Strategi komunikasi petani sayuran organik dalam mencari dan menggunakan informasi pertanian berbasis gender

(1)

DALAM MENCARI DAN MENGGUNAKAN INFORMASI

PERTANIAN BERBASIS GENDER

Krishnarini Matindas

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul:

“STRATEGI KOMUNIKASI PETANI SAYURAN ORGANIK DALAM MENCARI DAN MENGGUNAKAN INFORMASI PERTANIAN BERBASIS GENDER”

adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2011

Krishnarini Matindas


(3)

KRISHNARINI MATINDAS, Communication Strategies of Organic Vegetable Farmers in Seeking and Using Gender-Based Agricultural Information. Under the supervision of AIDA VITAYALA S. HUBEIS as the Head of Supervisory Commission; AMIRUDDIN SALEH and HARSONO SUWARDI as the Members.

People begin to give attention to the quality and safety of vegetable product they consume, because of the desire for the food that is free from sintetic chemicals. Organic farming is the work of male and female farmers and they need information to develop their farming activities. From the communication activities, the differences between male and female organic farmers can be identified from the responses of agricultural information they receive. This research aims: (1) to analyze of farmer’s characteristics, work division pattern, gender relation, communication factors and use of agricultural information, (2) to analyze the relationship of work division pattern, relationship of gender relation to the use of agricultural information, relationship of communication factors to the use of agricultural information, relationship of farmer’s characteristics to the use of agricultural information, (3) to design a gender - based agricultural information strategy. This research conducted in the Sub – District of Pacet, District of Cianjur and Sub - District of Megamendung, District of Bogor in the West Java Province. The study was survey to explain and explore the farmer’s communication activities in seeking and using agricultural information. By disproportionate stratified random sampling, 134 farmers were selected, consisting of 67 male and 67 female. The quantitative data was obtained from the questionnaires given to the farmers and supported by the qualitative data collected by in-depth interviews. The results indicate that male and female organic farmers are active in seeking and discussing the information they received. The control of information is dominant on male as heads of families. Women also have the right to determine agricultural information, but they prefer to discuss first with their husbands. Men often seek for information on environmental aspects and seldom seek other aspect. Women often seek information on harvest aspect but seldom seek other aspect. The personal channel is still dominant for men and women to find agricultural information, while group channel and media would useful for them. Male and female farmers were critical in evaluating the information and would say the quality of agricultural information they get is often relevant, easy to understand, can solve a problem and useful. The quality of communication channels according to men and women is often reliable, competent, and friendly but seldom attractive. Women and men were like to access and control information on postharvest. Men with the activities on land look for information through the media. Besides men also use the group channel in social activities to get agricultural information. Meanwhile, women control the information they get from the group channel. Women access the agricultural information that can solve a problem and bring benefits. Men like to get information from friendly communication channel and interesting channel. For men, the information that is useful for themselves is the one from reliable, competent, friendly and interesting communication channel. Women who having the right to control information, would compare it with other people have done, and disseminate the information they control to families or friends. For men, education would make them able to compare the information they get, age and farming experience would also make them able to discuss and disseminate the information they received. For women, education would also make them able to discuss and disseminate the information they get. The prioritized strategies are two-way communication channels to promote the gender equality and trainings on organic farming for male and female farmers.

Key words: Communication strategy, seeking and using information, gender.


(4)

KRISHNARINI MATINDAS, Strategi Komunikasi Petani Sayuran Organik dalam Mencari dan Menggunakan Informasi Pertanian Berbasis Gender. Dibimbing oleh AIDA VITAYALA S. HUBEIS sebagai Ketua; AMIRUDDIN SALEH dan HARSONO SUWARDI sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Dewasa ini masyarakat mulai memberi perhatian pada kualitas dan keamanan produk sayuran yang dikonsumsi, karena menginginkan makanan yang bebas dari bahan kimia sintetis. Keadaan ini didukung oleh keinginan petani untuk memproduksi sayuran yang tidak merusak lingkungan dan menghindari penggunaan zat kimia. Usahatani sayuran merupakan dunia kerja petani laki-laki dan perempuan, yang selalu membutuhkan informasi pertanian untuk mengembangkan usahataninya.Tujuan penelitian adalah: (1) Mengidentifikasi karakteristik petani, pola pembagian kerja, relasi gender, faktor-faktor komunikasi dan penggunaan informasi pertanian; (2) Menganalisis hubungan pola pembagian kerja, relasi gender dengan penggunaan informasi pertanian, hubungan faktor-faktor komunikasi dengan penggunaan informasi pertanian, hubungan karakteristik petani dengan penggunaan informasi pertanian; (3) Merancang strategi komunikasi informasi pertanian berbasis gender.

Penelitian didesain sebagai survei deskriptif eksplanatori yang dilaksanakan di Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor dan Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur. Menggunakan teknik stratifikasi disproportionate random sampling diperoleh 134 petani, terdiri dari 67 petani laki-laki dan 67 petani perempuan. Analisis data untuk mengetahui perbedaan antar peubah dengan uji beda Wilcoxon dan hubungan antar peubah dengan rank Spearman (rs). Untuk merancang dan menentukan prioritas dari strategi komunikasi informasi pertanian berbasis gender digunakan analisis SWOT dan AHP.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan formal petani sayuran organik pada tingkat tamat sekolah dasar dominan pada petani perempuan. Umur petani yang tergolong muda (19-29 tahun) dan tergolong sedang (30-39 tahun) dominan pada petani perempuan. Pengalaman bertani organik tergolong lama (10-40 tahun) banyak terdapat pada petani perempuan. Jenis sayuran organik yang di tanam oleh petani laki-laki dan petani perempuan maksimal sebelas jenis, di antaranya adalah sayuran daun seperti bayam merah, baby caisim, baby pakcoy, sawi putih, letuce, kol putih dan sayuran buah seperti paprika, pare, labusiam. Aktivitas produktif langsung sering dilakukan oleh petani laki-laki, petani perempuan selalu melakukan aktivitas produktif tak langsung. Petani laki-laki dan perempuan sering melakukan aktivitas sosial. Petani laki-laki dan petani perempuan aktif mencari dan diskusi tentang informasi pertanian. Informasi aspek lingkungan sering dicari petani laki-laki dan aspek penanganan panen sering dicari petani perempuan. Saluran personal menjadi pilihan petani laki-laki dan perempuan dalam mencari informasi pertanian. Petani laki-laki dan perempuan termasuk cermat dalam memproses dan mempertimbangkan informasi pertanian. Informasi dicari melalui saluran komunikasi yang mutunya dapat dipercaya, kompeten dan akrab. Petani laki-laki dan perempuan beranggapan mutu saluran komunikasi jarang mempunyai daya tarik. Petani laki-laki sering menggunakan informasi pertanian untuk diri sendiri, untuk dibandingkan, dipraktekkan, sebagai bahan diskusi, tetapi jarang menyebarkan. Petani perempuan jarang menyebarkan dan diskusi tentang informasi pertanian dengan pihak lain selain keluarga, suami dan sesama teman petani.

Terdapat perbedaan sangat nyata (p<0,01) pada kontrol informasi antara responden laki-laki dan perempuan. Petani laki-laki dominan melakukan kontrol informasi pertanian. Hubungan sangat nyata (p<0,01) dari aktivitas produktif langsung dengan faktor-faktor komunikasi pada petani laki-laki dan petani perempuan terdapat pada informasi aspek produksi dan lingkungan. Hubungan nyata (p<0,05) terdapat pada informasi penanganan panen, akses pada media yang akrab dan menarik. Terdapat hubungan sangat nyata (p<0,01) pada petani laki-laki untuk aktivitas sosial dengan saluran kelompok. Pada petani laki-laki dan perempuan ada hubungan nyata (p<0,05) pada akses dan kontrol dengan informasi aspek penanganan pascapanen. Pada petani perempuan terdapat hubungan nyata (p<0,05) antara akses dengan informasi yang dapat mengatasi masalah dan hubungan sangat nyata (p<0,01) antara akses dengan informasi yang menguntungkan. Pada petani laki-laki terdapat hubungan sangat


(5)

berhubungan sangat nyata (p<0,01) dengan saluran kelompok dan mutu saluran yang mempunyai daya tarik, berhubungan nyata (p<0,05) dengan informasi yang bermutu menguntungkan. Hubungan sangat nyata (p<0,01) antara faktor-faktor komunikasi dengan penggunaan informasi untuk diri sendiri pada petani laki-laki terdapat pada informasi aspek lingkungan, produksi, penanganan pascapanen dan kelembagaan. Adapun hubungan nyata (p<0,05) terdapat pada informasi aspek penanganan panen, ekonomi dan penguatan SDM petani. Hubungan sangat nyata (p<0,01) dari faktor-faktor komunikasi dengan penggunaan informasi untuk diri sendiri pada petani laki-laki terdapat pada saluran personal, sedangkan hubungan nyata (p<0,05) pada saluran media. Hubungan sangat nyata (p<0,01) antara penggunaan informasi untuk diri sendiri dengan faktor-faktor komunikasi, terdapat pada mutu informasi yang mudah dimengerti, dapat mengatasi masalah dan menguntungkan, sedangkan hubungan nyata (p<0,05) terdapat pada mutu informasi yang relevan, mutu saluran komunikasi yang dapat dipercaya, kompeten, akrab dan menarik. Adapun pada petani perempuan hubungan nyata (p<0,05) antara penggunaan informasi untuk diri sendiri dengan faktor-faktor komunikasi terdapat pada mutu informasi yang dapat mengatasi masalah dan saluran komunikasi yang kompeten, adapun hubungan sangat nyata (p<0,01) terdapat pada saluran komunikasi yang dapat dipercaya. Hubungan nyata (p<0,05) antara penggunaan informasi untuk dibandingkan dengan faktor-faktor komunikasi pada petani laki-laki, terdapat pada informasi penanganan pascapanen, saluran personal, mutu informasi yang menguntungkan dan mutu saluran komunikasi yang dapat dipercaya. Hubungan sangat nyata (p<0,01) antara penggunaan informasi untuk dibandingkan dengan faktor-faktor komunikasi pada petani laki-laki terdapat pada informasi aspek kelembagaan dan saluran media. Hubungan sangat nyata (p<0,01) antara penggunaan informasi untuk dibandingkan dengan faktor-faktor komunikasi pada petani perempuan terdapat pada informasi penanganan pascapanen, SDM petani, saluran kelompok. Hubungan nyata (p<0,05) antara penggunaan informasi untuk dibandingkan dengan faktor-faktor komunikasi, terdapat pada informasi aspek ekonomi, kelembagaan, saluran personal. Hubungan nyata (p<0,05) antara penggunaan informasi untuk dipraktekkan dengan faktor-faktor komunikasi pada petani laki-laki dan petani perempuan terdapat pada aspek ekonomi, sedangkan informasi lain hanya pada petani laki-laki yaitu pada aspek lingkungan, penanganan panen dan kelembagaan. Hubungan sangat nyata (p<0,01) terdapat pada petani laki-laki yaitu untuk aspek penanganan pascapanen. Pada petani laki-laki juga terdapat hubungan nyata (p<0,05) antara penggunaan informasi untuk dipraktekkan dengan saluran personal, mutu informasi yang menguntungkan, mutu saluran komunikasi yang akrab. Sementara hubungan sangat nyata (p<0,01), antara penggunaan informasi untuk dipraktekkan dengan faktor komunikasi pada petani laki-laki terdapat pada mutu informasi yang dapat mengatasi masalah. Hubungan sangat nyata (p<0,01) antara penggunaan informasi untuk dipraktekkan dengan faktor komunikasi pada petani perempuan juga terdapat pada mutu saluran komunikasi yang akrab. Hubungan sangat nyata (p<0,01) antara penggunaan informasi sebagai bahan diskusi dengan faktor komunikasi pada petani laki-laki dan perempuan terdapat pada informasi aspek ekonomi dan kelembagaan, sedangkan pada petani laki-laki saja adalah informasi aspek SDM petani, saluran personal, mutu informasi yang relevan, mudah dimengerti dan menguntungkan. Hubungan nyata (p<0,05) antara penggunaan informasi sebagai bahan diskusi dengan faktor komunikasi pada petani laki-laki terdapat pada informasi aspek lingkungan, produksi dan penanganan pascapanen serta mutu saluran komunikasi yang ada daya tarik. Hubungan nyata (p<0,05) antara penggunaan informasi sebagai bahan diskusi dengan faktor komunikasi pada petani perempuan terdapat pada informasi aspek SDM petani dan saluran personal. Hubungan sangat nyata (p<0,01) antara penggunaan informasi untuk disebarkan dengan faktor komunikasi pada petani laki-laki dan perempuan terdapat pada informasi aspek penanganan pascapanen, ekonomi, SDM petani, kelembagaan, saluran komunikasi personal dan kelompok serta mutu informasi yang menguntungkan. Hanya pada petani laki-laki terdapat pada informasi aspek produksi, saluran media, mutu informasi mudah dimengerti dan mutu saluran komunikasi yang kompeten. Pada petani laki-laki dan petani perempuan terdapat hubungan nyata (p<0,05) antara penggunaan informasi untuk disebarkan dengan informasi aspek lingkungan, mutu informasi yang dapat


(6)

relevan, dapat mengatasi masalah dan mutu saluran komunikasi yang kompeten. Hubungan nyata (p<0,05) antara penggunaan informasi untuk dibandingkan dengan akses informasi terdapat pada petani laki-laki. Hubungan nyata (p<0,05) antara penggunaan informasi dengan kontrol informasi terdapat pada petani perempuan. Hubungan nyata p<0,05) antara penggunaan informasi untuk disebarkan dengan aktivitas produktif langsung terdapat pada petani laki-laki. Hubungan nyata (p<0,05) terdapat antara penggunaan informasi untuk di sebarkan dengan kontrol informasi pada petani laki-laki dan petani perempuan. Pada petani laki-laki terdapat hubungan nyata (p<0,05) antara penggunaan informasi untuk diri sendiri dengan pengalaman bertani organik dan jumlah jenis sayuran organik yang di tanam. Pada petani laki-laki ada hubungan sangat nyata (p<0,01) antara penggunaan informasi untuk dibandingkan dengan pendidikan. Pada petani laki-laki terdapat hubungan nyata (p<0,05) antara penggunaan informasi untuk dipraktekkan dengan umur dan pengalaman. Ada hubungan nyata (p<0,05) antara penggunaan informasi untuk bahan diskusi dengan pendidikan pada petani laki-laki dan sangat nyata (p<0,01) pada petani perempuan. Ada hubungan nyata (p<0,05) antara penggunaan informasi untuk di sebarkan dengan pendidikan pada petani laki-laki dan sangat nyata (p<0,01) pada petani perempuan. Terdapat hubungan sangat nyata (p<0,01) antara penggunaan informasi untuk disebarkan dengan jenis sayuran yang di tanam pada petani perempuan.

Prioritas strategi komunikasi informasi pertanian berbasis gender adalah memanfaatkan saluran komunikasi dengan fasilitas dua arah untuk pelatihan pertanian organik dan promosi kesetaraan gender kepada petani laki-laki dan petani perempuan.


(7)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu

masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian

Bogor.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam

bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.


(8)

DALAM MENCARI DAN MENGGUNAKAN INFORMASI PERTANIAN

BERBASIS GENDER

Krishnarini Matindas

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Penguji Luar Ujian Tertutup: 2 Desember 2010

1. Dr. Ir. Titik Sumarti, MS

(Kepala Program Studi Wanita – Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat – IPB/ Dosen Sosiologi Pedesaan – Departemen Sains Komunikasi dan Pembangunan Masyarakat, FEMA IPB)

2. Dr. Ir. Basita G. Sugihen, MS

(Dosen Program Studi Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan, FEMA IPB)

Penguji Luar Ujian Terbuka: 13 Januari 2011

1. Dr. Ir. Eko Sri Mulyani, MSi

(Kepala Bidang Program dan Evaluasi pada Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian)

2. Dr. Ir. Anas D. Susila, MS

(Kepala University Farm, Institut Pertanian Bogor/ Dosen Departemen

Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB)


(10)

Nama Mahasiswa : Krishnarini Matindas

Nomor Pokok : I362070041

Program Studi : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Menyetujui 1. Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr.Ir. Aida Vitayala S.Hubeis

Dr.Ir. Amiruddin Saleh, MS Prof. Dr. Harsono Suwardi, MA Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Komunikasi Pembangunan Pertanian

dan Pedesaan

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Prof. Dr. Ir.Khairil A. Notodiputro, MS


(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Strata-3 pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Institut Pertanian Bogor. Judul disertasi ini adalah “Strategi Komunikasi Petani Sayuran Organik dalam Mencari dan Menggunakan Informasi Pertanian Berbasis Gender.” Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala S.Hubeis selaku ketua, Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS dan Prof. Dr. Harsono Suwardi, MA selaku anggota komisi pembimbing yang telah dengan sabar memberi bimbingan, dorongan, serta saran dan arahan. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Basita G. Sugihen, Ms, Dr. Ir. Titik Sumarti, MS, selaku penguji luar yang telah memberikan koreksi dan saran untuk perbaikan disertasi ini, juga kepada Dr. Ir. Eko Sri Mulyani, MSi, dan Dr. Ir. Anas D. Susila yang telah berkenan menjadi penguji pada Ujian Sidang Terbuka disertasi ini, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku Ketua Program Studi Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.

Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Ibunda Roosmarini Kresno dan suami R. Matindas atas segala doa dan motivasinya. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu diucapkan terima kasih atas bantuannya selama penulis menempuh pendidikan doktoral di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2011


(12)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Maret 1953 sebagai anak kedua dari empat bersaudara, pasangan Bapak Kresno Sastroadhirono (alm) dan Ibu Roosmarini Purwosudibyo. Tahun 1981 penulis menikah dengan R. Matindas. Pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas diselesaikan di Yayasan Perguruan Cikini, Jakarta Pusat. Pendidikan Strata 1 ditempuh di Program Studi Komunikasi Massa – Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Indonesia. Pendidikan Strata 2 ditempuh di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan – Institut Pertanian Bogor. Tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa doktoral pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan - Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 1979 sampai dengan tahun 1981 penulis bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan tahun 1991 sampai dengan tahun 2007 sebagai dosen luar biasa pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor.


(13)

ABSTRACT... iii

RINGKASAN... iv

KATA PENGANTAR... x

RIWAYAT HIDUP... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

PENDAHULUAN... 1...

Latar Belakang Penelitian... 1...

Perumusan Masalah... 3....

Tujuan Penelitian... 5....

Manfaat Penelitian... 5....

Ruang Lingkup Penelitian... 6...

Penelitian Terdahulu yang Terkait Penelitian ini... 6...

Novelty... 9...

TINJAUAN PUSTAKA... 11...

Proses Komunikasi Mencari Informasi... 11...

Pola Pembagian Kerja... 15...

Relasi Gender... 18...

Materi Informasi... 25...

Saluran Komunikasi... 29...

Mutu Informasi dan Mutu Saluran Komunikasi... 31...

Penggunaan Informasi... 33...

Strategi Komunikasi Informasi Pertanian Sesuai Kebutuhan Petani... 34...

Karakteristik Petani... 36...

Komunikasi pada Pertanian Organik... 37...

KERANGKA PEMIKIRAN dan HIPOTESIS... 39...

Kerangka Pemikiran... 39...

Hipotesis Penelitian... 41...

METODE PENELITIAN... 42...

Lokasi Penelitian... 42...

Populasi dan Sampel Penelitian... 42...


(14)

Data dan Instrumen... 45...

Data... 45...

Instrumentasi... 46...

Definisi Operasional... 48...

Validitas dan Reliabilitas Instrumen... 54...

Validitas Instrumen... 54...

Reliabilitas Instrumen... 54...

Metode Pengumpulan Data... 55...

Analisis Data... 57...

HASIL dan PEMBAHASAN... 60...

Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 60...

Situasi Petani Sayuran Organik... 64...

Identifikasi Karakteristik Petani Sayuran Organik Laki-Laki dan Perempuan... 65...

Identifikasi Pola Pembagian Kerja... 69...

Identifikasi Relasi Gender pada Akses dan Kontrol Informasi Pertanian... 74...

Identifikasi Faktor-Faktor Komunikasi: Materi Informasi Pertanian... 76...

Identifikasi Saluran Komunikasi... 80...

Identifikasi Mutu Informasi... 88...

Identifikasi Mutu Saluran Komunikasi... 91...

Identifikasi Penggunaan Informasi Pertanian... 94...

Pengujian Hipotesis... 97...

Hubungan Pola Pembagian Kerja serta Relasi Gender dengan Faktor-Faktor Komunikasi... 98...

Hubungan Faktor-Faktor Komunikasi dengan Penggunaan Informasi Pertanian... 103...

Hubungan Pola Pembagian Kerja serta Relasi Gender Akses dan Kontrol dengan Penggunaan Informasi Pertanian... 111...

Hubungan Karakteristik Petani dengan Penggunaan Informasi Pertanian... 113...

Strategi Komunikasi Informasi Pertanian Berbasis Gender... 115...

KESIMPULAN dan SARAN... 131...

Kesimpulan... 131...

Saran... 133...

DAFTAR PUSTAKA... 134...


(15)

1...Perbedaan antara WID dan GAD... 20...

2...Karakteristik petani sayuran organik laki-laki dan perempuan... 49...

3...Pola pembagian kerja... 49...

4...Relasi gender...50...

5...Faktor-faktor komunikasi...50...

6...Penggunaan informasi pertanian...53...

7...Metode pengumpulan data...55...

8...Data penduduk Kecamatan Megamendung berdasarkan jenis kelamin ...dan umur... 60...

9...Tingkat pendidikan penduduk Kecamatan Megamendung... ...61...

10..Jumlah penduduk Kecamatan Megamendung berdasarkan pekerjaan...61...

11..Status kepemilikan lahan di Kecamatan Megamendung... 62...

12..Jumlah penduduk Kecamatan Pacet... 62...

13..Tingkat pendidikan penduduk Kecamatan Pacet... 63...

14..Tipe pekerjaan penduduk di Kecamatan Pacet... 63...

15..Status kepemilikan lahan di Kecamatan Pacet... 64...

16..Karakteristik petani sayuran organik laki-laki dan perempuan... 65...

17..Rataan skor dan perbedaan pola pembagian kerja... 70...

18..Rataan skor dan perbedaan aktivitas produktif langsung pada ...petani sayuran organik laki-laki dan perempuan... ...71...

19..Rataan skor dan perbedaan aktivitas produktif tak langsung ...pada petani sayuran organik laki-laki dan perempuan... 73...

20..Rataan skor relasi gender pada akses informasi pertanian... 75...

21..Rataan skor relasi gender pada kontrol informasi pertanian... 76...

22..Rataan skor dan perbedaan materi informasi pertanian... 79...

23..Rataan skor dan perbedaan pada saluran komunikasi personal... 82...

24..Rataan skor dan perbedaan pada saluran komunikasi kelompok... 84...

25..Rataan skor dan perbedaan saluran media massa... 85...

26..Rataan skor dan perbedaan mutu informasi pertanian... 88...

27..Rataan skor dan perbedaan mutu saluran komunikasi... 93...

28..Rataan skor dan perbedaan penggunaan informasi pertanian...96...

29..Uji beda Z-hitung relasi gender pada akses dan kontrol informasi pertanian... 97...

30..Hubungan pola pembagian kerja dan relasi gender dengan faktor-faktor ...komunikasi... 101...

31..Hubungan faktor-faktor komunikasi dengan penggunaan informasi pertanian... 107...

32..Hubungan pola pembagian kerja dan relasi gender dengan ...penggunaan informasi pertanian... 112...

33..Hubungan karakteristik petani dengan penggunaan informasi pertanian... 113...

34..Rating, bobot, skor dari faktor internal kekuatan dan kelemahan ...petani laki-laki dan perempuan dengan usahatani sayuran organik... 121...


(16)

36..Matriks IFAS dan EFAS... 125... 37..Peringkat strategi komunikasi informasi pertanian berbasis gender

...melalui analisis AHP... 127...


(17)

1....Alur informasi pertanian dari kondisi yang diinginkan dan tidak diinginkan...8...

2....Strategi komunikasi petani sayuran organik dalam mencari dan menggunakan

...informasi pertanian berbasis gender... 40... 3....Lingkungan komunikasi petani laki-laki dengan usahatani sayuran organik... 86... 4....Lingkungan komunikasi petani perempuan dengan usahatani sayuran organik... 87... 5....Diagram analisis SWOT posisi strategi komunikasi informasi pertanian

...berbasis gender... 124... 6....Diagram analisis berjenjang strategi komunikasi informasi pertanian

...berbasis gender... 128...


(18)

1....Kuesioner penelitian... 140...

2....Kuesioner analisis SWOT... 152...

3....Kuesioner analisis AHP... 156...

4....Hasil analisis uji reliabilitas instrumen ... 160...

5....Hasil analisis AHP dari faktor-faktor yang dibutuhkan... 161...

6....Surat izin penelitian... 162...

7....Surat sudah melaksanakan penelitian di Kecamatan Pacet... 163...

8....Surat sudah melaksanakan penelitian di Kecamatan Megamendung... 164...


(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Dewasa ini masyarakat mulai memberi perhatian lebih besar pada kualitas makanan termasuk sayuran yang mereka konsumsi. Masyarakat menghendaki produk sayuran yang sehat, aman dikonsumsi dan mutunya baik. Perkembangan ini didukung oleh menguatnya kesadaran peduli lingkungan dan gaya hidup sehat masyarakat. Promosi gaya hidup sehat back to nature membuat permintaan akan sayuran organik meningkat. Sayuran organik memang diminati konsumen yang bersedia membayar lebih mahal untuk produk pangan yang sehat, aman dan ramah lingkungan. Keadaan tersebut didukung pula oleh keinginan dan kesadaran di kalangan petani untuk memproduksi sayuran dengan menghindari pupuk kimia sintetis dan zat pengatur tumbuh, karena alasan lingkungan, sosial ekonomi, kemandirian dan kesehatan. Di beberapa daerah juga telah bermunculan lahan/pekarangan atau ladang/tegalan pertanian sayuran organik yang diusahakan oleh petani.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Badan Standarisasi Nasional mengesahkan Standar Nasional Indonesia tentang Sistem Pangan Organik yang telah tersusun dalam SNI 01-6729-2002 dan berisi panduan tentang cara-cara budidaya pangan organik. Sistem pertanian organik adalah ”kegiatan usaha tani secara menyeluruh sejak proses produksi sampai proses pengolahan hasil (pascapanen) yang bersifat ramah lingkungan dan dikelola secara alami (tanpa penggunaan bahan kimia sintetis dan rekayasa genetika), sehingga menghasilkan produk yang sehat dan bergizi.” Jika dilihat manfaatnya, pengembangan pertanian organik sudah selayaknya diupayakan, karena dapat menjadi solusi bagi petani untuk mendapatkan sarana produksi pertanian dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia dan melestarikan praktek-praktek kearifan lokal. (Ditjen Hortikultura 2007; 2008).

Berdasarkan uraian di atas, petani dengan usahatani sayuran organik akan membutuhkan informasi pertanian yang relevan untuk mengembangkan usahataninya. Memperoleh informasi pertanian yang tepat memang bukan hal yang mudah bagi petani. Kebutuhan terhadap informasi pertanian membuat petani mencari informasi melalui berbagai saluran komunikasi untuk selanjutnya menggunakan informasi tersebut.


(20)

Wesseler dan Brinkman (2003) menyatakan bahwa pelaku utama dalam pembangunan pertanian adalah petani laki-laki dan perempuan yang selalu membutuhkan informasi pertanian. Momsen (2001) berpendapat bahwa petani perempuan sering kehilangan kontrol terhadap sumberdaya dan umumnya tidak disertakan untuk akses dalam hal memperbaiki kemampuan dalam metode pertanian. Memahami aktivitas komunikasi mencari dan menggunakan informasi pertanian pada petani laki-laki dan petani perempuan, dapat mengungkap perbedaan respons petani laki-laki dan perempuan terhadap informasi pertanian yang mereka terima, termasuk perbedaan dalam peluang untuk akses informasi, kebutuhan dan minat (Eashwar 2003; Servaes 2002; Everts 1998). Informasi pertanian adalah salahsatu isu sentral dalam mencapai keberhasilan pembangunan pertanian dan merupakan sentral dalam aktivitas komunikasi. Melalui proses komunikasi yang ditelusuri pada petani sayuran organik laki-laki dan perempuan, dapat diketahui perbedaan akses dan kontrol mereka terhadap informasi pertanian. Perbedaan akses dan kontrol informasi pertanian adalah salah satu penyebab terjadinya kesenjangan gender. Isu gender dalam pembangunan muncul karena kurang memperhatikan kenyataan bahwa masyarakat sebagai target pembangunan terdiri dari segmen-segmen yang berbeda khususnya perempuan dan laki-laki. Mereka mempunyai kebutuhan, kepedulian, kesulitan dan pengalaman yang berbeda. Mengabaikan kepentingan gender dapat memunculkan kesenjangan gender, kesenjangan terhadap perempuan atau bisa juga kesenjangan terhadap laki-laki (Kem PP dan PA 2010). Lagi pula partisipasi aktif petani laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan sangat dibutuhkan, karena dapat mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Karena itu, relasi gender dalam pembangunan pertanian melalui aktivitas komunikasi mencari dan menggunakan informasi pertanian perlu menjadi perhatian, karena sesuai dengan tujuan mencapai Pembangunan Millenium (MDGs) butir ketiga tentang kesetaraan gender serta Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender /PUG (Hubeis 2010).

Melalui rancangan strategi komunikasi informasi pertanian berbasis gender, diharapkan informasi pertanian yang tersedia akan sesuai dengan kebutuhan petani dan kesenjangan gender dapat diatasi. Akses dan kontrol informasi pertanian dapat setara antara petani sayuran organik laki-laki dan perempuan. Apabila penggunaan informasi pertanian dapat optimal, diharapkan petani sayuran organik laki-laki dan perempuan


(21)

dapat mengambil keputusan yang tepat untuk mengelola usahatani sayurannya. Berdasarkan alasan tersebut di atas, penelitian strategi komunikasi petani dalam mencari dan menggunakan informasi pertanian berbasis gender memang perlu dilakukan.

Perumusan masalah

Berdasarkan aktivitas komunikasi dapat diketahui perbedaan akses dan kontrol petani terhadap informasi pertanian. Odame (2004) berpendapat laki-laki dan perempuan bukan suatu kelompok yang homogen dan mempunyai perbedaan dalam aspirasi, pengalaman serta kebutuhan terhadap informasi maupun saluran komunikasi serta mempunyai aktivitas komunikasi yang berbeda pula. Umumnya petani laki-laki dan perempuan ingin mempunyai akses dan mencari informasi pertanian karena merasa belum yakin akan sesuatu, misalnya belum yakin tentang pengendalian organisme pengganggu tanaman dengan bahan alami. Pengkajian melalui aspek komunikasi untuk mengetahui relasi gender dalam usahatani sudah menjadi trend strategi kebijakan pembangunan pertanian sejak tahun 1980an, dengan berbagai topik penelitian seperti gender dan teknologi dalam aktivitas pertanian, tingkat pengambilan keputusan, terpaan informasi dan pelatihan yang dibutuhkan, kegiatan–kegiatan yang menghasilkan income

dan sebagainya.

Penelitian ini menganalisis relasi gender melalui aspek komunikasi dan data yang dihasilkan dapat memperlihatkan antara lain, relasi gender dalam aktivitas komunikasi pada akses dan kontrol informasi, selektivitas terhadap materi informasi pertanian dan saluran komunikasi, kemampuan mempertimbangkan mutu informasi dan mutu saluran komunikasi yang menyampaikan informasi pertanian, serta penggunaan informasi. Data tersebut dapat menjadi umpan balik untuk kebutuhan merancang strategi komunikasi informasi pertanian berbasis gender. Strategi komunikasi informasi pertanian berbasis gender menampilkan bahwa informasi pertanian dirancang berdasarkan kebutuhan petani, pengalaman memproses informasi pertanian petani laki-laki dan perempuan dengan memperhatikan opini beberapa tokoh masyarakat di lokasi penelitian. Supiandi (2008) berpendapat perempuan dan laki-laki perlu mendapat akses untuk memperoleh informasi. Untuk mendapat akses berawal dari aktivitas komunikasi masing-masing individu seperti tindakan pasif yang hanya menerima terpaan informasi dari sumber


(22)

melalui berbagai saluran komunikasi, aktif mencari melalui berbagai saluran komunikasi yang ada atau mencari secara interaktif.

Berdasarkan penelitian Sunarno (2007) di Provinsi Jawa Barat, terbukti bahwa program pembangunan dan sumberdaya pembangunan lebih banyak ditujukan kepada nelayan laki-laki dari pada perempuan. Penelitian ini berbeda, karena meneliti aktivitas komunikasi petani sayuran organik laki-laki dan perempuan dalam mencari informasi pertanian, mengurai kesenjangan gender dalam perbedaan akses dan kontrol informasi, faktor-faktor komunikasi yang dapat diakses serta penggunaan informasi pertanian untuk kepentingan usahatani. Tujuan akhir penelitian ini adalah merancang strategi komunikasi informasi pertanian yang berbasis gender untuk kepentingan petani sayuran organik laki-laki dan perempuan dalam mengembangkan usahataninya.

Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah : “Seperti apa strategi komunikasi informasi pertanian berbasis gender dimana terdapat akses dan kontrol yang setara pada petani sayuran organik laki-laki dan perempuan melalui aktivitas komunikasi mencari dan menggunakan informasi pertanian?”

Dari pertanyaan penelitian di atas dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1 Seperti apa karakteristik petani, pola pembagian kerja, relasi gender dalam akses dan kontrol pada informasi pertanian, faktor - faktor komunikasi dan penggunaan informasi pertanian pada petani laki-laki dan perempuan yang berusahatani sayuran organik?

2 Sejauhmana hubungan pola pembagian kerja, relasi gender dalam akses dan kontrol informasi pertanian dengan faktor-faktor komunikasi, hubungan pola pembagian kerja dan relasi gender dalam akses dan kontrol informasi pertanian dengan penggunaan informasi pertanian, hubungan faktor-faktor komunikasi dengan penggunaan informasi pertanian, hubungan karakteristik petani laki-laki dan petani perempuan dengan penggunaan informasi pertanian?


(23)

Tujuan Penelitian

Petani sayuran organik baik laki-laki maupun perempuan selalu membutuhkan informasi pertanian untuk mengembangkan usahataninya. Namun tidak semua informasi yang tersedia sesuai dengan kebutuhan dan minat petani. Perilaku memilih informasi melalui berbagai saluran komunikasi, memproses informasi yang sudah diperoleh dan menggunakannya, dapat memperlihatkan kesenjangan komunikasi pada petani laki-laki dan perempuan dalam hal akses dan kontrol informasi, kemampuan memproses dan memanfaatkan informasi pertanian, mempraktekkan informasi yang akhirnya dapat mengembangkan usahatani sayuran organik dan memperbaiki kesejahteraan petani dan keluarganya. Berdasarkan uraian tersebut beberapa tujuan spesifik penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1 Mengidentifikasi karakteristik petani, pola pembagian kerja, relasi gender dalam akses dan kontrol pada informasi pertanian, faktor-faktor komunikasi dan penggunaan informasi pertanian pada petani laki-laki dan perempuan yang berusahatani sayuran organik.

2 Menganalisis hubungan pola pembagian kerja serta relasi gender dalam akses dan kontrol pada informasi pertanian dengan faktor-faktor komunikasi, hubungan pola pembagian kerja serta relasi gender dalam akses dan kontrol pada informasi pertanian dengan penggunaan informasi pertanian, hubungan faktor-faktor komunikasi dengan penggunaan informasi pertanian, hubungan karakteristik petani dengan penggunaan informasi pertanian pada petani laki-laki dan perempuan yang berusahatani sayuran organik.

3 Merancang strategi komunikasi informasi pertanian yang berbasis gender.

Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat mempunyai manfaat sebagai berikut:

1 Dalam aspek praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk merancang strategi komunikasi informasi pertanian yang berbasis gender dan sebagai masukan bagi pengambil kebijakan.

2 Secara akademis penelitian ini diharapkan bermanfaat karena memberi kontribusi pada pengembangan ilmu komunikasi pembangunan pertanian dan pedesaan.


(24)

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dalam aspek komunikasi ini dimaksudkan untuk mengetahui dan menganalisis apa yang sudah dilakukan petani laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan informasi pertanian, apa yang dipikirkan petani sesudah mendapatkan informasi yang berkaitan dengan mutu informasi dan mutu saluran komunikasi, serta penggunaan informasi pertanian pada petani laki-laki dan perempuan dengan usahatani sayuran organik. Analisis dilakukan dengan mengaplikasikan teori komunikasi di lapangan dengan memanfaatkan data kuantitatif didukung data kualitatif, serta gabungan analisis SWOT dan AHP. Keseluruhan data dipergunakan sebagai bahan untuk merancang strategi komunikasi informasi pertanian yang berbasis gender.

Penelitian Terdahulu yang Terkait dengan Penelitian Ini

Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan aspek komunikasi maupun gender dan pembangunan yang dilakukan di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jayawijaya Papua dan Kalimantan, umumnya berkisar mengenai kurangnya kesempatan akses pada informasi dari petani laki-laki dan perempuan seperti yang dilakukan oleh: a) Sunarno (2007) mengenai Kesetaraan gender dalam pembangunan perikanan di Kabupaten Subang Jawa Barat, dengan metode survei dan studi kasus, temuannya belum ada kesetaraan gender dalam program perikanan pantai bagi nelayan laki-laki dan perempuan. Menyusun strategi pembangunan perikanan pantai responsif gender. b) Murdianto et al., (2001) mengenai Studi gender dalam industri rumah tangga gula aren di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, dengan metode studi kasus. Temuan penelitian adalah pengrajin perempuan masih memerlukan terpaan informasi dan penyuluhan mengenai pengolahan gula aren.

c) Sitepu (2007), mengenai Desain sistem pengelolaan lahan kering berkelanjutan berbasis gender di Provinsi DI Yogyakarta, dengan metode studi kasus. Temuan penelitian yang berkaitan dengan komunikasi antara lain petani laki-laki dan petani perempuan membutuhkan informasi tentang penggunaan sumber air dari sumur ladang dan sumur embung.

d) Hartomo (2007) meneliti tentang Kebijakan sistem usahatani berkelanjutan responsif gender di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah dengan metode analisis


(25)

deskriptif melalui studi kasus. Temuan penelitian adalah perempuan lebih dominan dari pada laki-laki dalam pengolahan hasil panen dan pemasaran, sedangkan merawat, memelihara tanaman, penyiraman dan menentukan teknis pengolahan hasil panen dilakukan bersama laki-laki dan perempuan. Akses informasi dominan pada laki-laki, karena laki-laki lebih aktif pada pertemuan kelompok tani secara regular. Kontrol informasi dilakukan bersama oleh laki-laki dan perempuan.

e) Septiana (2008) meneliti Pengaruh Model dan Suara Narator Video terhadap peningkatan pengetahuan tentang air bersih berbasis gender. Metode penelitian eksperimen kuasi dengan terpaan media video yang menampilkan model laki-laki dan perempuan serta suara narator laki-laki dan perempuan terhadap 80 pegawai terdiri dari 40 pegawai perempuan dan 40 pegawai laki-laki. Temuan penelitian yakni media video sebagai saluran komunikasi, efektif untuk diakses oleh kedua gender dan berpengaruh positif apabila kedua gender diberi peluang yang sama, artinya terpaan informasi tidak hanya ditujukan kepada salah satu gender saja.

f) Srini (2001) meneliti Gender and Development in Jayawijaya. Metode kualitatif mengenai kesehatan dan gizi keluarga, proses pendidikan dan penyadaran tentang kesetaraan gender pada perempuan dan laki-laki di pedesaan di Kanggime dan Mamit. Temuan penelitian adalah proses komunikasi melalui saluran kelompok lebih dominan dilakukan oleh laki-laki, akses informasi juga dominan pada laki-laki.

Bukti empiris memperlihatkan masih ada kesenjangan gender dalam akses dan kontrol informasi antara petani laki-laki dan perempuan. Umumnya akses dan control informasi pada perempuan masih minim. Perempuan dan laki-laki mempunyai perbedaan dalam mencari informasi karena masing-masing mempunyai aspirasi, pengalaman dan kebutuhan yang berbeda.

Melalui penelitian terdahulu dapat diidentifikasi bahwa petani laki-laki dan perempuan di pedesaan masih membutuhkan introduksi teknologi. Namun masih sedikit penelitian yang mengungkapkan perbedaan antara petani laki-laki dan perempuan dalam aktivitas mencari informasi untuk akses dan kontrol, selektivitas materi informasi, kemampuan mempertimbangkan informasi dan kemampuan komunikasi menggunakan informasi pertanian serta rancangan strategi berbasis gender pada petani sayuran.


(26)

Berdasarkan identifikasi masalah, rujukan teoritis serta penelitian terdahulu, kerangka konsep pada Gambar 1, memaparkan kondisi yang menghambat dalam pengembangan usahatani sayuran organik yaitu bila masih terdapat situasi minimnya akses dan kontrol informasi pada salah satu gender, sumberdaya manusia petani sebagai pengguna informasi masih lemah, saluran komunikasi belum berfungsi optimal, ketersediaan informasi belum sesuai dengan kebutuhan maupun minat petani laki-laki dan perempuan.

Aktivitas mencari informasi pertanian: 1. Akses

2. Kontrol

Gambar 1 Alur komunikasi informasi pertanian dari kondisi yang diinginkan dan tidak diinginkan

PETANI SAYURAN ORGANIK LAKI-LAKI DAN

PEREMPUAN

KONDISI YANG MENGHAMBAT: -Minimnya akses dan kontrol informasi pada petani perempuan.

-SDM petani lemah.

KONDISI YANG MENDUKUNG: -Informasi pertanian, saluran komunikasi sesuai kebutuhan dan kondisi petani. -Sarana komunikasi menunjang.

-Informasi pertanian diakses dan dikontrol setara.

UMPAN BALIK

KONDISI YANG TIDAK DI INGINKAN: Akses dan kontrol informasi pertanian hanya dominan pada salah satu gender. KONDISI YANG DIINGINKAN: -Ketersediaan informasi pertanian sesuai kebutuhan -Informasi pertanian diakses dan dikontrol setara -Mampu menggunakan informasi pertanian sehingga pengelolaan usahatani sayuran organik dapat optimal

KOMUNIKASI INFORMASI PERTANIAN BERBASIS GENDER


(27)

Kondisi yang mendukung yaitu informasi pertanian dan saluran komunikasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi petani laki-laki dan perempuan sebagai pengguna, terdapat infrastruktur komunikasi yang menunjang seperti keberadaan penyuluh, LSM, stasiun radio, media cetak, warung internet untuk berbagai informasi pertanian tersedia dan dapat diakses oleh petani sayuran organik laki-laki dan perempuan. Kondisi yang diinginkan adalah ketersediaan informasi pertanian sesuai kebutuhan, informasi pertanian diakses dan dikontrol setara oleh petani laki-laki dan perempuan, mampu menggunakan informasi pertanian untuk mengelola usahatani. Kondisi yang tidak diinginkan adalah apabila informasi pertanian hanya dominan diakses dan dikontrol oleh satu pihak saja.

Novelty

Berbagai penelitian tentang aktivitas mencari informasi dan menganalisis perbedaan gender terkait dengan program maupun akses dan kontrol terhadap sumberdaya pembangunan pada petani maupun nelayan sudah banyak dilakukan dengan berbagai pendekatan. Terutama dalam hal memetakan aktivitas produktivitas langsung, produktivitas tidak langsung dan aktivitas sosial. Namun menggabungkan pola pembagian kerja, relasi gender untuk akses dan kontrol pada informasi pertanian dan faktor-faktor komunikasi dengan penggunaan informasi pada komunitas petani sayuran organik yang dilanjutkan dengan merancang strategi komunikasi informasi berbasis gender, belum banyak dibahas dalam berbagai studi. Hal ini sangat penting karena aspirasi, pengalaman komunikasi, kebutuhan serta minat petani laki-laki dan perempuan terhadap informasi pertanian dapat saja tidak sama. Melalui pendekatan pada petani sayuran organik laki-laki dan perempuan dapat diketahui perilaku komunikasi akses dan kontrol informasi. Bila akses dan kontrol dominan pada salah satu pihak, maka komunikasi informasi pertanian belum berbasis gender karena belum memperhatikan dengan setara aspirasi, pengalaman dan kebutuhan petani laki-laki dan perempuan. Hal ini memperlihatkan pentingnya suatu strategi komunikasi informasi pertanian yang berbasis gender, agar ke depan petani sayuran organik laki-laki dan perempuan dapat mempunyai akses dan kontrol setara terhadap informasi pertanian sehingga pengelolaan usahatani sayuran organik dapat optimal.


(28)

Penelitian ini menggunakan metode survei dan wawancara mendalam untuk memahami perbedaan kognisi yang berperan dalam membentuk perilaku petani laki-laki dan perempuan. Hal ini merupakan refleksi suatu usaha untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang situasi sosial yang dikaji. Berbagai penelitian yang baik sering mengkombinasikan aspek-aspek pendekatan kuantitatif serta kualitatif melalui wawancara mendalam dan penelitian ini juga melakukan hal tersebut. Berdasarkan uraian di atas, kebaruan atau novelty penelitian strategi komunikasi petani sayuran organik dalam mencari dan menggunakan informasi pertanian berbasis gender adalah 1 Menganalisis aktivitas komunikasi petani laki-laki dan perempuan yang ber usahatani sayuran organik dalam mencari dan menggunakan informasi pertanian dengan mengacu pada teori komunikasi.

2 Merancang strategi komunikasi informasi pertanian sayuran organik berbasis gender, melalui kombinasi pendekatan kuantitatif yang didukung pendekatan kualitatif, analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT) dan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP).

(a) Data kuantitatif untuk menganalisis aktivitas mencari, akses dan kontrol serta menggunakan informasi pertanian laki-laki dan perempuan yang berusahatani sayuran organik. Wawancara mendalam untuk data kualitatif yang digunakan untuk menganalisis pengalaman petani laki-laki dan perempuan saat mencari untuk akses dan kontrol pada informasi pertanian serta penggunaan informasinya yang belum terungkap melalui pendekatan kuantitatif.

(b)Analisis SWOT untuk merancang strategi komunikasi informasi pertanian organik berbasis gender sebagai solusi dari kesenjangan akses dan kontrol informasi.

(c) Pendekatan AHP untuk mengetahui urutan prioritas berdasarkan faktor-faktor yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan strategi komunikasi informasi pertanian berbasis gender

3 Mengembangkan konsep dan merancang strategi komunikasi informasi pertanian berbasis gender untuk melengkapi strategi komunikasi sebelumnya.

4. Penelitian ini bersifat holistik dengan melibatkan petani sayuran organik laki-laki dan perempuan, penyuluh, aparat Dinas Pertanian, LSM, ketua kelompok tani.


(29)

TINJAUAN PUSTAKA

Proses Komunikasi Mencari Informasi

Komunikasi sebagai suatu proses tidak mempunyai awal dan akhir dan tidak selalu bersifat linear (Heath dan Bryant 2000). Dalam perkembangannya, semenjak model Lasswell di tahun 1948 yang memfokuskan perhatian pada who says what to whom through which channel with what effect, secara perlahan banyak studi yang mengarahkan perhatian pada receiver. Beberapa penelitian selanjutnya mulai konsentrasi terhadap gambaran yang berada di benak receiver yang tercipta karena dipengaruhi oleh informasi yang mereka cari dan terima dari berbagai saluran komunikasi, termasuk media dan kontak sosial. Proses komunikasi mencari informasi merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan antara lain mencari, mendengarkan, membaca, mempertimbangkan, mengungkapkan, mengabaikan informasi yang sudah didapatkan atau akhirnya menggunakan informasi.

Sebagai partisipan yang aktif, individu akan mampu mengingat, menguraikan dan menambahkan pemikirannya terhadap informasi yang berhasil diaksesnya. Pendapat ini memperkuat pernyataan bahwa aktivitas komunikasi mencari informasi sampai menggunakan dapat dipelajari sebagai suatu proses (Heath dan Bryant 2000).

Rogers (2003) berpendapat bahwa proses mencari informasi untuk mendapatkan dan menggunakan terdiri dari beberapa tahap yakni (1) tahap pengetahuan dimana seseorang mengetahui adanya informasi baru dan ingin mengetahui untuk menambah pengetahuan tentang hal yang dicarinya, (2) tahap persuasi, (3) tahap mengambil keputusan, (4) tahap implementasi, (5) tahap konfirmasi. Pada tahap persuasi terjadi proses kognitif pada diri individu yang mencari informasi. Menurut Fledler (2007) pada tahap persuasi individu akan memprediksi apakah pesan yang diterima sesuai atau tidak bagi dirinya. Bila sesuai, individu terbujuk untuk memanfaatkan atau menggunakan pesan komunikasi yang memuat informasi tersebut.

Petty dan Cacioppo (2005) mengungkapkan bahwa pada tahap persuasi, individu akan mempertimbangkan informasi yang didapatkan dengan berbagai cara. Pertama, memberi perhatian pada paparan informasi yang didapat dengan hati-hati dan cermat. Dalam tahap ini, individu melakukan penilaian apakah informasi itu sesuai bagi dirinya atau tidak. Bila sesuai ia akan menggunakan informasi tersebut. Bila tidak sesuai, ia akan


(30)

mengabaikan informasi tersebut. Pada tahap ini individu melakukan elaborate terhadap makna informasi tersebut dengan teliti, cermat dan kritis. Individu yang teliti mempertimbangkanmakna informasi berarti mempertimbangkan informasi tersebut pada rute sentral. Kedua, individu menerima informasi dan merasa sesuai, dengan alasan sumber informasi yang menyampaikan memang seorang ahli atau menarik. Individu percaya pada sumber yang menyampaikan informasi atau tertarik pada saluran komunikasi, artinya individu mempertimbangkan informasi pada rute eksternal.

Penelitian ini ingin mengetahui aktivitas mencari informasi, respons petani laki-laki dan perempuan setelah mendapat dan memproses informasi pertanian. Proses kognitif berperan saat mengolah dan mempertimbangkan informasi pertanian yang berhasil diakses. Proses komunikasi dapat ditelusuri antara lain dari kemampuan individu memproses, menguraikan kembali dan mempertimbangkan informasi yang sudah diterima. Memahami individu penerima, apakah berada pada rute sentral atau rute eksternal, sangat membantu dalam merancang strategi komunikasi. Teori kemampuan melakukan elaborasi pada penerima dikembangkan oleh Erb dan Bohner (2000), Brock dan Green (2005), Petty et al., (2005) dan Fledler (2007).

Pada penelitian ini, proses mencari informasi dilakukan petani sebagai konsekuensi dari kebutuhan sebagai pengguna informasi. Seseorang mencari informasi karena ingin memuaskan kebutuhan atau karena masih ada berbagai hal yang masih belum jelas. Seseorang yang membutuhkan informasi akan menghubungi sumber atau saluran informasi baik formal maupun nonformal atau suatu pusat pelayanan informasi. Seseorang akan memperlihatkan berhasil atau tidaknya memperoleh informasi yang relevan. Bila berhasil ia akan menggunakan informasi yang didapatkannya baik secara keseluruhan atau hanya sebagian untuk memuaskan kebutuhannya. Apabila tidak berhasil memuaskan kebutuhannya dan harus mendapatkan informasi lagi, maka seseorang akan mengulang lagi proses mencari. Mencari informasi dapat melibatkan orang lain melalui pertukaran informasi. Informasi yang dianggap berguna mungkin dapat diteruskan kepada orang lain, supaya dapat digunakan seperti dirinya menggunakan informasi itu (Wilson 1981). Mencari untuk akses pada informasi dan penggunaannya berasal dari berbagai disiplin ilmu, seperti komunikasi (Dervin 1996), sosiologi (Ellis 1993), Wilson (1981) dan semenjak pertengahan 1980an beberapa ahli memberikan


(31)

perhatian pada pendekatan kognitif dalam mencari informasi (Petty dan Cacioppo 2005; Fledler 2007).

Wilson (2005) menjelaskan bahwa, mencari informasi sebagai perilaku manusia adalah berhubungan dengan sumber informasi maupun saluran komunikasi yang dapat memberikan informasi dan dapat terjadi secara aktif maupun pasif. Termasuk dalam hal ini komunikasi tatap muka, menerima informasi secara pasif seperti menonton iklan di televisi, mendengarkan radio, tanpa keinginan untuk bertindak sesuai yang diberikan oleh materi informasi tersebut. Wilson (1981) menyatakan bahwa mencari informasi dengan sengaja adalah konsekuensi dari kebutuhan untuk memuaskan suatu tujuan. Pada saat aktif mencari untuk dapat akses pada informasi yang diinginkan, individu mungkin saja berinteraksi dengan individu lain, melalui sistem informasi manual seperti petunjuk di buklet, surat kabar, perpustakaan atau dengan komputer. Beberapa penelitian yang melengkapi teori Wilson dalam kaitan kebutuhan informasi dan mencari informasi dengan melihat pada konteks dan elemen ketersediaan informasi telah dikembangkan oleh Dervin (1996), Ellis (1993), Khulthau’s (1991) dan Rogers (2003).

Dervin (1996) dengan sense making theory mengembangkan pencarian informasi dalam empat elemen yaitu: (1) Situasi dalam suatu waktu dan ruang. (2) Dalam konteks apa masalah informasi akan muncul. (3) Mengidentifikasi perbedaan antara situasi kontekstual masa kini dan situasi yang diinginkan sebagai hasilnya, karena merupakan konsekuensi dari proses mencari. (4) Ada jembatan yang menghubungkan kesenjangan antara situasi sekarang dan hasil yang diinginkan. Kelebihan atau kekuatan teori Dervin yaitu adanya hubungan dengan perilaku informasi, dapat mengarahkan cara-cara bertanya yang akan memperlihatkan keadaan permasalahan yang ada, untuk mencapai keadaan yang diinginkan. Informasi dapat menjadi jembatan untuk mengatasi ketidakpastian atau penggunaan informasi dapat sebagai jembatan kearah yang diinginkan.

Perilaku mencari informasi menurut Ellis (1993) adalah mulai dengan bertanya kepada rekan yang lebih mengetahui, menelusuri misalnya melalui media tercetak, melihat-lihat, membandingkan, memonitor, mensarikan informasi, menguji informasi dan proses mencari berakhir. Khulthau’s (1991) dalam proses mencari informasi lebih menekankan pada faktor afeksi dari tahapan mencari pada pengguna informasi. Identifikasi tahapan dari model Khulthau’s (1991) adalah: memulai, memilih,


(32)

menyelidiki, merumuskan, mengumpulkan dan menyajikan informasi. Model ini lebih umum dibandingkan dengan model Ellis (1993) namun saling melengkapi. Dasar dalam model Khulthau’s (1991) adalah perasaan tidak pasti diasosiasikan dengan kebutuhan mencari informasi untuk mengatasi perasaan ragu, bingung dan frustrasi sehingga proses mencari meningkat supaya berhasil dan perasaan akan berubah. Perubahan terjadi karena adanya material yang relevan yang berhasil dikumpulkan. Sehingga meningkatkan rasa percaya diri dan berasosiasi dengan perubahan afeksi menjadi lebih puas dan terarah.

Saat ini perkembangan dalam teknologi dan informasi memang menjadi penting bagi manusia, termasuk pada komunitas petani sayuran organik. Setiap orang diharapkan dapat memenej banyaknya informasi yang ada karena dukungan teknologi juga semakin banyak dan kreatif. Kemampuan mencari informasi untuk akses dan kontrol informasi akan selalu terjadi pada setiap individu, kelompok maupun komunitas. Hal semacam ini juga dapat terjadi dalam keluarga, dunia pendidikan, perkantoran ataupun di lokasi pertanian di pedesaan.

Terkait dengan mencari informasi perlu diperhatikan bahwa peubah yang penting adalah kawasan kognitif pada seseorang yang dapat dioperasionalisasikan dengan empat cara yaitu: (a) orang dengan keterlibatan kognitif yang lebih tinggi pada topik informasi, lebih mampu mendapat akses pada informasi itu dari pada orang yang keterlibatan kognitifnya pada topik itu kurang. (b) orang akan menerima dan mencari untuk akses pada informasi karena topiknya tidak mempunyai resiko bagi dirinya atau tidak bertentangan dengan kepercayaannya. (c) orang akan senang menerima dan berpikir mengenai informasi kalau mempunyai sikap positif pada topik itu. (d) informasi akan lebih mempunyai pengaruh bila kekerapannya dalam terpaan adalah tinggi dan diterima dari berbagai saluran komunikasi.

Individu yang mencari informasi dan dapat dipersuatif akan menggunakan informasi tersebut untuk mempengaruhi kesimpulan yang dibuatnya. Individu dapat merubah sikap dan perilakunya untuk menggunakan informasi tersebut terutama bila relevan dengan kebutuhannya. Pada masyarakat petani di pedesaan, aktivitas mencari untuk akses pada informasi berbeda antara petani laki-laki dan perempuan. Seperti pendapat Swanson (1984) yang menemukan bahwa petani perempuan jarang mencari untuk akses pada informasi dengan berkunjung ke agen pembangunan dan berdialog


(33)

secara tatap muka, terutama bila tradisi yang berlaku ialah tidak pantas untuk berkunjung ke orang yang bukan kerabat dan berbeda jenis kelamin. Sementara bagi petani laki-laki hal ini tidak berlaku karena lebih leluasa berkunjung ke agen pembangunan setiap waktu untuk dapat akses pada sumber informasi. Kramarae (1988), Everts (1998) dan Wood (2007) menambahkan perempuan pedesaan lebih senang akses pada informasi lisan dari pada informasi tertulis.

Proses mencari dan menggunakan informasi pertanian dalam penelitian ini akan melibatkan berbagai faktor, karena faktor komunikasi seperti yang diungkapkan oleh Effendy (1989) merupakan unsur-unsur yang mendukung terjadinya suatu situasi. Faktor adalah keadaan, peristiwa yang ikut menyebabkan (mempengaruhi) terjadinya sesuatu. Artinya dalam mencari dan menggunakan informasi pertanian, melibatkan berbagai unsur yang mendukung terjadinya suatu proses komunikasi. Faktor-faktor komunikasi yang mendukung terjadinya proses mencari dan menggunakan informasi pertanian dalam penelitian ini adalah: materi informasi, saluran komunikasi, mutu informasi, mutu saluran komunikasi.

Pola Pembagian Kerja

Isu spesifik tentang gender semakin meningkat dan menarik perhatian, termasuk dari sudut pandang aplikasinya di bidang komunikasi pembangunan pertanian

dan pedesaan. Komunikasi pertanian organik juga tidak terlepas dari konsep gender, mengingat dalam hal usahatani sayuran organik, ada pembagian kerja pada petani laki-laki dan perempuan di lahan sayurannya. Menurut Ritzer dan Goodman (2004) sistem pola pembagian kerja dalam rumah tangga yang tampaknya sangat tak seimbang dilihat dari luar situasi rumah tangga, mungkin dilihat adil dan seimbang baik oleh laki-laki dan perempuan dalam situasi itu, karena mereka menerima dan menyesuaikan diri terhadap harapan normatif untuk berperan menurut jenis kelamin di dalam rumah tangga.

Menurut Hubeis (2010), Wood (2007), Nugroho (2008), Shepherd dan Mohammed (1999) serta Eviota (1993), pola pembagian kerja berawal dari pembedaan peran pada laki-laki dan perempuan. Berdasarkan budaya serta klasifikasi utama dalam kehidupan sosial, perempuan mempunyai peran sebagai pemelihara dan merawat seperti merawat anak, orang tua, keluarga yang sakit atau tidak berdaya dan pekerjaan sosial


(34)

maupun pekerjaan dalam lingkup domestik. Beberapa ada yang bekerja di luar rumah namun masih terkait dengan tipe merawat misal sebagai perawat atau pendidik. Sementara laki-laki jarang diharapkan bekerja semacam itu dan lebih diharapkan sebagai pencari nafkah utama bagi keluarganya, bekerja di luar rumah dan mempunyai karir. Shepherd dan Mohammed (1999) menyatakan bahwa pada setiap masyarakat selalu ada tugas tertentu yang dilakukan oleh perempuan dan tugas lain oleh laki-laki, maupun dilakukan bersama antara keduanya. Apapun bentuknya, telah disetujui bahwa pola pembagian kerja memang ada pada setiap kehidupan masyarakat. Terkonstruksi secara sosial dan budaya, mempunyai perbedaan di setiap lokasi serta dapat berubah sesuai perkembangan zaman.

Pembagian kerja berdasarkan gender mengacu kepada pekerjaan yang berbeda dan dilakukan oleh perempuan serta laki-laki, yang merupakan konsekuensi dari pola-pola sosialisasi mereka. Tugas-tugas berdasarkan pembagian kerja tersebut secara tradisional diidentifikasikan sebagai kerja perempuan dan kerja laki-laki (Nugroho 2008).

Hubeis (1985; 2010) membuat kategori pekerjaan perempuan dan laki-laki dalam dua hal yaitu (I) Pekerjaan produktif, terdiri dari: (a). Aktivitas produktif langsung seperti pekerjaan mendapat upah di sektor pertanian seperti mengolah tanah, memelihara tanaman, ternak, ikan, termasuk bekerja di sektor formal sebagai pegawai negeri, buruh atau pengusaha/wiraswasta; (b) Aktivitas produktif tidak langsung, yang tidak memperoleh upah seperti mengambil air, memasak, merawat anak, berbelanja, mencuci pakaian dan peralatan dapur, membersihkan rumah dan menyeterika. (II) Aktivitas nonproduktif yang terdiri dari: (a) Aktivitas dalam pendidikan formal seperti SD, SMP dan pendidikan madrasah dan pendidikan nonformal seperti pelatihan, penyuluhan; (b) Peran dalam aktivitas sosial seperti pengajian, saling membantu gotong royong dan bersama melakukan aktivitas seremonial; (c) Waktu beraktivitas untuk diri sendiri seperti mandi, makan, tidur, berdoa di rumah.

Tuyizere (2007) menambahkan pola pembagian kerja di beberapa negara seringkali berkaitan dengan kepercayaan dan terkonstruksi secara sosial budaya dalam komunitas tersebut dan hal ini juga terjadi di pedesaan dan komunitas petani, misalnya perempuan yang bekerja sebagai petani tidak dapat memperoleh benih, kredit atau pelayanan penyuluhan tentang informasi pertanian karena perempuan bukan kepala


(35)

keluarga. Padahal dibanyak negara berkembang, dalam pola pembagian kerja petani perempuan mempunyai kontribusi besar dalam bidang pertanian dan ekonomi keluarga serta rumah tangganya. Di samping itu petani perempuan juga masih mempunyai aktivitas produktif tidak langsung seperti memasak, membersihkan rumah, mengambil kayu bakar dan mengambil air. Untuk alasan ini, Tuyizere (2007) menyatakan sangat perlu meningkatkan kemampuan metoda pertanian dan terpaan informasi pertanian bagi petani perempuan.

Menurut Chafetz (2006) pada masyarakat hortikultura terdapat tiga bentuk aktivitas produktif yaitu: (1) Laki-laki bekerja mempersiapkan tanah atau lahan untuk menanam, menebang pohon, memotong dan membakar dan keduanya baik laki-laki serta perempuan dapat menanam bersama-sama. Pola bertani ini biasa dilakukan di sub-Saharan Afrika; (2) Laki-laki bekerja di lahan, perempuan bekerja menanam merupakan pola bertani yang dilakukan masyarakat hortikultura di Indian bagian timur Amerika Serikat; (3) Laki-laki mempersiapkan lahan sekaligus menanam dan melakukan pekerjaan itu sendiri, masih jarang ditemukan di daerah tropis Amerika Selatan. Bila lahan sudah bersih dan siap di tanam benih sayuran, maka pekerjaan itu dapat dilakukan bersama oleh laki-laki dan perempuan. Termasuk menyiangi, memanen dan mengangkut hasil panen. Bahkan perempuan yang mempunyai bayi dan masih memberi asi dapat membawa bayinya ke ladang, untuk bekerja dan kembali ke rumah dengan membawa sayuran hasil panen. Chafetz (2006) mengungkapkan bahwa waktu dan energi yang dipergunakan perempuan dalam bekerja memang lebih banyak, karena masih mengurus anak dan memasak. Di samping terkonstruksi secara sosial budaya, dari beberapa uraian dan teori yang ada, dalam pola pembagian kerja juga ada pengaruh stereotipe gender (Mosse 2002; Wood 2007; Simatauw et al., 2001; Tuyizere 2007). Hal ini dapat terlihat dari uraian yang umumnya mengungkapkan bahwa perempuan hanya sesuai berkerja di rumah dan tidak di luar rumah, laki-laki adalah pencari nafkah. Perempuan lebih sesuai dengan pekerjaan merawat dan memelihara sedangkan laki-laki lebih mampu dengan pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga.

Menurut Simatauw et al., (2001) pola pembagian kerja biasanya berdasarkan kegiatan yang menghasilkan uang, memelihara dan merawat keluarga, pergaulan masyarakat, keagamaan, ritual, pesta, maupun kegiatan politik yang berhubungan dengan


(36)

pengambilan keputusan. Umumnya pembagian kerja pada perempuan pedesaan lebih banyak sehingga tidak memiliki waktu untuk membicarakan hal-hal di luar rutinitasnya, seperti akses pada informasi melalui surat kabar, mendengarkan ceramah atau hadir dalam pertemuan-pertemuan masyarakat.

Bukti empiris dari studi Hartomo (2007) tentang Kebijakan Sistem Usahatani Berkelanjutan Responsif Gender di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah, menjelaskan tahapan kegiatan pembagian kerja pada petani laki-laki dan perempuan dengan usahatani hortikultura sayuran adalah: pengolahan tanah, pembibitan, pola tanam, pemupukan, perawatan, pemeliharaan, penyiraman, pengendalian hama.penyakit, pengolahan hasil panen dan pemasaran. Untuk pengolahan hasil panen dan pemasaran, perempuan lebih dominan dari pada laki-laki. Sedangkan merawat, memelihara tanaman dan menentukan teknis pengolahan hasil panen serta penyiraman dilakukan bersama oleh laki-laki dan perempuan. Hartomo (2007) menemukan pada variabel akses terhadap informasi, peran laki-laki lebih dominan daripada perempuan. Hal ini disebabkan adanya pertemuan kelompok tani secara reguler, sedangkan kontrol terhadap informasi dilakukan bersama antara laki-laki dan perempuan.

Sejak perempuan dan laki-laki melakukan jenis pekerjaan yang berbeda maka mereka juga mempunyai pilihan akses yang berbeda pula terhadap pelayanan dan sumber daya termasuk sumber daya informasi. Kramarae (1988) berpendapat beban pekerjaan domestik membuat perempuan lebih terbatas untuk mengakses informasi dibandingkan laki-laki. Namun dengan perkembangan teknologi dan meningkatnya penggunaan saluran komunikasi melalui media, hal tersebut dapat teratasi. Dalam penelitian ini pola pembagian kerja dilihat dari tiga indikator yaitu pada: aktivitas produktif langsung, aktivitas produktif tak langsung dan aktivitas sosial.

Relasi Gender

Relasi gender adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan melalui konsep yang mengacu pada relasi dari kekuasaan dan dominasi dalam struktur dan kehidupan yang dipilih untuk laki-laki dan perempuan. Karakter umum dari relasi gender adalah dominasi ada pada laki-laki dan sub ordinasi ada pada perempuan dan cenderung tidak menguntungkan perempuan (Baden dan Reeves 2000; Simatauw et al. 2001; Tuyizere


(37)

2007). Tuyizere (2007) dalam Gender and Development - The Role of Religion and Culture menambahkan relasi gender sudah dimulai sejak dari rumah tangga, selanjutnya dapat terjadi dimana saja seperti di dunia kerja, bahkan di pasar, sejauh di tempat tersebut ada interaksi sosial antara laki-laki dan perempuan. Relasi gender akan terkait dengan hubungan atau relasi antara individu dengan komunitasnya yang juga akan bervariasi dalam hal jenis kelamin, umur, pendidikan dan pengalaman. Relasi gender berkaitan dengan relasi kekuasaan berdasarkan hirarki. Seringkali dalam suatu komunitas hal semacam ini diterima dan dipercaya sebagai sesuatu yang alamiah. Namun sebenarnya juga terkonstruksi secara sosial budaya dan dapat saja berubah setiap waktu. Dalam relasi atau hubungan antara laki-laki dan perempuan terkait dengan pembangunan pertanian diharapkan adanya kesetaraan dan keadilan.

Untuk dapat mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan pertanian, perlu melaksanakan Inpres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Meskipun secara legalitas, PUG sudah dimulai tahun 2000, tetapi dari bukti empiris berdasarkan penelitian Sunarno (2007) program yang ada masih belum berbasis gender.

Menurut Supiandi (2008) program pemberdayaan perempuan masih cenderung bersifat Women In Development (WID) daripada Gender And Development (GAD). Sesuai pendapat Nugroho (2008) serta Baden dan Reeves (2000), bahwa istilah WID pertama kali dicetuskan oleh Women’s Committee of the Washington DC. Chapter of the Society for International Development pada dasawarsa 70an. Dimana saat itu kesadaran mengenai peran perempuan mulai berkembang dan diwujudkan melalui pendekatan program yang memusatkan pada masalah perempuan dan pembangunan.

Masalah ini didasarkan pada suatu pemikiran mengenai perlunya kemandirian bagi perempuan miskin atau petani perempuan, agar pembangunan dapat dinikmati oleh semua pihak. Timbulnya pendekatan Women In Development karena disadari bahwa perempuan merupakan sumberdaya manusia yang sangat berharga. Perspektif WID ini pada awalnya berasal dari keinginan agar perempuan tidak dianggap pasif dalam pembangunan dan perlu diikut sertakan dalam pembangunan. Sasaran dari pendekatan ini adalah kalangan perempuan dewasa yang secara ekonomi miskin. Meskipun miskin


(38)

perempuan adalah juga bagian dari pembangunan dan dapat berperan aktif dalam pembangunan bila mendapat kesempatan atau peluang yang sama dengan laki-laki. Perbedaan WID dan GAD dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Perbedaan antara WID dan GAD

WID GAD

Pendekatan Pandangan bahwa yang menjadi sumber permasalahan ada pada perempuan

Pandangan yang menganggap bahwa sumber permasalahan ada pada pembangunan

Fokus Perempuan Pola relasi antara perempuan dan

laki-laki

Masalah Tidak berperan sertanya perempuan

(separuh sumberdaya produktif) dalam proses pembangunan

Ketidaksejajaran hubungan kekuasaan (kaya-miskin, perempuan laki-laki) menyebabkan berlangsungnya pembangunan yang tidak adil dan tidak berperan sertanya perempuan secara maksimal

Tujuan Pembangunan yang lebih efektif

dan efisien

Pembangunan yang adil dan berkesinambungan dengan perempuan dan laki-laki sebagai pengambil keputusan

Solusi/Pemecahan Mengintegrasikan perempuan dalam proses pembangunan

• Memperkuat (empower)

perempuan yang terpinggirkan/marginal, tidak

beruntung

• Mengubah pola-pola hubungan yang tidak sejajar

Strategi • Proyek-proyek untuk perempuan

• Kegiatan proyek khusus untuk perempuan

• Proyek-proyek terpadu

• Meningkatkan produktivitas perempuan • Meningkatkan pendapatan perempuan. • Meningkatkan keterampilan perempuan dalam mengurus rumah tangga

• Mengidentifikasi kebutuhan praktis sebagaimana didefinisikan oleh perempuan

dan laki-laki untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka

• Bersamaan dengan itu, ditangani juga kebutuhan strategis perempuan

• Menangani kebutuhan strategis golongan ekonomi lemah melalui pembangunan untuk rakyat

Sumber: Nugroho (2008)

Pendekatan WID dalam pelaksanaannya seringkali mengalami kegagalan, karena masih banyak perempuan tetap berada sebagai pihak yang kurang beruntung. Seperti memperoleh upah yang lebih rendah dari laki-laki, kesempatan sebagai pimpinan di dunia kerja masih terbatas. Diharapkan melalui pemberian pendidikan dan pelatihan, kaum


(39)

perempuan dapat meningkatkan kemampuan kognitif, afektif maupun psikomotorik sehingga dapat menunjang sektor-sektor produktif di masyarakat.

Sebagai respons dan evaluasi karena kurang berhasilnya WID, pada dasawarsa ’90an muncul konsep baru yaitu GAD. Konsep ini menekankan pentingnya keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam proses pembangunan. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa konstruksi sosial yang dibuat atas peran perempuan dan laki-laki dapat diubah. Pendekatan ini lebih sesuai, karena menekankan pada isu gender dan tidak melihat pada masalah perempuan semata (Nugroho 2008).

Peran domestik yang semula sering dikatakan milik kaum perempuan, dapat melibatkan juga tanggung jawab kaum laki-laki. Peran tersebut ada sebagai hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Perempuan juga bekerja di luar rumah seperti laki-laki, mengambil keputusan dilakukan bersama antara laki-laki dan perempuan dan ada kesetaraan pada peran laki-laki dan perempuan. Melibatkan laki-laki dan perempuan berdasarkan pengalaman, aspirasi dan kebutuhan dapat meminimalkan kesenjangan gender dalam setiap aspek pembangunan. Everts (1998) dan Srini (2001) berpendapat bahwa, tidak ada egaliter pada relasi gender tanpa memperkuat posisi perempuan. Gender adalah mengenai laki-laki dan perempuan, namun ketidaksetaraan dalam relasi gender seringkali dialamatkan dengan memperkuat posisi perempuan dan memenuhi kebutuhan perempuan. Penelitian ini menganalisis pendekatan GAD yang lebih memperhatikan persoalan gender daripada persoalan perempuan secara terisolasi. Setelah WID dan GAD, dikenal konsep Gender Mainstreaming atau Pengarusutamaan Gender, yaitu suatu konsep baru dan secara legalitas dimulai tahun 2000 dan berkembang sejak beberapa tahun terakhir ini.

Konsep Gender Mainstreaming ini dibuat untuk keperluan mendukung perempuan dalam pembangunan dan bagaimana memasukkan nilai-nilai perempuan ke dalam pembangunan itu. Pada Konferensi Perempuan yang ke empat di Beijing tahun 1995 dan merupakan Platform of Action, disepakati 12 bidang kritis permasalahan perempuan yaitu: kemiskinan, pendidikan dan pelatihan, kesehatan reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, konflik militer dan kerusuhan, akses sumberdaya ekonomi, pengambilan keputusan dan politik, lembaga yang dapat memperjuangkan perempuan,


(1)

penerima, daya tarik saluran komunikasi atau sumber informasi. Mutu saluran komunikasi dalam penelitian ini dikategorikan dalam empat indikator yaitu:

(a) Percaya terhadap saluran komunikasi baik saluran komunikasi personal, kelompok atau media massa. (b) Saluran komunikasi atau sumber informasi yang kompeten dalam hal kemampuan menyampaikan materi informasi yang sesuai dengan kebutuhan penerima. Kompetensi sumber melalui saluran komunikasi baik personal, kelompok atau media massa sesuai dengan kebutuhan penerima. (c) Saluran komunikasi terasa akrab bagi penerima. (d) Mempunyai daya tarik bagi penerimanya (Rogers 1986; United Nations 1989; Lionberger dan Gwin 1991; Jensen 2002).

Berdasarkan uraian di atas, mutu saluran komunikasi dalam penelitian ini di kategorikan dalam empat indikator yaitu: saluran komunikasi yang dapat dipercaya, kompeten, akrab dan mempunyai daya tarik.

Penggunaan Informasi

Penggunaan informasi yang sudah diakses merupakan suatu proses yang terjadi setiap waktu. Melalui informasi yang sudah didapat dan dipertimbangkan, individu dapat memutuskan bagaimana menggunakan informasi tersebut. Pawit (2009) mempertegas bahwa, informasi dapat digunakan dengan tujuan menambah pengetahuan atau evaluasi. McGuire (1989) menyatakan bahwa tahapan dalam menggunakan informasi sebagai peubah dependen antara lain: (1) dapat dipergunakan untuk mempelajari sesuatu dan memahaminya, (2) digunakan sebagai bahan pembanding dengan kondisi yang sudah ada misalnya melalui orang yang sudah menggunakan lebih awal atau melalui media lain, (3) dipergunakan dengan dipraktekkan untuk ketrampilan, (4) dipergunakan sebagai bahan diskusi, (5) diteruskan kepada orang lain.

Menurut Baden dan Reeves (2000) penggunaan informasi antara laki-laki dan perempuan adalah berbeda, karena relasi gender dalam aktivitas mencari untuk akses dan kontrol serta kebutuhan laki-laki dan perempuan juga tidak sama. Pendapat Baden dan Reeves (2000) ini sesuai dengan argumentasi Meyer (2005) bahwa informasi sebagai sumberdaya yang dinamis dan tidak statis, dapat disesuaikan dengan kondisi pengguna. Penggunaan informasi merupakan perilaku yang mengarahkan individu untuk memuaskan kebutuhannya.


(2)

Individu tidak akan menggunakan semua informasi yang ia peroleh. Karena melalui selektivitas dan pertimbangan dari individu terkait, tidak semua materi informasi relevan dengan kebutuhan. Informasi dapat digunakan dengan berbagai cara antara lain untuk mengklarifikasi ide, membandingkan dengan praktek orang lain atau untuk bahan diskusi dan untuk pelatihan (Wilson 2000; Ellis 1993; Khulthau 1991). Penggunaan informasi dapat dilakukan dengan cara meneruskan atau menyebarkan kembali. Informasi yang ingin diteruskan atau disebarkan dapat dikemas oleh suatu organisasi tertentu seperti pemancar radio, redaksi surat kabar atau dengan tatap muka. Penggunaan informasi dalam penelitian ini dikategorikan dalam lima indikator yaitu: memanfaatkan untuk diri sendiri, membandingkan, mempraktekkan, mendiskusikan dan menyebarkan.

Strategi Komunikasi Informasi Pertanian Sesuai Kebutuhan Petani

Rangkuti (2008) menyatakan bahwa strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Dalam perkembangannya konsep mengenai strategi terus berkembang dan dapat saja berbeda satu sama lain sesuai tujuan yang ingin dicapai. Lionberger dan Gwin (1991) menyatakan strategi adalah memilih metode untuk melakukan sesuatu. Adapun strategi komunikasi yaitu cara dan komunikasi yang digunakan untuk mempengaruhi pemikiran, tindakan dan perasaan orang lain.

Menurut Rice dan Atkin (2001), strategi komunikasi diperoleh berdasarkan kombinasi fakta, ide dan teori yang terintegrasi melalui visi untuk mendisain suatu tujuan perubahan perilaku melalui partisipasi aktif dari sasaran. Rice dan Atkin (2001) menambahkan bahwa fakta dapat diperoleh melalui suatu riset dengan melibatkan berbagai faktor yang ingin diketahui, dimana secara ideal akan dapat mengungkapkan berbagai hal yang dapat menghambat perubahan. Berbagai teknik dapat dilakukan untuk melibatkan khalayak, sehingga reaksi khalayak dapat merupakan umpan balik yang sangat berguna untuk rancangan suatu strategi komunikasi. Rice dan Atkin (2001) mempertegas dengan menyatakan bahwa program dari strategi komunikasi harus mampu untuk meraih populasi dan area yang lebih luas. Program yang ada harus berkelanjutan dengan memperhatikan dan fokus kepada sasaran, informasi yang diinginkan sasaran dan kesetaraan gender. Di samping itu, strategi komunikasi selalu membutuhkan faktor dana sebagai penunjang.


(3)

Formulasi strategi dalam penelitian ini adalah, relasi gender yang setara dalam akses dan kontrol terhadap informasi. Saluran komunikasi yang tepat dan mutu informasi serta mutu saluran komunikasi yang sesuai kebutuhan pengguna. Sehingga petani laki-laki dan perempuan dapat menggunakan informasi tersebut untuk mengembangkan usahatani sayurannya. Melalui strategi yang dirancang dapat diputuskan saluran komunikasi yang efisien dan efektif untuk diseminasi informasi pertanian bagi petani laki-laki dan perempuan. Seorang komunikator perlu mengetahui beberapa hal dalam strategi komunikasi yang baik, yaitu: (a) Apapun saluran yang digunakan harus merupakan komunikasi dua arah dengan khalayak sasaran. Hal ini dibutuhkan sebagai panduan mengenai materi informasi apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh khalayak. (b) Apabila ada saluran komunikasi lokal, maka perlu dilibatkan untuk membantu dalam menyampaikan informasi dan program pendidikan. Saluran komunikasi lokal dapat melayani kebutuhan informasi khalayak dan umumnya mengetahui selera khalayak. (c) Menggunakan saluran media massa untuk ide atau praktek baru dan didukung dengan informasi yang lebih detil bila khalayak mulai tertarik. Selanjutnya didukung juga dengan informasi tahap demi tahap dan lebih baik bila digabung dengan saluran atau sumber informasi personal bila khalayak sudah siap melaksanakan praktek yang baru. (d) Menggunakan berbagai saluran yang ada di lokasi (Lionberger dan Gwin 1991).

Strategi komunikasi informasi pertanian berbasis gender dirancang untuk tujuan meningkatkan akses laki-laki dan perempuan pada sumberdaya informasi dan melibatkan laki-laki dan perempuan sebagai pengambil keputusan dalam pembangunan pertanian. Untuk mencapai suatu strategi agar dapat terlaksana, masih dibutuhkan berbagai faktor penunjang. Berdasarkan analisis dari faktor penunjang dapat ditentukan prioritas strategi.

Studi terdahulu oleh Sunarno (2007), adalah menyusun strategi alternatif program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender dengan analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman serta pendekatan berbagai faktor untuk mengetahui prioritasnya. Penelitian ini juga berbasis gender dan melakukan analisis serupa, namun melengkapi dengan pendekatan melalui aspek komunikasi. Penelitian strategi komunikasi di Nepal (Phuyal 2000) kepada petani, dirancang dengan pendekatan komunikasi multi saluran. Penelitian ini berusaha melengkapi melalui rancangan strategi


(4)

komunikasi informasi pertanian berbasis gender dari berbagai saluran komunikasi dengan menyediakan fasilitas komunikasi personal dua arah.

Karakteristik Petani

Aktivitas atau tindakan komunikasi mencari informasi akan berbeda pada individu laki-laki maupun perempuan. Heath dan Bryant (2000) berpendapat, tidak selalu perempuan lebih mudah dibujuk dari laki-laki untuk menerima dan menggunakan informasi. Akses dan kontrol pada informasi dari petani laki-laki maupun perempuan harus setara, karena itu perancang komunikasi informasi perlu menyadari kebutuhan petani dengan memperhatikan juga karakteristik petani.

Pendapat Everts (1998) mengungkapkan bahwa dengan pendidikan yang terbatas petani perempuan di pedesaan umumnya lebih senang mencari informasi dengan cara personal yaitu word-of-mouth, dari pada melalui media tertulis atau tercetak. Dalam penelitian ini umur petani juga dianalisis, mengingat ada kemungkinan umur berkaitan dengan penggunaan informasi. Lahan usahatani penting dilihat, karena menggambarkan luas lahan garapan. Luas lahan garapan merupakan salah satu faktor produksi yang merupakan pabriknya hasil-hasil pertanian. Luas lahan adalah aset yang dimiliki petani. Di samping itu, lahan juga merupakan simbol status sosial bagi petani, meskipun lahan itu ada yang milik sendiri, warisan atau sewa. Petani dengan lahan usahatani yang luas, biasanya mempunyai status sosial yang lebih tinggi di lingkungannya.

Jumlah tahun pada pengalaman usahatani alami dan kemampuan mengambil keputusan untuk menggunakan informasi pertanian diduga berhubungan erat. Sesuai dengan penelitian Hendriks dan Morris (2005) yang menemukan bahwa petani dengan usahatani daun bawang aktif mencari informasi untuk digunakan mengatasi penyakit pada tanaman sayurannya. Informasi dari media cetak mengingatkan petani pada pengalaman yang lalu bahwa, pernah ada cara mengatasi hama dengan cara alami sesuai yang tertera pada media cetak tersebut. Banyaknya jenis sayuran yang ditanam terkait dengan penggunaan informasi juga dianalisis dalam penelitian ini. Penelitian ini menganalisis karakteristik petani laki-laki dan perempuan melalui pendidikan, umur, pengalaman usahatani, lahan garapan, jumlah jenis sayuran yang ditanam dan menganalisis hubungan karakteristik petani dengan penggunaan informasi pertanian.


(5)

Komunikasi pada Pertanian Organik

Produk pertanian organik akhir-akhir ini marak digunakan di kalangan praktisi, ilmuwan dan petani. Mulai dari produk pertanian berupa bahan pangan sayuran organik, beras organik, buahan organik, ayam organik, telur dan sapi organik. Pertanian organik berasal dari Perancis sejak abad ke 19. Saat itu petani-petani Persia mampu menghasilkan lebih dari 50 kg/m² pertahun komoditas pada lahan yang sempit di dalam kota. Kotoran kuda dijadikan sebagai pupuk, dan tidak menggunakan bahan kimia sintetis sebagai pupuk atau obat pembasmi hama. Teknik pertanian ini dibawa ke Amerika Serikat oleh Alan Chadwick pada tahun 1930 dan terus diperbaiki serta dipromosikan oleh John Jeavons. Selanjutnya Rodale mulai mempraktekkan pertanian organik di lahan pertanian miliknya di Pensylvania dengan menekankan pentingnya kesuburan tanah menggunakan bahan-bahan organik (Deptan 2003) diacu dalam Hartari (2005).

Di Indonesia, Pertanian Organik muncul tahun 1984 dan Yayasan Bina Sarana Bakti yang mulai merintisnya di Cisarua, Bogor pada lahan seluas empat hektar. Dari Cisarua ini banyak yang belajar mengenai pertanian organik dan kemudian mengembangkan di daerahnya. Tanaman organik, termasuk sayuran banyak diusahakan di lahan sempit seperti di pekarangan rumah, di dalam pot, ember, kaleng bekas atau polibag. Perkembangan pertanian organik di Indonesia dimulai sejak ± delapan tahun yang lalu, tetapi masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Jepang, Belanda, Perancis, Italia dan Amerika (Husnain dan Syahbuddin 2008). Dalam pelaksanaannya, petani berusaha membuat sarana produksi pertanian dari bahan-bahan yang ada disekitar dan menjaga keaneka ragaman tanaman dengan membudidayakan tanaman lokal. Pertanian tradisonal yang sering disebut sebagai pertanian organik adalah pertanian yang menggunakan pemupukan secara alami/organik. Pemupukan organik ialah pemupukan dengan kompos, pupuk kandang, guano, pupuk hijau seperti orok-orok dan limbah yang berasal dari kandang ternak.

Berbagai jenis komoditas sayuran yang dapat diusahakan petani adalah: (a) Tanaman sayuran buah yaitu tanaman yang hasilnya berbentuk buah (misalnya cabe

merah, tomat, terong, kacang panjang, ketimun, paprika, kecipir dan lainnya). (b) Tanaman sayuran daun yaitu tanaman yang pemanfaatan hasilnya berbentuk daun


(6)

bawang daun, horinzo, kemangi, seledri dan lainnya).

(c) Tanaman sayuran umbi yaitu tanaman yang pemanfaatan hasilnya berbentuk umbi (misalnya kentang, bawang merah, bawang putih, bawang bombay, wortel, lobak,

bit dan lainnya).

(d) Tanaman indigenous yaitu sayuran yang sudah lama dibudidayakan dan telah beradaptasi dengan agroklimat Indonesia sehingga dapat dikatakan sebagai sayuran

asli/tradisional (misalnya leunca, kecipir, oyong, daun katuk, kenikir, kara, pare, labusiam, pakis, pohpohan dan lainnya) (DitJen Hortikultura 2008).

Gaya hidup masyarakat yang peduli kesehatan, ternyata mampu meningkatkan permintaan sayuran organik. Tingginya permintaan produk organik di negara maju mendorong negara berkembang untuk meningkatkan produksi pertanian organik. Indonesia mempunyai potensi besar untuk mengembangkan pertanian organik. Produk pertanian organik seperti sayuran, diminati konsumen kelas menengah ke atas yang bersedia membayar lebih mahal untuk produk pangan yang sehat, aman dan ramah lingkungan. Hal ini merupakan salah satu alasan perlunya mendiseminasikan informasi pertanian organik kepada petani laki-laki dan perempuan yang berusahatani sayuran organik.

Komunikasi informasi pertanian sayuran organik di Kecamatan Pacet terdapat antara lain di Karang Widya the learning farm, Desa Maleber. Adapun Kecamatan Megamendung mempunyai Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya Bunga Wortel di Desa Citeko. Beberapa lembaga pelatihan pertanian organik yang terdapat di wilayah Provinsi Jawa Barat antara lain adalah Pusat Pelatihan dan Pedesaan Swadaya Antanan di Desa Cimande, Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor dan Yayasan Bina Sarana Bakti di Cisarua.