Pemberian curcumin dalam ransum babi sebagai pengganti antibiotik sintetis untuk pemacu pertumbuhan

(1)

PEMBERIAN

CURCUMIN

DALAM RANSUM BABI SEBAGAI

PENGGANTI ANTIBIOTIK SINTETIS UNTUK

PEMACU PERTUMBUHAN

SAULAND SINAGA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pemberian Curcumin dalam Ransum Babi sebagai Pengganti Antibiotik Sintetis untuk Pemacu Pertumbuhan adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2011

Sauland Sinaga


(4)

(5)

ABSTRACT

SAULAND SINAGA. Curcumin /Extract Curcuma domestica in Pig Rations to Replace Sintetic Antibiotic as Growth Promotor. Under direction of

D.T.H. Sihombing, Maria Bintang and Kartiarso

Research on the effect of pig ration containing curcumin to replace synthetic antibiotic as growth promotor has been conducted from November 2008 to june 2009 in research laboratory and teaching farm KPBI (Koperasi Peternak Babi Indonesia), Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, Nutritionnal Laboratory of Faculty Animal Husbandry University of Padjadjaran. The purpose of this research is to study the effective dosage of curcumin in comparable with virginiamicin as growth promotor in pig. This research used method of experimental Completely Randomized Design (CRD) consisting of five treatments (Rvm: 50 ppm virginiamicin, R0 : without virginiamicin and curcumin, R1: 120 ppm curcumin, R2: 160 ppm curcumin and R3: 200 ppm curcumin), where every treatment was repeated by five times. This research used 25 starter period pigs, two months old with average body weight 18 kg and variation coefficient 6,33%. The result of this research showed that giving curcumin as feed additive 160 ppm in pig ration increased digestible energy and body weight gain, decreased the rate of passage of feed, feed convertion, time to reach slaughter weight, LDL serum, the amount of colliform and total bacteria that all the same as additive virginiamicin 50 ppm. Feeding the diet infected by E. coli

decreases consumtion, body weight gain, feed conversion and carcass weight. However feeding the diet containing curcumin 160 ppm and infected by E. coli increased loin eye area. The resulted of this study shows that the dose of

curcumin up to 160 ppm in pig ration, can replace virginiamicin as growth promoter.


(6)

(7)

RINGKASAN

SAULAND SINAGA. Pemberian Curcumin dalam Ransum Babi Sebagai Pengganti Antibiotik Sintetis untuk Pemacu Pertumbuhan. Dibimbing oleh D.T.H. SIHOMBING, MARIA BINTANG dan KARTIARSO.

Penggunaan senyawa antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan dalam ransum ternak telah menjadi perdebatan sengit para ilmuwan akibat efek buruk yang ditimbulkan bagi konsumen seperti residu dan resistensi. Maka perlu dicari alternatif yang aman dan mudah didapat di negeri kita ini, salah satunya adalah

curcumin merupakan hasil dari ekstrak dari kunyit Curcuma domestica yang mempunyai khasiat untuk merangsang organ pencernaan seperti lambung, usus dan kelenjar pankreas dalam proses pencernaan makanan. Selain itu

curcumin secara in vitro mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen dalam usus seperti Staphylococcus dan Streptococcus.

Penelitian ini dilakukan dua tahap, yang pertama adalah mencari dosis efektif curcumin dalam ransum babi sebagai pemacu pertumbuhan dan menguji dosis terbaik. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan lima perlakuan yaitu Ransum kontrol (tanpa curcumin dan virginiamicin), ransum kontrol ditambah antibiotik 50 ppm virginiamicin, dan ransum kontrol ditambah 120 , 160 dan 200 ppm curcumin. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis ragam yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan.

Penelitian tahap pertama diperoleh bahwa bahwa pemberian 160 ppm

curcumin dalam ransum babi tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum harian, akan tetapi dapat memperbaiki pertambahan bobot badan harian sebesat 643.26 gr/ekor, lebih tinggi 27.06% dari kontrol dan sama dengan pemberian 50 ppm virginiamicin, dengan demikian dosis ini akan memperbaiki konversi ransum sebesar 23.96%. Pemberian 160 ppm curcumin dalam ransum babi tidak dapat meningkatkan kecernaan protein, akan tetapi dapat meningkatkan kecernaan energi ransum sebesar 42.58% dan memperlambat laju makanan dalam saluran pencernaan 19.3 jam menjadi 22.32 jam sehingga meningkatkan penyerapan zat makanan yang pada akhirnya mempercepat waktu pencapaian bobot potong sebesar 31 hari (115 vs 146 hari).

Karakteristik karkas yang diamati dalam penelitian ini mencakup bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, panjang karkas, tebal lemak punggung (TLP) dan Loin Eye Area (LEA) pada pemberian curcumin sampai taraf 200 ppm dalam ransum babi belum dapat meningkatkan seluruh parameter diatas kecuali pada volume kantung empedu terjadi peningkatan 122.44% (58 gr vs 71.60 gr). Pengaruh 160 ppm curcumin dalam ransum babi terhadap lipida serum tidak berpengaruh terhadap Kolesterol, HDL dan trigliserida, akan tetapi dapat menurunkan LDL serum sebesar 23.98% dibanding dengan ransum kontrol. Pemberian 160 ppm curcumin dalam ransum babi juga tidak memberikan pengaruh terhadap kandungan kolesterol daging, hati dan lemak.

Pemberian 160 ppm curcumin sebagai antimikroba dalam ransum babi periode finisher, mampu menurunkan jumlah koliform dan bakteri total dalam feses (46.02vs 53.581 x 10 12 cfu/ml) , sehingga kompetisi zat makanan dalam usus lebih baik serta daya serap makanan lebih baik. Pengaruh 200 ppm

curcumin dan antibiotik virginiamicin terhadap kerusakan jaringan hati, usus dan ginjal diperoleh bahwa pemberian secara terus menerus dapat mengakibatkan kerusakan di organ tersebut dilihat dari bentuk dan warna. Sedangkan pemberian 120 dan 160 ppm curcumin pada ransum babi tidak menunjukkan adanya gangguan di organ tersebut.


(8)

Pengaruh curcumin dan virginiamicin dalam ransum babi terjadi peningkatan biaya input dibanding dengan ransum R0 perkilogram, akan tetapi peningkatan ini diikuti dengan meningkatnya pendapatan dari pertumbuhan babi. Bila dilihat secara B/C Rasio diperoleh bahwa pemberian 50 ppm

virginiamicin dan 160 ppm curcumin adalah lebih dari satu (1.07 vs 1.00), artinya secara finansial penggunaan curcumin dan virginiamicin pada dosis tersebut layak digunakan dalam sistem usaha produksi babi.

Penelitian tahap kedua bertujuan untuk meneliti dosis efektif 160 ppm

curcumin tersebut terhadap ternak yang terjangkit Escherichia coli ATCC 25922 berasal dari PAU Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari empat perlakuan, antara lain: R0 (Ransum penelitian sebagai kontrol), R1 (R0 +

Curcumin 160 ppm), R2 (R0 + E. coli), R3 (R0 + Curcumin 160 ppm + E. coli). Masing-masing perlakuan terdiri dari enam ulangan, dengan demikian penelitian ini menggunakan 24 ekor ternak babi.

Pengaruh pemberian 160 ppm curcumin dan E. coli terhadap konsumsi, pertambahan bobot badan (PBB) dan konversi ransum diperoleh pemberian E. coli terbukti dapat menurunkan konsumsi, pertambahan bobot badan harian dan memperburuk konversi ransum. Penurunan tersebut diakibatkan karena babi mengalami Enteritis colibacillosis, pada akhirnya terjadi penurunan bobot potong, bobot karkas dan tebal lemak punggung. Penurunan ini disebabkan oleh keseimbangan populasi bakteri dalam system pencernaan babi terganggu akibat pertumbuhan populasi E. coli yang meningkat penyebab diare. Pemberian 160 ppm curcumin yang terinfeksi E. coli (R3) dalam ransum babi,

mampu memperbaiki luas daging mata rusuk (LEA). Peningkatan luas LEA disebabkan karena curcumin mampu memperbaiki absorbsi zat-zat makanan dengan cara meningkatkan sekresi enzim-enzim pencernaan dan menurunkan peristaltik usus, sehingga memberikan waktu penyerapan zat-zat makanan lebih lama dan efektif. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah 160 ppm curcumin dalam ransum babi dapat digunakan sebagai bahan feed additive

pengganti antibiotik sintetis dalam ransum babi untuk pemacu pertumbuhan.


(9)

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

PEMBERIAN CURCUMIN DALAM RANSUM BABI SEBAGAI

PENGGANTI ANTIBIOTIK SINTETIS UNTUK PEMACU

PERTUMBUHAN

SAULAND SINAGA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(12)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup :

1. Prof. Dr. Ir. Pollung Siagian : Staf pengajar pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

2. Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan : Staf pengajar pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka :

1. Dr. Ir. Pius P. Ketaren, M.Sc : Staf Peneliti Balai Penelitian Peternakan Ciawi Kementan RI.

2. Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA : Staf pengajar pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.


(13)

Judul Disertasi : Pemberian Curcumin dalam Ransum Babi sebagai Pengganti Antibiotik Sintetis untuk Pemacu Pertumbuhan

Nama : Sauland Sinaga NRP : D061030011 Program Studi : Ilmu Ternak (PTK)

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. drh. D.T.H. Sihombing, M.Sc., Ph.D. Ketua

Prof. Dr. drh. Maria Bintang, M.S. Dr. Ir.Kartiarso, M.Sc.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ternak

Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari,DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(14)

(15)

PRAKATA

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan rahmat-Nya maka Penulis dapat menyelesaikan penulisan Disertasi yang berjudul Pemberian Curcumin dalam Ransum Babi sebagai Pengganti Antibiotik Sintetis untuk Pemacu Pertumbuhan .

Terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi tingginya Penulis sampaikan kepada yang terhormat Prof. drh. D.T.H. Sihombing, M.Sc., Ph.D. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. drh. Maria Bintang, M.S. dan Dr. Ir. Kartiarso, M.Sc. sebagai anggota komisi pembimbing yang telah menyediakan waktu, dan dengan penuh kesabaran serta keikhlasan dalam proses pembimbingan selama menempuh pendidikan S3. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Pollung Siagian,

Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan, Dr. Ir. Pius P. Ketaren, M.Sc dan Prof.Dr.Ir.Muladno,MSA yang banyak memberikan masukan untuk perbaikan penulisan ini.

Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dekan Fakultas Peternakan Unpad, Rektor Universitas Padjadjaran dan pengelola beasiswa Program Pascasarjana BPPS Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan kesempatan belajar dan bantuan biaya pendidikan dan penelitian kepada Penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf dan pegawai, Ketua program studi Ilmu Ternak (PTK) beserta staf dan pegawai, atas pelayanan administrasi yang diberikan kepada Penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pengurus Koperasi Peternakan Babi Indonesia (KPBI) yang telah memberikan tempat, dana dan fasilitas penelitian di laboratorium KPBI Cisarua. Kepala Laboratorium Ternak Potong Fakultas Peternakan Unpad, Kepala Laboratorium Nutrisi Unggas, Non Ruminansia dan Industri Makanan Ternak Fapet Unpad, Kepala Laboratorium Mikrobiologi Fapet Unpad dan Kepala Laboratorium Pathologi IPB Bogor yang memberikan waktu, fasilitas dan tempat untuk menganalisis bahan-bahan penelitian, dan juga kepada pegawai kandang, laboran yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu.

Rasa terima kasih yang tulus disampaikan kepada seluruh keluarga Sinaga dan Tobing atas segala doa, pengertian, dorongan semangat dan kasih sayang yang diberikan selama mendampingi Penulis dalam menyelesaikan studi S3 ini.

Akhir kata dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi perkembagan ilmu pengetahuan khususnya bidang peternakan.

Bogor, Juli 2011

Sauland Sinaga


(16)

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 25 Januari 1969, sebagai anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Asmin Sinaga dan Sumintar Sitohang. Pada tahun 1997 menikah dengan Merri Sariana Tobing dan dikaruniai tiga orang anak, yakni Gabriella Riana Sinaga , Miranda Priscilla Sinaga dan Tarida Imanuella Sinaga.

Pendidikan sarjana telah ditempuh di Fakultas peternakan, Universitas Padjadjaran Bandung, lulus pada tahun 1995. Penulis menamatkan Magister Sains di Program Studi Ilmu Ternak Program Pascasarjana IPB Bogor tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doctor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2003. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) Departemen Pendidikan Nasional.

Pada Tahun 1995 sampai dengan sekarang penulis adalah sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung dengan bidang kajian yang diminati Ilmu Ternak Potong.


(18)

xix

xix

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... PENDAHULUAN ... Latar Belakang ... Tujuan Penelitian ……….…….. Kerangka Pemikiran ……….…….

Hipotesis ……….……….………

Kegunaan Penelitian ………..…….. TINJAUAN PUSTAKA ... Deskripsi Babi ……… Pertumbuhan Babi ………. Sistem Pencernaan Monogastrik ………...………. Kecernaan Makanan ………. Efisiensi Ransum ……….………. Kecepatan Laju Makanan

dalam Sistem Pencernaan ………... Aditif Ransum ………. Antibiotik .………... Virginiamicin………..

Cara Kerja Antibiotik...………... Larangan Penggunaan Antibiotik ………..……. Curcumin……….………...

Isolasi Curcumin………

Cara Kerja Curcumin………..………..

Curcumin sebagai Antibakteri dan Jamur ……….. Curcumin sebagai Pemacu Pencernaan ………... Perjalanan dan Distribusi Curcumin dalam Tubuh ………. Mikroflora Saluran Pencernaan ……….. Total Plate Count………..

Koliform ………..

Escherichia coli………..

Karkas Babi ……… Biosintesis Kolesterol ………... MATERI DAN METODE ……….………... Penelitian Tahap I Menentukan Konsentrasi Curcumin yang

Terbaik ……….

Ternak dan Perlengkapan Penelitian ……….. Tempat dan Lama Penelitian ………... Ransum Penelitian ………. Rancangan Percobaan ………. Peubah yang Diamati ……… Analisis Finansial pengaruh Antibiotik dan Curcumin ……….…………

xxi xxiii xxv 1 1 3 3 5 5 7 7 8 8 9 10 11 11 12 13 15 15 17 18 18 18 19 22 22 24 24 25 26 27 29 29 29 29 29 31 31 40


(19)

xx

Penelitian Tahap II. Uji Tantangan dengan Escherichia coli (ATCC 25922) …….……….………. Bahan Penelitian ………..……….….………. Ternak yang Digunakan ………..……….….……….. Ransum Penelitian Uji Tantangan dengan E. coli …..…..……….

Metode Penelitian ………...………... Peubah yang Diamati ………...………..

HASIL DAN PEMBAHASAN ………..

Penelitian Tahap I ……….……….. Konsumsi Ransum ………..……… Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) ………..…………. Konversi Ransum ……….………....…….. Kecernaan Protein, Energi dan Laju Makanan ………..………... Jumlah Hari Mencapai Bobot Potong ……….…………... Karakteristik Karkas ………...……… Bobot Hati dan Empedu ………..………….. Karakteristik Lipida ……….…… Lipida Serum ……… Kolesterol Daging Hati dan Lemak ………. Antibakteri ………..………. Jumlah Koliform ……….………...…………. Jumlah Bakteri Total ……….. Kerusakan Jaringan ……..………..……….. Organ Hati ……….…….. Usus Halus ………..…… Organ Ginjal ……….….. Analisis Finansial ………..…………...

Hasil Penelitian Tahap II ….……….. Pengaruh Pemberian Curcumin dan E. coli terhadap

Konsumsi, PBB dan Konversi Ransum. ………. Pengaruh Pemberian Curcumin dan E. coli

Karakteristik Karkas ………... PEMBAHASAN UMUM ……….. KESIMPULAN DAN SARAN ……… Kesimpulan ………….………... Saran ………..……….

DAFTAR PUSTAKA ………

LAMPIRAN ………... 41 41 41 41 41 42 43 43 43 44 45 47 50 52 53 54 55 57 58 58 59 61 61 63 65 66 67 67 68 71 79 79 79 81 89


(20)

xxi

xxi

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Resistensi E. coli yang berasal dari feses babi dan peternak babi

terhadap beberapa antibiotik ... 13 2. Dosis Curcumin pada hewan percobaan ... 23 3. Jumlah mikroorganisme saluran pencernaan babi

Finisher(Transformasi Logaritma) ………...………. 23 4. Hasil perhitungan bentuk antilog jumlah mikroorganisme

saluran pencernaan babi finisher………..……..…..………….….. 23 5. Populasi normal bakteri Escherichia coli pada organ usus ……..…….…. 26 6. Komposisi dan nilai nutrien ransum penelitian ………..…………..…. 30 7. Prosedur dan waktu diperlukan jaringan sampai embedding…... 40 8. Cara pewarnaan Haemotoxylin dan Eosin ... 40 9. Rataan Konsumsi, PBBH dan Konversi Ransum Babi ..…...….…………. 43 10. Pengaruh aditif curcumin terhadap konsumsi, PBBH

dan konversi ransum ……….. 44 11. Rataan kecernaan protein, energi dan laju makanan babi akibat

berbagai macam perlakuan ransum……….…..……….……. 47 12. Waktu mencapai bobot potong babi (90 kg) akibat pemberian

virginiamicin dan curcumin ………..……….…… 50 13. Karakteristik karkas babi akibat pemberian virginiamicin dan curcumin dalam ransum babi …...…………..……….…… 52 14. Rataan bobot hati dan empedu akibat pemberian virginiamicin

dan curcumin dalam ransum babi ………...……….……….. 54 15. Rataan karakteristik lipida serum akibat pemberian virginiamicin

dan curcumin dalam ransum babi.………..………..…….. 55 16. Rataan kolesterol daging, hati dan lemak babi akibat pemberian

virginiamicin dan curcumin dalam ransum babi ……….…... 57 17. Jumlah koliformdalam feses babi periode finisher akibat

pemberian virginiamicin dan curcumin dalam ransum babi.…...…..…… 59 18. Jumlah bakteri total dalam feses babi akibat pemberian virginiamicin

curcumin dalam ransum babi ………..….... 60 19. Analisis finansial akibat pemberian virginiamicin dan curcumin


(21)

xxii

20. Rataan penampilan produksi babi dengan tantangan E. coli

………. 67 21. Karakteristik karkas akibat curcumin dan E. coli……….…….. 68


(22)

xxiii

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Mekanisme Kerja Curcumin sebagai Pemacu Pertumbuhan ………... 4 2. Struktur Molekul dari Curcumin ... 17 3. Lokasi Pengukuran Tebal Lemak Punggung Babi ……….. 33 4. Lokasi Pengukuran Loin Eye Area (LEA) ………... 34 5. Grafik pertambahan bobot badan harian (g/ekor) yang diberi

berbagai level curcumin dalam ransum babi………..………… 45 6. Grafik konversi ransum babi yang diberi berbagai level curcumin

dalam ransum babi.……….… 46 7. Grafik kecernaan energi (%) yang diberikan berbagai level curcumin

dalam ransum babi.……….... 48 8. Grafik Laju Makanan Babi ( jam) yang diberi berbagai

macam perlakuan ransum. …………..……….. 50 9. Grafik waktu mencapai bobot potong babi (90kg) pemberian Curcumin dalam ransum babi. ……….…………..………... 51 10. Grafik LDL Serum akibat pemberian curcumin dalam ransum babi.….. 56 11. Pengaruh Virginiamicin dan Curcumin terhadap

Organ Hati (Makroskopis) ……….…. 62 12. Pengaruh Virginiamicin dan Curcumin terhadap

Organ Hati (Mikroskopis) ……….…. 63 13. Pengaruh Antibiotik dan Curcumin terhadap Organ Usus Halus…….... 64 14. Pengaruh Virginiamicin dan Curcumin terhadap Organ Ginjal ……..…. 65


(23)

(24)

xxv

xxv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Analisis statistik pengaruh perlakuan terhadap konsumsi harian,

PBBH dan konversi ransum………..…………. 89 2 . Analisis statistik kecernaan protein, energi ransum dan

laju makanan ……… 93 3. Analisis statistik waktu mencapai bobot potong …………..………... 97 4. Analisis statistik karakteristik karkas Babi ………... 99 5. Analisis statistik berat hati dan empedu ………....……... 102 6. Analisis statistik karakteristik lemak serum ..……… 103 7.

Analisis statistik kolesterol

daging, hati dan lemak …

…….……...….. 106 8. Analisis statistik jumlah coliform….………...… 108 9. Analisis statistik jumlah bakteri total dalam feses babi …...……..……..… 110 10. Analisis statistik Curcumin dan E. coli terhadap Konsumsi, PBB dan

Konversi Ransum ………..………..… 111 11. Analisis Statistik Pengaruh Curcumin dan E. coli terhadap

Karakteristik Karkas ..………..………….……..….. 113


(25)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak ditemukannya antibiotik oleh Alexander Fleming pada tahun 1928, antibiotik telah memberikan kontribusi yang efektif dan positif terhadap kontrol infeksi bakteri pada manusia dan hewan. Penggunaan antibiotik dalam pakan oleh peternak babi sebagai pemacu pertumbuhan (growth promotor) dan mencegah disentri pada babi muda, telah menambah pendapatan peternak akibat peningkatan efisiensi pakan, dengan cara mempengaruhi jumlah mikroorganisme penyebab penyakit dan penghasil racun di dalam saluran pencernaan babi, sehingga mengurangi konsumsi pakan karena dinding usus menjadi tipis untuk mengabsorbsi zat makanan (Hathaway et al. 1996).

Penggunaan senyawa antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan dalam ransum ternak telah menjadi perdebatan para ilmuan akibat efek buruk bagi konsumen seperti residu dan resistensi. Tri (2005) menemukan daging babi dari RPH di Indonesia mengandung residu antibiotik sebesar 53.7% dan 3.04% melebihi batas taraf maksimum yang ditentukan oleh Dirjen Peternakan. Nastassia dan Sinaga (2006), menemukan, terdapat residu antibiotik golongan

Penisilin dan Tetrasiklin pada hati babi sebesar 98% dari sampel yang diambil di Pasar Bandung Jawa Barat, diketahui babi yang dipotong tersebut berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah yang sama untuk pasar Jakarta dan sekitarnya. Samadi (2004) melaporkan di North Carolina (Amerika Serikat) penggunaan antibiotik terus menerus pada unggas mengakibatkan bakteri Escherichia coli

resisten terhadap Enrofloxacin. Di Cina diketemukan bahwa anak kandang 214 orang yang terkena infeksi Streptococcus suis tidak mengalami kesembuhan dengan menyuntikkan antibiotik Penisillin diduga mikroorganisme tersebut telah mengalami resistensi, dari 214 orang yang terkena infeksi 39 orang (18.2%) meninggal dunia.

Kejadian ini dapat diterangkan bahwa penggunaan antibiotik secara ekstensif untuk infeksi bakteri pada hewan ternak telah menyeleksi bakteri yang resisten, kemudian ia akan mentransfer resistensi tersebut ke bakteri lain, transfer resistensi bakteri tersebut berlaku juga antar berbeda spesies, hewan ke manusia atau sebaliknya (Levy et al. 1988). Penggunaan antibiotik tersebut yang terus menerus mengakibatkan terjadinya resistensi contohnya rekomendasi penggunaan antibiotik dalam pakan pada tahun 50-an adalah 5 – 10 ppm sekarang telah meningkat sepuluh sampai 20 kali lipat. Akibatnya


(26)

2

beberapa negara sudah melakukan pelarangan penggunaan antibiotik pada pakan ternak. Penelitian Sayers (2001), membandingkan resistensi strain Bacteroides mikroorganisme perut manusia tahun ‘70-an sampai ‘90-an diperoleh resistensi antibiotik tetrasiklin sangat signifikan dari 23% pada awal tahun ‘70-an menjadi 80% di tahun ‘90-an, peningkatan tersebut disebabkan bahan makanan yang dikonsumsi masyarakat sekarang telah mengubah mikroorganisme yang hidup dalam sistem pencernaannya. Babi yang dipelihara dengan pemberian antibiotik dalam pakan yang cukup besar selama dia hidup, mengakibatkan bakteri yang hidup di dalam sistem pencernaan babi menjadi resisten, kemudian babi tersebut dipotong dan dikirim ke pasar dan bakteri tersebut menempel pada daging kemudian dikonsumsi manusia masuk ke dalam sistem pencernaan kemudian merubah mikroorganisme dalam usus. Komisi Masyarakat Uni Eropa sejak tanggal 1 Januari 2006 (Regulasi No. 1831/2003), penggunaan antibiotik misalnya Avilamycin, Avoparcin, Flavomycin, Salinomycin, Spiramycin, Virginiamycin, Zn-Bacitracin, Carbadox, Olaquindox, dan Monensin tidak dapat digunakan dalam ransum ternak. Pembatasan penggunaan zat aditif tersebut dalam ransum ternak, di beberapa negara Eropa telah dilarang lebih awal seperti Swedia tahun 1986, Denmark tahun 1995, dan Jerman tahun 1996. Dengan beberapa fakta ini maka perlu dicari bahan-bahan pengganti antibiotik untuk pemacu pertumbuhan terutama pada babi yang ramah lingkungan dan aman bagi manusia yang mengkonsumsi daging babi tersebut. Beberapa hasil diskusi dengan peternak babi di Pulau Bulan (Riau) dan Pontianak (Kalimantan Timur) sebagai pengekspor ternak ke negara Singapura sering mengalami kerugian akibat ternak yang dikirim ditolak karena mengandung residu antibiotik pada daging. Begitu juga peternakan babi di Solo dan Tegal (Jawa Tengah) dan Jawa Timur yang 90% dikirim ke DKI Jakarta saat ini bila dilihat cara produksinya cukup mengkhawatirkan karena adanya penambahan pemacu pertumbuhan sejenis antibiotik yang tidak terkontrol bahkan kadang berlebihan. Maka dengan itu penelitian mencari bahan pengganti pemacu pertumbuhan pada babi seperti antibiotik sangat diperlukan, dimana bahan pengganti ini harus aman bagi ternak maupun manusia yang mengkonsumsinya.


(27)

3

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencari pengganti antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan, karena tuntutan konsumen akan produk peternakan yang sehat, aman dan bebas dari residu berbahaya dengan motto “Feed quality for food safety”. Beberapa usaha alternatif pengganti antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan diantaranya adalah penggunaan prebiotik, asam-asam organik, jamu dan minyak esensial (essensial oil) senyawa aditif tersebut terbukti mampu meningkatkan produksi ternak. Saat ini dikenal lebih kurang 2600 jenis minyak esensial yang dihasilkan melalui ekstraksi berbagai jenis tanaman rempah-rempah, yang mempunyai senyawa bioaktif sebagai antioksidan, antibiotik, meningkatkan nafsu makan, sekresi kelenjar-kelenjar pencernaan dan kekebalan tubuh. Negara kita mempunyai peluang yang cukup besar karena kaya akan keanekaragaman sumber daya alam hayati ini. Kunyit dan temu lawak salah satunya tanaman rempah kita yang memiliki bahan aktif berupa curcumin berbentuk senyawa fenol yang dapat mengganggu pembentukan membran sel dari beberapa bakteri patogen seperti Salmonella

dan Escherichia coli, juga dapat meningkatkan sekresi kelenjar air liur, empedu, lambung, pankreas dan usus.

Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan :

1. Menjajaki penggunaan curcumin sebagai pengganti antibiotik sintesis dalam ransum babi untuk pemacu pertumbuhan.

2. Menguji efektivitas curcumin dalam upaya menggantikan antibiotik sintesis sebagai pemacu pertumbuhan dalam ransum babi.

3. Menjajaki curcumin sebagai penurun kolesterol darah.

Kerangka Pemikiran

Bagaimana mekanisme kerja dari curcumin sebagai pemacu pertumbuhan yang mampu menggantikan fungsi dari antibiotik ternak dapat dilihat pada Gambar 1. Mekanisme dari curcumin dalam mempengaruhi organ pencernaan seperti lambung, usus dan kelenjar pancreas, menurut Lee et al.

(2003), menyatakan curcumin dapat merangsang lambung untuk menghasilkan cairan yang membantu pencernaan. Platel dan Srinivasan (2000), menyatakan pemberian curcumin pada hewan tikus putih mampu merangsang sekresi dari usus halus menghasilkan enzim lipase, sukrase dan maltase dan meningkatkan


(28)

4

produksi enzim pankreas seperti lipase, amilase, tripsin dan khimotripsin.

Pengaruh curcumin terhadap organ hati Bawman (1983), menemukan penderita kelainan hati, dengan pemberian curcumin dapat meningkatkan sekresi empedu yang terlihat nyata pada penurunan kadar bilirubin, kolesterin dan lipase para penderita sehingga pemberian curcumin tersebut dapat meningkatkan kecernaan lemak dan menghasilkan kualitas daging yang rendah akan kolesterol.

Gambar 1 Mekanisme kerja curcumin sebagai pemacu pertumbuhan Ket : Mempengaruhi mikroorganisme, organ dan kelenjar.

Meningkatkan proses/sekresi

Pengaruh curcumin terhadap mekanisme usus halus dan mikroorganisme Rao et al. (1982) menemukan pemberian curcumin pada hewan percobaan dapat memperlambat dan mempercepat kontraksi usus halus. Kumar

Bahan Makan

C u r c u m i n

Organ/Kelenjar

Lambung, Usus, dan Pankreas

Hormon dan Enzim Pencernaan

Hati

Cairan dan Garam Empedu

Anti Bakteri Patogen Zat Makanan

Absorbsi Zat Makanan Peristaltik

Usus


(29)

5

et al. (2001), menemukan bahwa curcumin sebagai antibakteri, bekerja dengan menghambat produksi β-lactamase dari mikroorganisme untuk membentuk dinding sel. Dengan demikian pemberian curcumin dengan dosis yang tepat dapat menggantikan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan hewan ternak dengan cara meningkatkan sekresi enzim pencernaan, menurunkan peristaltik usus dan menghambat/membunuh mikroorganisme patogen.

Beberapa hasil penelitian pemberian curcumin untuk memacu pertumbuhan diantaranya adalah Al-Sultan (2003), memberikan tepung kunyit sebagai pakan tambahan kepada ayam broiler dengan dosis 0.25, 0.5 dan 1% diperoleh bahwa pemberian 0.5% tepung kunyit memberikan hasil yang terbaik konversi ransum 2.08 untuk mencapai bobot badan 1344.5 g/e. Kiso et al.

(1983), menyatakan pemberian curcumin dapat menurunkan pembentukan gas di dalam usus halus mencit yang berasal dari deaminasi asam amino dan degradasi dari urea oleh bakteri E. coli, S. faecalis, L. acidophilus dan L. fermenti. Sinaga (2003) melakukan penelitian pemberian tepung kunyit pada babi dengan dosis 0.2, 0.4 dan 0.6% dalam ransum babi dari starter sampai mencapai bobot potong 90 kg, diperoleh hasil pemberian 0.4% tepung kunyit setara dengan 160 ppm memberikan hasil yang terbaik pada babi dengan efisiensi pakan yang tertinggi.

Hipotesis

1. Curcumin dalam ransum babi sebagai additive dapat digunakan untuk pemacu pertumbuhan.

2. Curcumin dalam ransum babi dengan dosis 160 ppm dapat digunakan sebagai pemacu pertumbuhan.

3. Curcumin dapat menurunkan kolesterol darah.

Kegunaan Penelitian

Memberikan informasi tentang peranan curcumin dalam ransum babi sebagai perangsang pertumbuhan dalam upaya meningkatkan produksi babi.


(30)

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Babi

Babi memiliki klasifikasi zoologis sebagai berikut : Phylum : Chordata

Klass : Mamalia (Menyusui)

Ordo : Artiodactyla (Berkuku genap) Famili : Suidae (Non Ruminansi) Genus : Sus

Spesies : Sus scrofa

Sus vittatus Sus celebensis Sus barbatus

Spesies Sus scrofa yang berasal dari Eropa merupakan babi liar yang telah dijinakkan sejak 800 tahun SM. Sus vittatus yang berasal dari India Timur dan Asia Tenggara termasuk Cina yang perkembangannya mencapai Malaysia, Jawa, Sumatera merupakan bangsa babi liar yang telah dijinakkan dan dikembangbiakkan oleh manusia sejak 4.900 tahun SM. Sus celebensis

terdapat di daerah sekitar Sulawesi dan Sus barbatus terdapat di daerah Kalimantan. Berbagai jenis bangsa-bangsa babi modern atau yang saat ini dikenal secara luas merupakan keturunan dari bangsa babi Inggris Kuno atau persilangan dari bangsa Chinese, Siamese dan Napoli (Sihombing 1997).

Menurut Sosroamidjodjo (1997), babi asli Indonesia berasal dari babi hutan yang sampai sekarang masih terdapat hidup liar di hutan, dan babi ini dikenal dengan nama Celeng (Sus verrucosus). Beberapa babi Indonesia yang cukup dikenal di masyarakat antara lain misalnya babi Nias, babi Tanggerang, babi Karawang, babi Bali, dan babi Sumba,. Sedangkan babi liar mangui(hutan), Aili (Batak), Jani (Dayak), Babui (Kayan), Daha (Kapuas) belum banyak dikenal, babi liar ini belum banyak dijinakkan, diburu sebagai sumber makanan bagi suku-suku yang berada di pedalaman. Bangsa-bangsa babi saat ini dibagi menjadi tiga tipe yaitu tipe lemak, tipe daging dan tipe dwiguna (bacon), hal ini terjadi akibat dari permintaan konsumen. Peternakan modern saat ini lebih memilih usaha peternakan babi dengan satu tujuan yaitu untuk menghasilkan daging yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi oleh manusia.

Babi merupakan ternak monogastrik yang memiliki kemampuan dalam mengubah bahan makanan secara efisien apabila ditunjang dengan kualitas ransum yang dikonsumsi. Babi lebih cepat tumbuh, cepat dewasa dan bersifat prolifik yang ditunjukkan dengan banyaknya anak dalam setiap kelahiran yang


(31)

8

berkisar antara 8 -14 ekor dengan rataan dua kali kelahiran pertahunnya (Sihombing 1997).

Pertumbuhan Babi

Maynard et al. (1983) menyatakan bahwa pertumbuhan adalah proses yang sangat kompleks, bukan saja pertambahan bobot badan tetapi juga menyangkut pertumbuhan semua organ tubuh secara serentak dan merata. Pertumbuhan meliputi perbanyakan jumlah sel serta peningkatan ukuran sel. Hyun et al. (1998) menyatakan bahwa faktor makanan yang mempengaruhi pertumbuhan adalah kandungan zat makanan serta daya cerna bahan makanan tersebut. Daya cerna bahan makanan akan mempengaruhi laju perjalanan makanan pada ternak yang tentu saja akan mempengaruhi percepatan pertumbuhan babi. Menurut Tillman et al. (1998) pertumbuhan mempunyai tahap-tahap yang cepat dan lambat. Tahap cepat terjadi pada saat lahir sampai pubertas (sebelum dewasa kelamin) dimana bobot hidup bertambah dengan cepat dan tahap lambat terjadi pada saat-saat kedewasaan tubuh tercapai. Tahap lambat terjadi pada babi periode finisher, terlihat pada bobot badan babi 90 – 100 kg dimana kecepatan pertumbuhan semakin menurun sampai ternak mencapai bobot hidup yang stabil. Selanjutnya dijelaskan oleh Anggorodi (1995) bahwa pertumbuhan dimulai secara perlahan kemudian berlangsung lebih cepat dan akhirnya perlahan - lahan atau sama sekali berhenti. Sihombing (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan babi yang dipelihara untuk tujuan produksi daging terbagi dalam tiga periode yaitu : starter dengan kisaran bobot badan 20-35 kg, grower dengan kisaran bobot badan 35-60 kg dan finisher dengan kisaran bobot badan 60-90 kg.

Sistem Pencernaan Monogastrik

Babi termasuk hewan monogastrik dan bersifat omnivora, yaitu ternak pemakan semua pakan dan memiliki satu perut besar yang sederhana. Pada pencernaan makanan atau zat-zat makanannya dilakukan secara enzimatis. Babi mengambil pakan, mengunyah, dan mencampurkannya dengan air liur (saliva) sebelum akhirnya ditelan. Pada babi saliva mengandung enzim yang mulai memecahkan bahan pakan menjadi unsur-unsur penyusunnya, sehingga seluruh bahan pakan telah di kunyah halus sebelum ditelan. Pakan yang ditelan, bergerak menuju esofagus kemudian ke dalam lambung. Lambung pada babi


(32)

9

juga berfungsi sebagai alat penampung bahan yang sudah tercerna. Sebagian besar kegiatan pencernaan terjadi dalam lambung, selebihnya terjadi dalam usus halus. Usus halus yang terdiri dari bagian-bagian duodenum, jejenum, dan ileum adalah tempat terjadinya penyerapan atau absorpsi yang utama dari zat-zat pakan hasil pencernaan. Bahan-bahan pakan yang tidak tercerna dan tidak diserap bergerak dari usus halus menuju ke caecum dan ke usus besar. Pada bagian ini, komponen air diserap kembali dan sisa yang tertinggal dari proses pencernaan dikeluarkan dalam bentuk feses melalui anus (Sihombing 1997).

Kecernaan Makanan

Menurut Elizabeth (2002), mutu suatu bahan pakan ditentukan oleh interaksi antara unsur gizi, tingkat kecernaan dan tingkat konsumsi. Kandungan unsur gizi merupakan indikator awal yang menunjukkan potensi suatu bahan pakan. Tingkat kecernaan akan menentukan seberapa besar unsur gizi yang terkandung dalam bahan pakan secara potensial dapat dimanfaatkan untuk produksi ternak.

Figueroa (2001) mendefinisikan kualitas protein merupakan manfaat relatif dari protein bahan pakan untuk memenuhi kebutuhan hewan akan protein. Salah satu cara untuk mengukur kualitas protein dapat dilakukan secara biologis yaitu dengan cara mengukur kecernaan dari pakan yang akan diberikan pada ternak. Dikemukakan oleh Sibbald (1979), bahwa pengukur kecernaan pakan penting untuk menentukan apakah protein yang dikonsumsi benar-benar dapat tersedia dan dapat dicerna dengan baik oleh ternak dan kemudian diserap dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan jaringan atau tidak. Persentase protein yang dapat diserap ini yang dianggap sebagai koefisien cerna protein, diperoleh dengan menentukan banyaknya protein yang terdapat dalam ransum dan banyaknya protein yang terdapat dalam feses. Perbedaan diantara kedua bagian ini yang dinyatakan dalam persen, adalah banyaknya protein yang dicerna oleh babi.

Menurut Arifin dan Kardiyono (1985) dan Martini (1998) pada hewan percobaan mencit dan kelinci, curcumin dapat merangsang peningkatan relaksasi usus halus yang mengakibatkan makanan lebih lama di dalam usus halus dan . merangsang sekresi hormon dari kelenjar brunner dalam usus halus. Pada pencernaan babi enzim berperan penting, karena berfungsi mengubah bahan yang kompleks menjadi bahan sederhana. Sel-sel pankreas dikenal


(33)

10

sebagai penghasil enzim-enzim proteolitik dan enzim-enzim lain yang diperlukan pencernaan (Frandson, 1993). Enzim yang dihasilkan oleh pankreas adalah enzim pelengkap dan merupakan enzim-enzim yang bersifat tidak aktif, antara lain adalah chymotripsinogen, tripsinogen, proelastase dan prokarboksi-peptidase yang disekresikan ke dalam duodenum, merubah menjadi bentuk aktif dengan bantuan enzim-enzim enterokinase. Tripsin getah pankreas berfungsi memecah sebagian proteosa dan peptone kedalam hasil-hasil yang lebih sederhana yaitu asam-asam amino (Anggorodi 1995). Enzim tripsin aktif tersebut selanjutnya menjadi prekursor yang membentuk enzim-enzim pencernaan aktif lainnya, yaitu chymotripsin, elastase dan karboksipeptidase.

Ketiga enzim tersebut terkenal sebagai enzim endopeptida yang membantu memecah ikatan peptida dan molekul protein yang besar menjadi rantai peptida yang lebih pendek (Cheeke 1999).

Efisiensi Penggunaan Ransum

Percobaan untuk mengevaluasi ransum biasanya menggunakan pertambahan berat badan dan konsumsi ransum sebagai kriteria pokok. Cheeke (1987) berpendapat bahwa efisiensi ransum berkaitan erat dengan rataan pertambahan bobot badan harian dan konsumsi ransum, pertambahan berat badan harus dikaitkan dengan konsumsi ransumnya, besarnya pertambahan berat badan seekor ternak dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas ransum yang dikonsumsi.

Church (1985) menyatakan bahwa efisiensi penggunaan ransum dipengaruhi oleh genetik, nutrisi dan penyakit, umur dan masa produksi, konsumsi ransum, daya cerna serta imbangan energi dan protein, banyaknya konsumsi ransum akan memberikan kesempatan bagi tubuh untuk menggunakan zat-zat makanan yang diperlukan bagi pertumbuhan, kesempatan tersebut dapat dipengaruhi oleh daya cerna zat-zat makanan. Nilai efisiensi penggunaan ransum akan menunjukkan besarnya nilai konversi ransum ke dalam beberapa bentuk hasil ternak, diantaranya adalah daging yang diperlihatkan dalam pertambahan bobot badan. Curcumin bila di berikan pada ternak dalam jumlah yang tepat akan meningkatkan aktivitas pencernan dan dapat mengoptimalkan manfaat dari ransum yang pada akhirnya akan mempengaruhi efisiensi ransum. Rataan efisiensi penggunaan ransum yang direkomendasikan untuk babi adalah 30 % artinya dari 1 kg ransum yang


(34)

11

dikonsumsi ternak dapat menghasilkan pertambahan bobot badan 300 gram (Sihombing 1997).

Kecepatan Laju Makanan dalam Sistem Pencernaan

Kecepatan laju makanan dalam sistem pencernaan adalah kecepatan makanan melaju dari satu bagian ke bagian yang lain dalam saluran pencernaan. Kecepatan laju makanan dalam sistem saluran pencernaan dipengaruhi oleh keambaan makanan, kadar air atau kadar bahan kering makanan dan waktu pemberian makanan. Kecepatan laju makanan dalam sistem pencernaan pada babi remaja atau dewasa berkisar antara 10-24 jam (Sihombing 1997). Bila makanan yang dikonsumsi terlalu cepat melewati saluran pencernaan, maka tidak cukup waktu untuk mencerna zat-zat makanan secara menyeluruh oleh enzim-enzim pencernaan dan enzim proteolitik yang sangat membantu dalam mengefektifkan pemecahan protein. Curcumin dapat mempengaruhi tonus dan kontraksi usus halus, pemberian dalam dosis rendah dan secara berulang akan mempercepat kontraksi tonus usus halus, tetapi pada dosis tinggi justru akan memperlambat bahkan dapat menghentikan kontraksi usus halus akan tetapi jika diberikan dalam dosis yang tepat akan menyebabkan kontraksi spontan, yaitu kecernaan dan absorpsi bahan makanan akan meningkat. (Gupta et al. 1980)

Aditif Ransum

Bahan aditif ransum ada dua golongan yaitu bahan yang bukan zat makanan yang ditambahkan dalam ransum, seperti bahan atau zat untuk pengobatan. Ada pula bahan aditif yang mengandung bahan atau zat – zat makanan tertentu seperti vitamin – vitamin, mineral – mineral, atau asam – asam amino yang ditambahkan dalam ransum ternak (Sihombing 1997).

Bahan – bahan yang termasuk dalam aditif ransum antara lain antibiotik, antioxidant, arsenik, bahan pencegah perut kembung (bloat), buffer, khemoterapeutik, obat – obatan, enzim, bahan penyedap (flavourings), grit, hormon, ionofor, isoasam dan fungisida. Penggolongan aditif ransum dibagi menjadi empat macam yaitu antibiotik, bahan antibakterial, pemacu pertumbuhan, dan pembaik produksi. Antibiotik adalah bahan kimiawi yang dihasilkan oleh makhluk hidup (jamur, bakteri, atau tumbuhan hijau) yang memiliki sifat kemampuan membunuh atau menghambat (bactericidal dan


(35)

12

bacteriostatic) makro-/mikro-organisme atau makhluk lain. Bahan antibakterial adalah bahan sintetis yang mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Sihombing 1997). Pemacu pertumbuhan adalah bahan yang memperbaiki pertumbuhan dan keefisienan penggunaan makanan yang melalui darah beraksi terhadap hormon dan proses biokimiawi atau metabolisme ternak.

Antibiotik

Pada tahun 1929, Fleming menemukan zat dari jamur yang menghambat pertumbuhan bakteri; selama tahun 1930 – 1940 para peneliti berusaha mengisolasi zat – zat dari jamur dan membuktikan khasiatnya. Kini lebih dari 4000 antibiotik dan sekitar 30 000 antibiotik semi-sintetis dikenal dalam literatur, namun hanya sedikit diantaranya yang dapat dimanfaatkan dalam ransum ternak. Adanya residu antibiotik menyebabkan produk peternakan yang dihasilkan dari Indonesia tidak dapat bersaing dipasaran bebas karena produk peternakan yang bebas residu merupakan syarat di dunia Internasional (Murdiati 1997).

Beberapa antibiotik ada yang kurang baik sebagai aditif, tetapi baik digunakan untuk bahan obat. Pemakaian aditif dalam makanan ternak, sebagai pemacu pertumbuhan atau sebagai antibakteri, berkembang terus. Antibiotik sebagai aditif makanan hanyalah satu pengertian umum untuk memperbaiki pertumbuhan ternak, dan fungsinya yang lain adalah menekan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme tertentu. Struktur kimia, spektrum bakterial dan pola penyerapan dan ekskresi dari antibiotik berpengaruh terhadap daya hambat dan daya bunuh bakteri patogen, namun gabungan sifat – sifat tersebut dapat berfungsi sebagai pendorong atau pemacu petumbuhan ternak. Antibiotik yang sering digunakan dalam dunia peternakan babi meliputi:

Bacitracin, Tylosin, Spiramycin, Virginiamycin, Olaquindox, dan Carbadox

(Sihombing 1997).

Hamscher et al. (2003) menemukan debu yang berasal dari bedding, pakan dan feses peternakan babi di Jerman, 90% dari sampel yang diambil mengandung 12.5 mg/kg residu antibiotik tylosin, tetracycline, sulfamethazine

dan chloramphenicol, kontaminasi udara ini akan mengganggu pernapasan hewan atau manusia yang hidup di sekitar kandang. Nijsten et al. (1994) melakukan pengujian berbagai resistensi antibiotik terhadap Escherichia coli


(36)

13

Tabel 1 Resistensi E. coli yang berasal dari feses babi dan peternak babi terhadap beberapa antibiotik (Nijsten et al. 1994)

Jenis Antibiotik Resistensi Babi (%) Resistensi Peternak Babi (%) Amoxycillin Apramycin Amoxycillin/clavulanic acid Chloramphenicol Nitrofurantoin Nalidixic acid Neomycin Oxytetracycline Streptomycin Sulphamethoxazole Trimethoprim 25 0 0 13 8 0 7 57 71 45 16 28 0 0 7 3 2 3 32 34 35 10 Virginiamycin

Virginiamycin termasuk golongan antibiotik kelompok streptogramin.

Virginiamycin tidaklah digunakan dalam pengobatan manusia. Golongan antibiotik ini meliputi pristinamycin, dalfopristin dan quinupristin (dua kelompok yang disebutkan terakhir dipasaran dikenal sebagai Synercid). Antibiotik penting dalam melawan Enterococci yang bersifat resisten. Virginiamycin meliputi dua komponen peptolide cair-padat yaitu antimikrobial virginiamycin S dan

virginiamycin M. Campuran ini bertindak bersama-sama secara sinergi dan bersifat bakterisidal. Dua komponen utama virginiamycin bersifat bakteriostatik

tetapi bersama – sama mereka juga bersifat bakterisidal. Virginiamycin adalah senyawa bakterisidal yang melawan berbagai macam mikroorganisme seperti

Staphylococci, Streptococci dan Enterococci (Tony et al. 2000)

Virginiamycin tidak efektif terhadap Enterobacteria sebab tidak mampu menembus dinding sel walaupun aktivitas secara invitro telah dilakukan terhadap beberapa bakteri gram negatif lain (Spirochaetes, Haemophilus spp., Pasteurella multocida, Mycoplasma spp., Ureaplasma spp., dan Chlamydia spp). Antibiotik jenis virginiamycin merupakan hasil isolasi dari Streptomyces virginae.

Streptomyces merupakan golongan bakteri yang diketahui dapat menghasilkan komponen bioaktif yang berupa antibiotik sampai 70%. Virginiamycin dianjurkan digunakan pada babi dengan dosis rataan 5 – 50 ppm dari lahir sampai 4 bulan, 5 sampai 20 ppm untuk babi periode finisher. Antibiotik virginiamycin digunakan juga sebagai Veterinary Drugs dimana waktu tunggu pemotongan setelah


(37)

14

pengobatan pada babi tidak ditentukan (Sihombing 1997). Hal ini akan sangat menguntungkan bagi para peternak babi karena dapat melakukan pemotongan tanpa menunggu keluarnya residu antibiotik virginiamycin yang terdapat dalam tubuh babi yang sembuh dari sakit, khususnya pada babi yang telah mencapai fase finisher (60 – 90 kg). Keuntungan penggunaan virginiamycin lainnya yaitu : meningkatkan bobot hidup dan konversi ransum, meningkatkan penampilan babi untuk setiap periode pertumbuhan babi, meningkatkan kualitas karkas akan lebih kering. Virginiamycin juga dapat berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan tidak hanya pada fase starter namun pada semua periode pertumbuhan babi. Efektivitas antibiotik virginiamycin dalam penggunaan yang lama terhadap mikroorganisme selalu tetap dari tahun ketahun dan selalu efektif Harper et al.

(1983).

Dalam hal ini mekanisme kerja dari virginiamycin adalah bertindak sebagai senyawa bakterisidal di lokasi sekitar ribosom bakteri yang terletak di dekat kelompok macrolide dan lincosamide. Aksinya menyerupai suatu

macrolide, yang mana hal itu akan menghalangi sintesis protein dengan cara bertindak didalam 50S ribosom bakteri. Secara rinci, virginiamycin M menghalangi pemanjangan rantai polypeptide yang diikat oleh peptidyl transferase, dan virginiamycin S, bertindak serupa, yaitu meningkatkan dan memperbaiki komponen – komponen yang saling terikat tersebut (Harper et al.

1983)

Di dalam tubuh, virginiamycin tidak diserap secara sempurna oleh saluran gastro-intestinal. Penyerapannya didistribusikan secara luas ke dalam jaringan dan aliran darah. Kira-kira 13% dari dosis virginiamycin yang diserap tubuh dikeluarkan melalui ginjal dengan sisanya bersama tinja melalui empedu.

Virginiamycin yang tidak diserap tubuh dikeluarkan bersama tinja dan semakin inaktif saat melewati usus besar. Studi telah menunjukkan bahwa ada sedikit kandungan aktif yang masih tertinggal namun akan musnah oleh lingkungan. Waktu paruh dari virginiamycin adalah kira-kira lima jam (Tony et al. 2000) .

Mekanisme resistensi bakteri terhadap virginiamycin dapat disandikan pada kedua kromosom bakteri dan plasmids (plasmid membawa resistensi bakteri terhadap virginiamycin M yang telah dikenali sejak awal 1977 pada

Staphylococcus aureus manusia). Plasmid merupakan media dalam perpindahan resistensi. Ada juga mekanisme lain yang mencakup perubahan permebilitas membran, mekanisme efflux, hidrolisis enzymatic dari lingkaran


(38)

15

lactone antibiotik atau berpasangan (acylation, adenylation atau phosphorylation, plasmid tertentu) Tony et al. (2000).

Cara Kerja Antibiotik

Pada umumnya, feed additive seharusnya mengurangi jumlah koloni patogen dalam saluran pencernaan, mencegah penyakit, memaksimalkan keuntungan dan daya cerna, meningkatkan efisiensi konversi ransum, dan meminimalisasi polusi. Fungsi antibiotik sebagai aditif adalah mendukung bakteri mensintesis zat makanan, yang tidak maupun yang diketahui, yang dibutuhkan oleh ternak, menghambat mikroorganisme perusak zat makanan bagi ternak, memperbaiki ketersediaan dan penyerapan zat makanan tertentu, menghambat pertumbuhan organisme penghasil ammonia dan penghasil bahan toksik ikutan lainnya dalam saluran pencernaan, dan mencegah atau mengontrol penyakit tertentu dalam saluran pencernaan makanan atau dibagian tubuh yang lain. Dari hal – hal yang disebut tadi paling sedikit kombinasi tiga cara kerja aktif antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan yang dapat dikemukakan yakni, efek metabolis, efek pecadang makanan dan efek kontrol penyebab penyakit (Sihombing,1997).

Dosis antibiotik di taraf subtherapeutic akan beraksi penuh dengan mengurangi jumlah mikroorganisme dalam usus, hasilnya dalam sel intestinal terjadi reduksi secara total dan dengan demikian terjadi pengurangan energi yang dibutuhkan oleh sel – sel intestinal. Energi tambahan ini sangat berguna bagi hewan ternak, terutama untuk meningkatkan penampilan pertumbuhan. Selanjutnya, pemberian antibiotik dalam ransum akan menekan mikroorganisme dalam usus yang akan membantu penampilan hewan ternak secara maksimal mendekati potensi genetiknya. Namun penggunaan antibiotik sebagai feed additive juga dikhawatirkan merubah proporsi dari bakteri spesifik saluran pencernaan yang terus membentuk koloni lebih banyak dari spesies bakteri yang tidak berbahaya, sehingga menekan bakteri yang tidak berbahaya (Metzler

et al. 2005).

Larangan Penggunaan Antibiotik

Selama beberapa dekade, peningkatan bakteri yang resisten terhadap antibiotik menimbulkan persoalan tentang penggunaan antibiotik. Hal ini sangatlah umum diterima bahwa keberadaan hubungan antara penggunaan antibiotik dengan peningkatan makhluk hidup dan hewan yang resisten. Sampai


(39)

16

saat itu, berbagai usaha terus dilakukan untuk mengawasi penggunaan dan resistensi oleh antibiotik dalam makhluk hidup dan hasil ternak. Pada tahun 1996, Swann Committee of the United Kingdom memutuskan bahwa penggunaan antibiotik untuk kemoterapi makhluk hidup seharusnya tidak digunakan sebagai feed additive (misalnya Tetracycline) Warsaw (2005).

Swedia adalah negara pertama di Eropa yang memulai pelarangan antibiotik sebagai pemicu pertumbuhan; penggunaan antibiotik sebagai feed additive telah dilarang pada tahun 1986. Sejak saat itu, antibiotik hanya diijinkan oleh kedokteran hewan sebagai terapi untuk penyembuhan atau pencegahan penyakit dan hasil ternak dari Swedia yang tanpa menggunakan antibiotik dalam ransum memperlihatkan hasil yang kurang memuaskan. Sejak tahun 1987, angka kematian telah berkurang 0,9% dan rataan bobot badan 25 kg dicapai 1 – 2 hari lebih cepat. Bagaimanapun, selama tahun pertama setelah adanya larangan, penggunaan terapi antibiotik meningkat, khususnya dalam produksi babi yang bermasalah dengan kesehatan (Metzler et al. 2005).

Sampai saat itu, berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan kondisi manajemen dan standar kebersihan. Sejak tahun 1993, tahapan penurunan penggunaan antibiotik mulai dilakukan. Pada tahun 1998, hanya 15 % babi yang diberikan beberapa jenis antibiotik atau zinc – oxide selama masa pemeliharaan (Metzler et al. 2005) Denmark mengikuti Swedia dan melarang penggunaan beberapa jenis antibiotik dalam ransum pada proses produksi babi saat fase finisher pada tahun 1998, dan pada semua fase pada tahun 2000. Sejak tahun 2000, penggunaan antibiotik sebagai feed additive di Denmark telah berakhir. Bagaimanapun, larangan antibiotik dalam ransum pada semua fase menimbulkan masalah kesehatan yang serius, meningkatkan biaya produksi, dan masih banyak lagi. Hal itu dipersulit dengan adanya anjuran penggunaan antibiotik hanya sebagai terapi kedokteran.

Pada tahun 1999, EU Scientific Steering Committe telah meninjau ulang penggunaan antibiotik sebagai pengobatan dan non-pengobatan dalam EU (European Commission Health and Consumer Protection Directorate 2003). Sebagai konsekuensinya maka penggunaan antibiotik dalam ransum di EU telah dilarang pada tahun 1999 sebagai sebuah tindakan percobaan pengukuran untuk meminimalisasi resiko peningkatan bakteri yang resisten dan untuk menjaga efektivitas kegunaan beberapa antibiotik dalam pengobatan makhluk hidup (Metzler et al. 2005). Antibiotik yang dilarang meliputi: bacitracin, tylosin,


(40)

17

spiramycin, virginiamycin, olaquindox, dan carbadox. Saat ini hanya empat jenis zat pemicu pertumbuhan yang masih diijinkan sebagai feed additive di EU yang meliputi: Lavophospholipol, salinomycin sodium, avilamycin dan monensin sodium. Bagaimanapun keempatnya juga telah dilarang sejak tahun 2006.

Curcumin

Kunyit merupakan salah satu jenis tanaman rempah-rempah asli Asia Tenggara. Tanaman ini termasuk keluarga zingiberaceae, dapat tumbuh pada daerah iklim tropis dari dataran rendah sampai 2000 m di atas permukaan laut, kisaran suhu optimal adalah 19–30ºC dengan curah hujan antara 1500-4000 mm/tahun (Sudiarto dan Ratu, 1985). Kunyit mengandung antibakteri, antihepatotoksik dan antioksidan, komponen utama kunyit adalah minyak atsiri dan curcumin zat berwarna kuning (Ashari 1995). Kandungan minyak atsiri dan

curcumin kunyit menurut Hembing (1996) masing-masing 3 - 5% dan 3 - 4 %.

Curcumin mempunyai rumus molekul C21H20O6 (Gambar 1) dengan bobot

molekul 368, diduga gugusan aktif pada curcumin terletak pada gugus metoksi. Gugus hidroksil fenolat yang terdapat dalam struktur curcumin menyebabkan aktivitas antibakteri. Curcumin memiliki titik cair 18 - 82oC, berwarna kuning jingga, berbentuk serbuk dengan sedikit rasa pahit, tidak larut dalam air, sedikit larut dalam eter, larut dalam alkohol dan alkali, warna tidak stabil terhadap sinar matahari dan stabil terhadap panas, mempunyai aroma spesifik dan tidak bersifat toksik (Kiso, 1985).

H3CO

HO

O O

OCH3

OH H H

Gambar 2 Struktur molekul dari curcumin (Van Der Goet, 1985)

Sidik et al. (1985), menemukan bahwa curcumin mengalami degradasi bila proses pengeringannya dengan menggunakan sinar matahari langsung, ditunjukkan dengan perubahan warna yang lebih gelap.


(41)

18

Isolasi Curcumin

Isolasi curcumin dapat dilakukan dengan berbagai metode dan variasi. Sidik et al. (1985), melakukan penelitian berbagai teknik isolasi basah dan kering, isolasi cara kering dilakukan menggunakan pelarut organik, sedangkan cara basah dengan menggunakan zat aktif permukaan seperti zat hasil penyabunan antara oleum riuni dan natrium hidroksida. Isolasi curcumin dengan cara basah ini dilakukan dengan mencampur zat aktif dengan rimpang direfluks lalu disaring, pada filtrat ditambahkan asam sitrat hingga pH 6 lalu dibiarkan pada keadaan dingin, setelah terjadi pengendapan sempurna dalam waktu sekitar 24 jam, endapan curcumin disaring dan dikeringkan.

Pelarut organik yang digunakan pada isolasi cara kering adalah eter minyak tanah, n-heksan, benzen, alkohol, dan aseton. Dua cara kering yang terbaik untuk memperoleh curcumin yang tinggi adalah: menggunakan teknik soxletasi dengan aseton sebagai pelarut ekstrak aseton diuapkan hingga diperoleh endapan, kemudian endapan dicuci dengan eter minyak tanah lalu dikeringkan, dan dengan cara teknik refluks dengan etanol sebagai pelarut lalu disaring panas-panas, filtrat dipekatkan sehingga terjadi endapan curcumin yang dikeringkan setelah pencucian dengan eter minyak tanah. Hasil curcumin yang diperoleh dengan cara ini sekitar 18-19,9% (Sidik et al. 1985).

Cara Kerja Curcumin

Curcumin Sebagai Antibakteri dan Jamur

Curcumin adalah senyawa fenol yang menurut Fardiaz (1982) masuk kelompok senyawa kimia yang bersifat antimikroba seperti fenol, alkohol, halogen, logam berat, senyawa amonium kuarterner, asam dan basa serta gas kemosteril. Kumar et al. (2001) menemukan bahwa curcumin sebagai antibakteri, bekerja dengan menghambat produksi β-lactamase dari mikroorganisme untuk membentuk dinding sel. Keuntungan lain dari curcumin

menurut Aguilar et al. (1993) bahan aktif dari tanaman kunyit kurang efektif membunuh bakteri Lactobacacillus casei, Bifidobacterium bifidum dan Lactobacillus acidophilus yang merupakan koloni mikroorganisme yang terdapat dalam mulut, faring dan perut manusia, untuk menjaga keseimbangan mikroflora dalam sistem pencernaan manusia.


(42)

19

Curcumin sebagai Pemacu Pencernaan (Digest-Promotor)

a. Pada Lambung

Selain untuk membunuh bakteri patogen beberapa peneliti menunjukkan bahwa curcumin dapat merangsang organ lambung, untuk menghasilkan cairan yang berfungsi terutama untuk pencernaan protein. Mukherjee et al. (1974) menemukan serbuk rimpang temulawak yang mengandung curcumin yang diberikan pada kelinci percobaan menunjukkan aktivitas peningkatan musin dalam cairan lambung. Kenyataan ini membuka peluang pemanfaatan curcumin

untuk meningkatkan kecernaan makanan. Lee et al. (2003) menemukan serbuk rimpang temulawak yang mengandung curcumin yang diberikan pada kelinci percobaan menunjukkan aktivitas peningkatan musin dalam cairan lambung, hal ini akan melindungi lambung dari iritasi. Pemberian curcumin pada marmut dosis 50 mg/kg menunjukkan sifat melindungi lambung dari obat perangsang sakit lambung phenylbutazone (Sinha et al. 1974). Dengan meningkatnya produksi cairan lambung maka diharapkan akan diperoleh kecernaan protein yang lebih tinggi.

b. Pada Usus Halus

Usus diketahui sebagai organ untuk mencerna dan menyerap zat makanan yang diperlukan tubuh, respon usus dua belas jari dalam proses sekresi cairannya akibat berhubungan dengan pangan yang dikonsumsi, sebagian diatur oleh syaraf dan sebagian lagi diatur oleh hormon (Piliang 2000). Beberapa peneliti menemukan bahwa mekanisme curcumin dapat merangsang sekresi enzim dari usus halus seperti yang diuraikan oleh Platel dan Srinivasan, (2000) bahwa curcumin dapat merangsang sektresi enzim usus halus pada tikus antara lain lipase, sukrase dan maltase.

Rao et al. (1982), mempelajari aktivitas natrium curcuminat sebagai Antispasmodic pada ileum usus marmot sangat nyata dalam melawan efek spasmogen. Hasil penelitian menunjukkan aktivitas penghambatan spasmogen natrium curcumin merupakan penghambat tidak spesifik. Jadi dari penelitian ini pemberian curcumin dengan dosis yang tepat akan meningkatkan kecernaan makanan dengan meningkatkan sekresi enzim-enzim pencernaan dan menurunkan peristaltik usus, sehingga memberikan penyerapan zat-zat makanan hasil pencernaan lebih banyak. Sudah menjadi kebiasaan di


(43)

20

masyarakat luas untuk memberikan kunyit sebagai obat tradisional terhadap kelainan saluran pencernaan.

c. Pada Hati

Peranan curcumin terhadap hati ditemukan oleh Bawman (1983), bahwa rimpang temulawak mempunyai aktivitas kolagoga, yaitu meningkatkan produksi dan sekresi empedu yang bekerja kolekinetik dan koleretik. Bawman (1983) juga melaporkan tentang delapan penderita kelainan hati dengan pemberian 9,6 mg curcumin, setiap 10 menit sekresi empedu diamati, diperoleh dapat meningkatkan sekresi empedu yang terlihat nyata pada penurunan kadar bilirubin , kolesterin dan lipase para penderita. Secara umum peningkatan sekresi cairan empedu akan menyebabkan partikel padat dalam empedu berkurang, berdasarkan ini curcumin mempunyai prospek baik untuk digunakan pada gangguan metabolisme lemak yang berhubungan dengan metabolisme kolesterol. Berdasarkan beberapa hasil penelitian ini diharapkan pemberian

curcumin dapat meningkatkan kecernaan lemak dan menghasilkan kualitas daging babi yang rendah akan kolesterol, karena curcumin meningkatkan sekresi dari empedu.

Sebagaimana diketahui bahwa pola penyakit di Indonesia (bahkan di dunia) telah mengalami pergeseran dari penyakit infeksi (yang terjadi sekitar tahun 1970 ke bawah) ke penyakit-penyakit metabolik degeneratif (sesudah tahun 1970 hingga sekarang). Hal ini seiring dengan laju perkembangan tingkat ekonomi dan peradaban manusia yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi dengan berbagai penemuan baru yang bermanfaat dalam pengobatan dan peningkatan kesejahteraan umat manusia. Akan tetapi timbul penyakit baru yang bukan disebabkan oleh jasad renik, melainkan oleh gangguan metabolisme tubuh akibat konsumsi berbagai jenis makanan yang tidak terkendali serta gangguan faal tubuh sejalan dengan proses degenerasi. Penyakit ini dikenal dengan sebutan penyakit metabolik dan degeneratif, yang termasuk penyakit metabolik antara lain : diabetes (kecing manis), hiperlipidemia (kolesterol tinggi), asam urat, batu ginjal dan hepatitis; sedangkan penyakit degeneratif diantaranya : rematik (radang persendian),

asma (sesak nafas), ulser (tukak lambung), haemorrhoid (ambaien/wasir) dan

pikun (lost of memory). Sebagaimana diketahui bahwa curcumin mempunyai khasiat meningkatkan sekresi empedu. Empedu diproduksi oleh sel hati


(44)

21

kemudian masuk ke dalam duodenum untuk membantu proses penyerapan. Empedu selain mengandung air, juga mengandung garam empedu, pigmen empedu, kolesterol dan lipida (Hadi, 1983).

Rao et al. (1970) menemukan bahwa tikus betina putih berat 45-50g umur 45 hari, diberikan 0,1 - 0,5% curcumin dalam ransum selama tujuh minggu, menunjukkan peningkatan ekskresi asam empedu dan kolesterol melalui feses, pada akhir penelitian kadar kolestrol darah dan sel hati menunjukkan penurunan. Djamhuri (1981) membandingkan juga obat penurun kolesterol yaitu atromid dengan curcumin dari temulawak terhadap enam ekor anjing dewasa berat 10-12 kg, diperoleh bahwa dosis Atromid 75 mg/kg BB setara dengan dosis

curcumin 400 mg/kg BB selama tiga hari menunjukkan terjadi penurunan kadar kolesterol darah tidak berbeda nyata pada dosis tersebut. Sunaryo et al. (1985) melakukan penelitian pemberian curcumin dosis 0.1 – 0.5 % dalam ransum tikus putih selama 30 hari menunjukkan dapat menurunkan kadar kolesterol serum darah dan meningkatkan persentase kolesterol HDL (High Density Lipoprotein) dalam serum. Berdasarkan hasil ini diperoleh bahwa selain menghilangkan antibiotik juga diharapkan pengganti ini dapat menghasilkan daging yang aman bagi konsumen, untuk mengurangi penyakit diatas.

d. Pada Pankreas

Pankreas adalah kelenjar yang membantu kecernaan makanan dengan menghasilkan beberapa enzim-enzim yang dapat mencerna karbohidrat, lemak dan protein, sekresi dari pankreas dirangsang oleh beberapa faktor diantaranya syaraf vagus, masuknya HCl ke dalam usus dua belas jari dan hormonal yang dihasilkan oleh usus dua belas jari (secretin) (Piliang 2000). Dengan pemberian

curcumin, selain meningkatkan ekskresi empedu sebagai hasil produksi dari sel hati, juga meningkatkan sekresi pankreas, hal ini dibuktikan pada penelitian Bawman (1983) yang mengadakan pemeriksaan delapan penderita penyakit hati yaitu tampak kenaikan sekresi empedu dan pankreas, dan terlihat juga penurunan kadar lipase dan penurunan kadar bilirubin dan kolesterin. Chey et al.

(1983). pemberian curcumin pada anjing dan manusia dapat meningkatkan sekresi pankreas dan bikarbonat dari pankreas. Platel dan Srinivasan (2000) menambahkan pemberian curcumin pada hewan tikus putih meningkatkan produksi enzim pankreas seperti lipase, amilase, tripsin dan khimotripsin.


(45)

22

Perjalanan dan Distribusi Curcumin dalam Tubuh (Farmakokinetik) Mutu suatu bahan aktif tergantung pada kinetik bahan tersebut dalam tubuh meliputi absorbsi, distribusi, metabolisme dan sekresi. Wahlstrom dan Blennow, (1978) memberikan curcumin secara oral pada tikus mengeluarkan dari tubuh cukup tinggi ditemukan pada feses dan sedikit pada urin.

Ravindranath dan Chandrasekhara (1980) melakukan pemberian

curcumin 400, 80 dan 10 mg/ekor/hari pada tikus putih selama dua minggu. Satu jam pemberian, diperoleh 90% terakumulasi di dalam lambung dan usus halus, setelah 24 jam kadarnya tinggal 1%, dan absorbsi dalam usus halus 3 – 7 jam setelah pemberian melalui oral. Setelah lima hari sekitar 40% curcumin

diekresikan melalui feses, dan sisanya 60% diabsorbsi oleh tubuh, pemeriksaan distribusinya dalam jaringan, curcumin tidak diketemukan dalam jantung, hanya sebagian kecil dalam pembuluh darah portal hati dan ginjal, penelitiannya juga menunjukkan bahwa curcumin tidak disekresikan melalui urin. Eliminasi

curcumin paling tinggi dalam tinja. Pemberian dosis lebih rendah dari 80 dan 10 mg mg/e/h diekresikan setelah 72 jam, dosis lebih dari 400 mg diekresikan setelah 12 hari, pemberian curcumin dalam ransum, 60-66% curcumin dari dosis yang diberikan dapat diabsorbsi oleh tubuh. Dari data ini diketahui bahwa

curcumin dengan cepat dikeluarkan dari dalam tubuh tikus. Tabel 2 menunjukkan bahwa penggunaan curcumin bagi beberapa hewan percobaan sangat efektif untuk pertumbuhan dan efisiensi penggunaan ransum, tetapi pada dosis yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan atau organ.

Mikroflora Saluran Pencernaan

Saluran pencernaan babi mengandung sekitar 1014 mikroorganisme dimana > 90% merupakan mikroorganisme gram positif, bakteri anaerob, seperti

Streptococci, Lactobacilli, Eubacteria, dan Peptostreptococci (Metzler et al.

2005). Kebanyakan mikroorganisme yang menempati saluran pencernaan adalah tidak berbahaya dan tidak menimbulkan penyakit intestinal. Bagaimanapun ada hubungan kompleksitas dari komunitas mikroorganisme saluran pencernaan, dan sebagian besar bakteri dalam saluran pencernaan babi belum dikelompok – kelompokkan. Jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan dari spesies bakteri yang ada dalam saluran pencernaan, hanya sedikit dari mereka (contoh: E coli, Salmonella spp) yang dapat mengganggu


(46)

23

keseimbangan mikroflora usus. Jumlah mikroorganisme dalam saluran pencernaan babi periode finisher dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 2. Dosis curcumin pada hewan percobaan

Peneliti Dosis Pengaruh

Ramdhan (1998) Aziz (1998) Martini (1998) Al-Sultan (2003) Bile et al. (1985)

Gupta et al. (1980) Sinaga (2003)

Tepung kunyit 1 – 1.5 % pada broiler Tepung kunyit 2% pada broiler Tepung kunyit 1 – 1.5 % pada kelinci Tepung kunyit 0.5% pada broiler

Curcumin 240 dan 1551 mg/kg BB dalam ransum babi,

Curcumin dan 100 mg/kg pada tikus. Tepung kunyit 0.4% pada babi

Mengurangi lemak abdominal dg tidak mempengaruhi persentase karkas. Pertambahan bobot badan harian tinggi Meningkatkan efisiensi ransum

Pertambahan bobot badan harian terbaik Kerusakan ginjal, hati dan kelenjar tiroid

Menujukkan gejala penyakit lambung. Aktivitas ulserogenik

Menunjukkan efisiensi ransum tertinggi, setara dengan 120 ppm.

Tabel 3. Jumlah mikroorganisme saluran pencernaan babi periode

Finisher (transformasi logaritma) Bagian saluran

pencernaan Bentuk coli Enterokoksi Laktobacillus Kapang Jamur

(Bahan makanan) 5.4* 4.9 3.0 0.8 3.3

Lambung 7.7 6.8 7.9 4.6 3.5

Usus kecil 9.3 6.7 7.8 4.6 3.5

Usus besar 9.2 8.0 8.2 4.4 4.0

Feces 9.9 7.8 8.5 4.1 4.0

Sumber: Horvath, et al. (1958), dilaporkan oleh Pond dan Manner (1974) dalam Parrakasi (1983). Keterangan: * Log dari sel – sel yang hidup/gram bahan kering.

Tabel 4. Hasil perhitungan bentuk antilog jumlah mikroorganisme saluran pencernaan babi finisher

Bagian saluran

pencernaan Bentuk coli Enterokoksi Laktobacillus Kapang Jamur

(Bahan makanan) 251 189 79 433 1000 6 1995

Lambung 50 118 723 6 309 573 79 432 824 39 811 3162

Usus kecil 1 995 262 315 5 011 872 63 095 735 39 811 3162

Usus besar 154 893 192 100 000 000 158 489 319 25 119 10 000

Feces 7 943 282 347 39 810 717 316 227 766 12 589 10 000

Sumber: Horvath, et al. 1958. Dilaporkan oleh Pond dan Manner. 1974 dalam Parrakasi, 1983. Keterangan: * Log dari sel – sel yang hidup/gram bahan kering.

Pada babi yang sehat, keseimbangan ini didasari pada kompetisi yang cenderung konstan antara bakteri yang bersaing untuk melekat dan mendapat nutrisi dalam lumen dari saluran pencernaan (Metzler et al. 2005).


(47)

24

Total Plate Count

Total Plate Count (TPC) adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui jumlah total bakteri pada suatu sampel. Metode ini digunakan untuk melihat jumlah bakteri dari koloni bakteri yang terbentuk pada media agar yang dipersiapkan untuk pertumbuhan bakteri tersebut (Rusdi et al. 2001). Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Koch pada tahun 1880, setelah beliau mengembangkan agar media untuk pertumbuhan bakteri. Metode ini mengalami perkembangan hingga tahun 1916 menjadi suatu prosedur perhitungan bakteri yang dikenal dunia. Asumsi dasar dari metode ini adalah bahwa satu sel bakteri akan membentuk satu koloni bakteri yang dapat dilihat oleh mata telanjang dari seluruh tipe mikroorganisme pada sampel yang dianalisis untuk perhitungan jumlah total mikroba yang tumbuh pada satu media agar yang diinkubasi pada satu kondisi yang diatur (Cunningham dan Cox 1987).

Terdapat beberapa teknik pengambilan sampel dalam metode Total Plate Count (TPC) ini yaitu diantaranya teknik pour plate atau teknik tuang dan teknik swab atau teknik ulas. Pada teknik pour plate, sampel yang berupa padatan dicincang terlebih dahulu dan kemudian diencerkan dengan menggunakan NaCl fisiologis steril dengan perbandingan tertentu, lalu dituangkan pada agar media yang telah dipersiapkan. Lain halnya pada teknik

swab yang dilakukan dengan mengulaskan permukaan sampel yang akan diuji kemudian ulasan tersebut diulaskan pada agar media yang telah dipersiapkan. Koloni mikroba yang terbentuk menunjukkan jumlah total bakteri pada sampel (Rusdi et al. 2001).

Koliform

Koliform merupakan kelompok bakteri gram negaif, tidak berspora, berbentuk batang, bersifat fakultatif anaerob, dapat memfermentasi laktosa, dan pada umumnya hidup dalam saluran pencernaan manusia dan hewan (Board 1988). Bakteri koliform dapat tumbuh pada rentang suhu yang cukup jauh yaitu dari – 2º – 50º C dan suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah 37º C , dan juga hidup pada kisaran pH 4.4 sampai 9.0. Kelompok bakteri ini juga dapat tumbuh dengan baik pada media yang mengandung karbon organik dan nitrogen, dan masih tetap tumbuh pada garam empedu yaitu garam yang dapat menghambat pertumbuhan gram positif (Jay 1978).


(1)

Lampiran 11. Analisis Statistik Pengaruh Curcumin dan E.Coli terhadap

Karakteristik Karkas

a. Bobot Potong

Perlakuan Ransum

Ulangan

R0 R1 R2 R3

……….(kg)……….……….

1

102.50

107.50

99.00

98.50

2

104.00

108.50

97.50

98.50

3

100.50

108.00

97.00

99.00

4

102.50

110.00

98.50

100.00

5

101.00

108.50

98.50

101.00

6

105.00

109.50

97.50

100.50

Total

615.50

652.00

588.00

597.50

Rataan

102.58

108.67

98.00

99.58

One-way ANOVA: B.Potong versus Perlakuan

Source DF SS MS F P

Perlakuan 3 398.71 132.90 95.79 0.000

Error 20 27.75 1.39

Total 23 426.46

S = 1.178 R-Sq = 93.49% R-Sq(adj) = 92.52%

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+---+--- R0 6 102.58 1.72 (--*--)

R1 6 108.67 0.93 (-*--) R2 6 98.00 0.77 (--*--)

R3 6 99.58 1.07 (--*-)

---+---+---+---+--- 98.0 101.5 105.0 108.5 Pooled StDev = 1.18

b. Bobot Karkas

Perlakuan Ransum

Ulangan

R0

R1

R2

R3

……….

(kg)

……….…………

1

75.50

84.00

70.50

71.50

2

74.00

83.50

68.00

72.00

3

72.00

84.50

70.00

71.00

4

75.00

87.00

70.50

71.50

5

75.50

84.00

69.00

72.00

6

76.50

86.00

69.00

71.00

Total

448.50

509.00

417.00

429.00


(2)

One-way ANOVA: B.Karkas versus Perlakuan

Source DF SS MS F P

Perlakuan 3 835.03 278.34 200.91 0.000

Error 20 27.71 1.39

Total 23 862.74

S = 1.177 R-Sq = 96.79% R-Sq(adj) = 96.31%

Individual 95% Cis For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+---+--- R0 6 74.750 1.573 (--*-)

R1 6 84.833 1.366 (-*-) R2 6 69.500 1.000 (-*-)

R3 6 71.500 0.447 (-*-)

---+---+---+---+--- 70.0 75.0 80.0 85.0 Pooled StDev = 1.177

c. Persentase Karkas

Perlakuan Ransum

Ulangan

R0

R1

R2

R3

………(%)...

1

78.05

77.21

75.76

77.16

2

74.04

77.42

76.92

76.14

3

78.11

78.70

77.84

77.27

4

78.05

76.82

74.11

75.00

5

74.75

77.42

75.13

75.25

6

77.14

78.54

76.92

76.62

Total

460.14

466.11

456.68

457.44

Rataan

76.69

77.69

76.11

76.24

One-way ANOVA: %Karkas versus Perlakuan

Source DF SS MS F P

Perlakuan 3 9.15 3.05 1.82 0.176

Error 20 33.55 1.68

Total 23 42.70

S = 1.295 R-Sq = 21.43% R-Sq(adj) = 9.64%

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev +---+---+---+--- R0 6 76.690 1.828 (---*---)

R1 6 77.685 0.758 (---*---) R2 6 76.113 1.370 (---*---)

R3 6 76.240 0.957 (---*---)

+---+---+---+--- 75.0 76.0 77.0 78.0


(3)

d. TLP Karkas

Perlakuan Ransum

Ulangan

R0

R1

R2

R3

………..(cm)……..………..

1

2.60

2.80

3.10

2.30

2

2.90

2.80

3.00

2.00

3

2.50

3.20

3.20

2.10

4

3.10

3.50

3.20

2.40

5

3.10

2.90

2.60

3.00

6

2.50

3.00

2.65

2.40

Total

16.70

18.20

17.75

14.20

Rataan

2.78

3.03

2.96

2.37

One-way ANOVA: TLP versus Perlakuan

Source DF SS MS F P

Perlakuan 3 1.6003 0.5334 6.07 0.004

Error 20 1.7571 0.0879

Total 23 3.3574

S = 0.2964 R-Sq = 47.67% R-Sq(adj) = 39.82%

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev +---+---+---+--- R0 6 2.7833 0.2858 (---*---)

R1 6 3.0333 0.2733 (---*---) R2 6 2.9583 0.2691 (---*---) R3 6 2.3667 0.3502 (---*---)

+---+---+---+--- 2.10 2.40 2.70 3.00

Pooled StDev = 0.2964

e. LEA Karkas

Perlakuan Ransum

Ulangan

R0

R1

R2

R3

………..(cm2)…..………..…………..

1

42.50

43.00

40.20

32.00

2

42.00

42.70

40.50

35.00

3

43.00

42.00

36.30

42.30

4

35.00

43.90

38.00

42.50

5

39.00

43.20

32.70

43.00

6

42.00

43.50

35.00

43.20

Total

243.50

258.30

222.70

238.00

Rataan

40.58

43.05

37.12

39.67

One-way ANOVA: LEA versus Perlakuan

Source DF SS MS F P

Perlakuan 3 108.1 36.0 3.36 0.039

Error 20 214.9 10.7

Total 23 323.0


(4)

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+---+--- R0 6 40.583 3.073 (---*---)

R1 6 43.050 0.660 (---*---) R2 6 37.117 3.046 (---*---)

R3 6 39.667 4.881 (---*---)

---+---+---+---+--- 36.0 39.0 42.0 45.0 Pooled StDev = 3.278


(5)

(6)