B B B B BAB II AB II AB II AB II AB II

B B B B BAB II AB II AB II AB II AB II

SEN SENGKET SEN SEN SEN GKET GKET GKET GKETA ANT A ANT A ANT A ANT A ANTARA N ARA N ARA NAS ARA N ARA N AS AS AS ASAB AB AB ABAH D AB AH D AH D AH D AH DAN B AN B AN B AN BANK AN B ANK ANK ANK ANK

A. Tinjauan tentang Model Penyelesaian Sengketa

1. Pengertian Sengketa Sejarah panjang peradaban manusia selalui tidak terlepas dari adanya

konflik. Keterlibatan manusia dengan konflik sudah diinformasikan oleh Al Quran jauh sebelum diciptakannya manusia. Al Quran menggambar- kan sanggahan malaikat terhadap kehendak Allah yang akan menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Malaikat mempertanyakan kenapa manusia yang memiliki kecenderungan melakukan kerusakan dan pertumpahan darah justru menjadi khalifah. 41

Dialog antara Allah dan malaikat tersebut ada dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 30 :

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

41. Syahrizal Abbas. 2009. Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat dan Hukum Nasional. Jakarta : Prenada Media Group . Hal. 120-121

Keinginan (nafsu) yang tidak terkendali, sikap ego (ananiah) turut oleh beberapa tanda pertentangan secara terang-terangan.dibedakan mendorong manusia untuk berkonflik. Konflik dapat didefinisikan

menjadi dua macam konflik, yaitu conflict of interest and claims of right. sebagai segala macam interaksi pertentangan atau antagonistik antara

Konflik interest terjadi manakala dua orang yang memiliki keinginan dua atau lebih pihak. 42 Owens RG menyatakan bahwa penyebab konflik

yang sama terhadap satu obyek yang dianggap bernilai. Sementara claims adalah aturan-aturan yang diberlakukan dan prosedur yang tertulis dan

of right adalah klaim kebenaran di satu pihak dan menganggap pihak tidak tertulis yang penerapannya terlalu kaku dan keras. Schuyt

lain bersalah. Konflik kepentingan timbul jika dua pihak memperebutkan menyatakan bahwa konflik adalah suatu situasi yang di dalamnya terdapat

satu obyek, sebagai contoh dua orang pria memperebutkan satu orang dua pihak atau lebih yang mengejar tujuan-tujuan, yang satu dengan yang

wanita. Konflik karena klaim kebenaran diletakkan dalam terminology lain tidak dapat diserasikan dan mereka dengan daya upaya mencoba

benar atau salah. Misalnya, dalam tuntutan pengadilan masing-masing

pihak akan mengklaim bahwa dia yang benar sementara pihak lain salah. mendefinisikan konflik sebuah proses yang dimulai ketika suatu pihak

dengan sadar menentang tujuan-tujuan pihak lain. 43 Robbins dan Judge

Argumen klaim ini akan didasarkan pada terminologi kebenaran -bukan memiliki persepsi bahwa pihak lain telah memperngaruhi secara negative

kepentingan-, norma-norma dan hukum. Konflik Kepentingan lebih sesuatu yang menjadi kepedulian atau kepentingan pihak pertama. 44 kompromis penyelesaiannya dibanding konflik karena klaim kebenaran.

Sementara Flippo menyatakan perselisihan atau konflik terjadi jika dua Menurut Henry Campbel Black, ada berbagai macam konflik yang

orang (kelompok) atau lebih merasa bahwa mereka mempunyai 45 :

harus diselesaikan, yakni konflik itu sendiri, klaim mengenai hak,

1) Tujuan-tujuan yang tidak selaras; pengakuan hak atau tuntutan di satu pihak sementara tuntutan berbeda

2) Kegiatan yang saling bergantung dipihak lainnya. Henry Campbel Black menyatakan: “… A Conflict or Sarat dan Miller menyatakan bahwa sengketa terjadi ketika klaim

controversy; a conflict of claims or rights; an assertion of right, claim atas fakta, hukum kebijakan salah satu pihak ditolak oleh pihak yang

or demand one side, met by contrary claims or allegations or the other. lain : 46 “A dispute may be defined as a specific disagreement concerning

The subject of litigation.” 49 Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa

a matter of fact, law or policy in which a claim or assertion of one party Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya is met with refusal, counter claim or denial by another.” Demikian pula

oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau

organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan law or fact, a conflict of legal views or interests between two persons.”

dengan pendapat Bilder: 47 “A dispute as a disagreement on a point of

definisi tersebut, menurut Winardi sengketa adalah pertentangan atau

konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok suatu kondisi yang ditimbulkan oleh dua orang atau lebih yang dicirikan

Sementara definisi “sengketa” menurut Vilhem Aubert, 48 adalah

Sementara menurut William Ury, J.M.Brett, dan S.B.Goldberg sebagaimana yang dikutip oleh Suyud Margono, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu:

42. Hani Handoko. 1986. Manajemen. Yogyakarta : BPFE. hal. 346 Kepentingan (Interest) ; Hak-hak (Rights); dan Status Kekuasaan (Power) 43. Jimmy Joses Sembiring. 2011. Cara Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi,

Para pihak yang bersengketa menginginkan agar kepentingannya tercapai, hak-haknya dipenuhi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase). Jakarta : Trans Media Pustaka. hal. 4

dan kekuasaanya diperlihatkan serta dipertahankan. Dalam proses penyelesaian sengketa para 44. Stephen P Robbins dan Timothy A Judge. 2008. Perilaku Organisasi. Jakarta : Salemba Empat.

pihak lazimnya akan bersikeras untuk mempertahankan ketiga faktor tersebut. Lihat dalam Suyud hal. 173.

Margono.2004. ADR dan Arbitrase (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum). Jakarta : Ghalia 45. Edwin B. Flippo. 1994. Personel Management. Jakarta : Erlangga. hal. 208

Indonesia. hal. 35

46. Miller and Sarat. 1980-1981. Greivances, Calims and Disputes : Asserting the Adversary Culture. Berdasar kamus online, sengketa didefinisikan sebagai sesuatu yg menyebabkan: (1) perbedaan Law and Social Review. hal. 525-527

pendapat; pertengkaran; perbantahan: perkara yg kecil dapat juga menimbulkan perkara besar; (2) pertikaian; perselisihan; (3) perkara (di pengadilan): tidak ada — yg tidak dapat diselesaikan;

47. Ricard B Bilder. 1986. An Overview of International Dispute Settlement. Emory Journal of http://www.artikata.com/arti-350210-sengketa.php. diakses 14 Maret 2011 jam 11.00 wib. International Dispute Resolution. Vol. 1 No. 1. Wisconsin Law Scool University. hal. 3

49. Henry Campbell Black. 2004. Black’s Law Dictionary. 8 th edition. Bryan A. Garner, editor. USA : 48. Vilhem Aubert dalam L. M Friedman. 1975. The Legal System, A Social Science Perspective.

West Publishing Company. hal. 204

New York : Russel Sage Foundation. hal 225-226.

yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek juga biasa disebut “sengketa”, tidak terjadi jika pihak yang berkonflik kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang

dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik, tetapi jika tidak tercapai lain. 50

solusi pemecahan maka terjadilah sengketa. Posisi bank syariah sebagai Di dalam praktik perbankan terjadi hubungan antara nasabah dengan

financial intermediatory, merupakan tempat berbagai kepentingan pihak bank. Hubungan tersebut tidak selamanya menguntungkan para 52 bertemu, khususnya kepentingan nasabah dan perbankan. Terdapat

pihak, ada kalanya timbul sengketa antara nasabah dengan pihak bank. banyak permasalahan yang berpotensi menimbulkan sengketa dalam Sengketa tersebut disebut sengketa perbankan. Pengertian sengketa

praktik perbankan syariah antara bank dengan nasabah. Pada awalnya perbankan dalam PBI No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI

sengketa itu berupa keluhan karena ketidaksesuaian antara realitas dengan No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan adalah permasalahan yang

penawarannya, tidak sesuai dengan spesifikasinya, tidak sesuai dengan diajukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah kepada penyelenggara

aturan main yang diperjanjikan, layanan dan alur birokrasi yang tidak mediasi perbankan, setelah melalui proses penyelesaian pengaduan oleh

masuk dalam draft akad, serta komplain terhadap ambatnya proses kerja. Bank. Di dalam persengketaan, perbedaan pendapat yang berkepanjangan

Pada saat ini dinamisasi sektor perbankan semakin cepat, masalah biasanya menyebabkan kegagalan proses mencapai kesepakatan. Keadaan

yang ditimbulkan juga semakin kompleks. Kebutuhan untuk saling seperti ini biasanya menyebabkan putusnya jalur komunikasi yang sehat

berinteraksi dalam hubungan bisnis atau hubungan yang saling sehingga masing-masing pihak mencari jalan keluar tanpa mementingkan

menguntungkan tetap membuka secara lebar terhadap kemungkinan nasib ataupun kepentingan pihak lainnya. Agar dapat tercipta proses

adanya perselisihan dan persengketaan diantara pihak-pihak yang terlibat. penyelesaian sengketa yang efektif, prasyarat yang harus dipenuhi adalah

Sengketa atau konflik harus diselesaikan, membiarkan konflik kedua belah pihak harus sama-sama memperhatikan atau menjunjung

berkepanjangan akan mengurangi energi untuk lebih memikirkan tinggi hak untuk mendengar dan didengar. Dengan demikian proses dialog

kemajuan bisnis.

dalam pencarian titik temu (Common Ground) yang akan menjadi panggung proses penyelesaian sengketa baru dapat berjalan. Jika tahap

2. Model Penyelesaian Sengketa

kesadaran tentang pentingnya langkah ini, maka proses penyelesaian Penyelesaian sengketa harus diselesaikan dengan baik. Pemilihan

sengketa tidak berjalan dalam arti yang sebenarnya. 51 Istilah “konflik”

model atau cara penyelesaian sengketa yang tepat dapat memberikan dampak positif bagi hubungan bisnis antara para pihak yangAda tiga

50. Winardi dalam Ali. AC. 2007. Sertifikat dan Permasalahannya dan Seri Hukum Pertanahan. Jakarta : Prestasi Pustaka. hal. 1. Ali Achmat Chomzah mendefinisikan sengketa adalah

macam metode penyelesaian konflik yangbersengketa di kemudian hari.

pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. Lihat Ali Achmat Chomzah 2003. Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia) Jilid I Jakarta : Prestasi Pustaka.

52. Secara harfiah, dalam Kamus Hukum, kata “nasabah” memiliki arti sebagai orang yang biasa hal. 14.

berhubungan dengan bank dalam hal keuangan atau orang yang menjadi langganan bank dalam Dalam disertasi ini definisi sengketa sejalan dengan definisi Adi Sulistiyono yang mengacu pada

hal keuangan. Lihat dalam Sudarsono. 2004. Op cit. hal 294

pendapat Nader dan Todd yang secara eksplisit membedakan antara : a)pra-konflik, adalah Pengertian Nasabah menurut Pasal 1 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia No.5/21/PBI/2003 keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseoraang karena diperlakukan tidak adil. b) konflik,

tentang penerapan prinsip mengenal nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank. adalah keadaan dimana para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perselisihan

Sementara pada Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan pendapat diantara mereka. c) sengketa, adalah keadaan di mana konflik tersebut dinyatakan

atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menyatakan bahwa “nasabah dimuka umum atau melibatkan pihak ketiga. T.O Ihromi. 1993. Antropologi Hukum sebuah Bunga

adalah pihak yang menggunakan jasa bank”.Nasabah dalam perbankan ada dua macam, yaitu : Rampai. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. hal. 223 – 233 dalam Adi Sulistiyono. 2002.

nasabah penyimpan (deposan) dan nasabah kredit. Dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Mengembangkan Paradigma Penyelesaian Sengketa Non Litigasi Dalam Rangka Pendayagunaan

No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan menyatakan bahwa “nasabah penyimpan adalah nasabah Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis Hak Kekayaan Intelektual. Disertasi. Semarang : Program

yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank Doktor UNDIP. Hal. 1

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku”. Sedangkan dalam Undang-Undang 51. Suyud Margono. 2004. Op cit. hal. 34

perbankan tersebut tidak diberikan definisi tentang nasabah kredit.

Hani Handoko menyatakan cara yang sering digunakan untuk menang-kalah dan menghapus banyak aspek disfungsionalnya.

penyelesaian sengketa, yaitu 53 :

Strategi ini bersangkutan dengan kebijakan-kebiakan yang lebih

a. Dominasi dan penekanan baik, pengalaman organisasi dan tawar-menawar yang lebih mneguntungkan dan lebih baik.

Dominasi atau penekanan dapat dilakukan dnegan berbagai cara, yaitu (1) kekerasan (forcing) yang bersifat penekanan otokritik ;

Robbins dan Judge menyatakan bahwa penyelesaian perselisihan antara pihak 1 dan pihak 2 dapat didekati dengan 8 (delapan) cara (2) penenangan (smoothing), merupakan cara yang lebih diplomatis; 55 :

(3) penghindaran (avoidance) ; (4) aturan mayoritas

1) Cara menang tau kalah, dimana suatu pihak memaksa pihak lain

b. Kompromi

untuk mengalah ;

Mencarai jalan tengah yang dapat diterima oleh semua pihak yang

2) Menarik diri dan mundur dari perselisihan atau perbedaan pendapat bersengketa/konflik. Bentuk-bentuk kompromi ada beberapa

macam, diantaranya : pemisahan/separation, arbitrase, kembali ke

3) Memperhalus perbedaan-perbedaan atau menganggap perbedaan itu peraturan yang berlaku, kompensasi atau penyuapan dimana salah

terlihat kurang penting;

satu pihak menerima kompensasi dari pihak lain untuk tercapainya

4) Mengutamakan tujuan, dimana kedua pihak untuk sementara diminta kesepakatan

untuk menghentikan perselisihan demi kerjasama untuk hal-hal yang

c. Pemecahan Masalah Integratif

lebih penting dan lebih bernilai;

Konflik dianggap sebagai suatu masalah bersama untuk diselesaikan

5) Mengkompromikan, memisahkan perbedaan dan berunding untuk bukan hanya secara kompromi tetapi juga harus diterima oleh semua

mencari posisi-posisi antara (intermediate position) yang dapat pihak secara terbuka. Ada tiga jenis metoda penyelesaian itegratif,

diterima;

yakni : kosensus, konfrontasi dan penggunaan tujuan-tujuan yang

6) Penyerahan terhadap suatu pihak ketiga dari luar untuk mengambil lebih tinggi (superordinate goals) yang merupakan tujuan dan

keputusa (wasit atau arbitrase);

kepentingan bersama.

7) Mengundang pihak ketiga dari luar untuk menengahi dan membantu Sementara Filley, House dan Kerr dengan berorientasi pada hasil

kedua belah pihak untuk mencapai penyelesaian;

penyelesaian sengketa menyatakan strategi penyelesaian konflik, yakni 54 :

8) Pemecahan masalah atau konfrontasi melalui sutu pertukaran

1) kalah-kalah informasi terbuka dan penyelesaian perbedaan-perbedaan sehingga Kedua belah pihak kalah, pendekatan ini bisa dilakukan dengan cara:

kedua-duanya dapat menang.

kompromi atau jalan tengah yang diterima oleh semua pihak, Model penyelesaian sengketa harus mengikuti dengan dinamisasi penyuapan dari salah satu pihak terhadap pihak yang lain, dan

zaman. Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa pendekatan tradisional penggunaan pihak ketiga atau wasit

“manang/kalah” atau “kalah/kalah” harus diganti dengan falsafah perilaku

2) kalah-menang (behaviour) “menang/menang” 56 Gatot Sumartono menyatakan dengan Strategi ini adalah strategi yang paling populer di dalam masyarakat

lebih operasional bahwa untuk menyelesaikan sengketa pada umumnya yang berbudaya kompetitif

terdapat beberapa cara yang dapat dipilih. Cara-cara tersebut adalah

3) menang-menang

sebagai berikut 57 :

Strategi ini mengambil berbagai kebaikan aspek-aspek fungsional

55. Stephen P Robbins dan Timothy A Judge. 2008. Op cit. hal 209 56. Robert R Blake, Jane Srygley Mouton. “ The Fifth Achievement”,Personel Admistration. Vol. 34

53. Hani Handoko. 1986. Op Manajemen. Yogyakarta : BPFE. hal. 352-353

no. 3 Mei-Juni 1971. hal. 49-57

54. Sukanto Reksohadiprojo dan Hani Handoko. 1992. Organisasi Perusahaan (Teori, Struktur dan 57. Gatot Soemartono. 2006. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Perilaku). Yogyakarta : BPFE. hal. 243-244

Utama. hal. 1

1) Negosiasi, yaitu cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui

1) Penyelesaian sengketa dengan menggunakan Negosiasi, baik yang diskusi (musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang

dilakukan secara langsung maupun dengan melibatkan pihak ketiga. bersengketa yang hasilnya diterima oleh para pihak tersebut. Hasil

(Mediasi & Konsiliasi)

dari negosiasi adalah merupakan kesepakatan para pihak yang

2) Penyelesaian sengketa secara litigasi, (melalui pengadilan) baik yang bersifat win-win solution. Dalam praktik, negosiasi dilakukan karena

bersifat nasional maupun internasional.

3) Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang dapat dilakukannya sendiri, misalnya dalam transaksi jual beli pihak

2 alasan, yaitu: pertama, untuk mencari sesuatu yang baru yang tidak

bersifat ad hoc maupun arbitrase yang melembaga. 59 penjual dan pembeli saling memerlukan untuk menentukan harga

(tidak terjadi sengketa) dan kedua, untuk memecahkan perselisihan Gunawan Widjaja dalam bukunya yang berjudul Alternatif atau sengketa yang timbul di antara para pihak.

Penyelesaian Sengketa menyebutkan secara umum pranata alternatif

2) 60 Mediasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan penyelesaian sengketa dibagi ke dalam empat kategori : pihak ketiga yang bersifat netral sebagai mediator, yang tidak

1) Berdasarkan pada sifat keterlibatan pihak ketiga yang menangani memiliki kewenangan mengambil keputusan, yang hanya berwenang

proses alternatif penyelesaian sengketa tersebut. membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian

a) Mediasi, adalah suatu proses penyelesaian sengketa alternatif (solusi/kesepakatan) yang diterima oleh kedua belah pihak. Seperti

dimana pihak ketiga yang dimintakan bantuannya untuk halnya negosiasi, hasil mediasi juga bersifat win-win solution.

membantu proses penyelesaian sengketa bersifat pasif dan sama

3) Arbitrase, merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sekali tidak berwenang atau tidak berhak untuk memberikan berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak,

masukan terlebih untuk memutuskan perselisihan yang terjadi; dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan untuk

b) Konsiliasi, adalah suatu proses penyelesaian sengketa yang mengambil keputusan. Dalam memeriksa dan memutus sengketa,

melibatkan pihak ketiga atau lebih dimana pihak ketiga yang arbiter atau majelis arbiter selalui mendasarkan diri pada hukum,

diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa adalah seseorang yaitu hukum yang telah dipilih oleh para pihak yang bersengketa

yang secara professional yang sudah dapat dibuktikan (choice of law). Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan

keandalannya.

bahwa para arbiter, apabila dikendaki oleh para pihak, memutus atas dasar keadilan dan kepatutan.

59. Menurut Huala Adolf, ada tiga bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang mirip dengan arbitrase.

4) Ketiga bentuk tersebut adalah sebagai berikut : Pengadilan, adalah lembaga resmi kenegaraan yang diberi

a)

Mini Trial , bentuk seperti ini dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai peradilan mini, biasanya

kewenangan untuk mengadili, yaitu menerima, memeriksa, dan

bentuk ini berguna bagi perusahaan yang terlibat dalam masalah besar. Dalam hal ini para

memutus perkara berdasarkan hukum acara dan ketentuan pihak berinisiatif membentuk cara-cara dilakukannya hearing (dengar pendapat), sedangkan

ahli hukumnya mengajukan argumentasi hukum pada suatu panel yang khusus di bentuk

perundang-undangan yang berlaku. Cara ini membutuhkan waktu

dalam rangka mini trial ini yang keanggotaannya terdiri dari eksekutif-eksekutif bonafid dari

yang lebih lama karena proses pengadilan yang harus dilalui lebih

para pihak yang bersengketa yang diketuai oleh seseorang yang berposisi netral.

banyak termasuk tahapan-tahapan banding dan kasasi. Hasil dari Mediasi, bentuk yang satu ini dalam menyelesaikan sengketa terdapat seorang penengah

b)

dalam posisi netral yang bertindak sebagai mediator. Pada proses pelaksanaannya seorang

pengadilan akan hanya memenangkan salah satu pihak dan apabila

mediator tidak mempunyai wewenang mengambil keputusan yang mengikat para pihak.

pihak yang dikalahkan tidak menerima putusan pengadilan maka Peranannya hanyalah membantu menganalisa masalah-masalah yang ada dan mencari

suatu formula kompromi bagi para pihak dalam rangka mewujudkan suatu penyelesaian

dapat diajukan upaya selanjutnya.

sengketa yang bersifat win-win solution.

Menurut Komar Kantaatmaja seperti yang dikutip oleh Huala Adolf Med-Arb, bentuk ini merupakan kombinasi antara bentuk mediasi dengan arbitrase sendiri.

c)

Seorang yang netral yang dipilih oleh para pihak diberikan wewenang untuk mengusahakan

dalam bukunya yang berjudul Arbitrase Komersial Internasional, sarana penyelesaian sengketa melalui mediasi, namun demikian pihak netral tersebut tetap diberi

wewenang untuk memutuskan ihwal yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak

penyelesaian sengketa dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu 58 :

Lihat. Ibid. hal. 5 60. Gunawan Widjaja. 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

58. Huala Adolf. 2002. Arbitrase Komersial Internasional edisi revisi..Jakarta : Rajawali Press. hal. 4

hal. 2-4 hal. 2-4

tersebut dalam UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan hakim swasta, yang disebut dengan arbiter.

Alternatif Penyelesaian Sengketa, namun tidak ada satu pasal pun

2) Berdasarkan pada sifat putusan yang diberikan dalam proses

yang menjelaskannya.

alternatif penyelesaian sengketa tersebut.

2) Negosiasi dan Perdamaian :

a) Mediasi ; Berdasarkan Pasal 6 ayat 2 UU No. 30 tahun 1999 pada dasarnya

b) Konsiliasi; para pihak dapat berhak untuk menyelesaiakan sendiri sengketa yang

c) Arbitrase timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang

3) Berdasarkan pada sifat kelembagaannya.

disetujui oleh para pihak.

a) Arbitrase Ad Hoc, adalah lembaga yang dibentuk khusus untuk

3) Mediasi

menangani sengketa tertentu & akan bubar dengan sendirinya jika masalah yang diserahkan sudah selesai;

Berdasarkan pasal 6 ayat 3 UU No. 30 tahun 1999, atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui

b) Arbitrase Institusional (Institusi Penyelesaian Sengketa bantuan “seorang atau lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang Alternatif), adalah lembaga yang sengaja dibentuk untuk mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat menyelesaikan sengketa tertentu yang dipercayakan kepadanya secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dan bersifat permanen, namun lembaga ini akan tetap ada dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tertulis wajib walaupun sengketa telah berakhir. didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga

4) Berdasarkan ada tidaknya unsur asing. puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib

a) Penyelesaian Sengketa Nasional dilakasanakan dalam waktu lama 30 (tiga puluh) hari sejak

b) Penyelesaian Sengketa Internasional, jika dalam penyelesaian pendaftaran. Mediator sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu sengketa terdapat unsur asingnya (luar negeri) khususnya yang

mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak & mediator berkenaan dengan tempat dimana proses penyelesaian sengketa

yang ditujuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif tersebut dilaksanakan.

penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak. UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

4) Konsiliasi

Sengketa juga mengatur mengenai macam-macam alternatif penyelesaian Meskipun jenis penyelesaian sengketa ini disebut dalam penjelasan sengketa. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka 10 dan alenia

umum, namun definisi dan ketentuannya tidak diatur secara jelas dalam UU No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

ke sembilan dari Penjelasan Umum, disebutkan bahwa yang dimaksud

Penyelesaian Sengketa.

alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu pranata penyelesaian

5) Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan Ketentuan ini diatur dalam Pasal 52 UU No. 30 tahun 1999 yang penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri, sehingga masyarakat

menyatakan bahwa, “para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk dimungkinkan memakai alternatif lain dalam melakukan penyelesaian

memohon pendapat yang mengikat (Binding Opinion) dari lembaga sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan berbagau cara,

arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian”. yaknni : konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat

1) Konsultasi (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi Konsultasi adalah model penyelesaian sengketa yang hampir mirip

bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dengan mediasi yang berujung pada perundingan, namun demikian

dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase).

6) Arbitrase pendekatan konsensus dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak- Di dalam UU No. 30 tahun 1999, yang dimaksud dengan

pihak yang bersengketa serta bertujuan untuk mendapatkan hasil arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar

penyelesaian sengketa kearah win-win solution. 63 peradilan umum yang didasarkan pada perjanjan arbitrase yang

Cara-cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan sebenarnya dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

tidak sejalan dengan budaya bangsa Melayu, yakni Indonesia, Malaysia Pemeriksaan arbitrase pun dapat dilakukan secara ad hoc

dan Brunei Darussalam. Hal tersebut berdasar penelitian Ann Black yang maupun melalui arbitrase institusional.

menyatakan: 64

Model penyelesaian sengketa harus disesuaikan dengan “ Parties from the Asian region are generally averse to referring perkembangan dunia bisnis dan perbankan. Dari uraian di atas dapat

disputes to the courts. There is a strong traditional cultural disimpulkan bahwa model penyelesaian sengketa bisa dilakukan dengan

preferencehere to resolve disputes by discusing and by compromise. dua cara, yakni litigasi dan non litigasi. Litigasi adalah cara penyelesaian

Leaving aside the valid issue as to whether the cultures of asia can sengketa melalui lembaga ajudikasi publik, yakni pengadilan, sedangkan

be lumped together collectivelly and generalizations be drawn.” non litigasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dari Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model penyelesaian

model yang dikenal umum populer di masyarakat yakni pengadilan dan sengketa antara nasabah dan bank syariah menggunakan mediasi. Tujuan di luar pengadilan. Para pihak lebih suka menggunakan penyelesaian pengembangan model mediasi bukan mematikan model arbitrase atau sengketa di luar peradilan umum/non-litigasi untuk menyelesaikan alternative penyelesaian sengketa yang lain dalam resolusi sengketa di perkaranya, baik dengan cara mediasi, negosiasi, konsiliasi ataupun

bank syariah, juga bukan untuk menisbikan peran pengadilan, namun penggunaan mediasi sebagai resolusi sengketa nasabah dan bank syariah

arbitrase. 61

Ziade menyatakan dua hal yang diharapkan dalam menyelesaiakan berarti tidak hanya mengandalkan peran lembaga pengadilan atau sengketa, yakni efisiensi dan legitimasi : “Two factors will determine

62 any future role for dispute resolution : efficiency and legitimacy.” arbitrase, namun para pihak yang bersengketa diberi keleluasaan alternatif dalam resolusi sengketa yang sesuai dengan karakter bisnis di perbankan Paradigma non litigasi ini dalam mencapai keadilan lebih mengutamakan

syariah, yakni nilai-nilai syariah yang berorientasi pada keadilan dan

kebaikan. Model mediasi sebagai resolusi sengketa nasabah dan bank

61. Arbitrase termasuk cara penyelesaian sengketa non litigasi meskipun pendekatan penyelesaiannya

bersifat adversarial atau pertentangan. Penyelesaian sengketa di luar peradilan yang memiliki

syariah memiliki kedekatan dengan nilai moral dan agama. Nilai tersebut

kemiripan dengan pengadilan adalah arbitrase, namun perbedaan mendasar juga terdapat di antara pengadilan dan arbitrase. Katie dan Hwang mengatakan : “An arbitration claim often comes

adalah mengenai keadilan.

to court for, among other things, the enforcement or setting aside of the arbitration award, and the issue is whether the implied obligation of confidentialy in the arbitration proceeding extends

Di dalam Islam mediasi dikenal sebagai perdamaian atau perbaikan

to the court proceedings. While parties may have agreed to arbitrate confidntially and privately, this cannot dictate the position in respect of arbitration claims that are brought before the courts.

untuk menyelesaikan persoalan atau sengketa. Sejarah Islam telah

One counter vailing factor that militates against the extention of the implied obligation of confidentiality to court proceeding is the principles of open justice.” Lihat Michael Hwang SC and

mencatat peristiwa yang luar biasa dalam pelaksanaan mediasi, yakni

Katie Chung. Defining the Indefinable : Practical Problem of Confidentiality in Arbitration. Journal

ketika peletakan kembali Hajar Aswad. Ketika bangsa Quraisy

of International Arbitration. Vol. 26. No. 5. 2009. Kluwer Law international. hal. 619 62. Nassib G Ziade. Reflections on The Role of Institutional Arbitration Between The presents and

membangun kembali Kakbah, mereka berselisih pendapat mengenai

the Future. Arbitration International Journal. Volume 25. no. 2. 2009. Kluwer Law International. Page. 430. Tidak semua jalur non litigasi menawarkan legitimasi, Schultz menyatakan : “I advocate

63. Adi Sulistiyono. 2007. Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi Di Indonesia. Surakarta : UNS self regulated dispute resolution, although I must immediately make clear that such dispute

Press. hal. 5

resolution systems are only best as effectiveness is concerned, not as legitimacy is concerned.” Lihat Thomas Schultz. Online Arbitration : Binding or non Binding ?. ADR Online Monthly Journal.

64. Ann Black. 2001. Alternative Dispute Resolution in Brunai Darussalam : The Blending of Imported

April. 2002. Center for Information Technology and dispute Resolution. hal. 2 and Traditional Processes. Bond Law Review : Vol. 13: Iss. 2, Article 4. hal. 3-4 April. 2002. Center for Information Technology and dispute Resolution. hal. 2 and Traditional Processes. Bond Law Review : Vol. 13: Iss. 2, Article 4. hal. 3-4

berujung menjadi budaya. Pengertian kebudayaan banyak dikemukakan oleh tempatnya semula. Mereka berselisih sampai empat atau lima hari.

para ahli seperti Koentjaraningrat, yaitu; “kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakukan yang teratur oleh tatakelakuan

Perselisihan ini bahkan hampir menyebabkan pertumpahan darah. Abu yang harus didapatnya dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan

Umayyah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi kemudian memberikan saran masyarakat”. 67 Dari definisi ini kebudayaan bersumber dari nilai yang kepada mereka agar menyerahkan keputusan kepada orang yang pertama

diperilakukan. Bahkan Taliziduhu Ndraha mengkategorisasikan budaya dalam kali lewat pintu masjid. Bangsa Quraisy pun menyetujui ide ini. Allah

beberapa indikator yakni 68 : 1) Kebiasaan ; 2) Peraturan; 3) Nilai-nilai. Nilai SWT kemudian menakdirkan bahwa orang yang pertama kali lewat pintu

adalah kepercayaan atau segala sesuatu yang dianggap penting oleh seseorang masjid adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang

atau suatu masyarakat. Nilai bisa berarti sebuah kepercayaan tentang suatu Quraisy pun ridha dengan diri beliau sebagai penentu keputusan dalam

hal, namun nilai bukan hanya sebuah kepercayaan. Nilai akan mempengaruhi sikap seseorang, dan sikap akan mempengaruhi perilaku seseorang.

permasalahan tersebut. Rasulullah pun kemudian menyarankan suatu Perilaku merupakan manifestasi dari nilai yang akhirnya menjadi sikap. jalan keluar yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh mereka. Bagaimana Sikap didefinisikan sebagai kecenderungan merespon sesuatu secara konsisten jalan keluarnya? Beliau mengambil selembar selendang. Kemudian Hajar

untuk mendukung atau tidak mendukung dengan memperhatikan suatu objek Aswad itu diletakkan di tengah-tengah selendang tersebut. Beliau lalu

tertentu. Sikap mempengaruhi perilaku pada suatu tingkat yang berbeda meminta seluruh pemuka kabilah yang berselisih untuk memegang ujung-

dengan nilai. Sementara nilai mewakili keyakinan yang mempengaruhi ujung selendang itu. Mereka kemudian mengangkat Hajar Aswad itu

perilaku pada seluruh situasi, sikap hanya berkaitan dengan perilaku yang bersama-sama. Setelah mendekati tempatnya, Rasulullah shallallahu

diarahkan pada objek, orang, atau situasi tertentu. Sehingga perilaku Soewarno ‘alaihi wasallam-lah yang kemudian meletakkan Hajar Aswad tersebut.

Handayaningrat, yaitu: “Perilaku ialah apa yang kita lakukan, bukan mengapa kita melakukan itu”. 69 Perilaku yang dilakukan secara terus menerus akan

Ini merupakan jalan keluar yang terbaik. Seluruh kabilah setuju dan menjadi habit/kebiasaan. Apabila kebiasaan ini terlembagakan akan menjadi

meridhai jalan keluar ini. Mereka pun tidak jadi saling menumpahkan budaya. Kata budaya itu sendiri adalah sebagai suatu perkembangan dari darah. 65

bahasa sansekerta ‘budhayah’ yaitu bentuk jamak dari buddhi atau akal, dan kata majemuk budi-daya, yang berarti daya dari budi, dengan kata lain “budaya

B. Teori Penyelesaian Sengketa adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Sedangkan kebudayaan Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa berhubungan satu dengan

merupakan pengembangan dari budaya yaitu hasil dari cipta, karsa dan rasa yang lainnya. Dalam hubungan tersebut ada cita bersama yang ingin dicapai 70 tersebut”.

oleh anggota sosial tersebut, untuk itu diperlukan langkah-langkah signifikan Nilai sangat tergantung pada posisi asali dari manusia selaku agen sosial. yang dapat mempengaruhi kognitif, afektif dan konatif manusia, khususnya

Ibnu Khaldun 71 dalam hal ini memunculkan dua kategori sosial fundamental yang berkaitan dengan penggunaan mediasi dalam resolusi konflik. Ada

yaitu Badawah/Badui (komunitas pedalaman, masyarakat primitif, atau daerah beberapa factor yang bisa mempengaruhi kognitif, afektif dan konatif manusia, yakni pengalaman pribadi, pengaruh orang yang dianggap penting, pengaruh

67. Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia. hal. 2 kebudayaan, lembaga pendidikan dan agama dan pengaruh emosional. 66 hal 25 68. Taliziduhu Ndraha. 2003. Teori Budaya Organisasi, Cetakan Kedua,. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Perilaku manusia ini penting diamati karena beberapa teori mengidentikan

69. Soewarno Handayaningrat. 2001. Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen, Cetakan ke-14. Jakarta:

mengenai tingkatan masyarakat tertentu dengan bagaimana perilaku mereka

CV. Haji Masagung. hal 83

70. Djoko Widagdho. 2004. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : PT. Bumi Aksara. hal 20 65. Abu Umar Urwah Al Bankawy. 2006. Kisah-Kisah tentang Ka’bah. Yogyakarta : Penerbit Ilmu.

71. Ibnu Khaldun. Mukaddimah. p. 120-123 dalam Bogdan Meczkowski. Ibn Khaldun’s Fourteenth hal. 21-23

Century Views on Bureaucracy. The American Journal of Islamic Social Sciences Vol. 4. No. 2, 66. Saifuddin Azwar. 1995. Sikap Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. hal. 30-38

I987. hal. 179 I987. hal. 179

dalam kegiatan komersial dengan nyata sekali dapat menerima pengaruh dari banyak berurusan dengan hidup enak. Mereka terbiasa hidup mewah dan

peraturan-peraturan hukum yang baru dibanding bidang-bidang kehidupan banyak mengikuti hawa nafsu. Jiwa mereka telah dikotori oleh berbagai

sosial yang erat hubungannya dengan kepercayaan. 74 macam akhlak tercela. Sedangkan orang-orang Badui, meskipun juga

Pendekatan rasional ini memformalkan setiap hubungan sosial. Cara berurusan dengan dunia, namun masih dalam batas kebutuhan, dan bukan

berfikir pintas dan praktis menurut teori ini tidak diperkenankan. Ada dua dalam kemewahan, hawa nafsu dan kesenangan. Kebiasaan masyarakat kota

teori yang mementahkan cara berfikir praktis ini, yakni korespondensi dan adalah sesuatu yang pasti, maka mobilitas vertikal jarang terjadi. Di dalam

koherensi. Teori korespondensi memandang bahwa suatu pernyataan adalah menyelesaikan sengketa mereka lebih menggunakan cenderung menggunakan

benar bila sesuai atau sebanding dengan kenyataan yang menjadi objeknya, sektor formal melalui lembaga peradilan. Berbeda dengan masyarakat

teori ini sesuai dengan dimensi perilaku hukum dan menjadi bahan kajian pedalaman yang lebih cenderung menggunakan penengah (prosedur informal)

sosiologi hukum dan antropologi hukum. Kemudian teori koherensi dalam menyelesaikan sengketa. Tetapi dalam banyak hal prosedur informal

berpendapat bahwa suatu pernyataan adalah benar apabila sesuai dengan ini lebih terjaga nilainya karena pengaruh keburukan dunia yang lebih sedikit

pernyataan sebelumnya, dalam pengertian inilah yang menjadi landasan bahan masyarakat pedalaman dibanding masyarakat kota. Tapi inilah yang kemudian

kajian filsafat hukum. Berbeda dengan teori pragmatik, bahwa suatu justru dirindukan kembali oleh masyarakat kota.

pernyataan adalah benar bila berguna bagi kehidupan praktis, yang sesuai Comte merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner

dengan bahan kajian teknik hukum secara praksis. 75 Untuk itu dalam teori ini menjadi tiga tahapan/kelompok yaitu, pertama, Tahap Teologis, merupakan

masyarakat memiliki kecenderungan tunduk pada aturan, atau manusia sebagai periode paling lama dalam sejarah manusia. Kedua, Tahap Metafisik

agen tunduk pada struktur sosial. 76

merupakan tahap transisi yang ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum- Pada kenyataannya pendapat para ahli tersebut tidak senantiasa sesuai. hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi. Ketiga, Tahap

Walaupun pada masyarakat modern pendekatan penyelesaian hukum Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber

cenderung formal, menurut Max Weber pendekatan untuk ilmu sosial tidak pengetahuan terakhir.Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan

seperti dalam tradisi positivisme yang mengasumsikan kehidupan sosial atau memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum yang bersifat

masyarakat selayaknya benda-benda, tetapi ia meletakkan pada realitas uniformitas. Tahap terakhir ini adalah pencapaian tertinggi manusia yang

kesadaran manusia sehingga muncul usaha untuk memahami dan menafsirkan. ditandai dengan industrialisasi. Bagi masyarakat industri mereka menggunakan

Weber menekankan bahwa ‘dalam ilmu-ilmu pengetahuan sosial, kita

jalur formal dalam menyelesaikan sengketa diantara mereka. 72

berurusan dengan gejala-gejala jiwa yang “memahaminya” dengan sungguh- meyakini bahwa tindakan merupakan manifestasi nilai yang dapat mengarah

Comte

sungguh. 77

menjadi budaya. Masyarakat di dunia sudah berubah dari masyarakat yang tradisional

74. Lihat dalam Satjipto Rahardjo.1979. Hukum dan Masyarakat. Bandung : Angkasa. hal 121

menjadi sesuatu yang serba ditata dan tertata secara lebih rasional. Dengan 75. Teguh Prasetyo. 2007. Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Cet. II, Pustaka Pelajar : Yogyakarta,.

hal 16.

demikian ia sudah menjadi masyarakat yang sarat dengan berbagai konstruksi,

76. Teori Struktural Fungsionalisme Talcott Parson relevan. Lihat dalam Satjipto Rahardjo. 2006.

atau suatu masyarakat yang dikonstruksikan secara rasional. Hukum menjadi

Hukum Dalam Jagat Ketertiban. Jakarta : UKI PRESS. Hal. 151. Sejak hukum itu diadakan tidak

bagian dari konstruksi tersebut, dan dengan demikian bersifat artifisial. untuk diri dan kepentingan sendiri, melainkan untuk bekerja dalam masyarakat, maka hukum 73

sebagai konstruksi dihadapkan kepada lingkungan yang alami. Sebuah konstruksi harus bekerja

Senada dengan alur berfikir Comte menurut Yahezkel Dror, bahwa tindakan-

dalam lingkungan yang alami. Keadaan ini menimbulkan banyak persoalan dan komplikasi. Hukum tidak selalu berhasil dengan baik untuk memproyeksikan “keinginannya” ke dalam masyarakat.

72. W.H Walsh. 1967. Philosophy of History : An Introduction. USA : Harper Torchbooks . dalam Secara padat bisa dikatakan, bahwa “hukum bekerja dan tertanam dalam sebuah matriks sosio- Harun Hadiwijono. 1998. Sari Sejarah Filsafat 2, Cet. 14. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. hal.19

kultural. Ibid hal 142.

73. Setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan- 77. Max Weber (1864-1920), menurut Anthony Giddens dapat disebut yang mengawali aliran humanisme dalam sosiologi, mengakui bahwa ilmu-ilmu sosial harus berkaitan dengan fenomena perubahan di dalam masyarakat mungkin berkaitan dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah pola sikap dan seterusnya. Lihat dalam Soerjono Soekanto. 1987. Pendekatan Sosiologi Hukum dalam

‘spiritual’ ‘atau’/ ‘ideal’, yang sesungguhnya merupakan ciri khas dari manusia, yang tidak ada Masyarakat. Jakarta: Rajawali. hal 52. dalam jangkauan bidang ilmu-ilmu alam. Weber selain mendekati ilmu sosiologi melalui konsep

Kantian dia juga telah berusaha

Pandangan Weber yang melakukan dekontruksi terhadap positivis ini merupakan sistem yang tidak efektif terhadap kegiatan bisnis dan diperkuat oleh Wilhelm Dilthey yang ikut menentang saintisme ilmu sosial.

perekonomian, yang membuat kegiatan perekonomian menjadi tidak efisien, Dilthey juga ikut memberikan pijakan penting bagi aliran budaya, bahwa ilmu-

dikarenakan tidak adanya kepastian hukum yang mengakibatkan sengketa ilmu budaya mengobyektivasikan pengalaman seutuh-utuhnya, tanpa

yang terus berlanjut dan rusaknya kredibilitas para pihak yang besengketa. pembatasan. Pengalaman-pengalaman ini lebih-lebih dialami dari dalam. Ilmu-

Oleh karena itu, cara penyelesaian sengketa yang seperti itu tidak dapat ilmu budaya mentransposisikan pengalaman, yaitu memindahkan obyektivasi-

diterima dunia bisnis, karena tidak sesuai dengan tuntutan dunia bisnis. Sistem obyektivasi mental kembali ke dalam pengalaman reproduktif, bermaksud

penyelesaian sengketa yang diinginkan dunia bisnis adalah sistem penyelesaian membangkitkan kembali pengalaman-pengalaman secara sama. Sikap subyek

yang sederhana, cepat, dan biaya ringan atau informal procedure and can be dalam ilmu budaya adalah verstehen. Yang menjelaskan struktur simbolis

put in motion quickly. 80

atau makna. Dengan verstehen tidak ingin diterangkan hukum-hukum, Penyelesaian sengketa diharapkan mampu benar-benar menyelesaikan melainkan ingin menemukan makna dari produk-produk manusiawi.

sengketa, bukan justru menambah deretan daftar sengketa berikutnya, untuk Pengalaman, ekspresi, dan pemahaman adalah tiga pokok penting yang

itu nilai harmoni, tenggang rasa dan komunalisme menjadi bagian penting.

menurut Dilthey menjadi pokok kajian ilmu budaya” 78

Di Indonesia, nilai-nilai yang demikian lebih menonjol dari pada nilai individu- stratifikasi sosial tidak selalu sama, dalam banyak hal masyarakat modern

. Untuk itu rumusnya

alisme, oleh karena itu model penyelesaian sengketa yang lebih bersahabat juga memiliki pertimbangan bahwa anti formalistik adalah pilihan terbaik

dan win-win solution lebih dekat dengan nilai budaya bangsa Indonesia untuk menjawab kebuntuan saluran formal dalam penyelesaian sengketa.

daripada model pertentangan/adversarial system melalui jalur litigasi. Karena Masyarakat bisnis merupakan simbolisasi masyarakat modern yang

menurut Jack Ethridge sebagaimana dikutip oleh Lovenheim : 81

senantiasa menggunakan pendekatan rasional 79 , kepercayaan, efisiensi,

efektifitas dan velocity. Pertimbangan tersebut telah melekat dalam perilaku “Litigation paralyzes people. It makes them enemies. It pits them not only against one another, but against the other’s employed combatant.

sosialnya. Oleh karena itu dalam penyelesaian sengketa diantara merekapun pertimbangan tersebut juga akan menjadi acuan. Dalam dunia bisnis apalagi

Often disputants lose control of the situation, finding themselves virtually powerless. They attach allegiance to their lawyer rather than to the fading

perbankan, sebagaimana pendapat Adam Smith bahwa setiap kegiatan perekonomian tidak mungkin mencapai hasil yang memuaskan dan lancar

recollection of a perhaps once worthwhile relationship.” Di sisi lain, Thomas E. Carbonneau tanpa dukungan sistem penyelesaian sengketa. Sistem ini harus dapat diterima 82 , menyatakan bahwa keadilan yang karena kemampuannya menyelesaikan sengketa dengan cepat, tepat, dan biaya

diperoleh melalui jalur ligitasi adalah “dehumanizing and riddled with murah. Sistem resolusi yang mengingkari hakikat sederhana, cepat dan biaya

abusive interpretations of truth.” Menurut Yosiyuki Noda, bagi seorang murah, tidak sesuai dan tidak dapat diterima dalam dunia bisnis. Sistem

Jepang terhormat, hukum adalah sesuatu yang tidak disukai, malahan dibenci. resolusi yang lambat dan kurang responsif dalam menyelesaikan sengketa,

Bahkan bila mengajukan seseorang ke pengadilan untuk mendapatkan perlindungan hak atau kepentingannya, sekalipun dalam urusan perdata adalah

membuat garis hubung perdebatan antara positivisme dan humanis. Lihat dalam Anthony Giddens.

suatu yang memalukan. 83 Sedangkan menurut Kawashima, bagi masyarakat

1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern; suatu analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber. Jakarta : Universitas Indonesia Press. hal. 164-179

Jepang, ligitasi telah dinilai salah secara moral, cenderung bersifat subversif atau memberontak karena membahayakan hubungan sosial yang harmonis. 78. F. Budi Hardiman. 1990. Kritik Ideologi-Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta : 84

Penerbit Kanisius. hal. 148 79. Rational Choice Theory is an approach used by social scientists to understand human behavior.

80. M. Yahya Harahap. 1997. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan. Penyelesaian The approach has long been the dominant paradigm in economics, but in recent decades it has

Sengketa. Bandung : P.T Citra Aditya. hal. : 150

become more widely used in other disciplines such as Sociology, Political Science, and 81. Jack Ethridge adalah Profesor Hukum di Emory University Law School. Lihat dalam Peter Anthropology. This spread of the rational choice approach beyond conventional economic issues

Lovenheim. 1989. Mediate Don’t Litigate, New York, Mc Graw-Hill Publishing Company. hal. 23 is discussed by Becker (1976), Radnitzky and Bernholz (1987), Hogarth and Reder (1987),

82. Thomas E. Carbonneau. 1989. Alternatif Dispute Resolution, Melting the Lances and Diemounting Swedberg (1990), and Green and Shapiro (1996). Dalam ekonomi Green memberikan contoh :

the Steeds, Chicago: University of Illinois. hal. 8.

Rational Choice Theory generally begins with consideration of the choice behavior of one or 83. Yosiyuki Noda. 1976. Introduction to Japanese Law. Tokyo : Tokyo University Press. hal. 159 more individual decision-making units – which in basic economics are most often consumers

and/or firms. Lihat dalam Steven L. Green. 2002. Rational Choice Theory: An Overview. Baylor 84. Takeyoshi Kawashima, Penyelesaian Pertikaian di Jepang Kontemporer, Dalam A.A.G. Peters University. hal. 1-5

dan Koesrini Siswosoebroto. 1988. Hukum dan Perkembangan Sosial. Jakarta : Sinar Harapan. hal. 95-123.

Oleh karena itu harus ada upaya alternatif dalam mengembangkan model Giddens menjelaskan bahwa prinsip-prinsip struktural itu terdiri dari tiga penyelesaian sengketa, khususnya di bank syariah. Era positivisme yang serba

hal yang sangat mendasar, yaitu pertama, struktur ‘signifikansi’ (signification) seragam sudah tidak selayaknya digunakan. Model bukan turun dari atas ke

yang berkaitan dengan dimensi simbolik, penyebutan dan wacana. Kedua, bawah tetapi bisa dibangun dari bawah ke atas. Anthony Giddens menawarkan

struktur ‘dominasi’ (domination) yang mencakup dimensi penguasaan atas sebuah teori yang ia namakan strukturasi. Teori ini ditawarkan untuk

orang (politik) dan barang (ekonomi). Ketiga, struktur ‘legitimasi’ memastikan peran sebenarnya antara manusia sebagai agen dengan struktur

(legitimation) menyangkut dimensi peraturan normatif yang terungkap dalam sosial. Melalui teori strukturasi, Giddens mengkritik terhadap mazhab-

tata hukum. 89

pemikiran yang ada sebelumnya. Ia memulai dari tradisi pemikiran Karl Mark, Teori strukturasi merupakan teori umum dari aksi sosial yang memadukan Emile Durkheim, dan Max Weber. Giddens secara tegas menolak metodologi

dua pendekatan yang berseberangan itu dengan melihat hubungan dualitas positivisme yang menyamakan ilmu sosial dengan ilmu alam karena realitas

antara agen dan struktur dan sentralitas ruang dan waktu. Dimulai dualitas

selalu bergerak dan berubah. 85

Lalu ia mengarahkan refleksi pada berbagai

(hubungan timbal-balik) yang terjadi antara agen dan struktur di dalam “praktik

pemikiran fungsionalisme Parson. 86

sosial yang berulang dan terpola dalam ruang dan waktu” yang mereproduksi secara kontinyu mereproduksi stuktur sosial artinya individu

Teori strukturasi menunjukkan bahwa

agen manusia 87

struktur tersebut. Teori ini menyatakan bahwa manusia adalah proses pembentuk beragam sistem sosial. Interaksi antar individu dapat menciptakan

dapat melakukan perubahan atas struktur sosial. 88

struktur. Individu yang menjadi agen bertindak secara strategis berdasarkan

85. Ia mengkritik positivisme “dalam ilmu-ilmu sosial tidak ada hukum universal, dan memang tidak

ada, maka sebab metode-metode validasi dan pengujian empiris agak tidak memadai. Kehidupan

pada peraturan untuk meraih tujuan mereka dan tanpa sadar menciptakan

sosial senantiasa bergerak; teori-teori yang menarik atau praktis, hipotesis-hipotesis atau temuan- temuan bisa diambil dalam kehidupan sosial sedemikian rupa sehingga dasar-dasar asli untuk

struktur baru yang mempengaruhi aksi selanjutnya. Hal ini karena pada saat

melakukan pengujiannya juga otomatis berubah. Lihat dalam Anthony Giddens, 1995. The

individu itu bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhannya, tindakan

Constituent of Society: The Outline of the Theory of Structuration. Cambridge, UK : Politiy Press. hal.: xii-xv

tersebut menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan yang memapankan

86. Lihat tulisan B. Herry Priyono tentang Sebuah Terobosan Teoritis dalam Majalah Basis, no. 01-

suatu struktur sosial dan mempengaruhi tindakan individu itu selanjutnya.

02, tahun ke-49, Januari-Pebruari 2000, hal. 16. Inti pemikiran Parsons adalah: 1) tindakan itu diarahkan pada tujuannya; 2) tindakan terjadi dalam suatu situasi dimana beberapa elemennya

Penyelesaian sengketa melalui mediasi yang berlangsung terus-menerus

sudah pasti, sedangkan elemen-elemen lainnya digunakan oleh orang yang bertindak itu sebagai

akan membentuk struktur (model mediasi) dan struktur tersebut nantinya akan

alat menuju tujuan itu; dan 3) secara normatif tindakan itu diatur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan, lihat Doyle Paul Johnson. 1981. Sociological Theory Classical Founders and

menjadi bagian tindakan penyelesaian sengketa berikutnya. Berarti berdasar

Contemporary Perspevtivis II (terj.. Jakarta: Gramedia. hal. 106.Lihat juga Anthony Giddens.

gagasan Giddens struktur ini merupakan hasil tindakan repetisi, yang

1976. New Rules of Sociologicsl Method. Cambridge: Polity Press. hal. 29-30. Bandingkan dengan Ian Craib. 1986. Modern Social Theory From Parsons to Habermas (terj.). Jakarta: Rajawali Press. hal. 57

sebagai pelaku. Ketiga, fungsionalisme menurut Giddens membuang dimensi ruang dan waktu dalam menjelaskan proses sosial. Akibatnya terjadi oposisi antara dimensi yang statik dan dimensi

Kunci untuk memahami proses pendamaian itu ialah “nilai” (value) yang mengikat kebutuhan yang dinamik. Menurut Giddens selanjutnya, inilah suatu bentuk dualisme yang lain. Lihat dalam tindakan para individu dengan tata-masyarakat. Nilai-nilai secara tepat dapat dilukiskan sebagai

Anthony Giddens. 1981. Contemporary Critique of Historical Materialism. London: Macmillan. kepercayaan-kepercayaan bagi masyarakat mengenai bagaimana seharusnya dunia itu atau

hal. 16.

87. Manusia menurut teori ini yaitu agen pelaku bertujuan yang memiliki alasan-alasan atas aktivitas- to Habermas (terj.). Jakarta: Rajawali Press. hal. 57. Talcot Parsons melewati tiga tahap refleksi

dunia itu seharusnya seperti apa, dan nilai itu menurut Parsons memiliki pengaruh yang menentukan tindakan seseorang.Lihat dalam Ian Craib. 1986. Modern Social Theory From Parsons

aktivitasnya dan mampu menguraikan alasan itu secara berulang-ulang. Aktivitas-aktivitas sosial teoritik. Pertama, tahap ketika dia menyusun teori tindakan teori voluntaristik, dengan fokus

manusia ini bersifat rekursif dengan tujuan agar aktivitas-aktivitas sosial itu tidak dilaksanakan pada tindakan individual. Kedua, periode ketika Parsons meninggalkan teori tindakan individual

oleh pelaku-pelaku sosial tetapi diciptakan untuk mengekspresikan dirinya sebagai aktor/pelaku ke teori sistem sosial. Ketiga, tahap ketika Parsons menerapkan fungsionalisme pada evolusi

secara terus menerus dengan mendayagunakan seluruh sumberdaya yang dimilikinya. masyarakat. Dengan menggunakan kerangka Parsonian tentang tindakan, anggota masyarakat

88. Struktur merupakan usaha konseptual yang sangat berat, sifat struktur sistem sosial sampai kini merupakan pelaksana peran-peran sosial tertentu. Secara demikian, peran tidak diciptakan oleh

hanya ada sebagai bentuk perilaku sosial yang secara terus menerus diproduksi dengan waktu individu, karena “apa yang menjadi isi peran sosial adalah apa yang dituntut atau diharapkan

dan ruang. Struktur adalah sebagai seperangkat aturan dan sumber daya atau seperangkat oleh peran tersebut”. dalam B. Herry Priyono. Op cit. hal. 17.

hubungan transformasi yang diorganisasikan secara rekursif sebagai sifat-sifat sistem sosial, Giddens memiliki antipati yang sangat beralasan. Sebab menurutnya, ada beberapa hal yang

berada diluar ruang dan waktu, disimpan dalam koordinasi dan kesegarannya sebagai jejak- tidak bisa diterima oleh fungsionalisme. Pertama, fungsionalisme memberangus fakta bahwa

jejak memori dan ditandai oleh ‘ketiadaan subjek’.

kita anggota masyarakat bukanlah orang-orang yang dungu. Manusia selalu tahu apa yang terjadi 89. Prinsip tersebut ada dalam Anthony Giddens. 1979. Central Problem in Social Theory. London: di sekitarnya. Kedua, menurut Giddens, fungsionalisme adalah cara berfikir yang mengaku bahwa

Macmillan, p. 82. Lihat dalam Adi Sulistiyono Op Cit. hal. 27

sistem sosial mempunyai sejumlah kebutuhan yang harus dipenuhi. Sedangkan bagi Giddens, 90. B.Herry-Priyono. 2002. Anthony Giddens suatu pengantar. Jakarta : Kepustakaan Populer sistem sosial tidak mempunyai kebutuhan apapun. Yang memiliki kebutuhan hanyalah manusia

Gramedia.. hal. 23-26 Gramedia.. hal. 23-26

BAB III B B B B AB III AB III AB III AB III

baliknya pada kesadaran diskursif. Kesadaran ini menimbulkan motivasi UR UR URGENSI MEMBERD UR UR GENSI MEMBERDA GENSI MEMBERD GENSI MEMBERD GENSI MEMBERD A AY A A Y YAKAN LEMB Y Y AKAN LEMBA AKAN LEMB AKAN LEMB AKAN LEMB A AG A A GA MEDIASI G G G A MEDIASI A MEDIASI A MEDIASI A MEDIASI bawah sadar karena sudah dilakukan dengan berulang. Dorongan bawah sadar

PERB PERB PERB PERB PERBANKAN DI INDONESIA ANKAN DI INDONESIA ANKAN DI INDONESIA ANKAN DI INDONESIA ANKAN DI INDONESIA ini semakin dikuatkan dengan perilaku tersumbatnya saluran resolusi pengadilan dan begitu kurang efektif dan efisiennya model non litigasi yang lain, sehingga agen sosial ini secara berulang memilih jalur mediasi sebagai resolusi sengketa di bank syariah karena menilai lebih efektif dan efisien. Selain itu perilaku bawah sadar yang sudah menjadi strukturasi ini diperkuat dengan akomodasi peraturan yang memungkinkan mediasi sebagai resolusi

Perkembangan laju aktifitas transaksi perbankan syariah di Indonesia sengketa di bank syariah.

mengalami kemajuan yang cukup pesat. Pesatnya dinamisasi tersebut juga Atas dasar proses strukturasi kesadaran ini, Anthony Giddens menamakan

berbanding lurus dengan probabilitas yang semakin besar dalam hal terjadinya teorinya sebagai “strukturasi”, sebagaimana setiap akhiran ‘is(asi)’ menunjuk

sengketa dalam menjalankan roda bisnis. Sengketa dalam setiap aktivitas proses ruang-waktu sebagai unsur konstitutif gejala sosial. Tampaklah dengan

manusia telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak mungkin dihindari. jelas bahwa dalam teori strukturasi Anthony Giddens kategori ruang-waktu 91 Peran perbankan sebagai intermediasi keuangan membutuhkan kepercayaan

menempati posisi yang sangat sentral. Strukturasi, proses bagaimana praktik- dari nasabah, oleh karena itu segala hubungan dengan nasabah harus dijalankan praktik sosial menjadi suatu struktur, memang hanya bisa terjadi dalam lintas 92 dengan prinsip kepercayaan termasuk dalam resolusi sengketa. Lembaga

ruang-waktu. mediasi perbankan merupakan rangkaian solusi yang disediakan oleh BI untuk menyelesaikan sengketa antara nasabah dan bank. Ada beberapa undang undang dan peraturan yang melandasi eksistensi mediasi sebagai resolusi sengketa, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999

92. Industri perbankan memiliki sebuah karakter khusus sebagai lembaga bisnis yaitu eksistensi dan keberlanjutannya terkait langsung dengan kepercayaan (trust) masyarakat. Tanpa adanya unsur kepercayaan, mustahil bank bisa menghimpun dana dari masyarakat atau sebaliknya sebagai penyalur dana kepada masyarakat. Kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap bank mempunyai efek domino yang dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap lainnya, sehingga perbankan secara menyeluruh akan mengalami kesulitan. Lihat Zulkarnaen Sitompul. 2005.

91. Meskipun Giddens berpendapat bahwa suatu ontologi tentang ruang-waktu yang membentuk Problematika Perbankan. Bandung : Book Terrace and Library. hal. 218. Lihat pula pendapat kegiatan sosial adalah dasariah bagi pengertian strukturasi, ia tidak memberikan perenungan

Alan Greenspan yang mengatakan : “When confidence in the integrity of a financial institutions is apapun mengenai apakah ruang-waktu itu sendiri. Waktu, menurut dia, adalah “mungkin

shaken or its commitment to the honest conduct of business is in doubt, public trust erodes and merupakan ciri paling enigmatic (membingungkan) dari pengalaman manusia”, namun juga “ciri

the entire system is weakened”. Maka wajarlah jika di berbagai belahan dunia biasanya sektor nyata dan biasa dari kehidupan manusia hari demi hari, lihat Lihat Anthony Giddens.1981. Op cit.

keuangan sangat diawasi oleh pemerintah (highly regulated industry) karena ada kepentingan hal. 34-35.

umum yang harus dilindungi. Diambil dari Zulkarnaen Sitompul. Peran dan Fungsi Bank dalam Sistem Perekonomian. http://zulsitompul.wordpress.com/. Diakses 1 Mei 2011 jam 16.00 wib umum yang harus dilindungi. Diambil dari Zulkarnaen Sitompul. Peran dan Fungsi Bank dalam Sistem Perekonomian. http://zulsitompul.wordpress.com/. Diakses 1 Mei 2011 jam 16.00 wib

berbeda dan lebih aplicable dibanding jalur penyelesaian sengketa antara tentang Mediasi, serta dalam UU Perbankan Syariah.

nasabah dan bank syariah yang saat ini ada. Ketiga, proses mediasi perbankan Model mediasi dalam menyelesaikan sengketa memberikan harapan

yang terdapat dalam PBI Mediasi Perbankan dianggap lebih dekat dengan untuk menutup kekurangan yang ada pada jalur ajudikasi publik maupun jalur

perbankan dibanding dengan nasabah, sehingga perlu dilakukan eksplorasi arbitrase. Sebagaimana dinyatakan oleh Leonard Riskin dalam Goldberg et

secara kelembagaan. Keempat, terdapat amanat dalam Pasal 3 PBI Mediasi al: 93

Perbankan tentang pembentukan Lembaga Mediasi Perbankan Independen yang hingga saat ini amanat PBI Mediasi Perbankan tersebut belum dapat

“ Mediation offers some clear advantages over adversary processing : diwujudkan. Karena buku ini merupakan hasil penelitian yang penulis lakukan it is cheaper, faster and potentially more hospitable to unique solutions

di beberapa bank syariah, maka perungkapan bank dalam bab ini kebanyakan that take more full into account nonmaterial interests of the disputants.

merujuk pada aktivitas bank syariah. Secara lebih rinci urgensi It can educate the parties about each other’s needs and those of their

memberdayakan lembaga mediasi perbankan dalam menyelesaikan sengketa community.... One reason for these advantages is that mediation is less

antara nasabah dan bank syariah, penulis jelaskan sebagai berikut. hemmed-in by rules of procedure or substantive law and certain

assumptions that dominate the adversary process.”

A. Model Mediasi Perbankan Merupakan Model yang Dibutuhkan Berdasarkan PBI Mediasi Perbankan, mediasi antara nasabah dan bank

dalam Praktik Perbankan Syariah untuk Menyelesaikan Sengketa syariah dilakukan oleh Bank Indonesia melalui Direktorat Investigasi dan

antara Nasabah dan Bank Syariah

Mediasi Perbankan. Praktik mediasi perbankan melalui DIMP BI sudah Di dalam pembahasan sub bab ini penulis menggunakan teori logika berlangsung sejak tahun 2006, sedangkan untuk praktik mediasi antara nasabah

kebudayaan yang dinyatakan oleh Ibnu Khaldun dan August Comte. Pemikiran dan bank syariah baru dimulai tahun 2008 sejak keluarnya UU Perbankan

Khaldun mengenai nilai kebenaran murni dalam masyarakat Badhawah yang Syariah. Meski sudah lebih dari 5 (lima) tahun lembaga mediasi perbankan

justru dicari oleh masyarakat Hadharah yang memiliki kecenderungan di DIMP BI ini eksis namun berbagai pro kontra mengenai eksistensi

rasional. Praktik perbankan syariah sangat dinamis dan rasional, di dalam kelembagaan dan praktik mediasi perbankan masih melekat pada lembaga

praktik yang dinamis dan pemikiran rasional tersebut terdapat nilai mediasi perbankan ini, sehingga lembaga ini kurang berdaya untuk

transendental berupa keadilan dan kedamaian. Nilai tersebut ada dalam praktik mewujudkan perannya dalam menyelesaikan sengketa antara nasabah dan

Mediasi. Mediasi, dalam literatur Islam dikenal dengan istilah perdamaian bank (syariah) secara ideal, lebih dipercaya, efisien dan adil bagi para pihak.

(sulh), perdamaian merupakan inti dalam bermuamalah. Eksistensi lembaga ini sangat penting sehingga dibutuhkan langkah untuk

Al Quran Surat An Nisa, ayat 35 :

memberdayakan lembaga mediasi perbankan sebagai model resolusi sengketa antara nasabah dan bank syariah yang lebih ideal, lebih dipercaya, efisien

“Dan jika kamu khawatir akan ada persengketaan antara keduanya dan adil bagi para pihak. Memberdayakan berarti membuat lembaga mediasi

(suami-isteri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan perbankan bisa lebih sejajar dan bersaing dengan lembaga penyelesaian

seorang hakam dari keluarga perempuan. Dan jika kedua orang hakam

itu bermaksud mengadakan perbaikan (perdamaian), niscaya Allah akan beberapa urgensi mengapa lembaga ini harus diberdayakan, antara lain.

sengketa yang lebih eksis dan lebih populer (misalnya pengadilan). 94 Terdapat

memberikan petunjuk kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Pertama, model mediasi perbankan merupakan model yang dibutuhkan dalam

Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

praktik perbankan syariah untuk menyelesaikan sengketa antara nasabah dan Perbankan Islam di Indonesia mulai menggeliat pada saat terjadi krisis perekonomian di Asia, termasuk di Indonesia dimana perbankan nasional

93. Stephen B Goldberg, Frank E.A Sander, nancy H Rogers, and Sarah Rudolf Cole. 2003. op cit. hal. 154

yang mengalami krisis berat yang mendorong perbankan saat itu beroperasi

94. J.W.Ife. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives-vision, Analysiis and

dengan negatif spread, yaitu bunga yang dibayar kepada nasabah penabung

Practice. Melbourne : Longman. hal.55

lebih tinggi daripada bunga kredit yang diterima. Kondisi ini mengakibatkan lebih tinggi daripada bunga kredit yang diterima. Kondisi ini mengakibatkan

optimisme yang tinggi bagi para pemangku kepentingan, harapannya UU untuk menanggulangi kerugian tersebut semakin besar. Banyak fakta kegiatan

tersebut bisa efektif mengurangi ambivalensi yang membatasi gerak industri perbankan yang di luar logika perbankan, sebagai contoh bunga deposito

perbankan syariah nasional. Hal ini mengingat bahwa UU tersebut akan pernah mencapai 60 % beberapa saat setelah perbankan di tanah air terkena

berperan membuka akses aliran dana terutama dari Negara-negara muslim krisis, dengan bunga deposito yang mencapai 60 %, maka secara logika bank

Timur Tengah. Asumsi ini bias dipahami karena dengan adanya UU Perbankan harus memberi kredit dengan bunga setinggi itu juga. Fakta tersebut menjadi

Syariah para investor akan mendapatkan kepastian hukum berupa eksistensi semakin bermasalah ketika dalam kegiatan bisnis hampir tidak bisa ditemukan

tentang aturan bank syariah. Selain itu, UU perbankan syariah juga dapat kegiatan bisnis yang mampu membayar bunga setinggi itu dalam keadaan

menajdi kerangka dasar bagi penetapan standar-standar perbankan syariah krisis keuangan seperti saat itu, justru kegiatan bisnis pada saat itu banyak

nasional. Apabila kemudian standar nasional terintegrasi dengan standar yang terjebak pada ketidakmampuan untuk mengembalikan bunga, bahkan

global, maka akan lebih mudah bagi bank-bank syariah di Indonesia untuk berujung pada kredit macet.

berkompetisi dengan Singapura dan Malaysia, misalnya, dalam menarik Kondisi krisis perbankan di atas hampir tidak ditemukan pada praktik

investor-investor Timur Tengah, yang saat ini memiliki dana investasi begitu perbankan syariah. Perbankan Syariah relatif berjalan dengan baik meski

banyak.

secara makro kondisi ekonomi sedang krisis, karena perbankan syariah lebih Bank Indonesia perlu segera menerjemahkan UU tersebut ke dalam mengandalkan sector riil. Perbankan syariah mampu menjaga sektor riil pada

peraturan-peraturan yang lebih teknis, termasuk bersama-sama para pemangku era krisis 1997-2000, namun demikian bank-bank syariah masih kalah pamor

kepentingan lainnya menciptakan standar-standar perbankan syariah yang dari bank-bank konvensional. Konsekuensi lanjutannya, tanpa economy of

kompetitif. Dalam proses translasi dan derivasi hukum di atas, pihak bank scale, industri ini belum mampu berkontribusi signifikan dalam meningkatkan

sentral, bank-bank syariah, dan para pelaku dalam industri ini perlu berhati- kemakmuran rakyat, yang sebenarnya merupakan ultimate objective-nya. 95 hati. Ikhtiar untuk mengakselerasi pertumbuhan jangan sampai mengorbankan

prinsip-prinsip dan filosofi muammalah dalam perbankan syariah. Perbankan syariah sebagai bagian dari sistem perbankan nasional 96 mempunyai peranan penting dalam perekonomian. Peranan perbankan syariah

Problemnya memang saat ini banyak aturan yang tersamar, yang dalam aktivitas ekonomi Indonesia tidak jauh berbeda dengan perbankan

merupakan “terjemahan” dari bank konvensional, bahkan aturan-aturan dalam konvensional. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah prinsip-prinsip

bank konvensional belum semuanya diterjemahkan secara syariah, salah dalam transaksi keuangan/operasional. Salah satu prinsip dalam operasional

satunya adalah ketentuan mengenai penyelesaian sengketa. Sebagian besar perbankan syariah adalah penerapan bagi hasil dan risiko (profit and loss

ulama dan pakar juga sependapat bahwa bank syariah merupakan bank yang sharing). Prinsip ini tidak berlaku di perbankan konvensional yang

berprinsip utama bagi hasil, sehingga penyelesaian sengketa juga harus menerapkan sistem bunga. Bank Indonesia memprediksi perkembangan

menyesuaikan diri dengan karakteristik “syariah” dari prakti bank syariah. perbankan syariah cukup baik. Volume usaha saat ini diperkirakan mencapai

Syariah bukan hanya sekedar bebas bunga, tetapi sistem atau prosedur-

7 % dari industri perbankan nasional. prosedur perbankan tersebut yang dalam operasinya tidak menggunakan bunga Perkembangan perbankan syariah di Indonesia sampai dengan akhir 2010

dirumuskan demikian rupa sehingga ada hubungan yang sebanding lurus antara masih ditandai dengan tingkat ekspansi yang tinggi yang menunjukkan adanya

aturan syariah dengan peraturan perundang-undangan perbankan yang berlaku. demand terhadap jasa perbankan syariah yang tinggi. Perkembangan tersebut

Kritik-kritik bagi perbankan Islam utamanya berkaitan dengan peletakan didukung pula oleh kondisi moneter dan kebijakan perbankan yang kondusif.

modelnya yang berbasis bunga dalam sistem perbankan. Dengan model ini Hal ini tercermin dari pertumbuhan yang signifikan pada sejumlah indikator seperti jumlah bank dan jaringan kantor, dana pihak ketiga dan pembiayaan

96. Kekhawatiran ini tidak berlebihan, mengingat sampai saat ini masih banyak praktik bank syariah

yang diberikan.

yang lebih merupakan replikasi praktik bank konvensional yang dibungkus dalam terminologi- terminologi syariah karena ruang-ruang regulasi yang ada masih ambivalen. Lihat Laporan Riset

95. Adiwarman A. Karim. 2001. Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer. Cetakan Pertama. Jakarta: Lab Manajemen FE (LMFE) UNPAD yang bekerja sama dengan Direktorat Perbankan Syariah Gema Insani Press. hal. 65

BI, 2007 BI, 2007

B. Membandingkan Model Mediasi Perbankan dengan Model penciptaan instrumen-instrumen yang tunduk pada syari’ah sehingga terkesan

Penyelesaian Sengketa Nasabah dan Bank Syariah yang lainnya hanya sekedar duplikat untuk mengganti instrumen bank konvensional yang

Di dalam pembahasan sub bab ini penulis menggunakan teori tentang berasaskan bunga. Pondasi filosofis sistem perbankan dan keuangan Islam

logika kebudayaan yang dinyatakan oleh Ibnu Khaldun dan August Comte berakar pada konsep interaksi faktor-faktor produksi dan perilaku ekonomi.

dan juga teori coexistential justice dari Cappelliti. Teori Khaldun dan Comte Sistem Islam memberikan penekanan yang sama pada dimensi transcendental

digunakan untuk menganalis keunggulan konsep mediasi dibandingkan berupa nilai-nilai etis, moral, sosial, dan spiritual dalam upaya meningkatkan

metode lainnya, sedangkan teori Cappelliti digunakan untuk menunjukkan keadilan dan pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan sistem

nilai keadilan dalam mediasi yang tidak harus dicapai oleh kesejajaran posisi keuangan konvensional memusat terutama hanya pada aspek transaksi

para pihak yang bersengketa.

keuangan dan ekonomi saja. Pandangan yang penting ‘bebas bunga’ saja, merupakan jebakan pengembangan bank syariah yang hanya berfokus pada

Perangkat hukum telah mengatur model penyelesaian sengketa yang bisa aspek transasksi saja dan meredusir pondasi filosofisnya.

ditempuh untuk mendapatkan resolusi ketika nasabah dan bank syariah bersengketa. Berdasar Pasal 55 Undang Undang No 21 tahun 2008 tentang

Sistem bebas bunga memang merupakan inti dari bank syariah, tetapi Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) disebutkan : mengambarkan sistem perbankan dan keuangan Islam secara sederhana

dengan hanya “bebas bunga” tidak menghasilkan suatu gambaran yang benar (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan atas sistem ini secara keseluruhan. Selain itu praktik bank syariah harus

dalam lingkup peradilan agama.

didukung dengan landasan filosofis syariah, yakni nilai-nilai Islam yang sangat (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain fundamental seperti; berbagi resiko, hak dan kewajiban individu, hak milik,

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan kesucian kontrak dan tangungjawab pembangunan masyarakat.

sesuai dengan akad.

Oleh karena itu manifestasi derivasi landasan filosofis tersebut dalam Dalam penjelasan Pasal 55 tersebut dijelaskan bahwa yg dimaksud konteks model penyelesaian sengketa harus dilakukan. Diantara model

dengan ‘penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya penyelesaian sengketa yang ditawarkan oleh Pasal 55 UU Perbankan Syariah,

sebagai berikut :

lembaga mediasi merupakan model terdekat yang bisa menghubungkan dan

(a) musyawarah.

membandingluruskan antara ketentuan filosofis syariah Islam dengan

(b) mediasi perbankan.

ketentuan peraturan perundang-undangan nasional. Berdasarkan teori

(c) melalui Basyarnas.

kebudayaan yang dikemukakan oleh August Comte, menyatakan bahwa, kelembagaan lembaga mediasi perbankan menjadi nyata dan kemudian eksis

(d) melalui pengadilan dalam lingkup peradilan umum. karena diyakini filosofi kebenarannya sebagai nilai yang kemudian dilakukan

Berdasar Pasal 55 UU Perbankan Syariah di atas, Pengadilan Agama secara terus menerus. Nasabah sebagai agen sosial meskipun belum se-massive

(PA) mendapatkan prioritas dalam sengketa di bank syariah, namun demikian seperti penggunaan jalur litigasi dalam menyelesaikan sengketanya dengan

para pihak bisa memilih berdasar kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa perbankan, tetapi secara simultan menggunakan model mediasi sebagai cara

di antara mereka melalui jalur di luar PA (Pasal 2). Sebenarnya secara garis untuk menyelesaikan sengketanya dengan bank syariah. Perilaku inilah yang

besar penyelesaian sengketa di bank syariah dapat digolongkan menjadi 2 kemudian melembaga sehingga diakomodasi oleh struktur secara normatif

(dua) model utama, yakni model litigasi dan model non litigasi. Penyelesaian dan kelembagaan dengan adanya wadah lembaga mediasi perbankan, DIMP

sengketa litigasi dilakukan di PA dan PN, sementara sengketa non litigasi BI. Lembaga Mediasi selain memberikan kecepatan dalam menyelesaikan

berdasar penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah, diselesaikan sengketa, karakteristik forward looking mirip dengan karakteristik Islam yang

melalui musyawarah, mediasi perbankan dan arbitrase syariah di Badan cinta damai. Obyektifitas penyelesaian sengketa dijamin dengan adanya pihak

Arbitrase Syariah Nasional. Model-model penyelesaian sengketa nasabah dan ketiga yang memfasilitasinya. Sehingga demikian, lembaga arbitrase memiliki

bank syariah peneliti sistemasikan menjadi dua kategori, yakni melalui jalur karakteristik yang sebanding lurus dengan dinamisasi perbankan (syariah).

litigasi (Pengadilan Umum/Negeri atau Pengadilan Agama) dan jalur non litigasi (Pengadilan Umum/Negeri atau Pengadilan Agama) dan jalur non

di lingkungan pengadilan di Indonesia, oleh karena itu dapat diketahui

1. Litigasi bahwa Peradilan yang diselenggarakan di Indonesia merupakan suatu Apabila terjadi sengketa dalam masyarakat, sebagai bagian dari

sistem yang ada hubungannya satu sama lain. Keberadaan suatu lembaga masyarakat, tentu para anggotanya berkepentingan bahwa keseimbangan

pengadilan tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berhubungan yang terganggu itu dipulihkan kembali. Salah satu unsur untuk

dan berpuncak pada Mahkamah Agung. Bukti adanya hubungan antara menciptakan atau memulihkan keseimbangan tatanan di dalam

satu lembaga pengadilan dengan lembaga pengadilan yang lainnya salah masyarakat adalah penegakan hukum atau peradilan yang bebas dan

satu diantaranya adalah adanya “Perkara Koneksitas” dan eksistensi mandiri, adil dan konsisten dalam melaksanakan atau menerapkan

Mahkamah Syariah di Nangroe Aceh Darusalam yang berada pada dua peraturan hukum yang ada dan dalam menghadapi pelanggaran hukum,

koneksi Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.

Sistem Peradilan Indonesia dapat diketahui dari ketentuan Pasal 24 sistem peradilan.

oleh suatu badan mandiri, yaitu pengadilan 97 , yang tunduk pada suatu

Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sistem Peradilan Indonesia dapat diartikan sebagai suatu susunan

dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang yang teratur dan saling berhubungan, yang berkaitan dengan kegiatan

Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa : pemeriksaan dan pemutusan perkara yang dilakukan oleh pengadilan,

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung baik itu pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum, peradilan

dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, yang

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan didasari oleh pandangan, teori dan asas-asas di bidang peradilan yang

militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah berlaku di Indonesia.

Mahkamah Konstitusi.”

Sistem peradilan di Indonesia tidak lahir dengan sendirinya. Berdasar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Indonesia adalah negara Eksistensinya dipengaruhi oleh 3 (tiga) sistem hukum, yaitu : 98 hukum. Kekuasaan hukum dijalankan oleh sebuah kekuasaan

a. Sistem Hukum Barat, yang merupakan warisan para penjajah

98. Istilah negara hukum ini sering diterjemahkan Rechtstaats atau The Rule of Law. Paham

kolonial Belanda yang mempunyai sifat individualistik. Peninggalan

Rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa kontinental. Paham ini mulai

produk Belanda ini masih banyak yang berlaku diantaranya, populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi politik Eropa yang didominir oleh absolutisme

Raja. Lihat dalam Padmo Wahyono. 1989. Pembangunan Hukum di Indonesia. Jakarta : Ind-Hill

KUHPerdata, KUHP, dan lain-lain.

Co. hal. 30.

b. Paham ini antara lain dikembangkan oleh Imanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl. Lihat dalam Sistem Hukum Adat, yang bersifat komunal. Adat merupakan cermin

Miriam Budihardjo. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. hal. 57

kepribadian suatu bangsa dan penjelmaan jiwa bangsa yang

. Sedangkan paham The Rule of Law ini bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common

bersangkutan dari abad ke abad. Law System. Philipus M. Hadjon. 1972. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Sebuah

studi tentang perinsip-prinsipnya, penerapannya oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan

c. Sistem Hukum Islam, sifatnya religius. Menurut sejarahnya sebelum

umum dan pembentukan peradilan administrasi Negara. Surabaya : Bina Ilmu. hal. 72. Paham

penjajah Belanda datang ke Indonesia, Islam telah diterima oleh ini antara lain dikembangkan oleh Albert Venn Dicey. Lihat dalam Jimly Asshiddiqie, Cita Negara

Hukum Indonesia Kontemporer, Makalah disampaikan pada orasi ilmiah pada wisuda sarjana

Bangsa Indonesia.

Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004. Tulisan ini juga dimuat dalam majalah “Simbur Cahaya” Nomor 25 Tahun IX Mei 2004, ISSN Nomor 14110-0614.

PBB Mendefinisikan rule of law sebagai berikut : “.. . rule of law refers to a principles of governance in wich all persons, institution and entities,

97. Sudikno Mertokusumo, Sistem Peradilan di Indonesia. http://sudiknoartikel.blogspot.com/ 2008/ public and private including the state itself, are accountable to law are publicy promulgated, 03/sistem-peradilan-di-indonesia.html diakses tanggal 29 April 2010

equally enforced and independenly adjudicated, in wich are consistent with international human rights norms and standards. It requires as well, measures to ensure adherence to the principles equally enforced and independenly adjudicated, in wich are consistent with international human rights norms and standards. It requires as well, measures to ensure adherence to the principles

dan lahirlah era reformasi. Salah satu penyebab reformasi adalah pengaruh mengalamai perjalanan yang cukup panjang. Pada awal kemerdekaan di

perubahan nilai terhadap perilaku politik, ekonomi dan hukum. Oleh Indonesia belum menunjukkan bentuknya yang independen dan mandiri.

karena itu reformasi mencakup 3 (tiga) aspek yaitu politik, ekonomi dan Hal ini bisa dilihat susunan lembaga peradilan masih diatur di dalam

hukum. Reformasi di bidang hukum berusaha untuk menegakan kembali Undang-Undang No. 34 Tahun 1942 tentang susunan peradilan sipil dan

supremasi hukum. Perubahan tersebut diawali dengan adanya TAP MPR Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1947 tentang Susunan dan Kekuasaan

RI Nomor X/MPR/1999 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung. 99

dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Perubahan mulai nampak pasca disahkannya UU Nomor 19 Tahun

sebagai Haluan Negara menuntut adanya pemisahan yang tegas antara 1948 sebagai perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1947 sebagai keharusan

fungsi-fungsi judikatif dan eksekutif. Peraturan yang mengatur tentang untuk merealisasikan Pasal 24 UUD 1945. 100 Di dalam Pasal 6 UU No

kekuasaan kehakiman yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

19 tahun 1948 dinyatakan adanya 3 (tiga) lembaga peradilan di Indonesia, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah yakni Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Pemerintah dan Peradilan

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Ketentaraan. Dan dalam Pasal 10 ayat (2) undang-undang tersebut juga

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan diakui keberadaan Hakim Perdamaian Desa sebagai pemegang kekuasaan

Pokok Kekuasaan Kehakiman.

dalam masyarakat yang bertugas untuk memeriksa dan memutus perkara Perubahan penting dalam kekuasaan kehakiman adalah segala urusan berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat desa. 101

organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan Pada era Orde Baru, UU Nomor 19 Tahun 1948 sebagai perubahan

peradilan yang ada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah atas UU Nomor 7 tahun 1947 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah

Agung yang sebelumnya, secara organisatoris, administrasi dan finansial Agung dan Kejaksaan Agung dinilai tidak lagi sesuai dengan semangat

badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung berada di bawah pemerintahan ketika itu, maka pada tahun 1970 lahir UU Nomor 14 tahun

departemen. Selanjutnya Kekuasaan Kehakiman di Indonesia mengalami 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang membagi

perkembangan dan perubahan dengan adanya Amandemen Undang- kekuasaan kehakiman, yakni peradilan Umum, Peradilan Agama,

Undang Dasar 1945 menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer dan Mahkamah Agung

Indonesia Tahun 1945 telah mengubah sistem penyelenggaraan negara sebagai Lembaga Peradilan Tertinggi. Perubahan yang sangat signifikan

di bidang judikatif atau kekuasaan kehakiman sebagaimana termuat tentang kekuasaan kehakiman terjadi pada awal masa Reformasi. 102

dalam BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25. 103

99. Uraian tentang dinamika peradilan pada masa kolonial dan awal kemerdekaan bi sa dibaca dalam buku Soetandyo Wignjosoebroto. 1994. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Suatu Kajian

Lihat W.T.Cunningham. 1982. Nelson Contemporary English Dictionary. Canada: Thompson and tentang Perkembangan Sosial Politik, Jakarta : Grasindo. hal. 199.

Nelson Ltd. hal. 422. Bila dikaitkan dengan hukum, Thompson mengartikan reformasi sebagai 100. Pasal 24 UUD 1945 :

proses perubahan tatanan hukum, yakni konstitusi (constitusional reform). Lihat Brian Thompson. 1997. “Constitution is a document which contains the rulers for the operation of an

(1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan organitation”. Textbook on Constitutional and Administrasi Law, edisi ke-3, London: Blackstone kehakiman menurut undang-undang.

Press ltd. hal. 3. Di Indonesia, secara faktual reformasi diawali dengan melakukan amandemen (2) Susunan dan kekuasaan badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.

UUD 1945. Lihat juga Syamsuddin Haris, “Memperkuat dan Mengefektifkan Presidensialisme”, 101. Jaenal Aripin. 2008. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta :

Makalah Seminar yang diselenggarakan DPP Partai Demokrat, Forum Komunikasi Partai Kecana. hal. 174.

Politik dan Politisi untuk Reformasi, bekerjasama dengan Friedrich Naumann Stifftung, Hotel Acasia, Jakarta, 13 Desember 2006. hal. 1.

102. Reformasi membawa perubahan bagi bangsa Indonesia, termasuk dalam sistem peradilan. oleh Chuningham reformasi diartikan sebagai membentuk, menyusun dan mempersatukan kembali.

103. Sebelum perubahan (amandemen), bab tentang kekuasaan kehakiman terdiri atas dua Pasal yaitu Pasal 24 dan Pasal 25. Setelah diubah menjadi lima Pasal, sehingga lebih rinci dan lebih

Perubahan mengenai penghapusan campur tangan kekuasaan Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman (judikatif). Kekuasaan

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan Kehakiman yang semula dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata

Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Usaha Negara dengan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi

Indonesia. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah kemudian berubah menjadi kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung 105 dan badan peradilan yang di bawahnya dalam Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan

Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Sedangkan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi diawali dengan disahkannya Pasal 24 ayat

(2), Pasal 24C dan Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Tahun 1945 yang menyatakan:

Pasal 24 ayat (2)

pelaksana kekuasaan kehakiman baru yang disebut Mahkamah

Pelaksana kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan

Konstitusi. yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,

lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Dengan adanya perubahan tersebut, akhirnya undang-undang yang

Kounstitusi.

mengatur tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia juga mengalami Pasal 24C

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

perubahan karena harus disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar

putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

sebagai peraturan yang lebih tinggi agar peraturan yang tingkatnya lebih

Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan

rendah tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kekuasaan tentang hasil pemilihan umum.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat

kehakiman yang semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun

mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang

1970 dirubah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun Dasar.

(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan

1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kemudian

(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.

dirubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan dirubah untuk

(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan

keempat kalinya dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat

negara

Kekuasaan Kehakiman. 104

(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya terhadap Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.

Pasal III Aturan Peralihan

lengkap yaitu Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25. Pada perubahan ketiga Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum (Tahun 2001) diputus Pasal 24 ayat 1 dan ayat 2 (kecuali Pasal 24 ayat 3, diputus pada perubahan

dibentuk segala kewenangannya diakukan oleh Mahkamah Agung. keempat tahun 2002), Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 24C. Sedangkan Pasal 25 tetap tidak

diubah. Atas perintah Undang-Undang Dasar ini kemudian Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat membahas pembentukan undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi.

104. Undang-undang yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman juga mengalami beberapa Kemudian pada tanggal 13 Agustus 2003 disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor perubahan. Undang-Undang No 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum telah dirubah menjadi

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

UU No. 8 tahun 2004 dan dirubah untuk kedua kalinya menjadi UU Nomer 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. Undang-

105. Mahkamah Agung

Undang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah dirubah menjadi UU No. 3 tahun 2006 Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia. Kewenangan Mahkamah dan dirubah untuk kedua kalinya menjadi UU Nomer 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua

Agung adalah : Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: permohonan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-Undang No 5

kasasi;sengketa tentang kewenangan mengadili; permohonan peninjauan kembali ; Menguji tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah dirubah menjadi UU No. 9 tahun 2004.

peraturan perundang-undangan yang di bawah undang-undang terhadap undang-undang ; Undang-Undang No 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang sekarang jadi tarik ulur

kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

pembahasan rancangan perubahannya. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang. Mahkamah Agung berwenang juga: melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan

peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya dalam menjalankan kekuasaan dirubah kembali dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

kehakiman; melakukan pengawasan organisasi, administrasi badan peradilan yang ada di Nomor14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

bawahnya; meminta keterangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan teknis peradilan dari bawahnya; meminta keterangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan teknis peradilan dari

semua badan yang berada di bawahnya; memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan yang berada di bawahnya; memberikan pertimbangan hukum kepada presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi; dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan.

106. Peradilan Militer merupakan peradilan khusus bagi prajurit Tentara Nasional Indonesia. Pengadilan di lingkungan Peradilan militer sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer

Pertempuran.Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata yang berpuncak pada Mahkamah Agung

sebagai Pengadilan Tertinggi.

Kewenangan Peradilan Militer adalah memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Peradilan Militer

adalah sebagai berikut. 1) Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak

pidana adalah: Prajurit; yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit; anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang; seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

2) Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata. 3) Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas

permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu

Gambar 3 109

putusan. Tempat kedudukan Pengadilan Militer Utama berada di Ibukota Negara Republik Indonesia yang

Di dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah antara nasabah

daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Untuk pengadilan lainnya ditetapkan dengan Keputusan Panglima. Apabila perlu Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer

dan bank, maka jalur litigasi yang digunakan yakni Pengadilan Agama

Tinggi dapat bersidang di luar tempat kedudukannya. Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer

dan Pengadilan Umum/Negeri.

Tinggi dapat bersidang di luar daerah hukumnya atas izin Kepala Pengadilan Militer Utama. 107. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan

Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Peradilan Tata Usaha Negara sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung. Kekuasaan dan kewenangan mengadili PTUN adalah

kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama bagi

keadilan. Mahkamah Konstitusi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia. Mahkamah rakyat pencari keadilan. Sengketa Tata Usaha Negara adalah suatu sengketa yang timbul dalam

Konstitusi berwenang mengadili:

bidang TUN antara orang-orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan TUN termasuk sengketa

kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan. Yang termasuk Keputusan TUN adalah

memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh beschiking, yakni suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat

memutus pembubaran partai politik; dan

hukum bagi seorang atau badan hukum perdata. 1

memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Pengadilan Tinggi TUN merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau dan menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh PTUN dan merupakan Pengadilan Tingkat

Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Tata Usaha

negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak Negara di daerah hukumnya. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga berwenang mengadili

lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam perkara pada tingkat pertama terhadap perkara yang telah digunakan upaya administratif.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 108. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan

109. Pujiyono.2009. Eksistensi Mahkamah Syariah. Tugas Kuliah S3 FH UNS 109. Pujiyono.2009. Eksistensi Mahkamah Syariah. Tugas Kuliah S3 FH UNS

undang-undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 3A Undang-Undang oleh: Pengadilan Agama; dan Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan

Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Agama berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Syari’ah Islam meliputi wilayah kabupaten/kota. Pegadilan Tinggi Agama berkedudukan

di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan peradilan khusus di ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi tetapi

dalam lingkungan Peradilan Agama dan merupakan 110 peradilan khusus tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian. Pengadilan Agama

dalam lingkungan Peradilan Umum sepanjang kewenangannya merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Agama

menyangkut kewenangan Peradilan Umum. Pengadilan Arbitrasi Syari’ah merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Peradilan Agama sebagai

termasuk Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama. pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.

Perkembangan baru dalam ranah dunia peradilan adalah Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan

diberikannya kompetensi penyelesaian sengketa kepada Pengadilan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai

Agama (PA) tentang sengketa perbankan syariah yang merupakan sub dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud “antara

dari obyek ekonomi syariah. Pasal 49 UU PA tahun 2006 yang telah orang yang beragama Islam “ adalah orang atau badan hukum yang dengan

dirubah dengan UUPA No 50 tahun 2009, menjadi dasar untuk sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum Islam

penyelesaian sengketa perbankan syariah. Perluasan kewenangan PA mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.

dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah ini memberikan Kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-

dampak dalam pemilihan penyelesaian sengketa yang kemungkinan Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-

timbul tidak hanya lewat lembaga arbitrase, tetapi lewat lembaga Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu:

peradilan yang kompeten dan konsisten dalam menegakkan hukum Islam.

1) perkawinan; Hadirnya ketentuan Pasal 49 UU PA tersebut memberikan perubahan strategis dalam kompetensi absolut 2) 111 waris; PA sebagai salah satu pelaku

3) wasiat; kekuasaan kehakiman mengalami perubahan strategis sebagai respon

4) hibah;

5) wakaf;

110. Pengadilan syari’ah Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur dengan Undang-Undang Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan Undang-

6) zakat;

Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Aceh sebagai

7) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor infak;

11 Tahun 2003 Pengadilan Agama di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam berubah menjadi

8) Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tinggi Agama berubah menjadi Mahkamah Syar’iyah sodaqoh;

Propinsi.Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Peradilan

9) ekonomi syari’ah.

khusus dalam lingkungan Peradilan Agama diatur dalam BAB XVIII tentang MAHKAMAH SYAR’IYAH Pasal 128 – Pasal 137. Pengadilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di

Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding

lingkungan Peradilan Agama di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam di adalah:

a. yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang Mahkamah Syar’iyah (Tingkat Pertama);

b. Mahkamah Syar’iyah Aceh (Tingkat Banding);

diputus oleh Pengadilan Agama dan merupakan Pengadilan Tingkat

c. Mahkamah Agung (Tingkat Kasasi).

Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar

Kewenangan Mahkamah Syar’iyah adalah memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara- perkara : ahwal syahsiyah (hukum keluarga); muamalah (hukum perdata); dan jinayah (hukum

Pengadilan Agama di daerah hukumnya. Pada lingkungan Peradilan

Pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dan akan diatur dalam Qonun Aceh. 111. Sudikno Mertokusumo. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. hal. 78.

atas perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat. Berikut Kehakiman No. 14/1970 menandai pembaharaun Peradilan Agama penjelasan seputar Pengadilan Agama.

meski belum bisa dikatakan sebagai lembaga yang independen,

1) Sejarah PA

mandiri dan kokoh.

PA sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Perkembangan signifikan baru terjadi setelah diberlakukannya IndonesiaPeradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan

Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Disusul kehakiman di Indonesia telah menjalani perjalanan sejarah panjang

10 tahun kemudian dengan lahirnya UU No. 35 tahun 1999 yang yang berliku untuk sampai pada eksistensi, status dan kedudukannya

mengatur sistem satu atap (one-roof system) yang ditegaskan kembali yang begitu kuat seperti sekarang ini. Menurut Paulus Lotulung,

oleh UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Tetapi, langkah awal yang harus dilakukan adalah perbaikan sistem melalui

Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan UU No.7 perubahan dan penyempurnaan peraturan-peraturan yang mendasari

tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian dianggap oleh penegakan hukum. Dari sinilah titik tolak kebijakan dan politik

banyak kalangan sebagai momentum paling bersejarah bagi penegakan hukum harus dilakukan. 112

perkembangan PA dengan perluasan kewenangannya dalam perkara ekonomi syari’ah.

Tahap awal dalam reformasi hukum adalah amandemen UUD 1945 sebagai dasar utama bagi konstitusi Negara RI. Secara prinsipil,

Namun demikian, lahirnya paket undang-undang kekuasaan amandemen UUD merupakan sebuah keniscayaan, karena tidak

kehakiman yang mulai diberlakukan sejak 29 Oktober lalu, terutama mungkin melakukan reformasi politik dan ekonomi tanpa melakukan

UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyisakan sedikit reformasi hukum sedangkan reformasi hukum tidak mungkin

tanda tanya akan kewenangan Peradilan Agama yang diberikan oleh dilakukan tanpa melakukan perubahan konstitusi (constitutional

UU No. 3 tahun 2006 yang sudah dirubah dengan UU No. 50 tahun reform). 113 Dalam kaitan tersebut, Pengadilan Agama sebagai salah

2009 tentang Peradilan Agama. Sekali lagi, Peradilan Agama satu pelaksana kekuasaan kehakiman mendapat pengaruh reformasi.

mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Sejarah juga menyaksikan betapa Pengadilan Agama dalam

Hasil survey 2007 dan 2009 yang dilakukan oleh IALDF proses perkembangannya mengalami pasang surut seiring dengan

(Indonesia Australia Legal Development Facility), Family Court of lahirnya peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan

Australia dan Ditjen Badilag (Badan Peradilan Agama) MA RI Islam ini. Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan

menunjukkan adanya tingkat kepuasan yang tinggi (70%) dari para pengguna Peradilan Agama. Bahkan berdasarkan hasil survey The

112. Paulus E. Lotulung.1999. Reformasi Penegakan Hukum. Dalam buku; 10 Tahun Undang-undang Peradilan Agama. Jakarta : Fakultas Hukum UI dan PPHIM. hal. 140.

Asia Foundation (2001), Peradilan Agama menjadi satu-satunya

113. Per Strand dalam Carlos Santiago Nino. 1993. Transition to Democracy, Corporatism, and

institusi penegak hukum yang memiliki performance paling baik.

Constitutional Reform in Latin America.Miami: University of Miami. hal. 54. Lihat juga Peter Paczolay.. Constitutional Transition and Legal Continuity. Journal. No 8. Connecticut Journal of

Persepsi publik mengungkapkan Peradilan Agama sebagai institusi

International Law. 1993. hal. 560.

yang terpercaya dan berkinerja baik. 114

Dalam pandangan Abraham Amos, proses amandemen konstitusi bukan sesuatu yang keramat (tabu), karena bertujuan untuk memperbaiki hal-hal substansial yang belum termuat dalam konstitusi. Lihat H.F. Abraham Amos. 2007. Katastropi Hukum & Quo Vadis Sistem Politik Peradilan Indoneisa: Analisis Sosiologis Kritis Terhadap Prosedur Penerapan dan Penegakan Hukum di Indonesia.Jakarta: Raja Grafindo Persada. hal. 82. Pada awal pembentukannya, UUD 1945 adalah konstitusi yang bersifat sementara, yang oleh Soekarno disebut sebagai UUD revolutiegrondwet. Denny Indrayana. 2007. Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran. Bandung:

114. http://pa-balikpapan.net/index.php?option=com_content&view=article&id=234:uu-no-50-tahun- Mizan. hal. 48.

2009-dan-pasang-surut-perkembangan-peradilan-agama-oleh—drs-wahyu-widiana- ma&catid=61:artikel-umum&Itemid=176 diakses 25 Mei 2010 jam 17.10 wib

2) Eksistensi PA menurut Satjipto Rahardjo, perubahan UU tersebut masih bersifat Peradilan Agama, sebagai salah satu pelaksana kekuasaan

euro-centris yakni berkiblat ke Belanda. Hal ini terlihat dari bentuk kehakiman, 115 tidak luput dari skema besar reformasi konstitusi.

peradilan dan perangkatnya dan hukum acara serta hukum Berawal dari gagasan penyatuatapan badan peradilan di bawah

materiilnya masih menggunakan hukum Belanda. 121 Bahkan, status Mahkamah Agung, Kekuasaan kehakiman meskipun memiliki

dan kedudukan Peradilan Agama dalam UU No. 19 Tahun 1948 kekuasaan (power), namun menurut Tocqueville kekuasaannya tidak

tidak diakui sebagai peradilan yang sah di Indonesia. 122 Jenis sebesar pada kekuasaan legislatif dan eksekutif. 116 Karena itu,

peradilan yang diakui UU tersebut hanya Peradilan Umum, Peradilan independensi ini penting, karena dalam pandangan Becker, sering

Tata Usaha Negara, dan Peradilan Ketentaraan. 123 Perkara yang terjadi persinggungan antara proses peradilan dengan politik, baik

menyangkut orang-orang Islam diputuskan di Pengadilan Negeri. 124 pada skala makro maupun mikro. 117

Karena mendapatkan protes umat Islam, UU tersebut mati Bagi umat Islam Indonesia, eksistensi Peradilan Agama

sebelum diberlakukan, 125 juga karena tidak sesuai dengan kesadaran merupakan conditio sine quanon. 118 Meski demikian, sejak masa

masyarakat muslim Indonesia sebagai entitas yang tidak bisa penjajahan sampai awal kemerdekaan, Peradilan Agama mengalami

dipisahkan dari masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Selain dinamika pasang dan surut yang cukup pelik, baik status,

itu, pada masa Orde Lama badan peradilan belum mengarah pada kedudukan, 119 maupun kewenangannya. Walau tidak dihapuskan,

bentuk yang ideal, yakni mandiri dan independen, terbebas dari lingkup yurisdiksinya dibatasi pada perkara keperdataan tertentu.

intervensi kekuatan politik serta ekstra yudisial lainnya. Ini terlihat Kenyataan ini tidak bisa dipisahkan dari kemauan politik (political

misalnya, pelanggaran oleh Soekarno selaku Presiden terhadap will) penguasa pada masanya. 120 Sebagai pelaksana kekuasaan

kekuasaan kehakiman, ketika lahirnya UU No. 19 Tahun 1964 kehakiman, Peradilan Agama belum berada pada status mandiri dan

tentang Pokok- pokok Kekuasaan Kehakiman, 126 dalam salah satu independen. Meskipun pada tahun 1948 muncul UU No. 19 sebagai

pasalnya dinyatakan “Presiden berhak ikut campur dan intervensi perubahan atas UU No. 7 Tahun 1947 tentang Susunan dan

terhadap putusan pengadilan”. Bahkan dalam penjelasannya Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, namun

ditegaskan bahwa, “pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan pembentuk undang-undang”. 127

115. Secara konstitusional telah dinyatakan di dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. 116. Eugene W. Hickok dan Gary L. McDowell. 1993. Justice vs Law, Court and Politics in American

121. Satjipto Rahardjo. 2004. Struktur Hukum Modern. Semarang: Program Doktor Ilmu Hukum Society. New York: The Free Press. hal. 79.

Universitas Dipenogoro. hal. 30.

117. Theodore L. Becker. 1972. Comparative Judicial Politics; The political functionings of courts. 122. UU ini merupakan aturan penting tentang peradilan pada masa Pemerintahan RI Yogyakarta. UU Chicago: Rand McNally. hal. 353.

ini bermaksud mengatur Peradilan dan sekaligus mencabut dan menyempurnakan isi UU No. 7 Tahun 1947 yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947.

118. Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. Dia mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak dapat

123. Ketentuan tersebut disebutkan pada Pasal 6 UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan Dan dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap

Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman Dan Kejaksaan.

“causa” (akibat). Dengan arti yang sederhana Conditio Sine Qua Non adalah sesuatu yang tidak 124. Dinyatakan pada Pasal 35 ayat (2) UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan Dan Kekuasaan boleh tidak, harus dilakukan. Menjadi conditio sine qua non karena secara historis merupakan

Badan-Badan Kehakiman Dan Kejaksaan.

salah satu mata rantai Peradilan Islam yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah SAW. 125. Lahirnya UU tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Dari Ulama Sumatera seperti 119. C. Van Vollenhoven. 1981. Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia (seri terjemah). Jakarta: Penerbit

Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan menolak kehadiran UU tersebut. Zuffran Sabrie. Djambatan-Inkultra Poundation Inc. hal. 51.

1999. Pengadilan Agama di Indonesia: Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses 120. Soetandyo Wignjosoebroto, “Dari Hukum Kononial ke Hukum Nasional, Suatu Telaah Mengenai

Pembentukan Undang-Undangnya. Jakarta: Dit-Bin Bapera Depag RI. hal. 21. Transplantasi Hukum ke Negara-Negara Tengah Berkembang Khususnya Indonesia”, Pidato

126. A. Zaenal Abidin. Rule of Law dan Hak-hak Sosial Manusia dalam Rangka Pembangunan Nasional Pengukuhan, Guru Besar Sosiologi Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga,

di Indonesia., Majalah LPHN, No. 10, 1970. hal. 43.

Surabaya, 4 Maret 1989. hal. 16. 127. Dalam ketentuan Pasal 19 UU tersebut disebutkan “demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, presiden dapat turut campur

Secara teoritis, kenyataan tersebut bertentangan dengan masa Orde Baru tetap saja Peradilan Agama, dari segi status dan independensi dan kemandirian lembaga peradilan. Padahal,

kedudukan, belum bisa dikatakan peradilan yang independen, independensi dan kemandirian lembaga peradilan, menjadi pra-

mandiri, dan kokoh. Karena itu untuk memperbaikinya, Presiden syarat bagi law enforcement 128 dalam sebuh negara hukum seperti

RI menyampaikan RUU PA kepada DPR. 134 Setelah melalui Indonesia, 129 karena erat keterkaitannya antara independensi dan

perdebatan yang cukup panjang, akhirnya RUU PA tersebut disahkan kemandirian lembaga peradilan dengan paradigma negara hukum

menjadi UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 135 Setelah modern yang demokratis. 130 Dalam teorinya A.V. Dicey

disahkan, Peradilan Agama memiliki UU yang jauh lebih maju dari mengemukakan, ciri negara hukum selain law enforcement adalah

ketentuan UU yang ada sebelumnya. Namun, dari aspek kedudukan adanya persamaan di hadapan hukum (equality before the law), dari

dan status, ia belum bebas dari intervensi kekuatan politik di semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan

eksekutif.

oleh ordinary court, ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada Intervensi terhadap lembaga peradilan, menurut L. Becker tidak di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa

bisa dihindarkan, mengingat sering terjadi persinggungan antara berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama. 131

peradilan dengan politik dalam proses peradilan, di mana peradilan Titik awal pembaharuan Peradilan Agama baru dimulai sejak

kadang dipengaruhi oleh kelompok kepentingan, bahkan orang ditetapkan UU No. 14 Tahun 1970, 132 namun masih jauh dari yang

perorangan yang memiliki pengaruh politik kuat pun tidak bisa diharapkan, terutama independensinya, mengingat UU No. 14 Tahun

dilepaskan dalam melakukan intervensi. 136 Dalam konteks ini, 1970 masih menganut sistem dua atap (double roof system), 133 seperti

pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif diharapkan ditegaskan pada pasal 11 ayat (1). Masuknya pihak eksekutif dalam

bisa mengurangi intervensi tersebut. Karena itu, menurut kekuasaan kehakiman sebagai salah satu sebab mengapa kekuasaan

Montesquieu ketiga fungsi tersebut harus terpisah, baik mengenai kehakiman di negeri ini tidak independen. Dengan demikian, sampai

tugas maupun alat perlengkapan penyelenggaranya. 137 Sebagai institusi penegak hukum, Peradilan Agama harus kuat

dalam soal-soal pengadilan”. UU No. 19 Tahun 1964, LN No.107 tahun 1964. Harief Harahap. 1973. Himpunan Peraturan Perundang- undangan Republik Indonesia Buku II. Jakarta: Pradnya

status dan kedudukannya sehingga dapat memberikan kepastian

Paramita. hal. 57. 128. Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Pidato Pengukuhan

hukum kepada para pencari keadilan. Karenanya, yang lebih

Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Unviersitas Indonesia. Jakarta: 14 Desember

diutamakan dari reformsi Peradilan Agama, adalah hal yang

1983. hal. 2. 129. Padmo Wahyono. 1986. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Jakarta: Ghalia. hal. 10.

berkaitan dnegan status dan kedudukannya sebagai salah satu

Konsep rechtsstaat menghendaki adanya pengakuan hak asasi manusia, trias politika,

pelaksana dari struktur kekuasaan kehakiman. Friedman dalam teori

pemerintahan berdasarkan UU, dan adanya peradilan administrasi. Lihat dalam Todung Mulya Lubis. 1993. In Search of Human Rights: Legal Political Dillemas of Indonesia New Order 1966-

three elements law system, 138 menyatakan bahwa, efektif atau

1990. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal. 88. 130. Satjipto Rahardjo. 2000. Positivisme dalam Ilmu Hukum. Semarang: Program Doktor Ilmu Hukum

Universitas Dipenogoro Semarang. hal. 45 134. Rancangan Undang-undang tersebut diserahkan Pemerintah dalam hal ini Presiden pada tanggal 131. A.V. Dicey. 1952. An Introduction in the Study of the Laws of the Constitution. (London: English

8 Desember 1988.

Language Book Society and Macmillan. hal.202. 135. RUU tersebut disahkan menjadi UU No. 7 Tahun 1989 pada tanggal 29 Desember tahun 1989. 132. UU tersebut merupakan perubahan atas UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok-Pokok

UU ini menggantikan semua Peraturan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan UU Ketentuan- Kekuasaan Kehakiman, karena tidak sesuai lagi dengan keadaan, maka dikeluarkan UU No. 14

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman No.14 Tahun 1970. Tahun 1970.

136. Theodore L. Becker. Op cit. hal. 353.

133. Hal ini disebabkan karena pembinaan terhadap lembaga peradilan ada dua badan yang bertindak 137. Montesquieu, lihat dalam Miriam Budiardjo. 1998. Op cit. hal. 152. selaku pembina, yaitu Mahkamah Agung secara teknis justicial, Departemen Kehakiman dan

138. Lawrence Meir Friedman. 1998. American Law: an Introduction, second edition. New York: W.W. Departemen Agama yang melakukan pembinaan secara administratif, organisatoris, dan finansial.

Norton &Company. hal. 21.

tidaknya penegakan hukum antara lain ditentukan oleh kuat tidaknya Termasuk proses persidangan, umumnya menyatakan puas. Ini struktur hukum (legal structure), yakni pengadilan. Menurutnya,

dibuktikan dengan pernyataan responden, 63,3% menyatakan proses struktur adalah bagian dari sistem hukum yang bergerak di dalam

persidangan tidak menimbulkan keresahan, 64,4% menyatakan tidak suatu mekanisme. 139 Struktur bagaikan foto diam yang menghentikan

terlalu banyak penundaan, perkara diperiksa secara cepat dan efisien gerak. 140 Dengan demikian, Pengadilan Agama sebagai salah satu

dan memperoleh akses kepada dokumen-dokumen yang relevan (74 bagian dari struktur hukum akan memberikan pengaruh terhadap

dan 71,6%). Tingginya tingkat kepuasan terhadap proses persidangan kuat tidaknya struktur pelaksana hukum di Indonesia.

tersebut juga dikuatkan oleh pernyataan responden bahwa pengadilan Bila dilihat dari aspek struktur, status dan kedudukan Peradilan

telah bersikap adil dan transparan (81,1%), pengadilan menangani Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di era reformasi

perkara dengan adil (79,1%), dan sifat acara persidangan dapat dimengerti (75%). sudah kuat. Sehingga, tidak akan ada perdebatan lagi mengenai 143 kehadirannya dalam sistem kekuasaan kehakiman Indonesia.

Dengan demikian, tingkat kepuasan masyarakat terhadap PA, Peradilan Agama adalah pranata konstitusional. Inilah perubahan

tidak hanya dalam soal pelayanan administrasi, tetapi juga dalam signifikan yang terjadi pada Peradilan Agama di era reformasi.

proses persidangan, serta masyarakat pencari keadilan mendapatkan Statusnya sudah sangat kuat secara konstitusional, kedudukannya

rasa keadilan atas putusan hakim tersebut. Putusan hakim yang adil, sudah sama dengan badan-badan peradilan lainnya, sehingga

menurut Jeremy Bentham, memiliki korelasi kuat dengan proses independensi dan kemandirian institusionalnya bisa meningkat,

persidangan dan nilai-nilai yang terkait dengan proses hukum. Oleh termasuk juga kepercayaan dari masyarakat pencari keadilan. Salah

karena itu, proses persidangan harus menghasilkan putusan yang satu indikator kepercayaan dari masyarakat pencari keadilan adalah

akurat sebagai tanda dipergunakannya nilai-nilai hukum sebagai tingkat kepuasan (consumer satisfaction) pengguna terhadap

dasar putusan. 144

Peradilan Agama. Dalam laporan hasil survey nasional yang Selain itu, tingkat kepuasan pencari keadilan terhadap putusan dilakukan oleh Mahkamah Agung dan AusAID tahun 2008, 141

PA juga terlihat dari data perkara yang masuk ke PA. Pada tahun terdapat tingkat kepuasan yang tinggi pada pengguna jasa Pengadilan

2007, dari 201.438 perkara yang diputus oleh hakim di PA tingkat Agama, dengan lebih dari 80% pemohon menyatakan mereka

pertama, hanya 1.650 perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama bersedia untuk ini, peneliti terlibat sebagai salah seorang anggota

tingkat banding atau 6,87%. Sedangkan untuk perkara yang diputus coordinating body. Keterlibatan menggunakan kembali PA Agama,

di tingkat banding sebanyak 1.682 perkara dan yang kasasi hanya jika mengalami masalah hukum yang sama. 142

491 perkara (29,1%). 145 Kecilnya prosentase –rata-rata hanya 18%- masyarakat yang mengajukan ke pengadilan di tingkat atasnya,

menunjukkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat sangat tinggi

139. Ibid. hal. 21.

140. Ahmad Ali. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya. Jakarta: Ghalia

(82%). Karena itu, Pengadilan Agama sebagai bagian dari legal

Indonesia. hal. 9.

structure harus benar- benar kuat, mandiri, independen, dan kredibel,

141. Dalam penelitian AusAID dapat juga diLihat dalam http://pa-balikpapan.net/ index.php?option=com_content&view=article&id=234:uu-no-50-tahun-2009-dan-pasang-surut- perkembangan-peradilan-agama-oleh—drs-wahyu-widiana-ma&catid=61:artikel-

143. Ibid. hal. 18-19.

umum&Itemid=176 diakses 25 Mei 2010 jam 17.10 wib 144. D.J. Colligan. 1996. Due Process and Fair Procedurs, a Study of Administratif Prosedurs. Oxford: 142. Cate Sumner. 2008. Memberi Keadilan Bagi Para Pencari Keadilan Sebuah Laporan Tentang

Clarindon Press. hal. 10.

Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian Tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan”, Rangkuman 145. Wahyu Widiana. 2008. Permasalahan dan Kebijakan Pembinaan Administrasi Peradilan Agama. Temuan Penelitian. Jakarta: t.p. hal. 4.

Hand Out. Jakarta. hal. 3-4.

sehingga salah satu elemen dalam sistem hukum akan berfungsi keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara dengan baik. Selain itu, berdasarkan hasil survey The Asia

hukumRepublik Indonesia. Azas kebebasan hakim dan peradilan Foundation pada tahun 2005 Peradilan Agama menjadi satu-satunya

yang digariskan dalam UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan institusi penegak hukum yang memiliki performance paling baik,

kedua atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dengan angka kepuasan palayanan mencapai nilai 80, Peradilan

adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang- Umum hanya 70, TNI 74, dan polisi hanya 59. Bahkan dalam aspek

undang Nomor 48 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang “persepsi publik terhadap bermacam-macam institusi”, PA adalah

Nomor 4 Tahun 2004 (UUKK) tentang Kekuasaan Kehakiman. institusi yang nilai trustworthy dan does its job well-nya paling

Dalam penjelasan Pasal 1 UK ini menyebutkan “Kekuasaan tinggi. 146

kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya Data tersebut menunjukan bahwa Peradilan Agama di mata

kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak masyarakat menjadi salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang

kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva terpercaya. Bukan saja karena pelayanan administrasinya, akan tetapi

atau rekomendasi yang datang dari pihak extra yudisial kecuali juga proses persidangan dan hasil putusan yang dibuat oleh hakim

dalam hal yang diizinkan undang-undang.” dapat memberikan rasa keadilan masyarakat. Berkaitan dengan ini,

Di dalam asas ini juga terkandung maksud non extra yudisial, Colligan menyatakan bahwa, lahirnya putusan yang akurat

yakni melarang segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh memperlihatkan dipergunakannya nilai- nilai sebagai dasar dari

pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal- putusan dan keluarnya putusan yang akurat tersebut juga terkait

hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945, sehingga setiap dengan dipakainya hukum pembuktian selama proses pemeriksan

orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud perkara di pengadilan. Karenanya, tidak berlebihan jika dinyatakan

akan dipidana.

bahwa pada masa reformasi, pasca penyatuaatapan lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung, PA semakin mandiri dan

b) Asas Ketuhanan

independen. Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan

3) Asas PA putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmallah Penyelesaian sengketa nasabah dan bank syariah berdasar Pasal

yang diikuti dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan

55 ayat (1) UU Perbankan Syariah melalui PA. Seperti lembaga

Yang Maha Esa.”

peradilan yang lain PA memiliki beberapa azas, yakni :

c) Asas Fleksibelitas

a) Asas Bebas Merdeka Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Adapun asas untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

ini diatur dalam Pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 maupun di UU

146. Anonim. 2005. Citizens., Perceptions of the Indonesian Justice Sector. Survey Report. Jakarta: The Asia Foundation dan AC Nielsen. Lihat hal. 7. Lihat dalam http://pa-balikpapan.net/

No 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal

index.php?option=com_content&view=article&id=234:uu-no-50-tahun-2009-dan-pasang-surut- perkembangan-peradilan-agama-oleh—drs-wahyu-widiana-ma&catid=61:artikel-

5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

umum&Itemid=176 diakses 25 Mei 2010 jam 17.10 wib

Untuk itu, PA wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha Untuk itu, PA wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha

waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas

ekonomi syari’ah.

yang tidak penting dalam persidangan. Cepat yang dimaksud adalah

f) Asas Ishlah (perdamaian)

dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam Pada dasarnya Islam itu damai dan menginginkan kedamaian menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan

termasuk dalam penyelesaian sengketa. Azas ini berdasar Pasal 39 persolan tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok

UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti

Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang Perkawinan yang ada. Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan

jo. Pasal 65 dan Pasal 82 ayat (1) dan (2) UUPA jo. Pasal 115 KHI, secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya

jo. Pasal 16 ayat (2) UUKK.

lain di luar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap

g) Asas Terbuka Untuk Umum

apriori terhadap keberadaan pengadilan. Pada dasarnya sidang pemeriksaan perkara di PA adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika

d) Asas Legalitas hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara siding Pada dasarnya PA menganut azas legalitas, yakni mengadili

memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau menurut hokum positif yang berlaku. Asas ini diatur dalam pasal 3

sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup. Adapun (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) UK jo. Pasal 2 UUPA. PA

pemeriksaan perkara di PA yang harus dilakukan dengan sidang mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-

tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai bedakan orang, oleh karena itu dalam persidangan harus menurut

talak dan atau cerai gugat (Pasal 68 ayat (2) UU PA. Azas ini diatur hukum tidak boleh berdasar selera subyektif.

dalam Pasal 59 ayat (1) UUPA dan Pasal 19 ayat (3 dan 4) UUKK.

e) Asas Personalitas Ke-islaman

h) Asas Kesamaan (Equality)

Asas ini diatur Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah Pasal 49 UUPA. Azas ini menandaskan bahwa yang bisa berperkara

sama hak dan kedudukannya. Perssamaan itu meliputi : di PA adalah mereka yang beragama Islam dan terbatas pada perkara-

(1) Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama. Secara umum

persidangan pengadilan atau “equal before the law”. asas ini mengemukakan 2 (dua) hal :

(2) Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal (1) Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama

protection on the law”

Islam. 147 (3) Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau

147. Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya

“equal justice under the law”.

patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada

ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian

yang dianut pada saat terjadinya sengketa.

i) Asas Upaya Hukum Banding, Kasasi dan Peninjauan diatur Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1957. Lembaran Negara Kembali

1957 nomor 99 disebut dengan Mahkamah Syar’iyah. Eksistensi Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan

PA pasca demokrasi terpimpin terlihat ketika Undang-Undang banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang

Nomer 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain. Terhadap

berlaku. UU tersebut menjadi landasan awal hukum positif yang putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi

menandai pembaharaun PA meski belum menjadikan PA sebagai kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan,

lembaga yang independen, mandiri dan kokoh. kecuali undang-undang menentukan lain.Terhadap putusan yang

Dorongan semangat masyarakat yang begitu besar untuk telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang

memformalisasikan nilai-nilai syariah menjadikan respon hukum bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada

juga berkembang. Hadirnya Undang-Undang nomer 7 tahun 1989 Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang

tentang PA manandai signifikansi respon hukum tersebut. Berikutnya ditentukan dalam undang-undang.

bermunculan respon hukum yang semakin menguatkan eksistensi j) Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)

PA di Indonesia. Lahirnya Undang-Undang nomer 35 tahun 1999 Setiap putusan pengadilan harus memuat consideran, yakni

tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur sistem satu atap, selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, harus

dimana seluruh peradilan di Indonesia termasuk didalamnya memuat pula pasal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang

Peradilan Agama berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar

Sistem satu atap tersebut ditegaskan kembali dalam perubahan UU untuk mengadili.

Kekuasaan Kehakiman dengan lahirnya Undang-Undang nomer 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang disusul kemudian

4) Sumber Hukum PA lahir Undang-Undang nomer 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Eksistensi PA di Indonesia saat ini diakui dengan kedudukan

Kehakiman.

yang cukup kuat. Namun eksistensi PA di Indonesia telah melalui Pengakuan eksistensi PA dalam sistem satu atap kekuasaan sejarah yang panjang, sebagai salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman di Indonesia semakin meneguhkan bahwa kehadiran kehakiman di Indonesia PA dalam proses perkembangannya

nilai-nilai Islam semakin mendapat tempat. Namun demikan mengalami pasang surut seiring dengan lahirnya peraturan

eksistensi lebih luas tentang peradilan agama sebenarnya baru saja perundang-undangan yang mengatur Peradilan Islam ini.

diberikan oleh pemerintah, yakni dengan lahirnya Undang-Undang Keberadaan lembaga PA sudah ada sejak abad ke-16 yaitu

nomer 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama. UU ini dianggap tanggal 19 Januari 1882, yang kemudian ditetapkan sebagai hari

oleh banyak kalangan sebagai momentum paling bersejarah bagi jadinya dan bertepatan dengan diundangkannya Ordonantie stbl.

perkembangan Peradilan Agama dengan perluasan kewenangannya 1882 – 152 tentang PA di pulau Jawa dan Madura. Keberadaan PA

dalam perkara ekonomi syari’ah.

diluar Jawa dan Madura seperti Residensi Kalimantan Selatan dan Pengakuan eksistensi PA dalam kekuasaan kehakiman di Kalimantan Timur diatur dalam stbl. 1937 – 638 dan nomor 639

Indonesia sebenarnya juga bukan tanpa problematik. Hal tersebut disebut Kerapatan Qadhi dan Qadhi Besar. Keberadaan PA di luar

bisa dijumpai dalam UU Kekuasaan Kehakiman tahun 2004 sampai Jawa dan Madura selain Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur

yang terbaru Undang-Undang nomer 48 tahun 2009 yang mulai yang terbaru Undang-Undang nomer 48 tahun 2009 yang mulai

materil melalui hukum acara diperlukan lembaga peradilan lahirnya Undang-Undang nomer 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

diantaranya lembaga PA.

Kehakiman lahir pula berikutnya Undang-Undang nomer 50 tahun

a) Hukum Materiil Peradilan Agama 2009 tentang PA. Sumber hukum materiil adalah faktor yang membantu PA merupakan bagian dari sistem penegakan hukum di

pembentukan hukum. Sumber hukum ini dapat ditinjau dari berbagai Indonesia,khususnya bagi orang yang beragama Islam dalam perkara

aspek. Seorang sosiolog akan mengatakan bahwa yang menjadi tertentu. Ketentuan tersebut dijelaskan dalam Pasal 2 dan 49 Undang-

sumber hukum ialah peristiwa sebagai hasil interaksi dalam Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006

masyarakat. Namun seorang ekonom akan mengatakan bahwa jo. Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat meniscayakan Lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang

adanya hukum. Lain halnya dengan seorang ahli agama, ia akan No. 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang No. 50 Tahun 2009

mengatakan bahwa sumber hukum adalah kitab suci dan sumber merupakan keinginan untuk melaksanakan Undang-Undang No. 14

ajaran agama yang lain. Hukum Materiil Peradilan Agama adalah Tahun 1970 jo. Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 jo. Undang-

hukum Islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fiqh, yang Undang No. 4 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009

sudah barang tentu rentang terhadap perbedaan pendapat. 148 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Berkaitan dengan

eksistensinya di Indonesia maka keberadaan PA secara garis besar Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan mendassarkan kepada dua klasifikasi sumber hukum yang digunakan

merupakan hukum tertulis (Hukum Positif) dan masih tersebar dalam berbagai kitab fiqh karya ulama, karena tiap ulama fuqoha penulis

sebagai rujukkan, pertama, Sumber Hukum Materiil; kedua, Sumber kitab-kitab fiqh tersebut berlatar sosiokultural berbeda, sering Hukum Formil (hukum Acara). menimbulkan perbedaan ketentuan hukum tentang masalah yang Setiap individu dalam kehidupan terkadang memiliki sama, maka untuk mengeliminasi perbedaan tersebut dan menjamin kepentingan kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang

kepastian hukum, maka hukum-hukum materiil tersebut dijadikan lainnya. Adakalanya kepentingan itu sejalan namun bisa juga saling

hukum positif yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. bertentangan sehingga menimbulkan sengketa. Untuk menghindari Berikut adalah hukum materil yang digunakan dalam Peradilan

dan menyelesaikan persengketaan itu mereka mencari jalan keluar dengan mengadakan tata tertib, aturan atau kaidah-kaidah hukum

Agama, disajikan secara kronologis berdasar tahun pengesahannya: yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh setiap anggota masyarakat.

(1) Undang-undang No. 22 Tahun 1946 dan Undang-undang No. 23 Tahun 1954 yang mengatur tentang hukum

Kaidah hukum yang ditentukan itu, setiap orang harus bertingkah

perkawinan, talak dan rujuk.

laku sedemikian rupa sehingga kepentingan anggota masyarakat (2) Surat Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tangal 18 februari lainnya akan terjaga dan terlindungi. Apabila kaidah hukum tersebut

1968 yang merupakan pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 dilanggar, maka kepada yang bersangkutan dikenakan sanksi dan

tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan hukuman. Yang dimaksud kepentingan disini adalah hak-hak dan

Madura.

kewajiban perdata yang diatur dalam hukum perdata materil yang selalu bergandengan dengan hukum perdata formil atau yang disebut

148. Basiq Djalil. 2006. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana. hal. 147

Dalam surat Biro Peradilan tersebut diatas dinyatakan buku III tentang Hukum Perwakafan sebagai pedoman bahwa, untuk mendapatkan kesatuan hukum materiil

Hakim Agama memutus suatu perkara. dalam memeriksa dan memutus perkara, maka para hakim

(6) UU No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar

Penyelesaian Sengketa

menggunakan sebagai rujukkan 13 kitab fiqh, antara lain 149 ; (7) UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (a) Al-Bajuri;

(8) UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (b) Fatkhul Mu’in;

(9) UU No 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah (c) Syarqawi ‘Alat Tahrir;

(10) UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (d) Qalyubi wa Umairah/al-Mahali;

(11) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (e) Fatkhul wahbah;

(12) Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) (f) Tuhfah;

(g) Targhib al-Mustaq;

b) Hukum Formil Peradilan Agama (h) Qawanin Syari’ah li Sayyid bin Yahya;

Hukum formil merupakan hukum yang menjaga dan (i) Qawanin Syari’ah li Sayyid Shadaqah;

memastikan agar hukum materiil bisa berjalan atau ketentuan hukum (j) Syamsuri li Fara’id;

yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum (k) Bughyat al-Musytarsyidin;

materiil.. Hukum formill sering disebut juga sebagai Hukum Acara. (l) al-Fiqh ala Madzahib al-arba’ah;

Dapat dikatakan juga Hukum acara meliputi ketentuan-ketentuan (m) Mughni al-Muhjaj.

tentang cara bagaimana orang harus menyelesaikan masalah dan (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

mendapatkan keadilan dari Hakim apabila kepentingannya atau UU ini menandai fase baru penerapan hukum Islam di

haknya dilanggar oleh orang lain atau sebalknya bagaimana cara Indonesia. Fase ini, Mahkamah Agung adalah pintu

mempertahankan kebenarannya apabila dituntut oleh orang lain. Di gerbang fase taqnin (fase pengundangan) hukum Islam.

Indonesia terdapat dua macam Hukum Acara yakni Hukum Acara Banyak sekali ketentuan-ketentuan fikih Islam tentang

Pidana (Hukum Pidana formil) dan Hukum Acara Perdata (Hukum perkawinan ditransformasikan kedalam Undang Undang

Perdata formil).

Perkawinan ini kendati dengan ada modifikasi di sejumlah klausula 150 .

Hukum cara PA termasuk Hukum Acara Perdata. Hukum formil (4) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo UU

yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan No. 3 Tahun 2006 jo. UU No 50 tahun 2009 tentang

yang berlaku pada lingkungan peradilan Umum, kecuali hal-hal yang Peradilan Agama

telah diatur secara khusus dalam UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. (5) Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

3 Tahun 2006 151 jo UU no 50 tahun 2009 tentang PA. Inpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk

Adapun sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Peradilan Umum diberlakukan juga untuk lingkungan Peradilan Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

Agama adalah sebagai berikut 152 :

149. Hotnidah Nasution. 2007. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: FSH UIN. hal. 189 150. Amir Nuruddin dan Azhari A. Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: kencana.

151. Basiq Djalil. 2006. Op cit. hal. 152-153

hal. 26

152. Hotnidah Nasution.2007. Op. Cit. hal 196-201

(1) Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv). (b) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Hukum Acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan

kekuasaan Kehakiman. Dalam UU memuat beberapa untuk golongan Eropa yang berperkara dimuka Raad van

ketentuan tentang Hukum acara perdata dalam praktek Justitie dan Residentie gerecht. Saat ini secara umum B.Rv

peradilan di Indonesia.

sudah tidak berlaku lagi, kecuali ketentuan-ketentuan (c) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang mengenai formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat,

Makamah Agung RI jo UU No. 5 Tahun 2004 yang intervensi dan beberapa ketentuan Hukum Acara Perdata

memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang lainnya.

berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara (2) Inlandsh Reglement (IR). Ketentuan Hukum Acara ini

di Mahkamah Agung .

diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur (d) Undang-undang nomor 2 Tahun 1986 tentang Asing yang berada di Jawa dan Madura. Setelah beberapa

Peradilan umum yang diubah dengan UU No. 8 Tahun kali perubahan dan penambahan Hukum acara ini dirubah

2004 yang diubah lagi dengan UU No 49 tahun 2009 namanya menjadi Het Herzience Indonesie Reglement

tentang Perubahan Kedua UU No 2 tahun 1986 (HIR) atau disebut juga Reglemen Indonesia yang

tentang Peradilan Umum. Dalam UU ini diatur diperbaharui (RIB) yang diberlakukan dengan Stb. 1848

tentang susunan dan kekuasaan Peradilan di Nomor 16 dan Stb. 1941 nomor 44.

lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara (3) Rechtsreglement voor de Buitengewesten (R.Bg).

di lingkungan Peradilan Umum tersebut. Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk

(e) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di luar

Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad.

Peraturan Pelaksana Undang-undang perkawinan (4) Bugerlijke Wetbook voon Indonesie (BW). BW yang dalam

tersebut.

bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-undang (f) Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara

Tahun 2006 jo UU No 50 tahun 2009 tentang Perdata khususnya buku ke IV tentang Pembuktian, yang

Peradilan Agama, pada pasal 54 dikemukakan bahwa termuat dalam pasal 1865 sampai dengan 1993.

Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama (5) Wetboek van Koophandel (WvK). WvK yang dalam bahasa

adalah sama dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum

peradilan umum, kecuali yang diatur khusus dalam Dagang mengatur juga penerapan acara dalam praktek

UU ini.

peradilan, khususnya pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, (g) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Instruksi 272, 273, 274 dan 275. Dan terdapat juga hukum acara

Pemasyarakatan Kompilasi hukum Islam, yang terdiri perdata yang diatur dalam Failissements Verodering (aturan

dari tiga buku yaitu hukum Perkawinan, Kewarisan kepailitan) yang diatur dalam Stb. 1906 nomor 348.

dan Wakaf.

(6) Peraturan Perundang-undangan

(7) Yurisprudensi

(a) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang acara Yurisprudensi berasal dari “iuris prudential” (Latin), perdata dalam hal banding bagi pengadilan tinggi di

“Jurisprudentie” (Belanda), “jurisprudence” (Perancis) Jawa Madura sedang daerah diluar Jawa diatur dalam

yang berari “ Ilmu Hukum” . Dalam system common law, pasal 199-205 R.Bg.

yurisprudensi diterjemahkan sebagai : Suatu ilmu yurisprudensi diterjemahkan sebagai : Suatu ilmu

Di Indonesia yurisprudensi didefinisikan sebagai putusan- putusan Hakim atau Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap. Tidak semua putusan hakim tingkat pertama atau tingkat banding dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi, kecuali putusan tersebut sudah melalui proses eksaminasi dan notasi Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi . Di lingkungan Peradilan Agama, yurisprudensi kerap digunakan oleh hakim untuk memutus suatu perkara terutama perkara perceraian atau perkara-perkara perdata agama Islam yang terkait dengan perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sebagaimana yang telah ditentukan Undang-Undang baik kepada pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, atau Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi . 153

(8) Surat Edaran Mahkamah Agung RI Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) sepanjang

menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata materiil dapat dijadikan sumber hukum acara dalam praktik peradilan terhadap persoalan hukum yang dihadapi hakim. Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung tidak mengikat hakim sebagaimana Undang-undang.

(9) Doktrin atau Ilmu Pengetahuan Doktrin adalah pendapat seseorang atau beberapa orang

sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum. Doktrin ini dapat menjadi dasar pertimbangan

hakim dalam menjatuhkan putusannya. Doktrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara juga, hakim dapat mengadili dengan berpedoman Hukum Acara Perdata yang digali dari dokrin atau ilmu pengetahuan ini. Doktrin itu bukan hukum, melainkan sumber hukum. Sebelum berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, doktrin banyak digunakan oleh hakim Peradilan Agama dalam memeriksa atau mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama No. B/1/1735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana PP no. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutus perkara, maka hakim Peradilan Agama dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam kitab-kitan fiqh.

Namun doktrin tidak mengikat seperti UU, kebiasaan traktat dan yurispudensi. Doktrin hanya memiliki wibawa yang dipandang bersifat obyektif dan dapat dijadikan sumber penemuan hokum bagi hakim. Doktrin merupakan ilmu hukum yang baru mengikat dan mempunyai kekuatan hukum bila dijadikan pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan.

5) Kewenangan PA

Kewenangan (kompetensi) merupakan sesuatu yang melekat pada kekuasaan pengadilan. Kewenangan ada dua macam, absolut dan relatif. 154 Termasuk kompetensi dalam Pengadilan Agama (PA). 155 Kompetensi juga sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan

153. Di Indonesia hakim tidak terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab Indonesia tidak menganut azas ‘The bidding force of precedent”, jadi hakim bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi atau menggunakannya.

154. Kompetensi absolut adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama maupun dalam dalam lingkungan peradilan yang lain. Sedangkan kompetensi relative adalah menyangkut yurisdiksi kewilayahan dalam satu badan peradilan. Lihat Sudikno Mertokusumo. 1998. Op cit. hal. 78.

155. Menurut Mukti Arto, ada dua asas untuk menentukan kompetensi absolute Pengadilan Agama, yaitu apabila: suatu perkara menyangkut status hukum seorang muslim, atau suatu sengketa yang timbul dari suatu perbuatan/peristiwa hukum yang dilakukan/terjadi berdasarkan hukum Islam atau berkaitan erat dengan status hukum sebagai muslim. Lihat A. Mukti Arto. 2006. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. hal. 6 155. Menurut Mukti Arto, ada dua asas untuk menentukan kompetensi absolute Pengadilan Agama, yaitu apabila: suatu perkara menyangkut status hukum seorang muslim, atau suatu sengketa yang timbul dari suatu perbuatan/peristiwa hukum yang dilakukan/terjadi berdasarkan hukum Islam atau berkaitan erat dengan status hukum sebagai muslim. Lihat A. Mukti Arto. 2006. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. hal. 6

Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, hukum yang hidup di masyarakat. Namun hukum yang hidup dan

terutama Pasal 12 tentang wakaf yang menjadi kompetansi PA. 159 segaris dengan peran Pengadilan Agama tersebut mulai tergerus

Pada tahun 1989, dengan lahirnya UU No 7 tahun 1989 tentang seiring munculnya kolonialisme, adalah teori receptie oleh Christian

Peradilan Agama, kewenangan PA semakin bertambah, tidak lagi Snouck Hurgronye, 156 yang membatasi kewenangan pengadilan

sebatas masalah perkawinan, namun juga masalah kewarisan, wasiat, agama sebagai resolusi sengketa di masyarakat. Peradilan Agama,

hibah, wakaf, dan shadaqah. 160 UU ini selain memperluas tidak lagi menangani masalah waris karena dianggap belum menjadi

kompetansi PA juga memberikan kemandirian PA sebagai pelaksana hukum adat. 157 Atas dasar pengaruh teori ini, kompetensi Peradilan

kekuasaan kehakiman, karena PA telah mempunyai hukum acara Agama hanya mengenai perceraian, nafkah, talaq dan rujuk.

sendiri, dapat melaksanakan keputusannya sendiri, mempunyai Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia, namun

jurusita sendiri, serta mempunyai struktur dan perangkat yang kuat demikian Indonesia bukanlah negara Islam, oleh karena itu dalam 161 berdasarkan UU.

kompetensi PA tidak juga menyangkut seluruh aspek kehidu pan. Seiring dinamisasi kehidupan keberislaman, termasuk Pada awalnya kompetensi PA hanya terkait dengan persoalan hukum

dinamisasi bisnis syariah, kompetensi yang diberikan oleh UU PA keluarga ditambah sedikit persoalan muamalah. Kenyataan tersebut

tahun 1989 tersebut dinilai belum sesuai dengan harapan ummat, 162 tidak bisa dipisahkan dari persoalan politik penguasa. Pada tahun

maka tuntutan untuk perluasan kompetensi UUPA tersebut 1957, PA terbentuk di beberapa daerah; Aceh, Kalimantan Selatan,

bersambut dengan keluarnya UU No 3 tahun 2006 tentang perubahan dan sebagian Kalimantan Timur. Kewenangannya, selain menangani

atas UU No 7 tahun 1989 tentang PA. UU PA tahun 2006 tersebut masalah perkawinan, juga masalah waris, waqaf, hibah, shadaqah,

juga merupakan respon lanjutan dari UU Pokok Kehakiman tahun dan bahkan baitul mal. Eksistensi PA mendapat penguatan yang

2004 tentang penyatuatapan seluruh lembaga peradilan dibawah signifikan secara konstitusional ketika disahkannya UU No. 14

MA. 163 Pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 menegaskan, “Peradilan Agama Tahun 1970 tentang PA. Dalam UU ini, PA secara eksplisit diakui

159. Bunyi Pasal 12 PP No. 28 Tahun 1977 adalah “Penyelesaian perselisihan sepanjang yang

sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia.

menyangkut persoalan perwakafan tanah disalurkan melalui Pengadilan Agama setempat dengan

Akan tetapi, tidak ada perubahan yurisdiksi atau kompetensi bagi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

160. Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989. Pasal 49 yang menyebut enam kekuasaan Peradilan

PA. 158 Momentum lebih kuat mengenai kompetensi PA muncul

Agama, yakni; perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, dan wakaf, yang diurai dalam penjelasan pasal tersebut menjadi 22 macam kewenangan.

ketika disahkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU

161. Meskipun demikian, masih ada beberapa kekurangan dari UU ini, antara lain; (1) masih adanya

ini menambahkan kompetensi absolut PA meliputi perceraian,

pilihan hukum tentang hukum waris, (2) masih memerlukan Peradilan Umum dalam menangani sengketa hak milik keperdataan mengenai obyek yang perkaranya sedang ditangani oleh PA.

penentuan keabsahan anak, perwalian, penetapan asal usul anak dan

162. David N. Schiff menyatakan “…hukum dan peraturan saling interelasi, terutama terlihat jelas dari

izin menikah. adanya perubahan-perubahan sosial yang terjadi dengan sangat cepat, sehingga kepentingan

individu dalam masyarakat harus diakomodasi dalam aturan-aturan hukum.”Lihat Soerjono 156. Daniel. S. Lev. 1990. Hukum dan Politik Indonesia, Keseimbangan dan Perubahan. Jakarta :

Soekanto. 1991. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali. hal. 37. Ia juga menyatakan LP3ES. hal. 424-438.

bahwa “…ada hubungan antara berbagai pola perilaku yang menjelma ke dalam bentuk hukum dengan perilaku nyata dari individu”. David N. Schiff. “Hukum Sebagai Suatu Fenomena Sosial”,

157. Kompetensi Pengadilan Agama di Jawa dan Madura sebagaimana telah diatur oleh Staatsblad dalam Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan. 1987. Pendekatan Sosiologis Terhadap 1882 No.152 mengalami perubahan sehubungan dengan munculnya teori Receptie di atas.

Hukum. Jakarta: Bina Aksara. hal. 275.

Kewenangan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura diubah dengan Staatsblad 1937 No.116 dan No.610. A. Qadri Azizy. 2002. Elektisisme Hukum Nasional; Kompetisi antara Hukum Islam

163. Dengan belakunya UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, hubungan antara dan Hukum Umum.Yogyakarta: Gema Meida. hal. 155.

Peradilan Agama dengan Departemen Agama secara structural dan organisatoris sudah terputus sama sekali. Namun demikian, hubungan fungsional dan kesejarahan tetap belum hilang. Bahkan

158. Kompetensi PA masih mengenai pernikahan, talak, dan rujuk. secara eksplisit dalam penjelasan UU No. 4 tahun 2004 alinea 4 disebutkan bahwa pembinaan 158. Kompetensi PA masih mengenai pernikahan, talak, dan rujuk. secara eksplisit dalam penjelasan UU No. 4 tahun 2004 alinea 4 disebutkan bahwa pembinaan

khususnya masyarakat muslim, sebagaimana dinyatakan Eugien penegasan kewenangan ini, dimungkinkan menyelesaikan perkara

Ehrlich bahwa “…hukum yang baik adalah hukum yang sesuai kaitannya dengan persoalan pidana. 164 Tetapi kompetensi PA yang

dengan hukum yang hidup di masyarakat”. Ia juga menyatakan cukup signifikan terdapat di Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 yakni;

bahwa, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh,

hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam istilah antropologi dan ekonomi Syariah. 165 Perluasan kewenangan tersebut sesuai

dikenal sebagai pola-pola kebudayaan (culture pattern). 166 Dengan

kata lain, hukum Islam yang menjadi kewenangan Peradilan Agama

terhadap Peradilan Agama dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama

dan Majelis Ulama Indonesia. Namun, hubungan berdasar penjelasan alenea ke 4 tersebut

selama ini, telah menjadi living law, hukum yang hidup dan

dihapuskan seiring lahirnya UU No. 48 tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas UU No 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.

diamalkan oleh masyarakat. Seperti ungkapan Cicero; “…tiada

164. Hal tersebut berlaku di Aceh, Mahkamah Syariah berwenang memutus sengketa jinayah (pidana)

masyarakat tanpa hukum dan tiada hukum tanpa masyarakat, hukum

165. Di dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah

adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain 167 diadakan oleh masyarakat untuk mengatur kehidupan mereka”.

meliputi : a. Bank syariah, 2.Lembaga keuangan mikro syari’ah, c. asuransi syari’ah, d. reasurasi syari’ah, e. reksadana syari’ah, f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,

UUPA tahun 2006 ini hanya berumur 3 tahun karena ada perubahan

g. sekuritas syariah, h. Pembiayaan syari’ah, i. Pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga

kembali dengan lahirnya UU No. 50 tahun 2009 tentang Perubahan

keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah. Lihat Rifyal Ka’bah, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama, dalam Varia Peradilan . tahun ke

Kedua atas UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 168 Namun

XXI, NOMOR245 April. 2006. hal. 12. Lihat pula pendapat Muhammad Rawas Qal-ah-ji, Amin Summa selanjutnya menegaskan ada

baik UUPA 2006 maupun UUPA 2009, keduanya mengakui

tiga belas ciri ekonomi Islam:

pemberian wewenang penanganan perkara ekonomi syariah.

1. Pengaturannya bersifat ketuhanan/ilahiyah (nizhamun rabbaniyyah). 2. Kegiatan Ekonomi sebagai bagian dari al Islam secara keseluruhannya (juz un minal Islam

Di dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah, peraturan

as-syamil).

perundangan sebenarnya sudah memberikan berbagai model 169

3. Berdemensi aqidah atau keaqidahan (iqtishadun ’aqdiyyun), karena pada dasarnya terbit atau lahir dari aqidah Islamiyah (al-aqidah al-Islamiyyah).

5. Berkarakter ta’abbudi (thabi’un ta’abbudiyyun), karenanya penerapan aturan ekonomi Islam Muhammad Amin Summa. 2006. Sekitar Ekonomi Islam Studi tentang Prinsip-Prinsip Ekonomi (al-iqtishad al-islami) adalah ibadah.

Syari’ah di Indonesia dalam Kapita Selekta Perbankan Syari’ah. Jakarta :Mahkamah Agung RI. hal 34

6. Terkait erat dengan akhlak (murtabithun bil-akhlaq). Tidak ada pemisahan antara kegiatan ekonomi dengan akhlak.

166. Eugen Ehrlich dalam Soerjono Soekanto. 1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat.

Jakarta: Rajawali. hal 19.

7. Elastis (al murunah) dalam arti dapat berkembang secara evolusi. 167. Lili Rasjidi. 2003. Hukum Sebagai Suatu Sistem.Bandung: Mandar Maju. hal. 146. 8. Objektif (al-maudhu’iyyuh). Islam mengajarkan umatnya agar berlaku obejektif dalam

melakukan aktifitas ekonomi. 168. Beberapa perubahan dalam UU No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama diantaranya sebagai berikut: Pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Agama ; Hakim Adhoc di Peradilan Agama ;

9. Memiliki target sasaran/tujuan yang lebih tinggi (al hadaf as sami), berlainan dengan sistem ekonomi non Islam yang semata-mata mengejar kepuasan materi belaka (al rafahiyah al

Pengawasan Internal oleh MA dan eksternal oleh KY; Putusan bisa dijadikan dasar mutasi; Seleksi pengangkatan hakim dilakukan oleh MA dan KY; Pemberhentian hakim atas usulan MA dan atau

maddiyah). KY via KMA; Tunjangan hakim sbg pejabat negara; Usia pensiun hakim 65 bagi PA dan 67 bagi 10. Perekonomian yang stabil/kokoh (iqtisadun bina’un) dengan mengharamkan praktek bisnis

PTA. Panitera/PP, 60 PA dan 62 PTA; Pos Bantuan Hukum di setiap Pengadilan Agama ; Jaminan yang membahayakan umat manusia baik perorangan maupun kemasyarakatan seperti riba,

akses masyarakat akan informasi pengadilan, dan Ancaman pemberhentian tidak hormat bagi penipuan dan khamar.

penarik pungli.

11. Perekonomian yang berimbang (iqtisad mutawazin) antara kepentingan individu dan sosial, 169. Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, model diartikan sebagai mode,ragam, acuan, ukuran antara tuntutan kebutuhan duniawi dan pahala akhirat.

yang dicontoh. Kamisa. 1997. op cit. hal. 370. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, model 12. Realistis (al waqtiyah). Dalam hal tertentu terjadi pengecualian dari ketentuan normal, seperti

adalah pola (contoh, acuan, ragam) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan. Lihat keadaan darurat membolehkan sesuatu yang dilarang.

Departemen P dan K. 1984. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. hal.75 Definisi lain 13. Harta kekayaan pada hakekatnya milik Allah SWT. Karenanya kepemilikan seseorang

dikemukakan Simarmata, model adalah abstraksi dari sistem sebenarnya, dalam gambaran yang terhadap harta kekayaannya bersifat tidak mutlak. Siapapun tidak boleh semaunya

lebih sederhana serta mempunyai tingkat prosentase yang bersifat menyeluruh, atau model adalah menggunakan harta kekayaan dengan dalih bahwa harta kekayaan itu milik pribadinya.

abstraksi dari realitas dengan hanya memusatkan perhatian pada beberapa sifat dari kehidupan sebenarnya. Simarmata. 1983. lihat dalam http://roelcup.wordpress.com/2010/01/16/kapita-

14. Memiliki kecakapan dalam mengelola harta kekayaan (tarsyid istikhdam al-mal). Para pemilik

selekta/. diakses 12 Maret 2011. jam 03.40 wib.

harta perlu memiliki kecerdasan/kepiawaian dalam mengelola atau mengatur harta.

penyelesaian sengketa antara perbankan dengan nasabahnya. terkait dengan peradilan umum 171 . Berlakunya UU PA tahun 2006 Sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 UU PA .170 sangat

membawa implikasi besar bagi klausul akad di lembaga perbankan dan keuangan syari’ah. Semestinya akad-akad antara nasabah dan

Thomas S Khun dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions, mendefinisikan paradigma

bank syariah harus diselesaikan melalui PA. 172

sebgai “...Universally recognized Scientific Achievement that for a time provide model problems and solutions to a community practitioners”. Paradigma atau model dalam uraian Kuhn menyebutkan adanya anomaly dalam kurun waktu tertentu. Kondisi demikian karena mulai

Berdasarkan ketentuan Pasal 49 UU PA beserta penjelasannya

berkurangnya pengaruah paradigma lama sementara paradigma baru pengaruhnya cenderung

maka dapat dipahami bahwa subyek hukum dalam sengketa ekonomi

menguat. Lihat S Thomas Kuhn. 1970. Op cit. hal. VIII dalam Adi Sulistiyono. 2002. Op cit. hal. 5. Kuhn mengistilahkan model atau paradigma sebagai sebuah peta jalan kognitif.

syariah, yaitu:

Stanfield menyatakan model atau paradigma adalahasumsi, norma, nilai dan tradisi yang ditermia apa adanyayang menciptakan dan melembagakan akar-akar ontologism dari berbagai definisi

a) Orang-orang yang beragama Islam;

dan penciptaan ilmu pengetahuan. Pengalaman yang membentuk paradigma digali dari khazanah

b) Orang-orang yang beragama bukan Islam namun

budaya yang dimasukkan ke dalam kegiatan-kegiatan intelektual dari anggota-anggota istimewa masyarakat dan system dunia yang spesifik secara histories. Lihat John H Stanfield II. Model

menundukkan diri terhadap hukum Islam;

Etnik dalam Penelitian Kualitatif. dalam Norman K Denzin dan Yvonna S Lincoln. 2009. Op cit. Hal. 230

c) Badan hukum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan

hukum Islam.

Dalam kerangka konseptual model merupakan representasi untuk suatu ide atau konseptual.

http://id.wikipedia.org/wiki/Model. diakses 13 Maret 2011. jam 06.10 wib. Di dalam disertasi ini peneliti menggunakan definisi Paulus Hadisuprapto, yang menyatakan model adalah suatu lensa

Kewenangan pengadilan agama adalah transaksi yang

pandang esensial terhadap masalah dan suatu kerangka berfikir kearah pemecahan masalah.

menggunakan akad syari’ah, walaupun pelakunya bukan muslim.

Seperti lensa pandang lainnya, model memfokuskan visi seorang ilmuwan secara khusus membatasi atau menyaring cara pandang alternatif lain. Model mempertajam cara pandang

Ukuran Personalitas ke Islaman dalam sengketa ekonomi syari’ah

ilmuwan menjadi suatu yang mungkin atau tidak mungkin dikaji menurut akal sehat. Model juga menyediakan perangkat prioritas dan memberikan tema-tema umum bagi sistem peradilan. Lihat

adalah akad yang mendasari sebuah transaksi, apabila menggunakan

Paulus Hadisuprapto. 2006. Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Masa Datang. Pidato pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Kriminologi, Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,

akad syari’ah, maka menjadi kewenangan peradilan agama. Dalam

Semarang, 18 Februari 2006. Dalam Supriyatna. 2010. Op cit. hal 1.

konteks ini pelaku non muslim yang menggunakan akad syari’ah

170. Pasal 49 UU PA 2006 : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :

berarti menundukkan diri kepada hukum Islam, sehingga

1. Perkawinan;

sengketanya menjadi kewenangan PA. Penerapan ekonomi syariah

2. Waris; 3. Wasiat;

diwujudkan dalam berbagai bentuk akad (transaksi) yang obyeknya

4. Hibah;

harta (uang). Apapun kegiatan usaha dan aktifitas ekonominya,

5. Wakaf; 6. Zakat;

maka akad akan menjadi titik awal aplikasi ekonomi syariah.

7. Infaq;

Kedudukan akad sangat penting dalam fiqh muamalah yang menjadi

8. Shadaqah; dan 9. Ekonomi Syari’ah;

basis pengembangan ekonomi syariah.

Penjelasan Pasal 49 huruf I, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah

Sedangkan ketentuan Pasal 50 UUPA beserta penjelasannya

perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi: 1. Bank syari’ah;

menunjukkan bahwa asas personalitas sehubungan dengan agama

2. Lembaga keuangan mikro syari’ah; 3. Asuransi syari’ah; 4. Reasuransi syari’ah;

171. Abdul Ghofur Anshori. 2006. Pokok -pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia. Jogjakarta: 5. Reksa dana syari’ah;

Citra Media. hal. 145

6. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; 172. Selama ini dalam setiap akad di lembaga ekonomi syariah tercantum sebuah klausul yang 7. Sekuritas syari’ah;

berbunyi, “ Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di 8. Pembiayaan syari’ah;

antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah 9. Pegadaian syari’ah;

Nasional (Basyarnas) setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Dengan UUPA 2006 ini maka klasul tersebut dihapuskan dan seluruh format transaksi di bank dan lembaga

10. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; keuangan syariah harus diubah.Lihat Agustianto. tanpa tahun. Ekonomi Syariah dan Peradilan 11. Bisnis syari’ah

Agama. Artikel. hal. 2-3

Islam yang dianut oleh pihak yang bersengketa dalam sengketa satu kasus yang bisa di contohkan adalah kasus pembatalan keperdataan mengenai hak milik dikedepankan dalam menentukan

eksekutorial PA Jakarta Pusat oleh MA. 174 kewenangan absolut peradilan, artinya jika para pihak yang

Keluarnya UU Perbankan Syariah selain membawa angin segar bersengketa beragama Islam maka PA memiliki kompetensi untuk

juga menimbulkan banyak implikasi negatif terkait kontradiksi menyelesaikan sengketa tersebut. Namun demikian tidak dipungkiri

kompetensi PA. Dalam penjelasan Pasal 55 tersebut dijelaskan sengketa tersebut melibatkan subyek yang beragama selain Islam,

bahwa yg dimaksud dengan ‘penyelesaian sengketa dilakukan sesuai oleh karena itu yang diambil bukan personalitasnya tetapi obyek

dengan isi akad” (Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah) adalah sengketanya yang mendasarkan pada perjanjian syariah (masuk

upaya sebagai berikut :

kategori ekonomi syariah).

(a) musyawarah.

Bahkan secara lebih khusus di dalam Pasal 55 Undang Undang

(b) mediasi perbankan.

No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan

(c) melalui Basyarnas.

Syariah) disebutkan : (d) melalui pengadilan dalam lingkup peradilan umum.

a) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh Di dalam Pasal 55 UU Perbankan Syariah di atas bisa pengadilan dalam lingkup peradilan agama.

menimbulkan contradictio in terminis (berlawanan arti). Di satu

b) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sisi, seluruh sengketa diselesaikan di pengadilan agama (PA), tapi sengketa selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad. di sisi lain membuka kesempatan kepada pengadilan negeri (PN). Padahal keduanya memiliki kompetensi absolut berbeda. Tentu

Ketentuan Pasal 55 UU Perbankan Syariah ini menegaskan persoalan ini bisa menimbulkan sengketa kewenangan antar lembaga tentang kompetensi PA. Bahkan termasuk dalam hal permohonan peradilan, yang bisa berujung pada lemahnya putusan pengadilan. eksekusi putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas),

Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No. 08 Sebagai akibatnya sekarang ini hampir setiap akad yang dibuat Tahun 2008 tanggal 10 Oktober 2008 yang menyatakan Eksekusi

oleh bank syariah untuk menjadi akad baku yang akan diperjanjikan Putusan Badan Arbitrase Syari’ah dilaksanakan atas perintah Ketua

dengan nasabah, mencantumkan PN sebagai tempat resolusi PA. Namun kompetensi ini bukannya tanpa hambatan. Resistensi

sengketa. Para praktisi bank syariah beranggapan bahwa PN lebih dari berbagai pihak bermunculan, dari kalangan akademisi, praktisi

menjamin kepastian, didukung oleh infrastruktur SDM dan teknis perbankan bahkan pejabat otoritas BI. 173 Namun demikian pada

yang lebih profesional di banding PA. Problem substansi prakteknya penanganan perkara ekonomi syari’ah ‘masih

perundangan tersebut bertambah dengan keluarnya UU No 48 tahun diperebutkan’ antara Pengadilan Negeri (PN) dan PA, apalagi perkara

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam Pasal 59 UU No 48 perbankan syariah. Bahkan dikalangan perbankan syariah sendiri

tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman secara tersurat menyebut dalam membuat akad masih menggunakan PN sebagai jalur resolusi

bahwa eksekusi putusan arbitrase (termasuk arbitrase syari’ah) sengketa. Begitu pula dalam permohonan kekuatan eksekusi putusan

dilaksanakan atas perintah ketua PN.

Basyarnas, tarik ulur kepentingan PA dan PN begitu kuat. Salah

174. Lihat Putusan PA Jakarta Pusat Nomor : 792/Pdt.G/2009/PA.JP yang membatalkan Putusan 173. bahkan salah satu petinggi Bank Indonesia sampai harus mengirimkan surat protesnya kepada

BASYARNAS No. 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak yang diputuskan pada tanggal 16 presiden yang merasa keberatan jika perkara ekonomi syari’ah harus ditangani oleh hakim-hakim

September 2009 dan yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakatrta Pusat agama yang menurutnya awam mengenai masalah ekonomi.

sesuai akta Pendaftaran No. 01/BASYARNAS/2009/PAJP tanggal 12 Oktober 2009.

b. Peradilan Umum jual beli putusan maupun kesan pengadilan yang lamban, tidak obyektif Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan

dan pilih kasih adalah gambaran ironi sistem ajudikasi publik (baca : oleh: Pengadilan Negeri; dan Pengadilan Tinggi. Pengadilan Negeri

pengadilan) kita. Ironi tersebut seperti yang disyarirkan oleh Bona berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi

Paputungan berjudul Gayus Tambunan berikut. wilayah kabupaten/kota. Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibukota

Sebelas Maret

propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi. Pengadilan

Diriku masuk penjara

Negeri merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi

Awalku menjalani

merupakan Pengadilan Tingkat Banding, Peradilan umum sebagai

Proses masa tahanan

pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.

Hidup di penjara

Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang

Sangat berat kurasakan

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diputus

Badanku kurus

oleh Pengadilan Negeri dan merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan

Karena beban pikiran

Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.

Kita orang yang lemah

Kekuasaan dan kewenangan mengadili Pengadilan Negeri adalah

Tak punya daya apa-apa

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara

Tak bisa berbuat banyak

perdata di tingkat pertama bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya

Seperti para koruptor

kecuali undang-undang menentukan lain. Pada lingkungan Peradilan Umum dapat dibentuk pengkhususan pengadilan yang diatur dalam

Andai ku Gayus Tambunan

undang-undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 Undang-Undang

Yang bisa pergi ke bali

Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

Semua keinginannya

2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Pengadilan khusus pada

Pasti bisa terpenuhi

lingkungan Peradilan Umum antara lain Pengadilan Anak, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Niaga, Pengadilan Perikanan dan

Lucunya di negeri ini

Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Hukuman bisa dibeli

Kewenangan Pengadilan Negeri dalam menyelesaikan sengketa

Kita orang yang lemah

antara Nasabah dan bank Syariah di atur berdasarkan Penjelasan Pasal

Pasrah akan keadaan

55 ayat (2) UU Perbankan Syariah. Kewenangan ini tidak menghapuskan eksistensi Pengadilan Agama dalam menangani sengketa antara nasabah

Tujuh Oktober

dan Bank Syariah, hanya saja untuk eksekusi putusan arbitrase syariah

Ku bebas dari penjara

kewenangan berada di Pengadilan Negeri, bukan Pengadilan Agama.

Menghirup udara segar

Namun demikian penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri bukan

Lepaskan penderitaan

tanpa masalah, ada ironi yang berkepanjangan yang tidak sebanding lurus dengan dinamisasi ekonomi syariah. Maraknya praktik mafia hukum,

Wahai Saudara sebagai hukum. Begitu pula persepsi mereka terhadap polisi, jaksa, atau Dan para sahabatku

pengacara.

Lakukan yang terbaik Era reformasi yang telah bergulir di Indonesia sejak tahun 1998 Jangan Engkau salah arah

seakan berjalan tanpa alur. Salah satu penyebab reformasi adalah pengaruh perubahan nilai terhadap perilaku politik, ekonomi dan hukum.

Andai ku Gayus Tambunan Oleh karena itu reformasi mencakup 3 (tiga) aspek yaitu politik, ekonomi Yang bisa pergi ke bali

dan hukum. Reformasi di bidang hukum berusaha untuk menegakan Semua keinginannya

kembali supremasi hukum. Memang perjalanan hukum kita ada beberapa Pasti bisa terpenuhi

kemajuan, namun dibalik itu terdapat ironi dalam penegakkan supremasi hukum, khususnya praktik peradilan di tanah air.

Lucunya di negeri ini Pasal 24 ayat (1) sampai ayat (3) UUD 1945 menyebutkan kekuasaan Hukuman bisa dibeli

kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan Kita orang yang lemah

yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Pasrah akan keadaan

Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi serta badan-badan lain yang fungsinya berkaitan

Biarlah semua menjadi kenangan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang. Kenangan pahit

Peradilan sebagai solusi litigasi terhadap sengketa di Indonesia Dalam hidup ini mengalami berbagai ironi. Praktik peradilan kotor di Indonesia bukanlah

“barang” baru di Indonesia. Hal ini kerap kali terjadi di dalam dunia Andai ku Gayus Tambunan peradilan di negara yang mengaku sebagai negara hukum (rechtstaat). Yang bisa pergi ke bali Banyak orang yang tidak bersalah selanjutnya atas nama ketidak- Semua keinginannya profesionalan aparat penegak hukum, maka orang-orang tersebut Pasti bisa terpenuhi ditangkap, ditahan, divonis selanjutnya mendekam di penjara. Beberapa

kasus yang pernah terjadi misalnya: Sengkon dan Karta yang harus Lucunya di negeri ini mendekam di penjara, masing-masing selama 7 tahun dan 12 tahun Hukuman bisa dibeli penjara karena divonis melakukan kejahatan pembunuhan namun ternyata Kita orang yang lemah mereka bukan pelaku sebenarnya, lalu sepasang suami istri di Gorontalo Pasrah akan keadaan yang dipaksa mendekam dipenjara karena divonis melakukan

pembunuhan terhadap putri mereka, namun belakangan ternyata putri Persepsi umum yang berkembang dalam masyarakat adalah masih mereka masih hidup. Demikianpula terjadi pada Budi Harjono seorang adanya ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap badan pengadilan. pemuda di Bekasi yang disangka membunuh ayah dan menganiaya ibu Pengusaha atau para pelaku ekonomi dan bisnis, terlebih masyarakat

kandungnya, tetapi juga tidak terbukti.

awam melihat hukum bukan dari produk-produk hukum yang ada atau yang pemerintah keluarkan. Masyarakat umumnya melihat pengadilan

Dugaan atas kejadian salah tangkap dan salah vonis terhadap 3 (tiga) orang terdakwa yang sebagian telah divonis penjara atas kejahatan Dugaan atas kejadian salah tangkap dan salah vonis terhadap 3 (tiga) orang terdakwa yang sebagian telah divonis penjara atas kejahatan

litigasi kita. Bentuk-bentuk korupsi di lembaga peradilan sendiri, secara pembunuhan berantai yang dilakukan Ryan dan ternyata Ryan mengakui

umum adalah tindakan-tindakan yang menyebabkan keti-dakmandirian salah satu korbannya adalah Asrori, maka mulailah ada dugaan atas

lembaga peradilan dan institusi hukum (polisi, jaksa, hakim dan advokat). praktik peradilan sesat yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Sedangkan secara khusus dapat dilakukan dalam bentuk mencari atau Maraknya praktik peradilan kotor tersebut sudah sejak lama menjadi

menerima berbagai macam keuntungan atau janji berdasarkan keprihatinan di Indonesia.

penyalahgunaan kekuasaan kehakiman atau perbuatan lainnya, seperti Beberapa waktu berselang, muncul kembali pentas akrobatik hukum

suap, pemalsuan, penghilangan data atau berkas pengadilan, perubahan yaitu tentang skandal di Kejaksaan Agung. Drama penyadapan yang

dengan sengaja berkas pengadilan, memperlambat proses pengadilan, dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap jajaran

pemanfaatan kepentingan umum untuk kepentingan pribadi, penegak hukum (Kejaksaan Agung) berkaitan dengan kasus BLBI, Cicak

pertimbangan yang keliru, sikap tunduk kepada campur tangan luar/dalam versus Buaya, Bibit Candra, seakan menuju puncak kasus Gayus

pada saat memutus perkara karena adanya tekanan, ancaman, nepotisme, Tambunan melengkapi ironi penyelesaian litigasi di Indonesia. Ternyata

conflict of interest, kompromi dengan advokat. hal tersebut belum puncak, masih ada banyak kasus yang melibatkan

Praktek-praktek judicial corruption ini secara kolektif dikenal penegak hukum. Bahkan hakim Syarifudin selaku pengawas kasus

dengan sebutan mafia peradilan.Sebagai suatu sistem, kinerja aparat kepailitan tertangkap tangan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)

penegak hukum sekarang ini memang berada pada titik nadir yang cukup menerima suap dari kuratornya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa

mengkhawatirkan. Berbagai keluhan baik dari masyarakat dan para hukum kita tengah mengalami kondisi anomatik. Anomatik hukum

pencari keadilan seolah-olah sudah tidak dapat lagi menjadi media kontrol merupakan keadaan terpuruk pada titik terendah (degradasi,

bagi para penegak hukum tersebut untuk kemudian melakukan berbagai demoralisasi).

perbaikan yang signifikan bagi terciptanya suatu kinerja yang ideal dan Praktik penegakkan supremasi hukum di tanah air berujung pada

sesuai dengan harapan masyarakat.

hakim di pengadilan. Menurut peneliti hakim merupakan The Justice of Masyarakat melihat masih cukup banyak kasus nyata di mana the last resort, penjaga gawang terakhir untuk mewujudkan keadilan

putusan pengadilan masih belum dapat memberi kepastian, rasa keadilan dan memastikan tujuan hokum tercapai. Namun demikian, tidak sedikit

dan sejenisnya. Memang banyak hakim atau para penegak hukum yang pula dijumpai putusan hakim yang bertentangan dengan kemauan

bersih dan lurus. Tetapi masyarakat lebih melihat hakim atau para penegak keadilan dan tujuan hukum itu sendiri. Putusan hakim dalam memberikan

hukum yang tidak lurus atau korup. Pengadilan yang bersih dari orang- suatu putusan yang memenuhi unsur keadilan, manfaat dan kepastian

orang seperti ini adalah tantangan terberat pengadilan dewasa ini. Secara hukum merupakan persoalan yang dihadapi para hakim di pengadilan

teoritis, lembaga peradilan diyakini dapat menunjukkan peran terbaiknya maupun di lembaga Mahkamah Agung (MA) saat ini. Terbukti pada

sebagai penekan berbagai pelanggaran hukum oleh elemen apa saja di kenyataannya, jarang ditemui pada putusan hakim yang memenuhi ketiga

sebuah negara, dan tempat akhir pencarian keadilan bagi pihak yang unsur tersebut akibat intervensi terhadap kemandirian hakim dengan

berperkara. Walaupun penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan masih sering ditemui campur tangan dari pihak-pihak yang berperkara

sering menimbulkan kesan kurang baik bagi para pihak. Bagaimana tidak, pada para hakim dalam menangani suatu kasus, baik melalui kekuatan

untuk mencapai keputusan yang inkrah, para pihak yang bersengketa uang, maupun kekuasaan pemerintah dan politik.

memang dituntut untuk benar-benar bertarung di dewan hakim,sehingga memang dituntut untuk benar-benar bertarung di dewan hakim,sehingga

yang jujur maka dengan undang-undang yang busuk sekalipun hukum (dengan berbagai faktor yang ada) cenderung dimenangkan. Selain itu,

dapat ditegakkan.” Persoalan moral dalam hukum, meski bukan satu- pengalaman pahit yang menimpa masyarakat hingga saat ini,

satunya persoalan penting, menempati ranking sangat tinggi dalam mempertontonkan sistem peradilan yang tidak efektif dan tidak efisien,

pembangunan dan penegakan hukum. Alasannya, melalui moralitas itu bahkan terkadang juga tidak adil. Penyelesaian perkara memakan waktu

bangunan hukum terlihat wujudnya karena sarat dengan nilai, fondasi puluhan tahun. Proses memakan waktu yang lama dan menjemukan,dililit

filosofis dan idologis, serta memiliki semangatnya sendiri. lingkaran hukum yang tidak berujung. Mulai dari banding, kasasi,dan

2. Non Litigasi

peninjauan kembali. Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, Penyelesaian sengketa di bank syariah antara nasabah dan pihak

eksekusidibenturkan lagi dengan upaya verzet dalam bentuk partai verzet bank syariah berdasar UU Peradilan Agama dan UU Perbankan Syariah dan derdenverzet. Memasuki gelanggang forum pengadilan, tak ubahnya diperbolehkan untuk dilakukan di luar pengadilan umum (non litigasi). mengadu nasib di hutan belantara (adventure unto the unknown). Padahal, Berdasar Pasal 55 UU Perbankan Syariah ada tiga model penyelesaian masyarakat pencari keadilan membutuhkan proses penyelesaian yang

cepat yang tidak formalistis 175 . sengketa non litigasi di perbankan syariah, yaitu : musyawarah ; arbitrase syariah; dan mediasi.

Memang kondisi tersebut seolah sudah menyatu bagai parasit. Parasit hukum bukan sesuatu yang mudah diberantas. Meski demikian, hal itu

a. Musyawarah

tidak dapat dibiarkan. Melawan parasit hukum hanya dapat dilakukan Di dalam hubungan kontraktual antara nasabah dan bank apabila kita tidak terbebani dengan berbagai ketakutan. Sangatlah wajar

syariah, meskipun akad dirumuskan dengan lengkap, cermat dan apabila masyarakat menjadi gelisah dengan perilaku dan moralitas

sempurna, namun dalam perjalanannya sering mengalami penegak hukum kita saat ini. Akibatnya, kesan yang timbul dari lembaga

hambatan-hambatan yang memiliki konsekuensi kerugian disalah peradilan tidak lagi sesuai dengan tujuan mulianya sebagai tempat pencari

satu atau kedua belah pihak. Hambatan tersebut bisa menjadi keadilan dengan dasar-dasar yang telah ditentukan. 176

perselisihan dan sengketa, dan sewajarnya setiap sengketa Rapuhnya moralitas penegak hukum menjadikan sistem hukum, asas

membutuhkan resolusi. Resolusi sengketa melalui musyawarah hukum atau aturan hukum (peraturan perundang-undangan) menjadi tidak

merupakan cara yang paling kecil resikonya. berfungsi maksimal. Moralitas dalam hukum adalah “nutrisi” atau vitamin

Musyawarah masuk dalam kategori penyelesaian sengketa non bagi pembangunan sistem hukum. Artinya, dengan moralitas itu dapatlah

litigasi, walupun dalam penyelesaian sengketa litigasi, perdamaian hukum bergerak dan berkembang dan diarahkan untuk kepentingan yang

yang merupakan ciri musyawarah juga ditawarkan. 177 Ada dua penyebab utama dipergunakannya cara non-ligitasi dalam

175. M. Yahya Harahap. 1997. Op cit. hal. 248 176. Baca lebih lengkap dalam Sudikno Mertokusumo. 2002. Op cit. hal. 36. Yahya Harahap

177. Berbeda dengan hukum acara perdata di negara-negara lain, HIR/R.Bg yang merupakan hukum menyatakan bahwa dalam kenyataan praktik berbicara, sampai saat ini manusia di negara

acara perdata di Pengadilan Negeri mewajibkan Hakim pada hari sidang pertama yang dihadiri manapun, belum menciptakan dan mendisain sistem peradilan yang efektif dan efisien. Karena

oleh kedua belah pihak yang berperkara, untuk mendamaikannya (Pasal 130 ayat (1) HIR/Pasal ternyata, mendesain pengadilan yang seperti itu, tidak gampang. Banyaknya aspek yang saling

154 R.Bg). Jika perdamaian tercapai, maka dibuatlah perjanjian perdamaian yang diajukan ke bertabrakan plus beragamnya kepentingan yang harus dilindungi, tampak menjadi faktor utamanya.

sidang Pengadilan, di mana para pihak yang wajib mentaati/memenuhi perjanjian tersebut yang Padahal di sisi lain, untuk memenuhi luaran yang menjadi pokok keberadaan peradilan itu,

berkekuatan sebagai putusan Hakim yang tidak dapat dimintakan banding, maka sesuai dengan menuntut sebuah sistem yang mampu melindungi kepentingan-kepentingan para pihak, sehingga

pasal 43 ayat (1) Undang-Undang nomor 14 tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan tidak boleh berat sebelah dan tidak pula dibenarkan bentuk konspirasi sekecil apapun. M. Yahya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 juga tidak dapat dimintakan kasasi. Secara tidak langsung Harahap. 1997. Op cit. hal. 229

putusan perdamaian dapat membatasi perkara-perkara kasasi.

penyelesaian sengketa terutama perkara perdata di Indonesia. Pertama, perdamain di Indonesia sudah merupakan adat kebiasaan masyarakat. 178 Hal ini dapat dilihat dari hukum adat yang menempatkan kepala adat sebagai penengah dan memberi putusan adat bagi sengketa di antara warga. 179 Kedua, adanya ketidakpuasaan atas resolusi sengketa melalui jalur litigasi, seperti mahalnya ongkos perkara, lamanya waktu dan rumitnya beracara, maka berbagai negara di dunia termasuk Indonesia mulai berpaling kepada penyelesaian perkara secara non ligitasi di luar pengadilan . 180

Konsep dasar musyawarah adalah perdamaian, sementara konsep shulh (perdamaian) merupakan doktrin utama dalam Hukum Islam di bidang muamalat untuk menyelesaian suatu sengketa, dan itu sudah merupakan conditio sine qua non dalam kehidupan masyarakat manapun, karena pada hakekatnya perdamaian bukanlah suatu pranata positif belaka, melainkan berupa fitrah dari manusia. 181

Segenap manusia menginginkan seluruh aspek kehidupannya nyaman, tidak ada yang mengganggu, tidak ingin dimusuhi, ingin damai dan tenteram dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian institusi perdamaian adalah bagian dari kehidupan manusia.

Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata “syawara” yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat. Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Karena madu memiliki konotasi yang baik, maka kata musyawarah selalu dekat dengan hal-hal yang baik pula, artinya dari dan untuk hal-hal yang baik. Kata kerja syawara termasuk dalam kategori kata kerja mufa’alah (perbuatan yang dilakukan timbal balik), kata musyawarah merupakan kata kerja yang dibendakan dan mengandung makna “saling memberi isyarat, petunjuk, atau pertimbangan yang bermakna resiprokal dan mutual”, maka musyawarah harus dialogis dan melibatkan dua arah, bukan satu arah, doktrin atau monologis. Para pihak yang menjadi peserta musyawarah memiliki hak untuk mengemukakan pendapatnya. Dengan dialogis, melibatkan dua arah maka para pihak akan mengetahui titik temu diantara perbedaan atau perselisihan keduanya. Dalam bahasa Arab, perkataan musyawarah berasal dari kata dasar syawara-yasyuru musyawarah atau syura yang artinya tanda, petunjuk, nasehat, pertimbangan. Kata “musyawarah” dalam terminology ketatanegaraan Indonesia biasanya disandingkan dengan kata “mufakat” yang berasal dari bahasa Arab. Istilah ini berasal dari asal kata itifaq-muwafawah yang berarti “memberikan persetujuan atau kesepakatan”. Persetujuan di sini dapat berupa suara yang terbanyak dan secara teknis dilakukan lewat pemungutan suara atau konsensus bulat. Akan tetapi, dalam pengertian teknis di Indonesia dewasa ini, istilah “musyawarah mufakat” mengandung pengertian “konsensus bulat.” 182

178. Ahmadi Hasan. Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai Pada Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional. Disertasi. Program Doktor Ilmu Hukum Pasasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. 2007.

179. Misalnya di Minangkabau yang bertindak sebagai mediator yang juga mempunyai wewenang untuk memberikan putusan atas perkara yang dibawa kehadapannya adalah sebagai berikut:

1). Tungganai atau mamak kepala waris pada tingkatan rumah gadang, 2). Mamak kepala kaum pada tingkat kaum, 3). Penghulu suku pada tingkat suku, dan 4). Penghulu-penghulu fungsional pada tingkatan nagari.

Fungsionmarisntersebut berperan penting dalam menyelesaikan sengketasengketa, baik sebagai penengah dengan (sepadan dengan arbiter atau hakim) atau tanpa kewenangan mamutus (sebagai mediator), Takdir Rahmadi dan Achmad Romsan, Teknik Mediasi Tradisional Dalam Masyarakat Adat Minangkabau, Sumatera Barat dan Masayarakat Adat di Dataran Tinggi, Sumatera Selatan, Indonesia Center For Environmental Law (ICEL), The Ford Foundation 1997- 1998.

Adat badamai adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang lazim dilakukan oleh masyarakat Banjar. Adat badamai bermakna pula sebagai hasil proses perembukan atau musyawarah dalam pembahasan bersama dengan maksud mencapai suatu keputusan sebagai penyelesaian dari suatu masalah. Lihat dalam Muhammad Koesno, Musyawarah dalam Miriam Budiardjo. 1971. Masalah Kenegaraan. Jakarta : Balai Pustaka. hal. 551

180. Trend dunia masa kini adalah effective judiciary atau badan peradilan yang efektif. Maksudnya adalah bagaimana kita menjadikan pengadilan efektif. Hanya sengketa perdata yang benar-benar memerlukan suatu putusan pengadilan saja yang diajukan ke Pengadilan, sedangkan sengketa lainnya diupayakan perdamaian sehingga Pengadilan lebih fokus kepada sengketa tertentu tersebut. Sebagai perbandingan dapat kita lihat bahwa di Singapura lebih dari 90% perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan tingkat pertama dapat diselesaikan melalui perdamaian, begitupula di Filipina sekitar 75% dan di Jepang lebih kurang 33%. Lihat Pengarahan Wakil Ketua Mahkamah

Agung Bidang Yudisial Pada Rapat Kerja Nasional Tahun 2006 di Batam dalam Dadan Muttaqien. tt. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah. Artikel.

181. Ibid 182. Lihat Nurcholish Madjid. 1995. Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru

Kebiasaan musyawarah adalah melekat dalam kehidupan setiap Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syura 42: manusia ketika berinteraksi dengan yang lainnya, termasuk

37-38 : ”Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar masyarakat Indonesia 183 . Musyawarah memiliki peran penting

dan perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi didalam menciptakan keteraturan dalam masyarakat. Tidak terbatas

maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan di Negara yang memiliki budaya timur, negara-negara barat pun

Tuhan-Nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka juga mengembangkan musyawarah sebagai resolusi konflik, meski

(diputuskan) dengan musyawarah antar mereka; dan mereka tidak sepopuler di negera-negara timur. Islam sangat memperhatikan

menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada peran strategis musyawarah sebagai resolusi sengketa, bahkan ada

mereka.”

salah satu surat dalam Al Quran yang bernama Asy-Syura, di Selain itu Allah SWT juga berfirman yang memerintahkan Nabi dalamnya dibicarakan tentang sifat-sifat kaum mukminin, antara

Muhammad SAW untuk bermusyawarah : lain, bahwa kehidupan mereka itu berdasarkan atas musyawarah,

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah- bahkan segala urusan mereka diputuskan berdasarkan musyawarah

lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati di antara mereka. Sesuatu hal yang menunjukkan betapa pentingnya

kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena musyawarah adalah, bahwa ayat tentang musyawarah itu

itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan dihubungkan dengan kewajiban shalat dan menjauhi perbuatan keji.

bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian

apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah

Islam Indonesia. Jakarta : Paramadina. hal. 194. dan M. Quraish Shihab. 1996. Wawasan Al-

Qur’an. Bandung : Mizan. hal. 361. Bandingkan dalam Adi Sulistyono. 2007. Mengembangkan

kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang

Paradigma Non-Ligitasi di Indonesia. Surakarta : Sebelas Maret University Press. hal. 31 Musyawarah menurut bahasa berasal Syawara yaitu berasal dari Bahasa Arab yang berarti

bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran 3: 159) 184

berunding, urun rembuk atau mengatakan dan mengajukan sesuatu. Sedang menurut istilah; musyawarah adalah perundingan antara dua orang atau lebih untuk memutuskan masalah secara

Bahkan Khalifah Umar ibn Khottob telah memberikan

bersama-sama sesuai dengan yang diperintahkan Allah. Musyawarah adalah pembahasan

pengarahan dalam persoalan ini dengan menyatakan : “ Perdamaian

bersama dng maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah; perundingan; perembukan. ber·musyawarah : berunding; berembuk: semua pihak bersedia-

itu diperbolehkan diantara orang-orang Muslim, kecuali perdamaian

;memusyawarahkan v merundingkan; memufakatkan: kita - persoalan itu kembali supaya tidak lagi terjadi pertentangan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Musyawarah berarti

yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.”

pembahasan bersama dng maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah. Lihat dalam

Budaya musyawarah tertuang dalam dasar Negara yakni sila

http://www.artikata.com/arti-341753-musyawarah.html diakses 3 Juni 2011 jam 14.00 wib Istilah-

istilah lain dalam tata Negara Indonesia dan kehidupan modern tentang musyawarah dikenal

keempat Pancasila :”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah

dengan sebutan “syuro”, “rembug desa”, “kerapatan nagari” bahkan “demokrasi”. Kewajiban musyawarah hanya untuk urusan keduniawian. Jadi musyawarah adalah merupakan upaya untuk

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Di dalam sila

memecahkan persoalan guna mengambil keputusan bersama dalam penyelesaian atau pemecahan. Lihat dalam : http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2092968-pengertian-

keempat Pancasila itu terdapat kata “permusyawaratan”, yang berasal

musyawarah/#ixzz1OCGppSxv diakses 3 Juni 2011 jam 14.00 wib. 183. Berdasarkan penelitian beberapa pakar, pada dasarnya budaya untuk konsiliasi atau musyawarah

184. Ayat di atas turun ketika Perang Uhud, di mana pasukan Islam nyaris mengalami kehancuran merupakan nilai masyarakat yang meluas di Indonesia. Berbagai suku bangsa di Indonesia

gara-gara pasukan pemanah yang ditempatkan Nabi di atas bukit tidak disiplin menjaga posnya, mempunyai budaya penyelesaian sengketa secara damai, misalnya masyarakat Jawa, Bali,

akibat tergoda dengan tipuan harta rampasan yang ditinggalkan oleh pasukan Quraisy. Akibatnya Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Irian Jaya, dan

pos atas yang amat strategis itu dikuasai musuh dan dari sana mereka balik menyerang pasukan masyarakat Toraja. Lihat dalam Daniel S. Lev. 1990. Op cit. hal. 158. mengupas tentang adapt

Islam. Sebenarnya sebelum perang Uhud Nabi sudah bermusyawarah terlebih dahulu dengan mujsyawarah masyarakat Jawa dan bali. Lihat dalam M.G. Ohorela dan Aminuddin Salle.

para sahabat tentang bagaimana menghadapi musuh yang akan datang menyerang dari Mekkah, Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase pada Masyarakat di Pedesaan di Sulawesi Selatan,

apakah ditunggu di dalam kota atau disongsong ke luar kota. Musyawarah akhirnya memilih dalam Felix O. Soebagjo dan Erman Rajagukguk (ed.). 1995. Arbitrase di Indonesia, Jakarta :

pendapat yang kedua. Dengan demikian, perintah bermusyawarah kepada Nabi ini dapat kita Ghalia Indonesia. hal. 105-119. Lihat juga Hilman Hadikusuma. 1992. Antropologi Hukum. Bandung

baca sebagai perintah untuk tetap melakukan musyawarah dengan para sahabat dalam masalah- : Citra Aditya Bakti. hal. 177-205. yang memberikan gambaran musyawarah di berbagai daerah

masalah yang memang perlu diputuskan bersama.

di Indonesia. Lihat T.O. Ihromi. 1984. Op cit. hal. 17 memberikan contoh pelaksanaan musyawarah 185. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, diterjemahkan oleh Mudzakir AS. 1993. Fikih Sunnah, Jilid X di Tanah Toraja.

I.Bandung: Alma’arif. hal.36 I.Bandung: Alma’arif. hal.36

Perdamaian. Berdasarkan definisi yang diberikan dikatakan bahwa kebaikan dengan semangat persaudaraan, bukan semangat kalah dan

Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah menang. Musyawarah bukanlah tujuan pada asalnya, tetapi

pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu disyariatkan dalam agama Islam untuk mewujudkan keadilan

barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau diantara manusia.

mencegah timbulnya suatu perkara. 187

Menurut penulis musyawarah adalah salah satu bentuk Di dalam musyawarah, pranata resolusinya cenderung bersifat penyelesaian sengketa yang lazim dilakukan oleh masyarakat.

informal, meskipun adakalanya dilakukan secara formal. Karena Musyawarah merupakan hasil proses perembukan atau pembahasan

prinsip musyawarah adalah dialogis maka para pihak dalam bersama dengan maksud mencapai suatu keputusan atau mufakat

musyawarah pada umumnya bertemu bertatap muka. Perdamaian sebagai penyelesaian dari suatu pertikaian atau persengketaan.

yang menjadi tujuan dari musyawarah adalah solusi yang saling Bahkan musyawarah akan mampu menghilangkan perasaan dendam

menguntungkan (win-win solution), untuk itu dimungkinkan para dan mampu berperan menciptakan keamanan ketertiban dan

pihak yang bersengketa atau berselisih paham dapat melakukan suatu perdamaian.

proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak Identifikasi musyawarah sebagai resolusi sengketa di bank

dengan melepaskan atau memberikan kelonggaran (concession) atas syariah dalam hokum positif memang tidak secara eksplisit diatur,

hak-hak tertentu berdasarkan pada asas timbal balik. Persetujuan bahkan di UU No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

atau kesepakatan yang telah dicapai tersebut kemudian dituangkan Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) juga tidak mengaturnya

secara tertulis untuk ditandatangani oleh para pihak dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. secara eksplisit. Hanya dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU 188 Perdamaian sebagai resolusi dalam Arbitrase menyiratkan tentang perdamaian yang ditandai dengan

musyawarah harus dituangkan secara tertulis. Berdasar Pasal 6 ayat proses dialog dan negosiasi 186 antara bank dan nasabah selaku pihak

(7) dan ayat (8) UU arbitrase, kesepakatan tertulis tersebut wajib di yang bersengketa. Di dalam ketentuan tersebut pada dasarnya para

daftarkan di pengadilan negeri dalam jangka waktu 30 hari terhitung pihak dapat berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang

sejak ditandatangani (ayat (7)), dan dilaksanakan dalam waktu 30 timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian

hari terhitung sejak pendaftaran (ayat (8)). tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang

Penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah mufakat ini disetujui oleh para pihak. Pilihan musyawarah adalah pilihan sadar

merupakan jalur paling awal yang hanya melibatkan para pihak yang para pihak yang harus dituangkan dalam akad tertulis. Proses

bersengketa. Dengan terakomodasinya sengketa dalam sebuah mencapai mufakat untuk perdamaian ini juga diatur dalam Pasal

resolusi melalui jalur musyawarah, maka diharapkan perdamaian 1851 sampai dengan 1864 Bab Kedelapanbelas Buku III Kitab

para pihak akan terwujud dan model resolusi sengketa yang lainnya tidak perlu diterapkan.

186. Rumusan dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan pengaturan lebih lanjut mengenai negosiasi sebagai salah satu lembaga alternative penyelesaian sengketa oleh para pihak. Dalam buku Business Law, Principles, Cases and Policy karya Mark.E Roszkowski dikatakan bahwa : Negotiation is a process by which two parties, with differing demand reach an agreement generally through compromise and concession. Lihat dalam Mark E. Roszkowski. 1989. Business Law: Principles, Cases, and Policy, Second Edition. USA, Urbana : Harper Collins

187. Lihat Gunawan Widjaja. 2001. Op cit. hal. 87

Publisher. hal. 16

188. Ibid. hal. 89

Beberapa hal pokok yang harus dilakukan dalam melakukan (Latin), arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), schiedspruch resolusi sengketa melalui jalur musyawarah antar bank dan nasabah,

(Jerman), arbitrage (Prancis), yang berarti kekuasaan untuk antara lain :

menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh

1) 190 Para pihak harus mendasarkan pijakan resolusi pada perdamaian arbiter atau wasit. Kehadiran arbitrase lebih didorong karena dengan mengedepankan semangat kekeluargaan

ketidakpuasan resolusi sengketa melalui jalur pengadilan. Resolusi

2) Para pihak harus mematuhi butir-butir akad yang telah ada dan sengketa melalui pengadilan dianggap tidak efisien dan cenderung disepakati sebelumnya

membuang waktu. Di samping itu, kompetensi yang dimiliki hakim

3) Para pihak harus fokus pada obyek yang disengketakan yang tidak menguasai disiplin ilmu obyek sengketa secara

4) Dialog, diskusi dan negosiasi dalam mencapai mufakat mendalam, menjadikan keputusan hakim cenderung tidak

5) pihak yang bersengketa menyentuh secara obyektif dan benar. Penyebab lainnya adalah Resolusi sengketa melalui musyawarah selain memiliki

moralitas hakim yang masih belum obyektif keberpihakannya beberapa kelebihan, juga menyisakan persoalan diantaranya :

terhadap kebenaran. Untuk menjawab persoalan mendasar ini, para Regulasi yang belum mendukung, limitasi waktu penyelesaian yang

pelaku bisnis dan para pakar menemukan model penyelesaian bisa tidak terbatas dan hasil yang belum tentu benar secara

sengketa yang efektif dan efisien, yakni arbitrase. Terdapat beberapa obyektif. 189 Dalam konteks sengketa antara bank syariah dan

alasan mengapa para pihak lebih memilih penyelesaian sengketa nasabah, menurut penulis problem musyawarah sebagai resolusi

melalui arbitrase daripada jalur litigasi, antara lain: Kepercayaan sengketa selain masalah regulasi yang masih minim, limitasi waktu

dan keamanan bagi pihak yang berselisih ; Keahlian (expertise) dari juga ada problem teknis terkait posisi nasabah dan bank syariah

para arbiter ; Arbitrase bersifat rahasia ; Non-preseden ;Kearifan yang pada kenyataannya sering tidak seimbang. Dasar musyawarah

dan kepekaan arbiter; Relatif lebih cepat dan hemat biaya adalah kerelaan para pihak, sementara yang memiliki kepentingan 191 penyelesaian.

untuk disengketakan dan dicarikan solusi melalui musyawarah adalah nasabah, namun posisi nasabah cenderung subordinate dan

190. Rahmadi Usman. 2003. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Bandung: PT. Citra

tidak sejajar dengan bank. Sehingga penyelesaian sengketa sangat Aditya Bakti. hal. 107

Pada prinsipnya penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di luar lembaga peradilan (non litigasi)

tergantung pada kerelaan pihak bank. Ketiadaan pihak ketiga sebagai

ada dua cara yang bisa ditempuh, yaitu melalui lembaga perdamaian (al-Shulh) dan melalui lembaga arbitrase (al-Tahkim). Dadan Muttaqien, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Di

pengontrol maupun pengawas penyelesaian sengketa melalui

Luar Lembaga Peradilan, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun Ke XXIII NOMOR 266

musyawarah semakin menenggelamkan peran musyawarah untuk Januari 2008. Jakarta : IKAHI. hal. 60.

191. Warkum Sumitro memberikan gambaran keunggulan BASYARNAS, diantaranya:

menghasilkan solusi yang efektif, efisien dan lebih adil.

Memberikan kepercayaan kepada para pihak, karena penyelesaiannya secara terhormat dan bertanggung jawab;

Para pihak menaruh kepercayaan yang besar pada arbiter, karena ditangani oleh orang-

b. Arbitrase Syariah

orang yang ahli dibidangnya (expertise);

1) Proses pengambilan putusannya cepat, dengan tidak melalui prosedur yang berbelit-belit Definisi Arbitrase

serta dengan biaya yang murah;

Salah satu jalur penyelesaian sengketa di bank syariah adalah

Para pihak menyerahkan penyelesaian persengketaannya secara sukarela kepada orang- orang (badan) yang dipercaya, sehingga para pihak juga secara sukarela akan melaksanakan

melalui arbitrase. Kata arbitrase sendiri berasal dari bahasa arbitrare

putusan arbiter sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter, karena hakekat kesepakatan itu mengandung janji dan setiap janji itu harus ditepati;

Di dalam proses arbitrase pada hakekatnya terkandung perdamaian dan musyawarah. 189. S. Ulihbukit Karo-Karo. 1981. Metodologi Pengajaran. Salatiga : CV. Saudara. hal. 74-76

Sedangkan musyawarah dan perdamaian merupakan keinginan nurani setiap orang.

Abdulkadir Muhammad memberikan pandangannya mengenai Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian arbitrase dengan menggunakan logika sebagai berikut;

Sengketa (UU Arbitrase).

“Makin maju bidang usaha perindustrian dan perdagangan Pengertian arbitrase menurut Munir Fuady adalah arbitrase maka makin luas pula hubungan hukum yang diadakan oleh para

merupakan pengadilan swasta, yang sering juga disebut sebagai pengusaha, dan tentu saja tidak dapat dipungkiri kemungkinan

“pengadilan wasit”. Arbiter dalam peradilan arbitrase berfungsi terjadinya sengketa dalam pemenuhan kewajiban dan hak mereka”.

memang layaknya seorang wasit (Referee) seumpama wasit dalam Sudah menjadi ciri pengusaha bahwa setiap sengketa ingin

pertandingan bola kaki”. 193 Rv (Reglement op de Burgerlijke diselesaikan dengan baik dalam waktu relatif singkat oleh badan

Rechtsvordering) memberikan definisi arbitrase adalah suatu bentuk yang terdiri dari para ahli yang menguasai betul bidang usaha yang

peradilan yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak serta disengketakan itu. Badan yang dimaksud adalah badan arbitrase. 192

itikad baik dari para pihak yang berselisih agar perselisihan mereka Arbitrase di Indonesia sudah dikenal dalam peraturan per-

tersebut diselesaikan oleh hakim (arbiter) yang mereka tunjuk dan undang-undangan sejak berlakunya Kitab Undang-undang Hukum

angkat sendiri, dengan pengertian bahwa putusan yang diambil oleh Acara Perdata Belanda di Indonesia yaitu sejak diberlakukannya

hakim tersebut merupakan putusan yang bersifat final (putusan pada Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering). Keberadaan

tingkat akhir) dan mengikat kedua belah pihak untuk arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sudah

melaksanakannya. Sedangkan Poerwosutjipto mengemukakan lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase

bahwa arbitrase adalah perwasitan, yakni suatu peradilan perdamaian diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement

dimana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch

pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg),

oleh pihak ketiga (hakim) yang tidak memihak yang ditunjuk oleh karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement

para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah op de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini 194 pihak.

sudah tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang-Undang Di dalam Pasal 1 butir 1 UU Arbitrase disebutkan: Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan

6) Khusus untuk kepentingan Muamalat Islam dan transaksi melalui Bank Syariah maupun BPR Islam, Arbitrase syariah akan memberi peluang bagi berlakunya hukum Islam sebagai

umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara

pedoman penyelesaian perkara, karena di dalam setiap kontrak terdapat klausul diberlakuannya penyelesaian melalui BASYARNAS.

tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam perspektif Islam,

Lihat Warkum Sumitro. 1996. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BMUI

arbitrase dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim sendiri

& Takaful). Jakarta : Rajawali Press. hal. 167-168. Bandingkan dengan pendapat Suyud Margono, Menurut Suyud Margono kecenderungan memilih Alternatif Dispute Resolution (ADR) oleh

adalah bahasa Arab bersumber dari kata kerja hakkama. Secara

masyarakat dewasa ini didasarkan atas pertimbangan pertama: kurang percaya pada sistem pengadilan dan pada saat yang sama sudah dipahaminya keuntungan mempergunakan sistem

etimologis, kata itu berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah

arbitrase dibanding dengan Pengadilan, sehingga masyarakat pelaku bisnis lebih suka mencari

suatu sengketa. 195 Secara terminologi, tahkim dapat diartikan dengan

alternatif lain dalam upaya menyelesaikan berbagai sengketa bisnisnya yakni dengan jalan Arbitrase, kedua : kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase khususnya BANI mulai

bersandarnya dua orang yang bersengketa kepada seseorang yang

menurun yang disebabkan banyaknya klausul-klausul arbitrase yang tidak berdiri sendiri sendiri, melainkan mengikuti dengan klausul kemungkinan pengajuan sengketa ke Pengadilan jika putusan arbitrasenya tidak berhasil diselesaikan. Dengan kata lain, tidak sedikit kasus-kasus sengketa

193. Munir Fuady. 2003. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa) . Bandung : PT.Citra yang diterima oleh Pengadilan merupakan kasus-kasus yang sudah diputus oleh arbitrase BANI.

Aditya Bhakti. hal. 12

194. Purwosutjipto. 1992. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. Jakarta : PT.Djambatan. hal.1 192. Abdulkadir Muhammad.1999. Op cit. hal. 412

Dengan demikian penyelesaian sengketa dengan cara ADR merupakan alternatif yang menguntungkan. Suyud Margono. 2000. Op cit. .hal. 82

195. Suhrawardi K. Lubis. 2000. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta : Sinar Grafika. hal. 186 195. Suhrawardi K. Lubis. 2000. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta : Sinar Grafika. hal. 186

Arbitrase sebenarnya mulai dikenal sebelum zaman Islam. Meskipun ketika itu sudah ada lembaga peradilan dibawah kepala suku atau Raja, namun untuk sengketa dengan obyek hak milik dan hak waris diselesaikan melalui tahkim. Hanya perbedaannya kecenderungan tahkim ketika itu lebih cenderung menghasilkan keputusan perdamaian, meski juga memutuskan secara adversarial. Sehingga ketika itu batas antara mediasi dan arbitrase dalam praktiknya sangat tipis. Dalam masa nabi Muhammad SAW, tradisi penyelesaian sengketa melalui arbitrase jauh lebih berkembang di Kota Makkah dibanding di Madinah, hal tersebut karena Makkah lebih terkenal sebagai pusat bisnis sementara Madinah lebih bersifat agraris. Ketika itu terdapat dua arus utama mengenai obyek sengketa arbitrase, yakni madzab Hanafiayah dan Malikiyah. Madzab hanafiyah mengakui obyek arbitrase meliputi masalah harta benda, qisas, hudud, nikah, li’an baik yang menyangkut hak Allah dan hak manusia. Sedangkan mazhab Malikiyah mengatakan bahwa tahkim dibenarkan dalam syariat Islam hanya dalam bidang harta benda saja tetapi tidak dibenarkan dalam bidang hudud, qisas dan li’an, karena masalah ini merupakan urusan Peradilan. 198 Pendapat madzab Malikiyah ini cenderung banyak digunakan pada zaman itu, bahkan hingga kini. Pendapat ini adalah sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Farhum 199 bahwa wilayah tahkim itu hanya

yang berhubungan dengan harta benda saja, tidak termasuk dalam bidang hudud dan qisas. 200 Di dalam UU Arbitrase obyek sengketa yang bias diselesaikan emlalui arbitrase diatur di dalam Pasal 1, Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 66 UU arbitrase.

Tidak semua sengketa yang timbul dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase, yang dapat diselesaikan lewat arbitrase hanyalah sengketa mengenai hak pribadi yang menurut hukum dapat dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang dapat diajukan penyelesaiannya melalui arbitrase berdasar UU Arbitrase. Dalam Pasal 1 UU Arbitrase dinyatakan bahwa obyek sengketa tersebut hanyalah dalam urusan bidang perdata, bahkan secara jelas Pasal 5 ayat (1) menyebutkan tidak semua sengketa perdata bisa diselesaiakn melalui jalur arbitrase, hanya dalam wilayah perdagangan saja yang bisa diselesaikan melalui arbitrase. Pasal 5 ayat (1) berbunyi “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”. Adapun penegasan dari ruang lingkup arbitrase itu sendiri terdapat dalam penjelasan Pasal 66 huruf b, bahwa yang dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan” adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang : Perniagaan, Perbankan, Keuangan, Penanaman Modal (Investasi), Industri, dan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Arbitrase dalam sengketa di bank syariah di Indonesia saat ini dilakukan oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Hal tersebut sejalan dengan amanat Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah.

Apabila para pihak yang bersengketa, yakni nasabah dan bank syariah bersepakat menggunakan jalur arbitrase (BASYARNAS) 196. Ibid sebagai resolusi sengketa di antara mereka, kesepakatan tersebut

197. Abu al Ainain Fatah Muhammad.1976. Al Qadha wa al Itsbat fi al Fiqh al Islami. Kairo, Mesir : Darr Al Fikr, dalam Said Agil Husein al Munawar. 1994. Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam,Dalam Arbitrase Islam di Indonesia. Jakarta. hal.84.

198. Wahbah Az Zuhaili. 2005. Al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, Juz IV . Damaskus Syria : Dar El Fikr. hal. 752

199. Muhammad Ibnu Farhum. 1031 H. Tabsirah al Hukkam fi Ushul al Qhadhiyah wa Manahij al Ahkam. Beirut, Libanon : Darr al Maktabah al Ilmiah. p.19 dalam Said Agil Husein al Munawar. 1994. Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam,Dalam Arbitrase Islam di Indonesia. Jakarta. hal.85.

200. Bandingkan dengan Pasal 66 huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dijelaskan bahwa sengketa-sengketa yang tidak dapat diselesaikan oleh lembaga arbitrase adalah sengketa-sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Ruang lingkup ekonomi yang mencakup perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, hak kekayaan intelektual dan sejenisnya termasuk yang bisa dilaksanakan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pelaksanannya.

harus dituangkan dalam kata perjanjian tertulis. 201 Perjanjian tertulis

a) Komitmen para pihak untuk melaksanakan perjanjian; ini disebut arbitration clause. Perumusan arbitration clause yang

b) Ruang Lingkup Arbitrase;

salah dapat menimbulkan akibat yang fatal, faktor kehati-hatian

c) Bentuk arbitrase apakah Ad Hoc atau Institusional. Bila memilih dalam merumuskan klausul tersebut harus sangat diperhatikan agar

Ad Hoc maka harus merinci metode penunjukan arbiter atau tidak merugikan para pihak.

majelis arbitrase (BASYARNAS ) ; Beberapa lembaga arbitrase telah menentukan tentang klausula

d) Aturan prosedur yang berlaku

standar yang digunakan oleh para pihak yang tentu saja dalam

e) Tempat dan bahasa yang digunakan prakteknya klausula standar tersebut dapat dimodifikasi menurut

f) Pilihan hukum substantif yang berlaku bagi arbitrase keinginan para pihak. Hal ini terjadi karena klausula standar yang

g) Klausul stabilisasi & hak kekebalan jika relevan dirumuskan belum tentu dapat mengcover semua persyaratan yang

Adanya klausul tersebut menjadikan suatu kompetensi absolut dapat memenuhi keinginan para pihak dalam perumusan kontrak

bagi BASYARNAS untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di arbitrase. 202 Dalam bukunya Munir Fuady memberikan contoh

bank syariah. Klausula arbitrase merupakan kontrak, kontrak yang sederhana arbitration clause: “Setiap sengketa yang terbit dari

disepakati oleh para pihak merupakan Undang-Undang bagi para perjanjian ini harus diselesaikan oleh arbitrase”. 203

pihak yang telah membuatnya. Sebagiamana diatur dalam Pasal 11 Klausula arbitrase syariah bisa dibuat bersama perjanjian pokok

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan atau di luar perjanjian pokok, merupakan dasar yang kuat yang dapat

Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu : digunakan oleh para pihak untuk mengajukan permohonan

Ayat (1) : “adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan penggunaan BASYARNAS bila terjadi persengketaan. Perjanjian

hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau arbitrase bersifat “accessoir”, artinya keberadaan perjanjian arbitrase

beda pendapat yang termuat dalam perjanjian ke Pengadilan hanya sebagai tambahan pada perjanjian pokok dan sama sekali tidak

Negeri”.

mempengaruhi pelaksanaan perjanjian pokoknya, dengan kata lain Ayat (2) : “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan tanpa adanya perjanjian arbitrase pun perjanjian pokoknya tetap

ikut campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang dapat dilaksanakan. 204 Isi perjanjian arbitrase syariah secara umum

telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu hampir mirip dengan perjanjian arbitrase konvensional, perjanjian

yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. arbitrase konvensional pada umumnya mencakup 205 :

Perjanjian arbitrase ada yang dibuat sebelum (pactum de compromitendo) atau setelah terjadinya sengketa (akta kompromis).

201. Lihat Pasal 1 ayat (1) UU Arbitrase yang menyatakan bahwa arbitrase didsarkan pada perjanjian tertulis.

a) Pactum de Compromitendo

202. Huala Adolf . 2002. Arbitrase Komersial Internasional Edisi Revisi. Jakarta : PT. Raja Grafindo

Pactum de Compromitendo ialah suatu perjanjian arbitrase

Persada. hal. 21

yang dibuat oleh para pihak sebelum terjadinya sengketa,

203. Munir Fuady. 2000. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis). Bandung : Citra Aditya Bakti. hal.123

dan biasanya dibuat bersamaan dengan perjanjian pokok.

204. Pada prinsipnya kontrak arbitrase merupakan suatu kontrak tambahan (accesoir), tetapi ada

Ketentuan ini didasarkan pada Pasal 7 Undang-Undang

beberapa sifat yang menyebabkan sifatnya sebagai accesoir tersebut tidak diikuti secara penuh, yaitu, jika perjanjian pokok batal maka kontrak arbitrase tidak menjadi batal (Pasal 10 huruf h

Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 mengisyaratkan sebagai

Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999).

berikut :

205. Gary Goodpaster, Felix O.Soebagyo, Fatimah Jatim dalam Rachmadi Usman. 2002. Hukum Arbitrase Nasional. Jakarta : PT.Gramedia Widiasarana Indonesia. hal. 27

“Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi Berkaitan dengan dua bentuk perjanjian arbitrase tersebut atau yang akan terjadi antar mereka untuk diselesaikan

Sudargo Gautama menyatakan pendapatnya bahwa melalui arbitrase”.

“Dalam praktek ternyata suatu perjanjian yang dibuat Karena pemilihan arbitrase sebelum terjadinya sengketa

sesudah terjadinya sengketa akan kecil sekali dilakukan dalam bentuk perjanjian, maka ketentuan hukum

kemungkinannya”. Lebih lanjut Sudargo menyatakan kontrak yang berlaku. Ketentuan hukum kontrak tersebut

sebagai berikut 207 :

bersumber dari Buku Ketiga Kitab Undang-Undang “Adalah sukar bahwa para pihak yang sudah terlibat dalam Hukum Perdata. Karena itu pula para pihak bebas untuk

sengketa, akan menyetujui untuk tidak menggugat memilih apakah merumuskan klausul arbitrase terpisah

dihadapan pengadilan biasa, tetapi memilih acara dalam kontrak tersendiri untuk itu, atau ditempatkan

penyelesaian secar arbitrase. Menurut pengalaman jarang menjadi bagian dari kontrak yang merupakan transaksi

sekali terjadi praktek seperti ini. Nyatanya para pihak yang pokok, sebagaimana lazimnya dalam praktek 206 .

sudah berada dalam suatu perselisihan, tidak dapat dibawa menuju permufakatan hukum untuk menyelesaikan

b) Akta Kompromis masalah mereka ini melalui jalan di luar pengadilan, yaitu Dalam pembuatan akta kompromis sebagai perjanjian

arbitrase. Demikian pula mediasi sukar dilaksanakan arbitrase harus memuat beberapa ketentuan sebagaimana

dalam praktek”.

tertuang dalam Pasal 9 Undang-Undang Arbitrase Nomor

30 Tahun 1999, yaitu :

2) Latar Belakang BASYARNAS

(1) Harus dibuat dalam bentuk tertulis. Penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank syariah melalui (2) Perjanjian tertulis tersebut harus ditandatangani oleh

arbitrase di Indonesia dilakukan oleh Badan Arbitrase Syariah para pihak. Nasional (BASYARNAS). Berdirinya BASYARNAS tidak serta (3) Jika para pihak tidak dapat menandatanganinya, harus

merta lahir begitu saja, proses panjang seiring dengan laju dinamisasi dibuat dalam bentuk akta notaris. ekonomi syariah di tanah air yang bukan hanya meningkatkan alur (4) Muatan wajib dari akta tertulis adalah sebagai berikut: transaksi bisnis, namun juga beresiko dengan munculnya sengketa, (a) nama lengkap pihak yang bersengketa ; maka kebutuhan akan lembaga yang dapat menyelesaikan (b) tempat tinggal para pihak ;

persengketaan yang terjadi dan prosesnya secara cepat merupakan (c) nama lengkap arbiter atau majelis arbitrase ;

suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Berharap pengadilan (d) tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase ;

menjadi satu-satunya jalur penyelesaian sengketa adalah tidak (e) tempat arbiter atau majelis arbitrase yang akan

mungkin seiring dengan perkembangan bisnis, maka gagasan jalur

arbitrase menjadi langkah solusi. Lembaga arbitrase telah (f) nama lengkap sekretaris ;

mengambil keputusan ;

berkembang semenjak sebelum kedatangan Agama Islam. Pada masa (g) jangka waktu penyelesaian sengketa ;

itu, meskipun belum terdapat sistem peradilan yang terorganisir, (h) pernyataan kesediaan dari arbiter ;

setiap ada perselisihan mengenai hak milik, waris dan hak-hak (i) pernyataan kesediaan dari para pihak yang

bersengketa untuk menanggung biaya arbitrase.

207. Sudargo Gautama.2004. Arbitrase Luar Negeri dan Pemakaian Hukum Indonesia. Bandung : 206. Munir Fuady. Op cit. hal. 118

Citra Aditya Bakti. hal. 37 Citra Aditya Bakti. hal. 37

(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk Di Indonesia, gagasan berdirinya lembaga arbitrase Islam

memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

diawali dengan bertemunya para pakar, cendekiawan muslim, praktisi hukum, para kyai dan ulama untuk bertukar pikiran tentang

Selain itu kekosongan hukum pada masa lalu sebenarnya juga perlunya lembaga arbitrase Islam di Indonesia. Pertemuan ini

sudah diantisipasi dengan Pasal II aturan Peralihan Undang-Undang dimotori Dewan Pimpinan MUI pada tanggal 22 April 1992.

Dasar 1945 yang memberikan peluang kepada formalisasi nilai Kesempatan yang diberikan oleh UU Perbankan tahun 1992 dalam

Islam. Dalam konteks ini eksistensi BAMUI juga mesti mengikuti memberikan peran terhadap eksistensi ekonomi syariah digunakan

aturan hukum dan perUndang-Undangan tentang arbitrase di oleh para pakar dan praktisi ekonomi syariah untuk mendirikan

Indonesia. Apabila disistemasikan ketika itu terdapat 3 dasar hukum BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) pada tanggal 21

prosedur arbitrase, yakni :

Oktober 1993 yang diprakarsai oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia).

a) Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata Berdirinya BAMUI merupakan bentuk partisipasi nyata umat Islam

(Reglement op de Rechtvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene

terhadap upaya pemerintah Republik Indonesia dalam mewujudkan Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 keadilan, dan memajukan perekonomian nasional, khusunya yang

Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura berbasis Islam. Kewenangan BAMUI ketika itu meliputi sengketa

(Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227). dalam wilayah semua lembaga keuangan syariah yang bersifat profit

b) Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- misalnya bank syariah, asuransi syariah, dan lain-lain. Adapun tujuan

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa dibentuk BAMUI adalah :

kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam

a) Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan,

Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun demikian, di industri, jasa dan lain-lain yang menurut hukum dan peraturan

dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) undang-undang tersebut perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang

disebutkan antara lain, bahwa: “Penyelesaian perkara di luar bersengketa, dan para pihak sepakat secara tertulis untuk

pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap menyerahkan penyelesaiannya kepada BAMUI.

diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah

b) Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para untuk eksekusi (executoir) dari pengadilan” pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai persoalan

berkenaan dengan suatu perjanjian.

c) Aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1968 Pemerintah Republik Indonesia yang merafikasi ICSID

Dinamisasi ekonomi Islam bukan tanpa respon hukum sama (International Convention on Settlement Investment Dispute) sekali, antisipasi hukum oleh para pendiri negara sudah dilakukan,

dan dengan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1981 merafikasi sehingga eksistensi hukum BAMUI bukan hanya didasarkan pada

New York Convention 1958.

UU Perbankan tahun 1992, lebih kuat dari itu Pasal 29 Undang- Pada masa awal berdirinya BAMUI, desain resolusi sengketa Undang Dasar 1945 mengatur, yaitu:

justru lebih mengupayakan terciptanya perdamaian, meski sebenarnya desain ini lebih tepat ada pada mediasi. Desain tersebut

208. NJ. Coulson. 1991. a History of Islamic Law.Edinburg: University Press. hal. 10

dilatarbelakangi prinsip kebaikan dalam muamallah. Namun dilatarbelakangi prinsip kebaikan dalam muamallah. Namun

(BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang gugatannya, mengajukan saksi-saksi atau mendengar pendapat para

semula merupakan yayasan menjadi ‘badan’ yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI. Hal ini berdasarkan

ahli dan sebelum mengajukan keterangannya ia harus disumpah pertimbangan agar Lembaga arbitrase syariah tidak memiliki

terlebih dahulu. persepsi yang sama atau dipersamakan dengan salah satu bank swasta Azas pemeriksaan sidang arbitrase bersifat tertutup dan azas

syariah ketika itu, Bank Muamalat Indonesia. ini tidak bersifat mutlak atau permanen, akan tetapi dapat

BASYARNAS adalah lembaga hakam (arbitrase syariah) satu- dikesampingkan jika atas persetujuan kedua belah pihak setuju

satunya di Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus sidang dilaksanakan terbuka untuk umum. Putusan BAMUI bersifat

sengketa muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, final dan mengikat bagi para pihak yang bersengketa dan wajib

keuangan, industri, jasa dan lain-lain. Secara Umum eksistensi mentaati putusan tersebut, para pihak harus segera mentaati dan

Basyarnas di Indonesia secara hukum dilandaskan pada ketentuan memenuhi pelaksanaannya. Apabila ada para pihak yang tidak

hukum positif, Al Qur’an, Al hadits dan Ijma’ Ulama. Hal tersebut melaksanakan itu secara suka rela, maka putusan itu dijalankan

didasarkan pada :

menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 637 dan 639 Rv, dan Dalam Pasal 56 ayat (2) UU Arbitrase bahwa para pihak berhak telah dicabut dengan ketentuan Pasal 61 UU Arbitrase yang

menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap sengketa menyebutkan : “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan

yang mungkin atau telah timbul antara para pihak. Dalam ayat ini arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah

termasuk dibenarkan memilih Hukum Islam sebagai dasar Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang

penyelesaian sengketanya. Undang-Undang Arbitrase menjelaskan bersengketa.” 209

tentang prosedur berperkara melalui arbitrase. Badan Arbitrase Perkembangan kemudian berkenaan dengan BAMUI,

Nasional Indonesia (BANI) yang diprakarsai oleh Kamar Dagang berdasarkan hasil pertemuan Majelis Ulama Indonesia dan pengurus

Indonesia (KADIN) dan BASYARNAS yang diprakarsai oleh MUI BAMUI, maka ditetapkan bahwa BAMUI diganti namanya menjadi

mempunyai kedudukan yang sama dalam menyelesaikan sengketa Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) melalui Surat

melalui arbitrase, hanya perbedaan terletak pada obyek syariah atau Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-09/MUI/XII/2003

tidak syariah.

tanggal 24 Desember 2003 210 menetapkan diantaranya perubahan

Al Quran Surat Al-Hujarat, ayat 9 :

209. Dengan diberlakukannya UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, melalui Pasal 81 UU Arbitrase secara tegas mencabut ketiga macam ketentuan tersebut

Apabila dua golongan orang yang beriman bertengkar, maka

terhitung sejak tanggal diundangkannya. Maka berarti segala ketentuan yang berhubungan dengan arbitrase, termasuk putusan arbitrase asing tunduk pada ketentuan UU No. 30 Tahun 1999,

damaikanlah mereka. Tetapi jika salah satu dari kedua golongan itu

meskipun secara lex spesialis ketentuan yang berhubungan dengan (pelaksanaan) arbitrase

berlaku aniaya/dholim terhadap yang lain, maka perangilah orang

asing telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1968 yang merupakan pengesahan atas persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antar-Negara dan Warga Negara Asing mengenai penanaman modal (International Centre for the Settlement of Investment Disputes

2. Mengubah bentuk badan hukum BAMUI dari Yayasan menjadi badan yang berada di bawah (ICSID), Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan New York Convention

MUI, dan merupakan perangkat organisasi MUI.

1958 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990. Lihat dalam Gunawan Widjaya dan 3. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai lembaga hakam, BASYARNAS bersifat Ahmad Yani. 2003. Hukum Arbitrase. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. hal. v-vi.

otonom dan independen.

210. Keputusan tersebut menetapkan : 4. Mengangkat Pengurus BASYARNAS dengan susunan pengurus yang baru. 1. Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase

Lihat dalam Heri Sunandar. Lahirnya Arbitrase Syariah. Jurnal Hukum Islam. Vol. VIII No. 6. Syariah Nasional (BASYARNAS).

Desember 2007. hal. 640 Desember 2007. hal. 640

Bukhari-Muslim) 211

dengan benar, sesungguhnya Allah itu cinta kepada orang-orang yang

d) Adapun ijma’ ulama sebagai sumber hukum Islam ketiga juga berlaku adil.

telah memperkuat keberadaan lembaga arbitrase untuk Al Quran Surat An Nisa, ayat 35 :

mengantisipasi persengketaan dalam berbagai aspek kehidupan. Penyelesaian sengketa dengan arbitrase setelah Rasulullah

“Dan jika kamu khawatir akan ada persengketaan antara wafat, banyak dilakukan pada masa sahabat dan ulama keduanya (suami-isteri), maka kirimlah seorang hakam dari

setelahnya. Penyelesaian sengketa dengan cara menyerahkan keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga

urusan kepada seseorang yang dinilai oleh para pihak memiliki perempuan. Dan jika kedua orang hakam itu bermaksud

keahlian. Keberadaan ijma’ sahabat atau ulama sangat dihargai mengadakan perbaikan (perdamaian), niscaya Allah akan

dan tidak ada yang menentangnya.

memberikan petunjuk kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Di dalam konteks keindonesiaan, ijma’ ulama ini banyak Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

diprakarsai oleh MUI. Pembentukan BAMUI maupun Basyarnas adalah bentuk kategori ijma’ ulama. Terlebih,

Hadits taqriri dalam riwayat An Nasa’i, tentang dialog Nabi keberadaan lembaga semacam ini memang telah menjadi Muhammad dengan Abu Syureikh mengapa ia dikenal juga sebagai

sebuah tuntutan seiring berkembangnya perekonomian dengan Abul Hakam, yang ternyata Abu Syureikh adalah orang yang disegani

sistem syariah di Indonesia. 212

oleh kaumnya dan ditaati putusannya dikarenakan piawainya dalam

3) Eksistensi BASYARNAS

mengislahkan dan atau memutus perselisihan yang terjadi diantara BASYARNAS berkedudukan di Jakarta dengan cabang atau orang-orang yang bersengketa. perwakilan di beberapa tempat, yakni : Riau, Surabaya, Lampung,

Dari Abi Hurairoh ra, mengabarkan bahwa Rasulullah saw Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, bersabda:

Kalimantan Selatan, Sulawesi tengah, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, “ada seorang laki-laki membeli pekarangan dari seseorang.

Cirebon, Semarang, Banten.. BASYARNAS sesuai dengan SK MUI Orang yang membeli pekarangan tersebut menemukan sebuah

No. Kep-144/MUI/III/2011 tentang Pedoman Dasar Basyarnas MUI guci yang berisikan emas. Si Pembeli berkata, “ Ambilah emas

periode 2010-2015 yang di tetapkan oleh MUI, Basyarnas adalah yang ada pada saya, aku hanya membeli tanahnya saja.”Jawab

lembaga hakam (arbitrase syariah) yang didirikan atas prakarsa MUI penjual tanah, “aku telah menjual kepadamu tanah dan

dan merupakan perangkat organisasi MUI yang bertugas barang-barang yang terdapat di dalamnya.” Kedua orang

memberikan penyelesaian yanga dil dan cepat dalam sengketa- tersebut kemudian bertahkim (wasit-arbiter) kepada seseorang.

sengketa muamalat/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, Arbitrator berkata, “apakah kamu berdua mempunyai anak

keuangan, industri, jasa dan lain-lain sesuai dengan ketentuan fatwa- ?”. Salah seoarang yang bersengketa menjawab, “ Ya aku

fatwa MUI dan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Basyarnas memiliki seorang anak laki-laki.” Dan yang lainnya menjawab,

adalah lembaga pengadilan yang bebas, otonom dan independen, “aku memiliki seorang anak perempuan.” Lalu hakam tersebut

tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan dan pihak-pihak manapun. berkata kawinkanlah laki-laki itu dengan anak perempuan itu

dan biayailah kedua mempelai dengan emas itu.”. Dan kedua 211. Fathurrahman.1977. Hadist-Hadist Tentang Peradilan Agama..Jakarta: Bulan Bintang. hal. 209

212. Rahmat Rosyadi dan Ngatino. 2002. Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif. Bandung:

PT. Citra Aditya Bakti. hal. 48-49

Obyek sengketa dalam BASYARNAS adalah obyek sengketa kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan sebagaimana diatur di dalam UU Arbitrase. Kewenangan

Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui BASYARNAS adalah dalam penyelesaian sengketa syariah, oleh

musyawarah”. 214

karena itu konteks yang dimaksud dalam Pasal 1 butir 1, Pasal 5 BASYARNAS meskipun bersifat otonom dan anti intervensi, dan Penjelasan Pasal 66 UU Arbitrase tersebut adalah ketika obyek

namun selayaknya lembaga arbitrase yang lain (BANI : Badan tersebut berkenaan dengan syariah. Selain sebagai lembaga resolusi

Arbitrase Nasional Indonesia, BAPMI : Badan Arbitrase Pasa Modal sengketa dalam obyek sebagaimana dimaksud, BASYARNAS juga

Indonesia) dalam hal pelaksanaan putusannya masih bergantung dapat memberikan suatu rekomendasi atau pendapat hukum (binded

pada PN. Putusan arbitrase yang telah dijatuhkan memang berlaku advice), yaitu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu persoalan

mengikat bagi para pihak yang bersengketa, namun demikian tertentu yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian.

pelaksanaan putusan tersebut dilakukan secara sukarela. Dalam hal Rekomendasi tersebut didasarkan pada permintaan para pihak yang

salah satu pihak tidak mau melaksanakan putusan tersebut, maka mengadakan perjanjian untuk diselesaikan. 213

untuk memaksakan putusan kepada pihak yang tidak mau Eksistensi BASYARNAS sebagai lembaga penyelesai sengketa

melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan harus harus didasarkan pada perjanjian tertulis para pihak yang

didaftarkan ke PN dimana putusan tersebut dijatuhkan, sebagai syarat bersengketa. Hal tersebut selain di dasarkan pada Pasal 1 butir 1

untuk memperoleh kekuatan eksekutorial. Peranan lain dari UU Arbitrase, di dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf c UU

pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase Perbankan Syariah juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan

antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam “penyelesaian sengketa sesuai dengan akad” adalah salah satunya

hal para pihak tidak ada kesepakatan (Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) penyelesaian melalui Badan Arbitrase Syari’ah atau lembaga

UU Arbitrase). 215

arbitrase lain. Perjanjian tertulis tentang penyelesaian sengketa BASYARNAS mempunyai peraturan prosedur yang memuat melalui BASYARNAS harus jelas dalam klausulanya, baik

ketentuan-ketentuan antara lain : permohonan untuk mengadakan tergabung dalam perjanjian pokoknya maupun terpisah. Kejelasan

arbitrase, penetapan arbiter, acara pemeriksaan, perdamaian, klausula ini penting selain sebagai landasan bagi Basyarnas sebagai

pembuktian dan saksi-saksi, berakhirnya pemeriksaan, pengambilan pilihan penyelesaian sengketa, juga apabila tidak dicantumkan

putusan, perbaikan putusan, pembatalan putusan, pendaftaran klausula demikian, jika terjadi sengketa bisa saja pihak yang

putusan, pelaksanaan putusan (eksekusi), biaya arbitrase dirugikan langsung menggugat melalui jalur litigasi, namun jika

diselesaikan melalui BASYARNAS keduanya harus sepakat secara

214. Lihat Fatwa No. 05 tentang Jual Beli Saham, Fatwa No. 06 tentang Jual Beli Istishna’, Fatwa No.

tertulis terlebih dahulu bahwa penyelesaian sengketa mereka akan

07 tentang Pembiayaan Mudharabah, Fatwa No. 08 tentang Pembiayaan Musyarakah, dan seterusnya

diselesaikan melalui BASYARNAS. Penjelasan tersebut sesuai pula

215. Pasal 14 ayat (3) dan (4) :

dengan fatwa DSN-MUI perihal hubungan muamalah (perdata)

Apabila dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah termohon menerima usul

senantiasa diakhiri dengan ketentuan : “Jika salah satu pihak tidak pemohon sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) para pihak tidak berhasil menentukan

arbiter tunggal, atas permohonan dari salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat

menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara

mengangkat arbiter tunggal.

Ketua Pengadilan Negeri akan mengangkat arbiter tunggal berdasarkan daftar nama yang disampaikan oleh para pihak, atau yang diperoleh dari organisasi atau lembaga arbitrase

213. Rachmadi Usman. 2002. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia. Bandung: PT. Citra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dengan memperhatikan baik rekomendasi maupun Aditya Bakti. hal. 105.

keberatan yang diajukan oleh para pihak terhadap orang yang bersangkutan

4) Prosedur BASYARNAS diterimanya salinan surat permohonan dan surat panggilan. Ketentuan mengenai prosedur dalam penanganan sengketa di

Segera setelah diterimanya jawaban dari Termohon, atas BASYARNAS di dasarkan pada UU Arbitrase. 216 Sebagai gambaran

perintah Arbiter tunggal atau Ketua Arbiter Majelis, salinan dari jawaban tersebut diserahkan kepada Pemohon dan

tentang peraturan dan prosedur Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) adalah sebagai berikut :

bersamaan dengan itu memerintahkan kepada para pihak untuk menghadap di muka sidang Arbitrase pada tanggal yang

a) Pengajuan Permohonan ditetapkan, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) Surat permohonan untuk mengadakan arbitrase oleh sekretaris

hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya perintah itu, dengan akan didafatarakan dalam Register BASYARNAS. Dalam

pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada kuasa surat permohonannya tersebut harus memuat sekurang-

hukumnya masing-masing dengan surat kuasa khusus. kurangnya nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat

d) Pemeriksaan persidangan Arbitrase dilakukan di tempat kedudukan kedua belah pihak, suatu uraian singkat tentang

kedudukan BASYARNAS (di kantor BASYARNAS Jl. Dempo salinan naskah perjanjian Arbitrasenya dan suatu surat kuasa

No. 19 Pegangsaan, Jakarta Pusat), kecuali ada persetujuan dari khusus jika diajukan oleh kuasa hukum.

kedua belah pihak, pemeriksaan dapat dilakukan di tempat lain.

b) Selanjutnya, surat permohonan itu akan diperiksa oleh

e) Selama proses dan pada setiap tahap pemeriksaan berlangsung BASYARNAS, untuk menentukan apakah obyek sengketa yang

Arbiter harus memberi perlakuan dan kesempatan yang sama diajukan dalam surat permohonan tersebut masuk dalam

sepenuhnya terhadap para pihak (equality before the law) untuk kompetensi absolute BASYARNAS atau tidak. Apabila

membela dan mempertahankan kepentingan yang disengketa- klausula dalam arbitrase dalam perjanjian para pihak tersebut

kan. Arbiter tunggal atau Majelis, baik atas pendapat sendiri bukan termasuk dalam kompetensi absolute BASYARNAS

atau para pihak dapat melakukan pemeriksaan dengan men- maka permohonan tersebut tidak dapat diterima (niet

dengar keterangan saksi, termasuk saksi ahli dan pemeriksaan outvankelijk verklaard), sebaliknya jika masuk dalam

secara lisan di antara para pihak, setiap bukti atau dokumen kompetensi absolute maka Ketua BASYARNAS segera

yang disampaikan salah satu pihak kepada Arbiter Tunggal atau menetapkan dan menunjuk arbiter tunggal atau majelis yang

Majelis salinannya harus disampaikan kepada pihak lawan. akan memeriksa dan memutus sengketa berdasarkan berat

Pemeriksaan dibolehkan secara lisan. Tahap pemeriksaan ringannya sengketa. Arbiter yang ditunjuk tersebut dapat dipilih

dimulai dari jawab-menjawab (replik-duplik), pembuktian dan dari arbiter atau menunjuk seorang ahli dalam bidang khusus

putusan dilakukan berdasarkan kebijakan Arbiter. yang diperlukan untuk menjadi arbiter, karena pemeriksaanya

f) Dalam jawabannya, atau paling lambat pada sidang pertama memerlukan suatu keahlian khusus.

pemeriksaan, Termohon dapat mengajukan suatu tuntutan

c) Arbiter yang ditunjuk (majelis atau tunggal) memerintahkan balasan (reconventie). Terhadap bantahan yang diajukan untuk menyampaikan salinan surat permohonan kepada

Termohon, Pemohon dapat mengajukan jawaban (replik) yang Termohon disertai perintah untuk menanggapi permohonan

dibarengi dengan tambahan tuntutan (Additional Claim) asal tersebut dan memberikan jawabannya secara tertulis selambat-

hal itu mempunyai hubungan yang sangat erat langsung dengan lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak

pokok perkara serta termasuk dalam kompetensi absolute

BASYARNAS.

216. Sementara itu menurut Rifyal Ka’bah di dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah

BASYARNAS menggunakan dua hukum yang berbeda, yakni hukum Islam seperti yang diformulasikan oleh DSN (Dewan Syari’ah Nasional) dan pasal-pasal dalam KUHPerdata. Rifyal

g) Terhadap semua putusan arbiter (tunggal atau majelis) harus

Ka’bah.Op cit. hal. 20. Secara kekinian ketentuan KUH Perdata tidak berjalan sendirian, saat ini

diupayakan terlebih dahulu tahap perdamaian. Apabila tewaran

sudah terdapat beberapa ketentuan dalam lapangan ekonomi syariah, salah satu diantaranya adalah UU Perbankan Syariah

damai berhasil, maka akan dibuatkan akta perdamaian yang damai berhasil, maka akan dibuatkan akta perdamaian yang

harus bahasa yang jelas, tidak berliku-liku. Pada prinsipnya suatu pihak menghendaki proses ataupun hasil putusan tidak harus

putusan arbitrase mempunyai isi yang tidak jauh berbeda dengan berlandaskan pada hukum positif, maka hakim arbiter bisa isi suatu putusan Pengadilan Negeri. 219 Sementara Pasal 54 UU memutuskan sengketa tersebut berlandaskan kepada keadilan

dan kepatutan semata-mata (et aequo et bono). Hal tersebut Arbitrase secara rinci memuat syarat minimum yang harus ada dalam didasarkan pada Pasal 56 ayat (1) UU Arbitrase yang memberi

putusan arbitrase, yaitu sebagai berikut : kewenangan untuk memutus secara “keadilan dan kepatutan”

a) Putusan haruslah mempunyai irah-irah “DEMI KEADILAN dan ini haruslah diartikan bahwa jika hal tersebut memang

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. dimintakan dengan tegas oleh para pihak. 217

b) Nama dan alamat para pihak.

Tidak ada definisi baku mengenai putusan arbitrase

c) Uraian singkat duduk sengketa.

(BASYARNAS). Definisi putusan mengacu pada ketentuan dalam

d) Pendirian para pihak.

hukum acara perdata. Dalam hukum acara perdata Indonesia tidak

e) Nama dan alamat arbiter.

ada pembedaan definisi antara putusan hakim pengadilan negeri

f) Pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase (konvensional), pengadilan agama (PA), atau putusan arbitrase.

mengenai keseluruhan sengketa.

Putusan adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat

g) Pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal ada perbedaan pendapat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan

antar arbiter, majelis arbitrase yang memutus perkara yang dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara

bersangkutan.

atau sengketa antara para pihak 218 . Diucapkannya putusan oleh hakim

h) Amar putusan.

memiliki definisi bukan hanya putusan yang diucapkan, melainkan

i) Tempat dan tanggal putusan.

juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian j) Tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase. diucapkan oleh hakim di muka persidangan.

Apabila pemeriksaan telah dianggap cukup maka arbiter Di dalam putusan arbitrase syariah (BASYARNAS) tidak ada

(tunggal atau majelis) akan membuat keputusan, namun demikian perbedaan dengan putusan arbitrase konvensional karena

tidak menutup kemungkinan dapat membuka sekali lagi pemeriksaan operasionalisasi BASYARNAS harus didasarkan pula pada UU

sebelum putusan dijatuhkan bila dianggap perlu. Arbitrase dan belum memiliki UU Arbitrase Syariah tersendiri. Suatu

Putusan diambil dan diputuskan dalam suatu sidang yang putusan arbitrase haruslah memuat data, analisis, kesimpulan dan

dihadiri kedua belah pihak. Bila para pihak telah dipanggil secara amar putusan yang sejelas mungkin, dan putusannya tidak boleh

patut, tetapi jika tidak ada yang hadir, maka putusan tetap diucapkan.

Seluruh proses pemeriksaan sampai diucapkannya putusan diselesai-

217. Lihat pula penjelasan Pasal 56 ayat (1) UU Arbitrase :

“ Pada dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian untuk menentukan bahwa arbiter dalam

kan selambat-lambatnya sebelum jangka waktu 180 hari, terhitung

memutus perkara wajib berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai dengan rasa keadilan dan kepatuhan (ex aequo et bono). Dalam hal arbiter diberi kebebasan untuk memberikan putusan

sejak dipanggilnya pertama kali para pihak untuk menghadiri sidang

berdasarkan keadilan dan kepatuhan, maka peraturan perundang-undangan dapat

pertama pemeriksaan.

dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa (dwingende regels) harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh arbiter. Dalam hal arbiter tidak diberi kewenangan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatuhan, maka arbiter hanya dapat memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan oleh hakim.”

218. Sudikno Mertokusumo. 2002. Op cit. hal. :175

219. Munir Fuady. 2000. Op. cit. hal. : 99 219. Munir Fuady. 2000. Op. cit. hal. : 99

Putusan Arbitrase tersebut harus memuat argumentasi, kecuali

e) Putusan jauh menyimpang dari ketentuan pokok dan putusan Arbiter memutus berdasar kepatutan dan keahlian sesuai dengan

tidak memuat alasan-alasan yang menjadi landasan pengambilan putusan. ketentuan hukum yang berlaku bagi perjanjiaan yang menimbulkan 221

sengketa dan disepakati para pihak. Putusannya bersifat final dan Lebih rinci tentang upaya pembatalan putusan BASYARNAS mengikat para pihak yang bersengketa dan para pihak wajib mentaati

diatur berdasar Ketentuan-ketentuan Pasal 70 – 72 yang termuat di seta memenuhi secara suka rela seperti yang disebut di atas. Apabila

dalam Bab VII UU Arbitrase :

putusan tidak dipenuhi secara suka rela, maka putusan dijalankan

Pasal 70

menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 637 RV dan Pasal 639 Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan RV. 220

permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga Para hakim arbitrase (arbiter) adalah orang yang profesional

mengandung unsur-unsur sebagai berikut : dalam hal obyek perkara yang disengketakan, namun demikian

(1) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah memungkinkan ada perbedaan di antara para hakim arbitrase

putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakanpalsu; (arbiter) dalam membuat putusan. Untuk itu berdasar Pasal 54 ayat

(2) setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat (1) UU Arbitrase memungkinkan para hakim arbitrase untuk voting,

menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau Pasal 54 ayat (1) UU arbitrase menyatakan bahwa dalam hal terjadi

(3) putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh perbedaan pendapat antara arbiter tersebut, pendapat masing-masing

salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. arbiter yang saling berbeda tersebut harus disebutkan secara eksplisit

Pasal 71

dalam putusan yang bersangkutan. Permohonan pembatalan putusan arbitrasi harus diajukan secara Walaupun putusan arbiter itu bersifat final, namun Peraturan

tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Prosedur BASYARNAS memberikan kemungkinan kepada salah

hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera satu pihak untuk mengajukan secara tertulis permintaan pembatalan

Pengadilan Negeri. Memang dengan lahirnya UU No 3 tahun 2006 putusan arbitrase. Pengajuan pembatalan putusan paling lambat

tentang Pengadilan Agama diatur mengenai pendaftaran pustusan dalam waktu 60 (enam puluh) hari dari tanggal putusan diterima,

arbitrase syariah melalui Pengadilan Agama, 222 tetapi sejak lahirnya kecuali mengenai alasan penyelewengan dan hal itu berlaku paling

UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kewenangan lama dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak putusan dijatuhkan.

tersebut dikembalikan ke Pengadilan Negeri sebagai mana disebut Permintaan pembatalan putusan hanya dapat dilakukan berdasarkan

dalam UU Arbitrase, yakni :

salah satu alasan sebagai berikut:

Pasal 72

a) Penunjukan Arbiter Tunggal atau Majelis tidak sesuai dengan (1) Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan ketentuan,

kepada Ketua Pengadilan Negeri.

b) Putusan melampaui batas kewenangan BASYARNAS,

c) Putusan melebihi yang diminta para pihak,

221. Ibid. 222. Meskipun ini sebenarnya juga tarik ulur, karena pada saat yang sama UU Arbitrase mengatur

pendaftaran putusan arbitrase (semua arbitrase ; konvensional maupun syariah) harus didaftarkan 220. Dadan Muttaqien. Op cit. hal. 65.

melalui Pengadilan Negeri setempat.

(2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) landasan hukumnya. Demikian juga dalam ekonomi syariah yang dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut

mendasarkan kegiatannya ke dalam prinsip syariah.Ketentuan akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.

tersebut terlihat sederhana, namun demikian terdapat berbagai (3) Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua

contradiction in terminis dalam pelaksanaannya, terkait dengan Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)

peraturan perundang-undangan yang lainnya. hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

diterima. Di dalam Pasal 49 UUPA menjelaskan bahwa segala sengketa (4) Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan

ekonomi syariah PA memiliki kompetensi absolute, namun di dalam permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus

Pasal 55 UU Perbankan Syariah terjadi keambiguan terkait dalam tingkat pertama dan terakhir.

diperbolehkannya PA maupun PN dalam menangani sengketa (5) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan

ekonomi syariah. Begitu pula sebenarnya Mahkamah Agung sudah permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)

mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.8 Tahun dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah

2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. SEMA permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.

tersebut dimaksudkan untuk memberi petunjuk teknis sekaligus Putusan BASYARNAS bersifat final dan binding. Berdasarkan

menjawab polemik yang selama ini merebak di kalangan akademisi ketentuan Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999 menyebutkan: “Putusan

dan praktisi hukum mengenai pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan

Badan Arbitrase Syariah dan pengadilan mana yang berwenang untuk mengikat para pihak”. Di dalam penjelasan dijelaskan bahwa putusan

melakukan eksekusi tersebut. SEMA No.8 Tahun 2008 Angka 4 arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat

menyebutkan:”Dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali. Kemudian Pasal

dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan

61 menyebutkan: berdasarkan perintah ketua Pengadilan yang berwenang atas “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase

permohonan salah satu pihak yang bersengketa, dan oleh karena secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua

sesuai dengan Pasal 49 UU No.7 Tahun 1989 sebagaimana telah pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang

diubah dengan UU No.3 Tahun 2006, Pengadilan Agama juga bersengketa”.

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Berdasar ketentuan tersebut maka putusan arbitrase memiliki

perkara di bidang ekonomi syariah, maka ketua Pengadilan Agama- kekuatan eksekutorial, bahkan imperative. Daya paksa ini dibuktikan

lah yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan Badan dengan pendaftaran putusan ke Pengadilan Negeri setempat,

Arbitrase Syariah”. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa sehingga bila eksekusi tidak dapat dilakukans ecara sukarela petugas

Pengadilan yang berwenang untuk melaksanakan eksekusi atas PN yang akan melakukan eksekusi putusan BASYARNAS tersebut.

putusan Badan Arbitrase Syariah adalah PA. Sebenarnya rezim UU Arbitrase bukan didasarkan pada dinamisasi

Namun demikian berdasar UU no 48 tahun 2009 tentang ekonomi syariah, namun didasarkan pada dinamisasi ekonomi

Kekuasaan Kehakiman, kewenangan PA dalam melakukan eksekusi kovensional, untuk itu ruh mengenai arbitrase syariah kurang di

putusan arbitrase tersebut kembali dicabut. Di dalam UU Kekuasaan angkat dalaam UU Arbitrase. Substansi penyelesaian sengketa

Kehakiman tahun 2009 kewenangan eksekusi putusan arbitrase syariah adalah ingin meletakkan syariah/hukum agama sebagai

dilakukan oleh Pengadilan Negeri. Mengenai mekanisme dilakukan oleh Pengadilan Negeri. Mengenai mekanisme

Syariah.

1) Dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal Ada 7 (tujuh) faktor yang selama ini menghambat perkembang- putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan

an lembaga arbitrase, yaitu: 1) Ketentuan hukum yang mengatur arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya

masalah arbitrase belum banyak diketahui dan dipahami oleh para kepada panitera pengadilan Pengadilan Negeri; pelaku bisnis; 2) Belum adanya budaya arbitration minded di

2) Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat kalangan pengusaha di Indonesia; 3) Belum banyak diantara

1 dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh panitera pengadilan

kalangan pengusaha yang berani membawa sengketa mereka keluar negeri atau arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan

dari jalur ajudikasi publik (baca : peradilan), karena selama ini catatan tersebut merupakan akta pendaftaran;

mereka belum mengetahui keberhasilan arbitrase atau BANI dalam

3) Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar menangani sengketa bisnis ; 4) Profesionalitas dan kredibilitas asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada

arbiter, baik secara pribadi maupun dalam menyelesaikan sengketa panitera pengadilan negeri;

di Indonesia belum banyak diketehui oleh para pelaku bisnis; 5)

4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Belum banyak konsultan hukum di Indonesia yang mengarahkan ayat 1, berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan;

kliennya untuk menyelesaikan snegketa melalui lembaga arbitrase

5) Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta ; 6) Kurangnya itikad baik para pihak dalam melakukan resolusi pendaftaran dibebankan kepada para pihak.

sengketa melalui lembaga arbitrase ; dan 7) Kurangnya pemahaman Berdasarkan ketentuan tersebut, putusan BASYARNAS pada

hakim-hakim tentang masalah arbitrase, sehingga seringkali dasarnya baru dapat dilaksanakan setelah tenggat waktu 30 hari

sengketa yang berdasarkan klausul arbitrase tetap saja pengadilan terhitung sejak tanggal putusan diucapkan. Dalam hal ini, arbiter

menanganinya. 224 Menurut penulis hambatan tersebut meliputi ; atau kuasanya mendaftarkan permohonan pelaksanaan eksekusi

arbitrase kurang dikenal, intervensi pengadilan, perilaku hakim yang kepada panitera Pengadilan Negeri 223 dimana obyek sengketa itu

menyimpangi kewenangan absolut lembaga arbitrase,problematik berada atau yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal

peraturan dan kurangnya itikad baik. Tidak sedikit masyarakat yang termohon dan membayar biaya perkara. Setelah permohonan

kurang mengerti, termasuk kalalangan masyarakat bisnis. Mengenai eksekusi didaftar, maka Ketua Pengadilan Negeri melaksanakan

arbitrase. Pemahaman masyarakat terhadap Arbitrase bukan menjadi sidang teguran (aan maning) dengan menghadirkan kedua belah

jaminan bahwa Arbitrase akan menjadi salah satu solusi bagi pihak. Dalam sidang tersebut, Ketua Pengadilan Negeri

sengketa bisnis yang paling populer. Sering kali terjadi kesalahan mengupayakan agar tergugat bersedia melaksanakan putusan secara

pemahaman terhadap eksistensi arbitrase sebagai resolusi sengketa sukarela. Dalam pemeriksaan ini, Ketua Pengadilan atau majelis

bisnis.

Persepsi tersebut antara lain adalah sebagian pelaku bisnis

223. Berdasarkan UU Perbankan Syariah, permohonan pelaksanaan eksekusi putusan BASYARNAS didaftarkan di PA, bahkan dikuatkan dengan PERMA No 2 tahun 2008, namun demikian hal

menilai bahwa lembaga arbitrase adalah model resolusi sengketa

tersebut menimbulkan perdebatan karena berdasar ketentuan Pasal 61 UU Arbitrase dinyatakan bahwa permohonan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase didaftarkan di PN. Kontradiksi ini

untuk kalangan kelas atas. Yakni hanya akan memeriksa dan

berakhir dengan keluarnya UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menarik kembali kewenangan PA dalam putusan Basyarnas dan mengembalikan menjadi kompetensi PN.

224. Adi Sulistiyono. 2007.op cit. hal. 143-144 224. Adi Sulistiyono. 2007.op cit. hal. 143-144

kekuatan eksekutorial secara otomatis. Putusan tersebut harus Arbitrase belum banyak diketahui oleh masyarakat. Hal tersebut

didaftarkan dulu ke PN (Pengadilan Negeri) setempat. Pendaftaran tercermin dari masih sedikitnya jumlah sengketa yang ditangani oleh

Putusan Arbitrase (nasional) ke Pengadilan Negeri telah diatur dalam BANI. BANI sebagai lembaga arbitrase terbesar di Indonesia belum

ketentuan Pasal 59 – 64 UU Arbitrase. Seddangkan untuk putusan mampu mempblikasikan dirinya secara baik dan luas sebagai

lembaga arbitrase asing diatur dalam Pasal 65-69 UU Arbitrase. lembaga arbitrase untuk resolusi sengketa bisnis. Meskipun kelahiran

Intervensi kedua adalah dalam proses pembatalan putusan BANI diprakarsai oleh KADIN, namun banyak para pelaku usaha

arbitrase. Pembatalan putusan arbitrase diatur dalam Pasal 70 UU yang belum mengetahuinya. Selama ini BANI memang kurang

Arbitrase. Pembatalan putusan ini diajukan kepada Ketua intensif dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat perihal

Pengadilan Negeri dalam hal sebagai berikut (Pasal 70 Undang- fungsi dan kedudukannya. Ketidaktahuan dan ketidakpahaman

Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999) : masyarakat bisnis terhadap arbitrase selain eksistensi kelembagaan

a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah yang tidak cukup dikenal (misalnya BANI), para arbiter yang ada

putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu ; dalam lembaga arbitrase pun juga tidak cukup dikenal mengenai

b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat sepak terjangnya dalam menyelesaikan sengketa bisnis, sehingga

menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; mengenai keahlian, profesionalitas dan kredibilitas arbiter yang

c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh “mungkin” lebih baik dibanding hakim menjadi kurang diketahui

salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. oleh para pelaku bisnis. Jauh sebelum kedua hal tersebut,

Penolakan pelaksanaan Putusan Arbitrase asing didasarkan pada ketidakpopuleran arbitrase di Indonesia disebabkan oleh ketentuan

dua hal yakni pelanggaran pada UU tentang obyek arbitrase dan mengenai arbitrase yakni, UU Arbitrase yang kurang diketahui dan

karena alasan ketertiban umum. Untuk alasan pertama tidak pernah dipahami oleh kalangan bisnis. Karakteristik arbitrase yang memiliki

terjadi karena sudah terjadi kesesuaian anatar ketentuan internasional berbagai keunggulan dalam melakukan resolusi sengketa bisnis

mengenai arbitrase dan UU Arbitrase, tapi untuk alasan ketertiban sebagaimana dituangkan dalam UU Arbitrase menjadi tidak berdaya

umum sering dijadikan tameng untuk menolak pelaksanaan putusan guna karena ketidakpopuleran aturan mengenai arbitrase.

arbitrase asing. Sebagai contoh adalah dalam kasus Bankers Trust Intervensi Pengadilan dalam proses arbitrase juga menjadi

Company dan Bankers Trust International PLC (BT) melawan PT hambatan, intervensi tersebut dimungkinkan dimungkinkan dalam

Mayora Indah Tbk (Mayora), PN Jakarta Selatan tetap menerima tiga hal, yakni pendaftaran dan pembatalan putusan arbitrase serta

gugatan Mayora (walaupun ada klausul arbitrase didalamnya) dan penolakan putusan arbitrase asing. Pada prinsipnya pelaksanaan

menjatuhkan putusan No.46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999, Putusan Arbitrase bersifat sukarela dan mengikat para pihak, namun

yang memenangkan Mayora. Ketua PN Jakarta Pusat dalam putusan jika ternyata ada salah satu pihak yang tidak mau melaksanakan

No.001 dan 002/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST juncto 02/Pdt.P/ secara sukarela maka atas permohonan para pihak (pihak yang

2000/PNJKT.PST, tanggal 3 Februari 2000, menolak permohonan menang) maka Putusan tersebut akan didaftarkan di Pengadilan

BT bagi pelaksanaan putusan Arbitrase London, dengan alasan Negeri untuk memperoleh exequatur (kekuatan eksekutorial).

pelanggaran ketertiban umum, (bahwa karena perkara tersebut masih Karakteristik putusan lembaga arbitrase adalah bersifat final and

dalam proses peradilan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap dalam proses peradilan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap

Ketertiban umum dijadikan dalih untuk menolak permohonan arbitrase. Ketertiban umum sendiri adalah suatu sendi-sendi dan nilai-nilai asasi dari hukum dan kepentingan nasional suatu negara. Pada suatu ketika ketertiban umum dapat diartikan sebagai “tata tertib” kehidupan suatu masyarakat yang meliputi kehidupan kesadaran hukum, moral dan agama. Selain itu, dapat juga diartikan sebagai nilai yang berkaitan dengan budaya dan rasa kepatutan dan keadilan suatu bangsa.

Undang-Undang Arbitrase pada bagian penjelasannya tidak mendefinisikan atau membatasi ketertiban umum. Akibatnya, definisi ketertiban umum dijadikan legitimasi bagi salah satu pihak untuk meminta pembatalan eksekusi dari Pengadilan. Sulit untuk mengklasifikasikan putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum karena hal tersebut merupakan keputusan dari pengadilan dan akan diputuskan secara kasus per kasus. ketertiban umum, itu sendiri mengandung batasan yang sangat luas, multitafsir dan dapat berubah menurut waktu dan tempat. Ketertiban umum juga ada yang bermakna internal (internal public order) dan ada juga yang menyangkut international order. Ketertiban umum internal adalah ketentuan-ketentuan yang yang hanya membatasi perseorangan sedangkan ketertiban umum eksternal adalah kaidah- kaidah yang bertujuan untuk melindungi kesejahteraan negara dalam pengertian seluruhnya. Namun dalam implementasinya, hal ini tidak terlalu mudah dibedakan. Setiap negara memiliki aturan, kaidah dan ukuran ketertiban umumnya sendiri. Keputusan arbitrase asing yang bertentangan dengan ketertiban umum dapat dibatalkan dan tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Alasan kepentingan umum dapat dipakai sebagai alasan pembatalan terhadap suatu putusan arbitrase.

Secara substansi, peraturan arbitrase juga menyisakan masalah. Upaya memasukkan semua aspek arbitrase ke dalam satu undang-

undang arbitrase nasional dapat mendatangkan banyak persoalan dan membingungkan, baik mengenai letak pengaturannya maupun materinya. Tentang letak pengaturan, misalnya tentang “prinsip pembatasan intervensi pengadilan” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2), yaitu: “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam ha1-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.” Ayat (2) tersebut tidak berhubungan dengan ayat lainnya, yaitu Pasal 11 ayat (1) yang mengatur mengenai “perjanjian arbitrase”, serta diletakkan pada bab yang tidak ada kaitannya, yaitu Bab III tentang syarat arbitrase, pengangkatan arbiter, dan hak ingkar. Dalam Model Law, prinsip ini (limited court involvement) diletakkan pada bagian Ketentuan Umum (General Provisions). Pada saat yang lain pula UU Arbitrase masih mengijinkan peran pengadilan untuk terlibat dalam proses resolusi sengketa di lembaga arbitrase. Peran pengadilan juga penting dalam hal penunjukkan arbiter atau majelis arbitrase bisa dilihat dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2) dan Pasal 19 ayat (4) UU Arbitrase. Pasal 59 ayat (1) mengenai pendaftaran putusan arbitrase, Pasal 61 – Pasal 67 tentang eksekusi putusan oleh pengadilan. Untuk permohonan eksekusi memang sudah tepat, tetapi begitu terbukanya celah masuk intervensi pengadilan sebagaimana disebut dalam Pasal

68, membuka peluang bagi hakim pengadilan untuk terlibat pemeriksaan substantif, hal ini yang menyebabkan banyak kasus penolakan putusan arbitrase asing di Indonesia dan bisa berujung pada public distrust. Ketiadaan batas waktu pendaftaran putusan arbitrase asing juga menimbulkan problematik hukum tersendiri.

Kultur para pelaku bisnis di Indonesia masih memepercayakan resolusi sengketa mereka pada lembaga ajudikasi publik yang secara konvensional dan turun temurun digunakan sebagai jalur resolusi sengketa mereka. Masyarakat masih kurang percaya terhadap eksistensi lembaga arbitrase sebagai model resolusi sengketa bisnis. Sebagian pelaku bisnis masih menganggap lembaga arbitrase tak ubahnya dengan badan pengadilan. Sebagian mereka tidak percaya Kultur para pelaku bisnis di Indonesia masih memepercayakan resolusi sengketa mereka pada lembaga ajudikasi publik yang secara konvensional dan turun temurun digunakan sebagai jalur resolusi sengketa mereka. Masyarakat masih kurang percaya terhadap eksistensi lembaga arbitrase sebagai model resolusi sengketa bisnis. Sebagian pelaku bisnis masih menganggap lembaga arbitrase tak ubahnya dengan badan pengadilan. Sebagian mereka tidak percaya

Kekurangpercayaan masyarakat tersebut beralasan dan ternyata sesuai dengan beberapa data. Sebagai contoh, selama BANI memeriksa dan menyelesaikan kasus sengketa bisnis, berdasar 180 hari, namun ternyata ada 12 % penyelesaian melebihi batas waktu yang telah ditentukan oleh UU Arbitrase. 225 Memang UU Arbitrase membolehkan jangka waktu tersebut melebihi 180 hari, namun demikian angka 12 % memberikan gambaran bahwa resiko bersengketa melalui lembaga arbitrase juga dimungkinkan lama selayaknya dalam lembaga pengadilan.

Perilaku hakim di pengadilan yang kerap menyimpangi ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 UU Arbitrase menjadikan prinsip limited court invovelment seperti tidak berguna. Para konsultan hukum maupun pengacara di Indonesia juga masih enggan menyarankan klien mereka untuk bersengketa menggunakan lembaga arbitrase. Dugaannya adalah masalah “kue” dan ketidaktahuan mengenai ketentuan arbitrase. Kasus-kasus sengketa arbitrase pada umumnya memang sengketa dengan nominal besar, tentu uang yang :beredar” juga cukup besar, sehingga “kue” besar ini cukup sayang kalau dilewatkan. Sedangkan masalah ketidaktahuan para hakim, diungkapkan oleh ketua BANI, Priyatna Abdurrasyid yang mengatakan hampir seluruh hakim belum mengetahui mengenai masalah arbitrase. Demikian pula dengan perilaku pengacara, kebiasaan beresolusi sengketa menggunakan proses litigasi yang bermacam-macam (gugatan, banding, kasasi, peninjauan kembali dan belum lagi upaya hukum lain/proses pidana) dan lama telah membuat pola kerja para advokat cukup nyaman, sehingga mereka enggan untuk menyarankan kepada kliennya menyelesaikan sengketa menggunakan lembaga arbitrase.

Selain hambatan di atas, hambatan kultur yang lain adalah masalah itikad baik. Sekalipun arbitrase menggunakan adversarial system namun arbitrase juga sangat bergantung pada kerelaan dan itikad baik para pihak untuk melaksanakan putusan arbitrase. Lembaga arbitrase sebagai resolusi sengketa bisnis akan benar-benar memiliki manfaat jika para pihak yang bersengketa memiliki karakter jujur, dapat dipercaya dan beritikad baik. Artinya para pihak harus patuh terhadap apapun hasil putusan lembaga arbitrase. Jika mereka kalah, harus sukarela melaksanakan, bukan sebaliknya mencari peluang untuk mengajukan perlawanan di pengadilan guna menolak pelaksanaan putusan. Bila pilihan terakhir ini yang terakhir yang sering terjadi, persepsi para pelaku bisnis, khusunya investor luar negeri akan menurun selayaknya kekurangpercayaan mereka terhadap lembaga pengadilan.

c. Mediasi Pengadilan (PA maupun PN) sebagai sarana penyelesaian sengketa

yang menghasilkan putusan bersifat adversarial. Konsekuensi putusan adversarial adalah ketidakmampuannya dalam merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyele- saiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, menimbulkan antagonisme di antara pihak yang bersengketa, serta banyak terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya. Konsekuensi tersebut cenderung tidak berpihak pada laju dinamika dunia bisnis sehingga dibutuhkan institusi baru yang selain lebih dipercaya dan efisien juga lebih menjamin keadilan bagi kedua belah pihak. Sengketa antara nasabah dan bank syariah bisa terjadi kapan dan di mana saja. Peran lembaga intermediasi bisa menjadi solusinya. Sementara jalur musyawarah belum kuatnya aturan hukum dan secara sosial tiadanya pihak ketiga menjadikan posisi bank begitu dominan. Sedangkan arbitrase ada berbagai kendala seperti dijelaskan di atas. Untuk itu perlu lembaga lain yang lebih bisa mengisi kekosongan berbagai jalur resolusi sengketa tersebut. Lembaga tersebut adalah mediasi perbankan,, yang saat ini dilakukan oleh Direktorat

225. BANI Newsletter. Quarterly Newsletter. 1 Oktober 2007. hal. 4 Mediasi dan Investigasi Perbankan Bank Indonesia (DIMP BI).

1) Definisi Mediasi menyelesaikan masalah yang dihadapi para pihak, yang selanjutnya Pada dasarnya mediasi dalam perbankan syariah bisa dilakukan

akan dituangkan sebagai kesepakatan bersama. Pengambilan dengan dua cara, yakni mediasi diluar pengadilan maupun mediasi

keputusan tidak berada di tangan mediator , tetapi di tangan para melalui pengadilan. Mediasi diluar pengadilan diatur dalam Undang-

pihak yang bersengketa. 228

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Mediasi perbankan syariah dalam pembahasan ini termasuk Penyelesaian Sengketa. PBI PBI No. 10/1/PBI/2008 tentang

model alternatif penyelesaian sengketa di luar jalur peradilan. Namun Perubahan atas PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.

demikian definisi mediasi secara normatif tidak secara detail disebut Sedangkan Mediasi melalui pengadilan diatur dalam Pasal 130 HIR

dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 229 . Di dalam literatur Islam Pengadilan.

mediasi dikenal dengan istilah perdamaian. Istilah dalam kosa kata Mediasi di luar pengadilan biasanya dilakukan secara sukarela.

Arab yang menggambarkannya sebagai jalur penyelesaian sengketa Dilakukan atas keinginan bersama para pihak baik atas inisiatif suatu

perspektif Islam, disebut juga ash shulhu. Beberapa kata dalam pihak dan disetujui pihak lain, maupun atas kehendak bersama. Ini

bahasa Arab yang berkaitan dengan kata yang berakar pada kata menghasilkan “Perjanjian Mediasi – Agreement to Mediate”. 226

sholuha ini antara lain; ashlaha, shillaha, tasholaha, as sulhu, as Sedangkan mediasi melalui pengadilan didasarkan pada mandat

sholahiyah, as sholihu, ishlahun, ishlahiyah, mushlihun, dan hakim yang memeriksa di pengadilan. Mediasi dilakukan atas dasar

mashlahah. Sholuha adalah bagus, baik (kebalikan dari buruk), permintaan majelis hakim atau arbitrase dalam proses peradilan/

ashlaha berarti memperbaiki,shollaha diartikan membereskan, arbitrase. Dalam praktik peradilan perdata dan arbitrase di Indonesia,

shoolaha berarti berdamai dengan, tasholaha berarti berdamai atau hakim selalu memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang

saling berdamai, as sulhu berarti perdamaian, as sholahiyah berarti bersengketa untuk menyelesaikan sengketa mereka secara

kepantasan, as sholihu berarti yang bagus, baik, ishlahun berarti musyawarah, dan perkembangan sekarang ditegaskan dilakukan

perbaikan, koreksi, ishlahiyah berarti yang bermaksud, yang bersifat melalui proses mediasi. 227

memperbaiki, mushlihun berarti pembaharu dari yang buruk atau Pada prinsipnya mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di

juru damai, dan mashlahah dimaknai faidah, kepentingan, luar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga

kemanfaatan dan kemaslahatan. As sulhu disejajarkan dengan as yang bersifat netral (non intervensi) dan tidak berpihak (impartial)

silmu, ishlah disejajarkan dengan diddul ifsad (lawan dari serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa.

perusakan). ishlahun, silmun, dan sulhun dapat disejajarkan dengan makna satu yaitu perdamaian atau perbaikan. Pihak ketiga tersebut disebut mediator atau penengah yang tugasnya 230

membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan

228. Bambang Sutiyoso. 2008. Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Yogyakarta :

masalahnya, tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil Gama Media. hal. 58.

229. Alternatif penyelesaian sengketa hanya diatur dalam satu pasal, yakni Pasal 6 Undang-Undang

keputusan. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu dalam

No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa yang menjelaskan tentang mekanisme penyelesaian sengketa. Sengketa atau beda pendapat dalam bidang perdata Islam dapat diselesaikan oleh para pihak melaui Alternative Penyelesaian Sengketa yang

226. Peter Lovenheim. 1996. How to Mediate Your Dispute. Berkeley : Nolo-Press. hal. 1.22. lihat didasarkan pada iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi. Lihat pula Kusdwilandrijo D. Mediasi Dan Arbitrase Dalam Penetapannya dalam Suryono. 2002.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. 2003. Hukum Arbitrase. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Himpunan Yurisprudensi Hukum Perpajakan Dan Arbitrase. Jakarta. : Cipta Jaya. hal. 224

hal. 35-36.

227. Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 tanggal 11 September 2003 tentang Prosedur 230. Adib Bisri dan Munawwir A Fatah.1999. Kamus Indonesia-Arab, Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Mediasi di Pengadilan

Progresif. Hal. 414-415. Lihat juga dalam Al Mufid. Kamus Arab Indonesia, Indoensia Arab, tt.

Etimologi mediasi tersebut dielaborasi dengan diartikan: solution” 234 . Jadi mediasi adalah suatu metode penyelesaian sengketa berusaha menciptakan perdamaian; membawa keharmonisan;

yang melibatkan informal pihak ketiga yang netral untuk membantu menganjurkan orang untuk berdamai antara satu dan yang lainnya;

para pihak yang bersengketa guna mencapai suatu kesepakatan. melakukan perbuatan baik; berperilaku sebagai orang suci (baik).

Menurut Joni Emirzon, mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa Dikatakan, bahwa pengertian yang beragam itu berasal dari makna

para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang kata ini yang disebut dalam Al Qur’an. Adapun dalam bahasa Arab

bersikap netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi modern, mediasi digunakan untuk pengertian pembaharuan. 231

para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog Sementara dalam pengertian syariat, ash shulhu berarti suatu akad

antar para pihak dengan suasana keterbukaaan, kejujuran dan tukar (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa) antara dua

pendapat untuk tercapainya mufakat. 235

orang yang terlibat dalam sengketa. 232 Selanjutnya juga dapat dilihat dalam ketentuan yang diatur Mediasi berasal dari bahasa Inggris, “mediation” , atau

dalam WIPO Mediation Rules, bahwa:

penengahan, yaitu penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak Mediation Agreement means an agreement by the parties to ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara

submit to mediation all or certain disputes which have arisen or menengahi. Christopher W. Moore mengemukakan bahwa mediasi

which may arise between them; a Mediation Agreement may be in adalah intervensi dalam sebuah sengketa oleh pihak ketiga yang

the from of a mediation clause in a contract or in the from of a bisa diterima pihak yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari

separate contract. The mediation shall be conducted in the manner kedua belah pihak dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak

agreed by the parties. If, and to the extent that, the parties have not mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas

made such agreement, the mediator shall, in accordance with the untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau

Rules, determine the manner in which the mediation shall be mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak

conducted. Each party shall cooperate in good faith with the dalam sebuah persengketaan. 233

mediator to advance the mediation as expeditiously as possible. 236 Dalam Black’s Law Dictionary, mediasi adalah “A method of

Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur nonbinding of dispute resolution involving a neutral third party who

penengahan di mana seseorang bertindak sebagai “kendaraan” untuk tries to help the disputing parties reach a mutually agreeble

berkomunikasi antar para pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin

CD Dalam Al Mufid pengertian assulhu dan as silmu dapat disejajarkan dalam pengertian perdamaian. Baca juga definisi Sayyid Sabiq dalam Sayyid Sabiq. 1997. Fikih Sunnah (Terjemahan

didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu

Jilid 13). Bandung : PT. Al-Ma’arif. hal. 189. Di dalam terminologi Islam dikenal dengan Ash- perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri. Shulhu, yang berarti memutus pertengkaran atau perselisihan. Dalam pengertian syariat ash- 237 shulhu adalah suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa) antara 2

Mediasi merupakan model penyelesaian sengketa di mana pihak

(dua) orang yang bersengketa. 231. Abdul Azis Dahlan. 2001. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II. Jakarta: PT Ichtiar Baru. hal. 740

luar tidak memihak dan netral (mediator) membantu pihak-pihak

232. Abdul Qodir Audah. 2000. Attasyri Al Jinai Al Islam Muqoeonan Bil Qonunin Wad’i, Juz Pertama, Beirut: Muassash ar Risalah. hal. 773. Dalam kamus Al Munawir disebutkan Secara bahasa,

234. Henry Campbell Black. 2004. Black’s Law Dictionary. 8th edition. Bryan A. Garner, editor. USA : “sulh” berarti meredam pertikaian, sedangkan menurut istilah “sulh” berarti suatu jenis akad atau

West Publishing Company. hal. 1003

perjanjian untuk mengakhiri perselisihan/pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa secara 235. Joni Emirzon. 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, damai. Lihat AW Munawir. 1984. Kamus Al Munawir. Yogyakarta : Pondok Pesantren Al Munawir.

Konsilisai, dan Arbitrase). Jakarta: Gramedia. hal. : 45

hal. 843

236. WIPO, Mediation Rules (effective October 1, 1994)

233. Bambang Sutiyoso. 2008. Op cit. hal. 56.

237. Gatot Soemartono. 2006. Op cit. Hal : 120 237. Gatot Soemartono. 2006. Op cit. Hal : 120

muncul tetapi kecenderungan konflik yang semakin membesar. Mediation is generally understood to be a short term,

Untuk itu diperlukan pihak ketiga dalam meredam konflik structured, taskoriented, participatory intervention process.

tersebut. 240 Tidak seperti arbiter atau hakim, seorang mediator tidak Disputing parties work with a neutral third party, the mediator, to

membuat keputusan mengenai sengketa yang terjadi tetapi hanya reach a mutually process, where a third party intervenor imposes a

membantu para pihak untuk mencapai tujuan mereka dan decision, no such compulsion exists in mediation. 238

menemukan pemecahan masalah dengan hasil win-win solution. 241

Gary Goodpaster berpendapat bahwa mediasi merupakan proses Tidak ada pihak yang kalah atau yang menang, semua sengketa negosiasi penyelesaian masalah dimana suatu pihak luar, tidak

diselesaikan dengan cara kekeluargaan, sehingga hasil keputusan berpihak, netral tidak bekerja sama dnegan para pihak yang

mediasi tentunya merupakan konsensus kedua belah pihak. bersengketa untuk membantu mereka guna mencapai suatu

Dari definisi tentang mediasi di atas dapat diambil kesimpulan kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan. 239 Istilah mediasi

sebagai berikut :

umumnya digunakan untuk merujuk suatu penyelesaian sengketa

a) Mediasi berbeda dengan jalur penyelesaian litigasi maupun diluar litigasi.

model arbitrase. Hakim dalam proses litigasi dan arbiter dalam proses arbitrase memiliki kewenangan untuk memutus sengketa

Dalam PBI No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI No. para pihak, sedangkan mediator dalam mediasi hanya sebagai 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan Pasal 1 butir 5, mediasi

penengah, seorang mediator tidak mempunyai kewenangan adalah proses penyelesaian Sengketa yang melibatkan mediator

untuk memutus sengketa para pihak. Tugas dan kewenangan untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai

mediator hanya membantu dan memfasilitasi pihak-pihak yang penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian

bersengketa dapat mencapai suatu keadaan untuk dapat ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan. Sedangkan

mengadakan kesepakatan tentang hal-hal yang disengketakan. Pada mediasi umumnya mediator memberikan usulan

dalam Perma No. 02/2003 Pasal 1 butir 6, pengertian mediasi adalah penyelesaian secara informal dan usulan tersebut didasarkan penyelesaian sengketa melalui perundingan para pihak dengan

pada laporan yang diberikan oleh para pihak, tidak dari hasil dibantu oleh mediator. Di mana pengertian mediator juga disebutkan

penyelidikannya sendiri. Perlu ditekankan di sini, bahwa saran pada Pasal 1 butir 5 yaitu pihak yang bersifat netral dan tidak

atau usulan penyelesaian yang diberikan tidaklah mengikat memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari

sifatnya. Sifatnya rekomendatif atau usulan saja. 242 berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa.

“The assumption…….is that third party will be able to alter Sengketa yang timbul diantara para pihak sering tidak bisa

the power and social dynamics of the conflict relationship by mereka selesaikan dengan baik karena persepsi dan stereotif yang

influencing the beliefs and behaviors of individual parties, by salah dari para pihak dalam melihat sengketa. Pada umumnya ketika

providing knowledge and information , or by using a more bersengketa stereotif salah yang muncul adalah ketidakpercayaan,

salah persepsi, permusuhan, rasa dendam dan komunikasi yang

240. Ibid. hal. 243-244 241. Karnaen Perwataatmadja. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana. hal.

238. Nolan-Haley and Jacqueline M. 1992. Alternative Dispute Resolution.,St. Paul, Minnesota : West 292. “The goal is not truth finding or law imposing but problem solving”. Lihat dalam Peter Publishing Company. hal. 56.

Lovenheim. 1996. Op cit. hal. 1.4

239. Gary Goodpaster. 1999. Panduan Mediasi dan Negosiasi. Jakarta : Elips.. hal. 241 242. Huala Adolf. 2006. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta : Sinar Grafika. hal. 35 239. Gary Goodpaster. 1999. Panduan Mediasi dan Negosiasi. Jakarta : Elips.. hal. 241 242. Huala Adolf. 2006. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta : Sinar Grafika. hal. 35

pihak-pihak yang bersengketa. Ketiadaan minimal dua Pada dasarnya seorang mediator berperan sebagai penengah

pihak yang bersengketa dalam suatu proses mediasi, maka yang membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang

hal itu menjadikan tidak terpenuhinya unsurunsur pihak- dihadapinya. Mediator merupakan fasilitator, pemimpin diskusi,

pihak yang bersengketa. Dua pihak dalam mediasi juga dapat membantu para pihak untuk mendesain penyelesaian

perbankan syariah adalah bank syariah dan nasabah. Mediasi harus bisa menjangkau ke semua pihak. sengketanya dengan memberikan berbagai alternatif solusi 244 Dalam

untuk kesepakatan bersama yang didasarkan pada win-win suatu proses mediasi akan dijumpai adanya dua atau lebih solution, sehingga dapat menghasilkan kesepakatan bersama.

pihak-pihak yang bersengketa. Jika dalam suatu proses Untuk itu seorang mediator harus memiliki kemampuan

mediasi hanya dijumpai adanya satu pihak yang mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang nantinya

bersengketa, maka hal itu menjadikan tidak terpenuhinya akan dipergunakan sebagai bahan untuk menyusun dan

unsur-unsur pihak-pihak yang bersengketa. Meski mengusulkan pelbagai pilihan penyelesaian masalah yang

demikian, para pihak dapat menunjuk kuasa kepada pihak disengketakan.

lain untuk menguatkan proses mediasi. “A party may bring Jika melihat dalam Pasal 6 ayat (4), dapat dilihat bahwa

a support person, as a representative or in addition to the Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 membedakan mediator

representative, to assist the person throughout the ke dalam :

mediation process, for example by providing emotional or moral support.” 245

(1) Mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak (Pasal 6 ayat (3) ); dan

(2) Adanya “Sengketa” diantara para pihak. (2) Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau

Unsur ini berdasar Angka 1.4 Peraturan Bank Indonesia lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk

(“PBI”) No.8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 oleh para pihak (Pasal 6 ayat (4) ).

merumuskan :

b) Mediasi didasarkan pada itikad baik dan kesepakatan para “Sengketa adalah permasalahan yang diajukan oleh pihak, sehingga cenderung tidak memaksa (Non-Coercive). Ini

nasabah atau perwakilan nasabah kepada penyelenggara berarti bahwa tidak ada suatu sengketa yang diselesaikan

mediasi perbankan, setelah melalui proses penyelesaian melalaui jalur mediasi akan dapat diselesaikan, kecuali hal

pengaduan oleh bank, sebagaimana diatur dalam PBI tersebut disepakati bersama oleh pihak-pihak yang bersengketa.

tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah (PBI No. 7/7/ PBI/2005).

Dari penjelasan di atas dapat disistemasikan bahwa prasayarat mediasi dalam sengketa antara perbankan syariah dan nasabah

Sengketa perbankan syariah yang diproses di lembaga harus memenuhi unsur-unsur yang disebut dibawah ini :

mediasi perbankan diawali dari ketidakpuasan nasabah atas (1) Adanya para pihak

Berdasar berbagai teori sengketa, dalam model mediasi 244. Jaminan ini juga harus menjangkau kepada pihak yang paling lemah. Lihat Kyle C. Beardsley,

David M. Quinn. Mediation Style and Crisis Outcomes. The Journal of Conflict Resolution. Sage

sengketa harus berjalan dua arah, oleh karena itu dalam

Journal. hal. 2 “ Mediation providers have obligations to make their services accessible to persons with disabilities.”

243. Garry Goodpaster.1999. Op cit dalam Soebagjo dan Radjagukguk. 1995. Arbitrase di Indonesia. 245. Rusni Hassan and Adnan Yusoff. The resolution of Islamic commercial disputes in Malaysia: Jakarta : Ghalia Indonesia. hal. 11-12 . Lihat juga Peter J. Carnevale , Dong-Won Choi. Culture

Courts, Mediation and Arbitration, Asian Journal of Mediation. Volume 3, 2005. hal. 2. Dalam hal in the Mediation of International Disputes. International Journal of Psychology. Volume 35, Issue

mediasi internasional, para pihak juga bias melibatkan penerjemah, lihat Martti Ahtisaari. 2, 2000. hal. 1 “Cultural ties between the mediator and one or both of the disputants can facilitate

Opportunities and Challenges for Peace Mediation in Asia. Asian Journal of Mediation. Volume 5, mediation by, among other things, enhancing the mediator’s acceptability to the parties, and

2009. “The mediator should allow the interpreter to confer with the individual with a disability to enhancing the belief that the mediator can deliver concessions and agreements.”

clarify terms before and during the mediation.” clarify terms before and during the mediation.”

pengaduan dan musyawarah tidak tidak mampu meng- namun pengaduan tersebut tidak memberi kepuasan

hasilkan resolusi. Dengan demikian sebelum menempuh jawaban pada nasabah sehingga meneruskan proses

proses mediasi terlebih dahulu pihak nasabah harus telah penyelesaian sengketa melalui lembaga mediasi

mengajukan pengaduan kepada bank yang bersangkutan perbankan.

dan ketika tidak menerima putusan dari lembaga Sesuai Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang

pengaduan yang ada di internal bank, baru kemudian pihak mediasi perbankan, penyelenggaraan mediasi dilakukan

nasabah diperkenankan untuk menyelesaian sengketa apabila sengketa antara nasabah dengan Bank yang

dimaksud ke lembaga Mediasi Perbankan, yang hingga disebabkan tidak dipenuhinya tuntutan finansial nasabah

saat ini dijalankan oleh Bank Indonesia (BI). Dalam oleh Bank dalam penyelesaian pengaduan nasabah dapat

penyelesaian sengketa melalui mediasi, para pihak diupayakan penyelesaiannya melalui mediasi perbankan.

biasanya mampu mencapai kesepakatan di antara mereka, (3) Adanya “Mediator” yang membantu menyelesaikan

sehingga manfaat mediasi dirasakan. Bahkan dalam sengketa diantara para pihak. Adanya mediator yang

mediasi yang gagal, meskipun belum ada penyelesaian membantu mencoba menyelesaikan sengketa diantara para

yang dicapai, proses mediasi yang sebelumnya berlangsung pihak. Mediator harus mempunyai kemampuan dan

telah mampu mengklarifikasikan persoalan dan memper- keahlian sehubungan dengan bidang masalah yang

sempit perselisihan. Hal inilah yang membuat para pihak disengketakan. Mediator harus mempunyai kemampuan 247 merasa tenang. Manfaat dari mediasi antara lain :

dan keahlian sehubungan dengan bidang/masalah yang (a) Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa disengketakan. Mediator juga tidak boleh mempunyai

dengan cepat dan relatif murah dibandingkan benturan kepentingan/hubungan afiliasi dengan pihak-

membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau pihak dalam sengketa masalah yang disengketakan.

arbitrase;

Persyaratan mediator adalah sebagai berikut : (b) Mediasi akan memfokuskan para pihak pada (a) mempunyai kemampuan dan keahlian sehubungan

kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan dengan bidang.masalah yang disengketakan.

emosi atau psikologis mereka, jadi bukan hanya pada (Mengenai syarat-syarat pengangkatan Mediasi dapat

hak-hak hukumnya;

dipergunakan syarat-syarat pengangkatan Arbiter (c) Mediasi memberi kesempatan para pihak untuk sebagaimana termaktub dalam Pasal 12 UU No. 30

berpartisipasi secara langsung dan secara informal Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

dalam menyelesaikan perselisihan mereka; Penyelesaian Sengketa);

(d) Mediasi memberi para pihak kemampuan untuk (b) mempunyai kemampuan dan keahlian sehubungan

melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya; dengan bidang/masalah yang disengketakan;

(e) Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi (c) tidak boleh mempunyai benturan kepentingan /

dan arbitrase sulit diprediksi, dengan suatu kepastian hubungan afiliasi dengan pihak-pihak dalam sengketa

melalui konsensus;

masalah yang disengketakan. 246

247. “Mediation can give you a sense of calm, peace and balance that benefits both your emotional well-being “ Lihat dalam Stephen E. Gent, Megan Shannon. Bias and the Effectiveness of Third- Party Conflict Management Mechanisms. Sage Journal. Conflict Management and Peace Science

246. Ibid. hal. 16

April 1, 2011 28. hal. 124-144

(f) Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan memberikan rekomendasi atau keputusan. Mediasi sebagai mampu menciptakan saling pengertian yang lebih

forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan memiliki baik di antara para pihak yang bersengketa karena

beberapa keunggulan, antara lain yakni: mereka sendiri yang memutuskannya;

(1) dapat ditempuh dalam waktu relatif singkat, (g) Mediasi mampu menghilangkan konflik atau per-

menghemat waktu, biaya, skill; musuhan yang hampir selalu mengiringi putusan yang

(2) pelaksanaannya secara tertutup dan rahasia, 249 bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di

(3) prosedur dan proses bersifat informal, pengadilan; (4) fokus kepada akar permasalahan dengan memper- (h) Mediasi dapat membuat ketidakseimbangan posisi

hatikan aspek-aspek komersial, psikologis dan emosi kekuatan para pihak kurang dirasakan daripada

para pihak,

penyelesaian sengketa di pengadilan. (5) bentuk penyelesaian pada hakikatnya merupakan hasil Mediasi Perbankan merupakan respon kedua setelah jalur

kesepakatan para pihak yang bersengketa. pengaduan dan musyawarah tidak tidak terselesaikan

secara internal oleh bank. Dengan demikian sebelum Model mediasi tetap menempatkan nasabah dan bank menempuh proses mediasi terlebih dahulu pihak nasabah

dalam posisi sejajar, sehingga mediasi bukan hanya harus telah mengajukan pengaduan kepada bank yang

bermanfaat bagi nasabah namun juga bermanfaat bagi bersangkutan dan ketika tidak menerima putusan dari

bank. Manfaat yang dapat diperoleh oleh bank dengan lembaga pengaduan yang ada di internal bank, baru

kehadiran lembaga mediasi perbankan adalah sebagai kemudian pihak nasabah diperkenankan untuk menyelesai-

berikut:

an sengketa dimaksud ke lembaga Mediasi Perbankan,

a) Sebagai upaya bagi bank untuk membuat nasabah yang hingga saat ini dijalankan oleh Bank Indonesia (BI).

loyal, tidak berpindah ke bank lain. Karena setiap Resolusi sengketa bank dan nasabah melalui jalur mediasi

keluhan nasabah dapat ditanggapi dengan baik oleh memang harus diajukan oleh nasabah bukan perbankan.

manajemen bank.Sebagai informasi penting bagi Hal ini merupakan upaya BI dalam menyediakan jalur

manajemen akan segera tahu aspek-aspek mana saja perlindungan terhadap nasabah selaku asset terbesar dalam

dari pelayanan yang harus diperbaiki. dunia perbankan. Namun demikian, hak mengajukan oleh

b) Dapat berfungsi sebagai riset pasar (market research) nasabah ini jangan dilihat pihak bank sebagai subyek aktif.

bagi bank sehingga bisa meningkatkan efisiensi. Fungsi mediasi yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia

Manajemen bank tidak perlu menyewa atau mem- terbatas pada upaya membantu nasabah dan bank untuk

bayar pihak lain untuk mengetahui kualitas pelayanan- mengkaji ulang permasalahan atau sengketa yang timbul

nya.

di antara mereka untuk memperoleh kesepakatan. Artinya

c) Meminimalisir publikasi negatif jasa pelayanan bank. BI memfasilitasi penyelesaian Sengketa dengan cara

Apabila keluhan nasabah ditulis di media massa akan memanggil, mempertemukan, mendengar, dan memotivasi

dapat menumbuhkan reputasi buruk bank yang nasabah dan bank untuk mencapai kesepakatan tanpa

bersangkutan 250 .

249. Penyelesaian sengketa non litigasi merupakan cara yang paling penting. banyak sengketa 248. Manakala kedudukan para pihak tidak seimbang, salah satu pihak kuat yang lain lemah, maka

diselesaikan tanpa adanya publisitas atau menarik perhatian publik. Lihat dalam EV Garcia Amador. pihak yang kuat berada dalam posisi tawar yang lebih tinggi untuk menekan pihak lainnya. Untuk

1984. The Changing law International Claim. USA: Oceana Publications.Inc. hal. 518 itu posisi sejajar dalam mediassi ini menjadi penting. Lihat dalam Palitha TB Kohona. 1985. The Regulation of International Economic relations Through Law. Netherlands: Martinus Nijhoff

250. Dokumen Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan

Publishers. hal. 151 Menurut Bindschedler dalam Hula Adolf ada beberapa segi positif dari mediasi :

Adapun yang menjadi tujuan dari mediasi secara umum Memahami kekurangan dan kelebihan masing- adalah:

masing, dan hal ini diharapkan dapat mendekatkan

a) untuk menemukan solusi terbaik atas sengketa yang cara pandang dari pihak-pihak yang bersengketa, terjadi di antara para pihak, dimana solusi ini dapat

menuju suatu kompromi yang dapat diterima para mereka percayai atau jalankan dan bukan untuk

pihak.

mencari kebenaran atau memaksakan penegakan hukum, melainkan untuk menyelesaikan masalah,

2) Latar Belakang Mediasi

Dengan demikian proses negosiasi adalah proses yang Jika kita mengacu pada UU No. 3 Tahun 2006 juncto UU No forward looking dan bukan backward looking. Yang

50 tahun 2009 tentang Pengadilan Agama, ada tiga tahapan dalam hendak dicapai bukanlah mencari kebenaran dan/atau

menyelesaikan sengketa yang terjadi di lingkungan perbankan dasar hukum yang diterapkan namun lebih kepada

syariah. Jalan pertama adalah melalui musyawarah di antara kedua penyelesaian masalah. “The goal is not truth finding

belah pihak yang bertikai. Sebenarnya, musyawarah merupakan or law imposing, but problem solving” 251 . model penyelesaian sengketa yang terbaik, namun sering sengketa

b) Melalui proses mediasi diharapkan dapat dicapai terjalinnya komunikasi yang lebih baik diantara para

antara nasabah dan bank syariah tidak terselesaiakan melalui model pihak yang bersengketa. Menjadikan para pihak yang

musyawarah. Biasanya para pihak akan saling tuding dan saling ber-sengketa dapat mendengar, memahami alasan atau

klaim. Pihak nasabah menilai bank syariah tidak objektif atau penjelasan atau aurgumentasi yang menjadi dasar atau

sebaliknya bank yang menganggap nasabah tidak mau bekerja sama. pertimbangan pihak yang lain. Oleh karena itu, dalam

Apabila jalur musyawarah tak mampu menemukan jalan keluar, merumuskan mediation clause perlu dipertimbangkan

maka dapat ditempuh metode kedua, yaitu penyelesaian sengketa sebagaimana jalan keluar yang harus diberikan dalam

dilakukan melalui mediasi perbankan atau mekanisme arbitrase hal suatu mediasi tidak membuahkan hasil

sebagaimana yang diharapkan. Pemahaman “You syariah. Dan jika tak juga ada solusi dari sengketa para pihak, maka don’t give up rights when you agree to mediate” harus

langkah terakhir adalah membawanya ke jalur litigasi. dijadikan dasar dalam merumuskan mediation

Jalur litigasi dalam penyelesaian sengketa ternyata menghasil- clause. 252

kan kesepakatan yang bersifat adversarial, belum mampu merangkul

c) Dengan adanya pertemuan tatap muka, diharapkan kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dapat mengurangi rasa adversarial atau permusuhan

dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak antara pihak yang satu dengan yang lain.

responsive, menimbulkan antagonisme di antara pihak yang

1. Mediator sebagai penengah dapat memberikan usulan-usulan kompromi di antara para pihak.

bersengketa, serta banyak terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya.

2. Mediator dapat memberikan usaha-usaha atau jasa-jasa lainnya, seperti memberi bantuan dalam melaksanakan kesepakatan, bantuan keuangan, mengawasi pelaksanaan

Hal ini dipandang kurang menguntungkan dalam duniai bisnis

kesepakatan, dan lain-lain. 3. Apabila mediatornya adalah negara, biasanya negara tersebut dapat menggunakan

sehingga dibutuhkan institusi baru yang dipandang lebih efisien dan

pengaruhdan kekuasaannya terhadap para pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian

efektif. Sebagai solusinya, kemudian berkembanglah model

sengketanya. 4. Negara sebagai mediator biasanya memiliki fasilitas teknis yang lebih memadai daripada

penyelesaian sengketa non litigasi, yang dianggap lebih bisa meng-

orang-perorangan.

akomodir kelemahan-kelemahan model litigasi dan memberikan

Lihat dalam Huala Adolf. 2006. Op cit. hal. 34 251. Peter Lovenheim. 1996. Op cit. hal. 1.4

jalan keluar yang lebih baik. Jalur non litigasi menjadi relevan dalam

252. Ibid

menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Penyelesaian sengketa menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Penyelesaian sengketa

salah persepsi, permusuhan, rasa dendam dan komunikasi yang pihak memilih jalur non litigasi karena beberapa alasan, yakni 253 :

lemah. Sehingga apabila keduanya bertemu bukan solusi yang

a) Kurang percayanya pada sistem pengadilan dan pada saat yang muncul tetapi kecenderungan konflik yang semakin membesar. sama kurang dipahaminya keuntungan atau kelebihan sistem

Untuk itu diperlukan pihak ketiga dalam meredam konflik tersebut. arbitrase di banding pengadilan, sehingga masyarakat pelaku

Mediasi merupakan suatu alternatif penting bagi resolusi pemutusan bisnis lebih mencari alternative lain dalam upaya menyelesaikan

perkara. Masyarakat industri sudah mulai mengarah pada suatu perbedaan-perbedaan pendapat atau sengketa-sengketa

penyelesaian mediasi dari pada melalui pengadilan. Alasannya bisnisnya; karena melihat pengadilan sebagai sarana resolusi sengketa adalah

b) Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase mulai sarana yang tidak efisien. menurun yang disebabkan banyaknya klausul-klausul arbitrase 254

yang tidak berdiri sendiri, melainkan mengikuti dengan klausul Mediasi merupakan suatu alternatif penting bagi resolusi kemungkinan pengajuan sengketa ke pengadilan jika putusan

pemutusan perkara. Masyarakat industri sudah mulai mengarah pada arbitrasenya tidak berhasil diselesaikan.

suatu penyelesaian mediasi dari pada melalui pengadilan. Alasannya Di tengah melemahnya peranan jalur litigasi dalam menyele-

karena melihat pengadilan sebagai sarana resolusi sengketa adalah saiakan sengketa perbankan syariah, sementara penyelesaian secara

sarana yang tidak efisien. 255 Mediasi sebagai bagian dari model musyawarah internal tidak mampu mengatasi sengketa yang timbul,

penyelesaian sengketa non litigasi memiliki kecenderungan bisa kebutuhan lembaga intermediasi menjadi penting. Lembaga

mengakomodasi kelemahan-kelemahan model litigasi dan diharapkan dapat menjadi solusi yang menjembatani cara

memberikan jalan keluar yang lebih baik. Mediasi menghasilkan musyawarah, sekaligus objektivitas yang tidak memihak salah satu

kesepakatan yang bersifat win-win solution, menjamin kerahasiaan pihak. Saat ini ada dua lembaga dari dua model penyelesaians

sengketa para pihak (confidential), menghindari keterlambatan yang engketa yang berbeda, yakni Badan Arbitrase Syariah Nasional

diakibatkan karena hal prosedural dan administrative (efisien), (BASYARNAS), untuk sengketa dengan jalur resolusi arbitrase

menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan, syariah dan Lembaga Mediasi Perbankan Bank Indonesia (LMP

dan tetap menjaga hubungan baik (lebih adil). BI) untuk sengketa dengan jalur resolusi mediasi. Di dalam

BI memiliki kewenangan sebagai regulator dan supervisi penyelesaian Basyarnas, putusan yang dihasilkan bersifat adversarial

perbankan, berkaitan dengan kewenangan tersebut BI mengeluarkan (win lose solution) sehingga memiliki kecenderungan melukai salah

peraturan terkait dengan penyelesaian sengketa antara nasabah dan satu pihak. Model mediasi LMP BI menjadi alternatif yang

perbankan. BI telah merancang Arsitektur Perbankan Indonesia cenderung diminati karena salah satu alasan putusannya bersifat win-

(API) sebagai upaya mewujudkan sistem perbankan yang sehat, kuat win solution.

dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam Sengketa yang timbul diantara para pihak sering tidak bisa

rangka membantu pertumbuhan ekonomi nasional. API terdiri dari mereka selesaikan dengan baik karena persepsi dan stereotif yang

enam pilar, yakni (Dokumen Direktorat Penelitian dan Pengaturan salah dari para pihak dalam melihat sengketa. Pada umumnya ketika

Perbankan Bank Indonesia):

254. Gary Goodpaster. 1999. Op cit. hal. 243-244

253. Suyud Margono. 2004. Op cit. hal. 82

255. Ibid 255. Ibid

b) Sistem Pengaturan yang Efektif; atas keluhan nasabah kepada bank tidak selalu memuaskan nasabah.

c) Sistem Pengawasan yang Independen dan Efektif; Ketidakpuasan nasabah ini menimbulkan sengketa dan bila tidak

d) Industri Perbankan yang Kuat; dicarikan solusinya dapat menumbuhkan citra negatif bank yang

e) Infrastruktur Pendukung yang Mencukupi; bersangkutan. Citra negatif itu dapat membuat nasabah jera dan tidak

f) Perlindungan Nasabah. mau lagi menjadi nasabah bank yang tersebut, dan pada akhirnya kondisi ini akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi perbankan secara keseluruhan. Bank Indonesia menyadari perlu adanya langkah terobosan agar sengketa antara nasabah dengan bank dapat diselesaikan secara sederhana, cepat dan murah 256 . Walaupun hubungan yang terjalin antara bank dan nasabah didasarkan pada prinsip kepercayaan (trust), akan tetapi dalam praktiknya seringkali tidak dapat dihindarkan adanya sengketa (dispute) di antara mereka.

Komplain dari nasabah diajukan nasabah kepada bank karena merasa dirugikan secara finansial. Upaya yang dilakukan nasabah adalah pengaduan antara lain dengan datang langsung ke bank, menelpon call center bank yang bersangkutan, menulis di media cetak misalnya pada surat pembaca, atau menyampaikan keluhan

secara tertulis langsung kepada bank. Di sisi lain terkadang ada bank yang kurang memperhatikan pengaduan nasabah, atau bahkan mengabaikannya. Padahal bank memiliki kewajiban untuk

Gambar 4 : Pilar Arsitektur Perbankan Indonesia menyelesaikan setiap pengaduan nasabah yang ada sebagaimana Sumber: Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan

telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/7PBI/2005 Di dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang

tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, sebagaimana yang telah diluncurkan Januari 2004 ada 6 (enam) pilar, pilar ke enam adalah

diubah dengan PBI No. 10/10/PBI/2008. perlindungan konsumen yang dijabarkan kedalam 4 (empat) program

Pada proses awal pengaduan ini sebenarnya terbuka untuk utama, yakni, (1) penyusunan mekanisme pengaduan nasabah bank;

saling musyawarah. Penyelesaian sengketa secara kekeluargaan atau (2) pembentukan lembaga mediasi independen; (3) penyusunan

musyawarah antara pihak yang bertikai adalah alternatif yang terbaik, standar transparansi informasi produk perbankan; dan (4) edukasi

apalagi di perbankan syariah. Penyelesaian sengketa melalui nasabah. Penjabaran pilar keenam API tersebut memberikan persepsi

musyawarah berarti bertemunya antara pihak yang bersengketa bahwa nasabah merupakan klien utama dalam dunia perbankan. BI

dalam satu majelis, pada dasarnya adalah jalur terbaik. Penyusunan menyadari bahwa tidak setiap pelayanan perbankan akan

memuaskan nasabah. Tidak sedikit nasabah melakukan keluhan atas

256. http://dwilawyer.blog.com/mediasi/07/2007/peningkatan-perlindungan-nasabah. diakses 17 April

2011 jam 19.00 wib 2011 jam 19.00 wib

dan berbelit-belit, maka Bank Indonesia mengupayakan penyelesaian nasabah dengan pihak bank. Komplain, keluhan, dan protes tersebut

sengketa dengan proses sederhana, murah dan cepat melalui lembaga menunjukkan ada kesenjangan antara bank dan nasabah atau

mediasi perbankan agar hak-hak nasabah dapat terjaga dan terpenuhi masyarakat. Untuk itulah standar transparansi informasi produk

dengan baik. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang perbankan amat strategis sebagai titik awal mencegah kemungkinan

melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa timbul masalah antara nasabah dan bank. Namun penyelesaian

guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela pengaduan nasabah oleh bank melalui musyawarah pada praktiknya

terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang tidak selalu dapat memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut

disengketakan. Perlu ditekankan di sini bahwa mediator tidak dapat diakibatkan oleh tuntutan nasabah yang tidak dipenuhi bank

mempunyai kewenangan untuk memutuskan suatu sengketa. Ia baik seluruhnya maupun sebagian mengingat lembaga pengaduan

hanya boleh memberikan masukan-masukan berupa alternatif solusi nasabah berada pada internal bank yang bersangkutan sehingga

bagi para pihak yang sedang bersengketa. penyelesaiannya merupakan kebijakan bank tempat nasabah

Penyelenggaraan penyelesaian sengketa melalui lembaga melakukan kegiatan transaksi keuangan, seolah solusi yang diberikan

mediasi perbankan didasarkan pada Peraturan Bank Indonesia oleh bank yang bersangkutan juga sudah baku.

Nomor 8/5/PBI/2006 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Apabila nasabah menerima putusan (baku) yang diberikan oleh

Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008) dan Surat Edaran Bank bank tersebut maka permasalahan selesai. Akan tetapi terkadang

Indonesia No. 8/14/DPNP tentang Mediasi Perbankan. Dasar hukum ada nasabah yang merasa bahwa bank tidak memberikan solusi

dari diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 seperti yang diinginkannya sehingga nasabah tidak puas dan berbagai

(sekarang telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor cara akan ditempuh antara lain melaporkan kepada Lembaga

10/1/PBI/2008) ini adalah:

Konsumen, Lembaga Ombudsman, mengajukan gugatan secara

a) Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang perubahan Undang- perdata, bahkan terkadang ada nasabah yang melaporkan bank

Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan; kepada polisi. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan penyelesaian melalui lembaga-lembaga dimaksud seringkali

Konsumen;

berlarut-larut dan terlalu prosedural sehingga harapan kedua belah

c) Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang perubahan Undang- pihak untuk memperoleh solusi terbaik secara sederhana, murah,

Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia; dan cepat belum tentu dapat tercapai.

d) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa;

Tidak selesainya sengketa nasabah dengan perbankan secara musyawarah ini tentu akan menjadi persoalan yang berlarut. Apabila

e) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah (Dokumen Direktorat

tidak segera ditangani lebih jauh bisa mempengaruhi reputasi bank, Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia). mengurangi kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan dan

Dalam PBI No.8/5/PBI/2006 disebutkan bahwa ada tiga hal merugikan hak-hak nasabah. Untuk itu BI menyediakan jalur

yang menjadi latar belakang perlunya mengatur mediasi perbankan mediasi. Pada dasarnya penyelesaian sengketa mediasi dipilih karena

dalam suatu PBI, yaitu:

buntunya musyawarah dan sulitnya penyelesaian sengketa melalui buntunya musyawarah dan sulitnya penyelesaian sengketa melalui

keseriusan Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan pilar keenam bidang perbankan antara nasabah dengan bank

API, perlindungan terhadap nasabah. Keunggulan Mediasi

b) bahwa penyelesaian sengketa di bidang perbankan yang Perbankan. Dalam Penjelasan Umum PBI No. 8/5/PBI/2006 berlarut-larut dapat merugikan nasabah dan meningkatkan

ditegaskan bahwa upaya penyelesaian sengketa antara nasabah risiko reputasi bagi bank; dengan bank dapat dilakukan melalui negosiasi, konsiliasi, mediasi,

c) bahwa penyelesaian sengketa di bidang perbankan antara nasabah dengan bank dapat dilakukan secara sederhana, murah

arbitrase atau jalur peradilan. Akan tetapi bagi nasabah kecil dan dan cepat melalui cara mediasi.

usaha mikro akan mengalami kesulitan jika menempuh jalur Peningkatan kepercayaan masyarakat merupakan tujuan yang

arbitrase atau peradilan mengingat memerlukan waktu dan biaya ingin mencapai dalam pengawasan bank. Perhatian lebih diarahkan

yang tidak sedikit. Sengketa antara nasabah kecil dan usaha mikro pada aspek-aspek di dalam individual bank yang diharapkan dapat

dengan bank akan relatif lebih mudah diselesaikan melalui cara melindunqj pengembalian dana masyarakat. Secara umum tujuan

mediasi.Hal ini disebabkan proses penyelesaian sengketa melalui pengawasan dan pembinaan bank adalah menciptakan sistem

mediasi perbankan murah, cepat dan sederhana, karena: perbankan yang sehat. Dalam hal ini terdapat tiga aspek yang harus

a) tidak dipungut biaya;

dipenuhi dalam sistem perbankan yang sehat, yaitu:

b) jangka waktu proses mediasi paling lama 60 hari;

a) perbankan yang dapat memelihara kepentingan masyarakat

c) proses mediasi dilakukan secara informal atau fleksibel. dengan baik.

C. Proses Mediasi Perbankan dalam PBI Mediasi Perbankan dianggap

b) perbankan yang-berkembang secara wajar, dan lebih Dekat dengan Perbankan dibanding dengan Nasabah, sehingga

c) perbankan yang bermanfaat bagi perekonomian nasional. 257 perlu Dilakukan Pemberdayaan secara Kelembagaan PBI No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI No.8/5/

Tujuan dari mediasi perbankan adalah melaksanakan pilar ke-6 (enam) PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sangat erat kaitannya dengan

API, yakni Perlindungan Nasabah. Nasabah akan mendapatkan perlindungan PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.

akan haknya ketika praktik mediasi perbankan mewujudkan maslahah berupa Karena pelaksanaan mediasi perbankan merupakan upaya tindak

keadilan. Mengambil teori John Rawls, keadilan akan terwujud manakala para pihak mendapatkan akses yang sebanding, meskipun berdasar teori

coexistential justice nya Cappelletti, para pihak tidak memiliki pikaran yang

257. Lihat dalam Syamsul Hoiri. Perlunya Mengkaji Kembali PBI tentang Mediasi Perbankan. Jurnal

Hukum dan Pembangunan Tahun ke-38 No. 3 Juli-September 2008. hal.395

sealur bahkan saling bertentangan. Keadilan adalah bukan klaim kebenaran

Lima alternative yang menjadi bahan kajian BI mengenai bentuk lembaga mediasi perbankan :

sepihak, tetapi kebenaran yang bisa diterima oleh para pihak. Oleh karena itu

1. Lembaga mediasi yang dibentuk BI tanpa kewenangan melakukan verifikasi dan investigasi

konsep mengenai mediasi perbankan yang tertuang dalam API maupun berupa

2. Lembaga mediasi yang dibentuk BI dengan kewenangan melakukan verifikasi dan investigasi 3. Lembaga mediasi yang dibentukdi luar BI d tanpa kewenangan melakukan verifikasi dan

alur proses dalam PBI Mediasi Perbankan harus lebih dibenahi guna mencapai

investigasi

langkah pemberdayaan lembaga mediasi perbankan. Hal tersebut juga

4. Badan Arbitrase Perbankan Indonesia (BAPI) di luar BI yang mengakomodasi fungsi mediasi

didasarkan pada teori Comte mengenai nilai yang harus dipahami untuk

dan arbitrase

membentuk sebuah kultur, sehingga ketika konsep mediasi ini dituangkan

5. BAPI di luar BI yang hanya melakukan fungsi arbitrase Jika menelaah PB1 No. 8/5/PBI/2006 maka model ketiga yang dipilih, namun berdasar dan PBI

dengan sebanding maka langkah pemberdayaan yang berdasar teori Dubois

No. 10/1/PBI/2008 tentang perubahan PB1 No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan pilihan

harus harus melibatkan struktur dan personal secara paralel akan terwujud.

ketiga ini belum diambli karena belum terbentuknya LMP oleh asosiasi perbankan, hingga kini LMP berada di bawah Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan (DIMP) BI.

Sebagaimana dikemukakan oleh PBI No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI No.8/5/PBI/2006 258 tentang Mediasi Perbankan sangat

erat kaitannya dengan PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan

Nasabah. Karena pelaksanaan mediasi perbankan merupakan upaya tindak

lanjut dari penyelesaian pengaduan nasabah sebagai wujud keseriusan Bank

Indonesia dalam rangka pelaksanaan pilar keenam API, yakni perlindungan

*' +

terhadap nasabah. Terdapat beberapa hal teknis yang diatur di dalam PBI

*'

mediasi, dimana sebagian telah dijelaskan diatas, terkait dengan eksistensi Lembaga Mediasi Perbankan yang penulis sistemasikan sebagai berikut : #

1) mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator

untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai

penyeiesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian

atau seluruh permasalahan yang disengketakan (Pasal angka 5);

2) Mediasi perbankan dilakukan oleh lembaga mediasi perbankan

independen yang dibentuk asosiasi perbankan (Pasal 3 ayat (1));

3) Sepanjang lembaga mediasi perbankan independen belum dibentuk, fungsi mediasi perbankan dilaksanakan oleh BI (Pasal 3 ayat (4));

Gambar 5. Operasionalisasi Mediasi Perbankan

4) Fungsi mediasi perbankan yang dilaksanakan oleh BI terbatas pada Sumber: Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan upaya membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang sengketa secara

mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan (Pasal 4). Yang Amanat PBI Mediasi mengenai lembaga mediasi perbankan yang dimaksud dengan “membantu nasabah dan bank adalah BI memfasilitasi

independen adalah harus dibentuk dan dilaksanakan oleh asosiasi perbankan penyelesaian sengketa dengan cara memanggil, mempertemukan,

tetapi hingga kini lembaga mediasi perbankan yang independen bentukan mendengar, dan memotivasi nasabah dan bank untuk mencapai

asosiasi perbankan tersebut tak kunjung terbentuk, maka pihak Bank Indonesia kesepakatan tanpa memberikan rekomendasi atau keputusan (Penjelasan

selaku regulator dan fasilitator perbankan mengambil inisiatif untuk Pasal 4).

melaksanakan kegiatan lembaga mediasi perbankan yang bersifat Ad-hoc. Pengaturan mengenai hal ini dijelaskan dalam PBI No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi, mediasi perbankan dilakukan oleh lembaga mediasi perbankan independen yang dibentuk oleh asosiasi perbankan. Ayat (2)

258. Sesuai Pasal 3 ayat (2) PBI No. 8/5/PBI/2006, pembentukan lembaga mediasi perbankan

berbunyi, dalam pelaksanaan tugasnya lembaga mediasi perbankan

independen selambat-lambatnya 31 Desember 2007. Namun karena hingga akhir tahun 2007

independen melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia. Sedangkan ayat

belum juga terbentuk lembaga mediasi perbankan, maka Bank Indonesia memperbarui PBI tentang mediasi perbankan dengan rnengeluarkan PBI No. 10/1/PBI/2008 tanggal 29 Januari 2008 tentang

(3) berbunyi, sepanjang lembaga mediasi perbankan independen sebagaimana

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.

dimaksud ayat (1) belum dibentuk, fungsi mediasi perbankan dilaksanakan

Perubahan yg diatur dalam PBI No. 10/1/PBI/2008 meliputi: 1. Menghapus Pasai 3 ayat (2) PBI No. 8/5/PBI/2006 mengenai pembentukan lembaga mediasi

oleh Bank Indonesia. Jadi lembaga mediasi perbankan yang dilaksanakan

perbankan independen selambat-lambatnya 31 Desember 2008. Jadi dengan keluarnya PBI

oleh Bank Indonesia hanya bersifat sementara sambil menunggu hadirnya

No. 10/1/PBI/2008, maka tidak ada lagi penentuan batas waktu pembentukan lembaga 259 mediast perbankan;

lembaga independen yang bersifat permanen dari asosiasi perbankan.

2. Merubah Pasal 15 PBI No. 8/5/PBI/2006 mengenai alamat Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia dari semula di Menara Radius Prawiro Lantai 19 Jalan MH Thamrin No.2 Jakarta 10110 menjadi Jalan MH Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350

259. Sebelum dikeluarkannya PBI tentang mediasi perbankan, berdasarkan kajian BI ada lima alternatif

model yang bisa dibentuk, yaitu:

Eksistensi LMP belum begitu dikenal oleh nasabah perbankan, apalagi Sebagai perbandingan, di Negara bagian Florida, A.S., setiap tuntutan perbankan syariah. Tugas sosialisasi keberadaan LMP sebagai resolusi

yang bernilai US$ 50,000 atau kurang, untuk dapat diperiksa oleh badan sengketa sekaligus hak nasabah ada pada perbankan. Pasal 14 mengatur

peradilan sebelumnya harus sudah dicoba diselesaikan melalui proses kewajiban bank untuk mempublikasikannya. Publikasi tersebut dapat

mediasi. 260 Ayat (2) Nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan finansial yang dilakukan melalui brosur, leaflet, pengumuman dan atau media lainnya dan

diakibatkan oleh kerugian immateriil. Ini mensyaratkan cakupan nilai tuntutan sekurang-kurangnya mencakup prosedur yang harus ditempuh oleh nasabah

finansial yang meliputi nilai kerugian materiil dan biaya-biaya yang telah untuk dapat mengajukan penyelesaian sengketa kepada Bank Indonesia.

dikeluarkan nasabah dalam rangka penyelesaian sengketa. Kerugian materiil Informasi yang wajib dipublikasikan oleh bank paling kurang memuat:

tersebut antara lain kerugian karena pencemaran nama baik dan perbuatan

1) Prosedur yang harus ditempuh nasabah untuk dapat mengajukan tidak menyenangkan. Pengajuan mediasi dilakukan oleh nasabah bukan pihak penyelesaian sengketa;

bank dan harus diajukan secara tertulis. Fungsi mediasi yang dilaksanakan

2) Persyaratan pengajuan penyelesaian sengketa; oleh BI terbatas pada upaya membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang permasalahan/sengketa yang timbul diantara mereka untuk memperoleh

3) Batas waktu pengajuan penyelesaian sengketa; kesepakatan. Hal ini dinyatakan secara jelas oleh Pasal 4, bahwa fungsi mediasi

4) Nilai tuntutan finansial maksimal untuk setiap sengketa, yaitu berupa perbankan yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud kerugian finansial yang telah terjadi pada nasabah, potensi kerugian

pada Pasal 3 ayat (3) terbatas pada upaya membantu nasabah dan bank untuk karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan

mengkaji ulang sengketa secara mendasar dalam rangka memperoleh nasabah dengan pihak lain dan atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan

kesepakatan. Bank Indonesia tidak membentuk lembaga khusus untuk nasabah untuk menyelesaikan sengketa;

keperluan tersebut dan melaksanakan kegiatan mediasi perbankan melalui

5) Cakupan nilai tuntutan finansial tuntutan finansial tidak termasuk nilai Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan yang telah ada sebelum PBI kerugian immateriil.

Mediasi Perbankan dikeluarkan.

Sengketa antara nasabah dan bank syariah yang bisa diselesaikan melalui LMP adalah sengketa yang disebabkan tidak terpenuhinya tuntutan finansial nasabah oleh bank dalam penyelesaian pengaduan nasabah (Pasal 2 PBI Mediasi Perbankan). Tuntutan finansial itu adalah potensi kerugian finansial nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian bank sebagaimana yang dimaksud pada PBI tentang penyelesaian pengaduan nasabah maksimal sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Hal ini dijelaskan dalam Pasal 6 ayat (1) yaitu mediasi perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

2 dilaksanakan untuk setiap sengketa yang memiliki nilai tuntutan finansial paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

1. lembaga mediasi dibentuk BI tanpa kewenangan melakukan verifikasi dan investigasi; 2. lembaga mediasi dibentuk BI dengan kewenangan melakukan verifikasi dan investigasi; 3. lembaga mediasi dibentuk di luar BI tanpa kewenangan melakukan verifikasi dan investigasi; 4. Badan Arbitrase Perbankan Indonesia (BAPI) di luar BI yang mengakomodasi fungsi mediasi

dan arbitrase; 5. BAPI di luar BI yang hanya melaksanakan fungsi arbitrase.

Jika menelaah PB1 No. 8/5/PBI/2006 maka model ketiga yang di[ilih, namun karena lembaga mediasi ini tak kunjung terbentuk maka berdasarkan dan No. 10/1/PBI/2008 menyebutkan bahwa sepanjang lembaga mediasi perbankan independen belum dibentuk, fungsi mediasi perbankan dilaksanakan oleh BI (Pasal 3 ayat (4));

260. Peter Lovenheim. 1996. Op cit. hal. 1.22

Dokumen yang terkait

Analisis Kinerja Keuangan Perbankan Sebelum dan Sesudah Merger dan Akuisisi (Studi Pada Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2008-2012) Analysis of Banking Financial Performance Before and After Merger and Acquisition (Studies in Banki

7 55 8

PENGARUH INTELLECTUAL CAPITAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN (Studi Empiris pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar Di BEI Periode 2009-2013)

1 27 20

Pengaruh Kualitas Audit, Kondisi Keuangan Perusahaan, Dan Auditor Internal Terhadap Opini Audit Going Concern : Studi Empiris Pada Perbankan Yabg Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

2 30 70

Pentingnya interaksi edukatif pendidik (guru) dalam upaya pembentukan akhlak peserta didik di sekolah: study mata pelajaran akidah akhlak di MTS Miftahul Amal

0 25 0

Tingkat Pemahaman Fiqh Muamalat kontemporer Terhadap keputusan menjadi Nasab Bank Syariah (Studi Pada Mahasiswa Program Studi Muamalat Konsentrasi Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

1 34 126

Perancangan Kampanye Sosial Pentingnya Sarapan Pagi

1 17 1

Pengaruh Dana Pihak Ketiga (DPK) dan Non Performing Loan (NPL) Terhadap Return On Assets (ROA) Pada Sektor Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2013

3 30 59

Pengaruh Rasio Harga Laba Dan Pengembalian Ekuitas Terhadap Harga Saham (Studi Kasus Pada Perusahaan Sektor Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

0 13 1

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERLAMBATAN PUBLIKASI LAPORAN KEUANGAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI Periode 2008-2010)

2 43 75

Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Komitmen Organisasi Melalui Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Mediasi pada Bank DKI Kantor Cabang Surabaya

0 1 21