Simulation model application to predict impact of climate change on potato productivity in Indonesia

(1)

TANAMAN KENTANG (

L.)

DI INDONESIA

SALWATI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul “Aplikasi Model Simulasi untuk Prediksi Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) di Indonesia” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh gelar program sejenis di Perguruan Tinggi lain mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, 15 Juni 2012

Salwati


(3)

Climate Change on Potato Productivity in Indonesia, Under supervision of HANDOKO, IRSAL LAS, and RINI HIDAYATI.

Potato is an important horticulture crop in Indonesia in terms of planted area more than 55.000 ha and its production 864.000 ton. The crop is commonly grown in upland areas above 800 m where runoff and erosion often cause environmental problem whereas the yield is relatively low due to various reasons. The crop growth depends on climatic variables particularly rainfall, solar radiation and temperature. Climate change, particularly temperature increase and rainfall decrease, is expected to adversely impact potato growth with the results of even lower yield of the crop compared to the current yield. In order to develop potato crop simulation model, field experiment at Pacet and Galudra (West Java Province) and Kerinci (Jambi Province) were conducted to derive parameters that are required for model building and validation. The experiments were conducted from December 2009 to September 2011. The model being constructed consists of (1) crop-development submodel, (2) crop-growth submodel, and (3) water-balance submodel. Model was calibrated using data collected from three field experiments. The application includes determining potential yield of potato crop under different climates, both under current condition and under different climate change scenarios. The model was also run at different planting dates to find the maximum yield from which optimum planting date was determined. Result showed that in general validation results using paired t-test suggest that model predictions are not significantly different (P > 0,05) with field measurements at Galudra and Kerinci for variables of periods of developmental phases, biomass of root, stem, leaf and tuber, leaf area index, and soil water content (Granola cultivar) and biomass of stem, tuber and soil water content (Atlantic cultivar). However, graphical test of the relationships between model predictions and field measurements have coefficients of determination (R2) higher than 0,80 for all of variables being tested. The simulation model of development, growth and waterbalance of potato crop could predict climate change impact on potato productivity in several potato production centers in Indonesia (Minahasa, Alahan Panjang, Pangalengan, Pasuruan, Wonosobo, and Deli Serdang). Predicted potato yields in the six potato production centers using three scenarios of increasing temperature and decreasing rainfall for the year 2020, 2050, and 2080 based on climate change projection in Indonesia for the future (SRES A1) were in the range of 13% – 31%, 25% – 47% and 37% – 63%, respectively. Potato production center in Pangalengan was predicted to experience the biggest decline in yield for all scenarios. Predicted yield of Atlantic variety was 25 ton ha-1, which was higher than Granola variety of 16 ton ha-1. Climate change adaptation options based on simulation of the model are: optimal planting time, use of superior potato varieties that have higher value of RUE, and select application of suitable potato varieties that are more tolerant to high temperatures.


(4)

Iklim terhadap Produktivitas Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) di Indonesia. Dibimbing oleh: HANDOKO, IRSAL LAS, RINI HIDAYATI.

Pertumbuhan tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) tergantung pada unsur-unsur cuaca terutama curah hujan, radiasi surya dan suhu udara. Fluktuasi unsur-unsur cuaca merupakan salah satu penyebab kesenjangan produktivitas kentang saat ini. Perubahan iklim akibat pemanasan global diperkirakan akan membawa dampak yang signifikan terhadap produksi kentang nasional karena tanaman kentang hanya berproduksi tinggi pada daerah bersuhu rendah dan sangat sensitif terhadap perubahan suhu udara. Antisipasi dampak perubahan iklim khususnya peningkatan suhu udara dan fluktuasi curah hujan terhadap produksi kentang nasional memerlukan informasi tentang hubungan antara perubahan unsur-unsur cuaca/iklim tersebut dengan perubahan produksi kentang di Indonesia.

Model simulasi tanaman yang mampu menjelaskan pengaruh unsur-unsur cuaca terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kentang di Indonesia akan bermanfaat untuk memprediksi potensi produksi dan antisipasi dampak perubahan iklim terhadap penurunan produksi pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menyusun model simulasi perkembangan, pertumbuhan, dan neraca air tanaman kentang yang dapat menjelaskan mekanisme proses yang terjadi selama periode pertumbuhan dan perkembangan tanaman kentang. Model simulasi yang sudah disusun dan divalidasi digunakan untuk memprediksi dan mengantisipasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas (potensi produksi) kentang pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia.

Percobaan lapang pada tiga lokasi di Pacet dan Galudra, Provinsi Jawa Barat, serta di Kerinci, Provinsi Jambi, dilakukan untuk menunjang penyusunan model, yaitu untuk kalibrasi model (Pacet) dan validasi model (Galudra dan Kerinci). Percobaan lapang dilakukan untuk mendapatkan nilai parameter yang akan digunakan untuk menyusun model, yang mencakup pengukuran unsur-unsur cuaca, pertumbuhan dan perkembangan tanaman, kadar air tanah dan parameter pertumbuhan serta tanah.

Model simulasi tanaman kentang disusun setelah mendapatkan nilai-nilai parameter yang diturunkan dari hasil percobaan lapang dan studi literatur. Model simulasi tanaman kentang yang disusun merupakan model mekanistik yang dapat menjelaskan proses-proses yang berhubungan dengan pertumbuhan, perkembangan dan neraca air tanaman kentang sesuai dengan percobaan lapang dan masukan yang diberikan. Selanjutnya, validasi dilakukan dengan menggunakan data hasil pengamatan dan pengukuran pada Percobaan II di daerah Galudra, Jawa Barat, perlakuan J2U1 dan Percobaan III, di daerah Kerinci, Jambi, perlakuan J1V1(varietas Granola) dan J1V2 (varietas Atlantis)

Hasil pengujian dengan uji t berpasangan antara model dengan observasi di Galudra dan Kerinci untuk varietas Granola menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P > 0,05) pada peubah umur tanaman, biomassa akar, batang, dan umbi, LAI serta kadar air tanah. Pengujian pada varietas Atlantis menunjukkan


(5)

Prediksi dilakukan menggunakan skenario peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan berdasarkan proyeksi perubahan iklim di Indonesia pada masa yang akan datang (SRESA1). Skenario yang digunakan yaitu : 1) skenario I (tahun 2020): suhu udara naik 1 °C dan curah hujan turun 5%, 2) skenario II (tahun 2050) : suhu naik 1,8 °C, curah hujan turun 10% dan, 3) skenario III (tahun 2080): suhu naik 2,3 °C, curah hujan turun 15%.

besar dari 0,80 untuk semua peubah yang diuji. Berdasarkan validasi model tersebut, model simulasi tanaman kentang mampu menduga umur tanaman, produksi biomassa dari masing-masing organ tanaman berupa akar, batang, daun, dan umbi, serta LAIdan kadar air tanah sesuai dengan pengukuran lapang. Model simulasi yang disusun dapat diaplikasikan untuk memprediksi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kentang pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia yang dapat digunakan untuk membantu perencanaan guna mengantisipasi dampak perubahan iklim.

Hasil prediksi menunjukkan peningkatan suhu udara sebesar 1,0 °C (tahun 2020), 1,8 °C (tahun 2050), serta 2,3 °C (tahun 2080) dibanding kondisi cuaca saat ini, mengakibatkan jumlah hari dari masing-masing fase perkembangan tanaman kentang di Minahasa, Alahan Panjang Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli Serdang semakin pendek sehingga umur tanaman menjadi lebih singkat. Umur tanaman yang singkat berdampak pada pengurangan biomassa tanaman yang selanjutnya akan menurunkan hasil (produktivitas) tanaman kentang masing-masing 8% – 28%, 16% – 41%, dan 29% – 57%.

Produktivitas kentang mengalami penurunan pada lima sentra produksi kentang masing-masing 2% – 12%, 4% – 27%, dan 8% – 31% akibat penurunan curah hujan sebesar 5%, 10% , dan 15%. Penurunan produktivitas terbesar terjadi di Pasuruan dan dan terkecil di Pangalengan. Penurunan curah hujan pada ketiga skenario di Alahan Panjang tidak menyebabkan terjadi penurunan produktivitas. Hal ini disebabkan karena air tidak menjadi faktor pembatas, sehingga penurunan curah hujan tidak menyebabkan penurunan biomassa selama masa pertumbuhan tanaman kentang.

Hasil model menunjukkan bahwa peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan secara bersama-sama mengakibatkan penurunan periode masing-masing fase perkembangan tanaman dan penurunan kadar air tanah, yang akhirnya mengakibatkan pengurangan pertumbuhan dan hasil tanaman kentang. Pengurangan biomassa umbi semakin besar pada peningkatan suhu udara yang makin tinggi atau penurunan curah hujan yang makin besar sesuai Skenario I, II dan III. Pada penelitian ini prediksi penurunan produktivitas untuk Skenario I, II dan III berkisar masing-masing 13% – 31%, 25% – 47% dan 37% – 63%. Pangalengan diprediksi akan mengalami penurunan terbesar pada ketiga skenario perubahan iklim.

Analisis dampak perubahan iklim juga dilakukan dengan mensimulasikan waktu tanam terhadap umur dan produktivitas kentang. Analisis dilakukan dengan simulasi waktu tanam tiap 10 hari (dasarian) mulai 1 Januari sampai 31 Desember di Minahasa, Alahan Panjang, Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli


(6)

produktivitas tinggi dibandingkan umur tanaman yang pendek. Prediksi waktu tanam kentang (varietas Granola) saat ini di Minahasa menunjukkan produktivitas maksimum (18 ton ha-1) dapat dicapai apabila kentang ditanam pada Juni I. Di daerah Minahasa tersebut, untuk mencapai produktivitas di atas 15 ton ha-1 penanaman kentang saat ini dapat dilakukan mulai dari Februari III sampai Juni III. Produktivitas di bawah 12 ton ha-1 didapatkan apabila kentang ditanam pada Juli III/III, sehingga pada waktu tanam ini tidak dianjurkan untuk menanam kentang. Sementara itu, produktivitas maksimum (21 ton ha-1) di Alahan Panjang dapat dicapai pada waktu tanam September II sampai Desember III, sedangkan

waktu tanam yang lain menghasilkan produktivitas di atas 15 ton ha-1

Dengan menjalankan model berdasarkan waktu tanam tiap dasarian dari Januari hingga Desember, diperoleh produktivitas tiap waktu tanam tersebut yang bervariasi dan waktu tanam optimal didefinisikan sebagai waktu tanam yang menghasilkan produktivitas tertinggi. Waktu tanam optimal pada kondisi peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan berdasarkan Skenario I, II dan III akan menyebabkan penurunan produktivitas kentang pada keenam sentra produksi masing-masing 11% – 29%, 22% – 43%, dan 28% – 57%. Pangalengan juga diprediksi akan mengalami penurunan terbesar pada waktu tanam optimal tersebut pada Skenario II dan III sebesar 43%, dan 57%.

. Produktivitas kentang tertinggi pada sentra-sentra produksi kentang yang lain juga dicapai pada waktu tanam yang berbeda-beda.

Pengaruh perbedaan varietas terhadap hasil tanaman kentang juga diprediksi menggunakan model simulasi untuk periode fase-fase perkembangan serta hasil umbi tanaman. Hasil prediksi menunjukkan varietas Atlatis memerlukan jumlah hari yang lebih lama untuk menyelesaikan masing-masing fase perkembangan tanaman dibanding Granola, sehingga umur kentang varietas Atlantis (116 hari) lebih panjang dari Granola (110 hari) pada tempat dan waktu tanam yang sama. Umur tanaman yang lebih panjang menyebabkan biomassa umbi varietas Atlantis lebih tinggi dari Granola. Produktivitas Atlantis sebesar 25 ton ha-1, sedangkan Granola hanya 16 ton ha-1. Varietas Atlantis memiliki nilai RUE sebesar 1,79 g MJ-1, sedangkan Granola sebesar 1,12 g MJ-1

Parameter penting dalam perhitungan biomassa menggunakan konsep RUE berbeda-beda antar tanaman maupun varietasnya, sehingga salah satu opsi adaptasi yang dapat dilakukan berdasarkan hasil simulasi model ini adalah memilih varietas kentang unggul yang memiliki nilai RUE tinggi. Di samping itu, skenario peningkatan suhu udara menyebabkan umur tanaman semakin pendek yang mengakibatkan produktivitas kentang rendah. Oleh sebab itu, opsi adaptasi lainnya dapat dilakukan dengan memilih varietas kentang yang lebih toleran terhadap suhu tinggi sehingga memiliki umur lebih panjang. Opsi lain adalah

menanam kentang pada dataran yang lebih tinggi, namun opsi ini akan

menghadapi kendala keterbatasan lahan termasuk problem lingkungan yang akan diakibatkannya.

, sehingga biomassa yang dihasilkan Atlantis dari prediksi model ini lebih besar dari Granola.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

TANAMAN KENTANG (

L.)

DI INDONESIA

SALWATI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

Penguji Luar Komisi Sidang Tertutup :

Dr. Ir. Impron, M.Sc

Dr. Ir. Haris Syahbuddin, DEA

Sidang Terbuka :

Dr. Ir. Haris Syahbuddin, DEA Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS


(10)

Nama : SALWATI

NRP : G. 261090041

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc

Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS.

Anggota Anggota

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS.

Diketahui

Ketua Program Studi

Klimatologi Terapan Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian : 11 Juni 2012


(11)

Alhamdulillahirobbil ‘alamin. Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-NYA penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun Disertasi program Doktor pada program studi Klimatologi Terapan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Desember 2009 sampai dengan September 2011 dengan judul “Aplikasi Model Simulasi untuk Prediksi Dampak Perubahan

Iklim terhadap Produktivitas Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) di

Indonesia”. Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman hortikultura penting yang ditanam lebih dari 55 ribu ha di Indonesia dengan produksi nasional 864 ribu ton. Pertumbuhan tanaman kentang tergantung pada unsur-unsur iklim terutama curah hujan, radiasi matahari dan suhu udara. Perubahan iklim khususnya peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan diperkirakan akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan dengan produktivitas tanaman kentang. Namun demikian, prediksi dampak perubahan iklim terhadap produksi kentang di Indonesia belum tersedia sehingga diperlukan model simulasi tanaman kentang untuk analisis dampak perubahan iklim. Model simulasi tanaman kentang yang dapat diterapkan pada kondisi lingkungan yang beragam, diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas kentang nasional.

Pada kesempatan ini, dengan selesainya penelitian dan penyusunan Disertasi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan, serta kerja sama yang baik. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc., atas kesediaannya menjadi ketua komisi

pembimbing. Penulis sampaikan terima kasih atas segala bimbingan, nasehat, arahan, dukungan, bantuan dana, dan kerjasamanya dalam melaksanakan penelitian dan penyusunan disertasi ini.

2. Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS., dan Dr. Ir. Rini Hidayati, MS., atas kesediaannya menjadi anggota komisi pembimbing. Penulis sampaikan terima kasih atas segala bimbingan, arahan, dan kerjasamanya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas belajar dan menyusun disertasi ini.


(12)

selama penulis menjadi petugas belajar.

4. Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang Penelitian dan

Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, atas perkenannya kepada penulis untuk melanjutkan dan melaksanakan tugas belajar dan mendapatkan beasiswa. 5. Dr. Ir. Impron, M.Sc., Dr. Ir. Haris Syahbuddin, DEA., dan Dr. Ir. Sandra

Arifin Aziz, MS atas masukan pemikiran, koreksi, dan saran pada waktu sidang tertutup dan terbuka.

6. Dr. Ir. Yayan Apriyana, M.Sc., Dr. Ir. Gusti Rusmayadi, M.Si., Dr. Ir Aris Pramudia, M.Si atas kerjasama serta masukan pemikiran selama penulis menjadi pertugas belajar dan menyusun disertasi.

7. Rekan-rekan peneliti dan teknisi di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Jambi dan BB-Pasca Panen, Lutfi Izhar, SP. M.Sc., Desi Hernita, SP. MP., Febriyezi, SP. M.Si., Robby Haryanto, bu Kus atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya.

8. Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa S3 program Studi Klimatologi Terapan

Departemen Geomet IPB, Ir. Yunus S, MS, Erwin Makmur, SP. MS, Ir. Urip Haryoko, M.Si, Ir. Suciantini, M.Si, Adelayda Lumengkewas, SP. M.Si, atas kekompokkan dan kerjasama yang baik selama masa perkuliahan.

9. Mahasiswa S1 bimbingan Prof. Dr. Ir. Handoko. M.Sc., Taufik Yuliawan,

Azim Cholis, S.Si., Hardie Manurung, S.Si., Ria Agustina, S.Si., Titik Qodarsih, S.Si., dan Ariyani, S.Si yang telah bekerjasama dalam berbagai aktivitas penelitian di lapang dan bantuan analisis data dukung disertasi. 10. Pak Jun, Bu Indah, Mbak Wanti, Pak Pono, Mas Aziz, Mas Nandang, dan Pak

Udin di Departemen GEOMET atas partisipasinya dan bantuannya dalam berbagai aktifitas kepengurusan akademik

11. Ayahanda Rustam Ya’kub, Ibunda tercinta Hj. Rosni Gani, kakanda Dra.

Mega Dewina, Drs. Hadi Erman, Dr. H. Edi Nirwan, Dr. Sri Avrides Swasti, adinda Nela Hayati, SE dan Gusri Zein, SE, atas do’a, kasih sayang, bimbingan, dukungan moril dan materil sampai selesainya tugas belajar.


(13)

13. Semua pihak yang tidak disebutkan namanya, yang telah turut berpartisipasi, mendukung selama penulis melaksanakan penelitian.

14. Terakhir, untuk suami tercinta Hendri Yosefina, SE dan anakku tersayang

Nayshila Alfiah Safina atas kesabaran dan ketabahannya dalam mendampingi dan menghadapi masa tugas belajar penulis yang sangat tidak mudah untuk ditempuh.

Penulis berharap semoga do’a, bimbingan, dukungan, bantuan, dan kerjasama dari berbagai pihak menjadi amal sholeh dan mendapat Ridho dari Allah SWT. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu khususnya di bidang pertanian.

Bogor , 15 Juni 2012 Salwati


(14)

Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Maret 1973 sebagai anak ketiga dari pasangan Rustam Ya’kub dan Hj. Rosni Gani. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2001, penulis di terima melanjutkan studi pascasarjana di Program Studi Agroklimatologi, Departemen Geofisika dan

Meteorologi FMIPA IPB dan menamatkannya pada tahun 2004. Kesempatan

untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Klimatologi Terapan diperoleh pada tahun 2009. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia.

Penulis berkerja sebagai staf Peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banda Aceh tahun 1998. Pada tahun 2000 sampai sekarang bekerja sebagai Peneliti Muda di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi. Bidang penelitian yang menjadi fokus peneliti adalah sumberdaya Lahan dan Lingkungan.

Satu buah artikel akan diterbitkan Edisi Juni 2012 pada Jurnal Biotropia dengan judul “Soil Water Balance, Biomass and Yield of Patato Crop (Solanum tuberosum L.) Grown in High Altitude Humid Tropics of Indonesia”. Dua artikel sudah diterima pada Jurnal Hortikultura Indonesia berjudul “Perhitungan

Kehilangan Air pada Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) berdasarkan

Neraca Air Lahan” dan “Analisis Efisiensi Penggunaan Radiasi Surya pada Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) Varietas Granola dan Atlantis. Dua buah artikel sudah diterima pada Jurnal Tanah Tropika Lampung berjudul “Model simulasi Perkembangan, Pertumbuhan, dan Neraca Air Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) pada dataran Tinggi di Indonesia dan Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Kentang (Solanum tuberosum L.) pada sentra-sentra Produksi di Indonesia” Karya-karya ilmiah ini merupakan bagian dari program S3 penulis.


(15)

(16)

(17)

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR... xviii

DAFTAR LAMPIRAN... xix

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian... 6

1.3 Keluaran Penelitian... 6

1.4 Manfaan Penelitian... 7

1.5 Kebaharuan (Novelty)... 7

1.6 Ruang Lingkup Penelitian... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Perkembangan Tanaman kentang (Solanum tuberosum L)... 13

2.2 Morfologi Tanaman Kentang... 13

2.3 Syarat Tumbuh Tanaman Kentang... 15

2.4 Pengaruh unsur cuaca terhadap Perkembangan dan Pertumbuhan Tanaman Kentang... 16

2.5 Indeks Luas Daun (LAI)... 18

2.6 Koefisien Pemadaman Tajuk (k)... 19

2.7 Berat Kering Tanaman... 20

2.8 Neraca air... 20

2.9 Evapotranspirasi... 22

2.10 Kadar Air Tanam... 22

2.11 Kebutuhan Air Tanaman... 23

2.12 Pemodelan Tanaman... 24

2.13 Fenomena Perubahan Iklim... 25

III. PERHITUNGAN KEHILANGAN AIR PADA TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L. 3.1 ) BERDASARKAN NERACA AIR LAHAN Pendahuluan... 32

3.2 Tujuan Penelitian... 34

3.3 Metodologi... 34

3.3.1 Tempat dan Waktu Percobaan ... 36

3.3.2 Bahan dan Alat... 35

3.3.3 Rancangan Percobaan... 35

3.3.4 Pelaksanaan Penelitian... 36

3.3.5 Pengukuran Kadar Air Tanah dan Kalibrasi Alat... 37

3.3.6 Neraca Air... 38

3.4 Hasil dan Pembahasan... 38

3.4.1. Kalibrasi Alat Ukur Kadar Air Tanah... 38

3.4.2. Profil Kadar Air Tanah... 40

3.4.3. Neraca Air Tanaman Kentang... 42

3.4.4. Hubungan antara Curah Hujan dan Limpasan Permukaan... 47


(18)

4.1 Pendahuluan... 50

4.2 Tujuan Penelitian... 51

4.3 Metodologi... 51

4.3.1 Tempat dan Waktu Percobaan ... 51

4.3.2 Bahan dan Alat... 51

4.3.3 Rancangan Percobaan... 51

4.3.4 Pengukuran Infiltrasi... 52

4.3.5 Pengukuran Tanaman... 52

4.6.5 Neraca Air... 52

4.4 Hasil ... 53

4.4.1. Kadar air Tanah dan Neraca Air... 53

3.4.2. Biomassa Tanaman dan Hasil... 55

4.5 Pembahasan... 56

4.6 Kesimpulan... 58

V. ANALISIS EFISIENSI PENGGUNAAN RADIASI SURYA PADA TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) VARIETAS GRANOLA DAN ATLANTIK 5.1 Pendahuluan... 62

5.2 Tujuan Penelitian... 64

5.3 Metodologi... 64

5.3.1 Pengukuran radiasi Surya dan kalibrasi Alat... 64

5.3.2 Biomassa Tanaman kentang... 65

5.3.3 Indek Luas Daun (LAI)... 65

5.3.4 Intersepsi Radiasi Surya (Qint 65 )... 5.3.5 Efisiensi Penggunaan Radiasi Surya (RUE)... 66

5.3.6 Unsur-unsur Cuaca... 66

5.4 Hasil dan Pembahasan ... 67

5.4.1 Indek Luas Daun (LAI)... 67

5.4.2 Intersepsi Radiasi Surya... 69

5.4.3 Hubungan LAI dengan Intersepsi Radiasi Surya... 71

5.4.4 Biomassa Tanaman kentang... 72

5.4.5 Efisiensi Penggunaan Radiasi Surya (RUE)... 75

5.5 Kesimpulan 78 VI. MODEL SIMULASI PERKEMBANGAN, PERTUMBUHAN DAN NERACA AIR TANAMAN KENTANG PADA DATARAN TINGGI DI INDONESIA 6.1 Pendahuluan... 80

6.2 Tujuan Penelitian... 83

6.3 Asumsi... 83

6.4 Metodologi... 84

6.4.1 Tempat dan Waktu... 84

6.4.2 Tahapan Penyusunan Model Simulasi Tanaman Kentang... 84

6.4.2.1 Submodel Perkembangan... 85

6.4.2.2 Submodel Pertumbuhan... 87

6.4.2.3 Submodel Neraca Air... 90

6.4.2.4 Parameterisasi Model... 94

6.4.2.5 Kalibrasi Model... 94


(19)

6.5.2 Validasi Submodel Perkembangan, Pertumbuhan, dan

Neraca Air Tanaman Kentang... 96

6.5.2.1 Submodel Perkembangan Tanaman... 98

6.5.2.2 Submodel Pertumbuhan Tanaman... 99

6.5.2.3 Submodel Neraca Air... 103

6.6 Kesimpulan... 104

VII. PREDIKSI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PRODUKSI KENTANG PADA SENTRA-SENTRA PRODUKSI DI INDONESIA 7.1 Pendahuluan... 108

7.2 Tujuan Penelitian... 110

7.3 Metodologi... 110

7.3.1 Metode Prediksi... 110

7.3.2 Skenario Perubahan Iklim di Indonesia... 111

7.3.3 Analisis Dampak Perubahan Iklim terhadap Produksi Kentang di Indonesia... 112

7.4 Hasil dan Pembahasan... 113

7.4.1 Prediksi dampak Peningkatan Suhu Udara dan Penurunan Curah Hujan terhadap Hasil Umbi Kentang Varietas Granola... 113 7.4.2 Pengaruh Waktu Tanam terhadap Hasil dan Umur Tanaman Kentang... 118 7.4.3 Pengaruh Varietas Tanaman Kentang (Granola vs Atlantis) Terhadap Hasil dan Umur Tanaman Kentang... 123

7.5 Kesimpulan 124 VIII PEMBAHASAN UMUM...127

IX KESIMPULAN DAN SARAN... 137

9.1 Kesimpulan ... 137

9.2 Saran ... 138

DAFTAR PUSTAKA ... 139


(20)

Tabel 2 Skenario SRES berdasarkan storyline...... 28

Tabel 3 Hasil kalibrasi hubungan antara kadar air tanah (% volume)

dengan hambatan listrik (ohm dalam kΩ) pada percobaan

pertama, kedua dan ketiga... 39

Tabel 4 Perbandingan komponen neraca air antar perlakuan selama

pengukuran pada PercobaanI, II dan III... 43

Tabel 5 Nilai ETa + Ro, ETp dan Ro pada Percobaan I, II dan III... 44

Tabel 6 Nilai curah hujan dan limpasan permukaan (Ro) yang terukur

pada Percobaan I, II dan III... 47

Tabel 7 Perbandingan komponen neraca air antar perlakuan selama

percobaan... 54

Tabel 8 Intersepsi radiasi surya oleh tajuk tanaman kentang pada

Percobaan II dan III... 70

Tabel 9 Nilai RUE tanaman kentang pada Percobaan II dan III... 76

Tabel 10 Nilai RUE tanaman kentang hasil-hasil penelitian sebelumnya.... 77

Tabel 11 Nilai-nilai parameter yang digunakan dalam menyusun model

simulasi tanaman kentang... 96

Tabel 12 Uji berpasangan t-student peubah-peubah ketiga submodel

Percobaan II dan Percobaan III... 97

Tabel 13 Penurunan produktivitas (ton ha-1) akibat peningkatan suhu udara

pada enam sentra produksi kentang di Indonesia... 114

Tabel 14 Penurunan produktivitas (ton ha-1) akibat penurunan curah hujan

pada sentra produksi kentang di Indonesia... 115

Tabel 15 Penurunan produktivitas (ton ha-1) akibat peningkatan suhu udara

dan penurunan curah hujan pada sentra produksi kentang di Indonesia... 117

Tabel 16 Penurunan produktivitas kentang pada waktu tanam optimal di

enam sentra produksi kentang akibat peningkatan suhu udara dan


(21)

Gambar 2 Skenario emisi GRK (CO2) tahun 1990-2100... 29

Gambar 3 Hubungan antara hambatan listrik dengan kadar air tanah pada

tiga kedalaman pada Percobaan I (a), Percobaan II (b), dan Percobaan III (c)... 39

Gambar 4 Profil kadar air tanah hingga kedalaman 1 m dari tiga waktu

pengukuran, hari setelah tanam (HST), pada (a) Percobaan I,

(b) Percobaan II dan (c) Percobaan III... 41

Gambar 5 Profil kadar air tanah hingga kedalaman 1 m dari tiga waktu

pengukuran, hari setelah tanam (HST) pada Percobaan III... 42

Gambar 6 Kadar air tanah total hingga kedalaman 1 m pada semua

perlakuan menurut waktu, pada (a) Percobaan I, (b) percobaan II, dan (c) percobaan III... 45

Gambar 7 Profil kadar air tanah hingga kedalaman 1 m dari tiga waktu

pengukuran, hari setelah tanam (HST)... 53

Gambar 8 Laju infiltrasi menurut kedalaman tanah 54

Gambar 9 ETa + Ro dan curah hujan selama masa pertumbuhan tanaman

kentang (26–101 HST). Garis vertikal menunjukkan 2x

simpangan baku... 55 Gambar 10 Total kadar air tanah sampai kedalaman 1 m untuk semua

kombinasi perlakuan berdasarkan waktu... 55

Gambar 11 Biomassa total pada perlakuan jarak tanam (a), dan perlakuan ukuran umbi (b) selama masa pertumbuhan tanaman kentang.

Garis vertikal menunjukkan 1x simpangan baku... 56

Gambar 12 Hasil umbi pada perlakuan jarak tanam (a), dan perlakuan ukuran umbi (b). Garis vertikal menunjukkan 1x simpangan baku... 56 Gambar 13 Nilai LAI selama pengukuran, pada Percobaan II (a), dan

Percobaan III (b). Garis vertikal menunjukkan 2x simpangan baku... 67 Gambar 14 Hubungan antara LAI dengan dengan porsi radiasi surya yang

ditransmisikan di bawah tajuk tanaman, pada Percobaan II(a), dan Percobaan III (b)... 69 Gambar 15 Hubungan nilai LAI dengan intersepsi radiasi surya kumulatif

pada tajuk tanaman, pada Percobaan II (a), dan Percobaan III (b)... 71 Gambar 16 Biomassa akar, batang, daun dan umbi pada Percobaan II, (a)

perlakuan jarak tanam, (b) perlakuan ukuran umbi bibit. Garis

vertikal menunjukkan 2x simpangan baku... 73

Gambar 17 Biomassa akar, batang, daun dan umbi pada Percobaan III, (a) perlakuan jarak tanam dan (b) perlakuan varietas. Garis vertikal

menunjukkan 2x simpangan baku... 75

Gambar 18 Hubungan radiasi surya kumulatif yang diintersepsi tajuk tanaman kentang dengan penambahan biomassa tanaman kentang pada (a) Percobaan II, varietas Granola (G1) dan (b)


(22)

organ akar, batang, daun, dan umbi ... 90

Gambar 22 Diagram Forrestersubmodel neraca air tanaman kentang... 91

Gambar 23 Perbandingan antara prediksi model dan observasi periode fase perkembangan tanaman di Galudra [Granola] dan kerinci

[Granola,Atlantis] (a). Perbandingan plot 1 : 1 (b)... 99

Gambar 24 Perbandingan antar prediksi model dan observasi LAI tanaman kentang di Galudra [Granola] dan Kerinci [Granola, Atlantis] (a), dan perbandingan plot 1 : 1 (b)... 100 Gambar 25 Perbandingan antara keluaran model dan observasi biomassa

akar, batang, daun, dan umbi tanaman kentang di Galudra

varietas Granola (a), Perbandingan plot 1 : 1 (b)... 101

Gambar 26 Perbandingan antara prediksi model dan observasi biomassa

akar, batang, daun, dan umbi di Kerinci varietas Granola (a),

dan perbandingan plot 1 : 1 (b)... 102 Gambar 27 Perbandingan antara prediksi model dan observasi biomassa

akar, batang, daun, dan umbi di Kerinci varietas Atlantis (a),

dan perbandingan plot 1 : 1 (b)... 103 Gambar 28 Perbandingan antara prediksi model dan observasi kadar air

tanah di Galudra dan Kerinci (a), dan perbandingan plot 1 : 1

(b)... 104 Gambar 29 Prediksi periode fase perkembangan tanaman kentang (hari)

pada kondisi cuaca saat ini dibandingkan skenario I, skenario II, dan skenario III, pada daerah Minahasa (a), Alahan Panjang (b), Pangalengan (c), Wonosobo (d). Pasuruan (e), dan Deli Serdang (f)... 113 Gambar 30 Biomassa umbi (berat basah) pada kondisi cuaca saat ini

dibanding skenario I, II, dan III di Minahasa (a), Alahan Panjang (b), Pangalengan (c), Wonosobo (d), Pasuruan (e), dan Deli Serdang (f)... 115 Gambar 31 Pengaruh waktu tanam terhadap umur dan produktivitas

kentang pada kondisi cuaca saat ini di Minahasa (a), Alahan Panjang (b), Pangalengan (c), Wonosobo (d), Pasuruan (e), dan Deli Serdang (f). [garis : umur tanaman, batang : produktivitas kentang]... 119 Gambar 32 pengaruh waktu tanam terhadap umur dan produktivitas

kentang di Minahasa, kondisi saat ini (a), skenario I (b), skenario II (c), dan skenario III (d) [garis: umur tanaman,

batang: produktivitas kentang]... 121

Gambar 33 Pengaruh waktu tanam terhadap umur dan produktivitas kentang di Alahan Panjang, kondisi cuaca saat ini (a), skenario I (b), skenario II (c), dan skenario III (d) [garis : umur tanaman,

batang : produktivitas kentang]... 121

Gambar 34 Pengaruh waktu tanam terhadap umur dan produktivitas kentang di Deli Serdang, kondisi cuaca saat ini (a), skenario I (b), skenario II (c), dan skenario III (d) [garis : umur tanaman,


(23)

Gambar 36 Prediksi biomassa umbi kentang varietas Granola dan varietas Altantis waktu tanam tanggal 14... 123


(24)

Lampiran 2 Hasil pengukuran kadar air tanah Percobaan I ( Pacet)... 150 Lampiran 3 Hasil pengukuran kadar air tanah Percobaan II ( Galudra)... 151 Lampiran 4 Hasil pengukuran kadar air tanah Percobaan III (Kerinci)... 152 Lampiran 5 Radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang

Percobaan II (Galudra)... 153 Lampiran 6 Radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang

Percobaan III (Kerinci)... 154

Lampiran 7 Nilai LAI tiap perlakuan Percobaan II (Galudra)... 155

Lampiran 8 Nilai LAI tiap perlakuan Percobaan III (Kerinci)... 155

Lampiran 9 Berat kering akar Percobaan I (Pacet)... 156

Lampiran 10 Berat kering batang Percobaan I (Pacet)... 156

Lampiran 11 Berat kering daun Percobaan I (Pacet)... 156

Lampiran 12 Berat kering umbi Percobaan I (Pacet)... 157

Lampiran 13 Berat kering akar Percobaan II (Galudra)... 157

Lampiran 14 Berat kering batang Percobaan II (Galudra)... 158

Lampiran 15 Berat kering daun Percobaan II (Galudra)... 158

Lampiran 16 Berat kering daun Percobaan II (Galudra)... 159

Lampiran 17 Berat kering akar Percobaan III (Kerinci)... 159

Lampiran 18 Berat kering batang Percobaan III (Kerinci)... 160

Lampiran 19 Berat kering daun Percobaan III (Kerinci)... 160

Lampiran 20 Berat kering umbi Percobaan III (Kerinci)... 161


(25)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kebutuhan bahan pangan masyarakat Indonesia semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, sehingga mendorong berbagai upaya untuk peningkatan produksi bahan pangan secara berkelanjutan. Salah satu komoditas sayuran utama dan strategis dalam program ketahanan pangan adalah tanaman kentang (Solanum tuberosum L.). Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 mencatat bahwa luas panen kentang di Indonesia sekitar 55 ribu ha dengan produksi nasional 864 ribu ton.

Di Indonesia tanaman kentang dikelompokkan dalam komoditas sayuran dan merupakan salah satu komoditas yang mendapat prioritas dalam program penelitian dan pengembangan sayuran dalam rangka mendukung ketahanan pangan dan diversifikasi pangan. Kentang juga merupakan salah satu komoditas sayuran diusahakan oleh sekitar 45 ribu petani, memiliki nilai ekonomi tinggi karena usaha budidaya kentang mampu menghasilkan produksi antara 15 – 30 ton

ha-1

Peningkatan jumlah penduduk serta variasi kegunaan kentang mengakibatkan permintaan kentang cenderung meningkat setiap tahun, namun produktivitas masih rendah. Produktivitas kentang Indonesia yang rata-rata

dan harga yang relatif stabil (Sawit et al. 1997; Lakoy 2009), serta berpotensi besar sebagai penyedia sumber bahan pangan alternatif. Selain untuk konsumsi, kentang dapat dijadikan bahan baku untuk industri olahan makanan (Temmerman et al. 2002).

15 ton ha-1 (BPS 2011) masih rendah, apabila dibandingkan dengan rata-rata negara penghasil kentang yaitu 45 ton ha-1 (Gustianty 2008). Potensi kentang di Indonesia menurut hasil penelitian mencapai 35 ton ha-1 (Nurtika 2007), sehingga terjadi senjang (gap) produktivitas yang masih jauh yaitu 20 ton ha-1

Intergovernmental panel on climate change/IPCC (2007) memperkirakan pemanasan global dapat mengakibatkan peningkatan suhu udara di Indonesia

(57,1%). Salah satu penyebab terjadinya senjang produktivitas kentang ini adalah faktor fluktuasi unsur-unsur cuaca terutama curah hujan dan suhu udara, sehingga perubahan iklim diduga akan menyebabkan penurunan produksi kentang.


(26)

berkisar antara 2 – 3 o

Peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer menyebabkan radiasi gelombang panjang yang dipancarkan permukaan bumi diserap GRK tersebut di atmosfer yang kemudian dipancarkan kembali ke bumi sehingga menyebabkan peningkatan suhu udara global. Aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer berupa pembakaran bahan bakar fosil dan aktivitas lainnya yang menghasilkan emisi GRK yaitu CO

C. Pemanasan global (global warming) adalah suatu gejala peningkatan suhu permukaan bumi yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) dari bumi yang terus meningkat, sehingga meningkatkan konsentrasinya di atmosfer selama beberapa dekade terakhir (IPCC 2000; 2007).

2, CH4, N2

Perubahan iklim global akan mempengaruhi setidaknya tiga unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan tanaman, yaitu: (a) peningkatan suhu udara yang juga akan berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (b) perubahan pola curah hujan dan peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti El-Nino dan La-Nina, dan (c) kenaikan tinggi muka air laut akibat pencairan gunung es di kutub utara (Las et al. 2008 ; Paudel et al. 2011).

O dan halokarbon (kelompok gas yang mengandung florine, klorin dan bromin). Gas-gas tersebut terakumulasi di atmosfer yang menyebabkan peningkatan konsentrasinya sejalan dengan waktu (IPCC 2007).

Perubahan iklim akan mempengaruhi curah hujan dan produksi kentang di Indonesia (Boer et al. 2001). Perubahan iklim akan membawa dampak terhadap tanaman kentang yang menyebabkan hasil tanaman semakin rendah (Holden dan Breneton 2006). Hal ini sejalan dengan pendapat Craufurd dan Wheeler (2009), bahwa perubahan iklim dapat membawa dampak terhadap tanaman yang menyebabkan hasil tanaman semakin rendah karena peningkatan suhu udara atau penurunan curah hujan. Iklim adalah unsur utama yang mempengaruhi sistem metabolisme dan fisiologi tanaman, maka perubahan iklim akan berdampak buruk terhadap keberlanjutan pembangunan pertanian (Laux et al. 2010).

Namun demikian, berapa besar pengaruh dampak perubahan iklim terhadap produksi kentang nasional belum diketahui secara tepat dan memerlukan penelitian atau model prediksi kuantitatif yang mampu memprediksi dampak


(27)

perubahan iklim terhadap produksi kentang pada sentra-sentra produksi di Indonesia.

Evaluasi tentang interaksi iklim dan tanaman memerlukan analisis kuantitatif secara komprehensif untuk dapat menjelaskan hubungan keduanya, sehingga prediksi dan antisipasi terhadap perubahan iklim dapat dilakukan. Model simulasi tanaman dapat digunakan untuk keperluan prediksi tersebut dan penelitian ini akan menyusun model simulasi tanaman kentang yang mampu menjelaskan hubungan unsur-unsur cuaca/iklim dengan hasil tanaman kentang di Indoesia. Model selanjutnya digunakan untuk memprediksi dampak perubahan iklim terhadap produksi kentang nasional. Prediksi tersebut merupakan masukan dalam perencanaan adaptasi budidaya tanaman kentang terhadap perubahan iklim. Proses-proses yang terjadi pada produksi pertanian adalah sesuatu yang berulang, sehingga proses-proses tersebut dapat diidentifikasi untuk selanjutnya diformulasikan menjadi persamaan-persamaan matematik (Handoko 1994). Persamaan-persamaan matematik tersebut dapat disusun secara sistematis dan terintegrasi dalam suatu model simulasi tanaman untuk menggambarkan serta memprediksi perkembangan dan pertumbuhan tanaman sesuai hasil pengamatan lapang. Selanjutnya validasi hasil prediksi model menggunakan data pengamatan empiris diperlukan sebelum model tersebut dapat diaplikasikan.

Di samping validasi terhadap output model simulasi tanaman, pengujian setiap persamaan yang digunakan untuk memprediksi tiap proses yang terjadi dalam perkembangan dan pertumbuhan tanaman menjadi sangat penting. Pustaka tidak selalu menyediakan persamaan atau parameter tiap jenis tanaman untuk dapat digunakan dalam menyusun model simulasi. Suatu persamaan atau parameter mungkin menjadi tidak berlaku jika persamaan atau parameter tersebut diturunkan di daerah lain yang mempunyai iklim atau kondisi lingkungan yang jauh berbeda meskipun untuk tanaman yang sama. Oleh sebab itu dalam menyusun model simulasi tanaman, penelitian lapang diperlukan untuk: (1) menurunkan berbagai persamaan dan parameter yang akan digunakan untuk menyusun model, dan (2) melakukan validasi terhadap hasil simulasi model (Marcelis et al. 2006).


(28)

Setelah tervalidasi, model simulasi tanaman dianggap mampu menjelaskan mekanisme proses yang terjadi dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hasil kentang dapat diprediksi oleh model menggunakan input berupa parameter (tanah dan tanaman) dan peubah-peubah (unsur-unsur iklim) yang berbeda mewakili berbagai daerah dan waktu tanam tertentu. Pendekatan semacam ini dapat menghemat waktu dan biaya sebagai alat analisis dan prediksi kuantitatif serta pemecahan masalah secara integral dalam pertanian dibandingkan dengan penelitian lapang pada banyak wilayah dan variasi waktu tanam. Namun demikian, model simulasi tanaman juga memiliki keterbatasan antara lain tidak dapat menjelaskan serta memprediksi hal-hal yang dipengaruhi selain oleh input

model (Handoko 1994). Oleh sebab itu, pemahaman terhadap input, proses serta

output model yang disusun menjadi penting guna menjawab permasalahan yang dituangkan dalam tujuan model (Wolf 2002).

Sehubungan dengan masalah di atas, ditunjang oleh teknologi dalam bidang komputer yang makin meluas, penelitian lapang makin berkembang ke arah model simulasi dalam bidang pertanian, salah satunya adalah model simulasi untuk tanaman kentang. Tanpa analisis kuantitatif yang dapat menjelaskan interaksi iklim dan tanaman, maka prediksi dan antisipasi terhadap perubahan iklim ini akan sulit dilakukan. Oleh sebab itu, diperlukan model simulasi tanaman untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim (White et al. 2011), yang disusun dalam penelitian ini.

Model simulasi tanaman kentang yang disusun dalam penelitian ini menggunakan konsep efisiensi penggunaan radiasi (radiation-use efficiency/RUE untuk memprediksi pertumbuhan dan hasil tanaman kentang. Ketepatan perhitungan pertumbuhan dan hasil tanaman kentang sangat ditentukan oleh parameter RUE serta perhitungan intersepsi radiasi surya yang ditentukan oleh koefisien pemadaman tajuk (k) tanaman kentang.

Nilai RUE berbeda-beda antar tanaman maupun varietasnya. Nilai RUE tanaman kentang pada berbagai varietas dan generasinya yang diusahakan di Indonesia belum banyak tersedia pada pustaka. Penelitian lapang didesain untuk menurunkan parameter-parameter tersebut serta yang lain guna menunjang


(29)

penyusunan model simulasi tanaman kentang. Penelitian ini akan menurunkan nilai RUE tanaman kentang varietas Granola (G1 dan G2) dan Atlantis (G4).

Suhu mempengaruhi kecepatan perkembangan tanaman serta laju respirasi tanaman. Perubahan iklim yang diperkirakan akan meningkatkan suhu udara diduga akan menyebabkan penurunan hasil tanaman kentang yang sangat rentan terhadap peningkatan suhu udara. Pengaruh kenaikan suhu udara dihitung melalui perubahan periode fase-fase perkembangan tanaman yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman kentang menggunakan konsep thermal unit serta melalui peningkatan respirasi pemeliharaan akibat kenaikan suhu tersebut.

Tanaman kentang di Indonesia yang pada umumnya dibudidayakan pada ketinggian di atas 800 m dari permukaan laut (dpl) (Sutapradja 2008) yaitu pada daerah pegunungan dengan tingkat kemiringan yang tinggi. Akibatnya, air sering

menjadi masalah serius pada musim hujan karena limpasan permukaan yang diakibatkan. Sebaliknya, pada musim kemarau kadar air tanah yang rendah menjadi kendala untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu, penentuan waktu tanam yang tepat untuk mendapatkan ketersediaan air yang cukup tetapi mendapatkan radiasi surya yang tinggi serta meminimalkan kehilangan air melalui limpasan permukaan merupakan alternatif pengelolaan air yang penting. Untuk itu, diperlukan informasi mengenai hubungan curah hujan dan kehilangan air tanah melalui limpasan permukaan dan evapotranspirasi untuk mengetahui informasi dinamika air tanah. Penelitian lapang juga didesain untuk mengkaji hubungan tersebut yang selanjutnya digunakan untuk pemahaman proses dalam penyusunan model simulasi tanaman kentang.

Model simulasi tanaman kentang yang disusun akan menggambarkan proses perkembangan dan pertumbuhan tanaman, serta proses neraca air. Satu percobaan lapang di Pacet, Provinsi Jawa Barat, dilakukan untuk menurunkan parameter-parameter model pada proses kalibrasi, serta dua percobaan lapang di Galudra, Provinsi Jawa Barat dan Kerinci, Provinsi Jambi untuk proses validasi model. Setelah model tervalidasi maka model dapat diaplikasikan sebagai alat bantu pengambilan keputusan (decision-support tool) (Goudriaan et al. 1998 ; Holden dan Breneton 2006). Decision-support tool ini dapat meliputi : penentuan potensi produksi pada berbagai wilayah sentra produksi kentang di Indonesia,


(30)

pemilihan varietas, pemilihan waktu tanam yang optimum, dan yang terpenting untuk simulasi dampak perubahan iklim terhadap hasil tanaman kentang.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menyusun model simulasi perkembangan, pertumbuhan, dan neraca air tanaman kentang yang dapat menjelaskan mekanisme proses yang terjadi selama periode perkembangan dan pertumbuhan tanaman kentang. Model simulasi yang sudah disusun dan divalidasi digunakan untuk memprediksi potensi produksi dan antisipasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kentang pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Menetapkan parameter tanah, tanaman melalui percobaan lapang dan beberapa referensi serta pengumpulan data iklim, kemudian mengintegrasikannya untuk menyusun model simulasi perkembangan, pertumbuhan dan neraca air tanaman kentang.

2. Mendapatkan nilai kadar air tanah untuk menghitung kehilangan air melalui evapotranspirasi aktual dan limpasan permukaan pertanaman kentang.

3. Menurunkan dan mendapatkan nilai efisiensi penggunaan radiasi (RUE) tanaman kentang varietas Granola (G1, G2) dan Atlantis (G4) berdasarkan pertambahan berat kering dan jumlah radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang.

4. Menyusun serta melakukan validasi model simulasi perkembangan, pertumbuhan, dan neraca air tanaman kentang.

5. Mengaplikasikan model simulasi tanaman kentang yang sudah disusun untuk memprediksi potensi produksi dan dampak perubahan iklim terhadap produksi tanaman kentang pada sentra-sentra produksi di Indonesia untuk membantu pemilihan opsi-opsi adaptasi dampak perubahan iklim.

1.3. Keluaran Penelitian

1. Parameter tanah, tanaman, dan cuaca yang didapat dari percobaan lapang dan beberapa referensi serta data cuaca harian.


(31)

2. Nilai kadar air tanah, evapotranspirasi aktual dan limpasan permukaan pada lahan pertanaman kentang.

3. Nilai RUE tanaman kentang varietas Granola (G1 dan G2) serta Atlantis (G4).

4. Model simulasi tanaman kentang yang mampu mensimulasi proses perkembangan, pertumbuhan dan neraca air tanaman kentang berdasarkan variasi unsur-unsur iklim.

5. Potensi produksi dan prediksi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas tanaman kentang pada sentra-sentra produksi di Indonesia serta opsi-opsi adaptasi untuk mengantisipasinya.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Pemahaman tentang faktor-faktor penting dalam peningkatan produktivitas kentang.

2. Pemilihan opsi adaptasi dampak perubahan iklim untuk peningkatan produktivitas kentang pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia.

3. Diperolehnya strategi peningkatan produktivitas kentang pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia.

1.5. Kebaharuan (Novelty)

Sedikitnya ada empat hal sebagai kebaharuan (novelty) dalam penelitian yang berjudul : Aplikasi Model Simulasi untuk Prediksi Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) di Indonesia yaitu :

1. Parameter penting yang digunakan untuk menghitung produksi biomassa adalah konsep RUE (ε dalam g MJ-1

2. Produksi biomassa akan dipengaruhi oleh faktor ketersediaan air tanaman yang dipenuhi oleh curah hujan. Ketersediaan air tanaman kentang yang dihitung dari intersepsi hujan oleh tajuk tanaman, evaporasi dan transpirasi

) yang berbeda-beda antar spesies tanaman maupun varietasnya. Nilai ε tanaman kentang belum banyak tersedia pada pustaka, khususnya yang menghitung total biomassa termasuk umbi kentang. Penelitian ini menemukan nilai ε tanaman kentang varietas Granola (G1, G2) dan Atlantis (G4).


(32)

tanaman, dan limpasan permukaan (runoff). Penelitian ini menemukan nilai evapotranspirasi aktual (ETa) dan runoff (Ro) selama masa pertumbuhan tanaman kentang sehingga dapat diketahui proporsi kebutuhan air tanaman melalui ETa, kehilangannya berupa Ro serta ketersediaan air dari curah hujan.

3. Model simulasi tanaman kentang yang disusun dalam penelitian ini merupakan alat prediksi kuantitatif dampak perubahan suhu udara dan curah hujan akibat perubahan iklim terhadap produktivitas tanaman kentang di Indonesia untuk menentukan opsi-opsi adaptasi perubahan iklim.

4. Terkait dengan fungsi model simulasi ini dapat diaplikasikan sebagai alat analisis kuantitatif dalam pengambilan keputusan (decision-support tool),

yang meliputi : penentuan potensi produksi pada berbagai wilayah sentra produksi kentang di Indonesia, pemilihan varietas, dan pemilihan waktu tanam yang optimum.

5. Keempat hal tersebut di atas diharapkan dapat menyumbangkan informasi, sehingga secara umum dapat membantu petani dan stakeholder dalam meningkatkan produksi tanaman kentang.

Beberapa model simulasi tanaman yang sebelumnya telah berhasil mensimulasikan pertumbuhan tanaman ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil penelitian penyusunan model simulasi tanaman

Peneliti Tanaman

Munchow & sinclair (1986) Kedelai Munchow & sinclair (1991) Jagung Amir & Sinclair (1991) Gandum

Handoko (1992) Gandum

Wolf (2002)* Kentang

Djufry (2005) Jarak Pagar

Rusmayadi (2009) Jarak Pagar

Keterangan : *) model mengaplikasikan konsentrasi CO2

terhadap tanaman kentang

Wolf (2002) telah menyusun simulasi pertumbuhan dan hasil kentang di negara Belanda. Model diaplikasikan untuk memprediksi pengaruh konsentrasi CO2 terhadap pertumbuhan tanaman kentang, namun dalam pertumbuhan dan


(33)

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

Percobaan lapang yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri tiga percobaan untuk menghitung kadar air tanah, menurunkan nilai RUE dari varietas dan generasi tanaman kentang yang berbeda, menetapkan fase-fase perkembangan tanaman serta mengkaji partisi biomassa pada organ tanaman yaitu akar, batang, daun dan umbi serta untuk validasi model simulasi tanaman kentang. Data yang diperoleh dari percobaan pertama digunakan untuk parameterisasi pada proses kalibrasi submodel perkembangan, pertumbuhan dan neraca air tanaman kentang yang disusun. Data dari percobaan kedua dan ketiga digunakan untuk proses validasi model dari model yang sudah disusun. Data cuaca harian dari ketiga lokasi percobaan yang meliputi curah hujan, suhu udara, radiasi surya, kelembaban udara dan kecepatan angin digunakan sebagai masukan model.

Submodel perkembangan mensimulasi perkembangan tanaman dari tanam sampai panen. Laju perkembangan diduga berdasarkan konsep thermal unit

dengan menggunakan data suhu udara harian. Pengamatan dilakukan terhadap suhu udara dan fase-fase perkembangan tanaman. Submodel pertumbuhan mensimulasi produksi biomassa tanaman berdasarkan RUE serta faktor ketersediaan air yang dihitung berdasarkan nisbah antara transpirasi aktual dan maksimum. Dalam submodel ini, respirasi dihitung dari fungsi suhu udara dan biomassa masing-masing organ.

Radiasi surya di atas dan di bawah tajuk tanaman masing-masing diukur menggunakan sensor radiasi surya solarimeter dan tube solarimeter. Sebelum alat pengukur radiasi surya dipasang di lokasi penelitian, dilakukan kalibrasi alat untuk membandingkan setiap alat dengan input radiasi surya yang sama. Sensor untuk mengukur radiasi surya datang di atas tajuk tanaman (Qo) diletakkan pada ketinggian 1 m di atas tempat terbuka. Sensor untuk mengukur radiasi transmisi (Qτ) diletakkan pada ketinggian 5 cm di atas tanah, di bawah tajuk tanaman kentang. Pengambilan data dilakukan setiap 15 menit masing-masing dengan 3 kali pengukuran data dari pagi (jam 08.00) hingga sore (jam 16.00) hari, kemudian dihitung nilai rata-ratanya.

Untuk keperluan penyusunan submodel neraca air nilai kandungan air tanah diukur menggunakan sensor kadar air tanah dengan prinsip hambatan listrik


(34)

setiap minggu dari tanam hingga panen. Pengukuran dilakukan pada kedalaman 10 cm, 20 cm, 40 cm, 60 cm, 80 cm, dan 100 cm. Oleh karena itu, dalam laporan ini sistematika dibagi secara bertahap dalam beberapa sub judul dengan maksud memberikan keterkaitan antara bagian satu dengan bagian lainnya.

Bab I memberikan gambaran umum penelitian secara keseluruhan dan juga dijelaskan tentang tujuan, keluaran, dan manfaat penelitian, kebaharuan (novelty) serta ruang lingkup penelitian.

Bab II menjelaskan tentang sintesa tanaman kentang, model simulasi tanaman kentang, dan perubahan iklim (Tinjauan Pustaka).

Bab III menghitung kehilangan air tanaman kentang melalui evapotranspirasi aktual dan limpasan permukaan pada tiga lokasi pertanaman kentang dengan ketinggian tempat dan curah hujan yang berbeda. Analisis dilakukan menggunakan perhitungan neraca air lahan berdasarkan pengamatan kadar air tanah serta curah hujan pada tiga lokasi pertanaman kentang.

Bab IV menjelaskan hubungan antara ketersediaan air tanah dan kehilangan air tanaman kentang yang sudah dianalisis berdasarkan neraca air lahan pada Bagian III dengan pertumbuhan dan hasil tanaman kentang yang di tanam di salah satu lokasi pertanaman kentang (Pacet).

Bab V menurunkan dan mendapatkan nilai RUE tanaman kentang varietas Granola (G1, G2) dan Atlantis (G4) berdasarkan penambahan berat kering dan jumlah radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang.

Bab VI menjelaskan penyusunan model simulasi tanaman kentang. Dalam bagian ini juga dijelaskan pemanfaatan data percobaan pertama untuk parameterisasi pada proses kalibrasi model. Setelah itu dijelaskan pemanfaatan data percobaan kedua dan ketiga untuk keperluan validasi model.

Bab VII adalah aplikasi model simulasi tanaman sebagai alat analisis kuantitatif untuk memprediksi potensi produksi dan dampak perubahan iklim (peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan) terhadap produktivitas tanaman kentang di Indonesia sehingga dapat ditentukan opsi-opsi adaptasi perubahan iklim.


(35)

Seluruh kegiatan penelitian dalam disertasi ini dirangkum dalam alur penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 1. Pembahasan umum dijelaskan pada Bab VIII, kesimpulan dan saran pada Bab IX.

Gambar 1. Alur kerangka pemikiran pelaksanaan penelitian.

Permasalahan Tujuan model

Studi literatur Percobaan lapang

Sub model pertumbuhan Sub model

perkembangan

Penyusunan model

Prediksi dampak perubahan iklim terhadap produksi kentang

Model tervalidasi

Sub model neraca air

Adaptasi perubahan iklim

• Sentra-sentra produksi

• Data cuaca saat ini

• Skenario SRESA1

Kalibrasi (Percobaan I)

Validasi (Percobaan II dan III


(36)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Perkembangan Tanaman Kentang (Solanum tuberosum. L)

Tanaman kentang (Solanum tuberosum. L) berasal dari daerah sub tropik, tepatnya di pegunungan Andes, Amerika Selatan, perbatasan antara Bolivia dan Peru. Di daerah asalnya, ditemukan lebih dari 5.000 spesies kentang, namun yang paling banyak ditemukan adalah spesies Solanum tuberosum L. Daerah sub tropik mempunyai suhu udara yang relatif rendah, sehingga apabila kentang ditanam di daerah tropik seperti Indonesia, maka tanaman kentang hanya dapat tumbuh secara optimal di daerah dataran tinggi (Huaman 1986).

Menurut Permadi (1989), tanaman kentang masuk ke Indonesia pada abad ke 18 dan tumbuh baik pada dataran tinggi (di atas 1.000 m dari permukaan laut). Tanaman kentang pertama kali ditanam di sekitar Cisarua, Kabupaten Bandung dan pada tahun 1811 tanaman kentang telah tersebar luas di Indonesia, terutama di daerah-daerah pegunungan seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Minahasa, Bali, dan Flores.

Sebagai bangsa yang masyarakatnya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, keberadaan kentang sebagai makanan pokok alternatif belum dikenal luas sampai beberapa dekade yang lalu. Meski konsumsi perkapita masih rendah dibanding standar konsumsi kentang rata-rata secara internasional, namun pertumbuhan kentang di Indonesia mengalami pertumbuhan yang meningkat setiap tahunnya.

Berdasarkan Sensus Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2010, tingkat konsumsi kentang naik dari 1,73 kilogram per kapita per tahun pada 2009 menjadi 1,84 kilogram per kapita per tahun pada tahun 2010. Kentang bernilai ekonomis tinggi karena memiliki harga cenderung lebih tinggi dibandingkan tanaman sayuran lainnya dan penyimpanan dapat diatur dalam jangka waktu cukup panjang sehingga pada waktu dijual akan mendapatkan harga yang tinggi.

2.2. Morfologi Tanaman Kentang

Tanaman kentang merupakan tanaman semusim yang berbentuk semak, termasuk Divisio Spermatophyta, Subdivisio Angiospermae, Kelas

Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Solanum, dan Spesies


(37)

Solanum tuberosum L. (Beukema 1977). Tanaman ini memiliki umur yang bervariasi antara 70 – 180 hari, dengan tinggi tanaman sekitar 50 – 120 cm dan diameter kanopi sekitar 50 cm (Huaman 1986).

Batang tanaman kentang berbentuk segi empat atau segi lima, tergantung pada varietasnya. Batang tanaman tidak berkayu, namun agak keras, umumnya lemah sehingga rentan terhadap angin kencang. Warna batang umumnya hijau tua dengan pigmen ungu. Batang tanaman bercabang-cabang dan setiap cabang ditumbuhi oleh daun-daun yang rimbun. Permukaan batang halus, pada ruas batang tempat tumbuhnya cabang mengalami penebalan. Diameter batang kecil dengan panjang mencapi 1,2 meter (Samadi 2007).

Tanaman kentang umumnya berdaun rimbun dan letak daun berselang-seling mengelilingi batang tanaman. Daun berbentuk oval sampai oval agak bulat dengan ujung meruncing dan tulang-tulang daun menyirip. Warna daun hijau muda sampai hijau tua hingga kelabu. Ukuran daun sedang dengan tangkai tidak panjang. Daun berkerut-kerut dan permukaan bagian bawah daun berbulu (Huaman 1986).

Tanaman kentang mempunyai sistem perakaran tunggang dan serabut. Akar serabut umunya tumbuh menyebar (menjalar) ke samping dan menembus tanah dangkal. Akar tanaman berwarna keputih-putihan, halus dan berukuran sangat kecil. Di antara akar-akar tersebut ada yang akan berubah bentuk dan fungsi menjadi bakal umbi (stolon) yang akan menjadi umbi.

Tanaman kentang ada yang berbunga ada yang tidak, tergantung varietas. Warna bunga bervariasi, yaitu kuning atau ungu. Pada tanaman kentang yang berbunga, bunga tumbuh dari ketiak daun teratas. Jumlah tandan bunga juga bervariasi sedikit sampai banyak.

Umbi terbentuk dari ujung stolon yang membengkak. Umbi kentang merupakan gudang makanan yang terdiri dari karbohidrat, protein, dan mineral yang merupakan hasil fotosintesis. Ukuran, bentuk, dan warna umbi kentang bermacam-macam tergantung varietas. Ukuran umbi bervariasi besar dan kecil. Bentuk umbi ada yang bulat, oval agak bulat (bulat lonjong), dan bulat panjang. Umbi kentang dapat berwarna kuning dan putih. Umbi kentang memiliki mata


(38)

tunas untuk bahan perkembangbiakan yang selanjutnya dapat menjadi tanaman baru (Sunarjono 1994).

2.3. Syarat Tumbuh Tanaman Kentang

Tanah dan Ketinggian Tempat

Tanaman kentang hanya dapat tumbuh dan produktif pada jenis tanah ringan yang mengandung sedikit pasir dan kaya bahan organik. Tanah andosol yang mengandung abu vulkanik dan tanah lempung berpasir merupakan tanah yang cocok untuk tempat tumbuh tanaman kentang. Jenis tanah mempengaruhi kandungan karbohidrat umbi kentang. Pada umumnya kentang yang dikembangkan di tanah berlempung mempunyai karbohidrat lebih tinggi dan rasa kentang akan lebih enak.

Tanaman kentang tumbuh pada tanah dengan pH antara 5 – 5,5. Pada tanah asam (pH kurang dari 5), tanaman sering mengalami gejala kekurangan unsur Mg dan keracunan Mn sehingga mudah terserang nematoda. pH tanah lebih dari 7 mengakibatkan muncul gejala keracunan unsur K, sehingga umbi mudah terserang penyakit kudis dan tidak laku dijual.

Tanaman kentang tumbuh dengan baik di dataran tinggi atau pegunungan dengan ketinggian tempat antara 800 sampai 1.500 m dpl. Kentang yang ditanam pada dataran rendah, di bawah 500 m dpl mengakibatkan kentang sulit membentuk umbi. Walaupun kadang terbentuk umbi, tapi umbi yang terbentuk sangat kecil. Sementara itu, apabila ditanam di atas ketinggian 2.000 m dpl tanaman akan lambat membentuk umbi.

Iklim

Suhu udara berhubungan erat dengan ketinggian tempat, tiupan angin, serta kelembaban udara. Kelembaban udara berhubungan dengan curah hujan, penguapan tanah. Kentang menghendaki suhu udara 15 – 22 oC dengan suhu optimum 18 – 20 o

Tanaman kentang memerlukan banyak air, terutama pada stadia berbunga, tetapi tidak menghendaki hujan lebat yang berlangsung terus menerus. Curah hujan yang cocok untuk pertumbuhan tanaman kentang sebesar 2.000 – 3.000 mm tahun

C, kelembaban udara 80% – 90% (Ewing dan Struick 1995).

-1


(39)

memperlemah energi surya sehingga fotosintesis tidak berlangsung optimal. Hal ini menyebabkan umbi yang terbentuk kecil dan produksi menjadi rendah.

Tanaman kentang juga tidak menyukai daerah dengan kondisi mendung dan berkabut. Sebaliknya tanaman ini memerlukan sinar matahari penuh (60% – 80%) untuk fotosintesis. Di daerah berkabut proses fotosintesis terhambat dan mendorong timbulnya penyakit busuk daun yang disebabkan oleh cendawan. Demikian pula angin ribut yang sering terjadi dapat merusak tanaman kentang, sehingga kemampuan membentuk umbi berkurang.

2.4. Pengaruh Unsur Cuaca terhadap Perkembangan dan Pertumbuhan

Tanaman Kentang

Konsep yang umum digunakan untuk menjelaskan pengaruh suhu terhadap perkembangan tanaman adalah thermal unit. Laju perkembangan tanaman berbanding lurus dengan suhu di atas suhu dasar. Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan terutama pada respirasi. Dalam proses respirasi hasil fotosintesis akan dirubah menjadi CO2 dan H2O, sehingga semakin besar respirasi laju

pertumbuhan akan berkurang (Handoko 1994).

Kentang memiliki lima fase perkembangan tanaman yaitu: 1) tunas, 2) pembentukan organ tanaman, 3) pembentukan umbi, 4) pengisian umbi, dan 5) pematangan umbi (Burns et al. 2005). Setiap periode atau waktu dari fase perkembangan dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan suhu udara.

Menurut Nonnecke (1989) jika selama perkembangan umbi terjadi cekaman suhu yang tinggi, umbi yang dihasilkan akan berbentuk abnormal karena terjadi pertumbuhan baru dari umbi yang telah terbentuk sebelumnya yang disebut pertumbuhan sekunder (retakan-retakan pada umbi, pemanjangan bagian ujung umbi, dan kadang-kadang terjadinya rangkaian umbi). Suhu tinggi, keadaan berawan, dan kelembaban udara rendah akan menghambat pertumbuhan,

Pertumbuhan vegetatif dan produksi suatu tanaman juga tergantung pada interaksi antara tanaman dan keadaan lingkungan di mana tanaman itu tumbuh. Keadaan lingkungan yaitu iklim, tanah dan organisme lainnya. Faktor ini dapat membatasi, mendorong pertumbuhan, dan produksi tanaman, sehingga untuk memperoleh produksi dapat dilakukan dengan pengaturan faktor-faktor lingkungan sebaik mungkin.


(40)

pembentukan umbi, dan perkembangan bunga. Fluktuasi kelembaban udara yang sangat berbeda antara siang dengan malam akan mengurangi hasil. Jika malam hari kelembaban rendah, suhu udara menjadi tinggi, tanaman akan banyak melakukan respirasi.

Pertumbuhan dan hasil tanaman kentang juga sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan penyebarannya selama masa pertumbuhan. Selama pertumbuhannya tanaman kentang menghendaki curah hujan 1000 mm atau setiap bulan rata-rata 200 – 300 mm. Saat kritis bagi tanaman kentang adalah saat ketika dibutuhkan lebih banyak air, yaitu pada permulaan pembentukan stolon dan umbi. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil yang tinggi, pada saat itu kadar air tanah pada kedalaman 15 cm dari permukaan tanah tidak boleh kurang dari 56% kapasitas lapang (Nonnecke 1989).

Bodlaender (1983) menyatakan bahwa untuk dapat berfotosintesis dengan baik, tanaman memerlukan intensitas cahaya yang tinggi yang diperlukan untuk mengaktifkan distribusi asimilat, memperpanjang cabang, dan untuk meningkatkan luas serta bobot daun. Meningkatnya cahaya yang dapat diterima tanaman akan mempercepat proses pembentukan umbi dan waktu pembungaan, tetapi intensitas cahaya yang berlebihan dapat menurunkan hasil karena terjadi transpirasi yang tinggi yang tidak dapat diimbangi dengan penyerapan air dari dalam tanah. Oleh karena itu, sel akan kehilangan turgor, stomata menutup dan absorbsi CO2

Selanjutnya, pertumbuhan dan hasil tanaman kentang juga sangat dipengaruhi oleh radiasi surya. Radiasi surya merupakan sumber tenaga atau penggerak dari segala kehidupan di bumi. Intensitas radiasi yang diterima pada puncak atmosfer bumi (solar constant) besarnya sekitar 1.360 W m

berkurang sehingga hasil fotosintesisnya berkurang.

-2

Radiasi surya yang sampai di permukaan bumi diserap tanaman melalui daun tanaman. Peran daun sebagai medium untuk fotosintesis, respirasi dan

. Energi radiasi surya tersebut akan diserap oleh permukaan bumi (termasuk atmosfer) yang akan digunakan untuk proses-proses fisika atmosfer, misalnya pemanasan udara dan penguapan. Disamping itu, energi radiasi surya ini juga merupakan sumber energi untuk fotosintesis, tetapi jumlahnya kurang dari 5% dibandingkan untuk proses-proses fisika atmosfer tersebut (Handoko 1994).


(41)

transpirasi menyebabkan interaksi dengan lingkungan atmosfer menjadi sangat penting. Besaran yang menggambarkan jumlah radiasi surya yang mampu diserap tanaman adalah indeks luas daun. Indeks luas daun (LAI) menggambarkan rasio luas total permukaan daun terhadap luas proyeksi permukaan lahan yang ternaungi.

Radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang merupakan selisih antara radiasi yang sampai pada permukaan di atas tajuk tanaman dengan radiasi yang lolos pada permukaan tanah di bawah tajuk tanaman. Banyaknya radiasi surya yang diintersepsi tanaman tergantung pada besarnya radiasi yang datang, LAI, kedudukan atau sudut daun dan distribusi daun dalam tajuk (Sitompul 2002).

2.5. Indeks Luas Daun (LAI)

Istilah indeks luas daun (LAI) diperkenalkan oleh Watson (1947) yang merupakan nisbah luas daun dengan luas lahan (Dadhwal et al. 2003). Menurut Myneni et al. (1997) karena cahaya matahari tersebar merata, maka LAI secara kasar juga dapat diartikan sebagai ukuran luas daun per unit cahaya matahari yang tersedia. LAI dapat dihitung dengan menggambar bentuk daun pada kertas kemudian kertas diukur dengan planimeter, setelah itu dibuat hubungan antara luas daun dengan berat daun, sehingga luas daun dapat diduga dengan perbandingan antara luas daun dengan berat daun.

Semakin tinggi LAI persatuan luas lahan akan meningkatkan penyerapan radiasi oleh tanaman, sehingga proses fotosintesis akan maksimal yang menyebabkan produksi potensial meningkat. Dalam kaitan dengan penyerapan radiasi surya oleh tanaman maka bentuk daun menjadi penting Bentuk daun erat kaitannya dengan varietas. Varietas memiliki keragaman sifat seperti umur, bentuk tajuk dan akar, serta kepekaan atau ketahanan terhadap kekurangan atau kelebihan air, hara, radiasi surya, suhu udara, hama dan penyakit tertentu (Makarim 2009). Selain bentuk daun pengaturan jarak tanam akan memungkinkan penyerapan radiasi oleh tajuk tanaman lebih efisien (Muyan 2010).

LAI setiap tanaman berbeda-beda tergantung morfologi daun masing- masing tanaman. Jumlah populasi juga sangat berpengaruh terhadap besarnya


(42)

nilai LAI. Nilai LAI akan meningkat dengan semakin rapat tanaman, kondisi ini terjadi karena jarak antar tajuk tanaman semakin dekat, sehingga kemampuan tajuk tanaman untuk menutupi permukaan tanah tempat berdirinya tegakan menjadi semakin besar.

Menurut Biscoe dan Gallagher (1977) pada beberapa tanaman dengan LAI berkisar 4 – 5 dapat mengintersepsi sekitar 80% radiasi yang datang di atas tajuk, sedangkan untuk tanaman kentang pada nilai LAI sebesar 3 dapat mengintersepsi sekitar 85% radiasi yang datang di atas tajuk.

2.6. Koefisien Pemadaman Tajuk (k)

Pemadaman adalah suatu istilah yang mencakup semua kejadian dimana radiasi yang melewati suatu medium akan menjadi lemah atau berkurang intensitasnya. Kemampuan pemadaman cahaya oleh kanopi tanaman dapat diketahui melalui nilai koefisien pemadaman (k). Penyerapan cahaya oleh tanaman akan meningkat seiring dengan meningkatnya nilai k.

Koefisien pemadaman tajuk (k) menggambarkan besar kemampuan tajuk dalam mengintersepsi radiasi yang melewati tajuk tanaman dari puncak tajuk menuju permukaan tanah (Boer dan Las 1994). Setiap jenis tanaman memiliki koefisien pemadaman (k) yang berbeda tergantung nilai LAI. Nilai k dipengaruhi oleh sudut datang matahari dan sudut daun serta sebarannya. Jika sudut datang matahari kecil maka hampir seluruh radiasi matahari akan diintersepsi tajuk. Jika sudut daun besar (daun vertikal) sebagian besar radiasi matahari dapat sampai ke dasar tajuk, tetapi jika sudut daunnya kecil (daun horizontal) maka sebagian besar radiasi diintersepsi oleh tajuk bagian atas (Monteith 1975).

Koefisien pemadaman tajuk dapat diperoleh dengan menurunkan persamaan Hukum Beer untuk transmisi. Pola pemadaman tajuk sesuai dengan hukum absorbsi Lambert – Beer yang menyatakan bahwa setiap lapisan yang tebalnya sama akan menyerap bagian radiasi yang sama dan yang melewatinya. Intensitas radiasi surya yang diintersepsi akan semakin besar apabila nilai LAI semakin besar. Menurut Baharsjah dalam Bey (1991), LAI tanaman akan terus meningkat hingga mencapai nilai maksimum, yaitu pada akhir pertumbuhan vegetatif yang kemudian akan menurun hingga mencapai panen. Produksi bahan


(43)

kering terbesar pada suatu tanaman akan dicapai pada saat nilai LAI optimum. Nilai LAI suatu tanaman erat hubungannya dengan berat kering tanaman.

2.7. Berat Kering Tanaman

Berat kering tanaman akan meningkat seiring dengan peningkatan nilai LAI, namun bila nilai LAI ini terus meningkat melewati nilai maksimum tanaman maka akan terjadi penurunan berat kering tanaman. Hal ini disebabkan penurunan laju fotosintesis akibat daun yang saling menaungi (Musawir 2005). Berat kering berkorelasi dengan jumlah radiasi yang diintersepsi oleh tajuk tanaman. Harjadi (1984) menyebutkan bahwa energi yang diserap tanaman ditunjukkan dengan biomassa, yang dinyatakan dalam berat kering tanaman. Oleh karena itu, besarnya radiasi yang diintersepsi tajuk tanaman berbanding lurus dengan penambahan berat kering. Penambahan berat kering tanaman merupakan respon dari penyerapan energi radiasi matahari (Kumar et al. 2008). Penerimaan radiasi pada masing-masing daun dalam satu tajuk berbeda-beda sesuai dengan penutupan daun dalam tajuk pada ketinggian yang berbeda. Efisiensi penggunaan radiasi suryaakan menjadi faktor konversi jumlah radiasi surya menjadi biomassa.

2.8. Neraca Air

Pengertian dasar neraca air adalah keseimbangan antara air yang masuk pada suatu kolom air dalam tanah dengan air yang keluar ditambah dengan total air yang tertahan di dalam tanah. Menurut Sosrodarsono danTakeda (1978) neraca air (water balance) merupakan penjelasan mengenai hubungan antara aliran masuk (inflow) dan aliran keluar (outflow) dari proses sirkulasi air untuk suatu periode tertentu di suatu daerah. Thornhtwaite dan Mather (1957) membuat persamaan neraca air yang sederhana menggunakan input hanya dari curah hujan saja. Pada metode ini semua aliran air masuk dan keluar serta nilai kapasitas cadangan air tanah pada lokasi dengan kondisi tanaman tertentu digunakan untuk mendapatkan besarnya kadar air tanah, kehilangan air, surplus, dan defisit.

Menurut Nasir (2002) berdasarkan cakupan ruang dan manfaat untuk perencanaan pertanian, disusun neraca air agroklimat dengan tiga model analisis sebagai berikut :


(44)

1. Neraca air umum, untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama air secara umum.

2. Neraca air lahan, untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama dinamika kadar air tanah untuk perencanaan pola tanam secara umum.

3. Neraca air tanaman, untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama dinamika kadar air tanah dan penggunaan air tanaman untuk perencanaan tanaman tiap kultivar.

Menurut Hillel (1971) neraca air lahan dapat diartikan sebagai masukan (input) air, keluaran (output) air dan perubahan simpanan air yang terdapat di dalam tanah pada suatu lingkungan tertentu selama periode waktu tertentu. Nasir (2002) mengemukakan bahwa analisis neraca air lahan memerlukan input data curah hujan (CH), evapotranspirasi potensial (ETp), kandungan air tanah pada kapasitas lapang (KL), dan kandungan air pada titik layu permanen (TLP).

Analisis neraca air lahan berguna terutama untuk penggunaan dalam pertanian secara umum. Nasir (2002) mengatakan secara umum manfaat neraca air lahan untuk :

1. Mengetahui kondisi agroklimat terutama dari segi kondisi air

2. Mengetahui periode musim kemarau dan musim hujan berdasarkan keseimbangan antara hujan dan ETp.

3. Memilih jenis tanaman dan mengatur jadwal tanam dan panen serta mengatur kombinasi tanaman tumpang sari.

4. Mengatur pemberian air irigasi baik jumlah maupun waktu sesuai dengan keperluan. Informasi terpenting dari neraca air lahan adalah untuk mengetahui dinamika perubahan kadar air tanah sehingga berguna untuk menyusun strategi pengelolaan usahatani.

Perhitungan neraca air lahan merupakan salah satu informasi penting untuk menentukan langkah kegiatan usaha tani dari hari ke hari. Hal ini disebabkan karena tingkat ketersediaan air mampu mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Jika tanaman mengalami cekaman air, maka pertumbuhan dan produksi akan turun. Penurunan ini akan semakin bertambah jika kejadian iklim dan cuaca yang mengganggu terjadi pada fase pertumbuhan tanaman yang peka terhadap


(45)

ketersediaan air. Jika peristiwa tersebut terjadi dengan intensitas yang tinggi dan daerah yang luas akan menurunkan produksi dalam jumlah yang besar.

2.9. Evapotranspirasi

Perhitungan neraca air sangat ditentukan oleh beberapa komponen, salah satu komponen terpenting dalam perhitungan neraca air adalah evapotranspirasi. Evapotranspirasi adalah proses penguapan atau kehilangan air yang berasal dari permukaan tanah dan permukaan tumbuhan. Keduanya bertanggung jawab terhadap proses kehilangan air tanah di bawah kondisi lapang yang normal.

Evapotranspirasi potensial (ETp) merupakan konsep yang dikembangnkan oleh Penman (1948) yang membatasi laju penguapan terbesar dari suatu komunitas tanaman. Evapotranspirasi potensial terjadi jika air tanah mencukupi atau bukan merupakan faktor pembatas, tajuk tanaman menutup secara sempurna, dan tanaman cukup pendek (Handoko 1994). Selanjutnya menurut Handoko (1994) nilai ETa akan lebih kecil dibandingkan nilai ETp pada saat penutupan tajuk belum penuh atau pada saat permukaan tanah mengalami kekeringan.

Evapotranspirasi potensial menentukan kebutuhan air tanaman dan ditentukan oleh unsur iklim yang meliputi radiasi surya, suhu dan kelembaban udara serta kecepatan angin. Oleh sebab itu, pengukuran unsur iklim sangat diperlukan untuk menghitung kebutuhan air tanaman berdasarkan evapotranspirasi potensial serta kadar air tanah oleh curah hujan, sehingga dapat dihitung air irigasi pada suatu lahan.

2.10. Kadar air Tanah

Kadar air tanah dapat dinyatakan dalam persen berat yaitu nisbah massa air terhadap massa tanah kering yang ditempatinya, atau nisbah volume air terhadap volume tanah dalam kondisi tak terganggu (Murdiyarso 1991). Suplai air yang terjadi selama hujan menyebabkan pori-pori tanah terisi air. Sifat tanah yang mengkerut bila kekeringan menyebabkan banyak celah dan rongga pada tanah tersebut jika terjadi kekeringan. Karena itu, pada awal terjadi hujan kadar air tanah meningkat dengan laju yang cepat disebabkan laju infiltrasi yang tinggi (Asril dan Hidayati 1994). Pola kadar air tanah dalam satu musim tanaman


(46)

berfluktuasi tergantung pada keseimbangan antara curah hujan dan evapotranspirasi.

Berbagai cara telah dikembangkan untuk menduga kadar air dalam tanah dan perubahannya dalam suatu periode tertentu, misalnya dengan pengukuran langsung dengan alat pengukur kadar air tanah seperti neutron-probe meter, tensiometer, dan gypsum block meter. Prinsip kerja dari gypsum block meter

adalah jumlah air yang terdapat di dalam tanah akan menentukan hambatan perpindahan muatan listrik pada medium tanah. Pengukuran dilakukan melalui medium sepasang elektroda dari bahan logam yang tahan terhadap perubahan elektrokimia yang dimasukkan pada tanah yang diukur. Nilai yang terbaca merupakan nilai impedansi listrik yang selanjutnya dapat diolah menjadi informasi kadar air tanah berdasarkan data kalibrasi.

Perbedaan kadar air tanah pada lapisan kedalaman yang sama (berlainan petak) disebabkan oleh perbedaan kehilangan air tanah melalui proses evapotranspirasi dan terdapat perbedaan antara kemampuan menahan air pada tanah yang disebabkan oleh sifat fisika tanah. Apabila suplai air terbatas dan lapisan atas tidak jenuh air, maka aliran air dalam tanah akan berhenti bila tegangan air tanah hampir sama. Apabila suplai air tidak terbatas, maka tanah khususnya lapisan atas dapat jenuh oleh air, dan apabila infiltrasi dan pergerakan air dalam tanah (perkolasi) lebih kecil dari suplai air maka terjadi runoff (Asril dan Hidayati 1994).

2.11. Kebutuhan Air Tanaman

Doorenbos dan Pruitt (1977) mendefinisikan kebutuhan air tanaman adalah banyaknya air yang diperlukan tanaman untuk menggantikan kehilangan air akibat proses evapotranspirasi pada kondisi air tanah dan kesuburan tanah yang tinggi sehingga dapat mencapai produksi potensial pada lingkungan pertumbuhannya. Kebutuhan air tanaman dipengaruhi oleh kondisi iklim dan tanah. Faktor iklim yang mempengaruhi seperti radiasi surya, suhu udara, kecepatan angin, dan kelembaban udara dalam menentukan evapotranspirasi. Sedangkan faktor tanah yang mempengaruhi seperti tekstur, kedalaman tanah, dan topografi.


(1)

kg = 0.14 km = 0.01 'Tanah:

dlayer = Val(Text9.Text) 'mm FC1 = (Val(Text10.Text)) * dlayer / 100 'mm WP1 = (Val(Text11.Text)) * dlayer / 100 'mm alpha = 5.08

U = 12 'Cuaca:

pi = 3.14: gamma = 66.1: lhv = 2.454: dair = 1.204: cp = 1010 alb = 0.25 'albedo rumput

Return

'--- Inisialisasi:

TWawal = (Val(Text12.Text) * 1000) * (100 - 84) / 100 'berat bibit kering per ha (kg/ha)

laiawal = Val(Text13.Text) lai = laiawal

swc = (Val(Text14.Text)) * (dlayer / 100) 'dalam mm Return

'--- '--- reset:

j = 0: Rain1(j) = 0: RH1(j) = 0: Temp1(j) = 0: Rad1(j) = 0: Wind1(j) = 0 DW = 0: AW = 0: BW = 0: UW = 0: TW = 0: s = 0

s1 = 0: s2 = 0: s3 = 0: s4 = 0: s5 = 0 lai = 0: slw = 0: Etm = 0: Tsa = 0: Es = 0 wdf = 0

zzz = 0 Return

'--- Input_Cuaca:

Open tinput.Text For Input As #1 Open toutput.Text For Output As #2

Open App.Path & "\perubahan.csv" For Output As #3 j = 0

While Not EOF(1) j = j + 1

Input #1, Rain1(j), Rad1(j), Temp1(j), RH1(j), Wind1(j) Wend

Close #1 Return

'--- Cuaca:

'panjang hari, dlen(hours)

d = -23.4 * Cos(2 * pi * (ij + 10) / 365) sinld = Sin(lat * pi / 180) * Sin(d * pi / 180)


(2)

cosld = Cos(lat * pi / 180) * Cos(d * pi / 180) sinb = Sin(-0.833 * pi / 180)

arg = (sinb - sinld) / cosld

arccos = 2 * Atn(1) - Atn(arg / Sqr(1 - arg * arg)) dlen = 24 / pi * arccos

'tekanan uap:

esat = 6.1078 * Exp(17.239 * suhu / (suhu + 273.3)) Ea = RH * esat / 100

vpd = esat - Ea

'landaian tekanan uap (Pa/C)

delta = (47.139 * Exp(0.055129 * suhu)) 'radiasi gelombang panjang (MJ m-2 d-1)

sangot = 58.75 * (sinld + cosld) nN = (Rad / sangot - 0.16) / 0.62

RLw = (2 * (10 ^ -9) * ((suhu + 273.3) ^ 4) * (0.56 - 0.08 * Sqr(Ea)) * (0.1 + 0.9 * nN))

'radiasi neto (MJ m-2 d-1) Rn = (1 - alb) * Rad - RLw 'fungsi aerodinamik (MJ(C m2 d)-1)

F1 = 0.64 * (1 + 0.54 * Angin * 1000 / 3600): 'angin dalam km/jam 'evapotranspirasi maksimum

'ETm = (delta * Rn + f1 * vpd * 100) / ((delta + gamma) / lhv)

Etm = (delta * Rn + F1 * dair * cp * vpd * 100 / 1000) / ((delta + gamma) * lhv): 'vpd dalam mb diubah jadi kPa

If Etm < 0 Then Etm = 0 Return

'--- Evaporasi:

'intersepsi tajuk, fint(Zinke, 1967), mm

If lai < 3 Then Fint = 0.4233 * lai Else Fint = 1.27 If Fint > hujan Then Fint = hujan

'infiltrasi (INF),mm

inf = hujan - Fint '+Irrig tsm = Etm * (1 - Exp(-k * lai)) Esm = Etm - tsm

If Esm < 0 Then Esm = 0 If tsm < 0 Then tsm = 0 p = inf

If CEs1 >= U Then GoTo stage2 stage1:

If p > CEs1 Then CEs1 = 0 Else CEs1 = CEs1 - p cumes1:

CEs1 = CEs1 + Esm

If CEs1 < U Then Es = Esm Else GoTo transition GoTo bufferevap

transition:

Es = Esm - 0.4 * (CEs1 - U) CEs2 = 0.6 * (CEs1 - U)


(3)

times = (CEs2 / alpha) ^ 2 GoTo bufferevap

stage2:

If p > CEs2 Then GoTo storm times = times + 1

timeso = times - 1

Es = alpha * Sqr(times) - alpha * Sqr(timeso) If p > 0 Then GoTo rained

If Es > Esm Then Es = Esm cumes2:

CEs2 = CEs2 + Es - p GoTo bufferevap storm:

p = p - CEs2 CEs1 = U - p

If p > U Then CEs1 = 0 GoTo cumes1

rained:

Esx = 0.8 * p

If Esx <= Es Then Esx = Es + p If Esx > Esm Then Esx = Esm Es = Esx

GoTo cumes2 bufferevap:

If swc < 0.5 * WP1 Then Es = 0 Return

'--- Perkembangan:

If s > 0.8 Then GoTo maturity If s > 0.44 Then GoTo bulking If s > 0.33 Then GoTo inisiasi If s > 0.16 Then GoTo vegetative Dim n1, n2, n3, n4, n5

emergence: s1t = s n1 = n1 + 1

If suhu > tb Then s1 = s1 + 0.16 * (suhu - tb) / Tuem Else GoTo stage If s1 > 0.16 Then s1 = 0.16

If s1 < 0.16 Then GoTo stage vegetative:

s2t = s n2 = n2 + 1

If suhu > tb Then s2 = s2 + 0.17 * (suhu - tb) / TUveg Else GoTo stage If s2 > 0.17 Then s2 = 0.17

If s2 < 0.17 Then GoTo stage inisiasi:

s3t = s n3 = n3 + 1


(4)

If suhu > tb Then s3 = s3 + 0.11 * (suhu - tb) / TUins Else GoTo stage If s3 > 0.11 Then s3 = 0.11

If s3 < 0.11 Then GoTo stage bulking:

s4t = s n4 = n4 + 1

If suhu > tb Then s4 = s4 + 0.36 * (suhu - tb) / TUbulk Else GoTo stage If s4 > 0.36 Then s4 = 0.36

If s4 < 0.36 Then GoTo stage maturity:

s5t = s n5 = n5 + 1

If suhu > tb Then dsmat = 0.2 * (suhu - tb) / TUmat Else dsmat = 0 s5 = s5 + dsmat

If s5 > 0.2 Then s5 = 0.2 smat = smat + dsmat stage:

s = s1 + s2 + s3 + s4 + s5 If (s1t = s2t) Then s1t = 0 If (s2t = s3t) Then s2t = 0 If (s3t = s4t) Then s3t = 0 If (s4t = s5t) Then s4t = 0

If suhu > tb Then TU = TU + (suhu - tb) Return

'--- Pertumbuhan:

'biomasa If s = 0.1 Then

nB = 0.3198 * Exp(-0.3173 * s) nA = 0.3319 * Exp(-0.4935 * s) nD = 1 - nS - nR

nU = 0

ElseIf s <= 0.44 Then

nB = -0.0333 * s + 0.1674 nA = -0.034 * s + 0.0806 nD = -0.0664 * s + 0.3401 nU = 1 - nS - nR - nL ElseIf s <= 0.8 Then

nB = -0.0333 * s + 0.1374 nA = -0.034 * s + 0.0706 nD = -0.0664 * s + 0.2 nU = 1 - nS - nR - nL Else

nB = 0 nA = 0 nD = 0 nU = 1


(5)

End If

'radiasi intersepsi

Sint = Rad * (1 - Exp(-k * lai))

'produksi bahan kering potensial (kg ha-1 d-1)

GDMp = LUE * Sint * 10 ^ 4: 'lue dalam kg/MJ, Sint dalam MJ/m2 GDMa = (1 - kg) * GDMp * wdf

'respirasi pemeliharaan (kg ha-1 d-1) Q10 = 2 ^ ((suhu - 20) / 10)

RmB = km * Q10 * BW: RmA = km * Q10 * AW: RmD = km * Q10 * DW: RmU = km * Q10 * UW

'pembagian biomassa:

dBW = nB * GDMa - RmB: dAW = nA * GDMa - RmA: dDW = nD * GDMa - RmD: dUW = nU * GDMa - RmU

'biomassa:

BW = BW + dBW AW = BW + dBW DW = DW + dDW UW = UW + dUW

TW = BW + AW + DW + UW Return

'--- Neraca_Air:

transpirasi:

'penyerapan air relatif (rew)

swccrit = WP1 + 0.4 * (FC1 - WP1) rew = (swc - WP1) / (swccrit - WP1) If swc <= WP1 Then rew = 0

If rew > 1 Then rew = 1 'transpirasi aktual (mm) Tsa = tsm * rew

If Tsa >= tsm Then Tsa = tsm tsa1 = tsa1 + Tsa

swc = swc + inf - Es - Tsa If swc > FC1 Then GoTo runoff GoTo bufferwbal

runoff:

runoff1 = swc - FC1 swc = FC1

bufferwbal:

If swc < 0 Then swc = 0: 'If swe < 0 Then swc = 0 If tsm > 0 Then wdf = Tsa / tsm

BW = Round(BW, 2): AW = Round(AW, 2): DW = Round(DW, 2): UW = Round(UW, 2): TW = Round(TW, 2)

Write #2, DAS, s, s1t, s2t, s3t, s4t, s5t, lai, BW, AW, DW, UW, TW, swc, FC1, WP1, runoff1, Etm, Tsa, Ea, n1, n2, n3, n4, n5

Write #3, Rain1(j), hujan, Temp1(j), suhu Return


(6)

Close #3 Close #2

MsgBox "Model telah selesai dijalankan, Klik OK untuk Keluar", vbOKOnly, "PESAN"

mainform.Hide hasilform.Show End Sub