semangat modernisasi dan aktualisasi kehidupan di berbagai bidang.

Sistem agribisnis merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian secara simultan (dalam arti luas) dengan pembangunan industri dan jasa terkait dalam suatu kluster industri (industrial cluster) pertanian yang mencakup empat subsistem Saragih (2000). Keempat subsistem tersebut adalah : (1) Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribussiness), yaitu kegiatan ekonomi (produksi dan perdagangan) yang menghasilkan sapronak seperti bibit, pupuk, dan

pestisida; (2) Subsistem agribisnis budidaya pertanian (on-farm

agribussiness) yaitu, kegiatan ekonomi yang selama ini kita sebut sebagai kegiatan budidaya pertanian; (3) Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribussiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah dan memperdagangkan hasil pertanian; (4) Subsistem jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa bagi kegiatan usahatani seperti perbankan, asuransi, koperasi, trasportasi, Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan dan penelitian.

Menurut Irawan dan Pranadji (2002), agribisnis merupakan sistem terpadu yang meliputi empat bagian (subsistem) yaitu:1) Subsistem


(33)

pengadaan dan distribusi sarana/prasarana produksi yang akan dipergunakan sebagai input produksi pada subsistem budidaya, 2). Subsistem produksi atau usahatani, yang akan menghasilkan produk pertanian primer, misalnya daging, beras, jagung dan lain-lain, 3). Subsistem pengolahan hasil dan pemasaran, dan 4). Subsistem pelayanan pendukung, berupa fasilitas jalan, kredit, kebijakan pemerintah, dan lain-lain. Dengan demikian dapat diartikan secara substansial pengertian sistem agribisnis dari kedua teori tersebut tidak ada perbedaan.

Sebagai suatu sistem, keempat subsistem agribisnis beserta usaha-usaha di dalamnya berkembang secara simultan dan harmonis, sebagaimana disajikan pada Gambar 2 (Departemen Pertanian, 2001).

Subsistem Agribisnis Hulu

Sistem produksi dan distribusi sarana dan alat-alat pertanian:

• Bibit

• Pupuk

• Pestisida

• Lahan

• Mesin dan alat

• Tenaga kerja

Subsistem Agribisnis Budidaya

Sistem kegiatan produksi usahatani primer, penanganan dan

pemasaran produk-produk primer:

• Pengolahan lahan

• Antisipasi iklim/cuaca

• Pencegahan penyakit

• Pemberantasan penyakit

• Pembelian sarana produksi

• Manajemen

• Kegiatan produksi

Subsistem Lembaga Penunjang

• Penyediaan sarana usaha (agrisupport) dan pengaturan iklim usaha (agriclimate):

• Prasarana (jalan, pasar, kelompok tani, koperasi, lembaga keuangan, dan lain-lain).

• Sarana (transpotasi, informasi, kredit, peralatan, dan lain-lain)

• Kebijakan (RUTR, Makro, Mikro, dan lain-lain).

• Penyuluhan

Subsistem Agribisnis Hilir

Sistem pengumpulan produk primer pertanian, pengolahan produk, distribusi dan pemasaran produk olahan sampai ke konsumen akhir.

Gambar 2. Lingkup pembangunan sistem agribisnis

2.2. Gender

Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan dukungan masyarakat itu sendiri (Anonim,


(34)

2001). Pengertian gender menurut Handayani dan Sugiarti (2002) adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor sosial maupun budaya sehingga timbul beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Bentukan tersebut misalnya laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa, sedangkan perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu. Gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan (memilih dan memisahkan) peran antara laki-laki dan perempuan. Secara kodrati laki-laki-laki-laki dan perempuan memiliki

perbedaan yang mendasar, terutama laki-laki dikodratkan memiliki alat kelamin yang sifatnya memberi dan perempuan memiliki alat

reproduksi yang sifatnya menerima. Fungsi kodrati ini tidak dapat dipertukarkan. Perbedaan secara kodrati inilah yang secara turun temurun menjadikan perempuan memiliki kedudukan dan peran yang berbeda dengan laki-laki. Hal ini berkaitan dengan faktor sosial, geografis dan kebudayaan suatu masyarakat. Perempuan tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksikan secara sosial. Banyak mitos dan kepercayaan yang menjadikan kedudukan perempuan berada lebih rendah daripada laki-laki. Perbedaan konsep seks dan gender dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbedaan Seks dan Gender

No. Karakteristik Seks Gender

1. Sumber pembeda Tuhan Manusia (masyarakat)

2. Visi, misi Kesetaraan Kebiasaan

3. Unsur pembeda Biologis (alat reproduksi)

Kebudayaan (tingkah laku)

4. Sifat Kodrat, tertentu, tidak dapat dipertukarkan

Harkat, martabat dapat dipertukarkan


(35)

Tabel 1 (lanjutan)

No. Karakteristik Seks Gender

5. Dampak Terciptanya nilai-nilai kesempurnaan,

kenikmatan, kedamaian, dll. Sehingga

menguntungkan kedua pihak.

Terciptanya norma-norma/ketentuan tentang “pantas” atau “tidak pantas”. Laki-laki “pantas” menjadi pemimpin,

perempuan “pantas” dipimpin dll. Sering merugikan salah satu pihak, kebetulan adalah perempuan.

6. Keberlakuan Sepanjang masa, dimana saja, tidak mengenal pembedaan kelas.

Dapat berubah, dan berbeda antar kelas.

Sumber: Sugiarti dan Handayani (2002)

Sistem budaya patriarkhi merupakan sistem budaya yang berakar dari nilai-nilai, norma-norma dan tatanan sosial budaya masyarakat yang terbentuk akibat pemahaman yang keliru dan bias terhadap kodrat dan peran perempuan. Dalam proses sosialisasi, perempuan diorientasikan sebagai penanggung jawab keluarga atas segala kegiatan yang berhubungan dengan rumahtangga, seperti pengasuhan anak. Laki-laki diorientasikan dengan kegiatan ekonomi dan politik. Pengaruh sistem budaya patriarkhi yang telah memasuki tatanan sosial budaya masyarakat Indonesia nampak dari konstruksi sosial yang membentuk dikotomi pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada jenis kelamin.

Menurut Fakih (1996), budaya patriarkhi adalah suatu sistem sosial dalam tata kekeluargaan dimana ayah menguasai semua anggota keluarga, semua harta milik dan sumber-sumber ekonomi, serta membuat keputusan penting. Sistem sosial yang patriarkhi mengalami perkembangan dalam hal lingkup institusi sosial, diantaranya pada


(36)

lembaga perkawinan, institusi ketenagakerjaan, dan lain-lain. Pengertiannya pun berkembang dari “hukum ayah” ke “hukum suami”, “hukum bos laki-laki” dan “hukum laki-laki” secara umum. Penerapan hukum ini dapat dilihat pada hampir semua institusi sosial, politik dan ekonomi. Perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Ketidakadilan gender merupakan suatu sistem dan struktur dimana laki-laki serta perempuan menjadi korban dari sistem tersebut Fakih (1996) menyatakan bahwa perbedaan gender yang melahirkan ketidakadilan dapat dilihat melalui berbagai manifestasi sebagai berikut:

1. Gender dan marginalisasi perempuan

Marginalisasi adalah proses pemiskinan ekonomi yang dapat menimpa baik laki-laki maupun perempuan. Kemiskinan yang terjadi dapat disebabkan oleh penggusuran, bencana alam dan eksploitasi. Terdapat bentuk pemiskinan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu yaitu perempuan yang disebabkan oleh gender. Proses marginalisasi perempuan dapat berbeda dilihat dari jenis, bentuk, tempat dan waktu. 2. Gender dan subordinasi

Pandangan gender dapat menyebabkan subordinasi terhadap perempuan. Pandangan bahwa perempuan adalah irrasional dan emosional memberikan anggapan bahwa perempuan tidak dapat tampil untuk memimpin sehingga menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Contoh kasusnya adalah: anggapan masyarakat jawa bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan bekerja di dapur.

3. Gender dan stereotipi

Stereotipi adalah penandaan atau pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu. Stereotipi selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu umumnya perempuan yang bersumber dari penandaan atau stereotipi yang dilekatkan pada mereka.


(37)

4. Gender dan kekerasan

Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut gender-related violence. Bentuk kekerasan gender antara lain; bentuk pemerkosaan, tindakan pemukulan dan serangan fisik dalam rumahtangga, bentuk penyiksaan, kekerasan dalam bentuk pelacuran, dan kekerasan dalam bentuk pornografi. 5. Gender dan beban kerja

Stereotipi bahwa perempuan memiliki sifat memelihara, rajin, cocok menjadi ibu rumahtangga menyebabkan pekerjaan domestik rumahtangga menjadi tanggung jawab perempuan. Pada keluarga miskin, beban ini harus ditanggung oleh perempuan sendiri. Terlebih lagi jika perempuan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka ia memikul beban ganda. Pekerjaan domestik tersebut dianggap rendah dan bukan termasuk pekerjaan produktif sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Bagi golongan menengah dan kaya, beban kerja dilimpahkan pada pembantu rumahtangga.

2.3. Gender danRumah tangga Pertanian

Menurut Nurhilaliah (2003), rumahtangga pertanian adalah

rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, budidaya ikan, melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak/unggas atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual atau untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan atas resiko sendiri. Rumahtangga petani monokultur sayuran adalah rumahtangga yang salah satu atau lebih anggota rumahtangganya kegiatan utamanya adalah mengusahakan tanaman sayuran dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual atau untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan atas resiko sendiri.


(38)

Roger dan Shoemaker dalam Nurhilaliah (2003) mengemukakan tiga karakteristik yang melekat pada masyarakat petani sebagai adopter inovasi yaitu status sosial ekonomi, kepribadian dan perilaku komunikasi. Karakteristik sosial ekonomi meliputi: umur, tingkat pendidikan, tingkat melek huruf, status sosial, mobilitas sosial, luas lahan, orientasi usaha, dan sikap terhadap kredit. Karakteristik kepribadian diantaranya: empati, dogmatisme, sikap terhadap perubahan, sikap terhadap resiko, aspirasi (terhadap pekerjaan dan pendidikan) serta motivasi, sementara perilaku komunikasi mencakup partisipasi sosial, integrasi sosial, perilaku kosmopolit, kontak dengan penyuluh dan media massa.

Peranan gender menurut Mugniesyah dalam Meliala (2006) adalah perilaku yang diajarkan pada setiap masyarakat, komunitas dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan aktivitas-aktivitas, tugas-tugas dan tanggung jawab tertentu dipersepsikan sebagai peranan perempuan dan laki-laki. Terdapat tiga peranan dalam rumahtangga yaitu peranan reproduktif, produktif, serta pengelolaan masyarakat. Ketiga peranan tersebut oleh Sajogyo (1993) dikategorikan sebagai peranan yang terkait dengan kedudukan perempuan: yaitu berturut-turut sebagai isteri atau ibu rumahtangga, sebagai pencari nafkah dan sebagai anggota masyarakat.

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dalam Meliala (2006)

kegiatan produktif merupakan kegiatan yang dilakukan oleh anggota masyarakat dalam rangka mencari nafkah dan disebut sebagai kegiatan ekonomi karena menghasilkan uang secara langsung. Kegiatan reproduktif yaitu kegiatan yang berhubungan erat dengan pemeliharaan dan pengembangan serta menjamin kelangsungan sumberdaya manusia dan biasanya dilakukan dalam keluarga. Kegiatan ini tidak menghasilkan uang secara langsung dan biasanya dilakukan bersamaan dengan tanggung jawab domestik atau kemasyarakatan dan dalam beberapa referensi yang disebut reproduksi sosial. Kegiatan politik dan sosial budaya atau kemasyarakatan adalah kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat yang berhubungan dengan bidang politik, sosial dan kemasyarakatan serta mencakup penyediaan dan pemeliharaan


(39)

sumberdaya yang digunakan oleh setiap orang seperti air, sekolah, pendidikan dan lain-lain.

Gender pada dasarnya membahas permasalahan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat agar terjadi keadilan dan kesetaraan. Kesetaraan gender adalah suatu kondisi yang setara, seimbang, dan sederajat dalam hubungan peran, kedudukan, fungsi, hak, dan tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki, sedangkan keadilan gender mengandung pengertian suatu kondisi dan perlakuan yang adil tanpa ada perbedaan dalam hubungan peran, fungsi, kedudukan, hak, dan tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki.

2.4. Gender dan Pembangunan Berkelanjutan

Kesetaraan gender merupakan salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian dalam menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan, karena pembangunan berkelanjutan secara sederhana diartikan sebagai perpaduan tujuan sosial, ekonomi dan ekologi. Menurut konsepnya, perpaduan ini dapat dimengerti dan diterima tetapi dalam penerapannya tidak sederhana. Masing-masing tujuan tersebut perlu pendekatan yang tepat agar manfaat yang diperoleh menjadi optimal. Pendekatan yang tepat untuk melakukan tujuan sosial, ekonomi dan ekologi adalah pendekatan keruangan (spasial). Yang berarti penataan ruang dengan segala komponen dan proses yang ada di dalamnya menjadi bagian penting dalam pengelolaan sumberdaya pertanian secara berkelanjutan.

Pendekatan keruangan dalam upaya menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumberdaya pertanian dimulai dari tahap penyusunan rencana dan pengendalian yang mengintegrasikan antara ruang sosial, ruang ekonomi dan ruang ekologi. Apabila konsep semacam ini belum dibangun, maka diperlukan upaya yang lebih besar dan kompleks untuk melakukan pemaduan, karena bisa jadi aktivitas ekonomi dan kerusakan ekologi akan memberikan dampak sosial bagi masyarakat Jika hal ini terjadi, perencanaan pengelolaan sistem usahatani akan berhadapan dengan kepentingan masyarakat yang


(40)

mempunyai tujuan yang berbeda, sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa, telah muncul konflik kepentingan yang tajam dalam merencanakan dan pengelolaan suatu sumberdaya pembangunan,

Gerakan Perempuan Peduli Lingkungan Hidup (GPPLH) Berkelanjutan di Jakarta Utara merupakan model kiprah perempuan yang memberikan peran yang begitu besar dalam upaya menciptakan lingkungan yang bersih, sehat dan produktif. Model ini dapat diadopsi untuk diterapkan di berbagai wilayah dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan, termasuk pengembangan sistem usahatani. Peran perempuan ternyata dapat memberikan sentuhan kebersamaan dan keharmonisan dalam suatu ikatan yang kuat untuk secara bersama-sama mengelola suatu sumberdaya dan memberikan hasil yang memuaskan dan produktif (Dewanto et al, 2004).

Dalam KTT Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 2002 di Johannesburg telah disepakati bahwa kelompok perempuan mempunyai peran yang penting bagi keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup. Sebagai salahsatu di antara sembilan kelompok utama yang menjadi ujung tombak pengelolaan lingkungan, peran kelompok perempuan dalam pengelolaan lingkungan hidup perlu ditingkatkan dan diberdayakan agar dapat memiliki posisi tawar yang cukup untuk memperjuangkan hak mereka atas lingkungan yang baik dan sehat. Hal tersebut dapat direalisasikan jika pengarusutamaan gender diterapkan dalam pengelolaan lingkungan hidup (Rwelamira, 1999).

Pengarusutamaan gender dalam pengembangan sistem usahatani

akan meningkatkan partisipasi, fungsi kontrol, distribusi sumberdaya, dan tanggungjawab masyarakat dalam pengelolaan usahatani. Hal ini diperkuat oleh Dokumen Agenda 21 Sektoral yang secara khusus membahas kondisi, kedudukan dan hak laki-laki dan perempuan dalam berbagai program pembangunan. Kesetaraan gender dalam program pembangunan dapat dilihat pada indikator sebagai berikut: 1) apakah perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh kredit usaha dan sumberdaya modal lainnya, 2) apakah perempuan


(41)

mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, dan 3) apakah perempuan memiliki peran dan fungsi yang sama dengan laki-laki dalam berbagai program kegiatan konservasi lingkungan.

Keperluan perspektif gender dalam pengembangan sistem usahatani secara berkelanjutan didasari oleh kondisi-kondisi sebagai berikut (Mitchell et al. 2003).

1. Perempuan dilihat sebagai ”kapital” dalam proses transformasi sosial ekonomi. Hal ini menyebabkan munculnya usaha yang cukup kuat untuk membicarakan dan mendorong ”partisipasi perempuan” yang lebih besar dalam berbagai kegiatan program pembangunan.

2. Tanggungjawab perempuan dalam menyediakan makanan yang sehat, air bersih, dan bahan bakar dan beban tersebut semakin bertambah pada saat sumber bahan makanan, bahan bakar, dan air berkurang. Perempuan cenderung mempunyai minat yang besar dalam melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan agar dapat dimanfaatkan secara lestari.

3. Peran ganda perempuan dalam pekerjaan reproduktif, produktif, dan sosial kemasyarakatan berimplikasi pada kondisi, perempuanlah yang harus memulai kerja setiap hari, dan seringkali perempuan juga yang paling akhir berhenti bekerja.

4. Banyak kegiatan produktif dan kemasyarakatan dalam hal ekonomi tidak terlihat, sehingga kontribusi perempuan terhadap keluarga, masyarakat dan negara seringkali tidak dinilai oleh keluarga dan pemimpin-pemimpin politik.

5. Semakin kecilnya kesempatan perempuan untuk mencari pendapatan tambahan mengakibatkan status dan kekuasaan perempuan dalam keluarga dan masyarakat semakin berkurang.

6. Kurangnya keterlibatan perempuan dalam kegiatan politik kemasyarakatan, terutama dalam pembuatan keputusan, menyebabkan adanya bias gender, sehingga peran perempuan


(42)

menjadi status quo, dianggap perempuan memang lebih rendah daripada laki-laki.

Pengembangan sistem usahatani berkelanjutan responsif gender memberikan penekanan pada peningkatan kemampuan dan peran perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki. Pembangunan yang responsif gender lebih menekankan pendekatan untuk pengelolaan yang bersifat dari bawah ke atas (bottom up) daripada dari atas ke bawah (top down).Responsif gender memberi fasilitas kepada perempuan agar lebih menjadi percaya diri, melalui perubahan transformasi kebiasaan serta struktur, seperti peraturan ketenagakerjaan, peraturan sipil, kebiasaan serta hak berdasarkan agama dan budaya.

Analisis gender dapat dilaksanakan dengan baik, bila pengertian pengertian antara kata akses, kontrol, manfaat, dan partisipasi dapat dibedakan. Akses didefinisikan sebagai peluang untuk berpartisipasi, menggunakan, atau mendapatkan manfaat dari sumberdaya alam. Kontrol merujuk pada dominasi, kepemilikan, dan kemampuan untuk menentukan bagaimana sumberdaya digunakan. Sebagai contoh, perempuan dapat menggunakan tanah untuk bercocok tanam (akses), tetapi tidak punya kontrol untuk menjual tanah tersebut. Manfaat adalah keuntungan penggunaan sumberdaya alam dalam segi ekonomi, sosial, politik, dan psikis. Sedangkan Partisipasi adalah hasil keputusan untuk terlibat baik secara aktif maupun pasif dalam kegiatan usahatani.

Perbedaan akses, kontrol, manfaat, dan partisipasi terhadap sumberdaya alam diakibatkan oleh faktor-faktor sebagai berikut (Calvo, 2003):

a) Perempuan dan laki-laki bekerja di level yang berbeda yang menghasilkan pengalaman, ketertarikan, dan penggunaan sumberdaya, barang, dan layanan yang juga berbeda.

b) Hukum dan tradisi biasanya menentukan perempuan dan laki-laki mempunyai akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang ada.

c) Kepemilikan dan manfaat sumberdaya biasanya diperuntukkan ke individu yang bertanggung jawab pada level produktif.


(43)

d) Laki-laki lebih mendapatkan kekuasaan untuk menguasai sumberdaya karena mempunyai peluang yang besar untuk memperoleh pendidikan dan pengetahuan yang lebih maju. Selain itu, laki-laki mendapatkan pengakuan sosial yang lebih baik.

Perbedaan sosial dan ketidaksamaan dalam distribusi sumberdaya, barang dan layanan menghasilkan situasi yang mensubordinasikan perempuan sehingga tidak ikut dalam pengambilan keputusan. Situasi ini menghambat perempuan untuk menyampaikan keinginan dan permasalahan yang mereka hadapi. Hal ini juga memperlambat kontribusi pengetahuan dan pengalaman mereka untuk pembangunan komunitas. Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan harus ditingkatkan pada level yang lebih demokratif dan efektif karena keputusan tersebut secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi kehidupan mereka.

2.5. Analisis Gender

Pendekatan sosial-ekonomi dan analisis gender (Socio- economic and Gender Analysis, SEAGA) merupakan pendekatan pembangunan berdasarkan analisis pola sosial ekonomi dan identifikasi prioritas laki-laki dan perempuan. Hal ini ditujukan untuk menutup kesenjangan antara keinginan masyarakat dan kehendak pembangunan. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa SEAGA merupakan analisis pola hubungan lingkungan, ekonomi, sosial, dan institusi dalam konteks pembangunan serta menganalisis perbedaan peranan laki-laki dan perempuan sehingga dapat mengerti apa yang mereka lakukan, sumberdaya apa yang mereka punya, kebutuhan, dan prioritas mereka (FAO, 2001).

SEAGA terdiri dari tiga tingkatan yang saling terkait. Tingkat pertama adalah Tingkat Mikro, yang memfokuskan pada masyarakat, termasuk perempuan dan laki-laki sebagai individual, serta perbedaan sosial ekonomi rumahtangga. Tingkat kedua adalah Tingkat intermediate, tingkat ini memfokuskan pada kelembagaan, seperti institusi dan pelayanan, sebagai jembatan antara tingkat makro dan tingkat mikro, termasuk sistem komunikasi, transportasi, institusi kredit, pasar, layanan pendidikan dan kesehatan. Tingkat terakhir adalah tingkat makro yang memfokuskan


(44)

pada kebijakan dan perencanaan, baik dalam lingkup nasional maupun internasional, dari aspek sosial, ekonomi, lingkungan, kebijakan perdagangan, keuangan dan rencana pembangunan nasional.

Pendekatan SEAGA didasarkan pada tiga hal yaitu: peranan gender merupakan kunci keberhasilan, diprioritaskan pada bagian masyarakat yang tidak diuntungkan, dan pentingnya partisipasi. Peranan gender merupakan hal yang penting karena gender membentuk kesempatan dan pola hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam mempertahankan rumahtangga dari segi lingkungan, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Gender mempengaruhi peranan dan hubungan aktivitas masyarakat dalam masalah ketenagakerjaan dan pengambilan keputusan. SEAGA memfokuskan dalam pembangunan lingkungan di mana perempuan dan laki-laki dapat bersama-sama sejahtera. Perempuan dilihat sebagai kesatuan integral suatu masyarakat dan bukan bagian yang terisolasi. Keterlibatan perempuan dan laki-laki harus diperhatikan karena mereka mempunyai perbedaan tugas dan tanggungjawab dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan.

Perhatian perlu diberikan pada masyarakat yang tidak diuntungkan karena permasalahan kesenjangan gender, perbedaan etnik, ras, dan karakter sosial lainnya yang mengakibatkan terjadinya proses pemiskinan. Masyarakat yang miskin akan menyebabkan adanya kendala keterbatasan akses terhadap sumberdaya sehingga membuat mereka tetap miskin.

Kondisi komunitas terdiri dari beberapa kelompok yang berbeda, beberapa lelompok lebih kuat dari pada yang lain, dan beberapa kelompok tidak diuntungkan, bahkan beberapa kelompok terlibat konflik langsung dengan kelompok yang lain. Keadaan ini menimbulkan banyak opini dan kebutuhan yang berbeda. Pendekatan SEAGA dilaksanakan berdasarkan asumsi bahwa kebutuhan terhadap bagian masyarakat yang tidak diuntungkan merupakan titik awal pembangunan karena mereka merupakan bagian masyarakat yang paling sulit memenuhi kebutuhan dasar (FAO, 2001).


(45)

Kegagalan kegiatan pembangunan masyarakat dapat diakibatkan oleh perencanaan pembangunan yang didesain oleh orang di luar komunitas yang mengabaikan kapasitas, prioritas dan kebutuhan perempuan dan laki-laki. Meskipun telah disurvai, perencanaan tetap dibuat oleh orang di luar komunitas, tanpa melibatkan masyarakat setempat. Pendekatan partisipasif bertujuan mendukung masyarakat untuk melaksanakan pembangunan dengan menggunakan pengetahuan di luar komunitas. Karena meskipun perempuan dan laki-laki mengetahui keterbatasan dan kesempatan di komunitas, mereka tidak tahu apa-apa. Sebagai contoh, petani kecil tidak diuntungkan karena kurangnya pengetahuan tentang program pembangunan termasuk teknologi dan metode yang baru, bahkan tidak mengetahui kebijakan pemerintah, pasar dan input pertanian yang lebih baik. Oleh karena itu, selain menggali lebih dalam pengetahuan lokal, para petani juga perlu diberi akses informasi lebih mudah untuk dapat memberikan masukan dalam pengambilan keputusan.

2.6. Proses Hirarki Analisis

Penentuan aspek prioritas dan varibel utama dalam sistem usahatani berkelanjutan dilakukan melalui Proses Hirarki Analisis (Analytical Hierarchy Process—AHP). Sebagai alat analisis AHP memiliki keunggulan-keunggulan seperti: fleksibel, sederhana, praktis dan mampu digunakan dalam menganalisis suatu masalah yang memiliki kriteria atau atribut yang kompleks sehingga menyebabkan pemilihan alternatif menjadi sulit. Menurut Saaty (2000), AHP merupakan sebuah pendekatan pengambilan keputusan yang dirancang dan didesain untuk membantu menyelesaikan permasalahan dengan kriteria yang kompleks dan diprioritaskan pada kriteria yang paling dominan.

AHP merupakan suatu metode pengambilan keputusan yang menghubungkan: (1) parameter atau kriteria yang tidak dapat dihitung (intangible) menjadi dapat dihitung (tangible), (2) penilaian kriteria yang bersifat subyektif menjadi obyektif, dan menghubungkan keduanya untuk menyusun pilihan dalam pengambilan keputusan. AHP menyediakan


(46)

metode untuk merepresentasikan suatu sistem yang kompleks menjadi lebih terstruktur, hirarkis, sederhana, mudah dipahami (digestable) dengan menampilkan parameter penciri sesuai kedudukan dan bobotnya terhadap pilihan solusi yang disediakan.

2.7. Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan pada dasarnya mencakup tiga hal utama, yaitu bagaimana merumuskan kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan (Dwijowijoto, 2003). Setiap kebijakan dirumuskan untuk tujuan tertentu yaitu mengatur sistem yang sedang berjalan untuk mencapai tujuan (visi dan misi) bersama yang telah disepakati. Analisis kebijakan adalah tindakan yang diperlukan dalam proses pembuatan sebuah kebijakan, baik kebijakan yang baru sama sekali, atau kebijakan yang baru sebagai konsekuensi dari kebijakan yang ada. Analisis kebijakan merupakan suatu keharusan bagi perumus kebijakan, namun tidak terlalu ditekankan pada implementasi kebijakan. Namun demikian, evaluasi kebijakan merupakan bagian dari analisis kebijakan yang cenderung mengarah pada prosedur dan manfaat dari kebijakan. Meskipun analisis kebijakan lebih difokuskan pada perumusan, tapi pada prinsipnya setiap analisis kebijakan pasti mencakup evaluasi kebijakan yang ada. Menurut Aminullah (2004), analisis kebijakan pada dasarnya adalah menemukan langkah strategis untuk mempengaruhi sistem. Ada dua pilihan skenario yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi kinerja sistem yaitu :

1. Kebijakan Fungsional, skenario dengan tindakan yang mempengaruhi fungsi dari unsur sistem tanpa merubah sistem.

2. Kebijakan Struktural, skenario dengan tindakan yang akan

menghasilkan sistem yang berbeda.

Tujuan dari analisis kebijakan adalah menganalisis dan mencari alternatif kebijakan yang dapat dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan bagi pembuat atau penentu kebijakan. Analis kebijakan hanyalah penasehat kebijakan bukan penentu kebijakan. Seorang analis kebijakan memerlukan hal-hal sebagai berikut.


(47)

1. Analis harus tahu bagaimana mengumpulkan, mengorganisasi dan mengkomunikasikan informasi dalam situasi dimana terdapat keterbatasan waktu dan akses.

2. Analis membutuhkan perspektif (pandangan) untuk melihat masalah-masalah sosial yang dihadapi dalam konteknya.

3. Analis membutuhkan kemampuan tehnik agar dapat memprediksi kebijakan yang diperlukan dimasa yang akan datang dan mengevaluasi alternatif kebijakan dengan lebih baik.

4. Analis harus mengerti institusi dan implementasi dari masalah yang diamati untuk dapat meramalkan akibat dari kebijakan yang dipilih, sehingga dapat menyusun fakta dan argumentasi secara lebih efektif. 5. Analis harus mempunyai etika (moral).

2.8. Hasil Penelitian Terdahulu

Beberapa hasil penelitian yang sudah dilakukan yang terkait dengan sistem usahatani berkelanjutan dan kajian hubungan antara aspek gender dan kegiatan usahatani akan diuraikan berikut ini. Menurut Adnyana (2001) pendekatan pembangunan pertanian berkelanjutan dicirikan oleh pemanfaatan hubungan sinergis antar sub sistem guna menekan penggunaan input eksternal, desentralisasi, dan lebih mengandalkan partisipasi masyarakat sebagai pelaku utama

pembangunan pertanian. Ilham dan Saktyanu (1998) mengemukakan

bahwa sistem usahatani berkelanjutan dapat dilakukan dengan sinergitas cabang usahatani, yaitu antara tanaman pangan dan hortikultur dengan usaha penggemukan sapi atau mengatur pola tanam seperti: pola tanam yang optimal adalah padi – padi – kedelai pada lahan sawah dan ubi jalar – kacang tanah – ubi jalar pada lahan tegalan.

Bernard et al. (1998) mengemukakan bahwa terjadi disparitas

pembagian kerja pada usahatani ladang antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki menyumbang sebesar 458 jam (47,32%) sedangkan perempuan sebesar 510 jam (52,68%). Proses pengambilan keputusan umumnya dipengaruhi oleh dominasi keterlibatan pada setiap tahap sistem


(48)

usahatani yang dilakukan. Akses dan kontrol terhadap sumberdaya (pendidikan dan kesehatan) tidak lagi mencirikan disparitas berdasarkan jenis kelamin, kecuali akses dan kontrol terhadap sumberdaya lahan yang mengacu pada nilai anak laki-laki, dan akses terhadap sumber modal rendah. Profil partisipasi, akses, dan kontrol menggambarkan bahwa laki-laki lebih dominan dalam kegiatan usahatani dan manfaat yang strategis seperti lahan, pengelolaan air, pola tanam, penyuluhan pertanian serta pendidikan dan latihan, bahkan dalam kegiatan kemasyarakatan perempuan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Perempuan mendominasi kegiatan domestik. Hal ini berakibat pada terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan gender di sektor publik, domestik, maupun kemasyarakatan (Irianto et al., 2003). Menurut Wasito (2004) profil kegiatan produktif perempuan pada etnis Tapanuli, Karo, dan Mandailing di daerah aslinya cukup besar, bahkan dapat dikatakan perempuan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa peran perempuan penting dalam memenuhi kebutuhan keluarga melalui kegiatan usahatani. Secara rinci, berbagai hasil penelitian termasuk nama peneliti, waktu penelitian, judul, metode dan kesimpulan penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.


(1)

11. Pola relasi gender untuk aspek akses pada pola usahatani tanaman

hias

Akses Responden Laki-Laki Responden Perempuan Suami Isteri Suami Isteri Sumberdaya & Tahapan

Kegiatan Usahatani Monokultur

Tanaman Hias (%) (%) (%) (%) Rata-Rata Nilai Untuk Suami Rata-Rata Nilai Untuk Isteri GAP Pendapat Suami thdp

Isteri IKKG

Sumberdaya

1 Pelatihan 73.33 23.33 80 20 76.67 21.67

55 0.08

2 Sarana produksi 96.67 53.33 93.33 66.67 95 60

35 0.08

3 Kelembagaan petani 86.67 50.33 86.67 70 86.67 60.17

26.51 0.23

4 Kredit

70 33.33 70 43.33 70 38.33 31.67 0.27

5 Pendidikan 80 56.67 73.33 53.33 76.67 55

21.67 0.37

6 Modal 83.33 60 80 70 81.67 65

16.67 0.42

7 Informasi/Media 90 70 80 76.67 85 73.34

11.67 0.49

8 Pemanfaatan Lahan

83.33 83.33 83.33 73.33 83.33 78.33 5 0.72

9 Pemilihan Komoditas 86.67 86.67 80 83.33 83.34 85

-1.66 1.13

10 Harga/Penjualan Hasil

Panen 63.33 93.33 56.67 93.33 60 93.33 -33.33 9.33

Tahapan Kegiatan

1 Pengendalian Hama Dan

Penyakit 86.67 36.67 90 23.33 88.34 30 58.34 0.06

2 Teknologi Produksi 83.33 43.33 90 36.67 86.67 40

46.67 0.1

3 Tenaga kerja

86.67 80.67 96.67 70.67 91.67 75.67 16 0.28

4 Pemupukan

80 53.33 80 53.33 80 53.33 26.67 0.29

5 Pembibitan 76.67 63.33 83.33 66.67 80 65

15 0.46

6 Perawatan /Pemeliharaan 76.67 76.67 83.33 66.67 80 71.67

8.33 0.63

7 Pengolahan Hasil Panen 80 73.33 76.67 86.67 78.34 80

-1.66 1.11

8 Penyiraman

80 70 66.67 86.67 73.34 78.34 -5 1.31

9 Pemasaran 76.67 86.67 66.67 80 71.67 83.34


(2)

12. Pola relasi gender untuk aspek kontrol pada pola usahatani tanaman

hias

Kontrol Responden Laki-Laki Responden Perempuan Suami Isteri Suami Isteri Sumberdaya & Tahapan

Kegiatan Usahatani

Monokultur Tanaman Hias (%) (%) (%) (%) Rata-Rata Nilai Untuk Suami Rata-Rata Nilai Untuk Isteri GAP Penda pat Suami thdp

Isteri IKKG

Sumberdaya

1 Pelatihan 73.33 10 76.67 20 75 15

60 0.06

2 Sarana produksi 86.67 26.67 73.33 26.67 80 26.67

53.33 0.09

3 Pemanfaatan Lahan

73.33 30 60 43.33 66.67 36.67 30 0.29

4 Pendidikan 66.67 36.67 63.33 40 65 38.34

26.67 0.33

5 Pemilihan Komoditas 73.33 30 56.67 50 65 40

25 0.36

6 Kelembagaan petani

83.33 50 83.33 80 83.33 65 18.33 0.37

7 Kredit

53.33 26.67 56.67 36.67 55 31.67 23.33 0.38

8 Modal 63.33 36.67 63.33 53.33 63.33 45

18.33 0.47

9 Informasi/Media 80 43.33 56.67 66.67 68.34 55

13.34 0.57

10 Harga/Penjualan

Hasil Panen 36.67 63.33 16.67 83.33 26.67 73.33 -46.66 7.56

Tahapan Kegiatan

1 Pengendalian Hama

Dan Penyakit 86.67 13.33 83.33 16.67 85 15 70 0.03

2 Teknologi Produksi

83.33 20 86.67 16.67 85 18.34 66.67 0.04

3 Tenaga kerja

83.33 50 90 50 86.67 50 36.67 0.15

4 Pemupukan 70 26.67 66.67 33.33 68.34 30

38.34 0.2

5 Pembibitan 73.33 30 66.67 36.67 70 33.34

36.67 0.21

6 Penyiraman

66.67 36.67 56.67 53.33 61.67 45 16.67 0.51

7 Perawatan

/Pemeliharaan 63.33 43.33 60 60 61.67 51.67 10 0.66

8 Pengolahan Hasil

Panen 60 46.67 56.67 60 58.34 53.34 5 0.82

9 Pemasaran


(3)

Lampiran 6. Hasil AHP

Tujuan:

Menentukan bobot model AHP untuk

Memilih Usahatani Berkelanjutan

Input:

Jumlah responden

: 28 orang

Resume responden

:

1. Berdasarkan pendidikan

Pendidikan

Jumlah

S1

16

S2

6

S3

1

SLTA

4

SLTP

1

2. Berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin

Jumlah

L

19

P

9

3. Berdasarkan Keahlian

Keahlian

Jumlah

Agronomi

1

Bioteknologi Tanah

1

Ekonomi Pertanian

1

Hukum

1

Ilmu Tanah

1

Kehutanan

1

Keolahragaan

1

Lembaga Kemasyarakatan

1

Manajemen

1

Penyuluh

2

Perbankan

2

Perikanan

1

Pertanian

6

Pertanian Tanaman Pangan

1

Peternakan

1

SDM

1

Survei Tanah

1


(4)

4. Berdasarkan instansi

Instansi

Jumlah

Bank Jateng

1

Bappeda

1

BRI Karanganyar

2

Deperindagkop

1

Dinas lingkungan Hidup

1

Dinas Pertanian

12

Fak. Pertanian UNS

3

Kantor Pemberdayaan Masyarakat

1

Kelompok Tani

3

PD BPR Bank Pasar

1


(5)

5. Data responden

Nama

Bobot Organization

Jenkel

Pendidikan

Keahlian

Jabatan

Sudarsito

2

PD BPR Bank Pasar

L

SLTA

SDM

Agus Irawan

3

BRI Karanganyar

L

S1

Manajemen

Account Officer

Agus Joko Waluyo

3

Dinas Pertanian

L

S1

Penyuluh

Koordinator Penyuluh

Nur Rohmah Triastuti

3

Sekretariat Daerah

P

S1

Staf

Indah Sumarah Adi

3

Dinas Pertanian

P

S1

Perikanan

Kasubdin

Agus Sulistiyono

3

BRI Karanganyar

L

S1

Perbankan

Pimpinan Cabang

Indra Mardi P

3

Dinas Pertanian

L

S1

Agronomi

Kepala Dinas

Siti Sofiyah

3

Dinas Pertanian

P

S1

Peternakan

Kasie Pengembangan Peternakan

Pawestri

3

Kantor

Pemberdayaan

Masyarakat

P

S1

Lembaga

Kemasyarakatan

Kasie Ketahanan Masyarakat

Any Rahayu S

3

Sekretariat Daerah

P

S1

Keolahragaan

Kasubbag Pemuda, OR, PP & Naker

Aris Subardhy

3

Dinas Pertanian

L

S1

Kasie PUK

Siti Maisyaroch

3

Dinas Pertanian

P

S1

Kehutanan

Kasubdin Kehutanan

Anis Ridho

3

Dinas Pertanian

L

S1

Penyuluh

Penyuluh pertanian

Suharno

3

Dinas Pertanian

L

S1

Ekonomi Pertanian

Kasie Prod. Hortikultura

Danik Sih Handayani

3

Dinas Pertanian

P

S1

Pertanian

Kasie Rehab Lahan & Perlind Tanaman

Yartini

3

Dinas lingkungan Hidup

P

S1

Hukum

Kasie Penyuluhan

Suripto

3

Bappeda L

S1

Pertanian

Kasubbid Pertanian

J. Syamsiah

4

Fak. Pertanian UNS

L

S2

Ilmu Tanah

Dosen

Mujiyo

4

Fak. Pertanian UNS

L

S2

Survei Tanah

Dosen

Bambang Subiyanto

4

Bank Jateng

L

S2

Perbankan

Kasie Kredit

Rosadi Setiawan

4

Dinas Pertanian

L

S2

Pertanian Tanaman

Pangan

Kasie Produksi Padi Palawija

Supramnaryo

4

Dinas

Pertanian

L

S2

Pertanian

Kasubdin Tan Pangan

Tatik Maksinah

4

Deperindagkop

P

S2

Kasie UKM

Supriyadi

5

Fak. Pertanian UNS

L

S3

Bioteknologi Tanah

Dosen


(6)

6. Hasil Analisis AHP

Level 1

Level 2

Jenis Komoditas (0,167)

Sumberdaya Air (0,076)

Lingkungan (0,321)

Sumberdaya Lahan (0,078)

Produksi (0,061)

Pasar (0,025)

Harga (0,027)

Modal (0,028)

Tenaga kerja (0,049)

Ekonomi (0,218)

Sarana produksi (0,028)

Pendidikan (0,136)

Kelembagaan (0,151)

Status kesehatan (0,076)

Sosial (0.461)

Informasi (0,098)

7. Hasil Ananlisis Berkelanjutan Pola Usahatani Berdasarkan Hirarki AHP

0.131 0.148 0.139

0.267 0.148

0.168

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3

Monokultur padi Monokultur palawija Monokultur sayuran Tanaman hias Tumpangsari Mixed farming