Pengembangan Fotometer Jinjing untuk Kendali Mutu Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorriza)

PENGEMBANGAN FOTOMETER JINJING UNTUK
KENDALI MUTU RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma
xanthorriza)

VIDYA EL FITRIKA FATHNIYAH

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

ABSTRAK
VIDYA EL FITRIKA FATHNIYAH. Pengembangan Fotometer Jinjing untuk Kendali
Mutu Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorriza). Dibimbing oleh RUDI HERYANTO
dan EDY DJAUHARI.
Temulawak (Curcuma xanthorriza) merupakan salah satu tanaman obat yang banyak
tumbuh dan digunakan sebagai obat di Indonesia. Obat bermutu membutuhkan
temulawak yang bermutu yang ditentukan oleh komposisi kimianya. Keragaman
komponen kimia temulawak dapat ditentukan dengan menggunakan metode spektroskopi.
Penelitian ini bertujuan menjadikan fotometer jinjing yang sedang dikembangkan sebagai

alat untuk kendali mutu rimpang temulawak dengan mengevaluasi keragaman mutu
berdasarkan umur tanam yang berbeda, dikombinasikan dengan teknik pengenalan pola
kemometrik principle component analysis (PCA) dan partial least square discriminant
analysis (PLS-DA). Rimpang temulawak dengan umur tanam berbeda (6, 7, 8, dan 9
bulan) diukur menggunakan fotometer jinjing, kemudian dikombinasikan dengan
menggunakan teknik PCA dan PLSDA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rimpang
temulawak sudah dapat dibedakan berdasarkan umur tanam yang berbeda. Analisis PCA
menggunakan dua komponen utama, yaitu PC 1 = 66% dan PC 2 = 21%. Untuk analisis
PLSDA, diperoleh nilai R2 yang mendekati 1 dan root mean square error of prediction
(RMSEP) mendekati 0, serta dihasilkan 4 model (umur 6, 7, 8, dan 9 bulan). Pada kondisi
penyimpanan sampel rimpang temulawak 7, 8, 9 bulan yang terlalu lama, dapat
menyebabkan penurunan mutu. Hal ini disebabkan menurunnya kadar senyawa aktif
kimia yang terdapat pada sampel rimpang temulawak.

ABSTRACT
VIDYA EL FITRIKA FATHNIYAH. Development of Portable Photometer for Quality
Qontrol of Temulawak Rhizome (Curcuma xanthorriza). Supervised by RUDI
HERYANTO dan EDY DJAUHARI.
Temulawak (Curcuma xanthorriza) is one of medicinal plants grown and used as a
medicine in Indonesia. A good medicine requires temulawak with good quality, which is

determined by its chemical composition. The diversity of chemical components of
temulawak can be determined using spectroscopic methods. The purpose of this research
is to develop portable photometer as instrument for quality control of temulawak rhizome
by evaluating the quality based on the different harvesting age and combined with pattern
recognition using principle component analysis (PCA) and partial least square
discriminant analysis (PLSDA). Temulawak rhizomes with different plant ages (6, 7, 8,
and 9 months) were measured using a portable photometer, and then combined using
PCA and PLSDA techniques. The results showed that temulawak rhizomes from different
ages were readily distinguished. PCA analysis using two main components: PC 1 = 66%
and PC 2 = 21%. For the analysis of values obtained PLSDA R2 close to 1 and root mean
square error of prediction (RMSEP) close to 0, and also it produced 4 models (6, 7, 8,
and 9 months). Quality of the rhizomes samples 7, 8, 9 month declined at prolonged
storage. This was due to decreased levels of active chemical compounds contained in the
rhizome samples.

PENGEMBANGAN FOTOMETER JINJING UNTUK
KENDALI MUTU RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma
xanthorriza)

VIDYA EL FITRIKA FATHNIYAH


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Judul

: Pengembangan Fotometer Jinjing untuk Kendali Mutu Rimpang
Temulawak (Curcuma xanthorriza)
: Vidya El Fitrika Fathniyah
: G44070075

Nama

NIM

Disetujui,
Pembimbing I,

Pembimbing II,

Rudi Heryanto, S.Si., M.Si.
NIP 19760428 200501 1 002

Drs. Edy Djauhari PK., M.Si.
NIP 19631219 199003 1 002

Diketahui
Ketua Departemen Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor,

Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS
NIP 19501227 197603 2 002


Tanggal lulus :

7

PRAKATA
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penulisan karya ilmiah yang berjudul Pengembangan Fotometer
Jinjing untuk Kendali Mutu Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorriza).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rudi Heryanto, S.Si.,
M.Si., dan Bapak Drs. Edy Djauhari PK., M.Si. selaku pembimbing atas semua
bimbingan dan masukan serta arahan selama penelitian dan penulisan karya
ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada bagian Kimia Analitik
Departemen Kimia IPB yang telah memberikan tema penelitian tentang fotometer
jinjing. Ungkapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada orang
tua, adik-adik (Dian dan Hakam), dan keluarga besar atas doa yang telah
diberikan dan menjadi motivasi penulis. Selain itu, penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Derry atas bantuannya selama penelitian berlangsung, Mas

Nio yang telah mengajarkan pengoperasian alat, Irin dan Risty atas semangat yang
telah diberikan, dan teman bimbingan (Frengki dan Suci) serta berbagai pihak
yang telah membantu selama penelitian berlangsung, semoga mendapat balasan
pahala dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun untuk
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat
baik bagi penulis maupun pembaca umumnya. Amin.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bogor, September 2011

Vidya El Fitrika Fathniyah

8

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gresik, Jawa Timur pada tanggal 4 September 1989 dari
Ayah Drs. H M Sholahi, MM dan Ibu Hj. Nur Anisah, S.Ag.. Penulis merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara. Penulis memiliki satu orang adik perempuan bernama

Dianur Hikmawati dan satu orang adik laki-laki yang bernama Ihdal Hakam Wicaksana.
Tahun 2007 penulis lulus dari SMU Negeri 85 Jakarta dan pada tahun yang sama
penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis tercatat sebagai mahasiswa Departemen Kimia,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif di organisasi Koperasi Mahasiswa
(KOPMA) pada tahun 2007/2008 dan INKAI pada tahun 2007/2008. Pada bulan Juli−
Agustus 2010 penulis mengikuti kegiatan Praktik Lapangan di Laboratorium Pusat

Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (PPPTMGB)
LEMIGAS, Jakarta. Selama menjadi mahasiswa penulis juga pernah menjadi asisten
praktikum Kimia Dasar untuk mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama dan praktikum
Spektrofotometri dan Aplikasi Kemometrik untuk mahasiswa Kimia.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................

vii


DAFTAR TABEL ...................................................................................................

vii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................

viii

PENDAHULUAN ...................................................................................................

1

TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) ...............................................................
Komposisi Kimia Temulawak..........................................................................
Fotometer Jinjing .............................................................................................
Kemometrik .....................................................................................................
Metode PCA ...................................................................................................
Metode PLSDA ...............................................................................................


2
2
3
4
4
4

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan ...............................................................................................
Tahapan Penelitian ..........................................................................................

5
5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Keragaman Kualitas Rimpang Temulawak Menggunakan KLT .......
Pencirian Sumber Sinar dan Filter ...................................................................
Analisis Sampel Menggunakan Fotometer .......................................................
Klasifikasi Rimpang Temulawak Menggunakan Analisis Komponen Utama ..
Pembentukan Model Rimpang Temulawak Menggunakan

Analisis Diskriminan Kuadrat Terkecil Parsial (PLSDA) ................................

6
7
7
8
9

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan .........................................................................................................
Saran ...............................................................................................................

11
11

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................

11

LAMPIRAN ..............................................................................................................


14

viix

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Tanaman Temulawak (C. xanthorriza) dan Rimpang
Temulawak........................................................................... .................................

2

2

Struktur Kurkuminoid ...............................................................................................................................................

3

3

Instrumen Fotometer Jinjing ..................................................................................

3

4

Prinsip PCA ...........................................................................................................

4

5

Fotometer Jinjing ...................................................................................................

6

6

Pola KLT Temulawak Dengan Penampak Lampu UV 254 nm untuk Umur
Simplisia 9 Bulan, 8 Bulan, 7 Bulan, 6 Bulan, dan Standar Kurkumin. Noda
(Rf ₌ 0.23) Menunjukkan Kurkumin ..............................................................................................................

7

7

Kromatogram Hasil Analisis Menggunakan Image J pada Foto Pelat KLT
Rimpang Temulawak dengan Pendeteksian λ 254 6 Bulan, 7 Bulan, 8 Bulan,
dan 9 Bulan...........................................................................................................

7

8

Spektrum Panjang Gelombang LED UV, LED Biru, dan LED Merah ..................

7

9

Spektrum Hasil Pengukuran Temulawak Umur 6, 7, 8, dan 9 Bulan .....................

8

10 Alur Proporsi Varians 7 Komponen Utama ..........................................................

8

11 Score Plot antara PC 1 dan PC 2 serta Inset Perbesaran Untuk Umur 7 dan 8
Bulan .....................................................................................................................

9

12 Nilai Prediksi Sampel dengan Model PLSDA Umur 7 Bulan. ...............................

10

13 Nilai Prediksi Sampel dengan Model PLSDA Umur 8 Bulan. ...............................

10

14 Nilai Prediksi Sampel dengan Model PLSDA Umur 9 Bulan ................................

10

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Komposisi Rimpang Temulawak .........................................................................

3

2

Kriteria Kebaikan Model PLSDA ........................................................................

9

3

Data Prediksi Sampel dengan Model PLSDA Rimpang
Temulawak Umur 6, 7, 8, dan 9 Bulan .................................................................

10

xi
viii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Diagram Alir Penelitian ......................................................................................

15

2

Contoh Pembuatan Filter .....................................................................................

16

3

Perangkat Lunak Wavelength RGB Converter ...................................................

16

4

Pencirian Filter ...................................................................................................

17

5

Data Hasil Pengukuran Menggunakan Fotometer Jinjing ...................................

18

6

Prediction vs Reference PLSDA Umur 6 Bulan .................................................

21

7

Prediction vs Reference PLSDA Umur 7 Bulan ..................................................

21

8

Prediction vs Reference PLSDA Umur 8 Bulan .................................................

21

9

Prediction vs Reference PLSDA Umur 9 Bulan .................................................

22

PENDAHULUAN
Tanaman obat banyak digunakan oleh
masyarakat di seluruh dunia untuk pengobatan
dan bahan baku kosmetik (Singh et al. 2010).
Penggunaan tanaman sebagai obat telah lama
dikenal oleh masyarakat Indonesia jauh
sebelum pelayanan kesehatan menggunakan
obat-obatan sintetik. Masyarakat dewasa ini
kembali memilih tanaman obat sebagai
alternatif terhadap penyembuhan berbagai
penyakit (Fatmawati 2008). Hal ini
dikarenakan tanaman obat mengandung zat
aktif atau metabolit sekunder yang berkhasiat
dapat menyembuhkan penyakit (Adzkiya
2006). Selain itu, tanaman obat mempunyai
efek samping merusak kesehatan yang lebih
kecil serta mudah diperoleh dan murah.
Tanaman obat yang digunakan biasanya
berbentuk simplisia akar, daun, buah, dan biji
(Depkes RI 1983).
Penggunaan tanaman obat yang semakin
berkembang memerlukan adanya jaminan
terhadap mutu dan keamanannya. Mutu
tanaman obat dapat dilihat dari kandungan
senyawa aktif kimia yang dimiliki. Pada
tanaman obat, kandungan senyawa aktif
tersebut tidak merata, ada yang komposisinya
besar dan ada yang komposisinya kecil. Efek
farmakologis tanaman obat tidak hanya
ditentukan oleh 1 jenis senyawa aktif kimia,
tetapi ditentukan oleh seluruh senyawa aktif
kimia yang terdapat di dalamnya. Keragaman
komposisi senyawa aktif kimia dipengaruhi
oleh kondisi tanah dan lingkungan (Singh et
al. 2010). Salah satu faktor lain yang
memengaruhi keragaman ini adalah umur
tanaman. Oleh karena itu, umur tanaman obat
dapat dijadikan penanda mutu dari tanaman
itu.
Kendali mutu tanaman obat umumnya
dilakukan
menggunakan
metode
kromatografi, seperti kromatografi cair kinerja
tinggi (KCKT), kromatografi gas (KG), dan
kromatografi lapis tipis (KLT) (Singh et al.
2010). Metode ini akan menghasilkan
kromatogram sidik jari yang menampilkan
semua kandungan senyawa kimia yang
menjadi kekhasan tanaman obat tersebut
(Liang et al. 2004). Metode ini memiliki
akurasi yang tinggi, tetapi dibutuhkan waktu
yang lama dan juga preparasi sampel (Mao &
Xu 2006). Metode lain yang dapat digunakan
untuk melihat keragaman mutu tanaman obat
adalah spektroskopi (Singh et al. 2010).
Prinsip kerjanya adalah dengan melihat
perubahan komposisi senyawa aktif tanaman
obat yang menyebabkan perubahan sifat optik

(absorbans, transmisi, dan refleksi) dari suatu
bahan (Novianty 2008). Beberapa penelitian
telah melaporkan penggunaan metode
spektroskopi untuk kendali mutu tanaman
obat berdasarkan komposisi senyawa aktif
yang dikandungnya (Li et al. 2009, Sim et al.
2004, Woo et al. 1999, Gutierres et al. 2011).
Umumnya
digunakan
spektrofotometer
inframerah transformasi fourier (FTIR) (Yap
et al. 2009, Sim et al. 2004, Gutierrez et al.
2011). Akan tetapi, alat tersebut cukup mahal
dan sulit dioperasikan. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini digunakan alat yang diharapkan
mampu menganalisis dengan cepat, mudah,
dan murah, serta meminimumkan penggunaan
bahan kimia dan analisisnya akurat dalam
menentukan mutu tanaman obat.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah fotometer jinjing yang telah
dikembangkan oleh Departemen Fisika
Fakultas Kedokteran UI dan Bagian Kimia
Analitik Departeman Kimia IPB. Alat ini
memiliki kelebihan dalam pengoperasiannya
yang
lebih
mudah,
meminimumkan
penggunaan bahan kimia, murah, ringan, dan
mudah dibawa. Fotometer jinjing tersebut
menggunakan metode spektroskopi yang
selanjutnya akan dikombinasikan dengan
teknik pengenalan pola kemometrik, yaitu
analisis komponen utama (PCA) dan analisis
diskriminan-kudrat terkecil parsial (PLS-DA)
untuk melakukan pengenalan pola sehingga
dapat mengelompokkan tanaman berdasarkan
keragaman umur tanam. Menurut Singh et al.
(2010), kendali mutu tanaman obat dapat
dilakukan dengan menggabungkan metode
spektroskopi
dengan
teknik
analisis
multivariat.
Pada penelitian ini, fotometer jinjing
diujicobakan pada salah satu jenis simplisia
tanaman obat, yaitu rimpang temulawak,
untuk melihat keragaman mutu yang dimiliki
oleh berbagai umur rimpang temulawak.
Temulawak
(Curcuma
xanthorrhiza)
merupakan salah satu tanaman obat unggulan
Departemen Pertanian (Deptan) dan Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun
2004 (Deptan 2004). Komponen utama yang
berkhasiat sebagai obat dalam rimpang
temulawak adalah kurkuminoid dan minyak
atsiri. Kurkuminoid memberikan warna
kuning pada rimpang temulawak dan
mempunyai khasiat medis (Suwiah 1991).
Kurkuminoid pada rimpang temulawak terdiri
dari 2 kandungan senyawa, yaitu kurkumin
dan desmetoksikurkumin (Herdini et al.
2010). Kurkumin mempunyai aktivitas
antiradang,
antivirus,
antitumor,

2

hipokolesterolemik, dan antihepatotoksik.
Sementara minyak atsiri pada temulawak
bersifat meningkatkan produksi getah empedu
dan mampu menekan pembengkakan jaringan
(Paryanto & Srijanto 2006). Kandungan kimia
minyak atsirinya antara lain feladrena, kamfer,
turmerol, tolilmetilkarbinol, ar-kurkumen,
zingiberena, kuzerenon, germakron, βtumeron, dan xantorizol (Rahardjo & Rostiana
2005).
Metode kendali mutu rimpang temulawak
yang umum digunakan sebelumnya adalah
kromatografi lapis tipis (KLT) (Fatmawati
2008, Istiqomah 2010, Miftahuddin 2010),
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)
(Rosiyani 2010), dan spektroskopi FTIR
(Rosiyani 2010). Penelitian ini bertujuan
menjadikan fotometer jinjing yang sedang
dikembangkan sebagai alat untuk kendali
mutu rimpang temulawak dengan melihat
keragaman mutu berdasarkan umur tanam
yang berbeda, dikombinasikan dengan teknik
pengenalan pola kemometrik PCA dan PLSDA.

TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza)
Temulawak (Gambar 1) merupakan
tanaman obat berupa tumbuhan rumpun
berbatang semu. Curcuma berasal dari bahasa
Yunani, xanthos yang berarti kuning, dan
rhizaa yang berarti umbi akar. Jadi, Curcuma
xanthorrhiza berarti akar kuning (Asriani
2010). Di Indonesia, temulawak dikenal
dengan berbagai nama daerah, misalnya
temulawak (Sumatra), koneng gede, temu
raya, temu besar, aci koneng, koneng tegel,
temulawak (Jawa), temulobak (Madura),
tommo (Bali), tommon (Sulawesi Selatan)
atau karbaga (Ternate) (Dalimartha 2000).
Secara lengkap klasifikasi temulawak adalah
sebagai berikut:
Divisi
Subdivisi
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

: Spermatophyta
: Angiospermae
: Monocotyledonae
: Zingiberales
: Zingiberaceae
: Curcuma
:C. xanthorrhiza

Tanaman ini memiliki daya adaptasi yang
tinggi pada berbagai cuaca di daerah beriklim
tropis. Tanaman ini memerlukan curah hujan
tahunan 1500 − 4000 mm/tahun. Suhu udara
yang baik untuk budi daya tanaman ini 19 −
30 °C (Afifah&Lentera 2003).

Gambar 1

(a) Tanaman temulawak (C.
xanthorriza) dan (b) rimpang
temulawak.

Temulawak merupakan tanaman tahunan
yang tumbuh tegak dengan tinggi hingga lebih
dari 1 m, tetapi kurang dari 2 m, berwarna
hijau atau cokelat gelap. Akar rimpang
terbentuk dengan sempurna dan bercabang
kuat, berwarna hijau gelap. Tiap batang
mempunyai 2–9 helai daun dengan bentuk
bundar memanjang sampai lanset, warna daun
hijau atau cokelat keunguan terang sampai
gelap, panjang daun 31–84 cm dan lebar 10–
18 cm, panjang tangkai daun termasuk helaian
43–80 cm. Daun termasuk tipe daun
sempurna, artinya tersusun dari pelepah,
tangkai, dan helai daun (Sidik et al. 1995).
Kelopak bunga berwarna putih berbulu,
panjang 8–13 mm, mahkota bunga berbentuk
tabung dengan panjang keseluruhan 4.5 cm,
helaian bunga berbentuk bundar memanjang
berwarna putih dengan ujung yang berwarna
merah dadu atau merah, panjang 1.25–2 cm
dan lebar 1 cm.
Produk yang diambil dari tanaman
temulawak
adalah rimpang.
Rimpang
merupakan bagian batang di bawah tanah.
Rimpang disebut juga umbi akar, umbi
batang, atau umbi tinggal. Berdasarkan
penelitian Fatmawati (2008), Rosiyani (2010),
dan Adzkiya (2006), kandungan senyawa aktif
meningkat seiring dengan meningkatnya umur
tanam rimpang temulawak.
Komposisi Kimia Temulawak

Secara alami, temulawak tumbuh baik di
lahan yang teduh dan terlindung dari sinar
matahari. Meskipun demikian, temulawak
juga dapat tumbuh di tempat yang terik,
seperti di tanah tegalan (Nurcholis 2006).

Kandungan kimia rimpang temulawak
sebagai sumber bahan pangan, bahan baku
industri, atau bahan baku obat dibedakan
menjadi beberapa fraksi, yaitu fraksi pati,

3

kurkuminoid, dan minyak atsiri (Sidik et al.
1995). Selain itu, terdapat pula lemak, serat
kasar, dan protein (Fatmawati 2008).
Komposisi rimpang temulawak dapat dilihat
pada Tabel 1. Menurut Sinambela (1985),
komponen utama rimpang temulawak adalah
fraksi zat warna kurkuminoid dan minyak
atsiri.
Tabel 1 Komposisi rimpang temulawak
Komponen
Persentase (%)
Pati
27.62
Lemak
5.38
Kurkumin
1.93
Serat kasar
6.89
Abu
3.96
Protein
6.44
Minyak atsiri
10.96
Sumber: Suwiah (1991) berdasarkan kadar air 10%.

Fraksi kurkuminoid (C25H32O3) (Gambar
2) merupakan komponen yang memberikan
warna kuning, berbentuk serbuk dengan rasa
pahit, larut dalam aseton, alkohol, asam asetat
glasial, dan basa hidroksida, memiliki aroma
yang khas, dan tidak bersifat toksik.
Kandungan senyawa ini juga akan semakin
meningkat seiring dengan bertambahnya umur
tanam (Adzkiya 2006).

diteruskan (transmisi), atau dipantulkan
(refleksi) oleh bahan tersebut (Skoog et al.
2004).
Suatu molekul atau komposisi hanya akan
menyerap energi yang sesuai dengan
karakteristiknya. Energi yang diserap akan
mengeksitasi elektron dari keadaan dasarnya
(Skoog et al. 2004). Saat elektron kembali ke
keadaan dasar dari keadaan tereksitasi, akan
terjadi pelepasan energi yang memiliki
panjang gelombang lebih tinggi daripada
panjang gelombang yang diberikan. Proses
pelepasan energi pada panjang gelombang
tertentu ini dikenal dengan emisi fluoresens
(Harvey 2000).
Refleksi adalah pemantulan radiasi oleh
permukaan benda tanpa mengalami perubahan
panjang gelombang. Radiasi yang datang
hanya berinteraksi dengan permukaan bahan
tanpa berpenetrasi ke dalam sehingga proses
refleksi lebih melihat dari sifat fisik bahan
dibandingkan
dengan
sifat
kimianya
(Novianty 2008).
Komponen-komponen
penting
yang
terdapat pada fotometer jinjing adalah sumber
sinar, filter, dan detektor yang dapat
mengubah energi cahaya menjadi suatu sinyal
listrik (Gambar 3). Komponen-komponen
tersebut dimasukkan di dalam sebuah
autoskop sederhana yang telah dimodifikasi
dan disambungkan pada fotometer jinjing.

Gambar 2 Struktur kurkuminoid (Ruslay et
al. 2007).
Fotometer Jinjing
Fotometer
jinjing
yang
sedang
dikembangkan menggunakan prinsip metode
spektroskopi.
Spektrum
radiasi
elektromagnetik terdiri dari foton yang
mempunyai tingkat energi dan panjang
gelombang berbeda-beda (Harvey 2000).
Perbedaan ini akan menyebabkan perbedaan
interaksi radiasi elektromagnetik pada suatu
bahan dan menimbulkan efek yang berbeda
pula (Stuth et al. 2003). Energi radiasi dengan
panjang gelombang tertentu yang berinteraksi
dengan suatu bahan dapat diserap (absorpsi),

Gambar 3 Instrumen fotometer jinjing.
Fotometer yang digunakan pada penelitian
ini menggunakan sumber sinar berupa diode
(LED). LED adalah semikonduktor yang
memancarkan cahaya saat dilewati arus. LED
sangat populer karena dapat menghasilkan
cahaya berwarna-warni seperti merah, kuning,
hijau sehingga banyak dipakai sebagai

4

rangkaian lampu atau lampu indikator (Senny
2010). Selain itu, LED memiliki daya yang
kecil (20–100 mA) dan dapat digunakan
dengan tegangan yang rendah (2–5 V) (Menn
2004) sehinggga tepat digunakan pada alat
instrumen jinjing.
Detektor yang digunakan adalah resistor
bergantung pada sinar (LDR). Resistans LDR
akan berubah seiring dengan perubahan
intensitas cahaya yang mengenainya atau yang
ada di sekitarnya. Dalam keadaan gelap,
resistans LDR sekitar 10 MΩ dan dalam
keadaan terang, sebesar 1 kΩ atau kurang.
LDR terbuat dari bahan semikonduktor seperti
kadmium sulfida. Dengan bahan ini, energi
dari sinar yang jatuh menyebabkan lebih
banyak muatan yang dilepas atau arus listrik
meningkat (Silva & Avalos 2006).
Filter yang terbuat dari plastik transparan
memiliki variasi warna dan kisaran panjang
gelombang yang berbeda. Menurut Harvey
(2000), pada spektrum sinar tampak, warna
ungu memiliki kisaran panjang gelombang
380–450 nm, biru 450–490 nm, hijau 490–560
nm, kuning 560–590 nm, jingga 590–630 nm,
dan merah 630–760.
Kemometrik
Kemometrik
merupakan
seni
mengekstraksi informasi kimia dari data yang
dihasilkan oleh suatu percobaan kimia (Wold
1995). Kemometrik menyediakan metode
untuk mengurangi data berukuran besar yang
diperoleh
dari
instrumen
seperti
spektrofotometer sehingga dapat diketahui
tingkat reabilitas dari suatu data. Analisis
multivariat merupakan salah satu teknik
analisis kemometrik yang banyak digunakan
untuk analisis matriks kompleks dan analisis
multikomponen pada sistem yang sederhana.
Pendekatan multivariat dapat diaplikasikan
pada sampel yang mempunyai lebih dari satu
peubah pengukuran. Misalnya, pada saat kita
mengukur
spektrum
suatu
sampel
menggunakan lebih dari satu panjang
gelombang (Brereton 2003).
Analisis multivariat ini telah banyak
digunakan dalam bidang kimia untuk
melakukan pengenalan pola. Pendekatan
metode analisis multivariat yang dapat
digunakan antara lain adalah exploratory data
analysis (EDA) yang terdiri dari PCA dan
factor analysis (FA), unsupervised pattern
recognation,
dan supervisaed pattern
recognation (Brereton 2003). Selain itu, juga
ada soft independent modeling of class

analogy (SIMCA), discriminant analysis
(DA) dan PLSDA (Gutierrez et al. 2011).
Metode PCA
Prinsip utama analisis multivariat dengan
metode PCA adalah mencari komponen utama
(PC) yang merupakan kombinasi linear dari
peubah asli (Lebart et al. 1984). PC digunakan
untuk mengurangi jumlah peubah bebas dari
peubah aslinya. Pemilihan PC dilakukan
sehingga PC pertama memiliki varians
terbesar dalam set data, sedangkan PC kedua
tegak lurus terhadap PC pertama dan memiliki
varians terbesar selanjutnya (Miller & Miller
2000).
Teknik PCA berdasar pada dekomposisi
matriks data X (N × K) menjadi 2, yaitu
matriks T (N × A) dan matriks P (K × A) yang
saling tegak lurus (Gambar 4):
X= T.PT + E
Matriks T disebut matriks scores yang
menggambarkan varians dalam objek,
sedangkan matriks P yang disebut matriks
loading menjelaskan pengaruh peubah
terhadap komponen utama. Matriks P terdiri
atas data asli dalam sistem koordinat baru.
Galat dari model yang terbentuk dinyatakan
dalam E (Lohninger 2004), sedangkan nilai A
adalah jumlah PC yang digunakan untuk
membuat model (Brereton 2003).

Gambar 4 Prinsip PCA (Brereton 2003).
Metode PLSDA
Metode
klasifikasi
PLSDA
sering
diterapkan dalam bidang kemometrik dengan
berlandaskan pendekatan PLS. Peubah tak
bebas (Y) diramalkan dari serangkaian peubah
bebas (X) yang sangat banyak, memiliki
kolinearitas tinggi, dan memiliki struktur yang
sistematik, dengan menggunakan regresi

5

kuadrat terkecil (Hakim 2010). Dalam
PLSDA, untuk kasus dua kelompok, biasanya
peubah tak bebas diberi nilai 1 untuk satu
kelompok dan 0 atau -1 untuk kelompok
lainnya.
Berbeda dengan metode PCA, kebaikan
suatu model klasifikasi pada metode PLSDA
cukup dilihat dari nilai koefisien determinasi
(R2), galat kalibrasi akar rerata kuadrat
(RMSEC) dan galat prediksi akar rerata
kuadrat (RMSEP). Nilai RMSEC merupakan
galat yang dihasilkan dari set kalibrasi.

Foto
yang
dihasilkan
lalu
diolah
menggunakan perangkat lunak Image J versi
1.4.

BAHAN DAN METODE

Pembuatan Filter

Bahan dan Alat

Pembuatan filter dilakukan dengan
menggunakan program Microsoft Word 2007.
Dibuat kotak-kotak berukuran 5×5 cm2,
kemudian masing-masing diberi warna
dengan
intensitas
yang
berbeda-beda
(Lampiran 2). Intensitas warna tersebut diatur
nilai RGB (red green blue) sesuai panjang
gelombangnya dengan bantuan perangkat
lunak Wavelength RGB Converter (Lampiran
3). Filter dibuat dari panjang gelombang 360
sampai 650 nm dengan selang sekitar 20 nm.
Selanjutnya warna-warna ini dicetak pada
kertas plastik transparan.

Bahan-bahan yang digunakan ialah kertas
plastik, tanaman temulawak umur 6, 7, 8, dan
9 bulan, etanol 96%, kloroform 96%,
diklorometana 96%, silika gel F254, dan
akuades. Alat-alat yang digunakan adalah
fotometer jinjing, lampu LED (UV, merah,
dan biru),
blender, alat pembuat pelet,
spektrometer USB 2000, Printer Epson Stylus
Office T1100, syringe 100µL, CAMAG TLC
Applicator Linomat 5, CAMAG TLC scanner
Reprostar 3, dan penguap putar. Perangkat
lunak yang digunakan adalah Unscrambler
10.01, CAMAG WinCATS versi 1.3.3,
wavelength to RGB, dan Image J versi 1.4.
Analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Temulawak (Istiqomah 2010)
Serbuk temulawak dari masing-masing
umur ditimbang sebanyak 1 gram, kemudian
dimaserasi selama 3 jam menggunakan 10 mL
pelarut etanol 96%. Filtratnya disaring dan
dipindahkan ke botol vial kecil. Setelah itu,
diuapkan dengan penguap putar. Sebanyak 0.1
gram ekstrak etanol temulawak ini selanjutnya
dilarutkan menggunakan 5 mL etanol 96%,
dan filtratnya disaring kembali. Filtrat dari
setiap sampel selanjutnya ditotolkan pada
pelat silika gel F254 menggunakan syringe
100µL dibantu dengan CAMAG TLC
applicator dengan lebar pita tiap sampel
adalah 5 mm.
Eluen
yang
digunakan
adalah
diklorometana dan kloroform dengan nisbah
0.82:0.18. Eluen tersebut dijenuhkan terlebih
dahulu selama 1 jam di dalam bejana
kromatografi. Setelah itu, pelat yang telah
berisi sampel dimasukkan ke dalam bejana
kromatografi untuk proses elusi. Deteksi noda
dilakukan menggunakan CAMAG TLC
scanner dengan lampu 254 nm dan 366 nm.

Pembuatan Pelet Temulawak
Serbuk temulawak ditimbang sebanyak
400 mg, lalu serbuk dimasukkan ke dalam alat
pembuat pelet. Tekanan diatur hingga
mencapai 80 kN, dan diberikan selama 2
menit. Pelet temulawak lalu dikeluarkan dari
alat.

Pencirian Sumber Sinar
Sumber sinar yang akan digunakan (LED
UV, LED merah, dan LED biru) dicirikan
terlebih dahulu. Sumber sinar tersebut
dinyalakan dan sinar yang keluar diukur
panjang
gelombangnya
menggunakan
spektrometer USB 2000.
Pencirian Panjang Gelombang Filter
Filter yang telah dibuat selanjutnya
dipotong dengan ukuran 5×5 cm2, dan
dicirikan menggunakan spektrometer USB
2000. Satu potongan filter ditempatkan pada
lintasan laser. Daya laser yang melewati
potongan filter tersebut diukur, lalu data yang
dihasilkan pada layar komputer diatur agar
yang dihasilkan berupa kisaran panjang
gelombang. Kisaran panjang gelombang yang
diperoleh digunakan sebagai acuan pada
penelitian selanjutnya.
Prosedur Penggunaan Alat Fotometer
Jinjing
Fotometer (Gambar 5) dinyalakan dengan
menekan tombol power, lalu intensitas awal
fotometer ditentukan dengan meletakkan

6

sumber cahaya pada area berwarna putih
sebagai kontrol. Sumber cahaya diletakkan
tegak lurus (90°) dengan permukaan kertas
standar warna. Diperiksa perbedaan intensitas
sinar pada area berwarna putih. Apabila tidak
terdapat perbedaan, maka nilai intensitas awal
dinaikkan. Intensitas yang sudah ditetapkan
akan digunakan untuk pengukuran setiap
sampel dengan sumber sinar yang sama.
Setiap mengakhiri pengukuran, sumber
cahaya dimatikan dan dinyalakan kembali
sebelum mengukur warna standar lainnya.
Nilai yang tertera pada fotometer dicatat
setelah angka yang tertera tidak menunjukkan
perubahan. Langkah tersebut diulangi dengan
menggunakan kombinasi filter dan sumber
lampu yang berbeda-beda. Filter yang
digunakan adalah kertas plastik dengan
intensitas warna dan panjang gelombang yang
telah dicirikan. Lampu yang digunakan adalah
LED UV, LED merah, dan LED biru. Filter
diletakkan sebelum detektor.

Gambar 5 Fotometer jinjing.
Metode Deteksi Sinar
Permukaan pelet temulawak selanjutnya
disinari dengan sumber
sinar
yang
divariasikan dengan filter. Pelet temulawak
yang digunakan berumur 6, 7, 8, dan 9 bulan,
dan diukur sebanyak 10 kali ulangan. Sinar
radiasi selanjutnya terlebih dahulu melewati
filter agar sinar yang terukur dibatasi pada
area panjang gelombang tertentu. Sinar radiasi
ini kemudian ditangkap oleh detektor LDR
dan intensitasnya diubah menjadi perbedaan
tegangan listrik. Perbedaan tegangan listrik
yang dihasilkan ini dideteksi oleh voltmeter
dan dicatat angkanya.
Pengumpulan dan Pengolahan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan
mengukur intensitas sinar yang dihasilkan dari
sampel serbuk rimpang temulawak (pelet
temulawak) umur 6, 7,8, dan 9 bulan dengan
menggunakan sumber sinar lampu LED UV,
merah,
dan
biru
yang
divariasikan

menggunakan filter dengan intensitas warna
dan panjang gelombang yang berbeda-beda.
Data yang dihasilkan dimasukkan ke dalam
program Microsoft Excel 2007 dan dianalisis
menggunakan metode multivariat dengan
perangkat lunak The Unscrambler 10.01.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa
tahapan (Lampiran 1). Tahap pertama adalah
analisis KLT pada sampel rimpang temulawak
umur 6, 7, 8, dan 9 bulan yang akan dianalisis
menggunakan fotometer jinjing. Tahap ini
dilakukan untuk membuktikan bahwa rimpang
temulawak tersebut memiliki keragaman mutu
berdasarkan umur tanamnya.
Tahap selanjutnya yang dilakukan adalah
pencirian sumber sinar dan filter yang akan
digunakan. Sumber sinar yang digunakan
adalah LED UV, LED merah, dan LED biru.
Tahap ini dilakukan agar dapat diketahui nilai
kisaran panjang gelombang yang dipancarkan
oleh ketiga sumber sinar tersebut sebagai
acuan untuk penelitian selanjutnya.
Tahapan terakhir adalah pengukuran
sampel dengan fotometer jinjing. Diperoleh
data berupa tegangan yang selanjutnya diolah
dengan menggunakan metode pengenalan
pola kemometrik PCA dan PLSDA. Metode
ini dapat mengelompokkan sampel rimpang
temulawak berdasarkan umur tanamnya, yaitu
6, 7, 8, dan 9 bulan.
Analisis Keragaman Kualitas Rimpang
Temulawak Menggunakan KLT
KLT merupakan salah satu pilihan metode
yang lazim digunakan untuk identifikasi
tanaman obat. Keuntungan menggunakan
KLT adalah persiapan sampel sederhana,
ekonomis, analisis cepat, dan fleksibel. KLT
juga mempunyai kemampuan pemisahan yang
sangat baik untuk senyawa-senyawa kimia
yang kompleks dalam ekstrak tanaman obat
(Liang et al. 2004).
Pada penelitian ini, analisis KLT
bertujuan melihat senyawa yang terkandung
pada
temulawak
dan
perbedaan
konsentrasinya pada umur 6, 7, 8, dan 9 bulan.
Kurkumin merupakan senyawa marker yang
terdapat pada rimpang temulawak (Depkes RI
2008). Kurkumin ditunjukkan oleh noda
dengan nilai Rf sebesar 0.23 saat pelat KLT
dideteksi menggunakan lampu UV pada
panjang gelombang 254 nm (Gambar 6).
Menurut Suwiah (1991), kandungan kurkumin
pada rimpang temulawak sebesar 1.93%.

7

puncak tiap senyawa berbeda-beda, yang
menunjukkan perbedaan konsentrasi senyawa
dari
setiap
umur
rimpang.
Puncak
kromatogram kurkumin ditandai dengan
puncak nomor 3 pada Gambar 7. Pada umur 9
bulan dapat dilihat bahwa area dan tinggi
puncak tersebut lebih tinggi dibandingkan
dengan umur lainnya. Hal ini menunjukkan
bahwa konsentrasi kurkumin paling tinggi
dimiliki oleh rimpang temulawak umur 9
bulan.
Pencirian Sumber Sinar dan Filter
Gambar 6

Pola KLT temulawak dengan
penampak lampu UV 254 nm
untuk umur simplisia (a) 9
bulan, (b) 8 bulan, (c) 7 bulan,
(d) 6 bulan, dan (e) standar
kurkumin. Noda (f) (Rf ₌ 0.23)
menunjukkan kurkumin.

Perbedaan konsentrasi kurkumin dari
setiap umurnya dapat terlihat jika foto pelat
KLT (Gambar 6) diolah menggunakan
perangkat lunak image J. Data yang diperoleh
berupa kromatogram sehingga dapat dilihat
pola dan perbedaan intensitas dari noda yang
dihasilkan (Gambar 7).

Gambar 7

Pencirian sumber sinar dan filter dilakukan
menggunakan spektrometer USB200. Sumber
sinar yang dicirikan adalah LED UV, LED
merah, dan LED biru. Filter yang digunakan
ada 17 buah. Pencirian tersebut bertujuan
mengetahui nilai kisaran panjang gelombang
dari sumber sinar dan filter yang digunakan
sehingga untuk acuan penelitian selanjutnya.
Gambar 8 menunjukkan bahwa spektrum
panjang gelombang yang dipancarkan oleh
LED UV adalah 360 − 450 nm, LED biru
sebesar 420 − 500 nm, dan LED merah
sebesar 550 − 800 nm. Sementara itu, 17 filter
yang digunakan memiliki kisaran panjang
gelombang transmisi antara 360 dan 650 nm
(Lampiran 4). Filter tersebut digunakan
sebagai peubah yang befungsi membatasi dan
membedakan intensitas radiasi yang akan
mencapai LDR.

Kromatogram hasil analisis
menggunakan image J pada
foto pelat KLT rimpang
temulawak
dengan
pendeteksian λ 254 nm (a) 6
bulan, (b) 7 bulan, (c) 8 bulan,
dan (d) 9 bulan.

Gambar 8 Spektrum panjang gelombang (a)
LED UV, (b) LED biru, dan (c)
LED merah.

Gambar 7 memperlihatkan bahwa setiap
umur tanam rimpang temulawak memiliki
pola yang sama. Hal ini menandakan bahwa
jenis senyawa yang dimiliki rimpang
temulawak pada umur 6, 7, 8, dan 9 bulan
adalah sama. Akan tetapi, luas dan tinggi

Tahap selanjutnya adalah sampel pelet
temulawak diukur menggunakan fotometer
jinjing dengan kombinasi sumber sinar dan
filter (Lampiran 5). Pengukuran sampel
dilakukan masing-masing sebanyak 10 kali.
Hasil pengukuran dengan fotometer jinjing

Analisis Sampel Menggunakan Fotometer

8

berupa intensitas radiasi yang ditangkap oleh
LDR dan nilainya diubah menjadi nilai
tegangan. Spektrum yang diperoleh (Gambar
9) memiliki pola yang sama untuk rimpang
temulawak umur 6, 7, 8, dan 9 bulan. Hal ini
dikarenakan senyawa yang terkandung pada
rimpang temulawak dari setiap umur adalah
sama. Perbedaan antara tiap umur terlihat dari
intensitas tegangan yang dimiliki.

Gambar 9

berdasarkan umur, sekalipun data spektrum
yang dihasilkan mirip dan rumit.
Pada penelitian ini, PCA dilakukan pada
data
hasil
pengukuran
menggunakan
fotometer jinjing terhadap sampel rimpang
temulawak umur 6, 7, 8, dan 9 bulan.
Masing-masing sampel diukur sebanyak 10
kali ulangan dengan menggunakan 51
kombinasi sumber sinar dan filter sehingga
diperoleh matriks data atau peubah asli
berukuran 40×51.
Analisis PCA dilakukan dengan mencari
komponen utama dari data matriks. Diperoleh
7 buah PC dan varians yang berbeda-beda
(Gambar 10). PC 1 memiliki nilai varians
sebesar 66%, PC 2 21%, PC 3 9%; PC 4 dan
PC 5 1%; sedangkan PC 6 dan PC 7 hanya
0%. Total nilai varians seluruh PC sebesar
98%. Nilai varians PC 1 paling besar karena
PC 1 digunakan untuk memaksimumkan
varians data, sedangkan PC selanjutnya
digunakan untuk memaksimumkan residual
atau varians yang tertinggal dalam data
(Brereton 2003).

Spektrum hasil pengukuran
temulawak umur 6, 7, 8, dan 9
bulan.

Rimpang temulawak umur 6 bulan
memiliki
nilai
tegangan
tertinggi
dibandingkan dengan umur lainnya. Nilai
tegangan yang tinggi menunjukkan sinar yang
direfleksikan oleh rimpang temulawak juga
tinggi. Hal ini disebabkan kandungan senyawa
aktif kimia pada umur 6 bulan paling rendah,
sehingga daya absorpsi terhadap radiasi yang
diberikan juga rendah. Dengan demikian,
intensitas sinar radiasi yang direfleksikan
semakin tinggi juga karena sinar yang tidak
diserap direfleksikan oleh bahan. Karena
perbedaan intensitas dan yang dihasilkan
sangat kecil, diperlukan teknik pengenalan
pola
secara
kemometrik
untuk
mengelompokkan
rimpang
temulawak
berdasarkan umur.
Klasifikasi Rimpang Temulawak
Menggunakan Analisis Komponen Utama
Metode PCA atau analisis komponen
utama adalah suatu pendekatan statistika yang
dapat membantu memahami hubungan data
multivariat (Lai et al. 2011). Teknik
kemometrik ini dapat digunakan untuk
pengenalan
pola
sehingga
dapat
mengelompokkan
rimpang
temulawak

Gambar 10

Alur proporsi varians 7
komponen utama.

Score plot dibuat menggunakan PC 1 dan
PC 2, yaitu PC 1 = 66% dan PC 2 = 21%.
Berdasarkan Gambar 11, score plot antara PC
1 dan PC 2 menunjukkan bahwa rimpang
temulawak umur 6, 7, 8, dan 9 bulan sudah
dapat dibedakan walaupun umur 7 dan 8
masih berdekatan sehingga perlu perbesaran
gambar untuk melihat keterpisahan antara
umur 7 dan 8 bulan. Hal ini dikarenakan umur
7 dan 8 bulan memiliki nilai luas puncak
kurkumin (Gambar 7) yang tidak berbeda
jauh. Menurut Brereton (2003), score plot
dengan menggunakan 2 buah PC pertama
dilakukan
karena
kedua
PC
ini
menggambarkan varians terbesar dari data.
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa 2 PC
pertama sudah dapat mengelompokkan dan

9

memisahkan dengan baik rimpang temulawak
berdasarkan umurnya.

kalibrasi. Kebaikan suatu model dapat dilihat
nilai R2 mendekati 1 dan nilai galat sangat
kecil atau mendekati 0 (Brereton 2003).
Rimpang temulawak umur 6, 7, 8, dan 9
bulan dapat diprediksi dengan baik
menggunakan model kalibrasi yang telah
dibuat sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari
nilai R2 dan RMSEP pada model prediksi.
Model PLSDA untuk rimpang temulawak
umur 6, 7, 8, dan 9 bulan memiliki nilai R2
mendekati 1 dan RMSEP mendekati 0 (Tabel
2). Nilai R2 yang tinggi dari sampel
mengindikasikan bahwa model prediksi yang
dibuat memiliki galat yang kecil.
Tabel 2 Kriteria kebaikan model PLSDA
Sampel
(bulan)

Gambar 11 Score plot antara PC 1 dan PC 2
serta inset perbesaran untuk umur
7 dan 8 bulan.
Pembentukan Model Rimpang Temulawak
Menggunakan Analisis Diskriminan
Kuadrat Terkecil Parsial (PLSDA)
PLSDA merupakan salah satu teknik
kemometrik
yang
digunakan
untuk
pengenalan pola. Pada penelitian ini, analisis
PLSDA dilakukan dengan menggunakan 2
buah matriks, yaitu matriks X dan matriks Y.
Matriks X berisi data asli yang berasal dari
hasil pengukuran sampel rimpang temulawak
dengan menggunakan fotometer jinjing
sehingga matriksnya berukuran 40×51.
Sementara matriks Y merupakan matriks
respon untuk tiap umur sampel rimpang
temulawak sehingga matriksnya berukuran
40×4. Respon untuk satu umur sampel
rimpang temulawak bernilai 1 dan umur yang
lainnya diberi nilai 0. Selanjutnya dibuat
model kalibrasi rimpang temulawak umur 6,
7, 8, dan 9 bulan dari kedua matriks.
Kebaikan
suatu
model
dengan
menggunakan metode PLSDA dapat dilihat
dari nilai koefisien determinasi (R2), galat
kalibrasi akar rerata kuadrat (RMSEC) dan
galat prediksi akar rerata kuadrat (RMSEP)
yang terlihat pada Tabel 2 dan Lampiran 6
hingga 9. Nilai R2 mengindikasikan mutu data
antara konsentrasi nyata dan konsentrasi
dugaan. Nilai R2 yang mendekati 1
menunjukkan bahwa antara konsentrasi nyata
dan dugaan memiliki nilai yang sangat dekat
serta memiliki galat yang kecil. Nilai RMSEC
merupakan galat yang dihasilkan dari set

Kalibrasi
2

Prediksi
2

R

RMSEC

R

RMSEP

6

0,9945

0,0322

0,9902

0,0442

7

0,9948

0,0311

0,9926

0,0380

8

0,9901

0,0432

0,9845

0,0553

9

0,9940

0,0335

0,9915

0,0408

Selanjutnya model PLSDA yang telah
diperoleh digunakan untuk memprediksi
sampel rimpang temulawak umur 6, 7, 8, dan
9 bulan. Sampel yang digunakan merupakan
sampel yang tidak digunakan untuk membuat
model. Pengukuran sampel diperlakukan sama
dengan sampel rimpang temulawak pada saat
membangun model dan dilakukan sebanyak
dua kali ulangan. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa model yang dibangun
sebelumnya dapat memprediksi sampel yang
diujikan dan mengklasifikasikan ke dalam
umur 6, 7, 8, dan 9 bulan.
Tabel 3 menunjukkan nilai prediksi untuk
sampel yang diprediksi berumur 6, 7, 8, dan 9
bulan saat diregresikan dengan model PLSDA
rimpang
temulawak
yang
diperoleh
sebelumnya pada masing-masing umur. Nilai
referensi adalah nilai yang digunakan sebagai
respon untuk membangun model. Nilai
prediksi yang mendekati nilai referensi
menunjukkan bahwa umur sampel prediksi
sama dengan model yang digunakan.
Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa nilai
prediksi sampel yang diprediksi masingmasing berumur 6, 7, 8, dan 9 bulan pada
model PLSDA rimpang temulawak yang telah
dibuat sebelumnya untuk masing-masing
umur 6, 7, 8, dan 9 bulan mendekati nilai
referensi yang digunakan, yaitu 1. Hal ini
menunjukkan bahwa sampel yang diprediksi
mempunyai nilai prediksi yang sama dengan
nilai referensi masing-masing umur yang

10

diprediksi pada saat diregresikan dengan
model PLSDA rimpang temulawak masingmasing umur.

terlalu lama dapat menyebabkan penurunan
mutu.

Tabel 3 Data prediksi sampel dengan model
PLSDA rimpang temulawak umur
6, 7, 8, dan 9 bulan
Model
PLSDA

Sampel
6 Bulan
7 Bulan

6 Bulan
8 Bulan
9 Bulan
6 Bulan
7 Bulan
7 Bulan

Nilai
Prediksi

Referensi

1

1,0360

1

2

1,0341

1

1

0,0471

0

2

0,0287

0

1

-0,0050

0

2

0,0046

0

1

0,0278

0

2

0,0168

0

1

0,0648

0

2

0,1199

0

1

1,0457

1

2

1,0363

1

-0,0236

0

-0,0230

0

0,0602

0

2

0,0310

0

1

-0,0509

0

2

-0,0621

0

1

-0,0715

0

2

-0,0656

0

1,0164

1

1,0060

1

-0,0780

0

-0,0446

0

-0,0499

0

-0,0919

0

-0,0213

0

0,0006

0

0,0122

0

0,0124

0

0,9900

1

0,9969

1

1
8 Bulan

2
1

9 Bulan
6 Bulan
7 Bulan
8 Bulan

1
8 Bulan

2
1

9 Bulan

2
1

6 Bulan

2
1

7 Bulan
9 Bulan

2
1

8 Bulan

2
1

9 Bulan

Nilai

Ulangan

2

Selain sampel ini, dilakukan pula
pengukuran sampel rimpang temulawak
dengan kondisi lama penyimpanan setelah
panen atau tidak segar. Pengukuran dilakukan
sebanyak sepuluh kali ulangan. Hasil
pengukuran dapat dilihat pada Gambar 12
hingga 14. Berdasarkan hasil yang diperoleh
pada Gambar 12 hingga 14 menunjukkan
bahwa kondisi penyimpanan sampel yang

Gambar 12 Nilai prediksi sampel dengan
model PLSDA umur 7 bulan.

Gambar 13 Nilai prediksi sampel dengan
model PLSDA umur 8 bulan.

Gambar 14 Nilai prediksi sampel dengan
model PLSDA umur 9 bulan.
Pada Gambar 12 terlihat bahwa sampel
rimpang temulawak umur 8 bulan yang
disimpan terlalu lama, diprediksi oleh model
PLSDA berumur 7 bulan. Penurunan mutu
juga terjadi pada sampel rimpang temulawak
umur 9 bulan yang diprediksi menggunakan
model PLSDA umur 8 bulan (Gambar 13).
Hal ini disebabkan oleh nilai prediksi umur 9
bulan mendekati nilai referensi umur 8 bulan.
Sedangkan umur 9 bulan tetap diprediksi
berumur 9 bulan (Gambar 14). Dapat
disimpulkan bahwa fotometer jinjing sensitif
terhadap perubahan sampel, yaitu kondisi
penyimpanan sampel rimpang temulawak
yang terlalu lama menyebabkan penurunan
mutu. Menurut penelitian Kiswanto (2000),

11

kondisi penyimpanan rimpang temulawak
yang terlalu lama dapat menurunkan kadar air,
pati, kurkumin, dan minyak atsiri. Hal ini
disebabkan pengaruh suhu dan RH lingkungan
penyimpanannya. Semakin tinggi suhu dan
semakin rendah RH maka kadar kurkumin
semakin rendah akibat terjadinya degradasi.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

Dalimartha S. 2000. Atlas Tanaman Obat
Indonesia. Jilid 2. Jakarta: Trubus
Agriwidya.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan RI. 1983.
Pemanfaatan Tanaman Obat. Jakarta:
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2008. Farmakope Herbal
Indonesia Edisi Ke-1. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia

Alat fotometer jinjing yang digabungkan
dengan aplikasi kemometrik sudah dapat
membedakan keragaman kualitas rimpang
temulawak berdasarkan umur 6, 7, 8, dan 9
bulan. Analis PCA menggunakan dua PC
pertama, yaitu PC 1 = 66% dan PC 2 = 21%.
Untuk analisis PLSDA diperoleh nilai R2 yang
mendekati 1 dan RMSEP mendekati 0. Pada
kondisi penyimpanan rimpang temulawak
yang terlalu lama mengakibatkan menurunnya
mutu atau kadar dari senyawa aktif kimia
yang terdapat pada rimpang temulawak
tersebut.
Saran

Fatmawati DA. 2008. Pola protein dan
kandungan
kurkuminoid
rimpang
temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
[skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
dalam mengembangkan fotometer jinjing.
Perlu dilakukan validasi antara pengukuran
menggunakan fotometer jinjing dengan
instrumen lain yang umum digunakan untuk
kendali mutu rimpang temulawak

Gutierrez L, Coello J, Maspoch S. 2011.
Application of near infrared spectral
fingerprinting and pattern recognition
techniques for fast identification of
Eleutherococcus
senticosus.
Food
Research International 44:557–565.

DAFTAR PUSTAKA
Adzkiya MAZ. 2006. Pola akumulasi
kurkuminoid rimpang induk temulawak
(Curcuma xanthorriza Roxb.) pada
berbagai masa tanam dan perlakuan
budidaya tanam [skripsi]. Bogor: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
Afifah E, Lentera T. 2003. Khasiat dan
Manfaat
Temulawak:
Rimpang
Penyembuh Aneka Penyakit. Jakarta:
Agromedia Pustaka.
Asriani D. 2010. Isolasi xantorizol dari
temulawak terpilih berdasarkan nomor
harapan
[tesis].
Bogor:
Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Brereton RG. 2003. Chemometrics: Data
Analysis for The Laboratory and Chemical
Plant. Bristol: Wiley.

[Deptan] Departemen Pertanian, Direktorat
Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2004.
Informasi
Pengembangan
Agribisnis
Tanaman Biofarmaka. Jakarta: Deptan.

Istiqomah IF. 2010. Pengoptimuman fase
gerak KLT dengan rancangan campuran
untuk analisis sidik jari temulawak
[skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Hakim F. 2010. Penerapan metode
transformasi wavelet diskret dan partial
least
square
discriminant
analysis
(PLSDA) untuk klasifikasi komponen obat
bahan alam (Studi kasus: Obat bahan
alam/fitofarmaka penurun tekanan darah)
[skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Harvey D. 2000. Modren Analytical
Chemistry. New York: McGraw Hill.
Herdini, Darusman LK, Sugita P. 2010.
Disolusi
mikroenkapsulasi kurkumin
tersalut gel kitosan-alginat-glutaraldehida.
Makara Sains 14:57-62

12

Kiswanto Y. 2000. Perubahan kadar senyawa
bioktif rimpang
temulawak dalam
penyimpanan
[skripsi].
Yogyakarta:
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
pertanian.
Lai

SZ et al. 2011. Qualitative and
quantitative analysis of alkaloids in cortex
phellodendri by HPLC-ESI-MS/MS and
HPLC-DAD. Chem Res Chinese Univ
27:38-44.

Lebart L, Morineau A, Warmict MK. 1984.
Multivariate
Descri