Kontribusi terumbu buatan (Reef Ball) dalam pengembangan minawisata bahari di Wilayah Pesisir Ratatotok Sulawesi Utara

(1)

INDRI

INDRI

INDRI

INDRI SHELOVITA

SHELOVITA

SHELOVITA

SHELOVITA MANEMBU

MANEMBU

MANEMBU

MANEMBU

SEKOLAH SEKOLAH SEKOLAH

SEKOLAH PASCASARJANAPASCASARJANAPASCASARJANAPASCASARJANA INSTITUT

INSTITUT INSTITUT

INSTITUT PERTANIANPERTANIANPERTANIANPERTANIAN BOGORBOGORBOGORBOGOR BOGOR

BOGOR BOGOR BOGOR

2013 201320132013


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Kontribusi Terumbu Buatan (Reef ball) Bagi Pengembangan Minawisata Bahari di Wilayah Pesisir Ratatotok Sulawesi Utara” adalah benar merupakan hasil karya dan gagasan saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juni 2013

Indri Shelovita Manembu


(3)

Impacts of artificial reefs (reef ball) and its potential for the development of fisheries and marine tourism is presented in this paper. The study was conducted to analyze the ecological and economic impacts of artificial reefs, to assess the suitability of the area for the development of marine tourism and fisheries, and to formulate integrated management strategies of artificial reef region, in Ratatotok coastal areas, North Sulawesi, from 2009 to 2011. The results showed that artificial reefs presence for about 11 years has affected the ecological and economic coral reef ecosystems. It is showed that by using Scenic Beauty Estimation (SBE) method the location with coral reef has higher visual level preference than the locations without the artificial reef. Regional conformity assessment results showed that the location is suitable as marine tourism area and small-scale coral reefs fisheries. Moreover, integrated management strategies appropriate to support the development of marine tourism and fisheries in the region and boost the economy of coastal communities while still maintaining the sustainability of coral reef ecosystems.


(4)

Pengembangan Minawisata Bahari di Wilayah Pesisir Ratatotok Sulawesi Utara. Dibimbing oleh: LUKY ADRIANTO, DIETRIECH G. BENGEN, dan FREDINAN YULIANDA.

Salah satu strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang lestari adalah dengan penempatan terumbu buatan. Terumbu buatan adalah suatu struktur bangunan buatan manusia atau alami yang ditempatkan di dasar perairan menyerupai terumbu karang alami, berfungsi sebagai habitat tempat berlindung, mencari makan dan berkembang biak dari berbagai biota laut termasuk ikan; yang kemudian diharapkan dapat menjadi daerah penangkapan ikan yang produktif.

Terumbu buatan memiliki beragam bentuk dan struktur yang memiliki fungsi yang berbeda. Di wilayah pesisir Ratatotok terumbu buatan yang digunakan adalah terumbu buatan yang berbentuk bola yang disebut reef ball. Penempatan terumbu buatan di dasar perairan berguna bagi organisme karang karena merupakan substrat buatan yang keras dan dirancang untuk memungkinkan terbentuknya habitat baru, serta memberi ruang baru bagi organisme karang untuk hidup dan membentuk koloni. Dalam siklus hidupnya, larva karang akan terbawa arus di kolom air dan pada akhirnya memilih substrat yang keras seperti reef ball

untuk melekat (settle-down). Selain itu terumbu buatan juga merupakan tempat berkumpulnya ikan-ikan karang.

Penempatan terumbu buatan bertujuan untuk menciptakan habitat baru bagi organisme karang dan biota asosiasinya serta sebagai fish shelter bagi ikan-ikan karang. Peletakan terumbu buatan pada setiap lokasi yang berbeda telah membentuk suatu ekosistem dengan kondisi dan karakteristik yang berbeda. Hal tersebut disebabkan oleh karakter biofisik perairan seperti kondisi hidro-oseanografi dan kualitas perairan yang spesifik di setiap lokasi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan sejak tahun 1996, terumbu karang di perairan Ratatotok dalam kondisi yang bervariasi mulai dari kondisi miskin

(tutupan karang lebih kecil 25%), cukup (tutupan karang 25% - 49%) dan baik (tutupan karang 50% - 74%). Sebagian besar berada pada kondisi cukup

(Lalamentik 2005). Dengan kondisi seperti ini, terumbu karang di Perairan Ratatotok dijadikan masyarakat sebagai lokasi utama sebagai tempat penangkapan ikan, khususnya ikan karang. Kegiatan penangkapan yang dilakukan masyarakat di lokasi ini cukup intensif, mengingat mayoritas masyarakat merupakan nelayan tradisional sehingga aktivitas mereka sebagian besar dilakukan di wilayah terumbu karang Perairan Ratatotok.

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan pengelolaan ekosistem terumbu karang berterumbu buatan bagi pengembangan minawisata bahari di wilayah pesisir Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara. Lokasi studi dilakukan pada ekosistem terumbu karang yang terdapat di pesisir Ratatotok Kabupaten Minahasa Tenggara Provinsi Sulawesi Utara (Gambar 4). Letak posisi geografis pesisir Ratatotok adalah 1240

41’ 24” - 124044’ 24” BT dan 0050’ 24” - 0054’ 00” LU. Untuk pengambilan


(5)

kuisioner yang sudah disiapkan sebelumnya. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran literatur yang bersumber dari dinas/lembaga/instansi terkait seperti: Kantor Desa, Kantor Kecamatan serta perguruan tinggi berupa laporan hasil-hasil studi dan penelitian yang sudah ada.

Penilaian valuasi ekonomi potensi sumberdaya terumbu karang di kawasan terumbu karang Perairan Ratatotok ini didekati dengan menggunakan pendekatan change in productivity atau yang lebih dikenal dengan sebutanEffect on Production (EOP) sesuai yang dilakukan oleh Cesar 1996 dan Molberg & Folke 1999. Pendekatan penilaian dengan teknik EOP ini dilakukan untuk mengetahui nilai ekosistem pesisir berdasarkan fungsinya terhadap manfaat langsung dari produktifitas perikanan karang.

Untuk menetapkan prioritas pengembangan di gunakan Multi criteria decision making analysis yaitu sebuah proses dimana stakeholder diajak untuk ikut mempertimbangkan kegunaan dari strategi pengelolaan yang berbeda untuk menetukan prioritas pengelolaan kawasan. Melalui analisis ini dapat menjadi input kebijakan berdasarkan konflik pemanfaatan sumber daya yang ada (aktual dan faktual) yang berguna untuk menentukan pilihan pengelolaan sumber daya tersebut.

Hasil analisis yang diperoleh dari penelitian ini adalah presentase tutupan karang pada kawasan berterumbu buatan tidak menunjukan perbedaan yang signifikan dengan presentase tutupan karang pada lokasi terumbu alami. Sedangkan jumlah spesies dan individu ikan karang pada kawasan berterumbu buatan jauh lebih besar jumlahnya dibandingkan pada terumbu alami. Hal ini berkaitan dengan struktur terumbu buatan (reef ball) yang sangat sesuai untuk berperan sebagai habitat ikan karang. Keberadaan terumbu buatan memberikan kontribusi secara ekologis dan ekonomis bagi sistem sosial ekologi masyarakat Desa Basaan 1 yang didekati dengan kelimpahan ikan target. Kawasan terumbu karang di pesisir Ratatotok sesuai untu dimanfaatkan bagi pengembangan wisata dan perikanan (skala kecil). Dalam upaya pengembangan wisata dan perikanan tidak lepas dari peran pemerintah sehingga strategi pengelolaan perlu memperhatikan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, serta teknologi yang terpadu sehingga mewujudkan pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan.


(6)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

INDRI

INDRI

INDRI

INDRI SHELOVITA

SHELOVITA

SHELOVITA

SHELOVITA MANEMBU

MANEMBU

MANEMBU

MANEMBU

Disertasi Disertasi DisertasiDisertasi Sebagai

SebagaiSebagaiSebagai salahsalahsalahsalah satusatusatusatu syaratsyaratsyaratsyarat untukuntukuntukuntuk memperolehmemperolehmemperolehmemperoleh gelargelargelargelar Doktor

DoktorDoktorDoktor pada pada pada pada Program

ProgramProgramProgram StudiStudiStudiStudi PengelolaanPengelolaanPengelolaanPengelolaan SumberdayaSumberdayaSumberdayaSumberdaya PesisirPesisirPesisirPesisir dandandandan LautanLautanLautanLautan

SEKOLAH

SEKOLAH

SEKOLAH

SEKOLAH PASCASARJANA

PASCASARJANA

PASCASARJANA

PASCASARJANA

INSTITUT

INSTITUT

INSTITUT

INSTITUT PERTANIAN

PERTANIAN

PERTANIAN

PERTANIAN BOGOR

BOGOR

BOGOR

BOGOR

BOGOR

BOGOR

BOGOR

BOGOR

2013

2013

2013

2013


(8)

Nama Nama

NamaNama :::: IndriIndriIndriIndri ShelovitaShelovitaShelovitaShelovita ManembuManembuManembuManembu N

N

NN RRRR PPPP :::: C26C26C26C262080101208010120801012080101 Program

Program

ProgramProgram StudiStudiStudiStudi :::: PengelolaanPengelolaanPengelolaanPengelolaan SumberdayaSumberdayaSumberdayaSumberdaya PesisirPesisirPesisirPesisir dandandandan LautanLautanLautanLautan Disetujui

Disetujui Disetujui Disetujui Komisi

KomisiKomisiKomisi PembimbingPembimbingPembimbingPembimbing

Dr.Ir.

Dr.Ir.Dr.Ir.Dr.Ir. LukyLukyLukyLuky Adrianto,Adrianto,Adrianto,Adrianto, M.ScM.ScM.ScM.Sc Ketua

KetuaKetuaKetua

Prof.Dr.Ir.Dietriech Prof.Dr.Ir.Dietriech

Prof.Dr.Ir.DietriechProf.Dr.Ir.Dietriech G.G.G.G. Bengen,Bengen,Bengen,Bengen, DEADEADEADEA Dr.Ir.Dr.Ir.Dr.Ir.Dr.Ir.FredinanFredinanFredinanFredinan YuliandaYuliandaYuliandaYulianda,,,, M.ScM.ScM.ScM.Sc Anggota

Anggota

AnggotaAnggota AnggotaAnggotaAnggotaAnggota

Diketahui, Diketahui, Diketahui, Diketahui, Ketua

Ketua

KetuaKetua ProgramProgramProgramProgram StudiStudiStudiStudi Dekan SekolahDekanDekanDekanSekolahSekolahSekolah PascasarjanaPascasarjanaPascasarjanaPascasarjana

Prof. Prof.

Prof.Prof. Dr.Ir.Dr.Ir.Dr.Ir.Dr.Ir. MennofatriaMennofatriaMennofatriaMennofatria Boer,Boer,Boer,Boer, DEADEADEADEA Dr.Ir.Dr.Ir.Dr.Ir.Dr.Ir.DahrulDahrulDahrulDahrul Syah,Syah,Syah,Syah, MSc.AgrMSc.AgrMSc.AgrMSc.Agr Tanggal

Tanggal


(9)

NRP

Program Studi

: C262080101

: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc Ketua

\

....

.

セL@

Prof.Dr.Ir.Dietriech G. Ben e Dr.Ir.Fredinan Yulianda, M.Sc

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Prof. Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA

Tanggal Ujian: 27 Juni 2013 Tanggal L ulus:

2

4

J

U

L 2B

13


(10)

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan anugerahNya sehingga penulisan karya ilmiah dengan judul: Kontribusi Terumbu Buatan (Reef Ball) Dalam Pengembangan Minawisata Bahari di Wilayah Pesisir Ratatotok Sulawesi Utara dapat terselesaikan.

Seiring dengan selesainya penulisan disertasi ini, dengan segala ketulusan penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang mendalam kepada: 1. Komisi pembimbing yaitu Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc (Ketua), Bapak

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. (Anggota), dan Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. (Anggota) atas segala perhatian, bimbingan dan arahan;

2. Gubernur Sulawesi Utara Bapak Dr. Sinyo Harry Sarundajang, Bapak Prof. Dr.Dedy Soedharma, Bapak Prof.Dr.Ir. Ismudi Muchsin dan Bapak Dr.Ir. Sigid Hariyadi,M.Sc yang telah banyak memberikan masukan dan saran sebagai penguji luar komisi;

3. Ketua, sekretaris serta staf dosen Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) IPB Bogor dan staf administrasinya;

4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan atas beasiswa yang diberikan;

5. Pimpinan Universitas Sam Ratulangi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang telah memberikan ijin dan rekomendasi tugas belajar;

6. Suami dan anak-anak tercinta serta orang tua dan kakak-adik terkasih atas segala doa, dukungan,pengertian dan pengorbanan yang senantiasa memberi semangat dan motivasi

7. Teman-teman Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB Bogor;

8. Rekan-rekan dari FPIK Unsrat yang telah membantu dalam proses penelitian serta teman-teman asrama Bogor Baru 2 untuk kebersamaannya

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terlebih dalam pengelolaan kawasan pesisir di Indonesia.

Bogor, Juni 2013


(11)

pertama dari dua bersaudara pasangan Sherpa Manembu dan Ivonne Andries, SIP. Penulis menikah dengan Jessy Warongan, SE,M.Si.Ak pada tahun 2005 dan dikaruniai 2 orang anak yaitu Svetlana dan Shavon Warongan. Pendidikan sarjana ditempuh pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2002, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya dengan memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada tahun 2004. Selanjutnya penulis juga mendapat kesempatan untuk melanjutkan program doktor pada program studi yang sama pada tahun 2008.

Pada saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado sejak tahun 2002. Bidang yang ditekuni adalah biologi laut dan kajian yang dilakukan selama ini difokuskan pada aspek biologi sumberdaya pesisir khususnya ekosistem terumbu karang.

Beberapa artikel yang terkait dengan disertasi ini telah dipublikasikan diantaranya yang telah terbit adalah “Distribusi karang dan ikan karang di kawasan reef ball Teluk Buyat Kabupaten Minahasa Tenggara” pada Jurnal Perikanan dan Kelautan FPIK Universitas Sam Ratulangi.


(12)

(13)

Halaman DAFTAR ISI... I DAFTAR GAMBAR... III DAFTAR TABEL...IV DAFTAR LAMPIRAN...V

1. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah...3

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian...7

1.3.1 Tujuan Penelitian... 7

1.3.2 Kegunaan Penelitian...7

1.4 Kebaruan... 8

2. TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1 Ekosistem Terumbu Karang...9

2.2 Terumbu Buatan...177

2.3 Reef ball... 24

2.4 Minawisata Bahari...265

2.5 Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan... 29

2.6 Nilai Ekonomi Terumbu Karang...310

2.7 Metode Valuasi Ekonomi... 2.8 Analisis Multi Kriteria... 38

2.9 Pengelolaan Kawasan Pesisir Terpadu...39

2.10 Penelitian Terdahulu... 49

3 REALITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG BERTERUMBU BUATAN...51

3.1 Pendahuluan... 525

3.2 Bahan dan Metode...52

3.3. Hasil dan Pembahasan...54

3.4. Kesimpulan...66

4. KONTRIBUSI TERUMBU BUATAN (REEF BALL)... 69

4.1 Pendahuluan... 67

4.2 Bahan dan Metode...68

4.2.1 Analisis Kontribusi Ekologi...70

4.2.2 Analisis Kontribusi Ekonomi...70

4.2.3 Analisis Jasa Ekosistem... 71

4.3 Hasil dan Pembahasan...76

4.3.1 Kontribusi Ekologi...76

4.3.2 Kontribusi Ekonomi...80

4.3.3 Jasa Ekosistem Terumbu Karang Berterumbu Buatan...83

4.4 Kesimpulan...87 17 32 51 25 30


(14)

5. KESESUAIAN KAWASAN BERTERUMBU BUATAN UNTUK

MINAWISATA BAHARI...89

5.1 Pendahuluan... 89

5.2 Bahan dan Metode...90

5.3 Hasil dan Pembahasan...945

5.3.1 Scenic Beauty Estimation...95

5.3.2 Kesesuaian Wisata Bahari ...97

5.3.3 Kesesuaian Perikanan Karang (Skala Kecil) ...102

5.4 Kesimpulan...103

6. PRIORITAS PEMANFAATAN KAWASAN BERTERUMBU BUATAN...113

6.1 Pendahuluan... 113

6.2 Bahan dan Metode...1134

6.3 Hasil dan Pembahasan...1137

6.4 Kesimpulan...1132

7. PEMBAHASAN UMUM... 113

8. Kesimpulan dan Saran... 113

8.1 Kesimpulan...113

8.2 Saran...11320

DAFTAR PUSTAKA... 115

LAMPIRAN-LAMPIRAN...115 106 108

120 95


(15)

Halaman

1. Skema kerangka pemikiran penelitian... 6

2. Kerangka adaptive management untuk penelitian terumbu buatan ... 23

3. Reef balldengan beragam ukuran...25

4. Peta lokasi penelitian... 52

5. Pengamatan dengan teknik LIT... 53

6. Pemukiman masyarakat dan sebagian sarana perikanan tangkap...57

7. Persentase tutupan karang pada tahun 2009-2011... 61

8. Jenis karang bercabang yang tumbuh padareef ball... 65

9. Jenis karang masif yang tumbuh padareef ball...65

10. Pengambilan data ikan karang dengan teknik sensus visual...69

11. Jumlah spesies ikan karang pada tahun 2009 - 2011... 77

12. Jumlah individu ikan karang pada tahun 2009-2011... 78

13. Kurva permintaan konsumen terhadap ekosistem terumbu karang... 82

14. Nilai SBE Lokasi KBB 1... 95

15. Nilai SBE Lokasi KBB 2... 95

16. Nilai SBE Stasiun Kontrol... 96

17. Sebaran Nilai SBE pada 3 Lokasi...97

18. Peta kesesuaian kawasan wisata bahari... 100

19. Peta kesesuaian daerah tangkapan ikan... 1034

20.Value treeprioritas pemanfaatan kawasan...104

21. Prioritas pemanfaatan kawasan...107

22. Peta arahan pemanfaatan minawisata bahari... 1075 104


(16)

DAFTAR DAFTAR DAFTAR

DAFTAR TABELTABELTABELTABEL

Halaman

1. SpesifikasiReef Ball... 26

2. Hasil - hasil penelitian sebelumnya...49

3. Batas Wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara... 54

4. Jumlah Sarana Perikanan Tangkap Desa Basaan I... 57

5. Hasil Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Perairan... 58

6. Profil Ekologi Karang Batu Pada Setiap Stasiun...60

7. Tutupan komponen biotik dan abiotik terumbu karang berdasarkan tahun pengamatan pada setiap stasiun... 263

8. Matriks jasa ekosistem...73

9. Matriksstakeholder descriptor... 74

10. Matriks ekosistem properties... 74

11. Matriks atribut pemanfaatan... 75

12. Matriksfunctional trait... 75

13. Hasil ANOVA jumlah individu antara stasiun dan tahun pengamatan... 77

14. Matriks jasa ekosistem pada penilaiansocial ecological system...84

15. Matriksdescriptorpada penilaiansocial ecological system...85

16. Matriks ecosystem propertiespada penilaiansocial ecological system... 85

17. Matriks pemanfaatan kawasan pada penilaiansocial ecological system...85

18. Matriks functional trait pada penilaiansocial ecological system... 85

19. Matriks kesesuaian kawasan untuk wisata bahari ...94

20. Matriks kesesuaian kawasan untuk perikanan karang berskala kecil... 94

21. Hasil analisis kesesuaian wisata bahari...985

22. Hasil analisis kesesuaian daerah tangkapan ikan skala kecil...852

23. Contoh matriks pembobotan kriteria dalam penentuan prioritas pemanfaatan kawasan...85

24. Nilai bobot kriteria dan sub-kriteria pemanfaatan lahan...106 63

98 102

106 110


(17)

Halaman

1. Matriks kesesuaian pengembangan wisata bahari... 123

2. Matriks kesesuaian untuk Daerah Tangkapan Ikan Karang...12436

3. Data Terumbu Karang KBB 1... 125

4.... Data Terumbu Karang KBB 2... 12840

5. Data Terumbu Karang TA... 1302

6. Data ikan Karang... 132 135 136 137 140 142 144


(18)

(19)

1.1

1.11.11.1 LatarLatarLatarLatar BelakangBelakangBelakangBelakang

Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi peningkatan taraf hidup masyarakat. Kekayaan tersebut berupa sumber daya alam yang dapat pulih seperti ikan, terumbu karang, mangrove dan padang lamun; serta sumber daya alam yang tidak dapat pulih seperti gas, minyak bumi dan mineral. Kekayaan bahari yang juga berpotensi untuk dikembangkan berupa jasa kelautan seperti transportasi laut, industri maritim serta wisata bahari.

Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat penting di perairan pantai daerah tropis karena ekosistem ini mempunyai produktivitas primer yang sangat tinggi. Besarnya produktivitas primer di daerah terumbu karang dapat mencapai 10 kg C/m2/tahun, sedangkan di perairan lepas pantai hanya berkisar

antara 50 – 100 g C/m2/tahun (Supriharyono 2000). Keanekaragaman terumbu

karang Indonesia merupakan yang terkaya di dunia (Edinger et al.. 1998; Chou 2000); sehingga menempatkannya sebagai pusat keanekaragaman terumbu karang global (De Vantier et al.. 1998; Cesar 2000; Supriharyono 2000; Suharsono 2001). Ekosistem ini merupakan habitat dari biota-biota laut seperti ikan karang, moluska, krustasea, serta vegetasi laut. Secara langsung atau tidak langsung, ekosistem terumbu karang dimanfaatkan manusia, untuk berbagai keperluan hidupnya, antara lain sebagai tempat menangkap ikan, sumber pangan hewani, obat-obatan, bahan bangunan, pendidikan, dan kegiatan pariwisata. Hal ini disebabkan keragaman dan produktivitas yang tinggi sehingga ekosistem terumbu karang memiliki nilai estetika yang tinggi.

Tingginya tingkat intensitas pemanfaatan ekosistem terumbu karang membuat tekanan terhadap ekosistem ini semakin hari semakin berat. Selain itu fenomena alam seperti pemanasan global menyebabkan degradasi ekosistem terumbu karang terus terjadi dari waktu ke waktu. Terumbu Karang Indonesia dengan luasan sebesar 50,875 km2 yang merupakan 18 persen dari total seluruh terumbu karang di dunia (Burke et al.. 2002). Namun terumbu karang di bagian barat Indonesia dengan kondisi yang baik atau sangat baik (tutupan karang hidup


(20)

lebih dari 50%), hanya sekitar 23%, sedangkan di bagian timur Indonesia sekitar 45% (Burke et al.. 2002). Penangkapan dengan menggunakan bahan peledak dan bahan kimia beracun masih banyak dijumpai di beberapa daerah di Indonesia. Limbah Industri dan limbah rumah tangga serta pencemaran minyak juga mengancam kelestarian terumbu karang (Wilkinson 2008). Menghadapi hal tersebut, berbagai upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang telah dilakukan berbagai pihak seperti LSM, pemerintah, swasta serta perguruan tinggi.

Salah satu strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang lestari adalah dengan penempatan terumbu buatan. Terumbu buatan adalah suatu struktur bangunan buatan manusia atau alami yang ditempatkan di dasar perairan menyerupai terumbu karang alami, berfungsi sebagai habitat tempat berlindung, mencari makan dan berkembang biak dari berbagai biota laut termasuk ikan; yang kemudian diharapkan dapat menjadi daerah penangkapan ikan yang produktif.

Terumbu buatan memiliki beragam bentuk dan struktur yang memiliki fungsi yang berbeda. Di Perairan Ratatotok terumbu buatan yang digunakan adalah terumbu buatan yang berbentuk bola yang disebut reef ball. Penempatan terumbu buatan di dasar perairan berguna bagi organisme karang karena merupakan substrat buatan yang keras dan dirancang untuk memungkinkan terbentuknya habitat baru, serta memberi ruang baru bagi organisme karang untuk hidup dan membentuk koloni. Dalam siklus hidupnya, larva karang akan terbawa arus di kolom air dan pada akhirnya memilih substrat yang keras seperti reef ball

untuk melekat (settle-down). Selain itu terumbu buatan juga merupakan tempat berkumpulnya ikan-ikan karang.

Penempatan terumbu buatan di Perairan Ratatotok dan sekitarnya telah dilakukan pada tahun 1999 oleh perusahaan pertambangan emas yang saat itu beroperasi di daerah tersebut. Tujuan awal penempatan terumbu buatan ini adalah untuk membangun habitat yang dapat ditempati kembali oleh berbagai biota yang berasosiasi dengan karang sehingga dapat meningkatkan populasi ikan ekonomis penting. Program ini dilaksanakan karena masyarakat di sekitar perairan tersebut menganggap bahwa telah terjadi penurunan populasi ikan akibat semakin banyak lokasi terumbu karang yang telah rusak akibat praktek penangkapan ikan yang


(21)

selama ini (Kojansow 2002).

Peletakkan terumbu buatan di Perairan Ratatotok dan sekitarnya diharapkan berkontribusi penting dalam upaya pemulihan fungsi ekologis dari ekosistem terumbu karang yang ada di sekitarnya. Harapan ini telah terlihat dengan bertambahnya jumlah individu ikan di daerah tersebut pada beberapa pemantauan yang telah dilakukan (Kojansow 2002). Selain itu hasil penelitian Lantang (2005) menyimpulkan bahwa hasil inventarisasi dan identifikasi telah ditemukan 53 genera karang batu di lokasi tersebut, dimana 50 genera ditemukan pada terumbu karang alami dan 47 genera padareef ball.

Kehadiran ikan karang pada terumbu buatan baik ikan indikator maupun ikan target sangat penting secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, kehadiran ikan karang menjadi indikator kesehatan suatu ekosistem terumbu karang; sedangkan secara ekonomis, ikan karang merupakan sumber pangan hewani yang bernilai tinggi dan juga ikan hias yang dapat menjadi sumber pendapatan potensial bagi kehidupan manusia. Karena itu sangat tepat apabila terumbu buatan dapat dimanfaatkan bagi kegiatan ekowisata dan perikanan.

1.2 1.2

1.21.2 IdentifikasiIdentifikasiIdentifikasiIdentifikasi dandandandan PerumusanPerumusanPerumusanPerumusan MasalahMasalahMasalahMasalah

Aktivitas manusia baik di daratan maupun di lautan, merupakan faktor utama yang menimbulkan kerusakan pada ekosistem terumbu karang. Kerusakan yang ditimbulkan dapat secara langsung dan tidak langsung. Aktivitas yang menyumbang kerusakan langsung adalah penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan penambangan karang, sedangkan aktivitas manusia yang dapat menyebabkan kerusakan secara tidak langsung seperti penebangan hutan, pembuangan bahan pencemar ke sungai atau pantai serta konsumsi biota-biota tertentu secara berlebihan. Cesar (2000) mengemukakan lima aktivitas manusia yang merupakan ancaman terhadap terumbu karang di Indonesia, yaitu: penggunaan racun, penggunaan bom, penambangan karang, sedimentasi dan polusi, serta kelebihan eksploitasi.

Dampak kerusakan ekosistem terumbu karang terhadap produksi perikanan telah banyak dilaporkan. Diantaranya adalah hasil tangkapan ikan


(22)

karang dengan alat destruktif yang ilegal terus menurun drastis bahkan hasil tangkapan dengan penggunaan bom nampaknya tidak lagi menguntungkan secara ekonomis. Selain itu kerusakan terumbu karang juga telah mengakibatkan penurunan jumlah spesies ikan asosiasi disertai menurunnya daya tarik pariwisata serta hilangnya suatu ekosistem yang sangat berharga (Pet-Soede dan Erdmann 1998).

Salah satu upaya rehabilitasi ekosistem terumbu karang adalah penempatan terumbu buatan di dasar perairan. Kegiatan ini bertujuan untuk menciptakan habitat baru bagi organisme karang dan biota asosiasinya serta sebagai fish shelter bagi ikan-ikan karang. Peletakan terumbu buatan pada setiap lokasi yang berbeda telah membentuk suatu ekosistem dengan kondisi dan karakteristik yang berbeda. Hal tersebut disebabkan oleh karakter biofisik perairan seperti kondisi hidro-oseanografi dan kualitas perairan yang spesifik di setiap lokasi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan sejak tahun 1996, terumbu karang di perairan Ratatotok dalam kondisi yang bervariasi mulai dari kondisi miskin

(tutupan karang lebih kecil 25%), cukup (tutupan karang 25% - 49%) dan baik (tutupan karang 50% - 74%). Sebagian besar berada pada kondisi cukup

(Lalamentik et al.. 2005). Dengan kondisi seperti ini, terumbu karang di Perairan Ratatotok dijadikan masyarakat sebagai lokasi utama sebagai tempat penangkapan ikan, khususnya ikan karang. Kegiatan penangkapan yang dilakukan masyarakat di lokasi ini cukup intensif, mengingat mayoritas masyarakat merupakan nelayan tradisional sehingga aktivitas mereka sebagian besar dilakukan di wilayah terumbu karang Perairan Ratatotok.

Sebagai penyuplai utama perikanan bagi masyarakat pesisir, maka tekanan dari usaha perikanan terhadap terumbu karang Perairan Ratatotok cukup besar. Kondisi terumbu karang di perairan ini yang sebagian besar dikategorikan cukup

maka dikhawatirkan akan terjadi degradasi kondisi terumbu karang akibat tekanan tersebut. Untuk itu PT. Newmont Minahasa Raya (perusahan tambang emas yang beroperasi di Ratatotok) sejak tahun 1999 melakukan kegiatan peletakkan terumbu buatan dengan jenis reef ball di Perairan Ratatotok, di sekitar area terumbu karang yang dasar perairannya didominasi oleh pasir dan patahan karang.


(23)

menjadi tempat berkumpulnya ikan karang, yang diharapkan akan meningkatkan hasil yang diperoleh masyarakat dalam usaha penangkapan ikan.

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah :

o Bagaimana kondisi ekosistem terumbu karang setelah peletakkan terumbu buatan?

o Adakah perbedaan kondisi ekosistem pada kawasan berterumbu buatan dibandingkan dengan kawasan terumbu karang?

o Bagaimana potensi kawasan berterumbu buatan dalam pengembangan perikanan dan wisata bahari?

o Bagaimana skenario pengelolaan terpadu berkelanjutan yang dapat diterapkan pada ekosistem terumbu karang yang berterumbu buatan?

Untuk menjawab permasalahan tersebut, diperlukan suatu penelitian yang sistematis terhadap semua aspek yang berperan dalam kontribusi terumbu buatan dalam suatu konsep pengelolaan ekosistem terumbu karang. Skema kerangka pemikiran penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.


(24)

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran penelitian

Ekosistem

EkosistemEkosistemEkosistem TerumbuTerumbuTerumbuTerumbu KarangKarangKarangKarang

Terumbu karang & Berterumbu buatan

Kontribusi

Ekologi KontribusiSosial

SES Analysis

AnalisisBioekologi Nilai ManfaatLangsung

Kesesuaian Pemanfaatan

Kawasan

Multiple Criteria Decision Analysis

(MCDA) Kajian Prioritas

Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang

Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berbasis Terumbu Buatan yang Terpadu dan Berkelanjutan


(25)

1.3

1.31.31.3 TujuanTujuanTujuanTujuan dandandandan KegunaanKegunaanKegunaanKegunaan PenelitianPenelitianPenelitianPenelitian 1.3.1

1.3.1

1.3.11.3.1 TujuanTujuanTujuanTujuan PenelitianPenelitianPenelitianPenelitian

Tujuan utama dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan pola pengelolaan ekosistem terumbu karang berterumbu buatan di wilayah pesisir Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara khususnya pada pemanfaatan sektor wisata bahari dan perikanan karang skala kecil.

Secara rinci tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengkaji kontribusi ekologi dan sosial ekonomi terumbu buatan (reef ball)

terhadap ekosistem terumbu karang

2. Menganalisis potensi ekosistem berterumbu buatan (reef ball) bagi pengembangan wisata bahari dan perikanan.

3. Merumuskan strategi pengelolaan kawasan terumbu karang berterumbu buatan (reef ball) yang terpadu berkelanjutan.

1.3.2 1.3.2

1.3.21.3.2 KegunaanKegunaanKegunaanKegunaan PenelitianPenelitianPenelitianPenelitian

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberi manfaat kepada:

1. Masyarakat dan kalangan pengusaha dimana hasil penelitian ini dapat membuka wawasan dalam alternatif kegiatan pemanfaatan terumbu karang dan ekosistem pesisir yang lain secara berkelanjutan yang dapat dilakukan di kawasan pesisir Ratatotok

2. Pemerintah, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan terhadap bentuk pengelolaan termasuk upaya perlindungan dan rehabilitasi ekosistem pesisir khususnya sumberdaya terumbu karang di Kabupaten Minahasa Tenggara bahkan Sulawesi Utara pada umumnya yang dapat diterapkan oleh stakeholder terkait sehingga kesejahteraan masyarakat pesisir dapat ditingkatkan sekaligus kelestarian sumber daya alam juga dapat terus terjaga.

1.4. 1.4.


(26)

Kebaruan penelitian ini terletak pada pengelolaan kawasan berterumbu buatan yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Kontribusi ekologis dan ekonomis terumbu buatan dengan pendekatan kelimpahan ikan target

2. Kesesuaian kawasan berterumbu buatan untuk pengembangan minawisata bahari

3. strategi pengelolaan kawasan berterumbu buatan yang terpadu dan berkelanjutan


(27)

(28)

2.

2.

2.

2. TINJAUAN

TINJAUAN

TINJAUAN

TINJAUAN PUSTAKA

PUSTAKA

PUSTAKA

PUSTAKA

2.1

2.12.12.1 EkosistemEkosistemEkosistemEkosistem TerumbuTerumbuTerumbuTerumbu KarangKarangKarangKarang

Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang unik di antara ekosistem laut lainnya. Banyaknya keanekaragaman spesies dan tingginya produktivitas dari ekosistem ini menjadi ciri yang paling menonjol. Terumbu karang merupakan tempat asosiasi dari biota-biota laut seperti ikan, krustasea, ekinodermata, moluska, alga, sponge dan lain sebagainya. Terumbu karang merupakan habitat yang seluruhnya dibentuk dari hasil kegiatan biologis (Randal dan Mayers 1983; Suharsono 1996)

Pada dasarnya terumbu terbentuk dari endapan- endapan masif kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu.

yang hidup bersimbiosis dengan Zooxanthellae, dan sedikit tambahan dari alga kapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat (Bengen 2002) Karang batu yang merupakan komponen utama dalam pembentukkan struktur terumbu karang masuk dalam filum Cnidaria dan ordo Scleractinia.

Dalam kemampuan membentuk terumbu, maka biota karang dapat dibedakan sebagai karang hermatipik dan ahermatipik. Karang hermatipik adalah karang yang dapat membangun terumbu sedangkan karang ahermatipik adalah karang yang tidak dapat membangun terumbu (Veron 1986). Ordo Sceractinia adalah pembentuk terumbu karang yang paling dominan dalam pembentukan struktur terumbu karang (Randal dan Mayer 1983).

Faktor pertumbuhan sangat erat kaitannya dengan proses sekresi atau pengendapan dan pengerasan zat kapur dalam membentuk kerangka luar karang. Proses ini didefinisikan sebagai kalsifikasi yang dilakukan karang dalam pertumbuhannya (Barnes dan Chalker 1985). Laju kalsifikasi dan produksi kapur karang batu menjadi terumbu sangat bergantung pada keberadaan Zooxanthella. Kecepatan kalsifikasi tidak sama untuk tiap spesies. Karang batu bercabang umumnya kurang dari 2 cm/bulan sedangkan untuk karang batu massive umumnya 1 cm/tahun (Supriharyono 2000).


(29)

seksual terjadi melalui penyatuan gamet jantan dan betina dan membentuk larva bersilia yang disebut planula. Planula akan menyebar kemudian menempel pada substrat keras dan tumbuh menjadi polip. Kemudian polip tersebut akan melakukan pembiakan aseksual. Pembiakan aseksual dilakukan dengan cara fragmentasi, sehingga terbentuk polip-polip baru yang saling menempel sampai terbentuk koloni yang besar, dengan bentuk yang beragam sesuai jenisnya (Bengen 2000).

Perbedaan dan bentuk pertumbuhan pada karang sangat jelas terlihat pada karang yang hidup di daerah dengan profil dasar miring (slope). Karang pada bagian atas kemiringan akan membentuk semacam kantong sebagai akibat adanya gelombang. Pada bagian bawah kemiringan dimana gerakan gelombang sangat kurang, koloni karang akan menjadi lebih besar dan lebih banyak jenis dan bentuknya. Pada bagian lain yang lebih dalam dimana tidak terdapat gerakan gelombang sama sekali tetapi masih ada penetrasi cahaya, bentuk koloni menjadi berbeda dan beragam bentuknya serta bentuk percabangan menjadi lebih banyak (Veron 1986). Dalam bentuk pertumbuhannya, penurunan intensitas cahaya yang disebabkan oleh pertumbuhan kedalaman akan membuat bentuk morfologi karang yang biasanya menggunduk di daerah dangkal berubah bentuk menjadi datar di daerah yang lebih dalam (Hubbard 1997).

Keberadaan karang dalam suatu perairan sangat ditentukan oleh kondisi lingkungannya. Veron (1995) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1999) mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-30C di atas suhu normal.

Selain perubahan suhu, perubahan pada salinitas juga akan mempengaruhi terumbu karang. McCook (1999) menjelaskan bahwa curah hujan yang tinggi dan


(30)

aliran material permukaan dari daratan (mainland run off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth)terhadap karang.

Spesies karang yang membentuk terumbu hanya terdapat di daerah tropis meskipun ada beberapa diantaranya yang dapat dijumpai dari lautan subtropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10 0C. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang

dari 10 m dan suhu sekitar 25 0C sampai 290C. Sifat hidup inilah maka terumbu

karang banyak dijumpai di Indonesia yang memiliki kondisi perairan yang sesuai dengan faktor pembatas pertumbuhan karang. (Hutabarat dan Evans, 1984).

Selanjutnya Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe umum yaitu :

a.Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef) b.Terumbu karang penghalang (Barrier reef) c.Terumbu karang cincin (atoll)

Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai diperairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono, 1998). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang sebagai berikut :

1) Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh keatas atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat.

2) Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef ) terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan merupakan penghalang bagi


(31)

berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil.

3) Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (lagoon). Kedalaman goba didalam atol sekitar 45m jarang sampai 100m seperti terumbu karang penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan.

Cesar (2000) menyatakan bahwa fungsi ekosistem terumbu karang yang mengacu kepada habitat, biologis atau proses ekosistem sebagai penyumbang barang maupun jasa. Untuk barang merupakan yang terkait dengan sumberdaya pulih seperti bahan makanan yaitu ikan, rumput laut dan tambang seperti pasir, karang. Sedangkan untuk jasa dari ekosistem terumbu karang dibedakan :

1.Jasa struktur fisik sebagai pelindung pantai.

2.Jasa biologi sebagai habitat dan dan suport mata rantai kehidupan. 3.Jasa biokimia sebagai fiksasi nitrogen.

4.Jasa informasi sebagai pencatatan iklim.

5.Jasa sosial dan budaya sebagai nilai keindahan, rekrasi dan permainan

Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak langsung. Ekosistem terumbu karang banyak meyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, moluska dan krustasea bagi masyarakat yang hidup dikawasan pesisir. Selain itu bersama dengan ekosistem pesisir lainnya menyediakan makanan dan merupakan tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Selain itu ekosistem terumbu adalah bagian dari ekosistem laut yang memiliki peranan penting dalam kesimbangan ekosistem. Terumbu karang juga merupakan komponen pelindung pantai dan arus, terpaan ombak dan gelombang, pencegah erosi, dan perangkap sedimen dan secara kimiawi dalam bentuk transfer aliran bahan organik terlarut serta partikel. Manfaat lainnya adalah sebagai sumber bahan obat-obatan, bahan untuk budi daya, serta sebagai bahan bangunan. (Nagelkerken et al.. 2000; Moriniere et al.. 2002; Dorenbosch et al.. 2004; Dorenbrosch et al.. 2006; Nakamura et al.. 2007; Nakamura dan Tsuchiya 2008; Kordi 2010).

Ekosistem terumbu karang tidak hanya memiliki nilai ekologis tetapi juga nilai ekonomi khususnya bagi industri wisata bahari. Semakin berkembangnya industri wisata bahari semakin menambah jumlah wisatawan yang tertarik pada


(32)

wisata selam dan snorkeling untuk menikmati keindahan dan panorama terumbu karang.

Dahuri (1996) mencatat bahwa dari perairan yang terdapat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 30 m setiap kilometer perseginya terkandung ikan sebanyak 15 ton. Sementara itu Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang, memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi banyak biota laut.

Indonesia yang diperkirakan memiliki terumbu karang dengan luas sektar 50.000 km2 mengandung kekayaan sumberdaya ikan yang cukup tinggi. Hal ini

disebabkan oleh produktivitas primer perairan terumbu karang yang tinggi. Menurut Salm (1984) dalam Supriharyono (2000), bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan Indonesia berasal dari daerah karang. Akan tetapi dengan potensi tersebut membuat aktivitas manusia dalam rangka pemanfaatan sumberdaya seringkali telah melebihi daya dukung dan mengakibatkan kerusakan ekosistem terumbu karang. Menurut Supriharyono (2000) beberapa aktivitas pemanfaatan terumbu karang yaitu :

1) Perikanan terumbu karang

Masalah perikanan merupakan bagian dari ekosistem bahkan keanekaragaman karang dapat mencerminkan keanekaragaman jenis ikan. Semakin beragam jenis terumbu karang akan semakin beraneka ragam pula jenis ikanyang hidup di ekosistem tersebut. Oleh karena itu masalah perikanan tidak bisa diabaikan pada pengelolaan ekosistem terumbu karang. Dengan meningkatnya jumlah penduduk saaat ini maka jumlah aktivitas penangkapan ikan di ekosistem terumbu karang juga meningkat. Apabila hal ini dilakukan secara intensif, maka kondisi ini memungkinkan terjadinya penurunan stok ikan di ekosistem terumbu karang. Keadaan ini akan memakan waktu lama untuk bisa pulih kembali. Pengelolaan yang efektif harus didasarkan pada pengetahuan biologis target spesies, sehingga teknik penangkapan yang tepat dapat ditentukan. Pengelolaan terumbu karang ini cenderung lebih banyak ditekankan pada pengambilan karang atau aktivitas manusia seperti pengeboman ikan karang, dan yang lainnnya secara tidak langsung dapat merusak karang.


(33)

2) Aktivitas Pariwisata Bahari

Untuk menjaga kelestarian potensi sumberdaya hayati daerah-daerah wisata bahari, maka di Indonesia telah dibentuk suatu kerja sama pengembangan kepariwisataan (Tourism Development Coorporation) yang modalnya berasal dari dari para investor lokal, pemerintah lokal dan regional dan masyarakat. Badan kerjasama pariwisata dapat dijumpai di Nusa Dua Bali. Adapun tugas badan ini diantaranya adalah

• Menjaga daya tarik masyarakat terhadap pengembanganpariwisata . • Membantu pengusaha menempati kebijaksanaan– pemerintah • Pengadaaan dana pinjaman untuk pembangunan infra struktur.

• Pemanfaatan taman laut untuk tujuan wisata pada umumnya diperoleh melalui agen-agen pariwisata dan scuba diving .Namun kedua agen atau organisasi tersebut lebih mementingkan profit daripada harapan konservasi yaitu pelestarian sumberdaya alam laut. Sebagai akibatnya aktivitas mereka sering menimbulkan hal- hal yang tidak diinginakan atau bertentangan dengan nilai estetika atau daya dukung lingkungan laut.

3) Aktivitas Pembangunan Daratan

Aktivitas pembangunan di daratan sangat menentukan baik buruknya kesehatan terumbu karang. Aktivitas pembangunan yang tidak direncanakan dengan baik di daerah pantai akan menimbulkan dampak terhadap ekosistem terumbu karang. Beberapa aktivitas seperti pembukaan hutan mangrove, penebangan hutan, intensifikasi pertanian, bersama-sama dengan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang jelek umumnya akan meningkatkan kekeruhan dan sedimentasi di daerah terumbu karang.


(34)

Aktivitas pembangunan di laut, seperti pembangunan darmaga pelabuhan, pengeboran minyak, penambangan karang, pengambilan pasir dan pengambilan karang dan kerang untuk cinderamata secara langsung maupun tidak langsung akan membahayakan kehidupan terumbu karang. Konstruksi pier dan pengerukan alur pelayanan menaikkan kekeruhan demikian juga dengan eksploitasi dan produksi minyak lepas pantai, selain itu tumpahan minyak tanker juga membahayakan terumbu karang seperti yang terjadi di jalur lintasan international.

Aktivitas pembangunan di wilayah pesisir, seperti pertanian, industri, pengerukan pantai, penangkapan ikan yang bersifat destruktif, peristiwa alam seperti badai, tsunami, gempa bumi dan kenaikan suhu air laut dapat menjadi penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang (Pandolfi et al. 2003; Fabricius 2005; Hoegh-Guldberg 1999). Kordi (2010) mencatat tsunami dahsyat yang melanda Samudra Hindia pada tahun 2004 menimbulkan kerusakan terumbu karang hingga 5%.

Faktor predasi juga dapat menjadi penyebab rusaknya terumbu karang. Beberapa jenis biota yang merupakan predator karang di Indo Pasifik adalah

Acanthaster planci, beberapa jenis bulu babi seperti Echinometra mathei dan

Diadema setosum.

Tingginya tekanan terhadap ekosistem terumbu karang menyebabkan ekosistem ini terus mengalami penurunan; baik kuantitas, kualitas maupun estetikanya. Kerusakan ekosistem terumbu karang khususnya karena aktivitas manusia disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa diantaranya yaitu:

1. Kemiskinan masyarakat pesisir

Diperkirakan sekitar 3,5 juta masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya perikanan, terutama sebagai penangkap ikan atau nelayan. Nelayan kecil atau tradisional dan buruh nelayan merupakan kelompok terbesar dengan pendapatan rendah atau miskin. Nelayan kecil dan tradisional melakukan penangkapan ikan disekitar pantai karena perahu/kapal dan alat tangkap yang sederhana dan jangkauan terbatas. Nelayan-nelayan miskin ini sering digunakan oleh pemilik modal untuk melakukan penangkapan ikan dengan alat dan bahan tangkap yang merusak terumbu karang.


(35)

Nelayan pengumpul dan eksportir ikan karang adalah pengusaha yang memiliki modal. Kebutuhan ikan karang yang terus meningkat di negara-negara penerima serta persaingan yang ketat mendorong penggunaan berbagai cara untuk mendapatkan bahan baku untuk diekspor. Banyak pedagang pengumpul yang membayar di muka kepada nelayan penangkap. Cara ini memaksa nelayan menggunakan segala cara untuk mendapatkan ikan, termasuk dengan menggunakan alat tangkap yang merusak terumbu karang seperti bahan kimia dan bahan peledak.

3.Kepadatan penduduk di pesisir

Dari 67.439 desa di Indonesia, sekitar 9.261 desa dikategorikan sebagai desa pantai atau desa pesisir. Desa-desa pesisir dan pulau kecil adalah kantong kemiskinan yang potensial dengan permasalahan yang kompleks. Kepadatan penduduk pesisir ditambah dengan aktivitas pemanfaatan sumber daya yang demikian banyak merupakan salah satu penyebab rusaknya terumbu karang. Penduduk pesisir melakukan aktivitas penangkapan ikan di terumbu karang, melakukan penambangan karang, dan menghasilkan berbagai limbah yang masuk ke ekosistem terumbu karang.

Penduduk menjadikan wilayah pesisir sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah. Demikian pula perusahan seperti pertambangan yang membuang limbahnya ke wilayah pesisir. Permasalahan limbah selalu menjadi masalah serius manakala persoalan ekologi diperhadapkan dengan persoalan ekonomi.

4. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat

Sekalipun Indonesia adalah negara maritim dan negara kepulauan, pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai pesisr, laut dan ekosistem di dalamnya masih minim. Faktor inilah yang turut menjadi penyebab rusaknya ekosistem terumbu karang.

5.Lemahnya penegakan hukum

Aktivitas yang menyebabkan kerusakan suatu ekosistem adalah tindakan melanggar hukum. Akan tetapi kurangnya jumlah aparat, kurangnya pengawasan dan ringannya hukuman seolah menyebabkan para pelaku pelanggaran lolos dari hukum.


(36)

2.2

2.22.22.2 TerumbuTerumbuTerumbuTerumbu BuatanBuatanBuatanBuatan

Terumbu buatan adalah satu atau lebih obyek yang alami atau buatan manusia yang dengan sengaja ditempatkan di dasar laut untuk mempengaruhi fisik, proses biologis, atau sosial ekonomi yang berkaitan dengan sumber daya hayati laut (Seaman & Jensen 2000). Terumbu buatan didefinisikan oleh EARRN sebagai suatu struktur yang dengan sengaja ditempatkan di dasar perairan, dan meniru beberapa karakteristik terumbu karang alami (Pickeringet al.1998). Akan tetapi pada perkembangannya, saat ini terumbu buatan tidak saja diartikan pada objek yang ditempatkan secara sengaja di dasar perairan tapi juga yang secara tidak sengaja seperti kapal yang tenggelam. Berbagai bahan telah digunakan untuk membangun terumbu karang buatan, termasuk karang transplantasi dan substrat lainnya seperti; ban, beton, batu, lambung kapal, kendaraan, rig minyak, bahan limbah lainnya dan modul cetakan yang dirancang untuk suatu tujuan tertentu sepertireef ball(Lukens 1997, Jensen 1998).

Saat ini sekurang-kurangnya 40 negara di dunia telah mengembangkan teknologi terumbu buatan. Sebagai contohnya Jepang sebagai ‘global leader’ dalam pengembangan terumbu buatan untuk tujuan perikanan komersial (Simmard 1997) serta Amerika Serikat dan Canada yang mengkreasikan terumbu buatan yang diperuntukan untuk kegiatan pariwisata khususnya untuk menyelam dan memancing (Jones & Welsford 1997).

Tujuan dari terumbu buatan di seluruh dunia dapat dikategorikan menjadi (1) pembentuk habitat, (2) peningkatan fungsi ekosistem, (3) perbaikan kembali atau perlindungan. Selain itu, struktur yang dirancang untuk fungsi lain (seperti dermaga dan ponton) dapat berfungsi juga sebagai terumbu buatan.

Adapun fungsi ekologis terumbu buatan, antara lain:

a. Menciptakan habitat baru

Dalam beberapa kasus menunjukan bahwa terumbu buatan dapat meningkatkan kelimpahan ikan karena ketersediaan shelter (tempat berlindung), dimana sumber bahan makanan yang ada di terumbu kurang penting bagi ikan yang menempatinya (Miller dan Falace 2000). Ikan-ikan tersebut mencari makan di daerah yang luas, termasuk di habitat dasar pasir dan berumput yang berdekatan. Oleh karena itu, pendugaan produktivitas primer dan produktivitas sekunder yang


(37)

mengestimasi jumlah makanan yang tersedia untuk mendukung produktivitas sekunder ikan-ikan yang menetap di terumbu.

Alasan utama penempatan terumbu buatan adalah untuk memperbaiki, meningkatkan atau mempertahankan sumber daya perikanan pada suatu daerah tertentu. Bortone et al.. (2000) mengilustrasikan bagaimana terumbu buatan mempengaruhi sumber daya perikanan melalui penambahan area permukaan bagi pelekatan organisme grazer dan filter feeder sebagai dasar transfer energi yang diperoleh dari kolom air ke tubuh ikan yang berasosiasi dengan terumbu dan predator mikroinvertebrata. Jadi, evaluasi pengaruh terumbu terhadap sumber daya perikanan dapat didasarkan pada sifat biologi sumber daya perikanan tersebut, diantaranya adalah kelimpahan ,ukuran dan biomassa, serta keragaman relatif spesies.

b. Meningkatkan biomassa ikan

Pertanyaan apakah terumbu buatan dapat memberikan kontribusi terhadap produksi baru stok ikan target, sampai saat ini masih merupakan kontroversi (Bohnsack et al.. 1997; Miller dan Falace 2000). Dua mekanisme yang sering disebutkan bahwa terumbu buatan dapat meningkatkan populasi ikan yaitu: (1) jika shelter membatasi populasi ikan maka tambahan shelter yang diberikan oleh terumbu buatan akan dapat mengumpulkan sumber daya ikan lebih banyak dari daerah pantai untuk masuk ke dalam biomassa ikan, dan tingkat dimana mekanisme ini dapat menaikkan populasi ikan akan sangat bergantung pada jumlah makanan yang tersedia pada substrat, habitat dan perairan sekitarnya; (2) jika makanan membatasi populasi ikan, maka produksi primer baru dan produksi sekunder organisme benthik yang didukung oleh terumbu buatan akan menyokong rantai makanan baru yang pada akhirnya akan meningkatkan biomassa ikan.

Oleh karena itu penciptaan terumbu buatan baru yang terencana baik dapat memberikan shelter alternatif dimana diharapkan akan merekrut juvenil dan ikan-ikan muda kemudian memperbesar keseluruhan populasi ikan-ikan (Rilov dan Benayahu 1998).

Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi asosiasi ikan di terumbu karang dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok besar yaitu faktor


(38)

abiotik dan faktor biotik ( Bortone et al.. 2000), dimana faktor-faktor tersebut dapat saling berinteraksi antara satu dengan lainnya. Faktor abiotik merupakan variabel yang lebih mudah dipahami jika disusun dalam dua kelompok yang berbeda, yaitu faktor lingkungan dan faktor terumbu karang buatan itu sendiri. Pembedaan ini penting untuk mendeterminasi faktor-faktor yang dapat dikontrol di terumbu karang buatan, dan bagaimana mereka berinteraksi dengan faktor-faktor yang tidak dapat dikontrol sehingga hasilnya dapat digunakan untuk meningkatkan desain terumbu buatan. Faktor-faktor lingkungan umumnya tidak dapat dimanipulasi dengan mudah dalam proses desain, konstruksi dan penebaran terumbu jika dibandingkan dengan faktor atribut terumbu karang buatan. Oleh karena itu diperlukan pilihan-pilihan kondisi lingkungan yang dapat memaksimalkan potensi terumbu karang buatan.

Faktor biotik sebagai variabel dependen dapat dikategorikan ke dalam tiga tipe utama yaitu individual, populasi, dan komunitas (Bortoneet al.. 2000). Faktor biotik dalam beberapa kasus dapat diperlakukan sebagai variabel independen sebagai contoh: jumlah tutupan alga dibarengi jumlah ekinodermata dapat digunakan sebagai variabel prediktif untuk menjelaskan kehadiran, kelimpahan dan kondisi ikan dan makro invertebrata herbivora yang dikenal dengan

associated biotic variables.

Kehadiran spesies di terumbu buatan dapat diklasifikasikan sebagai

resident, visitor dan transient (Bohnsack 1989). Resident cenderung tinggal pada struktur untuk waktu yang lama sejak penempatannya. Visitor menggunakan habitat buatan untuk waktu yang singkat atau musiman. Sedangkan transient

adalah spesies yang mendekati habitat buatan tetapi tidak berespon terhadap perbedaan sekitar struktur habitat. Walaupun kehadiran spesies visitor dan

transient hanya singkat, namun berpotensi besar berperan sebagai predator dan kompetitor (Bohnsack et al.. 1991). Sebagai contoh ikan transient yaitu ikan layang/mackarel (Decapterus macarellus) dapat hadir dalam jumlah besar dan berperan penting sebagai predator terhadap telur dan larva ikan sehingga mempengaruhi rekruitmen, dan sebagai kompetitor pada sumber makanan planktonik. Tingkah laku ikan dapat berbeda di antara terumbu, misalnya suatu spesies mungkin resident pada terumbu yang besar, tetapi hanya visitor pada


(39)

memadai untuk mendukung suatu populasi permanen; atau dapat juga ikan berpindah-pindah antara habitat terumbu yang berdekatan.

Organisme laut berdasarkan posisi relatif atau ketergantungan relatifnya terhadap struktur karang buatan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori (Hagino 1991) yaitu: 1) Tipe A terdiri dari ikan-ikan dasar yang cenderung mempunyai kontak fisik dengan karang dan sering menempati celah, lubang dan ruang internal di karang; 2) Tipe B adalah ikan atau organisme yang tidak mempunyai kontak fisik dengan karang, tetapi berenang di sekitar karang, atau tetap mempertahankan posisinya di dasar perairan sekitar karang; dan diduga mereka berhubungan dengan karang lewat penglihatan dan suara atau pendengaran; 3) Tipe C adalah ikan-ikan yang ditemukan berenang di atas karang pada pertengahan perairan atau daerah pelagis pada jarak tertentu dari karang.

Karakteristik komunitas ikan di daerah karang ditunjukan oleh keragaman species yang tinggi; dimana keragaman spesies, struktur tropik, densitas total dan biomasa ikan karang, adalah merupakan parameter-parameter yang menjelaskan suatu struktur komunitas ikan. Selain pengaruh aktivitas perikanan, komunitas ikan karang dibentuk oleh tiga proses ekologi yaitu persaingan, makanan, ruang yang menentukan keragaman ikan, dan densitas ikan (Pet-Soedeet al.. 2000).

c. Melindungi habitat dan konservasi

Terumbu buatan telah digunakan sebagai penghalang fisik untuk masuk ke daerah-daerah tertentu yang dilindungi, terutama untuk mempertahankan habitat alami dan mengontrol fishing mortality. Terumbu buatan telah dirancang khusus untuk mengatasi kerusakan padang lamun akibat ilegal trawling di Eropa seperti Itali, Prancis, dan Spanyol (Seaman dan Jensen 2000).

Terumbu buatan juga telah digunakan untuk memperbaiki kerusakan habitat perairan akibat kegiatan manusia seperti kelp beds di lepas pantai California karena limbah dari stasiun pembangkit listrik. Terumbu buatan bentuk kotak beton berongga telah ditebarkan di perairan Pantai Monako sebagai subtrat kolonisasi karang merah, Corallium rubhrum (Allemand et al.. 1999 in Seaman dan Jensen 2000).


(40)

Organisme laut yang filter-feeder atau suspention-feeding mempunyai potensi yang baik untuk memperbaiki kualitas perairan di daerah eutrofikasi tinggi dan konsentrasi partikel terlarut yang padat. Organisme laut tersebut terdiri dari berbagai jenis kerang seperti mussels, oyster dan clam. Namun, kelimpahan organismefilter feederdi suatu perairan sangat dibatasi oleh ketersediaan substrat keras sebagai habitatnya. Terumbu buatan merupakan salah satu alternatif yang memadai sebagai habitat, untuk meningkatkan hunian dan populasi organisme

filter feeder yang akan menyaring air, sehingga dapat memulihkan kembali kualitas perairan yang dianggap sudah tercemar. Terumbu buatan sudah digunakan di berbagai negara sebagai habitat budidaya bivalvia untuk tujuan

recycling nutrient dan bahkan secara simultan dapat memberikan manfaat sebagai proteksi habitat produksi ikan-ikan komersil dan budidaya kerang-kerangan (Seaman dan Jensen 2000)

Selain beberapa fungsi tersebut diatas, terumbu buatan juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan sebagai berikut;

a. Sebagai substrat untuk komoditi ekspor

Meningkatnya permintaan pasar luar negeri terhadap ekspor karang hias membuat tekanan terhadap ekosistem ini semakin besar. Olehnya budidaya karang hias dengan menggunakan modul terumbu buatan sebagai media transplantasi dapat menjadi solusi terbaik. Diharapkan dengan cara ini, dapat mengurangi pencurian karang dari habitat alami yang akan sangat mempengaruhi keseimbangan ekosistem secara keseluruhan.

b. Sebagai objek wisata dan pendidikan

Terumbu buatan juga dapat mendukung kegiatan wisata atau pendidikan dan penyadaran masyarakat yang membutuhkan akses yang mudah dan aman ke terumbu. Selain itu dapat mengurangi tekanan akibat penyelam pada terumbu alami di kawasan yang padat pengunjung. Beberapa tempat peristirahatan telah membuat terumbu buatan yang menarik untuk para penyelam perdana dengan kemampuan pengendalian daya apung yang rendah, sehingga mengurangi tekanan terhadap terumbu alami (kemungkinan mencapai 10% jika tiap penyelam mengunjungi lokasi tersebut paling tidak seminggu sekali) (Edward dan Gomez 2008). Bagi fungsi pendidikan, habitat terumbu buatan dapat digunakan untuk


(41)

sampel di luar habitatnya.

Tujuan lain dari pengembangan teknologi terumbu buatan adalah untuk (1) mitigasi atau kompensasi dari hilangnya habitat di suatu tempat (Muir 1995); (2) marikultur (Bombace 1989), (3) restorasi dari kerusakan habitat (Hudson 2004, Loh & Chou 2004); (4) perlindungan habitat (Lok 2002) dan (5) sebagai area ‘no take zone’ untuk tujuan restorasi perikanan pada beberapa area yang telah ‘over-fishing’ seperti di Hongkong (Wilsonet al.2002).

Keberadaan terumbu buatan tidak hanya berpengaruh pada kondisi ekologis alam, namun berpengaruh juga terhadap secara sosial ekonomi masyarakat yang ada di sekitarnya. Olehnya evaluasi sosial ekonomi akan sangat bermanfaat untuk para pengambil kebijakan dalam menunjukan wujud manfaat dari terumbu buatan serta menyediakan informasi yang penting untuk pemanfaatan terumbu buatan (Seaman 2000).

Pengumpulan data sosial ekonomi dan evaluasi juga merupakan bagian integral dari strategi adaptive management bagi sumber daya. Gambar 2 menunjukkan kerangka umum untukadaptive managementdari terumbu buatan.

Tujuan Penelitian KEBIJAKAN SOSIAL

Artificial Reef

EKOLOGI

Hipotesis Proses/Respon Hipotesis Proses/ResponSOSIAL

Pilihan Implementasi Pemantauan dan Evaluasi Fisika, Kimia, dan Respon

Sistim Sosial R es po n A da pt if da n Fe ed ba

ck Resp

on A da pti fd an Fe ed ba ck


(42)

Gambar 2 Kerangkaadaptive managementuntuk penelitian terumbu buatan (dimodifikasi dari Seaman 2000)

Tujuan atau sasaran kebijakan untuk pengembangan terumbu buatan akan tampak pada beragam instansi pemerintah. Sebagai contoh kebijakan alternatif yang ditujukan bagi kajian sosial adalah meningkatkan kegiatan perikanan di dekat pantai. Hal ini dapat dijelaskan dalam konteks penelitian atau studi mengenai produktivitas dancost-benefit analysisdari potensi material serta lokasi peletakan terumbu buatan. Desain dan interpretasi dari tujuan penelitian dapat dipertajam oleh pemahaman peneliti akan adanya keterkaitan dampak ekologis dan sosial dari sistem terumbu buatan serta keberpihakan pengambil kebijakan terhadap capaian tujuan sosial yang spesifik.

Proses adaptive management juga menyediakan forum yang bermanfaat bagi stakeholder untuk menyuarakan aspirasi mereka dalam pengembangan terumbu buatan. Misalnya dalam kegiatan perikanan dan kelompok olahraga selam dapat menyediakan suatu sarana publik dan mengikuti sasaran atau tujuan dalam partisipasi untuk monitoring dan evaluasi pada terumbu karang. Sebagai tambahan juga informasi sosial ekonomi mengenai terumbu buatan yang terdokumentasi dengan baik dapat menjadi pelajaran bagi pihak luar yang bukan pengguna mengenai jasa atau manfaat yang dihasilkan oleh sumber daya pesisir (Seaman 2000).

2.3

2.32.32.3 ReefReefReefReef ballballballball

Reef ballmerupakan salah satu bentuk terumbu buatan yang dibuat dengan tujuan memulihkan terumbu karang yang mengalam degradasi fungsi ekologi dan untuk menciptakan areal penangkapan ikan yang baru, serta sarana untuk diving.

Reef ball juga digunakan sebagai pemecah ombak dan pelindung pantai (Mead & Black 2002). Reef balladalah satu-satunya terumbu buatan yang penempatannya di laut dapat ditarik oleh perahu. Intinya reef ball ini didesain sebagai tiruan dari sistem terumbu alami dan digunakan di seluruh dunia untuk menciptakan habitat baru bagi ikan dan organisme laut lainnya (www.reefball.com).

Reef ball didesain secara khusus dengan alat cetak dari fiberglass dan beberapa pelampungpoliform; dengan ukuran yang bervariasi dan bahan material


(43)

stabil karena bagian atas berlubang, berbentuk seperti kubah serta terdapat lubang pada bagian sisi. Reef ball dibuat supaya tahan terhadap pergerakan arus dan kekuatan gelombang yang dapat menimbukalan kerusakan.

Bahan dasar pembuatan reef ball adalah pasir kerikil dan semen yang ditambahkan silika atau mikro silika. Bahan tersebut berfungsi untuk mempertahankan daya tahan reef ball dan menjaga agar pH tetap sama dengan pH perairan. Kadar pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dari air laut normal dapat menghambat pertumbuhan biota laut termasuk planula karang. Selain itu ada juga bahan gula yang berfungsi supaya hasil cetakan tidak melekat pada alat cetak fiberglassdan untuk menciptakan pori-pori pada dinding reef ballsehingga mempermudah pelekatan mikro alga dan planula karang. Pada saat reef ball

dilepaskan ke laut, gula akan mencair sehingga terbentuklah tekstur permukaan

reef ball(Warzecha 1997)

Reef ball dirancang untuk berada pada satu posisi pada dasar perairan. Bentuk kubah dari reef ball yang menjadi kunci kestabilannya. Ukuran berat dari reef ball dapat disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan dimana ditempatkan (Gambar 3). Konstruksi ini telah telah terbukti cukup stabil pada cuaca yang buruk. Di Florida dilaporkan bahwa 180 unit reef ball yang ditempatkan pada kedalaman 2-3 m mampu bertahan dari hantaman badai sementara lingkungan sekitarnya rusak tapi reef ball tetap pada posisinya (Reef Ball Development in


(44)

Gambar 3. Reef ball dengan beragam ukuran

Konstruksi reef ball terdiri dari beberapa spesifikasi yang ditampilkan pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1 SpesifikasiReef Ball

Nama Lebar Tinggi Berat Jumlah

lubang

Goliath Ball 1,83 m 1,52 m 1800-2700 kg 25 - 40

Super Ball 1,83 m 1,37 m 1800-2700 kg 22 – 34

Ultra Ball 1,83 m 1,31 m 1600-2000 kg 22 – 34

Reef Ball 1,83 m 1,22 m 1350-1900 kg 22 – 34

Pallet Ball 1,22 m 0,9 m 700-1000 kg 17 – 24

Bay Ball 0,9 m 0,61 m 170-340 kg 11 – 16

Mini-Bay Ball 0,76 m 0,53 m 70-90 kg 8 – 12

Lo-Pro Ball 0,61 m 0,46 m 35-60 kg 6 – 10

Oyster Ball 0,46 m 0,30 m 15-20 kg 6 - 8

2.4

2.42.42.4 MinawisataMinawisataMinawisataMinawisata BahariBahariBahariBahari

Sumberdaya ikan (SDI) merupakan salah satu potensi yang ada di kawasan ekosistem pesisir termasuk pada ekosistem terumbu karang. Kegiatan perikanan, konservasi dan wisata bahari saat ini sudah berjalan namun masing-masing terkesan berjalan sendiri-sendiri dan tidak sinergis. Pengelolaan SDI di kawasan pariwisata seringkali masih menimbulkan konflik, demikian pula dengan pemanfaatan perikanan di kawasan konservasi yang sering menimbulkan masalah. Untuk memperoleh manfaat optimal pendayagunaan sumberdaya perikanan dan pariwisata tersebut, maka pembangunan perikanan dan kepariwisataan bahari perlu diterjemahkan dalam konsep yang lebih terpadu.

Konsep dimaksud adalah Minawisata Bahari yang dapat dikembangkan pada ekosistem pesisir yang memiliki potensi dan peluang pengembangan wisata bahari dan perikanan, termasuk di kawasan konservasi. Eksistensi sumberdaya


(45)

menjadi kekuatan dan nilai jual program minawisata.

Minawisata adalah pemanfaatan kawasan wisata dengan pengembangan produksi perikanan untuk mencapai ketertarikan masyarakat pengguna akan pengembangan perikanan pada kawasan wisata tersebut. Dengan kata lain, Minawisata adalah pengembangan kegiatan perekonomian masyarakat dan wilayah yang berbasis pada pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan, perikanan dan pariwisata secara terintegrasi pada suatu wilayah tertentu. Pada tahap awal, Minawisata dikemas dalam bentuk satu program pemberdayaan masyarakat pesisir melalui pendayagunaan potensi sumberdaya perikanan dan pariwisata berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip-prinsip tersebut yaitu; emisi karbon yang rendah, ramah lingkungan, sesuai daya dukung dan daya tampung, konservasi (penggunaan sumberdaya secara efisien), berbasis sumberdaya lokal, dan pelibatan stakeholders lokal terkait (Dermawan dan Aziz, 2012).

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, disebutkan bahwa Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu system bisnis perikanan. Dalam sistem bisnis perikanan, seringkali digunakan kata Mina untuk menggantikan kata Perikanan yang pada hakekatnya mengandung pengertian yang sama dengan kata perikanan itu sendiri. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat nelayan dan juga masyarakat lainnya yang hidup di wilayah pesisir.

Wisata merupakan satu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Berdasarkan konsep pemanfaatannya, wisata dapat diklasifikasikan alam 3 (tiga) bentuk (Fandeli, 2000; META, 2002) yaitu :


(46)

1. Wisata Alam (Nature Tourism); merupakan aktivitas wisata yang ditujukan pada pengalaman tehadap kondisi alam atau daya tarik panoramannya.

2. Wisata Budaya (Cultural Tourism);merupakan wisata dengan kekayaan budaya sebagai objek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan. 3. Ekowisata (Ecotourism, Green Tourism, Altenatif Tourism); merupakan

wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam atau lingkungan dan industri kepariwisataan.

Istilah ecotourism diterjemahkan menjadi ekowisata, yaitu jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan. maksudnya melalui aktivitas yang berkaitan dengan alam dan lingkungan sehingga membuat orang tergugah untuk mencintai alam. Sedangkan ekowisata bahari merupakan kegiatan pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut (META 2002 in Yulianda 2007). Wood (1999) in Yulianda (2007) mendefinisikan ekowisata merupakan bentuk baru dari perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah alami dan berpetualang, serta dapat menciptakan industri pariwisata.

Pengelolaan ekowisata bahari merupakan suatu konsep pengelolaan yang memprioritaskan kelestarian dan memanfaatkan sumber daya alam dan budaya masyarakat. Konsep pengelolaan ekowisata tidak hanya berorientasi pada keberlanjutan tetapi juga untuk mempertahankan nilai sumber daya alam dan manusia. Agar nilai-nilai tersebut terjaga maka pengusahaan ekowisata tidak hanya melakukan eksploitasi sumber daya alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan budaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan fisik, pengetahuan dan psikologis pengunjung. Dengan demikian ekowisata bukan menjual tempat (destinasi) atau kawasan melainkan menjual filosofi. Hal ini membuat ekowisata mempunyai nilai lestari dan tidak akan mengenal kejenuhan pasar. Meskipun pasar sangat menetukan pengembangan ekowisata namun konsep pengelolaan tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip dasar ekowisata.

Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokan wisata pantai dan wisata bahari. Wisata pantai atau wisata bahari adalah wisata yang obyek dan daya tariknya bersumber dari potensi


(47)

2000inYulianda 2007). Secara terpisah dapat dijelaskan wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumber daya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olah raga, menikmati pemandangan dan iklim. Sedangkan wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumber daya bawah laut dan dinamika air laut.

Potensi dan jasa lingkungan yang prospektif untuk dikembangkan pada kawasan pesisir dan pulau kecil adalah pariwisata dan sumber daya perikanan yang paling banyak berhubungan dengan ekositem terumbu karang (Bengen dan Retraubun 2006). Beragamnya jenis ikan yang hidup di ekosistem terumbu karang menjadi daya tarik yang kuat bagi manusia; baik untuk penelitian, untuk wisata selam, maupun untuk konsumsi dan dijadikan ikan hias. Diperkirakan dari 12.000 jenis ikan laut sebanyak 7.000 spesies hidup di daerah terumbu karang atau di sekitarnya (Subani 1972inSulistiawati 2008).

Kondisi ekosistem terumbu karang saat ini yang terus mengalami degradasi turut berdampak pada turunnya produksi ikan karang di Indonesia. Hal ini disebabkan karena ada hubungan erat antara kondisi terumbu karang terhadap keberadaan ikan karang disuatu perairan (Hodijah dan Bengen 1999).

Dengan meningkatnya jumlah penduduk saat ini, maka jumlah aktivitas penangkapan ikan di ekosistem terumbu karang juga semakin meningkat. Apabila hal ini dilakukan secara intensif, maka kondisi ini akan menyebabkan turunnya stok ikan di ekosistem tersebut dan memakan waktu yang cukup lama untuk pulih kembali. Pengelolaan terumbu karang selama ini cenderung lebih banyak ditekankan pada pelarangan pengambilan karang ataupun aktivitas manusia; seperti pemboman ikan, pembiusan ikan karang dan lainnya yang secara langsung dapat mengakibatkan kerusakan secara langsung. Namun pelarangan untuk penangkapan ikan-ikan komersil jarang diberlakukan. Akibatnya beberapa jenis ikan yang bernilai ekonomis seperti Napoleon, Kerapu dan udang sudah mulai jarang ditemukan di daerah terumbu karang. Jika hal ini dibiarkan maka kemungkinan besar beberapa spesies ikan karang akan punah (Supriharyono 2000).

2.5


(48)

Salah satu alat pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang efektif adalah dengan mengembangkan Kawasan Konservasi Perairan (KKP), yaitu mengalokasikan sebagian wilayah pesisir dan laut sebagai tempat perlindungan bagi ikan-ikan ekonomis penting untuk memijah dan berkembang biak dengan baik. Dengan mengalokasikan sebagian wilayah pesisir dan laut yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi,ekosistem terumbu karang yang sehat, dan menyediakan tempat perlindungan bagi sumberdaya ikan, maka pada akhirnya akan mendukung kegiatan perikanan dan pariwisata berkelanjutan, serta memulihkan kondisi habitat pesisir yang terdegradasi.

Definisi Kawasan Konservasi Perairan menurut IUCN (1994) adalah perairan pasang surut, dan wilayah sekitarnya, termasuk flora dan fauna di dalamnya, dan penampakan sejarah serta budaya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 dijelaskan bahwa Kawasan Konservasi Perairan (KKP) adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. KKP terdiri atas Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan.

Lebih rinci Indrajaya et al. (2011) menyebutkan bahwa terdapat beberapa manfaat keberadaan KKP dalam sistem alam dan sosial, yaitu:

1. Perlindungan biota laut pada tahap tertentu dalam siklus hidupnya,

2. Perlindungan habitat yang kritis dan tetap (misal terumbu karang, estuari), 3. Perlindungan budaya dan lokasi arkeologi,

4. Perlindungan terhadap budaya lokal dan nilai tradisional pengelolaan laut berkelanjutan,

5. Menjamin tersedianya tempat yang memungkinkan bagi perubahan distribusi spesies sebagai respon perubahan iklim atau lingkungan lainnya, 6. Menjamin suatu tempat perlindungan (refugia) bagi pengkayaan stok


(49)

stakeholders,

8. Menyediakan model pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, 9. Menyediakan sumber pendapatan dan lapangan kerja,

10. Menjamin area untuk penelitian ilmiah, pendidikan dan rekreasi

Pengelolaan KKP harus memuat zonasi KKP, yang terdiri dari zona inti; zona perikanan berkelanjutan; zona pemanfaatan; dan zona lainnya. Selain zona inti, KKP dapat dimanfaatkan untk berbagai keperluan dalam rangka menunjang perikanan dan pariwisata berkelanjutan. Pemanfaatan KKP dapat dilakukan dengan aturan sebagai berikut:

1 Kegiatan penangkapan ikan dapat dilakukan di zona perikanan berkelanjutan

2 Kegiatan budidaya ikan dapat dilakukan di zona perikanan berkelanjutan 3 Kegiatan pariwisata bahari dapat dilakukan di zona pemanfaatan dan atau

zona perikanan berkelanjutan

4 Kegiatan penelitian dan pendidikan dapat dilakukan di zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, maupun zona lainnya.

2.6

2.62.62.6 AnalisisAnalisisAnalisisAnalisis MultiMultiMultiMulti KriteriaKriteriaKriteriaKriteria

Multi criteria analisis (MCA) biasanya menghasilkan informasi tentang masalah dan kondisi existing dari data yang tersedia . Hal ini cukup efektif untuk menghasilkan solusi (alternatif) untuk suatu masalah, dan memberikan pemahaman yang transparan dari struktur dan isi masalah tersebut. Menggunakan kerangka MCA dalam mendukung suatu proses dimana para pemangku kepentingan yang berbeda dapat memeriksa informasi pada kriteria yang berbeda dan dampak dari mengeksplorasi hasil serta keputusan yang dibuat dari prioritas yang berbeda. Oleh karena itu proses yang berorientasi pada MCA digunakan sebagai alat untuk memfasilitasi kesepakatan stakeholder (Huylenbroeck et al.


(50)

Pada dasarnya, pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan tujuan untuk mensejahterakan seluruh stakeholder yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir tersebut. Untuk mengetahui stakeholder yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir, maka diperlukan pendekatan

Stakeholders Analysis (SA)

Pendekatan ini menggabungkan analisis stakeholderdan penilaian dimensi ekonomi, sosial dan ekologi dalam kerangka analisis kriteria ganda. Menggunakan partisipasi sebagai pemangku kepentingan dalam suatu proses berulang-ulang akan mendapatkan bobot kriteria ekonomi, sosial dan ekologi yang bertujuan untuk mengembangkan suatu alat pengambilan keputusan yang memungkinkan untuk dimasukkan dalam analisis ini (Grimble dan Chan 1995).

Menurut Grimble dan Chan (1995), SA didefinisikan sebagai sebuah prosedur untuk mendapatkan pemahaman terhadap suatu sistem melalui identifikasi pelaku-pelaku utama (key-actors) atau pemangku utama didalam sistem tersebut. Sementara stakeholder sendiri didefinisikan sebagai semua pihak yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh oleh kebijakan, keputusan dan aksi dari sistem tersebut. Unit stakeholders bisa berupa individu, kelompok sosial, komunitas, berbagai level dalam masyarakat (Grimble dan Chan 1995). Tujuan dari MCA adalah untuk mencapai hasil yang secara luas diterima oleh seluruh

stakeholderyang ada, sementara MCA merupakan alat yang baik untuk mencapai resolusi konflik lingkungan dan kendala yang ada pada daerah penelitian. Elemen kritis harus secara jelas diidentifikasi untuk mempermudah responden dalam pengambilan keputusan, elemen ini meliputi: kelompok-kelompok kepentingan yang relevan, interaksi antara kelompok kepentingan, dan kegiatan sosial-ekonomi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut.

Metode pokok yang digunakan dalam penyusunan rencana pengelolaan pesisir dan laut khususnya untuk ekosistem terumbu karang adalah metode partisipatif/pembelajaran (lesson-learned) dari seluruh

stakeholders yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan laut dalam sebuah forum/media stakeholders meeting. Metode pembelajaran dalam hal ini bukan diterjemahkan sebagai penyusunan metode-metode dan teori-teori, tetapi lebih pada upaya untuk memfasilitasi stakeholder untuk mampu mengubah


(1)

No Kelompok Ikan Target Artificial reef1 2 Natural reef3 Famili

FamiliFamiliFamili AcanthuridaeAcanthuridaeAcanthuridaeAcanthuridae

1 Acanthurus pyroferus 85 82 29

2 A. nigricans 10 8 0

3 A. thompsoni 39 43 6

4 A. xanthopterus 89 0 0

5 A. nigrofuscus 54 80 24

6 Acanthurus sp. 61 0 0

7 Zanclus canescen 39 103 22

8 Zebrasoma scopas 39 79 11

9 Naso lituratus 8 0 8

10 Naso sp 12 1 0

11 Ctenochaetus striatus 59 71 88

Famili

FamiliFamiliFamili LabridaeLabridaeLabridaeLabridae

12 Chaelinus fasiatus 17 18 11

13 C. trilobatus 8 22 9

14 C. chlorourus 10 4 10

15 Cheilinus sp 3 1 0

16 Epibulus insidiator 18 11 0

17 Hemigymnus melapterus 8 30 0

18 H. chlorochepalus 0 0 2

19 Chaerodon anchorago 23 20 6

20 Chaerodon sp 0 7 0

21 Oxycheilinus diagrammus 0 0 7

Famili

FamiliFamiliFamili SerranidaeSerranidaeSerranidaeSerranidae

22 Epinephelus merra 5 6 0

23 E. ongus 0 0 5

24 E. sexfasiatus 0 4 6

25 E. fasciatus 7 0 0

26 E. tauvina 2 5 2

27 E. hexagonatus 7 0 0

28 Epinephelus sp 10 2 0

29 E. maculatus 0 0 3

30 Cephalopolis sp 0 0 12

31 C. argus 5 5 2

32 C. urodeta 0 0 4


(2)

1 2 3

34 Cromileptes altivelis 0 2 3

Famili Famili Famili

Famili LethrinidaeLethrinidaeLethrinidaeLethrinidae

35 Letrinus harak 34 0 6

36 L. lentjan 4 21 0

37 Letrinus sp 29 0 5

38 Monotaxis grandoculis 6 34 6

39 Gnathodentex aurolineatus 8 29 5

Famili Famili Famili

Famili LutjanidaeLutjanidaeLutjanidaeLutjanidae

40 Lutjanus sp 13 9 0

41 Lutjanus sp 1 2 0 0

42 L. fulvilamma 76 0 0

43 L. gibbus 2 17 0

44 L. caeruleolineatus 6 0 0

45 L. fulvus 104 37 22

46 L. kasmira 290 0 0

47 Macolor niger 2 4 8

48 M. macularis 0 0 2

Famili Famili Famili

Famili HolocentridaeHolocentridaeHolocentridaeHolocentridae

49 Miripristis violacea 112 25 0

50 M. murdjan 15 0 0

51 Sargocentron caudimaculatum 31 7 0

Famili Famili Famili

Famili MullidaeMullidaeMullidaeMullidae

52 Parupeneus bifasciatus 32 22 18

53 P. multifasiatus 77 79 96

54 P. barberinus 22 10 23

55 P. indicus 0 8 0

56 P. cyclostomus 6 0 9

57 P. ciliatus 2 4 0

58 Upeneus tragula 25 0 0

59 M. flavolineatus 41 12 0

Famili Famili Famili

Famili ScaridaeScaridaeScaridaeScaridae

60 Scarus ghoban 19 25 8

61 S. dimidiatus 58 13 17

62 S. sordidus 21 11 0

63 S. tricolor 9 26 24

64 S. atropectoralis 2 0 0

65 S. bleekri 34 17 11


(3)

1 2 3

67 S. altipinis 6 6 0

Famili

FamiliFamiliFamili NemipteridaeNemipteridaeNemipteridaeNemipteridae

68 Scolopsis trilineatus 0 18 13

69 S. bilineatus 13 22 5

70 S. ciliatus 20 32 0

71 S. affinis 0 0 8

72 S. margaritifer 12 18 0

Famili

FamiliFamiliFamili SiganidaeSiganidaeSiganidaeSiganidae

73 Siganus puellus 9 25 11

74 S. canaliculatus 2 0 2

75 S. doliatus 6 8 0

76 S. coralinus 21 0 0

77 S. vulpinus 14 0 28

Famili

FamiliFamiliFamili HaemulidaeHaemulidaeHaemulidaeHaemulidae

78 Plectorhynchus chaetodonoides 8 2 2

79 P. orientalis 6 2 1

80 P. lessoni 2 6 0

81 P. flavomaculatus 15 4 0

82 P. goldmanni 5 0 0

Famili

FamiliFamiliFamili CaesionidaeCaesionidaeCaesionidaeCaesionidae

Caesio cuning 585 60 105

83 Pterocaesio tile 290 85 125

84 P. marri 0 65 0

Jumlah Jumlah

JumlahJumlah SpesiesSpesiesSpesiesSpesies 165 149 121 Jumlah

Jumlah

JumlahJumlah IndividuIndividuIndividuIndividu 2723 1373 839 Kelompok

Kelompok

KelompokKelompok SpesiesSpesiesSpesiesSpesies MayorMayorMayorMayor Famili

FamiliFamiliFamili LabridaeLabridaeLabridaeLabridae

85 Bodianus mesothorax 2 8 2

86 Anampses melagrides 2 1 0

87 Coris gaimard 20 19 50

88 Helichoeres sp 4 15 23

89 H. hortulanus 14 30 41

90 H. prosopeion 6 3 11

91 Gompphosus varius 9 13 20

92 T. lunare 19 18 10

93 T. jenseni 0 14 7


(4)

1 2 3

95 L. dimidiatus 11 5 4

96 L. bocolor 18 4 11

97 Stethojulis sp 9 8 0

98 Pseudocheilinus hexataenia 7 0 0

99 P. octotaenia 2 10 0

100 Novaculichthys taeniourus 5 0 0

Famili Famili Famili

Famili AnomalopidaeAnomalopidaeAnomalopidaeAnomalopidae

101 Aulostomus chinensis 10 0 9

Famili Famili Famili

Famili ScorpaenidaeScorpaenidaeScorpaenidaeScorpaenidae

102 Pterois sp 6 5 0

103 P. antennata 1 0 4

104 Dendrochinus sp 2 3 2

105 D. zebra 0 4 8

Famili Famili Famili

Famili EphippidaeEphippidaeEphippidaeEphippidae

106 Platax teira 27 17 0

Famili Pomacanthidae 0 0 0

107 Centropyge bicolor 34 23 30

108 C. tibicen 77 29 18

109 Pygoplites diacanthus 3 8 0

110 Pomacanthus navarchus 11 4 10

111 P. imperator 9 0 4

Famili Famili Famili

Famili BalistidaeBalistidaeBalistidaeBalistidae

112 Odanus niger 4 3 12

113 Sufflamen bursa 9 0 4

114 S. albicaudatus 2 0 0

115 S. chrysopterus 0 5 0

116 Balistapus undulatus 17 15 14

117 Balistoides viridescens 0 2 7

118 B. conspicillum 2 0 0

Famili Famili Famili

Famili OstraciidaeOstraciidaeOstraciidaeOstraciidae

119 Ostracion solorensis 1 5 9

120 Lactoria cornata 2 0 4

Famili Famili Famili

Famili TetraodontidaeTetraodontidaeTetraodontidaeTetraodontidae

121 Canthigaster papua 8 5 6

122 C. valentini 2 6 0

Famili Famili Famili

Famili PomacentridaePomacentridaePomacentridaePomacentridae

123 Acanthochromis polyacanthus 0 87 0


(5)

1 2 3

125 A. leucogaster 99 112 0

126 A. aureus 61 72 61

127 Chromis analis 395 350 86

128 C. margaritifer 41 21 0

129 C. nitida 2 8 0

130 C. ternatensis 480 600 159

131 C. viridis 135 83 135

132 C. weberi 15 22 0

133 Crysiptera springeri 75 101 68

134 C. taupou 3 8 0

135 Dascyllus aruanus 50 68 35

136 D. trimaculatus 420 175 155

137 D. reticulatus 99 65 85

138 Neoglyphidodon.thoracotaeniatus 6 12 10

139 N. nigroris 13 43 35

140 Parma oligolrpis 125 58 53

141 Plectroglyphidodon lacrymatus 33 23 26

142 Pomacentrus alexandrea 15 48 9

Famili

FamiliFamiliFamili MurainidaeMurainidaeMurainidaeMurainidae

142 Gymnothorax javanicus 7 0 0

Sub

SubSubSub FamiliFamiliFamiliFamili AnthiinaeAnthiinaeAnthiinaeAnthiinae

143 Pseudanthias squamipinnis 190 240 0

144 P. tuka 144 300 50

P. huchtii 330 185 0

Famili

FamiliFamiliFamili OstraciidaeOstraciidaeOstraciidaeOstraciidae

145 Lactoria sp 0 7 5

146 Canthigaster valentini 2 7 0

Famili

FamiliFamiliFamili ApogonidaeApogonidaeApogonidaeApogonidae

147 Apogon sp 26 75 20

148 A. opogonides 603 38 0

Jumlah

JumlahJumlahJumlah SpesiesSpesiesSpesiesSpesies 143 149 115 Jumlah

JumlahJumlahJumlah IndividuIndividuIndividuIndividu 4039 3387 1428

0 0 0

Famili

FamiliFamiliFamili ChaetodontidaeChaetodontidaeChaetodontidaeChaetodontidae

149 Chaetodon kleinii 92 33 42

150 C. ocellicaudus 4 0 5


(6)

1 2 3

152 C. barronessa 1 6 5

153 C. unimaculatus 9 0 6

154 C. rafflessi 3 7 0

155 C. lunulatus 18 18 29

156 C. trifascialis 10 24 0

157 C. punctatofasiatus 10 9 0

158 C. citrinellus 4 8 18

159 Coradion chryzosonus 5 0 0

160 Heniochus varius 13 14 26

161 H. singularius 1 9 0

162 H. chryzostomus 9 8 8

163 Forcipiger longirostris 15 22 4

164 F. flavisimus 30 26 0

Jumlah Jumlah Jumlah

Jumlah SpesiesSpesiesSpesiesSpesies 39 39 28 Jumlah

Jumlah Jumlah

Jumlah IndividuIndividuIndividuIndividu 271 229 186 JUMLAH

JUMLAH JUMLAH

JUMLAH SPESIESSPESIESSPESIESSPESIES TOTALTOTALTOTALTOTAL

347 337 264

JUMLAH JUMLAH JUMLAH

JUMLAH INDIVIDUINDIVIDUINDIVIDUINDIVIDU TOTALTOTALTOTALTOTAL