Potensi Pelepah Temulawak (Curcuma xanthorriza) sebagai Antikanker dan Antioksidan
POTENSI PELEPAH TEMULAWAK
(Curcuma xanthorriza)
SEBAGAI ANTIKANKER DAN ANTIOKSIDAN
CAHYA SEPTYANTI
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ABSTRAK
CAHYA SEPTYANTI. Potensi Pelepah Temulawak (Curcuma xanthorriza)
sebagai Antikanker dan Antioksidan. Dibimbing oleh IRMANIDA BATUBARA
dan GUSTINI SYAHBIRIN.
Potensi pelepah temulawak diketahui melalui penentuan ekstrak teraktif
dengan uji antikanker brine shrimp lethality test (BSLT) dan uji antioksidan 2,2difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH). Pelepah temulawak dari Bogor diekstraksi dengan
n-heksana, kloroform, etil asetat, metanol, dan air, serta minyak atsiri yang
diperoleh dari distilasi air. Ekstrak kloroform (LC50: 370.69 ± 22.69 µg mL-1) dan
minyak atsiri (LC50: 23.05 ± 3.49 µg mL-1) toksik terhadap Artemia salina yang
menunjukkan potensi antikanker. Ekstrak etil asetat dan kloroform memiliki
aktivitas antioksidan (IC50: 46.41 ± 15.49 µg mL-1 dan 52.72 ± 3.46 µg mL-1,
berturut-turut) namun tidak sekuat asam askorbat sebagai kontrol positifnya (IC50:
1.80 ± 0.33 µg mL-1). Ekstrak kloroform selanjutnya difraksionasi menggunakan
kromatografi kolom dengan fase diam Silica Gel G60F254-Merck serta elusi secara
gradien dengan n-heksana, kloroform, dan metanol. Fraksi yang positif memiliki
aktivitas antioksidan secara kualitatif selanjutnya diuji aktivitas antioksidan dan
antikankernya. Fraksi teraktif antioksidan (F9) berpotensi antikanker (LC50:
522.95 ± 43.35 µg mL-1) dan antioksidan (IC50: 79.57 ± 8.96 µg mL-1). Oleh
karena itu, F9 berpotensi sebagai antikanker dan antioksidan.
ABSTRACT
CAHYA SEPTYANTI. Potency of Temulawak Stem (Curcuma xanthorriza) as
Anticancer and Antioxidant. Supervised by IRMANIDA BATUBARA and
GUSTINI SYAHBIRIN.
The study aimed to evaluate the potency of temulawak (Curcuma
xanthorrhiza) stem as anticancer by brine shrimp lethality test (BSLT) and
antioxidant by 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) assays. The stem of
temulawak midrib obtained from Bogor, was extracted by n-hexane, chloroform,
ethyl acetate, methanol, and water, and the volatile oil was obtained by water
distillation. The chloroform extract and volatile oil showed anticancer potency
towards Artemia salina (LC50: 370.69 ± 22.69 µg mL-1 ; 123.05 ± 3.49 µg mL-1,
respectively). Ethyl acetate and chloroform extracts had antioxidant activities
(IC50: 46.41 ± 15.49 µg mL-1 and 52.72 ± 3.46 µg mL-1) but the activity did not as
strong as ascorbic acid (control positive, IC50 1.80 ± 0.33 µg mL-1). The
chloroform extract was further fractionated by column chromatography with
Silica Gel G60F254-Merck as stationary phase and gradient of n-hexane,
chloroform, and methanol as mobile phase. Antioxidant and anticancer potency of
fraction which had antioxidant activity qualitatively were tested. The most
antioxidant active fraction (F9) had anticancer potency (LC50: 522.95 ± 43.35 µg
mL-1) and antioxidant activity (IC50: 79.57 ± 8.96 µg mL-1). In conclusion, F9 is
potencial as an anticancer and antioxidant.
POTENSI PELEPAH TEMULAWAK
(Curcuma xanthorriza)
SEBAGAI ANTIKANKER DAN ANTIOKSIDAN
CAHYA SEPTYANTI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi : Potensi Pelepah Temulawak (Curcuma xanthorriza) sebagai
Antikanker dan Antioksidan
Nama `
: Cahya Septyanti
NIM
: G44080051
Disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr Irmanida Batubara SSi MSi
NIP 19750807 200501 2 001
Dr Gustini Syahbirin MS
NIP 19600819 198903 2 002
Diketahui
Ketua Departemen Kimia
Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi MS
NIP 19501227 197603 2 002
Tanggal lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ―Potensi
Pelepah Temulawak (Curcuma xanthorriza) sebagai Antikanker dan
Antioksidan‖. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai Juli
2012 yang bertempatkan di Laboratorium Kimia Analitik, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Institut Pertanian Bogor (IPB) serta
Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor (PSB IPB). Skripsi
ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan Program Sarjana di Departemen
Kimia FMIPA IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Irmanida Batubara SSi MSi
selaku pembimbing satu dan Dr Gustini Syahbirin MS sebagai pembimbing kedua
yang selalu memberikan motivasi, kritik, dan saran untuk kelancaran penelitian
dan penulisan. Terima kasih kepada Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Institut
Pertanian Bogor (PSB IPB) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melaksanakan penelitiannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Eman, Ibu Nunung, Bapak Engkos, dan Bapak Dede yang telah
menyediakan alat dan bahan selama penelitian. Terima kasih kepada staf PSB IPB
yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian. Ungkapan terima kasih
juga dihaturkan untuk kedua orang tua serta adik penulis yang selalu memberikan
dukungan dan kasih sayangnya. Ucapan terima kasih kepada rekan-rekan kimia 45
dan ekstensi analitik yang senantiasa menyemangati dan berjuang bersama dalam
penelitian. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam perkembangan
ilmu pengetahuan.
Bogor, Juli 2012
Cahya Septyanti
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 08 September 1990 dari
pasangan Muji Waluyo dan Rachmawati. Penulis merupakan anak pertama dari
dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Dasar Negeri
(SDN) Sukatani IV tahun 1995–2001, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri
(SLTPN) 11 Depok tahun 2001–2004, Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor
(SMAKBo) tahun 2004–2008. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan pada
tahun 2008–2012 di Program Sarjana Departemen Kimia IPB.
Selama kuliah, penulis mengikuti berbagai kepanitiaan dalam lingkup
kimia, FMIPA, maupun kampus. Penulis berpartisipasi sebagai staf kementrian
pendidikan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian
Bogor tahun 2010/2011. Penulis melakukan Praktik Lapang di PT Bayer Health
Care Cimanggis Plant dengan judul laporan ―Analisis Vitamin B9 (Asam Folat)
dalam Produk Sediaan Effervescent‖ pada tahun 2011. Penulis juga pernah
menjadi asisten praktikum kimia Tingkat Persiapan Bersama IPB tahun 2009–
2012, asisten praktikum Kimia Analitik ekstensi Departemen Kimia IPB tahun
ajaran 2010/2011, asisten praktikum Kimia Analitik 2 mayor kimia Departemen
Kimia IPB tahun ajaran 2010/2011, asisten praktikum Elektroanalitik dan Teknik
Pemisahan ekstensi Departemen Kimia IPB tahun ajaran 2010/2011, asisten
praktikum Elektroanalitik dan Teknik Pemisahan mayor kimia Departemen Kimia
IPB tahun ajaran 2011/2012, asisten praktikum Spektrofotometri dan Analisis
Kemometrik mayor kimia Departemen Kimia IPB tahun ajaran 2011/2012, serta
asisten praktikum Kimia Bahan Alam ekstensi Departemen Kimia IPB tahun
ajaran 2011/2012. Selain aktif di kampus, penulis juga menjadi tentor Kimia TPB
tahun 2009–2011 serta tentor Kimia Analitik Layanan mayor ITP tahun 2012 di
bimbingan belajar ―Katalis‖. Penulis juga pernah berkesempatan mewakili
departemen kimia dalam ajang Mahasiswa Berprestasi tingkat Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan IPB tahun 2011. Selain itu juga, penulis
pernah menjadi pemakalah poster pada Seminar Nasional Tanaman Obat
―POKJANAS TOI XLII‖ di Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI) di
Cimahi Bandung dengan judul makalah ―Potensi Pelepah Temulawak (Curcuma
xanthorriza) sebagai Antikanker dan Antioksidan‖ pada tahun β01β.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ viii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
METODE ................................................................................................................ 2
Bahan dan Alat ............................................................................................... 2
Lingkup Kerja ................................................................................................ 2
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 4
Penentuan Kadar Air dan Abu ....................................................................... 4
Ekstraksi ......................................................................................................... 5
Kandungan Fitokimia ..................................................................................... 5
Potensi Antikanker dan Antioksidan Ekstrak ................................................ 6
Identifikasi Komponen dalam Minyak Atsiri ................................................ 7
Penentuan Eluen Terbaik dengan KLT .......................................................... 8
Fraksionasi Kromatografi Kolom (KK) ........................................................ 8
Potensi Antikanker dan Antioksidan Fraksi ................................................... 9
Identifikasi Senyawa .................................................................................... 11
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 12
Simpulan ...................................................................................................... 12
Saran ............................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 12
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Data rendemen ekstrak pelepah temulawak dengan berbagai kepolaran ........... 5
2 Uji fitokimia ekstrak kasar pelepah temulawak ................................................. 5
3 Potensi antikanker dan antioksidan ekstrak kasar pelepah temulawak .............. 6
4 Komponen minyak atsiri dari pelepah temulawak ............................................. 7
5 Potensi antikanker dan antioksidan hasil fraksionasi dan ekstrak kasar
kloroform pelepah temulawak ............................................................................ 9
6 Kandungan senyawa metabolit sekunder dan aktivitas antioksidan hasil
fraksionasi ekstrak kloroform pelepah temulawak ........................................... 11
7 Bilangan gelombang spektrum inframerah Fraksi 9 hasil fraksionasi ekstrak
kloroform pelepah temulawak .......................................................................... 11
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman dan pelepah temulawak. ..................................................................... 1
2 Prinsip penangkapan H oleh DPPH ................................................................... 6
3 Senyawa xantorizol. ........................................................................................... 7
4 Kromatogram ekstrak kloroform pelepah temulawak dengan eluen tunggal .... 8
5 Kromatogram ekstrak kloroform pelepah temulawak dengan eluen campuran
kloroform:n-heksana. ......................................................................................... 8
6 Kromatogram hasil fraksionasi dan ekstrak kasar kloroform pelepah
temulawak .......................................................................................................... 9
7 Kromatogram hasil fraksionasi, ekstrak kasar kloroform pelepah temulawak,
dan asam askorbat (kontrol positif) yang disemprot larutan DPPH. .................. 9
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Bagan alir penelitian .........................................................................................15
2 Isolasi minyak atsiri pelepah temulawak ..........................................................16
3 Kadar air serbuk pelepah temulawak ................................................................17
4 Kadar abu serbuk pelepah temulawak ..............................................................17
5 Rendemen ekstrak kasar pelepah temulawak ....................................................18
6 Potensi antikanker oleh ekstrak kloroform pelepah temulawak .......................19
7 Aktivitas antioksidan oleh ekstrak kloroform pelepah temulawak ...................20
8 Larutan sampel ekstrak pelepah temulawak setelah diinkubasi 37oC selama 30
menit .................................................................................................................20
9 Uji Duncan nilai LC50 hasil fraksionasi ekstrak kloroform pelepah temulawak21
10 Kromatogram minyak atsiri pelepah temulawak dengan GC-MS ....................21
11 Rendemen hasil fraksionasi kolom ekstrak kloroform pelepah temulawak .....22
12 Uji fitokimia lanjutan flavonoid hasil fraksionasi ekstrak kloroform pelepah
temulawak ........................................................................................................23
13 Uji fitokimia lanjutan alkaloid hasil fraksionasi ekstrak kloroform pelepah
temulawak ........................................................................................................23
14 Uji fitokimia lanjutan steroid dan triterpenoid hasil fraksionasi ekstrak
kloroform pelepah temulawak ..........................................................................24
15 Spektrum FTIR F9 hasil fraksionasi ekstrak kloroform pelepah temulawak ...25
PENDAHULUAN
Gencarnya gerakan kembali ke alam (back
to nature) telah mendorong semakin banyak
dilakukan penelitian yang berkaitan dengan
pemakaian bahan alam sebagai obat herbal.
Obat ini banyak digunakan sebagai obat
alternatif maupun untuk pemeliharaan
kesehatan. Ilmu kedokteran pun mendukung
dengan adanya bidang baru yang dikenal
dengan naturopathic medicine. Bidang ini
berdasarkan pengobatan yang bersistem,
terintegrasi,
tidak
merusak,
serta
mengutamakan penggunaan bahan alam
sebagai obat (natural medicine dan natural
care),
bukan
bahan-bahan
sintetik
(Kumulawati 2005).
Temulawak
(Curcuma
xanthorriza)
merupakan salah satu jenis tanaman unggulan
yang memiliki banyak manfaat sebagai
tanaman obat (Hadipoentyanti & Syahid
2007). Tanaman ini termasuk tanaman
tahunan yang tumbuh merumpun. Tiap
rumpun tanaman terdiri atas beberapa
tanaman anakan dan tiap tanaman memiliki
2–9 helai daun (Gambar 1). Warna daging
rimpangnya kuning dengan cita rasa pahit
serta berbau tajam (Rukmana 1995).
Gambar 1 Tanaman (a) dan pelepah (b)
temulawak.
Khasiat temulawak sebagai bahan alam
untuk obat terutama disebabkan kandungan
senyawa
kurkuminoid
di
dalamnya.
Kurkuminoid pada temulawak terdiri atas
kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin. Khasiat kurkuminoid di
antaranya
ialah
sebagai
antioksidan,
antiradang, antibakteri, antihepatotoksik,
antikolesterol, dan antikanker (Sidik 2006).
Selain senyawa kurkuminoid, terdapat
senyawa lain di dalam rimpang temulawak.
Senyawa tersebut antara lain kelompok
difenilheptanoid seperti (1E,3E)-1,7-difenil1,3-heptadien-5-ol, (1E,3E)-1,7-difenil-1,3heptadien-5-on, (E)-1,7-difenil-1-hepten-5-ol,
(E)-7-(3,4-dihidroksifenil)-5-hidroksi-1-fenil1-heptena, dan 7-hidroksi-1,7-bis-(4-hidroksi3-metoksifenil)-1-heptena-3,5-dion; kelompok
terpenoid jenis monoterpena seperti kamfor,
borneol,
isoborneol,
α-felandrena,
felandrena (Ravindran et al. β007), α-pinena,
α-longipinena, dan kamfena (Sukrasno et al.
2011); serta jenis seskuiterpena
seperti
kurzerenon,
ar-turmeron,
zingiberena
(Ravindran et al. 2007), α-kurkumena,
furanodiena, xantorizol,
-elemena,
elemena, -farnesena, dan trans-kariofilena
(Sukrasno et al. 2012).
Ravindran et al. (2007) menyatakan bahwa
xantorizol, ar-turmeron, serta senyawa
golongan difenilheptanoid juga berperan
dalam
bioaktivitas
temulawak
selain
kurkuminoid. Xantorizol berfungsi sebagai
antimikrob dan antikanker. Ar-turmeron
berfungsi sebagai antikanker dan antinyamuk.
Difenilheptanoid seperti (1E,3E)-1,7-difenil1,3-heptadien-5-on, (E)-1,7-difenil-1-hepten5-ol, dan (1E,3E)-1,7-difenil-1,3-heptadien-5ol penting sebagai antiradang.
Penelitian bahan aktif selama ini baru
terfokus pada rimpang temulawak. Hal ini
dikarenakan tradisi masyarakat yang hanya
menggunakan
rimpang
sebagai
obat
tradisional, sedangkan pelepah dan daunnya
belum umum dipergunakan. Belum adanya
peneliti dengan fokus pada pelepah dan
dekatnya jarak antara rimpang dan pelepah
membuat pelepah temulawak menjadi bagian
yang menarik untuk diteliti lebih lanjut
potensinya
sebagai
antikanker
dan
antioksidan. Kedua bioaktivitas ini diteliti
pada pelepah karena telah terbukti bahwa
rimpang temulawak memiliki bioaktivitas
antikanker (Cheah et al. 2009) dan
antioksidan (Qader et al. 2011).
Penelitian ini bertujuan menentukan
potensi pelepah temulawak sebagai antikanker
melalui penentuan fraksi teraktif dengan uji
letalitas larva udang (BSLT) dan sebagai
antioksidan dengan pengujian menggunakan
2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH). Penelitian
juga menentukan golongan senyawa metabolit
sekunder setiap fraksi dengan uji fitokimia.
Fraksi diperoleh melalui fraksionasi dengan
eluen sistem gradien.
METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan antara lain
sampel pelepah temulawak dari kebun UKBB
Pusat Studi Biofarmaka Bogor, n-heksana,
kloroform, etil asetat, metanol, air, air laut,
larva udang Artemia salina, pereaksi uji
fitokimia, asam askorbat, dan pereaksi DPPH.
Alat-alat yang digunakan antara lain oven,
eksikator, neraca analitik, lampu ultraviolet
(UV), pelat kromatografi lapis tipis (KLT),
penguap putar, kolom, kromatografi gasspektrometer
massa
(GC-MS),
dan
spektrofotometer inframerah transformasi
Fourier (FTIR).
Lingkup Kerja
Penelitian yang dilakukan meliputi
preparasi sampel, penentuan kadar air dan
abu, ekstraksi pelepah temulawak kering
dengan maserasi dalam pelarut dengan
berbagai kepolaran, isolasi minyak atsiri
pelepah temulawak dengan distilasi air,
penentuan ekstrak kasar atau minyak atsiri
teraktif dengan uji BSLT dan DPPH,
penentuan eluen terbaik untuk ekstrak teraktif
dengan KLT, fraksionasi ekstrak teraktif
dengan kromatografi kolom menggunakan
eluen sistem gradien. Pada tahap terakhir
dilakukan
identifikasi
fraksi
teraktif
menggunakan spektrofotometer (FTIR) serta
identifikasi komponen penyusun minyak atsiri
dengan GC-MS.
Diagram alir penelitian secara umum
diberikan pada Lampiran 1 dan tahapan isolasi
minyak atsiri ditunjukkan pada Lampiran 2.
Preparasi Pelepah Temulawak
Pelepah segar dicuci dengan air bersih,
ditiriskan,
dipotong
kecil-kecil,
dan
dikeringkan dalam oven 50oC. Setelah itu,
pelepah kering digiling dan diayak
menggunakan pengayak 40 mesh agar
diperoleh bentuk serbuk.
Analisis Kadar Air (AOAC 2007)
Cawan porselen dikeringkan pada suhu
105°C selama 30 menit kemudian didinginkan
dalam eksikator dan ditimbang. Sebanyak 2 g
pelepah temulawak kering dimasukkan ke
dalam cawan dan dikeringkan pada suhu
105°C selama 5 jam kemudian didinginkan
dalam eksikator dan ditimbang. Prosedur ini
dilakukan hingga diperoleh bobot yang tetap.
Kadar air contoh ditentukan dengan
persamaan:
Kadar air (%)
=
Keterangan:
A = bobot contoh awal (g)
B = bobot contoh kering (g)
Analisis Kadar Abu (AOAC 2007)
Penentuan kadar abu pelepah temulawak
menggunakan metode gravimetri. Cawan
porselen yang bersih dan kering dimasukkan
ke dalam tanur untuk menghilangkan sisa-sisa
kotoran yang menempel di cawan. Setelah
didinginkan
dalam
eksikator,
cawan
ditimbang. Sebanyak 2 g pelepah temulawak
kering dimasukkan ke dalam cawan tersebut
dan dipanaskan sampai tidak berasap
kemudian dibakar dalam tanur pada suhu
600°C selama 2 jam sampai diperoleh abu.
Cawan berisi abu didinginkan dalam eksikator
dan ditimbang. Kadar abu contoh dihitung
dengan persamaan
Kadar abu (%) =
Keterangan:
A = bobot contoh awal (g)
B = bobot abu (g)
Isolasi Minyak Atsiri Pelepah Temulawak
(Muchtaridi et al. 2003)
Sebanyak 5 kg pelepah temulawak yang
telah dipotong kecil-kecil dimasukkan ke
dalam distilator Dean-Stark, lalu ditambahkan
akuades dengan nisbah sampel dan akuades
adalah 1:2. Setelah itu, dilakukan proses
distilasi air selama 6 jam dengan suhu berkisar
100–105°C. Distilat yang diperoleh dipartisi
dengan etil asetat. Fase etil asetat diuapkan
dengan penguap putar pada suhu kamar.
Selanjutnya, minyak dimasukkan ke dalam
botol berwarna gelap dan disimpan di dalam
kulkas
untuk dianalisis
pada
tahap
selanjutnya.
Ekstraksi Pelepah dengan Berbagai
Kepolaran Pelarut
Ekstraksi yang digunakan dalam penelitian
ini ialah maserasi dengan 5 pelarut dari
nonpolar hingga polar. Pelarut yang
digunakan ialah n-heksana (nonpolar),
kloroform
(semipolar
yang
dominan
nonpolar), etil asetat (semipolar yang dominan
polar), serta metanol dan air (polar). Metode
ekstraksi ialah ekstraksi bertingkat mengacu
pada BPOM (2004) dengan modifikasi.
Sebanyak 25 g simplisia dimaserasi dengan
125 mL n-heksana pada suhu ruang selama 24
jam. Maserat dipisahkan kemudian residu
dimaserasi kembali dengan jenis dan jumlah
pelarut yang sama. Maserasi dilakukan 3 kali
3
ulangan. Semua maserat dikumpulkan dan
dipekatkan dengan penguap putar. Bobot
ekstrak kering yang diperoleh ditimbang.
Residu kemudian diekstraksi berturut-turut
dengan kloroform, etil asetat, metanol, dan air
berdasarkan metode yang sama dengan nheksana. Rendemen setiap ekstrak dihitung
dengan membandingkan bobot ekstrak yang
diperoleh dengan bobot sampel awal. Kadar
air sampel digunakan sebagai faktor koreksi.
Rendemen (%) =
Keterangan:
A = bobot contoh awal (g)
B = bobot ekstrak (g)
C = kadar air
Pemilihan Pelarut sebagai Fase Gerak
Ekstrak pelepah temulawak dilarutkan
secukupnya dengan pelarutnya. Ekstrak lalu
ditotolkan pada pelat KLT hingga cukup
pekat.
Pemilihan fase gerak diawali dengan
menggunakan 10 pelarut tunggal, yaitu nheksana, dietil eter, n-butanol, metanol, asam
asetat, diklorometana, etil asetat, aseton,
toluena, dan kloroform. Sebanyak 5 mL
pelarut dimasukkan ke dalam bejana dan
dijenuhkan selama 20 menit. Pelat KLT yang
telah berisi sampel dimasukkan ke dalam
bejana dan dipisahkan hingga fase gerak
mencapai jarak ±1 cm dari tepi atas pelat.
Pelat KLT diangkat, dikeringkan, dan
dideteksi dengan lampu UV pada panjang
gelombang 254 dan 365 nm. Eluen yang
menghasilkan noda terbanyak dan terpisah
baik dipilih sebagai eluen terbaik. Jika eluen
tunggal
belum
dapat
memberikan
keterpisahan yang baik, maka dilakukan
pencampuran antara eluen yang hampir
memberikan keterpisahan yang baik dan eluen
yang menahan seluruh komponen di garis
awal.
Fraksionasi dengan Kromatografi Kolom
(Rouessac & Rouessac 1994)
Sebanyak 10 g silika gel untuk pemisahan
0.5 gram ekstrak dengan diameter 1 cm dan
tinggi 20 cm. Ekstrak kloroform pelepah
temulawak dilarutkan dalam eluen terbaik,
kemudian dipisahkan menggunakan elusi step
gradient (peningkatan kepolaran). Eluat
ditampung setiap 3 mL dalam tabung reaksi
dan diuji dengan KLT. Noda pemisahan
dideteksi di bawah lampu UV 254 dan 365
nm. Eluat yang memiliki Rf yang sama
digabungkan sebagai 1 fraksi. Selanjutnya,
fraksi-fraksi diuji aktivitas
antikanker, dan fitokimia.
antioksidan,
Uji Fitokimia (Harborne 1987)
Uji Alkaloid. Ekstrak dengan bobot
tertentu dilarutkan dengan 10 mL kloroform
dan beberapa tetes NH4OH kemudian disaring
ke dalam tabung reaksi tertutup. Ekstrak
kloroform dalam tabung reaksi dikocok
dengan 10 tetes H2SO4 2 M dan lapisan
asamnya dipisahkan ke dalam tabung reaksi
lain. Lapisan asam ini diteteskan ke lempeng
tetes dan ditambahkan pereaksi Mayer,
Wagner, dan Dragendorf yang akan
menimbulkan endapan dengan warna berturutturut putih, cokelat, dan merah jingga jika
ekstrak mengandung alkaloid.
Uji Saponin dan Flavonoid. Ekstrak
dengan bobot tertentu dimasukkan ke dalam
gelas piala besar kemudian ditambahkan 100
mL air panas dan dididihkan selama 5 menit.
Setelah itu, disaring dan filtratnya digunakan
untuk pengujian. Uji saponin dilakukan
dengan mengocok 10 mL filtrat di dalam
tabung reaksi tertutup selama 10 detik
kemudian dibiarkan selama 10 menit. Adanya
saponin ditunjukkan dengan terbentuknya
buih stabil. Sebanyak 10 mL filtrat yang lain
ditambahkan 0.5 g serbuk Mg, 2 mL alkohol
klorhidrat (campuran HCl 37% dan etanol
95% dengan volume yang sama), dan 20 mL
amil alkohol kemudian dikocok kuat-kuat.
Terbentuknya warna merah, kuning, atau
jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan
adanya flavonoid.
Uji Steroid dan Triterpenoid. Ekstrak
dilarutkan dengan 25 mL etanol panas (50 oC)
kemudian disaring ke dalam pinggan porselen
dan diuapkan sampel kering. Residu
ditambahkan eter, dipindahkan ke lempeng
tetes lalu ditambahkan 3 tetes anhidrida asam
asetat dan 1 tetes H2SO4 pekat (uji LiebermanBuchard). Warna merah atau ungu
menunjukkan adanya triterpenoid sedangkan
hijau atau biru steroid.
Uji Tanin. Ekstrak ditambahkan 100 mL
air panas, dididihkan selama 5 menit, dan
disaring. Filtrat ditambahkan larutan FeCl3
1%. Warna hitam kehijauan menunjukkan
adanya tanin.
Uji Toksisitas dengan Metode BSLT
Penetasan Telur A. salina. Telur A.
salina direndam dalam air laut. Suhu
penetasan adalah ±25–30oC selama 48 jam
dan larvanya disebut nauplius. Larva ini siap
untuk uji BSLT setelah berumur 48 jam
(Nurhayati et al. 2006).
Uji Toksisitas Ekstrak. Larutan stok
ekstrak pelepah dan minyak atsiri pelepah
disiapkan dengan konsentrasi 2000 ppm.
Ekstrak pelepah diencerkan pada konsentrasi
tertentu dan kontrol disiapkan tanpa
penambahan sampel. Pengujian dilakukan
dengan memasukkan 10 ekor larva A. salina
berumur 48 jam ke dalam sumur (multiwell)
yang telah berisi air laut, kemudian
ditambahkan larutan ekstrak dengan total
volume sumur 2 mL. Setelah 24 jam, jumlah
larva yang mati dihitung dengan bantuan kaca
pembesar (Khurniasari 2004).
Parameter yang digunakan adalah jumlah
larva yang mati 50% dari total larva uji. Nilai
LC50 diperoleh dengan memasukkan angka
probit (50% kematian larva uji). Efek
toksisitas dianalisis dari persen kematian
kematian
jumlah larva mati
jumlah larva uji
100
yang kemudian dibuat persamaan garis
y=a+bx , dengan y = konsentrasi larutan, dan x
= persen kematian larva. LC50 merupakan nilai
y yang diperoleh dengan memasukkan nilai x
= 50%. Apabila pada kontrol ada larva yang
mati, maka persen kematian ditentukan
dengan rumus Abbot:,
-
100 ,
kematian
10
dengan T = jumlah larva uji yang mati, K =
jumlah larva kontrol yang mati, dan 10 =
jumlah larva uji.
Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode
DPPH (Salazar et al. 2011)
Larutan stok ekstrak pelepah dibuat
dengan konsentrasi (1 mg/mL) kemudian
diencerkan menjadi beberapa konsentrasi.
Kontrol positif yang digunakan ialah asam
askorbat, sedangkan kontrol negatifnya ialah
DPPH. Larutan stok asam askorbat disiapkan
dengan konsentrasi 100 ppm dalam pelarut
etanol, lalu diencerkan menjadi beberapa
konsentrasi dengan etanol. Larutan diambil
masing-masing
100
µL
kemudian
ditambahkan 100 µL larutan DPPH 125 µM
dalam etanol, dan diinkubasi pada suhu 37oC
selama 30 menit. Setelah itu, nilai absorbans
diukur pada panjang gelombang 517 nm
(ungu).
Aktivitas
inhibisi
ditentukan
berdasarkan persamaan berikut:,
inhibisi [1-
( sampel- kontrol)
( blangko- kontrol)
]
100 ,
Keterangan:
A sampel = absorbans bahan aktif
A kontrol = absorbans
asam
askorbat
dengan inhibisi 100%
A blangko = absorbans DPPH
Uji Antioksidan dengan Metode KLT
Bioautografi (Marston 2011)
Pelat KLT fraksi yang telah dielusi dengan
eluen serta kontrol positif asam askorbat
dikeringkan dan selanjutnya disemprot dengan
larutan DPPH 125 µM dalam etanol. Pelat
kemudian diamati dengan kasatmata setelah
didiamkan selama 30 menit. Ekstrak metabolit
sekunder yang berpotensi sebagai antioksidan
akan memudarkan warna DPPH.
Identifikasi Senyawa
Identifikasi senyawa dilakukan dengan
spektrofotometer FTIR untuk fraksi yang
berasal dari ekstrak kasar. Kira-kira 1 mg
fraksi teraktif dicampurkan dengan KBr
murni, ditempatkan dalam cetakan, lalu
ditekan dengan alat tekan mekanik, kemudian
pelet yang terbentuk ditempatkan dalam
tempat contoh untuk dianalisis.
Identifikasi senyawa dalam minyak atsiri
dilakukan dengan GC-MS. Distilat kasar
minyak atsiri diinjeksikan ke dalam injektor
GC-MS (Shimadzu-QP-5050A) dengan kolom
DB-5 MS (dimensi 0.25 mm 30 m) dan gas
pembawa helium dengan laju alir 42
mL/menit. Suhu injektor dan detektor sama,
yaitu 250 °C, sedangkan suhu kolom
terprogram diawali dengan 80°C ditahan
selama 2 menit, kemudian diubah perlahanlahan dengan laju kenaikan suhu 5°C/menit
hingga mencapai 250°C dan ditahan selama 8
menit. Kondisi spektrometer massanya adalah
energi ionisasi 70 eV, mode ionisasi
tumbukan elektron, split ratio: 25.0, dan area
deteksi adalah 40—500 m/z. Setiap puncak
yang muncul dalam kromatogram. Identifikasi
dengan membandingkan m/z dengan data yang
yang terdapat pada library index MS.
Analisis Statistika
Data aktivitas antikanker dan antioksidan
ditampilkan sebagai rerata ± SD. Beda nyata
antarkelompok diuji dengan uji Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Kadar Air dan Abu
Serbuk pelepah temulawak diperoleh dari
bahan segar yang telah dikeringkan
sebelumnya dalam oven 50oC. Kadar airnya
diperoleh sebesar 11.61 ± 0.04% (Lampiran 3)
5
dan kadar abu 8.80 ± 0.09% (Lampiran 4).
Menurut Rahardjo dan Ajijah (2007), kadar
air rimpang temulawak dari Balitro sebesar
11.27% dan kadar abu sebesar 3.13%. Serbuk
pelepah temulawak memiliki kadar air tidak
jauh berbeda dengan rimpangnya, sedangkan
kadar abunya lebih tinggi. Hal ini berarti
jumlah air yang terikat secara fisik pada
pelepah tidak jauh berbeda dengan
rimpangnya, tetapi jumlah mineral yang
terkandung dalam pelepah lebih banyak.
Dalam analisis bahan, kadar air berguna
sebagai koreksi dalam menghitung rendemen
ekstraksi dan untuk menduga ketahanan dalam
penyimpanan,
sedangkan
kadar
abu
menunjukkan banyaknya mineral dalam suatu
bahan. Winarno (1992) menyatakan bahwa
kadar air minimum agar bakteri tidak tumbuh
ialah kurang dari 10% sehingga pada kadar air
ini bahan dapat disimpan dalam jangka waktu
yang lama dan risiko terkena jamur kecil.
Ekstraksi
Hasil maserasi dari 25 g serbuk pelepah
temulawak dengan pelarut berbeda kepolaran
yang dilakukan 3 kali ulangan terangkum
pada Tabel 1 dan data lengkapnya pada
Lampiran 5. Perbedaan polaritas dimaksudkan
agar seluruh kandungan senyawa metabolit
sekunder dalam sampel, terekstraksi.
Tabel 1 Data rendemen ekstrak pelepah
temulawak dengan berbagai
kepolaran
Ekstrak
Rendemen (%)*
n-heksana
1.48 ± 0.03
Kloroform
1.53 ± 0.03
Etil asetat
0.57 ± 0.07
Metanol
16.47 ± 0.39
Air
7.97 ± 0.25
Minyak atsiri
0.07
Keterangan: * = berdasarkan bobot kering
Ekstrak metanol memiliki persentase
rendemen tertinggi, sedangkan persentase
rendemen terendah dimiliki oleh minyak
atsiri.
Menurut Hong dan Sirat (2004),
minyak atsiri dalam rimpang temulawak segar
sebesar 0.91%. Minyak atsiri pelepah lebih
sedikit karena bagian ini didominasi oleh air.
Perbedaan rendemen ekstrak dikarenakan
perbedaan jumlah senyawa yang dapat larut
pada pelarut berbeda polaritas. Prinsip
ekstraksi ialah ―like dissolve like‖, maka
senyawa nonpolar akan terkelompokkan
dalam ekstrak n-heksana, senyawa semipolar
yang dominan nonpolar dalam ekstrak
kloroform, senyawa semipolar yang dominan
polar pada ekstrak etil asetat, dan senyawa
polar pada ekstrak air. Senyawa bioaktif yang
terlarut dalam setiap pelarut tersebut dan
minyak atsiri akan diuji aktivitas antioksidan
dan potensi antikankernya pada tahap
selanjutnya.
Kandungan Fitokimia
Ekstrak n-heksana mengandung steroid,
triterpenoid, dan alkaloid. Hampir semua
steroid dan triterpenoid bersifat nonpolar
sehingga intensitas warna uji steroid/
triterpenoid pada ekstrak ini paling dominan
dibandingkan dengan ekstrak lainnya.
Alkaloid yang terdeteksi pada ekstrak tersebut
merupakan alkaloid nonpolar. Ekstrak
kloroform pelepah temulawak mengandung
steroid, triterpenoid, flavonoid, dan alkaloid
semipolar. Ekstrak etil asetat mengandung
flavonoid,
alkaloid,
dan
triterpenoid
semipolar. Kepolaran etil asetat yang tidak
jauh
berbeda
dengan
kloroform
mengakibatkan senyawa yang terkandung pun
tidak jauh berbeda. Intensitas warna yang
lebih rendah kemungkinan diakibatkan hampir
seluruh senyawa semipolar telah terekstraksi
dengan kloroform. Metanol mengandung
flavonoid,
alkaloid,
dan
triterpenoid.
Intensitas warna flavonoid dan alkaloid
ekstrak ini lebih tinggi dibandingkan dengan
ekstrak etil asetat, artinya flavonoid dan
alkaloid yang bersifat polar terekstraksi lebih
banyak oleh metanol. Sebaliknya, intensitas
warna
triterpenoid
menurun
dengan
bertambahnya kepolaran pelarut. Ekstrak air
yang memiliki tingkat kepolaran paling tinggi
hanya mengandung flavonoid polar.
Tabel 2 Uji fitokimia ekstrak kasar pelepah
temulawak
Komponen
fitokimia
Flavonoid
Saponin
Tanin
Alkaloid a)
Alkaloid b)
Alkaloid c)
Steroid
Triterpenoid
Ekstrak kasar pelepah temulawak
H
K
EA
M
A
-
++
+
+++
+++
-
-
-
++
+
+
++
++
+
+
++
++++
+++
-
-
++++
+++
++
+
-
Keterangan: H: n-heksana, K: kloroform, EA: etil asetat,
M: metanol, A: air, +: positif lemah, ++:
positif, +++: positif kuat, ++++: positif
sangat kuat, a: uji dengan pereaksi Mayer, b:
uji dengan pereaksi Wagner, c: uji dengan
pereaksi Dragendorf.
6
Potensi Antikanker dan Antioksidan
Ekstrak
Potensi antikanker dalam penelitian ini
diuji menggunakan metode BSLT. Melalui uji
BSLT dapat diketahui nilai konsentrasi
mematikan 50% (LC50) senyawa bioaktif pada
sampel terhadap larva udang. Nilai LC50
adalah konsentrasi yang dibutuhkan untuk
mematikan 50% populasi larva udang total
(Frank 1995). Nilai LC50 dari suatu populasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
umur, suhu, jumlah hewan uji, dan jenis galur
(Finney 1971). Metode ini sering digunakan
untuk mendeteksi senyawa bioaktif yang
memiliki efek farmakologis. Metode BSLT
memiliki beberapa keunggulan, di antaranya
waktu pelaksanaan cepat, biaya relatif murah,
sederhana, tidak memerlukan teknik aseptik,
tidak memerlukan peralatan khusus, dan
hanya membutuhkan sedikit sampel uji
(Meyer et al. 1982).
Tabel 3 Potensi antikanker dan antioksidan
ekstrak kasar pelepah temulawak
LC50
Ekstrak
IC50 (µg/mL)
(µg/mL)
n-heksana
>1000
>400
370.69 ±
46.41 ±
Kloroform
22.69b
15.49b
Etil asetat
>1000
52.72 ± 3.46b
Metanol
>1000
>400
Air
>1000
>400
Minyak
23.05 ±
>400
atsiri
3.49a
Asam
1.80 ± 0.33a
askorbat
Keterangan: Asam askorbat = kontrol positif antioksidan.
Sampel dengan abjad yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada
P = 0.05
Nilai LC50 tiap ekstrak dan minyak atsiri
ditunjukkan pada Tabel 3. Menurut Meyer et
al. (1982), ekstrak dari bahan alam bersifat
toksik apabila memiliki nilai LC50 < 1.0
mg/mL. Hal ini berarti ekstrak kloroform dan
minyak atsiri berpotensi sebagai antikanker.
Contoh perhitungan LC50 ekstrak kloroform
diberikan pada Lampiran 6. Berdasarkan uji
fitokimia (Tabel 2), ekstrak kloroform
mengandung triterpenoid, steroid, alkaloid,
dan flavonoid. Senyawa metabolit sekunder
yang diduga berperan dalam uji BSLT ialah
steroid, triterpenoid, flavonoid, dan alkaloid
semipolar.
Antioksidan merupakan senyawa yang
memiliki kemampuan salah satunya untuk
menetralisasi radikal bebas. Salah satu
caranya ialah menyumbangkan radikal
hidrogen pada molekul radikal bebas
(Badarinath et al. 2010). Pemilihan metode
DPPH untuk penentuan aktivitas antioksidan
didasarkan pada beberapa keunggulannya, di
antaranya mudah, sederhana, cepat, dapatulang, sensitif, dan hanya membutuhkan
sedikit sampel (Koleva et al. 2002).
Metode uji antioksidan DPPH didasarkan
pada reaksi penangkapan atom hidrogen dari
senyawa antioksidan oleh DPPH (reduksi
DPPH) (Gambar 2). Reagen DPPH berperan
sebagai radikal bebas yang diredam oleh
senyawa antioksidan yang terkandung dalam
sampel. Selanjutnya, DPPH akan tereduksi
menjadi senyawa 2,2-difenil-1-pikrilhidrazina
(DPPH-H). Reduksi DPPH menjadi DPPH-H
menyebabkan perubahan warna dari ungu
menjadi kuning (Lupea et al. 2006).
Perubahan warna uji sebanding dengan jumlah
hidrogen radikal yang diambil oleh radikal
bebas.
N
N
N
.
NH
NO2
O2N
NO2
+ RH
NO2
O2N
+R
.
NO2
Gambar 2 Prinsip penangkapan H oleh DPPH
(Lupea et al. 2006).
Daya inhibisi (IC50) dihitung berdasarkan
pengurangan absorbans DPPH terhadap
absorbans sampel uji (Lampiran 7). Nilai IC50
sebagai parameter aktivitas antioksidan,
merupakan konsentrasi yang dibutuhkan
untuk menghambat aktivitas radikal bebas
(serapan radikal bebas) sebanyak 50%
(Molyneux 2004). Nilai IC50 dari masingmasing sampel diperoleh berdasarkan
persamaan garis yang dihasilkan dari
hubungan antara persen inhibisi dan
konsentrasi.
Semakin rendah nilai IC50 suatu bahan,
semakin tinggi aktivitas antioksidannya:
hanya dibutuhkan sejumlah kecil konsentrasi
sampel untuk menghambat 50% radikal bebas
DPPH. Menurut Zuhra (2008), suatu senyawa
dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika
nilai IC50 kurang dari 50 ppm, kuat jika IC50
bernilai 50–100 ppm, sedang jika bernilai
100–150 ppm, dan lemah jika nilai IC50
bernilai 151–200 ppm. Hasil penelitian (Tabel
3) menunjukkan bahwa ekstrak n-heksana,
metanol, air, dan minyak atsiri memiliki nilai
7
IC50 > 400 µg/mL. Secara visual pun dapat
dilihat pada Lampiran 8 bahwa keempat
sampel tersebut tidak mengalami perubahan
warna larutan yang signifikan. Aktivitas
antioksidan
tertinggi
dimiliki
ekstrak
kloroform (data lengkap di Lampiran 7)
karena memiliki nilai IC50 sebesar 46.41 ±
15.49 ppm. Ekstrak etil asetat juga aktif
antioksidan dengan IC50 sebesar 52.72 ± 3.46
ppm. Data nilai IC50 ini diuji beda nyata
dengan uji Duncan (Lampiran 9). Nilai IC50
kedua ekstrak tersebut tidak berbeda nyata
menurut uji Duncan, artinya diperlukan
jumlah ekstrak yang hampir sama untuk
mencapai inhibisi 50%. Bila dibandingkan
dengan kontrol positif (asam askorbat), kedua
ekstrak tersebut tidak seaktif asam askorbat
dan nilai IC50-nya berbeda nyata.
Ekstrak
kloroform
mengandung
triterpenoid, steroid, alkaloid, dan flavonoid,
sedangkan ekstrak etil asetat mengandung
triterpenoid, alkaloid, dan flavonoid (Tabel
2). Metabolit sekunder yang diduga berperan
dalam aktivitas antioksidan ialah triterpenoid,
steroid, alkaloid, dan flavonoid semipolar.
Aktivitas antioksidan pelepah temulawak
belum pernah dilakukan sebelumnya, nilai
IC50 pelepah lebih baik dibandingkan
rimpangnya yang telah dilaporkan oleh Ruslay
et al. (2007), IC50 = 62.7 ± 0.014 ppm dan
menurut Batubara et al. (2010) 80.72 ± 0.21
ppm. Hal ini berarti bagian pelepah juga dapat
dimanfaatkan sebagai obat.
Berdasarkan hasil uji, hanya ekstrak
kloroform yang memiliki aktivitas baik
sebagai antikanker dan antioksidan. Oleh
Waktu retensi
(menit)
4.65
4.87
11.16
11.92
12.10
12.55
13.36
14.48
15.47
17.02
22.28
24.64
karena itu, ekstrak kasar kloroform digunakan
sebagai sampel uji lanjutan. Minyak atsiri
yang merupakan sampel teraktif potensi
antikanker tidak dilakukan uji lanjutan, tetapi
diidentifikasi komponen penyusunnya dengan
GC-MS.
Identifikasi Komponen dalam Minyak
Atsiri
Minyak atsiri dalam pelepah temulawak
sangat berpotensi sebagai antikanker karena
memiliki nilai LC50 23.05 ± 3.49 µg/mL.
Komponen penyusun minyak atsiri tersebut,
dianalisis
dengan
GC-MS.
Hasilnya
terangkum dalam Tabel 4 dengan kromatogram pada Lampiran 10.
Senyawa penyusun minyak atsiri pelepah
temulawak hampir sama dengan penyusun
rimpangnya, tetapi dengan kadar yang sangat
berbeda. Senyawa yang dominan pada
pelepah ialah xantorizol (Gambar 3),
sedangkan senyawa yang dominan dalam
rimpang ialah diepi-α-sedrena dan αkurkumena. Perbedaan komposisi senyawa
diduga karena adanya perbedaan fungsional
dari bagian tumbuhan tersebut.
OH
Gambar 3 Senyawa xantorizol.
Tabel 4 Komponen minyak atsiri dari pelepah temulawak
Kadar (%) dalam
Kadar (%) dalam rimpang segar
Nama senyawa
pelepah
(Sukrasno 2012)*
Kamfor
0.44
5.61
Isoborneol
0.05
0.67
-Elemena
0.62
1.06
α-Bergamotena
0.04
3.61
trans-Kariofilena
1.17
1.10
-Elemena
0.28
1.48
-Farnesena
0.33
3.70
α-Kurkumena
9.61
19.43
Diepi-α-sedrena
3.97
29.95
Germakrena B
1.47
4.42
Germakron
8.69
3.51
Xantorizol
29.87
7.10
Keterangan: * = Kondisi alat Shimadzu GC-MS QP500: kolom DB-17 panjang 30 m. diameter dalam 0.25 mm, gas
pembawa helium, tekanan 68 kpa, elusi gradien 40–250 oC, suhu injektor 250 oC, volume injeksi 1 µL.
8
Xantorizol dikenal memiliki aktivitas
antikanker in vitro dan in vivo. Hong dan Sirat
(2003)
menyatakan
bahwa
xantorizol
memiliki toksisitas terhadap A. salina (LC50 =
25.91 ppm) dan sitotoksisitas terhadap sel
lestari leukimia HL-60 (IC50 = 0.4 ppm). Oleh
karena itu, aktivitas yang sangat besar dari
minyak atsiri pelepah temulawak sebagai
antikanker diduga tidak terlepas dari peranan
senyawa
xantorizol
yang
merupakan
komponen dominan dalam minyak tersebut
(Tabel 3). Selain xantorizol, senyawa yang
memiliki peran sebagai antikanker yaitu
kamfor, -elemena, dan α-kurkumena (Duke
2012). Namun, nilai LC50 masing-masing
senyawa tersebut belum diketahui.
Penentuan Eluen Terbaik dengan KLT
Kromatografi lapis tipis (KLT) digunakan
untuk pemisahan ekstrak pekat kloroform.
Fase diam yang digunakan adalah silika gel
G60F254, sedangkan eluen tunggal yang
digunakan ialah eter, etil asetat, aseton,
butanol, asam asetat, metanol, diklorometana,
n-heksana,
toluena,
dan
kloroform.
Berdasarkan hasil kromatogram pada pelat
KLT (Gambar 4), eluen n-heksana dan toluena
tidak memberikan noda karena eluen tidak
cukup besar kepolarannya sehingga sampel
bersifat lebih polar dari eluen. Aseton,
butanol,
asam
asetat,
dan
metanol
menghasilkan noda berekor namun noda
masih dapat terelusi pada akhir elusi (noda
berada di atas) menunjukkan bahwa sampel
kurang bersifat polar terhadap eluen-eluen
tersebut. Eluen eter, etil asetat, diklorometana,
dan kloroform bersifat semipolar sehingga
dapat memberikan lebih banyak noda dari
eluen sebelumnya. Eluen eter memberikan 5
noda dengan nilai Rf sedang sampai besar.
Hal ini berarti sampel masih bersifat kurang
polar
terhadap
eter.
Diklorometana
memberikan 5 noda dengan keterpisahan noda
yang kurang baik. Etil asetat memberikan 6
noda dengan nilai Rf kecil sampai besar. Oleh
karena itu, kepolaran sampel sudah mirip
dengan eluen, namun masih belum
memberikan jumlah noda yang banyak.
Eluen yang memberikan pemisahan
terbaik adalah eluen kloroform. Eluen ini
dapat memisahkan 12 noda dari ekstrak serta
adanya noda pada awal dan akhir elusi
menunjukkan
bahwa
sampel
bersifat
semipolar dan cocok terelusi oleh eluen
kloroform. Namun, untuk noda dengan Rf
kecil (senyawaan polar) masih terdapat
beberapa noda yang belum terpisahkan
dengan baik. Oleh karena itu, dibuat
komposisi campuran eluen antara kloroform
dengan eluen yang tidak memberikan
pemisahan yaitu n-heksana (Gambar 4).
a b c
d
e
f g h
i
j
Gambar 4 Kromatogram ekstrak kloroform
pelepah temulawak dengan eluen
tunggal: eter (a), etil asetat (b),
aseton (c), butanol (d), asam
asetat
(e),
metanol
(f),
diklorometana (g), n-heksana (h),
toluena (i), dan kloroform (j).
Komposisi campuran eluen yang dibuat
ialah kloroform:n-heksana 6:3; 3:2; 8:1; 4:1;
9:1; 9:2; dan 10:1. Eluen campuran yang
memberikan pemisahan yang baik ialah
kloroform:n-heksana 9:2 (Gambar 5). Eluen
ini memisahkan 12 noda dari ekstrak dengan
keterpisahan senyawaan polar yang baik.
a
b
c
d
e
f
g
Gambar 5 Kromatogram ekstrak kloroform
pelepah temulawak dengan
eluen campuran kloroform:nheksana 6:3 (a); 6:4(b); 8:1 (c);
8:2 (d); 9:2 (e); 9:1 (f); dan 10:1
(g).
Fraksionasi Kromatografi Kolom (KK)
Sistem fraksionasi yang digunakan ialah
elusi
gradien.
Silika
gel
dikemas
menggunakan eluen n-heksana. Selanjutnya,
ekstrak yang telah dilarutkan dengan
kloroform dielusi dengan eluen n-heksana
9
100%, (n-heksana:kloroform 9:1, 8:2, 7:3, 6:4,
5:5, 4:6, 3:7, 2:9, 1:9), dan kloroform 100%.
Setelah dielusi dengan eluen kloroform 100%,
masih ada pita yang belum keluar dari kolom.
Oleh karena itu, elusi gradien dilanjutkan
dengan campuran kloroform-metanol dengan
komposisi sebagai berikut: kloroform 100%,
(kloroform:metanol 9:1, 8:2, 7:3, 6:4, 5:5, 4:6,
3:7, 2:8, 1:9), dan metanol 100%. Diperoleh
187 eluat yang kemudian digabung
berdasarkan pola KLT menjadi fraksi-fraksi
KK. Penggabungan fraksi ini didasarkan pada
kesamaan jumlah noda dan nilai Rf yang sama.
Diperoleh 11 fraksi (F1–F11) (Lampiran 11).
Selanjutnya, 11 fraksi tersebut dielusi dengan
eluen terbaik kloroform:n-heksana 9:2 untuk
melihat bentuk nodanya (Gambar 6).
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11 E
Gambar 6 Kromatogram hasil fraksionasi dan
ekstrak kasar kloroform pelepah
temulawak.
Potensi Antikanker dan Antioksidan Fraksi
Uji pendahuluan aktivitas antioksidan
fraksi F1–F11 dilakukan dengan metode KLT
bioautografi. Noda disemprot dengan larutan
DPPH 125 µM.
E F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11 K+
Gambar 7 Kromatogram hasil fraksionasi,
ekstrak kasar kloroform pelepah
temulawak, dan asam askorbat
(kontrol positif) yang disemprot
larutan DPPH.
Nilai IC50 fraksi dapat ditentukan dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis 96well plate. Fraksi 1 tidak diujikan karena tidak
memiliki aktivitas antioksidan berdasarkan
metode KLT bioautografi. Deret konsentrasi
yang digunakan ialah 13.3; 16.7; 33.3; 66.7;
dan 100 µg/mL. Berdasarkan nilai IC50, fraksi
yang aktif antioksidan ialah fraksi 2, 8, dan 9
(Tabel 5). Fraksi teraktif yang memiliki nilai
IC50 terendah ialah F9. Berdasarkan uji
Duncan, aktivitas ketiga fraksi tersebut tidak
berbeda nyata dalam menghambat 50%
radikal bebas. Bila dibandingkan dengan
kontrol positif (asam askorbat), ketiga fraksi
tersebut tidak seaktif asam askorbat dan nilai
IC50-nya berbeda nyata.
Tabel 5 Potensi antikanker dan antioksidan
hasil fraksionasi dan ekstrak kasar
kloroform pelepah temulawak
Fraksi
LC50 (µg/mL)
IC50 (µg/mL)
F1
553.23 ± 20.27e
*)
100.77 ±
e
F2
549.25 ± 22.24
27.43b
c
F3
316.97 ± 15.86
>100
F4
457.28 ± 11.61d
>100
F5
253.33 ± 10.84ab
>100
F6
219.37 ± 7.61a
>100
F7
> 1000
>100
118.41 ±
ef
F8
571.19 ± 65.52
29.03b
e
F9
522.95 ± 43.35
79.57 ± 8.96b
f
F10
606.40 ± 29.17
>100
F11
292.17 ± 7.58bc
>100
Asam
2.01 ± 0.12a
askorbat
Ekstrak
370.69 ± 22.69
46.41 ± 15.49
kloroform
Keterangan: * = tidak diuji; asam askorbat = kontrol
positif antioksidan. Sampel dengan abjad
yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
uji Duncan pada P = 0.05
Nilai LC50 fraksi ditentukan berdasarkan
metode BSLT. Hampir seluruh fraksi (F1–
F11) berpotensi sebagai antikanker karena
memiliki nilai LC50 < 1000 µg/mL (Tabel 5).
Hanya fraksi 7 yang tidak berpotensi sebagai
antikanker. Nilai LC50 F3, F5, F6, dan F11
lebih besar daripada ekstrak kasarnya. Hal ini
berarti pemurnian ekstrak kasar cocok untuk
aktivitas antikanker. Sebaliknya, aktivitas
antioksidan fraksi teraktif (F9) lebih kecil
dibandingkan dengan ekstrak kasarnya. Hal
ini diduga erat kaitannya dengan peran
penting efek sinergis fraksi-fraksi tersebut
dalam sampel pelepah temulawak.
10
Berdasarkan Tabel 2, ekstrak kasar
kloroform mengandung flavonoid, alkaloid,
steroid, dan triterpenoid yang diduga berperan
dalam potensi aktivitas antikanker dan
antioksidan. Oleh karena itu, seluruh fraksi
diuji fitokimia kembali untuk keempat
metabolit sekunder tersebut.
Uji
flavonoid
dilakukan
dengan
mengamati warna noda pada KLT yang
dipaparkan uap amonia. Perubahan warna
noda terjadi pada ekstrak kasar, F2, F4–F10
(Lampiran 12). Noda yang berwarna kuning
berubah menjadi kuning kecokelatan setelah
dipaparkan uap amonia untuk F4, F5, F6, F7,
F9, dan F10. Noda takberwarna dari F2 dan
F8 berubah menjadi kuning setelah
dipaparkan uap amonia. Menurut Harborne
(1987), noda yang berwarna berubah warna
jika dipaparkan uap amonia dari kuning
murup
menjadi
kuning
kecokelatan
merupakan golongan flavonol, sedangkan
noda takberwarna yang berubah menjadi
kuning merupakan golongan flavanon dan
dihidroflavonol-7-glikosida. Oleh karena itu,
secara umum F2, F4–F10 merupakan
golongan flavonoid.
Uji alkaloid dilakukan dengan mengamati
warna noda pada KLT yang disemprotkan
pereaksi Dragendorf. Berdasarkan Lampiran
13, dihasilkan noda berwarna cokelat jingga
berlatar belakang coklat pada ekstrak kasar,
F8–F10. Menurut Harborne (1987), bercak
cokelat jingga berlatar belakang kuning positif
mengandung alkaloid. Oleh karena itu, ekstrak
kasar, F8–F10 diduga mengandung alkaloid.
Steroid dan triterpenoid diuji berdasarkan
pengamatan warna noda pada KLT yang
disemprotkan pereaksi Lieberman Buchard.
Dihasilkan noda berwarna merah pada F2, F3,
F4, F5, dan F6, serta noda hijau pada F5, F6,
dan F10 (Lampiran 14). Menurut Harborne
(1987), bercak hijau positif mengandung
steroid, sedangkan merah positif triterpenoid.
Oleh karena itu, triterpenoid terkandung
dalam F2–F6 serta steroid dalam F5, F6, dan
F10. Ekstrak kasar tidak menunjukkan steroid
dan triterpenoid. Hal ini diduga karena jumlah
steroid dan triterpenoid yang terkandung
dalam ekstrak yang ditotolkan lebih kecil dari
limit deteksi uji ini.
Berdasarkan data nilai IC50 (Tabel 5), F2,
F8, dan F9 aktif antioksidan, sedangkan
berdasarkan nilai LC50 (Tabel 5), F3, F5, F6,
dan F11 memiliki potensi antikanker yang
baik dibandingkan dengan ekstrak kasarnya.
Fraksi yang aktif antioksidan diduga
mengandung
flavonoid,
alkaloid,
dan
saponin/tanin. Hal ini berdasarkan letak noda
yang mengalami pemudaran warna ungu
(Gambar 8) jika dibandingkan dengan uji
fitokimia lanjutan (Tabel 6) flavonoid,
alkaloid, serta steroid dan triterpenoid.
Flavonoid (pada ekstrak kloroform, F2, F4,
F5, F7—F9), dan alkaloid (pada F8—F10)
aktif antioksidan. Semua steroid yang
teridentifikasi pada F5, F6, dan F10 tidak aktif
antioksidan. Walaupun noda triterpenoid pada
F4—F6 memudar, triterpenoid diduga tidak
berperan sebagai antioksidan karena noda
pada F2 dan F3 tidak memudar pada uji KLT
bioautografi. Aktivitas
(Curcuma xanthorriza)
SEBAGAI ANTIKANKER DAN ANTIOKSIDAN
CAHYA SEPTYANTI
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ABSTRAK
CAHYA SEPTYANTI. Potensi Pelepah Temulawak (Curcuma xanthorriza)
sebagai Antikanker dan Antioksidan. Dibimbing oleh IRMANIDA BATUBARA
dan GUSTINI SYAHBIRIN.
Potensi pelepah temulawak diketahui melalui penentuan ekstrak teraktif
dengan uji antikanker brine shrimp lethality test (BSLT) dan uji antioksidan 2,2difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH). Pelepah temulawak dari Bogor diekstraksi dengan
n-heksana, kloroform, etil asetat, metanol, dan air, serta minyak atsiri yang
diperoleh dari distilasi air. Ekstrak kloroform (LC50: 370.69 ± 22.69 µg mL-1) dan
minyak atsiri (LC50: 23.05 ± 3.49 µg mL-1) toksik terhadap Artemia salina yang
menunjukkan potensi antikanker. Ekstrak etil asetat dan kloroform memiliki
aktivitas antioksidan (IC50: 46.41 ± 15.49 µg mL-1 dan 52.72 ± 3.46 µg mL-1,
berturut-turut) namun tidak sekuat asam askorbat sebagai kontrol positifnya (IC50:
1.80 ± 0.33 µg mL-1). Ekstrak kloroform selanjutnya difraksionasi menggunakan
kromatografi kolom dengan fase diam Silica Gel G60F254-Merck serta elusi secara
gradien dengan n-heksana, kloroform, dan metanol. Fraksi yang positif memiliki
aktivitas antioksidan secara kualitatif selanjutnya diuji aktivitas antioksidan dan
antikankernya. Fraksi teraktif antioksidan (F9) berpotensi antikanker (LC50:
522.95 ± 43.35 µg mL-1) dan antioksidan (IC50: 79.57 ± 8.96 µg mL-1). Oleh
karena itu, F9 berpotensi sebagai antikanker dan antioksidan.
ABSTRACT
CAHYA SEPTYANTI. Potency of Temulawak Stem (Curcuma xanthorriza) as
Anticancer and Antioxidant. Supervised by IRMANIDA BATUBARA and
GUSTINI SYAHBIRIN.
The study aimed to evaluate the potency of temulawak (Curcuma
xanthorrhiza) stem as anticancer by brine shrimp lethality test (BSLT) and
antioxidant by 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) assays. The stem of
temulawak midrib obtained from Bogor, was extracted by n-hexane, chloroform,
ethyl acetate, methanol, and water, and the volatile oil was obtained by water
distillation. The chloroform extract and volatile oil showed anticancer potency
towards Artemia salina (LC50: 370.69 ± 22.69 µg mL-1 ; 123.05 ± 3.49 µg mL-1,
respectively). Ethyl acetate and chloroform extracts had antioxidant activities
(IC50: 46.41 ± 15.49 µg mL-1 and 52.72 ± 3.46 µg mL-1) but the activity did not as
strong as ascorbic acid (control positive, IC50 1.80 ± 0.33 µg mL-1). The
chloroform extract was further fractionated by column chromatography with
Silica Gel G60F254-Merck as stationary phase and gradient of n-hexane,
chloroform, and methanol as mobile phase. Antioxidant and anticancer potency of
fraction which had antioxidant activity qualitatively were tested. The most
antioxidant active fraction (F9) had anticancer potency (LC50: 522.95 ± 43.35 µg
mL-1) and antioxidant activity (IC50: 79.57 ± 8.96 µg mL-1). In conclusion, F9 is
potencial as an anticancer and antioxidant.
POTENSI PELEPAH TEMULAWAK
(Curcuma xanthorriza)
SEBAGAI ANTIKANKER DAN ANTIOKSIDAN
CAHYA SEPTYANTI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi : Potensi Pelepah Temulawak (Curcuma xanthorriza) sebagai
Antikanker dan Antioksidan
Nama `
: Cahya Septyanti
NIM
: G44080051
Disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr Irmanida Batubara SSi MSi
NIP 19750807 200501 2 001
Dr Gustini Syahbirin MS
NIP 19600819 198903 2 002
Diketahui
Ketua Departemen Kimia
Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi MS
NIP 19501227 197603 2 002
Tanggal lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ―Potensi
Pelepah Temulawak (Curcuma xanthorriza) sebagai Antikanker dan
Antioksidan‖. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai Juli
2012 yang bertempatkan di Laboratorium Kimia Analitik, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Institut Pertanian Bogor (IPB) serta
Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor (PSB IPB). Skripsi
ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan Program Sarjana di Departemen
Kimia FMIPA IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Irmanida Batubara SSi MSi
selaku pembimbing satu dan Dr Gustini Syahbirin MS sebagai pembimbing kedua
yang selalu memberikan motivasi, kritik, dan saran untuk kelancaran penelitian
dan penulisan. Terima kasih kepada Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Institut
Pertanian Bogor (PSB IPB) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melaksanakan penelitiannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Eman, Ibu Nunung, Bapak Engkos, dan Bapak Dede yang telah
menyediakan alat dan bahan selama penelitian. Terima kasih kepada staf PSB IPB
yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian. Ungkapan terima kasih
juga dihaturkan untuk kedua orang tua serta adik penulis yang selalu memberikan
dukungan dan kasih sayangnya. Ucapan terima kasih kepada rekan-rekan kimia 45
dan ekstensi analitik yang senantiasa menyemangati dan berjuang bersama dalam
penelitian. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam perkembangan
ilmu pengetahuan.
Bogor, Juli 2012
Cahya Septyanti
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 08 September 1990 dari
pasangan Muji Waluyo dan Rachmawati. Penulis merupakan anak pertama dari
dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Dasar Negeri
(SDN) Sukatani IV tahun 1995–2001, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri
(SLTPN) 11 Depok tahun 2001–2004, Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor
(SMAKBo) tahun 2004–2008. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan pada
tahun 2008–2012 di Program Sarjana Departemen Kimia IPB.
Selama kuliah, penulis mengikuti berbagai kepanitiaan dalam lingkup
kimia, FMIPA, maupun kampus. Penulis berpartisipasi sebagai staf kementrian
pendidikan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian
Bogor tahun 2010/2011. Penulis melakukan Praktik Lapang di PT Bayer Health
Care Cimanggis Plant dengan judul laporan ―Analisis Vitamin B9 (Asam Folat)
dalam Produk Sediaan Effervescent‖ pada tahun 2011. Penulis juga pernah
menjadi asisten praktikum kimia Tingkat Persiapan Bersama IPB tahun 2009–
2012, asisten praktikum Kimia Analitik ekstensi Departemen Kimia IPB tahun
ajaran 2010/2011, asisten praktikum Kimia Analitik 2 mayor kimia Departemen
Kimia IPB tahun ajaran 2010/2011, asisten praktikum Elektroanalitik dan Teknik
Pemisahan ekstensi Departemen Kimia IPB tahun ajaran 2010/2011, asisten
praktikum Elektroanalitik dan Teknik Pemisahan mayor kimia Departemen Kimia
IPB tahun ajaran 2011/2012, asisten praktikum Spektrofotometri dan Analisis
Kemometrik mayor kimia Departemen Kimia IPB tahun ajaran 2011/2012, serta
asisten praktikum Kimia Bahan Alam ekstensi Departemen Kimia IPB tahun
ajaran 2011/2012. Selain aktif di kampus, penulis juga menjadi tentor Kimia TPB
tahun 2009–2011 serta tentor Kimia Analitik Layanan mayor ITP tahun 2012 di
bimbingan belajar ―Katalis‖. Penulis juga pernah berkesempatan mewakili
departemen kimia dalam ajang Mahasiswa Berprestasi tingkat Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan IPB tahun 2011. Selain itu juga, penulis
pernah menjadi pemakalah poster pada Seminar Nasional Tanaman Obat
―POKJANAS TOI XLII‖ di Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI) di
Cimahi Bandung dengan judul makalah ―Potensi Pelepah Temulawak (Curcuma
xanthorriza) sebagai Antikanker dan Antioksidan‖ pada tahun β01β.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ viii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
METODE ................................................................................................................ 2
Bahan dan Alat ............................................................................................... 2
Lingkup Kerja ................................................................................................ 2
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 4
Penentuan Kadar Air dan Abu ....................................................................... 4
Ekstraksi ......................................................................................................... 5
Kandungan Fitokimia ..................................................................................... 5
Potensi Antikanker dan Antioksidan Ekstrak ................................................ 6
Identifikasi Komponen dalam Minyak Atsiri ................................................ 7
Penentuan Eluen Terbaik dengan KLT .......................................................... 8
Fraksionasi Kromatografi Kolom (KK) ........................................................ 8
Potensi Antikanker dan Antioksidan Fraksi ................................................... 9
Identifikasi Senyawa .................................................................................... 11
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 12
Simpulan ...................................................................................................... 12
Saran ............................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 12
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Data rendemen ekstrak pelepah temulawak dengan berbagai kepolaran ........... 5
2 Uji fitokimia ekstrak kasar pelepah temulawak ................................................. 5
3 Potensi antikanker dan antioksidan ekstrak kasar pelepah temulawak .............. 6
4 Komponen minyak atsiri dari pelepah temulawak ............................................. 7
5 Potensi antikanker dan antioksidan hasil fraksionasi dan ekstrak kasar
kloroform pelepah temulawak ............................................................................ 9
6 Kandungan senyawa metabolit sekunder dan aktivitas antioksidan hasil
fraksionasi ekstrak kloroform pelepah temulawak ........................................... 11
7 Bilangan gelombang spektrum inframerah Fraksi 9 hasil fraksionasi ekstrak
kloroform pelepah temulawak .......................................................................... 11
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman dan pelepah temulawak. ..................................................................... 1
2 Prinsip penangkapan H oleh DPPH ................................................................... 6
3 Senyawa xantorizol. ........................................................................................... 7
4 Kromatogram ekstrak kloroform pelepah temulawak dengan eluen tunggal .... 8
5 Kromatogram ekstrak kloroform pelepah temulawak dengan eluen campuran
kloroform:n-heksana. ......................................................................................... 8
6 Kromatogram hasil fraksionasi dan ekstrak kasar kloroform pelepah
temulawak .......................................................................................................... 9
7 Kromatogram hasil fraksionasi, ekstrak kasar kloroform pelepah temulawak,
dan asam askorbat (kontrol positif) yang disemprot larutan DPPH. .................. 9
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Bagan alir penelitian .........................................................................................15
2 Isolasi minyak atsiri pelepah temulawak ..........................................................16
3 Kadar air serbuk pelepah temulawak ................................................................17
4 Kadar abu serbuk pelepah temulawak ..............................................................17
5 Rendemen ekstrak kasar pelepah temulawak ....................................................18
6 Potensi antikanker oleh ekstrak kloroform pelepah temulawak .......................19
7 Aktivitas antioksidan oleh ekstrak kloroform pelepah temulawak ...................20
8 Larutan sampel ekstrak pelepah temulawak setelah diinkubasi 37oC selama 30
menit .................................................................................................................20
9 Uji Duncan nilai LC50 hasil fraksionasi ekstrak kloroform pelepah temulawak21
10 Kromatogram minyak atsiri pelepah temulawak dengan GC-MS ....................21
11 Rendemen hasil fraksionasi kolom ekstrak kloroform pelepah temulawak .....22
12 Uji fitokimia lanjutan flavonoid hasil fraksionasi ekstrak kloroform pelepah
temulawak ........................................................................................................23
13 Uji fitokimia lanjutan alkaloid hasil fraksionasi ekstrak kloroform pelepah
temulawak ........................................................................................................23
14 Uji fitokimia lanjutan steroid dan triterpenoid hasil fraksionasi ekstrak
kloroform pelepah temulawak ..........................................................................24
15 Spektrum FTIR F9 hasil fraksionasi ekstrak kloroform pelepah temulawak ...25
PENDAHULUAN
Gencarnya gerakan kembali ke alam (back
to nature) telah mendorong semakin banyak
dilakukan penelitian yang berkaitan dengan
pemakaian bahan alam sebagai obat herbal.
Obat ini banyak digunakan sebagai obat
alternatif maupun untuk pemeliharaan
kesehatan. Ilmu kedokteran pun mendukung
dengan adanya bidang baru yang dikenal
dengan naturopathic medicine. Bidang ini
berdasarkan pengobatan yang bersistem,
terintegrasi,
tidak
merusak,
serta
mengutamakan penggunaan bahan alam
sebagai obat (natural medicine dan natural
care),
bukan
bahan-bahan
sintetik
(Kumulawati 2005).
Temulawak
(Curcuma
xanthorriza)
merupakan salah satu jenis tanaman unggulan
yang memiliki banyak manfaat sebagai
tanaman obat (Hadipoentyanti & Syahid
2007). Tanaman ini termasuk tanaman
tahunan yang tumbuh merumpun. Tiap
rumpun tanaman terdiri atas beberapa
tanaman anakan dan tiap tanaman memiliki
2–9 helai daun (Gambar 1). Warna daging
rimpangnya kuning dengan cita rasa pahit
serta berbau tajam (Rukmana 1995).
Gambar 1 Tanaman (a) dan pelepah (b)
temulawak.
Khasiat temulawak sebagai bahan alam
untuk obat terutama disebabkan kandungan
senyawa
kurkuminoid
di
dalamnya.
Kurkuminoid pada temulawak terdiri atas
kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin. Khasiat kurkuminoid di
antaranya
ialah
sebagai
antioksidan,
antiradang, antibakteri, antihepatotoksik,
antikolesterol, dan antikanker (Sidik 2006).
Selain senyawa kurkuminoid, terdapat
senyawa lain di dalam rimpang temulawak.
Senyawa tersebut antara lain kelompok
difenilheptanoid seperti (1E,3E)-1,7-difenil1,3-heptadien-5-ol, (1E,3E)-1,7-difenil-1,3heptadien-5-on, (E)-1,7-difenil-1-hepten-5-ol,
(E)-7-(3,4-dihidroksifenil)-5-hidroksi-1-fenil1-heptena, dan 7-hidroksi-1,7-bis-(4-hidroksi3-metoksifenil)-1-heptena-3,5-dion; kelompok
terpenoid jenis monoterpena seperti kamfor,
borneol,
isoborneol,
α-felandrena,
felandrena (Ravindran et al. β007), α-pinena,
α-longipinena, dan kamfena (Sukrasno et al.
2011); serta jenis seskuiterpena
seperti
kurzerenon,
ar-turmeron,
zingiberena
(Ravindran et al. 2007), α-kurkumena,
furanodiena, xantorizol,
-elemena,
elemena, -farnesena, dan trans-kariofilena
(Sukrasno et al. 2012).
Ravindran et al. (2007) menyatakan bahwa
xantorizol, ar-turmeron, serta senyawa
golongan difenilheptanoid juga berperan
dalam
bioaktivitas
temulawak
selain
kurkuminoid. Xantorizol berfungsi sebagai
antimikrob dan antikanker. Ar-turmeron
berfungsi sebagai antikanker dan antinyamuk.
Difenilheptanoid seperti (1E,3E)-1,7-difenil1,3-heptadien-5-on, (E)-1,7-difenil-1-hepten5-ol, dan (1E,3E)-1,7-difenil-1,3-heptadien-5ol penting sebagai antiradang.
Penelitian bahan aktif selama ini baru
terfokus pada rimpang temulawak. Hal ini
dikarenakan tradisi masyarakat yang hanya
menggunakan
rimpang
sebagai
obat
tradisional, sedangkan pelepah dan daunnya
belum umum dipergunakan. Belum adanya
peneliti dengan fokus pada pelepah dan
dekatnya jarak antara rimpang dan pelepah
membuat pelepah temulawak menjadi bagian
yang menarik untuk diteliti lebih lanjut
potensinya
sebagai
antikanker
dan
antioksidan. Kedua bioaktivitas ini diteliti
pada pelepah karena telah terbukti bahwa
rimpang temulawak memiliki bioaktivitas
antikanker (Cheah et al. 2009) dan
antioksidan (Qader et al. 2011).
Penelitian ini bertujuan menentukan
potensi pelepah temulawak sebagai antikanker
melalui penentuan fraksi teraktif dengan uji
letalitas larva udang (BSLT) dan sebagai
antioksidan dengan pengujian menggunakan
2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH). Penelitian
juga menentukan golongan senyawa metabolit
sekunder setiap fraksi dengan uji fitokimia.
Fraksi diperoleh melalui fraksionasi dengan
eluen sistem gradien.
METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan antara lain
sampel pelepah temulawak dari kebun UKBB
Pusat Studi Biofarmaka Bogor, n-heksana,
kloroform, etil asetat, metanol, air, air laut,
larva udang Artemia salina, pereaksi uji
fitokimia, asam askorbat, dan pereaksi DPPH.
Alat-alat yang digunakan antara lain oven,
eksikator, neraca analitik, lampu ultraviolet
(UV), pelat kromatografi lapis tipis (KLT),
penguap putar, kolom, kromatografi gasspektrometer
massa
(GC-MS),
dan
spektrofotometer inframerah transformasi
Fourier (FTIR).
Lingkup Kerja
Penelitian yang dilakukan meliputi
preparasi sampel, penentuan kadar air dan
abu, ekstraksi pelepah temulawak kering
dengan maserasi dalam pelarut dengan
berbagai kepolaran, isolasi minyak atsiri
pelepah temulawak dengan distilasi air,
penentuan ekstrak kasar atau minyak atsiri
teraktif dengan uji BSLT dan DPPH,
penentuan eluen terbaik untuk ekstrak teraktif
dengan KLT, fraksionasi ekstrak teraktif
dengan kromatografi kolom menggunakan
eluen sistem gradien. Pada tahap terakhir
dilakukan
identifikasi
fraksi
teraktif
menggunakan spektrofotometer (FTIR) serta
identifikasi komponen penyusun minyak atsiri
dengan GC-MS.
Diagram alir penelitian secara umum
diberikan pada Lampiran 1 dan tahapan isolasi
minyak atsiri ditunjukkan pada Lampiran 2.
Preparasi Pelepah Temulawak
Pelepah segar dicuci dengan air bersih,
ditiriskan,
dipotong
kecil-kecil,
dan
dikeringkan dalam oven 50oC. Setelah itu,
pelepah kering digiling dan diayak
menggunakan pengayak 40 mesh agar
diperoleh bentuk serbuk.
Analisis Kadar Air (AOAC 2007)
Cawan porselen dikeringkan pada suhu
105°C selama 30 menit kemudian didinginkan
dalam eksikator dan ditimbang. Sebanyak 2 g
pelepah temulawak kering dimasukkan ke
dalam cawan dan dikeringkan pada suhu
105°C selama 5 jam kemudian didinginkan
dalam eksikator dan ditimbang. Prosedur ini
dilakukan hingga diperoleh bobot yang tetap.
Kadar air contoh ditentukan dengan
persamaan:
Kadar air (%)
=
Keterangan:
A = bobot contoh awal (g)
B = bobot contoh kering (g)
Analisis Kadar Abu (AOAC 2007)
Penentuan kadar abu pelepah temulawak
menggunakan metode gravimetri. Cawan
porselen yang bersih dan kering dimasukkan
ke dalam tanur untuk menghilangkan sisa-sisa
kotoran yang menempel di cawan. Setelah
didinginkan
dalam
eksikator,
cawan
ditimbang. Sebanyak 2 g pelepah temulawak
kering dimasukkan ke dalam cawan tersebut
dan dipanaskan sampai tidak berasap
kemudian dibakar dalam tanur pada suhu
600°C selama 2 jam sampai diperoleh abu.
Cawan berisi abu didinginkan dalam eksikator
dan ditimbang. Kadar abu contoh dihitung
dengan persamaan
Kadar abu (%) =
Keterangan:
A = bobot contoh awal (g)
B = bobot abu (g)
Isolasi Minyak Atsiri Pelepah Temulawak
(Muchtaridi et al. 2003)
Sebanyak 5 kg pelepah temulawak yang
telah dipotong kecil-kecil dimasukkan ke
dalam distilator Dean-Stark, lalu ditambahkan
akuades dengan nisbah sampel dan akuades
adalah 1:2. Setelah itu, dilakukan proses
distilasi air selama 6 jam dengan suhu berkisar
100–105°C. Distilat yang diperoleh dipartisi
dengan etil asetat. Fase etil asetat diuapkan
dengan penguap putar pada suhu kamar.
Selanjutnya, minyak dimasukkan ke dalam
botol berwarna gelap dan disimpan di dalam
kulkas
untuk dianalisis
pada
tahap
selanjutnya.
Ekstraksi Pelepah dengan Berbagai
Kepolaran Pelarut
Ekstraksi yang digunakan dalam penelitian
ini ialah maserasi dengan 5 pelarut dari
nonpolar hingga polar. Pelarut yang
digunakan ialah n-heksana (nonpolar),
kloroform
(semipolar
yang
dominan
nonpolar), etil asetat (semipolar yang dominan
polar), serta metanol dan air (polar). Metode
ekstraksi ialah ekstraksi bertingkat mengacu
pada BPOM (2004) dengan modifikasi.
Sebanyak 25 g simplisia dimaserasi dengan
125 mL n-heksana pada suhu ruang selama 24
jam. Maserat dipisahkan kemudian residu
dimaserasi kembali dengan jenis dan jumlah
pelarut yang sama. Maserasi dilakukan 3 kali
3
ulangan. Semua maserat dikumpulkan dan
dipekatkan dengan penguap putar. Bobot
ekstrak kering yang diperoleh ditimbang.
Residu kemudian diekstraksi berturut-turut
dengan kloroform, etil asetat, metanol, dan air
berdasarkan metode yang sama dengan nheksana. Rendemen setiap ekstrak dihitung
dengan membandingkan bobot ekstrak yang
diperoleh dengan bobot sampel awal. Kadar
air sampel digunakan sebagai faktor koreksi.
Rendemen (%) =
Keterangan:
A = bobot contoh awal (g)
B = bobot ekstrak (g)
C = kadar air
Pemilihan Pelarut sebagai Fase Gerak
Ekstrak pelepah temulawak dilarutkan
secukupnya dengan pelarutnya. Ekstrak lalu
ditotolkan pada pelat KLT hingga cukup
pekat.
Pemilihan fase gerak diawali dengan
menggunakan 10 pelarut tunggal, yaitu nheksana, dietil eter, n-butanol, metanol, asam
asetat, diklorometana, etil asetat, aseton,
toluena, dan kloroform. Sebanyak 5 mL
pelarut dimasukkan ke dalam bejana dan
dijenuhkan selama 20 menit. Pelat KLT yang
telah berisi sampel dimasukkan ke dalam
bejana dan dipisahkan hingga fase gerak
mencapai jarak ±1 cm dari tepi atas pelat.
Pelat KLT diangkat, dikeringkan, dan
dideteksi dengan lampu UV pada panjang
gelombang 254 dan 365 nm. Eluen yang
menghasilkan noda terbanyak dan terpisah
baik dipilih sebagai eluen terbaik. Jika eluen
tunggal
belum
dapat
memberikan
keterpisahan yang baik, maka dilakukan
pencampuran antara eluen yang hampir
memberikan keterpisahan yang baik dan eluen
yang menahan seluruh komponen di garis
awal.
Fraksionasi dengan Kromatografi Kolom
(Rouessac & Rouessac 1994)
Sebanyak 10 g silika gel untuk pemisahan
0.5 gram ekstrak dengan diameter 1 cm dan
tinggi 20 cm. Ekstrak kloroform pelepah
temulawak dilarutkan dalam eluen terbaik,
kemudian dipisahkan menggunakan elusi step
gradient (peningkatan kepolaran). Eluat
ditampung setiap 3 mL dalam tabung reaksi
dan diuji dengan KLT. Noda pemisahan
dideteksi di bawah lampu UV 254 dan 365
nm. Eluat yang memiliki Rf yang sama
digabungkan sebagai 1 fraksi. Selanjutnya,
fraksi-fraksi diuji aktivitas
antikanker, dan fitokimia.
antioksidan,
Uji Fitokimia (Harborne 1987)
Uji Alkaloid. Ekstrak dengan bobot
tertentu dilarutkan dengan 10 mL kloroform
dan beberapa tetes NH4OH kemudian disaring
ke dalam tabung reaksi tertutup. Ekstrak
kloroform dalam tabung reaksi dikocok
dengan 10 tetes H2SO4 2 M dan lapisan
asamnya dipisahkan ke dalam tabung reaksi
lain. Lapisan asam ini diteteskan ke lempeng
tetes dan ditambahkan pereaksi Mayer,
Wagner, dan Dragendorf yang akan
menimbulkan endapan dengan warna berturutturut putih, cokelat, dan merah jingga jika
ekstrak mengandung alkaloid.
Uji Saponin dan Flavonoid. Ekstrak
dengan bobot tertentu dimasukkan ke dalam
gelas piala besar kemudian ditambahkan 100
mL air panas dan dididihkan selama 5 menit.
Setelah itu, disaring dan filtratnya digunakan
untuk pengujian. Uji saponin dilakukan
dengan mengocok 10 mL filtrat di dalam
tabung reaksi tertutup selama 10 detik
kemudian dibiarkan selama 10 menit. Adanya
saponin ditunjukkan dengan terbentuknya
buih stabil. Sebanyak 10 mL filtrat yang lain
ditambahkan 0.5 g serbuk Mg, 2 mL alkohol
klorhidrat (campuran HCl 37% dan etanol
95% dengan volume yang sama), dan 20 mL
amil alkohol kemudian dikocok kuat-kuat.
Terbentuknya warna merah, kuning, atau
jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan
adanya flavonoid.
Uji Steroid dan Triterpenoid. Ekstrak
dilarutkan dengan 25 mL etanol panas (50 oC)
kemudian disaring ke dalam pinggan porselen
dan diuapkan sampel kering. Residu
ditambahkan eter, dipindahkan ke lempeng
tetes lalu ditambahkan 3 tetes anhidrida asam
asetat dan 1 tetes H2SO4 pekat (uji LiebermanBuchard). Warna merah atau ungu
menunjukkan adanya triterpenoid sedangkan
hijau atau biru steroid.
Uji Tanin. Ekstrak ditambahkan 100 mL
air panas, dididihkan selama 5 menit, dan
disaring. Filtrat ditambahkan larutan FeCl3
1%. Warna hitam kehijauan menunjukkan
adanya tanin.
Uji Toksisitas dengan Metode BSLT
Penetasan Telur A. salina. Telur A.
salina direndam dalam air laut. Suhu
penetasan adalah ±25–30oC selama 48 jam
dan larvanya disebut nauplius. Larva ini siap
untuk uji BSLT setelah berumur 48 jam
(Nurhayati et al. 2006).
Uji Toksisitas Ekstrak. Larutan stok
ekstrak pelepah dan minyak atsiri pelepah
disiapkan dengan konsentrasi 2000 ppm.
Ekstrak pelepah diencerkan pada konsentrasi
tertentu dan kontrol disiapkan tanpa
penambahan sampel. Pengujian dilakukan
dengan memasukkan 10 ekor larva A. salina
berumur 48 jam ke dalam sumur (multiwell)
yang telah berisi air laut, kemudian
ditambahkan larutan ekstrak dengan total
volume sumur 2 mL. Setelah 24 jam, jumlah
larva yang mati dihitung dengan bantuan kaca
pembesar (Khurniasari 2004).
Parameter yang digunakan adalah jumlah
larva yang mati 50% dari total larva uji. Nilai
LC50 diperoleh dengan memasukkan angka
probit (50% kematian larva uji). Efek
toksisitas dianalisis dari persen kematian
kematian
jumlah larva mati
jumlah larva uji
100
yang kemudian dibuat persamaan garis
y=a+bx , dengan y = konsentrasi larutan, dan x
= persen kematian larva. LC50 merupakan nilai
y yang diperoleh dengan memasukkan nilai x
= 50%. Apabila pada kontrol ada larva yang
mati, maka persen kematian ditentukan
dengan rumus Abbot:,
-
100 ,
kematian
10
dengan T = jumlah larva uji yang mati, K =
jumlah larva kontrol yang mati, dan 10 =
jumlah larva uji.
Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode
DPPH (Salazar et al. 2011)
Larutan stok ekstrak pelepah dibuat
dengan konsentrasi (1 mg/mL) kemudian
diencerkan menjadi beberapa konsentrasi.
Kontrol positif yang digunakan ialah asam
askorbat, sedangkan kontrol negatifnya ialah
DPPH. Larutan stok asam askorbat disiapkan
dengan konsentrasi 100 ppm dalam pelarut
etanol, lalu diencerkan menjadi beberapa
konsentrasi dengan etanol. Larutan diambil
masing-masing
100
µL
kemudian
ditambahkan 100 µL larutan DPPH 125 µM
dalam etanol, dan diinkubasi pada suhu 37oC
selama 30 menit. Setelah itu, nilai absorbans
diukur pada panjang gelombang 517 nm
(ungu).
Aktivitas
inhibisi
ditentukan
berdasarkan persamaan berikut:,
inhibisi [1-
( sampel- kontrol)
( blangko- kontrol)
]
100 ,
Keterangan:
A sampel = absorbans bahan aktif
A kontrol = absorbans
asam
askorbat
dengan inhibisi 100%
A blangko = absorbans DPPH
Uji Antioksidan dengan Metode KLT
Bioautografi (Marston 2011)
Pelat KLT fraksi yang telah dielusi dengan
eluen serta kontrol positif asam askorbat
dikeringkan dan selanjutnya disemprot dengan
larutan DPPH 125 µM dalam etanol. Pelat
kemudian diamati dengan kasatmata setelah
didiamkan selama 30 menit. Ekstrak metabolit
sekunder yang berpotensi sebagai antioksidan
akan memudarkan warna DPPH.
Identifikasi Senyawa
Identifikasi senyawa dilakukan dengan
spektrofotometer FTIR untuk fraksi yang
berasal dari ekstrak kasar. Kira-kira 1 mg
fraksi teraktif dicampurkan dengan KBr
murni, ditempatkan dalam cetakan, lalu
ditekan dengan alat tekan mekanik, kemudian
pelet yang terbentuk ditempatkan dalam
tempat contoh untuk dianalisis.
Identifikasi senyawa dalam minyak atsiri
dilakukan dengan GC-MS. Distilat kasar
minyak atsiri diinjeksikan ke dalam injektor
GC-MS (Shimadzu-QP-5050A) dengan kolom
DB-5 MS (dimensi 0.25 mm 30 m) dan gas
pembawa helium dengan laju alir 42
mL/menit. Suhu injektor dan detektor sama,
yaitu 250 °C, sedangkan suhu kolom
terprogram diawali dengan 80°C ditahan
selama 2 menit, kemudian diubah perlahanlahan dengan laju kenaikan suhu 5°C/menit
hingga mencapai 250°C dan ditahan selama 8
menit. Kondisi spektrometer massanya adalah
energi ionisasi 70 eV, mode ionisasi
tumbukan elektron, split ratio: 25.0, dan area
deteksi adalah 40—500 m/z. Setiap puncak
yang muncul dalam kromatogram. Identifikasi
dengan membandingkan m/z dengan data yang
yang terdapat pada library index MS.
Analisis Statistika
Data aktivitas antikanker dan antioksidan
ditampilkan sebagai rerata ± SD. Beda nyata
antarkelompok diuji dengan uji Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Kadar Air dan Abu
Serbuk pelepah temulawak diperoleh dari
bahan segar yang telah dikeringkan
sebelumnya dalam oven 50oC. Kadar airnya
diperoleh sebesar 11.61 ± 0.04% (Lampiran 3)
5
dan kadar abu 8.80 ± 0.09% (Lampiran 4).
Menurut Rahardjo dan Ajijah (2007), kadar
air rimpang temulawak dari Balitro sebesar
11.27% dan kadar abu sebesar 3.13%. Serbuk
pelepah temulawak memiliki kadar air tidak
jauh berbeda dengan rimpangnya, sedangkan
kadar abunya lebih tinggi. Hal ini berarti
jumlah air yang terikat secara fisik pada
pelepah tidak jauh berbeda dengan
rimpangnya, tetapi jumlah mineral yang
terkandung dalam pelepah lebih banyak.
Dalam analisis bahan, kadar air berguna
sebagai koreksi dalam menghitung rendemen
ekstraksi dan untuk menduga ketahanan dalam
penyimpanan,
sedangkan
kadar
abu
menunjukkan banyaknya mineral dalam suatu
bahan. Winarno (1992) menyatakan bahwa
kadar air minimum agar bakteri tidak tumbuh
ialah kurang dari 10% sehingga pada kadar air
ini bahan dapat disimpan dalam jangka waktu
yang lama dan risiko terkena jamur kecil.
Ekstraksi
Hasil maserasi dari 25 g serbuk pelepah
temulawak dengan pelarut berbeda kepolaran
yang dilakukan 3 kali ulangan terangkum
pada Tabel 1 dan data lengkapnya pada
Lampiran 5. Perbedaan polaritas dimaksudkan
agar seluruh kandungan senyawa metabolit
sekunder dalam sampel, terekstraksi.
Tabel 1 Data rendemen ekstrak pelepah
temulawak dengan berbagai
kepolaran
Ekstrak
Rendemen (%)*
n-heksana
1.48 ± 0.03
Kloroform
1.53 ± 0.03
Etil asetat
0.57 ± 0.07
Metanol
16.47 ± 0.39
Air
7.97 ± 0.25
Minyak atsiri
0.07
Keterangan: * = berdasarkan bobot kering
Ekstrak metanol memiliki persentase
rendemen tertinggi, sedangkan persentase
rendemen terendah dimiliki oleh minyak
atsiri.
Menurut Hong dan Sirat (2004),
minyak atsiri dalam rimpang temulawak segar
sebesar 0.91%. Minyak atsiri pelepah lebih
sedikit karena bagian ini didominasi oleh air.
Perbedaan rendemen ekstrak dikarenakan
perbedaan jumlah senyawa yang dapat larut
pada pelarut berbeda polaritas. Prinsip
ekstraksi ialah ―like dissolve like‖, maka
senyawa nonpolar akan terkelompokkan
dalam ekstrak n-heksana, senyawa semipolar
yang dominan nonpolar dalam ekstrak
kloroform, senyawa semipolar yang dominan
polar pada ekstrak etil asetat, dan senyawa
polar pada ekstrak air. Senyawa bioaktif yang
terlarut dalam setiap pelarut tersebut dan
minyak atsiri akan diuji aktivitas antioksidan
dan potensi antikankernya pada tahap
selanjutnya.
Kandungan Fitokimia
Ekstrak n-heksana mengandung steroid,
triterpenoid, dan alkaloid. Hampir semua
steroid dan triterpenoid bersifat nonpolar
sehingga intensitas warna uji steroid/
triterpenoid pada ekstrak ini paling dominan
dibandingkan dengan ekstrak lainnya.
Alkaloid yang terdeteksi pada ekstrak tersebut
merupakan alkaloid nonpolar. Ekstrak
kloroform pelepah temulawak mengandung
steroid, triterpenoid, flavonoid, dan alkaloid
semipolar. Ekstrak etil asetat mengandung
flavonoid,
alkaloid,
dan
triterpenoid
semipolar. Kepolaran etil asetat yang tidak
jauh
berbeda
dengan
kloroform
mengakibatkan senyawa yang terkandung pun
tidak jauh berbeda. Intensitas warna yang
lebih rendah kemungkinan diakibatkan hampir
seluruh senyawa semipolar telah terekstraksi
dengan kloroform. Metanol mengandung
flavonoid,
alkaloid,
dan
triterpenoid.
Intensitas warna flavonoid dan alkaloid
ekstrak ini lebih tinggi dibandingkan dengan
ekstrak etil asetat, artinya flavonoid dan
alkaloid yang bersifat polar terekstraksi lebih
banyak oleh metanol. Sebaliknya, intensitas
warna
triterpenoid
menurun
dengan
bertambahnya kepolaran pelarut. Ekstrak air
yang memiliki tingkat kepolaran paling tinggi
hanya mengandung flavonoid polar.
Tabel 2 Uji fitokimia ekstrak kasar pelepah
temulawak
Komponen
fitokimia
Flavonoid
Saponin
Tanin
Alkaloid a)
Alkaloid b)
Alkaloid c)
Steroid
Triterpenoid
Ekstrak kasar pelepah temulawak
H
K
EA
M
A
-
++
+
+++
+++
-
-
-
++
+
+
++
++
+
+
++
++++
+++
-
-
++++
+++
++
+
-
Keterangan: H: n-heksana, K: kloroform, EA: etil asetat,
M: metanol, A: air, +: positif lemah, ++:
positif, +++: positif kuat, ++++: positif
sangat kuat, a: uji dengan pereaksi Mayer, b:
uji dengan pereaksi Wagner, c: uji dengan
pereaksi Dragendorf.
6
Potensi Antikanker dan Antioksidan
Ekstrak
Potensi antikanker dalam penelitian ini
diuji menggunakan metode BSLT. Melalui uji
BSLT dapat diketahui nilai konsentrasi
mematikan 50% (LC50) senyawa bioaktif pada
sampel terhadap larva udang. Nilai LC50
adalah konsentrasi yang dibutuhkan untuk
mematikan 50% populasi larva udang total
(Frank 1995). Nilai LC50 dari suatu populasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
umur, suhu, jumlah hewan uji, dan jenis galur
(Finney 1971). Metode ini sering digunakan
untuk mendeteksi senyawa bioaktif yang
memiliki efek farmakologis. Metode BSLT
memiliki beberapa keunggulan, di antaranya
waktu pelaksanaan cepat, biaya relatif murah,
sederhana, tidak memerlukan teknik aseptik,
tidak memerlukan peralatan khusus, dan
hanya membutuhkan sedikit sampel uji
(Meyer et al. 1982).
Tabel 3 Potensi antikanker dan antioksidan
ekstrak kasar pelepah temulawak
LC50
Ekstrak
IC50 (µg/mL)
(µg/mL)
n-heksana
>1000
>400
370.69 ±
46.41 ±
Kloroform
22.69b
15.49b
Etil asetat
>1000
52.72 ± 3.46b
Metanol
>1000
>400
Air
>1000
>400
Minyak
23.05 ±
>400
atsiri
3.49a
Asam
1.80 ± 0.33a
askorbat
Keterangan: Asam askorbat = kontrol positif antioksidan.
Sampel dengan abjad yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada
P = 0.05
Nilai LC50 tiap ekstrak dan minyak atsiri
ditunjukkan pada Tabel 3. Menurut Meyer et
al. (1982), ekstrak dari bahan alam bersifat
toksik apabila memiliki nilai LC50 < 1.0
mg/mL. Hal ini berarti ekstrak kloroform dan
minyak atsiri berpotensi sebagai antikanker.
Contoh perhitungan LC50 ekstrak kloroform
diberikan pada Lampiran 6. Berdasarkan uji
fitokimia (Tabel 2), ekstrak kloroform
mengandung triterpenoid, steroid, alkaloid,
dan flavonoid. Senyawa metabolit sekunder
yang diduga berperan dalam uji BSLT ialah
steroid, triterpenoid, flavonoid, dan alkaloid
semipolar.
Antioksidan merupakan senyawa yang
memiliki kemampuan salah satunya untuk
menetralisasi radikal bebas. Salah satu
caranya ialah menyumbangkan radikal
hidrogen pada molekul radikal bebas
(Badarinath et al. 2010). Pemilihan metode
DPPH untuk penentuan aktivitas antioksidan
didasarkan pada beberapa keunggulannya, di
antaranya mudah, sederhana, cepat, dapatulang, sensitif, dan hanya membutuhkan
sedikit sampel (Koleva et al. 2002).
Metode uji antioksidan DPPH didasarkan
pada reaksi penangkapan atom hidrogen dari
senyawa antioksidan oleh DPPH (reduksi
DPPH) (Gambar 2). Reagen DPPH berperan
sebagai radikal bebas yang diredam oleh
senyawa antioksidan yang terkandung dalam
sampel. Selanjutnya, DPPH akan tereduksi
menjadi senyawa 2,2-difenil-1-pikrilhidrazina
(DPPH-H). Reduksi DPPH menjadi DPPH-H
menyebabkan perubahan warna dari ungu
menjadi kuning (Lupea et al. 2006).
Perubahan warna uji sebanding dengan jumlah
hidrogen radikal yang diambil oleh radikal
bebas.
N
N
N
.
NH
NO2
O2N
NO2
+ RH
NO2
O2N
+R
.
NO2
Gambar 2 Prinsip penangkapan H oleh DPPH
(Lupea et al. 2006).
Daya inhibisi (IC50) dihitung berdasarkan
pengurangan absorbans DPPH terhadap
absorbans sampel uji (Lampiran 7). Nilai IC50
sebagai parameter aktivitas antioksidan,
merupakan konsentrasi yang dibutuhkan
untuk menghambat aktivitas radikal bebas
(serapan radikal bebas) sebanyak 50%
(Molyneux 2004). Nilai IC50 dari masingmasing sampel diperoleh berdasarkan
persamaan garis yang dihasilkan dari
hubungan antara persen inhibisi dan
konsentrasi.
Semakin rendah nilai IC50 suatu bahan,
semakin tinggi aktivitas antioksidannya:
hanya dibutuhkan sejumlah kecil konsentrasi
sampel untuk menghambat 50% radikal bebas
DPPH. Menurut Zuhra (2008), suatu senyawa
dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika
nilai IC50 kurang dari 50 ppm, kuat jika IC50
bernilai 50–100 ppm, sedang jika bernilai
100–150 ppm, dan lemah jika nilai IC50
bernilai 151–200 ppm. Hasil penelitian (Tabel
3) menunjukkan bahwa ekstrak n-heksana,
metanol, air, dan minyak atsiri memiliki nilai
7
IC50 > 400 µg/mL. Secara visual pun dapat
dilihat pada Lampiran 8 bahwa keempat
sampel tersebut tidak mengalami perubahan
warna larutan yang signifikan. Aktivitas
antioksidan
tertinggi
dimiliki
ekstrak
kloroform (data lengkap di Lampiran 7)
karena memiliki nilai IC50 sebesar 46.41 ±
15.49 ppm. Ekstrak etil asetat juga aktif
antioksidan dengan IC50 sebesar 52.72 ± 3.46
ppm. Data nilai IC50 ini diuji beda nyata
dengan uji Duncan (Lampiran 9). Nilai IC50
kedua ekstrak tersebut tidak berbeda nyata
menurut uji Duncan, artinya diperlukan
jumlah ekstrak yang hampir sama untuk
mencapai inhibisi 50%. Bila dibandingkan
dengan kontrol positif (asam askorbat), kedua
ekstrak tersebut tidak seaktif asam askorbat
dan nilai IC50-nya berbeda nyata.
Ekstrak
kloroform
mengandung
triterpenoid, steroid, alkaloid, dan flavonoid,
sedangkan ekstrak etil asetat mengandung
triterpenoid, alkaloid, dan flavonoid (Tabel
2). Metabolit sekunder yang diduga berperan
dalam aktivitas antioksidan ialah triterpenoid,
steroid, alkaloid, dan flavonoid semipolar.
Aktivitas antioksidan pelepah temulawak
belum pernah dilakukan sebelumnya, nilai
IC50 pelepah lebih baik dibandingkan
rimpangnya yang telah dilaporkan oleh Ruslay
et al. (2007), IC50 = 62.7 ± 0.014 ppm dan
menurut Batubara et al. (2010) 80.72 ± 0.21
ppm. Hal ini berarti bagian pelepah juga dapat
dimanfaatkan sebagai obat.
Berdasarkan hasil uji, hanya ekstrak
kloroform yang memiliki aktivitas baik
sebagai antikanker dan antioksidan. Oleh
Waktu retensi
(menit)
4.65
4.87
11.16
11.92
12.10
12.55
13.36
14.48
15.47
17.02
22.28
24.64
karena itu, ekstrak kasar kloroform digunakan
sebagai sampel uji lanjutan. Minyak atsiri
yang merupakan sampel teraktif potensi
antikanker tidak dilakukan uji lanjutan, tetapi
diidentifikasi komponen penyusunnya dengan
GC-MS.
Identifikasi Komponen dalam Minyak
Atsiri
Minyak atsiri dalam pelepah temulawak
sangat berpotensi sebagai antikanker karena
memiliki nilai LC50 23.05 ± 3.49 µg/mL.
Komponen penyusun minyak atsiri tersebut,
dianalisis
dengan
GC-MS.
Hasilnya
terangkum dalam Tabel 4 dengan kromatogram pada Lampiran 10.
Senyawa penyusun minyak atsiri pelepah
temulawak hampir sama dengan penyusun
rimpangnya, tetapi dengan kadar yang sangat
berbeda. Senyawa yang dominan pada
pelepah ialah xantorizol (Gambar 3),
sedangkan senyawa yang dominan dalam
rimpang ialah diepi-α-sedrena dan αkurkumena. Perbedaan komposisi senyawa
diduga karena adanya perbedaan fungsional
dari bagian tumbuhan tersebut.
OH
Gambar 3 Senyawa xantorizol.
Tabel 4 Komponen minyak atsiri dari pelepah temulawak
Kadar (%) dalam
Kadar (%) dalam rimpang segar
Nama senyawa
pelepah
(Sukrasno 2012)*
Kamfor
0.44
5.61
Isoborneol
0.05
0.67
-Elemena
0.62
1.06
α-Bergamotena
0.04
3.61
trans-Kariofilena
1.17
1.10
-Elemena
0.28
1.48
-Farnesena
0.33
3.70
α-Kurkumena
9.61
19.43
Diepi-α-sedrena
3.97
29.95
Germakrena B
1.47
4.42
Germakron
8.69
3.51
Xantorizol
29.87
7.10
Keterangan: * = Kondisi alat Shimadzu GC-MS QP500: kolom DB-17 panjang 30 m. diameter dalam 0.25 mm, gas
pembawa helium, tekanan 68 kpa, elusi gradien 40–250 oC, suhu injektor 250 oC, volume injeksi 1 µL.
8
Xantorizol dikenal memiliki aktivitas
antikanker in vitro dan in vivo. Hong dan Sirat
(2003)
menyatakan
bahwa
xantorizol
memiliki toksisitas terhadap A. salina (LC50 =
25.91 ppm) dan sitotoksisitas terhadap sel
lestari leukimia HL-60 (IC50 = 0.4 ppm). Oleh
karena itu, aktivitas yang sangat besar dari
minyak atsiri pelepah temulawak sebagai
antikanker diduga tidak terlepas dari peranan
senyawa
xantorizol
yang
merupakan
komponen dominan dalam minyak tersebut
(Tabel 3). Selain xantorizol, senyawa yang
memiliki peran sebagai antikanker yaitu
kamfor, -elemena, dan α-kurkumena (Duke
2012). Namun, nilai LC50 masing-masing
senyawa tersebut belum diketahui.
Penentuan Eluen Terbaik dengan KLT
Kromatografi lapis tipis (KLT) digunakan
untuk pemisahan ekstrak pekat kloroform.
Fase diam yang digunakan adalah silika gel
G60F254, sedangkan eluen tunggal yang
digunakan ialah eter, etil asetat, aseton,
butanol, asam asetat, metanol, diklorometana,
n-heksana,
toluena,
dan
kloroform.
Berdasarkan hasil kromatogram pada pelat
KLT (Gambar 4), eluen n-heksana dan toluena
tidak memberikan noda karena eluen tidak
cukup besar kepolarannya sehingga sampel
bersifat lebih polar dari eluen. Aseton,
butanol,
asam
asetat,
dan
metanol
menghasilkan noda berekor namun noda
masih dapat terelusi pada akhir elusi (noda
berada di atas) menunjukkan bahwa sampel
kurang bersifat polar terhadap eluen-eluen
tersebut. Eluen eter, etil asetat, diklorometana,
dan kloroform bersifat semipolar sehingga
dapat memberikan lebih banyak noda dari
eluen sebelumnya. Eluen eter memberikan 5
noda dengan nilai Rf sedang sampai besar.
Hal ini berarti sampel masih bersifat kurang
polar
terhadap
eter.
Diklorometana
memberikan 5 noda dengan keterpisahan noda
yang kurang baik. Etil asetat memberikan 6
noda dengan nilai Rf kecil sampai besar. Oleh
karena itu, kepolaran sampel sudah mirip
dengan eluen, namun masih belum
memberikan jumlah noda yang banyak.
Eluen yang memberikan pemisahan
terbaik adalah eluen kloroform. Eluen ini
dapat memisahkan 12 noda dari ekstrak serta
adanya noda pada awal dan akhir elusi
menunjukkan
bahwa
sampel
bersifat
semipolar dan cocok terelusi oleh eluen
kloroform. Namun, untuk noda dengan Rf
kecil (senyawaan polar) masih terdapat
beberapa noda yang belum terpisahkan
dengan baik. Oleh karena itu, dibuat
komposisi campuran eluen antara kloroform
dengan eluen yang tidak memberikan
pemisahan yaitu n-heksana (Gambar 4).
a b c
d
e
f g h
i
j
Gambar 4 Kromatogram ekstrak kloroform
pelepah temulawak dengan eluen
tunggal: eter (a), etil asetat (b),
aseton (c), butanol (d), asam
asetat
(e),
metanol
(f),
diklorometana (g), n-heksana (h),
toluena (i), dan kloroform (j).
Komposisi campuran eluen yang dibuat
ialah kloroform:n-heksana 6:3; 3:2; 8:1; 4:1;
9:1; 9:2; dan 10:1. Eluen campuran yang
memberikan pemisahan yang baik ialah
kloroform:n-heksana 9:2 (Gambar 5). Eluen
ini memisahkan 12 noda dari ekstrak dengan
keterpisahan senyawaan polar yang baik.
a
b
c
d
e
f
g
Gambar 5 Kromatogram ekstrak kloroform
pelepah temulawak dengan
eluen campuran kloroform:nheksana 6:3 (a); 6:4(b); 8:1 (c);
8:2 (d); 9:2 (e); 9:1 (f); dan 10:1
(g).
Fraksionasi Kromatografi Kolom (KK)
Sistem fraksionasi yang digunakan ialah
elusi
gradien.
Silika
gel
dikemas
menggunakan eluen n-heksana. Selanjutnya,
ekstrak yang telah dilarutkan dengan
kloroform dielusi dengan eluen n-heksana
9
100%, (n-heksana:kloroform 9:1, 8:2, 7:3, 6:4,
5:5, 4:6, 3:7, 2:9, 1:9), dan kloroform 100%.
Setelah dielusi dengan eluen kloroform 100%,
masih ada pita yang belum keluar dari kolom.
Oleh karena itu, elusi gradien dilanjutkan
dengan campuran kloroform-metanol dengan
komposisi sebagai berikut: kloroform 100%,
(kloroform:metanol 9:1, 8:2, 7:3, 6:4, 5:5, 4:6,
3:7, 2:8, 1:9), dan metanol 100%. Diperoleh
187 eluat yang kemudian digabung
berdasarkan pola KLT menjadi fraksi-fraksi
KK. Penggabungan fraksi ini didasarkan pada
kesamaan jumlah noda dan nilai Rf yang sama.
Diperoleh 11 fraksi (F1–F11) (Lampiran 11).
Selanjutnya, 11 fraksi tersebut dielusi dengan
eluen terbaik kloroform:n-heksana 9:2 untuk
melihat bentuk nodanya (Gambar 6).
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11 E
Gambar 6 Kromatogram hasil fraksionasi dan
ekstrak kasar kloroform pelepah
temulawak.
Potensi Antikanker dan Antioksidan Fraksi
Uji pendahuluan aktivitas antioksidan
fraksi F1–F11 dilakukan dengan metode KLT
bioautografi. Noda disemprot dengan larutan
DPPH 125 µM.
E F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11 K+
Gambar 7 Kromatogram hasil fraksionasi,
ekstrak kasar kloroform pelepah
temulawak, dan asam askorbat
(kontrol positif) yang disemprot
larutan DPPH.
Nilai IC50 fraksi dapat ditentukan dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis 96well plate. Fraksi 1 tidak diujikan karena tidak
memiliki aktivitas antioksidan berdasarkan
metode KLT bioautografi. Deret konsentrasi
yang digunakan ialah 13.3; 16.7; 33.3; 66.7;
dan 100 µg/mL. Berdasarkan nilai IC50, fraksi
yang aktif antioksidan ialah fraksi 2, 8, dan 9
(Tabel 5). Fraksi teraktif yang memiliki nilai
IC50 terendah ialah F9. Berdasarkan uji
Duncan, aktivitas ketiga fraksi tersebut tidak
berbeda nyata dalam menghambat 50%
radikal bebas. Bila dibandingkan dengan
kontrol positif (asam askorbat), ketiga fraksi
tersebut tidak seaktif asam askorbat dan nilai
IC50-nya berbeda nyata.
Tabel 5 Potensi antikanker dan antioksidan
hasil fraksionasi dan ekstrak kasar
kloroform pelepah temulawak
Fraksi
LC50 (µg/mL)
IC50 (µg/mL)
F1
553.23 ± 20.27e
*)
100.77 ±
e
F2
549.25 ± 22.24
27.43b
c
F3
316.97 ± 15.86
>100
F4
457.28 ± 11.61d
>100
F5
253.33 ± 10.84ab
>100
F6
219.37 ± 7.61a
>100
F7
> 1000
>100
118.41 ±
ef
F8
571.19 ± 65.52
29.03b
e
F9
522.95 ± 43.35
79.57 ± 8.96b
f
F10
606.40 ± 29.17
>100
F11
292.17 ± 7.58bc
>100
Asam
2.01 ± 0.12a
askorbat
Ekstrak
370.69 ± 22.69
46.41 ± 15.49
kloroform
Keterangan: * = tidak diuji; asam askorbat = kontrol
positif antioksidan. Sampel dengan abjad
yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
uji Duncan pada P = 0.05
Nilai LC50 fraksi ditentukan berdasarkan
metode BSLT. Hampir seluruh fraksi (F1–
F11) berpotensi sebagai antikanker karena
memiliki nilai LC50 < 1000 µg/mL (Tabel 5).
Hanya fraksi 7 yang tidak berpotensi sebagai
antikanker. Nilai LC50 F3, F5, F6, dan F11
lebih besar daripada ekstrak kasarnya. Hal ini
berarti pemurnian ekstrak kasar cocok untuk
aktivitas antikanker. Sebaliknya, aktivitas
antioksidan fraksi teraktif (F9) lebih kecil
dibandingkan dengan ekstrak kasarnya. Hal
ini diduga erat kaitannya dengan peran
penting efek sinergis fraksi-fraksi tersebut
dalam sampel pelepah temulawak.
10
Berdasarkan Tabel 2, ekstrak kasar
kloroform mengandung flavonoid, alkaloid,
steroid, dan triterpenoid yang diduga berperan
dalam potensi aktivitas antikanker dan
antioksidan. Oleh karena itu, seluruh fraksi
diuji fitokimia kembali untuk keempat
metabolit sekunder tersebut.
Uji
flavonoid
dilakukan
dengan
mengamati warna noda pada KLT yang
dipaparkan uap amonia. Perubahan warna
noda terjadi pada ekstrak kasar, F2, F4–F10
(Lampiran 12). Noda yang berwarna kuning
berubah menjadi kuning kecokelatan setelah
dipaparkan uap amonia untuk F4, F5, F6, F7,
F9, dan F10. Noda takberwarna dari F2 dan
F8 berubah menjadi kuning setelah
dipaparkan uap amonia. Menurut Harborne
(1987), noda yang berwarna berubah warna
jika dipaparkan uap amonia dari kuning
murup
menjadi
kuning
kecokelatan
merupakan golongan flavonol, sedangkan
noda takberwarna yang berubah menjadi
kuning merupakan golongan flavanon dan
dihidroflavonol-7-glikosida. Oleh karena itu,
secara umum F2, F4–F10 merupakan
golongan flavonoid.
Uji alkaloid dilakukan dengan mengamati
warna noda pada KLT yang disemprotkan
pereaksi Dragendorf. Berdasarkan Lampiran
13, dihasilkan noda berwarna cokelat jingga
berlatar belakang coklat pada ekstrak kasar,
F8–F10. Menurut Harborne (1987), bercak
cokelat jingga berlatar belakang kuning positif
mengandung alkaloid. Oleh karena itu, ekstrak
kasar, F8–F10 diduga mengandung alkaloid.
Steroid dan triterpenoid diuji berdasarkan
pengamatan warna noda pada KLT yang
disemprotkan pereaksi Lieberman Buchard.
Dihasilkan noda berwarna merah pada F2, F3,
F4, F5, dan F6, serta noda hijau pada F5, F6,
dan F10 (Lampiran 14). Menurut Harborne
(1987), bercak hijau positif mengandung
steroid, sedangkan merah positif triterpenoid.
Oleh karena itu, triterpenoid terkandung
dalam F2–F6 serta steroid dalam F5, F6, dan
F10. Ekstrak kasar tidak menunjukkan steroid
dan triterpenoid. Hal ini diduga karena jumlah
steroid dan triterpenoid yang terkandung
dalam ekstrak yang ditotolkan lebih kecil dari
limit deteksi uji ini.
Berdasarkan data nilai IC50 (Tabel 5), F2,
F8, dan F9 aktif antioksidan, sedangkan
berdasarkan nilai LC50 (Tabel 5), F3, F5, F6,
dan F11 memiliki potensi antikanker yang
baik dibandingkan dengan ekstrak kasarnya.
Fraksi yang aktif antioksidan diduga
mengandung
flavonoid,
alkaloid,
dan
saponin/tanin. Hal ini berdasarkan letak noda
yang mengalami pemudaran warna ungu
(Gambar 8) jika dibandingkan dengan uji
fitokimia lanjutan (Tabel 6) flavonoid,
alkaloid, serta steroid dan triterpenoid.
Flavonoid (pada ekstrak kloroform, F2, F4,
F5, F7—F9), dan alkaloid (pada F8—F10)
aktif antioksidan. Semua steroid yang
teridentifikasi pada F5, F6, dan F10 tidak aktif
antioksidan. Walaupun noda triterpenoid pada
F4—F6 memudar, triterpenoid diduga tidak
berperan sebagai antioksidan karena noda
pada F2 dan F3 tidak memudar pada uji KLT
bioautografi. Aktivitas