Pengujian menggunakan uji t-berpasangan untuk kadar air tanah daerah Galudra dan Kerinci menunjukkan prediksi model tidak berbeda nyata dengan
observasi pada kedua varietas. Di samping itu, sebaran data menyebar sekitar plot 1:1 dengan nilai R
2
Berdasarkan validasi model tersebut, model simulasi tanaman kentang yang disusun dapat mensimulasi proses dari setiap periode fase perkembangan
tanaman, produksi biomassa dari masing-masing organ tanaman berupa akar, batang, daun, dan umbi, LAI dan kadar air tanah seperti pengukuran lapang.
Namun demikian, model mempunyai keterbatasan karena model adalah penyederhanaan sistem sehingga tidak menjelaskan seluruh proses pada sistem
tersebut melainkan hanya menggambarkan proses tertentu sesuai tujuan model tersebut. Dalam hal ini model tidak dapat memprediksi pengaruh kesuburan tanah
serta serangan hama dan penyakit tanaman. yang juga cukup tinggi 0,88 dan 0,85. Dengan demikian
model dianggap mampu memprediksi fluktuasi kadar air tanah harian selama pertumbuhan tanaman kentang sesuai pengukuran lapang pada daerah Galudra
dan Kerinci.
Model simulasi tanaman kentang yang telah disusun ini mempunyai keunggulan sebagai alat analisis kuantitatif dibandingkan hasil penelitian
agronomi di lapangan khususnya dalam penghematan waktu dan biaya. Keunggulan lain dari model simulasi kentang ini yaitu dapat diterapkan pada
musim dan ketinggian tempat yang berbeda-beda di atas 800 m dpl, asalkan asumsi-asumsi yang ada dipenuhi. Pernyataan tersebut sejalan dengan
Soerianegara 1978, bahwa keuntungan penggunaan model dalam penelitian dengan pendekatan analisis sistem, yakni 1 memungkinkan kita melakukan
penelitian yang bersifat lintas sektoral dengan ruang lingkup yang lebih luas, 2 mampu menentukan tujuan kegiatan pengelolaan dan perbaikan terhadap sistem
yang dihadapi, 3 dapat dipakai untuk melakukan eksperimentasi atau skenario tanpa mengganggumemberikan perlakuan tertentu terhadap sistem, 4 dapat
dipakai untuk menduga kelakuan dan keadaan sistem pada masa mendatang dan atau menyusun suatu skenario yang mungkin terjadi pada sistem tersebut, dan 5
dari segi waktu dan biaya akan lebih efisien.
Menurut Penning de Vries 1983, model simulasi sebagai salah satu metode ilmiah memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut : 1 membantu
dalam mendefinisikan dan mengelompokkan pengetahuan yang ada, 2 membantu melokalisir kesenjangan dalam suatu bidang ilmu dan dapat membantu
hipotesis secara eksplisit sehingga membantu dalam penentuan prioritas pengkajian, 3 alat untuk membuat informasi operasional yang terpadu, 4 media
kerjasama yang efektif di antara ilmuwan dalam berbagai disiplin dan tingkatan ilmu, serta pengembangan model sebagai indikasi kemajuan ilmu pengetahuan
dan peningkatan ketepatan prediksi. Model simulasi tanaman kentang ini dapat digunakan untuk memprediksi
hasil pada waktu yang akan datang asalkan tersedia data cuaca harian untuk masa yang akan datang pula. Dalam hubungannya dengan perubahan iklim, data untuk
masa yang akan datang dapat menggunakan skenario perubahan unsur-unsur iklim terutama suhu udara dan curah hujan. Aplikasi model antara lain dapat digunakan
untuk penentuan potensi produksi pada berbagai wilayah sentra produksi kentang di Indonesia, pemilihan varietas, pemilihan waktu tanam yang optimum, dan
untuk simulasi dampak perubahan iklim terhadap hasil tanaman kentang. Model simulasi, khususnya model simulasi tanaman kentang meskipun
memiliki banyak keunggulan, namun perlu disadari bahwa tiap model mempunyai keterbatasan. Model simulasi tanaman kentang ini hanya dibuat untuk
menggambarkan suatu proses atau beberapa proses tertentu dari suatu sistem. Oleh sebab itu model simulasi tidak akan memberikan hasil yang baik terhadap
proses-proses di luar tujuan model Handoko, 1994. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Bey 1991 bahwa bagaimanapun baiknya model yang dirancang tetap
mempunyai keterbatasan dan merupakan distorsi dari sistem yang sebenarnya. Oleh karena itu, model harus digunakan secara teliti, cermat dan seksama dengan
memperhatikan asumsi-asumsi yang mendasarinya. Model simulasi yang mampu menjelaskan mekanisme proses perkembangan, pertumbuhan, dan neraca air
tanaman kentang dapat dimanfaatkan untuk memprediksi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kentang pada enam sentra produksi kentang di
Indonesia. Metode yang digunakan berdasarkan simulasi menggunakan model simulasi tanaman kentang yang telah disusun dan divalidasi dalam penelitian ini.
Hasil simulasi menunjukkan perbedaan produktivitas kentang pada enam sentra produksi di Indonesia pada kondisi cuaca saat ini dan masa mendatang
terkait perubahan iklim. Sentra-sentra produksi tersebut adalah Minahasa Sulawesi Utara, Alahan Panjang Sumatera Barat, Pangalengan Jawa Barat,
Pasuruan Jawa timur, Wonosobo Jawa Tengah, dan Deli Serdang Sumatera Utara, dan Iklim pada masing-masing sentra produksi ini diasumsikan berubah
sesuai dengan kondisi perubahan rata-rata suhu udara dan curah hujan menurut skenario emisi SRES A1 IPCC 2007.
Analisis dampak perubahan iklim yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri atas :
1. Pengaruh peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan terhadap produktivitas hasil umbi tanaman kentang varietas Granola.
2. Pengaruh waktu tanam terhadap produktivitas dan umur tanaman kentang varietas Granola.
3. Pengaruh varietas tanaman kentang Granola vs Atlantis. Hasil prediksi menunjukkan peningkatan suhu udara sebesar 1,0 °C tahun
2020, 1,8 °C tahun 2050, serta 2,3 °C tahun 2080 dibanding kondisi cuaca saat ini, mengakibatkan jumlah hari dari masing-masing fase perkembangan
tanaman kentang di Minahasa, Alahan Panjang Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli Serdang semakin pendek sehingga umur tanaman menjadi
lebih singkat. Umur tanaman kentang yang lebih singkat dan suhu udara yang tinggi menyebabkan akumulasi biomassa selama masa pertumbuhan menjadi
berkurang, sehingga berdampak pada pengurangan biomassa tanaman yang selanjutnya menurunkan produktivitas tanaman kentang. Hasil prediksi model
menunjukkan peningkatan suhu udara 1,0 °C tahun 2020, 1,8 °C tahun 2050, dan 2,3 °C tahun 2080 mengakibatkan penurunan produktivitas kentang pada
keenam sentra produksi kentang masing-masing 8 – 28, 16 – 41, dan 29 – 57.
Penurunan curah hujan dapat menurunkan pertumbuhan dan hasil tanaman. Skenario penurunan curah hujan pada Skenario I, II, dan III
mengakibatkan penurunan produktivitas pada sentra-sentra produksi, kecuali Alahan Panjang. Penurunan curah hujan pada ketiga skenario di Alahan panjang
tidak menyebabkan terjadi penurunan produktivitas. Hal ini disebabkan karena air tidak menjadi faktor pembatas, sehingga penurunan curah hujan tidak
menyebabkan terjadinya penurunan biomassa umbi selama masa pertumbuhan tanaman kentang. Penurunan produktivitas kentang pada lima sentra produksi
kentang masing-masing 2 – 12, 4 – 27, dan 8 – 31 akibat penurunan curah hujan sebesar 5 skenario I, 10 skenario II, dan 15 skenario III.
Pada semua sentra produksi kentang, penurunan produktivitas semakin besar dengan kenaikan suhu udara dan penurunan curah hujan secara bersamaan.
Penurunan produktivitas kentang semakin besar pada peningkatan suhu yang makin tinggi dan penurunan curah hujan yang makin besar sesuai Skenario I, II
dan III. Prediksi penurunan produktivitas untuk Skenario I, II dan III berkisar masing-masing 13 – 31, 25 – 47 dan 37 – 63. Pangalengan diprediksi
mengalami penurunan produktivitas terbesar pada skenario II dan III sebesar 47, dan 63.
Pengaruh waktu tanam terhadap produktivitas dan umur tanaman kentang varietas Granola menunjukkan produktivitas tertinggi pada enam sentra produksi
kentang di Indonesia dicapai pada waktu tanam yang berbeda-beda. Hasil prediksi juga menunjukkan pada waktu tanam optimal akibat peningkatan suhu udara dan
penurunan curah hujan akan menyebabkan penurunan produktivitas kentang berkisar masing-masing 11 – 29, 22 – 43, dan 28 – 57 pada Skenario
I, II, dan III. Pangalengan juga diprediksi akan mengalami penurunan produktivitas terbesar pada waktu tanam optimal sebesar 43, dan 57 pada
skenario II dan III. Hasil prediksi pengaruh varietas tanaman kentang Granola vs. Atlantis
menunjukkan varietas Atlantis memerlukan jumlah hari yang lebih lama untuk menyelesaikan masing-masing fase perkembangan tanaman dibanding Granola,
sehingga umur kentang varietas Atlantis lebih panjang dari Granola. Umur tanaman yang lebih panjang menyebabkan biomassa umbi varietas Atlantis lebih
tinggi dari Granola. Prediksi model waktu tanam tanggal 14 Maret menghasilkan produktivitas kentang varietas Atlantis sebesar 25 ton ha
-1
sedangkan Granola hanya 16 ton ha
-1
.
Dari berbagai komoditas pertanian, tanaman hortikultura termasuk tanaman kentang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Opsi adaptasi
perubahan iklim berdasarkan hasil simulasi model dapat dilakukan dengan penentuan waktu tanam yang tepat untuk mendapatkan ketersediaan air yang
cukup dan meminimalkan kehilangan air. Di samping itu, parameter penting dalam pertumbuhan tanaman adalah RUE, sehingga salah satu opsi adaptasi yang
dapat dilakukan berdasarkan prediksi model ini adalah memilih varietas kentang unggul yang memiliki nilai RUE tinggi. Dalam hal ini, varietas Atlantis memiliki
RUE sebesar 1,79 g MJ
-1
, sedangkan Granola memiliki RUE sebesar 1,12 g MJ
-1
Peningkatan suhu udara menyebabkan umur tanaman semakin pendek yang mengakibatkan produktivitas kentang menjadi lebih rendah. Oleh sebab itu,
alternatif opsi adaptasi dapat dilakukan dengan memilih varietas kentang yang lebih tolerant terhadap suhu tinggi sehingga memiliki umur lebih panjang. Opsi
lain adalah menanam kentang pada dataran yang lebih tinggi, namun opsi ini akan menghadapi kendala keterbatasan lahan termasuk problem lingkungan yang akan
diakibatkannya. .
IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan
1. Model simulasi tanaman kentang yang disusun dapat mensimulasikan umur tanaman kentang pada setiap fase perkembangan tanaman, produksi biomassa
dari masing-masing organ tanaman berupa akar, batang, daun, dan umbi, serta LAI dan kadar air tanah sesuai dengan pengukuran lapang. Model simulasi
yang disusun dapat diaplikasikan untuk memprediksi dan tindakan antisipasi kejadian dampak perubahan iklim akibat kenaikan suhu udara dan penurunan
curah hujan terhadap produksi kentang pada sentra-sentra produksi di
Indonesia.
2. Produktivitas maksimum saat ini di Minahasa 18 ton ha
-1
varietas Granola dapat dicapai apabila kentang ditanam pada Juni I, di Alahan panjang dicapai
pada waktu tanamn Desember II 21 ton ha
-1
, Pangalengan pada Maret III 21 ton ha
-1
, Wonosobo pada Oktober III 16 ton ha
-1
, Pasuruan pada September I 18 ton ha
-1
, dan Deli Serdang pada Februari III 17 ton ha
-1
3. Simulasi perbedaan waktu tanam pada enam sentra produksi pada ketiga skenario atau Tahun 2020, 2050 dan 2080 juga menunjukkan penurunan
produktivitas pada waktu tanam optimal akibat peningkatan suhu udara dan
penurunan curah hujan.
.
4. Prediksi penurunan produktivitas pada sentra-sentra produksi kentang Minahasa, Alahan Panjang, Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli
Serdang untuk Skenario I Tahun 2020, II Tahun 2050 dan III Tahun 2080 yang merupakan interaksi peningkatan suhu dan curah hujan berkisar
masing-masing 13 – 31, 25 – 47 dan 37 – 63. 5. Varietas Atlantis memiliki RUE sebesar 1,79 g MJ
-1
sedangkan Granola memiliki RUE sebesar 1,12 g MJ
-1
, sehingga biomassa umbi yang dihasilkan Atlantis dari prediksi model ini lebih besar dari Granola. Prediksi model
pada tanggal 14 Maret menghasilkan produktivitas kentang varietas Atlantis sebesar 25 ton ha
-1
sedangkan Granola hanya 16 ton ha
-1
6. Opsi adaptasi perubahan iklim berdasarkan hasil simulasi model pada sentra- sentra produksi dapat dilakukan melalui : penentuan waktu tanam yang tepat,
.
137
memilih varietas kentang unggul yang memiliki nilai RUE tinggi, dan memilih varietas kentang yang lebih toleran terhadap suhu tinggi sehingga
memiliki umur lebih panjang.
9.2. Saran
1. Pengujian model lebih lanjut untuk membuktikan bahwa model dapat diterapkan pada kondisi lingkungan yang beragam masih diperlukan pada
wilayah dengan pola curah hujan yang berbeda dan ketinggian tempat di bawah 1.000 m dpl. Pengujian ini dilakukan untuk menghindari
ketidaktepatan prediksi model jika kondisi iklimnya sangat jauh berbeda. 2. Strategi peningkatan produktivitas kentang selain penetapan waktu tanam
adalah menetapkan pola tanam atau kalender tanam berdasarkan variabilitas dan perubahan iklim, terutama suhu udara dan curah hujan dengan
mempertimbangkan kebiasaan petani kentang dan daya dukung sumberdaya air.
3. Dukungan kebijakan yang diperlukan pada tingkat petani adalah percepatan diseminasi dan sosialisasi tentang informasi waktu tanam optimal,
penggunaan varietas kentang berproduksi tinggi, dan memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan dan perubahan iklim, seperti Atlantis di beberapa sentra
produksi kentang di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi SH, Anderserb MN, Plauborgb RT, Poulsenb CR, Jensenc AR, Sepaskhahd, dan Hansen S. 2010. Effects of irrigation strategies and soils
on field grown potatoes: Yeild and water productivity. J. Agric. Water Mngt. 97: 1923 – 1930.
Alfyanti R. 2011. Pemanfaatan Luaran RegCM3 untuk Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Perubahan Waktu dan Pola Tanam Padi di Jawa Barat
Skripsi. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor. Allen RG, Pereira LS, Raes D, Smith M. 1998. Crop evapotranspiraton:
guidelines for computing crop water requirements. FAO irrigation and drainage paper, 56. FAO. Rome.
Amthor JS. 2000. The McCree-de Wit-Penning de Vries-Thornley Respiration Paradigms: 30 Years Later Review0. Annals of Botany. 86: 1 – 20
Anandale JG, Benade N, Jovanovie NZ, Steyn JM, Sautoy DUN. 1999. Facilitating irrigation scheduling by means of the soil water balance model,
University of pretoria, Submitted to Water Research Commission. Apriyana A. 2011. Penetapan Kalender Tanam Padi berdasarkan Fenomena
ENSO El Nino Southern Oscillation dan ION Indian Ocean Dipole di Wilayah Monsunal dan Equatorial. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. IPB.
Arkebauer TJ, Weiss A, Sinclair TR, Blum A. 1994. In defence of radiation use efficiency: a response to Demetriades-Shah et al. 1992. Agric. For.
Meteorol. 68: 221 – 227. Asandhi AA, Gunadi N. 1989. Syarat tumbuh tanaman kentang. Dalam Kentang.
Edisi kedua. Balai Penelitian Hortikutura Lembang. Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Asril dan Hidayati R. 1994. Respon Kadar Air Tanah dan Tanaman terhadap
Pemberian Air yang Berbeda pada Sistem Tanam Monokultur dan Tumpangsari. J Agrom Indon 21 – 33 1.
Ayoade JO. 1983. Introduction to climatologkfor the tropics. John wiley and Sons. New York.
Badan Pusat Statistik BPS. 2011. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang. Dalam http:www.bps.go.id
Bannayan M, Crout NMJ, Hoogenmoon G. 2003. Application of the CERES- wheat Model for Within-Season Prediction of Winter Wheat Yield in the
United Kingdom. J. Agron. 95: 114 – 125. Bakema AH, Jansen DM. 1985. Use of simulation model for evaluating of
weather effect. Jakarta : International Upland Rice Conference. 19 hlm. Bey A. 1991. Metode Kausal dan Time Series untuk Analisis Data Iklim. Kapita
Selekta dalam Agrometeorologi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Depdikbud. Jakarta.
139
Biggs TW, Mishra PK, Turral H. 2008. Evapotranspiration and regional probabilities of soil moisture stress in rainfed crops, southern India. Agric
and Forest Meteo 148: 1585 – 1597. Biscoe PV, Gallagher JN. 1977. A Physiological Analysis of Cereal Yield and
Production of Dry Matter. Agr. Progress, Vol 53: 34 – 69 Bodlaender KBA. 1983. Influence of temperature, radiation, and photoperiod on
development and yield. p.199 – 210. In: The Growth of Potato. Butterworths, London.
Boer R, Las I. 1994. Koefisien Pemadaman Tajuk Kedelai pada Beberapa Tingkat Radiasi. J. Agromet, Vol X12: 29.
Boer R, Dasanto BD, Suciantini, Mulyani A, Turyanti A, Nasution. 2001. Identifikasi
Kualitas Lahan untuk Mendukung
Perluasan Areal
Pengembangan Sayuran. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Lembaga Penelitan Institut Pertanian Bogor dengan Badan Litbang Pertanian. IPB.
Boer R. 2007. Deteksi Perubahan Iklim dan Dampak Sosio-ekonominya. Laporan proyek kerjasama BMG dan IPB. Bogor.
Boote KJ, Jones JW, Pickering NB. 1996. Potential uses and limitions of crop models. J. Agron. 88: 704 – 716.
Burton WG. 1981. Challenges for stress physiology in potato. Am. Potato J. 58: 3 – 14.
Carberry PS, Muchow RC, Mccown RL. 1992. A simulation model of kenaf for assisting fibre industry planning in Northern Australia. IV. Analysis of
climatic risks. Australian Journal of Agricultural Research. 44: 713 – 730. Chang J. 1968. Climate and Agricultures, an Ecological Survey. Aldine
Publishing Company. Chicago. Charles-Edward DA, Doley D, Rimmington GM. 1986. Modelling Plant Growth
and Development. Academic Press. Sydney. 235 p. Craufurd PQ, Wheeler TR. 2009. Climate change and the flowering time of
annual crops. J. of Exsperimental Botany. 60: 2529 – 2539. Dadhwal VK., Sehgal VK, Singh RP, Rajak DR. 2003. Wheat yield modeling
using satellite remote sensing with weather data: Recent Indian experience. Mausum, 541: 253 – 262.
Dasanto BD dan Impron. 2008. Upaya Adaptasi Sektor Sumberdaya Air dan Pertanian Untuk Mengurangi Dampak Peubahan Iklim. Makalah Rapat
Kerja ELSDA. Jakarta Djufri F, Yanto A, Handoko, Kusmaryono Y. 2005. Pendugaan Defisit Air
Tanaman Jarak Ricinus communis L Berdasarkan Model Simulasi Dinamika Air Tanah Prediction Water Deficit of Castor Oil Ricinus
communis L with Dynamic Soil-Water Simulation. J Agrom Indon 19 2.
Doorenbos J, Pruitt WO. 1977. Guidelines for predicting crop water requirements. FAO Irrigation Drainage Paper No. 24. Rome. 144pp.
DwiJadmiko S. 2011. Proyeksi Perubahan Iklim berdasarkan Hasil Keluaran Model Iklim Regional Studi kasus : Kabupaten Indramayu dan Kabupaten
Pacitan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor. Engels CR, Bedewy E dan Sattelmacher B. 1993. Effects of weight and planting
density of tubers derived from true potato seed on growth and yield of potato crops in Egypt: 2. Tuber yield and tuber size. Field Crops Research,
35: 171 – 182.
Ewing PC. Struick EE. 1995. Crop Physiology of Patato Solanum tuberasum: Respons to Photoperiod and Temperature Relevant To Crop Modelling.
Kluwer Academic Publisher. London. Fabeiro C, de Santa Ollala FM, de Juan JA. 2001. Yield and size of deficit
irrigated potatoes. Agric. Water Mngt. 48 : 255 – 266. FAO. 2005. “Impact of Climate Change and Diseases on Food Security and
Poverty Reduction”. Special event background document for the 31st session of the committee on world food security. Rome, 23 – 26 May 2005.
Ferreira TC, Carr MKV. 2002. Responses of potatoes Solanum tuberosum L. to irrigation and nitrogen in a hot, dry climate. Field Crops Research 78:
51 – 64. Fischer GM, Shah HV, Velthuizen. 2002. Climate Change and Agricultural
Vulnerability. IIASA. Luxemburg, Austria. Foods and Agriculture Organisation FAO. 2008. The Potato. Dalam
http:www.potato2008.org 25112010.
Gandar PW, Tanner CB. 1976. Leaf growth, tuber growth, and water potential in potatoes. Crop Sci. 16: 534 – 538.
Gardner FP, Pearce RB, Mitchel RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Susilo H, Subiyanto, penerjemah. Jakarta: UI-Press. Terjemahan dari : Physiology
of crop Plants. 428 hal. Goudriaan J, Marcelis LFM, Heuvelink E. 1998. Modelling biomass production
and yield of horticultural crops: a review. Scientia Horticulturae 74: 83 – 111.
Government of Alberta Agriculture and Rural Development. 2003. Guide to Commercial Potato Production on the Canadian Prairies. Western Potato
Council. Gregory PJ, Johnson SN, Newton AC, Ingram JSI. 2009. Integrating pests and
pathogens into the climate changefood security debade. J. of Exsperimental Botany. 60: 2827 – 2838.
Gustianty LR. 2008. Kajian tentang Pertumbuhan dan Produksi Kentang Solanum tuberosum. L Varietas Granola Asal Biji Botani Melalui Uji
Perkecambahan dan Pengaturan Penanaman di Lapangan. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Universitas Sumatera Utara.
Handoko I. 1994. Dasar Penyusunan dan Aplikasi Model Simulasi Komputer untuk Pertanian. Geomet FMIPA-IPB. Bogor: 112 hal.
Handoko I. 1996. Analisis Sistem dan Model Simulasi Komputer untuk Perencanaan Pertanian di Indonesia. Materi Pelatihan tidak dipublikasikan.
Bogor 2 – 6 September 1996. Jurursan Geofisika dan Meteorologi. FMIPA. IPB Bogor.
Handoko I, Sugiarto Y, Syaukat Y. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis: Telaah kebijakan independen dalam bidang
perdagangan dan pembangunan. SEAMEO BIOTROP for Kemitraan partnership.
Harjadi M. 1984. Pengantar Agronomi. Jakarta : PT. Gramedia Higashide T. 2009. Light interception by tomato plants Solanum lycopersicum
grown on a sloped field. J. Agric and forest meteo. 149: 756 – 762. Hillel D. 1971. Soil and Water, Physical Principles and Processes. New York
Academic Press. 288p. Holden NM, Breneton AJ. 2006. Adaptation of water and nitrogen management
of spring barley and patato as a response to possible climate change in ireland. J. Agric Water Management 82: 297 – 317.
Hoogenboom G. 2000. Contribution of agro-meteorology to the simulation of crop production and its applications. J. Agric for Meteorol. 103: 137 – 157
Huaman Z. 1986. Systematic Botany and Morphology of the Potato. Technical Information Bulletin 6. International Potato Centre, Lima, Peru: 22 pp.
Hulme M dan Sheard N. 1999. Climate Change Scenarios for Indonesia. Leaflet CRU and WWF. Climatic Research Unit. UEA, Norwich,UK.
Ierna A, Mauromicale G. 2006. Physiological and growth response to moderate water deficit of off-season potatoes in a Mediterranean environment. Agric.
Water Mngt. 82: 193 – 209. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2000. Emission Scenario. A
Special Report of Working Group III of the IPCC. Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press
[IPCC] Intergovernmental panel on climate change 2007. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. IPCC National Greenhouse Gas
Inventories Programme. IGES. Japan
Jim B, Alyson P, Eric, AS, Joseph T, Christi V. 2005. Potato Solanum tuberosum
L Case History Group 1. Crop Physiology: PBIO3310 Jongschaap REE. 2006. Run-time calibration of simulation models by integrating
remote sensing estimates of leaf area index and canopy nitrogen. Europ. J. Agro. 24: 316 – 324.
Jumin HB. 2002. Dasar-dasar Agronomi. Jakarta: Rineka Cipta. Kadaja J, Tooming H. 2004. Patato production model based on principle of
maximum plant productivity. J. Agric and forest meteo. 127: 17 – 33.